Anda di halaman 1dari 272

PENDIDIKAN

ANTIKORUPSI

Edisi Revisi
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta
Lingkup Hak Cipta
Pasal 2 :
1. Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk
mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya, yang timbul secara otomatis
setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Ketentuan Pidana
Pasal 72 :
1. Barangsiapa dengan sengaja atau tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan
pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling
sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh)
tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada
umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun
dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
PENDIDIKAN
ANTIKORUPSI
Edisi Revisi

Dr. Eko Handoyo, M.Si.

www.penerbitombak.com

2013
PENDIDIKAN ANTIKORUPSI
Copyright©Dr. Eko Handoyo, M.Si., 2013

Cetakan I: Fakultas Ilmu Sosial UNNES dan Widya Karya, Semarang, 2009

Diterbitkan kembali oleh


Penerbit Ombak (Anggota IKAPI), 2013
Perumahan Nogotirto III, Jl. Progo B-15, Yogyakarta 55292
Tlp. (0274) 7019945; Fax. (0274) 620606
e-mail: redaksiombak@yahoo.co.id
facebook: Penerbit Ombak Dua
website: www.penerbitombak.com

PO.***.**.’13

Penulis: Dr. Eko Handoyo, M.Si.


Tata letak: Nanjar Tri Mukti
Sampul: Dian Qamajaya

Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)


PENDIDIKAN ANTIKORUPSI
Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2013
* + *** hlm.; 14,5 x 21 cm
ISBN: 978-602-258-***-*
DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL DAN GAMBAR


KATA PENGANTAR

BAB I PENDAHULUAN
PENDIDIKAN ANTIKORUPSI PERLUKAH?

BAB II KORUPSI, ANTIKORUPSI, DAN PENDIDIKAN ANTIKORUPSI


A. Pengertian dan Ciri-Ciri Korupsi
B. Penyakit Korupsi
C. Pengertian Antikorupsi
D. Nilai-Nilai Antikorupsi
1. Kejujuran
2. Tanggung Jawab
3. Keberanian
4. Keadilan
5. Keterbukaan
6. Kedisiplinan
7. Kesederhanaan
8. Kerja keras
9. Kepedulian
E. Pendidikan Antikorupsi

v
VI Dr. Eko Handoyo, M.Si.

F. Sekolah dan Perguruan Tinggi sebagai Agen


G. Metode Pembelajaran Mata Kuliah
Pendidikan Antikorupsi
1. Diskusi di dalam Kelas (In-Class Discussion)
2. Studi Kasus (Case Study)
3. Skenario Sistem Pengembangan
(Improvement System Scenario)
4. Kuliah Umum (Generale Lecture)
5. Diskusi Film (Film Discussion)
6. Laporan Investigasi (Investigative Report)
7. Eksplorasi Tematik (Thematic Exploration)
8. Prototipe (Prototype)
9. Pembuktian Kebijakan Pemerintah (Prove
The Government Policy)
10. Alat-Alat Pendidikan (Education Tools)
11. Pembelajaran Keterampilan Menulis
Terpadu (Integrated Writing)
12. Pembelajaran Keterampilan Pemecahan Masalah
Sosial (Social Problem Solving)
H. Rangkuman

BAB III BENTUK DAN JENIS-JENIS KORUPSI


A. Bentuk Korupsi
B. Jenis-Jenis Korupsi
C. Rangkuman
BAB IV FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB DAN DAMPAK KORUPSI

A. Faktor-Faktor Penyebab Korupsi


Pendidikan Antikorupsi VII

B. Dampak Korupsi
C. Rangkuman

BAB V LEMBAGA-LEMBAGA ANTIKORUPSI DI INDONESIA


A. Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK)
B. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)
C. Indonesian Corruption Watch (ICW)
D. Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI)
E. Transparency International Indonesia (TII)
F. Rangkuman

BAB VI PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA


DALAM LINTASAN SEJARAH
A. Pemberantasan Korupsi Pada Masa Orde Lama
B. Pemberantasan Korupsi Pada Masa Orde Baru
C. Pemberantasan Korupsi Pada Masa Reformasi
D. Rangkuman

BAB VII STRATEGI PEMBERANTASAN KORUPSI DI BERBAGAI


NEGARA
A. Pemberantasan Korupsi di Australia
B. Pemberantasan Korupsi di Finlandia
C. Pemberantasan Korupsi di China
D. Pemberantasan Korupsi di Hongkong
E. Pemberantasan Korupsi di Malaysia
F. Pemberantasan Korupsi di Singapura
G. Pemberantasan Korupsi di Thailand
H. Rangkuman
VIII Dr. Eko Handoyo, M.Si.

BAB VIII PERAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK) DALAM


PEMBERANTASAN KORUPSI
A. Visi, Misi dan Strategi KPK
B. Kedudukan, Tugas, Wewenang, dan Kewajiban KPK
C. Susunan Organisasi KPK
D. Kode Etik Pimpinan KPK
E. Sekilas Keberhasilan KPK
1. Mulyana Wira Kusuma (anggota KPU periode 1999-
2004)
2. Said Agil Husin Al Munawar
3. Ahmad Sujudi
4. Wafid Muharam
5. Abdullah Puteh
6. Bambang Guritno
7. Taufik Hidayat, Sjamsul Arifin, Sjamsul Qamar,
Mahyani Diris, Hayatus Solohin, dan Sayuti Enggok
8. Probosutedjo
9. Harini Wijoso
10. Roesdihardjo dan Arihken Tarigan
11. Rokhmin Dahuri
12. Hendy Boedoro
13. Miranda Goeltom
14. Satono
15. Mochtar Mohammad
16. M. Yaeni
17. Soemarmo
18. Wa Ode Nurhayati
19. Muhamad Nazaruddin
Pendidikan Antikorupsi IX

20. Angelina Sondakh


21. Lukman Abas
F. Rangkuman

BAB IX PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM


PEMBERANTASAN KORUPSI
A. Hak dan Tanggung Jawab Masyarakat
B. Pemberian Penghargaan
C. Rangkuman

BAB X BELAJAR DARI ORANG-ORANG BERSIH


A. Joko Widodo (Jokowi)
B. Tri Rismaharini
C. Yusuf Wally
D. La Tinro La Tunrung
E. Amran Nur
F. Muda Mahendrawan
G. Abdul Kholiq Arif
H. Herman Sutrisno
I. Rangkuman

DAFTAR PUSTAKA
GLOSARIUM
DAFTAR TABEL DAN GAMBAR

DAFTAR TABEL

1. Jenis-jenis Korupsi
2. Potensi Kerugian Negara karena Kasus Korupsi
3. Peringkat Korupsi di Asia Pasifik Tahun 2010
4. Faktor-faktor Pemicu Keberhasilan dan Kegagalan Lembaga
Antikorupsi
5. Data Korupsi Pejabat Versi Depdagri (2004-2006)
6. Bidang dan Subbidang dalam KPK
7. Laporan Masyarakat dan Gratifikasi yang ditindaklanjuti oleh
KPK

DAFTAR GAMBAR

1. Segitiga Kecurangan
2. Penanganan Pengaduan Masyarakat
3. Penanganan Kasus/Perkara TPK
4. Perkara TPK Yang Berkekuatan Hukum Tetap (Inkracht)
5. Uang Negara Yang Berhasil Dikembalikan

x
KATA PENGANTAR

K orupsi merupakan perbuatan amoral yang dilakukan oleh


siapa pun, kapanpun, dan di manapun yang menyalahguna kan
wewenang atau kekuasaan dan menyimpang dari aturan yang
berlaku yang dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi, orang lain,
atau kelompok. Banyak yang mengatakan bahwa kemiskinan
menjadi biang keladi bagi tumbuhnya perilaku korupsi, tetapi
pendapat tersebut terbantahkan karena banyak juga korupsi terjadi
di negara-negara yang masyarakatnya sudah makmur. Bahkan tidak
jarang korupsi yang mereka lakukan lebih rapi dan sistematis,
sehingga seolah-olah yang dilakukan bukan perbuatan korupsi,
apalagi jika hasilnya dibagi-bagikan kepada semua pihak. Dampak
korupsi sungguh luar biasa. Ia bisa membuat orang mati kelaparan
gara-gara akses dan aset dikuasai oleh koruptor. Kriminalitas
merajalela, karena sumber-sumber formal tertutup bagi orang-
orang yang kalah (looser), sehingga apapun caranya, termasuk
mencuri dan merampok sekalipun mereka lakukan. Kinerja
perekonomian merosot demikian pula keuangan negara tergerogoti
gara-gara ulah para koruptor. Gara-gara korupsi, tanah-tanah
beralih fungsinya sehingga tidak mampu mendukung keseimbangan
ekosistem. Demikian pula, hutan-hutan digunduli dan rusak
karenanya, sehingga menghilangkan devisa negara. Penduduk hutan
yang biasanya menyambung hidup dari kebaikan

xi
XII Dr. Eko Handoyo, M.Si.

alam, tergeser, terpinggirkan, dan cukup banyak di antaranya


yang mati. Pendek kata, korupsi telah merusak sendi-sendi
kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara.
Ulasan singkat di atas merupakan ringkasan kecil dari isi
buku yang berjudul Pendidikan Antikorupsi (Edisi Revisi). Buku
yang tidak banyak halamannya ini, menyediakan pembaca untuk
memahami seluk beluk korupsi yang terjadi di Indonesia, mulai
dari konsep tentang korupsi, antikorupsi, pendidikan antikorupsi,
bentuk-bentuk korupsi, sebab-sebab dan dampak korupsi,
lembaga-lembaga antikorupsi, sejarah pemberantasan korupsi di
Indonesia, strategi pemberantasan korupsi di berbagai negara,
peran KPK dalam pemberantasan korupsi, hingga partisipasi
masyarakat dalam pemberantasan korupsi. Selain menyajikan
data-data tentang korupsi, baik dari nilai rupiahnya maupun
pelakunya, juga diuraikan analisis secukupnya tentang fenomena
korupsi yang terjadi di Indonesia.
Jika sebagian besar isi buku lebih banyak mengetengahkan
informasi tentang persoalan korupsi dan bahayanya, maka dalam
edisi revisi ini ditambahkan materi pada bab terakhir tentang
sepak terjang para kepala daerah terpilih yang memberi inspirasi
bagi siapa pun dalam memberikan pelayanan terbaik kepada
masyarakat dan tentu yang lebih penting adalah komitmen
mereka untuk membuat kebijakan yang jauh dari unsur korupsi.
Itu semua memberi pelajaran bahwa di negeri ini masih banyak
individu dan tokoh politik yang pro rakyat sekaligus antikorupsi,
yang dapat menjadi teladan bagi generasi muda untuk mengelola
kehidupannya lebih baik demi kemajuan masyarakat, bangsa,
dan negara.
Pendidikan Antikorupsi XIII

Perspektif hukum lebih banyak mewarnai analisis tentang


berlangsungnya perbuatan korupsi, sehingga tidak heran jika dalam
buku ini banyak disajikan undang-undang, peraturan-peraturan,
pasal-pasal, dan ayat-ayat yang mungkin membosankan bagi
pembaca yang tidak biasa membaca naskah buku berbasis hukum.
Penggunaan perspektif hukum ini, hendak meyakinkan pembaca
bahwa perbuatan korupsi benar-benar bertentangan dengan
hukum. Selain itu, ada misi suci, yakni mengajak semua orang untuk
berkata “tidak” terhadap korupsi dan melawannya.
Buku ini lebih banyak ditujukan kepada generasi muda,
khususnya mahasiswa, karena merekalah calon pemimpin bangsa di
masa depan yang harus pertama kali mengerti dan memahami
bahwa korupsi adalah musuh bersama yang harus diperangi.
Dengan idealisme dan kemampuan intelektualisme yang dimiliki
para mahasiswa, gerakan antikorupsi akan dapat berjalan lancar,
mampu menembus sekat-sekat etnis, ras, agama, kelompok, dan
golongan, serta akan mampu menciptakan kebiasaan berperilaku
antikorupsi yang sangat dibutuhkan oleh bangsa ini untuk menjadi
bangsa yang unggul, mandiri, maju, adil, dan makmur.

Semarang, Maret 2013


Penulis,
BAB I
PENDAHULUAN
PENDIDIKAN ANTIKORUPSI
PERLUKAH?

S ejak reformasi bergulir tahun 1998 yang lalu hingga kini, berita
tentang korupsi makin gencar. Berbagai harian (surat kabar) di
Indonesia hampir tiap hari dalam terbitannya memberitakan
peristiwa korupsi. Dalam berita tersebut, korupsi tidak hanya
melanda kehidupan politik, tetapi juga ekonomi dan sosial.
Pelaku yang ditindak oleh aparat tidak hanya para pelaku bisnis,
tetapi juga mereka yang berasal dari kalangan birokrasi dan
pemerintahan, DPR, DPRD, bahkan pula kalangan kampus
perguruan tinggi dan sekolah. Rakyat kecil pun, seperti pedagang
beras, pedagang buah, kondektur bus, sopir angkutan, dan
tukang becak pun turut melakukan korupsi kecil-kecilan. Korupsi
tampaknya sudah menjadi budaya masyarakat Indonesia.
Korupsi sesungguhnya bukan merupakan penyakit di luar diri
bangsa. Ia adalah penyakit bawaan, sebab benih-benih korupsi
sudah ada dalam tubuh bangsa Indonesia tidak hanya pada masa-
masa ketika Indonesia dijajah bangsa kolonial, tetapi juga sudah
berlangsung pada masa kejayaan kerajaan-kerajaan nusantara.
Upaya untuk mencegah meluasnya perbuatan korupsi dan
tindakan hukum untuk mengatasinya pun telah dilakukan pada

1
2 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

masa kerajaan-kerajaan nusantara. Azra (2006: viii) menulis


bahwa pada masa kerajaan Islam nusantara, Undang-Undang
Melaka yang digunakan sebagai rujukan hukum di beberapa
kerajaan Islam di wilayah Sumatera, secara eksplisit memuat
hukum larangan suap-menyuap. Bahkan segala macam hadiah
yang diperuntukkan bagi hakim termasuk pemberian makanan
dan uang yang bersumber dari baitul mal dianggap sebagai suap
dan tegas-tegas haram hukumnya.
Korupsi menjadi salah satu masalah yang serius di tubuh
pemerintahan. Ia tidak hanya merupakan masalah lokal, tetapi
sudah menjadi fenomena internasional yang memengaruhi
seluruh masyarakat dan merusak seluruh sendi kehidupan.
Perhatian masyarakat internasional sangat tinggi terhadap
fenomena korupsi ini. Komitmen untuk melakukan
pemberantasan korupsi didukung oleh lembaga-lembaga
pembiayaan dunia, seperti World Bank, ADB, IMF, dan organisasi
internasional lainnya seperti OECD dan APEC.
PBB dalam sidang umum pada tanggal 16 Desember 1996
mendeklarasikan upaya pemberantasan korupsi dalam dokumen
United Nation Declaration Against Corruption and Bribery In
International Commercial Transaction yang dipublikasikan sebagai
resolusi PBB Nomor A/RES/51/59 tanggal 28 Januari 1997. Semangat
antikorupsi terus berlanjut, ketika wakil-wakil dari masyarakat 93
negara menyatakan Declaration of 8th International Conference Against
Corruption di Lima Peru pada tanggal 11 September 1997. Dalam
konferensi tersebut disepakati bahwa untuk memerangi korupsi
diperlukan kerjasama antara masyarakat, dunia usaha, dan pemerintah.
Butir-butir kesepakatan lainnya yang penting,
Pendidikan Antikorupsi 3

diantaranya adalah semua penyelenggaraan pemerintahan harus


dilakukan secara transparan dan akuntabel serta harus menjamin
independensi, integritas, dan depolitisasi sistem peradilan
sebagai bagian penting dari tegaknya hukum yang akan menjadi
tumpuan dari semua upaya pemberantasan korupsi secara
efektif. PBB terus berupaya menebar semangat antikorupsi
kepada semua bangsa di dunia, hingga pada tahun 2003
menetapkan konvensi melawan korupsi (United Nations
Convention Against Corruption). United Nations Convention
Against Corruption 2003 tersebut oleh pemerintah Indonesia
disahkan melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006.
Dalam preambul konvensi tersebut diungkapkan adanya
keprihatinan atas keseriusan masalah dan ancaman yang
ditimbulkan oleh korupsi terhadap stabilitas dan keamanan
masyarakat yang merusak lembaga-lembaga dan nilai-nilai
demokrasi, nilai-nilai etika dan keadilan serta mengacaukan
pembangunan yang berkelanjutan dan penegakan hukum.
Konvensi juga prihatin terhadap hubungan antara korupsi dan
bentuk-bentuk kejahatan lain, khususnya kejahatan terorganisasi
dan kejahatan ekonomi termasuk pencucian uang.
Korupsi yang sudah berlangsung lama sejak Indonesia kuno,
madya, hingga modern tampaknya telah membudaya. Bahkan Azra
(2006: viii) memandang kultur korupsi telah sampai pada level yang
membahayakan bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara Indonesia. Bahkan secara universal boleh dikata korupsi
sama tuanya dengan umur manusia atau paling tidak sejak adanya
organisasi negara, korupsi muncul mengiringinya. Korupsi muncul
menyertai kelahiran negara, sebab negara memiliki
4 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

kekuasaan (power) yang jika tidak amanah akan dengan mudah


diselewengkan. Persoalan ini sudah diungkap oleh Lord Acton
dalam pernyataannya yang terkenal “power tend to corrupt and
absolute power tend corrupts absolutely”.
Indonesia bukannya tidak berupaya memberantas korupsi.
Sejak era orde lama, orde baru, hingga era reformasi, pemerintah
berusaha keras melakukan pemberantasan korupsi. Pada masa orde
baru bahkan telah dikeluarkan TAP MPR mengenai pemberantasan
korupsi dan puncaknya pada tahun 1971 pemerintah Indonesia
mengeluarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971. Meskipun
sudah ada undang-undang dan tim khusus yang dibentuk Presiden
Soeharto untuk menangani kasus-kasus korupsi, perbuatan korupsi
masih saja dilakukan oleh para pengkhianat bangsa. Bahkan
Soeharto turun dari jabatan, karena disinyalir ada indikasi KKN.
Agenda pemberantasan KKN yang diusung oleh para mahasiswa
pada tahun 1998 telah mendorong Soeharto untuk mengundurkan
diri dari jabatannya.

Masyarakat mengira bahwa korupsi sebagai penyakit kronis


orde baru bakal hilang seiring dengan lengsernya Soeharto
beserta kroni-kroninya. Dugaan masyarakat ternyata meleset,
karena penyakit korupsi tersebut ternyata telah bermutasi
menjadi neokorupsi pada masa reformasi. Bahkan boleh dibilang
korupsi makin menjadi-jadi pada masa reformasi. Jika pada masa
orde baru, orang melakukan korupsi secara sembunyi-sembunyi
atau di bawah meja, sedangkan pada masa reformasi, korupsi
dilakukan secara terang-terangan atau dilakukan di atas meja.
Makin kronisnya tindak korupsi ini mendorong MPR mengeluarkan
Ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang
Pendidikan Antikorupsi 5

Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan


Nepotisme. Salah satu dasar pertimbangan (konsiderans)
dikeluarkannya TAP MPR ini adalah bahwa dalam penyelenggaraan
negara telah terjadi praktik-praktik usaha yang lebih
menguntungkan sekelompok tertentu yang menyuburkan korupsi,
kolusi, dan nepotisme yang melibatkan para pejabat negara dengan
para pengusaha, sehingga merusak sendi-sendi penyelenggaraan
negara dalam berbagai aspek kehidupan nasional.
Sebagai tindak lanjut dari TAP MPR tersebut, Pemerintah
bersama DPR menetapkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun
1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas KKN
dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Salah satu dasar
pertimbangan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 28 Tahun
1999 adalah bahwa korupsi, kolusi, dan nepotisme tidak hanya
dilakukan antarpenyelenggara negara, melainkan juga antara
penyelenggara negara dan pihak lain yang dapat merusak sendi-
sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara serta
membahayakan eksistensi negara, sehingga diperlukan landasan
hukum untuk pencegahannya (Pembinaan Jaringan Kerjasama
Antar Komisi dan Instansi KPK 2006: 153).
Upaya untuk mencegah dan memberantas korupsi dalam
UU Nomor 28 tersebut dituangkan dalam pasal 5 mengenai
kewajiban penyelenggara negara. Beberapa kewajiban tersebut
diantaranya: bersedia diperiksa kekayaannya sebelum, selama,
dan setelah menjabat (ayat 2), melaporkan dan mengumumkan
kekayaannya sebelum dan setelah menjabat (ayat 3), tidak
6 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

melakukan perbuatan korupsi, kolusi, dan nepotisme (ayat 4),


dan melaksanakan tugas dengan penuh rasa tanggung jawab dan
tidak melakukan perbuatan tercela, tanpa pamrih baik untuk
kepentingan pribadi, keluarga, kroni, maupun kelompok dan
tidak mengharapkan imbalan dalam bentuk apapun yang
bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku (ayat 6). Dengan pengaturan yang jelas mengenai
kewajiban penyelenggara negara terutama yang bersinggungan
dengan masalah KKN tersebut, diharapkan para penyelenggara
negara dapat menjalankan tugas dan kewajibannya secara
profesional disertai rasa tanggung jawab yang tinggi, sehingga
pada gilirannya masyarakat dapat menikmati hak-haknya secara
baik dan roda pembangunan berjalan lancar.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 sebagai perubahan
dari Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dan juga merupakan
kelanjutan dari Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 dalam
konsideransnya menyatakan bahwa tindak pidana korupsi yang
selama ini terjadi secara meluas, tidak hanya merugikan
keuangan negara, tetapi juga merupakan pelanggaran terhadap
hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, sehingga
tindak pidana korupsi digolongkan sebagai kejahatan yang
pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa.
Sanksi pidana yang dijatuhkan kepada pelaku korupsi menurut
UU Nomor 20 Tahun 2001 cukup berat. Misalnya, jika seseorang
memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud
untuk memengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya
untuk diadili, maka yang bersangkutan dapat dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling
Pendidikan Antikorupsi 7

lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp


150.000.000,00 dan paling banyak Rp 750.000.000,00 (pasal 6 ayat
(1) a). Sanksi yang dijatuhkan bagi koruptor tersebut, dalam
realitasnya tidak menyurutkan langkah dan kenekatan para
koruptor atau calon koruptor baru. Itulah sebabnya, Pemerintah
bersama DPR menetapkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002
tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK).
Pembuat Undang-Undang KPK menyadari bahwa lembaga
pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi saat
ini, seperti kepolisian dan kejaksaan, belum berfungsi secara
efekti dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi.
Tidak jarang oknum-oknum dari kedua lembaga tersebut
berlepotan oli hitam korupsi yang melumuri wajah, tangan,
badan, dan kaki mereka, sehingga tidak mungkin mereka mampu
membersihkan diri dengan sabun antikorupsi. Oleh karenanya
dibutuhkan sebuah lembaga negara yang dalam melaksanakan
tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari
pengaruh kekuasaan manapun. Lembaga tersebut adalah Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau disingkat KPK.
Lembaga yang dibentuk dengan menelan biaya tidak kurang
dari Rp 6,4 miliar tersebut kehadirannya tidak sia-sia. Kenyataannya,
sejak KPK dibentuk, banyak pejabat negara seperti menteri, anggota
DPR/MPR, pejabat kepolisian dan kejaksaan, gubernur, bupati/wali
kota, politisi, dan para pengusaha kelas kakap, ditangkap dan
dijebloskan ke dalam penjara. Prestasi tersebut tidak pernah dicapai
oleh kepolisian dan kejaksaan meskipun mereka sudah lama eksis.
Perhatian dan dukungan yang besar dari masyarakat dan lembaga-
lembaga antikorupsi kepada
8 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

KPK, makin memantapkan tekat dan langkah KPK memberantas


korupsi hingga ke akar-akarnya.
Sebagaimana sudah diuraikan sebelumnya bahwa
keberadaan lembaga-lembaga penegak hukum terhadap tindak
pidana korupsi ternyata belum menyurutkan nyali koruptor
untuk mencuri atau merampok harta negara dan rakyat demi
kepentingan diri, keluarga, dan kelompok mereka. Upaya-upaya
kuratif memang memberikan hasil seketika dan memberi efek
jera yang hebat, namun karena spektrum perilaku korupsi yang
demikian luas, maka diperlukan upaya lain yang hasilnya tidak
bisa dilihat sekarang, yakni melalui pendidikan antikorupsi.
Pendidikan antikorupsi yang dalam Undang-Undang Nomor
30 Tahun 2002 ditangani oleh Subbidang Pendidikan dan
Pelayanan Masyarakat merupakan pilar penting dari Bidang
Pencegahan KPK. Adanya Bidang Pencegahan KPK yang
membawahi Subbidang Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat
akan memperkuat tugas KPK terutama dalam hal melakukan
tindakan-tindakan pencegahan terhadap tindak pidana korupsi.
Dalam kaitan persoalan di atas, muncul pertanyaan apakah
pendidikan antikorupsi efektif untuk melakukan pencegahan terhadap
tindak pidana korupsi, mengingat korupsi sudah seperti tulang dan
daging dalam kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia.
Sebagaimana diketahui bahwa sudah ada lembaga penegak hukum
andal seperti Kepolisian, Kejaksaan, dan KPK serta sanksi yang
dijatuhkan kepada pelaku pun berat baik dari sisi lama pidananya
maupun jumlah denda yang harus dibayar, namun korupsi tetap ada di
mana-mana bahkan menyebar dan meluas ke relung-relung kehidupan
yang dulu tidak pernah
Pendidikan Antikorupsi 9

dibayangkan akan masuk. Masih perlukah tindakan pencegahan,


berupa pendidikan antikorupsi?
Pendidikan antikorupsi mutlak diperlukan untuk
memperkuat pemberantasan korupsi yang sedang berjalan, di
antaranya melalui reformasi sistem (constitutional reform) dan
reformasi kelembagaan (institutional reform) serta penegakan
hukum (law enforcement). Menurut Azra (2006: viii), pendidikan
antikorupsi merupakan upaya reformasi kultur politik melalui
sistem pendidikan untuk melakukan perubahan kultural yang
berkelanjutan, termasuk untuk mendorong terciptanya good
governance culture di sekolah dan perguruan tinggi.
Sekolah atau perguruan tinggi dapat mengambil peran
strategis dalam melaksanakan pendidikan antikorupsi terutama
dalam membudayakan perilaku antikorupsi di kalangan siswa
dan mahasiswa. Melalui pengembangan kultur sekolah,
diharapkan siswa-siswa memiliki modal sosial untuk
membiasakan berperilaku antikorupsi. Pendidikan antikorupsi
seyogyanya diberikan kepada anak-anak paling tidak sejak
mereka duduk di bangku SD. Anak-anak SD yang berusia antara 7
hingga 12 tahun dapat berpikir transformasi revesible atau dapat
dipertukarkan dan kekekalan (Disiree 2008: 2). Mereka dapat
mengerti adanya perpindahan benda. Mereka mampu membuat
klasifikasi dalam level konkret. Anak-anak dapat memahami
persoalan sebab akibat yang bersifat konkret. Itulah sebabnya,
kepada mereka dapat dikenalkan suatu tindakan dengan akibat
yang baik dan yang tidak baik. Berikut ini merupakan alasan
(reasoning) mengapa pendidikan antikorupsi perlu diberikan
sejak dini, terutama kepada anak-anak yang duduk di bangku SD.
10 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

1. Siswa belum mendapatkan informasi dan sosialisasi tentang


antikorupsi. Untuk itu, mereka perlu dikenalkan terlebih
dahulu nilai-nilai konkret yang diyakini akan dapat melawan
tindakan korupsi;
2. Kurangnya keteladanan dari lingkungan (orang tua, guru,
orang dewasa di sekitar, dan media). Keteladanan dari
orang-orang terdekat dan di sekitarnya akan sangat
membantu dalam proses penanaman nilai atau budi pekerti
yang diharapkan dapat diterapkan dalam kegiatan mereka
sehari-hari;
3. Adanya kompetisi yang kurang sehat antarsiswa. Upaya
menghindari kompetisi yang kurang sehat dalam pergaulan
mereka di sekolah dapat dilakukan dengan menanamkan
nilai-nilai sekolah, seperti saling menghargai, saling
menghormati, kesederhanaan, dan tidak pamer. Bahkan jika
perlu sekolah dapat memberi penghargaan kepada siswa
yang berperilaku terpuji;
4. Sekolah tidak menerapkan aturan yang jelas dan konsisten.
Itulah sebabnya, aturan sekolah harus dibuat bersama antara
guru, orang tua, dan siswa, supaya siswa merasa ikut memiliki
dan bertanggung jawab terhadapnya. Sementara itu, guru dan
orang tua berperan sebagai fasilitator dan pengawas.
Jika ada yang melanggar aturan sekolah, yang bersalah harus
diberi hukuman sesuai dengan tingkat kesalahannya;
5. Pembelajaran di sekolah masih didominasi oleh aspek kognitif.
Pembelajaran seperti ini kurang mampu membentuk karakter
siswa. Untuk itu, perlu dikembangkan pembelajaran afektif
yang bersifaf aplikatif dengan model-model pembelajaran
Pendidikan Antikorupsi 11

yang dikuasai guru, sehingga pembelajaran kognitif akan


dapat dikawal untuk mewujudkan tujuan pendidikan sekolah
dasar. Metode dongeng, permainan (games), dan simulasi/
sosiodrama dapat diterapkan dalam pembelajaran afektif di
sekolah.

Bagaimana membangun nilai-nilai antikorupsi di kalangan


siswa-siswa SMP. Siswa-siswa SMP yang berusia antara 13 hingga 15
memiliki karakter yang tidak jauh berbeda dengan anak-anak SD
kelas V dan VI. Proses pembelajaran antikorupsi kepada mereka
diarahkan untuk mempersiapkan siswa menjunjung tinggi nilai-nilai
luhur dalam setiap sikap dan perilakunya. Itulah sebabnya, KPK
bersama guru-guru SMP di Jakarta dan sekitarnya menyusun modul
pendidikan antikorupsi untuk SMP/MTs. Melalui modul ini,
diharapkan siswa dapat menjadi agen perubahan sosial
(masyarakat) yang kelak akan mampu mengubah masyarakat
Indonesia menjadi masyarakat antikorupsi.

Materi yang diangkat dalam pendidikan antikorupsi di SMP/


MTs dikenal dengan 9 karakter pelajar, yaitu tanggung jawab,
disiplin, jujur (merupakan nilai inti bagi pelajar), sederhana, kerja
keras, mandiri (sebagai etos atau gaya hidup yang harus dimiliki
oleh generasi penerus), adil, berani, dan peduli (sebagai sikap
kepada orang lain). Sesuai dengan modul yang disusun tersebut,
hasil akhirnya adalah siswa: (1) mempunyai karakter yang luhur
yang menjunjung tinggi nilai-nilai tanggung jawab, disiplin, jujur,
sederhana, kerja keras, mandiri, adil, berani, dan peduli; (2)
mampu memenuhi komitmen sebagai pelajar yang menjunjung
tinggi nilai-nilai tanggung jawab, disiplin, jujur, sederhana, kerja
keras, mandiri, adil, berani, dan peduli dalam masyarakat dan
12 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

menjadi suri teladan dalam menciptakan masyarakat antikorupsi


(Bahri, 2008: 6).
Pendidikan antikorupsi pada jenjang pendidikan dasar pun
dilaksanakan di berbagai negara baik di daratan Eropa, Afrika, Asia,
Amerika maupun Australia. Di dunia telah dibentuk pula jaringan
kerjasama antarnegara untuk mengenalkan program pendidikan
antikorupsi. Salah satu contoh pendidikan antikorupsi adalah apa
yang telah dilaksanakan oleh China. Melalui China on line, seluruh
siswa pada jenjang pendidikan dasar diberikan mata pelajaran
pendidikan antikorupsi, yang tujuannya adalah memberikan vaksin
kepada pelajar dari bahaya korupsi. Dalam jangka panjang generasi
muda China bisa melindungi diri di tengah gempuran pengaruh
kejahatan korupsi (Suyanto, 2005: 42).
Pendidikan antikorupsi dilakukan secara berkesinambungan
dan pada tingkat sekolah dilaksanakan hingga SMA/SMK/MA. Fokus
awal dari pendidikan antikorupsi adalah siswa menghayati,
memahami nilai moral, dan membentuk perilaku hingga nilai-nilai
tersebut terbentuk secara internal melalui kebiasaan. Tujuan
akhirnya adalah perilaku yang berdasarkan nilai-nilai positif tersebut
ditularkan dan diterapkan di lingkungan sosial kemasyarakatan.
Mengapa pendidikan antikorupsi juga perlu diberikan kepada siswa-
siswa SMA/SMK/MA? Sebagaimana diketahui siswa-siswa SMA dan
sederajat berada tahap perkembangan remaja pertengahan,
dimana perkembangan intelektualnya menurut Piaget berada pada
tahap formal operations, saat dimana siswa memiliki kemampuan
berpikir abstrak dengan berpikir hipotetis, sehingga mereka mampu
membayangkan berbagai kemungkinan penyelesaian masalah (Tamrin,
2008: 1).
Pendidikan Antikorupsi 13

Siswa-siswa SMA seperti halnya kebanyakan anak-anak


pada tahap remaja pertengahan memiliki karakteristik khusus
dalam proses pembentukan moral, yaitu: (1) mengembangkan
idealisme, (2) memiliki tokoh sebagai contoh, (3) lebih konsisten
berbuat sesuai prinsip yang diyakini, dan (4) lebih mampu
menetapkan tujuan sesuai ketertarikannya pada moral (Tamrin,
2008: 4). Seperti halnya alasan yang dikemukakan berkaitan
dengan perlunya pendidikan antikorupsi diberikan kepada anak-
anak SD, kondisi berikut juga menjadi alasan pembenar mengapa
pendidikan antikorupsi perlu juga ditanamkan kepada siswa-
siswa SMA.
1. Pembelajaran afektif belum diterapkan dengan benar dan
optimal. Umumnya pembelajaran di SMA cenderung bersifat
kognitif, sehingga dalam pembelajaran atau
pascapembelajaran siswa tidak mampu membiasakan diri
berperilaku baik dan benar;
2. Kurangnya keteladanan dari lingkungan (orang tua, guru,
orang dewasa di sekitar, pejabat pemerintahan, public
figure, dan media). Itulah sebabnya, perkataan, sikap, dan
perilaku dari orang-orang terdekat harus dapat menjadi
contoh keteladanan bagi siswa atau anak. Jika tidak, maka
anak-anak akan bertindak tanpa arah dan bahkan dapat
menyimpang dari nilai dan norma yang berlaku, meskipun
kadang-kadang hal tersebut tidak disadarinya;
3. Adanya kompetisi yang tidak sehat di kalangan anak-anak
SMA. Anak-anak berasal dari keluarga dengan latar belakang
status, kedudukan, dan lapisan yang beraneka ragam. Gaya
hidup siswa-siswa dari golongan kaya bukan tidak mungkin
14 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

akan menimbulkan kecemburuan dari mereka yang berasal dari


golongan di bawahnya. Hal ini jika tidak dikendalikan akan
dapat menimbulkan suasana pergaulan yang tidak sehat dan
kondisi ini akan dapat merusak nilai-nilai moral anak;
4. Sekolah belum dapat menerapkan aturan secara jelas, tegas,
dan konsisten. Jika sekolah tidak menerapkan aturan secara
tegas, kondisi seperti ini akan melahirkan kebiasaan
berperilaku menyimpang. Oleh karena itu, untuk memupuk
nilai-nilai ketaatan pada diri siswa, sekolah harus menerapkan
aturan secara konsisten. Bagi mereka yang salah harus segera
ditindak sesuai dengan tingkat kesalahannya;
5. Siswa-siswa SMA mempunyai bobot tanggung jawab yang lebih
besar daripada siswa-siswa di bawahnya, seperti materi
pelajaran yang makin sulit, tugas-tugas pekerjaan rumah yang
makin banyak, dan keterlibatannya dalam kegiatan
OSIS. Sistem pengawasan sekolah terhadap kegiatan siswa
baik dalam kegiatan intrakurikuler maupun ekstrakurikuler
kurang berjalan sebagaimana mestinya. Hal tersebut dapat
mengakibatkan perilaku siswa tidak terkontrol, misalnya
melakukan kecurangan dalam tes atau ujian. Itulah
sebabnya, pendidikan antikorupsi melalui pengembangan
nilai-nilai luhur perlu disemaikan kepada mereka, baik dalam
kegiatan intrakurikuler maupun ekstrakurikuler;
6. Belum banyak sekolah, baik SMP maupun SMA yang
memperoleh informasi dan sosialisasi tentang pendidikan
antikorupsi. Pada level SMA, melalui pendidikan antikorupsi,
siswa-siswa diharapkan mampu melakukan analisis, mencari
berbagai alternatif pemecahan masalah, menghindari dan
Pendidikan Antikorupsi 15

melawan perilaku korupsi yang terjadi di sekitarnya.

Upaya pemberantasan korupsi, terutama dalam hal


pencegahan yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK), disambut positif oleh Departemen Pendidikan Nasional.
Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia
Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan
Dasar dan Menengah, substansi materi pendidikan antikorupsi
dirumuskan dalam kurikulum kelas V semester I, kelas VIII semester
I dan kelas X semester I. Meskipun tidak dicantumkan ke seluruh
semester dari jenjang sekolah dasar hingga menengah, tetapi upaya
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan patut diapresiasi karena
hal tersebut dapat memberikan landasan moral dan sosial kepada
siswa agar mereka memiliki kebiasaan berperilaku antikorupsi.

Dalam sejarah Indonesia, kehadiran mahasiswa tidak pernah


lepas dari peran sentral yang dimainkan. Mulai dari Soetomo,
Soekarno, Hatta, Akbar Tanjung, Rachman Tolleng, Fahmi Idris,
Hariman Siregar, hingga Rama Pratama menjadi pelopor pada
zamannya masing-masing dalam menggerakkan perubahan
sosial politik di Indonesia. Sebagaimana diungkapkan oleh Saidi
(1989: 20), bahwa sejak Indonesia mempunyai mahasiswa berkat
dibukanya pendidikan tinggi pada awal abad ke-20, mereka
sudah mempunyai kesadaran politik. Kesadaran politik ini tidak
ditujukan untuk meraih kekuasaan politik, tetapi dimaksudkan
untuk menggugah kesadaran kaum pribumi akan pentingnya roh
keindonesiaan dan sekaligus meningkatkan harkat martabat dan
derajat kaum pribumi. Betapa mulia tujuan gerakan mahasiswa
dan pemuda pada masa itu.
Sepanjang sejarah Indonesia, mahasiswa berpolitik karena
16 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

lemahnya lembaga politik atau karena lembaga tersebut


memerlukan mahasiswa sebagai kader pemimpin. Banyak di
antara aktivis-aktivis gerakan mahasiswa yang selanjutnya
menjadi pemimpin, baik di lembaga legislatif, eksekutif, maupun
di dalam partai-partai politik. Tidak sembarang mahasiswa dapat
menjadi pemimpin. Mereka sudah berbekal pengalaman
organisasi yang cukup matang, dilandasi oleh nilai-nilai tanggung
jawab, kejujuran, solidaritas, keberanian, kepedulian, dan lain-
lain. Nilai-nilai inilah yang mengantarkan mereka menjadi
pemimpin yang disegani pada masanya.
Mahasiswa pada masa kini pun semestinya mewarisi jiwa
kepemimpinan mahasiswa dan pemuda generasi sebelumnya.
Kepemimpinan sangat dibutuhkan mahasiswa, karena bangsa
dan negara ini memerlukan kehadirannya. Selain itu,
kompleksitas permasalahan dan tantangan yang dihadapi bangsa
Indonesia ke depan, sangat membutuhkan mahasiswa yang
memiliki karakter unggul, baik karakter intelektual, emosional,
spiritual, maupun moral. Dalam situasi bangsa dan negara yang
mengalami krisis kepercayaan, krisis moralitas, dan krisis
kepemimpinan, maka sudah selayaknya mahasiswa
mendapatkan pendidikan antikorupsi.
Pendidikan antikorupsi dibutuhkan, karena akan dapat
membentuk karakter mahasiswa yang unggul, sekaligus juga
diharapkan pada saatnya nanti ketika menjadi pemimpin dapat
dipertanggungjawabkan kepemimpinannya. Apalagi pada diri
mahasiswa terdapat 3 (tiga) dimensi yang harus diasah secara
berkelanjutan, yaitu: (1) intelektual, (2) jiwa muda, dan (3) idealisme
(Saidi, 1989: 27). Ketiga dimensi atau karakter tersebut
Pendidikan Antikorupsi 17

sangat diperlukan agar mahasiswa mampu memberikan


kontribusi penting dalam menciptakan Indonesia yang unggul,
bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.
Perlunya pendidikan antikorupsi diberikan di perguruan tinggi
baik sebagai mata kuliah tersendiri maupun terintegrasi dengan
mata kuliah yang lain, secara khusus ditujukan untuk memberi bekal
pengetahuan sekaligus mentransformasikan mahasiswa sebagai
agen antikorupsi yang memiliki kompetensi dan komitmen moral
yang tinggi (Azra, 2006: viii). Kompetensi dan komitmen ini
selanjutnya ditransformasikan lagi ke dalam bentuk nilai-nilai dan
gerakan antikorupsi kepada masyarakat dan generasi di bawahnya.
BAB II
KORUPSI,
ANTIKORUPSI,
DAN PENDIDIKAN
ANTIKORUPSI

B anyak tindakan korupsi terjadi tidak karena pelaku sengaja


melakukannya, tetapi juga karena banyak anggota masyarakat atau
kelompok sosial yang tidak memahami bahwa apa yang mereka
lakukan itu merupakan perbuatan korupsi. Dalam bagian ini
diuraikan konsep korupsi, yang meliputi pengertian dan ciri-ciri
korupsi, korupsi sebagai penyakit, perilaku antikorupsi (termasuk di
dalamnya dielaborasi nilai-nilai antikorupsi, seperti kejujuran,
tanggung jawab, keberanian, keadilan, kedisiplinan, kesederhanaan,
dan lain-lain). Setelah itu dijelaskan konsep pendidikan
antikorupsi, meliputi pengertian, tujuan, pendekatan dan metode
serta sekolah dan perguruan tinggi sebagai agen
pendidikan antikorupsi.

A. Pengertian dan Ciri-Ciri Korupsi

Dalam sejarah kehidupan manusia, korupsi bukan hal baru.


Sejak manusia hidup bermasyarakat, sudah tumbuh perilaku
koruptif atau menyimpang, yang tidak sesuai dengan norma sosial
yang berlaku. Manusia dan kelompok sosial yang hidup dalam
18
Pendidikan Antikorupsi 19

persaingan memperebutkan tanah dan sumber daya alam untuk


keperluan hidup, telah mendorongnya bertindak menyimpang,
memanipulasi, menipu, dan melakukan segala cara untuk
mendapatkan apa yang diinginkan.
Perilaku koruptif manusia yang dimaksudkan untuk
menguntungkan diri sendiri atau kelompoknya memiliki variasi yang
beranekaragam, sehingga pola-pola tindakan korupsi juga banyak
variasinya. Itulah sebabnya, dipahami bahwa korupsi bukan konsep
sederhana. Korupsi merupakan konsep yang kompleks, sekompleks
persoalan yang dihadapi oleh suatu masyarakat atau pemerintahan.
Demikian pula, mendefinisikan korupsi bukan pekerjaan yang
mudah. Sebagaimana dinyatakan oleh Phil Williams, meningkatnya
ragam korupsi akibat kecanggihan para pelaku yang menyebabkan
pendefinisian korupsi terus dikaji ulang agar mendapat pemahaman
yang sistematis (Sitepu, 2004: 1).
Perlu dikemukakan akar kata korupsi dan pengertian secara
etimologis, sebelum diketengahkan definisi korupsi dari para pemerhati
masalah korupsi. Korupsi berasal dari bahasa Latin corruption atau
corruptus. Corruptio berasal dari kata corrumpere. Dari bahasa Latin
itulah turun ke banyak bahasa Eropa, seperti Inggris yaitu corruption,
corrupt; Perancis yakni corruption dan Belanda yaitu corruptie,
korruptie. Dari bahasa Belanda inilah kata corruptie diserap ke dalam
bahasa Indonesia, yaitu korupsi. Dalam bahasa Muangthai, korupsi
dinamakan gin moung, artinya makan bangsa; dalam bahasa China,
tanwu, artinya keserakahan bernoda; dan dalam bahasa Jepang,
oshuku, yang berarti kerja kotor (KPK, 2007: 2).

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, korupsi berasal dari


kata korup artinya: buruk, rusak, busuk; suka memakai barang
20 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

(uang) yang dipercayakan kepadanya; dapat disogok (memakai


kekuasaannya untuk kepentingan pribadi (Pusat Bahasa Depdiknas,
2002: 596-596). Dalam kamus tersebut, korupsi diartikan sebagai
penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan dan
sebagainya) untuk keuntungan pribadi atau orang lain (Pusat
Bahasa Depdiknas, 2002: 597). Dari istilah-istilah tesebut, korupsi
dipahami sebagai perbuatan busuk, rusak, kotor, menggunakan
uang atau barang milik lain (perusahaan atau negara) secara
menyimpang yang menguntungkan diri sendiri.
Korupsi melibatkan penyalahgunaan kepercayaan, yang
umumnya melibatkan kekuasaan publik untuk keuntungan
pribadi. Johnson (2005: 12) mendefinisikan korupsi sebagai
penyalahgunaan peran, jabatan publik atau sumber untuk
keuntungan pribadi. Dalam definisi tersebut, terdapat empat
komponen yang menyebabkan suatu perbuatan dikategorikan
korupsi, yaitu penyalahgunaan (abuse), public (public), pribadi
(private), dan keuntungan (benefit). Dalam pandangan Johnson
(2005: 16), dalam negara yang melaksanakan liberalisasi dan
privatisasi dalam kegiatan ekonomi, akan muncul kecenderungan
terjadinya pertukaran antara kesejahteraan (wealth) dan
kekuasaan (power). Inilah yang oleh Johnson disebut dengan
corruption syndromes.
Lambsdorff (2007: 35) mengajukan definisi korupsi tidak
jauh berbeda dengan Johnson, yakni “the misuse of public power
for private benefit”. Definisi singkat tersebut bermakna
penyalahgunaan kekuasaan publik untuk keuntungan pribadi.
Istilah private benefit menunjuk pada penerimaan uang atau
aset-aset yang bernilai, termasuk juga di dalamnya peningkatan
Pendidikan Antikorupsi 21

kekuasaan atau status. Menerima janji-janji untuk kesenangan masa


depan atau keuntungan-keuntungan relatif dan teman-teman juga
dapat dipandang sebagai private benefit. Keuntungan yang
berkaitan dengan teman-teman diistilahkan sebagai nepotisme dan
favoritisme. Kekuasaan publik (public power) biasanya
diselenggarakan oleh birokrat, termasuk juga para pegawainya dan
politisi. Dalam perspektif yang luas, termasuk juga mereka yang
bekerja di kehakiman, pengadaan barang publik, regulasi-regulasi
bisnis dan pemberian izin, privatisasi, pertukaran luar negeri atau
bagian devisa, perpajakan, kepolisian, bagian subsidi, pelayanan
atau utilitas publik dan pelayanan-pelayanan pemerintah lainnya.

Istilah penyalahgunaan (misuse) merujuk pada perilaku yang


menyimpang, baik dari tugas-tugas formal kedinasan dari peran
publik maupun yang bertentangan dengan aturan-aturan
informal (yang dibangun melalui harapan-harapan publik atau
kode etik yang telah baku) atau pada umumnya adalah
kepentingan-kepentingan sempit yang diikuti oleh pengeluaran
kepentingan publik dalam skala besar dan luas.
Webster’s Third New International Dictionary mengartikan
korupsi sebagai ajakan dari seorang pejabat politik dengan
pertimbangan-pertimbangan yang tidak semestinya (misalnya
suap) untuk melakukan pelanggaran tugas (Klitgaard, 2005: 29).
Oxford English Dictionary mengartikan korupsi sebagai
perbuatan tidak wajar dari integritas melalui penyuapan atau
penyogokan. Korupsi juga bermakna pervert, defile, make venal,
bribe (Tarling, 2005: 5). Dalam konteks ini, korupsi diartikan
sebagai perbuatan tidak wajar, kotor, cemar, dapat disogok dan
menyogok.
22 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

Pope (2007: 6) memaknai korupsi sebagai menyalahgunakan


kekuasaan kepercayaan untuk keuntungan pribadi. Dalam
bukunya berjudul Strategi Memberantas Korupsi Elemen Sistem
Integritas Nasional, Jeremy Pope (2007:6-7) mendefinisikan
korupsi sebagai perilaku pejabat-pejabat sektor publik, baik
politisi maupun pegawai negeri, yang memperkaya diri mereka
secara tidak pantas dan melanggar hukum, atau orang-orang
yang dekat dengan mereka, dengan menyalahgunakan
kekuasaan yang dipercayakan kepada mereka.
Joseph Nye mengartikan korupsi sebagai behavior which
deviates from the normal duties of a public role because of
private-regarding (personal, close family, private clique)
pecuniary or status gains or vialotes rule against the exercise of
certain types of private-ragarding influence (Wibowo, 2006: 5).
Definisi tersebut menjelaskan bahwa korupsi merupakan
perilaku menyimpang dari tugas-tugas normal pejabat publik.
Kuper dan Kuper sebagaimana dikutip Nugroho D dan Tri
Hanurita S (2005: 113) mendefinisikan korupsi sebagai
penyalahgunaan wewenang oleh pejabat pemerintah atau
politisi bagi keuntungan mereka sendiri. Tidak jauh berbeda
dengan pengertian tersebut, Senturia memberi batasan korupsi
sebagai penyalahgunaan kekuasaan yang dipercayakan untuk
kepentingan pribadi (Nugroho D dan Tri Hanurita S., 2005: 113).
Klitgaard (2005: 31) mendefinisikan korupsi sebagai tingkah laku
yang menyimpang dari tugas-tugas resmi sebuah jabatan negara karena
keuntungan status atau uang yang menyangkut pribadi (perorangan,
keluarga dekat, kelompok sendiri) atau melanggar aturan-aturan
pelaksanaan beberapa tingkah laku
Pendidikan Antikorupsi 23

pribadi. Definisi tersebut mengandung tingkah laku politik,


karena menyangkut penyimpangan jabatan negara. Ada muatan
moral pada kata “korupsi”, sebab korupsi yang berasal dari kata
latin corruptus mengesankan serangkaian gambaran jahat, yang
bermakna apa saja yang merusak keutuhan.
Senada dengan apa yang dikemukakan Klitgaard, Bracking
(2007: 4) memaknai korupsi dalam konteks administrative
corruption atau bureaucratic corruption, petty corruption, dan graft.
Korupsi administrasi atau birokrasi adalah pembayaran haram yang
diterima oleh pegawai negeri dari pengguna dalam menerapkan
peraturan-peraturan, kebijakan-kebijakan, dan hukum.
Dalam kaitannya dengan korupsi administrasi, Pope (2007: 8)
melihat ada dua kategori berbeda mengenai korupsi administrasi.
Pertama, korupsi terjadi dalam situasi, misalnya jasa atau kontrak
diberikan sesuai peraturan yang berlaku. Kedua, korupsi terjadi
dalam situasi transaksi berlangsung secara melanggar peraturan
yang berlaku. Masih dalam hubungannya dengan perilaku pegawai
negeri, petty corruption juga merupakan korupsi, berupa tindakan-
tindakan mengambil uang sewa atau tindakan-tindakan kecil lainnya
yang dilakukan oleh pegawai negeri. Sementara itu, graft adalah
pemanfaatan sumber-sumber publik untuk kepentingan individu
atau pribadi. Sir Arthur Lewis secara singkat memaknai korupsi
sebagai pembayaran untuk memperoleh pelayanan (just a payment
for service).
Pemahaman korupsi dalam konteks politik di atas berbeda
dengan konsep korupsi dalam pandangan ekonomi. Teori ekonomi
klasik dari korupsi memandang korupsi sebagai salah satu cara dari
beberapa alokasi sumber-sumber langka, dimana perilaku rasional
24 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

dari aktor-aktor pasar berhubungan dengan insentif dan sewa


(Bracking, 2007: 10). Dalam pendekatan klasik, optimal amount
of corruption adalah mungkin dan diterima pula pandangan
tentang biaya sosial marginal. Karenanya, korupsi merupakan
varian pilihan ekonomi dan seperti kebanyakan pilihan ekonomi
lainnya, ditentukan oleh harga pasar.
Dalam pandangan antropologi ekonomi, korupsi mencakupi
perbuatan menegosiasi aturan-aturan permainan secara fleksibel
(cair), sistem norma ganda, banyak pedagang perantara atau
makelar, praktik-praktik pemberian hadiah, jaringan solidaritas
dan kolusi, solidaritas keluarga luas, dan bentuk-bentuk
kewenangan neopatrimonial atau predator (Bracking, 2007: 12).
Di China terdapat perluasan definisi korupsi yang mencakupi:
(1) tanwu, yakni pencurian, (2) shouhui atau menerima suap,
(3) nuoyong artinya menyalahgunakan kedudukan, (4) huihuo
langfei bermakna menghamburkan uang, (5) yiquan mousi yang
berarti mencari kemudahan bagi kerabat, teman dan diri sendiri,
(6) feifa shouru, artinya menerima pemberian ilegal, (7) duzhi,
mengandung arti tidak menjalankan tugas dengan baik, (8) touji
daoba, mengandung makna mengambil untung secara berlebihan,
(9) weifan caijing jilu, yaitu melanggar prosedur pembukuan, (10)
zouji, berarti penyelundupan, dan (11) daode duoluo, artinya
keruntuhan moral (Wibowo, 2006: 6).
Guna mempermudah pemahaman mengenai korupsi,
Klitgaard, Maclean-Abaroa dan Parris membuat rumus korupsi
sebagai berikut. C = M + D – A, dimana korupsi (Corruption = C)
sama dengan kekuasaan monopoli (monopoly power atau M)
plus wewenang pejabat (discretion by officials atau D) minus
Pendidikan Antikorupsi 25

akuntabilitas (accountability atau A) (Klitgaard, Maclean-Abaroa


dan Parris, 2005: 29). Dari rumus tersebut dapat dijelaskan
bahwa jika seseorang memegang monopoli atas barang dan atau
jasa dan memiliki wewenang untuk memutuskan siapa yang
berhak mendapat barang atau jasa itu dan berapa banyak serta
tidak ada akuntabilitas, dalam arti orang lain dapat menyaksikan
apa yang diputuskan oleh pemegang wewenang tersebut, maka
kemungkinan besar akan dapat ditemukan perilaku korupsi.
Perbuatan korupsi berkaitan erat dengan kecurangan atau
penipuan yang dilakukan. Berbuat curang atau menipu, berarti
orang tersebut tidak jujur. Kejujuran memang merupakan suatu
sikap dan perilaku yang langka di negeri ini. Dalam kenyataannya,
tidak setiap orang jujur dalam kehidupan sehari-harinya. Ada 4
(empat) katagori kejujuran. Pertama, sejumlah orang jujur untuk
setiap saat. Kedua, sejumlah orang tidak jujur untuk setiap saat.
Ketiga, sebagian besar orang jujur untuk setiap saat. Keempat,
sejumlah orang jujur hampir setiap saat. Dari empat tipe perilaku
yang berkaitan dengan kejujuran tersebut, perilaku keempat yang
paling baik dan relevan untuk menumbuhkan perilaku antikorupsi.

Dalam kaitan dengan korupsi, kecurangan bisa mendorong


perbuatan korupsi. Hal ini dapat terjadi karena adanya 3 (tiga)
tiang penyangga korupsi, yaitu tekanan (pressure), kesempatan
(opportunity), dan rasionalisasi (rationalize). Tekanan seperti
mengikuti gaya hidup modern, kerugian materi atau uang,
terbelit hutang, akan menyebabkan seseorang berbuat curang
atau korupsi. Orang yang memiliki kedudukan, jabatan, pangkat,
dan pendidikan yang lebih tinggi biasanya memiliki kesempatan
untuk berbuat korupsi. Kesempatan itu dimiliki karena pihak
26 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

koruptor memiliki pengetahuan yang memadai mengenai kondisi


departemen, kantor, atau lingkungannya. Selain itu, karena mereka
memiliki otoritas untuk mengendalikan kegiatan atau pekerjaan.
Demikian pula, mereka mengetahui kelemahan di lingkungan
departemen, kantor, dan pekerjaannya, sehingga dapat
dimanipulasi yang menyebabkan pihak lain tidak tahu bahwa
mereka telah melakukan korupsi. Perbuatan curang atu korupsi
dikemas sedemikian rupa, sehingga apa yang dilakukan seolah
bukan tindakan korupsi. Inilah yang disebut dengan rasionalisasi
perilaku korupsi. Ditambah oleh tidak adanya moral atau etika yang
baik dari pelaku korupsi, menyebabkan perbuatan curang tersebut
mempermudah orang melakukan korupsi.

Albrecht dan Chad O. Albrecht (2003) menyebut tiga


penyangga kecurangan yang mampu mendorong seseorang
bertindak korupsi sebagai segitiga kecurangan. Gambaran
tentang segitiga kecurangan dapat dilihat pada gambar berikut.

Gambar 1. Segitiga Kecurangan

Menurut perspektif hukum, definisi korupsi telah diuraikan


panjang lebar dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dan
Pendidikan Antikorupsi 27

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 sebanyak 13 buah pasal.


Dari pasal-pasal tersebut, korupsi dirinci lebih lanjut ke dalam 30
bentuk tindak pidana korupsi. Pasal-pasal tersebut menjelaskan
secara rinci tentang perbuatan-perbuatan yang bisa dikenakan
pidana penjara karena kasus korupsi. Uraian tentang bentuk-
bentuk korupsi dapat dicermati dalam Bab III.
Untuk memahami konsep korupsi secara komprehensif, Alatas
(1986: 12-14) mengemukakan ciri-ciri korupsi sebagai berikut.
(1) Korupsi senantiasa melibatkan lebih dari satu orang; (2) Korupsi
pada umumnya melibatkan keserbarahasiaan; (3) Korupsi
melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik; (4)
Mereka yang mempraktikkan cara-cara korupsi biasanya berusaha
untuk menyelubungi perbuatannya dengan berlindung di balik
pembenaran hukum; (5) Setiap tindakan korupsi mengandung
penipuan, biasanya pada badan publik atau masyarakat umum; (6)
Setiap bentuk korupsi adalah suatu pengkhianatan kepercayaan; (7)
Setiap bentuk korupsi melibatkan fungsi ganda yang kontradiktif;
dan (8) Suatu perbuatan korupsi melanggar norma-norma tugas dan
pertanggungjawaban dalam tatanan masyarakat. Kata-kata kunci
untuk memahami konsep korupsi di atas adalah: serba rahasia,
keuntungan timbal balik, selubung, penipuan, pengkhianatan
kepercayaan, dan melanggar norma.

B. Penyakit Korupsi

Dalam dunia kesehatan, korupsi ibarat sebuah penyakit.


Sebagai sebuah penyakit, tidak beralasan kiranya jika ada
sementara pihak yang mengatakan bahwa praktik korupsi memberi
manfaat bagi pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Sudjana
28 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

(2008: 37) sampai pada kesimpulan bahwa korupsi merupakan


penyakit sosial yang harus dikikis betapapun banyak orang yang
terjangkit olehnya. Berkaitan dengan hal ini, ada kisah bagus dari
China mengenai betapa bahayanya korupsi. Ceritera tersebut
berjudul Tikus di Kuil (Tang 2005: 222). Bangsawan Huan dari Qi
bertanya kepada Guan Zhong, perdana menterinya: “Apakah
ancaman terbesar bagi negara? “Ancaman itu adalah mereka
yang menyerupai tikus-tikus di kuil,” jawab Guan Zhong. “Tolong
Anda jelaskan”. Tuanku, Anda tentunya sudah melihat tikus-tikus
di dinding kuil”. Kuil adalah tempat sakral. Tetapi jika dipenuhi
tikus, sangat sedikit yang dapat kita lakukan. Jika kita mencoba
mengasapinya agar mereka keluar, kita bisa jadi malah
membakar kuil itu; jika kita menuangkan air di lubang-lubang di
dinding, kita bisa jadi merusak lapisan dan cat dinding itu.”
Orang-orang yang dekat dengan penguasa, kata Guan Zhong,
adalah seperti tikus-tikus itu. Mereka menggunakan pengaruh mereka
untuk kepentingan mereka sendiri. Mereka menerima suap dan
berkolusi dengan kelompok-kelompok yang punya kepentingan yang
sama untuk merongrong negara. Mereka mendukung orang-orang yang
mendengarkan mereka dan mempersulit hidup orang-orang yang tidak
mendengarkan mereka. Sepanjang waktu sang penguasa berada dalam
kegelapan. Orang-orang seperti ini harus dihukum, tetapi sayangnya
mereka mempunyai tempat di hati penguasa. Jika segalanya terus
berjalan seperti ini, negara akan hancur.
Dalam ceritera di atas, kuil adalah negara, sedangkan tikus adalah
para pejabat atau pegawai negeri yang seolah-olah setia kepada negara
dengan bekerja sungguh-sungguh, tetapi di balik itu mereka
menggerogoti keuangan negara dengan melakukan
Pendidikan Antikorupsi 29

pemerasan, penggelapan, kecurangan, penggelembungan harga,


dan perbuatan-perbuatan kotor lainnya. Terkait dengan hal ini,
menarik sekali pernyataan seorang pejabat Thailand yang
merasakan bahwa apa yang selama ini dilakukan tidak termasuk
perbuatan korupsi.

“Apa yang anda namakan korupsi, bagi saya adalah bertahan


hidup. Anak buah saya mengharapkan saya untuk membantu
mereka dengan cara apapun. Saya suka pekerjaan saya. Saya
punya keluarga besar. Mungkin ada cara-cara lain, tetapi saya
tidak melihatnya, dan selain itu saya tidak merugikan
siapapun. Coba katakan, apakah ada pilihan lain? Anda mau
tahu berapa gaji saya? Saya tidak bodoh. Saya tahu tugas saya
dan saya kira semua orang tahu tugas masing-masing. Korupsi
memang suatu masalah di Thailand, tetapi tidak ada jalan
yang lebih baik sekarang. Selain itu, setiap orang di bagian ini
sudah bertahun-tahun melakukan korupsi.” (Pope, 2007: 18).

Dalam agama Hindu, korupsi merupakan perbuatan adharma


atau menyimpang dari ajaran agama (Kuntoro, 2006: 16). Dharma
yang benar adalah jika segala perbuatan manusia bertujuan untuk
memberi kesejahteraan, sebab sebagaimana dalam ajaran Hindu,
kesentosaan umat manusia dan kesejahteraan masyarakat datang
dari dharma. Dalam ajaran agama Hindu, korupsi merupakan
perbuatan menyimpang dari nilai-nilai agama (dharma), nilai-nilai
kebenaran dan kejujuran (satyam), kebajikan (siwam), dan
keharmonisan atau keindahan hidup (sundaram). Oleh karenanya,
ajaran Hindu mengingatkan, mereka yang tertipu sifat guna (seperti
rajas dan tamas) terikat pada keinginan yang dihasilkan olehnya;
tetapi yang mengerti jangan sampai menyesatkan mereka yang
pengetahuannya tidak sempurna (Warta, 2006: 60).
30 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

Orang sudah tahu apa yang dilakukannya salah dan merugikan


pihak lain, tetapi tetap saja dilakukan. Karena akibat yang
ditimbulkan luar biasa mengerikan bagi kehidupan rakyat, maka
Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan Keputusan Fatwa
Musyawarah Nasional VI MUI Nomor 4/MUNAS VI/MUI/2000
tentang risywah (suap), ghulul (korupsi), dan hadiah kepada pejabat
(KPK, 2007: 4). Ini artinya, MUI sebagai lembaga resmi pemerintah
tegas-tegas telah melarang dan mengharamkan suap, korupsi, dan
pemberian hadiah kepada pejabat. Dengan demikian, sesungguhnya
umat Islam yang merupakan penduduk terbesar di Indonesia sudah
diberi rambu-rambu tentang keharaman perbuatan korupsi. Kalau
rambu-rambu tersebut tetap saja dilanggar, berarti korupsi telah
menjadi penyakit bagi umat Islam.
Tampaknya penyakit korupsi yang menjangkiti para koruptor
sudah demikian parah. Mengapa korupsi masih saja berlangsung?
Nugroho dan Tri Hanurita (2005: 116) mencatat 7 alasan mengapa
korupsi tumbuh dan berkembang terutama di negara berkembang.
Pertama, kemiskinan. Kemiskinan membuat pegawai pemerintah
mau melakukan apapun juga asal mendapatkan tambahan penghasilan
untuk membuat keluarganya selamat. Isu tentang kemiskinan menjadi
pembenar mengapa pegawai negeri sering korupsi. Demikian pula,
kemiskinan membuat rakyat kecil bersedia menyuap pejabat
pemerintah untuk mendapatkan pelayanan yang seharusnya. Kedua,
kekuasaan yang berlebihan atau yang berasal dari keserakahan.
Kekuasaan yang memusat atau monopolistik memberi peluang kepada
pemerintahan Soeharto di era Orde Baru untuk membuat keputusan-
keputusan yang menguntungkan lingkaran kekuasaannya. Bahkan
Enron,
Pendidikan Antikorupsi 31

perusahaan raksasa di USA tahun 2001 menjadi bangkrut gara-


gara mark-up yang dilakukannya.
Ketiga, budaya. Kinoshita melaporkan hasil penelitiannya
bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat keluarga besar,
yakni sebuah masyarakat yang mempunyai nilai bahwa
kesuksesan seseorang anggota keluarga harus pula dinikmati
oleh seluruh anggota keluarga besar.
Keempat, ketidaktahuan. Ini alasan yang paling mengada-
ada. Dalam pertemuan Asosiasi DPRD Kota se-Indonesia tanggal
7 Desember 2004, pimpinan DPRD kota Depok dan Cirebon
mengungkapkan bahwa dipenjarakannya sebagian anggota DPRD
berkaitan dengan persoalan korupsi karena telah melakukan
penyimpangan peraturan anggaran sesungguhnya tidak adil.
Yang terjadi, dengan adanya perubahan kebijakan pemerintah
pusat tentang anggaran pembangunan dalam waktu cepat
dimana anggota DPRD menggunakan aturan yang ada namun
diperiksa dengan aturan anggaran yang baru. Dikemukakan pula
bahwa pihak eksekutif sering memberi dana yang tidak diketahui
dari mana sumbernya dan digunakan untuk keperluan apa.
Kelima, rendahnya kualitas moral masyarakat. Gaji rendah
sering dijadikan alasan untuk mencari tambahan penghasilan
meskipun dengan cara yang tidak benar.
Keenam, lemahnya kelembagaan politik suatu negara, baik
menyangkut sistem hukumnya, birokrasi maupun sistem interaksi
antarlembaga yang cenderung melahirkan perilaku dan budaya korup.
Ketujuh, korupsi terjadi karena penyakit bersama. Seperti
dikatakan oleh Kimberley Ann Elliott, bahwa korupsi menjadi gejala
baru dalam globalisasi. Dalam dunia yang serba terkoneksi,
32 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

maka penyakit korupsi dengan cepat menular dari satu kawasan


ke kawasan lain.

C. Pengertian Antikorupsi

Antikorupsi merupakan kebijakan untuk mencegah dan


menghilangkan peluang bagi berkembangnya korupsi (Maheka,
t.th: 31). Pencegahan yang dimaksud adalah bagaimana
meningkatkan kesadaran individu untuk tidak melakukan korupsi
dan bagaimana menyelamatkan uang dan aset negara. Menurut
Maheka (t.th: 31), peluang bagi berkembangnya korupsi dapat
dihilangkan dengan cara melakukan perbaikan sistem (hukum
dan kelembagaan) dan perbaikan manusianya. Dalam hal
perbaikan sistem, langkah-langkah antikorupsi mencakupi:
1. Memperbaiki peraturan perundangan yang berlaku untuk
mengantisipasi perkembangan korupsi dan menutup celah
hukum atau pasal-pasal karet yang sering digunakan
koruptor melepaskan diri dari jerat hukum;
2. Memperbaiki cara kerja pemerintahan (birokrasi) menjadi
sederhana (simpel) dan efisien;
3. Memisahkan secara tegas kepemilikan negara dan
kepemilikan pribadi serta memberikan aturan yang jelas
tentang penggunaan fasilitas negara untuk kepentingan
umum dan penggunaannya untuk kepentingan pribadi;
4. Menegakkan etika profesi dan tata tertib lembaga dengan
pemberian sanksi secara tegas;
5. Penerapan prinsip-prinsip good governance;
6. Mengoptimalkan pemanfaatan teknologi dan memperkecil
terjadinya human error.
Pendidikan Antikorupsi 33

Berkaitan dengan perbaikan manusia, langkah-langkah


antikorupsi meliputi:
1. Memperbaiki moral manusia sebagai umat beriman, yaitu
dengan mengoptimalkan peran agama dalam memberantas
korupsi. Artinya bahwa pemuka agama berusaha mempererat
ikatan emosional antara agama dengan umatnya, menyatakan
dengan tegas bahwa korupsi merupakan perbuatan tercela,
mengajak masyarakat untuk menjauhkan diri dari segala
bentuk perilaku korupsi, dan menumbuhkan keberanian
masyarakat untuk melawan korupsi;
2. Memperbaiki moral bangsa, yakni mengalihkan loyalitas
keluarga, klan, suku, dan etnik ke loyalitas bangsa;
3. Meningkatkan kesadaran hukum individu dan masyarakat
melalaui sosialisasi dan pendidikan antikorupsi;
4. Mengentaskan kemiskinan melalui peningkatan
kesejahteraan;
5. Memilih pemimpin (semua level) yang bersih, jujur,
antikorupsi, peduli, cepat tanggap (responsif) dan dapat
menjadi teladan bagi yang dipimpin.

Upaya-upaya antikorupsi di berbagai negara seringkali


mengalami kegagalan. Karena itulah, Pope (2007: xxxi)
menyarankan hal-hal berikut agar upaya antikorupsi dapat
mencapai keberhasilan.
1. Kemauan yang teguh di pihak pemimpin politik untuk
memberantas korupsi dimanapun terjadi dan untuk diperiksa;
2. Menekankan pencegahan korupsi di masa datang dan
perbaikan sistem;
3. Adaptasi undang-undang antikorupsi yang menyeluruh
34 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

dan ditegakkan oleh lembaga-lembaga yang mempunyai


integritas;
4. Identifikasi kegiatan-kegiatan pemerintahan yang paling mudah
menimbulkan rangsangan untuk korupsi dan meninjau kembali
undang-undng terkait dan prosedur administrasi;
5. Program untuk memastikan bahwa gaji pegawai negeri dan
pemimpin politik mencerminkan tanggung jawab jabatan
masing-masing dan tidak jauh berbeda dari gaji di sektor
swasta;
6. Penelitian mengenai upaya perbaikan hukum dan administrasi
yang memastikan upaya hukum dan administrasi bersangkutan
cukup mampu berfungsi sebagai penangkal korupsi;
7. Menciptakan kemitraan antara pemerintah dan masyarakat
sipil;
8. Menjadikan korupsi sebagai perbuatan beresiko tinggi dan
berlaba rendah,
9. Mengembangkan gaya manajemen yang selalu berubah yang
memperkecil resiko bagi orang-orang yang terlibat dalam korupsi
“kelas teri”, dan yang mendapatkan dukungan dari tokoh-tokoh
politik, namun dilihat oleh masyarakat luas sebagai program yang
adil dan masuk akal bagi situasi yang ada.

D. Nilai-Nilai Antikorupsi

Upaya untuk melawan atau memberantas korupsi tidak cukup


dengan menangkap dan menjebloskan koruptor ke penjara, sebab
peluang untuk berbuat korupsi terhampar luas di hadapan para calon
koruptor, terlebih lagi banyak tersedia arena bagi koruptor-koruptor
baru untuk melampiaskan hasrat korupsinya. Itulah
Pendidikan Antikorupsi 35

sebabnya diperlukan penanaman nilai-nilai antikorupsi sebagai upaya


pencegahan kepada generasi muda. Mengapa nilai-nilai antikorupsi
perlu disemaikan ke dalam jiwa dan roh generasi muda? Ada keyakinan
bahwa generasi sekarang ini adalah generasi yang lahir, tumbuh, dan
berkembang di dalam sistem dan budaya yang korup. Hal ini berakibat
pada sikap permisif generasi sekarang terhadap perbuatan korupsi.
Secara lahiriah mereka mengutuk dan mencela perbuatan korupsi,
tetapi hati mereka tidak tega terhadap para koruptor, sehingga mereka
cenderung membiarkan dan memaafkan para koruptor. Jika demikian
halnya, selamanya korupsi tidak akan dapat diberantas. Untuk itulah,
generasi yang akan datang atau yang saat ini disebut generasi muda
harus didorong untuk mengembangkan sikap menolak secara tegas
setiap bentuk korupsi.

Perubahan dari sikap membiarkan dan menerima korupsi ke


sikap tegas menolak korupsi tidak akan pernah terwujud jika
generasi sekarang yang masih memiliki hati nurani tidak mau dan
mampu membina generasi muda untuk mengevaluasi dan
memperbarui nilai-nilai yang diwarisi dari generasi terdahulu dan
sekarang sesuai dengan tuntutan, perkembangan dan kebutuhan
bangsa. Nilai yang dimaksudkan di sini adalah sesuatu yang
menarik, sesuatu yang dicari, sesuatu yang menyenangkan,
sesuatu yang disukai atau sesuatu yang baik (Bertens, 2001:
139). Nilai-nilai antikorupsi yang perlu disemaikan kepada
generasi muda, terutama mereka yang masih duduk di bangku
TK, SD, SMP, SMA, dan Perguruan Tinggi antara lain:

1. Kejujuran
Kejujuran adalah sifat (keadaan) jujur, ketulusan hati, dan
kelurusan hati (Pusat Bahasa Depdiknas, 2002: 479). Kejujuran
36 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

adalah mengungkapkan sesuatu sesuai dengan kenyataan yang


dilakukan, dialami dan dirasakan (Sutrisno dan Sasongko, t.th.:
40). Kejujuran merupakan dasar setiap usaha untuk menjadi
orang kuat secara moral (Suseno, 1987: 142). Tanpa kejujuran,
manusia tidak dapat maju selangkah pun, karena ia tidak berani
menjadi diri sendiri. Tanpa kejujuran, keutamaan-keutamaan
moral lainnya akan kehilangan nilainya. Bersikap baik kepada
orang lain, tetapi tidak dilandasi kejujuran adalah kemunafikan
dan racun bagi diri sendiri. Tidak jujur berarti tidak seiya-sekata
dan itu berarti orang yang tidak jujur belum sanggup mengambil
sikap yang lurus. Orang yang tidak lurus, tidak menempatkan
dirinya sebagai titik tolak, tetapi lebih mengutamakan apa yang
diperkirakan diharapkan oleh orang lain. Kejujuran dimulai dari
lingkungan yang terdekat, yakni dari diri sendiri, keluarga, kelas,
sekolah dan tempat tinggal. Ibarat bola salju, pribadi jujur akan
menggelinding terus membentuk keluarga yang jujur. Keluarga
yang jujur menggelinding terus membentuk lingkungan tempat
tinggal terdekat yang jujur. Lingkungan yang jujur menggelinding
terus tak tertahankan akan membentuk masyarakat yang jujur
dan masyarakat jujur seperti itu pada akhirnya akan mampu
membangun karakter bangsa yang jujur. Contoh dalam hal ini
adalah bangsa Finlandia. Kata-kata kunci kejujuran adalah
berkata dan bertindak benar, lurus hati, terhormat, terbuka,
menghargai diri sendiri, dapat dipercaya, memiliki niat yang lurus
terhadap setiap tindakan (Bahri, 2008: 15; Tamrin, 2008: 16).
Dalam kehidupan sekolah maupun kampus, nilai kejujuran dapat
diwujudkan oleh siswa dan mahasiswa, dengan tidak melakukan
kecurangan akademik, seperti tidak berbohong kepada
Pendidikan Antikorupsi 37

guru dan dosen, tidak mencontek saat ujian, tidak melakukan


plagiarisme, dan tidak memalsukan nilai.

2. Tanggung Jawab
Kata tanggung jawab berasal dari kata tanggung dan kata jawab.
Kata tanggung bermakna beres, tidak perlu khawatir (Pusat Bahasa
Depdiknas, 2002: 1138). Tanggung jawab berarti keadaan wajib
menanggung segala sesuatunya atau fungsi menerima pembebanan
sebagai akibat sikap pihak sendiri atau orang lain (Pusat Bahasa
Depdiknas, 2002: 1139). Tanggung jawab adalah melaksanakan tugas
dengan sungguh-sungguh dari orang lain atau diri sendiri hingga selesai
atau sanggup menanggung resiko dari apa yang telah dikerjakan atau
diperbuat (Surono (ed), t.th: 16). Tanggung jawab berarti bahwa orang
tidak boleh mengelak bila diminta penjelasan tentang perbuatannya
(Bertens, 2001: 125). Bertanggung jawab berarti suatu sikap terhadap
tugas yang membebani kita, dimana kita merasa terikat untuk
menyelesaikannya demi tugas itu sendiri (Suseno, 1987: 145). Dalam
tanggung jawab terdapat pengertian penyebab, artinya orang
bertanggung jawab terhadap sesuatu sikap dan perbuatan yang
disebabkan olehnya. Setiap orang harus bertanggung jawab terhadap
apa yang diniatkan, dikatakan, dan dilakukan, terlebih mereka yang
mengaku dirinya pemimpin. Seorang pemimpin yang bertanggung
jawab terlahir dari individu yang bertanggung jawab. Seorang belum
dapat memimpin orang lain kalau ia tidak mampu memimpin dirinya
sendiri. Seorang pemimpin adalah orang yang pertama kali
mengerjakan tugas dan orang yang paling akhir mengambil hak atau
bagiannya (Bahri, 2008: 3). Kata kunci tanggung jawab adalah
komitmen, siap menanggung resiko, menjaga amanah, berani
menghadapi resiko, tidak mengelak,
38 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

ada konsekuensi yang harus ditanggung, dan berbuat yang


terbaik (Bahri, 2008: 14; Tamrin, 2008: 18).
Wujud nilai tanggung jawab di antaranya adalah belajar sungguh-
sungguh, mengerjakan tugas tepat waktu, memelihara amanah ketika
mendapat tugas atau menempati posisi tertentu dalam kegiatan
(kepanitiaan), dan lulus tepat waktu dengan meraih nilai baik.

3. Keberanian
Keberanian berasal dari kata berani, yang artinya mempunyai
hati yang mantap dan rasa percaya diri yang besar dalam
menghadapi bahaya, kesulitan, dan sebagainya (Pusat Bahasa
Depdiknas, 2002: 138). Keberanian adalah tindakan untuk
memperjuangkan sesuatu yang diyakini kebenarannya (Sutrisno dan
Sasongko (ed), t.th.: 30). Orang yang berani mengatakan yang benar
adalah benar dan yang salah adalah salah, merupakan agen penting
dalam mengembangkan nilai-nilai antikorupsi. Mengatakan
kebenaran adalah pahit dan buahnya adalah manis, yaitu
terwujudnya pribadi dan masyarakat yang baik dan benar. Kata
kunci keberanian adalah mantap, tegar, hadapi, tekat, semangat,
target, fokus, perjuangan, percaya diri, tak gentar, tidak takut, dan
pantang mundur (Bahri, 2008: 17; Tamrin, 2008: 23).

Nilai keberanian dalam kehidupan sekolah dan kampus


dapat diwujudkan dengan indikator berani bertanggung jawab
atas apa yang telah diperbuat, berani membela kebenaran dan
keadilan betapa pun pahitnya, dan berani mengakui kesalahan.

4. Keadilan
Keadilan berasal dari kata adil, artinya sama berat, tidak berat
sebelah, tidak memihak; berpihak kepada yang benar,
Pendidikan Antikorupsi 39

berpegang pada kebenaran; sepatutnya, tidak sewenang-wenang


(Pusat Bahasa Depdiknas, 2002: 8). Kata keadilan juga memiliki
makna yang beragam. Cephalus, seorang hartawan terkemuka
Athena, memaknai keadilan sebagai bersikap fair dan jujur dalam
membuat kesepakatan (Rasuanto, 2005: 8). Plato, seorang filsuf
Yunani terkenal, memahami keadilan sebagai keseimbangan atau
harmoni. Dalam bahasa Arab, kata adil berasal dari kata adl, yang
kata kerjanya adalah adala, yang berarti: (1) meluruskan atau duduk
lurus, mengamandemen atau mengubah, (2) melarikan diri,
berangkat atau mengelak dari satu jalan (yang keliru) menuju jalan
lain (yang benar), (3) sama atau sepadan atau menyamakan,
(4) menyeimbangkan atau mengimbangi, sebanding atau berada
dalam keadaan yang seimbang (Khadduri, 1999: 8). Keadilan
adalah memperlakukan seseorang sesuai dengan kebutuhan dan
haknya (Surono, t.th.: 47). Kata kunci keadilan adalah objektif,
sesuai, netral, proporsional, tidak memihak, berpikiran terbuka,
dan penuh pertimbangan (Bahri, 2008: 16; Tamrin, 2008: 21).
Nilai keadilan dalam kehidupan sekolah dan kampus dapat
diwujudkan dengan sikap dan perilaku tidak memilih teman dalam
bergaul, memberikan pujian kepada teman yang berprestasi, serta
tidak menyepelekan atau merendahkan teman.

5. Keterbukaan
Keterbukaan berasal dari kata terbuka, artinya tidak tertutup,
tersingkap, tidak dirahasiakan (Pusat Bahasa Depdiknas, 2002: 171).
Nilai keterbukaan berkaitan erat dengan kejujuran. Terbuka tidak
berarti bahwa segala pertanyaan orang lain harus kita jawab
selengkap-lengkapnya atau orang lain berhak untuk mengetahui
segala perasaan dan pikiran kita. Terbuka berarti kita selalu muncul
40 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

sebagai diri sendiri (Suseno, 1987: 142). Terbuka berarti pula kita
tidak menyembunyikan wajah kita yang sebenarnya. Pendek
kata, terbuka adalah orang boleh tahu siapa kita ini.
Nilai keterbukaan dalam kehidupan sekolah dan kampus
dapat diwujudkan dengan sikap dan perilaku mengungkapkan
sesuatu tanpa ditutup-tutupi, apa yang dikatakan sama dengan
apa yang dilakukan, apa yang dikerjakan dapat diakses oleh siapa
pun, serta memberikan informasi yang dibutuhkan tanpa ada
yang disembunyikan.

6. Kedisiplinan
Kedisiplinan berasal dari kata disiplin, artinya tata tertib,
ketaatan kepada peraturan (Pusat Bahasa Depdiknas, 2002: 268).
Disiplin merupakan kunci sukses, sebab dalam disiplin akan tumbuh
sifat yang teguh dalam memegang prinsip, pantang mundur dalam
menyatakan kebenaran, dan pada akhirnya mau berkorban untuk
kepentingan bangsa dan negara (Bahri, 2008: 3). Hidup disiplin tidak
berarti harus hidup seperti pola militer dengan hidup di barak bagai
robot, tetapi hidup disipilin dipahami siswa atau mahasiswa dengan
cara mengatur dan mengelola waktu sebaik-baiknya untuk
menyelesaikan tugas dan pekerjaan. Manfaat hidup disiplin adalah
siswa atau mahasiswa dapat mencapai tujuan atau mengejar
kepentingan secara lebih efisien dan efektif. Kata kunci kedisiplinan
adalah komitmen, tepat waktu, prioritas, perencanaan, taat, fokus,
tekun, dan konsisten (Tamrin, 2008: 17).
Wujud dari kehidupan disiplin dalam kegiatan di sekolah dan
kampus, di antaranya adalah belajar sesuatu dengan cermat,
mengerjakan sesuatu berdasarkan perencanaan yang matang, serta
menyelesaikan tugas tepat waktu.
Pendidikan Antikorupsi 41

7. Kesederhanaan
Kesederhanaan berasal dari kata sederhana, artinya
bersahaja, tidak berlebih-lebihan (Pusat Bahasa Depdiknas, 2002:
1008). Kesederhanaan adalah sikap dan perilaku yang tidak
berlebihan terhadap suatu benda, tetapi lebih mementingkan
tujuan dan manfaatnya (Surono (ed), t.th: 3). Hidup sederhana
berarti hidup bersahaja dan tidak berlebih-lebihan yang didasari
oleh suatu sikap mental rendah hati. Kata kunci sederhana
adalah bersahaja, tidak berlebihan, sesuai kebutuhan, apa
adanya, dan rendah hati (Tamrin, 2008: 19).
Wujud dari nilai kesederhanaan dalam kehidupan sekolah
dan kampus, di antaranya adalah rendah hati dalam pergaulan di
sekolah dan kampus, berpakaian dan menggunakan asesoris
tidak berlebihan, tidak boros dalam memenuhi kebutuhan hidup,
tidak suka pamer kekayaan, serta hemat dalam menggunakan
air, listrik, dan energi lainnya.

8. Kerja keras
Kata “kerja” bermakna kegiatan melakukan sesuatu; sesuatu
yang dilakukan untuk mencari nafkah (Pusat Bahasa Depdiknas,
2002: 554). “Keras” berarti gigih atau sungguh-sungguh hati (Pusat
Bahasa Depdiknas, 2002: 550). Dengan demikian, bekerja keras
berarti melakukan sesuatu secara bersungguh-sungguh. Pribadi
pekerja keras akan muncul dari sosok yang memiliki motivasi tinggi
untuk berubah dan pantang menyerah dalam segala keadaan.
Pribadi pekerja keras dapat diwujudkan dengan selalu melakukan
tanggung jawab secara sungguh-sungguh serta melakukan segala
sesuatu dengan upaya terbaik, sekuat tenaga, penuh kecerdasan
tinggi, dan sepenuh hati. Menurut Alma (2008: 106), kerja keras
42 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

merupakan salah satu dari delapan anak tangga untuk mencapai


keberhasilan. Anak tangga lainnya adalah mencapai tujuan dengan
menggunakan orang lain, penampilan yang baik, keyakinan diri,
membuat keputusan, pendidikan, dorongan ambisi, dan pandai
berkomunikasi. Karena pentingnya kerja keras, sampai-sampai Nabi
Muhammad saw., secara simbolik memberi hadiah kapak dan tali
kepada seorang laki-laki agar dapat digunakan untuk bekerja. Kata
kunci kerja keras adalah semangat, gigih, usaha, keyakinan, tabah,
keras pendirian, pantang menyerah, terus berharap, dan
mempunyai impian (Bahri, 2008: 16; Tamrin, 2008: 20).
Wujud dari nilai kerja keras dalam kehidupan di sekolah dan
kampus, di antaranya adalah tidak mengambil jalan pintas dalam
mencapai tujuan, menghargai proses tidak sekadar mencapai
hasil akhir, menggunakan waktu yang sebaik-baiknya untuk
mengejar suatu target atau tujuan, serta tidak terlalu
memikirkan apa yang akan diperoleh, tetapi memikirkan apa
yang harus dapat dihasilkan.

9. Kepedulian
Kepedulian berasal dari kata “peduli”, artinya mengindahkan,
memperhatikan, menghiraukan (Pusat Bahasa Depdiknas,
2002:841). Kepedulian bermakna berperilaku dan memperlakukan
orang lain dan lingkungan sekitarnya, sehingga bermanfaat bagi
semua pihak (Surono, t.th.: 57). Peduli merupakan sifat yang dapat
membuat segala kesulitan dapat dihadapi, segala keadaan dapat
ditanggung bersama, dan keterbatasan pun dapat dicarikan
solusinya. Kata kunci peduli adalah memahami, menghargai,
mendukung, menghormati, dan menolong (Bahri, 2008: 17).
Wujud dari nilai kepedulian dalam kehidupan di sekolah dan
Pendidikan Antikorupsi 43

kampus di antaranya adalah mematuhi peraturan sekolah dan


tata tertib kampus, membantu mengatasi kesulitan yang
dihadapi teman, merawat tanaman di sekitar sekolah dan
kampus, tidak merusak fasilitas umum, serta merawat dan
menjaga barang-barang milik umum.

E. Pendidikan Antikorupsi

Tidak banyak yang memahami apa itu pendidikan antikorupsi.


Untuk itu dalam uraian berikut dijelaskan apa dan untuk apa
pendidikan antikorupsi. Secara umum, pendidikan antikorupsi
diartikan sebagai pendidikan koreksi budaya yang bertujuan untuk
mengenalkan cara berpikir dan nilai-nilai baru kepada peserta didik
(Suyanto, 2005: 43). Cara berpikir dan nilai-nilai baru penting
disosialisasikan atau ditanamkan kepada peserta didik karena gejala
korupsi di masyarakat sudah membudaya dan dikhawatirkan para
generasi muda menganggap korupsi sebagai hal biasa.
Pendidikan antikorupsi dapat dipahami juga sebagai usaha
sadar dan sistematis yang diberikan kepada peserta didik berupa
pengetahuan, nilai-nilai, sikap dan keterampilan yang dibutuhkan
agar mereka mau dan mampu mencegah dan menghilangkan
peluang berkembangnya korupsi. Sasaran akhir bukan hanya
menghilangkan peluang, tetapi juga peserta didik sanggup
menolak segala pengaruh yang mengarah pada perilaku koruptif.
Setiap upaya pendidikan memiliki tujuan tertentu, demikian
pula pendidikan antikorupsi. Tujuan pendidikan antikorupsi adalah:
(1) pembentukan pengetahuan dan pemahaman mengenai
berbagai bentuk korupsi dan aspek-aspeknya, (2) perubahan
persepsi dan sikap terhadap korupsi, dan (3) pembentukan
44 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

keterampilan dan kecakapan baru yang dibutuhkan untuk melawan


korupsi. Berdasarkan tujuan tersebut, dapat dicermati bahwa
pendidikan antikorupsi melibatkan 3 domain penting yaitu kognitif,
afektif, dan psikomotorik. Pertama, aspek kognitif menekankan
pada kemampuan mengingat dan mereproduksi informasi yang
telah dipelajari, bisa berupa mengkombinasikan cara-cara kreatif
atau mensintesiskan ide-ide dan materi baru. Kedua, domain afektif
menekankan pada aspek emosi, sikap, apresiasi, nilai atau pada
level menerima atau menolak sesuatu. Ketiga, yaitu domain
psikomotorik menekankan pada tujuan melatih kecakapan dan
keterampilaUntuk membekali peserta didik agar terbiasa
berperilaku antikorupsi, maka dalam penyelenggaraan pendidikan
antikorupsi ketiga domain di atas harus diselaraskan atau
diintegrasikan dalam target kurikulum baik yang eksplisit maupun
implisit. Dengan demikian, arah pendidikan antikorupsi menjadi
jelas berdasarkan kriteria-kriteria yang dapat diukur.

F. Sekolah dan Perguruan Tinggi sebagai Agen

Pendidikan antikorupsi dapat dilaksanakan di semua jalur


pendidikan baik formal, nonformal maupun informal. Namun karena
otoritas yang dimiliki dan kultur yang dipunyai, jalur formal atau
sekolah dipandang efektif untuk menyiapkan generasi muda
berperilaku antikorupsi. Nilai-nilai kejujuran, keterbukaan, tanggung
jawab, kerja keras, keberanian, kesederhanaan, keadilan, kedisiplinan
dan komitmen dapat disemaikan secara subur melalui kebudayaan
sekolah. Karena inilah, para orang tua masih percaya dan menyerahkan
kepada sekolah untuk mendidik dan mengajar anaknya. Mungkin
karena fungsinya yang sangat strategis sehingga
Pendidikan Antikorupsi 45

sampai saat ini sekolah masih dipercaya masyarakat. Dalam kaitan


ini, Nasution (1995: 14-17) mencatat ada beberapa fungsi sekolah,
yaitu: (1) sekolah mempersiapkan anak untuk suatu pekerjaan, (2)
sekolah memberikan keterampilan dasar, (3) sekolah membuka
kesempatan memperbaiki nasib, (4) sekolah menyediakan tenaga
pembangunan, (5) sekolah membantu memecahkan masalah-
masalah sosial, (6) sekolah mentransmisi kebudayaan, (7) sekolah
membentuk manusia sosial, (8) sekolah sebagai sarana social
engineering, dan (9) sekolah juga dapat dipandang sebagai tempat
menitipkan anak terutama anak-anak pra-sekolah.
Pendidikan yang diselenggarakan sekolah berbeda dengan
jalur pendidikan yang lain. Pendidikan yang dikembangkan oleh
sekolah lebih dititikberatkan pada pendidikan intelektual, yakni
mengisi otak anak dengan berbagai macam pengetahuan
(Nasution, 1995: 13). Jalur pendidikan informal atau keluarga
lebih berfungsi membentuk manusia atau memuliakan manusia.
Seluruh proses pemuliaan atau pembentukan moral manusia
muda hanya mungkin lewat interaksi informal antara anak
dengan lingkungan hidupnya dan itu adalah keluarga. Dalam
menunaikan tugasnya, orang tua dibantu oleh masyarakat. Salah
satu bantuan yang diberikan masyarakat kepada orang tua
adalah berupa pembentukan manusia muda pada bidang
intelektual dan proses pembentukan hal tersebut berlangsung
dalam lembaga sekolah (Drost, 1999: 2).
Baik Nasution maupun Drost sama-sama sependapat bahwa
sekolah berfungsi sebagai pengembang pendidikan intelektual.
Namun demikian, sekolah atau pendidikan formal sebagai bagian
tak terpisahkan dari sistem pendidikan nasional secara
46 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

komprehensif tidak hanya berorientasi pada pengembangan


intelektual, tetapi juga bertujuan membangun karakter atau
membangun nilai-nilai kemanusiaan siswa. Pendek kata, sekolah
tidak hanya berfungsi sebagai wahana pendidikan intelektual,
tetapi juga sebagai lingkungan subur berkembangnya pendidikan
nilai. Hal ini sejalan dengan fungsi pendidikan nasional yaitu
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermanfaat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa.
Pendidikan nilai secara sederhana dapat diartikan sebagai
penanaman dan pengembangan nilai-nilai pada diri seseorang.
Mulyana (2004: 119) mendefinisikan pendidikan nilai sebagai
pengajaran atau bimbingan kepada peserta didik agar mereka
menyadari nilai kebenaran, kebaikan dan keindahan melalui
proses pertimbangan nilai yang tepat dan pembiasaan bertindak
yang konsisten. Dalam konteks yang lebih luas, nilai-nilai yang
dikembangkan melalui pendidikan sekolah tidak hanya
menyentuh nilai-nilai kebenaran, kebaikan dan keindahan
sebagaimana dikemukakan oleh Mulyana, tetapi lebih dari itu
juga nilai kejujuran, nilai tanggung jawab, nilai kedisiplinan, nilai
kebebasan, nilai kesamaan, nilai kepemimpinan, nilai toleransi,
nilai kesetiaan, nilai kerjasama, nilai persahabatan, nilai cinta-
kasih dan nilai-nilai lainnya yang bermanfaat bagi pengembangan
karakter dan kepribadian siswa.
Pendidikan antikorupsi dalam konteks ini termasuk dalam kategori
pendidikan nilai. Hal ini dapat dimengerti karena yang ingin dikejar oleh
pendidikan antikorupsi tidak lain adalah membentengi anak-anak dari
perilaku koruptif dengan membekali
Pendidikan Antikorupsi 47

nilai-nilai luhur sebagaimana dikembangkan oleh pendidikan nilai.


Dalam upaya mengimplementasikan pendidikan antikorupsi di
sekolah dapat dipilih tiga strategi, yaitu strategi inklusif, strategi
eksklusif dan strategi studi kasus (Suyanto, 2005: 43). Dengan
mempertimbangkan kematangan berpikir dan emosional anak
serta padatnya jam pelajaran, strategi inklusif dapat dipilih
dengan cara menyisipkan nilai-nilai antikorupsi ke dalam
sejumlah mata pelajaran terkait. Pendekatan eksklusif dapat
digunakan untuk jenjang pendidikan menengah, yakni dengan
cara memasukkan pendidikan antikorupsi ke dalam kurikulum
lokal (muatan lokal) atau melalui kegiatan ekstra-kurikuler yang
lebih bernuansakan kesiswaan.
Substansi pendidikan antikorupsi dimasukkan sebagai salah
satu atau beberapa kompetensi dasar dalam Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan (KTSP) sebagaimana dilegalisasi oleh
Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006. Pada jenjang SD kelas V
semester 1, kompetensi dasar yang berkaitan dengan pendidikan
antikorupsi adalah: “memberi contoh peraturan perundang-
undangan tingkat pusat dan daerah seperti pajak, antikorupsi,
lalu lintas dan larangan merokok”. Pada jenjang SMP kelas VIII
semester 1 terdapat dua kompetensi dasar yang menunjang
perilaku antikorupsi yaitu: (1) mengidentifikasi kasus korupsi dan
upaya pemberantasan korupsi di Indonesia, (2) mendeskripsikan
pengertian antikorupsi dan instrumen (hukum dan kelembagaan)
antikorupsi di Indonesia. Kompetensi dasar yang dikembangkan
untuk pendidikan antikorupsi pada jenjang SMA kelas X semester
1 adalah: (1) menganalisis upaya pemberantasan korupsi di
Indonesia, (2) menampilkan peran serta dalam upaya
48 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

pemberantasan korupsi di Indonesia. Kompetensi dasar yang


dikembangkan tersebut memberi warna baru bagi substansi
materi dan pembelajaran mata pelajaran pendidikan
kewarganegaraan baik pada jenjang, SD, SMP maupun SMA.
Cukup banyak model pembelajaran yang dapat dipilih untuk
pelaksanaan pembelajaran pendidikan kewarganegaraan dengan
kompetensi dasar pemberantasan korupsi. Dalam kompetensi
dasar “Memberi contoh peraturan perundang-undangan tingkat
pusat dan daerah seperti pajak, antikorupsi, lalu lintas, dan
larangan merokok” di Sekolah Dasar kelas V semester 1, guru
dapat mencoba model pembelajaran “siklus belajar”. Langkah-
langkah pembelajaran siklus belajar menurut Karli dan
Yuliariatiningsih (2003: 41) adalah sebagai berikut.

Pada tahap awal model ini, guru dapat mengajukan pertanyaan


atau menggali informasi yang dimiliki siswa. Pertanyaan itu misalnya:
apakah anak-anak tahu apa itu korupsi, perilaku manakah yang
termasuk korupsi, undang-undang apa saja yang mengatur tentang
pemberantasan korupsi, apakah ada peraturan daerah yang
mendukung perilaku antikorupsi dan pertanyaan lain yang berkaitan
dengan konsep perilaku korupsi maupun perilaku antikorupsi.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut diajukan secara
Pendidikan Antikorupsi 49

lisan atau tertulis dan bisa bersifat individual maupun kelompok.


Pertanyaan-pertanyaan tersebut penting untuk membantu siswa
dalam memanipulasi materi pelajaran yang disampaikan guru
terutama dengan cara mencari dan mengumpulkan fakta-fakta
tentang korupsi dan antikorupsi. Dalam tahap ini guru berusaha
menggali konsepsi awal siswa mengenai perilaku korupsi dan
antikorupsi sebagaimana dirumuskan dalam peraturan
perundang-undangan.
Tahap kedua dari siklus belajar adalah pengenalan konsep.
Dalam hal ini, guru mengumpulkan informasi dari para siswa
yang berkenaan dengan pengalaman mereka dalam tahap
eksplorasi. Guru mengajak anak-anak untuk menyampaikan
pendapatnya tentang perilaku korupsi dan atau antikorupsi
sebagaimana diketahui anak-anak. Pada awal tahap ini, guru
berusaha menunda penilaian atau komentar terhadap pendapat
siswa. Setelah semua pendapat atau jawaban disampaikan,
barulah guru melakukan klarifikasi, mencocokkan jawaban siswa
dengan konsep yang dimiliki guru dan guru akhirnya memberi
penjelasan sekaligus menyampaikan konsep-konsep baru
tentang korupsi dan antikorupsi sebagaimana dirumuskan oleh
ketentuan undang-undang maupun peraturan daerah.
Tahap terakhir, yaitu aplikasi konsep di mana guru menyiapkan
situasi yang dapat mendorong dan merangsang anak berdasarkan
pengalaman mereka pada tahap eksplorasi dan pengenalan konsep.
Dalam tahap ini, guru meminta para siswa untuk menerapkan
konsep yang sudah dipahami pada contoh kejadian lain terutama
kejadian sehari-hari yang mereka lihat, mereka alami dan mereka
rasakan. Anak-anak bisa diberi pertanyaan atau
50 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

tugas untuk memberi contoh undang-undang, peraturan daerah


atau peraturan lain yang memuat rumusan perilaku korupsi atau
mengajukan fakta-fakta baru tentang perilaku antikorupsi.
Model pembelajaran siklus belajar tersebut di atas juga
dapat diterapkan dosen pengampu mata kuliah pendidikan
antikorupsi di perguruan tinggi, sesuai dengan tingkat
kematangan dan perkembangan mahasiswa.
Sebenarnya masih banyak model pembelajaran yang dapat
diterapkan untuk menjelaskan substansi pendidikan antikorupsi,
terutama untuk siswa-siswa SD. Teknik-teknik tersebut, misalnya
teknik mencari pasangan, teknik bertukar pasangan, teknik berpikir
berpasangan berempat, teknik berkirim salam dan soal, teknik
kepala bernomor, teknik dua tinggal dua tamu, teknik keliling
kelompok, teknik keliling kelas, teknik kancing gemerincing, teknik
jigsaw dan teknik-teknik lainnya yang relevan dengan kompetensi
dasar yang ingin dicapai. Demikian pula untuk pembelajaran
antikorupsi di kelas VIII SMP dan kelas X SMA dapat dipilih, misalnya
model penelitian sosial, simulasi, brainstorming, studi kasus, silang
pendapat, problem-centered group, seminar group, syndicate group,
debat, team-quiz, poster dan model-model lain yang relevan dengan
kompetensi dasar yang ingin dicapai.
Di Perguruan Tinggi, pendidikan antikorupsi dapat diintegrasikan
ke dalam mata kuliah Pendidikan Pancasila, Pendidikan
Kewarganegaraan, Pendidikan Agama, Bahasa Indonesia, Ilmu Sosial
Dasar, Ilmu Budaya Dasar, Kuliah Kerja Nyata (KKN), atau dapat
dijadikan sebagai mata kuliah tersendiri, seperti yang dilakukan oleh
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Universitas
Paramadina, dan Universitas
Pendidikan Antikorupsi 51

Negeri Semarang. Sebelum keluarnya edaran dari Dirjen Dikti


Kemekdikbud tentang kewajiban perguruan tinggi untuk
melaksanakan pendidikan antikorupsi, ketiga perguruan tinggi
tersebut sudah memiliki kurikulum pendidikan antikorupsi
dengan substansi materi antikorupsi yang tidak jauh berbeda.
Aplikasi pendidikan antikorupsi pada tiga perguruan tinggi
tersebut bervariasi. UIN Syarif Hidayatullah dan Universitas
Paramadina mewajibkan mahasiswanya (mahasiswa baru) untuk
mengikuti kuliah pendidikan antikorupsi, sedangkan pendidikan
antikorupsi di Universitas Negeri Semarang baru diberikan
kepada mahasiswa Program Studi Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan (PPKn) FIS Unnes. Namun berdasarkan
kurikulum 2012, mata kuliah Pendidikan Antikorupsi juga
diberikan di semua program studi yang ada di Fakultas Ilmu
Sosial, serta diberikan kepada mahasiswa Fakultas Hukum. Di
Fakultas Ilmu Sosial, khususnya pada program studi Pendidikan
Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn), Pendidikan Antikorupsi
berstatus sebagai mata kuliah wajib, sedangkan pada program
studi lainnya di Fakultas Ilmu Sosial dan di Fakultas Hukum,
Pendidikan Antikorupsi merupakan mata kuliah pilihan.
Apa yang diuraikan di atas adalah contoh penerapan
pendidikan antikorupsi di sekolah dan perguruan tinggi melalui
jalur intrakurikuler atau strategi yang khas kurikuler. Pendidikan
antikorupsi tentu saja tidak hanya dapat dilaksanakan secara
formal melalui kurikulum sekolah dan perguruan tinggi. Melalui
kegiatan ekstra-kurikuler, tujuan pendidikan antikorupsi dapat
diwujudkan. Sekolah dapat menggelar kegiatan lomba tulis dan
baca puisi antikorupsi, lomba poster antikorupsi, lomba
52 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

pidato antikorupsi, lomba geguritan antikorupsi, lomba dongeng


antikorupsi, lomba kisah antikorupsi, lomba tulis cerpen
antikorupsi, drama antikorupsi, happening-art antikorupsi,
lomba fotografi antikorupsi, debat antikorupsi, dan kegiatan atau
wahana lain yang lebih cair, segar, menyenangkan, bebas,
menarik, menantang dan mendidik.
Pada tingkat perguruan tinggi, selain disisipkan dalam mata
kuliah yang relevan atau menjadi mata kuliah tersendiri, pendidikan
antikorupsi dapat diwujudkan dalam kegiatan ekstrakurikuler,
seperti pelatihan antikorupsi pada aktivis Badan Eksekutif
Mahasiswa dan Himpunan Mahasiswa Jurusan/Program Studi,
rubrik antikorupsi di koran atau majalah mahasiswa (pers kampus),
siaran antikorupsi pada radio atau televisi kampus, pergelaran tari
atau musik antikorupsi, gelar lukis antikorupsi, atau pengembangan
nilai-nilai luhur yang mendukung sikap antikorupsi pada aktivis UKM
Kepramukaan dan Resimen Mahasiswa.

G. Metode Pembelajaran Mata Kuliah Pendidikan


Antikorupsi
Sebagaimana sudah diuraikan dalam bagian sebelumnya
bahwa untuk menjelaskan materi dari mata kuliah Pendidikan
Antikorupsi, dapat digunakan model pembelajaran Siklus Belajar.
Model ini banyak diterapkan di sekolah dasar maupun sekolah
menengah. Dalam bagian ini akan dipaparkan metode
pembelajaran lainnya yang dapat digunakan di perguruan tinggi
dan dipilih oleh dosen pengampu mata kuliah Pendidikan
Antikorupsi, di antaranya adalah metode in-class discussion, case
study, improvement system scenario, generale lecture, film
Pendidikan Antikorupsi 53

discussion, investigative report, thematic exploration, prototype,


prove the government, education tools, integrated writing, dan
social problem solving (Ditnaga Dikti Depdiknas, 2007; Puspito,
dkk. (ed), 2011).

1. Diskusi di dalam Kelas (In-Class Discussion)


Pembelajaran in-class discussion ditujukan untuk
menumbuhkan kepekaan atau keasadaran dan kerangka
berpikir. Proses atau langkah-langkahnya, seperti halnya
langkah-langkah diskusi pada umumnya. Dosen bertindak
sebagai fasilitator, yang mendorong mahasiswa mendiskusikan
konsep-konsep korupsi dan antikorupsi. Diusahakan mahasiswa
menyimpulkan sendiri apa yang telah didiskusikan di bawah
bimbingan dosen. Diharapkan dari cara diskusi ini, pengetahuan
dan pemahaman mahasiswa tentang persoalan korupsi makin
meningkat. Demikian pula, kemampuan mereka dalam
menganalisis permasalahan korupsi makin baik.

2. Studi Kasus (Case Study)


Tujuan case study adalah untuk meningkatkan kepekaan
mahasiswa terhadap kasus korupsi dan mampu melakukan analisis
terhadap kasus tersebut berdasarkan konsep korupsi yang telah
disampaikan oleh dosen. Kasus disisipkan oleh dosen setiap sesi
pertemuan perkuliahan. Kasus bisa diperoleh dari koran, majalah,
atau internet, lalu dibahas oleh mahasiswa secara berkelompok
atau pun mandiri. Diupayakan kasus yang dibahas tidak kasus besar
(grand corruption), tetapi juga petty corruption dan dilema korupsi
yang dihadapi masyarakat maupun mahasiswa. Tidak hanya hal-hal
negatif, seperti kasus korupsi yang dapat didiskusikan oleh
54 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

mahasiswa, tetapi juga best practice dari penanganan kasus atau


pencegahan korupsi yang dilakukan oleh suatu instansi, swasta,
atau pun masyarakat.

3. Skenario Sistem Pengembangan (Improvement System


Scenario)
Tujuan metode ini adalah memberikan rangsangan kepada
mahasiswa agar memikirkan penyelesaian masalah secara nyata.
Hampir mirip dengan metode studi kasus, dosen memberikan
satu bahan diskusi atau bisa juga mahasiswa diminta mencari
sendiri kasus korupsi yang akan dibahas. Bedanya dengan case
study, metode ini mengharuskan mahasiswa untuk membuat
skenario sistem perbaikan atau penyelesaian atas kasus yang
dikaji. Dengan model ini, mahasiswa akan makin meningkat
kemampuannya dalam menganalisis permasalahan korupsi
sekaligus berkembang pula kapasitasnya dalam mencari solusi
terhadap persoalan korupsi.

4. Kuliah Umum (Generale Lecture)


Generale lecture bertujuan untuk mempelajari suatu bahan
atau konsep tentang korupsi dan bagaimana pemberantasannya dari
seorang praktisi atau orang-orang lapangan yang berkiprah dalam
kaitannya dengan persoalan korupsi. Kegiatannya adalah menghadirkan
seorang pembicara tamu untuk berbagi informasi dan pengalaman
tentang cara memberantas dan mencegah korupsi. Pembicara tamu
dapat berasal dari tokoh-tokoh berpengalaman, seperti pimpinan KPK,
pemuka agama, pejabat pemerintah yang bersih, pengusaha bersih,
politisi bersih, dan yang lain.
Pendidikan Antikorupsi 55

5. Diskusi Film (Film Discussion)


Metode ini menggunakan media film sebagai media
pembelajaran. Kegiatannya adalah dosen memutar film dokumenter
tentang kasus korupsi atau antikorupsi, selanjutnya mahasiswa
memberikan komentar atau membahas secara berkelompok atau
individual. Hal-hal yang dapat didiskusikan di antaranya adalah
bentuk atau jenis korupsi, dilema yang dihadapi koruptor atau
orang yang membantu berlangsungnya suatu tindakan korupsi.
Diskusi dapat juga diperkaya dengan menghadirkan pengalaman
serupa yang dihadapi oleh mahasiswa.

6. Laporan Investigasi (Investigative Report)


Tujuan metode ini adalah mahasiswa memiliki kompetensi
untuk mengidentifikasi dan menganalisis sebuah kasus korupsi yang
riil terjadi di lingkungan sekitar atau di suatu daerah serta mampu
membuat laporan kasus korupsi secara efektif. Kegiatan yang
dilakukan adalah mahasiswa dalam beberapa minggu turun ke
lapangan untuk melakukan investigasi. Langkah-langkahnya adalah
(a) dosen membentuk kelompok, (b) kelompok mahasiswa
menentukan tindakan korupsi dan lokasi terjadinya korupsi, (c)
kelompok mahasiswa melakukan investigasi dengan teknik yang
benar, (d) kelompok menyusun laporan yang sudah merekam kasus,
data, dan analisis kasus, dan (e) kelompok mempresentasikan
laporannya di depan kelas. Untuk mengumpulkan data dan
informasi, mahasiswa dapat menggunakan tape recorder, kamera,
video, dan alat perekam lainnya. Agar tercipta kesadaran
masyarakat bahwa korupsi merupakan musuh bersama, mahasiswa
dapat mengundang wakil masyarakat dan media massa dalam
diskusi yang mereka lakukan.
56 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

7. Eksplorasi Tematik (Thematic Exploration)


Metode ini bertujuan untuk membangun cara berpikir yang
komprehensif dalam menggali sebuah kasus. Kegiatan yang
dilakukan adalah mahasiswa melakukan observasi sebuah kasus
korupsi atau perilaku koruptif lainnya, selanjutnya
menganalisisnya dari berbagai sudut pandang atau perspektif
sosial, budaya, hukum, ekonomi, politik dan sebagainya. Untuk
memperkaya pemahaman, mahasiswa dapat menganalisis suatu
kasus dengan menggunakan perspektif dari penanganan kasus
yang dilakukan di negara lain. Melalui metode ini, kemampuan
analisis mahasiswa akan semakin tajam.

8. Prototipe (Prototype)
Tujuan metode prototype adalah penerapan keilmuan atau
ciri khas perguruan tinggi atau ciri khas lokal dalam
mengembangkan teknik antikorupsi. Kegiatan yang dilakukan
adalah membuat prototype teknologi terkait dengan cara-cara
penanggulangan korupsi. Teknologi tersebut bisa berbasis IT
maupun non IT. Hasil-hasil dari prototipe ini dapat dipamerkan di
kelas atau pun di tempat lain yang dapat diperkenalkan kepada
mahasiswa lain atau pelajar.

9. Pembuktian Kebijakan Pemerintah (Prove The


Government Policy)
Dalam metode ini mahasiswa memantau realisasi janji
pemerintah, sebagai wujud dari integritas pemerintah. Kegiatannya
adalah kelompok mahasiswa melakukan pengamatan (observasi),
terjun ke lapangan untuk melihat sejauhmana kesesuaian antara janji
pejabat pemerintah ketika mereka melakukan kampanye
Pendidikan Antikorupsi 57

politik selama pemilihan dengan realisasi program kegiatan yang


diterima masyarakat.

10. Alat-Alat Pendidikan (Education Tools)


Tujuan metode ini adalah menciptakan media pembelajaran
yang kreatif untuk segmen pendidikan formal maupun publik dalam
rangka kegiatan antikorupsi. Kegiatannya adalah mahasiswa dapat
mewujudkan kreasi dan inovasinya dengan menciptakan produk
yang dapat menjadi media pembelajaran antikorupsi. Produk
tersebut bisa berupa peraga antikorupsi yang bersifat animasi
maupun nonanimasi. Animasi dapat dibuat dengan memanfaatkan
komputer, sedangkan nonanimasi dapat berupa cerita gambar,
komik, kartun, boneka, wayang, dan lain-lain.

11. Pembelajaran Keterampilan Menulis Terpadu


(Integrated Writing)
Model pembelajaran ini biasa diterapkan dalam pengajaran
bahasa Inggris. Dalam model ini, mahasiswa dibekali dengan
keterampilan berbahasa yang terpadu, dengan harapan mereka
mampu meringkas, mensintesis, dan mengembangkan bahan-
bahan yang didengar, dibaca, dan didiskusikan untuk selanjutnya
menuangkannya dalam suatu karya tulis dengan tata bahasa,
kosa kata, dan kaidah penulisan yang benar (Ditnaga Dikti
Depdiknas, 2007). Pendek kata, melalui pembelajaran ini,
mahasiswa memiliki keterampilan menulis secara terpadu
berdasarkan fakta dan gagasan yang diperolehnya dari membaca
dan mendengarkan bahan-bahan tentang korupsi.
Kompetensi yang diharapkan dimiliki mahasiswa agar mereka
dapat menghasilkan karya tulis yang baik, di antaranya: (a)
58 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

memahami ide pokok dari bacaan akademis atau bahan kuliah


dalam diskusi kelompok atau kelas, (2) menemukan informasi
tertentu dari kuliah atau diskusi kelas yang berkaitan dengan
bahan bacaan, dan (3) menghubungkan dengan tepat informasi
yang dapat diperoleh dari bacaan dan perkuliahan atau diskusi
(Ditnaga Dikti Depdiknas, 2007).
Materi kuliah dapat berupa materi mendengarkan kuliah
singkat, membaca bahan kuliah atau artikel kuliah yang
berkaitan dengan persoalan korupsi serta mendiskusikan dalam
kelompok tentang materi yang didengar dan dibaca. Oleh karena
model ini khas model pembelajaran bahasa, maka perkuliahan
ini juga mencakupi pengenalan konsep keterpaduan
antarketerampilan berbahasa dan komponen bahasa, cara-cara
membuat ringkasan, catatan dan parafrasa yang benar dari
bahan audio dan bahan tertulis.
Kegiatan pembelajaran keterampilan menulis terpadu
meliputi langkah-langkah berikut.
Pertama, mahasiswa mencari atau memperoleh fakta dan
gagasan dari sumber atau bahan lisan tentang fenomena korupsi.
Kedua, mahasiswa mencari atau memperoleh fakta dan
gagasan dari sumber atau bahan tertulis tentang fenomena
korupsi.
Ketiga, mahasiswa membandingkan dan mengkontraskan
fakta dan gagasan baik yang terdapat dalam sumber lisan
maupun sumber tertulis.
Keempat, mahasiswa menyusun wacana deskriptif tentang
fenomena korupsi (misalnya korupsi di kalangan elit partai politik)
Pendidikan Antikorupsi 59

berdasarkan fakta dan gagasan yang diperoleh dari berita televisi


atau artikel di koran atau majalah.
Evaluasi dari pembelajaran keterampilan menulis terpadu
dilakukan dengan penilaian otentik yang bersifat berkelanjutan
atau yang biasa disebut penilaian proses. Dalam hal ini,
mahasiswa dinilai dengan performance assessment, yakni
menggunakan instrumen rubrik, check list, dan portofolio. Ini
artinya, setiap kegiatan mahasiswa dinilai, mulai dari saat
berdiskusi, membuat catatan dan ringkasan, dan
mempresentasikan hasil kerja kelompok di depan kelas.

12. Pembelajaran Keterampilan Pemecahan Masalah Sosial


(Social Problem Solving)
Individu merupakan aktor sosial dalam kehidupan
bermasyarakat. Sebagai aktor sosial, ia harus dapat mengambil
keputusan secara bernalar. Kemampuan tersebut tercermin melalui
proses pembelajaran yang memungkinkan individu terlibat dalam
berbagai bentuk kegiatan pemecahan masalah sosial baik secara
individual maupun secara kolektif (Ditnaga Dikti Depdiknas, 2007).
Pembelajaran keterampilan pemecahan masalah sosial merupakan
strategi tepat untuk menempa kemampuan mahasiswa sebagai
aktor sosial. Melalui strategi ini dikembangkan pembelajaran yang
melibatkan peserta didik dalam praktik pemecahan masalah sosial,
khususnya yang berkenaan dengan kebijakan publik.

Pembelajaran keterampilan pemecahan masalah sosial


menerapkan pendekatan fungsional atau pendekatan berbasis
masalah (problem-based learning). Pembelajaran ini bertolak
dari strategi inquiry learning, discovery learning, problem solving
learning, dan research oriented learning.
60 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

Langkah-langkah pembelajaran keterampilan pemecahan


masalah sosial adalah: (a) mengidentifikasi masalah kebijakan
publik, khususnya masalah korupsi yang terjadi di dalam tubuh
pemerintah, lembaga legislatif atau pun di masyarakat, (b)
memilih satu masalah sosial (korupsi) untuk dikaji di dalam kelas,
(c) mahasiswa mengumpulkan informasi yang terkait dengan
masalah tersebut, (d) mengembangkan portofolio kelas, (e)
menyajikan portofolio, dan (f) melakukan refleksi pengalaman
belajar (Ditnaga Dikti Depdiknas, 2007).

H. Rangkuman

Korupsi diartikan sebagai penyelewengan atau


penyalahgunaan uang negara (perusahaan dan sebagainya)
untuk keuntungan pribadi atau orang lain. Korupsi dipahami
sebagai perbuatan busuk, rusak, kotor, serta menggunakan uang
atau barang milik lain (perusahaan atau negara) secara
menyimpang yang menguntungkan diri sendiri.
Korupsi melibatkan penyalahgunaan kepercayaan, yang
umumnya melibatkan kekuasaan publik untuk keuntungan
pribadi. Korupsi juga dimaknai sebagai penyalahgunaan peran,
jabatan publik atau sumber untuk keuntungan pribadi.
Ada dua cara untuk mengatasi korupsi, yaitu dengan pencegahan
(pendidikan antikorupsi) dan pemberantasan korupsi dengan
penindakan terhadap pelaku tindak pidana korupsi. Pendidikan
antikorupsi adalah usaha sadar dan sistematis yang diberikan kepada
peserta didik berupa pengetahuan, nilai-nilai, sikap dan keterampilan
yang dibutuhkan agar mereka mau dan mampu mencegah dan
menghilangkan peluang berkembangnya
Pendidikan Antikorupsi 61

korupsi. Sasaran akhir bukan hanya menghilangkan peluang,


tetapi juga peserta didik sanggup menolak segala pengaruh yang
mengarah pada perilaku koruptif.
Pendidikan antikorupsi dilakukan dengan cara menanamkan
nilai-nilai antikorupsi kepada anak-anak, siswa, mahasiswa, dan
generasi muda, guna membentuk sikap antikorupsi dan
menghilangkan peluang berkembangnya tindak pidana korupsi
maupun perilaku koruptif lainnya. Nilai-nilai antikorupsi yang
ditanamkan tersebut, yaitu nilai kejujuran, tanggung jawab,
keberanian, keadilan, keterbukaan, kedisiplinan, kesederhanaan,
kerja keras, dan kepedulian.
Nilai-nilai antikorupsi tersebut secara formal ditanamkan di
sekolah dan perguruan tinggi melalui kurikulum yang
dikembangkan. Nilai-nilai tersebut dapat diintegrasikan ke dalam
kurikulum, misal dalam silabi, satuan acara pembelajaran
(perkuliahan), dan kontrak pembelajaran (perkuliahan) atau pun
diselenggarakan dalam bentuk mata pelajaran atau mata kuliah
tersendiri. Metode pembelajaran yang dapat dipilih untuk
menanamkan nilai-nilai antikorupsi di antaranya adalah metode
in-class discussion, case study, improvement system scenario,
generale lecture, film discussion, investigative report, thematic
exploration, prototype, prove the government, education tools,
integrated writing, dan social problem solving.
BAB III
BENTUK DAN JENIS-JENIS
KORUPSI

B entuk dan jenis-jenis korupsi di berbagai negara tidak sama,


tergantung pada pengalaman atau sejarah negara tersebut dan
dapat dikembangkan berdasarkan praktik-praktik korupsi atau
kreativitas dari para perampok harta rakyat dan negara.

A. Bentuk Korupsi

Sebagaimana telah disebutkan dalam Bab II, definisi korupsi


diuraikan panjang lebar dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 dan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001. Sebanyak 13
pasal menjelaskan bentuk-bentuk korupsi di Indonesia yang
dapat dilakukan penindakan terhadapnya. Dari pasal-pasal
tersebut, korupsi dirinci lebih lanjut ke dalam 30 bentuk tindak
pidana korupsi. Pasal-pasal tersebut menjelaskan secara rinci
tentang perbuatan-perbuatan yang bisa dikenakan pidana
penjara karena kasus korupsi.
Ketiga puluh bentuk tindak pidana korupsi tersebut pada
dasarnya dapat dikelompokkan sebagai berikut.
1. Kerugian keuangan negara: pasal 2 dan 3.
2. Suap menyuap: pasal 5 ayat (1) huruf a, pasal 5 ayat (1) huruf
b, pasal 5 ayat (2), pasal 6 ayat (1) huruf a, pasal 6 ayat (1)

62
Pendidikan Antikorupsi 63

huruf b, pasal 6 ayat (2), pasal 11, pasal 12 huruf a, pasal 12


huruf b, pasal 12 huruf c, pasal 12 huruf d dan pasal 13.
3. Penggelapan dalam jabatan: pasal 8, pasal 9, pasal 10 huruf
a, pasal 10 huruf b, dan pasal 10 huruf c.
4. Pemerasan: pasal 12 huruf e, pasal 12 huruf f, pasal 12 huruf g.
5. Perbuatan curang: pasal 7 ayat (1) huruf a, pasal 7 ayat (1)
huruf b, pasal 7 ayat (1) huruf c, pasal 7 ayat (1) huruf d, pasal
7 ayat (2) dan pasal 12 huruf h.
6. Benturan-benturan dalam pengadaan: pasal 12 huruf i.
7. Gratifikasi: pasal 12 B jo pasal 12 C (KPK, 2006: 4-5).

Selain definisi tindak pidana korupsi sebagaimana diuraikan


di atas, masih terdapat tindak pidana lain yang berkaitan dengan
tindak pidana korupsi yakni sebagaimana diatur di dalam pasal
21, 22 jo 28, 22 jo 29, 22 jo 35, 22 jo 36 dan 24 jo 31.
Pasal 2 UU Nomor 31 Tahun 1999 yang sebagian berbunyi:
setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi
yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara (KPK, 2006: 25). Perbuatan yang merugikan keuangan
atau perekonomian negara ini tergolong perbuatan atau tindak
pidana korupsi. Demikian pula rumusan pasal 3 juga tergolong
tindak pidana korupsi, yaitu: setiap orang yang dengan tujuan
menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi,
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang
ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara (KPK,
2006: 27). Pasal 2 dan 3 ini adalah korupsi dalam bentuk
merugikan keuangan negara.
64 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

Suap-menyuap diatur dalam 5 pasal dari UU Korupsi. Pasal 5


ayat (1) huruf a menyatakan bahwa: setiap orang yang memberi
atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau
penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau
penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu
dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya
termasuk perbuatan suap-menyuap. Demikian pula pasal 5 ayat (1)
huruf b yang berbunyi: memberi sesuatu kepada pegawai negeri
atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan
sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak
dilakukan dalam jabatannya, termasuk juga kategori suap-menyuap.
Suap-menyuap terdapat pula dalam rumusan pasal 5 ayat (2), yaitu
bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima
pemberian atau janji sebagaimana dalam ayat (1) huruf a dan b,
dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1). Pidana penjara yang dikenakan kepada pihak yang
menerima suap tersebut adalah pidana penjara paling singkat 1
tahun dan paling lama 5 tahun serta pidana denda paling sedikit Rp
50 juta dan paling banyak Rp 250 juta. Pasal 11, 12, dan 13
berkaitan dengan pasal 5 mengenai suap yang diterima pegawai
negeri atau penyelenggara negara.
Rumusan suap dalam pasal 11 berbunyi: pegawai negeri
atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji
padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji
tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang
berhubungan dengan jabatannya.
Pasal 12 huruf a berunsurkan suap, berbunyi: pegawai negeri
atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau
Pendidikan Antikorupsi 65

janji padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau


janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan
atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang
bertentangan dengan kewajibannya.
Demikian pula pasal 12 huruf b yang menyatakan bahwa
pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima
hadiah padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah
tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah
melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang
bertentangan dengan kewajibannya, tergolong tindakan suap-
menyuap.
Pasal 13 yang berbunyi: setiap orang yang memberi hadiah
atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan
atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya
atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada
jabatan atau kedudukan tersebut, termasuk rumusan suap yang
berkaitan dengan posisi pegawai negeri.
Pasal 12 huruf c dan d memuat ketentuan suap yang menimpa
hakim dan advokat. Pasal 12 huruf c berbunyi: hakim yang
menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga
bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk memengaruhi
putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili.
Sementara itu, pasal 12 d menyatakan: seseorang yang menurut
ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi
advokat untuk menghadiri sidang pengadilan, menerima hadiah
atau janji padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau
janji tersebut untuk memengaruhi nasihat atau pendapat yang akan
diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan
66 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

kepada pengadilan untuk diadili.


Masih terkait dengan suap yang diterima hakim dan
advokat, pasal 6 pun mengindikasikan hal ini. Pasal 6 ayat (1)
huruf a menyatakan: setiap orang yang memberi atau
menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk
memengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya
untuk diadili, dapat digolongkan perbuatan penyuapan.
Demikian pula, pasal 6 ayat (1) huruf b yang menyatakan:
setiap orang yang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada
seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan
ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan
dengan maksud untuk memengaruhi nasihat atau pendapat yang
akan diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada
pengadilan untuk diadili, termasuk perbuatan menyuap.
Baik hakim maupun advokat yang menerima suap akan
dipidana sedikitnya 3 tahun dan paling lama 15 tahun, sebagaimana
dirumuskan dalam pasal 6 ayat (2): bagi hakim yang menerima
pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a
atau advokat yang menerima pemberian atau janji sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) huruf b, dipidana dengan pidana yang
sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Penggelapan dalam jabatan dirumuskan dalam 3 pasal, yaitu pasal
8, 9, dan 10 huruf a, b, dan c. Pasal 8 menyatakan: pegawai negeri atau
orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu
jabatan umum secara terus-menerus atau untuk sementara waktu
dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan
karena jabatannya atau membiarkan uang atau surat berharga tersebut
diambil atau digelapkan oleh
Pendidikan Antikorupsi 67

orang lain atau membantu dalam melakukan perbuatan


tersebut, tergolong perbuatan penggelapan.
Senada dengan rumusan pasal 8, pasal 9 menyatakan: pegawai
negeri atau orang lain selain pegawai negeri yang diberi tugas
menjalankan suatu jabatan umum secara terus-menerus atau untuk
sementara waktu dengan sengaja memalsu buku-buku atau daftar-
daftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi, dapat
digolongkan ke dalam tindak pidana penggelapan.
Perbuatan penggelapan dirumuskan lebih jelas lagi dalam pasal
10. Huruf a pasal ini menyatakan: pegawai negeri atau orang selain
pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum
secara terus-menerus atau untuk sementara waktu dengan sengaja
menggelapkan, menghancurkan, merusakkan atau membuat tidak
dapat dipakai barang, akta, surat atau daftar yang digunakan untuk
meyakinkan atau membuktikan di muka pejabat yang berwenang
yang dikuasai karena jabatannya.
Huruf b pasal 10 berbunyi: pegawai negeri atau orang selain
pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan
umum secara terus-menerus atau untuk sementara waktu
dengan sengaja membiarkan orang lain menghilangkan,
menghancurkan, merusakkan atau membuat tidak dapat dipakai
barang, akta, surat, atau daftar tersebut.
Huruf c pasal 10 menyatakan: pegawai negeri atau orang
selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu
jabatan umum secara terus-menerus atau untuk sementara
waktu dengan sengaja membantu orang lain menghilangkan,
menghancurkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta,
surat, atau daftar tersebut.
68 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

Pemerasan termasuk dalam perbuatan korupsi. Pasal 12


huruf e menyatakan: pegawai negeri atau penyelenggara negara
yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain
secara melawan hukum atau dengan menyalahgunakan
kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu,
membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan atau
untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri.
Pasal 12 huruf f berbunyi: pegawai negeri atau penyelenggara
negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta, menerima,
atau memotong pembayaran kepada pegawai negeri atau
penyelenggara negara yang lain atau kepada kas umum, seolah-olah
pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kas umum
tersebut mempunyai utang kepadanya, padahal diketahui bahwa
hal tersebut bukan merupakan utang.
Huruf g pasal 12 menyatakan: pegawai negeri atau
penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas,
meminta atau menerima pekerjaan atau penyerahan barang,
seolah-olah merupakan utang kepada dirinya, padahal diketahui
bahwa hal tersebut bukan merupakan utang.
Selain pemerasan, perbuatan curang juga dapat dikategorikan ke
dalam tindak pidana korupsi. Hal ini diatur secara rinci dalam pasal 7
dan 12. Pasal 7 ayat (1) huruf a menyatakan: pemborong, ahli
bangunan yang pada waktu membuat bangunan atau penjual bahan
bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan, melakukan
perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau
barang atau keselamatan negara dalam keadaan perang.
Pasal 7 ayat (1) huruf b berbunyi: setiap orang yang bertugas
mengawasi pembangunan atau penyerahan bahan bangunan,
Pendidikan Antikorupsi 69

sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud


dalam huruf a, termasuk kategori perbuatan curang. Perbuatan
curang dirumuskan juga dalam huruf c dari pasal tersebut, yang
bunyinya sebagai berikut: setiap orang yang pada waktu
menyerahkan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan
atau Kepolisian Negara Republik Indonesia melakukan perbuatan
curang yang dapat membahayakan keselamatan negara dalam
keadaan perang. Terkait dengan pasal tersebut, huruf d yang
menyatakan: setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan
barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian
Negara Republik Indonesia dengan sengaja membiarkan perbuatan
curang sebagaimana dimaksud dalam huruf c, termasuk pula
perbuatan curang. Hukuman yang dikenakan kepada mereka yang
berbuat curang cukup berat, yaitu pidana penjara minimal 2 tahun
dan maksimal 7 tahun dengan denda minimal Rp 100 juta dan
maksimal Rp 350 juta. Pasal 7 ayat (2) menunjukkan hal tersebut,
yaitu : bagi orang yang menerima penyerahan bahan bangunan atau
orang yang menerima penyerahan barang keperluan Tentara
Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia
dan membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) huruf a atau huruf c, dipidana dengan pidana yang sama
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). Menyerobot tanah negara
juga termasuk perbuatan curang yang pidana dendanya bisa
mencapai maksimal Rp 1 miliar. Siapa yang dikenai pidana seperti
ini. Mereka adalah pegawai negeri atau penyelenggara negara yang
pada waktu menjalankan tugas telah menggunakan tanah negara
yang diatasnya terdapat hak pakai, seolah-olah sesuai dengan
peraturan perundang-undangan, telah merugikan orang yang
berhak, padahal diketahuinya bahwa perbuatan tersebut
70 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

bertentangan dengan peraturan perundang-undangan (pasal 12


huruf h).
Korupsi yang terkait dengan benturan kepentingan dalam
pengadaan diatur dalam pasal 12 huruf i. Siapa mereka? Mereka
adalah pegawai negeri atau penyelenggara negara baik langsung
atau tidak langsung dengan sengaja turut serta dalam
pemborongan, pengadaan, atau persewaan yang pada saat
dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau sebagian ditugaskan
untuk mengurus atau mengawasinya.
Gratifikasi merupakan fenomena korupsi yang dulu belum
tersentuh oleh hukum karena dianggap hal biasa dan lumrah. Hal
ini diatur dalam pasal 12 B jo. Pasal 12 C. Ketentuan
selengkapnya pasal tersebut adalah sebagai berikut. Huruf B ayat
(1): setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara
dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya
dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya dengan
ketentuan sebagai berikut: (a) yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh
juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan
merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi, (b) yang nilainya
kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa
gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum. Pasal 12 C
mempertegas rumusan pasa 12 B. Ayat (1) menetapkan, ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 12 B ayat (1) tidak berlaku, jika
penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ayat (2) menentukan bahwa
penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib
dilakukan oleh penerima gratifikasi paling lambat 30 (tiga puluh) hari
kerja
Pendidikan Antikorupsi 71

terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima. Pada ayat


(3) dinyatakan bahwa Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja
sejak tanggal menerima laporan wajib menetapkan gratifikasi
dapat menjadi milik penerima atau milik negara.
Selain yang dikemukakan di atas, terdapat jenis tindak
pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi, yaitu:
1. Merintangi proses pemeriksaan perkara korupsi (pasal 21);
2. Tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang
tidak benar (pasal 22 jo. Pasal 28);
3. Bank yang tidak memberi keterangan rekening tersangka
(pasal 22 jo. Pasal 29);
4. Saksi atau ahli yang tidak memberi keterangan atau
memberi keterangan palsu (pasal 22 jo. Pasal 35);
5. Orang yang memegang rahasia jabatan tidak memberikan
keterangan atau memberi keterangan palsu (pasal 22 jo. Pasal
36);
6. Saksi yang membuka identitas pelapor (pasal 24 jo. Pasal 31)
(KPK, 2006: 21).

B. Jenis-Jenis Korupsi

Banyak jenis korupsi yang dapat diidentifikasi. Haryatmoko


mengutip pendapat Yves Meny membagi korupsi ke dalam empat
jenis, yaitu: (1) korupsi jalan pintas, (2) korupsi upeti, (3) korupsi
kontrak, dan (4) korupsi pemerasan (Al-Barbasy, 2006: 2-3).
Korupsi jalan pintas, terlihat dalam kasus-kasus penggelapan
uang negara, perantara ekonomi dan politik, pembayaran untuk
72 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

keuntungan politik atau uang balas jasa untuk partai politik, dan
money politik.
Korupsi upeti merupakan bentuk korupsi yang dimungkinkan
karena jabatan strategis. Karena jabatan yang disandangnya,
seseorang mendapatkan persentase keuntungan dari berbagai
kegiatan, baik ekonomi maupun politik, termasuk pula upeti dari
bawahan dan kegiatan-kegiatan lain atau jasa dalam suatu perkara.
Korupsi kontrak, yaitu korupsi yang diperoleh melalui proyek
atau pasar. Termasuk dalam kategori ini adalah usaha untuk
mendapatkan fasilitas dari pemerintah.
Korupsi pemerasan, terkait dengan jaminan keamanan dan
urusan-urusan gejolak intern dan ekstern. Perekrutan perwira
menengah TNI atau Polisi menjadi manajer human resources
department atau pencantuman nama perwira tinggi dalam dewan
komisaris perusahaan merupakan contoh korupsi pemerasan.
Termasuk pula dalam korupsi jenis ini adalah membuka kesempatan
kepemilikan saham kepada orang kuat tertentu untuk menghindarkan
akuisisi perusahaan yang secara ekonomi tak beralasan.

Dalam literatur fikih ada 6 jenis korupsi yang haram dilakukan,


yaitu: (1) ghulul atau penggelapan, (2) risywah atau penyuapan,
(3) ghashab atau perampasan, (4) ikhtilas atau pencopetan, (5)
sirqah atau pencurian, dan (6) hirabah atau perampokan (KPK,
2007: 7)
Widodo membagi korupsi ke dalam tiga bentuk, yaitu graft,
bribery dan nepotism (Azhari, 2006: 8). Graft merupakan korupsi
yang dilakukan tanpa melibatkan pihak ketiga, seperti menggunakan
atau mengambil barang kantor, uang kantor, dan jabatan kantor untuk
kepentingan diri sendiri. Korupsi tipe ini bisa
Pendidikan Antikorupsi 73

berlangsung karena seseorang memiliki jabatan atau kedudukan


di kantor.
Bribery adalah pemberian sogokan, suap, atau pelicin agar
dapat memengaruhi keputusan yang dibuat yang
menguntungkan sang penyogok.
Nepotism adalah tindakan korupsi berupa kecenderungan
pengambilan keputusan yang tidak berdasarkan pertimbangan
objektif, tetapi atas pertimbangan kedekatan karena
kekerabatan, kekeluargaan atau pertemanan.
Dilihat dari sifatnya, Kurniawan, dkk. (2006: 62-63) membagi
korupsi ke dalam tiga bentuk, yaitu:

Tabel 1 Jenis-jenis Korupsi


No. Jenis Pelaku Wujud Korupsinya
Korupsi
1. Korupsi• Merasa kebutuhannya tidak terpenuhi,
Individualsehingga korupsi menjadi kebutuhan atau korupsi
adalah jalan satu-satunya untuk membiayai
kebutuhan (need corruption).
• Adanya keinginan untuk menumpuk harta
sebanyak-banyaknya atau adanya motif
serakah (greed corruption).
2. Korupsi• Telah terjadi dalam waktu sekian lama
Terlembagakan melalui media administrasi dan birokrasi
yang ada, sehingga terjadi dalam proses
yang lama dan telah berurat berakar dalam
lingkungan birokrasi. Situasi ini melibatkan
hampir semua komponen yang ada dalam
birokrasi, sehingga situasi ini dimaklumi
bahwa korupsi adalah sesuatu yang lumrah.
• Pelaku korupsi kemudian enggan dan
kehilangan semangat untuk melakukan
pemberantasan korupsi di lingkungannya
bahkan mereka melakukan legitimasi dan
toleransi atas praktik korupsi yang terjadi.
74 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

3. Korupsi Politis · Ada praktik konspiratif dan kolutif diantara


para pemegang otoritas politik dengan
pengambil kebijakan dan penegak hukum.
· Adanya praktik pembiaran (ignoring)
terhadap praktik korupsi yang diketahui,
baik yang terjadi di lingkungannya maupun
di tempat lain.

Mashal (2011) menunjukkan bahwa pada masyarakat


demokrasi, dapat diidentifikasi 3 (tiga) tipe korupsi, yaitu grand
corruption, bureaucratic corruption, dan legislative corruption.
Grand corruption adalah tindakan elit politik (termasuk
pejabat-pejabat terpilih) dimana mereka menggunakan
kekuasaannya untuk membuat kebijakan ekonomi. Elit politik
yang korup dapat mengubah kebijakan nasional atau
implementasi kebijakan nasional untuk melayani kepentingan
mereka. Dengan kewenangannya, mereka juga dapat
menggelapkan belanja publik demi kepentingan mereka. Tipe
korupsi ini yang paling sulit diidentifikasi, karena para elit dapat
memanfaatkan celah peraturan atau kebijakan yang mereka buat
untuk memenuhi kepentingan mereka dan kroni-kroninya.
Bureaucratic corruption adalah tindakan korupsi yang dilakukan
para birokrat yang diangkat, yang dilakukan demi dan untuk
kepentingan elit politik atau pun kepentingan mereka sendiri.
Dalam bentuknya yang kecil, korupsi birokrasi terjadi ketika
masyarakat (publik) memerlukan pelayanan cepat dari birokrat,
dengan imbalan uang atau materi tertentu. Dalam konteks ini,
penyuapan (bribery) dilakukan untuk memperlancar urusan tertentu.
Korupsi jenis ini juga terjadi di lembaga peradilan, utamanya untuk
memengaruhi keputusan pengadilan yang
Pendidikan Antikorupsi 75

menguntungkan pihak yang berperkara.


Legislative corruption menunjuk pada perilaku voting dari
legislator yang mungkin dapat dipengaruhi. Dalam korupsi ini,
legislator disuap oleh kelompok kepentingan tertentu membuat
legislasi yang dapat mengubah rente ekonomi yang berkaitan
dengan aset.
Amin Rais membagi korupsi dalam empat tipologi yang harus
diwaspadai, yaitu: (1) korupsi ekstortif, (2) korupsi manipulative,
(3) korupsi nepotistic, dan (4) korupsi subversif (Al-Barbasy,
2006: 3).
Korupsi ekstortif merujuk pada situasi dimana seseorang
terpaksa menyogok agar dapat memperoleh sesuatu atau
mendapatkan proteksi atau perlindungan atas hak-hak dan
kebutuhannya. Sebagai contoh, seorang pengusaha terpaksa
memberikan sogokan (bribery) kepada pejabat tertentu agar
mudah mendapatkan izin usaha atau memperoleh perlindungan
terhadap usaha yang dijalankan.
Korupsi manipulative merujuk pada usaha kotor seseorang
untuk memengaruhi pembuatan kebijakan atau keputusan
pemerintah dalam rangka memperoleh keuntungan sebesar-
besarnya. Contohnya, sekelompok konglomerat memberi uang
kepada bupati, wali kota atau gubernur agar peraturan yang
dibuatnya dapat menguntungkan mereka.
Korupsi nepotistic merujuk pada perlakuan istimewa yang
diberikan kepada anak, keponakan dan saudara dekat para pejabat
dalam setiap eselon. Dengan perlakuan istimewa ini, para kroni
pejabat tadi dapat menangguk keuntungan yang besar. Korupsi jenis
ini umumnya berjalan dengan cara melanggar aturan main
76 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

yang sudah ada. Pelanggaran tersebut tidak dapat dihentikan


karena di belakang korupsi nepotistic ini berdiri seorang pejabat
yang biasanya merasa kebal hukum.
Korupsi subversive berupa pencurian terhadap kekayaan
negara yang dilakukan oleh pejabat negara. Berbekal kekuasaan
dan wewenang yang dimiliki, mereka dapat membobol kekayaan
negara yang seharusnya diselamatkan. Korupsi ini bersifat
subversif terhadap negara, karena negara telah dirugikan besar-
besaran dan dalam jangka panjang dapat mengganggu jalannya
roda negara.
Secara lebih rinci, Syed Hussain Alatas membedakan jenis-jenis
korupsi ke dalam tujuh bentuk, yaitu: (1) transactive corruption,
(2) exortive corruption, (3) investive corruption, (4) nepotistic
corruption, (5) defensive corruption, (6) antogenic corruption, dan
(7) supportive corruption (Al-Barbasy, 2006: 3-4).
Korupsi transaksi (transactive corruption) muncul karena
adanya kesepakatan timbal balik antara pihak pemberi dan pihak
penerima demi keuntungan kedua belah pihak. Korupsi jenis ini
biasanya melibatkan dunia usaha dengan pemerintah atau
antara masyarakat dan pemerintah.
Pihak pemberi dipaksa menyuap guna mencegah kerugian
yang sedang mengancam diri, kepentingan, orang dan hal-hal
yang dihargai, termasuk dalam kategori exortive corruption.
Investive corruption adalah pemberian barang atau jasa
tanpa ada pertalian langsung dengan keuntungan tertentu, selain
keuntungan yang dibayangkan akan diperoleh di masa yang akan
datang.
Pendidikan Antikorupsi 77

Nepotistic corruption adalah penunjukan yang tidak sah kepada


teman atau sanak saudara untuk memegang jabatan dalam
pemerintahan atau tindakan yang memberikan perlakuan yang
istimewa dalam bentuk uang atau bentuk-bentuk lain kepada
mereka secara bertentangan atau melawan hukum yang ada.
Defensive corruption adalah pemerasan yang dilakukan para
korban korupsi dengan dalih untuk mempertahankan diri.
Antogenic corruption adalah korupsi yang dilakukan seorang
diri tanpa melibatkan orang lain. Misalnya, pembuatan laporan
keuangan yang tidak benar atau membocorkan informasi
mengenai kebijakan pembangunan wilayah baru kepada kerabat
terdekat.
Supportive corruption adalah korupsi berupa tindakan-
tindakan yang dilakukan untuk melindungi atau memperkuat
korupsi yang sudah ada. Misalnya, menyewa preman untuk
mengancam pemeriksa (auditor) atau menghambat pejabat yang
jujur dan cakap agar tidak dapat menempati posisi atau
menduduki jabatan tertentu.

C. Rangkuman

Korupsi memiliki bentuk dan jenis yang beranekaragam.


Masing-masing negara dengan kultur masing-masing memahami
korupsi dengan cara yang berbeda. Pemberian atau gratifikasi
dimaknai secara berbeda di tiap-tiap negara. Hal ini memengaruhi
pula sikap masyarakat terhadap gratifikasi. Di negara yang tingkat
korupsinya tinggi biasanya memahami gratifikasi sebagai sesuatu
hal yang lumrah, karena kebiasaan dan budaya mengatakan
78 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

demikian. Sementara itu, negara-negara makmur dengan tingkat


korupsi rendah cenderung menyikapi gratifikasi sebagai salah
satu bentuk korupsi yang harus dihindari dan untuk itu harus
diatur dalam suatu ketentuan undang-undang.
Di Indonesia, sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999, korupsi dapat mengambil bentuk berupa
suatu tindakan melawan hukum yang (1) merugikan keuangan
negara, (2) berupa suap-menyuap, (3) berupa penggelapan, (4)
berupa pemerasan, (5) berupa perbuatan curang, (6) benturan-
benturan dalam pengadaan, dan (7) gratifikasi. Bentuk korupsi
lainnya, diatur lebih lanjut dalam undang-undang tersebut.
Di berbagai negara, jenis-jenis korupsi bermacam-macam.
Meny misalnya, menyebutkan ada 4 jenis korupsi, yaitu korupsi
jalan pintas, korupsi upeti, korupsi kontrak, dan korupsi
pemerasan. Islam mengenal juga korupsi, yakni berupa ghulul
atau penggelapan, risywah atau penyuapan, ghashab atau
perampasan, ikhtilas atau pencopetan, sirqah atau pencurian,
dan hirabah atau perampokan. Graft, bribery, dan nepotism,
sebagaimana dikemukakan Widodo juga merupakan jenis
korupsi yang sudah umum. Sementara itu, dilihat dari
pelaksananya, korupsi dapat juga dibedakan dalam tiga hal, yaitu
korupsi individual, korupsi terlembagakan, dan korupsi politis.
BAB IV
FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB
DAN DAMPAK KORUPSI

K orupsi terjadi karena berbagai sebab atau faktor. Faktor-faktor


itu diantaranya politik, ekonomi, sosial, dan budaya.
Dalam korupsi yang bersifat sistemik, faktor-faktor tersebut terjalin
berkelindan menentukan terjadinya korupsi. Meskipun dalam
beberapa hal perbuatan korupsi mendatangkan manfaat, tetapi
dampak negatif korupsi lebih besar daripada kegunaannya. Dampak
negatif korupsi tidak hanya merugikan keuangan dan perekonomian
negara, tetapi juga menyengsarakan rakyat dan merusak sendi-
sendi kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara.

A. Faktor-Faktor Penyebab Korupsi

Dalam buku berjudul Peran Parlemen dalam Membasmi


Korupsi, ICW (2000) mengidentifikasi empat faktor penyebab
korupsi, yaitu faktor politik, faktor hukum, faktor ekonomi dan
birokrasi, dan faktor transnasional.
Faktor politik menjadi salah satu penyebab terjadinya korupsi,
karena banyak peristiwa politik yang dipengaruhi oleh money
politic. Terkait dengan hal ini, Terrence Gomez (1994), seorang

79
80 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

pengkaji politik Malaysia menggambarkan politik uang (money


politic) sebagai use of money and material benefits in the pursuit
of political influence. Politik uang merupakan tingkah laku negatif
karena uang digunakan untuk membeli suara atau menyogok
para pemilih atau anggota-anggota partai politik supaya
memenangkan si pemberi uang. Praktik politik uang ini tidak bisa
dihilangkan karena undang-undang politik tidak memberikan
aturan yang tegas tentang dana kampanye. Demikian pula ketika
ada indikasi politik uang, pihak penegak hukum tampaknya ragu-
ragu untuk mengambil keputusan.
Korupsi yang berkaitan dengan politik sering disebut dengan
korupsi politik. Dalam pandangan De Asis (2000), korupsi politik
terjadi, misalnya money politic dalam pemilihan anggota legislatif
dan pejabat eksekutif, dana ilegal untuk pembiayaan kampanye,
penyelesaian konflik parlemen melalui cara-cara ilegal dan teknik
lobi yang menyimpang.
Faktor hukum menjadi penyebab korupsi, dikarenakan banyak
produk hukum yang tidak jelas aturannya, pasal-pasalnya multitafsir,
dan ada kecenderungan aturan hukum dibuat untuk menguntungkan
pihak-pihak tertentu meskipun orang awam tidak bisa melihatnya.
Demikian pula, sanksi yang tidak ekuivalen dengan perbuatan yang
dilarang, sehingga tidak tepat sasaran dan dirasa terlalu ringan atau
terlalu berat. Selaras dengan hal ini, Susila (dalam Hamzah, 2004),
menyatakan bahwa tindakan korupsi mudah timbul, karena ada
kelemahan dalam perundang-undangan yang mencakupi: (1) adanya
peraturan perundang-undangan yang bermuatan kepentingan pihak-
pihak tertentu, (2) kualitas peraturan perundang-undangan kurang
memadai,
Pendidikan Antikorupsi 81

(3) peraturan kurang disosialisasikan, (4) sanksi terlalu ringan, (5)


penerapan sanksi yang tidak konsisten dan pandang bulu, dan
(6) lemahnya bidang evaluasi dan revisi peraturan perundang-
undangan. Lemahnya penegakan hukum, rendahnya mental
aparatur, rendahnya kesadaran masyarakat, serta kurangnya
political will pemerintah, menurut Saleh (2006) juga menjadi
pemicu terjadinya korupsi.
Dari aspek hukum, penelitian Ezung (2012) juga memberikan
kesimpulan yang tidak jauh berbeda, bahwa terjadinya korupsi
disebabkan oleh lemahnya peraturan yang dibuat dan lemahnya
penegakan hukum.
Faktor ekonomi menjadi penyebab korupsi, terutama di
negara-negara yang sistem ekonominya sangat monopolistik.
Kekuasaan negara dirangkai dengan informasi orang dalam turut
menciptakan kesempatan-kesempatan bagi pegawai pemerintah
untuk mempertinggi kepentingan mereka beserta sekutu-
sekutunya. Serangkaian faktor tersebut berkaitan dengan faktor
birokrasi, di mana dalam suasana demikian kebijakan ekonomi
pemerintah diimplementasikan, dikembangkan, dan dimonitor
dengan cara yang tidak partisipatif, tidak transparans dan tidak
akuntabel.
Kenyataan juga menunjukkan bahwa korupi tidak hanya
dilakukan oleh orang yang ekonominya pas-pasan untuk bertahan
hidup, tetapi saat ini korupsi juga dilakukan oleh orang-orang kaya
dan berpendidikan tinggi (Sulistyantoro, 2004). Rendahnya
pendapatan dan gaji tidak serta merta mendorong orang untuk
melakukan korupsi. Banyaknya pemimpin nasional dan daerah,
serta para anggota legislatif di tingkat nasional dan di level daerah
82 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

yang dipidana, karena telah terbukti secara sah melakukan


tindak pidana korupsi. Mereka korupsi tidak karena kekurangan
atau untuk memenuhi kebutuhan yang kurang (by need). Mereka
melakukan korupsi karena mental buruk, tidak bermoral,
sehingga berjiwa serakah (by greed) untuk mengambil harta
negara guna menambah pundi-pundi kekayaannya.
Faktor transnasional amat terkait dengan perkembangan
hubungan ekonomi lintas negara yang tidak jarang menambah
lahan sumber bagi tumbuhnya korupsi di kalangan birokrasi
pemerintahan. Korupsi mudah terjadi, karena perusahaan-
perusahaan asing (transnasional) dapat beroperasi di suatu
negara tanpa harus masuk ke lini birokrasi pusat. Mereka bisa
masuk ke lini birokrasi pemerintah daerah dengan cara memberi
uang pelicin agar dapat berinvestasi di daerah. Korupsi
berlangsung bagai simbiosis mutualisme, di mana pengusaha
asing memiliki uang yang dapat digunakan untuk menyogok
pejabat agar memperoleh izin untuk melakukan usaha di daerah,
sedangkan elit daerah mempunyai otoritas untuk memutuskan.
Organisasi juga dapat menjadi alasan pembenar untuk melakukan
korupsi. Organisasi yang menjadi korban korupsi atau di mana korupsi
biasa terjadi, akan memberi andil terjadinya korupsi, karena membuka
peluang atau kesempatan untuk berlangsungnya korupsi (Tunggal,
2000). Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya korupsi dari sudut
pandang organisasi, yaitu: (1) kurangnya keteladanan dari pemimpin,
(2) tidak adanya kultur organisasi yang benar, (3) sistem akuntabilitas di
instansi pemerintah kurang memadai, dan (4) manajemen cenderung
menutupi korupsi di dalam organisasinya.
Pendidikan Antikorupsi 83

ICW memaparkan faktor politik, hukum, ekonomi, dan


transnasional sebagai faktor penyebab korupsi. Mashal (2011)
memberikan pandangan yang tidak jauh berbeda mengenai
penyebab korupsi. Mengutip pandangan Mauro, Mashal (2011)
menyebutkan enam hal yang menyebabkan korupsi bisa
berlangsung.
1. Motivasi untuk mencari penghasilan dengan cara yang
ekstrim, berhubungan dengan kondisi kemiskinan, upah
yang rendah, dan resiko tinggi dari pekerjaan (karena
penyakit, kecelakaan, dan pengangguran).
2. Kesempatan untuk terlibat dalam korupsi, karena
disebabkan oleh banyak regulasi yang mendorong
kesempatan tinggi untuk melakukan korupsi.
3. Sistem legislatif dan peradilan yang lemah.
4. Penduduk sedikit dengan jumlah sumber daya alam yang
melimpah.
5. Hukum dan prinsip-prinsip etik yang lemah.
6. Instabilitas politik dan lemahnya kemauan politik.

Kata sebagian orang, kemiskinan merupakan akar masalah


korupsi. Hal ini tidak benar sepenuhnya, sebab banyak negara kaya
dan makmur penuh dengan skandal yang sedikit sekali melibatkan
orang yang dapat dikategorikan ke dalam kelompok miskin atau
kekurangan. Banyak korupsi dilakukan oleh para pemimpin Asia dan
Afrika, dan mereka tidak tergolong orang miskin. Jadi, korupsi bukan
disebabkan oleh kemiskinan, tetapi justru sebaliknya, kemiskinan
disebabkan oleh korupsi (Pope, 2007: 17).
Jika ada pihak-pihak tertentu yang memojokkan kemiskinan
sebagai penyebab korupsi, meskipun sesungguhnya hal ini tidak
84 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

benar, ada pula orang yang menyatakan bahwa korupsi


merupakan bagian dari kebudayaan. Di banyak negara
berkembang, muncul pandangan bahwa korupsi merupakan
bagian dari kebudayaan. Rakyat mau membayar uang semir
(pelicin) yang jumlahnya tidak besar dengan senang hati,
misalnya untuk mendapatkan Surat Izin Mengemudi (SIM), Kartu
Tanda Penduduk (KTP), dan lainnya. Perbuatan tersebut
dipandang sebagai sebuah kebiasaan. Hal ini tidak berarti bahwa
mereka menyetujui tindakannya, sebab memberi uang semir
bagi mereka dipandang sebagai cara yang paling praktis untuk
memperoleh apa yang mereka inginkan dan butuhkan.
Anggapan ini lama kelamaan akan berubah jika jumlah uang
semir yang diminta makin besar atau barangkali konsumen tahu
bahwa kelangkaan yang melandasi uang semir sengaja diciptakan
atau juga proses-proses yang lebih baik sebenarnya bisa saja
diciptakan. Namun demikian ada kebudayaan tertentu yang
disalahgunakan menjadi salah satu bentuk korupsi. Di Afrika,
terdapat penjelasan kebudayaan yang menyatakan bahwa
pemberian hadiah yang berlimpah atas budi baik yang diberikan
adalah sah-sah saja. Hal ini ditolak oleh Olusegun Obasanjo,
aktivis antikorupsi Nigeria. Kata Olusegun:

“Saya terkejut sekali bahwa bagian yang tidak terpisahkan


dari kebudayaan kita digunakan sebagai alasan untuk
membenarkan perilaku yang sangat terkutuk. Dalam konsep
Afrika, mengenai hormat-menghormati dan sopan santun,
hadiah biasanya kecil saja. Memberi hadiah tidak harus.
Nilainya terletak pada semangatnya, bukan dari harganya.
Beri-memberi hadiah biasanya dilakukan secara terbuka,
tidak pernah secara rahasia. Bila nilainya terlalu berlebihan,
itu akan membuat orang malu
Pendidikan Antikorupsi 85

dan biasanya hadiah yang bersangkutan dikembalikan.


Korupsi telah menyalahgunakan dan menghancurkan salah
satu aspek dari kebudayaan kita.” (Pope, 2007: 21-22).

Mencari akar penyebab terjadinya korupsi dapat ditelusuri


dengan memahami sejumlah teori yang terkait dengannya.
Pertama, adalah teori means-ends scheme yang diperkenalkan
oleh Robert Merton. Menurut teori ini, korupsi merupakan suatu
perilaku manusia yang diakibatkan oleh tekanan sosial, sehingga
menyebabkan pelanggaran norma-norma. Sebagaimana
lazimnya setiap sistem sosial memiliki tujuan dan manusia
berusaha untuk mencapainya melalui cara-cara (means) yang
telah disepakati. Mereka yang menggunakan cara-cara yang
telah disepakati bersama untuk mencapai tujuan bersama
termasuk dalam golongan kompromis. Selain memberikan ruang
bagi anggota-anggotanya untuk dan mewujudkan tujuan, sistem
sosial tidak jarang juga menimbulkan tekanan yang
menyebabkan banyak orang tidak memiliki akses atau
kesempatan di dalam struktur sosial, karena adanya
pembatasan-pembatasan atau diskriminasi rasial, etnik, kapital,
keterampilan, dan sebagainya. Golongan marginal ini kemudian
mencari berbagai cara untuk mendapatkan pengakuan dan akses
terhadap sumber-sumber yang ada di masyarakat. Cara-cara
kotor atau menyimpang dari norma masyarakat terpaksa mereka
lakukan demi menyambung kehidupan mereka atau melawan
ketidakadilan yang menimpa mereka.
Dalam teori Merton ini ditunjukkan bagaimana kebudayaan
terlalu menekankan sukses ekonomi tetapi membatasi kesempatan-
kesempatan untuk mencapainya, akan menyebabkan
86 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

tingkat korupsi yang tinggi. Teori ini bisa menjelaskan mengapa


di negara yang kurang makmur tetapi warga negaranya memiliki
motivasi untuk maju yang sangat tinggi cenderung besar tingkat
korupsinya, sedangkan negara dengan motivasi yang rendah
untuk maju, tetapi akses untuk mencapai kemajuan itu tinggi,
cenderung memiliki tingkat korupsi yang rendah seperti halnya
yang dialami negara-negara Skandinavia.
Teori kedua, adalah teori partikularisme yang dikembangkan
oleh Edward Banfeld. Teori tersebut berkaitan erat dengan
keluarga, dimana korupsi merupakan ekspresi dari partikularisme.
Sikap partikularisme merupakan suatu perasaan kewajiban untuk
membantu dan membagi-bagi sumber kepada pribadi-pribadi yang
dekat dengan seseorang. Bantuan tersebut merupakan suatu
kewajiban personal kepada keluarga, sahabat, atau anggota
kelompoknya. Inilah yang disebut nepotisme. Nepotisme
merupakan suatu sikap loyal terhadap kewajiban partikularistik
yang merupakan ciri dari suatu masyarakat prakapitalis atau
masyarakat feodal. Partikularisme bertentangan dengan
universalisme, yaitu komitmen untuk bersikap sama dengan yang
lain. Universalisme merupakan ciri-ciri yang terdapat pada
masyarakat modern yang berorientasi pada pasar.
Pendapat Banfeld senada dengan pandangan Weber tentang etika
Protestan. Menurut Weber, nilai-nilai yang berkembang di masyarakat
Barat sebelum Protestantisme adalah nilai-nilai gereja Katolik yang
mementingkan masyarakat, keluarga, dan golongan masyarakat yang
dominan dalam membantu golongan miskin. Dengan lahirnya
Kalvinisme (suatu aliran Protestantisme), nilai-nilai komunitarian
tersebut menghilang dan diganti oleh sifat
Pendidikan Antikorupsi 87

mementingkan diri sendiri, sehingga kondusif bagi akumulasi


kapital. Lahirlah kapitalisme dengan norma-normanya. Teori
Banfeld menekankan pada konsep amoral familiism, yaitu
budaya yang kurang mengandung nilai-nilai komunitarian, tetapi
sangat memperkuat hubungan keluarga.
Familiisme yang tidak bermoral tersebut memberi
kesempatan untuk tumbuh suburnya perilaku korupsi dan
memperkokoh tingkah laku menyimpang dari nilai-nilai
universalisme dan sistem merit. Inilah yang ditemukan Banfeld
pada sistem mafia di Italia. Studi yang dilakukan oleh Bank Dunia
membenarkan teori Banfeld, di mana korupsi banyak terjadi di
negara-negara Asia, karena di negara-negara tersebut
keterikatan terhadap keluarga sangat tinggi, sedangkan di
negara-negara Skandinavia korupsi cukup rendah karena negara-
negara tersebut kurang mementingkan ikatan keluarga.
Syed Hussein Alatas (1986: 46) mengungkapkan faktor-faktor
berikut sebagai penyebab korupsi: (1) ketiadaan atau kelemahan
kepemimpinan dalam posisi-posisi kunci yang mampu memberikan
ilham dan memengaruhi tingkah laku yang menjinakkan korupsi,
(2) kelemahan pengajaran-pengajaran agama dan etika, (3)
kolonialisme, (4) kurangnya pendidikan, (5) kemiskinan, (6)
tiadanya tindak hukuman yang keras, (7) kelangkaan lingkungan
yang subur untuk perilaku antikorupsi, (8) struktur
pemerintahan, dan (9) perubahan radikal.
Berbagai upaya untuk memberantas korupsi telah dilakukan
oleh banyak negara, namun korupsi telah menjadi penyakit yang
sistemik. Godaan untuk melakukan korupsi kiranya sulit dihindari.
Torres sebagaimana dikutip Klitgaard, Maclean-Abaroa dan
88 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

Parris (2005: 37) mencatat faktor-faktor yang menyebabkan hal


itu, diantaranya faktor keluarga, tingkat pendidikan, sikap pada
pekerjaan, dunia usaha, negara dan situasi internasional.
Di Indonesia, korupsi demikian gencar dan makin sulit
dibendung terutama sejak berlalunya era Suharto. Gus Dur
bahkan punya seloroh menarik, “Di zaman orde lama, orang
takut korupsi sehingga korupsi dilakukan di bawah meja. Di
zaman orde baru, orang berani korupsi sehingga korupsi
dilakukan di atas meja dan pada zaman reformasi lebih gila lagi,
mejanya pun dikorupsi.” (Nugroho D dan Hanurita S., 2005: 115).
Meskipun banyak lembaga antikorupsi dan komitmen
pemerintah cukup tinggi untuk memberantas korupsi, namun
kenyataannya tindak pidana korupsi sukar diberantas. Mengapa
korupsi di Indonesia sukar diberantas? Menurut Amir Santoso
(2006: 2-4) ada lima pandangan yang dapat menjelaskan hal ini.
Pertama, kurang adanya kemauan yang sungguh-sungguh
dari pemerintah, para tokoh pemerintahan dan DPR untuk
memberantas korupsi.
Kedua, korupsi yang terjadi di Indonesia sering disebut sebagai
korupsi yang sistemik, maksudnya praktik korupsi tersebut memang
terjadi secara sistemik melalui pemanfaatan kelemahan dalam
sistem administrasi negara beserta aturan-aturannya.
Ketiga, masalah budaya. Pemberian dari penguasa kepada
anggota keluarga atau rakyat meskipun diambil dari kas negara
bukanlah korupsi, tetapi dipandang sebagai upaya mengayomi
(memberi perlindungan) dan ngayemi (membuat tenteram).
Keempat, akibat dari tidak mencukupinya gaji pegawai negeri
Pendidikan Antikorupsi 89

yang berlangsung lama. Dalam rangka memenuhi kebutuhan


yang makin bertambah sementara gaji atau penghasilan pas-
pasan, PNS terpaksa menyalahgunakan wewenang (abuse of
power) di kantornya baik secara sembunyi-sembunyi maupun
secara terang-terangan.
Kelima, sejak reformasi bergulir tahun 1998, korupsi
bukannya berkurang tetapi makin meningkat dari segi jumlah
pelaku dan jumlah uang yang dikorupsi.

B. Dampak Korupsi

Korupsi memiliki dampak positif maupun negatif. Namun


jika dikalkulasi, dampak negatifnya tentu lebih banyak atau
dengan kata lain, pengaruh buruk korupsi jauh lebih besar
ketimbang manfaatnya. Sebuah studi korupsi di Maroko
menyimpulkan bahwa korupsi di dalam sistem Maroko tidak
banyak membantu efisiensi kaum pengusaha dan pembentukan
modal. Dalam sistem ini, korupsi hanya menguntungkan satu
fungsi, yaitu kelangsungan rezim (Klitgaard, 2005: 49).
Studi lain memperlihatkan bahwa korupsi telah memperhebat
konflik etnik, menghancurkan efisiensi pemerintahan kota dan
badan-badan federal, melumpuhkan sistem penilaian dalam
prestasi kerja dan kenaikan pangkat, menimbulkan suasana
ketidakpercayaan yang meresapi semua tingkat pemerintahan dan
menggerogoti falsafah sosialisme di Afrika (Klitgaard, 2005: 49).
Hasil riset di Philipina menemukan bahwa korupsi
menimbulkan penganakemasan produsen yang tidak efisien,
distribusi sumber-sumber alam negara yang langka secara tidak
90 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

adil dan tidak merata, dan kebocoran pendapatan pemerintah


dari kas negara ke tangan perorangan (Klitgaard, 2005:50).
Korupsi memiliki dampak hebat, utamanya terhadap
ekonomi. Sebagaimana dituturkan Mashal (2011), bahwa korupsi
menyebabkan 6 (enam) hal berikut.
Pertama, investasi menjadi rendah, termasuk investasi
langsung dari luar negeri. Kedua, mengurangi pertumbuhan
ekonomi. Ketiga, mengubah komposisi belanja pemerintah dari
aktivitas sangat produktif menjadi aktivitas kurang produktif.
Keempat, ketidaksamaan dan kemiskinan menjadi lebih besar.
Kelima, mengurangi efisiensi bantuan. Keenam, menyebabkan
negara mengalami krisis.
Dalam kaitannya dengan ekonomi, FATF dan OECD (2011)
melaporkan bahwa korupsi mengganggu kinerja ekonomi,
misalnya dengan berkurangnya investasi swasta, mengurangi
penyediaan infrastruktur publik, mengurangi penerimaan pajak,
sistem finansial menjadi tidak efisien, bahkan dapat merusak
formasi modal manusia. Korupsi bahkan seperti pasir bagi roda
pertumbuhan ekonomi. Artinya, korupsi menjadi penghambat
pertumbuhan ekonomi.
Korupsi juga melanggar dan mengganggu hak asasi manusia,
khususnya hak yang seharusnya dimiliki oleh anak. ICHRP dan
Transparency International (2009) mencatat bahwa korupsi
berdampak pada terlanggarnya hak anak untuk hidup, khususnya
hak untuk memperoleh pendidikan dan pelayanan kesehatan.
Dalam sebuah seminar yang diselenggarakan oleh AIPI pada tahun
2006, Silalahi (2006: 3) memberi kesimpulan bahwa korupsi merusak
perekonomian, merendahkan martabat hukum dan
Pendidikan Antikorupsi 91

melemahkan kepercayaan publik terhadap pemerintah. Karena


korupsi, usaha mengikis kemiskinan pun terhambat, sebab kira-
kira 30% dana publik diambil secara tidak sah oleh pejabat dan
birokrat publik untuk kepentingan dan memperkaya diri.
Menurut Susilo (2006: 93), korupsi di Indonesia merupakan
persoalan nyata yang menggerogoti seluruh sendi kehidupan
bangsa. Rusaknya kualitas lingkungan hidup, berkurangnya
taman kota, mutu pendidikan yang dipertanyakan, infrastruktur
yang tidak terawat, dan banyaknya pengangguran merupakan
segelintir saja dari begitu banyak dampak korupsi.
Korupsi yang dilakukan secara sistemik memiliki dampak
langsung dan tidak langsung terhadap kehidupan masyarakat
(Sudjana, 2008: 86-87). Dampak langsung dari perbuatan korupsi,
misalnya rakyat harus membayar mahal untuk jasa pelayanan publik
yang buruk dan ekonomi biaya tinggi; sedangkan dampak korupsi
tidak langsung di antaranya pencemaran dan kerusakan lingkungan,
penumpukan aset negara di tangan segelintir orang, ketimpangan
dalam pemerataan hasil-hasil pembangunan ekonomi, diskriminasi
hukum, demokratisasi tertunda dan kehancuran moral. Dalam
kaitan ini, Husein Alatas menyatakan, “tidak ada penyebab
ketidakadilan dan kekejaman yang lebih besar daripada korupsi,
karena penyuapan menghancurkan baik iman maupun negara”
(Sudjana, 2008: 87).
Korupsi memiliki daya rusak yang cukup tinggi. Korupsi itu
merusak, alasannya sederhana, yakni karena keputusan-keputusan
penting diambil berdasarkan pertimbangan-pertimbangan pribadi
tanpa memperhitungkan akibat-akibatnya bagi publik (Pope, 2007:
9). Dieter Frisch, mantan Direktur Jenderal Pembangunan Komisi
92 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

Eropa, menyatakan bahwa korupsi memperbesar pengeluaran untuk


barang dan jasa, memperbesar utang negara, menurunkan standar, dan
menyebabkan proyek-proyek dipilih berdasarkan modal.

Dalam kesempatan lain, Frisch menunjukkan bahwa bila


sebuah negara memperbesar utangnya agar dapat melaksanakan
proyek-proyek yang tidak layak dari sisi ekonomi, utang tambahan
itu tidak saja mencakup 10 hingga 20 persen biaya tambahan yang
timbul karena korupsi, tetapi seluruh investasi, dalam arti 100%
investasi, dilakukan atas dasar keputusan yang tidak jujur untuk
melaksanakan proyek-proyek yang tidak produktif dan tidak perlu
(Pope, 2007: 9). Jika tidak dapat dikendalikan, korupsi dapat
mengancam lembaga-lembaga demokrasi dan ekonomi pasar.
Dalam lingkungan yang korup, sumber daya akan disalurkan ke
bidang-bidang tidak produktif. Kelompok elit akan selalu melindungi
kedudukan dan harta kekayaan aparat kepolisian, tentara, lembaga-
lembaga kontrol sosial, dan kelompok penindas lainnya. Untuk itu,
undang-undang dibuat dan sumber daya yang seharusnya
digunakan untuk pembangunan sosial ekonomi dibelokkan untuk
meningkatkan keamanan. Pada gilirannya hal tersebut dapat
melemahkan lembaga-lembaga demokrasi, karena korupsi, bukan
investasi, yang menjadi sumber utama untuk memperoleh
keuntungan uang. Pada tahap berikutnya, korupsi dapat
menggoyahkan landasan keabsahan pemerintah dan akhirnya bisa
menggoyahkan keabsahan negara.
Korupsi tidak hanya merusak sendi-sendi kehidupan negara. Akibat
salah urus yang dilakukan oleh elit pemerintah, pihak swasta
mendapatkan akibat yang tidak kecil. Korupsi menimbulkan
ketidakpastian bagi swasta. Hal ini dapat dipahami karena swasta
Pendidikan Antikorupsi 93

tidak dapat meramalkan keputusan-keputusan apa yang dihasilkan


para pejabat yang korup. Mereka juga tidak yakin apakah hakim
yang memutuskan perselisihan mereka dapat bertindak benar dan
adil. Selain karena masalah ketidakpastian, swasta juga menghadapi
persoalan resiko. Seiring dengan membesarnya resiko, semakin
besar dan cepat pula uang kembali yang harus dikejar oleh para
investor (Pope, 2007: 11). Hubungan yang korup ini akan menutup
pintu bagi pendatang baru ke dalam sektor swasta dan hal ini dapat
menghambat laju pertumbuhan sektor swasta.
Korupsi juga menimbulkan biaya-biaya lain, terutama yang
dialami sektor swasta. Bayle sebagaimana dikutip Nugroho D dan
Hanurita S (2005: 126-128) menginventarisasi biaya-biaya yang
terjadi sebagai akibat perilaku korupsi, yaitu: (1) tindak korupsi
mencerminkan kegagalan mencapai tujuan yang ditetapkan
pemerintah, (2) korupsi akan segera menular ke sektor swasta
dalam bentuk upaya mengejar laba dengan cepat dalam situasi yang
sulit diramalkan, (3) korupsi mencerminkan kenaikan harga
administrasi, (4) jika korupsi merupakan bentuk pembayaran yang
tidak sah, tentu hal ini akan mengurangi jumlah dana yang
disediakan untuk publik, (5) korupsi merusak mental aparat
pemerintah dan melunturkan keberanian yang diperlukan untuk
mematuhi standar etika yang tinggi, (6) korupsi dalam
pemerintahan menurunkan rasa hormat kepada kekuasaan dan
akhirnya menurunkan legitimasi pemerintah, (7) jika elit politik dan
pejabat tinggi pemerintah secara luas dianggap korup, maka publik
akan menyimpulkan tidak ada alasan bagi publik untuk tidak boleh
korup juga, (8) seorang pejabat atau politisi yang korup adalah
pribadi yang hanya memikirkan diri sendiri, tidak mau berkorban
94 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

demi kemakmuran bersama di masa mendatang, (9) korupsi


menimbulkan kerugian yang sangat besar dari sisi produktivitas
karena waktu dan energi habis untuk menjalin hubungan guna
menghindari atau mengalahkan sistem daripada untuk
meningkatkan kepercayaan dan memberikan alasan yang
objektif mengenai permintaan layanan yang diperlukan, (10)
korupsi akan menimbulkan perkara yang harus dibawa ke
pengadilan dan tuduhan-tuduhan palsu yang digunakan pada
pejabat yang jujur untuk tujuan pemerasan, dan (11) bentuk
korupsi yang paling menonjol di beberapa negara yaitu uang
pelicin atau uang rokok menyebabkan keputusan ditimbang
berdasarkan uang bukan berdasarkan kebutuhan manusia.
Nugroho (2006: 5) mencatat pula bahwa korupsi yang terjadi
di banyak tingkatan birokrasi pusat dan daerah serta di kalangan
DPR merupakan awal dari keruntuhan sistem politik. Hal ini
dapat dipahami, karena kepercayaan publik kepada bangunan
sistem politik akan runtuh dan legitimasi politik dengan
sendirinya akan berada pada titik kritis tatkala rakyat tidak lagi
percaya kepada elit yang memerintah. Sebagai penyakit kronis,
maka dampak korupsi terhadap kinerja birokrasi dapat berupa
hilangnya kepercayaan publik, inefisiensi anggaran, gangguan
atas pelayanan publik dan pembangunan, serta ambruknya citra
institusi demokrasi sipil yang dibangun selama era reformasi.
Dalam perspektif ekonomi politik, korupsi merupakan kejahatan
yang secara langsung menggerogoti sendi-sendi bangunan ekonomi
dan politik suatu bangsa (Sudjana, 2008: 89). Virus korupsi yang
menyerang suatu negara atau pemerintahan membuat daya tahan dan
daya hidup suatu negara menjadi lemah.
Pendidikan Antikorupsi 95

Virus tersebut mengancam integrasi dan kohesivitas nasional,


sehingga konflik sosial mudah meletup dan sulit dikendalikan.
Fundamen ekonomi pun dibuatnya rapuh dan rentan terhadap
goncangan sekecil apa pun. Secara politik, korupsi telah
meruntuhkan wibawa dan kredibilitas pemerintah di mata rakyat,
sehingga partisipasi rakyat menjadi rendah. Korupsi memengaruhi
persepsi rakyat, di mana rakyat percaya bahwa produk perundang-
undangan lahir memang untuk dilanggar karena adanya berbagai
kesepakatan di bawah tangan baik dengan pendekatan kekuasaan
maupun uang. Rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap
produk hukum, menyebabkan rendahnya kepatuhan mereka
terhadap hukum yang berlaku. Dirampoknya uang rakyat dan
negara membuat rakyat putus asa, lahirlah konflik, kekerasan, dan
kriminalitas pun merajalela (Sudjana, 2008: 91).

Dampak negatif korupsi juga dikemukakan Harman (2012),


“Rusaknya sistem demokrasi dan rule of law, rusaknya sendi-
sendi kehidupan bermasyarakat, terhambatnya ekonomi dan
daya saing, serta terhambatnya upaya pengentasan kemiskinan
dan penegakan hak asasi manusia, merupakan dampak negatif
dari tindak pidana korupsi,” demikian ungkap Harman.
Dalam kaitannya dengan rusaknya demokrasi dan rule of law,
Harman mencatat bahwa sejak penyelenggaraan pemilu 1999,
politik uang telah merebak dan memainkan perannya dalam
merusak format politik pascareformasi. Tanpa kejelasan dana partai
dan elit politik yang berlaga dalam pemilu, realitas politik dan
demokrasi makin memburuk. Politik uang sebagaimana ditengarai
Harman, berlangsung mulai masa pra kampanye, kampanye, minggu
tenang, hingga pada hari pencoblosan (yang
96 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

sering disebut dengan serangan fajar). Hal ini dibuktikan dengan


keterangan Mahkamah Konstitusi yang menyebutkan bahwa
hampir semua pemilihan kepala daerah sepanjang tahun 2010
diwarnai oleh praktik politik uang (Harman, 2012).
Buruknya perilaku pejabat publik yang terpilih dalam pemilihan
umum juga menciderai kualitas demokrasi dan rule of law. Harman
(2012) melaporkan bahwa hingga tahun 2011 sebanyak 155 kepala
daerah menjadi tersangka korupsi terkait kesenjangan antara dana
kampanye dengan gaji mereka. Sebagaimana diketahui, dana yang
dihabiskan calon gubernur untuk kampanye berkisar antara Rp 60
miliar hingga Rp 100 miliar, padahal selama masa jabatan lima tahun
secara normal gubernur terpilih hanya mampu mengumpulkan gaji
mereka sebesar Rp6 miliar. Pertanyaannya adalah dari mana
kekurangannya harus dicari. Korupsi merupakan jawabannya. Pada
tahun 2011, Harman (2012) menginformasikan bahwa KPK telah
memproses hukum 20 orang kepala daerah, baik gubernur, bupati
maupun wali kota yang tersangkut korupsi pengadaan barang.

Rusaknya kualitas demokrasi dan rule of law juga dipicu oleh


buruknya moralitas pejabat BUMN (baik pusat maupun daerah),
yang menjadikan BUMN sebagai sarana kotak penyedia uang atau
ATM bagi mereka yang memegang otoritas di BUMN. Beberapa
perusahaan yang ditengarai sumber korupsi di antaranya Badan
Urusan Logistik (BULOG) dan Pertamina zaman Pemerintahan Orde
Baru. Sumber penerimaan pajak juga menjadi lahan untuk korupsi,
sebagaimana kasus Gayus yang sangat menghebohkan.
Sistem banyak partai yang tidak disertai mekanisme transparansi
dan akuntabilitas keuangan partai politik juga dipandang sebagai
persoalan dalam manajemen sistem politik demokratis. Partai
Pendidikan Antikorupsi 97

politik diduga menjadi mesin politik untuk berkorupsi yang paling


ganas. Bukan hal aneh ketika calon kepala daerah untuk meminta
rekomendasi dari parpol sebagai calon yang direstui parpol harus
mengeluarkan sejumlah uang untuk menjalankan mesin partai yang
konon katanya untuk kegiatan kampanye bagi calon yang diberi
rekomendasi. Ujung-ujungnya parpol akan meminta sesuatu kepada
calon ketika mereka terpilih sebagai kepala daerah. PKS ketika
mengusung Adang Daradjatun dan Dani dalam pilkada DKI 2012 telah
menerima mahar politik Rp 40 miliar untuk kepentingan kampanye
calon gubernur tersebut. Mahar politik yang diberikan sebelum kepala
daerah mencalonkan diri dirasa belum cukup. Setelah calon terpilih
dalam pilkada, partai masih juga merecoki kepala daerah tersebut,
apalagi jika kepala daerah tersebut merupakan kader partai. Harman
(2012) juga melaporkan bahwa ada menteri yang harus menyetor ke
partainya sebesar Rp 500 juta per bulan. Penarikan upeti politik ini
menyebabkan partai lebih banyak berfungsi sebagai penggerak
pencarian sumber-sumber dana ilegal.

Korupsi juga merusak sendi-sendi kehidupan bermasyarakat.


Dampak korupsi terhadap rusaknya sendi-sendi kehidupan
bermasyarakat, menurut Harman (2012) dapat dicermati dari
tujuh hal berikut.
Pertama, kondisi negara dalam berbagai bentuk korupsi,
suap, dan pemerasan merupakan bentuk dari penyelewengan,
yang merupakan bagian dari warisan Orde Baru. Elemen-elemen
negara era reformasi dipercaya mewarisi praktik bisnis oligarki
yang telah dibesarkan pada masa Orde Baru.
Kedua, sistem politik yang terbuka, yang ditunjukkan dengan
meningkatnya peran partai politik, pemilu, pemilukada, dan
98 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

parlemen dengan berbagai kelemahan dan celahnya malah


dimanfaatkan oleh oligarki dan elit politik. Patronase yang
berkembang dalam sistem oligarki telah membayangi proses
pemilu dan pemilukada menjadi tidak bersih.
Ketiga, pada musim pemilihan, elit politik dan partai politik
berperan menjadi penggelontor dana, baik berbentuk uang
maupun barang kepada masyarakat calon pemilih. Pengumpulan
dan pemberian dana politik ini ditengarai untuk mendanai politik
uang dan untuk mendapatkan kembali uang yang telah
dikeluarkan ketika kampanye.
Keempat, sebagai bagian dari masyarakat politik, banyaknya
dugaan korupsi atas elit dan partai politik dapat merusak
pembentukan dan pertumbuhan karakter dalam kaderisasi politik.
Kelima, posisi elit politik dan elit negara berpengaruh terhadap
masyarakat sebagai figur yang diikuti. Elit yang korupsi, tetapi
dermawan kepada konstituennya tetap dibela mati-matian oleh
sekelompok masyarakat. Masyarakat menjadi permisif terhadap apa
yang dilakukan elit koruptor, karena jasa mereka terhadap masyarakat.

Keenam, sikap dan perilaku permisif dari masyarakat justru


mendukung elit politik untuk melakukan korupsi. Dampaknya,
selain masyarakat menjadi tidak peduli lagi terhadap perilaku elit
politik, para elit politik juga menjadi lebih berani melakukan
korupsi dalam skala besar.
Ketujuh, merosotnya moral dan nilai-nilai budaya yang luhur
beriringan dengan meluasnya korupsi yang berimplikasi juga pada
perilaku koruptif masyarakat. Aliran dana bansos yang diterima oleh
sejumlah ormas, merupakan indikasi dari sikap koruptif masyarakat.
Masyarakat pun menjadi lebih terang-terangan
Pendidikan Antikorupsi 99

dalam melakukan korupsi, misalnya memotong dana bantuan


dari pemerintah, mengelola lahan parkir ilegal, menarik kutipan
(uang masuk) ketika memasuki jalan tertentu, dan lain-lain.
Korupsi juga dapat menghambat ekonomi dan daya saing. Hasil
audit BPK menunjukkan bahwa sejumlah Rp 300 triliun dana bansos
telah disalahgunakan selama tahun 2007-2010, yang diduga
mengalir ke partai politik (Harman, 2012). Menkeu Agus
Martowardojo juga memperkirakan bahwa aliran dana subsidi
pangan dan energi sebesar Rp 200 triliun rawan penyimpangan dan
salah sasaran. Harman (2012) juga melaporkan potensi kerugian
dari menguapnya penerimaan pajak yang diperkirakan mencapai Rp
300 triliun per tahun. BPK juga mengungkapkan bahwa indikasi
korupsi selama tahun 2009-2010 mencapai angka Rp 132 triliun.
KPK juga mencatat potensi kerugian negara mencapai angka ratusan
triliun rupiah karena kasus-kasus korupsi yang berhasil diungkap.
Berikut potensi kerugian negara karena korupsi menurut data KPK.

Tabel 2. Potensi Kerugian Negara karena Kasus Korupsi


No. Kasus Korupsi Nilai (Triliun Rupiah)
1. Pajak 50,0
2. Minyak dan Gas 40,1
3. Kehutanan 2,3
4. Perbankan 1,8
5. Keuangan Daerah 1,3
6. Infrastruktur 597,5
7. Pendidikan 204,2
8. Kesehatan 113,4
Sumber: Harman (2012).

Potensi kerugian negara akibat tindak pidana korupsi angkanya


bisa lebih besar, karena: (1) pihak yang berhasil mengungkapkan
baru beberapa instansi, seperti BPK, BPKP, PPATK serta KPK, dan
100 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

(2) perbuatan korupsi tidak seluruhnya bisa ditelusuri, karena


para korupstor pandai menyembunyikan perbuatannya, baik
dengan berlindung pada hukum, melakukan pencucian uang
(money laundry) maupun dengan cara berkolusi dengan kroni
dan kelompok-kelompok masyarakat yang dengan berbagai cara
seolah-olah perbuatan mereka bukan korupsi.
Daya saing Indonesia merosot sebagai akibat dari perilaku
tercela aparat negara yang seharusnya bekerja untuk kepentingan
rakyat. TII dalam survei sebagaimana diungkap dalam Barometer
Korupsi Global 2007 menempatkan aparat kepolisian, kejaksaan dan
peradilan sebagai lembaga terkorup, sedangkan pada tahun 2009
kepolisian menempati urutan pertama sebagai lembaga terkorup
(Harman, 2012). Tahun 2010, kepolisian juga menempati urutan
pertama sebagai lembaga terkorup, disusul lembaga pemungut
pajak, pengadilan dan kejaksaan. Dalam hal rule of law tahun 2011
dilaporkan bahwa Indonesia menempati peringkat 47 dari 65 negara
pada tingkat global.
Survey yang dilakukan Political and Economic Risk
Consultancy (PERC) yang melibatkan 2.147 eksekutif ekspatriat di
16 negara menempatkan Indonesia sebagai negara terkorup.
Data berikut menunjukkan posisi Indonesia dalam hal korupsi.

Tabel 3. Peringkat Korupsi di Asia Pasifik Tahun 2010


No. Negara Nilai
1. Singapura 1,42
2. Australia 2,28
3. Hongkong 2,67
4. Amerika Serikat 3,42
5. Jepang 3,49
6. Makau 4,96
Pendidikan Antikorupsi 101

7. Korea Selatan 5,98


8. Taiwan 6,28
9. Malaysia 6,47
10. China 6,52
11. India 7,18
12. Thailand 7,60
13. Filipina 8,06
14. Vietnam 8,07
15. Kamboja 9,10
16. Indonesia 9,27
Sumber: Harman (2012).

Selain merugikan keuangan negara, korupsi juga


mengakibatkan terjadinya hambatan dan ketertinggalan
ekonomi. Korupsi yang marak secara politik dan birokratik
menjadi sasaran kampanye global terhadap ekonomi Indonesia.
Kondisi yang mengkhawatirkan akibat dari maraknya korupsi
adalah lemahnya posisi Indonesia sebagai arena investasi global
(Harman, 2012). Para investor asing tampaknya enggan
menanamkan modal mereka dalam jangka panjang di Indonesia
karena tidak adanya kepercayaan bisnis atau jaminan yang
memadai untuk memetik keuntungan dalam jangka panjang.
Maraknya korupsi juga mengakibatkan Indonesia berada dalam
situasi yang tidak menguntungkan bagi iklim investasi.
Korupsi yang sistemik di Indonesia juga menyebabkan
ekonomi biaya tinggi yang juga menghambat pertumbuhan
industri nasional. Daya saing produk-produk Indonesia juga
makin melemah karena korupsi. Daya saing Indonesia dalam
percaturan global mengalami penurunan, yakni dari urutan 44
menjadi 46 sebagaimana dilaporkan oleh The Global
Competitiveness Report 2011-2012 (Harman, 2012).
102 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

Selain sebagaimana telah dikemukakan Harman (2012) di atas,


korupsi juga berdampak pada upaya mengatasi kemiskinan dan
pemenuhan hak asasi manusia. Banyak keluarga miskin yang tidak
bisa memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari secara layak. Demikian
pula, banyak di antara mereka yang anak-anaknya tidak bisa
meneruskan pendidikan, utamanya di sekolah dasar dan sekolah
menengah. Itulah sebabnya, pemerintah mengeluarkan kebijakan
afirmatif untuk membantu keluarga miskin. Namun demikian, dana-
dana untuk masyarakat miskin, seperti dana bantuan langsung tunai
(BLT), BOS, Jamkesmas, dan Askeskin diselewengkan oleh
pelaksananya. Di Muara Talang Sumatera Selatan dilaporkan telah
terjadi korupsi BLT yang merugikan keuangan negara dan program
pemberantasan kemiskinan sebesar Rp 5 miliar. Bahkan KPK
mencatat adanya dugaan korupsi dalam pengelolaan BLT, jaminan
kesehatan masyarakat (jamkesmas), dan asuransi kesehatan warga
miskin (askeskin) sebesar Rp 1,1 triliun (Harman 2012). Beberapa
sekolah, baik sekolah dasar maupun sekolah menengah pertama di
berbagai daerah telah melakukan korupsi terhadap dana BOS. Hasil
riset ICW menunjukkan bahwa dalam 10 tahun terakhir terdapat
233 kasus korupsi di mana dana alokasi khusus dan dana alokasi
umum menduduki peringkat satu dan dua yang paling banyak
dikorupsi. Dana beras miskin (raskin) pun dikorupsi oleh petugas
dan aparat pemerintah. Sebagai contoh, camat Muaradua di
kabupaten OKU Selatan Sumsel divonis 1 tahun penjara karena
telah melakukan korupsi dana raskin sebesar Rp 188 juta (Harman,
2012). Dana yang diselewengkan tidak hanya untuk masyarakat
miskin pedesaan, tetapi juga dana yang harus diterima untuk
masyarakat miskin perkotaan (melalui program
Pendidikan Antikorupsi 103

P2KP dan PNPM). Di Bandarlampung misalnya telah ditahan dua


tersangka korupsi dana P2KP senilai Rp 500 juta. Demikian pula,
Kejaksaan Sukabumi telah menyidik dugaan korupsi senilai Rp
1,3 miliar di kecamatan Caringin Sukabumi.
Korupsi juga menghambat pemenuhan hak asasi manusia,
khususnya hak ekonomi, sosial, dan budaya. Berdasarkan
laporan Human Development Index (HDI) tahun 2009 yang
dikeluarkan oleh UNDP, Indonesia menempati urutan 111 dari
180 negara yang disurvei (Harman 2012). Kondisi ini diperkuat
oleh data yang menunjukkan bahwa 13 juta anak terancam
putus sekolah. Bahkan hingga tahun 2010 terdapat 12 juta anak
yang masih belum tuntas hak belajar 9 tahun.
Dalam kaitan dengan hak ekonomi, akibat praktik ilegal
logging dan ilegal fishing, banyak penduduk yang kehilangan
matapencahariannya, karena selama ini mereka sangat
tergantung hidupnya pada hutan dan laut. Kolusi dan pungutan
liar yang terjadi di beberapa instansi dalam hal rekrutmen
pegawai negeri, menyebabkan banyak orang berkualitas tidak
bisa bekerja karena praktik kolusi dan pungutan liar tersebut.
Banyaknya pengangguran juga merupakan indikasi
terlanggarnya hak ekonomi penduduk. Pada tahun 2009, jumlah
pengangguran terbuka mencapai 9,43 juta, tahun 2010 turun sedikit
menjadi 8,59 juta atau 7,41% dari total angkatan kerja sebanyak 116
juta orang (Harman 2012). Ini belum termasuk jumlah penduduk
yang berada dalam kategori setengah pengangguran dan pengguran
terselubung. Data KADIN dan APINDO menunjukkan bahwa
pengangguran di Indonesia menjadi ancaman bagi ASEAN, di mana
pengangguran di Indonesia
104 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

menyumbang 60% angka pengangguran ASEAN.


Korupsi yang berlangsung sistemik juga telah mengancam
hak-hak lain yang harus diterima penduduk miskin, seperti hak
atas upah yang layak, hak atas kesehatan, hak atas perumahan
yang layak, dan hak-hak para pengungsi sebagai akibat bencana
alam maupun konflik sosial.
Dalam bidang budaya, hak penduduk juga terancam. Yang
memprihatinkan, dana ibadah haji pun dikorupsi oleh oknum
yang tidak bertanggung jawab. ICW melaporkan bahwa potensi
kerugian jemaah dalam musim haji tahun 2010 mencapai angka
Rp 859,4 miliar (Harman, 2012). Muhammad Hatta pernah
menyampaikan bahwa sejak tahun 1970-an, korupsi telah
menjadi budaya. Pelaku korupsi tidak hanya para pejabat di
pemerintahan dan lembaga formal kenegaraan lainnya, tetapi
juga pengusaha dan anggota masyarakat. Masa reformasi yang
seharusnya korupsi bisa diminimalisasi, kenyataannya justru
makin tumbuh dan berkembang, bahkan dilakukan secara
terang-terangan dan berjamaah. Buktinya, banyak pelaku
korupsi di kalangan parlemen yang rama-ramai ditahan KPK.
Meskipun disadari bahwa korupsi telah merusak sendi-sendi
kehidupan politik, ekonomi dan sosial, namun beberapa
kalangan masih memandang adanya sisi positif atau manfaat dari
korupsi. Korupsi dapat mempercepat proses birokrasi dan
menjaga hubungan paternalistik dan klientelistik antar-individu
maupun antar-lembaga (Nugroho D dan Hanurita S., 2005: 128).
Selain korupsi mengakibatkan biaya atau punishment, seperti
hukuman penjara, malu jika tertangkap, perasaan tidak tenang
(berdosa), kehilangan pekerjaan dan karir, serta patah semangat
Pendidikan Antikorupsi 105

untuk bekerja dalam lingkungan kompetitif, namun pada sisi lain,


korupsi diduga memberikan manfaat, di antaranya adalah
tambahan pendapatan, pujian dan ucapan terima kasih dari
klien, dan menempati posisi sosial yang tinggi (Wijayanto, 2009).
Ada tiga peringatan yang dikemukakan oleh para ahli tentang
aspek positif atau manfaat korupsi, yakni: (1) dari ahli ekonomi, (2)
dari ilmuwan politik, dan (3) dari manajer (Klitgaard, Maclean-
Abaroa dan Parris, 2005: 40-43). Menurut ahli ekonomi,
pembayaran-pembayaran tak halal memasukkan sejenis mekanisme
pasar. Dalam sistem ini, barang-barang dan jasa dialokasi menurut
antrian, politik, pemilihan acak atau budi baik; di mana korupsi
dapat berperan mengalokasikan barang-barang menurut kesediaan
maupun kemampuan membayar dan mereka yang berani menawar
tinggi yang memperolehnya. Karena korupsi inilah, barang dan jasa
dialokasikan secara lebih efisien dalam arti ekonomi. Hal ini sejalan
dengan apa yang dikatakan Nathaniel Leff: “korupsi dapat
memasukkan unsur kompetisi ke dalam apa yang merupakan
industri monopolistik, sekaligus kecenderungan untuk investasi dan
pembaruan ekonomi dapat menjadi lebih tinggi di luar pemerintah
daripada di dalamnya” (Klitgaard, 2005: 41).
Pembayaran, penunjukan dan kebijakan yang korup
mempunyai manfaat politik. Para politisi dapat menggunakan
korupsi untuk memupuk rasa persatuan dan kesatuan politik
berbagai macam suku, wilayah, elit, atau partai-partai yang pada
gilirannya dapat menciptakan suatu keselarasan politik dalam
menghadapi otoritas politik yang terpecah-pecah, tidak bulat dan
bermusuhan. Banyak pemimpin politik yang menggunakan cara
tersebut untuk memelihara loyalitas pendukungnya, sebut saja
106 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

Marcos dari Philipina dan Soeharto (Indonesia). Demikian pula,


korupsi dapat dipandang sebagai pengaturan balas jasa politik
seperti jual beli suara di DPR, kuota preferensi bagi berbagai
wilayah, kelompok etnis atau partai-partai.
Manajemen berkaitan dengan organisasi. Bila peraturan
birokrasi menjadi penghalang, organisasi mungkin mendapat
untung dari korupsi para pegawainya yang bermain di antara
celah-celah peraturan. Sejumlah dana cair di dalam organisasi
dapat berfungsi sebagai dana darurat yang barangkali secara
luwes bisa dialokasikan oleh pucuk pimpinan untuk memajukan
tujuan-tujuan organisasi. Cara-cara ini yang kerap kali digunakan
oleh pemimpin partai politik di Indonesia untuk membiayai
organisasi. Pencalonan gubernur, bupati, wali kota, dan anggota
legislatif menjadi sarana bagi partai politik untuk mencari dana
bagi kelancaran roda organisasi.
Korupsi betapapun menimbulkan akibat yang merusak bagi
sendi-sendi kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara. Itulah
sebabnya, pelakunya harus dihukum secara maksimal. Pada
zaman Nabi Muhammad saw, Rasulullah memerintahkan agar
orang yang melakukan ghulul atau penggelapan, disiksa dan
kekayaannya dibakar. Hal ini dapat dicermati dari hadits riwayat
Abu Daud dari Umar r.a, Nabi bersabda: “jika kamu menemui
orang yang melakukan ghulul, maka bakarlah kekayaannya dan
pukullah ia” (KPK, 2007: 8).
Umar bin Abdul Azis penerus kesalehan Nabi, karena takut
untuk berbuat korupsi, hal-hal kecil ia hindari supaya tidak
tersandung pada perbuatan korupsi. Pada suatu waktu, Khalifah
Umar bin Abdul Azis saat menerima tamu di rumah dinasnya,
Pendidikan Antikorupsi 107

segera mematikan lampu minyak yang dipakainya tatkala sang


tamu membicarakan sesuatu hal yang tidak berkaitan dengan
urusan dinas. Karena tindakan tersebut, ia ditanya mengapa ia
berbuat demikian. Umar menjawab, karena pengadaan minyak
didanai oleh negara, maka pemanfaatannya sebatas pada urusan
dinas. Jika tetap ia nyalakan, padahal urusan yang dibicarakan
bukan urusan negara, berarti ia telah berbuat korupsi yang
merugikan kepentingan negara.
Terlepas dari manfaat-manfaat korupsi, dalam konteks yang
lebih luas, bagaimanapun korupsi tetap merupakan kejahatan
manusia yang tertua, lebih banyak merugikan, tidak dapat
ditoleransi, dan patut dilawan.

C. Rangkuman

Korupsi bersifat multidimensional. Korupsi disebabkan oleh


banyak faktor, baik politik, hukum, ekonomi, organisasi, maupun
budaya. Faktor ekonomi, seperti gaji rendah, kerugian yang
diderita, kemiskinan, dan yang lain sering dianggap sebagai
faktor dominan. Padahal, faktor politik, utamanya
perselingkuhan antara elit politik dan pengusaha, merupakan
faktor kunci yang menyebabkan terjadinya korupsi.
Korupsi menimbulkan pemahaman berbeda di kalangan pelaku
(prokorupsi) dan pihak penentang korupsi. Pihak prokorupsi, yaitu
para koruptor yang menikmati hasil korupsi pasti akan menyatakan
korupsi positif bagi upaya pembangunan, karena dengan
pembangunan, para koruptor dapat memanipulasinya untuk
kepentingan mereka. Sebaliknya, bagi masyarakat yang merugi
karena tindakan koruptor jelas memandang korupsi
108 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

bersifat negatif dan merupakan penyakit yang harus diberantas.


Dampak korupsi mengenai siapa saja, tidak hanya orang
dewasa, tua renta, tetapi juga anak-anak. Anak-anak dirugikan
karena mereka tidak bisa sekolah dan menikmati layanan kesehatan
secara baik. Tidak tersedianya atau buruknya infrastruktur publik,
baik jalan raya, taman kota, bendungan, transportasi, dan lainnya,
menyebabkan banyak orang hidup dalam kemiskinan, bahkan
banyak di antaranya yang mengalami kemiskinan akut.
BAB V
LEMBAGA-LEMBAGA
ANTIKORUPSI
DI INDONESIA

E ksistensi korupsi di Indonesia bertalian dengan sistem dan kultur


yang tidak memberikan ruang gerak yang cukup bagi upaya
pencegahan dan pemberantasan korupsi. Hal ini terutama tampak pada
konteks sistem pemerintahan. Indonesia dengan kultur birokrasi
patrimonial dengan sistem jabatan patrimonial, dalam praktiknya tidak
mengenal perbedaan birokratis antara lingkup pribadi dan lingkup
resmi/dinas. Menurut Alkaf (2006: 105-106), implementasi birokrasi
pemerintahan dianggap sebagai urusan pribadi sang penguasa dan
kekuasaan politik dianggap sebagai bagian dari milik pribadinya yang
dapat dieksploitasi dengan cara menarik berbagai sumbangan dan
pungutan. Sistem patrimonial ini dalam era modern berkembang
menjadi sistem neo-patrimonial yang dalam sejarahnya melahirkan
sistem kapitalis. Sistem terakhir inilah yang memposisikan elit politik
maupun ekonomi sebagai penguasa tak tersentuh (untouchtable ruler)
dari pengawasan publik. Dalam penyelenggaraan urusan negara,
mereka menjadi dominan, hegemonik, semau gue, dan sama
sekali tidak mempedulikan kepentingan rakyat.
Sejak kejatuhan pemerintahan orde baru di bawah
kepemimpinan Soeharto pada tahun 1998 yang lalu, kondisi

109
110 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

bangsa dan negara menjadi terpuruk. Akibat krisis dan kejatuhan


Soeharto, kemiskinan meningkat tajam, jumlah karyawan yang
di-PHK meningkat, pengangguran bertambah, penggusuran
menjadi-jadi, kelaparan meningkat, dan moralitas pemimpin
makin merosot terutama diperlihatkan dari meningkatnya tindak
pidana korupsi yang dilakukan oleh para pemangku jabatan
negara atau publik. Di sela-sela kegagalan pemerintahan orde
baru dan merosotnya sendi-sendi kehidupan politik, ekonomi,
sosial-budaya dan keamanan masyarakat dan bangsa Indonesia,
muncul lembaga-lembaga swadaya masyarakat atau organisasi
non-pemerintah yang memiliki perhatian (concern) terhadap
persoalan kemiskinan, pengangguran, penggusuran, hak azasi
manusia, penyerobotan tanah, dan korupsi. Beberapa LSM yang
memiliki perhatian terhadap masalah-masalah tersebut, di
antaranya yang menonjol adalah ICW, YLBHI dan KONTRAS.
Dalam kaitannya dengan upaya melawan korupsi, peran
strategis LSM atau ORNOP didasarkan pada dua asumsi. Pertama,
secara nominal struktural, independensi LSM/ ORNOP dari
pemerintah atau masyarakat kalangan bisnis relatif memungkinkan
mereka lebih banyak memiliki kebebasan untuk mengkritisi
kebijakan negara dan sektor bisnis. Kedua, pemerintah dan bisnis
tidak dapat mengendalikan, mengontrol atau mendikte
LSM/ORNOP karena mereka tidak tergantung kepada lembaga
negara atau pun masyarakat bisnis dalam hal sumber dana. Selain
munculnya lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang memiliki
kepedulian tinggi terhadap upaya pemberantasan korupsi, pada
level negara telah dibentuk lembaga independen, yaitu Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK).
Pendidikan Antikorupsi 111

A. Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK)

KPK dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun


2002 pada tanggal 29 Desember 2003. KPK ini dibentuk karena
lembaga pemerintah yang selama ini menangani perkara tindak
pidana korupsi belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam
memberantas tindak pidana korupsi. KPK memiliki struktur
organisasi sebagai berikut. Pimpinan, tim penasihat, deputi
bidang pencegahan, deputi bidang penindakan, deputi bidang
informasi dan data, deputi bidang pengawsan internal dan
pengaduan masyarakat, serta sekretariat jenderal. KPK hadir
sebagai solusi atas permasalahan korupsi selama ini. KPK hadir
bak air di tengah gurun padang pasir yang tandus. KPK adalah
lembaga negara yang independen yang dalam melaksanakan
tugas dan wewenangnya bebas dari pengaruh kekuasaan
lembaga manapun (pasal 3 UU Nomor 30 Tahun 2002).
KPK dibentuk dengan tujuan untuk meningkatkan daya guna
dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana
korupsi. Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, KPK
berasaskan pada prinsip-prinsip kepastian hukum, keterbukaan,
akuntabilitas, kepentingan umum, dan proporsionalitas.
Keberhasilan memberantas korupsi memberikan fondasi kokoh
bagi terwujudnya pemerintahan yang baik, bersih, dan berwibawa
(good governance). Untuk mewujudkan good governance tersebut,
KPK menetapkan visi: mewujudkan Indonesia yang bersih,
sedangkan misinya adalah sebagai penggerak perubahan untuk
mewujudkan bangsa yang antikorupsi. Dalam mewujudkan visi dan
misinya, KPK mengembangkan tiga strategi pokok, yaitu strategi
jangka pendek, strategi jangka menengah, dan strategi
112 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

jangka panjang.
Strategi jangka pendek KPK mencakupi: (1) kegiatan
penindakan, (2) membangun nilai etika, dan (3) membangun
sistem pengendalian terhadap lembaga pemerintahan agar
terwujud suatu perubahan yang berlandaskan efisiensi dan
profesionalisme (KPK, t.th: 157).
Strategi jangka menengah KPK meliputi: (1) membangun
beberapa proses kunci dan infrastruktur terkait lainnya di
instansi pemerintah yang mendorong efisiensi dan efektivitas, (2)
memberikan motivasi untuk terbangunnya suatu kepemimpinan
yang mengarah pada efisiensi dan efektivitas, dan (3)
meningkatkan partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan
keputusan pemerintah dan meningkatkan akses publik terhadap
pemerintah (KPK, t.th: 157).
Strategi jangka panjang KPK yaitu: (1) membangun dan
mendidik masyarakat pada berbagai tingkat dan jenjang
kehidupan untuk mampu menangkal korupsi yang terjadi di
lingkungannya, (2) membangun suatu tata pemerintahan yang
baik sebagai bagian penting dalam sistem pendidikan nasional,
dan (3) membangun sistem kepegawaian yang berkualitas, mulai
dari perekrutan, sistem penggajian, sistem penilaian kinerja, dan
sistem pengembangannya (KPK, t.th: 158).

B. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)

YLBHI mulanya bernama Lembaga Bantuan Hukum (LBH), yang


didirikan berdasarkan idea tau gagasan yang berkembang dalam
kongres ketiga Persatuan Advokat Indonesia (Peradin) pada tahun
Pendidikan Antikorupsi 113

1969. Gagasan tersebut mendapat persetujuan dari DPP Peradin


berdasarkan SK No. 001/Kep/10/1970 tanggal 26 Oktober 1970
yang isinya menetapkan pendirian LBH/Lembaga Pembela Umum
yang mulai berlaku pada tanggal 28 Oktober 1970. Pada tanggal 13
Maret 1980 LBH ditingkatkan statusnya menjadi Yayasan Lembaga
Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Pada awalnya lembaga ini
didirikan untuk memberikan bantuan hukum kepada orang-orang
yang tidak mampu memperjuangkan hak-haknya, terutama rakyat
miskin korban penggusuran atau korban PHK (Alkaf, 2006 : 170).
Organisasi YLBHI diselenggarakan berdasarkan prinsip
bahwa setiap manusia berhak mendapatkan keadilan hukum,
sosial, ekonomi, dan politik. Atas dasar prinsip tersebut, YLBHI
mengembangkan misinya sebagai berikut: (1) menanamkan,
menumbuhkan, dan menyebarluaskan nilai-nilai negara hukum
yang berkeadilan, demokratis, serta menjunjung tinggi HAM
kepada seluruh lapisan masyarakat Indonesia tanpa kecuali,
(2) menanamkan dan menumbuhkan sikap kemandirian serta
memberdayakan potensi lapisan masyarakat yang lemah dan
miskin sedemikian rupa sehingga mereka mampu merumuskan,
menyatakan, memperjuangkan serta mempertahankan hak-hak
dan kepentingan mereka baik secara individual maupun kolektif,
(3) mengembangkan sistem, lembaga-lembaga, dan instrumen-
instrumen pendukung untuk meningkatkan efektivitas upaya-upaya
pemenuhan hak-hak lapisan masyarakat yang lemah dan miskin, (4)
memelopori, mendorong, mendampingi, dan mendukung program
pembentukan hukum, penegakan keadilan hukum dan
pembaharuan hukum nasional sesuai dengan konstitusi yang
berlaku dan deklarasi umum hak–hak asasi manusia, dan
114 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

(5) memajukan dan mengembangkan program-program yang


mengandung dimensi keadilan dalam bidang politik, sosial-
ekonomi, budaya, dan jender utamanya bagi lapisan masyarakat
yang lemah dan miskin (Alkaf, 2006: 171).
YLBHI merupakan lembaga non-pemerintah yang secara
spesifik melakukan advokasi dan pembelaan hukum kepada
golongan lemah dan tertindas. YLBHI juga merupakan satu-satunya
LSM terbesar di Indonesia yang memfokuskan diri pada perjuangan
penegakan hukum, demokrasi, HAM, keadilan sosial dan pembelaan
terhadap kaum buruh, miskin, dan marjinal Sepanjang dekade 1980-
an dan 1990-an, YLBHI memposisikan diri sebagai LSM yang secara
tegas melawan ketidakadilan struktural yang dibangun rezim orde
baru. Perjuangan YLBHI ini mendapatkan dukungan dari berbagai
daerah di seluruh Indonesia dan hingga tahun 2006, YLBHI telah
memiliki 14 kantor cabang LBH yang tersebar dari Aceh hingga
Papua (Alkaf, 2006: 171).

C. Indonesian Corruption Watch (ICW)

Sesuai dengan manifesto gerakan antikorupsi, ICW adalah


lembaga nirlaba yang terdiri dari sekumpulan orang-orang yang
memiliki komitmen untuk memberantas korupsi melalui usaha-
usaha pemberdayaan rakyat untuk terlibat atau berpartisipasi
aktif melakukan perlawanan terhadap praktik korupsi (Alkaf,
2006: 174). ICW lahir di Jakarta pada tanggal 21 Juni 1998 di
tengah derasnya gerakan reformasi.
Sebagai tindak lanjut dari manifesto antikorupsi tersebut,
ICW menetapkan visi yaitu: menguatnya posisi tawar rakyat
untuk mengontrol negara dan turut serta dalam keputusan
untuk
Pendidikan Antikorupsi 115

mewujudkan tata kelola pemerintahan yang demokratis, bebas


dari korupsi, berkeadilan ekonomi, sosial, serta jender (Alkaf,
2006: 175). Untuk mendukung visi tersebut, ICW menetapkan
misi sebagai berikut. (1) Merjuangkan terwujudnya sistem
politik, hukum, ekonomi, dan birokrasi yang bersih dari korupsi
dan berlandaskan keadilan sosial dan jender, (2) Memperkuat
partisipasi rakyat dalam proses pengambilan keputusan dan
pengawasan kebijakan publik.
Untuk mewujudkan visi dan misi tersebut di atas, ICW
merumuskan program dan agenda kerja sebagai berikut.
1. Memfasilitasi penyadaran dan pengorganisasian rakyat di
bidang hak-hak warga negara dan pelayanan publik.
2. Memfasilitasi penguatan kapasitas rakyat dalam proses
pengambilan dan pengawasan kebijakan publik.
3. Mendorong inisiatif rakyat untuk membongkar kasus-kasus
korupsi yang terjadi dan melaporkan pelakunya kepada
penegak hukum serta ke masyarakat luas untuk diadili dan
mendapatkan sanksi sosial.
4. Memfasilitasi peningkatan kapasitas rakyat dalam
penyelidikan dan pengawasan korupsi.
5. Menggalang kampanye publik guna mendesakkan reformasi
hukum, politik dan birokrasi yang kondusif bagi
pemberantasan korupsi.
6. Memfasilitasi penguatan good governance di masyarakat
sipil dan penegakan standar etika di kalangan profesi (Alkaf,
2006: 175).

Prinsip yang dikembangkan ICW yang digunakan oleh para


aktivisnya dalam menjalankan roda organisasi adalah integritas,
116 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

akuntabilitas, independen, objektivitas, kerahasiaan, dan


antidiskriminasi.
ICW sudah bergerak selama 11 tahun. Daya tawar, daya
gedor, dan radius pengaruhnya sangat luas. Masyarakat selalu
menantikan kiprah ICW. Melalui para aktivisnya yang sangat
berani, ICW mampu menyuntikkan motivasi dan semangat
antikorupsi kepada segenap lapisan masyarakat. Tidak tanggung-
tanggung, ICW juga berani memberitakan kasus-kasus korupsi
yang terjadi di seluruh pelosok tanah air.

D. Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI)

MTI beralamatkan di jalan Polombangkreng Nomor 11


Kebayoran Baru Jakarta Selatan. Fokus MTI adalah penegakan
transparansi di semua lini masyarakat, mulai dari persoalan social,
politik, ekonomi, hingga pertahanan keamanan. Dalam pandangan
aktivis MTI, transparansi merupakan kunci masuk terciptanya
pemerintahan yang baik dan bersih (clean and good governance).
Visi MTI adalah menjadi pelopor terwujudnya sistem integritas
nasional dengan mendorong praktik-praktik yang bersih dan sehat
di bidang bisnis, pemerintahan, dan masyarakat dalam arti seluas-
luasnya (Alkaf, 2006: 177). Strategi yang dikembangkan oleh MTI
untuk mewujudkan visinya meliputi: (1) mensosialisasikan
pengertian dan hakikat transparansi kepada masyarakat luas dan
menanamkan keyakinan tentang pentingnya transparansi dalam
berbagai bidang kehidupan, (2) melakukan berbagai penelitian dan
pengkajian mengenai segala hal yang berkaitan dengan konsepsi
transparansi, (3) menyelenggarakan pertemuan-pertemuan dalam
berbagai bentuk untuk mengkaji dan merumuskan strategi
Pendidikan Antikorupsi 117

pelaksanaan transparansi di bidang hukum, politik, sosial-budaya,


ekonomi-bisnis, dan hankam, (4) mengkomunikasikan berbagai
konsep tentang transparansi kepada pusat-pusat pengambilan
keputusan baik bisnis, pemerintah, maupun kelompok-kelompok
masyarakat sipil, (5) secara cermat memantau berbagai kebijakan
publik untuk sebesar-besarnya kepentingan masyarakat (Alkaf, 2006
: 177). Tiga materi pokok yang harus disosialisasikan MTI adalah
korupsi, good governance, dan otonomi daerah. Pemahaman yang
benar mengenai tiga materi pokok tersebut, akan mampu
mendorong terciptanya masyarakat transparan.

E. Transparency International Indonesia (TII)

TII beralamatkan di jalan Senayan Bawah Nomor 17 Jakarta. TII


merupakan lembaga cabang nasional dari Transparency
International (TI) yang merupakan gerakan global menentang
korupsi yang berkantor di Berlin Jerman. TI memiliki cabang di 80
negara dan merupakan satu-satunya organisasi internasional yang
secara khusus bekerja untuk menghapus korupsi dari muka bumi.
Sebagai bagian dari TI, Transparency International Indonesia
(TII) bertujuan mempromosikan transparansi dan akuntabilitas
dalam pemerintahan dan sektor usaha (Alkaf, 2006: 179). Prinsip-
prinsip yang dianut TII adalah: (1) merupakan perkumpulan
berbentuk asosiasi yang didirikan sesuai dengan hukum yang
berlaku di Indonesia, (2) merupakan organisasi nonpemerintah yang
independen, nirlaba, tanpa kekerasan dan nonpartisan, (3)
berdomisili di Jakarta dan akan membuka kantor-kantor daerah di
seluruh Indonesia, (4) berafiliasi pada Transparency International
yang berkedudukan di Berlin Jerman, dengan status otonom, (5)
118 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

mempunyai kode etik yang mengacu pada kode etik


Transparency International (Alkaf, 2006: 180).
Prinsip-prinsip tersebut digunakan oleh TII untuk
melaksanakan kegiatan strategisnya, yaitu: (1) mempromosikan
transparansi dan akuntabilitas pengelolaan dana publik yang
dikutip dari masyarakat, seperti pajak, jamsostek, ONH, zakat,
dan pendapatan negara dari pengelolaan sumber daya alam, (2)
mempromosikan integritas (harkat dan martabat) dan sistem
politik yang demokratis, yang dilaksanakan lewat berbagai
kegiatan, seperti sistem kegiatan keuangan partai politik dan
pola pengambilan keputusan di DPR, (3) mempromosikan pulau-
pulau integritas di berbagai lembaga pemerintahan, terutama di
dalam pengadaan barang dan jasa, (4) meningkatkan kesadaran
masyarakat tentang akibat negative dari korupsi melalui
kampnye yang dilakukan dengan cara-cara yang popular dan
komunikasi aktif di lapis akar rumput, dan (5) mempromosikan
tata kelola perusahaan yang baik (Alkaf, 2006: 180).
Salah satu visi TII adalah menciptakan budaya antikorupsi di
kalangan masyarakat Indonesia, antara lain dilakukan dengan
cara menggalang opini publik bahwa pelaku korupsi pasti akan
ditemukan, ditangkap, diadili, dihukum, dan dinista masyarakat.
Berdasarkan visi tersebut, TII memiliki misi yang sangat tegas,
yaitu memperjuangkan terbentuknya sistem pencegahan korupsi
secara nasional dengan dukungan masyarakat luas.
Melalui kegiatan sosialisasi, advokasi, seminar, lokakarya,
pelatihan, bedah buku, penelitian dan lain-lain, peran lembaga-
lembaga antikorupsi, sebagaimana dilakukan oleh KPK (mewakili
negara) dan YLBHI, ICW, MTI, dan TII (mewakili masyarakat)
Pendidikan Antikorupsi 119

memberikan dampak positif terhadap kehidupan masyarakat.


Dampak tersebut diantaranya: (1) cita-cita penegakan
demokratisasi, HAM, dan keadilan sosial menjadi terarah,
sekaligus memberi harapan baru bagi berkurangnya perilaku
korupsi, (2) masyarakat menjadi lebih sadar dan kritis, karena
banyak mendapat informasi seputar korupsi, (3) masyarakat
makin mengetahui tata cara dan prosedur dalam menyampaikan
kritik dan protes atas tindakan sewenang-wenang dan tidak adil
yang mungkin dilakukan oleh aparatur pemerintah atau pihak-
pihak yang memiliki otoritas dan kekuasaan baik politik maupun
ekonomi, dan (4) mendukung terwujudnya masyarakat sipil (civil
society) yang berdaya, kritis, dan mandiri sebagai penyangga
utama tegaknya peradaban bangsa (Alkaf, 2006: 185).
Lembaga-lembaga antikorupsi yang ada di Indonesia dipercaya
dapat mendorong percepatan upaya pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana korupsi. ICW sebagai contohnya
sangat gencar memberikan tekanan kepada pemerintah Indonesia
untuk menindak para pelaku korupsi. Namun demikian, diakui pula
bahwa selain adanya faktor-faktor yang mampu mendorong upaya
percepatan pemberantasan korupsi, juga ditengarai adanya faktor-
faktor yang dapat memicu kegagalan lembaga antikorupsi. Faktor-
faktor pemicu keberhasilan dan kegagalan lembaga antikorupsi
dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
120 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

Tabel 4. Faktor-faktor Pemicu Keberhasilan dan Kegagalan


Lembaga Antikorupsi
Faktor yang mendorong Faktor yang memicu Kegagalan
Keberhasilan
• Adanya dukungan politik. • Tidak adanya komitmen politik.
• Lembaga antikorupsi berada • Kontra produktif terhadap
dalam strategi antikorupsi yang pertumbuhan ekonomi.
komprehensif dan mendapat
dukungan yang efektif dan
komplementer dari lembaga
publik.
• Ekonomi yang stabil dan program • Secara umum pemerintah gagal
pembangunan selalu fokus dalam membangun institusi di
pada pengurangan kesempatan negaranya.
korupsi. Contoh: mengelola
program privatisasi secara hati-
hati.
• Ditunjang oleh sumber keuangan • Penerapan hukum terhadap
yang baik dan staf terlatih. korupsi yang kurang mendorong,
tidak efektif, dan ambigu.
• Memiliki visi dan misi yang jelas. • Tidak fokus, banyak tekanan,
Visi dan misi ini ditunjang oleh tidak ada prioritas, dan tidak
perencanaan bisnis, pengelolaan punya struktur organisasi yang
anggaran, dan pengukuran memadai.
kinerja yang baik.
• Mempunyai kerangka hukum • Lembaga pemberantas korupsi
yang kuat, termasuk “rule dianggap gagal ketika terlihat
of law”nya dan dibekali oleh sebagai organisasi yang tidak
kekuatan yang kuat yang dapat efisien dan tidak efektif, yang
menunjang kegiatan penindakan tidak sesuai dengan harapan
dan pencegahan. banyak pihak.
• Bekerja secara independen dan • Rendahnya kepercayaan publik.
bebas dari pengaruh segala
kepentingan.
• Semua staf dan pimpinan
memiliki standar integritas yang
tinggi.
Sumber: Ditlitbang Deputi Pencegahan KPK (2006).
Pendidikan Antikorupsi 121

F. Rangkuman

Sejak era reformasi telah berdiri lembaga-lembaga antikorupsi


yang memiliki peran besar dalam melakukan pencegahan dan
pemberantasan korupsi di Indonesia. Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) yang diperkuat dengan Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2002, sebagai lembaga pemerintah yang bersifat independen
mampu memerankan diri sebagai lembaga extraordinary dalam
melakukan pemberantasan korupsi.
Dukungan dari lembaga-lembaga nirlaba, seperti Yayasan
Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Indonesia Corruption
Watch (ICW), Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) dan
Transparency International Indonesia (TII), upaya pencegahan dan
pemberantasan makin efektif dan terbukti banyak pejabat dan
lembaga pemerintah yang dapat diawasi perilakunya secara efektif.
Kampanye, sosialisasi, dan penyadaran yang dilakukan oleh
lembaga-lembaga nirlaba tersebut juga mampu meningkatkan
kesadaran masyarakat akan pentingnya upaya bersama untuk
melawan dan menghentikan korupsi.
BAB VI
PEMBERANTASAN KORUPSI
DI INDONESIA
DALAM LINTASAN SEJARAH

D alam Bab ini akan diuraikan sejarah pemberantasan


korupsi pada masa pemerintahan orde lama, orde baru, dan
reformasi. Pembahasan difokuskan pada produk perundang-
undangan dan kebijakan pemerintah yang telah dikeluarkan dalam
rangka pemberantasan tindak pidana korupsi. Kasus-kasus korupsi
yang terjadi pada tiga periode pemerintahan tersebut tidak akan
diungkap karena terlalu banyaknya tindak pidana korupsi yang telah
dilakukan oleh para pejabat negara maupun elit politik. Belum lagi
korupsi yang dilakukan oleh kalangan swasta dan masyarakat yang
tidak terungkap, tetapi diduga kasusnya bagaikan gunung es, sedikit
yang muncul di permukaan, tetapi yang berada di dalam atau di
dasar laut tak terhitung jumlahnya.

A. Pemberantasan Korupsi Masa Orde Lama

Sejarah pemberantasan korupsi khususnya sejarah perundang-


undangan antikorupsi di Indonesia sudah berlangsung cukup lama.
Bahkan Andi Hamzah dengan meyakinkan mengatakan bahwa
Indonesia merupakan negara pertama di Asia yang memiliki

122
Pendidikan Antikorupsi 123

undang-undang antikorupsi (Muslimin, 2006: 138). Pada tahun 1957


penguasa militer mengeluarkan Peraturan Penguasa Militer Nomor
PRT/PM/06/1957 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Satu tahun kemudian, Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan
Darat Jenderal Abdul Haris Nasution mengeluarkan peraturan
antikorupsi, yaitu Peraturan Penguasa Perang Kepala Staf Angkatan
Darat Nomor Prt/Peperpu/C13/1958 tertanggal 16 April 1958.
Sehari setelah keluarnya peraturan tersebut, muncul peraturan
serupa yang dikeluarkan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf
Angkatan Laut Nomor Prt/Z.I./1/7.
Peraturan antikorupsi yang dikeluarkan penguasa perang
tersebut relatif bersifat progresif dengan memperlakukan
korupsi sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) yang
harus ditangani berdasarkan hukum materiil dan formil secara
luar biasa juga. Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara
(LHKPN) sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2002 yang digunakan oleh KPK untuk melakukan
pencegahan korupsi di kalangan pejabat negara baik pusat
maupun di daerah, juga diatur dalam peraturan penguasa militer
tersebut. Dalam peraturan tersebut, diatur tentang pendaftaran
harta benda pejabat oleh Badan Penilik Harta Benda (BPHB)
sebagai bagian dari sistem penegakan hukum preventif.
Peraturan tersebut juga dilengkapi dengan proses pengajuan
gugatan perdata berdasarkan prinsip perbuatan melanggar
hukum bagi pejabat yang memiliki harta benda tidak seimbang
dengan gaji dan pendapatannya tetapi sulit korupsi tersebut
diajukan langsung kepada pengadilan tinggi tanpa harus melalui
pengadilan tingkat pertama yaitu pengadilan negeri.
124 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

Yang menarik dari semua itu, mengapa bukan pemerintah yang


mengambil inisiatif dengan mengeluarkan undang-undang atau
peraturan antikorupsi, justru penguasa militer yang notabene
karakternya cenderung otoriter dan tertutup yang dengan berani
menetapkan peraturan antikorupsi. Tidak ada jawaban terhadap hal
ini, tetapi yang patut dicatat bahwa TNI telah menorehkan prestasi
tentang obsesinya untuk menciptakan penyelenggaraan negara
yang bersih. Pada waktu itu muncul kasus besar ketika Jaksa Agung
waktu itu, yaitu Agung Suprapto untuk membawa Menlu Roslan
Abdul Gani ke meja hijau karena adanya dugaan korupsi (Muslimin,
2006: 139). Meskipun akhirnya upaya Jaksa Agung gagal, namun
ketegasan sikap dan tekad pantang menyerah dari Suprapto selaku
Jaksa Agung pantas dicatat dengan tinta emas dalam sejarah
pemberantasan korupsi di Indonesia.

Menjelang berakhirnya kekuasaan orde lama, keluar


peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah, yaitu Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1960
tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak
Pidana Korupsi (Muslimin, 2006: 139). Selain peraturan
antikorupsi yang telah dikeluarkan oleh pemerintah dan
penguasa militer, pemerintah atas dasar saran dari penguasa
militer membentuk lembaga antikorupsi sebanyak dua kali.
Pertama, dibentuklah Panitia Retooling Aparatur Negara
(Paran). Lembaga tersebut dibentuk melalui perangkat aturan UU
Keadaan Bahaya yang dipimpin oleh A.H. Nasution dengan dibantu
2 orang anggota, yaitu Prof. M. Yamin dan Roeslan Abdul Gani.
Berdasarkan aturan tersebut, semua pejabat negara harus mengisi
formulir tentang harta kekayaannya. Upaya tersebut ditentang
Pendidikan Antikorupsi 125

keras oleh pejabat yang korup. Karena kekacauan politik, paran


tidak dapat menjalankan fungsinya dengan baik dan
menyerahkan pelaksanaan tugasnya kepada Kabinet Djuanda.
Kedua, dibentuk Operasi Budhi berdasarkan Keppres Nomor 275
Tahun 1963. A.H. Nasution mantan Ketua Paran ditunjuk oleh
pemerintah menjadi ketua operasi Budhi, dibantu Wirjono
Prodjodikoro untuk menjalankan tugas menyeret pelaku korupsi ke
pengadilan. Sasaran utama lembaga ini adalah perusahaan negara dan
lembaga-lembaga negara dianggap rawan praktik korupsi. Seperti
halnya yang dialami oleh Paran, lembaga ini juga mengalami kesulitan
untuk menangkap pelaku korupsi. Perlawanan koruptor, seperti yang
dilakukan oleh Direktur Utama Pertamina dengan menolak diperiksa,
menyebabkan lembaga ini mandul. Meskipun Operasi Budhi berhasil
menyelamatkan uang negara senilai kurang lebih Rp 11 miliar, namun
tidak urung dibubarkan pemerintah dan sebagai gantinya dibentuk
Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi (Kontrar) yang dipimpin
langsung oleh Presiden Soekarno dengan dibantu 2 orang anggota,
yaitu Soebandrio dan Letjen Ahmad Yani.

B. Pemberantasan Korupsi Pada Masa Orde Baru

Dibandingkan dengan hasil yang dicapai, peraturan


antikorupsi pada masa orde lama tidak signifikan sebagai senjata
pamungkas dalam memberantas korupsi. Sistem kepemimpinan
yang otoriter, buruknya kinerja pemerintah dalam hubungan luar
negeri, ditambah kompetisi tidak sehat antarpartai politik pada
masa itu menyebabkan pemerintah lebih berkonsentrasi untuk
mengendalikan situasi politik dan keamanan dalam negeri. Hal
ini berdampak pada lemahnya pengendalian terhadap perilaku
126 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

aparat pemerintah dan elit politik. Peraturan antikorupsi yang


dibuatnya pun menjadi tidak efektif.
Berangkat dari buruknya kinerja pemerintah orde lama,
pemerintah orde baru yang mengklaim diri sebagai orde pengoreksi
bertekad melakukan perubahan-perubahan tatanan kehidupan
berbangsa dan bernegara secara mendasar, termasuk
melaksanakan pemberantasan korupsi. Pada tahun 1967,
pemerintah orde baru membentuk Tim Pemberantas Korupsi
berdasarkan Keppres Nomor 228 Tahun 1967 (Muslimin, 2006: 140;
Sudjana, 2008: 182). Tim tersebut diketuai oleh Jaksa Agung
Sugiharto, dilengkapi dengan satuan tugas dari unsur kejaksaan, TNI
dan Polri, ahli ekonomi, keuangan dan perbankan, pers, dan
kesatuan-kesatuan aksi. Tim ini memiliki penasihat, yaitu Menteri
Kehakiman, Panglima ABRI, Kepala Staf Angkatan, dan Kapolri.
Tim yang dibentuk Soeharto tersebut tidak efektif, karenanya
pada tanggal 31 Januari 1970 berdasarkan Keppres Nomor 12 Tahun
1970 dibentuk Komisi Empat. Tugas utama komisi ini adalah
memberantas korupsi (Muslimin, 2006: 140). Tugas rincinya adalah
menghubungi pejabat atau instansi pemerintah, swasta, sipil atau
militer, meminta dokumen-dokumen administrasi pemerintah,
swasta, dan lain-lain dengan meminta bantuan kepada aparatur
negara pusat dan daerah (Sudjana, 2008: 183). Ketua Komisi ini
dijabat oleh Mr. Wilopo, dengan anggota IJ. Kasimo, Prof. Johannes
dan Anwar Cokroaminoto. Sekretaris Komisi dijabat oleh Mayjen
Sutopo Yuwono. Mantan Wapres, Drs. M. Hatta diangkat sebagai
penasihat Komisi.
Pada tahun yang sama dibentuk Komite Antikorupsi (KAK) oleh
para mahasiswa (angkatan 66). Komite ini merupakan lembaga
Pendidikan Antikorupsi 127

hasil insiatif mahasiswa dan masyarakat, sehingga eksistensinya


tidak dipayungi hukum, baik berupa keppres maupun peraturan
lainnya. Namun demikian, karena tujuannya mulia, komite ini
didukung dan direstui pemerintah. Hal ini ditunjukkan oleh sikap
Soeharto yang berkenan menerima delegasi komite di istana
negara yang sedang mempersoalkan korupsi yang dilakukan oleh
Pertamina (Sudjana, 2008: 183).
Satu tahun setelah dibentuk Komisi Empat, pemerintah
bersama DPR berhasil menetapkan Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dasar pertimbangan dikeluarkannya UU tersebut adalah: (1)
perbuatan korupsi sangat merugikan keuangan atau
perekonomian negara dan menghambat pembangunan nasional,
(2) UU Nomor 24 Prp. Tahun 1960 tentang Pengusutan,
Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi berhubung
dengan perkembangan masyarakat kurang mencukupi untuk
dapat mencapai hasil yang diharapkan (KPK, t.th.: 99).
Dalam UU tersebut, yang termasuk perbuatan korupsi adalah:
(1) seseorang melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri, orang
lain atau badan yang merugikan keuangan atau perekonomian
negara, (2) seseorang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri
atau orang lain atau suatu badan dengan menyalahgunakan
kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya yang
merugikan keuangan atau perekonomian negara, (3) barangsiapa
yang melakukan kejahatan sebagaimana tercantum dalam pasal
209, 210, 387, 388, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 423, dan 435
KUHP, (4) seseorang yang memberi hadiah atau janji kepada
pegawai negeri, (5) seseorang tanpa alasan yang wajar menerima
128 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

pemberian atau janji yang diberikan kepadanya sebagaimana


disebut dalam pasal 418,419, dan 420 KUHP tidak melapor
kepada yang berwajib, dan (6) seseorang melakukan percobaan
atau permufakatan untuk melakukan tindak pidana sebagaimana
pada nomor 1, 2, 3, 4, dan 5 di atas.
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 termasuk keras,
karena pelaku korupsi dapat dipidana maksimal penjara seumur
hidup dengan denda setinggi-tingginya Rp 30 juta. Hal ini belum
termasuk hukuman tambahan, seperti perampasan barang-
barang terhukum dan pembayaran uang pengganti, sebagaimana
diatur dalam pasal 34 dan 35. Hukuman tersebut menurut pakar
hukum pidana, termasuk yang paling berat di Asia Tenggara
(Muslimin, 2006: 141).
Pada tahun 1974 meletus pemberontakan mahasiswa sebagai
reaksi atas parahnya praktik korupsi di Indonesia dan penolakan
terhadap modal asing. Sebagai respon atas desakan mahasiswa
melalui peristiwa Malapetaka Januari 1974 atau dikenal dengan
nama Malari, pemerintah mengeluarkan Inpres Nomor 9 Tahun
1977 mengenai Operasi Ketertiban (Opstib) yang tugasnya
memberantas korupsi dan berbagai pungutan liar yang semakin
merajalela, terutama yang terjadi di jalan-jalan dan pelabuhan. Tim
ini diketuai oleh Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara, dengan
pelaksana operasional adalah Pangkopkamtib. Ketua 1 adalah
Kapolri dan Ketua 2 adalah Jaksa Agung. Tim ini semula hanya
menertibkan pungli di jalan-jalan dan pelabuhan, tetapi dalam
perkembangannya meningkatkan sasaran kepada korupsi yang
dilakukan oleh aparat pemerintah daerah dan departemen. Upaya
pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh Tim ini masih
Pendidikan Antikorupsi 129

tergolong dalam skala mikro dengan lingkup terbatas. Meskipun


dinilai berhasil, hasil capaian Tim masih rendah bila dibandingkan
dengan luas dan dalamnya korupsi pada tubuh pemerintahan
dan departemen.
Sebagai upaya meningkatkan citra orde baru, pemerintah
pada tahun 1982 membentuk Tim Pemberantasan Korupsi
dengan pelaksana adalah Menpan JB Sumarlin, Pangkopkamtib
Sudomo, Ketua MA Mudjono, Menteri Kehakiman Ali Said, Jaksa
Agung Ismail Saleh, dan Kapolri Awaloeddin Djamin.
Pada masa orde baru, peraturan antikorupsi yang dikeluarkan
dan badan-badan antikorupsi yang dibentuk cukup banyak.
Dibandingkan dengan kinerja KPK yang umurnya kurang dari 20
tahun, namun prestasinya luar biasa, karena mampu mengungkap
ribuan kasus korupsi dan menjebloskan pelaku tindak pidana
korupsi lebih dari seratus orang. Para mantan menteri, mantan
gubernur, mantan bupati/wali kota, mantan kepala departemen
pemerintah, dan pengusaha kelas kakap berhasil digiring ke penjara.
Hal ini tidak terjadi pada badan-badan antikorupsi buatan
pemerintah orde baru yang selama puluhan tahun tidak berhasil
memenjarakan pejabat pemerintah beserta kroni-kroninya. Hal ini
dapat dipahami karena: (1) anggota badan antikorupsi masa orde
baru adalah orang pemerintah yang ditunjuk oleh Presiden, (2)
rakyat sipil pada masa orde baru sangat lemah atau boleh dibilang
mengalami ketakutan secara sistemik, (3) para penegak hukum
tidak memiliki nyali untuk menyeret pejabat pemerintah, bahkan
mereka sendiri terlibat dalam kasus hukum, (4) undang-undang
antikorupsi hanya menjadi pemanis bagi cita rasa pemerintah yang
seolah-olah antiKKN.
130 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

Keempat faktor inilah yang diduga menyebabkan gerakan


pemberantasan korupsi pada masa orde baru berjalan di tempat.
Hal ini sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Mulimin (2006:
142) bahwa kehadiran perangkat perundang-undangan dan
berbagai institusi yang dibentuk pada masa orde baru tidak lebih
dari orkhestra, drama, dan teater pelengkap dari suatu
komunikasi dan diplomasi politik hukum antikorupsi yang
dilakukan oleh rezim orde baru.

C. Pemberantasan Korupsi Pada Masa Reformasi

Pada masa orde baru, pemerintah mencanangkan


pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila. Idealisasi
pembangunan tersebut diwujudkan dalam rencana-rencana
pembangunan nasional. Untuk mencapai cita-cita, tujuan
nasional, dan sebagai realisasi pembangunan nasional sebagai
pengamalan Pancasila, pemerintah orde baru menetapkan
rancangan pembangunan dalam dua tahap. Setiap tahap
memakan waktu 25 hingga 30 tahun.
Pembangunan Jangka Panjang Tahap (PJPT) Pertama sampai
dengan pertengahan tahun 1997 telah menunjukkan hasil yang
dapat dirasakan oleh sebagian besar rakyat Indonesia. Namun
malapetaka menimpa Indonesia, yakni dengan munculnya krisis
moneter pada pertengahan tahun 1997. Krisis keuangan tersebut
meluas menjadi krisis ekonomi, dan pada tahun-tahun berikutnya
meluas dan membesar menjadi krisis multidimensi, tidak hanya
ekonomi, tetapi juga sosial, budaya, politik, dan keamanan. Bahkan
dalam sewindu sejak krisis 1997, moralitas dan nasionalisme bangsa
Indonesia mengalami penurunan sangat tajam. Rusaknya
Pendidikan Antikorupsi 131

tatanan ekonomi dan keuangan pun mengakibatkan meluasnya


pengangguran, meningkatnya angka kemiskinan, menurunnya
daya tahan masyarakat, dan melemahnya kepercayaan
masyarakat terhadap pemerintah. Pemerintahan Habibie sebagai
pengganti Soeharto, pemerintahan Gus Dur, dan pemerintahan
Megawati tak kuasa menghadapi permasalahan fundamental
bangsa Indonesia saat itu.
Sejak krisis, jumlah penduduk miskin makin meningkat,
pengangguran bertambah, konflik dan kekerasan terjadi dimana-
mana, terorisme bagai hantu yang mengintai mangsa setiap saat,
free sex merajalela, penyalahgunaan narkoba bertambah banyak,
jumlah penderita HIV/AIDS berkembang, dan korupsi makin
menjadi-jadi.
Menyadari carut marutnya kehidupan nasional tersebut,
para wakil rakyat yang berada di MPR mengadakan Sidang
Istimewa MPR pada tanggal 10 hingga 13 November 1998. Ada
12 ketetapan yang dihasilkan dari sidang tersebut. Untuk
menormalisasi kehidupan nasional yang telah mencapai titik
rendah sejak krisis moneter, dikeluarkan Ketetapan MPR RI
Nomor X/MPR/1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi
Pembangunan Dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi
Kehidupan Nasional Sebagai Haluan Negara.
Sebagai respon terhadap tuntutan mahasiswa dan
masyarakat tentang perlunya penghapusan korupsi, kolusi, dan
nepotisme (KKN), MPR mengeluarkan Ketetapan MPR RI Nomor
XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan
Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Salah satu dasar
pertimbangan dikeluarkannya TAP MPR Nomor XI karena dalam
132 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

penyelenggaraan negara telah terjadi praktik-praktik usaha yang


lebih menguntungkan sekelompok tertentu, yang menyuburkan
korupsi, kolusi, dan nepotisme yang melibatkan para pejabat
negara dengan para pengusaha, sehingga merusak sendi-sendi
penyelenggaraan negara dalam berbagai aspek kehidupan
nasional.
Pasal 3 ayat (1) ketetapan tersebut menyatakan bahwa
“untuk menghindarkan praktik-praktik korupsi, kolusi, dan
nepotisme, seseorang yang dipercaya menjabat suatu jabatan
dalam penyelenggaraan negara harus bersumpah sesuai
agamanya, harus mengumumkan dan bersedia diperiksa
kekayaannya sebelum dan setelah menjabat.”
Pasal 4 menegaskan bahwa upaya pemberantasan korupsi,
kolusi, dan nepotisme harus dilakukan secara tegas terhadap
siapapun juga, baik pejabat negara, mantan pejabat negara,
keluarga, dan kroninya maupun pihak swasta/konglomerat,
termasuk mantan Presiden Soeharto dengan tetap
memperhatikan prinsip praduga tak bersalah dan hak-hak azasi
manusia. Ketetapan MPR tersebut terutama pada pasal 4
menunjukkan keberanian luar biasa dari rakyat Indonesia melalui
wakil-wakilnya di MPR, karena secara tegas menunjuk nama
Soeharto untuk diadili sebagai orang yang diduga melakukan
korupsi selama 32 tahun menjabat sebagai Presiden.
Seperti halnya undang-undang antikorupsi pada masa orde
baru, TAP MPR tersebut ternyata sama saja tidak dapat digunakan,
karena berkas-berkas kasus korupsi yang melibatkan Soeharto
hingga meninggalnya tidak dapat menjadi bukti yang sah dan
meyakinkan untuk mengadili Soeharto. Ini menunjukkan bahwa
Pendidikan Antikorupsi 133

Soeharto memang sakti, tak tersentuh oleh hukum. Sedang sakit


dan tidak lagi menjabat, Soeharto tidak dapat digiring ke meja
hijau, apalagi ketika Soeharto masih menjabat presiden.
Mungkin karena senyumnya yang menawan atau karena power-
nya yang membuat Soeharto sebagai sosok yang tidak tersentuh
(untouchtable).
Empat presiden, dari Habibie, Gus Dur, Megawati, hingga
Susilo Bambang Yudhoyono tidak berani mengusik Soeharto. KPK
yang digadang-gadang akan mampu memasukkan Soeharto ke
hotel prodeo juga tidak dapat menampakkan gigi taringnya.
Semuanya melempem. Barangkali Tuhan menentukan lain
terhadap nasib Soeharto. Untungnya keluarga dan kroni-kroni
Soeharto berhasil diseret ke meja hijau. Tommy anak kesayangan
Soeharto sempat masuk bui karena kasus korupsi dan dugaan
pembunuhan dan Probosutedjo juga menginap di hotel prodeo
karena terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi.
Masuknya Tommy dan Probosutedjo ke dalam jerat hukum
menjadi obat pelipur lara bagi sebagian besar rakyat Indonesia.
Sebagai pengejawantahan TAP MPR Nomor XI/MPR/1998,
Pemerintah bersama DPR menetapkan Undang-Undang Nomor 28
Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas
Dari Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme. Yang dimaksud penyelenggara
negara menurut UU ini adalah pejabat negara yang menjalankan
tugas eksekutif, legislatif, atau yudikatif dan pejabat lain yang fungsi
dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Mereka adalah pejabat negara pada lembaga tinggi negara,
menteri, gubernur, hakim, pejabat negara lain sesuai
134 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku,


dan pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya
dengan penyelenggara negara sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Penyelenggara negara yang bersih adalah penyelenggara
negara yang menaati asas-asas umum penyelenggaraan negara
dan bebas dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta
perbuatan tercela lainnya (Pembinaan Jaringan Kerjasama Antar
Komisi dan Instansi KPK, 2006: 154). Asas-asas umum
penyelenggaraan negara tersebut meliputi asas kepastian
hukum, asas tertib penyelenggaraan negara, asas kepentingan
umum, asas keterbukaan, asas proporsionalitas, asas
profesionalitas, dan asas akuntabilitas. Ketentuan tentang asas-
asas tersebut sejalan dengan karakteristik good governance dari
UNDP, yaitu: participation, rule of law, transparency,
responsiveness, concensus orientation, equity, effectiveness and
efficiency, accountability, and strategic vision (Romli, 2006: 6;
Widodo, 2008: 116-117; Syakrani dan Syahriani, 2009: 134). Ini
artinya asas-asas umum penyelenggaraan negara yang
ditetapkan dalam UU Nomor 28 Tahun 1999 tersebut sejalan
dengan visi dunia/global untuk mewujudkan pemerintahan yang
baik. Yang menarik dari UU tersebut adalah ditentukannya
sebuah Komisi Pemeriksa sebagai upaya untuk menciptakan
penyelenggara negara yang bersih dan bebas dari KKN.
Komisi ini merupakan lembaga independen yang
bertanggung jawab langsung kepada Presiden sebagai Kepala
Negara. Fungsi utama komisi ini adalah mencegah praktik KKN
dalam penyelenggaraan negara. Setelah keluar Undang-Undang
Pendidikan Antikorupsi 135

Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak


Pidana Korupsi, Komisi Pemeriksa sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 ditiadakan dan digantikan
fungsinya oleh KDalam rangka meningkatkan efektivitas
pemberantasan tindak pidana korupsi, pemerintah reformasi
mengeluarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. UU ini sebagai pengganti
UU Nomor 3 Tahun 1971 yang dinilai sudah tidak sesuai lagi
dengan perkembangan kebutuhan hukum dalam masyarakat.
Seiring dengan pesatnya praktik-praktik perbuatan menyimpang
dalam tubuh pemerintah dan masyarakat, maka pengertian
tindak pidana korupsi pun makin beragam, mulai dari perbuatan
merugikan keuangan negara, suap-menyuap, penggelapan dalam
jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan
dalam pengadaan, hingga gratifikasi.
UU Nomor 31 Tahun 1999 menetapkan pidana maksimal, yaitu
penjara seumur hidup dan denda paling banyak Rp 1 miliar bagi
pelaku korupsi. Pidana tambahan yang dikenakan kepada pelaku
korupsi juga berat, misalnya perampasan barang milik terhukum,
pembayaran uang pengganti, penutupan perusahaan, dan
pencabutan hak-hak tertentu. Untuk lebih menjamin kepastian
hukum dan menghindari keanekaragaman penafsiran hukum,
pemerintah bersama DPR mengubah beberapa pasal dalam UU
Nomor 31 Tahun 1999 dengan menetapkan berlakunya UU Nomor
20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pasal-pasal yang diubah diantaranya adalah pasal 5, 6, 7, 8, 9, 10,
11, dan 12. Mengenai perlunya sebuah badan atau komisi yang
136 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

secara khusus diadakan untuk melakukan tugas pemberantasan


korupsi, UU Nomor 31 Tahun1999 mengamanatkannya dalam
pasal 43 yang berbunyi “dalam waktu paling lambat 2 (dua)
tahun sejak Undang-Undang ini berlaku, dibentuk Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau disingkat
KPK secara eksplisit dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor
30 Tahun 2002. UU tersebut dikeluarkan karena adanya kesadaran
bahwa lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana
korupsi selama ini belum berfungsi secara efektif dan efisien. Jika
tidak diadakan lembaga baru yang lebih independen, dikhawatirkan
korupsi makin merajalela serta keuangan dan ekonomi negara
makin merosot. Pengalaman menunjukkan, lembaga-lembaga
antikorupsi yang dibentuk oleh pemerintah selama masa orde lama
dan orde baru tidak dapat menghasilkan apa-apa. Kegagalan demi
kegagalan selalu menghantui upaya pemberantasan korupsi di
Indonesia, terutama terjadi pada masa sebelum reformasi datang
menggantikan era orde baru yang sarat korupsi, kolusi, dan
nepotisme. Kegagalan tersebut tidak membuat surut langkah badan
antikorupsi, terutama KPK untuk melawan korupsi. Bahkan bangsa
ini sudah bertekad untuk melawan korupsi dan menyatakan bahwa
korupsi adalah musuh bersama (corruption is common enemy) yang
harus diperangi.
UU Nomor 30 Tahun 2002 memberikan kewenangan luar biasa
besar kepada KPK untuk melakukan kegiatan, tidak terbatas pada
upaya penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana
korupsi, tetapi juga melakukan tindakan pencegahan korupsi yang
melibatkan banyak segmen masyarakat, dan yang tidak kalah
Pendidikan Antikorupsi 137

urgen adalah melakukan monitor terhadap penyelenggaraan


pemerintahan negara. Ini artinya, jangkauan atau ruang lingkup
kerja KPK dapat dikatakan luar biasa (extra-ordinary), karena ia
bisa masuk ke semua segmen administrasi lembaga negara dan
pemerintah serta dapat bergandengan tangan dengan semua
elemen masyarakat demi terwujudnya pemerintahan dan
masyarakat yang baik dan bersih.
Selain UU Nomor 30 Tahun 2002 yang memperkokoh kinerja
KPK dalam memberantas korupsi, upaya pemberantasan korupsi
pada masa reformasi menjadi keniscayaan setelah pemerintah
meratifikasi United Nation Convention Against Corruption 2003
dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006. Dalam UU tersebut,
disadari bahwa tindak pidana korupsi tidak lagi merupakan masalah
lokal, akan tetapi merupakan fenomena transnasional yang
memengaruhi seluruh masyarakat dan perekonomian, sehingga
dipandang penting adanya kerja sama internasional untuk
pencegahan dan pemberantasannya. Hal ini perlu didukung oleh
integritas, akuntabilitas, dan manajemen pemerintahan yang baik.
Itulah sebabnya bangsa Indonesia dengan KPK sebagai promotornya
ikut aktif menggalang kerjasama internasional dalam melakukan
pencegahan dan pemberantasan korupsi.
Tema antikorupsi yang ditawarkan Susilo Bambang Yudhoyono
dan Jusuf Kalla yang kemudian popular disebut SBY-JK dalam
pemilihan umum 2004 yang lalu berhasil menaikkan popularitas
SBY-JK sebagai penantang kuat pasangan Megawati SP dan Hasyim
Muzadi. Berkat isu yang diangkat tersebut, pasangan SBY-JK
memperoleh dukungan suara 60% dalam pemilihan presiden secara
langsung yang pertama kali diadakan di republik tercinta ini.
138 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

Setelah dilantik sebagai Presiden pada tanggal 20 Oktober 2004,


Susilo Bambang Yudhoyono dengan gencar mengeluarkan pernyataan
dan menjalankan kebijakan pemberantasan korupsi. Tim Imparsial
mencatat, selama kurun waktu 1 tahun memerintah sejak 2004,
Presiden SBY telah mengeluarkan pernyataan tentang pemberantasan
korupsi 36 kali (Marpaung dan J. Heri Sugianto, 2006: 31). Kebijakan
pertama yang dikeluarkan SBY adalah ditetapkannya Inpres Nomor 5
Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi. Inpres
tersebut ditujukan kepada para Menteri Kabinet Indonesia Bersatu,
Jaksa Agung, Panglima TNI, para Kepala Lembaga Pemerintahan Non-
Departemen, Gubernur, Bupati, dan Wali kota seluruh Indonesia. Isi
Inpres tersebut antara lain: dukungan terhadap kerja KPK, terutama
dalam hal pelaporan harta kekayaan dan penanganan kasus korupsi
oleh KPK, meningkatkan kualitas pelayanan kepada publik, baik dalam
bentuk jasa atau perijinan, menetapkan program dan wilayah bebas
korupsi, melaksanakan Keppres Nomor 80 Tahun 2003 tentang
Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah, menerapkan kesederhanaan,
baik dalam kedinasan maupun dalam kehidupan pribadi serta
pengehematan pada penyelenggaraan kegiatan yang berdampak
langsung pada keuangan negara serta peningkatan terhadap kualitas
kerja dan pengawasan di tiap departemen atau institusi (Marpaung dan
J. Heri Sugianto, 2006: 31).

Dalam upaya pemberantasan korupsi, tim pertama yang


dibentuk oleh SBY adalah Tim Terpadu Pemburu Koruptor, yang
dibentuk melalui Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan
Keamanan pada tanggal 17 Desember 2004. Selain Menko
Polkumkam, tim ini beranggotakan Kapolri, Jaksa Agung, Deplu dan
Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK). Tim
Pendidikan Antikorupsi 139

tersebut memiliki dua tugas, yaitu memburu koruptor yang


bebas berkeliaran di luar negeri dan mengembalikan aset milik
negara yang dibawa kabur oleh koruptor ke luar negeri.
Sebagai tindak lanjut dari Inpres Nomor 5 Tahun 2004,
pemerintah menyusun Rencana Aksi Nasional Pemberantasan
Korupsi 2004-2009 atau disingkat RAN-PK 2004-2009. Dalam RAN-
PK tersebut terdapat bidang pencegahan dan bidang penindakan
dalam rangka pemberantasan korupsi. Bidang pencegahan
diprioritaskan pada: (1) mendesain ulang pelayanan publik,
terutama dalam bidang-bidang yang berhubungan langsung dengan
kegiatan pelayanan kepada masyarakat, (2) memperkuat
transparansi, pengawasan dan sanksi pada kegiatan-kegiatan
pemerintah yang berhubungan dengan ekonomi dan sumber daya
manusia, dan (3) meningkatkan pemberdayaan perangkat-
perangkat pendukung dalam pencegahan korupsi.

Berbeda dengan langkah-langkah pencegahan, bidang


penindakan diprioritaskan pada percepatan penegakan dan
kepastian hukum dalam penanganan perkara korupsi yang besar
dan menarik perhatian masyarakat, serta pengembalian aset
hasil korupsi kepada negara.
Enam bulan setelah memerintah, tepatnya pada tanggal
28 April 2005, Presiden SBY menetapkan delapan langkah
pemberantasan korupsi, yaitu:
1. Membersihkan istana negara dari korupsi dalam rangka
menggugah dan mengajak rakyat melakukan langkah yang sama;
2. Mencegah besarnya kerugian negara yang diakibatkan oleh
penyimpangan pengadaan barang dan korupsi pengadaan
barang;
140 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

3. Mencegah penyimpangan termasuk dalam tender proyek-


proyek rekonstruksi Aceh yang cukup besar selama empat
tahun;
4. Mencegah penyimpangan tender bagi pembangunan
infrastruktur lima tahun ke depan;
5. Berdasarkan bukti-bukti permulaan dan dugaan kuat terjadi
korupsi dan penyimpangan di berbagai lembaga pemerintah
dan swasta, pemerintah akan melakukan langkah-langkah
hukum;
6. Mencari dan menemukan terpidana yang telah dijatuhi
hukuman atau yang sedang menjalani proses hukum yang
diduga kuat berada di luar negeri;
7. Melakukan peningkatan intensitas pemberantasan
penebangan liar;
8. Pemerintah akan melakukan penelitian terhadap
pembayaran pajak dan cukai tahun 2004 (Marpaung dan J.
Heri Sugianto, 2006: 33).

Pada tahun 2005 berdasarkan Perpres Nomor 11, SBY


membentuk Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
(Timtas Tipikor). Tugas utama tim ini adalah: (1) melakukan
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sesuai dengan ketentuan
hukum acara yang berlaku terhadap kasus dan/atau indikasi tindak
pidana korupsi, (2) mencari dan menangkap pelaku yang diduga
keras melakukan tindak pidana serta menelusuri asetnya dalam
rangka pengembalian keuangan secara optimal.
Kebijakan SBY dalam pemberantasan korupsi membuahkan
hasil cukup menggembirakan. Sejak Januari hingga April 2005,
perkara korupsi yang disidik sebanyak 961 perkara dan baru
Pendidikan Antikorupsi 141

diselesaikan sebanyak 149 perkara. Dalam hal penuntutan,


Kejagung melaporkan telah mnerima pengaduan tentang korupsi
sebanyak 1.336 perkara, 525 diantaranya sudah disidik, dan dari
jumlah tersebut 450 diantaranya sudah dituntaskan dan sisanya 15
perkara dihentikan. Inilah sebagian prestasi yang berhasil
ditorehkan oleh SBY pada awal jabatan pertama sebagai presiden.
Meskipun pada masa reformasi cukup banyak dikeluarkan
peraturan perundang-undangan dan penetapan kebijakan
tentang pemberantasan korupsi, namun demikian bukannya
surut jumlah orang yang berkorupsi. Data pejabat koruptor yang
dihimpun oleh Kurniawan, dkk. (2006: 5) betul-betul nggegirisi
(menakutkan). Data tersebut dapat dilihat di bawah ini.

Tabel 5. Data Korupsi Pejabat Versi Depdagri (2004-2006)


No. Pejabat Jumlah (orang)
1. Gubernur 7
2. Bupati/Wali kota 60
3. DPRD Provinsi 327
4. DPRD Kabupaten/Kota 735
Seiring dengan meningkatnya jumlah koruptor dan lahan subur
bagi korupsi pada era reformasi ini, perlawanan dari masyarakat
juga makin hebat. Lagi-lagi, KPK tidak sendirian dalam fungsinya
memberantas korupsi. Di berbagai daerah dari berbagai lapisan
masyarakat tumbuh subur lembaga-lembaga antikorupsi, baik yang
organisasinya sudah demikian rapi dan besar maupun yang belum
terorganisasi. Tidak hanya YLBHI, ICW, TII, dan MTI yang menemani
KPK dalam memberantas korupsi, tetapi juga lembaga-lembaga
serupa yang ada di pusat maupun daerah turut mengawal
daerahnya agar bersih dari perilaku korupsi, misalnya
142 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

Parlemen Watch, Police Watch, Semarang Corruption Watch,


Demak Corruption Watch, dan yang lainnya.
Dukungan kepada KPK masih saja mengalir baik dari kalangan
LSM, musisi, artis, maupun perguruan tinggi, meskipun pada
semester kedua tahun 2009 banyak mengalami masalah, terutama
terkait dengan ditetapkannya ketua dan dua wakil ketua KPK
sebagai tersangka dalam kasus pembunuhan dan korupsi.

D. Rangkuman

Korupsi merupakan musuh bersama masyarakat dan bangsa


Indonesia. Pemerintah dalam hal ini menyadari betapa korupsi
merupakan penyakit yang harus diberantas. Oleh karenanya, sejak
pemerintahan orde lama hingga era reformasi, telah diupayakan
berbagai cara untuk memberantas korupsi sampai ke akar-akarnya.
Pada masa orde lama, Tentara Nasional Indonesia (TNI)
memiliki peran besar dalam melakukan pemberantasan korupsi.
Hal ini dibuktikan dengan inisiatif penguasa militer pada saat itu
dengan mengeluarkan peraturan antikorupsi (PAK) yang diketuai
A.H. Nasution. Untuk mendukung sikap tegas tentara terhadap
korupsi, tahun 1960 dikeluarkan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1960. Pada tahun-
tahun berikutnya dibentuk PARAN dan Operasi Budhi guna
mendukung upaya percepatan pemberantasan korupsi.
Pada masa orde baru dibentuk lembaga uang bertugas
memberantas korupsi. Demikian pula, dikeluarkan berbagai
peraturan untuk memberantas korupsi. Berdasarkan Keppres
Nomor 228 Tahun 1967 dibentuk Tim Pemberantas Korupsi yang
Pendidikan Antikorupsi 143

diketuai Jaksa Agung Sugiharto. Setelah itu dibentuk Komisi


Empat yang diketuai Wilopo dan juga dibentuk Komisi
Antikorupsi. Untuk memperkuat upaya pemberantasan korupsi
dikeluarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Guna meningkatkan
efektivitas pemberantasan korupsi, Presiden Soeharto juga
membentuk tim operasi tertib, yang salah satunya berfungsi
untuk melakukan pemberantasan korupsi.
Era reformasi merupakan era emas pemberantasan korupsi,
utamanya pada masa pemerintahan SBY. Jauh sebelum SBY
menjadi presiden, telah ditetapkan TAP MPR Nomor XI/
MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dari
Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme. Setahun berikutnya, dikeluarkan
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara
Negara yang Bersih dari Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme. Dalam
UU ini ditetapkan adanya suatu Komisi Pemeriksa, yang tugasnya
melakukan penyelidikan terhadap dugaan adanya tindak pidana
korupsi. Komisi ini bubar setelah dikeluarkan Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK). Untuk menunjukkan keseriusan pemerintah dalam
memberantas korupsi dikeluarkan Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Undang-Undang ini kemudian diperbarui lagi dengan dikeluarkan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Sebagai bukti keseriusan
pemerintah SBY, pemerintah menetapkan Rencana Aksi Nasional
(RAN) Pemberantasan Korupsi Tahun 2004-2009, yang kemudian
ditindaklanjuti dengan ditetapkannya RAN pemberantasan
korupsi tahun 2010-2015.
144 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

Dari berbagai fakta dan data tentang aktivitas pemberantasan


korupsi di Indonesia sejak era orde lama hingga reformasi,
menunjukkan bahwa pemerintah serius dalam melakukan
pemberantasan korupsi. Masyarakat pada era reformasi
memberikan dukungan penuh terhadap upaya pemberantasan
korupsi. Buktinya, banyak berdiri lembaga-lembaga nirlaba yang
bergerak pada bidang pemberantasan korupsi.
BAB VII
STRATEGI PEMBERANTASAN
KORUPSI
DI BERBAGAI NEGARA

U ntuk mendesain strategi yang jitu dalam melakukan


pencegahan dan pemberantasan korupsi di Indonesia, perlu
dipelajari bagaimana negara-negara lain melakukan upaya
pemberantasan korupsi. Negara-negara yang akan dikaji dalam
tulisan ini, yaitu Australia, Finlandia, China, Hongkong, Malaysia,
Singapura, dan Thailand.

A. Pemberantasan Korupsi di Australia

Korupsi menurut pandangan Australia adalah tingkah laku


oleh setiap orang yang memberi dampak menentang atau
memberi dampak menentang kejujuran atau pelaksanaan fungsi
yang adil oleh pejabat publik (Hamzah, 2005: 9). Perbuatan
dipandang korup jika dapat dibuktikan sebagai bagian dari
bentuk delik atau perbuatan kriminal, delik atau pelanggaran
disiplin, dan menjadi dasar untuk memecat, membebaskan dari
dinas atau mengakhiri dinas seorang pejabat publik.
Pada awal sejarahnya, Australia tergolong negara korup,
terutama pada saat pemerintahan dikendalikan oleh kelompok

145
146 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

militer. Karena seriusnya persoalan korupsi di kalangan


pemerintah, maka berdasarkan UU Nomor 35 Tahun 1988,
Australia membentuk sebuah lembaga pemberantasan korupsi,
yaitu Independent Commission Against Corruption (ICAC). ICAC
merupakan sebuah komisi yang khusus menangani masalah
korupsi. Selain melakukan penyelidikan, ICAC juga membantu
mencegah korupsi di sektor publik dan mendidik masyarakat
pada sektor publik tersebut.
ICAC memiliki struktur organisasi berjenjang yang sangat efektif
dalam melakukan pencegahan dan pemberantasan korupsi.
Commissioner merupakan ketua ICAC yang memimpin rapat dengan
pejabat teras dua minggu sekali, meninjau interaksi dengan badan-
badan ekstern, menerima laporan kemajuan dan menentukan
kebijakan organisasi. Masih dalam level pimpinan, ICAC memiliki
Komite Manajemen Operasi yang diketuai oleh commissioner atau
assistant commissioner. Komite ini bersidang sekali dalam dua
minggu untuk meninjau kemajuan operasionalisasi organisasi yang
dilakukan oleh komisi dan memberi rekomendasi yang sesuai
dengan prioritas. Anggota pimpinan lainnya, yaitu assistant
commissioner, memiliki tugas melakukan pengambilan keputusan
operasi strategis, penelitian, dan bantuan eksekutif. Level di bawah
pimpinan adalah Direktur Unit Penyidikan, yang tugasnya adalah
melakukan penyidikan, intelijen dan analisis, penilaian, bantuan
penyidikan dan pelayanan teknis. Orang keempat dalam ICAC
adalah solicitor, yaitu komisi yang memimpin unit hukum dengan
tugas melakukan peninjauan operasi dan penghubung ICAC dengan
parlemen. Selain solicitor tersebut, diangkat Direktur Pencegahan
dan Pendidikan Korupsi, yang tugasnya
Pendidikan Antikorupsi 147

adalah melakukan pencegahan, pendidikan dan


mengembangkan media untuk pendidikan antikorupsi. Pejabat
teras ICAC lainnya adalah Direktur Pelayanan Komisi, yang
tugasnya berkaitan dengan teknologi informasi, pelayanan
informasi, perekaman dan properti, pengembangan SDM,
keuangan, pelayanan kantor, dan keamanan.
ICAC memiliki 8 fungsi yang berkaitan dengan upaya
pemberantasan korupsi, yaitu: (1) kepentingan publik, (2) fungsi
utama, (3) fungsi lain komisi, (4) satuan tugas, (5) kerjasama
dengan badan lain, (6) bukti dan prosedur, (7) proses pengadilan,
dan (8) wewenang insidental (Hamzah, 2005: 12).
Dari sekian fungsi tersebut, fungsi utama komisi dipandang
paling strategis dalam upaya pemberantasan korupsi. Fungsi utama
komisi mencakupi: (1) menyidik setiap tuntutan, pengaduan atau
setiap keadaan yang menurut pandangan komisi terdapat
perbuatan korupsi, perbuatan yang membolehkan, menganjurkan
atau menyebabkan terjadinya perbuatan korupsi, dan perbuatan
yang berkaitan dengan perbuatan korupsi, mungkin telah terjadi,
mungkin sedang terjadi, atau kira-kira akan terjadi; (2) menyidik
setiap hal yang diajukan oleh parlemen kepada komisi; (3)
menghubungi pejabat yang bersangkutan tentang hasil penyidikan;
(4) mempelajari undang-undang yang mengatur praktik dan
prosedur otoritas publik dan pejabat publik dalam usaha untuk
menemukan perbuatan korupsi, (5) menginstruksikan, menasihati,
dan membantu setiap otoritas publik, pejabat publik atau orang lain
mengenai cara-cara yang dapat meniadakan perbuatan korupsi; (6)
memberi nasihat otoritas publik atau pejabat publik mengenai
perubahan praktik atau prosedur yang sesuai dengan
148 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

pelaksanaan fungsi yang efektif menurut pemikiran komisi perlu


untuk mengurangi terjadinya perbuatan korupsi; (7) bekerjasama
dengan otoritas publik dan pejabat publik dalam merevisi undang-
undang, praktik, dan prosedur dengan tujuan untuk mengurangi
kemungkinan terjadinya korupsi; (8) mendidik dan memberi nasihat
kepada otoritas publik dan pejabat publik serta masyarakat
mengenai strategi memberantas korupsi; (9) mendidik dan
menyebarkan informasi kepada publik mengenai dampak yang
merugikan dari perbuatan korupsi serta pentingnya untuk
mempertahankan integritas administrasi publik; (10) mendapat
bantuan dan mendorong dukungan publik dalam memberantas
korupsi; (11) mengembangkan, mengatur, mensupervisi, dan ikut
serta dalam atau melaksanakan program-program pendidikan dan
nasihat yang dapat dijelaskan dalam acuan yang dibuat kepada
komisi oleh kedua kamar parlemen (Hamzah, 2005: 12-13).

Kerja keras ICAC membuahkan hasil, yakni mengubah citra


Australia dari negara korup menjadi negara relatif bersih. Hal ini
dapat terjadi, karena enam hal, yaitu:
1. Pemilihan yang jujur oleh politisi yang jujur;
2. Pejabat publik yang jujur, netral, dan berkualitas;
3. Audit dan pertanggungjawaban penerimaan dan
pengeluaran pemerintah;
4. Penyidikan yang independen dan pengajuan pengaduan
terhadap pemerintah sendiri;
5. Akses bebas kepada informasi;
6. Penuntutan kejahatan yang independen dan adanya hakim
yang independen, tidak bias dan jujur.
Pendidikan Antikorupsi 149

B. Pemberantasan Korupsi di Finlandia

Finlandia merupakan negara industri dengan sistem ekonomi


pasar bebas. Produksi perkapita hampir sama dengan Inggris,
Perancis, Jerman, dan Italia. Sektor kunci ekonomi Finlandia adalah
produksi telekomunikasi. Sulit menemukan praktik korupsi di negara
Finlandia yang terkenal sebagai negara seribu danau. Indeks
Persepsi Korupsi (IPK) yang dikeluarkan oleh majalah The Economist
pada tahun 2003 menempatkan Finlandia pada peringkat pertama
negara paling tidak korup (Suryadi, 2003: 207). Pada tahun 2011,
Finlandia bersama Denmark menempati peringkat kedua sebagai
negara terbersih. Pada tahun 2012, Finlandia juga menempati
urutan kedua negara terbersih atau bebas dari korupsi.
Pertanyaan pokok yang perlu dikaji adalah apa yang
menyebabkan Finlandia relatif bersih dari korupsi. Ada tiga faktor
utama yang menyebabkan Finlandia bersih dari korupsi. Pertama,
obedience, yaitu sikap taat atau patuh pada hukum. Kedua, honesty,
yaitu sikap jujur pada diri sendiri dan orang lain. Ketiga, life style
atau gaya hidup sederhana dan tidak konsumtif. Di Finlandia, sikap
bohong tidak disukai oleh rakyat. Pengunduran diri Perdana Menteri
Finlandia, Anneli Jaatteenmaki pada bulan Juni 2003, karena ia
dituduh berbohong kepada parlemen dan rakyat berkaitan dengan
kebocoran informasi politik yang peka selama kampanye. Orang
Finlandia juga bukan orang konsumeristis. Mereka berbelanja
disesuaikan dengan ukuran penghasilan mereka dan
mengutamakan kebutuhan pokok sehari-hari daripada kebutuhan
akan barang-barang mewah.

Pola hidup sederhana tidak hanya dipraktikkan oleh rakyat


pada umumnya, tetapi juga oleh kalangan pejabat pemerintah.
150 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

Presiden Tarja sangat sederhana dalam berpakaian. Presiden


sebelumnya pun heran memiliki rumah tidak semewah rumah
anggota DPR Indonesia. Kota Helsinki yang berpenduduk 500.000
orang jauh dari kesan glamour. Hanya sedikit tempat-tempat
belanja, tidak seperti halnya di kota-kota besar di Indonesia. Itulah
sebabnya, tidak mengherankan jika daya saing bisnis Finlandia pada
tahun 2005 nomor dua sedunia setelah Amerika Serikat.

C. Pemberantasan Korupsi di China

Di China dan Hongkong pusat praktik korupsi ada pada


tubuh kepolisian. Jajaran kepolisian China memperoleh hasil
korupsi dari memungut pungutan yang berasal dari aktivitas
perjudian, pelacuran dan sindikat narkotika. Salah satu sebab
mengapa kepolisian China menjadi pusat praktik korupsi karena
kebudayaan China yang menggunakan kedudukan pemerintah
untuk keuntungan pribadi (Suryadi, 2006: 192).
Korupsi kepolisian di China telah menjadi mafia. Muncullah istilah-
istilah menarik dalam praktik korupsi di China. Misalnya, “masuk dalam
bus”, artinya kalau mau menerima korupsi bergabunglah bersama
kami. “Berlarilah di samping bus”, artinya seandainya Anda tidak ingin
menerima korupsi tidak mengapa, tetapi jangan mengganggu. Yang
lebih seram adalah istilah “jangan pernah berdiri di depan bus”, artinya
kalau Anda mencoba melaporkan korupsi, bus ini akan menabrak dan
mungkin Anda akan mati.

Parahnya praktik korupsi sebagaimana ditunjukkan oleh


istilah-istilah di atas, menjadikan pemerintah berjuang keras
untuk memberantas perilaku korupsi. Usaha tersebut berhasil
meredakan korupsi. Keberhasilan pemberantasan korupsi tidak
Pendidikan Antikorupsi 151

lepas dari dua faktor utama yang menyebabkannya: (1) adanya


good will, political will, integritas, dan komitmen yang
ditunjukkan oleh pemimpin dan aparatur pemerintah dalam
menegakkan hukum, (2) adanya lembaga atau badan antikorupsi
yang dibentuk oleh pemerintah dengan wewenang yang sangat
luas untuk memberantas praktik korupsi (Suryadi, 2006: 193).
Tekad pemimpin China untuk memberantas korupsi dapat
dicermati dari ungkapan Perdana Menteri China Zhu Rongji pada
pelantikannya bulan Maret 1998 yang lalu. Kata Zhu Rongji: “untuk
melenyapkan korupsi, saya menyiapkan 100 peti mati. Sembilan
puluh sembilan untuk para koruptor dan satu untuk saya jika saya
berbuat sama” (Suryadi, 2006: 193). Usaha Rongji membuahkan
hasil dalam memberantas korupsi, paling tidak membuat jera
pelaku atau calon pelaku korupsi. Pada bulan Maret tahun 2000
pengadilan di China memutuskan menghukum mati Wakil Gubernur
Provinsi Jiangxi, Hu Chang Ging yang terbukti telah menerima suap
sebesar 600.000 dollar AS. Pada tanggal 16 Januari 2002, hukuman
mati dijatuhkan pula kepada Deputi Wali kota Leshan, Li Yushu,
karena terbukti secara sah menerima suap senilai 1 juta dollar AS,
dua mobil mewah, dan sebuah jam tangan Rolex. Salah satu faktor
yang menentukan keberhasilan China memberantas korupsi adalah
adanya penegakan hukum yang tegas. Sebagaimana diyakini Zhu
bahwa ketegasan membersihkan pemerintah dari tindak korupsi
plus penegakan akan dapat memutar roda ekonomi bersemangat
pasar sosial sebagai bagian dari transformasi modern China pada
pasar dunia.
Selain penegakan hukum yang tegas, China memiliki badan
antikorupsi, yaitu Anti Corruption Branch (ACB) yang ditangani oleh
152 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

kepolisian. Oleh karena ACB dikelola oleh kepolisian yang sudah


mendapatkan stigma korup, maka ACB tidak direspon
masyarakat. Itulah sebabnya, ACB diganti menjadi Anti
Corruption Office (ACO) yang dipimpin oleh pemimpin baru yang
betul-betul jujur. ACO memiliki tiga bagian, yaitu: (1) bagian
pengumpul keterangan intelijen yang telah lama ada, (2) bagian
penyidikan tuduhan korupsi sehari-hari, dan (3) bagian
penyidikan terhadap pegawai pemerintah yang mempunyai
kekayaan yang jauh melampaui gaji mereka (Suryadi, 2006: 195).

D. Pemberantasan Korupsi di Hongkong

Sejarah Hongkong tidak dapat dilepaskan dari persoalan


candu, opium atau narkotika. Sejak abad ke-19, Hongkong
menjadi tempat transit opium dari segitiga emas ke bagian lain di
dunia melalaui daratan China. Karena akibatnya yang merusak,
Kaisar China melarang impor opium sejak tahun 1796 dan 1800.
Pemerintah China memerintahkan menyita semua opium yang
dimiliki oleh orang asing. Hal ini menimbulkan ketegangan atau
konflik antara China dengan Britania Raya (Inggris) hingga
berujung pada pecahnya Perang Candu pada tahun 1839-1842.
China kalah perang dan dipaksa menandatangani Konvensi
Chuenpi pada tanggal 20 Januari 1841, yang isinya adalah China
harus menyerahkan Hongkong kepada Inggris. Hal ini dipertegas
lagi dalam perjanjian Nanking.
Sejak tahun 1997 Hongkong kembali kepada kedaulatan China
dan berdasarkan deklarasi bersama antara China dan Inggris,
Hongkong menjadi wilayah khusus China yang disebut Special
Administrative Region. Berdasarkan pasal 31 UUD China menganut
Pendidikan Antikorupsi 153

prinsip satu negara dua sistem (Hamzah, 2005: 21). Hongkong memiliki
hukum dasar atau basic law yang mengatur prinsip umum, hubungan
antara pemerintah pusat di Peking dan Hongkong, hak-hak dasar dan
kewajiban penduduk, struktur politik, ekonomi, pendidikan, ilmu
pengetahuan, kebudayaan, olah raga, agama, tenaga kerja, tugas sosial,
masalah luar negeri, interpretasi dan perubahan basic law serta
ketentuan tambahan (Hamzah, 2005: 21).

Korupsi merajalela di Hongkong pada tahun enam puluhan


hingga tahun tujuh puluhan. Hongkong menjadi tempat transit para
pengedar narkotika yang berkolaborasi dengan Kepolisian
Hongkong. Setiap hari polisi Hongkong menerima 10.000 dollar
Hongkong dari para anggota sindikat narkotika. Uang haram juga
diperoleh polisi Hongkong dari sindikat perjudian dan pelacuran.
Kasino yang memiliki omzet 600.000 dollar Hongkong menyetor
10.000 dollar kepada Kepolisian Hongkong. Klitgaard mencatat
bahwa setiap hari ada uang 65.000 dollar Hongkong yang dibagi
secara rapi dan terorganisasi dalam tubuh kepolisian (Hamzah,
2005: 22). Secara rinci, Klitgaard menyebut angka 50 dollar
Hongkong untuk polisi berpangkat kopral, 150 dollar untuk sersan,
500 dollar untuk inspektur, 1000 dollar untuk inspektur kepala,
3000 dollar bagi letnan kolonel, dan 5000 dollar bagi kolonel.

Dalam upaya pemberantasan korupsi yang sangat akut di


tubuh kepolisian, Hongkong membentuk sebuah badan
antikorupsi yang dinamakan Independent Commission Against
Corruption (ICAC) pada tanggal 17 Oktober 1973. ICAC dibentuk
oleh Gubernur MacLehose dan diketuai oleh Jack Carter. Pada
awal dibentuk, Jack Carter sebagai ketua ICAC berhasil
memenjarakan Peter Godber seorang kolonel polisi yang
154 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

melakukan korupsi senilai 4,3 juta dollar Hongkong. ICAC dipimpin


oleh seorang commissioner dan dibantu oleh 3 kepala divisi atau
departemen. Departemen itu adalah Departemen Operasi yang
tugasnya adalah menyidik, menahan, dan membantu menuntut
orang yang melakukan korupsi; Departemen Pencegahan Korupsi
yang berfungsi memberikan penilaian terhadap titik-titik rawan
organisasi; dan Departemen Hubungan Masyarakat yang berfungsi
mengumpulkan dukungan dan informasi dari masyarakat dan
mengubah sikap mental masyarakat terhadap korupsi.
ICAC sangat dipercaya masyarakat, karena pegawainya
merupakan orang-orang yang kredibel, memiliki integritas yang
tinggi, profesional, dan tidak dapat disuap. Seleksi terhadap calon
pegawai ICAC sangat ketat dan selesai diseleksi mereka diberi
pelatihan khusus. Sistem penggajiannya berbasis kinerja dan rata-
rata karyawan ICAC di atas rata-rata gaji pegawai biasa. Jumlah
pegawainya cukup banyak, hingga tahun 1999 mencapai 1.299
orang yang terbagi dalam 943 pegawai bidang operasi, 58 pegawai
bidang prevensi, 212 pegawai bidang hubungan masyarakat, dan 86
pegawai bidang administrasi (Hamzah, 2005: 23).
Sebagai ketua ICAC, Carter telah melakukan berbagai
langkah strategis untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas
kerja ICAC, yaitu:
1. Mengangkat pejabat-pejabat yang bersih, yakni diangkat
dari tenaga-tenaga profesional dari Kerajaan Inggris yang
memiliki integritas tinggi;
2. Gaji yang diberikan kepada pejabat ICAC 10% lebih tinggi
daripada gaji pegawai negeri biasa di Hongkong dengan
pangkat yang setara;
Pendidikan Antikorupsi 155

3. Menentukan imbalan dan hukuman yang berat (Suryadi,


2006: 196).

ICAC merupakan lembaga independen dan terlepas dari


struktur kepolisian. Sebagai lembaga independen, wewenang
ICAC sangat luas. Lembaga ini memiliki wewenang yang sangat
luas, terutama untuk menyidik orang yang diduga melakukan
korupsi dan melakukan penindakan kepadanya. Wewenang ICAC
selengkapnya adalah sebagai berikut. (1) Menahan seseorang
yang dicurigai melakukan korupsi; (2) ICAC berwenang menyidik
dan menyita suatu barang tanpa membutuhkan membutuhkan
surat perintah terhadap kasus-kasus yang bersifat istimewa; (3)
ICAC dapat meminta setiap orang untuk memberikan informasi
apa pun yang dirasa perlu oleh komisaris; (4) ICAC dapat
mengeluarkan perintah untuk membekukan aset dan harta
benda; dan (5) Atas nama kemandirian, ICAC dapat melaporkan
langsung tugas-tugasnya kepada gubernur, tidak melalui badan
legislatif atau pun eksekutif (Suryadi, 2006: 197).
Selama tahun 1970-an ICAC mencapai keberhasilan luar biasa
dalam melakukan pemberantasan korupsi. Pada tahun 1974-1975,
ICAC berhasil memeriksa 2.466 keluhan korupsi dari 6.368 laporan
korupsi yang diterima dari masyarakat. Jumlah kasus korupsi yang
berhasil disidangkan meningkat dari 108 pada tahun 1974 menjadi
218 pada tahun 1975. ICAC tidak mampu menghapus korupsi dari
Hongkong, namun ia berhasil menurunkan korupsi dari 3.189 kasus
pada tahun 1974 menjadi 1.234 kasus pada tahun 1975.
Keberhasilan menurunkan korupsi di Hongkong yang dilakukan ICAC
menurut Hamzah (2005: 36) karena 5 faktor. Pertama, adanya
kemauan politik (political will) pemerintah baik pada masa
156 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

Pemerintah Kolonial Inggris maupun pada zaman Hongkong.


Kedua, masih terjaminnya integritas dan kejujuran hakim pada
waktu ICAC dilahirkan. Ketiga, adanya dukungan anggaran
(budget) yang besar. Keempat, adanya pemanfaatan teknologi
canggih dalam melaksanakan kegiatan ICAC. Kelima, masyarakat
diikutsertakan dalam upaya pemberantasan korupsi.

E. Pemberantasan Korupsi di Malaysia

Malaysia semula adalah negara dengan sistem feodal agraris.


Sejak dijajah Inggris, sistem feodal tersebut berubah menjadi
perserikatan berbasis demokrasi dengan model Inggris. Meskipun
menggunakan model Inggris, sisa-sisa feodalisme di Malaysia masih
tampak, yakni adanya praktik pemberian upeti yang menjadi lahan
subur berkembangnya korupsi. Dalam rangka membangun negara
modern yang bebas korupsi, sejak tahun 1961 Malaysia
mengeluarkan Undang-Undang Antikorupsi yang dikenal dengan
nama Prevention of Corruption Act atau Akta Pencegahan Rasuah
57 (Hamzah, 2005: 38). Pada tahun 1970 dikeluarkan Emergency
(Essential Powers Ordinance) Nomor 22 dan berdasarkan Anti
Corruption Agency Act tahun 1982 dibentuklah Badan Pencegah
Rasuah (BPR). Sejak tahun 1997, ketiga UU dan ordonansi tersebut
digabung ke dalam Anti Corruption Act (ACA).
BPR Malaysia memiliki visi dan misi yang jelas dalam melakukan
pemberantasan korupsi. Visi BPR adalah: (1) mewujudkan
masyarakat Malaysia yang bebas dari gejala korupsi, berdasarkan
nilai-nilai kerohanian dan moral yang tinggi dan dipimpin oleh
pemerintah yang bersih, efisien, dan amanah, (2) menjadikan BPR
sebagai badan pemberantasan korupsi yang profesional
Pendidikan Antikorupsi 157

serta terunggul di dunia berasaskan keadilan, ketegasan, dan


amanah (Hamzah, 2005: 38). Berdasarkan visi tersebut, misi
pemberantasan korupsi di Malaysia dilakukan secara terpadu
dan berkelanjutan dengan cara: (1) semua badan dan lembaga
pemerintah yang terlibat secara total dalam menegakkan UU dan
peraturan dengan adil dan tegas untuk menjamin supremasi
UU serta melindungi kepentingan umum dan negara, (2) semua
tingkat kepemimpinan politik, administrasi, korporasi, agama, dan
lembaga swadaya masyarakat (LSM) terlibat dalam usaha-usaha
penghayatan dan penerapan nilai-nilai murni, sehingga terjadi
konsensus di kalangan masyarakat Malaysia yang membenci korupsi
dan adanya komitmen untuk memberantas gejala korupsi.
Berdasarkan visi dan misi di atas, fungsi pemberantasan
korupsi yang dilakukan oleh BPR mencakupi:
1. Mengenal dan memastikan terjadinya korupsi dan
penyalahgunaan wewenang didasarkan pada informasi dan
pengaduan yang diperoleh secara teliti, menyeluruh, dan
efisien melalui intelijen dan penyidikan;
2. Memperoleh dan mengumpulkan bukti-bukti secara teliti
dan lengkap untuk membuktikan terjadinya perbuatan
korupsi, penyalahgunaan wewenang dan pelanggaran
disiplin melalui penyidikan yang rapi, cepat, dan efektif;
3. Memastikan keadilan dan kepentingan umum secara
berkelanjutan dijamin dengan undang-undang dan
peraturan nasional serta penuntutan yang bijaksana dalam
kasus-kasus korupsi dan penyalahgunaan wewenang.
4. Membantu ketua-ketua sektor publik dan swasta dalam
mengambil tindakan tata tertib terhadap pegawai mereka
158 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

yang melanggar peraturan serta kode etik kerja berdasarkan


laporan BPR yang lengkap;
5. Memotong akar dan peluang untuk melakukan korupsi dan
penyalahgunaan wewenang akibat kelemahan sistem
manajemen di sektor publik dan swasta yang dipastikan dari
hasil penyidikan laporan BPR;
6. Membantu dalam menentukan calon-calon yang tidak terlibat
dalam perbuatan korupsi dan penyalahgunaan wewenang serta
dipastikan berdasarkan saringan yang cepat dan tepat bagi: (a)
kenaikan pangkat, pensiun awal, penganugerahan bintang dan
gelar kebesaran, serta pengisian jabatan-jabatan penting dalam
sektor publik, (b) pengisian jabatan-jabatan yang penting dalam
institusi tertentu serta penganugerahan bintang dan gelar
kebesaran dalam sektor swasta;
7. Meningkatkan penyertaan dukungan yang terpadu dari
kalangan pemimpin, kelompok berpengaruh, dan
masyarakat umum dalam usaha-usaha menentang korupsi
dan penyalahgunaan wewenang;
8. Memastikan tindakan yang diambil oleh BPR dalam intelijen,
penyidikan dan pencegahan korupsi serta penyalahgunaan
wewenang dapat dilakukan dengan disiplin melalui
hubungan dan kerja sama dengan badan-badan terkait baik
pada tingkat nasional maupun internasional;
9. Mewujudkan nilai-nilai unggul, meningkatkan kepakaran dan
profesionalisme serta memupuk semangat kerjasama di
kalangan pejabat BPR melalui kepemimpinan yang
berdedikasi dan dinamis;
10. Meningkatkan kemampuan kepemimpinan dan kualitas
Pendidikan Antikorupsi 159

manajemen pejabat BPR pada semua tingkat melalui program


pembangunan sumber daya manusia, teknologi informasi, dan
proses kerja yang sistematis (Hamzah, 2005: 38-39).

Dalam rangka menjalankan fungsi tersebut, BPR memiliki


tiga strategi utama, yaitu:
1. Strategi pengukuhan, dimana untuk meningkatkan efektivitas
BPR, strategi pengukuhan memberi kekuatan kepada
profesionalisme BPR dan meningkatkan kerjasama dengan
penegak hukum antikorupsi internasional dan media massa;
2. Strategi penggalakan dan pencegahan, yang menekankan
pada usaha-usaha penghayatan nilai-nilai murni,
pencegahan korupsi, dan peningkatan sistem supervisi yang
tegas dalam penegakan peraturan perundang-undangan;
3. Strategi penegakan hukum, yaitu melalui pembalikan beban
pembuktian kepada tersangka yang terbukti memiliki harta
benda yang berlebihan dibandingkan dengan
pendapatannya, perampasan harta yang tidak dapat
dijelaskan asal-usulnya, dan meningkatkan ketegasan
penegakan undang-undang yang memberi dampak pada
pencegahan korupsi (Hamzah, 2005: 39-40).

BPR memiliki prestasi luar biasa dalam melakukan


pemberantasan korupsi. Hal itu ditunjukkan dari laporan mengenai
perbuatan korupsi. Laporan-laporan yang disampaikan bervariasi,
melalui berbagai media dan cara, seperti surat kaleng sebanyak
3.121 atau 33%, 2.260 atau 24% merupakan laporan resmi dari
individu, temuan pejabat BPR sebanyak 1.865 atau 19,8%, melalui
telepon sebanyak 829 atau 8,8%, laporan dari sukarelawan
160 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

sebanyak 718 atau 7,6%, dan lain-lain sebanyak 640 atau 6,8%
(Hamzah, 2005: 44).

F. Pemberantasan Korupsi di Singapura

Singapura merupakan negara pulau sekaligus negara kota


yang terletak di Semenanjung Malaysia, berhimpitan dengan
Johor Malaysia dan Riau Indonesia. Singapura merupakan negara
paling kaya di kawasan ASEAN. Pelabuhan di Singapura
merupakan pelabuhan tersibuk nomor 6 se-dunia yang mampu
melakukan bongkar muat ribuan ton.
Walaupun Singapura merupakan negara yang tergolong
makmur, paling aman, tertib, dan kecil korupsinya, namun tetap
membentuk badan antikorupsi yangh dinamakan Corruption
Practices Investigation Bureau (CPIB) pada tahun 1950-an.
Singapura memiliki UU antikorupsi sejak tahun 1960 dan UU
tersebut telah diamandemen berkali-kali (1963, 1966, 1972,
1981, 1989, 1991). Undang-Undang tersebut dikenal dengan
nama Prevention of Corruption Act (PCA). Munculnya badan
antikorupsi dan UU tersebut dipicu oleh adanya penyelundupan
dan korupsi di kalangan bea cukai. Barang-barang ilegal bebas
masuk ke Singapura karena petugas bea cukai yang korup.
Mereka mudah disuap, sehingga kaset video, film porno dan
majalah-majalah hiburan dapat dengan mudah diperoleh di sana.
Selain adanya UU dan badan antikorupsi, upaya
pemberantasan korupsi diperkuat oleh kepemimpinan Perdana
Menteri Lee Kuan Yew. Lee Kuan Yew memiliki obsesi yang kuat
untuk menciptakan pemerintah dan masyarakat yang taat
hukum sebagai dasar menuju kemakmuran Singapura.
Pendidikan Antikorupsi 161

CPIB memiliki struktur hierarkis dimana posisi puncak dijabat


oleh seorang direktur, deputi direktur dan asisten direktur. Di
bawahnya ada bidang operasi, bantuan operasi, administrasi,
perwira staf, dan pencegahan. Bagian operasi membawahi tim
penyidik khusus, unit I, II, dan III. Bagian bantuan operasi
membawahi intelijen, penelitian lapangan, dan bantuan teknik.
Bagian administrasi membawahi keuangan, records dan
screening, sumber daya manusia serta computer info systems
unit. Perwira staf dan pencegahan tidak membawahi subbagian.
Berbeda dengan badan antikorupsi yang ada di Thailand,
organisasi CPIB lebih sederhana, efisien dan efektif.
CPIB memiliki wewenang cukup luas. Wewenang yang dimiliki
meliputi wewenang penahanan, wewenang penyidikan, wewenang
khusus penyidikan, dan wewenang penggeledahan. Direktur atau
penyidik khusus dapat menangkap setiap orang yang melakukan
delik korupsi tanpa surat perintah. Direktur atau penyidik khusus
juga dapat menangkap atau menahan orang, menggeledahnya, dan
menyita semua harta benda yang ditemukan padanya jika ia diduga
terbukti melakukan perbuatan korupsi. Delik korupsi yang dapat
disidik adalah delik yang tercantum dalam pasal 165 KUHP
(mengatur tentang penerimaan suap atau gratifikasi) atau pasal
213-215 KUHP (mengatur mengenai penerimaan hadiah dan
melindung pelaku delik dari pengenaan pidana), delik yang
ditentukan oleh PCA, dan semua delik yang terungkap berdasarkan
undang-undang pada waktu dilakukan penyidikan.
Dalam hal wewenang khusus penyidikan, penuntut umum jika
merasa cukup adanya alasan berdasarkan PCA dapat dengan
perintah memberi kuasa kepada direktur atau perwira polisi yang
162 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

pangkatnya di atas assistant superintendent atau penyidik


khusus untuk melakukan penyidikan dengan cara atau modus
sesuai yang tertera dalam surat perintah. Dalam surat perintah
ini, pejabat yang ditunjuk dapat menyidik rekening bank,
account saham, account pembelian, account pengeluaran, atau
account apa saja. Seseorang yang tidak memberi informasi atau
account yang diminta dapat dinyatakan bersalah telah
melakukan delik, dapat dipidana penjara paling lama satu tahun
atau denda tidak lebih dari 2.000 dollar Singapura.
Berkaitan dengan wewenang penggeledahan, direktur CPIB
setelah memperoleh informasi dan sesudah pemeriksaan
seperlunya serta adanya cukup alasan untuk percaya bahwa di
suatu tempat ada dokumen berisi bukti atau suatu benda berkaitan
dengan dilakukannya delik berdasarkan ketentuan PCA atau pasal
161-165 dan pasal 213-215 KUHP serta adanya persekongkolan
untuk melakukan, percobaan untuk melakukan, dan membantu
melakukan delik tersebut, maka direktur dapat dengan suatu surat
perintah kepada penyidik khusus atau perwira khusus tidak
berpangkat di bawah inspektur memberikan wewenang kepada
penyidik khusus atau perwira polisi untuk memasuki tempat dengan
paksa dan jika perlu menggeledah, menyita, dan menahan
dokumen, benda, atau harta benda yang disidik. Sesuai dengan
ketentuan pasal 26 PCA, jika pihak yang disidik menghalangi
penggeledahan dapat diancam pidana penjara paling lama satu
tahun atau denda paling banyak 10.000 dollar Singapura. Demikian
pula, mereka yang memberi keterangan palsu atau menyesatkan
tentang suatu delik tertentu sebagaimana diatur dalam PCA atau
dalam pasal 165, 213,214 dan 215, maka mereka dapat diancam
Pendidikan Antikorupsi 163

pidana penjara paling lama satu tahun atau denda paling banyak
10.000 dollar Singapura.

G. Pemberantasan Korupsi di Thailand

Thailand merupakan negara di kawasan ASEAN yang tidak


pernah dijajah oleh bangsa manapun, termasuk bangsa Barat. Di
bawah kepemimpinan Raja Mongkut, Thailand berhasil lolos dari
upaya Inggris dan Perancis untuk mencengkeramkan kuku
kolonialismenya. Chulalongkorn, putra raja Mongkut, yang
menggantikan ayahnya, berhasil memasuki abad ke-20 dengan
pembangunan besar-besaran, seperti jalan raya, jaringan rel
kereta api, telepon, dan listrik.
Masa keemasan Thailand meredup sejak elit militer menguasai
pemerintah sepeninggal Dinasti Chulalongkorn. Korupsi merajalela
sejak awal kediktatoran pemerintahan militer. Pihak yang
melaporkan korupsi akan ditindas oleh penguasa. Bahkan pihak
yang seharusnya memberantas korupsi justru terlibat dalam perkara
korupsi. Atas inisiasi Profesor Sanya Dhamasakti, Perdana Menteri,
Mayor Jenderal Polisi Atthasit Sitthisunthorn, dan Menteri Dalam
Negeri, bersama-sama dengan anggota parlemen, ditetapkan
Undang-Undang Pemberantasan Korupsi yang dikenal dengan nama
Counter Corruption Act tahun 1975.
Berdasarkan UU tersebut, dibentuklah Komisi Pemberantasan
Korupsi bernama Counter Corruption Commission (CCC). Komisi ini
bertanggung jawab kepada Perdana Menteri. Karena komisi ini
dipandang belum efektif, maka berdasarkan Organic Act on Counter
Corruption tahun 1999, CCC diganti lembaga baru bernama The
National Counter Corruption Commission (NCCC).
164 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

Komisi baru ini terdiri atas seorang ketua dan delapan anggota,
yang diangkat oleh raja atas nasihat senat.
Tidak sembarang orang dapat menjadi anggota komisi. Mereka
yang dapat diangkat sebagai anggota NCCC adalah: (1) warga negara
Thailand karena Mahkamah Konstitusi, Komisi Pemilihan,
Ombudsman, anggota Komisi Nasional Hak Azasi Manusia, Komisi
Audit Negara, sedang menjabat atau mantan tidak lebih rendah dari
Jaksa Agung Muda, Direktur Jenderal atau setingkat, atau menjabat
tidak lebih rendah dari guru besar (Hamzah, 2005: 69).
NCCC memiliki kewenangan yang luar biasa dalam
melakukan pemberantasan korupsi. Kewenangan itu meliputi:
1. Memeriksa fakta-fakta, membuat ringkasan kasus, dan
mempersiapkan pendapat untuk diserahkan kepada Senat
dalam melepaskan seseorang dari jabatan;
2. Memeriksa fakta-fakta, membuat ringkasan kasus, dan
mempersiapkan pendapat yang diajukan kepada Jaksa
Agung untuk tujuan penuntutan kepada Mahkamah Agung
Divisi Kriminal bagi mereka yang memegang posisi politik
berdasarkan pasal 308 Konstitusi;
3. Memeriksa dan memutus apakah seorang pejabat negara
telah menjadi kaya luar biasa atau telah melakukan delik
korupsi, penyalahgunaan jabatan atau penyalahgunaan
wewenang di badan kehakiman;
4. Memeriksa secara akurat adanya aset aktual dan tanggung
jawab pejabat negara serta memeriksa perubahan aset dan
tanggung jawab orang-orang yang memegang posisi politik,
memeriksa aset dan pertanggungjawaban;
5. Menentukan aturan mengenai penentuan posisi, kelas, atau
Pendidikan Antikorupsi 165

tingkat pejabat negara yang diwajibkan menyerahkan account


yang menunjukkan aset dan tanggung jawab secara khusus;
6. Menentukan aturan dan prosedur untuk penyerahan
account yang menunjukkan aset dan tanggung jawab khusus
pejabat negara serta pengungkapan account yang
menunjukkan aset dan tanggung jawab secara khusus
memangku jabatan perdana menteri;
7. Menyerahkan laporan inspeksi dan laporan mengenai
kinerja bersama dengan catatannya kepada Dewan Menteri,
DPR, dan Senat setiap tahun mempublikasikan laporan ini
untuk disebarkan;
8. Mengusulkan tindakan, pendapat, atau rekomendasi kepada
Dewan Menteri, DPR, dan Senat setiap tahun serta
mempublikasikan laporan untuk disebarkan;
9. Menunjukkan beberapa hal kepada badan yang berkaitan
dengan tujuan memohon kepada suatu pengadilan atas
suatu perintah atau putusan untuk membatalkan atau
mencabut hak atau dokumen milik atas tanah yang sudah
diberi persetujuan oleh pejabat negara atau memberikan
izin yang menunjukkan hak-hak dan keuntungan atau
mengeluarkan dokumen hak atas tanah kepada orang
tertentu yang bertentangan dengan undang-undang atau
aturan resmi yang merugikan pelayanan pemerintah;
10. Mengambil tindakan untuk mencegah korupsi dan
membangun sikap dan rasa berkaitan dengan integritas dan
kejujuran serta mengambil tindakan demikian untuk
memberi bantuan publik dan kelompok orang untuk
mengambil bagian dalam memberantas korupsi;
166 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

11. Memberi persetujuan untuk pengangkatan sekretaris


jenderal;
12. Mengangkat orang-orang atau kelompok untuk
melaksanakan tugas yang dipercayakan kepadanya;
13. Melaksanakan tindakan lain yang ditentukan oleh undang-
undang organik (NCCC) atau undang-undang lain yang
menjadi tanggung jawab NCCC (Hamzah, 2005: 70-71).

Dalam melaksanakan tugasnya, NCCC diberikan wewenang:


(1) memberikan perintah kepada pejabat pemerintah, pejabat atau
pegawai suatu badan, badan negara, perusahaan negara, atau
pemerintah lokal untuk melaksanakan semua tindakan yang perlu
untuk melaksanakan tugas NCCC, atau meminta semua dokumen yang
relevan atau bukti-bukti dari setiap orang atau memanggil setiap orang
untuk memberikan keterangan atau kesaksian untuk tujuan
pemeriksaan fakta, (2) mengajukan permohonan kepada pengadilan
yang berwenang untuk mengeluarkan surat perintah izin memasuki
tempat tinggal, tempat bisnis, atau tempat lain, termasuk kendaraan
setiap orang dari matahari terbit sampai matahari penyitaan, atau
pengambilan dokumen, benda atau bukti lain yang berkaitan dengan
pemeriksaan, dan (3) mengirim surat permintaan kepada badan
pemerintah, badan negara, perusahaan negara, pemerintah lokal atau
badan privat dalam melaksanakan tindakan khusus untuk tujuan
pelaksanaan tugas atau tindakan pemeriksaan fakta atau melaksanakan
yang ditentukan oleh NCCC (Hamzah, 2005: 72).

Seperti halnya di Indonesia, dimana setiap orang yang akan


memangku jabatan sebagai penyelenggara negara diwajibkan
melaporkan harta kekayaannya dengan mengisi formulir LHKPN,
maka di Thailand, pejabat-pejabat di bawah ini wajib menyerahkan
Pendidikan Antikorupsi 167

account yang menunjukkan aset dan tanggung jawab, termasuk


harta suami/istri/anak-anak.
1. Presiden Mahkamah Agung;
2. Presiden Mahkamah Konstitusi;
3. Presiden Mahkamah Agung Administratif;
4. Jaksa Agung;
5. Komisi Pemilihan;
6. Ombudsman;
7. Hakim Mahkamah Konstitusi;
8. Anggota Komisi Audit Negara;
9. Wakil Presiden Mahkamah Agung;
10. Wakil Presiden Mahkamah Agung Administratif;
11. Ketua Mahkamah Militer;
12. Hakim pada Mahkamah Agung;
13. Hakim Mahkamah Agung Administratif;
14. Deputi Jaksa Agung;
15. Orang-orang yang memegang posisi tinggi.

H. Rangkuman

Hampir semua negara di dunia memiliki undang-undang dan


lembaga atau badan pemberantas korupsi. Beberapa negara
hebat, seperti Finlandia, Denmark, Selandia Baru, dan Singapura
memiliki undang-undang yang ketat dan lembaga antikorupsi
yang berperan sangat baik, sehingga negara-negara tersebut
terkenal sebagai negara bersih dari perbuatan korupsi. Indeks
persepsi korupsi negara-negara tersebut juga tinggi, yang berarti
tingkat korupsi pejabat publik mereka tergolong rendah.
168 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

Tahun 2012 Finlandia menempati peringkat kedua sebagai


negara terbersih di dunia, sedangkan Singapura berada pada
urutan kelima. Kedua negara ini juga memiliki kinerja ekonomi
yang bagus. Meskipun belum ada penelitian komprehensif
tentang kaitan antara kondisi korupsi di suatu negara dengan
tingkat perkembangan ekonomi negara, namun dapat diduga
bahwa jika di negara tertentu tingkat korupsinya rendah, maka
ada kemungkinan kinerja dan perkembangan ekonominya baik.
Peringkat korupsi Finlandia rendah, karena bangsa Finlandia
terkenal dengan sikap taat, jujur dan sederhana. Singapura juga
tersohor dengan kedisiplinan dan kuat dalam penegakan
hukumnya. Lembaga antikorupsi, seperti CPIB dan PCA terbukti
mampu meredam tingkat korupsi di Singapura.
China, Malaysia, dan Thailand, meskipun tidak sehebat Finlandia
dan Singapura juga memiliki aturan dan lembaga antikorupsi yang
konsisten dalam memberantas korupsi. China memiliki Anti Corruption
Office (AOC). Perdana Menteri China yang sangat terkenal dengan
janjinya, Zhu Rongji, siap dimasukkan peti mati jika terbukti korupsi.
Sikap keras Rongji membuat China cukup bersih dan mampu
menjadikan China sebagai negara kekuatan ekonomi dunia di masa
mendatang. Malaysia memiliki Badan Pencegah Rasuah, yang juga
berperan penting dalam pemberantasan korupsi. Malaysia juga
memiliki potensi ekonomi yang baik dibandingkan Indonesia, Myanmar,
Kamboja, dan negara-negara ASEAN lainnya, kecuali Singapura.
Thailand memiliki undang-undang pemberantasan korupsi sejak tahun
1975 dan mempunyai lembaga antikorupsi yang dinamakan NCCC.
Tidak berbeda dengan Malaysia, Thailand juga mempunyai catatan
cukup baik dalam perkembangan ekonominya.
BAB VIII
PERAN KOMISI
PEMBERANTASAN
KORUPSI (KPK) DALAM
PEMBERANTASAN
KORUPSI

Sejak dibentuk tahun 2003 yang lalu, sudah begitu besar peran
dan prestasi Komisi Pemberantasn Korupsi (KPK) dalam
melakukan pemberantasan korupsi, utamanya dalam bidang
penindakan. Sepuluh tahun KPK berkiprah dalam upaya
pemberantasan korupsi, tetapi jumlah pelaku yang berhasil
ditangkap dan disidangkan sudah banyak. Pelaku kelas kakap pun
dengan mudah ditangkap, tidak seperti halnya yang dilakukan oleh
lembaga penegak hukum lainnya, seperti kepolisian, kejaksaan,
bahkan pengadilan itu sendiri. Sebelum disajikan secara deskriptif
keberhasilan yang telah dicapai oleh KPK, akan diuraikan terlebih
dahulu secara berturut-turut visi dan misi KPK, kedudukan dan
tugas KPK, wewenang dan kewajiban KPK, susunan organisasi
KPK, dan kode etik KPK.

A. Visi, Misi dan Strategi KPK

Visi KPK adalah mewujudkan Indonesia yang bebas korupsi


(Maheka, t.th.: 52). Mengacu pada visi tersebut, misi KPK adalah
sebagai penggerak perubahan untuk mewujudkan bangsa
169
170 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

yang antikorupsi. Berdasarkan visi dan misi tersebut, rencana


strategis KPK meliputi strategi berdasarkan waktu (strategi jangka
pendek, strategi jangka menengah, dan strategi jangka panjang) dan
strategi berdasarkan tugasnya (strategi pembangunan
kelembagaan, strategi pencegahan, strategi penindakan, dan
strategi penggalangan keikutsertaan masyarakat).
Strategi jangka pendek KPK, yakni strategi yang segera dapat
memberi manfaat, meliputi penindakan, membangun nilai etika,
membangun sistem pengendalian terhadap lembaga
pemerintahan agar menjadi lebih efisien dan profesional.
Strategi jangka menengah, yakni strategi yang secara sistematis
mampu mencegah tindak pidana korupsi, meliputi kegiatan
membangun proses perbankan, penganggaran, pengadaan dan
infrastruktur informasi di instansi pemerintah yang mendorong
efisiensi dan efektivitas, memotivasi terciptanya kepemimpinan
yang efisien dan efektif, serta meningkatkan partisipasi masyarakat
dalam pengambilan keputusan pemerintah serta meningkatkan
akses masyarakat terhadap pemerintahan.
Strategi jangka panjang, yang diharapkan dapat mengubah
persepsi dan budaya masyarakat, mencakupi aktivitas membangun
dan mendidik masyarakat untuk menangkal korupsi yang terjadi di
lingkungannya, membangun tata pemerintahan yang baik sebagai
bagian penting dalam sistem pendidikan nasional, dan membangun
sistem kepegawaian (perekrutan, penggajian, penilaian kinerja dan
pengembangan) yang berkualitas.
Tujuan strategi pembangunan kelembagaan adalah
terbentuknya suatu lembaga KPK yang efektif. Untuk mencapai
tujuan tersebut, aktivitas yang dilakukan meliputi penyusunan
Pendidikan Antikorupsi 171

struktur organisasi, kode etik, rencana strategis, rencana kinerja,


anggaran, prosedur operasi standar, dan penyusunan sistem
manajemen SDM, rekrutmen penasihat dan pegawai serta
pengembangan pegawai, penyusunan manajemen keuangan,
penyusunan teknologi informasi pendukung, penyediaan fasilitas
dan peralatan, dan penyusunan mekanisme pengawasan internal.
Strategi pencegahan bertujuan membangun sistem pencegahan
tindak pidana korupsi yang handal. Aktivitas yang dilakukan meliputi
peningkatan efektivitas sistem pelaporan kekayaan penyelenggara
negara, penyusunan sistem pelaporan gratifikasi dan sosialisasi,
penyusunan sistem pelaporan pengaduan masyarakat dan sosialisasi,
pengkajian dan penyampaian saran perbaikan atas sistem administrasi
pemerintahan dan pelayanan masyarakat yang berindikasikan korupsi,
penelitian dan pengembangan teknik dan metode yang mendukung
pemberantasan korupsi.

Strategi penindakan memiliki tujuan untuk meningkatkan


penyelesaian perkara tindak pidana korupsi. Untuk itu, ada lima
hal yang dilakukan, yaitu: (1) pengembangan sistem dan
prosedur peradilan pidana korupsi yang ditangani langsung oleh
KPK, (2) penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan perkara
korupsi oleh KPK, (3) pengembangan mekanisme, sistem, dan
prosedur supervisi oleh KPK atas penyelesaian perkara korupsi
yang dilaksanakan oleh kepolisian dan kejaksaan, (4) identifikasi
kelemahan undang-undang dan konflik antar undang-undang
yang berkaitan dengan pemberantasan korupsi, dan (5)
pemetaan aktivitas-aktivitas yang berindikasikan korupsi.
Penggalangan keikutsertaan masyarakat bertujuan
terbentuknya suatu keikutsertaan dan partisipasi aktif dari
172 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

segenap komponen bangsa dalam memberantas korupsi. Lima


aktivitas berikut merupakan langkah untuk menggalang
partisipasi masyarakat, yaitu: (1) kerjasama dengan lembaga-
lembaga publik, lembaga-lembaga publik, lembaga-lembaga
kemasyarakatan, sosial, keagamaan, profesi, dunia usaha,
swadaya masyarakat, dan perumusan peran masing-masing
dalam pemberantasan korupsi, (2) kerjasama dengan mitra
pemberantasan korupsi di luar negeri secara bilateral maupun
multilateral, (3) kampanye antikorupsi nasional secara
terintegrasi untuk membentuk budaya antikorupsi, (4)
pengembangan database profil korupsi, dan (5) pengembangan
dan penyediaan akses informasi korupsi kepada publik.

B. Kedudukan, Tugas, Wewenang, dan Kewajiban KPK

Dalam pasal 3 UU Nomor 30 Tahun 2002, KPK berkedudukan


sebagai lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan
wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh
kekuasaan manapun (KPK, t.th.: 3). KPK dibentuk dengan tujuan
untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya
pemberantasan tindak pidana korupsi. Dalam melaksanakan
tugas dan wewenangnya, KPK berasaskan pada nilai-nilai
kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan
umum, dan proporsionalitas (KPK, t.th.: 3).
Berdasarkan kedudukannya, KPK mempunyai lima tugas
pokok, yaitu: (1) koordinasi dengan instansi yang berwenang
melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi, (2) supervisi
terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan
tindak pidana korupsi, (3) melakukan penyelidikan, penyidikan,
Pendidikan Antikorupsi 173

dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi, (4) melakukan


tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi, dan (5)
melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan
negara (Direktorat Pembinaan Jaringan Kerjasama AntarKomisi
dan Instansi KPK, 2006: 97).
Dalam melaksanakan tugas pokok yang pertama
(koordinasi), KPK memiliki wewenang: mengkoordinasikan
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi;
menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan
tindak pidana korupsi; meminta informasi tentang kegiatan
pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi yang
terkait; melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan
instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak
pidana korupsi; dan meminta laporan instansi terkait mengenai
pencegahan tindak pidana korupsi.
Dalam melaksanakan tugas kedua, yaitu supervisi, KPK
berwenang melakukan pengawasan, penelitian atau penelaahan
terhadap instansi yang menjalankan tugas dan wewenangnya
yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi
dan instansi yang melaksanakan pelayanan publik. Dalam
melaksanakan wewenang tersebut, KPK berwenang pula
mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku
tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian atau
kejaksaan. Dalam hal KPK mengambil alih penyidikan atau
penuntutan, kepolisian atau kejaksaan wajib menyerahkan
tersangka dan berkas perkara beserta alat bukti dan dokumen
lain yang diperlukan dalam waktu paling lama 14 hari kerja
terhitung sejak tanggal diterimanya permintaan KPK.
174 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

Dalam hal melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan,


dan penuntutan, KPK berwenang:
1. Melakukan penyadapan dan perekaman pembicaraan;
2. Memerintahkan kepada instansi terkait untuk melarang
seseorang bepergian ke luar negeri;
3. Meminta keterangan kepada bank atau lembaga keuangan
lainnya tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa
yang sedang diperiksa;
4. Memerintahkan kepada pimpinan atau atasan tersangka untuk
memberhentikan sementara tersangka dari jabatannya;
5. Meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka atau
terdakwa kepada instansi terkait;
6. Menghentikan sementara suatu transaksi keuangan, transaksi
perdagangan, dan perjanjian lainnya atau pencabutan
sementara perizinan, lisensi serta konsesi yang dilakukan atau
dimiliki oleh tersangka atau terdakwa yang diduga berdasarkan
bukti awal yang cukup ada hubungannya dengan tindk pidana
korupsi yang sedang diperiksa;
7. Meminta bantuan interpol Indonesia atau instansi penegak
hukum negara lain untuk, melakukan pencarian,
penangkapan, dan penyitaan barang bukti di luar negeri;
8. Meminta bantuan kepolisian atau instansi lain yang terkait
untuk melakukan penangkapan, penahanan,
penggeledahan, dan penyitaan dalam perkara tindak pidana
korupsi yang sedang ditangani (Direktorat Pembinaan
Jaringan Kerjasama AntarKomisi dan Instansi KPK, 2006: 99).

Dalam melaksanakan tugas pencegahan, KPK berwenang


untuk: (1) melakukan pendaftaran dan pemeriksaan laporan
Pendidikan Antikorupsi 175

harta kekayaan penyelenggara negara, (2) menerima laporan


dan menetapkan status gratifikasi, (3) menyelenggarakan
program pendidikan antikorupsi pada setiap jenjang pendidikan,
(4) merancang dan mendorong terlaksananya program sosialisasi
pemberantasan tindak pidana korupsi, (5) melakukan kampanye
antikorupsi kepada masyarakat umum, dan (6) melakukan
kerjasama bilateral atau multilateral dalam pemberantasan
tindak pidana korupsi.
Dalam melaksanakan tugas monitor sebagaimana diatur
dalam pasal 6 UU Nomor 30 Tahun 2002, KPK berwenang:
1. Melakukan pengkajian terhadap sistem pengelolaan
administrasi di semua lembaga negara dan pemerintah;
2. Memberi saran kepada pimpinan lembaga negara dan
pemerintah untuk melakukan perubahan jika berdasarkan
hasil pengkajian, sistem pengelolaan administrasi tersebut
berpotensi korupsi;
3. Melaporkan kepada Presiden Republik Indonesia, Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dan Badan Pemeriksa
Keuangan, jika saran Komisi Pemberantasan Korupsi
mengenai usulan perubahan tersebut tidak diindahkan
(Direktorat Pembinaan Jaringan Kerjasama AntarKomisi dan
Instansi KPK, 2006: 99).

Berdasarkan tugas dan wewenangnya, KPK berkewajiban


untuk: (1) memberikan perlindungan terhadap saksi atau pelapor
yang menyampaikan laporan ataupun memberikan keterangan
mengenai terjadinya tindak pidana korupsi, (2) memberikan
informasi kepada masyarakat yang memerlukan atau memberikan
bantuan untuk memperoleh data lain yang berkaitan dengan
176 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

hasil penuntutan tindak pidana korupsi yang ditanganinya, (3)


menyusunm laporan tahunan dan menyampaikannya kepada
Presiden Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia, dan Badan Pemeriksa Keuangan, (4) menegakkan
sumpah jabatan, dan (5) menjalankan tugas, tanggung jawab,
dan wewenangnya berdasarkan asas-asas sebagaimana
dimaksud dalam pasal 5 (Direktorat Pembinaan Jaringan
Kerjasama Antar Komisi dan Instansi KPK, 2006: 99).

C. Susunan Organisasi KPK

Berdasarkan UU Nomor 30 Tahun 2002, susunan KPK terdiri


atas seorang ketua dan empat orang wakil ketua. KPK membawahi
empat bidang, yaitu bidang pencegahan, bidang penindakan, bidang
informasi dan data, serta bidang pengawasan internal dan
pengaduan masyarakat. Masing-masing bidang membawahi
subbidang sebagaimana tersaji dalam tabel di bawah ini.

Tabel 6. Bidang dan Subbidang dalam


No. Bidang Sub Bidang
1. Pencegahan • Subbidang pendaftaran dan pemeriksaan
laporan harta kekayaan penyelenggara
negara;
• Subbidang gratifikasi;
• Subbidang pendidikan dan pelayanan
masyarakat;
• Subbidang penelitian dan
pengembangan.
2. Penindakan • Subbidang penyelidikan;
• Subbidang penyidikan;
• Subbidang penuntutan.
Pendidikan Antikorupsi 177

3. Informasi dan Data • Subbidang pengolahan informasi dan


data;
• Subbidang pembinaan jaringan kerja
antarkomisi dan instansi;
• Subbidang monitor.
4. Pengawasan Internal • Subbidang pengawasan internal;
dan Pengaduan • Subbidang pengaduan masyarakat.
Masyarakat

Organisasi KPK berikut tata kerjanya diatur lebih lanjut


dalam Keputusan Pimpinan KPK Nomor KEP-07/P.KPK/02/2004
tentang Organisasi dan Tata Kerja Komisi Pemberantasan
Korupsi. Berdasarkan keputusan KPK tersebut, susunan
organisasi KPK terdiri dari pimpinan, tim penasihat, deputi
bidang pencegahan, deputi bidang penindakan, deputi bidang
informasi dan data, deputi bidang pengawasan internal dan
pengaduan masyarakat, serta sekretariat jenderal.
Pimpinan KPK adalah pejabat negara yang bekerja secara
kolektif dan menjadi penanggung jawab tertinggi dalam KPK. Ini
membawa implikasi, semua keputusan yang bersifat strategis
diambil dalam rapat yang dihadiri oleh ketua dan empat wakil ketua
KPK. Jika ketua atau salah satu wakil ketua berhalangan sementara
atau tetap, tidak berarti KPK berhenti dalam mengambil keputusan-
keputusan penting. Tugas-tugas kepemimpinan dalam menjalankan
fungsi dan wewenangnya tetap berjalan. Hal ini seperti yang dialami
KPK di bawah kepemimpinan Antasari Azhar. Meskipun ketua KPK
tersebut sedang bermasalah dengan pihak penegak hukum karena
diduga terlibat dalam kasus pembunuhan, kegiatan KPK tetap
berjalan sesuai dengan ketentuan undang-undang yang berlaku.
Karena sifat kepemimpinan kolektif, maka
178 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

aktivitas KPK dijalankan bersama-sama oleh empat wakil ketua


secara kolektif.
Sebagai pemegang puncak tertinggi organisasi, pimpinan
KPK memiliki tugas: (1) memimpin KPK sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku, (2) menyiapkan kebijakan
nasional dan kebijaksanaan umum yang berhubungan dengan
kegiatan pencegahan, penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan
tindak pidana korupsi, (3) menetapkan kebijaksanaan teknis
pelaksanaan tugas yang menjadi tanggung jawabnya, (4)
membina dan melaksanakan kerjasama dengan instansi dan
organisasi lain, dan (5) mengangkat dan memberhentikan kepala
bidang, kepala sekretariat, kepala subbidang, dan pegawai yang
bertugas pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK, t.th.: 131).
Tim Penasihat KPK terdiri atas 4 orang dengan tugas utama: (1)
membantu pimpinan dalam menyiapkan kebijaksanaan nasional
dan kebijaksanaan umum yang berhubungan dengan kegiatan
pencegahan, penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak
pidana korupsi, (2) membantu pimpinan dalam menetapkan
kebijaksanaan teknis pelaksanaan tugas yang menjadi tanggung
jawabnya, dan (3) membantu pimpinan dalam membina dan
melaksanakan kerjasama dengan instansi dan organisasi lain.
Masing-masing deputi yang ada di tubuh KPK memiliki tugas
dan fungsi yang berlainan, meskipun diantara mereka ada fungsi
koordinasi supaya dapat mendukung pimpinan KPK dalam
menjalankan tugasnya. Deputi Bidang Pencegahan KPK meliputi
Direktorat Pendaftaran dan Pemeriksaan Laporan Harta Kekayaan
Penyelenggara Negara, Direktorat Gratifikasi, Direktorat Pendidikan
dan Pelayanan Masyarakat, Direktorat Penelitian dan
Pendidikan Antikorupsi 179

Pengembangan, serta Sekretariat Deputi Bidang Pencegahan.


Deputi Bidang Pencegahan bertugas untuk melakukan upaya-
upaya atau tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi.
Dalam melaksanakan tugas tersebut, Deputi Pencegahan
menyelenggarakan fungsi:
1. Pendaftaran dan pemeriksaan terhadap laporan harta
kekayaan penyelenggara negara;
2. Penerimaan laporan dan penetapan status gratifikasi;
3. Penyelenggaraan program pendidikan antikorupsi pada
setiap jenjang pendidikan;
4. Sosialisasi pemberantasan tindak pidana korupsi;
5. Kampanye antikorupsi kepada masyarakat umum;
6. Kerjasama bilateral atau multilateral dalam pemberantasan
tindak pidana korupsi.

Berbeda dengan Deputi Bidang Pencegahan, Deputi Bidang


Penindakan memiliki tugas untuk melakukan penyelidikan,
penyidikan, penuntutan, dan tindakan hukum lain mengenai tindak
pidana korupsi berdasarkan peraturan perundang-undangan dan
kebijaksanaan yang ditetapkan oleh pimpinan KPK. Dalam
melaksanakan tugas tersebut, Deputi Bidang Penindakan
melaksanakan fungsi: (1) perumusan kebijaksanaan teknis kegiatan
justisial berupa pemberian bimbingan dan pembinaan dalam bidang
tugasnya, (2) perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian kegiatan
penyelidikan, penyidikan , penuntutan, dan tindakan hukum lain
serta pengadministrasiannya, (3) pembinaan kerjasama,
pelaksanaan koordinasi, dan pemberian bimbingan, serta petunjuk
teknis dalam penanganan tindak pidana korupsi dengan instansi dan
lembaga terkait mengenai penyelidikan,
180 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

penyidikan, dan penuntutan berdasarkan peraturan perundang-


undangan dan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh pimpinan
KPK, (4) pemberian saran, pendapat dan/atau pertimbangan
hukum kepada pimpinan KPK mengenai perkara tindak pidana
korupsi, pengambilalihan penyidikan dan penuntutan tindak
pidana korupsi yang sedang dilakukan kepolisian atau kejaksaan,
dan masalah hukum lainnya, (5) pembinaan dan peningkatan
kemampuan, keterampilan dan integritas kepribadian para
petugas pelaksana penyelidik, penyidik, dan penuntut umum,
dan (6) pengamanan teknis atas pelaksanaan tugas dan
wewenang komisi pemberantasan tindak pidana korupsi
berdasarkan peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan
yang ditetapkan oleh pimpinan KPK. Dalam melaksanakan
tugasnya, Deputi Bidang Penindakan dibantu oleh Direktorat
Penyelidikan, Direktorat Penyidikan, Direktorat Penuntutan, dan
Sekretariat Deputi Bidang Penindakan.
Deputi Bidang Informasi dan Data mempunyai tugas
melaksanakan pengolahan data dan informasi serta pengembangan
sistem informasi yang mendukung kegiatan pencegahan,
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi
serta melakukan monitor terhadap upaya pencegahan dan
penindakan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh
penyelenggara negara. Mengacu pada tugas tersebut, Deputi
Bidang Informasi dan Data menyelenggarakan fungsi:
1. Penyusunan rencana dan program pengelolaan data dan
informasi serta pengembangan sistem informasi;
2. Pengumpulan, pengolahan, dan penyajian data dan
informasi serta administrasi basis data;
Pendidikan Antikorupsi 181

3. Penyiapan analisis hasil pelaksanaan program dan kegiatan KPK;


4. Pengembangan sistem informasi dan pembinaan terhadap
pengguna,
5. Pengembangan jaringan informasi dengan instansi
pemerintah dan masyarakat;
6. Monitor terhadap upaya pencegahan dan penindakan tindak
pidana korupsi yang terjadi pada instansi pemerintahan
negara (KPK, t.th.: 139).

Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, Deputi


Bidang Informasi dan Data dibantu oleh Direktorat Pengolahan
Informasi dan Data, Direktorat Pembinaan Jaringan Kerja Antar
Komisi dan Instansi, Direktorat Monitor, dan Sekretariat Deputi
Bidang Informasi dan Data.
Deputi Bidang Pengawasan Internal dan Pengaduan
Masyarakat memiliki 2 Direktorat, yaitu Direktorat Pengawasan
Internal dan Direktorat Pengaduan Masyarakat serta Sekretariat
Deputi Bidang Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat.
Deputi ini memiliki tugas melaksanakan pengawasan fungsional
terhadap unit kerja yang berada di bawah KPK dan memproses
pengaduan masyarakat. Fungsinya meliputi: (1) penyiapan bahan
perumusan kebijakan pengawasan di lingkungan KPK,
(2) perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian kegiatan
pengawasan internal dan pemrosesan pengaduan masyarakat serta
pengadministrasiannya, dan (3) pemberian saran dan pendapat
kepada pimpinan KPK mengenai hasil pengawasan internal dan
pemrosesan pengaduan masyarakat (KPK, t.th.: 142).
KPK memiliki sekretariat jenderal yang bertugas
mengakomodasikan perencanaan, pembinaan, pengendalian
182 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

administrasi, dan sumber daya di lingkungan KPK. Fungsi sekretariat


jenderal meliputi: (1) koordinasi dan penyusunan kebiakan dan
program kerja KPK serta evaluasi pelaksanaannya di liongkungan
KPK, (2) pengelolaan sumber daya manusia, penataan organisasi,
dan ketatalaksanaan serta keuangan, (3) pemberian bantuan hukum
di lingkungan KPK, dan (4) pelaksanaan urusan tata usaha,
perlengkapan, dan rumah tangga. Di lingkungan Setjen KPK terdapat
3 biro, yaitu Biro Perencanaan dan Keuangan, Biro Umum, dan Biro
Sumber Daya Manusia.

D. Kode Etik Pimpinan KPK

Pimpinan KPK menempati posisi strategis dalam menentukan


arah sekaligus mewujudkan visi, misi, rencana strategis, serta
memastikan terlaksananya tugas dan kewajiban KPK. Oleh
karenanya diperlukan kode etik tersendiri bagi mereka agar dapat
menjadi teladan bagi bawahannya dan menjadi landasan komitmen
mereka untuk bekerja demi lembaga, bangsa dan negara. Menurut
Keputusan Pimpinan KPK tentang Kode Etik Pimpinan KPK RI, kode
etik pimpinan KPK merupakan norma yang harus dilaksanakan oleh
pimpinan KPK dalam menjalani kehidupan pribadinya dan
mengelola organisasi KPK. Kode etik pimpinan KPK diterapkan tanpa
ada toleransi sedikitpun atas penyimpangannya atau zero tolerance
dan mengandung sanksi tegas bagi mereka yang melanggarnya.
Nilai-nilai dasar yang harus dianut pimpinan KPK dalam
menjalankan tugasnya meliputi: (1) terbuka (transparan) baik
dalam pergaulan internal dan eksternal, (2) kebersamaan, yaitu
melaksanakan tugas memimpin KPK secara kolektif, (3) berani,
yakni mengambil sikap tegas dan rasional dalam membuat
Pendidikan Antikorupsi 183

keputusan sulit dan atau tidak populis demi kepentingan jangka


panjang KPK dan negara, (4) integritas, yaitu mewujudkan perilaku
yang bermartabat, (5) tangguh, artinya tegar dalam menghadapi
berbagai godaan, hambatan, tantangan, ancaman, dan intimidasi
dalam bentuk apapun dan dari pihak manapun, dan (6) unggul,
artinya selalu meningkatkan pengetahuan dan kapasitas pribadinya
(KPK, t.th.: 151). Nilai-nilai dasar pribadi tersebut dilaksanakan
dalam bentuk sikap, tindakan, perilaku, dan ucapan pimpinan KPK.
Dalam kode etik ini, pimpinan KPK memiliki kewajiban
sebagai berikut.
1. Melaksanakan ibadah dan ajaran agama yang diyakininya;
2. Taat terhadap aturan hukum dan etika;
3. Menggunakan sumber daya publik secara efisien, efektif,
dan tepat;
4. Tegas dalam menerapkan prinsip, nilai, dan keputusan yang
telah disepakati;
5. Menarik garis tegas tentang apa yang patut, layak, dan
pantas dilakukan dengan apa yang tidak patut, tidak layak,
dan tidak pantas dilakukan;
6. Tampil ketika keputusan sulit harus diambil;
7. Tidak berpihak dalam melaksanakan tugas, fungsi, dan
wewenangnya;
8. Berani menghadapi dan menerima konsekuensi keputusan;
9. Tidak berhenti belajar dan mendengar;
10. Mampu bertindak tegas tanpa beban;
11. Meningkatkan kinerja yang berkualitas;
12. Menanggalkan kebiasaan kelembagaan masa lalu yang
negatif;
184 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

13. Menghilangkan sifat arogansi individu dan sektoral;


14. Mengidentifikasi setiap benturan kepentingan yang timbul
atau kemungkinan benturan kepentingan yang akan timbul
dan memberitahukan kepada pimpinan lainnya sesegera
mungkin;
15. Memberikan komitmen dan loyalitas kepada KPK di atas
komitmen dan loyalitas kepada teman sejawat;
16. Mengesampingkan kepentingan pribadi atau golongan demi
tercapainya tujuan yang ditetapkan bersama;
17. Menahan diri terhadap godaan yang berpotensi
memengaruhi substansi keputusan;
18. Memberitahukan kepada pimpinan lainnya mengenai
pertemuan dengan pihak lain yang akan dan telah
dilaksanakan, baik sendiri atau bersama, baik dalam
hubungan dengan tugas maupun tidak;
19. Menolak dibayari makan, biaya akomodasi, dan bentuk
kesenangan lainnya oleh atau dari siapa pun;
20. Independensi dalam penampilan fisik, antara lain
diwujudkan dalam bentuk tidak menunjukkan kedekatan
dengan siapa pun di depan publik;
21. Membatasi pertemuan di ruang publik, seperti di hotel,
restoran, atau lobi kantor atau hotel atau di ruang publik
lainnya;
22. Memberitahukan kepada pimpinan yang lain mengenai
keluarga, kawan, dan pihak-pihak lain yang secara intensif
masih berkomunikasi (KPK, t.th.: 153).

Sejalan dengan kewajiban yang harus dilaksanakan, pimpinan


KPK dilarang:
Pendidikan Antikorupsi 185

1. Menggunakan sumber daya publik untuk kepentingan


pribadi atau golongan;
2. Menerima imbalan yang bernilai uang untuk kegiatan yang
berkaitan dengan fungsi KPK;
3. Meminta kepada atau menerima bantuan dari siapapun
dalam bentuk apapun yang memiliki potensi benturan
kepentingan dengan KPK;
4. Bermain golf dengan pihak atau pihak-pihak yang secara
langsung atau tidak langsung berpotensi menimbulkan
benturan kepentingan sekecil apapun.

Pelanggaran terhadap isi kode etik pimpinan KPK dikenakan


sanksi sesuai dengan tingkat kesalahannya. Antasari Azhar, ketua
KPK setelah Taufiequrachman Ruki, merupakan salah satu contoh
dari pimpinan yang telah melanggar kode etik pimpinan KPK, di
antaranya tidak mampu menahan diri dari godaan dan bermain golf
dengan pihak-pihak yang diduga akan memengaruhi tugasnya
sebagai pimpinan KPK, sehingga setelah diduga melakukan
pembunuhan terhadap Nasarudin dan bermain api dengan Lani, istri
siri Nasarudin, oleh KPK ia diberhentikan sementara atau
dibebastugaskan dari kedudukannya sebagai pimpinan KPK. Ini
merupakan bukti betapa hebatnya lembaga KPK yang secara
konsisten menerapkan aturan meskipun harus memakan korban
anggota atau pimpinannya sendiri dan hal ini tidak terjadi pada
lembaga negara atau instansi lainnya di negeri ini.

Selain Antasari, KPK pascakepemimpinan Taufiequrachman


juga mengalami persoalan internal yang tidak kalah gawat, yaitu
dijadikannya Chandra M. Hamzah dan Bibit Samad Rianto, Wakil
Ketua KPK yang membidangi Penindakan sebagai tersangka
186 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

(Tempo, 2009: 82). Polri menetapkan keduanya sebagai tersangka


karena dugaan penyalahgunaan wewenang terkait pencekalan
terhadap pengusaha Anggoro Widjojo dan pencegahan dan
pencabutan pencegahan (larangan ke luar negeri) terhadap
pengusaha Djoko S. Tjandra (Kompas, 2009: 2). Sedikit banyak tugas
pimpinan KPK menjadi terganggu karena dari lima pimpinan, tinggal
2 orang saja yang harus menjalankan tugas berat KPK. Meskipun
akhirnya dibebaskan, karena dinyatakan tidak bersalah, namun
kriminalisasi terhadap dua dari 4 orang wakil ketua KPK
menyebabkan tugas dan kewajiban KPK untuk memberantas
korupsi di negeri kleptokrasi ini menjadi terhambat.

E. Sekilas Keberhasilan KPK

Apa yang telah diuraikan panjang lebar mengenai tugas,


wewenang, dan kewajiban KPK serta kewajiban pimpinan KPK
secara khusus dapat dikatakan sebagai peran normatif atau
peran yang diharapkan dimainkan oleh KPK sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Mencermati
ketentuan peraturan perundang-undangan dan peraturan
internal KPK sebagaimana sudah dijelaskan di atas, tampaknya
ada jaminan dan kepercayaan yang kuat bahwa KPK merupakan
aktor paling kuat diantara kepolisian dan kejaksaan, terutama
dalam melaksanakan fungsi memberantas tindak pidana korupsi.
Sebagai satu-satunya lembaga independen dalam
pemberantasan korupsi, KPK memiliki strategi jitu. Dalam strategic
map KPK, M. Yasin dalam Seminar dan Sosialisasi LHKPN menuju
Peningkatan Mutu Pelayanan yang diselenggarakan oleh Kelompok
Kerja (POKJA) Antikorupsi Universitas Negeri Semarang
Pendidikan Antikorupsi 187

pada tanggal 10 Desember 2008, menyampaikan bahwa tujuan


perumusan strategi baru KPK adalah berkurangnya korupsi di
Indonesia, dengan sasaran meningkatnya efektivitas koordinasi
dan supervisi bidang penindakan, meningkatnya efektivitas
koordinasi dan supervisi bidang pencegahan, meningkatnya
keberhasilan penegakan hukum kasus korupsi, meningkatnya
kepercayaan publik kepada KPK, terbentuknya sikap masyarakat
antikorupsi, dan percepatan reformasi layanan sektor publik
(Yasin, 2008: 9).
Dalam tugas pemberantasan korupsi, KPK melakukannya secara
komprehensif, konsisten, dan berkesinambungan, dengan
melibatkan semua pihak. Itulah sebabnya, metode yang digunakan
adalah metode holistik, mencakupi komponen kenegaraan dengan
melahirkan good public governance, komponen swasta dengan
melahirkan good corporate governance, komponen masyarakat
dengan melahirkan good civil society governance.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 mengatur bahwa
upaya pemberantasan korupsi meliputi upaya pencegahan dan
penindakan. KPK lebih mengedepankan upaya kuratif, berupa
penangkalan atau penanganan hulu permasalahan dan upaya
pencegahan (preventif), sehingga mampu menekan kebocoran
keuangan negara. Karena kasus-kasus korupsi demikian masif
dan dampaknya sangat merugikan sendi-sendi kehidupan
masyarakat, bangsa, dan negara, maka KPK melakukan upaya
represif untuk menimbulkan efek jera bagi pelaku korupsi dan
dapat mengembalikan kerugian keuangan negara secara optimal.
Dibandingkan dengan lembaga penegak hukum lainnya
seperti kejaksaan dan kepolisian, KPK memiliki nilai lebih.
188 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

Pertama, struktur organisasinya tidak terlalu hierarkis, luwes, dan


demokratis. Kedua, organisasi KPK lebih rapi dan lini pengendalian
dan pengawasan vertikal dan horizontal lebih terjaga dibandingkan
kepolisian dan kejaksaan. Ketiga, sistem penggajiannya berbasis
kinerja. Keempat, KPK sebagai institusi negara lebih otonom dan
independen dibandingkan dua lembaga lainnya, sehingga dalam
proses pengambilan keputusan tidak dapat dipengaruhi oleh pihak
lain. Kelima, landasan etika dan kode etik KPK lebih konkret,
sehingga memudahkan pejabat atau personil KPK dalam
menjalankan tugasnya secara professional. Keenam, KPK tidak
hanya melaksanakan tugas dalam memberantas tindak pidana
korupsi, tetapi juga turut mempromosikan penerapan praktik-
praktik good governance pada tubuh pemerintahan, swasta (dunia
usaha), dan masyarakat dan mendorong reformasi pelayanan
publik. Ketujuh, inilah yang menjadi energi sosial, yakni masyarakat
memberikan dukungan penuh terhadap kinerja KPK. Karena
beberapa nilai tambah inilah, setiap upaya menggoyang atau
mengurangi peran KPK dalam memberantas korupsi yang dilakukan
oleh lembaga-lembaga yang merasa KPK sebagai kompetitornya
atau terusik dan terancam oleh keberadaan dan sepak terjang KPK,
selalu muncul perlawanan dari masyarakat.
Tantangan yang dihadapi KPK tergolong berat, selain karena
lembaga ini dianggap kompetitor bagi lembaga penegak hukum
lainnya, juga disebabkan apa yang dipromosikan dan dilakukan KPK
dipandang oleh sementara penyelenggara negara mengancam
eksistensi mereka. Hal ini seperti diungkapkan oleh Insan Fahmi,
salah seorang aktivis KPK, bahwa keengganan sebagian
penyelenggara negara untuk berkomitmen melakukan perubahan
Pendidikan Antikorupsi 189

dan pemberantasan korupsi dikarenakan kondisi saat ini yang telah


membuat dirinya nyaman (Fahmi, 2009: 5). Perbaikan sistem,
menurut Fahmi, justru ditanggapi dengan resistensi tinggi, karena
dianggap akan menjadi ancaman dan gangguan bagi dirinya yang
telah berada pada zona nyaman (comfort zone). Hal ini juga terbukti
dari adanya keinginan dari pihak tertentu untuk mempreteli
kewenangan KPK. Rubrik Hukum Majalah Tempo Edisi 21-27
September 2009 menulis dengan meyakinkan: “hilang sudah
kekuatan Komisi Pemberantasan Korupsi menangani perkara-
perkara korupsi, karena Forum Lobi Panja RUU Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi dan Pemerintah yang diwakili Menteri Hukum dan
Hak Azasi Manusia dan Jaksa Agung menyepakati dicabutnya
kewenangan penuntutan dari tangan KPK” (Tempo, 2009: 80).
Menurut sumber yang layak dipercaya, pasal 1 angka 4 dari
RUU Pengadilan Tipikor menyatakan bahwa hak penuntutan ada
pada tangan kejaksaan, sedangkan KPK hanya berwenang pada
aspek penyidikan. Emerson Yuntho, aktivis Indonesian Corruption
Watch, sampai pada kesimpulan, “ada tiga pihak yang berhasrat
menggunting kewenangan KPK, yaitu: (1) anggota Dewan yang
berlatar belakang pengacara, (2) kejaksaan, (3) anggota parlemen
atau pribadi-pribadi yang sakit hati dan terancam oleh KPK”
(Tempo, 2009: 80). Ini artinya, pelan tetapi pasti KPK lambat laun
digiring ke pinggir untuk menjadi penonton terhadap
perselingkuhan penyelenggara negara nakal dengan pengusaha
kotor dalam melakoni drama “nikmatnya berkorupsi”.

Menghadapi kendala dan tantangan yang berat tersebut,


bukannya membuat KPK surut langkah. Sebagai pelaksana
undang-undang, KPK tetap konsisten dan fokus pada jalur yang
190 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

telah ditetapkan. Oleh karenanya KPK melakukan pemberantasan


korupsi secara proporsional dan profesional. Menurut Fahmi (2009:
8), KPK menyadari bahwa mengubah perilaku manusia dan sistem
yang korup tidaklah semudah membalik telapak tangan. Ada
keyakinan kuat di kalangan orang-orang KPK bahwa dengan
kesungguhan dan upaya terus-menerus tanpa kenal lelah,
perubahan ke arah yang lebih baik niscaya akan dapat diraih.
Kerja keras KPK sejak dibentuknya tahun 2003 yang lalu
membuahkan hasil. Catatan indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia
pun dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Pada tahun awal
dibentuknya KPK pada tahun 2003, indeks persepsi korupsi
Indonesia adalah 1,9. Angka ini berturut-turut naik, dari tahun 2004
hingga 2006, yaitu 2,0; 2,2 dan 2,4. Pada tahun 2007 turun lagi
menjadi 2,3 dan pada tahun 2008 naik lagi menjadi 2,6. Tahun 2009
naik lagi menjadi 2,8 dan tahun 2010 indeks persepsi korupsi
bertahan di angka 2,9. Pada tahun 2011 naik angkanya menjadi 3,0
dan tahun 2012 naik sedikit menjadi 3,2. Untuk mencapai IPK 3,2
yang angkanya belum terlalu signifikan bagi perkembangan
pemberantasan korupsi, membutuhkan waktu 9 tahun. Kuatnya
komitmen pemerintah reformasi dan menguatnya kelompok
masyarakat sipil, seharusnya IPK Indonesia bisa mencapai angka 5,0.
Namun demikian, naiknya IPK Indonesia meskipun tidak terlalu
besar, menandakan bahwa dibentuknya KPK tidaklah sia-sia.
Memang kenaikan IPK tersebut bukanlah prestasi semata-mata KPK,
tetapi paling tidak kehadiran KPK turut menyumbang secara
signifikan kenaikan IPK Indonesia akibat dari sikap KPK yang sangat
tegas dan tanpa kompromi melawan korupsi.Pada tahun 2005, KPK
melaporkan telah menerima surat pengaduan adanya
Pendidikan Antikorupsi 191

dugaan korupsi dari masyarakat sebanyak 3.922 surat. Dari jumlah


tersebut, laporan yang telah ditelaah sebanyak 2.761 surat, yang
sedang ditelaah 1.161 surat, laporan yang ditindaklanjuti dari hasil
telaah sebanyak 1.063 surat, sedang direview 991 surat, dari hasil
tindak lanjut 207 surat diteruskan ke kepolisian, 438 surat
diteruskan ke kejaksaan, 111 surat diteruskan ke BPKP, 152 surat
diteruskan ke Irjen dan badan lain di luar BPKP, 31 surat diteruskan
ke BPK, 36 surat diteruskan ke MA, 88 surat diteruskan ke Bawasda,
dan 10 surat ditangani sendiri oleh KPK (Susilo, 2006: 97). Kinerja
KPK pada tahun 2007 menunjukkan hasil yang menggembirakan.
Hal ini dapat dicermati pada tabel di bawah ini.

Tabel 7. Laporan Masyarakat dan Gratifikasi yang


ditindaklanjuti oleh KPK
Nomor Hal Keterangan
1. Laporan Jumlah 15.861 laporan, 96,27% sudah
Masyarakat ditelaah. Dari jumlah tersebut, hanya
3000 laporan yang berindikasikan tipikor,
223 diproses lebih lanjut, dan sisanya
diteruskan kepada aparat lainnya.
2. Laporan Harta Dari total wajib lapor 111.759
Kekayaan penyelenggara negara, sebanyak 57,75%
Penyelenggara telah melaporkan harta kekayaannya.
Negara (LHKPN)
3. Laporan 129 laporan (termasuk parcel) masuk ke
Gratifikasi KPK. Jumlah yang dilaporkan Rp 1,4 miliar,
1.300 dollar AS, Sin $ 47.000, dan dalam
bentuk barang senilai Rp 331,4 juta. Dari
jumlah tersebut, Rp 829 juta, AS $ 650
dan Sin $ 47.000 ditetapkan sebagai milik
Negara.
192 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

4. Perkara KPK berhasil menyelesaikan penyidikan


26 kasus, sedang dalam tahap
penyelidikan 35 kasus, yang digulirkan ke
Pengadilan Negeri 11 kasus, banding 1
kasus, dan kasasi 11 kasus.
(Sudjana, 2008: 207).

Data lain menunjukkan keberhasilan KPK, terutama


menyangkut keberhasilan dalam menangani pengaduan
masyarakat, menangani kasus atau perkara tindak pidana korupsi,
menangani perkara TPK yang telah memiliki kekuatan hukum tetap,
dan keberhasilan dalam mengembalikan uang negara. Data
selengkapnya dapat dicermati pada grafik atau gambar berikut.

Sumber: (Handoyo, 2009)


Gambar 2. Penanganan Pengaduan Masyarakat
Pendidikan Antikorupsi 193

Sumber: (Handoyo, 2009)


Gambar 3. Penanganan Kasus/Perkara TPK

Sumber: (Handoyo 2009)


Gambar 4. Perkara TPK yang Berkekuatan Hukum Tetap (Inkracht)
194 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

Sumber: (Handoyo, 2009)


Gambar 5. Uang Negara Yang Berhasil Dikembalikan

Salah seorang karyawan KPK, Fahmi, melaporkan keberhasilan


KPK dalam menangani korupsi dan mengembalikan uang kepada
negara. Fahmi menginformasikan bahwa pada tahun 2008 KPK
berhasil menyelamatkan uang negara sebesar 600 miliar rupiah,
menangani tipikor senilai 406,38 miliar rupiah, menangani gratifikasi
sebesar 3,87 miliar rupiah, dan lainnya 190 miliar rupiah (Fahmi,
2009: 16). Dalam kaitannya dengan penyelamatan keuangan
negara, secara akumulatif KPK berhasil menyelamatkan potensi
kerugian keuangan negara, sebagai berikut.
• Rp 1.969.904.438.000,00 dari penyelamatan potensi
kerugian negara sebagai akibat pengalihan hak Barang Milik
Negara (BMN) di 13 K/L, yaitu Depkumham, Depag, Setneg,
Perum Bulog, PT. KAI, BKKBN, Deplu, Depkes, Ditjen Pajak
Pendidikan Antikorupsi 195

Depkeu, Perum Pegadaian, Asuransi Jiwasraya, dan Unibraw


(Depdiknas).
• Rp 2.509.304.573.609,00 (USD216,173,218.33) dari
penyelamatan potensi kerugian keuangan negara pada
sektor migas, yaitu Rp 1.239.611.100,00 dari koreksi
investment credit dan Rp 1.269.693.473.609,00 dari
penyetoran dana Abandonment & Site Restoration ke Joint
Account di bank pemerintah

Dalam kaitannya dengan fungsi KPK dalam mempromosikan


praktik-praktik good governance di kalangan pemerintahan dan
reformasi pelayanan publik, terdapat perubahan yang cukup
signifikan dengan diterapkannya one stop service (OSS) atau
pelayanan satu atap di berbagai daerah. Awalnya hanya
beberapa daerah yang mempraktikkan, misalnya pemerintah
provinsi Gorontalo, pemerintah kota Riau, pemerintah
kabupaten Jembrana Bali dan pemerintah kabupaten Sragen.
Tetapi dengan keberhasilan 4 daerah tersebut memberikan
pelayanan dan meningkatkan kesejahteraan kepada masyarakat,
akhirnya praktik OSS diterapkan juga di berbagai daerah di
seluruh Indonesia dengan potensi dan ciri khas masing-masing.
Dari praktik good governance di berbagai daerah tertangkap
kesan adanya kompetisi sehat untuk memberikan layanan yang
sebaik-baiknya kepada masyarakat, misalnya waktu mengurus
perizinan yang makin pendek, pelayanan berbasis internet (on-
line), serta layanan pendidikan dan kesehatan gratis. Ini
menunjukkan bahwa kehadiran KPK meskipun hanya sebagai
pemantik (trigger), telah mampu mendorong terciptanya good
governance dalam tubuh pemerintahan di daerah.
196 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

Keberhasilan KPK lainnya yang dapat ditunjukkan kepada


publik adalah banyaknya pejabat eksekutif (mantan menteri,
pejabat departemen pemerintahan, gubernur, wali kota, bupati),
kalangan legislatif (anggota DPR dan DPRD), anggota KPU, dan
kalangan swasta yang diseret ke pengadilan karena akibat
perbuatannya melakukan tindak pidana korupsi. Berikut ini
dikemukakan beberapa kasus atau tindak pidana korupsi yang
dilakukan para pejabat di atas yang berhasil diungkap dan
diajukan ke meja pengadilan oleh KPK.

1. Mulyana Wira Kusuma (anggota KPU periode 1999-2004)


Dalam kapasitasnya sebagai anggota Komisi Pemilihan Umum
(KPU), Mulyana Wira Kusuma telah terbukti melakukan tindak
pidana korupsi dalam dua kasus yang sama namun berbeda
kapasitas. Yang pertama adalah melakukan penyuapan kepada
auditor investigatif Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Khariansyah
Salman dan yang kedua, melakukan korupsi pengadaan kotak suara
pemilihan umum (Yuwono, 2008: 8). Akibat perbuatannya, Mulyana
divonis hukuman 2 tahun 7 bulan penjara karena terbukti
melakukan penyuapan kepada auditor investigatif BPK dan dijatuhi
hukuman 1 tahun 3 bulan karena terbukti melakukan korupsi dalam
pengadaan kotak suara pemilu. Dibekuknya Mulyana ini menjadi
titik awal diseretnya anggota-anggota KPU lainnya, seperti
Nazaruddin Sjamsudin, Rusadi Kantaprawira, Daan Dimara, Achmad
Rojadi, Bambang Budiarto, Safder Yusacc dan Hamdani Amin, yang
telah merampok harta negara untuk kepentingan pribadi.

2. Said Agil Husin Al Munawar


Said Agil, Menteri Agama Kabinet Gotong Royong 2001-2004
divonis hukuman 5 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta
Pendidikan Antikorupsi 197

Pusat, karena terbuki korupsi dana BPIH senilai Rp 35,7 miliar


dan Dana Alokasi Umum 2002-2004 sebesar Rp 240,22 miliar
(Harman, 2012).

3. Ahmad Sujudi
Ahmad Sujudi adalah mantan Menteri Kesehatan, yang
divonis 2 tahun 3 bulan penjara atas kesalahannya
menyalahgunakan kewenangan dalam kasus alat kesehatan,
karena penunjukan langsung rekanan dan pengajuan usulan
anggaran tambahan senilai Rp 463 miliar (Harman, 2012). Pada
tingkat banding, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memutus
hukumannya menjadi 4 tahun penjara.

4. Wafid Muharam
Wafid Muharam adalah mantan Sekretaris Menteri Pemuda
dan Olahraga, yang disangka KPK atas suap yang dilakukan
sebesar Rp 3,2 miliar untuk pemenangan tender PT. DGI dengan
anggaran pembangunan Rp 200 miliar (Harman, 2012).

5. Abdullah Puteh
Korupi yang dilakukan oleh Abdullah Puteh, Gubernur Provinsi
Nangroe Aceh Darussalam (NAD), berawal dari pembelian
helikopter MI-2 merek PLC Rostov buatan Rusia. Dana yang
digunakan untuk membeli helikopter tersebut merupakan patungan
dari 13 kabupaten dan kota di Provinsi NAD yang masing-masing
menyumbang dana 700 juta rupiah. Korupsi yang dilakukan oleh
Puteh terkuak setelah terdapat selisih harga antara pembelian
helikopter terdahulu yang dilakukan oleh TNI-AL dan helikopter
yang dibeli oleh Pemerintah Provinsi NAD. Dengan kualifikasi dan
merek yang sama, TNI-AL membeli helikopter
198 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

seharga Rp 6,5 miliar, sedangkan Puteh membelinya dengan


harga dua kali lipat, yaitu Rp 12,6 miliar. Perbedaan harga
tersebut diselidiki KPK dan terbukti Puteh bersalah telah
melakukan tindak pidana korupsi. Itulah sebabnya, majelis hakim
menyatakan Puteh terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana disebutkan dalam
dakwaan primer dan kepadanya dijatuhi pidana penjara 10 tahun
dan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan. Selain itu,
Puteh juga dikenakan pidana tambahan berupa kewajiban untuk
membayar uang pengganti sebesar Rp 6,564 miliar. Pembayaran
tersebut harus dilakukan dalam waktu satu bulan setelah
putusan hakim berkekuatan hukum tetap.

6. Bambang Guritno
Bambang Guritno, Bupati Semarang, terbukti secara sah dan
meyakinkan telah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana
diatur dalam pasal 3 juncto pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 dan
UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto pasal 55 ayat (1) KUHP. Ia ditahan
LP Ambarawa pada hari Senin, 28 Mei 2007 terkait perkara dugaan
korupsi pengadaan buku ajar SD/MI kabupaten Semarang tahun
2004 senilai Rp 3,95 miliar. Bambang terbukti menerima fee dari
tiga rekanan proyek pengadaan buku. Selain itu, rekanan juga
memberikan uang tanda terima kasih. Dalam pengadaan buku
tersebut diketahui ada mark-up. Total nilai proyek sesungguhnya
hanya Rp 2 miliar, digelembungkan hingga mencapai angka Rp
5,8 miliar (Yuwono, 2008: 45). Dari hasil audit BPKP, negara
dirugikan sebesar Rp 3,6 miliar.
Berkaitan dengan pemeriksaan terhadap Bambang tersebut,
Mendagri melalui SK Nomor 131.33/304/2007 memberhentikan
Pendidikan Antikorupsi 199

untuk sementara Bambang Guritno sebagai Bupati Semarang


agar dapat menjalani proses hukum secara baik. Siti Ambar
Fathonah, wakil bupati, berdasarkan SK tersebut, menggantikan
untuk sementara waktu sebagai pelaksana tugas dan kewajiban
sebagai Bupati Semarang. Selama pemberhentian sementara
tersebut, pemerintah kabupaten Semarang menarik kembali
rumah dinas, mobil dinas, dan fasilitas lain, termasuk ajudan
bupati. Atas kesalahan Bambang, majelis hakim memvonisnya
dengan hukuman penjara 2 tahun dipotong masa tahanan,
denda Rp 50 juta subsider 3 bulan, dan harus mengganti
kerugian negara sebesar Rp 321 juta.

7. Taufik Hidayat, Sjamsul Arifin, Sjamsul Qamar, Mahyani


Diris, Hayatus Solohin, dan Sayuti Enggok
Taufik Hidayat, ketua DPRD Banjarmasin bersama 5 orang
terdakwa lainnya diduga telah melakukan korupsi atas pembayaran
premi asuransi pribadi menggunakan dana APBD dari pos tak terduga.
Akibat perbuatan korupsi berjamaah tersebut, negara dirugikan Rp 7,9
miliar. Untungnya dari tangan terdakwa berhasil dikumpulkan uang
sebesar Rp 4,6 miliar yang dapat dikembalikan kepada negara.
Meskipun demikian, Taufik dan kawan-kawan dijatuhi hukuman
penjara 1 tahun oleh pengadilann negeri setempat. Selain itu, mereka
dikenakan denda sebesar Rp 25 juta per orang. Hukuman yang
dijatuhkan kepada enam terdakwa, termasuk ketua DPRD Banjarmasin,
merupakan babak awal dari 17 orang mantan anggota dewan yang
semuanya terlibat dalam kasus korupsi tersebut.

8. Probosutedjo
Pada tanggal 22 April 2003, Majelis Hakim PN Jakpus
menjatuhkan vonis kepada Probosutedjo berupa hukuman
200 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

penjara 4 tahun (Yuwono, 2008: 59). Ia dinyatakan bersalah telah


melakukan tindak pidana korupsi dalam kasus dana reboisasi Hutan
Tanaman Industri (HTI) seluas 50 ribu hektare yang dibangunnya di
Kalimantan. Nilainya mencapai Rp 100,9 miliar. Probo dinilai tidak
memenuhi kewajiban melakukan penanaman di atas lahan proyek
hutan tanaman industri di Kalimantan Selatan sesuai dengan
perjanjian, yaitu seluas 71.000 hektar sebagai realisasi kerja dinilai
melanggar perjanjian, sebab proyek HTI dibiayai oleh negara melalui
dana reboisasi, namun dari survei ditemukan lahan terbuka tidak
ada tanamannya seluas 29.675 hektare. Dana yang tidak terpakai,
oleh Probosutedjo disimpan dalam bentuk deposito di Bank Exim
dan Bank Jakarta. Kenakalan Probo bertambah dengan menjual
saham HTI kepada pihak asing, yaitu PT. Antof Singapore Ltd., dan
Shining Spring Resources, tanpa mengembalikan dulu dana milik
negara. Karena perbuatannya, negara dirugikan Rp 100,9 miliar.
Atas kesalahannya, Probo diganjar hukuman penjara 4 tahun,
ditambah membayar denda Rp 30 juta.

9. Harini Wijoso
Harini Wijoso dinyatakan bersalah karena melakukan tindak
pidana korupsi dengan menyuap lima pegawai Mahkamah Agung,
yaitu Pono Waluyo, Sudi Ahmad, Sriyadi, Malam Pagi Sinuhadji, dan
Suhartoyo, sebesar Rp 5 miliar. Uang tersebut berasal dari
Probosutedjo, dimaksudkan untuk dapat mengubah keputusan
hakim atas hukuman yang dijatuhkan kepada Probosutedjo. Harini
dinyatakan secara sah bersalah karena berdasarkan pasal 5 ayat
(1) huruf a, pasal 6 ayat (1) huruf a, pasal 13 dan 15 UU Nomor
31 Tahun 1999 juncto UU Nomor 20 Tahun 2001, telah berusaha
memengaruhi para penyelenggara negara dengan cara memberi
Pendidikan Antikorupsi 201

hadiah kepada pejabat atau penyelenggara negara tersebut. Atas


kesalahan Harini, Majelis Hakim menjatuhkan vonis 4 tahun penjara
kepada Harini dan denda Rp 150 juta subsider 6 bulan kurungan.

10. Roesdihardjo dan Arihken Tarigan


Roesdihardjo adalah mantan Duta Besar RI untuk Malaysia,
sedangkan Ahriken adalah mantan Kepala Bidang Imigrasi KBRI
Kuala Lumpur. Mereka berdua didakwa bersekongkol melakukan
tindakan pungli dalam pengurusan keimigrasian WNI semenjak
tahun 2004. Pungli yang dilakukan oleh Roesdihardjo dan Ahriken
bermula dari ketika Ahriken memberikan informasi kepada
Roesdihardjo bahwa sejak tahun 1999 dalam pengurusan
keimigrasian WNI diterapkan tarif ganda berdasarkan SK Nomor
021/SK-DB/0799 tertanggal 20 Juli 1999. Sejak itulah, WNI yang
mengurus surat keimigrasian dikenakan tarif lebih tinggi, sedangkan
yang disetor ke kas negara sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak
(PNBP) lebih rendah sesuai dengan tarif aslinya. Uang sisa dari
pembayaran pengurusan surat keimigrasian tidak disetor ke negara,
tetapi digunakan oleh dua orang tersebut. Menurut penuturan
Ahriken, dari hasil pungli tersebut, setidaknya Roesdihardjo dapat
mengantongi uang sebesar Rp 100 juta per bulan.
Majelis hakim menyatakan bahwa keduanya terbukti bersalah
melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam pasal 3
dan 55 ayat (1) ke-1 UU Nomor 31 Tahun 1999 juncto UU Nomor 20
tahun 2001 serta pasal 64 KUHP. Sampai dengan bulan Mei 2005,
Roesdihardjo telah mengantongi uang hasil pungli sebesar Rp 815,6
juta (Yuwono, 2008: 97). Atas kesalahan tersebut, Roesdihardjo
dijatuhi hukuman 2 tahun penjara, denda Rp 100 juta subsider dua
bulan kurungan, dan wajib membayar uang pengganti sebesar
202 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

Rp 815,6 juta. Sementara itu, Ahriken dijatuhi hukuman penjara


4 tahun, denda Rp 200 juta subsider 3 bulan kurungan, dan
diwajibkan membayar uang pengganti sebesar Rp 6,95 miliar.

11. Rokhmin Dahuri


Rokhmin Dahuri, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan
periode 2001-2004, ditahan karena terbukti secara sah telah
melakukan pungutan tidak sah selama kepemimpinannya. Dana
tidak sah dikumpulkan melalui 2 rekening Departemen Kelautan
dan Perikanan (DKP) sebesar Rp 31 miliar, yakni Rp 12 miliar
dipungut dari internal DKP dan Rp 19,7 miliar dari pihak
eksternal (Yuwono, 2008: 114). Atas kesalahannya, Rokhmin
Dahuri dijatuhi hukuman penjara 7 tahun.

12. Hendy Boedoro


Mantan Bupati Kendal ini dihukum penjara selama 7 tahun
karena terbukti melakukan korupsi APBD kabupaten Kendal
tahun 2003-2005, yang merugikan keuangan negara (Konstan,
2012). Selain dipenjara, Hendy juga diwajibkan membayar uang
pengganti kerugian keuangan negara sebesar Rp 13 miliar.

13. Miranda Goeltom


Miranda Goeltom atau nama lengkapnya adalah Miranda Swaray
Goeltom adalah mantan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, yang
juga guru besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Miranda yang
ditahan KPK dan dijadikan tersangka sejak 26 Januari 2012, diduga turut
membantu Nunun Nurbaetie menyuap sejumlah anggota parlemen
dengan traveller’s cheque. Tujuannya adalah agar Miranda terpilih
sebagai Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia. Nunun sendiri telah
dinyatakan terbukti bersalah dan divonis hakim
Pendidikan Antikorupsi 203

dengan hukuman penjara dua setengah tahun (Gatra, 2012).


Meskipun berdalih tidak mengulangi perbuatan, tidak
menghilangkan barang bukti, dan tidak melarikan diri, Miranda
tidak bisa mengelak dari dakwaan karena pada tahun 2011,
sebanyak 26 anggota DPR dari Fraksi PDIP, Golkar, PPP, dan TNI/
Polri telah dinyatakan terbukti bersalah oleh hakim karena
menerima suap berkaitan dengan kasus Miranda (Gatra, 2012).

14. Satono
Satono adalah Bupati Lampung Timur nonaktif, yang divonis
hakim 15 tahun penjara. Pelaku dinyatakan bersalah, karena telah
melakukan tindak pidana korupsi APBD kabupaten Lampung Timur
sebesar Rp 119 miliar (Konstan, 2012). Selain dihukum penjara,
Satono juga diwajibkan membayar denda sebesar Rp 500 juta
subsider enam bulan kurungan dan uang pengganti Rp 10 miliar.

15. Mochtar Mohammad


Mochtar Mohammad merupakan wali kota Bekasi nonaktif,
oleh Mahkamah Agung majelis kasasi dinyatakan terbukti
bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama
yang merugikan keuangan negara, sehingga harus mendekam di
hotel prodeo selama enam tahun (Konstan, 2012). Atas
kesalahannya, Mochtar juga diwajibkan membayar denda Rp 300
juta subsider enam bulan kurungan bila denda tersebut tidak
dibayar. Selain itu, Mochtar diwajibkan pula membayar uang
pengganti sebesar Rp 639 juta.

16. M. Yaeni
M. Yaeni adalah ketua DPRD nonaktif kabupaten Grobogan
yang menjadi terdakwa kasus korupsi pemeliharaan mobil
204 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

dinas DPRD. Ia ditahan oleh Kejari Purwodadi pada tanggal 23


Februari 2012 di Lapas Kedungpane Semarang. M. Yaeni diduga
telah memakai Rp 609 juta dari anggaran pemeliharaan mobil
dinas tahun 2005-2006 dan anggaran 2007-2008. Pembelian
asesoris dan perawatan mobil pribadi yang mengantarkan M.
Yaeni ke Lapas Kedungpane diduga menggunakan anggaran
DPRD Grobogan. BPKP Jateng menghitung kerugian negara
kurang lebih Rp 1,95 miliar.

17. Soemarmo
Soemarmo adalah wali kota Semarang yang disangka telah
melakukan penyuapan terhadap anggota DPRD kota Semarang,
dengan tujuan untuk memperlancar pembahasan RAPBD kota
Semarang tahun 2012 (Konstan, 2012). Atas dugaan kesalahan
tersebut, Soemarmo ditahan oleh KPK di rumah tahanan KPK di
Jakarta. Selain Soemarmo, ditahan pula mantan Sekda Semarang
Akhmad Zaenuri dan dua anggota DPRD, Agung Purna Sarjono
dan Sumartono.

18. Wa Ode Nurhayati


Wa Ode Nurhayati, politikus dari Partai Amanat Nasional
dituntut penjara 14 tahun, karena telah menerima uang suap
dari Fahd A. Rafiq, ketua Angkatan Muda Partai Golkar dan
dituntut 10 tahun penjara karena melakukan pencucian uang
sebesar Rp 50,5 miliar di rekeningnya sendiri (Tempo, 2012).

19. Muhamad Nazaruddin


Muhamad Nazaruddin adalah mantan bendahara DPP
Demokrat di bawah kepemimpinan Anas Urbaningrum. Ia
dinyatakan bersalah oleh majelis hakim Pengadilan Tipikor atas
Pendidikan Antikorupsi 205

kasus suap Wisma Atlet, sehingga ia dijatuhi hukuman 4 tahun


10 bulan penjara serta denda Rp 200 juta subsider 4 bulan
kurungan. Melalui Nazaruddin inilah kasus proyek Hambalang
terkuak. Tidak hanya ia dan Angie yang dihukum. Istrinya,
Neneng Sri Wahyuni serta mantan Menpora Andi Malarangeng
dan Anas Urbaningrum mantan ketua DPP Demokrat juga ikut
tersandung karena kasus proyek Hambalang.

20. Angelina Sondakh


Angelina Sondakh (Angie) adalah anggota DPR dari fraksi
Demokrat, yang dijatuhi hukuman penjara 4,5 tahun oleh
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta pada Januari 2013. Dia
dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan menerima suap
dari perusahaan terdakwa suap Wisma Atlet SEA Games
Muhammad Nazaruddin, Rp 12,5 miliar, karena mengupayakan
alokasi anggaran proyek di dua kementerian tersebut. Angie
diwajibkan membayar denda Rp 500 juta subsider enam bulan
kurungan. Selain itu, Angie juga diwajibkan membayar uang
pengganti sebesar Rp 12 miliar dan USD 2.000.

21. Lukman Abas


Lukman Abas adalah mantan Kepala Dinas Pemuda dan
Olahraga (Dispora) Riau, dituntut hukuman 8 tahun penjara dalam
persidangan tindak pidana korupsi di Pengadilan Negeri Pekanbaru
pada hari Kamis, tanggal 21 Februari 2013. Atas kesalahannya,
Lukman juga diwajibkan membayar denda Rp 300 juta subsider
kurungan selama 4 bulan (Kompas, 22 Februari 2013). Hukuman
tersebut pantas diterima Lukman, karena ia memiliki peran besar
dalam kasus dugaan suap Pekan Olahraga Nasional sebesar Rp
206 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

900 juta. Uang tersebut digunakan untuk menyuap anggota


DPRD dengan maksud memuluskan revisi Perda Riau Nomor 6
Tahun 2010 dan Perda Nomor 5 Tahun 2008 tentang
Penambahan Anggaran Pembangunan Arena PON.
Jumlah tersangka korupsi yang berhasil ditangkap dan diseret
KPK ke meja hijau tentu lebih banyak dari yang telah ditulis di atas,
mulai dari pejabat tingkat atas hingga pegawai level bawah. Mantan
Menpora, Andi Malarangeng dan Anas Urbaningrum, ketua DPP
Partai Demokrat, disebut-sebut terlibat dalam proyek Hambalang
yang penuh dengan aroma korupsi. Karena dijadikan tersangka oleh
KPK, Andi Malarangeng mengundurkan diri sebagai Menpora;
sedangkan Anas Urbaningrum menyatakan mundur sebagai ketua
Partai Demokrat sesaat setelah ia dinyatakan sebagai tersangka.
Kolega Anas, ketua Partai Keadilan Sejahtera, Lutfi Hasan, juga
diselidiki oleh KPK karena diduga melakukan korupsi impor daging
sapi. Atas dugaan tersebut, Lutfi Hasan mengundurkan diri dari
posisinya sebagai ketua PKS. Demikian pula, Inspektur Djoko Susilo,
petinggi POLRI, dijadikan tersangka atas dugaan korupsi pengadaan
mesin simulator kemudi untuk SIM (Tempo, 2012). Atas
kesalahannya, Djoko Susilo diberhentikan dari tugasnya dan
beberapa aset miliknya yang ditengarai hasil korupsi disita oleh KPK.

Hampir semua lapisan, instansi pemerintah, swasta, di dalam


negeri maupun di luar negeri tidak luput dari bidikan KPK. Bahkan
Aulia Pohan, pejabat Bank Indonesia yang juga besan Presiden SBY
berhasil dijebloskan ke penjara. Ini artinya, KPK mampu menembus
dinding tebal hukum untuk memasukkan para pelaku korupsi siapa
pun dia ke balik jeruji besi. Masa reformasi di mana KPK menjadi
Pendidikan Antikorupsi 207

salah satu pengawalnya, berhasil menjungkirbalikkan pandangan


pelaku korupsi bahwa di negeri Indonesia saat ini koruptor bebas
berkeliaran. KPK berhasil menjebol pandangan tersebut,
sehingga di negeri ini tidak ada lagi orang yang kebal hukum.

F. Rangkuman

Setiap negara di dunia memiliki suatu komisi atau badan yang


bertugas melakukan pemberantasan korupsi. Beberapa lembaga
antikorupsi yang sukses, seperti ICAC di Hongkong dan lembaga
antikorupsi di Denmark, Finlandia, Selandia Baru, dan Singapura,
terbukti mampu menekan angka korupsi. Bahkan negara-negara
yang disebut tersebut memiliki indeks persepsi yang bagus. Itu
artinya, korupsi di negara-negara tersebut tergolong rendah.
Indonesia memiliki lembaga antikorupsi, yang disebut
dengan Komisi Pemberantasn Korupsi (KPK). Lembaga ini diatur
dalam Undang-undang Nomnor 20 Tahun 2002. Dalam pasal 3
UU Nomor 30 Tahun 2002, KPK berkedudukan sebagai lembaga
negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya
bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan
manapun. KPK dibentuk dengan tujuan untuk meningkatkan
daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak
pidana korupsi. Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya,
KPK berasaskan pada nilai-nilai kepastian hukum, keterbukaan,
akuntabilitas, kepentingan umum, dan proporsionalitas.
Berdasarkan kedudukannya, KPK mempunyai lima tugas
pokok, yaitu: (1) koordinasi dengan instansi yang berwenang
melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi, (2) supervisi
terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan
208 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

tindak pidana korupsi, (3) melakukan penyelidikan, penyidikan,


dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi, (4) melakukan
tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi, dan (5)
melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan
negara.
Sejak kelahirannya hingga saat ini, KPK telah berhasil
melakukan tugas memberantas korupsi. Miliaran rupiah uang hasil
korupsi berhasil disita dari para koruptor dan dikembalikan kepada
negara. Para koruptor yang berhasil ditangkap dan dijebloskan ke
penjara sudah banyak. Mereka tidak hanya berasal dari kalangan
partai politik dan para pengusaha, tetapi juga para pejabat di
eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Jika pada masa orde baru tabu
untuk menyidik koruptor dari kalangan pejabat, pada masa
reformasi sejak kehadiran KPK, banyak tahanan dan tersangka
korupsi yang berasal dari pejabat tingkat tinggi, seperti menteri,
anggota parlemen, jaksa, hakim, gubernur, bupati, dan wali kota.
Kehadiran KPK meskipun banyak yang menyangsikan
kemampuannya, tetap diperlukan oleh negara ini, guna
memberikan pemantik api bagi gerakan melawan korupsi betapa
pun kecilnya.
BAB IX
PARTISIPASI MASYARAKAT
DALAM
PEMBERANTASAN KORUPSI

K PK menyadari bahwa sumber daya dan infrastruktur yang


mereka miliki tidak memungkinkan untuk menggarap semua kasus
korupsi yang terjadi di berbagai wilayah di Indonesia. Jumlah hakim
pengadilan khusus tindak pidana korupsi juga relatif sangat kurang.
Kondisi ini tentu berimplikasi pada sedikitnya kasus korupsi yang
dapat ditangani oleh KPK dibandingkan jumlah kasus yang masuk ke
KPK atau jumlah pengaduan dari masyarakat. Kinerja KPK tahun
2008 menunjukkan hal ini. Pengaduan dari masyarakat mengenai
korupsi ada 8.000 kasus, yang diselidiki 70 kasus dengan
penuntutan 7 kasus diputuskan mempunyai kekuatan hukum tetap
dan 21 kasus telah dieksekusi (Fahmi, 2009:17). Dari kasus yang
berhasil ditangani KPK tersebut tidaklah sebanding dengan jumlah
kasus yang masuk ke KPK. Itu artinya, kepercayaan masyarakat
terhadap KPK cukup tinggi terlihat dari jumlah kasus yang cukup
besar, tetapi di sisi lain sumber daya KPK yang relatif kecil belum
mampu menangani kasus yang banyak tersebut. Karena kondisi
inilah, dalam bidang penindakan, KPK memilih untuk
mengefektifkan koordinasi dan supervisi dengan kejaksaan dan
kepolisian untuk memastikan bahwa penyelidikan, penyidikan,

209
210 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

dan penuntutan telah berjalan sebagaimana mestinya (Fahmi,


2009: 18). Namun dalam hal melakukan pencegahan korupsi,
KPK menyadari tidak mampu melakukannya sendirian. Itulah
sebabnya, KPK harus menggandeng tangan semua komponen
bangsa ini, terutama dari kalangan swasta dan masyarakat.

A. Hak dan Tanggung Jawab Masyarakat

Partisipasi masyarakat sangat diperlukan dalam upaya


pemberantasan korupsi. Sebagai pihak eksternal, kehadiran
masyarakat sangat dibutuhkan, sebab biasanya mata luar lebih
awas daripada mata yang ada di dalam. Oleh karena itu,
pemberdayaan masyarakat merupakan strategi kunci bagi upaya
pemberantasan korupsi (Sudjana, 2008: 168). Masyarakat yang
berdaya dapat melakukan kontrol secara efektif terhadap lembaga
negara yang bertugas memberantas korupsi. Bahkan masyarakat
dapat menjadi mitra strategis bagi lembaga antikorupsi dalam
melakukan kegiatan pencegahan dan penindakan terhadap pelaku
korupsi. Mengapa masyarakat perlu dilibatkan dalam upaya
pemberantasan korupsi. Hal ini beralasan, karena masyarakat pun
memiliki kontribusi dan memberikan peluang bagi tumbuh suburnya
korupsi. Seperti dikatakan Pope (2007: 59), kegiatan-kegiatan publik
tidak dilakukan dalam situasi vakum. Masyarakatlah yang sering
memberi suap. Titik singgung antara sektor swasta dan sektor publik
juga sering menjadi tempat terjadinya korupsi dan suap-menyuap.
Contoh yang paling telanjang adalah penyuapan yang dilakukan
oleh pengendara motor atau mobil kepada polisi lalu lintas ketika
mereka melakukan pelanggaran lalu lintas. Upaya antikorupsi tanpa
melibatkan masyarakat, akan
Pendidikan Antikorupsi 211

sia-sia karena masyarakat merupakan salah satu pendukung yang


paling berpotensi dan ampuh dalam memberantas korupsi.
Itulah sebabnya, pemerintah juga memiliki kewajiban turut
memberdayakan masyarakat agar mereka semakin sadar dan
tidak terlibat korupsi (Sudjana, 2008: 171).
Partisipasi atau keikutsertaan masyarakat dalam upaya
pemberantasan korupsi memiliki landasan hukum yang jelas.
Partisipasi tersebut tidak hanya diatur dalam UU Korupsi, tetapi
juga diatur dalam UU tentang Penyelenggara Negara. Dalam
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara
Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, Dan
Nepotisme dijelaskan bahwa peran serta masyarakat dalam
penyelenggaraan negara merupakan hak dan tanggung jawab
masyarakat untuk ikut mewujudkan penyelenggara negara yang
bersih. Dalam pasal 9 ayat (1) UU tersebut disebutkan bahwa
peran serta masyarakat untuk mewujudkan penyelenggara
negara yang bersih diwujudkan dalam bentuk:
1. Hak mencari, memperoleh, dan memberikan informasi
tentang penyelenggara negara;
2. Hak untuk memperoleh pelayanan yang sama dan adil dari
penyelenggara negara;
3. Hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung
jawab terhadap kebijakan penyelenggara negara;
4. Hak memperoleh perlindungan hukum dalam hal:
melaksanakan haknya sebagaimana dimaksud dalam nomor
1, 2, dan 3 serta diminta hadir dalam proses penyelidikan,
penyidikan, dan di siding pengadilan sebagai saksi pelapor,
saksi, atau saksi ahli, sesuai dengan ketentuan peraturan
212 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

perundang-undangan yang berlaku (Direktorat Pembinaan


Jaringan Kerjasama Antar Komisi dan Instansi KPK, 2006: 156).

Dalam kaitannya dengan upaya pemberantasan korupsi,


peran serta masyarakat diatur lebih lanjut dalam Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi. Peran tersebut diwujudkan dalam bentuk:
1. Hak mencari, memperoleh, dan memberikan informasi
adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi;
2. Hak untuk memperoleh pelayanan dalam mencari,
memperoleh dan memberikan informasi adanya dugaan
telah terjadi tindak pidana korupsi kepada penegak hukum
yang menangani perkara tindak pidana korupsi;
3. Hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung
jawab kepada penegak hukum yang menangani perkara
tindak pidana korupsi;
4. Hak untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang
laporan yang diberikan kepada penegak hukum dalam waktu
paling lama 30 (tiga puluh) hari;
5. Hak untuk memperoleh perlindungan hukum dalam hal: (a)
melaksanakan haknya sebagaimana dimaksud dalam angka
1, 2, 3, dan (b) diminta hadir dalam proses penyelidikan,
penyidikan, dan di siding pengadilan sebagai saksi pelapor,
saksi, atau saksi ahli, sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku (KPK, t.th.: 67).

Peran serta masyarakat dalam pemberantasan korupsi


diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun
2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat Dan
Pendidikan Antikorupsi 213

Pemberian Penghargaan Dalam Pencegahan Dan Pemberantasan


Tindak Pidana Korupsi. Dalam PP tersebut, yang dimaksud peran
serta masyarakat adalah peran aktif perorangan, organisasi
masyarakat, atau lembaga swadaya masyarakat dalam
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi.
Menurut PP tersebut, setiap orang, organisasi masyarakat, atau
lembaga swadaya masyarakat berhak mencari, memperoleh, dan
memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana
korupsi. Masyarakat juga berhak dan bertanggung jawab
menyampaikan saran dan pendapat kepada penegak hukum atau
KPK mengenai adanya tindak pidana korupsi. Penyampaian
informasi, saran, dan pendapat atau permintaan informasi harus
dilakukan secara bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku, norma agama, kesusilaan, dan
kesopanan. Informasi, saran, atau pendapat dari masyarakat harus
disampaikan secara tertulis, disertai dengan: (a) data mengenai
nama dan alamat pelapor, pimpinan organisasi masyarakat, atau
pimpinan lembaga swadaya masyarakat dengan melampirkan foto
kopi kartu tanda penduduk atau identitas diri lain, (b) keterangan
mengenai dugaan pelaku tindak pidana korupsi dilengkapi dengan
bukti-bukti permulaan (KPK, t.th.: 120). Setiap informasi, saran, atau
pendapat dari masyarakat harus diklarifikasi dengan bukti-bukti
permulaan.
Ketentuan di atas menyangkut partisipasi masyarakat dalam
hal mencari, memperoleh, dan memberikan informasi, saran, dan
pendapat tentang dugaan adanya tindak pidana korupsi. Ketentuan
mengenai hak dan tanggung jawab masyarakat dalam memperoleh
pelayanan dan jawaban dari penegak hukum, diatur dalam pasal
214 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

4 PP tersebut. Dalam pasal 4 tersebut diatur bahwa setiap orang,


organisasi masyarakat, atau lembaga swadaya masyarakat berhak
memperoleh pelayanan dan jawaban dari penegak hukum atau KPK
atas informasi, saran, atau pendapat yang disampaikan kepada
penegak hukum atau komisi. Penegak hukum atau komisi wajib
memberikan jawaban secara lisan atau tertulis atas informasi,
saran, atau pendapat dari setiap orang, oranisasi masyarakat, atau
lembaga swadaya masyarakat dalam waktu paling lambat 30 (tiga
puluh) hari terhitung sejak tanggal informasi, saran atau pendapat
tersebut diterima. Dalam hal tertentu, penegak hukum atau komisi
dapat menolak memberikan isi informasi atau memberikan jawaban
atas saran atau pendapat yang disampaikan perorangan, organisasi
masyarakat, atau lembaga swadaya masyarakat, sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Setiap orang, organisasi masyarakat, atau lembaga swadaya
masyarakat dalam partisipasinya berhak atas perlindungan hukum,
baik mengenai status hukum maupun rasa aman. Perlindungan
mengenai status hukum tersebut tidak diberikan apabila dari hasil
penyelidikan atau penyidikan terdapat bukti yang cukup, yang
memperkuat keterlibatan pelapor dalam tindak pidana korupsi yang
telah dilaporkannya. Perlindungan hukum juga tidak diberikan
tatkala pelapor dikenakan tuntutan dalam perkara lain. Namun
demikian, kerahasiaan dan rasa aman diberikan kepada pelapor
yang murni bersih dari perkara korupsi.
Dalam pasal 6 ayat (1) dinyatakan, “penegak hukum atau
komisi wajib merahasiakan kemungkinan dapat diketahuinya
identitas pelapor atau isi informasi, saran, atau pendapat yang
disampaikan” (KPK, t.th.: 121). Selanjutnya dalam ayat
Pendidikan Antikorupsi 215

(2) disebutkan, “apabila diperlukan, atas permintaan pelapor,


penegak hukum atau komisi dapat memberikan pengamanan
fisik terhadap pelapor maupun keluarganya.”
Agar peran serta masyarakat berjalan efektif, maka
partisipasi tersebut harus dilakukan dengan berbagai cara,
misalnya dengan menciptakan koalisi strategis antar-elemen
masyarakat. Sejumlah tokoh masyarakat dan figur dari berbagai
kalangan yang berpengaruh, seperti pekerja seni, artis, musisi,
guru, dosen, pekerja sosial, pendeta, ulama, mahasiswa, dan
tokoh-tokoh masyarakat lainnya dapat bekerjasama untuk
menjadi kekuatan penekan (pressure power) terhadap
keseriusan pemerintah dalam memberantas korupsi atau
setidaknya sebagai kekuatan sipil dalam mengembangkan benih-
benih perilaku antikorupsi yang dalam jangka panjang dapat
menciptakan generasi dan masyarakat berbudaya antikorupsi.

B. Pemberian Penghargaan

Sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 31 Tahun


1999, pemerintah memberikan penghargaan kepada anggota
masyarakat yang telah berjasa membantu upaya pencegahan,
pemberantasan, atau pengungkapan tindak pidana korupsi
(Direktorat Pembinaan Jaringan Kerjasama Antar Komisi dan
Instansi KPK, 2006: 149).
Berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 71
Tahun 2000, setiap orang, organisasi masyarakat, atau lembaga
swadaya masyarakat yang telah berjasa dalam usaha membantu
upaya pencegahan atau pemberantasan tindak pidana korupsi
berhak mendapat penghargaan. Penghargaan tersebut berupa
216 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

premi atau piagam. Dalam pasal 9 Peraturan Pemerintah tersebut,


besar premi ditetapkan paling banyak sebesar dua permil dari nilai
kerugian keuangan negara yang dikembalikan. Premi diberikan
kepada pelapor setelah putusan pengadilan yang memidana
terdakwa memperoleh kekuatan hukum tetap. Penyerahan premi
dilakukan oleh Jaksa Agung atau pejabat yang ditunjuk. Sementara
itu, piagam diberikan kepada pelapor setelah perkara dilimpahkan
ke Pengadilan Negeri (pasal 10). Penyerahan piagam tersebut
dilakukan oleh penegak hukum atau KPK.
Pemberian penghargaan kepada masyarakat yang berjasa
baik dalam kegiatan penindakan maupun pencegahan, tentu saja
tidak terbatas pada apa yang telah diatur dalam Peraturan
Pemerintah tersebut di atas. KPK bisa mengembangkan 1.001
cara untuk mendorong masyarakat agar membantu pemerintah
dan KPK dalam memberantas korupsi. Misalnya dengan
memberikan penghargaan melalui ajang KPK Award. Kategori
penghargaan dapat bervariasi, misalnya kategori anggota Dewan
terbersih, menteri terbersih, gubernur terbersih, bupati atau wali
kota terbersih, guru terjujur, dosen terjujur, pengusaha terjujur,
LSM antikorupsi tergiat, pokja antikorupsi perguruan tinggi
tergiat, dan sebagainya. Dengan pemberian penghargaan
tersebut, akan mendorong mereka yang bekerja tanpa pamrih
tersebut untuk berbuat lebih baik dan lebih banyak lagi kepada
nusa, bangsa, dan negara. Yang paling penting pula adalah sel-sel
antikorupsi tetap hidup dan bermutasi lebih banyak lagi
menyebarkan virus antikorupsi di semua lapisan masyarakat.
Pendidikan Antikorupsi 217

C. Rangkuman

Korupsi terjadi di berbagai bidang dan berbagai level


masyarakat, sehingga dalam pemberantasannya tidak hanya
menjadi tanggung jawab pemerintah, utamanya lembaga penegak
hukum dan keadilan, tetapi juga harus didukung oleh seluruh
lapisan masyarakat. Masyarakat dapat menjadi mitra strategis bagi
lembaga antikorupsi dalam melakukan kegiatan pencegahan dan
penindakan terhadap pelaku korupsi. Masyarakat perlu dilibatkan
dalam upaya pemberantasan korupsi, karena masyarakat memiliki
kontribusi dan memberikan peluang bagi tumbuh suburnya korupsi.
Hal ini dapat dipahami karena masyarakat juga menjadi pelaku dan
lahan subur bagi tumbuh dan berkembangnya korupsi. Tidak jarang
masyarakatlah yang sering memberi suap. Titik singgung antara
sektor swasta dan sektor publik juga sering menjadi tempat
terjadinya korupsi dan suap-menyuap. Contoh yang paling telanjang
adalah penyuapan yang dilakukan oleh pengendara motor atau
mobil kepada polisi lalu lintas ketika mereka melakukan
pelanggaran lalu lintas. Upaya antikorupsi tanpa melibatkan
masyarakat, akan sia-sia karena masyarakat merupakan salah satu
pendukung yang paling berpotensi dan ampuh dalam memberantas
korupsi. Itulah sebabnya, pemerintah juga memiliki kewajiban turut
memberdayakan masyarakat agar mereka semakin sadar dan tidak
terlibat korupsi.
BAB X
BELAJAR DARI ORANG-
ORANG BERSIH

D alam bab ini akan dipaparkan profil orang-orang bersih atau


tokoh-tokoh pemerintahan yang dapat diteladani, tidak dalam arti
apakah mereka benar-benar bersih dari tindakan korupsi dan
perilaku koruptif, tetapi utamanya dilihat dari sejauhmana peran
mereka sebagai pemimpin daerah atau masyarakat dalam
memberikan pelayanan kepada masyarakat. Tokoh-tokoh yang
dapat diteladani, di antaranya adalah Joko Widodo, mantan wali
kota Surakarta; Tri Rismaharini, wali kota Surabaya; Yusuf Wally,
bupati Keerom; La Tinro La Tunrung, bupati Enrekang; Amran Nur,
bupati Sawahlunto; Muda Mahendrawan, bupati Kubu Raya; Abdul
Kholiq Arif, bupati Wonosobo; dan Herman Sutrisno, wali
kota Banjar.

A. Joko Widodo (Jokowi)

Joko Widodo atau yang akrab dipanggil Jokowi, lahir di Solo


Jawa Tengah pada tanggal 21 Juni 1961. Jokowi bukan berasal
dari keluarga kaya atau keturunan pejabat. Masa kecilnya penuh
dengan perjuangan. Semula orang tua Jokowi tinggal di kampung
Srambatan Banjarsari Solo, tetapi karena pada tahun 1965
Bengawan Solo meluap dan merendam hampir sepertiga wilayah

218
Pendidikan Antikorupsi 219

Solo termasuk kediaman orang tua Jokowi, maka Jokowi beserta


orang tua pindah ke daerah Pasar Kayu dan Bambu di Gilingan
Banjarsari Solo. Dari sinilah orang tua Jokowi memulai usaha
berjualan kayu (Wijoyo, 2012).
Ketika Jokowi duduk di bangku kelas IV SD, keluarganya pindah
numpang di rumah keluarga Miyono, kakak kandung ibunda Jokowi.
Namun genap satu tahun, keluarga Jokowi pindah lagi ke rumah
baru di Jalan Ahmad Yani dekat Manahan Solo. Keluarga Jokowi
hidup pas-pasan. Ayahnya, Notomiharjo menghidupi keluarganya
dari usaha mebel. Dari orang tuanya inilah Jokowi belajar tentang
perkayuan, yang kelak membawanya menjadi eksportir mebel.
Untuk mengikuti jejak ayahnya, selepas SMA Jokowi
meneruskan kuliah di UGM Yogyakarta dengan mengambil
program studi Teknologi Kayu di Fakultas Kehutanan. Sebelum
menjadi eksportir kayu, Jokowi sempat bekerja di PT. Kertas Kraft
Aceh. Sepulang dari Aceh, Jokowi bekerja pada perusahaan kayu
milik pamannya. Di CV. Roda Jati, perusahaan kayu milik
pamannya ini, Jokowi langsung diangkat menjadi direktur.
Setelah satu tahun bekerja di perusahaan pamannya, Jokowi
membuka usaha sendiri. Berbekal modal Rp 80 juta dan mobil
pick-up pinjaman pamannya Jokowi memulai usaha kayu. Jokowi
mendirikan CV. Rakabu untuk memayungi usaha permebelannya
(Thayrun, 2012). Awal mulanya, ia hanya mempunyai satu pabrik
dengan sedikit karyawan. Setelah jatuh bangun, usaha Jokowi
berkembang. Pabriknya yang semula hanya 1 berkembang
menjadi 8; dan jumlah karyawan yang semula hanya 3 orang
meningkat menjadi 1200 orang (Thaiyun, 2012). Delapan pabrik
itu terletak di Surakarta, Sragen, Boyolali, dan Sukoharjo.
220 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

Berkat bantuan dan fasilitasi dari Perusahaan Gas Negara,


Jokowi berhasil mengekspor mebel ke berbagai negara, seperti
Singapura, dan beberapa negara di Eropa, Amerika, dan Timur
Tengah. Kesuksesannya sebagai eksportir mebel, membuat
Jokowi dipercaya menjadi ketua Asosiasi Mebel dan Industri
Kerajinan Indonesia (Asmindo) Surakarta periode 2002-2007.
Kesuksesan Jokowi membuat DPC PDIP meminang dirinya
untuk berpasangan dengan FX. Hadi Rudyatmo sebagai calon wali
kota dan wakil wali kota Surakarta untuk maju dalam pilkada tahun
2005. Jokowi bersedia menerima pinangan tersebut, setelah ibunya
memberi restu. Jika pasangan lain berlomba-lomba memasang
gambar billboard sebanyak-banyaknya, ia dan Hadi Rudyatmo
berkampanye secara sederhana yaitu mendatangi warga kota Solo
(door to door) dengan menawarkan visi dan misinya, utamanya visi
ekonomi kerakyatan. Selain itu, pasangan Jokowi dan FX. Hadi
Rudyatmo juga menawarkan tiga hal dalam kampanyenya, yaitu
perbaikan kesehatan, pendidikan dan penataan kota (Taufani,
2012). Dalam pilkada tersebut, pasangan Jokowi dan FX. Hadi
Rudyatmo berhasil menjadi pemenang dengan perolehan suara
lebih dari 37% (Wijoyo, 2012; Thaiyun, 2012).

Kemenangan Jokowi ini tidak disangka-sangka, mengingat


Jokowi tidak mempunyai persiapan apa pun untuk menjadi wali
kota. Maju sebagai wali kota saja karena ia didorong teman-
temannya di Asmindo. Baginya, menjadi wali kota merupakan
sebuah kecelakaan (Wijoyo, 2012), tetapi tentu merupakan
kecelakaan manis.
Memimpin sebuah kota merupakan hal baru bagi Jokowi.
Pada awal jabatannya, banyak pihak meragukan kemampuannya,
Pendidikan Antikorupsi 221

karena selama ini Jokowi tidak memiliki rekam jejak pada bidang
birokrasi pemerintahan. Kalau dilihat secara fisik pun, pak Jokowi
tidak memiliki postur yang meyakinkan sebagai wali kota.
Tubuhnya kurus, kerempeng, dan kering, yang tidak
menunjukkan kewibawaan sama sekali. Bahkan beberapa kali
dalam sebuah acara, Jokowi mengeluh pada petugas protokoler
dan sekretariat kantor wali kota, karena ia sering tidak
diperlakukan seperti halnya seorang wali kota. Anak buah
Jokowi, yaitu Suryadi yang lebih ganteng, gagah, dan tubuh
atletis, justru yang acap kali diperlakukan seperti seorang wali
kota. Lantaran postur tubuh Suryadi tersebut, tidak jarang tamu
dan warga masyarakat menyalami lebih dulu Suryadi ketimbang
Jokowi, karena mengira Suryadi adalah wali kota Surakarta.
Itulah sebabnya, Jokowi minta agar anak buahnya diganti supaya
tidak menyaingi dirinya sebagai wali kota. “saya senang usul saya
diterima, ajudan saya tidak seganteng saya”, cetus pak Jokowi.
Meskipun semula diragukan kemampuannya, Jokowi
menunjukkan gebrakan luar biasa, yang menjadikan kota
Surakarta menjadi salah satu kota yang diperhitungkan tidak
hanya pada tingkat Indonesia, tetapi juga pada level dunia.
Gebrakan pertama adalah pembenahan sistem pembuatan kartu
tanda penduduk (KTP), yakni dengan melakukan pemangkasan
waktu pembuatan KTP dari dua minggu menjadi hanya satu jam
(Wijoyo, 2012; Taufani, 2012). Pembuatan KTP ini merupakan
program tiga bulan pertama ia memimpin kota Surakarta.
Dalam hal perizinan, Jokowi juga melakukan reformasi, dari
yang semula memakan waktu 6 hingga 8 bulan, diperpendek
menjadi enam hari. Reformasi yang dilakukan Jokowi tidak mudah
222 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

dilakukan. Sikap resisten dan menentang kebijakan tersebut


datang dari lurah, camat, bahkan juga kepala dinas. Lurah dan
camat yang tidak sejalan dengan kebijakan tersebut dicopot oleh
Jokowi. Bahkan di sektor pelayanan perizinan tersebut, Jokowi
juga sempat mengganti kepala dinas hingga dua kali.
Sebagaimana visi dan misinya saat disampaikan dalam
kampanye, Jokowi juga melakukan penataan kota. Belajar dari kota-
kota di Eropa yang pernah dikunjungi Jokowi tatkala melakukan
perjalanan dalam rangka bisnis mebelnya, Jokowi merapikan kota,
memperindah kota dengan taman-taman, menyediakan hotspot di
jalan protokol, dan merelokasi para pedagang kaki lima (PKL) yang
selama ini membuat ruwet dan tidak indah kota Surakarta.
Jokowi terkenal sebagai wali kota pedagang kaki lima (PKL),
karena kedekatannya dengan para pedagang kecil. Aspirasi warga
masyarakat Surakarta agar kota ini bersih dan indah serta bebas
dari PKL, ditanggapi Jokowi dengan kepala dingin. Jokowi memiliki
strategi khusus dalam menata PKL di Surakarra. Tidak seperti halnya
kepala daerah lain yang main gusur dan tidak memedulikan lagi
nasib para PKL, Jokowi menggunakan pendekatan kemanusiaan dan
kebudayaan dalam menangani persoalan PKL. Komunikasi yang
digunakan Jokowi dalam merelokasi PKL adalah lobi meja makan
(Taufani, 2012). Para koordinator PKL Monjari yang akan dipindah
ke Notoharjo diundang dan diajak makan di Loji Gandrung, rumah
dinas wali kota. Hingga pertemuan ke-53, Jokowi belum satu
kalimat pun menyebut tentang relokasi PKL. Baru pertemuan ke-54,
Jokowi mengutarakan niatnya untuk merelokasi PKL Monjari ke
Notoharjo. Di luar dugaan, tidak ada satu pun tokoh PKL yang
menolak keinginan wali kota.
Pendidikan Antikorupsi 223

Relokasi PKL Monjari dilakukan Jokowi dengan sangat


cermat. Semua direncanakan dengan baik, mulai dari
penyusunan rencana induk pengembangan PKL (dalam bentuk
buku panduan), pembangunan gedung pasar Notoharjo yang
akan ditempati PKL, pembangunan prasarana dan sarana pasar,
pembangunan terminal, pembangunan jalan, promosi tempat
berdagang baru, hingga kepindahan PKL yang dilakukan dengan
arak-arakan budaya. Perasaan diuwongke atau diperlakukan
sebagai manusia yang bermartabat dan adanya jaminan ekonomi
dari wali kota, membuat tidak ada satu pun dari 989 PKL yang
dipindah menolak kebijakan wali kota Surakarta.
Keberhasilan relokasi PKL Monumen Banjarsari ke Pasar
Klitikan Notoharjo Semanggi merupakan langkah awal dari
penataan PKL di kota Solo. Bagi Jokowi, keberhasilan penataan
PKL Monumen Banjarsari tidak berarti penataan PKL di kota Solo
telah paripurna, tetapi justru keberhasilan penataan PKL
Monumen Banjarsari dijadikan sebagai momentum, pengalaman,
dan pembelajaran yang berharga dalam menata PKL di tempat
lainnya, yang jumlahnya juga tidak sedikit. Apalagi pemerintah
kota dan masyarakat memiliki tekad yang sama, yaitu ingin
menjadikan kota Solo tetap BERSERI, yakni bersih, sehat, rapi,
dan indah. Komitmen Jokowi, sang wali kota yang
penampilannya sederhana dan penuh kesantunan ini, untuk
tetap membela kepentingan usaha mikro, kecil, dan menengah,
termasuk di dalamnya PKL memberi kontribusi bagi keberhasilan
penataan PKL. Keberpihakan wali kota kepada rakyat kecil,
utamanya para pedagang kaki lima, ditunjukkan secara terang-
terangan, seperti dalam ungkapan berikut.
224 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

“Saya membela PKL, karena mereka merupakan aset ekonomi


bagi kota Solo pak…dengan dididik dan diberdayakan, mereka
akan tumbuh menjadi pengusaha yang tidak kalah hebatnya dari
pengusaha kaya yang memiliki mall-mall di Solo. Saya sendiri
tidak antimall, juga tidak antipengusaha…tetapi kita harus
cermat dalam memberikan izin mendirikan mall…jangan sampai
karenanya, kegiatan ekonomi pedagang kecil mati” (wawancara
dengan Joko Widodo, wali kota Solo, Kamis, 28 April 2011).

Kepemimpinan Jawa yang dihayati Jokowi, diduga


memengaruhi sikapnya terhadap pedagang kaki lima selama ini.
Dalam kepemimpinan Asthabrata, Jokowi termasuk tipe pemimpin
yang berwatak matahari. Matahari diyakini memiliki manfaat yang
besar, sehingga ia diambil sebagai tamsil dalam ajaran Asthabrata
(Suratno, 2006: 79). Sebagai sang surya, matahari menjadi sumber
kehidupan bagi semua makhluk, baik makhluk hidup maupun
makhluk tidak hidup. Pemimpin berwatak matahari memiliki
karakter yang sama dengan matahari, yaitu menerangi dunia,
memberikan kehidupan kepada semua makhluk, sabar dalam
menjalankan tugas, dan ikhlas memberikan miliknya kepada orang
lain (Suratno, 2006: 79).

Penampilannya yang sederhana dan tutur katanya yang


halus, menunjukkan bahwa Jokowi orang yang tidak arogan, sok
kuasa; justru sebaliknya, Jokowi adalah tipe wali kota ideal, yang
kehalusan budi dan kesederhanaannya, patut menjadi teladan
bagi masyarakatnya. Sifat tidak tega melihat rakyatnya
menderita, membuat pak Jokowi dicintai oleh masyarakatnya.
Dalam kaitannya dengan rakyat, pemimpin Jawa juga
memiliki tiga prinsip hidup yang selalu melekat pada dirinya,
yaitu ngayomi, ngayemi, dan ngayani (memberi perlindungan,
Pendidikan Antikorupsi 225

membuat tenteran dan nyaman, serta memberi kesejahteraan) atau


dikenal dengan prinsip 3N. Seseorang dijadikan atau dipilih sebagai
pemimpin, sesuai dengan prinsip 3N di atas, harus mampu
memberikan perlindungan kepada rakyat, siapa pun juga, apakah
mereka rakyat jelata yang tidak memiliki apa-apa hingga rakyat
berada atau mempunyai harta berlebih. Demikian pula, pemimpin
dengan ucapan, sikap, dan perilakunya tidak menyakiti hati rakyat
atau membuat mereka menderita. Justru dengan
kepemimpinannya, rakyat harus dibuat tenteram dan nyaman
hidupnya. Pemimpin Jawa juga harus berjiwa memberi, memiliki
sikap dermawan, peduli kepada rakyatnya, dan tidak senang hatinya
jika rakyatnya hidup dalam penderitaan dan kemiskinan. Apapun
akan dilakukan pemimpin untuk menyenangkan dan membuat
bahagia rakyatnya. Jokowi adalah tipikal pemimpin Jawa yang
njawani, karena mampu menerjemahkan prinsip 3N, dengan
memberikan apa yang terbaik bagi rakyat Solo, khususnya mereka
yang ada pada lapisan menengah ke bawah.
Strategi komprehensif yang dilakukan oleh pemkot Surakarta
dalam menata PKL menunjukkan keberhasilan, terutama dilihat dari
tidak adanya resistensi dari para pedagang, bahkan mereka sangat
antusias merespons kebijakan relokasi yang ditentukan pemkot. PKL
Monjari yang pindah ke pasar Notoharjo Semanggi, merasa dirinya
diuwongke (dimanusiakan), sehingga kepindahannya ke Pasar
Notoharjo Semanggi tidak menimbulkan gejolak. Akseptabilitas yang
tinggi, ditunjukkan oleh ekspresi mereka dalam merespon kebijakan
wali kota, menjadi preseden yang bagus sekaligus bisa menjadi
contoh bagi daerah lain yang memiliki kebijakan dalam penataan
pedagang kaki lima.
226 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

Dari uraian keberhasilan relokasi PKL Monjari ke Notoharjo


Semanggi, dapat disimpulkan bahwa terdapat 3 faktor yang
berkontribusi terhadap keberhasilan penataan PKL Monjari oleh
pemkot Surakarta. Pertama, kepemimpinan wali kota Surakarta
Joko Widodo yang njawani, yang lebih berpihak kepada
kepentingan wong cilik, sehingga ia diterima dengan baik oleh
masyarakat Surakarta, utamanya rakyat kecil. Kedua,
pendekatan kebudayaan (berbasis budaya Jawa) dalam kebijakan
penataan PKL menjadikan apa yang dikehendaki wali kota
Surakarta juga merupakan keinginan PKL, sehingga relokasi ke
Pasar Notoharjo tidak menemui hambatan. Ketiga, relokasi PKL
Monjari ke Pasar Notoharjo berjalan dengan baik, karena adanya
blue print penataan PKL Surakarta, mulai dari sosialisasi sampai
dengan kegiatan relokasi dan pascarelokasi (Handoyo, 2012).
Karena kedekatannya dengan rakyat dan program nyata
yang dapat dirasakan masyarakat, Jokowi dan pasangannya, FX.
Hadi Rudyatmo dalam pemilihan kepala daerah tahun 2010
kembali menang, bahkan dengan jumlah suara yang
mengagumkan, yaitu 90,09% (Thaiyun, 2012).
Jokowi orangnya sederhana dan pekerja keras. Kesederhanaan
Jokowi ditunjukkan tatkala ia harus menginap di hotel bersama
ajudannya, ia tidak memesan dua kamar tetapi justru hanya pesan 1
kamar untuk tidur berdua bersama ajudannya. Tindakan Jokowi ini
dilandasi oleh kesadarannya sebagai pemimpin yang tidak ingin
menghambur-hamburkan uang rakyat.
Ia bukannya pemimpin tanpa prestasi. Berbagai penghargaan telah
ia raih, di antaranya: penghargaan kota ramah anak terbaik dari
Menteri Pemberdayaan Perempuan RI (2006), penghargaan UNICEF
Pendidikan Antikorupsi 227

mengenai perlindungan anak (2006), Jokowi dinobatkan sebagai salah


satu dari 10 tokoh 2008, yakni sebagai pemimpin terbaik versi majalah
Tempo (2008), Surakarta memperoleh penghargaan Indonesia MICE
sebagai kota pariwisata terbaik, penghargaan dari Kementerian
Keuangan atas keberhasilan dalam pengelolaan keuangan terbaik
(2009), penghargaan Manggala Karya Bhakti Husada Arutala dari
Kementerian Kesehatan RI, piala dan piagam penghargaan Citra Bhakti
Abdi Negara dari Presiden (2009), penghargaan Wahana Tata Nugraha
Kencana karena 5 kali berturut-turut sebagai kota tertib berlalu lintas
(2010), penghargaan Bung Hatta Anti Corruption Award dari Bung Hatta
Institut (2010), Surakarta terpilih sebagai tiga besar kota paling bersih
dari korupsi versi Transparency International Indonesia (2010), kota
terbaik penyelenggara layanan Kota Layak Anak (2011), penghargaan
Satya Lencana Pembangunan dan Bhakti Koperasi (2011), Tanda
Kehormatan Bintang Jasa Utama (2011), dan pada tahun 2012 Jokowi
juga terpilih sebagai wali kota terbaik ketiga di dunia, sebuah prestasi
yang mungkin sulit dicapai kepala daerah lainnya di Indonesia.

Jokowi sesungguhnya bukan orang yang ambisius, tetapi


karena banyak pihak mendorongnya untuk maju dalam pemilihan
gubernur DKI Jakarta, akhirnya dengan berbagai pertimbangan, ia
maju berpasangan dengan Ahok yang juga berpengalaman sebagai
seorang kepala daerah. Melalui 2 kali (putaran) pilkada, Jokowi dan
Ahok berhasil mengalahkan incumbent, yaitu Foke. Banyak
pengamat tidak mengira, orang desa dari Solo nglurug ke Jakarta
yang bukan basisnya, berhasil mengalahkan Foke yang saat
pemilihan masih menjabat sebagai gubernur DKI Jakarta. Jokowi
memang benar-benar tokoh fenomenal, karena sudah dua kali ia
mengalahkan incumbent, yakni pertama, ketika memenangkan
228 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

pemilihan wali kota Surakarta, mengalahkan Slamet Suryanto wali


kota sebelumnya dan kedua, mengalahkan Foke gubernur DKI
sebelumnya dalam pemilihan gubernur DKI Jakarta tahun 2012.
Sesuai dengan janjinya dalam kampanye bersama Ahok, pada
awal jabatan sebagai gubernur, Jokowi membuat Kartu Pintar dan
Kartu Jakarta Sehat yang diperuntukkan bagi warga masyarakat
miskin. Tidak tanggung-tanggung, Jokowi sendiri yang membagikan
kartu tersebut. Dari kartu pintar ini, banyak anak-anak dari keluarga
tidak mampu dapat meneruskan pendidikannya. Demikian pula,
berkat Kartu Jakarta Sehat inilah, terjadi lonjakan pasien di rumah
sakit yang ada di Jakarta. Kreativitas pemerintahan Jokowi-Ahok
berlanjut dengan pencanangan layanan 119 di bidang kesehatan,
seperti halnya layanan 911 di Amerika Serikat. Melalui layanan 119
ini, warga masyarakat dapat memperoleh informasi mengenai hal-
hal pokok yang berkaitan dengan layanan kesehatan, misalnya
informasi tentang kamar di rumah sakit tertentu, ambulans, jarak
tempuh, dan lain-lain. Sejak uji coba sistem layanan 119 pada
tanggal 22 Pebruari 2013, call center 119 sudah menerima 2.185
panggilan (Kompas, 2 Maret 2013).
Bukan Jokowi kalau tidak bertindak aneh-aneh dan fenomenal.
Ia juga merancang pembangunan transportasi bawah tanah yang
oleh banyak pihak ditentang, tetapi tetap diteruskan. Pembangunan
monorail yang beberapa waktu sempat tertunda pada masa
pemerintahan gubernur sebelumnya, ia teruskan. Demikian pula, ia
kembangkan pembangunan transportasi air, utamanya untuk
melayani penduduk dari kawasan Marunda. Pada tahun 2012
Jokowi juga melontarkan gagasan aneh, yaitu lelang jabatan lurah
dan camat di DKI Jakarta. Yang tidak kalah mencengangkan
Pendidikan Antikorupsi 229

adalah kebijakan mutasi jabatan. Sebanyak 20 orang pejabat di


lingkungan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dimutasi (The Politic,
2013). Pejabat yang dimutasi di antaranya adalah Ery Basworo,
Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Anas Effendi, wali kota Jakarta
Selatan. Sebelum dimutasi, ada juga pejabat yang mengundurkan
diri, yaitu Novizal, kepala Dinas Perumahan. Apa yang dilakukan
oleh Jokowi, yang terkenal sebagai pemimpin antikorupsi,
barangkali didasari oleh pertimbangan adanya informasi bahwa
Provinsi DKI Jakarta tercatat sebagai daerah yang menempati posisi
pertama adanya dugaan korupsi sebesar 46,7% (The Politic, 2013).
Hal ini beralasan, sebagaimana ditelusuri oleh ICW, ada banyak pos
anggaran dinas di pemerintah Provinsi DKI yang tidak masuk akal.
Sebagai contoh, Dinas Pekerjaan Umum menganggarkan
pemeliharaan flyover sebesar Rp 25 miliar, Dinas Perhubungan
menganggarkan pengadaan busway sebesar Rp 330 miliar, dan
Dinas Perumahan dan Gedung Pemda menganggarkan penataan
ruang gedung DPRD lama sebesar Rp 60 miliar.
Ketika Jakarta dilanda banjir, Jokowi juga tidak canggung
mengunjungi para korban banjir. Dengan berbasah-basah, Jokowi
dengan senyuman yang khas menyapa warga dan membagi-bagikan
beras dan uang kepada para korban. Inilah tipe pemimpin ideal yang
dicintai rakyat. Tidak duduk manis sambil nyeruput teh di kantor
dan tinggal memberi perintah kepada bawahannya. Jokowi bukan
tipe pemimpin ongkang-ongkang dan suka memerintah.

B. Tri Rismaharini

Tri Rismaharini dilahirkan di Kediri, tanggal 20 November 1961.


Risma, panggilan akrab Tri Rismaharini, menjadi wali kota Surabaya
230 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

pada tahun 2010 melalui PDI Perjuangan. Sebelum menjadi wali


kota Surabaya, lulusan S1 dan S2 ITS Surabaya ini, pernah menjadi
Kepala Seksi Tata Ruang dan Tata Guna Tanah Badan Perencanaan
Pembangunan kota Surabaya pada tahun 1997-2000. Tahun 2001
menjadi Kepala Seksi Pendataan dan Penyuluhan Disbang. Tahun
2002 beralih menjadi Kepala Cabang Dinas Pertamanan. Tahun 2002
menjadi Kepala Bagian Bina Bangunan. Tahun 2005 menjadi Kepala
Badan Penelitian dan Pengembangan. Tahun 2005 menjabat
sebagai Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan. Sebelum menjadi
wali kota periode 2010-2015, Tri menjabat sebagai Kepala Badan
Perencanaan Pembangunan kota Surabaya. Risma seorang pekerja
keras. Pukul 05.30 sebelum kasuk kantor, ia menyusuri pelosok
kota. Tidak jarang warga kota, memergokinya sedang memungut
sampah di pinggir jalan atau di pinggir sungai. Ia juga pernah turut
mengatur lalu lintas, ketika jalanan macet. Birokrasi pemerintah ia
rampingkan, misalnya Divisi Kebersihan dan Divisi Pertamanan, ia
satukan menjadi divisi Kebersihan dan Pertamanan.

Untuk mengintensifkan komunikasi dengan warga


masyarakat, Risma membuka saluran komunikasi secara online
dengan warga kota, misalnya dengan dikembangkan program e-
sapawarga, situs yang memuat e-toko dan e-health. Dibukanya
saluran ini membuat banyak warga, termasuk anak sekolah
dapat berkomunikasi dengan wali kota. Berkat ide kreatif ini,
Surabaya dinobatkan sebagai kota berpartisipasi publik terbaik di
kawasan Asia Pasifik pada tahun 2012 (Tempo, 2012).
Selama kepemimpinannya, pertumbuhan ekonomi kota
Surabaya mengalami peningkatan, yakni pada tahun 2007 sebesar
Pendidikan Antikorupsi 231

6,31%, 2008 sempat turun menjadi 6,23%, tahun 2009 turun lagi
menjadi 5,30%, tahun 2010 sejak Risma memimpin, naik drastis
menjadi 7,09% dan tahun 2011 naik lagi menjadi 7,52% (Tempo,
2012). Indeks Pembangunan Manusia Surabaya juga mengalami
kenaikan signifikan, yakni 77,18 pada tahun 2010 menjadi 77,61
pada tahun 2011. Anggaran belanja kota Surabaya juga mengalami
kenaikan, dari 3,75 triliun pada tahun 2011 menjadi 5,16 triliun
pada tahun 2012. Pendapatan asli daerah (PAD) sebagai salah satu
ukuran kinerja wali kota, juga mengalami kenaikan, dari 1,88 triliun
pada tahun 2011 menjadi 2,35 triliun pada tahun 2012.
Keluar masuk wilayah atau blusukan seperti halnya yang
dilakukan Jokowi, juga dilakukan bu Risma. Blusukan ini ia
lakukan di kompleks pelacuran Gang Dolly Surabaya. Hal itu ia
lakukan untuk membujuk para pelacur agar mau beralih profesi.
Berkat kesabaran dan keramahannya, Risma telah berhasil
menutup 22 tempat pelacuran. Mereka yang kehilangan
pekerjaan, dikembalikan ke daerah asalnya dengan diberi
keterampilan dan modal sebesar Rp 3 juta. Sementara itu, warga
masyarakat yang kehilangan rezeki karena tempat pelacuran
ditutup, disiapkan lapangan kerja baru.
Risma terkenal juga sebagai “bu Giman”, yaitu “ibu wali kota
yang gila taman.” Sejak kepemimpinannya, ia telah membangun
ratusan taman kota. Kota menjadi lebih hijau, asri, dan nyaman
untuk tempat berteduh dan beristirahat bagi warga kota. Berkat
dibangunnya taman kota ini, ruang terbuka hijau (RTH) Surabaya
mencapai angka 31,6% melebihi standar RTH yang ditentukan
Kementerian Lingkungan Hidup sebesar 30%. Untuk menunjang
kota yang nyaman ini, Risma membuat kebijakan dengan
232 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

membatasi pertumbuhan industri. Hanya perusahaan yang


berteknologi tinggi, rendah polusi dan ramah lingkungan saja
yang ia beri izin untuk beroperasi. Ia juga menolak pembangunan
jalan tol yang membelah kota Surabaya. Alasannya, takut
menambah ruwet dan macet kota Surabaya.
Gara-gara kebijakan drastis ini, suatu ketika wali kota ramah ini
pernah dimakzulkan oleh tujuh fraksi di DPRD Surabaya, termasuk
PDIP yang mengusungnya menjadi wali kota. Untung saja, Menteri
Dalam Negeri Gamawan Fauzi menolak pemakzulan tersebut.

C. Yusuf Wally

Yusuf Wally adalah bupati Keerom, Papua. Ia dilahirkan 25


Desember 1948 dan menjabat sebagai bupati sejak tahun 2010.
Sebelum menjadi bupati, ia adalah Kepala Dinas Perindustrian
dan Perdagangan Irian Jaya tahun 2002-2003 dan menjadi
Pejabat Bupati Keerom tahun 2006-2008.
Sejak kepemimpinannya (termasuk menjadi pejabat bupati),
pertumbuhan ekonomi Keerom memang sempat turun dari
11,89% pada tahun 2008 menjadi 9,73% pada tahun 2009
(Tempo, 2012). Namun demikian, indeks pembangunan manusia
kabupaten Keerom, mengalami kenaikan signifikan, yakni pada
tahun 2008 sebesar 68,55 naik menjadi 68,8 pada tahun 2009
dan naik lagi menjadi 69,26 pada tahun 2010.
Yusuf yang pembawaannya lembut, tenang dan penuh
senyuman, terkenal sebagai sinterklas dari Keerom, karena
kesukaannya membagi-bagi uang (Tempo, 2012). Sesuai janjinya
dalam kampanye, setelah menjabat bupati, tiap kampung di
Pendidikan Antikorupsi 233

Keerom diberi bantuan dana sebesar Rp 1 miliar. Dari anggaran


Rp 1 miliar tersebut, 70% digunakan untuk kegiatan
pembangunan, sedangkan 30% dipakai untuk mendanai
operasional aparat kampung.
Berkat keberpihakannya kepada masyarakat, dalam satu
tahun saja (2010), kenaikan pembangunan infrastruktur cukup
signifikan. Sebanyak 34,8% jalan sudah beraspal dari total jalan
kabupaten yang sudah terbuka sepanjang 867,31 kilometer.
Seluruh rumah di Keerom sudah teraliri listrik. Selain itu, lebih
dari 2.000 rumah siap direnovasi pada tahun 2013.
Yusuf juga terkenal sebagai tokoh multikultural, karena
dalam memberi pelayanan kepada masyarakat tidak membeda-
bedakan dari suku mana dan daerah asal. Tidak peduli mereka
asli Papua, orang Sulawesi, Sumatera atau pun Jawa, semuanya
ia rangkul layaknya seorang ayah. “Saya ingin menjadi ayah bagi
semua warga masyarakat Kerom,” kata pak Yusuf.

D. La Tinro La Tunrung

La Tinro, bupati Enrekang, tidak memiliki jejak rekam


sebagai abdi negara. Sebelum menjadi bupati, Tinro merupakan
Direktur Utama PT. Haji La Tunrung L&K. Pada tahun 2009,
kekayaan yang dimiliki senilai Rp 23 miliar.
Tinro termasuk orang yang terbuka kepada warga masyarakat.
Buktinya, ia mengumumkan nomor handphone melalui spanduk di
semua kantor pemerintah. Hal ini dilakukan supaya ia dapat
menerima langsung keluhan atau pun masukan dari warga
masyarakat. Jika rapat di kantor belum tuntas, Tinro meneruskan
234 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

di rumah dinasnya dan tidak jarang berlangsung hingga larut


malam.
Kebijakan pembangunan Tinro difokuskan pada pembangunan
infrastruktur desa. Daerah Enrekang termasuk miskin dan terbelakang,
kontur tanah sebagian besar curam dikelilingi 10 gunung, sehingga
antara desa yang satu dengan lainnya terisolasi tidak ada jalan
penghubung, karenanya prioritas Tinro adalah membangun jalan raya
dari beton. Tinro mengalokasikan 30% anggaran untuk membangun
jalan beton, karena jalan ini merupakan infrastruktur terbaik untuk
membuka akses hingga ke pelosok. Hingga akhir jabatannya, Tinro
menargetkan jalan beton selesai 90%.

Ironisnya, kota utamanya ibu kota kabupaten tidak terurus.


Kalau malam hari gelap dan sehabis hujan banyak walang sangit
menyerbu kota. “Tahun terakhir ini saya baru berfokus pada
pembangunan kota,” kata Tinro.
Tinro termasuk orang yang suka blusukan ke daerah-daerah.
Tidak jarang, sekali seminggu ia tidur di desa berbeda untuk
melihat dari dekat kondisi masyarakat. Para pejabat daerah di
Enrekang, ia minta juga untuk blusukan di desa-desa dan
membina 1 kepala keluarga hingga memiliki penghasilan yang
memadai. Orang miskin yang sebelum ia menjabat sejumlah
70%, setelah memasuki jabatan kedua, tinggal 10%. Sebuah
prestasi yang membanggakan.
Untuk pembangunan kesehatan, Tinro menyediakan satu
ambulans untuk tiap kecamatan. Guna meningkatkan pendidikan
dan tingkat melek huruf masyarakat, Tinro menyediakan mobil
perpustakaan keliling untuk menyambangi sekolah di kampung-
kampung guna meminjami buku pengetahuan umum.
Pendidikan Antikorupsi 235

Tinro termasuk bupati kreatif. Enrekang yang sering terputus


aliran listriknya, karena pasokan dari PLN terbatas, telah
berubah, setelah Tinro membuat pembangkit tenaga air mikro
dan menyediakan 793 pembangkit matahari. Dana untuk
membangun instalasi tersebut ia dapatkan dari bantuan
pemerintah provinsi, pusat, DPR, maupun LSM dari luar negeri.
Berkat ketekunan dan kerja kerasnya, anggaran pendapatan
dan belanja daerah Enrekang naik dari 561,85 miliar pada tahun
2011 menjadi 598,90 pada tahun 2012. Indeks pembangunan
manusia mengalami kenaikan, dari 73,76 pada tahun 2008
menjadi 74,60 pada tahun 2011. Pertumbuhan ekonomi pun
mengalami peningkatan, yakni dari 6,15% pada tahun 2008
menjadi 6,62% pada tahun 2009.

E. Amran Nur

Amran Nur dilahirkan di Sawahlunto pada tanggal 13


Oktober 1945. Lulusan Teknologi Lingkungan ITB Bandung ini,
sebelum menjadi wali kota Sawalunto, Amran merupakan
seorang pengusaha.
Begitu terpilih sebagai wali kota, Amran berkeinginan untuk
meningkatkan daya beli masyarakat. Cara yang digunakan adalah
membagi bibit kakao, karet, serai wangi dan setek nilam kepada
masyarakat. Masyarakat juga dibantu bibit padi. Dengan
program padi tanam sebatang, yang dimulai sejak tahun 2005,
Sawahlunto surplus beras. Kalau sebelum program tersebut
dicanangkan, petani hanya panen 4 ton gabah kering per
hektare, maka sejak program tersebut digulirkan, petani bisa
panen hingga 10 ton per hektare (Tempo, 2012).
236 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

Di bidang peternakan, Amran mendorong masyarakat untuk


beternak sapi. Cara yang ditempuh adalah pemerintah
menyediakan sapi dan warga masyarakat mengangsurnya tanpa
bunga. Bunga pinjaman ditanggung oleh pemerintah. Salah satu
kelompok masyarakat yang diberi bantuan sapi adalah bekas
penambang liar yang jumlahnya sekitar 600 kepala keluarga.
Program-program lainnya yang dikembangkan Amran untuk
mendukung ekonomi masyarakat adalah jalan 10 menit, artinya
petani cukup membutuhkan waktu 10 menit untuk pergi ke
ladang atau kebun dengan mengendarai sepeda motor guna
menengok tanamannya.
Dalam bidang pariwisata, Amran yang memiliki naluri bisnis,
membuka terowongan tambang yang sudah tidak terurus dan
merenovasi bangunan tua peninggalan Belanda untuk dijadikan
objek wisata. Selain itu, juga dibangun water boom. Semua
proyek ini dikembangkan berdasarkan gaya perusahaan, hanya
bedanya, keuntungan (benefit) dikembalikan kepada masyarakat.
Berkat ketekunan dan kerja kerasnya, anggaran pendapatan
dan belanja daerah Sawahlunto naik menjadi Rp 503,9 miliar
pada tahun 2012, yang sebelumnya hanya Rp 117 miliar pada
tahun 2003. Indeks pembangunan manusia juga mengalami
peningkatan, yakni 73,74 pada tahun 2007 menjadi 75,41 pada
tahun 2011. Demikian pula, pertumbuhan ekonomi mengalami
lonjakan yang cukup signifikan, yaitu 3,43% pada tahun 2008
menjadi 5,8% pada tahun 2011.
Sejak ditutupnya area penambangan liar, banyak penduduk
yang meninggalkan kota Sawahlunto untuk mencari pekerjaan
baru. Tidak adanya lahan pekerjaan baru menyebabkan angka
Pendidikan Antikorupsi 237

kemiskinan tinggi. Pada tahun 2005 tercatat 17,18% penduduk


miskin, namun sejak Amran hadir di Sawahlunto, maka pada
tahun 2009, angka kemiskinan turun drastis menjadi 2,42%
(Tempo, 2012).

F. Muda Mahendrawan

Muda lahir di Pontianak pada tanggal 17 Agustus 1970.


Lulusan Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura dan Magister
Kenotariatan Fakultas Hukum UGM Yogyakarta ini sebelum
menjadi bupati Kubu Raya adalah seorang notaris.
Muda adalah seorang pemimpin yang peka kepada warga
masyarakatnya. Meskipun Muda seorang birokrat, namun ia
melakukan debirokratisasi dengan lebih banyak berkantor di
rumah, menerima tamu tiap hari tidak kurang mencapai 10
rombongan, dan lebih suka mendatangi berbagai acara yang
diselenggarakan masyarakat di seluruh penjuru Kubu Raya.
Muda termasuk orang yang sederhana. Ia mencoret Rp 21
miliar untuk pembangunan kantor bupati dari biaya total Rp 36
miliar. Kekurangan anggaran ia mintakan ke pemerintah pusat.
Muda juga menolak pembangunan rumah dinas senilai Rp 11
miliar. Pengadaan mobil dinas bupati dan wakil bupati, yang
masing-masing seharga Rp 1 miliar ia tolak pula.
Untuk menghemat belanja pegawai, Muda menyeleksi ketat
pembentukan tim kerja SKPD, yang ia pandang sebagai salah satu
sumber pemborosan anggaran pemerintah. Dengan
pemangkasan tersebut, Muda bisa menghemat anggaran rutin
pemerintah daerah sebesar Rp 30 miliar pertahun. Anggaran
238 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

pemerintah daerah pun memiliki proporsi yang bagus, yakni 46%


untuk anggaran belanja pegawai dan 54% untuk anggaran
belanja rutin (Tempo, 2012).
Penghematan anggaran tersebut, Muda alihkan untuk
pengembangan program kesehatan dan pendidikan. Berkat
penghematan tersebut, pemerintah daerah dapat membelikan
60 sepeda motor untuk operasional bidan desa. Pembatalan
anggaran rumah dinas dialihkan untuk pembelian seragam siswa.
Puskesmas yang ada di Kubu Raya ditingkatkan fasilitasnya.
Sebanyak 937 unit pelayanan kesehatan terfasilitasi dengan baik.
Angka ini naik dari junlah sebelumnya yang hanya 674 unit.
Sebanyak 9 Puskesmas naik levelnya dari layanan rawat jalan ke
layanan rawat inap, setara rumah sakit tipe D.
Gerakan debirokratisasi Muda berlanjut dengan pencabutan
kewenangan perizinan di setiap SKPD. Kewenangan ini
dilimpahkan kepada Badan Pelayanan Modal dan Pelayanan
Terpadu (BPMPT). Dengan model layanan ini, beban masyarakat
untuk membayar biaya perizinan menjadi berkurang.
Berkat kerja kerasnya, anggaran belanja daerah Kubu Raya
naik dari Rp 466,7 miliar menjadi Rp 790,3 miliar. Indeks
pembangunan manusia naik dari 66,77 pada tahun 2009 menjadi
67,56 pada tahun 2010. Pertumbuhan ekonomi meningkat dari
5,02% pada tahun 2006 menjadi 6,51% pada tahun 2009.

G. Abdul Kholiq Arif

Abdul Kholiq Arif dilahirkan di Wonosobo pada tanggal 16


September 1968. Lulusan IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ini
Pendidikan Antikorupsi 239

sebelum menjadi bupati Wonosobo adalah seorang wartawan


Jawa Pos. Pada tahun 2005, kekayaan pribadinya sebesar Rp
114,5 juta dan pada tahun 2008 meningkat menjadi Rp 315,4
juta (Tempo, 2012).
Kholiq termasuk pemimpin yang menghargai keanekaragaman
budaya di Wonosobo. Ia juga seorang yang toleran. Selain Islam dan
Kristen, di Wonosobo juga terdapat penganut agama Buddha,
Konghucu, dan Tao. Bahkan di Wonosobo juga terdapat tidak
kurang dari 6.000-an penganut Ahmadiah. Dalam kegiatan
keagamaan, Kholiq melibatkan para preman agar mereka insyaf
kembali ke jalan Tuhan. Untuk itu, bupati menggandeng Komando
Distrik Militer untuk memberikan terapi kepada para preman.
Kholiq melakukan reformasi birokrasi, di antaranya yang
dilakukan adalah kemudahan perizinan kepada masyarakat.
Sebagai contoh, untuk mengurus izin usaha katering, memakan
waktu sebulan tanpa dipungut biaya satu rupiah pun.
Wonosobo terkenal dengan tanaman kentang. Semua area
pegunungan hingga tanah miring dan berbukit terjal pun
ditanami kentang. Padahal kentang tidak baik untuk pelestarian
lingkungan. Tanah mudah longsor. Karenanya, Bupati membatasi
pertanian kentang. Sebagian tanah lainnya dihijaukan kembali
bekerjasama dengan Yayasan Kehati pimpinan Emil Salim.
Dalam rangka mendukung pelestarian lingkungan, Kholiq yang
cinta lingkungan ini, juga menerapkan kurikulum penyelamatan
lingkungan (kurikulum hijau) di sekolah sejak tahun 2010. Anak-
anak usia TK hingga SD diajari mengenali lingkungan dengan cara
membentuk kelompok kebun bibit di sekolah masing-masing. Anak-
anak dikenalkan berbagai macam bibit tanaman, supaya
240 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

mereka bisa mengenal dan mencintai lingkungan sejak dini.


Aris Fathoni, kepala dusun Sidorejo kecamatan Kejajar
mengikuti jejak bupati, dengan mendirikan Kelompok Tani
Konservasi Margo Rukun Desa Tieng. Kelompok tani ini
mengampanyekan gerakan menanam pohon untuk mengganti
tanaman kentang.
Sejak kepemimpinan Kholiq, anggaran belanja daerah
Wonosobo naik dari Rp 672,54 miliar menjadi Rp 679,9 miliar.
Indeks pembangunan manusia pun naik dari 68,91 menjadi 70,52.

H. Herman Sutrisno

Herman Sutrisno dilahirkan di Tasikmalaya pada tanggal 3


April 1951. Doktor lulusan Universitas Pasundan ini memperoleh
92,17% suara untuk memenangi pemilihan wali kota Banjar.
Sebelum menjadi wali kota Banjar, Herman pernah menjabat
ketua DPRD Ciamis dan Direktur Rumah Sakit Umum Ciamis dan
Banjar.
Herman termasuk pecinta olah raga bersepeda. Hampir tiap
hari Herman mengelilingi kota sepanjang 35 kilometer. Cara ini ia
gunakan untuk melihat dari dekat kondisi sarana umum dan
kondisi masyarakat.
Selain fokus pada pengembangan infrastruktur kota, seperti
pembangunan jalan dan jembatan, Herman juga mengembangkan
program bidang kesehatan dan pendidikan. Pada bidang
pendidikan, sebelum pemerintah pusat mencanangkan program
Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Herman sudah memelopori
dengan memberi bantuan Rp 250 ribu perbulan bagi siswa dari
Pendidikan Antikorupsi 241

keluarga tidak mampu. Hingga tahun 2012 sudah 8.000 siswa


yang menikmati dana BOS ala wali kota.
Untuk pelayanan kesehatan, wali kota membebaskan bea
perawatan bagi penduduk yang dapat menunjukkan kartu
penduduk. Hal ini berlaku di Puskesmas. Bagi masyarakat miskin,
juga dibebaskan berobat di rumah sakit daerah.
Untuk mendekatkan pelayanan kepada masyarakat yang
jaraknya jauh dari Puskesmas dan rumah sakit, wali kota
membangun 42 pos kesehatan desa di 25 desa dan kelurahan.
Setiap pos disediakan tenaga medis bidan dan perawat. Dokter
datang tiga kali dalam seminggu.
Di bidang ekonomi, wali kota memprogramkan “Rp 1 miliar
1 desa” pertahun sejak tahun 2007. Dana Rp 1 miliar tersebut
digunakan untuk membangun infrastruktur desa (Rp 350 juta),
membangun usaha ekonomi produktif (Rp 300 juta), dan sisanya
Rp 350 juta untuk mendirikan Badan Usaha Milik Desa. Berkat
program tersebut, pendapat asli daerah meningkat dari Rp 3
miliar pada tahun 2003 menjadi Rp 41 miliar pada tahun 2012.
Meskipun kota Banjar membutuhkan investasi yang besar,
wali kota tidak serta merta mudah menerima investor. Guna
melindungi pedagang tradisional, wali kota melarang masuknya
pasar retail modern, seperti Alfamart dan Indomart sejak tahun
2008.
Untuk menambah kedekatan dengan warga masyarakat,
Herman membuka lebar-lebar pendopo kota untuk menerima tamu
dan siapa pun yang ingin bertemu wali kota. Sejak
kepemimpinannya, anggaran belanja daerah naik dari Rp 311,82
miliar pada tahun 2008 menjadi Rp 387,84 miliar pada tahun 2012.
242 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

Indeks pembangunan manusia meningkat dari 74,25 pada tahun


2009 menjadi 75,63 pada tahun 2011. Pertumbuhan ekonomi
pun mengalami kenaikan signifikan, yaitu naik dari 4,82% pada
tahun 2008 menjadi 5,74% pada tahun 2011.
Jika ditelusuri secara mendalam sejatinya masih banyak
tokoh pemerintahan dan juga tokoh masyarakat yang memiliki
sikap antikorupsi dan jiwa pelayanan yang tinggi. Salah satu yang
layak disebut adalah Dahlan Iskan, Menteri BUMN. Orang yang
satu ini tergolong menteri nyentrik. Seperti halnya Jokowi,
Dahlan juga tidak menggunakan gajinya untuk keperluan pribadi,
baik itu gaji saat menjadi Direktur Utama PLN maupun ketika
menjabat Menteri BUMN.
Orang biasa pasti tidak mungkin tidak akan menerima gaji
yang menggiurkan. Di PLN, gaji Dahlan perbulan sekitar Rp 150
juta dan konon gaji yang terkumpul hingga miliaran rupiah
disumbangkan untuk pembangunan Pondok Pesantren Sabilil
Muttaqin di Magetan dan untuk riset mobil listrik (The Politic,
2013).
Gaji Dahlan sebagai Menteri BUMN adalah Rp 19.320.000,00,
yang semuanya tiap bulan diberikan kepada Ricky, seorang ahli
motor listrik yang sedang bekerja di Jepang, dengan harapan Ricky
mau kembali ke Indonesia untuk mengembangkan teknologi motor
listrik (The Politic, 2013). Penghasilan lainnya, yakni dana
operasional sebagai Menteri sebesar Rp 100 jutaan dan honor rapat
di kementerian sebesar kira-kira Rp 70 jutaan, juga tidak
dipergunakan Dahlan. Semua uang tersebut diserahkan
sekretarisnya untuk dimanfaatkan dalam kegiatan atau keperluan
sosial, misalnya untuk dana sosial, tambahan gaji satpam, cleaning
Pendidikan Antikorupsi 243

service, staf di sekretariat BUMN, dan karyawan outsourching.


Dahlan tidak menerima gaji bulanan sebagai menteri, karena ia
masih memiliki banyak perusahaan dan tabungan.

I. Rangkuman

Di negeri yang konon dijuluki negeri kleptokrasi, ternyata


masih cukup banyak tokoh pemerintahan yang berhati malaikat.
Meskipun banyak setan haus uang, yang menggerogoti anggaran
APBN dan APBD, masih ditemukan orang-orang bersih yang
masih memiliki hati nurani untuk memberikan pelayanan terbaik
kepada masyarakat. Tokoh-tokoh bersih tersebut di antaranya
adalah Jokowi, Tri Rismaharini, Yusuf Wally, La Tinro, Amran Nur,
Muda Mahendrawan, Abdul Kholiq Nur, Herman Sutrisno, dan
Dahlan Iskan.
Jika tokoh-tokoh ini mampu menularkan virus antikorupsi dan
bakteri pelayanan prima kepada elit pemerintahan dan tokoh-tokoh
masyarakat, bukan tidak mungkin Indonesia akan menjadi salah
satu negara besar pada waktu yang tidak terlalu lama sebagaimana
diramalkan banyak lembaga riset internasional. Kesejahteraan yang
didamba masyarakat juga bukan impian kosong jika makin banyak
lagi tokoh-tokoh bersih, selain tokoh-tokoh bersih sebagaimana
telah disebutkan sebelumnya.
DAFTAR PUSTAKA

BUKU
Alatas, Syed Hussein. 1986. Sosiologi Korupsi. Terjemahan Al
Ghozie Usman. Jakarta: LP2ES.
Al-Barbasy, Ma’mun Murod. 2006. “Teologi Kritis Pemberantasan
Korupsi di Indonesia”. Makalah. Disajikan dalam Seminar
Nasional AIPI XX di Medan tanggal 3-4 Mei 2006.
Alma, Buchari. 2008. Kewirausahaan untuk Mahasiswa dan
Umum. Bandung: Alfabeta.
Alkaf, Halid. 2006. “Lembaga-lembaga Anti Korupsi di Indonesia”.
Dalam Karlina Helmanita dan Sukron Kamil (ed).
Pendidikan Anti Korupsi di Perguruan Tinggi. Jakarta:
CSRC UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Azra, Azyumardi. 2006. “Kata Pengantar Pendidikan Anti Korupsi
Mengapa Penting”. Dalam Karlina Helmanita dan Sukron
Kamil (ed). Pendidikan Anti Korupsi di Perguruan Tinggi.
Jakarta: CSRC UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Bahri, Syamsul. 2008. Buku Panduan Guru Modul Pendidikan Anti
Korupsi Tingkat SMP/MTs. Jakarta: KPK.
Bertens, K. 2001. Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Bracking, Sarah. 2007. “Political Development And Corruption:
Why ‘Right Here’, Right Now’!” in Sarah Bracking (ed).
Corruption And Development The Anti Corruption
Campaigns. New York: Palgrave MacMillan.
De Asis, Maria Gonzales. 2000. “Coalition Building to Fight
Corruption”. Paper. Prepared for the Anti Corruption
Summit. World Bank Institute.

244
Pendidikan Antikorupsi 245

Direktorat Pembinaan Jaringan Kerjasama Antar Komisi dan Instansi


KPK. 2006. Kumpulan Undang-Undang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: KPK.
Ditlitbang Deputi Pencegahan KPK. 2006. Komisi Anti Korupsi di
Luar Negeri (Deskripsi Singapura, Hongkong, Thailand,
Madagascar, Zambia, Kenya, dan Tanzania). Jakarta: KPK.
Drost, J. 1999. Proses Pembelajaran sebagai Proses Pendidikan.
Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.
Ezung, T. Zarenthung. 2012. “Corruption and Its Impact on
Development: A Case Study of Nagaland”. in International
Journal of Rural Studies. Vol. 19 No. 1, April 2012. Pp. 1-7.
Fahmi, Insan. 2009. “Peran Serta Penyelenggara Negara Dalam
Upaya Pemberantasan Korupsi”. Makalah. Disampaikan
dalam Workshop Forum Komunikasi Wartawan Jawa
Tengah (FKWJT) di Hotel Santika Semarang pada tanggal
26 Pebruari 2009.
FATF and OECD. 2011. Laundering the Proceeds of Corruption.
Paris.
Hamzah, Andi. 1991. Korupsi di Indonesia Masalah dan
Pemecahannya. Jakarta: Gramedia.
Hamzah, Andi. 2005. Perbandingan Pemberantasan Korupsi di
Berbagai Negara. Jakarta: Sinar Grafika.
Handoyo, Eko. 2009. Pendidikan Anti Korupsi. Semarang: Widya
Karya.
Handoyo, Eko. 2012. “Eksistensi Pedagang Kaki Lima Studi
tentang Kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL
Semarang”. Disertasi. Doktor Studi Pembangunan PPS
UKSW Salatiga.
Harman, Benny K. 2012. Negeri Mafia Republik Koruptor
Menggugat Peran DPR Reformasi. Yogyakarta: Lamalera.
Jasin, Moch. 2009. “Kebijakan dan Langkah-langkah Pemberantasan
Korupsi dan Peran KPK dalam Menciptakan Pemerintahan
Yang Bersih”. Makalah. Disampaikan dalam Seminar dan
Sosialisasi LHKPN kepada Pejabat di Lingkungan Universitas
Negeri Semarang pada tanggal 10 Desember 2008.
246 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

Johnson, Michael. 2005. Syndromes of Corruption: Wealth, Power,


and Democracy. Cambridge: Cambridge University Press.
Karli, Hilda dan Margaretha Sri Yuliariatiningsih. 2003.
Impementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi. Bandung:
Bina Media Informasi.
Khadduri, Majid. 1999. Teologi Keadilan Perspektif Islam.
Terjemahan Mokhtar Zoerni dan Joko S. Kahhar.
Surabaya: Risalah Gusti.
Klitgaard, Robert. 2005. Membasmi Korupsi. Terjemahan Hermojo.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Klitgaard, Robert, Ronald Maclean-Abaroa dan H. Lindsey Parris.
2005. Penuntun Pemberantasan Korupsi dalam
Pemerintahan Daerah. Terjemahan Masri Maris. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia.
Komisi Pemberantasan Korupsi. 2006. Memahami untuk
Membasmi. Jakarta: KPK.
KPK. 2007. Buku Saku untuk Memahami Pandangan Islam terhadap
Korupsi: Koruptor, Dunia Akhirat Dihukum. Jakarta: KPK.
KPK. T.th. UU No. 30/2002, UU No. 20/2001, UU No. 31/1999, UU
No. 28/1999, UU No. 3/1971, PP No. 71/2000, Organisasi
dan Tata Kerja KPK, Kode Etik Pimpinan KPK, Ringkasan
Draft Rencana Strategis KPK, dan Gratifikasi. Jakarta.
Kuntoro, Suharso Bayu. 2006. “Penanggulangan Korupsi Dalam
Perspektif Hindu”. Dalam Ida Bagus Agung, dkk (ed).
Menuju Masyarakat Anti Korupsi Perspektif Agama
Hindu. Jakarta: Departemen Komunikasi dan Informatika.
Kurniawan, Luthfi J.,dkk. 2006. Peta Korupsi di Daerah. Jakarta:
MCW dan Yappika.
Lambdorff, Johann Graf. 2007. The institutional Economics of
Corruption and Reform Theory, Evidence and Policy.
Cambridge: Cambridge University Press.
Maheka, Arya. T.th. Mengenali dan Memberantas Korupsi. Jakarta:
KPK RI.
Marpaung, Rusdi dan J. Heri Sugianto (ed). 2006. Demokrasi
yang
Pendidikan Antikorupsi 247

Selektif terhadap Penegakan HAM Laporan Kondisi HAM


Indonesia 2005. Jakarta: Imparsial.
Mashal, Ahmad M. 2011. “Corruption and Resource Allocation
Distortion For “ESCWA” Countries”. in International
Journal of Economics and Management Sciences. Vol. 1
No. 4, 2011. Pp. 71-83.
Mulyana, Rahmat. 2004. Mengartikulasikan Pendidikan Nilai.
Bandung: Alfabeta.
Muslimin, JM. 2006. “Penegakan Hukum dan Pemberantasan
Korupsi Dalam Lintasan Sejarah”. Dalam Karlina
Helmanita dan Sukron Kamil (ed). Pendidikan Anti
Korupsi di Perguruan Tinggi. Jakarta: CSRC UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Nasution, S. 1995. Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Nugraha D, Riant dan Tri Hanurita S. 2005. Tantangan Indonesia
Solusi Pembangunan Politik Negara Berkembang. Jakarta:
Elex Media Komputindo.
Pope, Jeremy. 2007. Strategi Memberantas Korupsi Elemen
Sistem Integritas Nasional. Terjemahan Masri Maris.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Pusat Bahasa Depdiknas. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka.
Puspito, Nanang T., et al. 2011. Pendidikan Anti Korupsi untuk
Perguruan Tinggi. Jakarta: Ditjen Dikti Kemdikbud RI.
Rasuanto, Bur. 2005. Keadilan Sosial Pandangan Deontologis
Rawls dan Habermas Dua Teori Filsafat Politik Modern.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Romli, Lili. 2006. “Reformasi Birokrasi Lokal dan Perwujudan
Good Governance”. Makalah. Disampaikan dalam
Seminar Nasional AIPI XX di Medan tanggal 3-4 Mei 2006.
Saidi, Ridwan. 1989. Mahasiswa dan Lingkaran Politik. Jakarta:
Mapindo Mulathama.
Saleh, Abdul Rahman. 2006. “Korupsi tergolong Extraordinary”.
http:// . arsip . pontianakpost . com/berita/index .
248 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

asp?Berita=Pinyuh&id=129619.
Santoso, Amir. 2006. “Korupsi: Birokrasi Pemerintah dan Budaya
Masyarakat”. Makalah. Disajikan dalam Seminar Nasional
AIPI XX di Medan tanggal 3-4 Mei 2006.
Setyawati, Deni. 2008. KPK Pemburu Koruptor Kiprah Komisi
Pemberantasan Korupsi dalam Memberangus Korupsi.
Yogyakarta: Pustaka Timur.
Silalahi, Ulber. 2006. “Manajemen Pencegahan Korupsi di Sektor
Publik: Kerangka Analisis Sebab-Respon”. Makalah.
Disampaikan dalam Seminar Nasional AIPI XX di Medan
tanggal 3-4 Mei 2006.
Sitepu, Dewi Sinorita. 2006. “Peran Masyarakat Sipil dan
Pemberantasan Korupsi di India: Pembelajaran bagi
Indonesia”. Makalah. Disampaikan dalam Seminar
Nasional AIPI XX di Medan tanggal 3-4 Mei 2006.
Steve, Albrecht W. and Chad O. Albrecht. 2003. Fraud Examination.
New York: Thompson South Western.
Sudjana, Eggi. 2008. Republik Tanpa KPK Koruptor Harus Mati.
Surabaya: JP Books.
Suratno, Pardi. 2006. Sang Pemimpin menurut Asthabrata,
Wulangreh, Tripama, dan Dasa Darma Raja. Yogyakarta:
Adi Wacana.
Surono, Yustinus. T.th. Pendidikan Nilai-Nilai Anti Korupsi Untuk
Kelas 6 SD. Jakarta: KPK dan GTZ.
Suryadi, Bambang. 2006. “Belajar dari Pemberantasan Korupsi di
Negara Lain”. Dalam Karlina Helmanita dan Sukron Kamil
(ed). Pendidikan Anti Korupsi di Perguruan Tinggi.
Jakarta: CSRC UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Suseno, Franz Magnis. 1987. Etika Dasar Masalah-masalah
Pokok Filsafat Moral. Yogyakarta: Kanisius.
Susilo, NB. 2006. Indonesia Bubar. Yogyakarta: Pinus.
Sutrisno, V dan Eva Sasongko. T.th. Pendidikan Nilai-Nilai Anti
Korupsi Untuk Kelas 5 SD. Jakarta: KPK dan GTZ.
Suyanto, Totok. 205. “Pendidikan Anti Korupsi dan Pengembangan
Pendidikan Antikorupsi 249

Budaya Sekolah”. JPIS. Nomor 23 tahun XIII Edisi Juli –


Desember 2005.
Syakrani dan Syahriani. 2009. Implementasi Otonomi Daerah
Dalam Perspektif Good Governance. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Tamrin, Rustika. 2008. Buku Panduan Guru Modul Pendidikan
Anti Korupsi Tingkat SLTA/MA. Jakarta: KPK.
Tang, Michael C. 2005. Kisah-kisah Kebijaksanaan China Klasik
Refleksi bagi Pemimpin. Terjemahan Vivi Sutanto.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Tarling, Nicholas. 2005. “Introduction”. In Nicholas Tarling (ed).
Corruption and Good Governance in Asia. New York:
Routledge.
Taufani, Bernard. 2012. Jokowi From Zero to Hero. Jakarta: Buku
Pintar.
Thaiyun, Yon. 2012. Jokowi Pemimpin Rakyat Berjiwa Rocker.
Jakarta: Noura Books.
Tunggal I.S. dan Tunggal A.W. 2000. Audit Kecurangan dan
Akuntansi Forensik. Jakarta: Harvarindo.
Warman, Adi. 2006. “Menyingkap Tabir Pemberantasan Korupsi
di Indonesia”. Makalah. Disajikan dalam Seminar
Nasional yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum dan
Yayasan Diponegoro Jateng di Semarang pada tanggal 27
April 2006.
Warta, I Nyoman. 2006. “Mengapa Korupsi”. Dalam Ida Bagus
Agung, dkk (ed). Menuju Masyarakat Antikorupsi
Perspektif Agama Hindu. Jakarta: Departemen
Komunikasi dan Informatika.
Wibowo, I. 2006. “Pemberantasan Korupsi di Cina: Apa yang Bisa
Kita Pelajari”. Makalah. Disampaikan dalam Seminar
Nasional AIPI XX di Medan tanggal 3-4 Mei 2006.
Widodo, Joko. 2008. Membangun Birokrasi Berbasis Kinerja.
Malang: Bayumedia Publishing.
Wijayanto. 2009. “Memahami Korupsi”. Dalam Wijayanto dan
250 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

Ridwan Zachri (ed). Korupsi Mengorupsi Indonesia Sebab,


Akibat dan Prospek Pemberantasan. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Wijoyo, Bagus D. 2012. Pesona dan Karisma Jokowi. Yogyakarta:
Sinar Kejora.
Yuwono, Ismantoro Dwi. 2008. Para Pencuri Uang Rakyat Daftar
59 Koruptor Versi KPK 2003-2008. Yogyakarta: Pustaka
Timur.

MAJALAH
Gatra. No. 31. Tahun XVIII. 13 Juni 2012.
Konstan. Nomor 126. April 2012.
Tempo. Edisi 21-27 September 2009 halaman 80.
Tempo. Edisi 15-21 Oktober 2012 halaman 34.
Tempo. Edisi 10-16 Desember 2012.

SURAT KABAR
Kompas. Edisi Sabtu Tanggal 26 September 2009 halaman 1.
Kompas. Edisi Jumat, Tanggal 22 Februari 2013 halaman 4.
Kompas. Edisi Sabtu, Tanggal 2 Maret 2013 halaman 26.

TABLOID
The Politic. Edisi 09. Tahun II. 01-14 Maret 2013 halaman 12.
GLOSARIUM

Amoral : Budaya yang kurang mengandung nilai-nilai


Familiisme komunitarian, tetapi sangat memperkuat
hubungan keluarga.
Antogenic : Korupsi yang dilakukan seorang diri tanpa
corruption melibatkan orang lain.
Antikorupsi : Kebijakan atau kegiatan untuk mencegah dan
menghilangkan peluang bagi berkembangnya
korupsi.
Devensive : Pemerasan yang dilakukan para korban korupsi
corruption dengan dalih untuk mempertahankan diri.
Good : Tata kelola pemerintahan yang baik.
governance
Graft : Pemanfaatan sumber-sumber publik untuk
kepentingan individu atau pribadi.
Hukuman : Siksa yang dikenakan kepada orang yang
melanggar undang-undang.
Investive : Pemberian barang atau jasa tanpa ada pertalian
corruption langsung dengan keuntungan tertentu, selain
keuntungan yang dibayangkan akan diperoleh di
masa yang akan datang.
ICAC : Komisi yang secara khusus menangani korupsi.
Ilegal : Tidak menurut hukum.
Keadilan : Memperlakukan sama berat, tidak berat
sebelah, tidak memihak; berpihak kepada yang
benar, berpegang pada kebenaran; sepatutnya,
dan tidak sewenang-wenang.
Keberanian : Tindakan untuk memperjuangkan sesuatu yang
diyakini kebenarannya.
Kedisiplinan : Tertib dan taat kepada peraturan.

251
252 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

Kejujuran : Mengungkapkan sesuatu sesuai dengan


kenyataan yang dilakukan, dialami dan dirasakan.
Kepedulian : .Berperilaku dan memperlakukan orang lain dan
lingkungan sekitarnya, sehingga bermanfaat bagi
semua pihak.
Kerja Keras : Melakukan sesuatu secara bersungguh-sungguh.
Kesederhanaan : Hidup bersahaja dan tidak berlebih-lebihan yang
didasari oleh suatu sikap mental rendah hati.
Keterbukaan : Tidak tertutup, tersingkap, tidak dirahasiakan.
Kleptokrasi : Sistem Pemerintahan yang di dalamnya banyak
atau didominasi oleh aktivitas pencurian harta
negara.
Kolusi : Persekongkolan dan kerjasama rahasia untuk
maksud tidak terpuji.
Korupsi : Penyalahgunaan wewenang oleh pejabat
pemerintah atau politisi bagi keuntungan
mereka sendiri, keluarga, teman, atau orang lain.
Korupsi birokrasi : Pembayaran haram yang diterima oleh pegawai
negeri dari pengguna dalam menerapkan
peraturan-peraturan, kebijakan-kebijakan, dan
hukum.
Kuliah umum : Ceramah tentang masalah tertentu yang boleh
dihadiri oleh mahasiswa dari berbagai jurusan.
Kurungan : Hukuman yang berupa penyekapan di dalam
penjara.
Marginal : Kelompok yang berada di pinggir atau posisi
yang tidak menguntungkan.
Nepotisme : Kecenderungan untuk mengutamakan kerabat
atau sanak saudara sendiri terutama dalam
kaitan dengan perolehan jabatan dan pangkat
dalam pemerintahan.
Nepotistic : Penunjukan yang tidak sah kepada teman atau
corruption sanak saudara untuk memegang jabatan dalam
pemerintahan atau tindakan yang memberikan
perlakuan yang istimewa dalam bentuk uang
atau bentuk-bentuk lain kepada mereka secara
bertentangan atau melawan hukum yang ada.
Pendidikan Antikorupsi 253

Nilai : Sesuatu yang menarik, sesuatu yang dicari,


sesuatu yang menyenangkan, sesuatu yang
disukai atau sesuatu yang baik.
Oligarki : Pemerintahan yang dijalankan oleh beberapa
orang yang berkuasa dari golongan atau
kelompok tertentu.
Parafrasa : Penguraian kembali suatu teks atau karangan
dalam bentuk susunan kata-kata yang lain
dengan maksud untuk dapat menjelaskan makna
yang tersembunyi.
Partikularisme : Perasaan kewajiban untuk membantu dan
membagi-bagi sumber kepada pribadi-pribadi
yang dekat dengan seseorang.
Penahanan : Proses, cara, atau perbuatan menahan.
Pendidikan : Usaha sadar dan sistematis yang diberikan
Antikorupsi kepada peserta didik berupa pengetahuan, nilai-
nilai, sikap dan keterampilan yang dibutuhkan
agar mereka mau dan mampu mencegah
dan menghilangkan peluang berkembangnya
korupsi.
Penggeledahan : Proses, cara, atau perbuatan menggeledah
untuk mencari sesuatu.
Penyelidikan : Proses, cara, perbuatan menyelidiki serta
pengusutan terhadap sesuatu.
Penyidikan : Serangkaian tindakan penyidik yang diatur
oleh undang-undang untuk mencari dan
mengumpulkan bukti pelaku tindak pidana.
Penyitaan : Pengambilan milik pribadi oleh pemerintah
tanpa ganti rugi.
Petty corruption : Tindakan-tindakan mengambil uang sewa atau
tindakan-tindakan kecil lainnya yang dilakukan
oleh pegawai negeri.
Prototipe : Model yang mula-mula (model asli) yang menjadi
contoh.
Publik : Hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan
komunitas atau negara.
254 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

Pungli : Pungutan liar, dengan meminta sesuatu kepada


seseorang atau lembaga tanpa mengacu pada
peraturan yang lazim.
Relokasi : Pemindahan tempat.
Rule of law : Aturan hukum.
Solicitor : Komisi yang memimpin unit hukum dengan tugas
melakukan peninjauan operasi dan penghubung
ICAC dengan parlemen.
Supportive : Korupsi berupa tindakan-tindakan yang
corruption dilakukan untuk melindungi atau memperkuat
korupsi yang sudah ada.
Studi Kasus : Pendekatan untuk meneliti gejala sosial dengan
menganalisis satu kasus secara mendalam dan
utuh.
Subsider : Hukuman sebagai pengganti apabila hal pokok
tidak terjadi, seperti hukuman kurungan sebagai
pengganti hukuman denda apabila terhukum
tidak membayarnya.
Tanggung jawab : Keadaan wajib menanggung segala sesuatunya
atau fungsi menerima pembebanan sebagai
akibat sikap pihak sendiri atau orang lain
Transparan : Jernih, nyata, jelas, dan terbuka.
Universalisme : Komitmen untuk bersikap sama dengan yang
lain.
TENTANG PENULIS

Eko Handoyo dilahirkan di Pati 49 tahun yang lalu. Selepas


SMA, Eko melanjutkan studi ke IKIP Semarang pada tahun 1983.
Gelar Sarjana Pendidikan Moral Pancasila dan Kewargaan Negara
(PMP-KN) diraihnya pada tahun 1987.
Sejak tahun 1988 diangkat oleh Pemerintah Republik Indonesia
menjadi dosen di almamaternya, IKIP Semarang (kini menjadi
Universitas Negeri Semarang). Pada tahun 1995 Eko melanjutkan
kuliah S2 dengan mengambil program studi Ketahanan Nasional dan
lulus pada bulan Februari 1998. September tahun 2009, Eko,
panggilan akrabnya, meneruskan studi S3 di Program Pascasarjana
UKSW Salatiga mengambil program Doktor Studi Pembangunan dan
diselesaikannya pada bulan Mei 2012. Eko adalah seorang pengajar
mata kuliah Etika Politik, Pendidikan Politik, Pendidikan Antikorupsi,
Sosiologi Politik, Kebijakan Publik, Studi Masyarakat Indonesia,
Pendidikan Pancasila, dan Pendidikan Kewarganegaraan pada
program studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan dan
program studi Ilmu Politik pada Fakultas Ilmu Sosial Universitas

255
256 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

Negeri Semarang. Jabatan fungsional sebagai dosen adalah


lektor kepala, dengan golongan pangkat IV-C. Buku yang ditulis
ini adalah buku keduabelas sebagai hasil revisi dari buku
sebelumnya. Buku lain yang pernah ditulis adalah Bunga Rampai
Politik dan Hukum (2006), Studi Masyarakat Indonesia (2007),
Sosiologi Politik (2008), Integrasi Sosial Dalam Negara
Bermasyarakat Majemuk Pada Era Global (2009), Pendidikan Anti
Korupsi (2009), Pengantar Ilmu Sosial (2010), Pancasila dalam
Perspektif Kefilsafatan & Praksis (2010), dan Model Pendidikan
Karakter Berbasis Konservasi Pengalaman Universitas Negeri
Semarang (2010), Pendidikan IPS (2011), Etika Politik dan
Pembangunan (2011), dan Kebijakan Publik (2012).

Anda mungkin juga menyukai