KAMBING KACANG
Dosen Pengampu Mata Kuliah Pemuliaan Ternak:
Prof. Dr. Ir. V. M. Ani. N., M.Sc
ANGGOTA KELOMPOK C - 8:
1.
2.
3.
4. Salsabila Firdausi 175050107111123 / No. Abs 39
5. Fatimah Azzahra 175050100111047 / No. Abs 40
KELAS C
_____________________________
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2019
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan
karunia-Nya, kami dapat menulis makalah ini dengan judul “Cross Breeding Kambing Boer
dan Kambing Kacang” dengan baik.
Adapun maksud dan tujuan kami menyusun makalah ini untuk memenuhi tugas
terstruktur matakuliah Pemuliaan Ternak. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada
semua pihak yang telah mendukung dalam menyusun makalah ini.
Penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan yang terdapat dalam
makalah ini. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran kepada berbagai pihak
untuk meningkatkan dan memperbaiki makalah agar menjadi lebih baik kedepannya.
Penulis
DAFTAR ISI
Tabel Halaman
BAB I
PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut.
1.3.1 Untuk mengetahui karakteristik kambing kacang, kambing boer dan kambing
boerka?
1.3.2 Untuk mengetahui perbandingan antara kambing boer dan kambing boerka
1.3.3 Untuk mengetahui dampak dari crossbreeding terhadap kinerja reproduksi
kambing
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
PEMBAHASAN
Besaran bobot lahir suatu ras kambing sangat ditentukan oleh konformasi serta besaran
ukuran tubuh tetuanya. dalam hal ini faktor pejantan (kambing Boer) yang digunakan serta
kemurniaan genotipenya. Kambing Boer adalah kambing yang mempunyai potensi genetik
tinggi dan tipe pedaging yang baik karena mempunyai konfirmasi tubuh dengan tulang rusuk
yang lentur, panjang badan dan perototan yang baik pula. Disamping itu besar kambing lokal
(induk) yang dikawinkan serta ransum pakan yang dikonsumsi juga menentukan besarnya
tubuh dan kecepatan pertumbuhan anak yang dilahirkan. Adanya pengaruh heterosis seperti
yang diharapkan dari persilangan Boer x Kacang mengakibatkan bobot lahir anak kambing
Boerka lebih tinggi dibandingkan dengan kambing Kacang.
Menurut Simon dan Fera (2008) keunggulan bobot lahir kambing Boerka secara rata-
rata sebesar 42% dibandingkan dengan kambing Kacang dan bobot lahir jenis kelamin jantan
cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan jenis kelamin betina. Bobot lahir terkait erat
dengan daya hidup dan bobot lahir pada saat disapih, sehingga bobot lahir menjadi karakter
yang menentukan dalam pencapaian tingkat efisiensi produksi. Bobot lahir kambing Boerka
secara konsisten lebih tinggi dibandingkan dengan kambing Kacang pada berbagai umur.
Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa jenis kelamin berpengaruh nyata (P < 0,05)
terhadap bobot lahir Pada saat umur 3 bulan (sapih), 6, 9, 12 dan 18 bulan serta bobot dewasa
(> 18 bulan) bobot hidup kambing Boerka jantan rata-rata lebih tinggi 36 – 45% dan pada
kambing Boerka betina ratarata lebih tinggi 2 – 40% dibandingkan dengan kambing Kacang.
Pada umur 12 atau 18 bulan kambing boerka jantan telah mampu mencapai bobot lahir antara
26 – 36 kg dan sesuai persyaratan pasar ekspor dengan demikian,kambing Boerka merupakan
ras kambing yang memiliki potensi untuk dikembangkan secara komersial dalam mendukung
pemasaran ternak kambing untuk tujuan ekspor di waktu mendatang.
Tabel 1. Bobot hidup kambing Boerka dan Kacang (Simon dan Fera,2008)
3.2 Bobot Sapih Kambing Boerka
Bobot sapih sangat erat kaitannya dengan bobot lahir. Semakin tinggi bobot lahir maka
bobot sapih juga akan semakin berat Lebih lanjut dikatakan bahwa sistem perkawinan silang
dapat memberi peluang untuk mempercepat perbaikan produksi. Perbedaan jenis kelamin
berpengaruh nyata terhadap bobot sapih, dimana bobot sapih jantan (10,67 + 4,57 kg) lebih
berat daripada betina (8,36 + 2,34 kg) dengan perbedaan sebesar 2,31 kg (21,65%). Hal ini
berhubungan dengan adanya persaingan dalam memperoleh makanan, dimana jantan lebih
agresif daripada betina khususnya pada saat menyusui.
Bobot sapih juga dipengaruhi oleh tipe lahir, dimana anak tipe lahir tunggal lebih berat
(8,33 ± 2,47 kg) dibanding tipe lahir kembar (7,02 ± 2,23 kg). Hasil analisis dari tipe lahir
memperlihatkan adanya persaingan pada tipe kelahiran kembar untuk mendapatkan air susu
selama masa laktasi dibandingkan dengan anak tunggal. Sehingga tingkat pertumbuhan anak
kelahiran kembar menjadi lebih rendah dari kelahiran tunggal.
Menurut Dewi dan Wardoyo (2018) rataan bobot sapih lebih rendah dibanding bobot
sapih kambing Boer, sebesar 19,4 kg dan bobot badan kambing Boer pada saat disapih dapat
mencapai 20-25 kg. Namun jika dibandingkan dengan kambing Kacang dengan bobot sapih
5,87 kg, maka bobot sapih hasil persilangan tampak lebih besar. Peningkatan bobot sapih ini
disebabkan oleh adanya efek heterosis, dimana hasil persilangan menampilkan performans
yang lebih unggul dibandingkan dengan rataan kedua tetuanya. Perbedaan bobot sapih dapat
disebabkan oleh perbedaan manajemen terutama aspek pemberian pakan induk saat menyusui,
dimana kualitas dan kuantitas pakan yang diberikan akan mempengaruhi produksi susu induk
dan secara langsung akan mempengaruhi pertumbuhan anak sebelum disapih sehingga akan
berpengaruh terhadap bobot sapih.
Hasil perhitungan penimbangan bobot lahir dan bobot hidup saat ternak disapih
menunjukkan bahwa rataan pertambahan bobot hidup harian prasapih berbeda. Angka
pertambahan bobot hidup harian kambing persilangan Boerka lebih berat dari pada
pertambahan bobot hidup harian kambing Kacang. Penggunaan pejantan Boer, ras kambing
tipe besar merupakan kontributor utama terhadap tingginya laju pertumbuhan kambing
Boerka. Kambing Boer termasuk tipe pedaging dengan laju pertumbuhan tinggi yang dapat
mencapai 250 g/hari, tergantung pada pakan yang dikonsumsi.
Laju pertumbuhan kambing Boerka selama pascasapih masih tergolong tinggi
dibandingkan dengan kambing Kacang. Pada umur antara 3 sampai dengan 6 bulan, misalnya
laju pertumbuhan kambing Boerka lebih tinggi rata-rata 42% dibandingkan dengan kambing
Kacang (Simon dan Fera,2008). Laju pertumbuhan yang lebih tinggi memungkinkan kambing
Boerka mencapai bobot potong pada umur yang lebih muda. Laju pertumbuhan kambing
Boerka tersebut relatif sebanding dengan laju pertumbuhan kambing silangan Boer x East
Africa
Tabel 2. Pertambahan Bobot Badan Harian (PBHH), (Simon dan Fera,2008)
Menurut Sumadi (2009) Laju pertambahan bobot hidup harian prasapih anak jantan
(69,46 ± 31,76 g ekor hari daripada anak betina (56,52 ± 27,59 g ekor lebih cepat dengan
selisih laju pertumbuhannya yakni 18,63%. Hal ini diduga anak jantan lebih mampu untuk
bersaing mendapatkan air susu induk daripada anak betina. Perbedaan sekresi hormon
pertumbuhan yang diketahui pada umumnya anak jantan lebih aktif dari pada anak betina
menyebabkan bobot hidup anak kambing jantan lebih berat daripada anak betina
Karakteristik sifat morfologi (ukuranukuran tubuh) dan sifat produksi bisa dijadikan
standar untuk menilai produktivitas ternak kambing. Dimana ukuran–ukuran tubuh dapat
memberikan gambaran eksterior seekor ternak dan membantu menentukan bobot hidup serta
dijadikan pedoman dasar seleksi dalam program pemuliaan ternak. Karakteristik fisik yang
diharapkan dari persilangan kambing Boer dan Kacang adalah menyerupai pejantannya yaitu
kambing Boer. Karena metode persilangan yang digunakan adalah grading up (upaya cepat
untuk memperbaiki mutu genetik ternak lokal terutama untuk sifat-sifat tertentu ke arah
bangsa pejantan) maka anak yang didapatkan dikawinkan terus dengan pejantannya (Boer)
sampai diperoleh anak yang darahnya lebih banyak ke Boer.
. Ukuran - ukuran tubuh ternak dipengaruhi oleh umur, pemberian pakan, genetik,
lingkungan dan jenis kelamin. Analisa dari tabel tersebut menunjukkan perbedaan rata-rata
ukuran tubuh pada setiap genotipe ternak dan sebagian besar meningkat seiring bertambahnya
umur. Menurut Syawal (2010) genotipe berpengaruh nyata (P < 0,05) terhadap lingkar dada
pada kambing umur 1 dan 3 bulan tapi tidak berbeda nyata (P > 0,05) umur 2 bulan, hal ini
mungkin dipengaruhi faktor ketersediaan air susu induk yang mulai menurun.
Tabel 3. Rataan Lingkar dada kambing Boer, Boerka dan Kacang (Syawal,2010)
Menurut Syawal (2010) genotipe berpengaruh nyata (P < 0,05) terhadap tinggi pundak
kambing umur 1 dan 3 bulan tapi tidak berbeda nyata (P > 0,05) umur 2 bulan (Tabel 5).
Rataan tinggi pundak kambing Boer umur 3 bulan sebesar 46,1 ± 1,85. Untuk rataan tinggi
pundak kambing Kacang 41,18 ± 3,70, lebih kecil daripada kambing Boerka 42,00 ± 3,58.
Sedangkan untuk panjang badan kambing umur 1 dan 3 bulan tapi tidak berbeda nyata (P >
0,05) umur 2 bulan. Rataan panjang badan umur 3 bulan kambing Boer sebesar 46,4 ± 1,50
lebih tinggi daripada hasil penelitian yakni 44,63 ± 5,83. Untuk kambing Kacang memiliki
rataan panjang badan 41,68 ± 4,40 lebih kecil daripada kambing Boerka 43,00 ± 3,55.
Tabel 4. Rataan tinggi pundak kambing Boer, Boerka dan Kacang (Syawal,2010)
Tabel 5. Rataan panjang badan kambing Boer, Boerka dan Kacang (Syawal,2010)
Tabel 6. Karateristik karkas kambing boerka jantan > 1 tahun (Simon dan Fera,2008)
Karakteristik komponen karkas kambing Boerka relatif lebih baik dibandingkan
dengan kambing Kacang, sedangkan kandungan nutrisi maupun sifat fisik daging relative
sama antara kedua ras. Mutu karkas kambing Boerka dilaporkan tergolong ke dalam kategori
Mutu I dan serupa dengan kambing Kacang yaitu dengan karakteristik ciri penampakan agak
lembab, tekstur lembut dan kompak, warna merah khas daging, lemak panggul tebal dan bau
spesifik. Karakteristik mutu tersebut mengindikasikan bahwa daging kambing Boerka akan
dapat diterima oleh konsumen seperti halnya dengan kambing Kacang. pH daging kambing
Boerka berkisar antara 5,4 – 5,8; sebanding dengan pH daging kambing Kacang dan berada
pada rentang nilai normal untuk daging konsumsi
BAB IV
PENUTUP
Abadi, T, C.M.S. L., dan E. Purbowati.2015. Pola Pertumbuhan Bobot Badan Kambing
Kacang Betina di Kabupaten Grobogan. Animal Agriculture Journal, 4(1): 93-97
Dewi,R,K., dan Wardoyo.2018. Keunggulan Relatif Kambing Persilangan Boer dan Kacang.
Jurnal Ternak, 09(01): 13-17