Anda di halaman 1dari 34

1

MAKALAH PRODUKSI TERNAK PERAH


“Pemeliharaan Pedet, Dara, Jantan, Pejantan, Laktasi dan Kering Kandang”

Oleh :
Kelas E
Kelompok 4

CHANIGIA HIKMAT R 200110160098


RESKY GUSTIANA 200110160125
PRITA TIA PRAMESTI 200110160128
M. PENGKUH A 200110160215
DINDA ADZANI S 200110160282
MIKHAIL ALEXANDER 200110160287
TEKA BARANI A 200110160294

FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
SUMEDANG
2018
2

I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sapi perah merupakan salah satu komoditas ternak yang cukup potensial

untuk dikembangkan di Indonesia. Sapi perah yang dikembangkan di Indonesia

merupakan sapi perah yang memang secara adaptif cocok dikembangakan di

Indonesia, Frisian Holstein merupakan salah satunya bangsa sapi perah yang baik

dikembangkan di Indonesia.
Kecukupan produksi susu di Indonesia hingga saat ini masih belum bisa

dipenuhi oleh produksi dalam negeri, 80% kebutuhan susu di Indonesia

didatangkan dari luar negeri. Peningkatan produkstivitas susu sapi perah harus

ditingkatkan guna mencukupi kebutuhan susu dalam negeri. Manajemen

pemeliharaan sapi perah sangat menentukan jumlah produksi dan juga kualitas

susu tersebut, karena produktivitas ternak tidak lepas dari tiga poin besar yaitu

breeding, feeding, dan manajement. Manajement pemeliharaan memiliki

presentase terbesar yaitu sekitar 70%. Manajement pemiliharaan sapi perah

sangatlah komples, yaitu mulai dari manajement perkandangan, manajement

pemberian pakan, manajement kesehatan, dan manajement reproduksi. Bentuk

dan tipe kandang sapi perah berpengaruh kepada kenyamanan sapi yang kemudian

berpengaruh terhadap produksi susu. Begitupun dengan pakan, jenis dan

komposisi pakan sangat mempengaruhi kualitas susu. Pakan dengan kadar protein

yang tinggi dibutuhkan untuk sapi perah, begitupun dengan pakan yang tinggi

kalsium. Manajement pemerahan seperti teknik pemerahan, lamanya pemerahan,

perlakuan pra dan pasca pemerahan berpengaruh pada produksi susu. Manajement
3

pemeliharaan sapi perah terdapat dua sistem yaitu system yang dilakukan di

peternakan tradisional dan di perusahaan peternakan sapi perah besar.

Pembelajaran dan pemahaman akan hal ini sangat diperlukan oleh seluruh element

yang bergerak dibidang peternakan khususnya sapi perah, oleh karena itu pada

kesempatan ini kami akan membahas menganai manajement pemeliharaan sapi

perah di peternakan tradisional maupun modern guna meningkatkan produktivitas

susu.

1.2 Identifikasi Masalah


Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah dari makalah ini

adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana cara pemeliharaan sapi perah laktasi

2. Bagaimana cara pemeliharaan sapi perah masa kering setelah melahirkan.

3. Bagaimana cara pemeliharaan pedet, dara, jantan dan pejantan

1.3 Maksud dan Tujuan


Maksud dan Tujuan dari makalah ini yaitu :

1. Mengetahui cara pemeliharaan sapi perah laktasi.

2. Mengetahui cara pemeliharaan sapi perah masa kering setelah melahirkan.

3. Mengetahui cara pemeliharaan pedet, dara, jantan dan pejantan


4

II

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Sapi perah adalah salah satu hewan ternak penghasil susu. Tingginya

produksi susu yang dihasilkan mampu menyuplai sebagian besar kebutuhan susu

di dunia dibanding jenis hewan ternak penghasil susu yang lain seperti kambing,

domba dan kerbau, maka dari itu sapi perah mempunyai kontribusi besar terhadap

pemenuhan kebutuhan susu yang terus meningkat dari tahun ketahun

(Garnsworthy, P.C.1988).

Pada peternakan sapi perah ini terdiri dari beberapa fase yang terjadi pada

peternakan sapi perah ini. Fase-fase ini terus berlanjut dan selalu berhubungan

sehingga membentuk siklus yang terus terjadi sepanjang hidupnya. Fase-fase yang

terjadi diantaranya ada fase laktasi dan masa kering.

Dari sejak melahirkan, produksi susu akan meningkat dengan cepat sampai

mencapai puncak produksi pada 35-50 hari setelah melahirkan. Setelah mencapai

puncak produksi, produksi susu harian akan mengalami penurunan. Lama diperah

atau lama laktasi yang paling ideal adalah 305 hari atau sekitar 10 bulan. Sapi

perah yang laktasinya lebih singkat atau lebih panjang dari 10 bulan akan

berakibat terhadap produksi susu yang menurun pada laktasi yang berikutnya

(Siregar, 1993).

2.1 Periode Laktasi

Pada permulaan laktasi, bobot badan akan mengalami penurunan, karena

sebagian dari zat-zat makanan yang dibutuhkan untuk pembentukan susu diambil

dari tubuh sapi. Pada saat itu juga sapi laktasi mengalami kesulitan untuk
5

memenuhi zat-zat makanan yang dibutuhkan sebab nafsu makannya rendah. Oleh

karena itu pemberian ransum terutama konsentrat harus segera ditingkatkan begitu

nafsu makannya membaik kembali (Siregar, 1993).

Dari sejak melahirkan, produksi susu akan meningkat dengan cepat sampai

mencapai puncak produksi pada 35-50 hari setelah melahirkan. Setelah mencapai

puncak produksi, produksi susu harian akan mengalami penurunan rata-rata 2,5%

perminggu. Lama diperah atau lama laktasi yang paling ideal adalah 305 hari atau

sekitar 10 bulan. Sapi perah yang laktasinya lebih singkat atau lebih panjang dari

10 bulan akan berakibat terhadap produksi susu yang menurun pada laktasi yang

berikutnya (Siregar, 1993).

Produksi susu sapi perah perlaktasi akan meningkat terus sampai dengan

periode laktasi yang ke-4 atau pada umur 6 tahun, apabila sapi perah itu pada

umur 2 tahun sudah melahirkan (laktasi pertama) dan setelah itu terjadi penurunan

produksi susu. Selama laktasi, kesehatan dan kebersihan sapi perah harus selalu

dijaga dengan baik. Pencegahan terhadap berbagai penyakit terutama mastitis

harus benar-benar mendapat perhatian khusus. Diduga 70% dari sapi perah yang

dipelihara di Indonesia menderita penyakit mastitis yang dapat menurunkan

produksi susu sekitar 15-20% (Siregar, 1993).

Menurut Tillman, dkk (1991), bahwa masa laktasi normal sapi yang tiap

tahunnya dikawinkan dan mengandung adalah selama sekitar 44 minggu atau 305

hari. Perkawinan yang lebih lambat dalam periode laktasi akan memungkinkan

periode laktasi lebih panjang. Selain itu dikatakan bahwa umur sapi adalah suatu

faktor yang mempengaruhi produksi air susu. Pada umumnya, produksi pada

laktasi pertama adalah terendah dan akan meningkat pada periode-periode laktasi

berikutnya. Namun faktor-faktor lain seperti makanan, kesehatan, frekuensi


6

pemerahan, dapat lebih berpengaruh terhadap produksi air susu dibandingkan

faktor umur sapi.

Lama laktasi induk sapi perah umumnya bergantung pada keefisienan

reproduksi ternak sapi tersebut. Ternak sapi perah yang terlambat menjadi

bunting menyebabkan calving interval diperpanjang sehingga lama laktasi

menjadi panjang karena induk sapi perah akan terus diperah selama belum terjadi

kebuntingan (Hadisutanto, 2008).

Produksi susu induk sapi perah periode laktasi sangatlah bervariasi. Hal ini

disebabkan oleh perubahan keadaan lingkungan yang umumnya bersifat temporer

seperti perubahan manajemen terutama pakan, iklim dan kesehatan sapi perah.

Kondisi iklim di lokasi induk sapi perah dipelihara sangat berpengaruh terhadap

kesehatan dan produksi susu. Suhu lingkungan yang ideal bagi ternak sapi perah

adalah 15,5ºC karena pada kondisi suhu tersebut pencapaian produksi susu dapat

optimal. Suhu kritis untuk ternak sapi perah Fries Holland adalah 27ºC

(Hadisutanto,2008). Ternak sapi perah Fries Holland yang berasal dari Eropa

akan berproduksi optimal apabila kondisi suhu lingkungan berkisar 10º-21ºC,

tetapi di Fiji dengan rataan suhu lingkungan 24,4ºC dan tingkat kelembaban relatif

yang tinggi ternyata ternak sapi perah mengalami penurunan produksi

(Hadisutanto, 2008).

Berat dan kapasitas ambing mencapai puncak pada waktu sapi berumur 6

tahun. Kenaikan kemampuan menampung cairan berbeda pada tiap-tiap laktasi

pertama dan kedua (Jasper, 1980).

Selang beranak yang optimal adalah 12 dan 13 bulan. Jika selang beranak

diperpendek maka akan menurunkan produksi air susu sebesar 3,7-9% pada

laktasi yang sedang berjalan atau yang akan datang. Jika selang beranak
7

diperpanjang sampai 450 hari maka akan meningkatkan produksi air susu sebesar

3,5% pada laktasi yang sedang berjalan atau yang akan datang (Sudono, 2003).

2.2 Sapi Perah Masa Kering

Masa kering adalah sapi perah betina yang umur kebuntingan telah

mencapai 7 bulan. Jika sapi tersebut sapi dara dan baru pertama kali melahirkan,

belum dapat dikatakan sebagai sapi kering karena belum memproduksi susu.

Yang dikatakan masa kering adalah sapi perah betina pada laktasi pertama pada

umur kebuntingan 7 bulan tidak dilakukan pemerahan lagi sampai sapi tersebut
melahirkan. Pakan yang diberikan untuk masa kering pada sapi perah hanya

hijauan saja sampai sapi perah tersebut mencapai puncak produksinya. Ada

beberapa cara untuk melakukan masa kering pada sapi perah atau tidak diperah,

yaitu dilakukan pada hari ke 309, dilakukan pemerahan secara berselang atau

pemerahan tidak lengkap, atau penghentian pemerahan tiba-tiba (Firman, 2010).

Memasuki bulan ketujuh kebuntingan, sapi tidak diperah lagi atau dikenal

dengan istilah kering kandang. Mengeringkan sapi laktasi pada waktu-waktu


tertentu terutama yang bunting tua merupakan suatu kebijakan yang harus

dilaksanakan. Kegunaan dari masa kering ini adalah: 1). Memberi kesempatan

kepada kelenjar alveoli untuk beristirahat agar ada persiapan untuk masa produksi

yang akan datang; 2). Memberikan kesempatan kepada induk untuk menimbun

makanan cadangan yang diberikan pada laktasi berikutnya; 3). Memberikan

kesempatan kepada organ-organ yang mengatur laktasi untuk mengadakan suatu

penyegaran pada masa istirahat; dan 4). Induk dapat menghimpun tenaga untuk

persiapan untuk kelahiran dan menghasilkan kolostrum, yang bermutu untuk

kebutuhan anaknya kelak.


8

Masa kering pada sapi perah pada kebuntingan 7 bulan, produksi susunya

sudah sedikit (lebih kurang 4 liter) tidak begitu sulit, yang menjadi masalah

adalah apabila produksi susunya masih diatas 4 liter. Menurut Nurdin (2011) ada

beberapa cara untuk mengeringkan sapi tersebut adalah, yaitu : 1). Pemerahan

berselang, yaitu dengan memerah sapi tersebut 1 kali sehari kemudian 1 kali

dalam 2 hari, 1 kali dalam 3 hari dan selanjutnya tergantung kondisi produksi

susunya. Dengan adanya air susu yang tidak dikeluarkan atau tertinggal dalam

ambing, akan menekan alveoli sehingga tidak mensekresikan air susu lagi. Cara

ini sebenarnya kurang baik karena ambing masih akan mengeluarkan air susu,

tetapi sangat baik dilakukan pada sapi yang menderita mastitis pada akhir masa

kering; 2). Pemerahan tidak lengkap. Cara ini dilakukan dengan melakukan

pemerahan seperti biasa sampai air susu habis dalam 1 hari dan dilakukan

beberapa hari. Kemudian dilakukan pemerahan berselang sampai air susu tinggal

sedikit lalu pemerahan dihentikan. Cara ini sangat baik dilakukan pada sapi-sapi

yang berproduksi tinggi. Sebab jika penghentian pemerahan dilakukan pada tiba-

tiba akan mengakibatkan rasa sakit pada sapi tersebut dan ambing akan bengkak;

3). Penghentian pemerahan secara tiba-tiba. Selama 3 hari sebelum masa

pengeringan, makanan penguat tidak diberikan dan rumput hanya diberikan lebih

kuran 2/3 dari biasanya. Susu yang tidak diperah akan terkumpul dalam ambing

sehingga sekresi alveoli ditekan dan susu tidak diproduksi lagi, sedangkan

pengurangan makanan juga akan mengurangi jumlah susu yang dihasilkan. Susu

yang berada di dalam ambing akan di absorbsi kembali oleh tubuh. Untuk

mencegah mastitis, dianjurkan untuk mencuci bersih ambing pada ambing pada

akhir pemerahan. Makanan dapat ditingkatkan kembali setelah produksi susu

berhenti (Nurdin, 2011).


9

Panjang pendeknya masa kering kandang akan sangat mempengaruhi

produksi dalam satu masa laktasi. Kering kandang atau masa istirahat yang

terlalu singkat menyebabkan produksi air susu pada masa laktasi berikutnya

menjadi rendah. Masa istirahat yang normal berlangsung sekitar 1,5 - 2 bulan.

Produksi air susu pada laktasi kedua dan berikutnya dipengaruhi oleh lamanya

masa kering kandang yang sebelumnya. Setiap individu sapi betina, produksi air

susunya akan naik dengan bertambahnya masa kering kandang sampai 7-8

minggu. Meskipun demikian, dengan masa kering kandang yang lebih lama lagi

produksi tidak akan bertambah lagi (Sudono, 2003).

2.3 Sapi Perah Pejantan

Pada peternakan sapi perah tradisional yang belum mengenal sistem

perkawinan secara IB masih dibutuhkan adanya ternak sapi perah pejantan yang

berguna untuk mengawini sapi perah betina agar bunting dan akan menghasilkan

produk susu.

Pada proses pemeliharaan sapi perah pejantan ini tidak jauh berbeda
dengan sapi perah betina namun tentunya ada perbedaan dalam sistem pemberian

pakan maupun perawatan. Misalnya dalam hal pemberian nutrisi pada pakan

haruslah disesuaikan dengan kebutuhan hidup pokok ternak tersebut dan juga

tujuan produksinya (Krishna A.S dkk. 2009).


10

III

PEMBAHASAN

3.1 Pemeliharaan pada Sapi Perah Masa Laktasi

3.1.1 Perkandangan Sapi Laktasi

Kegunaan bangunan kandang sangat penting sebab fungsi kandang untuk

menghindari ternak dari terik matahari, hujan, terpaan angin, dan gangguan

binatang buas atau ancaman dari luar (Sugeng, 2001). Kandang yang baik

jikaudara dapat keluar masuk dangan lancar dan mendapatkan sinar matahari yang
cukup, sehingga keadaan kandang tidak terlalu lembab. Kelembaban yang ada di

dalam kandang berkisar 65-93% dan di luar kandang sekitar 66-94%. Keadaan ini

tidak sesuai karena kelembaban yang ideal adalah 60-70 %.

Kandang sapi laktasi pada umumnya mempunyai luas 2,5 sampai 3 m²

setiap ekornya yang sudah dilengkapi dengan tempat makan dan minumnya serta

saluran pembuangan limbah. Luas tersebut akan berpengaruh terhadp gerak sapi

dan produksi susunya serta pekerja dalam berkativitas memerah susu. Hal ini
sesuai dengan pendapat Sudono dkk, (2003) yang menyatakan bahwa setiap sapi

membutuhkan luas 2,8 m², untuk kenyamanan bagi ternak yang ada di dalamnya,

sehingga ternak dapat berproduksi secara maksimal.

Bahan perkadangan khususnya atap memerlukan bahan yang dapat

menyerap panas dan tahan lama. Atap kandang dapat menggunakan genting, seng,

asbes,rumbia, ijuk/ alang-alang, dan sebagainya. Menurut Girisonta (1980) bahan

atap kandang yang ideal di negara tropis adalah genting. Dengan pertimbangan

yakni genting dapat menyerap panas, mudah didapat, tahan lama, antara genting

yang satu dengan yang lain terdapat celah sehingga sirkulasi udara cukup baik.
11

Lantai kandang sapi laktasi di buat dari semen beton dengan kemiringan

lantai 3. Kemeringan lantai bertujuan agar feces dapat dengan mudah mengalir

jatuh keselokan saat pembesihan dan juga menghindari cekungan air karena

kondisi lantai harus terjaga tetap kering atau minim air. Bahan lantai kandang

sesuai dengan pendapat Siregar (1995) yang menyatakan bahwa bahan untuk

lantai kandang berupa semen beton atau kayu. Ditambahkan oleh Syarief dan

Sumoprastowo (1985) bahwa lantai kandang hendaknya mempunyai struktur rata

,kasar, dan tidak licin dengan tujuan agar sapi tidak mudah terpeleset atau jatuh.

Tempat pakan dan tempat minum diletakkan memanjang, dan untuk tempat pakan

sapi laktasi memiliki ukuran panjang 1,81 m ,lebar 0,68 m, dan kedalamannya

0,39 m. untuk tempat minumnya memiliki ukuran panjang 0,60m ,lebar 0,68 m

,dan kedalaman 0,39 m.

Kandang sapi laktasi dibuat dengan sistem terbuka sehingga udara dapat

keluar masuk. Dinding yang ada di peternakan ini adalah penyekat antara kandang

satu dengan kandang lainnya yang merupakan tempat pakan dengan ketinggian 75

cm. Bahan yang digunakan dalam pembuatan dinding adalah semen beton

sehingga diharapkan dapat bertahan lama dan mudah dibersihkan. Jarak gang

yang ada di tengah baris kandang adalah 1-1,20 cm. Hal ini sudah sesuai dengan

pendapat Untung (1996) bahwa gang yang ada di tengah harus memiliki lebar 1 m

untuk deretan sapi yang berhadapan. Selokan dibuat tepat di belakang jajaran sapi

dari ujung ke ujung kandang dengan kedalaman 10 cm, lebar 25 cm.


12

3.1.2 Pemberian Pakan Sapi Laktasi.

Sapi perah laktasi dengan produksi susu tinggi harus diberi ransum dengan

jumlah banyak dan berkualitas dibandingkan dengan sapi perah yang produksi

susunya rendah. Hal ini disebabkan oleh tingginya kebutuhan nutrien pada sapi

perah yang produksinya tinggi. Pakan yang diberikan untuk sapi laktasi pada

umumnya berupa hijauan dan konsentrat.

Pakan konsentrat merupakan bahan pakan yang konsentrasi gizinya tinggi

namun serat kasarnya relatif dan mudah dicerna. Konsentrat dapat berupa dedak,

bungkil kelapa dan sebagainya. Menurut Blakely dan Bade (1994), pakan

konsentrat diberikan lebih dulu sebelum hijauan, dimaksudkan agar proses

pencernaan terhadap konsentrat bisa relatif lebih singkat waktunya sehingga

retensi nutrisi yang diperoleh akan lebih besar dan mempunyai efek perangsang

terhadap mikroba rumen. Menurut Syarief dan Sumoprastowo (1985), pakan

penguat atau konsentrat berfungsi untuk menutupi kekurangan zat gizi dalam

rumput atau hijauan, karena pakan penguat terdiri dari berbagai bahan pakan biji-

bijian dan hasil ikutan dari pengolahan hasil pertanian maupun industri lainnya.

Pakan hijauan merupakan bahan pakan yang berasal dari tumbuhan berupa

daun, batang dan ranting yang didapat dari hijauan atau legum. Pada Sapi Laktasi

membutuhkan sejumlah serat kasar yang sebagian besar berasal dari hijauan

sebagai sumber energi yang akan mempengaruhi produksi susu yang dihasilkan.

Sebelum hijauan diberikan dilakukan pemotongan atau chooping terlebih dahulu

sepanjang 5-10 cm. Hal ini sesuai dengan pendapat Siregar (1995) yang

menyatakan bahwa hijauan yang dipotongpotong dapat meningkatkan kecernaan

dari hijauan dan dapat meningkatkan konsumsi pakan (palatabilitas).

Perbandingan hijauan dan konsentrat dalam ransum yang diberikan adalah


13

60%:40% (dalam BK). Menurut Siregar (1993) imbangan antara hijauan dan

konsentrat yang baik dalam formula ransum sapi yang sedang berproduksi susu

dengan tetap mempertahankan kadar lemak dalam batas normal adalah 60 : 40.

Ada tiga fase pemberian pakan pada sapi perah laktasi yaitu :

a. Laktasi awal (early lactation) 0 – 70 hari setelah beranak

Selama periode ini, produksi susu meningkat dengan cepat, puncak produksi

susu dicapai pada 4-6 minggu setelah beranak. Pada saat ini konsumsi pakan tidak

dapat memenuhi kebutuhan zat-zat makanan (khususnya kebutuhan energi) untuk

produksi susu, sehingga jaringan-jaringan tubuh dimobilisasi untuk memenuhi

kebutuhan. Setelah beranak, konsentrat perlu ditingkatkan 1-1,5 lb per hari untuk

memenuhi kebutuhan zat-zat makanan yang meningkat dan meminimisasi

problem tidak mau makan dan asidosis. Namun perlu diingat, proporsi konsentrat

yang berlebihan (lebih dari 60% BK ransum) dapat menyebabkan asidosis dan

kadar lemak yang rendah. Tingkat serat kasar ransum tidak kurang dari 18% ADF,

28% NDF, dan hijauan harus menyediakan minimal 21% NDF dari total ransum.

Bila zat makanan yang dibutuhkan saat laktasi awal ini tidak terpenuhi,

produksi puncak akan rendah dan dapat menyebabkan ketosis. Produksi puncak

rendah, dapat diduga produksi selama laktasi akan rendah. Bila konsumsi

konsentrat terlalu cepat atau terlalu tinggi dapat menyebabkan tidak mau makan,

acidosis, dan displaced abomasum. Untuk meningkatkan konsumsi zat-zat

makanan :

1. Memberi hijauan kualitas tinggi

2. Protein ransum cukup

3. Tingkatkan konsumsi konsentrat pada kecepatan yang konstan setelah beranak

4. Tambahkan 1,0-1,5 lb lemak/ekor/hari dalam ransum


14

5. Pemberian pakan yang konstan

6. Minimalkan stress.

b. Fase Dua 10 minggu kedua setelah beranak

Selama fase ini, sapi diberi pakan berkualitas untuk mempertahankan

produksi susu puncak selama mungkin. Konsumsi pakan mendekati maksimal

sehingga dapat me-nyediakan zat-zat makanan yang dibutuhkan. Sapi dapat

mempertahankan bobot badan atau sedikit meningkat. Konsumsi konsentrat dapat

banyak, tetapi jangan melebihi 2,3% bobot badan (dasar BK). Kualitas hijauan

tinggi perlu disediakan, minimal konsumsi 1,5% dari bobot badan (berbasis BK)

untuk mempertahankan fungsi rumen dan kadar lemak susu yang normal. Untuk

meningkatkan konsumsi pakan:

1. Memberi hijauan dan konsentrat tiga kali atau lebih sehari,

2. Memberi bahan pakan kualitas tinggi

3. Membatasi urea 0,2 lb/sapi/hari

4. Meminimalkan stress

5. Menggunakan TMR (total mix ration)

c. Fase Ketiga Pertengahan – laktasi akhir, 140 – 305 hari Setelah beranak.

Fase ini merupakan fase yang termudah untuk me-manage. Selama

periode ini produksi susu menurun, sapi dalam keadaan bunting, dan konsumsi zat

makanan dengan mudah dapat dipenuhi atau melebihi kebutuhan. Level pem-

berian konsentrat harus mencukupi untuk memenuhi kebutuhan produksi, dan

mulai mengganti berat badan yang hilang selama laktasi awal. Sapi laktasi

membutuhkan pakan yang lebih sedikit untuk mengganti 1 pound jaringan tubuh
15

daripada sapi kering. Oleh karena itu, lebih efisien mempunyai sapi yang

meningkat bobot badannya dekat laktasi akhir daripada selama kering.

3.1.3 Pemberian Air minum

Air minum merupakan kebutuhan yang juga tidak bisa dilupakan karena

fungsinya untuk memproduksi susu dan membantu proses metabolis ternak. Sapi

laktasi diberikan air minum secara ad-libitum yang diletakkan dalam bak air

minum di samping bak pakan. Jumlah air yangdiminum tergantung pada ukuran

tubuh, temperature lingkungan kelembaban udara dan jumlah air yang ada pada

pakan Setiap susu yang diproduksi sebanyak 1 liter membutuhkan 4 liter air

minum. Keadaan tersebut sesuai dengan pendapat Sudono dkk.(2003), bahwa

jumlah air minum dibutuhkan untuk menghasilkan 1 liter susu adalah 4 liter.

Menurut Siregar (1995), air minum yang dibutuhkan ternak sapi perah

untuk memproduksi susu sekitar 30-40 liter per hari. Air minum tersebut

diperoleh dari sumur yang terdapat di dalam area peternakan. Air dari sumur

dipompa dengan mesin pompa air dan disalurkan kedalam bak penampung air

dengan menggunakan peralon. Dari bak penampungan air dialirkan ketiap-tiap

kandang dengan peralon yang didesain pada tiap kandang.

3.1.4 Sanitasi Kandang dan Sapi Laktasi

Sanitasi kandang dilakukan dengan cara membersihkan tempat pakan dan

tempat minum, feses serta sisa pakan yang tercecer pada lantai kandang.

Lingkungan kandang yang bersih dimaksudkan agar sapi tidak terserang penyakit

dan susu yang dihasilkan tidak terkontaminasi oleh kotoran. Hal ini sesuai dengan

pendapat Williamson dan Pyne (1993), bahwa lingkungan kandang sapi harus
16

bersih supaya saat pemerahan susu tidak terkontaminasi serta menjaga kesehatan

sapi. Ternak dimandikan pada pukul 05.00 WIB yaitu dengan cara mengguyurkan

air ke seluruh tubuh sapi setelah pemerahan usai.

3.1.5 Pemerahan

Kegiatan pemerahan oleh peternak pada umunya dilakukan sebanyak 2

kali sehari yaitu pagi dan sore. Sebelum dilakukan pemerahan ada hal yang perlu

dilakukam yaitu adalah kebersihan ambing dan peralatannya steril dari bakteri

kontaminan. Ambing dicuci terlebih dahulu agar susu tidak terkontaminasi dengan

kotoran, lalu peralatan yang digunakan yaitu :ember, minyak kelapa sebagai

pelicin dan penyaring susu disiapkan. Selain itu tangan pemerah harus bersih, dan

kuku tidak boleh panjang, karena dapat melukai puting susu dan juga untuk

menghindari terkontaminasinya susu oleh kotoran yang mengandung bakteri.

Menurut Siregar (1995), bahwa sebelum pemerahan, puting diolesi dengan

pelicin. Menurut Blakely dan bade (1992) bahwa proses pelepasan susu akan

terganggu bila sapi merasa sakit dan ketakutan. Metode pemerahan yang

digunakan adalah sebagai berikut :

a. Whole Hand, dengan cara jari memegang puting susu pada pangkal puting

diantara ibu jari dan telunjuk dengan tekanan diawali dari atas yang diikuti jari

tengah, jari manis dan kelingking seperti memeras. Pemerahan secara Whole

hand membutuhkan waktu rata-rata 6,64 menit untuk memerah seekor sapi

dan cara ini digunakan untuk sapi yang putingnya panjang.

b. Strippen, dengan cara puting dijepit antara ibu jari dan jari telunjuk yang

digeserkan pada pangkal puting bawah sambil dipijat. Pemerahan secara


17

Strippen rata-rata waktu yang dibutuhkan untuk memerah seekor sapi adalah

7,72 menit dan cara ini digunakan untuk sapi yang ukuran putingnya pendek.

Cara pemerahan tersebut sesuai dengan pendapat Syarief dan Sumoprastowo

(198) yang menyatakan bahwa whole hand merupakan cara terbaik untuk sapi

yang memiliki puting panjang dan produksi susu tinggi sedangkan cara

strippen biasa digunakan untuk sapi yan putingnya pendek.

c. Pemerahan dengan mesin, masih sedikit digunakan di Indonesia, hanya

peternakan dalam skala besar yang menggunakannya. Cara kerja dengan

menggunakan mesin perah inihampir sama dengan pemerahan pakai tangan,

hanya saja dibedakan dengan dengan mesin. Pemerahan berjalan dan air susu

mengalir dalam ember. Lama pemerahan untuk setiap sapi perah kurang lebih

8 menit. Hal ini sangat tergantung pada banyaknya produksi susu yang

dihasilkan (Dirjen Peternakan, 2009).

3.1.6 Pencegahan Penyakit

Penyakit yang biasa menyerang sapi perah laktasi dan mempengaruhi

produksi susu adalah mastitis, brucellosis, dan milk fever. Upaya pencegahan

penyakit dapat dilakukan dengan cara sanitasi kandang, pengobatan, vaksinasi,

menjaga kebersihan sapi, dan lingkungan (Siregar, 1993).Mastitis merupakan

penyakit peradangan pada kelenjar susu dan dapat menyebabkan pembengkakan

sehingga susu tidak dapat keluar melalui puting. Penyebab penyakit ini adalah

bakteri Streptococcus cocci dan Staphylococcus cocci.

Brucellosis adalah penyakit keluron/ keguguran menular pada hewan yang

disebakan oleh bakteri Brucella abortus yang menyerang sapi, domba, kambing,

babi, dan hewan ternak lainnya. Brucellosis bersifat zoonosa artinya penyakit
18

tersebut dapat menular dari hewan ke manusia. Pada sapi, penyakit ini dikenal

pula sebagai penyakit keluron/ keguguran menular, sedangkan pada manusia

menyebabkan demam yang bersifat undulasi yang disebut demam malta.

Milk Fever merupakan penyakit yang disebabkan gangguan metabolisme

sapi betina menjelang atau pada saat melahirkan atau setelah melahirkan (72 jam

setelah beranak ) yang ditandai dengan kekurangan kalsium dalam darah.

Penyebabnya adalah kekurangan Ca (hipokalsemia) yang akut. Hal ini

menimbulkan gangguan metabolisme mineral yakni metabolisme Ca yang bisa

berakibat kepada seluruh tubuh. Penyerapan yang berlebihan terhadap ion Ca oleh

kelenjar susu dan dapat juga disebabkan oleh tinggi rendahnya kadar ion Ca

dalam darah sehingga fungsinya tidak normal.

3.1.7 Handling

Cara menunutun sapi yang lebih muda dan juga jinak (pedet atau heifer

muda) cukup mudah. Tangan kanan mencengkram dagu (bagian bawah mulut)

sapi, sedangkan tangan kiri memegang erat tanduk atau telinga sapi

3.2 Pemeliharaan pada Sapi Perah Masa Kering

Masa kering kering pada sapi perah dilakukan pada waktu kira-kira

delapan minggu sapi menjelang melahirkan anaknya. Pada masa ini pemerehan di

hentikan total dengan tujuan memberi kesempatan sapi untuk beristirahat serta

mengoptimalkan peran pakan ternak meningkatkan bobot yang ideal dan tepat

untuk perkembangan janin bukan untuk produksi susu.

Lama kering merupakan suatu periode ketikasel-sel ambing tidak

mensekresikan air susudiantara dua periode laktasi. Periode tersebut esensial


19

untuk memberi kesempatan sel-sel ephitelambing beregresi, proliferasi dan

diferensiasi yangmemungkinkan stimulasi produksi susu secaramaksimal (CM'uco

et al., 1997). Ketika seekor sapi dikeringkan, diasumsikan kehilangan produksi

susu pada laktasi berjalan dikompensasi oleh lebih banyak produksi susu yang

dihasilkan pada laktasi berikutnya (Gylay, 2005). Aplikasi lama kering yang

sesuai dengan demikian menjadi suatu faktor kritis untuk mencapai produksi susu

maksimal .

Menurut Siregar dalam Adika Putra (2009), masa kering sapi perah yang

terlalu pendek menyebabkan produksi susu turun. Masa kering sapi perah secara

normal adalah 80 hari dan pakan terus dijaga mutunya, terutama 2-3 bulan

terakhir sebelum masa kering kandang.

Dalam pelaksanaan masa kering sapi perah dilakukan dengan dua sistem,

yaitu secara fisiologis dan secara mekanis. Secara fisiologis dilakukan dengan

cara memperhatikan kebutuhan konsumsi pakan serta keadaan kandang yang baik

untuk sapi masa kering. Sedangkan secara mekanis adalah adanya variasi

pemerahan mulai dari pemerahan secara berselang, pemerahan secara tidak

lengkap, dan pemerahan secara tiba-tiba.

3.2.1 Kebutuhan Konsumsi Pakan Sapi Perah Masa Kering

Pada saat sapi perah dalam kondisi kering, kebutuhan akan konsumsi

pakan penting untuk di perhatikan. Hal ini di maksudkan untuk menjaga

kesehatan sapi itu sendiri serta untuk menjaga kesehatan kandungan ternak

tersebut.

Secara umum pada kondisi kering ini, ternak diberikan sedikit hijauan dan

pengurangan bahkan penghentian pemberian konsentrat pada masa awal kering,

sedangkan pada akhir masa kering hijauan diberikan dalam jumlah seperti biasa
20

dan diikuti dengan penambahan konsentrat. Ransum harus diformulasikan untuk

memenuhi kebutuhannya yang spesifik: maintenance, pertumbuhan foetus,

pertambahan bobot badan. Pada kondisi ini konsumsi BK ransum harian yang

diberikan pada ternak tidak boleh melebihi dari 2% berat badan, konsumsi hijauan

minimal 1% berat badan. Setengah dari 1% BB (konsentrat) per hari biasanya

cukup untuk program pemberian pakan sapi kering. Pada masa kering, sapi perah

harus di tekan jangan sampai terlalu gemuk atau BCS nya melebihi standar untuk

sapi bunting (2,5 – 3). Hal ini dimaksudkan agar sapi tersebut tidak ada kendala

dalam proses kelahiran nantinya. Komposisi hijauan kualitas rendah,

seperti grass hay, baik diberikan pada kondisi ini dengan tujuan untuk membatasi

konsumsi hijauan. Pada kondisi kering kebutuhan protein yang dikonsumsi sapi

perah sebesar 12 % sudah cukup untuk menjaga kesehatan ternak tersebut.

Kebutuhan Ca dan P sapi kering harus dipenuhi, tetapi perlu dihindari pemberian

yang berlebihan; kadang-kadang ransum yang mengandung lebih dari 0,6% Ca

dan 0,4% P meningkatkan kejadian milk fever. Trace mineral, termasuk Se, harus

disediakan dalam ransum sapi kering. Juga, jumlah vitamin A, D. dan E yang

cukup dalam ransum untuk mengurangi kejadian milk fever, mengurangi retained

plasenta, dan meningkatkan daya tahan pedet. Sedikit konsentrat perlu diberikan

dalam ransum sapi kering dimulai 2 minggu sebelum beranak, bertujuan:

a. Mengubah bakteri rumen dari populasi pencerna hijauan seluruhnya menjadi

populasi campuran pencerna hijauan dan konsentrat

b. Meminimalkan stress terhadap perubahan ransum setelah beranak.

3.2.2 Kebutuhan Kondisi Kandang Sapi Perah Masa Kering


21

Keberadaan kandang untuk sapi yang akan beranak atau kandang kering

kandang sangat penting. Hal ini disebabkan sapi yang akan beranak

memerlukan exercise atau latihan persiapan melahirkan (bisa berupa jalan-jalan

di dalam kandang) untuk merangsang kelahiran normal. Di kandang ini, sapi tidak

diperah susunya selama sekitar 80 hari . Dengan demikian, pakan yang di makan

hanya untuk kebutuhan anak yang berada didalam kandungannya dan kebutuhan

hidupnya dalam mempersiapkan kelahiran.

Kandang sapi kering dapat dibuat secara koloni untuk 3 – 4 ekor sapi

tanpa disekat satu sama lain. Ukuran ideal kandang sapi kering per ekor adalah 2-

2,5 x 7 x 1 m (lebar 2-2,5 m , panjang 7 m dan tinggi 1 m). Ukuran tempat pakan

sama dengan ukuran tempat pakan di kandang sapi masa produksi, tempat pakan

ini biasa ditempatkan di tengah kandang. Untuk sapi bunting masa kering

kemiringan kandang tidak boleh melebihi dari 50 hal ini bertujuan agar ternak

tersebut tidak tergelincir yang bisa menyebabkan gangguan pada janin yang di

kandung.

3.2.3 Proses Pengeringan Dengan Cara Pengaturan Pemerahan

Menurut Syarief dan Sumoprastowo (1990) dalam proses pengeringan atau

menuju masa kering sapi perah dapat dilakukan dengan cara pengaturan

pemerahan, proses pemerahan tersebut dapat di lakukan dengan 3 cara yaitu

sebagai berikut :

a) Pemerahan berselang yaitu pengeringan yang menggunakan cara sapi hanya

diperah sekali sehari selama beberapa hari. Selanjutnya satu hari diperah dan

hari berikutnya tidak diperah. Kemudian induk diperah 3 hari sekali hingga

akhirnya tidak diperah sama sekali.


22

b) Pemerahan tidak lengkap yaitu pemerahan tetap dilakukan setiap hari, tetapi

setiap kali pemerahan tidak sekali puting atau keempat puting itu diperah, jadi

keempat puting itu diperah secara bergantian. Setiap kali memerah hanya 2

puting saja, dan hari berikutnya bergantian puting lainnya. Hal ini dilakukan

beberapa hari hingga akhirnya tidak diperah sama sekali. Cara ini dilakukan

pada sapi yang mempunyai kemampuan produksi tinggi.

c) Pemerahan yang dihentikan secara mendadak yaitu pengeringan ini dilakukan

dengan tiba-tiba. Cara pengeringan semacam ini didahului dengan tidak

memberikan makanan penguat 3 hari sebelumnya, dan makanan kasar berupa

hijauan pun dikurangi tinggal seperempat bagian saja. Cara ini lebih efektif

dan memperkecil gangguan kesehatan pada ambing, bila kombinasikan

dengan cara pemerahan berselang.

3.3 Pemeliharaan pada Pedet, Dara, Jantan dan Pejantan

3.3.1 Pemeliharaan Pedet

Manaejemen pada pedet dilakukan dari mulai pedet baru lahir hingga sapi
lepas sapih. Penanganan ini terdiri dari tiga manajemen yaitu manajemen

pemeliharaan, manajemen pemberian pakan, dan manajemen kesehatan pedet.

Dalam penanganan pedet baik yang baru lahir atau perembangan pedet

selanjtnya perlu diperhatikan beberapa hal yaitu:

1. Perlakuan terhadap pedet yang baru lahir

 Pedet yang baru lahir harus diberi perawatan secara cepat, tepat, dan

tanggap dari operator sesuai dengan pernyataan Blakely dan Bade

(1998) pedet yang baru lahir tersebut dikeringkan atau membiarkan


23

induk menjilatinya sehingga pedet tidak kedinginan apabila cuaca

dalam keadaan dingin.

 Tali pusar pedet yang baru saja dilahirkan segera dicelupkan

menggunakan iodin povidone/ alcohol.

 Pedet segera diberi susu dari ibunya sebanyak 2,5 liter dan diberikan

sekitar 6-8 jam berikutnya.

 Dalam rentan waktu 4-6 jam, pedet dipindahkan ke kandang perawatan

intensive pedet (calf intensive care pans). Hal tersebut sesuai dengan

pernyataan Williamson dan Panye (1993), pedet yang baru lahir perlu

disiapkan kendang dengan memberikan alas berupa jerami kering atau

serbuk gergaji.

 Setelah umur pedet memasuki 6-12 jam, pedet diperkenalkan minum

susu dengan menggunakan teat bar.

 Memasuki usia 12-56 jam, pedet setidaknya harus diberi susu

kolostrum minimal 5 liter, sebaiknya 6 liter jika kolostrum mencukupi.

 Pada usia 56-72 jam, jika pedet menghisap susu menggunakan teat bar

sudah bagus, maka dia bisa dipindahkan ke kandang samping kandang

Maternity.

 Pada usia 72 jam-60 hari, jika pada waktu itu pedet masih harus

didorong (dibantu) menyusu ke teat bar, maka pedet tersebut harus

dipisahkan dan dicat di white board untuk diperhatikan lebih lanjut.

2. Pemberian kolostrum dan susu tambahan pada pedet :

 Umur 0-1jam pedet diberi 3 liter kolostrum dengan kualitas yang sangat

baik dengan menggunakan stomach tube, kolostrum hanya diambil dari

sapi laktasi ke-2 dan ke-3. Pedet rentan terhadap infeksi saluran
24

pencernaan oleh karena itu diberi interflox oral, sebagai antibiotik untuk

mencegah infeksi saluran pencernaan.

 Umur 5-7 jam pedet diberi 3 liter kolostrum.

 Umur 18 jam-2 hari diberikan lagi tambahan kolostrum sebanyak 3 liter

menggunakan teatbar setiap harinya.

 Umur 2-42 hari diberi campuran 50% susu bubuk 50% susu induk, susu

bubuk sebanyak 0,75 kg dalam 6 liter air menggunakan calfeeder.

Pedet yang baru lahir segera diberi tanda RV - ID sebagai nomor catatan

recording data pedet tersebut. Nomor eartag diberikan 10-15 hari pasca

melahirkan. Pada ear tag, dicantumkan nama dan nomor sapi bagi betina. Bagi

pejantan hanya dicantumkan nomor sapi, hal tersebut dikarenakan pejantan tidak

dibesarkan melainkan akan dijual. Pada umur 48 jam sampai kurang dari 20

hari, pedet diberi 375 gr susu pengganti (milk replacer) yang dicampur dengan

antibiotik (demoxan) dan ditambah dengan air panas 3 liter dengan suhu

pemberian 36°C-38°C selama dua kali sehari. Suhu tersebut disesuaikan dengan

aliran darah, pemberian susu yang terlalu dingin menyebabkan diare pada pedet.

A. Pemberian Pakan Pedet

Pada umur tiga hari, pedet dikenalkan dengan konsentrat dengan

pemberian yang sedikit pada minggu pertama. Konsentrat yang tersedia selalu

diganti tiap harinya. Sisa pakan konsentrat selalu ditimbang untuk mengetahui

konsumsi pakan pedet. Pedet diberi konsentrat secara terus-menerus selama tiga

bulan. Saat umur tiga minggu, pedet dikenalkan dengan pakan TMR (Total

Mixed Ration) tujuanya untuk adaptasi pakan.

Pedet yang telah berumur kurang lebih 42 hari akan disapih dengan syarat

mengkonsumsi pakan 1,5 kg konsentrat/ hari dengan tinjauan konsumsi pakan


25

dua hari sebelumnya (minimal tiga hari berturut-turut konsumsi pakan 1,5 kg/

hari). Pakan yang terkonsumsi sebanyak 1,5 kg/ hari merupakan 1,8 kg dry

matter intake (bahan kering yang termakan). Apabila pedet dirasa masih kecil,

penyapihan dapat diundur sehingga pedet mendapatkan susu untuk beberapa

minggu guna pertumbuhannya. Hal tersebut sesuai dengan pejelasan Blakely dan

Bade (1998) yang menyatakan bahwa pedet sapi perah disapih pada umur 3-4

bulan, tergantung dari kondisi pedet. Cara penyapihan pedet sedikit demi sedikit

susu yang diberikan dikurangi. Sebaliknya, pemberian konsentrat dan hijauan

ditingkatkan sampai pada saatnya pedet itu disapih sehingga terbiasa dan tidak

mengalami stress (Putra, 2004). Penimbangan pedet dilakukan sebulan sekali

setelah dilahirkan.

Sebelum dilakukan penyapihan, pedet diwajibkan telah melakukan

dehorning atau potong tanduk, hal ini dilakukan untuk keamanan peternak dan

keselamatan sapi saat dewasa atau kawin alam. Pedet yang telah disapih dapat

digembalakan dengan tujuan membantu pertumbuhan pedet. Selain itu, pedet

lepas sapih terkadang mendapatkan susu tambahan yang didapat darisisa hasil

pemerahan susu kolostrum dan susu mastitis. Alat dehorning yang digunakan di

PT UPBS adalah alat dehorner dengan di pananskan di kompor, alat dehorner

dengan listrisk, dan gunting besi.

B. Kesehatan Pedet

Setiap pedet yang ditemukan sakit harus segera ditangani dan ditempatkan

pada kandang hospital atau diisolasi. Ciri-ciri pedet yang harus mendapat

perawatan atau pengobatan yaitu lemas, nafsu makan menurun, kulit kering, tidak

mengkilat, mulut kering, kaki dan telinga saat dipegang terasa dingin dan mata

sayu. Penyakit yang sering terjadi pada pedet yaitu diare, bloat dan pnemonia
26

3.3.2 Pemeliharaan Sapi Dara

Sapi dara merupakan sapi betina hasil seleksi sejak lepas sapih sampai

dengan siap dikawinkan pada umur 15-18 bulan. Sapi dara FH (Fries Holand)

apabila memiliki bobot badan 350 kg atau 320 kg untuk Jersey Cross saat

berumur 13,5 bulan. Selain bobot badannya, perkembangan tubuh dan

kesehatannya juga harus baik. Apabila sudah mencapai bobot badan tersebut sapi

tersebut dapat diberi kalung transponder tujuannya untuk mengetahui tingkat

aktifitas sapi sehingga dapat dilakukan inseminasi atau natur service oleh bull.

Apabila telah dilakukan inseminasi atau natur service serta dalam keadaan

bunting, maka kalung transponderakan dilepas dan dipasang kembali setelah

beranak.

Sapi heifer yang diinseminasi hanya menggunakan sexed semen dan hanya

satu kali inseminasi. Pada hari ke-40 setelah inseminasi, sapi heifer dilakukan

PKB yaitu pemeriksaan kebuntingan dengan metode palpasi rektal. Apabila sapi

tersebut tidak bunting, maka diberikan kesempatan kawin dengan cara natural

service oleh bull pada saat birahi selanjutnya. Sapi heifer yang positif bunting

selanjutnya akan dipindahkan ke kandang kering khusus sapi heifer

A. Sapi dry

Di perusahaan skala besar biasanya pengeringan sapi bunting dilakukan

dengan pemberian antibiotic (bovaclox dan orbeseal) yang disuntikkan pada

intramammary dengan dosis 5,4 ml/1 syr per puting. Pemberian antibiotik

dilakukan setelah pemerahan terlebih dahulu agar puting dapat terbuka dan tidak

luka saat penyuntikan. Sapi yang akan dikeringkan (dry) di puasakan selama 2-3

hari kemudian dimasukan ke dalam kandang sapi dry. Kemudian 3 minggu


27

menjelang melahirkan, sapi di pindahkan ke kandang transisi satu untuk

persiapan melahirkan (partus).

Masa kering yang terlalu lama menunjukkan gangguan reproduksi

sehingga sulit untuk dijadikan bunting kembali, sedangkan masa kering yang

terlampau pendek dapat menyebabkan terjadinya longevity (lama hidup

berproduksi) yang pendek. Menurut Lush dalam Sudono. dkk (2003) bahwa

sapi yang mempunyai longevity yang panjang akan menghasilkan susu yang

lebih banyak per unit pakan yang dimakan, dengan demikian akan lebih efisien

dalam biaya produksi susu.

Sapi yang termasuk kedalam laktasi tinggi pada saat akan dikeringkan

akan dilakukan pemuasaan selama tiga hingga empat hari, jika tidak akan

langsung dimasukan kedalam kandang kering bunting. Pada umur tiga minggu

menjelang kelahiran, sapi akan dipindahkan kekandang transisi dua dengan

melihat umur kebuntingan dan pembebasan ambing dan diberi pakan TMR 30

kg. Satu minggu menjelang kelahiran, sapi akan dipindahkan kedalam kandang

transisi satu. Untuk sapi laktasi pertama ketika baru melahirkan maka

transpondernya di pasang. Pada saat memasuki 1-2 hari menjelang kelahiran,

sapi dipindahkan ke sawdust pans (kandang melahirkan), kandang tersebut harus

selalu dibersihkan setiap hari dengan alur penggantian Oxonia Activ (PA)-

Limestone-sawdust baru, yang bertujuan untuk meminimalisir timbulnya bakteri

dan kuman.

Sapi setelah melahirkan pedet , sapi diberi infuse 1 botol (500 ml)

calciject bawah kulit (subkutan), menggunakan jarum bersih dan steril. Sapi

diberi 20 liter air hangat ditambahkan dengan MPG mix dan 35 kg TMR. Hal

ini bertujuan agar pada saat naluri keibuan sapi muncul untuk menjilati anaknya
28

maka sekalian juga sapi memakan pakan TMR. Jika pada saat melahirkan sapi

tersebut dan perlu ditolong kemudian tangan operator masuk kedalam vagina

sapi atau menggunakan Calf puller (alat penarik pedet,pembantu melahirkan

menggunakan tambang), maka secara otomatis sapi harus di inject pen strep 20

ml. Satu jam setelah sapi melahirkan sapi diperah susu kolostrumnya terlebih

dahulu kemudian diberikan ke pedet.

3.3.3 Sapi Jantan

Perawatan sapi jantan meliputi sanitasi kandang tersebut, dan dalam segi

pakan. Kandang sapi perah jantan harus selalu bersih, supaya sapi tidak mudah

terserang penyakit. Ukuran kandang untuk pejantan adalah 1,8 m x 2 m per ekor.

Sapi-sapi jantan memerlukan kandang yang luas dan kuat, selain itu perlu

dilengkapi tempat exercise yang dipagar kuat (Soeparjo, 1992).

Pakan yang diberikan juga harus sesuai dengan kebutuhan sapi. Jumlah

rumput yang dikonsumsi setiap hari bervarias tergantung dari ukuran berat badan

dan umur. Pada pejantan yang masih kecil dibutuhkan konsentrat yang banyak.

Dengan bertambanya usia akan membutuhkan nutrisi yang banyak dan banyak

lagi dengan ditambahkan hijauan pula (Miller, W. J, 1979)

Pejantan dewasa sebaiknya diberikan makanan yang sama dengan betina

laktasi. Makanan penguat terus diberikan dalam jumlah yang tergantung dari

kualitas hiajauan yang dimakannya agar kondisi tubuh tetap baik dantidak

membentuk lemak tubuh. Campuran makanan penguat dengan 12 persen protein

kasar adalah cukup untuk sapi pejantan apabila diberikan bersama hijauan

berkualitas baik. Sapi jantan yang kegemukan dapat menurunkan nafsu seks,

stress, serta kesalahan urat pada kaki dan pahanya. Kalsium yang berlebihan
29

dalam ransum juga menyebabkan masalah pada sapi jantan tua. Bila legume

diberikan, maka makanan penguat tidak boleh mengandung suplemen Ca. Sapi

jantan tidak mengalami kehilangan Ca dari tubuhnya seperti sapi betina.

Kelebihan Ca mengakibatkan tulang punggung dan tulang-tulang lainnya bersatu.

Karena itu, pejantan harus diberikan campuran makanan penguat yang berbeda

dengan sapi laktasi.

Pemeliharaan yang dilakukan untuk sapi jantan antara lain gerak latihan

(exercise) , pemeliharaan kuku, pemotongan tanduk, pemasangan cincin hidung,

dll. Untuk exercise, cara terbaik untuk gerak latih yaitu dengan menyediakan

lapangan yang cukup luas sekitar 4 kali 4,5 m setiap pejantan di halaman kandang.

Di halaman tersebut berjalan dan beristirahat pada radius palang berputar tersebut.

Untuk pemasangan Cincin hidung sebaiknya harus sudah dipasang sejak umur

enam bulan. Besar cincin hidung yang sesuai bagi pejantan muda kira-kira

berdiameter 2,75 cm. cincin hidung diganti dsengan yang agak besar bila sapi

telah berumur 10 – 12 bulan, mengunakan cincin hidung kira-kira 7,5 cm.

Waktu untuk mengawinkan pejantan umumnya pejantan yang baik

dikawinkan untuk pertama kali pada umur 10 – 11 bulan sebanyak satu atau dua

kali. Jumlah kawin meningkat setelah 12 hingga 13 bulan. Biasanya peternak

memilih mengawinkan pejantan dua kali seminggu seminggu. Atau pejantan

digunakan secara terus menerus setiap hari selama dua minggu atau dalam satu

periode perkawinan selama tiga bulan. Sehingga seekor sapi pejantan sejak umur

dua tahun dapat mengawini 50 – 60 ekor sapi betina setiap tahunnya. Untuk

mendapatkan anak yang seragam dalam satu musim perkawinan selama tiga

bulan, seekor sapi pejantan dapat mengawini 20 – 25 ekor betina. Bila digunakan
30

untuk inseminasi buatan seekor pejantan dapat mengawini kira-kira 10.000 ekor

betina dalam setahun.

Manajemen perawatan sapi pejantan yang baik ini dapat menghasilkan

pejantan unggul sehingga dapat dikawinkan dengan betinanya dan menghasilkan

bibit atau anakan yang baik.


31

IV

KESIMPULAN

1. Sapi laktasi perlu diperhatikan sanitasinya, ransum atau pakan yang diberikan

dan produksi yang dihasilkan. Pembersihan kandang dan ternak harus

dilakukan secara rutin. Pakan yang diberikan berupa hijauan dan konsentrat.

Konsentrat berpengaruh terhadap kadar berat jenis susu dan produksi,

sehingga semakin tinggi nilai konsentrat berat jenis susu akan tinggi,

sedangkan hijauan akan berpengaruh terhadap kualitas susu yang dihasilkan


terutama lemak yang dihasilkan.

2. Cara pengeringan dapat dilakukan dengan tiga cara: 1. Pemerahan berselang

yaitu pengeringan yang menggunakan cara sapi hanya diperah sekali sehari

selama beberapa hari, 2. Pemerahan tidak lengkap yaitu pemerahan tetap

dilakukan setiap hari, tetapi setiap kali pemerahan tidak sekali puting atau

keempat puting itu diperah, jadi keempat puting itu diperah secara bergantian,

dan 3. Pemerahan yang dihentikan secara mendadak yaitu pengeringan ini


dilakukan dengan tiba-tiba.

3. Perawatan sapi jantan meliputi sanitasi kandang tersebut, dan dalam segi

pakan. Kandang sapi perah jantan harus selalu bersih, supaya sapi tidak mudah

terserang penyakit. Ukuran kandang untuk pejantan adalah 1,8 m x 2 m per


ekor.
32

DAFTAR PUSTAKA

Akoso, B. T. 1996. Kesehatan Sapi. Kanisius.Yogyakarta.

Aksi Agraris kanisius. 1985. Beternak Sapi Perah. Cetakan keenam. Penerbit
kanisius. Yogyakarta. 49 – 50 .

Blakely, J dan D.H, Bade. 1994. Ilmu Peternakan. Edisi ke empat. Di terjemahkan
oleh Srigandono, B. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Djarirah, A.S. 1996. Pengembangan Persusuan dan Dampak Bagi Pengembangan


Operasi dan Peternak. Penebar Swadaya. Jakarta

Dirjen Peternakan. 2009. Petunjuk Pemeliharaan Sapi Perah. Balai Besar


Pembibitan Ternak Unggul Sapi Perah Baturaden. Baturaden.

Ensminger, M.E. 1993. Dairy Cattle Science. Third Ed., the Interstate Publisher,
Inc., Danvile, Illionis. 407 – 422.

Firman, A. 2010. Agribisnis Sapi Perah.Widya Padjadjaran,Bandung.

Foley, R.C., D.L. Bath, F.N. Dickinson, and H. A. Tucker. 1973. Dairy Cattle:
Principles, Practices, Problems, Profits. Lea & Febriger. Philadelphia.
288 – 289 .
Girisonta. 1995. Petunjuk Praktis Beternak Sapi Perah .Kanisius. Yogyakarta.

Gylay, M.S . 2005. Altering the lactation cycle: Is a 60-day dry period too long?
Turk J. Vet. Animal Sci. 29:197-205.

Hadisutanto, B. 2008. Pengaruh Paritas Induk terhadap Performans Sapi


Perah Fries Holland, Bandung.

Garnsworthy, P.C.1988.Nutrition and Lactation the Dairy Cow. University of


Nottingham School of Agliculture.

Miller, W.J. 1979. Dairy Cattle Feeding and Nutrition. Animal and Dairy Science
Departement. Georgia. Page 333.

Ministry of Agriculture and Fisheries (MAF).1985. Modern Dairy Farming in


Tropical and subtropical regions. Practicle Training Centre for dairy
Cattle and Grassland Management and Agricultural Education Division.
The Hague. Netherlands. 59 – 92 .
33

Nurdin, Ellyza. 2011. Manajemen Sapi Perah. Graha Ilmu, Yogyakarta.

Muljana, B.A. 1987. Pemeliharaan dan Kegunaan Ternak Perah. CV.Aneka


Ilmu. Semarang.

___________. 2005 Pemeliharaan dan Kegunaan Ternak Sapi Perah. Penerbit


Aneka Ilmu. Semarang.

Jasper, D.E. 1980. Mastitis In Bovine Medicane and Surgery.Ed. H.E., Amstutz
Amer. Vet.Publ. Inc., Santa Barbara, California, USA.

Santoso, K.A, Kusuma Diwyanto dan Toto Toharmat. 2009.Profil Usaha


Peternakan di Indonesia. Lipi press. Bogor.

Sudono, A. 1990. Pedoman Beternak Sapi Perah. Direktorat Bina Produksi


Pertanian.

____. 2003. Keuntungan Dalam Pengolahan Limbah Ternak. Trobos. Jakarta.


Produksi Ternak. Fakultas Peternakan IPB . Bogor.

Siregar, A.G.A. 1995. Pengaruh Cuaca dan Iklim Pada Produksi Susu. Institut
Pertanian Bogor, Fakultas Kedokteran Hewan. Jakarta.

Siregar, S.B. 1993. Sapi Perah, Jenis, Teknik Pemeliharan, dan Analisa Usaha.
P.T Penebar Swadaya, Jakarta.

Sudono, A. 1983. Pedoman Beternak Sapi Perah. Direktorat Bina Produksi


Peternak, Departemen Pertanian. Jakarta. 33 – 34 .

Sudono, A., R.R. Fina, dan S.B. Susilo. 2003. Beternak Sapi Perah Secara
Intensif. Penerbit Agromedia Pustaka, Jakarta.

Syarief, M.Z. dan Sumoprastowo, C.D.A. 1985. Ternak Perah. CV.Yasaguna.


Jakarta.

Williamson, G. dan W.J.A. Payne. 1993. Pengantar Peternakan di Daerah


Tropis.Diterjemahkan oleh Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
34

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .......................................................................................... ii

DAFTAR ISI ......................................................................................................... iii

I PENDAHULUAN ............................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ......................................................................................... 2

1.2 Identifikasi Masalah ................................................................................. 3

1.3 Maksud dan Tujuan .................................................................................. 3

II TINJAUAN KEPUSTAKAAN ........................................................................ 4


2.1 Periode Laktasi ......................................................................................... 4

2.2 Sapi Perah Masa Kering ........................................................................... 7

2.3 Sapi Perah Pejantan .................................................................................. 9

III PEMBAHASAN ............................................................................................. 10

3.1 Pemeliharaan pada Sapi Perah Masa Laktasi ......................................... 10

3.2 Pemeliharaan pada Sapi Perah Masa Kering .......................................... 18

3.3 Pemeliharaan pada Sapi Perah Pejantan ................................................. 22


IV KESIMPULAN .............................................................................................. 31

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 32

iii

Anda mungkin juga menyukai