Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH PRODUKSI TERNAK PERAH

PEMELIHARAAN LAKTASI DAN KERING KANDANG

Disusun oleh :

Kelas : B

Kelompok : 6

Helda Rusmida Lumban Batu 200110170145


Khaerunnisa Suci A 200110170147
Ririn S. Rahmatillah 200110170148
Ria Setia Lestari G 200110170173
Muhamad Teja Haikal 200110170197

FAKULTAS PETERNAKAN

UNIVERSITAS PADJADJARAN

SUMEDANG

2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah

melimpahkan nikmat, serta hidayah-Nya yang sangat besar sehingga kami pada

akhirnya bisa menyelesaikan makalah produksi ternak perah mengenai pemeliharaan

laktasi dan kering kandang tepat pada waktunya. Praktikum ini dilaksanakan guna

mengetahui pemeliharaan sapi perah pada masa laktasi dan kering kandang

Rasa terima kasih juga kami ucapkan kepada Dosen Pembimbing Ibu Dr. Ir. Hj.

Lia Budimulyati Salman, MP. yang telah memberikan dukungan serta bimbingannya

sehingga makalah ini dapat disusun dengan baik. Tanpa ilmu serta arahan yang

diberikan, makalah ini tidak akan dapat selesai sesuai yang diharapkan. Tak lupa

ucapan terimakasih kami sampaikan kepada rekan-rekan yang sudah bekerja sama dan

memberi dukungan dalam penyusunan makalah ini.

Semoga makalah yang telah kami susun ini turut memperkaya ilmu serta bisa

menambah pengetahuan dan pengalaman para pembaca. Kami menyadari bahwa

makalah ini juga masih memiliki banyak kekurangan. Maka dari itu kami

mengharapkan saran serta masukan dari para pembaca sekalian demi penyusunan
makalah produksi ternak perah dengan tema serupa yang lebih baik lagi.

Sumedang, April 2019

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

Bab Halaman

KATA PENGANTAR .................................................................. ii

DAFTAR ISI ................................................................................. iii

I PENDAHULUAN ......................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ......................................................................... 1

1.2 Identifikasi Masalah ................................................................. 1

1.3 Tujuan....................................................................................... 2

II TINJAUAN PUSTAKA .............................................................. 3

2.1 Sapi Perah Laktasi ................................................................... 3

2.2 Sapi Perah Kering Kandang .................................................... 3

III PEMBAHASAN .......................................................................... 5

3.1 Pemeliharaan Sapi Perah ......................................................... 5

3.2 Pemeliharaan Sapi Perah Masa Laktasi .................................. 6

3.3 Pemeliharaan Sapi Perah Masa Kering Sebelum Melahirkan . 14

3.4 Pemeliharaan Sapi Perah Masa Kering Setelah Melahirkan ... 18


IV PENUTUP.................................................................................... 19

4.1 Kesimpulan ............................................................................. 19

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 20

iii
1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Sapi perah merupakan ternak ruminansia yang menghasilkan susu, yang dimana
komoditi ini memiliki keistimewaan dalam pemeliharaannya. Pada setiap fase sapi
perah betina, perlu perhatian serius dalam peningkatan kualitas serta kuantitas susu
yang dihasilkan. Pemeliharaan pada setiap fase sapi betina berbeda satu sama lain, hal
itu dikarenakan pada setiap fase kebutuhan sapi berbeda sehingga perlu diperhatikan
kebutuhan sapi pada setiap fasenya.
Pada dasarnya secara umum pemeliharaan sapi perah dibedakan menjadi
pemeliharaan sapi dara, sapi bunting, sapi laktasi, sapi kering kandang, dan
pemeliharaaan pedet. Masa kering kendang sapi perah mulai terjadi pada saat delapan
minggu sebelum ternak melahirkan. Pada kondisi ini kebutuhan sapi perah perlu
diperhatikan karena dapat mempengaruhi proses melahirkan serta produksi yang akan
datang. Tujuan utama pemeliharaan pada masa kering kandang adalah untuk
mengembalikan kondisi tubuh sapi perah atau memberi jeda istirahat dan mengisi
nutrisi terutama vitamin dan mineral yang akan menjaga induk dan fetus yang
dikandung.
Masa kering sangat mempengaruhi produksi induk serta fetus yang dikandungnya
sehingga, perlu diketahui bagaimana tata cara pemeliharaan sapi perah pada masa
kering kandang. Perlunya pemeliharaan yang tepat pada masa kering kandang akan
memberikan dampak positif pada induk dan fetus sapi.

1.2. Identifikasi Masalah


1.2.1. Bagaimana pemeliharaan sapi perah secara umum
1.2.2. Bagaimana pemeliharaan sapi perah pada masa kering sebelum melahirkan.
1.2.3. Bagaimana pemeliharaan sapi perah pada masa kering setelah melahirkan.
2

1.3. Tujuan
1.3.1. Mengetahui pemeliharaan sapi perah secara umum
1.3.2. Mengetahui pemeliharaan sapi perah pada masa kering sebelum melahirkan.
1.3.3. Mengetahui pemeliharaan sapi perah pada masa kering setelah melahirkan
3

II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sapi Perah Laktasi

Masa laktasi adalah dimana sapi sedang menghasilkan susu yaitu selama 10 bulan.

Sapi mulai berproduksi setelah melahirkan anak, susu pertama kali keluar berupa

kolostrum yang sangat baik untuk pedet bagi pertumbuhan pada kehidupan awal. Masa

laktasi ada 3 yaitu 3 bulan setelah melahirkan adalah masa laktasi awal. 3 - 6 bulan

adalah laktasi tengah dan lebih dari 6 bulan adalah laktasi akhir (Alim dan Hidaka,

2002).

Sapi perah memiliki masa laktasi yang merupakan suatu periode dimana sapi

sedang aktif berproduksi dan sapi mulai berproduksi setelah melahirkan. Masa laktasi

pada sapi perah berlangsung selama 305 hari atau selama 10 bulan (Herlambang 2014).

Secara umum bentuk kurva produksi susu akan naik mulai dari saat setelah beranak

menuju puncak produksi pada awal laktasi yang kemudian berangsur-angsur sampai

akhir laktasi.

2.2 Sapi Perah Kering Kandang

Sapi kering kandang adalah sapi yang tidak diperah sama sekali sejak umur

kebuntingan 7 bulan sampai akhir kebuntingan (Blackely dan Bade, 1994). Menurut

Sudono (1983), bahwa kering kandang merupakan salah satu faktor non genetis yang

mempengaruhi produksi susu dalam masa laktasi. Sapi harus segera dikering

kandangkan walaupun produksinya masih tinggi. Sapi yang tidak dikering kandangkan

produksinya akan menurun sampai 26% dari produksi susu laktasi sebelumnya

(Ensminger, 1991).
4

Kering kandang sangat penting bagi induk yang akan melahirkan kembali dalam

kondisi tubuh yang lebih kuat, sehat dan produksi susu lebih tinggi maka peternak harus

memberikan kesempatan pada induk untuk beristirahat yaitu induk bunting tadi

dihentikan pemerahannya (Williamson dan Payne 1993). Kondisi tubuh yang baik

diharapkan agar induk mampu mengasuh anak yang baru dilahirkan dengan baik.

Kering kandang sebagai masa istirahat dan persiapan untuk melahirkan kembali

minimal memerlukan waktu 6-8 minggu (Siregar,1993).

Kering kandang bertujuan untuk mengistirahatkan kelenjar ambing

mengembalikan berat badan induk yang hilang pada periode laktasi. Memberi

kesempatan pada fetus untuk berkembang lebih normal agar diperoleh pedet yang baik

dan mempersiapkan periode laktasi berikutnya agar produksi tidak menurun

(Ensminger, 1971). Kering kandang bertujuan untuk mengembalikan kondisi tubuh

atau memberi waktu istirahat pada sapi agar produksi susu periode selanjutnya akan

lebih baik selain itu juga untuk mengisi kembali kebutuhan vitamin dan mineral setelah

mengalami masa laktasi berat agar sapi tetap sehat serta menjamin pertumbuhan fetus

dalam kandungan (Sudono, 1983).


5

III

PEMBAHASAN

3.1 Pemeliharaan Sapi Perah


Sebagai ternak ruminansia yang menghasilkan susu, sapi perah merupakan
komoditi ternak yang perlu mendapatkan perhatian serius dalam peningkatan kualitas
serta kuantitas produksinya. Dalam pemeliharaannya, ada beberapa faktor yang
mempunyai pengaruh penting terhadap hasil produksi sapi tersebut, diantaranya suhu,
kondisi kandang, sanitisi kandang, kebutuhan pakan, kelembaban, dan kondisi
lingkungan sekitar. Pada dasarnya secara umum pemeliharaan sapi perah meliputi
pemeliharaan sapi dara dan bunting, pemeliharaan sapi laktasi, pemeliharaan sapi
kering kandang, dan pemeliharaan pedet (Blakely dan Bade, 1998).
Sapi memerlukan pemeliharaan badan khusus, antara lain ; a) daki, lapisan kulit
paling atas adalah lapisan kulit mati sehingga kulit akan mengeluarkan peluh yang
bercampur bau hingga kulit kotor oleh daki. b) kotoran, sapi akan membuang kotoran
setiap waktu dan akan berbaring di tempat tersebut maka kotoran harus di bersihkan.
Selanjutnya untuk perwatan kulit bisa dilakukan dengan cara memandikan dan
menyikat kulit sapi tersebut dan kalau ada bulu-bulu yang tebal dan tumbuh di daerah
ambing, kaki belakang, serta lipatan paha belakang untuk menghindarkan melekatnya
kotoran yang tebal.
Tujuan dari pembersihan badan sapi yaitu, a) menjaga kesehatan sapi agar
bekteri maupun kuman-kuman tidak berinfeksi dan juga pengaturan suhu badan serta
peredaran darah tidak terganggu, b) menjaga produksi susu agar bisa selalu stabil, c)
menghindarkan bulu-bulu sapi yang rontok ke dalam air susu yang kita perah (Muljana
dalam Adika Putra, 2009).
6

Selain kebersihan ternak, hal yang harus diperhatikan dalam pemeliharaan sapi
perah adalah kondisi kandang yang cocok untuk ternak tersebut. Kandang yang ideal
untuk ternak sapi perah harus terdapat saluran pembuangan air, kelembabannya terjaga
serta keadaan harus tetap kering.

3.2 Pemeliharaan Sapi Perah Masa Laktasi


Masa laktasi adalah masa sapi sedang berproduksi. Sapi mulai berproduksi
setelah melahirkan anak. 4-5 hari pertama produksi susu tersebut masih berupa
colustrum yang tidak boleh dikonsumsi manusia. Tetapi colustrum tersebut khusus
untuk pedet.

3.2.1 Sistem Perkandangan


Bangunan kandang sebaiknya diusahakan supaya sinar matahari pagi bisa
masuk ke dalam kandang. Sebab sinar matahari pagi tidak begitu panas dan banyak
mengandung ultraviolet yang berfungsi sebagai disinfektan dan membantu
pembentukan vitamin D. Pembuatan kandang sebaiknya jauh dari pemukiman
penduduk sehingga tidak menganggu masyarakat baik dari limbah ternak maupun
pencemaran udara (Girisonta, 1980).
Ukuran kandang induk laktasi yaitu lebar 1,75 m dan panjang 1,25 m serta
dilengkapi tempat pakan dan minum, masing-masing dengan ukuran 80 x 50 cm dan
50 x 40 cm. Kandang yang baik mempunyai persyaratan, seperti lantai yang kuat dan
tidak licin, dengan kemiringan 5º dan kemiringan atap 30º serta disesuaikan dengan
suhu dan kelembaban lingkungan sehingga ternak akan merasa nyaman berada di
dalam kandang serta letak selokan dibuat pada gang tepat di belakang jajaran sapi
(Girisonta, 1995).

3.2.2 Pakan Sapi Perah Laktasi


Ransum induk laktasi pada dasarnya terdiri dari hijauan (leguminosa maupun
rumput-rumputan dalam keadaan segar atau kering) dan konsentrat yang tinggi kualitas
7

dan palatabilitasnya. Faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam penyusunan ransum


sapi adalah ransum cukup mengandung protein dan lemak, perlu di perhatikan sifat
supplementary effect dari bahan pakan ternak, dan ransum tersusun dari bahan pakan
yang dibutuhkan ternak (Akoso, 1996). Bahan pakan ternak sapi pada dasarnya dapat
digolongkan menjadi tiga, yakni pakan hijauan, pakan penguat dan pakan tambahan
(Girisonta, 1995).
Pakan hijauan adalah semua bahan pakan yang berasal dari tanaman atau
tumbuhan berupa daun-daunan, terkadang batang, ranting, dan bunga. Kelompok jenis
pakan hijauan adalah rumput, legume dan tumbuhtumbuhan lain, yang dapat diberikan
dalam bentuk segar dan kering (Kusnadi dkk, 1983).
Hijauan segar adalah pakan hijauan yang diberikan dalam keadaan segar, dapat
berupa rumput segar ,batang jagung muda, kacang-kacangan dan lain-lain yang masih
segar (Sitorus, 1983). Pakan hijauan untuk induk laktasi dapat diberikan dalam bentuk
kering (hay) maupun dalam bentuk basah atau hijauan segar (dalam bentuk silase).
Pembuatan “hay” biasanya berupa hijauan berbentuk tegak yang dikeringkan,
sedangkan pembuatan “silase” di daerah tropis masih sulit dilakukan karena banyak
hijauan yang sudah tua dan sukar mengeluarkan udara dari dalam silo sehingga bersifat
anaerob yang dibutuhkan kurang sempurna (Zainuddin, 1982).
Pakan konsentrat adalah bahan pakan yang konsentrasi gizinya tinggi tetapi
kandungan serat kasarnya relatif rendah dan mudah dicerna. Bahan dapat berupa dedak
atau bekatul, bungkil kelapa, bungkil kacang tanah, ketela pohon atau gaplek dan lain-
lain. Pada umumnya peternak menyajikan pakan konsentrat ini masih sangat
sederhana, yakni hanya membuat susunan pakan/ ransum yang terdiri dari dua bahan
saja, dan bahkan ada yang hanya satu macam bahan saja (Sudono, 1983).
Pakan tambahan bagi ternak sapi biasanya berupa vitamin dan mineral. Pakan
tambahan ini dibutuhkan oleh sapi yang dipelihara secara intensif dan hidupnya berada
dalam kandang terus-menerus. Vitamin yang dibutuhkan ternak sapi adalah vitamin A,
8

vitamin C, vitamin D dan vitamin E, sedangkan mineral sebagai bahan pakan tambahan
dibutuhkan untuk berpropuksi, terutama kalsium dan posfor (Sutardi, 1984).
Ukuran pemberian pakan untuk mencapai koefisien cerna tinggi dicapai dengan
perbandingan BK hijauan : konsentrat = 60% : 40. Sapi perah membutuhkan sejumlah
serat kasar yang sebagian besar berasal dari hijauan. Untuk memperoleh pencernaan
pakan yang akan mempengaruhi kualitas susu yang dihasilkan (Sutardi, 1995).
Pemberian ransum sapi perah yang sedang tumbuh maupun yang sedang
berproduksi susu sesering mungkin dilakukan, minimal dua kali dalam sehari semalam.
Frekuensi pemberian konsentrat hendaknya disesuaikan pula dengan pemerahan, yaitu
dilakukan setiap 1-2 jam sebelum pemerahan (Siregar, 1996). Air minum mutlak
dibutuhkan dalam usaha peternakan sapi perah,hal ini disebabkan karena susu yang
dihasilkan 87% berupa air dan sisanya berupa bahan kering.
Seekor sapi perah membutuhkan 3,5-4 liter air minum untuk mendapatkan 1
liter susu (Sudono dkk, 2003). Perbandingan antara susu yang dihasilkan dan air yang
dibutuhkan adalah 1: 4. Jumlah air yang dibutuhkan tergantung pada susu yang
dihasilkan, suhu sekitarnya dan macam pakan yang diberikan (Sudono, 1999).

3.2.3 Pengelolah Reproduksi Sistem Perkawinan


Perkawinan alami ini dilakukan dengan cara memasukkan sapi betina ke dalam
kandang kosong dan diikat kuat guna mempesempit ruang gerak sapi dan
mendatangkan pejantan pada betina untuk dilangsungkan perkawinan. Mandor, teknisi,
serta beberapa pekerja kandang membantu jalannya perkawinan sapi apabila tanda-
tanda birahi sudah tampak setelah 8 jam berlangsung dari awal birahi. Tanda- tanda
birahi meliputi sapi tampak gelisah, nafsu makan berkurang, produksi susu menurun
(untuk sapi yang sudah laktasi), keluar cairan bening putih dan pekat dari vagina.
Menurut Toelihere (1985), waktu yang tepat untuk melakukan perkawinan
adalah 9 jam setelah tampak gejala birahi sampai 6 jam setelah birahi berakhir. 2-3
bulan setelah melahirkan sapi perah harus sudah dikawinkan kembali. Menurut
9

Muljana (1982) bahwa sapi betina yang tidak bunting setelah dikawinkan akan
mengalami siklus birahi 21 hari sekali dan lama birahi rata-rata 18 jam.

3.2.4 Pemerahan
Pemerahan Sapi yang sedang berproduksi memiliki jadwal pemerahan setiap
hari yang pada umumnya di lakukan 2 kali sehari. Jadwal pemerahan yang teratur dan
seimbang akan memberikan produksi susu yang lebih baik dari pada pemerahan yang
tidak teratur dan seimbang. Sebelum pemerahan dilakukan, ambing dicuci terlebih
dahulu agar susu tidak terkontaminasi dengan kotoran. Kemudian peralatan yang
digunakan yaitu : ember, minyak kelapa sebagai pelicin dan penyaring susu disiapkan.
Menurut Siregar (1995), bahwa sebelum pemerahan, puting diolesi dengan pelicin.
Menurut Blakely dan bade (1992) bahwa proses pelepasan susu akan terganggu bila
sapi merasa sakit dan ketakutan. Selain itu tangan pemerah harus bersih, dan kuku tidak
boleh panjang, karena dapat melukai puting susu dan juga untuk menghindari
terkontaminasinya susu oleh kotoran yang mengandung bakteri.
Metode pemerahan yang sering digunakan di Indonesia adalah sebagai berikut
1) Whole Hand
Metode ini dilakukan dengan cara jari memegang puting susu pada pangkal
puting diantara ibu jari dan telunjuk dengan tekanan diawali dari atas yang diikuti jari
tengah, jari manis dan kelingking seperti memeras. Pemerahan secara Whole hand
membutuhkan waktu rata-rata 6,64 menit untuk memerah seekor sapi dan cara ini
digunakan untuk sapi yang putingnya panjang.
2) Stripping
Metode ini dilakukan dengan cara puting dijepit antara ibu jari dan jari telunjuk
yang digeserkan pada pangkal puting bawah sambil dipijat. Pemerahan secara
Stripping rata-rata waktu yang dibutuhkan untuk memerah seekor sapi adalah 7,72
menit dan cara ini digunakan untuk sapi yang ukuran putingnya pendek. Cara
pemerahan tersebut sesuai dengan pendapat Syarief dan Sumoprastowo (1985) yang
10

menyatakan bahwa whole hand merupakan cara terbaik untuk sapi yang memiliki
puting panjang dan produksi susu tinggi sedangkan cara Strippen biasa digunakan
untuk sapi yan putingnya pendek.
3) Pemerahan dengan mesin
Pemerahan susu dengan mesin masih sedikit digunakan di Indonesia, hanya
peternakan dalam skala besar yang menggunakannya. Cara kerja dengan menggunakan
mesin perah ini hampir sama dengan pemerahan pakai tangan, hanya saja dibedakan
dengan dengan mesin. Pemerahan berjalan dan air susu mengalir dalam ember. Lama
pemerahan untuk setiap sapi perah kurang lebih 8 menit. Hal ini sangat tergantung pada
banyaknya produksi susu yang dihasilkan (Dirjen Peternakan, 2009).
3.2.5 Sanitasi kandang dan Ternak
Sanitasi kandang dilakukan dengan cara membersihkan tempat pakan dan
tempat minum, feses serta sisa pakan yang tercecer pada lantai kandang. Lingkungan
kandang yang bersih dimaksudkan agar sapi tidak terserang penyakit dan susu yang
dihasilkan tidak terkontaminasi oleh kotoran. Hal ini sesuai dengan pendapat
Williamson dan Pyne (1993), bahwa lingkungan kandang sapi harus bersih supaya saat
pemerahan susu tidak terkontaminasi serta menjaga kesehatan sapi. Sumoprastowo
(1990), bahwa memandikan sapi hendaknya dilakukan setiap hari sekitar pukul 06.00
- 08.00 WIB, yakni sebelum sapi diperah sehingga harus selalu bersih setiap kali akan
diperah terutama bagian lipatan paha sampai bagian belakang tubuh. Sebab kotoran
yang menempel pada tubuh sapi akan menghambat proses penguapan pada saat sapi
kepanasan, sehingga energi yang dikeluarkan untuk penguapan lebih banyak dibanding
dengan energi untuk pembentukan susu.
Pemeliharaan kuku perlu mendapat perhatian karena ini sebagian dari sanitasi
dari pemeliharan sapi perah, apalagi saat laktasi kemungkinan dapat menurunkan
produksi. Pemotongan kuku dilakukan setiap enam bulan sekali. Pemotongan
dilakukan agar posisi kedudukan sapi saat berdiri serasi. Kuku dipotong pada bagian
11

lapisan tanduk pada telapak kaki sampai rata sehingga bobot sapi terbagi rata pada
keempat kakinya (Dirjen Peternakan, 2009).

3.2.6 Penyakit
Penyakit yang biasa menyerang sapi perah laktasi dan mempengaruhi produksi
susu adalah mastitis, brucellosis, dan milk fever. Upaya pencegahan penyakit dapat
dilakukan dengan cara sanitasi kandang, pengobatan, vaksinasi, menjaga kebersihan
sapi, dan lingkungan (Siregar, 1993).
Mastitis adalah penyakit pada ambing akibat dari peradangan kelenjar susu.
Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Streptococcus cocci dan Staphylococcus cocci
yang masuk melalui puting dan kemudian berkembangbiak di dalam kelenjar susu. Hal
ini terjadi karena puting yang habis diperah terbuka kemudian kontak dengan lantai
atau tangan pemerah yang terkontaminasi bakteri (Djojowidagdo, 1982).
Brucellosis adalah penyakit keluron/ keguguran menular pada hewan yang
disebakan oleh bakteri Brucella abortus yang menyerang sapi, domba, kambing, babi,
dan hewan ternak lainnya. Brucellosis bersifat zoonosa artinya penyakit tersebut dapat
menular dari hewan ke manusia. Pada sapi, penyakit ini dikenal pula sebagai penyakit
keluron/ keguguran menular, sedangkan pada manusia menyebabkan demam yang
bersifat undulasi yang disebut demam malta. Sumber penularan Brucellosis dari ternak
penderita Brucellosis, bahan makanan asal hewan dan bahan asal hewan yang
mengandung bakteri brucella. Penularan kepada manusia melalui saluran pencernaan,
misalnya minum susu yang tidak dimasak yang berasal dari ternak penderita
Brucellosis. Susu segar di Indonesia berasal dari ternak sapi perah, oleh karena itu
ternak sapi perah menjadi obyek utama kegiatan pemberantasan Brucellosis (Tolihere,
1981).
Penyakit milk fever disebabkan karena kekurangan kalsium (Ca) atau zat kapur
dalam darah (hypocalcamia) (Sudono dkk, 2003). Milk fever menyerang sapi perah
betina dalam 72 jam setelah melahirkan dengan tandatanda tubuhnya bergoyang kanan
12

kiri saat berjalan (sempoyongan), bila tidak cepat diobati sapi akan jatuh dan berbaring.
Pengobatan dilakukan dengan menyuntikkan 250-500 ml "kalsium
boroglukonat"secara intravenous (menyuntikkan ke dalam pembuluh darah). Jika
dalam 8-12 jam tidak berdiri maka penyuntikkan dapat dilakukan lagi. Untuk
pencegahannya dapat melalui pemberian ransum dengan perbandingan kadar kalsium
dan fosfor dalam ransum 2 : 1, dapat pula dengan pemberian kapur tembok/gamping
3% dari pakan konsentrat (Girisonta, 1995).

3.2.7 Produksi Susu


Susu adalah hasil pemerahan sapi atau hewan menyusui lainnya, yang dapat
diminum atau digunakan sebagai bahan makanan yang aman dan sehat serta tidak
dikurangi komponen-komponennya atau ditambah bahan-bahan campuran lain
(Hadiwiyoto, 1983). Sapi FH mampu memproduksi susu yang lebih tinggi dibanding
bangsa sapi perah lain, yaitu mencapai 5750-6250 kg/laktasi dengan persentase kadar
lemak rendah (3,7%). Lemak susunya berwarna kuning dengan butiranbutirannya yang
kecil dan tidak merata sehingga sukar pemisahannya untuk dibuat mentega. Akan tetapi
kecilnya butiran lemak susu sangat baik untuk dikonsumsi sebagai susu segar karena
tidak mudah pecah (Mukhtar, 2006).
Susu mengandung semua bahan yang dibutuhkan untuk pertumbuhan anak sapi
dan sebagai pelengkap gizi manusia yang sempurna, sebab susu sapi merupakan
sumber protein, lemak, karbohidrat, mineral, dan vitamin. Zat-zat gizi yang terkandung
di dalamnya dalam perbandingan yang sempurna, mudah dicerna, dan tidak ada sisa
yang terbuang. Komponen zat gizi susu antara lain air 87,7 %, bahan kering 12,1 %,
bahan kering tanpa lemak 8,6 %, lemak 3,45 %, protein 3,2 %, laktose 4,6 %, mineral
0,85 %, vitamin, casein 2,7 %, albumin 0,5 % (Girisonta, 1995).
Sudono (1999) menyatakan bahwa produksi dan kualitas susu dipengaruhi oleh
bangsa sapi, masa laktasi, besarnya sapi , birahi (estrus), umur, selang beranak, masa
13

kering, frekuensi pemerahan, jumlah dan kualitas ransum serta tatalaksana


pemeliharaan.
Menurut Syarief dan Sumoprastowo (1985), faktor yang perlu diperhatikan
untuk menjaga kualitas susu adalah kebersihan kandang dan kamar susu, kesehatan
sapi dan pemeliharaan, cara pemberian ransum, penyaringan dan penyimpanan susu,
serta pencucian alat yang digunakan .

3.2.8 Limbah
Limbah kandang yang berupa kotoran ternak, baik padat (feses) maupun cair
(air kencing, air bekas mandi sapi, air bekas mencuci kandang dan prasarana kandang)
serta sisa pakan yang tercecer merupakan sumber pencemaran lingkungan paling
dominan di area peternakan. Limbah kandang dalam jumlah yang besar dapat
menimbulkan bau yang menyengat, sehingga perlu penanganan khusus agar tidak
menimbulkan pencemaran lingkungan (Sarwono dan Arianto, 2002). Saat ini, limbah
kandang padat yang dijadikan kompos atau pupuk organik banyak diminati
masyarakat. Hal ini disebabkan harga pupuk kimia relatif mahal dan merusak sifat fisik
tanah. Pengolahan limbah sapi menjadi kompos jika dilakukan dengan benar akan
menjadi sumber penghasilan tambahan. Pengolahan limbah sapi ini bisa dilakukan
dengan berbagai cara, tergantung dari bahan tambahan yang digunakan (Sudono,
2003).
Pengolahan kotoran sapi ini dapat dilakukan dengan berbagai cara, tergantung
dari bahan tambahan yang digunakan. Jika limbah sapi dijadikan komoditas
sampingan, harus dipersiapkan tempat khusus pengolahan kompos yang disesuaikan
dengan tata letak kandang, sehingga memudahkan penanganannya (Sudono, 2003).
Limbah kandang padat dapat diolah nenjadi pupuk kandang atau kompos yang saat ini
memiliki nilai komersial yang sangat baik untuk tanaman pangan, hortikultura, dan
perkebunan. Pengolahan limbah kandang padat yang efektif dapat menggunakan
metode fine compost stardec atau metode konvesional. Sedangkan limbah cair atau urin
14

dapat diatasi dengan pemanfaatan sebagai pupuk cair yang diproses dengan cara
fermentasi yang sebelumnya urin ditampung kedalam bak penampung sebelum
diproses lebih lanjut (Sarwono dan Arianto, 2001).
Kotoran sapi bila didekomposisi dengan stardec yang mengandung
mikroorganisme cerdik akan menghasilkan pupuk organik yang disebut sebagai fine
compost. Fine compost akan menyuplai sifat fisik tanah yang diperlukan tanaman
sekaligus memperbaiki struktur tanah. Hasilnya, biaya produksi lebih rendah dan
produksi meningkat. Stardec dihasilkan di peternakan sapi perah Lembah Hijau
Multifarm (LHM), Solo bertujuan sebagai salah satu upaya membantu tercapainya
keseimbangan, serta membuat limbah-limbah yang tidak berguna menjadi berdaya
guna dan berdaya hasil. Limbah seperti kotoran ternak dan blotong pabrik gula, yang
diolah dengan stardec mampu menciptakan sebuah solusi untuk meningkatkan
martabat alam yang seimbang (Trobos, 2001). Manfaat dan penggunaan pupuk organik
adalah memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah secara berkelanjutan,
mencegah serangan hama, serangga dan penyakit pada tanaman, mempercepat masa
pertumbuhan tanaman dan menghasilkan panen lebih awal, meningkatkan kualitas dan
kuantitas produksi tanaman, meningkatkan kesuburan tanaman, penghematan
pemakaian pupuk kimia/ an organik, memelihara kesehatan lingkungan dengan
pemakaian bahan-bahan organik non kimia yang ramah lingkungan, searah dan
mendukung kebijakan Departemen Pertanian yang mencanangkan program pertanian
ramah lingkungan (Budiharjo dan Ernawati, 2002).

3.3 Pemeliharaan Sapi Perah Masa Kering Sebelum Melahirkan

Masa kering sapi perah mulai dilaksanakan kira-kira delapan minggu sebelum
ternak tersebut melahirkan. Pada kondisi ini ternak perlu mendapatkan perhatian yang
ekstra agar ternak tetap sehat sehingga untuk produksi yang akan datang menjadi lebih
baik. Tujuan di laksanakannya masa kering pada sapi ternak yang bunting ini adalah
untuk mengembalikan kondisi tubuh atau memberi istirahat sapi dan mengisi kembali
15

kebutuhan vitamin serta mineral dan menjamin pertumbuhan foetus di dalam kandang.
Menurut Siregar dalam Adika Putra (2009), masa kering sapi perah yang terlalu pendek
menyebabkan produksi susu turun. Masa kering sapi perah secara normal adalah 80
hari dan pakan terus dijaga mutunya, terutama 2-3 bulan terakhir sebelum masa kering
kandang.
Dalam pelaksanaan masa kering sapi perah dilakukan dengan dua sistem, yaitu
secara fisiologis dan secara mekanis. Secara fisiologis dilakukan dengan cara
memperhatikan kebutuhan konsumsi pakan serta keadaan kandang yang baik untuk
sapi masa kering. Sedangkan secara mekanis adalah adanya variasi pemerahan mulai
dari pemerahan secara berselang, pemerahan secara tidak lengkap, dan pemerahan
secara tiba-tiba.

3.3.1 Kebutuhan Konsumsi Pakan Sapi Perah Masa Kering

Pada saat sapi perah dalam kondisi kering, kebutuhan akan konsumsi pakan
penting untuk di perhatikan. Hal ini di maksudkan untuk menjaga kesehatan sapi itu
sendiri serta untuk menjaga kesehatan kandungan ternak tersebut. Pada kondisi ini
komposisi ransum perlu dilakukan perhitungan secara optimal guna untuk
meminimalkan problem metabolik pada atau setelah beranak serta untuk meningkatkan
produksi susu pada masa laktasi berikutnya.
Secara umum pada konsisi kering ini, ternak diberikan sedikit hijauan dan
pengurangan bahkan penghentian pemberian konsentrat pada masa awal kering,
sedangkan pada akhir masa kering hijauan diberikan dalam jumlah seperti biasa dan
diikuti dengan penambahan konsentrat. Ransum harus diformulasikan untuk
memenuhi kebutuhannya yang spesifik: maintenance, pertumbuhan foetus,
pertambahan bobot badan.
Pada kondisi ini konsumsi BK ransum harian yang diberikan pada ternak tidak
boleh melebihi dari 2% berat badan, konsumsi hijauan minimal 1% berat badan.
Setengah dari 1% BB (konsentrat) per hari biasanya cukup untuk program pemberian
16

pakan sapi kering. Pada masa kering, sapi perah harus di tekan jangan sampai terlalu
gemuk atau BCS nya melebihi standar untuk sapi bunting (2,5 – 3). Hal ini
dimaksudkan agar sapi tersebut tidak ada kendala dalam proses kelahiran nantinya.
Komposisi hijauan kualitas rendah, seperti grass hay, baik diberikan pada kondisi ini
dengan tujuan untuk membatasi konsumsi hijauan. Pada kondisi kering kebutuhan
protein yang dikonsumsi sapi perah sebesar 12 % sudah cukup untuk menjaga
kesehatan ternak tersebut. Kebutuhan Ca dan P sapi kering harus dipenuhi, tetapi perlu
dihindari pemberian yang berlebihan; kadang-kadang ransum yang mengandung lebih
dari 0,6% Ca dan 0,4% P meningkatkan kejadian milk fever. Trace mineral, termasuk
Se, harus disediakan dalam ransum sapi kering. Juga, jumlah vitamin A, D. dan E yang
cukup dalam ransum untuk mengurangi kejadian milk fever, mengurangi retained
plasenta, dan meningkatkan daya tahan pedet. Sedikit konsentrat perlu diberikan dalam
ransum sapi kering dimulai 2 minggu sebelum beranak, bertujuan:
1) Mengubah bakteri rumen dari populasi pencerna hijauan seluruhnya menjadi
populasi campuran pencerna hijauan dan konsentrat;
2) Meminimalkan stress terhadap perubahan ransum setelah beranak.
3.3.2 Kebutuhan Kondisi Kandang Sapi Perah Masa Kering

Keberadaan kandang untuk sapi yang akan beranak atau kandang kering
kandang sangat penting. Hal ini disebabkan sapi yang akan beranak memerlukan
exercise atau latihan persiapan melahirkan (bisa berupa jalan-jalan di dalam kandang)
untuk merangsang kelahiran normal. Di kandang ini, sapi tidak diperah susunya selama
sekitar 80 hari . Dengan demikian, pakan yang di makan hanya untuk kebutuhan anak
yang berada didalam kandungannya dan kebutuhan hidupnya dalam mempersiapkan
kelahiran.
Kandang sapi kering dapat dibuat secara koloni untuk 3 – 4 ekor sapi tanpa
disekat satu sama lain. Ukuran ideal kandang sapi kering per ekor adalah 2-2,5 x 7 x
1 m (lebar 2-2,5 m , panjang 7 m dan tinggi 1 m). Ukuran tempat pakan sama dengan
17

ukuran tempat pakan di kandang sapi masa produksi , tempat pakan ini bias
ditempatkan di tengah kandang. Untuk sapi bunting masa kering kemiringan kandang
tidak boleh melebihi dari 50 hal ini bertujuan agar ternak tersebut tidak tergelincir yang
bisa menyebabkan gangguan pada janin yang di kandung.

3.3.3 Proses Pengeringan Dengan Cara Pengaturan Pemerahan

Menurut Syarief dan Sumoprastowo (1990) dalam proses pengeringan atau


menuju masa kering sapi perah dapat dilakukan dengan cara pengaturan pemerahan,
proses pemerahan tersebut dapat di lakukan dengan 3 cara yaitu sebagai berikut :
a) Pemerahan berselang yaitu pengeringan yang menggunakan cara sapi hanya
diperah sekali sehari selama beberapa hari. Selanjutnya satu hari diperah dan hari
berikutnya tidak diperah. Kemudian induk diperah 3 hari sekali hingga akhirnya tidak
diperah sama sekali.
b) Pemerahan tidak lengkap yaitu pemerahan tetap dilakukan setiap hari, tetapi
setiap kali pemerahan tidak sekali puting atau keempat puting itu diperah, jadi keempat
puting itu diperah secara bergantian. Setiap kali memerah hanya 2 puting saja, dan hari
berikutnya bergantian puting lainnya. Hal ini dilakukan beberapa hari hingga akhirnya
tidak diperah sama sekali. Cara ini dilakukan pada sapi yang mempunyai kemampuan
produksi tinggi
c) Pemerahan yang dihentikan secara mendadak yaitu pengeringan ini dilakukan
dengan tiba-tiba. Cara pengeringan semacam ini didahului dengan tidak memberikan
makanan penguat 3 hari sebelumnya, dan makanan kasar berupa hijauan pun dikurangi
tinggal seperempat bagian saja. Cara ini lebih efektif dan memperkecil gangguan
kesehatan pada ambing, bila kombinasikan dengan cara pemerahan berselang.
Didalam persiapan laktasi mendatang, yang penting diperhatikan adalah
menjaga makanan tetap baik, terutama 2-3 bulan terakhir sebelum masa kering. Periode
kering sangat diperlukan bagi sapi perah yang sedang laktasi agar sapi dapat
menyimpan energi yang cukup untuk laktasi berikutnya. Periode kering yang ideal (6-
18

8) minggu sebelum partus, pengeringan lebih lama akan lebih baik dibandingkan
pengeringan yang pendek. Periode kering lebih dari 60 hari memberikan produksi susu
pada masa laktasi berikutnya realatif kecil, tapi untuk laktasi yang sedang berjalan
cukup berpengaruh. Pada saat periode pengeringan perlu diberikan perlakuan
steaming-up (2-4) minggu sebelum partus untuk persiapan kelahiran.

3.4 Pemeliharaan Sapi Perah Masa Kering Setelah Melahirkan

Setelah melahirkan (partus) sapi perah tidak boleh langsung diambil susunya.
Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk memberikan kecukupan gizi anak sapi yang baru
dilahirkan. Karena pada masa sapi setelah melahirkan, susu yang di produksi berupa
colostrum yang berguna bagi anak sapi untuk menambah kekebalan tubuh atau sebagai
anti bodi pada pedet yang baru lahir. Colostrum di produksi oleh induk sapi sekitar 7 –
10 hari .
Konsumsi pakan yang di butuhkan pada sapi induk setelah melahirkan dengan
kebutuhan hijauan dan konsentrat yang seimbang dan diberikan secara id libitum
sehingga kebutuhan nutrisi yang di butuhkan oleh ternak tersebut dapat terpenuhi.
Kebutuhan air minum pada sapi setelah melahirkan akan meningkat dibanding dengan
kondisi biasa. Hal ini di karenakan air membantu mencerna makanan yang dikonsumsi
oleh ternak tersebut untuk memproduksi susu guna untuk mencukupi kebutuhan gizi
pada anak yang baru dilahirkannya. Pada sapi setelah melahirkan kebutuhan mineral
dan vitamin juga perlu diperhatikan karena ini akan berpengaruh terhadap kualitas susu
yang di hasilkan.
19

IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

1) Pada dasarnya secara umum pemeliharaan sapi perah meliputi pemeliharaan sapi
dara dan bunting, pemeliharaan sapi laktasi, pemeliharaan sapi kering kandang,
dan pemeliharaan pedet.
2) Dalam pelaksanaan masa kering sapi perah dilakukan dengan dua sistem, yaitu
secara fisiologis dan secara mekanis. Secara fisiologis dilakukan dengan cara
memperhatikan kebutuhan konsumsi pakan serta keadaan kandang yang baik
untuk sapi masa kering. Sedangkan secara mekanis adalah adanya variasi
pemerahan mulai dari pemerahan secara berselang, pemerahan secara tidak
lengkap, dan pemerahan secara tiba-tiba.
3) Konsumsi pakan yang di butuhkan pada sapi induk setelah melahirkan dengan
kebutuhan hijauan dan konsentrat yang seimbang dan diberikan secara id libitum
sehingga kebutuhan nutrisi yang di butuhkan oleh ternak tersebut dapat terpenuhi.
20

DAFTAR PUSTAKA

Akoso, T.B. 1996. Kesehatan Sapi. Kanisius. Yogyakarta.

Alim, A. F. dan T. Hidaka. 2002. Teknologi Sapi Perah di Indonesia: Pakan


dan Bandini 2003. Sapi Bali Swadaya. Jakarta.
Blakely, J., D. H. Blade. 1992. The Science of Animal Hubandry. Printice Hall Inc.
New Jersey.
___________________. 1998. Ilmu Peternakan. Edisi ke empat. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta
Dirjen Peternakan. 2009. Petunjuk Pemeliharaan Sapi Perah. Balai Besar Pembibitan
Ternak Unggul Sapi Perah Baturaden. Baturaden.
Djojowidagdo, S. 1982. Mastitis Mikotik, Radang Kelenjar Susu oleh Cendawan pada
Ternak Perah. Warta Zoa 1 : 9 – 12. Kanisius. Yogyakarta.
Ensminger. M. E 1991. Horses and Horsemanship. (Animal Agriculture Series) 6th
edition. The Instersate Printers and Publisher, Inc. Danville, USA.
Girisonta. 1995. Petunjuk Praktis Beternak Sapi Perah .Kanisius. Yogyakarta.
Hadiwiyoto, S. 1983. Tekhnik Uji Mutu Susu dan Hasil Olahannya. Liberty.
Yogyakarta.
Herlambang, B. 2014. Beternak Sapi Potong dan Sapi Perah. Fakultas Peternakan
Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Kusnadi, U. 1983. "Efisiensi Usaha Peternakan Sapi Perah yang Tergabung dalam
Koperasi di Daerah Istimewa Yogyakarta", Proceeding Pertemuan Ilmiah
Ruminansia Besar. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Bogor.
Muljana, B.A. 1987. Pemeliharaan dan Kegunaan Ternak Perah. CV.Aneka Ilmu.
Semarang.
Siregar, A.G.A. 1995. Pengaruh Cuaca dan Iklim Pada Produksi Susu. Institut
Pertanian Bogor, Fakultas Kedokteran Hewan. Jakarta.
Sitorus, P.E. 1983. Perbandingan Produktivitas Sapi Perah Impor di Indonesia.
Laporan Khusus Kegiatan Penelitian Periode Tahun 1982-1983. Balai
Penelitian Ternak. Bogor.
21

Sudono, A., F. Rosdiana, dan B.S. Setiawan. 2003. Beternak Sapi Perah secara
Intensif. Agromedia Pustaka. Jakarta.
Sutardi, T. 1984. Konsep Pembakuan Mutu Ransum Sapi Perah. Institut Pertanian
Bogor, Fakultas Peternakan. Jakarta
Toelihere, M.Z. 1985. Ilmu Kebidanan pada Ternak Sapi dan Kerbau. Universitas
Indonesia Press. Jakarta.
Williamson, G. dan W. J. A. Payne. 1993. Pengantar Peternakan di Daerah Tropis
(Diterjemahkan oleh S.G.N.D. Darmadja). Edisi ke-1. Gadjah Mada University
Press. Yogyakarta.
Zainuddin, G. 1982. Hijauan Makanan Ternak, Apa dan Bagaimana. Swadaya Warta
Persusuan Indonesia. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai