Anda di halaman 1dari 15

ANALISIS KETAHANAN DAN PERMASALAHAN PANGAN DI INDONESIA

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Gizi Keluarga


Dosen Pengampu Mata Kuliah : Oktovina Rizky Indrasari, S.KM., M.Kes

Disusun Oleh Kelompok 4 :


Elva Rofiana 10319001
Arrsillaufiatma Mayhimamia Fahmuamlia 10319014
Fransisca Nindy Wardany 10319025
Mery Shafiyah Adzra Adilah 10319037
Rohisa Findi Liyana 10319050
Yuwanita Rifka Anjayani 10319068

PROGRAM STUDI S1 KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN KESEHATAN
INSTITUT ILMU KESEHATAN BHAKTI WIYATA KEDIRI
2021
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Menurut Undang-Undang Nomor 7 tahun 1996 tentang pangan, ketahanan pangan
adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari
tersedianya pangan secara cukup, baik dari jumlah maupun mutunya, aman, merata dan
terjangkau. Dengan demikian, suatu wilayah dikatakan berhasil dalam pembangunan
ketahanan pangan jika adanya peningkatan produksi pangan, distribusi pangan yang lancar
serta konsumsi pangan yang aman dan berkecukupan gizi pada seluruh masyarakat
(Rahmawati, 2012). Ketahanan pangan terdiri dari 3 subsistem, yaitu 1) Ketersedian Pangan
(Food Availability) 2) Akses Pangan (Food Access) 3) Penyerapan Pangan (Food Utilization)
(Adriani & Wirtjatmadi, 2012).

Kebutuhan pangan merupakan kebutuhan mendasar bagi setiap individu. Pangan


harus tersedia setiap harinya, agar individu tersebut mempunyai cadangan energi yang cukup
untuk melakukan aktivitasnya sehari-hari. Stabilitas ketahanan pangan harus terus dijaga dari
tahun ketahun atau secara berkelanjutan. Salah satu cara untuk menjaga stabilitas ketahan
pangan adalah dengan mengupayakan kemandirian pangan. Kemandirian pangan semakin
penting ditengah perkembangan mengenai isu-isu negative tentang pangan, energi, dan
finansial secara global. Isu- isu tersebut ditandai dengan : 1) Harga pangan internasional
mengalami lonjakan drastis, 2) Meningkatnya kebutuhan pangan untuk ergi alternatif, 3)
Resesi ekonomi global yang berakibat semakin menurunnya daya beli masyarakat terhadap
pangan; 4) Serbuan pangan asing (westernisasi diet) berpotensi besar penyebab gizi lebih dan
5) Meningkatnya ketergantungan pada impor.

Berdasarkan aturan-aturan gizi, secara umum konsumsi pangan harus mengandung


sumber karbohidrat, protein, lemak serta vitamin dan mineral dengan kuantitas dan kualitas
yang cukup. Sumber karbohidrat dapat berasal dari serelia dan umbi-umbian. Sumber protein
dapat berasal dari pangan hewani dan kacang- kacangan. Sumber lemak dapat berasal dari
pangan bijibijian berminyak dan berlemak, serta vitamin berasal dari sayur dan buah.
Banyaknya pilihan sumber makanan tersebut masih kurang terlihat pada kondisi Negara
Indonesia. Hal tersebut dikarenakan beras masih menjadi makanan pokok dan masih belum
dapat tergeser oleh sumber pangan lainnya. Konsumsi beras masih mendominasi kontribusi
energi dari pangan sumber karbohirdrat, sehingga konsumsi beras masyarakat masih tinggi
(Kementrian Pertanian, 2017). Berdasarkan keterangan tersebut diketahui pola konsumsi di
Indonesia masih didominasi oleh tingginya konsumsi dari sumber pangan karbohidrat,
terutama beras. Oleh sebab itu diperlukan perubahan dalam pola konsumsi pangan dengan
meningkatkan pendidikan, pengetahuan gizi, dan kesejahteraan masyarakat, sehingga status
gizinya tercukupi.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan pangan?
2. Bagaimana ketahanan pangan di Indonesia?
3. Bagaimana permasalahan pangan di Indonesia?
4. Bagaimana ketersediaan pangan di Indonesia?
5. Bagaimana produksi pangan di Indonesia?
6. Bagaimana pasokan pangan di Indonesia?
7. Bagaimana cadangan pangan di Indonesia?
8. Bagaimana akses pangan di Indonesia?
9. Bagaimana konsumsi pangan di Indonesia?
10. Bagaimana kecukupan gizi di Indonesia?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi dari pangan
2. Untuk mengetahui ketahanan pangan di Indonesia
3. Untuk mengetahui permasalahan pangan di Indonesia
4. Untuk mengetahui ketersediaan pangan di Indonesia
5. Untuk mengetahui produksi pangan di Indonesia
6. Untuk mengetahui pasokan pangan di Indonesia
7. Untuk mengetahui cadangan pangan di Indonesia
8. Untuk mengetahui akses pangan di Indonesia
9. Untuk mengetahui konsumsi pangan di Indonesia
10. Untuk mengetahui kecukupan gizi di Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Pangan

Dalam Undang Undang No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan (Setneg, 1996), pangan
didefinisikan sebagai segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah
maupun tidak diolah, yang digunakan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi
manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang
digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan atau pembuatan makanan dan minuman.
Sedangkan Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012, Pangan adalah
segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan,
perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah guna sebagai
makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan
baku pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan dan
atau pembuatan makanan atau minuman.

B. Ketahanan Pangan Di Indonesia

Undang-Undang No. 18 tahun 2012 tentang pangan pada pasal satu memberikan
definisi ketahanan pangan sebagai “kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan
perseorangan, menggambarkan dari tersedianya pangan yang cukup baik jumlah maupun
mutunya, aman, beragam, bergizi, merata dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan
agama, keyakinan dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif dan produktif
secara berkelanjutan”. Sedangkan Badan Pangan Dunia (FAO) memberikan definisi
ketahanan pangan sebagai kondisi dimana tersedianya pangan yang memenuhi kebutuhan
setiap orang baik dari segi mutu pangan dan jumlah pangan pada setiap saat untuk hidup
sehat aktif dan produktif (Simatupang 2007).

Kebijakan ketahanan pangan Indonesia semenjak orde baru tidak banyak berubah
hingga saat ini yaitu dengan pendekatan penyediaan pangan (Food Avaibility Approach) atau
FAA (Simatupang, 2007). Paradigma FAA menyatakan bahwa ketahanan pangan suatu
negara ditentukan oleh kemampuan negara untuk menyediakan makanan pokok yang cukup
bagi seluruh warga negara dan kurang memperhatikan aspek distribusi dan akses terhadap
pangan. Pendekatan FAA dalam ketahanan pangan beranggapan apabila pasokan pangan
tersedia maka para pedagang akan menyalurkan pangan tersebut secara efisien dan harga
pangan akan tetap stabil dalam tingkat harga yang dapat dijangkau oleh seluruh masyarakat.
Pendekatan FAA dalam mewujudkan ketahan pangan menyebabkan perumusan kebijakan
pemerintah dalam pangan selama ini berfokus pada keterjangkauan harga dan swasembada
pangan. Hal ini mengakibatkan pemerintah Indonesia selalu fokus pada strategi jangka
pendek dan menengah berupa stabilisasi harga komoditas beras selaku komoditi pangan
utama di Indonesia dan strategi jangka panjang berupa pewujudan swasembada beras
(Simatupang, 2007). Dalam upaya menuju swasembada pangan, selama bertahun-tahun
pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan intensifikasi pertanian seperti pemberian
subsidi pupuk, subdisi benih, pembangunan infrastruktur pertanian, peningkatan kualitas sdm
petani, pemberian kredit pertanian dan lain-lain yang berfokus pada peningkatan produksi
pangan nasional dan berusaha menjaga harga pangan di masyarakat dengan membiayai
cadangan pangan, membuat sistem jaringan cadangan pangan melalui Bulog selaku lumbung
pangan nasional dan mengeluarkan Harga Eceran Tertinggi (HET) pada komoditas beras
(Purwaningsih, 2008).

Kebijakan pemerintah dalam mewujudkan ketahanan pangan ditunjukkan dalam peran


aktif pemerintah dalam membangun sitem ketahanan pangan yang baik dan berdaya tahan
(resilience). Keberhasilan kebijakan pemerintah dalam mewujudkan ketahanan pangan akan
sangat bergantung pada paradigma atau pendekatan yang dipilih dalam melihat konteks
ketahanan pangan dan mengintegrasikan kebijakan ketahanan pangan dengan kebijakan
pembangunan nasional lainnya semisal kebijakan pengentasan kemiskinan dan kebijakan
makro perekonomian (Simanjutak, 2007). Saat ini potensi produksi pangan sebagai bagian
kebijakan dari ketahanan pangan Indonesia tidak didayagunakan secara optimal. Peranan
sektor pertanian dalam Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia terutama di kategori
tanaman pangan tampak tidak begitu besar, PDB pertanian Indonesia hanya mampu mencatat
sebesar 12,84% dari total PDB di tahun 2020 (BPS, 2020). Namun demikian, sektor pertanian
masih menjadi sektor terbesar yang menyerap tenaga kerja sebesar 27,33% di tahun 2019
(BPS, 2020). Jika permasalahan pangan ini tidak mendapatkan perhatian khusus dari
pemerintah, bukan tidak mungkin peran pertanian dalam perekonomian negara akan semakin
kecil, bahkan mungkin di masa depan, Indonesia dapat masuk ke dalam kondisi krisis pangan
yang dapat mempengaruhi stabilitas nasional (Rachman et al, 2005).

C. Masalah Pangan di Indonesia


Negara Indonesia merupakan negara yang luas dengan sumber pangan yang
melimpah. Dengan jumlah penduduk yang sangat besar saat ini yaitu sekitar 230 juta jiwa
dengan laju pertumbuhan yang masih cukup cepat yaitu 1,4 persen per tahun, yang disertai
dengan peningkatan daya beli, perbaikan tingkat pendidikan dan kesadaran akan kesehatan
dan kebugaran jasmani, membutuhkan bahan pangan dengan kuantitas yang makin besar dan
kualitas yang makin tinggi. Untuk menjamin ketersediaan pangan, maka diperlukan sistem
ketahanan pangan yang makin kuat. Pembangunan ketahanan pangan nasional diarahkan
untuk mencapai kemandirian pangan. Namun dalam pemenuhan pangan tersebut masih
terdapat masalah.
Menurut Menteri Koordinator Maritim dan Investasi. Ketahanan pangan Indonesia
pada 2021 melemah dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Berdasarkan data Global Food
Safety Initiative (GFSI) mencatat skor indeks ketahanan pangan Indonesia pada 2020
mencapai level 61,4. Namun, pada 2021 indeksnya turun menjadi 59,2.Indeks tersebut
menjadikan ketahanan pangan Indonesia tahun 2021 berada di peringkat ke-69 dari 113
negara. GFSI mengukur ketahanan pangan negara-negara dari empat indikator besar, yakni
keterjangkauan harga pangan (affordability), ketersediaan pasokan (availability), kualitas
nutrisi dan keamanan makanan (quality and safety), serta ketahanan sumber daya alam
(natural resources and resilience).Menurut penilaian GFSI, harga pangan di Indonesia cukup
terjangkau dan ketersediaan pasokannya cukup memadai jika dibandingkan dengan negara-
negara lain. Standar nutrisi dan keragaman makanan pokok di Indoensia juga masih dinilai
rendah. Hal ini bisa terjadi karena sumber daya alam Indonesia memiliki ketahanan yang
belum baik karena belum dilindungi oleh kebijakan yang kuat dari pemerintah. Faktor lain
yang menyebabkan buruknya pertahanan angan di Indonesia saat ini adalah karena adanya
bencana seperti adanya perubahan iklim yang kurang menentu, cuaca ekstrem dan
pencemaran yang dilakukan oleh manusia (Ahdiat, 2022).
Masalah lainnya yaitu terkait keterjangkauan pangan yang ditentukan oleh daya beli
masyarakat. Dalam hal ini besarnya masyarakat yang mempunyai daya beli rendah dapat
diukur oleh besarnya angka kemiskinan. Berdasarkan data BPS tahun 2013 jumlah dan
proporsi penduduk miskin selama lima tahun terakhir mengalami penurunan, namun
penurunannya berjalan lamban. Pada tahun 2013 penduduk miskin di Indonesia sebanyak
28,07 juta jiwa atau sekitar 11,37 persen. Namun, meskipun dalam hal kemiskinan
mengalami penurunan, angak tersebut dinilai masih besar. Adanya kemiskinan menyebabkan
rata-rata konsumsi pangan dan gizi masyarakat relatif rendah. Rata-rata konsumsi energi di
masyarakat masih kurang dari 2.000 kkal, angka tersebut lebih rendah dari rekomendasi
sebesar 2.150 kkal. Analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa rata-rata tingkat konsumsi
energi/ kapita/hari di perdesaan sebesar 1.860 kkal, lebih tinggi dari di perkotaan sebesar
1.825 kkal. Kondisi ini terkait dengan aksesibilitas penduduk perdesaan terhadap pangan
yang berada di sekitar lingkungan rumahnya. Berdasarkan uraian diatas, diketahui bahwa
terjadi kesenjangan yang cukup besar antara rata-rata ketersediaan pangan yang lebih dari
cukup dan rata-rata pangan yang benar-benar dikonsumsi oleh masyarakat yang ternyata
masih di bawah rekomendasi.(Suryana, 2014)
Masalah ketiga yaitu adanya ketidak seimbangan produksi pangan natr wilayah.
Hampir untuk semua komoditas, proporsi produksi pangan di Jawa lebih dari 50 persen dari
produksi pangan nasional. Ketidakseimbangan ini akan meningkatkan permasalahan upaya
pemerataan pangan dan biaya distribusi pangan, sehingga mempersulit penyediaan pangan
secara merata ke seluruh daerah di Indonesia. Bila tidak dilakukan pembangunan infrastuktur
dan sistem logistik pangan antarwilayah, akan sulit untuk mengatasi ketidakseimbangan
produksi antarwilayah. (Suryana, 2014)
Masalah kelima adalah pemborosan pangan masih cukup tinggi. Kehilangan pangan
(food losses) karena ketidaktepatan penanganan pangan mulai dari saat panen sampai dengan
pengolahan dan berlanjut pada pemasaran, dipercayai masih sekitar 10 persen sampai 20
persen, bergantung pada komoditas, musim, dan teknologi yang digunakan. Sementara itu,
pemborosan pangan (food waste) yang terjadi mulai dari pasar konsumen akhir sampai
dibawa dan disimpan di rumah, lalu disajikan di meja makan namun tidak dimakan,
diperkirakan mencapai lebih dari 30 persen.(Suryana, 2014)
D. Akses pangan di Indonesia
Akses pangan merupakan salah satu aspek yang mempengaruhi kondisi gizi melalui
ketahanan pangan di suatu komunitas. Akses pangan dipengaruhi oleh pendapatan,
pengeluaran, pasar dan harga pangan. Menurut data BPS, pada tahun 2021 terdapat 10,14%
rumah tangga miskin atau sebanyak 27,54 juta orang penduduk miskin. Pengeluaran
masyarakat Indonesia di tahun 2020 lebih besar pada sektor non pangan dibandingkan sektor
pangan. Hal ini terlihat pada pengeluaran untuk makanan sebesar 49,22% dan pengeluaran
non makanan sebesar 50,78%. Indonesia telah berusaha meningkatkan kemampuan rumah
tangga untuk mendapatkan pangan yang beragam melalui berbagai program salah satunya
program BPNT. Selain itu, banyak sosialisasi dan pelatihan yang dilakukan berbagai pihak
untuk memampukan masyarakat terkait penggunaan lahan. Terdapat beberapa pendapat
terkait hal-hal yang berpengaruh terhadap akses pangan yang tersaji pada tabel berikut.
Sumber Variabel yang berpengaruh
USAID dalam FANTA 2003) Produkssi pangan, daya beli,
pengumpulan, dan pemberian
FAO (2011) Harga, pendapatan, pasar,
infrastruktur, distribusi makanan dalam
keluarga, masalah perempuan
Work Stream 5 of the Scottish Pengetahuan, harga dan pendapatan,
Goverment’s Food Forum (2005) geografi, kelompok lokal dan masyarakat,
gaya hidup, perubahan pangan orientasi
konsumen
IFPRI (2012) Konsumsi, harga, pendapatan,
kesehatan, pendidikan, sanitasi

Menurut USAID, terdapat enam indikator akses pangan yang perlu dilakukan
pertimbangan untuk melakukan monitoring dan indikator untuk intervensi sebagai berikut.
1. Indikator yang perlu dilakukan adalah identifikasi akses pangan individu, dan
ini tidak bisa dinilai dengan akses pangan rumah tangga.
2. Kebutuhan pangan tidak dapat untuk menilai penggunaan pangan oleh anggota
dalam rumah tangga
3. Pendapatan yang diperoleh rumah tangga akan mempengaruhiu akses pangan
berdasarkan daya beli
4. Rumah tangga memiliki strategi dalam memperoleh pendapatan seperti tenaga
kerja, lahan, modal, dan ternak.
5. Akses pangan memiliki dimensi waktu karena pendapatan akan mengalami
fluktuasi.
Indonesia masih memiliki permasalahan akses pangan baik dalam tingkat wilayah
maupun rumah tangga. Rawan pangan masih terjadi di kawasan timur Indonesia karena rata-
rata konsumsi belum sesuai anjuran pemerintah. Menurut Suryana di tahun 2014, terdapat
kesenjangan yang besar antara ketersediaan pangan dengan rata-rata pangan yang
dikonsumsi. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain :
1. Ketimpangan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) antar wilayah .
2. Kesenjangan pembangunan sarana dan prasarana antar wilayah karena kondisi
geografi
3. Ketimpangan Pembangunan Sarana dan Prasarana Indonesia memiliki wilayah
yang luas
4. Besaran perbedaan pendapatan tingkat rumah tangga
5. Adanya kenaikan harga pangan dan non pangan
6. Perilaku Masyarakat terkait konsumsi pangan yang menyimpang
Banyaknya faktor yang mempengaruhi terjadinya permasalahan pangan maka terdapat
upaya-upaya untuk mengatasi permaslaahan akses pangan sebagai berikut.
1. Melakukan pembangunan dan pengembangan infrastruktur di kawasan Timur
Indonesia
2. Membangun Pulau Mandiri Pangan supaya bekerjasama untuk memenuhi
kebutuhan pangan di wilayah tersebut.
3. Menin gkatkan daya beli masyarakat dengan cara meningkatkan pendapatan
masyarakat
4. Menyetabilkan harga pangan dan non pangan supaya masyarakat dapat
mengakses pangan
5. Meningkatkan pengetahuan masyarakat terkait pola makan yang sehat dan
bergizi
6. Melakukan pemberian bantuan pangan dengan pemerintah, swasta dan
masyarakat
E. Konsumsi pangan di Indonesia

Tabel. Total Konsumsi Pangan di Indonesia Tahun 2019


Bahan Pangan Institusi Ton (ton) Per kapita
(kg)
Beras RT 20 685 619 77,50
Industri 465 83 5 1,75
Horeka 6 504 978 24,37
Jasa 33 66 0 0,13
Total 103,75
Daging Sapi dan RT
137 577 0,52 0,52
Kerbau
Industri 43 963 0,16
Horeka 586 576 2,20
Jasa 6 118 0,02
Total 2,90
Daging Ayam RT 1 705 673 6,39
Industri 93 446 0,35
Horeka 2 727 699 10,22
Jasa 7 678 0,029
Total 16,99
Telur Ayam/Bebek RT 1 799 534 6,74
Industri 138 616 0,52
Horeka 3 630 585 13,60
Jasa 20 754 0,08
Total 20,94
Ikan Segar RT 4 618 590 17,30
Industri 8 460 541 31,70
Horeka 1 273 695 4,77
Jasa 5 567 0,02
Total 53,79
Jagung RT 439 633 1,65
Industri 12 223 305 45,8
Horeka 219 769 0,82
Jasa 539 0,002
Total 48,272

1. Beras
Beras merupakan salah satu bahan pokok utama yang diperlukan masyarakat
Indonesia. Komoditas beras di Indonesia tidak dapat tergantikan oleh komoditas bahan pokok
lainnya karena beras megandung kalori yang tinggi. Sehingga beras berperan penting dalam
ketahanan pangan di Indonesia. Konsumsi beras di tingkat rumah tangga menjadi konsumsi
terbesar beras yaitu 77,5 perkapita. Sedangkan konsumsi terendah terhadap beras adalah
bidang jasa. Wilayah yang memiliki tingkat konsumsi beras tertinggi adalah Provinsi
Sulawesi Barat dan disusul oleh Nusa Tenggara Timur sebesar 101,32 kg per kapita per
tahun. Konsumsi terendah pada beras adalah daerah Yogyakarta. Konsumsi beras tingkat
nasional sebesar 103,75 kg per kapita per tahun.
2. Daging sapi dan kerbau
Daging sapi dan kerbau merupakan salah satu sumber protein hewani yang berperan
dalam memenuhi kebutuhan gizi masyarakat. Konsumsi daging dipengaruhi oleh
ketersediaan dan daya beli masyarat (pendapatan) yang akan menghasilkan impact berupa
kualitas sumber daya manusia yang baik. Tingkat konsumsi rumah tangga terhadap daging
sapi dan kerbau adalah 0,52 kg per kapita per tahun.Tingkat konsumsi ini lebih rendah
dibandingkan dengan tingkat konsumsi pada horeka sebesar 2,20 kg per kapita per tahun
yang artinya hampir 75% dari konsumsi daging sapi dan kerbau dimanfaatkan oleh horeka.
Pada tahun 2019, daerah yang memiliki tingkat konsumsi daging sapi dan kerbau tertinggi
adalah provinsi Jawa Barat yang kemudian disusul oleh provinsi Jawa Timur dan DKI
Jakarta. Ketiga daerah tersebut memiliki tingkat konsumsi daging yang tinggi didukung oleh
institusi rumah tangga. Konsumsi daging sapi dan kerbau di tingkat nasional sebesar 2,90 kg
per kapita per tahun.
3. Daging Ayam
Bahan pangan dengan kandungan protein hewani tidak hanya berupa daging sapi
namun daging ayam. Sedangkan daging ayam yang dikonsumsi secara umum adalah ayam
potong dan ayam kampung, namun ayam potong lebih dominan. Masyarakat Indonesia lebih
memilih mengkonsumsi daging ayam karena lebih murah, enak, dan kandungan kolesterol
yang lebih rendah. Namun, tingkat konsumsi daging ayam pada skala rumah tangga masih di
bawah konsumsi skala horeka yang berkisar 10,22 kg per kapita per tahun. Hal ini
dipengaruhi oleh banyaknya usaha kuliner yang menjadikan daging ayam sebagai bahan
masakan. Selain itu, ketersediaan usaha kuliner dengan bahan daging ayam menyebabkan
tingkat rumah tangga jarang mengolah daging ayam, dan cenderung memilih yang praktis
dengan membeli di kedai kuliner. Jawa Barat dan Jawa Timur merupakan provinsi dengan
tingkat konsumsi daging ayam yang tinggi. Konsumsi daging ayam di tingkat nasional
sebesar 16,99 kg per kapita per tahun
4. Telur
Telur merupakan salah satu bahan makanan sumber protein yang dipilih masyarakat
Indonesia karena mudah diperoleh, cukup terjangkau, dan mudah diolah sehingga kebutuhan
telur di Indonesia cukup tinggi. Kebutuhan telur di Indonesia dapat dipenuhi oleh hasil
produksi lokal. Terdapat 6,74 kg per kapita per tahun konsumsi telur rumah tangga di
Indonesia dengan konsumsi nasional sebesar 20,94 kg per kapita per tahun. Konsumsi telur
tertinggi terjadi di wilayah Jawa Barat ,Jawa Timur dan Jawa Tengah.
5. Ikan segar
Indonesia merupakan negara maritim yang memiliki banyak potensi sumberdaya laut.
Ikan memiliki kandungan protein yang tinggi, rendah kolesterol, dan memiliki omega 3 yang
dibutuhkan untuk perkembangan sel tubuh. Oleh karena itu, hal ini sangat diharapkan mampu
untuk memenuhi kebutuhan ikan. Selain mengandalkan hasil laut, masyarakat juga
melakukan budidaya ikan air tawar. Jenis ikan yang sering dikonsumsi antara lain, ikan
cakalang, ikan nila, ikan lele, ikan bandeng, ikan mujair, ikan nila. Konsumsi ikan segar di
Indonesia sekitar 53,79 kg per kapita per tahun di tahun 2019. Namun, pengguna bahan ikan
segar terbesar dilakukan oleh industri dengan persentase 54,64% dari total konsumsi ikan.
Daerah yang memiliki kebutuhan ikan segar tertinggi adalah provinsi Jawa Timur.
6. Jagung
Jagung merupakan salah satu komoditas pangan sumber karbohidrat selain beras.
Sehingga jagung menjadi salah satu diversifikasi pangan di Indonesia dengan tujuan supaya
tidak bergantung dengan beras. Terdapat banyak olahan pangan yang berasal jagung antara
lain bihun, tepung maizena, pakan ternak, hingga minuman. Oleh sebab itu, produksi jagung
harus ditingkatkan supaya ketersediaan pangan cukup dan ketahanan pangan nasional
mengalami peningkatan. Pada tahun 2019, Indonesia mengkonsumsi jagung sebesar 48,272
kg per kapita per tahun. Provinsi Jawa Barat, Jawa Timur, dan Banten menjadi 3 daerah
dengan tingkat konsumsi jagung yang tinggi secara nasional. Namun, penggunaan jagung
tertinggi dilakukan pada sektor industri.
F. Kecukupan Gizi
Penentuan dalam menetapkan status gizi seseorang membutuhkan pengukuran untuk
menilai status gizi apakah kekurangan gizi atau tidak. Dalam Angka Kecukupan Gizi (AKG)
yang sesuai pemakaian yakni dapat dilihat dari suatu kecukupan rata-rata zat gizi yang telah
dikonsumsi pada setiap hari dengan seseorang yang menggunakan menurut golongan umur,
jenis kelamin, ukuran tubuh dan aktivitas guna untuk sebuah pencapaian pada derajat
kesehatan yang baik. Proses menghitung kecukupan gizi secara baik dan benar yang telah
dianjurkan sebagai umumnya telah mempunyai faktor keberagaman dengan adanya
kebutuhan seseorang, maka dari itu kecukupan gizi dapat dikatakan sebagai nilai rata-rata
yang dapat dicapai penduduk bersama adanay indikator yang telah di berikan sebelumnya.
Kecukupan gizi dalam mengkonsumsi zat gizi pada umumnya telah mempunyai
kandungan didalam bahan pangan yang berguna untuk memberikan energy pada tubuh
seseorang, seperti halnya dapat mengatur proses dan mekanisme tubuh dan juga dapat
mengatur dalam pertumbuhan perbaikan jaringan tubuh. Semakin cepat seseorang bertambah
umur maka akan memiliki sikap yang aktif, dan dapat menentukan makanan yang mereka
suka dan konsumsi. Setiap kekurangan gizi sangat sering terjadi yang disebabkan terjadinya
pembatasan konsumsi makanan yang tidak ada perhatian dalam adanya kaidah gizi dan
kesehatan, maka dari itu menyebabkan asupan gizi secara kuantitas dan kualitas tidak dapat
sesuai dengan adanya angka kecukupan gizi (AKG) yang telah dianjurkan.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Kebutuhan pangan merupakan kebutuhan mendasar bagi setiap individu. Negara


Indonesia merupakan negara yang luas dengan sumber pangan yang melimpah. Dengan
jumlah penduduk yang sangat besar saat ini yaitu sekitar 230 juta jiwa dengan laju
pertumbuhan yang masih cukup cepat yaitu 1,4 persen per tahun, yang disertai dengan
peningkatan daya beli, perbaikan tingkat pendidikan dan kesadaran akan kesehatan dan
kebugaran jasmani, membutuhkan bahan pangan dengan kuantitas yang makin besar dan
kualitas yang makin tinggi. Kecukupan gizi dalam mengkonsumsi zat gizi pada umumnya
telah mempunyai kandungan didalam bahan pangan yang berguna untuk memberikan energy
pada tubuh seseorang, seperti halnya dapat mengatur proses dan mekanisme tubuh dan juga
dapat mengatur dalam pertumbuhan perbaikan jaringan tubuh. Setiap kekurangan gizi sangat
sering terjadi yang disebabkan terjadinya pembatasan konsumsi makanan yang tidak ada
perhatian dalam adanya kaidah gizi dan kesehatan, maka dari itu menyebabkan asupan gizi
secara kuantitas dan kualitas tidak dapat sesuai dengan adanya angka kecukupan gizi (AKG)
yang telah dianjurkan. Dalam hal ini Indonesia masih mengalami beberapa kendala dalam
sektor pangan sehingga kendala yang perlu di tinjau serius adalah keadaan gizi masyarakat
yang belum seimbang serta ekonomi yang tidak merata.

B. Saran

Sebaiknya pemerintah lebih memperhatikan masalah kesehatan pangan yang ada di


indonesia. Karena masih banyak masyarakat yang belum memahami bagaimana cara atau
strategi yang baik guna menjaga kesehatan pangan di indonesia. Dalam upaya mensukseskan
program ketahanan pangan pemerintah harus mengoptimalkan dan menggencarkan program
yang telah di buat seperti program diversifikasi pangan, intensifikasi pertanian, ekstentifikasi
pertanian dan perbaikan-perbaikan kualitas produk pertanian indonesia.
DAFTAR PUSTAKA

Arida, Agustina, Sofyan Sofyan, and Keumala Fadhiela. "Analisis Ketahanan Pangan Rumah
Tangga Berdasarkan Proporsi Pengeluaran Pangan Dan Konsumsi Energi (Studi
Kasus Pada Rumah Tangga Petani Peserta Program Desa Mandiri Pangan Di
Kecamatan Indrapuri Kabupaten Aceh Besar)." Jurnal Agrisep 16.1 (2015): 20-34.

Nurhemi, Shinta RI, Guruh Suryani R. Soekro, and R. Suryani. "Pemetaan ketahanan pangan
di Indonesia: Pendekatan TFP dan indeks ketahanan pangan." Jakarta: Bank
Indonesia (2014).

Ramlah, U. F. (2018). Implementasi jaminan produk pangan halal di Jambi. Jurnal Wacana


Hukum Islam dan Kemanusiaan, 18(2).
YUSMANITA, S. Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Penggunaan Bahan
Berbahaya
Untuk Produksi Pangan Industri Rumah Tangga Di Kota Pontianak Berdasarkan
Undang-undang Tentang Pangan. Jurnal Nestor Magister Hukum, 3(4), 210053.
Prabowo, D. W. (2014). Pengelompokan komoditi bahan pangan pokok dengan metode
Analytical Hierarchy Process. Buletin Ilmiah Litbang Perdagangan, 8(2), 163-182.
Salasa, A. R. (2021). Paradigma dan Dimensi Strategi Ketahanan Pangan Indonesia. Jejaring
Administrasi Publik, 13(1), 35-48.
Badan Pusat Statistik. 2021. Publikasi Konsumsi Bahan Pokok 2019. Jakarta: BPS
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2015. Memperkuat Kemampuan
Swasembada Pangan. Jakarta: IAARD Press

Ahdiat, A. (2022). Ketahanan Pangan Indonesia Melemah Pada 2021. Databoks, 2021.
https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2022/03/22/ketahanan-pangan-indonesia-
melemah-pada-2021

Suryana, A. (2014). Menuju Ketahanan Pangan Indonesia Berkelanjutan 2025: Tantangan


dan Penanganannya. Forum Penelitian Agro Ekonomi, 32(2), 123.
https://doi.org/10.21082/fae.v32n2.2014.123-135

Shinta, A. (2010). Identifikasi Angka Kecukupan Gizi dan Strategi Peningkatan Gizi
Keluarga di Kota Probolinggo (Studi Kasus di Kecamatan Kedopok dan Mayangan). SEPA:
Jurnal Sosial Ekonomi Pertanian dan Agribisnis, 7(1).
Rahmariza, E., Tanziha, I., & Sukandar, D. (2016). Analisis Determinan Karakteristik
Keluarga dan Pemenuhan Hak Kesehatan Anak serta Dampaknya terhadap Status Gizi. Media
Kesehatan Masyarakat Indonesia, 12(3), 153-160.

Anda mungkin juga menyukai