Anda di halaman 1dari 30

MAKALAH REPRODUKSI TERNAK

“Kawin Alam dan Fertilisasi”

Disusun Oleh:
Kelas B
Kelompok 5

MUHAMAD CHOIRUL NIAM 200110150144


HELDA RUSMIDA LUMBAN BATU 200110150145
KHAERUNNISA SUCI A’INI 200110150147
RIRIN SITI RAHMATILLAH 200110170148
RIA SETIA LESTARI GUNAWAN 200110170173
MUHAMAD TEJA HAIKAL 200110170197

FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
SUMEDANG
2018
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur kehadirat Allah SWT karena dengan limpahan rahmat-
Nya penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Shalawat dan salam semoga
tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad SAW, keluarga, sahabat, dan pengikut
beliau hingga akhir zaman. Aamiin.
Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah
Reproduksi Ternak. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih
kepada Ibu Dr. Nurcholidah Solihati, S.Pt., M.Si. selaku dosen mata kuliah
Reproduksi Ternak yang telah memberikan arahan kepada penyusun dalam
menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul “Kawin alam dan Fertilisasi”.
Pada makalah ini penyusun menjelaskan tentang apa itu fertilisasi, syarat
terjadinya fertilisasi, dan bagaimana proses terjadinya atau tahapan proses
terjadinya fertilisasi.
Penyusun menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan. Oleh
karena itu, penyusun mengharapkan kritik dan saran konstruktif dari pembaca
demi kesempurnaan makalah ini di kemudian hari. Akhir kata, semoga makalah
ini dapat bermanfaat bagi penyusun khususnya dan pembaca pada umumnya.

Sumedang, 25 November 2018

Penulis

ii
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL..........................................................................................i

KATA PENGANTAR ...........................................................................................ii

DAFTAR ISI..........................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN......................................................................................1
1.1 Latar Belakang.........................................................................................1
1.2 Rumusan...................................................................................................2
1.3 Tujuan.......................................................................................................2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA...........................................................................3

BAB III PEMBAHASAN.....................................................................................6


3.1 Perkawinan Alam.....................................................................................6
3.2 Fertilisasi...................................................................................................15
BAB IV PENUTUP...............................................................................................24
4.1 Kesimpulan...............................................................................................24
4.2 Saran.........................................................................................................24
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................25

iii
I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sebagaian besar hewan kemungkinan tidak memiliki perasaan sadar akan
reproduksi sebagai suatu fungsi penting dalam kehidupan mereka. Hewan
juga tidak memiliki rasa ketertarikan yang terus-menerus terhadap anggota
hewan lain yang merupakan lawan jenisnya. Hewan dalam melestarikan atau
mempertahankan jenisnya, mau tidak mau maka hewan tersebut harus
melalui suatu proses yaitu perilaku kawin. Dalam dunia vertebrata, beberrapa
peneliti telah mempelajarinya mulai dari ikan sampai mamalia, tetapi yang
paling banyak diselidiki adalah aves dan mamalia.
Perkawinan adalah suatu usaha untuk memasukan sperma ke dalam alat
kelamin betina. Perkawinan alami dilakukan oleh seekor pejantan yang
langsung memancarkan sperma kedalam alat reproduksi betina dengan cara
kopulasi. Terlebih dahulu pejantan mendeteksi kondisi berahi betina dengan
menjilati atau membau di sekitar organ reproduksi betina bagian luar setelah
itu pejantan melakukan penetrasi
Reproduksi merupakan suatu proses perkembang biakan pada ternak yang
diawali dengan bersatunya sel telur (ovum) dengan sel mani (sperma)
sehingga terbentuk zigot kemudian embrio hingga fetus dan diakhiri dengan
apa yang disebut dengan kelahiran. Pada proses reproduksi ini menyangkut
hewan betina dan jantan. Secara umum, proses reproduksi ini melibatkan dua
hal yakni, sel telur atau yang biasa disebut dengan ovum dan sel mani atau
yang biasanya disebut dengan sperma. Ovum sendiri dihasilkan olah ternak
betina melalui proses ovulasi setelah melalui beberapa tahap perkembangan
folikel (secara umum disebut dengan proses oogenesis yakni proses
pembentukan sel telur atau ovum), sedangkan sperma diproduksi oleh ternak
jantan melalui proses spermatogenesis (proses pembentukan sel gamet jantan
atau sperma yang terjadi di dalam testis tepatnya pada tubulus seminiferus).

Selain kedua hal tersebut diatas, terdapat beberapa hal yang juga
mempunyai peranan penting dalam terbentuknya sebuah proses reproduksi
yang baik. Hal tersebut adalah organ reproduksi pada ternak jantan dan betina
itu sendiri, karena hal inilahyang nantinya dapat mempengaruhi produksi
ovum dan sperma. Selain itu, proses estrus (masa keinginan kawin), ovulasi,
dan fertilisasi (proses bertemunya sel gamet jantan dan sel gamet betina) juga
sangat berperan dalam proses reproduksi.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa itu kawin alam?

2. Bagaimana manajemen perkawinan?

3. Bagaimana tingkah laku perkawinan alam pada ternak?

4. Apa itu Fertilisasi?

5. Bagaimana tahapan proses terjadinya Fertilisasi?

1.3 Tujuan

1. Untuk mengetahui pengertian kawin alam.

2. Untuk mengetahui manajemen perkawinan.

3. Untuk mengetanui tingkah laku perkawinan alam pada ternak.

4. Untuk mengetahui pengertian Fertilisasi.

5. Untuk mengetahui tahapan proses terjadinya Fertilisasi.


II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Kawin Alam

Perkawinan alami dilakukan oleh seekor pejantan yang langsung


memancarkan sperma kedalam alat reproduksi betina dengan cara kopulasi. Terlebih
dahulu pejantan mendeteksi kondisi berahi betina dengan menjilati atau membau di
sekitar organ reproduksi betina bagian luar setelah itu pejantan melakukan
penetrasi.Sapi dara yang berahi tidak langsung dikawinkan, melainkan diperiksa
kondisi fisiologinya, yaitu dengan melihat bobot badan sebagai acuan bahwa sapi
dara tersebut sudah dewasa kelamin.
Pada beberapa keadaaan, perkawinan betina sengaja ditunda dengan maksud agar
induk tidak terlalu kecil waktu melahirkan. Induk yang terlalu kecil pada waktu
melahirkan maka kemungkinan akan terjadi distokia. Umur ternak betina pada saat
pubertas mempunyai variasi yang lebih luas daripada bobot badan pada saat pubertas
(Nuryadi, 2006).
Proses tahapan perkawinan alam menurut Wodzicka antara lain :
1. Sniffing : pejantan mengendus vulva betina dan menggoyangkan ekor
2. Flehmen : pejantan mendekati atau menjilati vulva betina
3. Nudging and kicking : pejantan menggaruk betina dengan kaki atau menendang kaki
bagian belakang betina
4. Mounting : pejantan menaiki betina tanpa kopulasi
5. Kopulasi : pejantan menaiki betina disertai dengan ejakulasi pada betina

2. Fertilisasi
Fertilisasi (pembuahan) adalah suatu peristiwa penyatuan antara sel
sperma dengan sel telur dituba fallopi (Rustam mochtar,1998:18). Sedangkan
menurut Manuaba (1998:99) fertilisasi (pembuahan) adalah pertemuan inti ovum
dengan inti spermatozoa dan membentuk zigot. Fungsi utama fertilisasi adalah
untuk menyatukan kumpulan kromosom haploid dari dua individu menjadi sebuah
sel diploid tunggal, yaitu zigot (Campbell, 2004).
Proses fertilisasi ini mempertemukan kedua macam gamet dan sekaligus
mempertahankan jumlah kromosom anakan tetap diploid seperti induknya. Proses
perkawinan pada mamalia melibatkan perilaku seksual yang khas yang
dikendalikan oleh hormon seks. Selain itu, hormon seks juga mempengaruhi
siklus reproduksi pada hewan betina. Hewan betina pada umumnya menjadi
reseptif terhadap hewan jantan pada saat berada pada tahap/masa estrus. Setelah
diketahui bahwa mencit betina berada pada tahap/masa estrus, maka mencit betina
dipelihara dalam satu kandang dengan seekor mencit jantan agar terjadi
perkawinan. Mencit betina yang bunting dipisahkan dari mencit betina dan
dipelihara hingga melahirkan. Fertilitas betina diamati berdasarkan jumlah
implantasi dan jumlah anakan (Adnan, 2010).
Masuknya spermatozoa ke dalam ovum disebut pembuahan. Setelah
spermatozoa masuk, ovum jadi berhasil tumbuh jadi individu baru. Disebut juga
dengan istilah fertilisasi. Ovum yang sudah dibuahi disebut zigot. Perkataan itu
berarti berpasangan atau berhubungan. Berasal dari peristiwa berpasangannya
kedua pihak kromosom gamet, yakni pihak jantan atau patroklin dan pihak betina
atau matroklin. Masing-masing gamet mengandung 1 N kromosom disebut
haplont. Setelah terjadi pembuahan zigot terdiri dari sel yang 2N disebut diplont.
Zigot pun mengalami pertumbuhan embryologis (Yatim, 2000).
Ada dua jenis fertilisasi, yaitu fertilisasi eksternal dan fertilisasi internal.
Fertilisasi eksternal terjadi di luar tubuh, sedangkan fertilisasi internal terjadi di
dalam tubuh. Pada kebanyakan fertilisasi, bagian kepala spermatozoa masuk ke
bagian tengah sel telur (miedle piece). Terjadi penggabungan inti dan sitoplasma
spermatozoon sangat sedikit melebur dengan ooplasma yang dapat menyebebkan
perubahan fisiologis untuk menunjang proses fertilisasi. Setelah inti spermatozoon
di dalam telur menjadi besar, kromosomnya bergabung dengan sel telur. Terjadi
pembelahan mitosis dengan terbentuknya amphiaster pembelahan yang timbul
dari bagian tengah spermatozoon (Nurhayati, 2004).
Spesies yang melakukan fertilisasi eksternal umumnya menghasilkan
banyak sekali zigot, tetapi perbandingan yang bertahan hidup dan berkembang
lebih lanjut seringkali sangat sedikit jumlahnya. Fertilisasi internal umumnya
menghasilkan lebih sedikit zigot, tetapi hal tersebut bias diimbangi oleh
perlindungan yang lebih besar pada embrio dan pemeliharaan dan pengawasan
yang lebih besar atas anak oleh induk jenis utama perlindungan meliputi cangkang
telur yang resisten, perkembangan embrio di dalam saluran reproduksi induk
betina, dan pemeliharaan telur dan keturrunan oleh induk (Campbell, 2004).
Fertilisasi mulai bila sperma mulai benar-benar melekat pada telur. untuk
itu, sperma melepaskan enzim pencerna yang membuat lubang pada lapisan
protein pelengkap dan pada beberapa spesies pada sel-sel folikel sisa, yang
biasanya menyelubungi telur. kemudian sel sperma memasuki telur. telur dalam
hal ini terlihat memainkan peran penting, karena sperma terlihat tertarik ke dalam.
Unsur sitoplasmanya disusun kembali dengan cepat ( Claude, 2003).
III

PEMBAHASAN

3.1 Kawin Alam


Perilaku kawin pada hewan-hewan merupakan hal yang paling kompleks, tapi
paling banyak menarik perhatian para ahli. Bagi hewannya sendiri harus dianggap
paling penting karena tanpa perkawinan, jenisnya tidak mungkin bertahan. Pada
hewan tingkat rendah, perilaku kawin hampir seluruhnya dipengaruhi oleh
rangsang-rangsang hormonal. Tetapi tidak demikian halnya pada hewan-hewan
yang tingkat tinggi. Pengaruh luar, seperti belajar dan pengalaman, banyak ikut
menentukan.
Banyak hewan yang fertile sepanjang tahun, tetapi banyak pula yang memiliki
musim-musim kawin tertentu. Kebersamaan atau sinkronisasi antara hewan jantan
dan betina sangat diperlukan untuk terjadinya perkawinan. Musim kawin beberapa
hewan yang tergolong mamalia, ternyata dipengaruhi oleh perubahan panjang jam
siang setiap hari. Hal ini terjadi misalnya pada domba, kambing, kucing, yang dapat
berubah musim kawinnya dengan memanipulasi kondisi sinar.
Dijelaskan dalam migrasi, bahwa cahaya mempunyai pengaruh pada
permulaan timbulnya kegiatan kelamin, melalui kegiatan hipofisa terlebih dahulu.
Pada tikus-tikus betina yang sedang estrus, keinginan berkelamin mencapai
maksimum pada malam hari. Kenyataan ini menyebabkan orang berpikir, bahwa
perubahan gelap dan terang mungkin memegang peranan.
Kalau memperhatikan dua anak ekor hewan, misalnya anak ayam, maka bukan
saja kedua hewan itu tidak menunjukkan perbedaan satu sama lain, tetapi untuk
membedakan mana yang jantan dan betina pun sudah sukar. Tetapi keadaan ini akan
berubah dengan segera, setelah bekerjanya kelenjar-kelenjar kelamin dan adanya
hormone kelamin. Bukan saja tingkah lakunya yang berbeda, tetapi ciri-ciri
luarnyapun telah menunjukkan perbedaan yang nyata pada kebanyakan hewan.
Hormone kelamin betina akan memberikan cirri-ciri kebetinaan, sedang hormone
kelamin jantan akan memberikan cirri-ciri kejantanan.
Pada umumnya semua hewan jantan, memiliki sekuen kawin yang sama.
Hewan-hewan itu agresif mendekati hewan betina, mengelus leher dengan kepala
dan mulutnya, mencium kepala, daerah leher dan mulutnya kemudian menaikinya
dan kopulasi terjadi. Tetapi tingkah laku ini hilang sama sekali, bila hewan-hewan
itu dikebiri. Sedangkan hewan-hewan betina akan berlaku seperti itu pada hewan-
hewan lain, bila kepada hewan betina itu diberikan testosterone. Tingkah laku
menggandeng dan mengelilingi betina dari burung merpati dan penguin jantan,
seluruhnya dipengaruhi oleh testosterone. Bila hewan betina yang diam ketika
dikelilingi hewan jantan, diberi testosterone, maka hewan betina tersebut akan
melakukan perilaku yang sama terhadap hewan lain seperti apa yang dilakukan
hewan jantan.
Upaya peningkatan populasi ternak sapi dapat dilakukan dengan intensifikasi
kawin alam melalui distribusi pejantan unggul terseleksi dari bangsa sapi lokal atau
impor dengan empat manajemen perkawinan, yakni:
1. perkawinan model kandang individu
2. perkawinan model kandang kelompok/umbaran
3. perkawinan model rench (paddock)
4. perkawinan model padang pengembalaan
Pejantan yang digunakan berasal dari hasil seleksi sederhana, yaitu
berdasarkan penilaian performans tubuh dan kualitas semen yang baik, berumur
lebih dari dua tahun dan bebas dari penyakit reproduksi seperti EBL dan IBR.
Cara kawin alam ini dianjurkan dengan pertimbangan :
1. secara alamiah ternak sapi potong memiliki kebebasan hidup, sehingga
mendukung perkembangbiakannya secara normal
2. secara alamiah ternak sapi jantan mampu mengetahui ternak sapi betina
yang berahi
3. penanganan perkawinan secara kawin alam memerlukan biaya yang sangat
murah, tanpa adanya campur tangan manusia
4. metode kawin alam sangat efektif dan efisien, sehingga dapat digunakan
sebagai pola usaha budidaya ternak mulai dari cara intensif, semi intensif
dan ektensif, bahkan juga dilakukan di beberapa perusahaan.
3.1.2 Perkawinan di kandang invidu (sapi diikat)
Kandang individu adalah model kandang dimana setiap ekor sapi menempati
dan diikat pada satu ruangan; antar ruangan kandang individu dibatasi dengaan
suatu sekat. Kandang invidu di peternak rakyat, biasanya berupa ruangan
besar yang diisi lebih dari satu sapi, tanpa ada penyekat tetapi setiap sapi diikat
satu persatu. Model Perkawinan kandang individu dimulai dengan melakukan
pengamatan birahi pada setiap ekor sapi induk dan perkawinan dilakukan satu
induk sapi dengan satu pejantan (kawin alam) atau dengan satu straw (kawin
IB).
Biasanya kandang individu yang sedang bunting beranak sampai menyusui
pedetnya. Pengamatan birahi dapat dilakukan setiap hari pada waktu pagi dan
sore hari dengan melihat gejala birahi secara langsung dengan tanda-tanda
estrus. Apabila birahi pagi dikawinkan pada sore hari dan apabila birahi sore
dikawinkan pada besuk pagi hingga siang. Persentase kejadian birahi yang
terbanyak pada pagi hari. Setelah 6-12 jam terlihat gejala birahi, sapi induk
dibawa dan diikat ke kandang kawin yang dapat dibuat dari besi atau kayu,
kemudian didatangkan pejantan yang dituntun oleh dua orang dan dikawinkan
dengan induk yang birahi tersebut minimal dua kali ejakulasi.
Setelah 21 hari (hari ke 18-23) dari perkawinan, dilakukan pengamatan
birahi lagi dan apabila tidak ada gejala birahi hinggga dua siklus (42 hari)
berikutnya, kemungkinan sapi induk tersebut berhasil bunting. Untuk
meyakinkan bunting tidaknya, setelah 60 hari sejak di kawinkan, dapat
dilakukan pemeriksaan kebuntingan dengan palpasi rektal, yaitu adanya
pembesaran uterus seperti balon karet (10-16 cm) dan setelah hari ke 90
sebesar anak tikus. Induk setelah bunting tetap berada dalam kandang individu
hingga beranak, namun ketika beranak diharapkan induk di keluarkan dari
kandang individu selama kurang lebih 7-10 hari dan selanjutnya dimasukkan
ke kandang invidu lagi.
3.1.3 Perkawinan kandang kelompok
Kandang terdiri dari dua bagian, yaitu sepertiga sampai setengah luasan
bagian depan adalah beratap/diberi naungan dan sisanya di bagian belakang
berupa areal terbuka yang berpagar sebagai tempat pelombaran. Ukuran
kandang (panjang x lebarnya) tergantung pada jumlah ternak yang menempati
kandang, yaitu untuk setiap ekor sapi dewasa membutuhkan luasan sekitar 20-
30 m2. Bahan dan alatnya: dibuat dari semen atau batu padas, dinding terbuka
tapi berpagar, atap dari genteng serta dilengkapi tempat pakan, minum dan
lampu penerang.
Manajemen perkawinan model kandang kelompok dapat dilakukan oleh
kelompok tani atau kelompok perbibitan sapi potong rakyat yang memiliki
kandang kelompok usaha bersama (cooperate farming system) dengan tahapan
sebagai berikut: Induk bunting tua hingga 40 hari setelah beranak (partus)
diletakkan pada kandang khusus, yakni di kandang bunting dan atau menyusui.
Setelah 40 hari induk dipindahkan ke kandang kelompok dan dicampur dengan
pejantan terpilih dengan kapasitas sapi sebanyak 10 ekor betina (induk atau
dara) dan dikumpulkan menjadi satu dengan pejantan dalam waktu 24 jam
selama dua bulan.
Setelah dua bulan dikumpulkan dengan pejantan dilakukan pemeriksaan
kebuntingan (PKB) dengan cara palpasi rectal terhadap induk-induk sapi
tersebut (perkawinan terjadi secara alami tanpa diketahui yang kemungkinan
pada malam hari atau waktu tertentu yang tidak diketahui.
3.1.4 Perkawinan model mini
Sapi induk yang positif bunting dipisah dari kelompok tersebut dan
diganti dengan sapi yang belum bunting atau hasil pemeriksaan kebuntingan
dinyatakan negatif. Bahan dan alat berupa ren berpagar 30 x 9 m2 yang
dilengkapi dengan tempat pakan dan minum beralaskan lantai paras dan
berpagar serta dilengkapi juga tempat pakan hay, diantaranya jerami padi kering
atau kulit kedele kering.
Kapasitas kandang dapat berisi satu ekor pejantan dengan 30 ekor induk (1:30)
dengan pemberian pakan secara bebas untuk jerami kering dan 10 % BB
rumput, 1 % BB untuk konsentrat diberikan secara bersamasama dua kali sehari
pada pagi dan sore. Induk setelah 60 hari melahirkan dipindahkan ke areal rench
dan dicampur dengan pejantan terpilih dengan kapasitas sapi sebanyak 30 ekor
betina (induk atau dara) dan dikumpulkan dengan satu pejantan dalam
sepanjang waktu (24 jam) selama dua bulan;
Setelah dua bulan dikumpulkan dengan pejantan dilakukan pemeriksaan
kebuntingan dengan cara palpasi rektal terhadap induk sapi (perkawinan terjadi
secara alami tanpa diketahui yang kemungkinan pada malam hari atau waktu
tertentu yang tidak diketahui);
3.1.5 Perkawinan model padang pengembalaan
Pada model ini kapasitas areal angonan sangat luas dan dapat diangon hingga
ratusan ekor betina dan beberapa pejantan, yakni hingga 60-100 ekor induk
dengan 2-3 pejantan (rasio betina : pejantan 100:3 dengan memperoleh hijauan
pakan rumput atau tanaman hutan). Di sini pergantian pejantan dilakukan setiap
setahun sekali guna menghindari kawin keluarga.
3.1.6 Nafsu kawin
Nafsu kawin dapat ditandai dengan respon pejantan pertama kali
melihat betina berahi dan jumlah menaiki. Rival dan Chenoweth (1982)
menyatakan bahwa domba jantan yang tidak mempunyai respon terhadap betina
berahi dikelompokan kepada domba jantan dengan nafsu kawin rendah. Soenaryo
(1988) menyaakan bahwa pejantan yang mempunyai nafsu kawin lemah atau
tidak ada sama sekali adalah patologik dan merupakan infertilitas. Beragamnya
nafsu kawin dapat dipengaruhi oleh beragamnya umur ternak, kesehatan dan
tingkat kegemukan.
Faktor-faktor seperti rangsangan penciuman yang dikeluarkan oleh ternak
betina berahi yang berasal dari urine atau dari berbagai bagin tubuh yakni alat
keamin luar, moncong dan lain sebagainya dapat merangsang pejantan untuk
mengawini betina (Toelihere, 1981) Hasil pengamatan hastono et al (1977)
menunjukan bahwa dengan meningkatnya umur pada kambing PE jantan, respon
untuk menaiki betina berahi semakin cepat.
Banyak sedikitnya jumlah menaiki dipengaruhi beberapa hal. Salah satu
diantaranya adalah ukuran tubuh pejantan yang terlalu besar disbanding dengan
betina berahi yang dikawininya sehingga pejantan mengalami kesulitan
untukmelakukan perkawinan (Setiadi, 990). Hastono et al (1997) melaporkan
bahwa semakin besar jumlah kambing PE betina berahi dalam satu kelompok,
maka respon kambing PE jantan untuk menaiki kambing betina berahi semakin
tinggi. Apabila hanya satu ekor betina berahi yang dikawini, nafsu kawin pada
ternak jantan akan turun. Seperti yang diutarakan Toelihere (1981) bahwa apabila
domba jantan dikawinkan secara terus menerus dengan betina yang sama akan
mengalami kepuasan seksual. Devandra dan burn (1994) menyatakan bahwa
salah satu penyebab kegagalan reproduksi adalah karena cekaman panas yaitu
dapat berupa nafsu kawin dan fertilitas yang rendah pada hewan jantan.
Sebaliknya, hasil penelitian Rival dan Chenoweth (1982) menunjukan bahwa
nafsu kawin tidak dipengaruhi oleh waktu, yaitu pagi hari dari jam 6.30-10.00
dan sore hari dari jam 14.30-18.00.
3.1.7 Kemampuan kawin
Salah satu faktor yang mempengaruhi kemampuan kawin adalah bangsa
(Toelihere, 1981). Beberapa indikator yang dapat dijadikan patokan untuk menilai
kemampuan kawin pada ternak yaitu, ejakulasi pertama, jumlah ejakulasi, selang
ejakulasi,. Akan tetapi yang paling penting untuk menilai kemampuan kawin
adalah berapa kali seekor pejantan dapat melakukan peerkawinan dalam satuan
waktu tertentuyang ditandai dengan banyaknya jumlah ejakulasi. Toelihere (1981)
menyatakan bahwa ragsang visual memegang peranan penting dalam
pengendalian aspek-aspek tertentu dari kelakuan kelamin, yaitu pejantan di
stimulir oleh kehadiran seekor betina yang sedang berahi. Lebih lanjut hasil
pengamatan Kilgour yang di kutip oleh Fowler (1984) disebutkan bahwa
kemampuan kawin domba jantan dilapangan lebih baik bila dibanding dengan di
dalam kandang.
Perkins et al (1992) menyatakan bahwa domba jantan yang mempunyai
kemampuan kawin tinggi apabila dalam waktu 30 menit minimal 6 kali ejakulasi,
sedangkan yang rendah maksimum 2 kali ejakulasi. Edward et al (1992) domba
jantan mempunyai penampilan seksual yang tinggi apabila rata-rata jumlah
ejakulasi 5.5 kali atau lebih, sedangkan yang rendah rata-rata3.5 kali atau kurang
dalam waktu 30 menit. Edward et al (1996) menyatakan bahwa domba jantan
yang berumur 2 tahun 9 bulan untuk mencapai 6 kali ejakulasi membutuhkan
waktu rata-rata 29 menit bagi yang berpenampilan seksual tinggi, sedangkan yang
rendah memerlukan waktu rata-rata 77.6 menit untuk mencapai 6 kali ejakulasi.
Toelihere (1981) dikatakan bahwa timbulnya kembali aktivitas seksual yang
berbeda-beda itu tergantung jenis, bangsa, dan individual ternak. Lebih lanjut
dikatakan nahwa apabila kondisi iklim memuaskan, waktu siang atau malam
tidak mempengaruhi aktivitas seksual, akan tetapi pada keadaan tertentu
perkawinan banyak terjadi di malam hari. Ashmawy (1979) dalam devendra dan
burn (1994) mendapatkan pada kambing baladi di mesir bahwa jumlah ejakulasi
dan waktu kelelahan berbeda secara nyata antara musim. Pada musim semi
jumlah ejakulasi rendah dan cepat lelah. Jumlah ejakulasi dapat ditingkatkan
dengan meningkatkan frekuensi kawin yaitu dengan jalan menukar betina berahi
yang dikawininya.
Toelihere (1981) menyatakan bahwa frekuensi kawin berbeda-beda menurut
iklim, jenis bangsa, individu, seks ratio dan ruangan yan tersedia. Selanjutnya
faktor lainnya yang berpengaruh terhadap kemampuan kawin adalah umur ternak.
Hastono et al (1997) melaporkan bahwa semakin besar jumlah kambing PE betina
birahi dlam satu kelompok, maka respon kambing PE jantan untuk ejakulasi
semakin tinggi. Synot et al (1981) yang di kutip tilbrook (1984) dalam setiadi
(1990) melaporkan bhwa domba-domba jantan yang ditempatkan dalam kandang
yang berisi 8 ekor betina birahi, rata-rata terjadi 12 kali ejakulasi per hari.
3.2 Tingkah Laku Perkawinan Alam Ternak
1. Sapi
Perkawinan alami dilakukan oleh seekor pejantan yang langsung
memancarkan sperma kedalam alat reproduksi betina dengan cara
kopulasi.
Terlebih dahulu pejantan mendeteksi kondisi berahi betina
dengan menjilati atau membau di sekitar organ reproduksi betina bagian
luar setelah itu pejantan melakukan penetrasi. Tanda tanda birahi pada
sapi betina adalah :
a. ternak gelisah
b. sering berteriak
c. suka menaiki dan dinaiki sesamanya
d. vulva : bengkak, berwarna merah, bila diraba terasa hangat (3 A
e. dari vulva keluar lendir yang bening dan tidak berwarna
f. nafsu makan berkurang
g. gejala birahi ini memang harus diperhatikan minimal 2 kali sehari oleh
pemilik ternak.
Jika tanda-tanda birahi sudah muncul maka pemilik ternak tersebut tidak
boleh menunda laporan kepada petugas. Betina-betina yang berahi mempunyai
vulva yang lembab, lender bening seringkali nampak keluar dari vulva. Betina
yang dalam fase lain dalam siklus berahi bisa jadi menaiki betina lain, tetapi
tidak mau jika dinaiki, oleh karena itu betina diam dinaiki merupakan tanda
tunggal yang kuat bahwa betina dalam keadaan berahi. Jika seekor betina
memasuki siklus berahi, manakala betina tersebut dalam keadaan fertile,
dimana betina ini berovulasi atau melepas sel telur dari ovariumnya.
Waktu terbaik unatu menginseminasi dalah jika betina dalam keadaan
standing heat, yaitu sebelum terjadi ovulasi. Satu hal yang dianjurkan untuk
mengadakan pendeteksian berahi adalah denga cara menempatkan sapi-sapi
dara atau induk pada sebuah padang penggembalaan deteksi berahi. Padang
penggembalaan ini seyogyanya cukup luas, memungkinkan betina-betina bisa
kesana-kemasi dan bebas merumput, namun juga tidak terlalu luas, sehingga
operator dapat mengadakan deteksi berahi dengan mudah.
Satu kunci sukses dalam deteksi berahi adalah lamanya waktu untuk
mengamati betina-betina, memeriksa tanda-tanda berahi, adalah dianjurkan
bagi operator meluangkan waktu selama minimal 30 menit pada pagi hari dan
30 menit pada sore hari. Operator juga dianjurkan memperhatikan betina-
betina pada waktu-waktu yang sama setiap hari.
2. Kuda
Kuda merupakan hewan yang bersifat nomadik dan bersemangat
tinggi. Dalam keadaan liar efisiensi reproduksi kuda dapat mencapai 90 %
atau lebih tetapi dalam kondisi domestic dengan adanya campur tangan
manusia tingkat efisiensi reproduksinya sangat menurun. Hal itu disebabkan
oleh kurangnya kesempatan latihan fisik, penyakit serta manajemen
pemeliharaan yang belum baik. Seekor kuda betina dara akan mencapai
pubertas pada umur 12 sampai 15 bulan, tetapi lebih baik dikawinkan setelah
mencapai umur 2 tahun karena kuda betina yang dikawinkan pada umur yang
muda tingkat kebuntingannya rendah. Siklus estrus seekor kuda betina rata-
rata 21 hari dengan kisaran waktu antara 10 sampai 37 hari. Periode birahinya
rata-rata 4 sampai 6 hari.
Tanda-tanda birahi kuda meliputi gelisah, ingin ditemani kuda lain, urinasi
berulang kali serta pembengkakan dan pergerakan vulva. Saat kawin ovulasi
terjadi pada saat-saat akhir periode estrus. Telur yang dihasilkan dapat hidup
selama 6 jam sedangkan sperma pejantan dapat bertahan hidup sekitar 30 jam
dalam saluran reproduksi betina. Rata-rata masa kebuntingan kuda 335 hari
dengan kisaran 315 sampai 350 hari. Pemeriksaan kebuntingan dapat
dilakukan dengan melakukan palpasi rectal sekitar 60 hari setelah kawin.
Tanda-tanda awal kelahiran berupa membesarnya ambing, otot-otot vulva
berelaksasi, ligamentum pelvis berelaksasi, menjauhi kuda lain (menyendiri ),
gelisah.
Perilaku kawin kuda sangat berbeda dari hewan lain. Kuda bertanggung
jawab atas segalah sesuatu dalam reproduksi, termasuk periode kehamilan,
laktasi, kelahiran dan siklus estrus. Kuda memiliki dua ovarium dari 7-8 cm
panjangnya. Seorang peternak kuda harus mengetahui siklus reproduksi ternak
kudanya. Kuda betina dan kuda jantan pasangan satu sama lain pada waktu
tertentu dan kesempatan. Perilaku perkawinan kuda menunjukkan bahwa
mereka tidak biasanya pasangan dalam lingkungan sosial. Kuda-kuda
membutuhkan banyak ruang terbuka untuk pasangan. Perkembangbiakan kuda
sangat berbeda dari perkawinan mereka. Persis seperti anjing, ketika kuda
yang dibesarkan, maka pasangan dipilih dengan sangat hati-hati. Selain itu,
pasangan ini dipilih dengan melihat kualitas dan sifat bahwa kuda telah.
Sifat-sifat kuda dalam kombinasi dari sifat-sifat kuda betina itu adalah
apa yang membuat pasangan ideal untuk terjadi. Dalam lingkungan alam, kuda
bisa kawin dengan mudah. Dalam penangkaran, mungkin diperlukan waktu
beberapa hari untuk satu pasang kuda untuk kawin.
Karena lingkungan yang terkendali, menjadi lebih sulit bagi kuda-kuda
untuk kawin. Namun, salah satu ciri klasik dari hewan kuda adalah bahwa
ketika diperbolehkan untuk kawin pada mereka sendiri, mereka tidak salib
berkembang biak. Ada beberapa jenis kuda dan berbagai macam warna di
dalamnya. Hanya kuda pasangan dalam keturunan mereka. Ini juga bisa
menjadi salah satu alasan untuk ragu dalam pemeliharaan dengan breeds
lainnya.
3. Kambing
Tingkah laku reproduksi kambing ini menyangkut periode estrus (birahi)
dan masa kawin yang paling baik untuk kambing. Beberapa tingkah laku atau
ciri-ciri kambing betina dewasa sedang mengalami birahi antara lain:
a. Kambing mengembek (mengembik) lebih banyak dari biasanya walaupun
pakan hijauan makanan ternak tersedia di dekatnya.
b. Kambing betina dewasa terlihat gelisah.
c. Kambing betina yang birahi sering menggesek-gesekkan badannya ke
dinding kandang.
d. Vulva kambing betina membengkak dari biasanya. Dalam hal ini
peternaklah yang dapat memantau secara pasti sebab merekalah yang
paling sering berinteraksi dengan kambing tersebut.
e. Vulva terlihat memerah atau lebih merah dari biasanya.
f. Kambing betina yang sedang birahi akan tenang bila didekati pejantan
(bandot). Terkadang ada beberapa kambing betina akan menganjak
(menaiki) kawanan kambing didekatnya.
Tingkah laku kambing yang sedang birahi lainnya yang paling sering
terlihat adalah menurunnya nafsu makan. Sebenarnya bila memelihara
kambing betina dan jantan sekaligus dalam satu kandang, pola dari tingkah
laku reproduksi ini tidak terlalu penting.
Namun bila peternak kambing ingin mengembang biakkan kambing dengan
inseminasi buatan (Artificial insemination) maka perilaku birahi pada kambing
harus dipahami sedetail mungkin. Sebab 75 % tingkat keberhasilan dari
inseminasi ternak kambing maupun inseminasi sapi bergantung pada
penentuan masa birahi yang tepat. Selain dari menentukan birahi pada
kambing peternak juga sebaiknya mengetahui lama masa birahi dan lama
periode satu birahi ke estrus lainnya hal ini penting agar masa reproduksi dapat
diatur seoptimal mungkin.
4. Babi
Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa introduksi pejantan ke
sekelompok babi betina yang sebelumnya tidak berkontak dengan pejantan,
merangsang dan menyebabkan sebagian babi betina tersebut berahi pada umur
4 bulan. Betina yang berahi biasanya adalah aggressor pencari pejantan. Bila
mereka bertemu, tingkah laku kawin dan bercumbu sampai kopulasi, terlihat
perilaku kopulasi sebagai berikut :
a. Kontak cungur ke cungur.
b. Pejantan mencium alat kelamin betina (vulva).
c. Betina mencium alat kelamin jantan (penis).
d. Kontak kepala ke kepala, lagu bercanda, pejantan menggerut dan mulut
berbuih dan kencing secara ritmik.
e. Pejantan berusaha menaiki betina tetapi betina menolak.
f. Pejantan berusaha meraih betina
g. Betina memperlihatkan respons tak bergerak (immobilitas).
h. Pejantan naik dan berkopulasi, perkawinan berlangsung 10 – 20 menit.
Peranan pejantan merangsang sikap mau kawin dari betina sangat
penting. Sekitar 50% betina berahi biasanya akan berespons terhadap “uji
naik” oleh pemelihara. Respons ini meningkat melampaui 90% bila pejantan
hadir, atau bau pejantan tercium ataupun kehadiran pejantan terdengar oleh
betina berahi. Ludah pejantan mengandung senyawa berbau yang merangsang
betina berahi untuk menunjukkan sikap sedia kawin.
Ejakulasi betina biasanya didepositkan melalui corong serviks uterus
yang sedang relax. Pada saat perkawinan kelenjar pituitary betina
mengeluarkan hormone oksitoksin yang menimbulkan kontraksi ritmik uterus.
Kontraksi ini membantu transportasi sel-sel sperma ke tuba fallopi untuk
menunggu pengeluaran ovum dari folikel yang masak. Setelah mencapai
pubertas, biasanya babi betina menunjukkan berahi, atau estrus, setiap 18- 22
hari ( rata-rata 21 hari) kecuali siklus ini disela oleh kebuntingan atau kelainan
reproduksi.
3.3 Fertilisasi
Fertilisasi (pembuahan) adalah peristiwa bersatunya spermatozoa dengan sel
sperma telur, pembuahan sering kali diartikan sebagai penyerbukan. Secara
embriologi, fertilisasi merupakan pemasukan faktor-faktor hereditas pejantan ke
ovum dan melibatkan penggabungan sitoplasma dan nukleus (Toelihere, 1985).
Sel spermatozoa atau sel ovum berasal dari dua sel yang berbeda, maka
untuk dapat bertemu dan bersatu kedua unsur tersebut harus melalui
perjalanan panjang dan mengalami proses persiapan serta tempat pertemuan
harus memenuhi syarat bagi sel permatozoa dan sel ovum. Syarat untuk
terjadinya fertilisasi yaitu :
1. Sel telur harus matang
2. Harus mengalami kapasitasi husus pada spermatozoa
Pembuahan merupakan pengaktifan sel telur dan sel spermatozoa. Tanpa
ransangan sperma sel telur tidak akan mengalami pembelahan (Cleavage)
dan tidak ada perkembangan embriologi.
Dalam aspek genetik pembuahan meliputi pemasukan faktor-
faktor hereditas pejantan ke dalam sel telur. Disinilah terdapat manfaat
perkawinan atau inseminasi yaitu untuk menyatukan faktor-faktor unggul ke
dalam satu individu. Pada hampir semua mamalia, pembuahan dimulai ketika
badan kutub pertama disingkirkan, sehingga sperma menembus dan
masuk ke dalam sel telur sewaktu pembelahan reduksi ke dua berlangsung.
Proses pembuahan atau penyatuan ovum dengan spermatozoa biasanya
terjadi di bagian kaudal ampula atau di sepertiga atas tuba fallopi. Pada
proses ini, ovum masih terbungkus oleh sel-sel granulose yang berasal dari
folikel dan selubung ovum (Puja dkk, 2010).
Sel telur masuk ke dalam ampula masih dalam keadaan diselaputi oleh sel-sel
granulosa yang dilepaskan oleh folikel de graaf, sel-sel tersebut adalah sel
kumulus ooporus. Dengan demikian masuknya sel spermatozoa ke dalam sel
telur pada saat sel telur menjalani pembelahan reduksi pertama. jumlah sel
spermatozoa yang ditumpahkan kedalam saluran sel kelamin betina bisa
ratusan hingga ribuan juta, tetapi yang berhasil sampai ke tempat pembuahan
relatif sedikit, mungkin tidak sampai lebih dari 1000 sel spermatozoa.
Derajat kebuntingan rendah bisa diakibatkan dari tidak tepatnya
mengawinkan. Sel spermatozoa mengalami suatu perjalanan yang unik
sebelum berperan dalam proses pembuahan, selama perjalanan ini terjadi
serentetan perubahan pada sel spermatozoa untuk memperoleh kemampuan
fertilisasi sel telur, proses ini disebut kapasitasi, sel spermatozoa
harus dapat mengenali, menempel pada sel telur dan melakukan penetrasi pada
sel telur. Demikian juga sel gamet betina (oosit)
harus mengalami serangkaian proses biologis alamiah hingga matang, serta
fertil dan disebut ovum atau sel telur. Masing-masing bergerak saling
mendekat dan bertemu di sentral sel . Peleburan kedua pronuklei dimulai
dengan proses penyusutan inti dan jumlah pronuklei ini menurun. Membran
pronuklei pecah dan menghilang, kromosom dari sel spermatozoa dan sel
telur bersatu (amfimiksis). Metafase proses mitosis pertama dari sel telur
merupakan tanda akhir dari peleburan ke dua jenis pronklei jantan dan betina
(singami) dan sekaligus merupakan akhir proses fertilisasi.
Sel telur yang telah dibuahi ini disebut zigot yang segera mengalami
proses pembelahan menjadi embrio. Proses pembuahan ini memerlukan
waktu 12 jam pada kelinci, 16-21 jam pada domba, 20-24 jam pada sapi dan
sekitar 36 jam. Untuk masuk kedalam sel telur, sel sperma pertama-tama
harus melewati : sel-sel kumulus oophorus bila masih ada, menembus zona
pellusida, selanjutnya selaput (membrana) vitellin.
Sel-sel kumulus dapat dilewati oleh pergerakan sel spermatozoa sendiri, dan
dibantu oleh enzim hyaluronidase untuk melarutkan asam hyaluronik pada
Cumulus oophorus. Enzim tersebut mendepolimerisasi asam hyaluron-
protein. Hambatan selanjutnya adalah zona pellusida, penembusan ke dalam
zona pellusida disebabkan karena sel spermatozoa memiliki enzim, yang
disebut zonalisin. Enzim ini telah diketemukan pada babi. Sel telur bulu babi,
menghasilkan fertisin, bahan ini bereaksi dengan antrif ertilisin yang
dihasilkan oleh sel spermatozoa.
Reaksi dari kedua bahan ini menyebabkan sel spermatozoa melekat dengan
zona pellusida dan menembusnya. Setelah menembus lapisan-lapisan tersebut
akrosoma yang telah menjadi longgar selama kapasitasi akhirnya hilang dan
membentuk perforatorium. Mungkin aktivitas suatu enzim tertentu
berhubungan dengan perforatorium yang memungkinkan penerobosan zona
pellusida. Fase terakhir penetrasi sel telur, meliputi pertautan kepala sel
spermatozoa ke permukaan vitellin (Mujahid,
2012). Periode ini sangat penting karena pada saat inilah terja-
di aktivasi ovum, yang terangsang oleh pendekatan sel spermatozoa, sel telur
bangkit dari keadaan tidurnya dan terjadilah perkembangan. Kepala sel
spermatozoa dan pada beberapa species juga ekor dari sel spermatozoa
memasuki sel telur. Membran plasma sel spermatozoa dan sel telur
pecah kemudiaan bersatu membentuk selubung bersama. Sebagai akibatnya,
sperma memasuki vitellin dan selubung dari sel spermatozoa tersebut bertaut
pada membran vitellin. Pada alternatif lain, membran plasma sel spermatozoa
dapat pecah kemudian kepala sel spermatozoa yang telanjang memasuki sel
telur.

Bagian akhir proses pembuahan adalah menghilangnya anak-anak inti


berikut selaput-selaputnya, kromosom maternal mulai tampak, kemudian
bersatu menjadi satu kelompok. Pada fase tertentu selama puncak
pekembangannya, pronuklei jantan betina mengadakan kontak. Sesudah
beberapa saat ke dua pronuklei tersebut berkerut dan bersamaan dengan itu
meleburkan diri. Nukleoli tidak tampak lagi. Umur pronukleoli berkisar antara
10 - 15 jam menjelang cleavage pertama, dua kelompok kromosom mulai
kelihatan, masing-masing adalah kromosom paternal dan maternal yang
bersatu membentuk satu kelompok yang memulai profase mitosis pertama
dari cleavage. Sel telur yang telah dibuahi menjalani cleavage petama untuk
membentuk embrio dua sel. Setiap anak sel kini mengandung jumlah
kromosom diploid normal yang khas dari jenis hewan tersebut, setengahya
berasal dari sel spermatozoa dan setengahnya berasal dari sel telur.
Lamanya fertilisasi jumlah interval waktu dari penetrasi sel spermatozoa
sampai waktu cleavage pertama tidak diketahui secara pasti pada ternak,
kemungkinan besar tidak lebih dari 24jam. Lama pembuahan dihitung
berdasarkan waktu yang diperlukan sejak dimulai masuknya sel sperma ke
dalam sel telur sampai dengan dimulainya pembelahan sigot. Pada mamalia,
satu sel spermatozoa diperlukan untuk pembuahan, oleh karena
itu untuk mencegah masuknya sel spermatozoa yang lain, sel telur
mempunyai dua sistem pertahanan, yaitu zona pellusida dan selaput vitelin.
Tahanan yaitu zona pellusida adalah perubahan zona pellusida akibat
melekatnya sel spermatozoa ke dalam selaput vitelin. Perubahan ini
mengakibatkan butir-butir korteks (cortical granules) yang terdapat pada
selaput vitellin dilepaskan ke arah zona pellusida dengan demikian antara
ruang vitelin
dengan zona pellusida terdapat ruangan yang disebut ruangan perivitelin.
Ruangan perivitelin makin lama makin meluas dan permulaan perluasannya
dimulai dari tempat sel spermatozoa masuk.
Butir-butir korteks telah ditemukan pada marmut,
babi, kelinci dan bahan tersebut lenyap setelah sel spermatozoa masuk ke
dalam reaksi sel telur. Reaksi zona pellusida pada anjing dan domba sangat
cepat, sehingga jarang sekali diketemukan sel spermatozoa tambahan didalam
ruangan perivitelin. Tahanan selaput vitelin berarti bahwa selaput tersebut
hanya mengadakan tahanan pada sel spermatozoa yang pertama masuk,
sesudah itu permukaan selaput vitelin tidak lagi memberi reaksi terhadap sel
permatozoa lainnya yang akan masuk. Sel spermatozoa yang lainnya
secara kebetulan bisa lolos menembus zona pellusida tidak dapat masuk
ke dalam sitoplasma sel telur, karena ada tahanan dari selaput vitelin. Sel
spermatozoa tersebut ditampung dalam tahanan ruangan perivitelin.
Secara normal hanya satu sel spermatozoa yang memasuki sel telur.
Sering terlihat banyak sel spermatozoa bergerombol di sekeliling zona
pellusida, tetapi hanya satu sel kelamin jantan yang terdapat dalam sel telur.
Dari kenyatan ini dapat ditarik kesimpulan bahwa zona

pellusida dapat menjalani beberapa perubahan sesudah masuknya sel


spermatozoa petama dan menghalangi pemasukan sel spermatozoa yang
berikutntya. Perubahan ini disebut reaksi zona. Reaksi zona tersebut terdiri dari
suatu perubahan yang menyebar kesekeliling zona. Sel spermatozoa pertama
mengadakan kontak dengan permukaan vitellus merangsang
timbulnya perubahan tersebut yang dibawa oleh oleh beberapa zat yang keluar
dari vitellus ke arah zona. Mungkin zat tersebut dibebaskan dari granula korteks
pada sel telur yang menghilang sesudah sel spematozoa pertama memasuki sel
telur. Sel spermatozoa ekstra yang berhasil menembus zona pellusida ke ruangan
perivitellin disebut sperma suplementer.

Pada beberapa species (domba, anjing) reaksi zona relatif lebih cepat dan
efektif, jarang ditemukan sperma suplemeter kalaupun tidak sama sekali.
Pada babi, spermatozoa ekstra memasuki zona pellusida tetapi secara nomal
tidak dapat melewatinya. Kelinci tidak memperlihatkan reaksi zona dan di
dalam ruang peri vitellin sel telur yang telah dibuahi dapat
ditemukan sampai 200 sperma supplement.
Mekanisme pertahanan lainya terhadap pemasukan lebih dari satu sperma
ke dalam sel telur diperlihatkan oleh vitellus sendiri dan disebut blokade
vitellin atau blokade terhadap polyspermia. Sperma yang telah dibuahi
diambil secara aktif oleh vitellus, akan tetapi segera sesudah itu permukaan
vitellus tidak memberi respon terhadap kontak dan tidak ada lagi sel
spermatozoa yang diambil.
Spermatozoa ekstra yang berhasil memasuki vitellus, walaupun adanya
reaksi zona dan blokade vitellin,disebut sperma supernumeralia, dan sel telur
dikatakan memperlihatkan polyspermia. Efektivitas blokade vitellin berbeda-
beda menurut species. Apabila terdapat polyspermia, tetapi sel suplementer tidak
diketemukan (pada babi dan anjing), berarti blokade vitellin tidak ada atau
ditunda sampai reaksi zona dimulai. Sebaliknya pada jenis-jenis hewan seperti
kelinci, dengan banyak spema suplementer di dalam ruang peri vitellin tetapi
tidak ada polyspermia, berarti bahwa blokade vitellin terjadi secara cepat dan
efektif.
3.2 Tahapan pada Proses Fertilisasi

Tahapan-tahapan yang terjadi pada fertilisasi adalah sebagai berikut :


1. Kapasitasi spermatozoa dan pematangan spermatozoa
Kapasitasi spermatozoa merupakan tahapan awal sebelum fertilisasi. Sperma
yang dikeluarkan dalam tubuh (fresh ejaculate) belum dapat dikatakan fertil
atau dapat membuahi ovum apabila belum terjadi proses kapasitasi. Proses ini
ditandai pula dengan adanya perubahan protein pada seminal plasma,
reorganisasi lipid dan protein membran plasma, Influx Ca, AMP meningkat, dan
pH intrasel menurun.
2. Perlekatan spermatozoa dengan zona pellucida
Zona pelucida merupakan zona terluar dalam ovum. Syarat agar
sperma dapat menempel pada zona pelucida adalah jumlah kromosom harus
sama, baik sperma maupun ovum, karena hal ini menunjukkan salah satu
ciri apabila keduanya adalah individu yang sejenis. Perlekatan sperma dan
ovum dipengaruhi adanya reseptor pada sperma yaitu berupa protein.
Sementara itu suatu glikoprotein pada zona pelucida berfungsi seperti
reseptor sperma yaitu menstimulasi fusi membran plasma dengan membran
akrosom (kepala anterior sperma) luar. Sehingga terjadi interaksi antara
reseptor dan ligand. Hal ini terjadi pada spesies yang spesifik
3. Reaksi akrosom
Setelah reaksi kapasitasi, sperma mengalami reaksi akrosom,
terjadi setelahsperma dekat dengan oosit. Sel sperma yang telah
menjalani kapasitasi akanterpengaruh oleh zat – zat dari korona radiata
ovum, sehingga isi akrosom dari daerah kepala sperma akan terlepas dan
berkontak dengan lapisan korona radiata. Pada saat ini dilepaskan
hialuronidase yang dapat melarutkan korona radiata, trypsine – like agent
dan lysine – zone yang dapat melarutkan dan membantu sperma
melewati zona pelusida untuk mencapai ovum. Reaksi tersebut terjadi
sebelum sperma masuk ke dalam ovum. Reaksi akrosom terjadi pada
pangkal akrosom, karena pada lisosom anterior kepala sperma terdapat
enzim digesti yang berfungsi penetrasi zona pelucida.
4. Penetrasi zona pellucida
Setelah reaksi akrosom, proses selanjutnya adalah penetrasi zona
pelucida yaitu proses dimana sperma menembus zona pelucida. Hal ini
ditandai dengan adanya jembatan dan membentuk protein actin, kemudian
inti sperma dapat masuk. Hal yang mempengaruhi keberhasilan proses ini
adalah kekuatan ekor sperma (motilitas), dan kombinasi enzim akrosomal.
5. Bertemunya sperma dengan oosit
Apabila sperma telah berhasil menembus zona pelucida, sperma
akan menenempel pada membran oosit. Penempelan ini terjadi pada
bagian posterior (post-acrosomal) di kepala sperma yang mnegandung
actin. Molekul sperma yang berperan dalam proses tersebut adalah
berupa glikoprotein, yang terdiri dari protein fertelin. Protein tersebut
berfungsi untuk mengikat membran plasma oosit (membran fitelin),
sehingga akan menginduksi terjadinya fusi.
IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Fertilisasi adalah peristiwa bersatunya antara spermatozoa dengan sel
telur(ovum) serta syarat untuk terjadinya fertilisasi yaitu Sel telur harus
matang dan harus mengalami kapasitasi husus pada spermatozoa.
Tahapan-tahapan yang terjadi pada fertilisasi adalah kapasitasi
spermatozoa dan pematangan spermatozoa yang merupakan tahapan awal
fertilisasi. Selanjutnya Perlekatan spermatozoa dengan zona pelucida yang
merupakan lapisan terluar dari ovum. Setelah reaksi kapasitasi, sperma
mengalami reaksi akrosom, terjadi setelahsperma dekat dengan oosit. Reaksi
akrosom terjadi pada pangkal akrosom, karena pada lisosom anterior kepala
sperma terdapat enzim digesti yang berfungsi penetrasi zona pelucida.
Setelah reaksi akrosom, proses selanjutnya adalah penetrasi zona pelucida
yaitu proses dimana sperma menembus zona pelucida. Hal ini ditandai
dengan adanya jembatan dan membentuk protein actin, kemudian inti sperma
dapat masuk. Apabila sperma telah berhasil menembus zona pelucida, sperma
akan menenempel pada membran oosit.
4.2 Saran
Demikianlah makalah dari kelompok kami mengenai fertilisasi, kami
mengharapkan saran dan kritikan dari semua pembaca makalah ini agar
makalah ini menjadi lebih baik serta berdaya guna di masa mendatang.
DAFTAR PUSTAKA

Adnan. 2010. Penuntun Praktikum Perkembangan Hewan. Jurusan Biologi Fmipa


UNM : Makassar.
Campbell, N.A. 2004. Biologi Jilid 3. Erlangga : Jakarta.
Claude, dkk. 2003. Zoologi Umum. Erlangga : Jakarta.
Devandra dan Burn. 1994. Produksi Kambing di Daerah Tropis. Terjemahan Harya
Putra. ITB Bandung. Hal 117-120.
Edward, O. dkk. 1992. Measures of Libido and Their Relation to Serving Capacity
in
The Ram. J. Anim sci. 1992.30:3776-3780.
Edward, O. dkk. 1996. Pepeaten Mating With Individual Ewes by Rams Differing in
Sexual Performance. J. Anim sci. 1996.74:542-544
Hastono, I.G.M. dkk. 1997. Pengaruh Umur Terhadap Kinerja Seksual Pada
Kambing Jantan Peranakan Etawah. Prosiding seminar nasional peternakan
dan veteriner Bogor jilid 2.
Manuaba, IGB, 1998. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan dan Keluarga
Berencana untuk Pendidikan Bidan. EGC : Jakarta.
Mochtar, Rustam. (1998) . Sinopsis Obstetri, Jilid 2. Penerbit Buku Kedokteran
EGC : Jakarta.
Nurhayati, Awik Pudji Diah. 2004. Perkembangan Hewan. Program Studi Biologi,
ITS: Surabaya
Puja, I K., Suatha, I K., Heryani, S.S., Susari, N.N. W., Setiasih, N. L.E.,2010.
Embryologi Modern. Udayana University Press. Denpasar.
Rival, M.D. dan P.J. chenoweth. 1982. Libido Testing of Ram. Animal production in
Australia. proceeding of the Australian Society of Animal Production volume
143.
Soenaryo.1998. Fertilitas dan Infertilitas Pada Sapi Tropis. CV baru :Jakarta.
Toelihere, M.R.1981. Fisiologi Reproduksi Pada Ternak . Angkasa :Bandung
Toelihere, M.R. (1985). Inseminasi Buatan pada Ternak. Penerbit Angkasa.
Bandung.
Yatim. 2000. Embriologi. Tarsito : Bandung.

Anda mungkin juga menyukai