Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH PENGELOLAAN LIMBAH PETERNAKAN

KAJIAN PENGOLAHAN LIMBAH PADAT PETERNAKAN SAPI


SIMANTRI BERBASIS 2R DI KECAMATAN SERIRIT,KABUPATEN
BULELENG

Oleh :
Kelas E
Kelompok 6

MAYSHIA GAJAH 200110170159


SELVIN DHEA LARASATI 200110170103
MUHAMMAD LUTHFI NAUFALDI 200110170215
MUHAMMAD TEJA HAIKAL 200110170197
ANNISA NAHDLIATUL HAQ 200110170142
FADILA RAHMI 200110170258

FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
SUMEDANG
2019
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penyusun panjatkan kepada Allah SWT yang telah

memberikan rahmat serta karunia-Nya, sehingga penyusun berhasil

menyelesaikan makalah yang berjudul “Kajian Pengelolaan Limbah Padat

Peternakan Sapi Simantri Berbasis 2R (Reduce dan Recycle) di Kecamatan

Seririt,Kabupaten Buleleng”. Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu

tugas mata kuliah Pengolahan Limbah Peternakan.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ir. Wowon Juanda, MP. selaku

dosen mata kuliah Pengolahan Limbah Peternakan Fakultas Peternakan

Universitas Padjadjaran yang telah membimbing kami dalam kuliah ini.

Penyusun menyadari bahwa laporan akhir ini masih jauh dari

kesempurnaan, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun dari semua

pihak kami harapkan agar lebih baik lagi dalam pengerjaan laporan berikutnya.

Semoga laporan akhir ini dapat diterima dengan baik oleh semua pihak dan

bermanfaat bagi kita pembaca.

Sumedang, November 2019

Penulis.
I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Limbah peternakan merupakan sumber daya yang sangat potensial untuk

dimanfaatkan sebagai bahan baku biogas dan kompos. Biogas merupakan

campuran gas yang dihasilkan dari proses perombakan kotoran ternak sebagai

bahan organik oleh mikroorganisme dalam kondisi tanpa oksigen atau proses

anaerobik ,Teknologi umum yang digunakan untuk memperoleh biogas yakni

dengan fermentasi kotoran ternak menggunakan anaerobik digester, Digester

biogas yang banyak digunakan diantaranya jenis kubah tetap (fixed-dome), drum

mengambang (floating drum) dan reaktor balon. Produktivitas biogas yang

dihasilkan dari kotoran ternak sapi yakni 0,24 m³ biogas/kg kotoran dan 0,20-

0,30 m³ gas metana/kg VS (Volatile Solid).

Kompos merupakan pupuk organik yang berasal dari sisa tanaman dan

kotoran hewan yang telah mengalami proses dekomposisi atau pelapukan ,Selama

proses pengomposan, mikroorganisme berkembang dan melepaskan gas karbon

dioksida, air, produk organik lain serta energi. Beberapa energi digunakan untuk

metabolisme dan sisanya dikeluarkan dalam bentuk panas.


Program Simantri di Kecamatan Seririt pada tahun 2015 terdapat 13

peternakan sapi Simantri yang tersebar di 11 Desa. Pengelolaan limbah padat

yang dilakukan yakni dengan prinsip pengurangan limbah padat yaitu

melaksanakan 2R (Reduce dan Recycle). Tujuan dari penelitian ini untuk

menentukan laju timbulan dan komposisi limbah padat, mengevaluasi pengolahan

limbah padat eksisting, dan menentukan strategi penerapan pengelolaan limbah


padat berdasarkan hasil analisis SWOT (Strength Weakness, Opportunity, dan

Threats) pada peternakan sapi Simantri Kecamatan Seririt.

1.2 Identtifikasi Masalah

(1) Bagaimana proses pada laju timbulan dan komposisi limbah padat?

(2) Bagaimana cara kerja dari teknologi pengolahan biogas?

(3) Bagaimana cara kerja dari teknologi pengolahan kompos?

(4) Apa dan bagaimana proses dari analisis SWOT?

1.3 Maksud dan Tujuan

(1) Mahasiswa dapat menjelaskan proses pada laju timbulan dan komposisi

limbah padat.

(2) Mahasiswa dapat menjelaskan mengenai cara kerja dari teknologi

pengolahan biogas.

(3) Mahasiswa dapat menjelaskan mengenai cara kerja dari teknologi

pengolahan kompos.

(4) Mahasiswa dapat menjelaskan mengenai pengertian dan proses dari

analisis SWOT.
II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Limbah

2.1.1 Definisi Limbah

Limbah adalah bahan buangan tidak terpakai yang berdampak negatif

terhadap masyarakat jika tidak dikelola dengan baik. Limbah adalah sisa

produksi baik dari alam maupun hasil dari kegiatan manusia. Beberapa

pengertian tentang limbah:

(1) Berdasarkan keputusan Menperindag RI No. 231/MPP/Kep/7/1997

Pasal I tentang prosedur impor limbah, menyatakan bahwa Limbah

adalah bahan/barang sisa atau bekas dari suatu kegiatan atau proses

produksi yang fungsinya sudah berubah dari aslinya.

(2) Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 18/1999 Jo.PP 85/1999 Limbah

didefinisikan sebagai sisa atau buangan dari suatu usaha dan/atau

kegiatan manusia.

2.1.2 Limbah Cair

Limbah cair atau buangan merupakan air yang tidak dapat

dimanfaatkan lagi serta dapat menimbulkan dampak yang buruk terhadap


manusia dan lingkungan. Keberadaan limbah cair tidak diharapkan di

lingkungan karena tidak mempunyai nilai ekonomi. Pengolahan yang tepat

bagi limbah cair sangat diutamakan agar tidak mencemari lingkungan

(Mardana, 2007).
2.1.3 Karakteristik Limbah Cair

Limbah cair baik domestik maupun non domestik mempunyai beberapa

karakteristik sesuai dengan sumbernya, dimana karakteristik limbah cair dapat

digolongkan pada karakteristik fisik, kimia, dan biologi sebagai berikut (Eddy,

2008). 1. Karakteristik Fisik

Karakteristik fisik air limbah yang perlu diketahui adalah total solid, bau,

temperatur, densitas, warna, konduktivitas, dan turbidity.

a. Total Solid

Total solid adalah semua materi yang tersisa setelah proses evaporasi

pada suhu 103–105oC. Karakteristik yang bersumber dari saluran air domestik,

industri, erosi tanah, dan infiltrasi ini dapat menyebabkan bangunan

pengolahan penuh dengan sludge dan kondisi anaerob dapat tercipta sehingga

mengganggu proses pengolahan.

b. Bau

Karakteristik ini bersumber dari gas-gas yang dihasilkan selama

dekomposisi bahan organik dari air limbah atau karena penambahan suatu

substrat ke air limbah.

c. Temperatur

Temperatur ini mempengaruhi konsentrasi oksigen terlarut di dalam


air. Air yang baik mempunyai temperatur normal 8oC dari suhu kamar 27oC.

Semakin tinggi temperatur air (>27oC) maka kandungan oksigen dalam air

berkurang atau sebaliknya.

d. Density

Density adalah perbandingan antara massa dengan volume yang

dinyatakan sebagai slug/ft3 (kg/m3).


e. Warna

Air limbah yang berwarna banyak menyerap oksigen dalam air sehingga

dalam waktu lama akan membuat air berwarna hitam dan berbau.

f. Kekeruhan

Kekeruhan diukur dengan perbandingan antara intensitas cahaya yang

dipendarkan oleh sampel air limbah dengan cahaya yang dipendarkan oleh

suspensi standar pada konsentrasi yang sama (Eddy, 2008).

2. Karakteristik Kimia

Pada air limbah ada tiga karakteristik kimia yang perlu diidentifikasi yaitu

bahan organik, anorganik, dan gas.

a. Bahan organik

Pada air limbah bahan organik bersumber dari hewan, tumbuhan, dan

aktivitas manusia. Bahan organik itu sendiri terdiri dari C, H, O, N, yang

menjadi karakteristik kimia adalah protein, karbohidrat, lemak dan minyak,

surfaktan, pestisida dan fenol, dimana sumbernya adalah limbah domestik,

komersil, industri kecuali pestisida yang bersumber dari pertanian.

b. Bahan anorganik

Jumlah bahan anorganik meningkat sejalan dan dipengaruhi oleh asal

air limbah. Pada umumnya berupa senyawa-senyawa yang mengandung logam


berat (Fe, Cu, Pb, dan Mn), asam kuat dan basa kuat, senyawa fosfat senyawa-

senyawa nitrogen (amoniak, nitrit, dan nitrat), dan juga senyawa-senyawa

belerang (sulfat dan hidrogen sulfida).

c. Gas
Gas yang umumnya ditemukan dalam limbah cair yang tidak diolah

adalah nitrogen (N2), oksigen (O2), metana (CH4), hidrogen sulfida (H2S),

amoniak (NH3), dan karbondioksida (Eddy, 2008).

3. Karakteristik Biologi

Pada air limbah, karakteristik biologi menjadi dasar untuk

mengontrol timbulnya penyakit yang dikarenakan organisme pathogen.

Karakteristik biologi tersebut seperti bakteri dan mikroorganisme lainnya yang

terdapat dalam dekomposisi dan stabilisasi senyawa organik (Eddy, 2008).

2.1.4 Sumber Limbah Cair

Sumber air limbah dikelompokkan menjadi tiga kategori, yaitu:

1. Air limbah domestik atau rumah tangga

Menurut Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 112

Tahun 2003, limbah cair domestik adalah limbah cair yang berasal dari usaha

dan atau kegiatan pemukiman, rumah makan, perkantoran, perniagaan,

apartemen, dan asrama. Air limbah domestik mengandung berbagai bahan,

yaitu kotoran, urine, dan air bekas cucian yang mengandung deterjen, bakteri,

dan virus (Eddy, 2008).

2. Air limbah industri

Air yang dihasilkan oleh industri, baik akibat proses pembuatan atau
produksi yang dihasilkan industri tersebut maupun proses lainnya (Darmono,

2001). Limbah non domestik adalah limbah yang berasal dari pabrik, industri,

pertanian, perternakan, perikanan, transportasi, dan sumber-sumber lain (Eddy,

2008).

3. Infiltrasi
Infiltrasi adalah masuknya air tanah ke dalam saluran air buangan

melalui sambungan pipa, pipa bocor, atau dinding manhole, sedangkan inflow

adalah masuknya aliran air permukaan melalui tutup manhole, atap, area

drainase, cross connection saluran air hujan maupun air buangan (Eddy, 2008).

2.1.5 Dampak Limbah Cair

Limbah organik mengandung sisa-sisa bahan organik, detergen,

minyak dan kotoran manusia. Limbah ini dalam skala kecil tidak akan terlalu

mengganggu, akan tetapi dalam jumlah besar sangat merugikan. Dampak

negatif yang dapat ditimbulkan limbah cair adalah sebagai berikut:

1. Gangguan terhadap kesehatan manusia

Gangguan terhadap kesehatan manusia dapat disebabkan oleh

kandungan bakteri, virus, senyawa nitrat, beberapa bahan kimia dari industri

dan jenis pestisida yang terdapat dari rantai makanan, serta beberapa

kandungan logam seperti merkuri, timbal, dan kadmium (Eddy, 2008).

2. Gangguan terhadap keseimbangan ekosistem

Kerusakan terhadap tanaman dan binatang yang hidup pada perairan

disebabkan oleh eutrofikasi yaitu pencemaran air yang disebabkan oleh

munculnya nutrient yang berlebihan ke dalam ekosistem air, air dikatakan

eutrofik jika konsentrasi total phosphorus (TP) dalam air berada dalam rentang
35-100 µg/L dan pertumbuhan tanaman yang berlebihan (Eddy, 2008).

3. Gangguan terhadap estetika dan benda

Gangguan kenyamanan dan estetika berupa warna, bau, dan rasa.

Kerusakan benda yang disebabkan oleh garam-garam terlarut seperti korosif

atau karat, air berlumpur, menyebabkan menurunnya kualitas tempat-tempat

rekreasi dan perumahan akibat bau serta eutrofikasi (Eddy, 2008).


2.2. Biogas

Biogas merupakan gas campuran metana (CH4) karbondioksida (CO2) dan

gas lainnya yang didapat dari hasil penguraian bahan organik (seperti kotoran

hewan, kotoran manusia, dan tumbuhan) oleh bakteri metanogen. Untuk

menghasilkan biogas, bahan organik yang dibutuhkan, ditampung dalam

biodigester. Proses penguraian bahan organik terjadi secara anaerob (tanpa

oksigen). Biogas terbentuk pada hari ke-4~5 sesudah biodigester terisi penuh dan

mencapai puncak pada hari ke-20~25. Biogas yang dihasilkan sebagian besar

terdiri dari 50-70% metana (CH4), 30-40% karbondioksida (CO2) dan gas lainnya

dalam jumlah kecil (Fitria B, 2009 dalam Harsono, 2013).

Biogas dihasilkan apabila bahan-bahan organik terurai menjadi senyawa-

senyawa pembentuknya dalam keadaan tanpa oksigen (anaerob). Fermentasi

anaerob ini biasa terjadi secara alami di tanah yang basah, seperti dasar danau

dan di dalam tanah pada kedalaman tertentu. Proses fermentasi adalah penguraian

bahan-bahan organik dengan bantuan mikroorganisme. Fermentasi anaerob dapat

menghasilkan gas yang mengandung sedikitnya 50% metana. Gas inilah yang

biasa disebut dengan biogas. Biogas dapat dihasilkan dari fermentasi sampah

organik seperti sampah pasar, daun daunan, dan kotoran hewan yang berasal dari
sapi, babi, kambing, kuda, atau yang lainnya, bahkan kotoran manusia sekalipun.

Gas yang dihasilkan memiliki komposisi yang berbeda tergantung dari jenis

hewan yang menghasilkannya (Firdaus, U.I, 2009 dalam Harsono, 2013).

Biogas dapat dijadikan sebagai bahan bakar karena mengandung gas

metana (CH4) dengan persentase yang cukup tinggi dan titik nyala sebesar 645˚C-

750˚C. Komponen biogas selengkapnya adalah sebagai berikut:


Tabel 1. Komponen Penyusun Biogas

Jenis Gas Jumlah (%)

Metana (CH4) 54-70

Karbon dioksida (CO2) 27-45

Air (H2O) 0,3

Hidrogen sulfide (H2S) 0-3

Nitrogen (N2) 0,5-3

Hidrogen 5-10

Sumber: pusat informasi dokumentasi PTP- ITB.F, dalam Harsono, 2013.

2.2.1 Pembentukan biogas

Pada prinsipnya teknologi biogas adalah teknologi yang memanfaatkan


proses fermentasi (pembusukan) dari sampah organik secara anaerobik (tanpa

udara) oleh bakteri metan sehingga dihasilkan gas metan. Gas metan adalah gas

yang mengandung satu atom C dan 4 atom H yang memiliki sifat mudah terbakar

(Nandiyanto, 2007 dalam Harsono, 2013). Menurut (Haryati, 2006 dalam

Harsono, 2013), proses pencernaan anaerobik merupakan dasar dari reaktor

biogas yaitu proses pemecahan bahan organik oleh aktivitas bakteri metanogenik

dan bakteri asidogenik pada kondisi tanpa udara.

Bakteri ini secara alami terdapat dalam limbah yang mengandung bahan

organik, seperti kotoran binatang, feses manusia, dan sampah organik rumah
tangga. Bahan organik yang bisa digunakan sebagai bahan baku industri ini

adalah sampah organik, limbah yang sebagian besar terdiri dari kotoran dan

potongan-potongan kecil sisa-sisa tanaman, seperti jerami dan sebagainya serta

air yang cukup banyak. Teknologi biogas pada dasarnya memanfaatkan proses

pencernaan yang dilakukan oleh bakteri methanogen yang produknya berupa gas

methan (CH4).

Gas metan hasil pencernaan bakteri tersebut dapat mencapai 60% dari

keseluruhan gas hasil reaktor biogas sedangkan sisanya didominasi

karbondioksida (CO2). Dalam Lazuardy (2008) Secara umum menurut (Sweeten,

1979 dalam Harsono, 2013) yang disitasi oleh (Fentenot, 1983 dalam Harsono,

2013), menerangkan bahwa proses fermentasi limbah ternak di dalam tangki

pencerna dapat berlangsung selama 60-90 hari, tetapi menurut (Sahidu, 1983

dalam Harsono, 2013), hanya berlangsung 60 hari saja dengan terbentuknya gas

bio pada hari ke-5 dengan suhu pencerna 28 ̊C, sedangkan menurut (Hadi, 1981

dalam Harsono, 2013) gas bio sekitar 10-24 hari. Produksi biogas sudah

terbentuk sekitar 10 hari.

Setelah 10 hari fermentasi sudah terbentuk lebih kurang 0,1-0,2 m3/kg dari

berat bahan kering. Peningkatan penambahan waktu fermentasi dari 10 hingga 30

hari meningkatkan produksi biogas sebesar 50%. Biogas yang dihasilkan oleh
biodigester sebagian besar terdiri dari 50-70% metana (CH4), 30-40%

karbondioksida (CO2), dan gas lainnya dalam jumlah kecil (Hadi, 1981 dalam

Harsono, 2013).

Produksi biogas sudah terbentuk sekitar 10 hari. Setelah 10 hari

fermentasi sudah terbentuk lebih kurang 0,1-0,2 m3/kg dari berat bahan kering.

Peningkatan penambahan waktu fermentasi dari 10 hingga 30 hari meningkatkan


produksi biogas sebesar 50%. Biogas yang dihasilkan oleh biodigester sebagian

besar terdiri dari 50-70% metana (CH4), 30-40% karbondioksida (CO2), dan gas

lainnya dalam jumlah kecil (Hadi, 1981 dalam Harsono, 2013). Ada tiga

kelompok bakteri yang berperan dalam proses pembentukan biogas, yaitu:

1. Kelompok bakteri fermentative: Steptococci, Bacteriodes, dan

beberapa jenis Enterobactericeae

2. Kelompok bakteri asetogenik: Desulfovibrio

3. Kelompok bakteri metana: Mathanobacterium, Mathanobacillus,

Methanosacaria, dan Methanococcus.

Bakteri methanogen secara alami dapat diperoleh dari berbagai

sumber seperti air bersih, endapan air laut, sapi, kambing, lumpur (sludge)

kotoran anaerob ataupun TPA (Tempat Pembuangan Akhir) (Kamase

Care, 2009, Harsono, 2013).

Secara garis besar proses pembentukan biogas dapat dilihat pada

Gambar 1 dan dibagi dalam tiga tahap yaitu: hidrolisis, asidifikasi

(pengasaman) dan pembentukan gas metana.


Gambar 1. Proses Pembentukan Biogas.

Organik seperti sampah pasar, daun daunan, dan kotoran hewan

yang berasal dari sapi, babi, kambing, kuda, atau yang lainnya, bahkan

kotoran manusia sekalipun. Gas yang dihasilkan memiliki komposisi yang

berbeda tergantung dari jenis hewan yang menghasilkannya (Firdaus, U.I,

2009 dalam Harsono, 2013).Biogas dapat dijadikan sebagai bahan bakar

karena mengandung gas metana (CH4) dengan persentase yang cukup

tinggi dan titik nyala sebesar 645˚C-750˚C. Komponen biogas

selengkapnya adalah sebagai berikut:

Tabel 1. Komponen Penyusun Biogas

Jenis Gas Jumlah (%)

Metana (CH4) 54-70

Karbon dioksida (CO2) 27-45

Air (H2O) 0,3

Hidrogen sulfide (H2S) 0-3

Nitrogen (N2) 0,5-3

Hidrogen 5-10

Sumber: pusat informasi dokumentasi PTP- ITB.F, dalam Harsono, 2013.


2.3 Kompos

Kompos merupakan pupuk yang berasal dari sisa-sisa bahan organik yang

dapat memperbaiki sifat fisik dan struktur tanah, meningkatkan daya menahan

air, kimia tanah dan biologi tanah. Sumber bahan pupuk kompos antara lain

berasal dari limbah organik seperti sisa-sisa tanaman (jerami, batang, dahan),

sampah rumah tangga, kotoran ternak (sapi, kambing, ayam, itik), arang sekam,

abu dapur dan lainlain (Rukmana, 2007).

Pupuk organik dalam bentuk yang telah dikomposkan ataupun segar

berperan penting dalam perbaikan sifat kimia, fisika dan biologi tanah serta

sumber nutrisi tanaman. Penggunaan kompos/pupuk organik pada tanah

memberikan manfaat diantaranya menambah kesuburan tanah, memperbaiki

struktur tanah menjadi lebih remah dan gembur, memperbaiki sifat kimiawi

tanah, sehingga unsur hara yang tersedia dalam tanah lebih mudah diserap oleh

tanaman, memperbaiki tata air dan udara dalam tanah, sehingga akan dapat

menjaga suhu dalam tanah menjadi lebih stabil, mempertinggi daya ikat tanah

terhadap zat hara, sehingga mudah larut oleh air dan memperbaiki kehidupan

jasad renik yang hidup dalam tanah. Untuk memperoleh kualitas kompos yang

baik perlu diperhatikan pada proses pengomposan dan kematangan kompos,

dengan kompos yang matang maka frekuensi kompos akan meracuni tanaman
akan rendah dan unsur hara pada kompos akan lebih tinggi dibanding dengan

kompos yang belum matang. (Rukmana, 2007).

Pengomposan merupakan proses penguraian bahan organik atau proses

dekomposisi bahan organik dimana didalam proses tersebut terdapat berbagai

macam mikrobia yang membantu proses perombakan bahan organik tersebut

sehingga bahan organik tersebut mengalami perubahan baik struktur dan


teksturnya. Bahan organik merupakan bahan yang berasal dari mahluk hidup baik

itu berasal dari tumbuhan maupun dari hewan.

Adapun prinsip dari proses pengomposan adalah menurunkan C/N bahan

organik hingga sama atau hampir sama dengan nisbah C/N tanah (< 20 3. Tidak

ada aktivitas serangga atau larva pada akhir pengomposan 4. Hilangnya bau tidak

sedap 5. Muncul warna putih atau abu-abu karena berkembangnya antinomicetes

6. Perubahan warna menjadi coklat sampai hitam 11 11 7. Tekstur kompos remah

dan apabila digunakan pada tanah memberikan efek positif untuk pertumbuhan

tanaman.

Selain beberapa pendekatan tersebut beberapa pihak seperti perusahaan

memiliki standar kualitas kompos sendiri. Adapun standar kualitas kompos yang

diajadikan acuan oleh bebeapa perusahaan atau asosiasi dapat dilihat dalam tabel

1. Tabel 1: Standar kualitas kompos salah satu perusahaan dan asosiasi Parameter

mutu Satuan Standar mutu PT. Mekaro Daya Mandiri (1995) Asosiasi Bark

Kompos Jepang dalam harada et al (1993) Fisik Kotoran - Tidak ada - Warna -

Coklat tua - Bau - Sedikit - Kadar air % 10-20 55-65 pH - 5,5-6,5 5,5-7,5 Daya

ikat % 100-150 - Biologi Uji benih* - - Dapat diterima Kimia Bahan % - - C/N -

Maks 20 1,2 N tersedia % 50-70 - P2O5 % 1-1,5 >0,5 K2O % 1-1,5 >0,3 KTK

Meq/100 g 75-100 >70 Logam % Tidak ada - Daun jati merupakan limbah yang
belum banyak dimanfaatkan.

Limbah daun jati merupakan salah satu limbah yang kita jumpai

bertumpukan dan banyak terlihat pada saat musim kemarau. Limbah daun jati ini

merupakan hasil dari proses gugurnya daun jati akibat adanya proses

pengurangan penguapan oleh tanaman jati itu sendiri. 12 12 Tanaman jati

merupakan tanaman yang masuk kedalam family Verbenaceae yang dapat


tumbuh pada tanah yang subur, dengan pH tanah 6,5 – 7 serta berdrainase baik.

Selain itu tanaman jati dapat tumbuh pada cahaya matahari penuh dan sangat

sensitif terhadap adanya naungan (Keiding, 1985).

Tanaman jati dapat tumbuh di tanah latosol, andosol dan aluvial, bahkan

pada tanah yang mengandung kapur tanaman jati masih dapat tumbuh (Hamzah,

1983). Pada penelitian Hapsari (2001), daun jati memiliki kandungan unsur hara

yaitu N= 1,77%, C= 72,08%, P= 0,22%, K= 0,43%, Ca= 0,80%, Mg= 0,18% dan

Fe = 11.468 ppm, Namun setelah daun jati menjadi kompos, limbah ini memiliki

kanduagan unsur hara yang meningkat yaitu unsur hara N=2,40%, P=0,42%,

K=0,435, Ca= 1,05%, Mg=0,70% dan Fe=10,103 ppm. Selain itu pada proses

pengomposan daun jati memiliki hasil akhir kompos yang remah, warna berubah

menjadi hitam, rasio C/N menjadi 18,68 dan pH kompos mendekati netral yaitu

7,1.
III

PEMBAHASAN

3.1 Laju Timbulan dan Komposisi Limbah Padat

Seiring bertambahnya peternakan sapi di Indonesia maka akan semakin

banyak juga limbah yang dihasilkan. Adanya pertambahan peternakan di Simantri

Kecamatan Seririt menyebabkan bertambahnya jumlah timbulan limbah

peternakan yang dihasilkan sehingga diperlukan sistem pengumpulan limbah

yang baik untuk mengelola limbah peternakan di Simantri Kecamatan Seririt.

Pengukuran laju timbulan dan komposisi limbah padat di peternakan sapi

Simantri Kecamatan Seririt berdasarkan SNI 19-3964-1994 yang dilakukan

selama 8 hari berturut-turut. Pengukuran ini dilakukan di Peternakan Sapi

Simantri Suka Jaya Makmur, Mayong Pengulkulan, Eka Santhi, Sari Mekar, dan

Madu Amerta.

Menurut data yang didapatkan pada jurnal Teknik ITS Vol. 5 No. 2 Pada

Simantri Suka Jaya Makmur diperoleh rata-rata laju timbulan sebagai berikut :
Gambar 2. Rata-rata laju timbulan dan komposisi limbah padat per ekor

sapi pada 5 peternakan sapi Simantri

Simantri Suka Jaya Makmur dengan rata-rata laju timbulan kotoran

sapi per ekor terbesar dari peternakan lainnya. Hal tersebut disebabkan oleh

ukuran sapi pada peternakan ini lebih besar dibandingkan peternakan lainnya.

Sedangkan, Simantri Madu Amerta menghasilkan rata-rata laju timbulan sisa

pakan per ekor terbesar karena jumlah pakan yang diberikan tiap harinya lebih

banyak dari peternakan lainnya. Simantri Sari Mekar dengan rata-rata laju

timbulan sisa pakan dan kotoran sapi per ekor terkecil dari peternakan lainnya.

Hal ini disebabkan oleh ukuran sapi, jumlah pakan dan frekuensi pakan pada

peternakan ini lebih kecil dibandingkan peternakan lainnya.

Data rata-rata laju timbulan kotoran sapi tersebut selanjutnya digunakan

sebagai dasar perhitungan laju timbulan limbah padat total pada peternakan sapi

Simantri Kecamatan Seririt. Hasil perhitungan laju timbulan dan komposisi

limbah padat peternakan sapi Simantri Kecamatan Seririt yaitu sebagai berikut :
Laju
Laju Laju
Timbulan
Nama Jumlah Timbulan Timbulan
Limbah
No Kelompok Sapi Sisa Pakan Kotoran
Padat Total
Tani (kg/hari) Sapi
(kg/hari)
(kg/hari)
a b c d e f=d+e
1 Amerta 7 7,49 50,96 58,45
Nadi
2 Puncak 21 22,47 152,88 175,35
Manik
3 Munduk 21 22,47 152,88 175,35
Sari
4 Werdhi Nara 21 22,47 152,88 175,35
Hita
5 Eka Santhi 28 29,96 203,84 233,8
6 Tani 23 24,61 167,44 192,05
Mandiri
7 Sari Mekar 24 25,68 174,72 200,4
8 Madu 23 24,61 167,44 192,05
Amerta
9 Suka Jaya 21 22,47 152,88 175,35
Makmur
10 Bakti Gopala 24 25,68 174,72 200,4
11 Madu Merta 25 26,75 182 208,75
Mayong
12 Pengulkulan 21 22,47 152,88 175,35
13 Murdha 25 26,75 182 208,75
Sadhana
Total Laju Timbulan
303,88 2067,52 2371,40
(kg/hari)

3.2 Teknologi Pengolahan Biogas

Peternakan di Simantri Suka Jaya Makmur dan Mayong Pengulkulan

masih beroperasi teknologi pengolahan biogasnya. Sedangkan teknologi

pengolahan biogas pada Simantri Eka Santhi, Sari Mekar dan Madu Amerta tidak

beroperasi. Hasil pengukuran lama penggunaan kompor biogas pada Simantri

Suka Jaya Makmur yaitu 1 jam 15 menit. Pada Simantri Mayong Pengulkulan

menghasilkan lama penggunaan pada kompor biogas 1 jam 21 menit atau pada

lampu biogas 1 jam 44 menit. Pada umumnya penyebab permasalahan biogas


pada Simantri Eka Santhi, Sari Mekar dan Madu Amerta tidak beroperasi karena

keterbatasan kapasitas pengolahan biogas, sarana dan prasarana biogas dalam

kondisi yang kurang baik. Selain itu, adanya kendala distribusi biogas karena

jarak dengan rumah penduduk sangat jauh dan kesulitan memperoleh sarana

penunjang seperti kompor dan lampu biogas.


3.3 Teknologi Pembuatan Kompos

Pada saat evaluasi kondisi pembuatan kompos, Simantri Suka Jaya

Makmur dan Eka Santhi masih melakukan pembuatan kompos. Sedangkan

Simantri Mayong Pengulkulan, Madu Amerta dan Sari Mekar tidak melakukan

pembuatan kompos. Produktivitas kompos pada Simantri Suka Jaya Makmur

pada tahun 2015 yaitu 13,70 ton. Produktivitas kompos pada Simantri Eka Santhi

pada tahun 2015 yaitu 76,16 ton. Kendala dalam pembuatan kompos ini yaitu

tidak dapat dilakukan pembuatan kompos saat musim hujan. Hal ini karena bahan

baku kompos yaitu jerami padi dan kotoran sapi perlu dilakukan penjemuran agar

kadar air bahan baku kompos memenuhi.

Pada umumnya penyebab permasalahan tidak dilakukan pembuatan

kompos pada Simantri Mayong Pengulkulan, Sari Mekar dan Madu Amerta yakni

kurangnya sarana pengomposan, kurangnya perencanaan dan keberlangsungan

dalam pembuatan kompos dan standar kualitas kompos belum diketahui.

Selama ini limbah padat berupa kotoran sapi pada Simantri Sari Mekar dan

Madu Amerta dijemur dan apabila sudah kering langsung dijual ke konsumen.

3.4 Analisis SWOT

Analisis SWOT ini dilakukan dalam bentuk kuisioner yang diberikan


kepada masing-masing Ketua Simantri untuk dilakukan penilaian masing-

masing faktor SWOT. Faktor kekuatan yang dirumuskan yaitu ada 5 faktor

yaitu harga pupuk kompos relative terjangkau, pengolahan biogas menghasilkan

gas yang dapat digunakan untuk memasak dan penerangan. Selain

itu,kemampuan finansial dalam penerapan teknologi pengolahan biogas dan

kompos memadai. Ketersediaan bahan baku untuk pengolahan biogas dan


pembuatan kompos sangat mencukupi dan tingkat pemahaman tenaga kerja

akan teknologi pengolahan biogas dan kompos baik. Pada faktor kelemahan

terdapat 5 faktor yang dirumuskan yakni keterbatasan kapasitas pengolahan

biogas, kurangnya perencanaan dan keberlangsungan dalam pembuatan

kompos. Selain itu, standar kualitas kompos belum diketahui dan keterbatasan

kemampuan pemasaran biogas.

Pada faktor peluang terdapat 5 faktor yang dirumuskan yakni

mendukung kebijakan pemerintah Bali Clean and Green, tingginya permintaan

pupuk kompos, meningkatnya minat masyarakat tentang produk organik. Selain

itu, adanya kemajuan perkembangan teknologi dan pengembangan produk

alternatif penerangan. Pada faktor ancaman terdapat 5 faktor yang dirumuskan

yaitu populasi sapi berkurang, penggunaan biogas belum umum dimasyarakat,

dan adanya perubahan iklim.

Selain itu, adanya perubahan kebijakan pemerintah dan keterbatasan

dalam memperoleh sarana penunjang teknologi biogas seperti kompor dan

lampu biogas. Kemudian dari masing-masing faktor tersebut dibuat matriks

SWOT untuk menentukan strategi penerapan teknologi pengolahan biogas dan

pembuatan kompos. Berdasarkan data yang diperoleh dari Jurnal Teknik ITS

Vol. 5 No. 2 setelah penempatan pada diagram kartesius yaitu posisi titik
koordinat strategi pengembangan terdapat di kuadran I, yakni strategi agresif.

Pada hal ini Simantri dapat menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan

peluang yang ada dalam penerapan teknologi pengolahan biogas dan kompos.

Sehingga strategi yang akan dilakukan yakni melakukan pengolahan biogas dan

kompos dengan intensif dan melakukan inovasi teknologi dalam pengolahan

biogas dan pembuatan kompos.


IV

PENUTUP

(1) Rata-rata laju timbulan sisa pakan per ekor disebabkan oleh ukuran sapi,

jumlah pakan dan frekuensi pakan.

(2) Pada umumnya penyebab permasalahan biogas pada Simantri Eka Santhi,

Sari Mekar dan Madu Amerta tidak beroperasi karena keterbatasan

kapasitas pengolahan biogas, sarana dan prasarana biogas dalam kondisi

yang kurang baik. Selain itu, adanya kendala distribusi biogas karena

jarak dengan rumah penduduk sangat jauh dan kesulitan memperoleh

sarana penunjang seperti kompor dan lampu biogas.

(3) Dalam pembuatan kompos tidak dapat dilakukan saat musim hujan. Hal

ini karena bahan baku kompos yaitu jerami padi dan kotoran sapi perlu

dilakukan penjemuran agar kadar air bahan baku kompos memenuhi.

(4) Analisis SWOT ini dilakukan dalam bentuk kuisioner yang diberikan

dengan rumusan yang didapat 5 faktor S, 5 faktor W, 5 faktor O dan 5

faktor T. Kemudian dari masing-masing faktor tersebut dibuat matriks

SWOT untuk menentukan strategi penerapan teknologi pengolahan biogas

dan pembuatan kompos


DAFTAR PUSTAKA

Christian, A. H., G. K. Evanylo, dan J. W. Pease, On-Farm Composting A Guide


to Principles, Planning & Operations, U.S. Virginia Cooperative
Extension (2009).

Eddy. 2008. Karakteristik Limbah Cair. Jurnal Ilmiah Teknik Lingkungan, Vol.2,
No.2, p.20.

Harsono, 2013. ‘’Aplikasi Biogas Sistem Jaringan Dari Kotoran Sapi Di Desa
Bumijaya Kec, Anak Tuha Lampung Tengah Sebagai Energi Alternatif
Yang Efektif’’. Jurusan Teknik Mesin,Universitas Lampung. Skripsi.

Haryati, T, “Biogas: Limbah Peternakan yang Menjadi Sumber Energi


Alternatif,” Wartazoa, Vol. 16, No. 3 (2006).

Jorgensen, P. J, Biogas-Green Energy, Digisource Danmark A/S (2009).

Mulyono, D, “Pemanfaatan Kotoran Ternak Sebagai Sumber Energi Alternatif


dan Peningkatan Sanitasi Lingkungan,” Jurnal Teknologi Lingkungan,
Vol. 1, No. 1 (2000) 27-32

Prihandini, P. W. dan T. Purwanto, Petunjuk Teknis Pembuatan Kompos


Berbahan Kotoran Sapi, Grati, Pusat Penelitian dan Pengembangan
Ternak (2007).

Rukmana, R, 2007. Bertanam Petsai dan Sawi Kanisus, Yogyakarta. Hal : 11- 35

Sulaeman. D., W. Palupi, M. Arif, H. Ungilia, E. Yuliarti, dan E. Listiawati,


Profil Pengembangan Bio-Energi Perdesaan (Biogas), Jakarta,
Direktorat Pengolahan Hasil Pertanian, Ditjen Pengolahan dan Pemasaran
Hasil Pertanian, Departemen Pertanian (2009).

Winarti, E., dan Supriadi, “Usaha Perbibitan Sapi Potong Ramah Lingkungan
(Studi Kasus
Kelompok Peternak Ngudimulyo, Pleret, Bantul),” Prosiding Ekspose dan
Seminar Nasional Inovasi Pertanian Ramah Lingkungan Makassar (2013).

Tangkas, G., P., dan Yulinah T. 2016. Kajian Pengelolaan Limbah Padat
Peternakan Sapi Simantri Berbasis 2R (Reduce dan Recycle) di
Kecamatan Seririt, Kabupaten Buleleng. Jurnal Teknis ITS. Vol. 5. No.

Anda mungkin juga menyukai