A. Latar Belakang
Menurut Undang-Undang Nomor 7 tahun 1996 tentang pangan, ketahanan pangan
adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari
tersedianya pangan secara cukup, baik dari jumlah maupun mutunya, aman, merata dan
terjangkau. Dengan demikian, suatu wilayah dikatakan berhasil dalam pembangunan
ketahanan pangan jika adanya peningkatan produksi pangan, distribusi pangan yang lancar
serta konsumsi pangan yang aman dan berkecukupan gizi pada seluruh masyarakat
(Rahmawati, 2012). Ketahanan pangan terdiri dari 3 subsistem, yaitu 1) Ketersedian Pangan
(Food Availability) 2) Akses Pangan (Food Access) 3) Penyerapan Pangan (Food Utilization)
(Adriani & Wirtjatmadi, 2012).
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan pangan?
2. Bagaimana ketahanan pangan di Indonesia?
3. Bagaimana permasalahan pangan di Indonesia?
4. Bagaimana ketersediaan pangan di Indonesia?
5. Bagaimana produksi pangan di Indonesia?
6. Bagaimana pasokan pangan di Indonesia?
7. Bagaimana cadangan pangan di Indonesia?
8. Bagaimana akses pangan di Indonesia?
9. Bagaimana konsumsi pangan di Indonesia?
10. Bagaimana kecukupan gizi di Indonesia?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi dari pangan
2. Untuk mengetahui ketahanan pangan di Indonesia
3. Untuk mengetahui permasalahan pangan di Indonesia
4. Untuk mengetahui ketersediaan pangan di Indonesia
5. Untuk mengetahui produksi pangan di Indonesia
6. Untuk mengetahui pasokan pangan di Indonesia
7. Untuk mengetahui cadangan pangan di Indonesia
8. Untuk mengetahui akses pangan di Indonesia
9. Untuk mengetahui konsumsi pangan di Indonesia
10. Untuk mengetahui kecukupan gizi di Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Pangan
Dalam Undang Undang No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan (Setneg, 1996), pangan
didefinisikan sebagai segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah
maupun tidak diolah, yang digunakan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi
manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang
digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan atau pembuatan makanan dan minuman.
Sedangkan Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012, Pangan adalah
segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan,
perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah guna sebagai
makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan
baku pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan dan
atau pembuatan makanan atau minuman.
Undang-Undang No. 18 tahun 2012 tentang pangan pada pasal satu memberikan
definisi ketahanan pangan sebagai “kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan
perseorangan, menggambarkan dari tersedianya pangan yang cukup baik jumlah maupun
mutunya, aman, beragam, bergizi, merata dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan
agama, keyakinan dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif dan produktif
secara berkelanjutan”. Sedangkan Badan Pangan Dunia (FAO) memberikan definisi
ketahanan pangan sebagai kondisi dimana tersedianya pangan yang memenuhi kebutuhan
setiap orang baik dari segi mutu pangan dan jumlah pangan pada setiap saat untuk hidup
sehat aktif dan produktif (Simatupang 2007).
Kebijakan ketahanan pangan Indonesia semenjak orde baru tidak banyak berubah
hingga saat ini yaitu dengan pendekatan penyediaan pangan (Food Avaibility Approach) atau
FAA (Simatupang, 2007). Paradigma FAA menyatakan bahwa ketahanan pangan suatu
negara ditentukan oleh kemampuan negara untuk menyediakan makanan pokok yang cukup
bagi seluruh warga negara dan kurang memperhatikan aspek distribusi dan akses terhadap
pangan. Pendekatan FAA dalam ketahanan pangan beranggapan apabila pasokan pangan
tersedia maka para pedagang akan menyalurkan pangan tersebut secara efisien dan harga
pangan akan tetap stabil dalam tingkat harga yang dapat dijangkau oleh seluruh masyarakat.
Pendekatan FAA dalam mewujudkan ketahan pangan menyebabkan perumusan kebijakan
pemerintah dalam pangan selama ini berfokus pada keterjangkauan harga dan swasembada
pangan. Hal ini mengakibatkan pemerintah Indonesia selalu fokus pada strategi jangka
pendek dan menengah berupa stabilisasi harga komoditas beras selaku komoditi pangan
utama di Indonesia dan strategi jangka panjang berupa pewujudan swasembada beras
(Simatupang, 2007). Dalam upaya menuju swasembada pangan, selama bertahun-tahun
pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan intensifikasi pertanian seperti pemberian
subsidi pupuk, subdisi benih, pembangunan infrastruktur pertanian, peningkatan kualitas sdm
petani, pemberian kredit pertanian dan lain-lain yang berfokus pada peningkatan produksi
pangan nasional dan berusaha menjaga harga pangan di masyarakat dengan membiayai
cadangan pangan, membuat sistem jaringan cadangan pangan melalui Bulog selaku lumbung
pangan nasional dan mengeluarkan Harga Eceran Tertinggi (HET) pada komoditas beras
(Purwaningsih, 2008).
Menurut USAID, terdapat enam indikator akses pangan yang perlu dilakukan
pertimbangan untuk melakukan monitoring dan indikator untuk intervensi sebagai berikut.
1. Indikator yang perlu dilakukan adalah identifikasi akses pangan individu, dan
ini tidak bisa dinilai dengan akses pangan rumah tangga.
2. Kebutuhan pangan tidak dapat untuk menilai penggunaan pangan oleh anggota
dalam rumah tangga
3. Pendapatan yang diperoleh rumah tangga akan mempengaruhiu akses pangan
berdasarkan daya beli
4. Rumah tangga memiliki strategi dalam memperoleh pendapatan seperti tenaga
kerja, lahan, modal, dan ternak.
5. Akses pangan memiliki dimensi waktu karena pendapatan akan mengalami
fluktuasi.
Indonesia masih memiliki permasalahan akses pangan baik dalam tingkat wilayah
maupun rumah tangga. Rawan pangan masih terjadi di kawasan timur Indonesia karena rata-
rata konsumsi belum sesuai anjuran pemerintah. Menurut Suryana di tahun 2014, terdapat
kesenjangan yang besar antara ketersediaan pangan dengan rata-rata pangan yang
dikonsumsi. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain :
1. Ketimpangan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) antar wilayah .
2. Kesenjangan pembangunan sarana dan prasarana antar wilayah karena kondisi
geografi
3. Ketimpangan Pembangunan Sarana dan Prasarana Indonesia memiliki wilayah
yang luas
4. Besaran perbedaan pendapatan tingkat rumah tangga
5. Adanya kenaikan harga pangan dan non pangan
6. Perilaku Masyarakat terkait konsumsi pangan yang menyimpang
Banyaknya faktor yang mempengaruhi terjadinya permasalahan pangan maka terdapat
upaya-upaya untuk mengatasi permaslaahan akses pangan sebagai berikut.
1. Melakukan pembangunan dan pengembangan infrastruktur di kawasan Timur
Indonesia
2. Membangun Pulau Mandiri Pangan supaya bekerjasama untuk memenuhi
kebutuhan pangan di wilayah tersebut.
3. Menin gkatkan daya beli masyarakat dengan cara meningkatkan pendapatan
masyarakat
4. Menyetabilkan harga pangan dan non pangan supaya masyarakat dapat
mengakses pangan
5. Meningkatkan pengetahuan masyarakat terkait pola makan yang sehat dan
bergizi
6. Melakukan pemberian bantuan pangan dengan pemerintah, swasta dan
masyarakat
E. Konsumsi pangan di Indonesia
1. Beras
Beras merupakan salah satu bahan pokok utama yang diperlukan masyarakat
Indonesia. Komoditas beras di Indonesia tidak dapat tergantikan oleh komoditas bahan pokok
lainnya karena beras megandung kalori yang tinggi. Sehingga beras berperan penting dalam
ketahanan pangan di Indonesia. Konsumsi beras di tingkat rumah tangga menjadi konsumsi
terbesar beras yaitu 77,5 perkapita. Sedangkan konsumsi terendah terhadap beras adalah
bidang jasa. Wilayah yang memiliki tingkat konsumsi beras tertinggi adalah Provinsi
Sulawesi Barat dan disusul oleh Nusa Tenggara Timur sebesar 101,32 kg per kapita per
tahun. Konsumsi terendah pada beras adalah daerah Yogyakarta. Konsumsi beras tingkat
nasional sebesar 103,75 kg per kapita per tahun.
2. Daging sapi dan kerbau
Daging sapi dan kerbau merupakan salah satu sumber protein hewani yang berperan
dalam memenuhi kebutuhan gizi masyarakat. Konsumsi daging dipengaruhi oleh
ketersediaan dan daya beli masyarat (pendapatan) yang akan menghasilkan impact berupa
kualitas sumber daya manusia yang baik. Tingkat konsumsi rumah tangga terhadap daging
sapi dan kerbau adalah 0,52 kg per kapita per tahun.Tingkat konsumsi ini lebih rendah
dibandingkan dengan tingkat konsumsi pada horeka sebesar 2,20 kg per kapita per tahun
yang artinya hampir 75% dari konsumsi daging sapi dan kerbau dimanfaatkan oleh horeka.
Pada tahun 2019, daerah yang memiliki tingkat konsumsi daging sapi dan kerbau tertinggi
adalah provinsi Jawa Barat yang kemudian disusul oleh provinsi Jawa Timur dan DKI
Jakarta. Ketiga daerah tersebut memiliki tingkat konsumsi daging yang tinggi didukung oleh
institusi rumah tangga. Konsumsi daging sapi dan kerbau di tingkat nasional sebesar 2,90 kg
per kapita per tahun.
3. Daging Ayam
Bahan pangan dengan kandungan protein hewani tidak hanya berupa daging sapi
namun daging ayam. Sedangkan daging ayam yang dikonsumsi secara umum adalah ayam
potong dan ayam kampung, namun ayam potong lebih dominan. Masyarakat Indonesia lebih
memilih mengkonsumsi daging ayam karena lebih murah, enak, dan kandungan kolesterol
yang lebih rendah. Namun, tingkat konsumsi daging ayam pada skala rumah tangga masih di
bawah konsumsi skala horeka yang berkisar 10,22 kg per kapita per tahun. Hal ini
dipengaruhi oleh banyaknya usaha kuliner yang menjadikan daging ayam sebagai bahan
masakan. Selain itu, ketersediaan usaha kuliner dengan bahan daging ayam menyebabkan
tingkat rumah tangga jarang mengolah daging ayam, dan cenderung memilih yang praktis
dengan membeli di kedai kuliner. Jawa Barat dan Jawa Timur merupakan provinsi dengan
tingkat konsumsi daging ayam yang tinggi. Konsumsi daging ayam di tingkat nasional
sebesar 16,99 kg per kapita per tahun
4. Telur
Telur merupakan salah satu bahan makanan sumber protein yang dipilih masyarakat
Indonesia karena mudah diperoleh, cukup terjangkau, dan mudah diolah sehingga kebutuhan
telur di Indonesia cukup tinggi. Kebutuhan telur di Indonesia dapat dipenuhi oleh hasil
produksi lokal. Terdapat 6,74 kg per kapita per tahun konsumsi telur rumah tangga di
Indonesia dengan konsumsi nasional sebesar 20,94 kg per kapita per tahun. Konsumsi telur
tertinggi terjadi di wilayah Jawa Barat ,Jawa Timur dan Jawa Tengah.
5. Ikan segar
Indonesia merupakan negara maritim yang memiliki banyak potensi sumberdaya laut.
Ikan memiliki kandungan protein yang tinggi, rendah kolesterol, dan memiliki omega 3 yang
dibutuhkan untuk perkembangan sel tubuh. Oleh karena itu, hal ini sangat diharapkan mampu
untuk memenuhi kebutuhan ikan. Selain mengandalkan hasil laut, masyarakat juga
melakukan budidaya ikan air tawar. Jenis ikan yang sering dikonsumsi antara lain, ikan
cakalang, ikan nila, ikan lele, ikan bandeng, ikan mujair, ikan nila. Konsumsi ikan segar di
Indonesia sekitar 53,79 kg per kapita per tahun di tahun 2019. Namun, pengguna bahan ikan
segar terbesar dilakukan oleh industri dengan persentase 54,64% dari total konsumsi ikan.
Daerah yang memiliki kebutuhan ikan segar tertinggi adalah provinsi Jawa Timur.
6. Jagung
Jagung merupakan salah satu komoditas pangan sumber karbohidrat selain beras.
Sehingga jagung menjadi salah satu diversifikasi pangan di Indonesia dengan tujuan supaya
tidak bergantung dengan beras. Terdapat banyak olahan pangan yang berasal jagung antara
lain bihun, tepung maizena, pakan ternak, hingga minuman. Oleh sebab itu, produksi jagung
harus ditingkatkan supaya ketersediaan pangan cukup dan ketahanan pangan nasional
mengalami peningkatan. Pada tahun 2019, Indonesia mengkonsumsi jagung sebesar 48,272
kg per kapita per tahun. Provinsi Jawa Barat, Jawa Timur, dan Banten menjadi 3 daerah
dengan tingkat konsumsi jagung yang tinggi secara nasional. Namun, penggunaan jagung
tertinggi dilakukan pada sektor industri.
F. Kecukupan Gizi
Penentuan dalam menetapkan status gizi seseorang membutuhkan pengukuran untuk
menilai status gizi apakah kekurangan gizi atau tidak. Dalam Angka Kecukupan Gizi (AKG)
yang sesuai pemakaian yakni dapat dilihat dari suatu kecukupan rata-rata zat gizi yang telah
dikonsumsi pada setiap hari dengan seseorang yang menggunakan menurut golongan umur,
jenis kelamin, ukuran tubuh dan aktivitas guna untuk sebuah pencapaian pada derajat
kesehatan yang baik. Proses menghitung kecukupan gizi secara baik dan benar yang telah
dianjurkan sebagai umumnya telah mempunyai faktor keberagaman dengan adanya
kebutuhan seseorang, maka dari itu kecukupan gizi dapat dikatakan sebagai nilai rata-rata
yang dapat dicapai penduduk bersama adanay indikator yang telah di berikan sebelumnya.
Kecukupan gizi dalam mengkonsumsi zat gizi pada umumnya telah mempunyai
kandungan didalam bahan pangan yang berguna untuk memberikan energy pada tubuh
seseorang, seperti halnya dapat mengatur proses dan mekanisme tubuh dan juga dapat
mengatur dalam pertumbuhan perbaikan jaringan tubuh. Semakin cepat seseorang bertambah
umur maka akan memiliki sikap yang aktif, dan dapat menentukan makanan yang mereka
suka dan konsumsi. Setiap kekurangan gizi sangat sering terjadi yang disebabkan terjadinya
pembatasan konsumsi makanan yang tidak ada perhatian dalam adanya kaidah gizi dan
kesehatan, maka dari itu menyebabkan asupan gizi secara kuantitas dan kualitas tidak dapat
sesuai dengan adanya angka kecukupan gizi (AKG) yang telah dianjurkan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
Arida, Agustina, Sofyan Sofyan, and Keumala Fadhiela. "Analisis Ketahanan Pangan Rumah
Tangga Berdasarkan Proporsi Pengeluaran Pangan Dan Konsumsi Energi (Studi
Kasus Pada Rumah Tangga Petani Peserta Program Desa Mandiri Pangan Di
Kecamatan Indrapuri Kabupaten Aceh Besar)." Jurnal Agrisep 16.1 (2015): 20-34.
Nurhemi, Shinta RI, Guruh Suryani R. Soekro, and R. Suryani. "Pemetaan ketahanan pangan
di Indonesia: Pendekatan TFP dan indeks ketahanan pangan." Jakarta: Bank
Indonesia (2014).
Ahdiat, A. (2022). Ketahanan Pangan Indonesia Melemah Pada 2021. Databoks, 2021.
https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2022/03/22/ketahanan-pangan-indonesia-
melemah-pada-2021
Shinta, A. (2010). Identifikasi Angka Kecukupan Gizi dan Strategi Peningkatan Gizi
Keluarga di Kota Probolinggo (Studi Kasus di Kecamatan Kedopok dan Mayangan). SEPA:
Jurnal Sosial Ekonomi Pertanian dan Agribisnis, 7(1).
Rahmariza, E., Tanziha, I., & Sukandar, D. (2016). Analisis Determinan Karakteristik
Keluarga dan Pemenuhan Hak Kesehatan Anak serta Dampaknya terhadap Status Gizi. Media
Kesehatan Masyarakat Indonesia, 12(3), 153-160.