Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

KETAHANAN PANGAN

Disusun oleh :

Akhmad Ardiansyah (4442190109)


Agung Sunandar (4442190061)
Fairuz Zahira (4442190058)
Jamilatun Nisa (4442190148)
Nabila Lita Aulia (4442190046)

KELOMPOK 3

JURUSAN AGROEKOTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA
2019
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang,
puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan
Rahmat, serta Hidayah-Nya. Sehingga penyusun dapat menyusun makalah
Ketahanan Pangan dengan tepat waktu.
Penyusunan makalah ini semaksimal mungkin penulis upayakan dan
didukung bantuan dari berbagai pihak, sehingga memperlancar penyusunannya.
Untuk itu penyususn tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada dosen mata
kuliah Ketahanan Pangan, ibu Septariawulan Kusumasari, S.TP., M.Si. Serta semua
pihak yang turut serta dalam penyusunan laporan praktikum ini.
Selain itu, penyusun juga menyadari bahwa dalam penyusunan laporan ini
ditemukan banyak sekali kekurangan, serta jauh dari kesempurnaan. Oleh sebab itu,
penyusun membuka selebar-lebarnya pintu bagi pembaca yang ingi memberi kritik
dan sarannya demi memperbaiki laporan ini.
Penyususn berharap laporan ini dapat dimengerti oleh setiap pihak yang
membaca, dan dapat di ambil manfaatnya. Penyususn memohon maaf yang sebesar-
besarnya apabila dalam laporan ini terdapat kata-kata yang tidak berkenan di hati.

Serang, November 2019

Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN

Ketahanan pangan merupakan suatu kondisi ketersediaan pangan yang


cukup bagi setiap orang pada setiap saat dan setiap individu yang mempunyai akses
untuk memperolehnya baik secara fisik maupun ekonomi (Soetrisno, 1998).
Fokus ketahanan pangan tidak hanya pada penyediaan pangan tingkat
wilayah tetapi juga ketersediaan dan konsumsi pangan tingkat daerah dan rumah
tangga bahkan bagi individu dalam memenuhi kebutuhan gizinya. Kebijakan
pemerintah dalam ketahanan pangan ini dapat dianalisisdari diterbitkannya
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan.Dalam
undang-undang tersebut dinyatakan bahwa Ketahanan Pangan adalah kondisi
terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari ketersediaan pangan
yang cukup, baik jumlah maupun mutu, aman, merata, dan terjangkau.Hal itu
diperkuat dengan diterbitkannya Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 83
tahun 2006 tentang Pembentukan Dewan Ketahanan Pangan. Perkembangan
terbaru dalam sistem hukum menunjukkan bahwa UU No. 18 Tahun 2012
mendefinisikan Ketahanan Pangan sebagai kondisi terpenuhinya Pangan bagi
negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang
cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan
terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya
masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan.
Uraian tersebut diatas menunjukkan bahwa ketahanan pangan merupakan salah satu
isu penting yang harus segera diwujudkan bagi segenap pihak (Ariani dan Pitono,
2014).
Soblia (2009) menunjukkan bahwa Tingkat ketahanan pangan rumah tangga
memiliki korelasi yang positif dan signifikan dengan tingkat kosumsi energi dan
protein balita. Demikian pula Jelliffe, D.B and Jelliffe (1989) menyatakan bahwa
masalah gizi berhubungan dengan diantaranya dengan produksi pangan dan
konsumsi makanan di samping faktor keadaan infeksi, pengaruh budaya, sosial
ekonomi, serta kesehatan dan pendidikan.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Indikator Ketahanan Pangan


Kerawanan pangan merupakan isu multi-dimensional yang memerlukan
analisis dari berbagai parameter tidak hanya produksi dan ketersediaan pangan saja.
Meskipun tidak ada cara spesifik untuk mengukur ketahanan pangan, kompleksitas
ketahanan pangan dapat disederhanakan dengan menitikberatkan pada tiga dimensi
yang berbeda, namun saling berkaitan yaitu ketersediaan pangan, akses pangan oleh
rumah tangga, dan pemanfaatan pangan oleh individu.
Deklarasi World Food Summit yang diselenggarakan di Roma tahun 1996
telah membuat indikator kerawanan pangan. Jumlah indikator yang digunakan
untuk masing-masing wilayah harus disesuaikan untuk kondisi bahan pangan pokok
di wilayah tersebut. Pemetaan ketahanan dan kerentanan pangan di Indonesia
menggunakan standar parameter/ indikator yang digunakan oleh FSVA (A Food
Security and Vulnerability Atlas) of Indonesia. FSVA merupakan peta ketahanan
dan kerentanan pangan Indonesia yang disusun oleh Dewan Ketahanan Pangan
bekerja sama dengan World Food Programme (WFP), yang telah melakukan
pemetaan sampai wilayah level kabupaten di seluruh Indonesia pada tahun 2005
dan tahun 2009.
Indikator yang dipilih FSVA berkaitan dengan tiga pilar ketahanan pangan
tersebut berdasarkan kerangka konsep ketahanan pangan dan gizi. FSVA
dikembangkan dengan menggunakan 9 indikator kerawanan pangan.
Suatu wilayah memiliki status tahan pangan dapat diukur dari aspek
ketersediaan pangan. Terpenuhinya ketersediaan pangan dilihat dari beberapa
indikator hasil pemetaan ketahanan dan kerentanan pangan terhadap kerawanan
pangan suatu wilayah. Ketersediaan pangan memiliki 9 indikator rawan pangan
yang terdiri dari indikator rasio warung, rasio toko, rasio keluarga tidak sejahtera,
rasio rumah tangga tanpa listrik, rasio akses roda 4, rasio anak tidak sekolah, rasio
rumah tangga tanpa air bersih, rasio jumlah tenaga kesehatan dan rasio fasilitas
sanitasi (Triwindiyanti, 2018).
Klasifikasi Indikator yang dapat berpengaruh terhadap ketahanan pangan di
Banten yaitu:
A. Ketersediaan Pangan
Aspek ketersediaan pangan diukur dari rasio antara konsumsi pangan
normatif dengan ketersediaan pangan yang dihasilkan suatu daerah. Konsumsi
normatif merupakan jumlah pangan yang harus dikonsumsi oleh seseorang
untuk memperoleh 50 % keperluan energi harinya dari bahan pangan. Jika
masyarakat mampu menyediakan bahan pangan, minimal untuk memenuhi
kebutuhan pangan keseluruhan masyarakat secara lokal, tidak tergantung pada
daerah lain maka daerah tersebut dapat dikategorikan surplus pangan.
Banten telah mencapai surplus pangan, yang ditunjukan oleh banyaknya
wilayah dengan klasifikasi rendah. (Suhardjo, 2018) mengatakan, ketersediaan
pangan di Kabupaten Serang selalu surplus. Hampir semua kecamatan di
Kabupaten Serang merupakan produksi pangan walaupun hasil produksinya
bervariasi.

B. Akses Terhadap Pangan


Akses pangan adalah kemampuan rumah tangga untuk memperoleh cukup
pangan, baik yang berasal dari produksi sendiri, pembelian, barter, 12 hadiah,
pinjaman dan bantuan pangan maupun kombinasi diantara kelimanya (Dewan
Ketahanan Pangan, 2010).
Akses terhadap pangan terdiri dari indikator rumah tangga miskin dan
indikator rumah tangga tanpa listrik.
1. Indikator Rumah Tangga Miskin
Sebagian besar kecamatan di Provinsi Banten memiliki presentasi rumah
tangga miskin yang sangat rendah. itu artinya, masyarakat Banten mampu
mengakses pangan secara baik. Kemiskinan sebenarnya secara teoritis
merupakan indikator kunci yang berperan besar dalam menentukan tingkat
ketahanan pangan suatu wilayah. Tingginya kemiskinan mempengaruhi akses
terhadap pekerjaan dan pengelolaan sumberdaya menjadi rendah dan itu akan
menyebabkan rendahnya pendapatan masyarakat. Rendahnya pendapatan
masyarakat menyebabkan daya beli masyarakat menjadi rendah. Rendahnya
daya beli akan menyebabkan pemenuhan kebutuhan dasar, yaitu kebutuhan
akan pangan untuk memenuhi pola pangan harapan sebagai syarat asupan gizi
yang cukup juga berpeluang besar tidak dapat dipenuhi.

2. Indikator Rumah Tangga Tanpa Listrik


Sebagian besar rumah tangga di Provinsi Banten belum menggunakan
listrik.Listrik merupakan faktor yang mendukung kegiatan ekonomi di suatu
wilayah. Dinamika ekonomi akan semakin tinggi dengan adanya listrik yang
dapat diakses masyarakat di suatu wilayah. Tersedianya fasilitas listrik di suatu
wilayah akan membuka peluang yang lebih besar untuk meningkatkan volume
pekerjaan yang telah dijalankan atau menambah peluang kerja baru yang lebih
baik. Indikator penduduk tanpa akses terhadap listrik merupakan indikasi
tingkat kesejahteraan masyarakat di wilayah tersebut.

C. Pemanfaatan Pangan
Pemanfaatan pangan adalah penggunaan pangan oleh rumah tangga, dan
kemampuan individu untuk menyerap dan memetabolisme zat gizi (konversi
zat gizi secara efisien oleh tubuh). Pemanfaatan pangan juga meliputi cara
penyimpanan, pengolahan, dan penyiapan makanan termasuk penggunaan air
dan bahan bakar selama proses pengolahannya serta kondisi higiene, budaya
atau kebiasaan pemberian makan terutama untuk individu yang memerlukan
jenis makanan khusus, distribusi makanan dalam rumah tangga sesuai
kebutuhan masing-masing individu, dan status kesehatan masing-masing
anggota rumah tangga (Dewan Ketahanan Pangan, 2010).
Aspek pemanfaatan pangan terdiri atas indikator jumlah balita stunting,
indikator jumlah balita gizi buruk, dan indikator akses air bersih.
1. Indikator Jumlah Balita Stunting
Provinsi Banten memiliki jumlah balita stunting yang cukup tinggi yakni
lebih dari 40% per kecamatan yang tersebar hampir di seluruh wilayah Banten.
Stunting pada anak-anak adalah salah satu hambatan paling signifikan bagi
perkembangan manusia dan secara global mempengaruhi hampir 162 juta anak-
anak di bawah usia 5 Tahun (WHO, 2014).
2. Indikator Jumlah Balita Gizi Buruk
Provinsi Banten memiliki jumlah balita gizi buru yang tergolong rendah
yakni kurang dari 40% per kecamatan yang tersebar diseluruh Provinsi Banten.
Status gizi anak (usia di bawah 5 tahun) merupakan indikator yang baik untuk
mengetahui penyerapan/ absorbsi pangan. Faktor yang mempengaruhi status
gizi seorang balita adalah situasi ketahanan pangan. Kondisi ketahanan pangan
yang tidak baik akan meningkatkan risiko terjadinya balita dengan gizi kurang.

3. Indikator Akses Air Bersih


Akses air bersih memegang peranan yang sangat penting untuk pencapaian
ketahanan pangan. Air yang tidak bersih akan meningkatkan risiko terjadinya
sakit dan kemampuan dalam menyerap makanan dan pada akhirnya akan
mempengaruhi status gizi seseorang.

2.2 Indikator Pengukuran


Salah satu metode untuk mengidentifikasi dan memberikan data/informasi
tentang situasi ketahanan pangan adalah dengan penetapan indeks ketahanan
pangan. Indeks ketahanan pangan disusun berdasarkan 3 sub sistem ketahanan
pangan yang terbagi menjadi 8 indikator sehingga disususn indeks
komposit/gabungan (bukan indeks tunggal).
Tidak ada indikator tunggal sebagai ukuran terbaik dalam mengukur ketahanan
pangan rumah tangga. Salah satu indikator yang sering digunakan dalam berbagai
penelitian ketahanan pangan rumah tangga adalah kecukupan kalori. Ukuran kalori
ini menunjukkan kecukupan pangan secara kuantitas namun tidak dapat
menggambarkan kualitas konsumsi pangan ataupun akses rumah tangga pangan
secara berkelanjutan ( Maxwell et all, 2000).
Suryana (2003) menyebutkan, ketahanan pangan merupakan suatu sistem
ekonomi pangan yang terintegrasi yang terdiri atas berbagai subsistem. Ketahanan
pangan setidaknya mengandung dua unsur pokok, yaitu ketersediaan pangan yang
cukup dan aksebilitas masyarakat terhadap pangan yang memadai, dimana kedua
unsur tersebut mutlak terpenuhi untuk mencapai derajat kesehatan dan
kesejahteraan masyarakat (Hasan, 2006).
2.3 Ketahanan Pangan di Banten
Ketahanan pangan belum tercapai saat ketersediaan pangan saja yang
terpenuhi. Ketahanan pangan akan tercapai ketika akses terhadap pangan tersebut
memadai serta penyerapan pangannya dapat berlangsung secara baik. Kondisi
inilah yang belum tercapai di banyak kabupaten di Indonesia. Ketersediaan pangan
yang memadai bahkan berlebih tidak disertai dengan akses pangan yang memadai.
Hal ini berakibat pada penyerapan pangan yang tidak maksimal sehingga banyak
kabupaten di Indonesia yang belum mampu mencapai ketahanan pangan meskipun
telah mencapai surplus pangan.
Dengan kondisi seperti ini, maka Provinsi Banten belum dapat mewujudkan
ketahanan pangan keseluruhan. Karena beberapa permasalahan mengenai pangan.
Penduduk tanpa akses terhadap listrik merupakan salah satu parameter ketahanan
pangan pada aspek akses pangan dan penghidupan. Persentase penduduk tanpa
akses terhadap listrik rendah dapat mempengaruhi kegiatan ekonomi yang akan
semakin tinggi dengan adanya listrik yang dapat diakses masyarakat. Kegiatan
ekonomi yang semakin tinggi akan membuka peluang yang lebih besar untuk akses
pekerjaan. Peluang akses pekerjaan yang lebih besar akan meningkatkan tingkat
kesejahteraan masyarakat Banten, namun faktana belum semua rumah tangga di
Provinsi Banten menggunakan listrik.
Status gizi anak (biasanya usia di bawah 5 tahun) merupakan indikator yang
baik untuk mengetahui penyerapan/ absorbsi pangan. Faktor yang mempengaruhi
status gizi seorang balita adalah situasi ketahanan pangan. Kondisi ketahanan
pangan yang tidak baik akan meningkatkan resiko terjadinya balita dengan gizi
kurang.
Hal ini juga diperkuat oleh data-data yang kami dapatkan dari
(www.bps.go.id, Indeks Ketahanan Pangan), bahwa Aspek kecukupan pangan
dilihat dari tiga indikator yaitu kecukupan persediaan pangan, tidak kekurangan
pangan dan ketakutan kekurangan pangan. Aspek keterjangkauan fisik, ekonomi,
dan sosial diperoleh dari tiga indikator yaitu indikator pangan yang diproduksi di
kecamatan, indikator tidak mengalami kesulitan menjangkau pembelian serta
indikator harga pembelian tidak tinggi.
Adapun aspek kecukupan asupan dideteksi dari indikator tidak ada balita
yang kurang gizi atau berat badan yang rendah serta indikator tidak adanya balita
yang meninggal karena sakit. Adapun aspek kualitas air diwakili oleh indikator
sumber air minum utama dan indikator sumber air untuk memasak. Semakin baik
kualitas air yang dimanfaatkan oleh rumahtangga, akan menghindarkan anggota
rumahtangga mengalami kesehatan yang buruk. Masing-masing aspek dibuat
skoring, yang kemudian dikonversikan dalam bentuk persentase. Selanjutnya, IKP
diperoleh dari rata-rata persentase ketiga dimensi tersebut. Dengan batasan satu
standar deviasi, dibuatlah pengkategorian IKP daerah, yaitu Kurang Tahan Pangan,
Cukup Tahan Pangan dan Tahan Pangan Tinggi. Alhasil Sensus Pertanian 2013
menunjukkan kurangnya ketahanan pangan rumahtangga pada beberapa provinsi.
Secara umum, nilai IKP Kawasan Timur Indonesia masih tertinggal dibandingkan
Kawasan Barat Indonesia. Perbandingan antarpulau menunjukkan hanya Pulau
Jawa yang nilainya di atas rata-rata nilai IKP Nasional.
Ketahanan pangan juga tidak terlepas dari keberadaan dan aksesibilitas air
bersih. Keduanya saling terkait dan berperan sentral di tengah kebutuhan pangan
yang semakin meningkat. Dari sisi pemanfaatan, air bersih dalam jumlah yang
cukup, berkualitas dan aman dikonsumsi, dibutuhkan untuk pengolahan pangan dan
pemenuhan kesehatan serta produktivitas manusia. Persentase rumahtangga di
Banten sendiri yang menggunakan air permukaan (sungai/hujan/lainnya) sebagai
sumber air minum ataupun untuk memasak masing-masing mencapai 1,07 persen
dan 1,94 persen. Dilihat menurut wilayah tempat tinggal, persentase rumahtangga
yang menggunakan sumber air sungai/hujan/lainnya sebagai sumber air minum atau
untuk keperluan memasak di wilayah kabupaten, pada umumnya lebih banyak
dibandingkan mereka yang tinggal di wilayah kota. Kondisi ini mengindikasikan
bahwa rumahatangga yang tinggal di wilayah kabupaten selain kekurangan
infrastruktur air bersih khususnya air ledeng, juga kurang memiliki akses terhadap
fasilitas air kemasan/isi ulang, pompa/sumur bor, karena pengadaannya
memerlukan biaya yang cukup mahal.
Berdasarkan hasil perhitungan IKP ini, Banten menempati peringkat 12 di
Indonesia dengan skor mencapai 80,60 (Cukup Tahan Pangan). Sementara Kota
Serang berada pada posisi 219 dari 514 kabupaten/kota yang ada di Indonesia.
Untuk kabupaten/kota lainnya, dapat dilihat pada Tabel 2.2.

2.4 Strategi Untuk Mempercepat Ketahanan Pangan


Maka dari itu strategi yang kami tawarkan untuk mempercepat terwujudnya
ketahanan pangan di Banten yaitu Kemampuan menjangkau pangan atau
aksesibilitas rumahtangga terhadap pangan adalah kemampuan rumahtangga untuk
secara periodik memenuhi sejumlah pangan yang dibutuhkan. Kemampuan tersebut
terutama dipengaruhi oleh daya beli, yang ditentukan oleh besarnya pendapatan dan
harga pangan. Aksesibilitas pangan rumahtangga merupakan aspek kritis dalam
perwujudan ketahanan pangan, karena menjadi salah satu pilar ketahanan pangan,
selain ketersediaan dan pemanfaatan pangan. Dengan kata lain, meski secara fisik
pangan tersedia namun jika rumahtangga tidak mampu mengaksesnya, maka
ketahanan pangan tidak akan terwujud. Kemampuan akses pangan rumahtangga
dikatakan baik apabila rumahtangga mampu menjangkau pangan yang tersedia
untuk memenuhi kebutuhan gizi anggotanya setiap saat.
Ketahanan pangan tidak hanya bertumpu kepada penyediaan pangan tingkat
wilayah, tetapi juga ketersediaan pangan tingkat daerah dan rumahtangga, dan
bahkan bagi individu dalam memenuhi kebutuhan pangannya. Masalah produksi
pangan yang hanya terkonsentrasi di wilayah tertentu dan pada waktu-waktu
tertentu, mengakibatkan konsentrasi ketersediaan hanya di sentra-sentra produksi
dan pada masa-masa panen pula. Di sisi lain, pola konsumsi yang relatif sama antar-
individu, antar-waktu, dan antar-daerah menyebabkan adanya masa-masa defisit
dan lokasi-lokasi defisit pangan. Oleh karena itu mekanisme pasar dan distribusi
antar lokasi serta antar waktu dengan mengandalkan cadangan persediaan pangan,
akan mempengaruhi keseimbangan antara ketersediaan dan konsumsi pangan.
Keseimbangan yang terbentuk antara ketersediaan dan konsumsi pangan ini, pada
akhirnya akan menentukan harga yang terjadi di pasar.
Faktor keseimbangan yang tercermin pada harga, sangat berkaitan erat
dengan daya beli rumahtangga terhadap pangan. Oleh karena itu, meskipun pangan
secara fisik tersedia di pasar namun apabila harga terlalu tinggi dan tidak terjangkau
oleh daya beli rumahtangga, maka rumahtangga tersebut tidak akan dapat
mengakses pangan yang tersedia. Kondisi seperti ini dapat menyebabkan terjadinya
kerawanan pangan atau minimal kekurangan gizi atau bahkan berujung pada
kematian. Ketahanan pangan juga mempengaruhi status gizi masyarakat. Jika
ketahanan pangan kurang, status gizi masyarakat cenderung menjadi kurang
sehingga menyebabkan turunnya derajat kesehatan. Oleh karena itu, rumahtangga
yang ketahanan pangannya mencukupi, rata-rata memiliki status gizi baik.
Sementara itu asupan kalori dan asupan protein yang menjadi indikator
aspek kecukupan pangan dalam dimensi pemanfaatan pangan, dapat digunakan
untuk melihat tingkat kecukupan gizi rumahtangga. Hal ini karena rendahnya
asupan kalori dan protein berdampak kepada derajat kesehatan, rentan penyakit,
gizi buruk, dan balita pendek (stunting) (Dewan Ketahanan Pangan, 2010).
Berdasarkan urutan peringkat di Provinsi Banten, ketahanan pangan
kategori tertinggi terdapat pada Kota Tangerang Selatan, Kota Tangerang,
Kabupaten Tangerang, dan Kota Cilegon. Sedangkan katergoti cukup berada di
Kabupaten Serang, Kota Serang, Kabupaten Pandeglang, dan Kabupaten Lebak.
BAB IV
PENUTUP

4.1 Simpulan
Ketersediaan pangan memiliki 9 indikator rawan pangan yang terdiri dari
indikator rasio warung, rasio toko, rasio keluarga tidak sejahtera, rasio rumah
tangga tanpa listrik, rasio akses roda 4, rasio anak tidak sekolah, rasio rumah tangga
tanpa air bersih, rasio jumlah tenaga kesehatan dan rasio fasilitas sanitasi, dan
kompleksitas ketahanan pangan dapat disederhanakan dengan menitikberatkan
pada tiga dimensi yang berbeda, namun saling berkaitan yaitu ketersediaan pangan,
akses pangan oleh rumah tangga, dan pemanfaatan pangan oleh individu.
DATAR PUSTAKA

Ariani, M dan Pitono, J. 2014.Diversifikasi Konsumsi Pangan: Kinerja dan


PerspektifKeDepan. Diversifikasi Pangan dan transformasi Pembangunan
Pertanian. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian
Pertanian.
Dewan Ketahanan Pangan. 2010. Panduan Penyusunan Peta Ketahanan dan
Kerentanan Pangan Indonesia, A Food Security and Vulnerability Atlas of
Indonesia (FSVA). Jakarta: Dewan Ketahanan Pangan
Dewan Ketahanan Pangan. 2010. Studi Penyusunan Indeks Ketahanan
Pangab Rumah Tangga Provinsi Banten 2017. Serang: CV. Dharmaputra.
Jelliffe D,B. and Jelliffe. EFP. 1989. Community Nutritional Assesment with
Special Reference to Less Technically Developed Countries. Oxford University:
PressOxford.
Maxwell, D; C. Levin; M.A. Klemeseau; M.Rull; S.Morris and C.Aliadeke.
2000. Urban Livelihoods and Food Nutrition Security in Greater Accra,Ghana.
IFPRI in Collaborative with Noguchi Memorial for Medical Research and World
Health Organization. Washington, D.C. Research Report No.112.
Soblia, E.T, 2009. Tingkat Ketahanan Pangan Rumah tangga, Kondisi
Lingkungan, Morbiditas, Dan Hubungannya Dengan Status Gizi Anak Balita Pada
Rumah tangga Di Daerah Rawan Pangan Banjarnegara, Jawa Tengah. Bogor:
Departemen Gizi Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor.
Soetrisno, N. 1998. Ketahanan Pangan. Prosiding Widyakarya Nasional
Pangan dan Gizi VI. Jakarta: LIPI.
Suhardjo, 2018. Produksi Pangan Kabupaten Serang Surplus dan Aman.
www.serangkab.go.id (Diakses pada 17 November 2019, pukul 11.42 WIB).
Triwidiyanti, Qurrota, dkk. 2018. Perbedaan Dan Pengaruh Indikator
Ketahanan Pangan Terhadap Proporsi BBLR Pada Wilayah Pesisir Pulau Jawa
(Kabupaten Bangkalan dan Kabupaten Tulungagung). DOI. Vol.2 (1): 37-43.
WHO. Maternal Mortality: World Health Organization; 2014.

Anda mungkin juga menyukai