Anda di halaman 1dari 20

Nama: Linda

NPM: 174110213

Kelas: 7 A AGT

Pengertian Ketahanan Pangan Beserta Pilar Dan Tantangan Untuk Mencapainya

Pengertian Ketahanan Pangan

Ketahanan pangan adalah ketersediaan pangan dan kemampuan untuk mengaksesnya.

Sebagai contoh, sebuah rumah tangga mempunyai ketahanan pangan jika penghuninya tidak

berada pada kondisi kelaparan ataupun dihanui oleh macaman kelaparan. Penilaian ketahanan

pangan dibagi menjadi ketergantungan eksternal yang membagi serangkaian factor risiko dan

keswadayaan atau keswasembadaan perorangan.

Definisi dan paradigma ketahanan pangan terus mengalami perkembangan sejak adanya

Conference of Food and Agriculture tahun 1943 yang merencanakan konsep secure, adequate

and suitable supply of food for everyond. Definisi ketahanana pangan sangat bervariasi, namun

umumnya mengacu defenisi dari Bank Dunia (1986) dan Maxwell dan Frankenberger (1992)

yakni “akses semua orang setiap saat pada pangan yang cukup untuk hidup sehat (secure acces

atall times to suficientfoodfora healthy life).

Studi pustaka yang dilakukan oleh IFPRI (1999) diperkirakan terdapat 200 definisi dan

450 indikator tentang ketahanan pangan (Weingartner, 2000). Berikut disajikan beberapa definisi

ketahanan yang sering diacu:


1. Undang-Undang Pangan No.7 Tahun 1996: kondisi terpenuhinya kebutuhan pangan

bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan secara cukup, baik dari

jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau.

2. USAID (1992): kondisi ketika semua orang pada setiap saat mempunyai akses secara

fisik dan ekonomi untuk memperoleh kebutuhan konsumsinya untuk hidup sehat dan

poduktif.

3. FAO (1997): situasi dimana semua rumah tangga mempunyai akses baik fisik

maupun ekonomi untuk memperoleh pangan bagi seluruh anggota keluarganya,

dimana rumah tangga tidak beresiko mengalami kehilangan kedua akses tersebut.

4. FIVIMS (2005): kondisi ketika semua orang pada segala waktu secara fisik, social

dan ekonomi memiliki akses pada pangan yang cukup, aman dan bergizi untuk

pemenuhan kebutuhan konsumsi dan sesuai dengan seleranya (food preferences)

demi kehidupan yang aktif dan sehat.

5. Mercy Crops (2007): keadaan ketika semua orang pada setiap saat mempunyai akses

fisik, social, dan ekonomi terhadap kecukupan pangan, aman dan bergizi untuk

kebutuhan gizi sesuai dengan seleranya untuk hidup produktif dan sehat.

Berdasarkan definisi tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa ketahanan pangan memiliki

5 unsur yang harus dipenuhi:

1. Berorientasi pada rumah tangga dan individu

2. Dimensi waktu setiap saat pangan tersedia dan dapat diakses

3. Menekankan pada akses pangan rumah tangga dan individu, baik fisik, ekonomi dan

social

4. Berorientasi pada pemenuhan gizi


5. Ditujukan untuk hidup sehat dan produktif

Di Indonesia sesuai dengan Undang-Undang No.7 Tahun 1996, pengertian ketahanan

pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari: (1) tersedianya pangan secara cukup, baik dalam

jumlah maupun mutunya; (2) aman; (3) merata; dan (4) terjangkau. Dengan pengertian tersebut,

mewujudkan ketahanan pangan dan lebih dipahami sebagai berikut:

1. Terpenuhinya pangan dengan kondisi ketersediaan yang cukup, diartikan ke-

tersediaan pangan dalam arti luas, mencakup pangan yang berasal dari tanaman,

ternak, dan ikan untuk memenuhi kebutuhan atas karbohidrat, protein, lemak, vitamin

dan mineral serta turunannya, yang bermanfaat bagi pertumbuhan kesehatan manusia.

2. Terpenuhinya pangan dengan kondisi yang aman, diartikan bebas dari cemaran

biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan

membahayakan kesehatan manusia, serta aman dari kaidah agama.

3. Terpenuhinya pangan dengan kondisi yang merata, diartikan pangan yang harus

tersedia setiap saat dan merata di seluruh tanah air.

4. Terpenuhinya pangan dengan kondisi terjangkau, diartikan pangan mudah diperoleh

rumah tangga dengan harga yang terjangkau.

Sistem Ketahanan Pangan

 Konsep Sistem Ketahanan Pangan

Menurut FAO (1997) menyatakan bahwa ketahanan pangan merupakan situasi dimana

semua rumah tangga mempunyai akses baik fisik maupun ekonomi untuk memperoleh pangan

bagi seluruh anggota keluarganya, dan dimana rumah tangga tidak beresiko untuk mengalami

kehilangan kedua akses tersebut. Pencapaian ketahanan pangan di Indonesia terkait dengan salah
satu tujuan UUD 1945 dalam alinea keempat yaitu mencapai kesejahteraan umum. Hal tersebut

berarti konsep ketahanan pangan mencakup ketersediaan pangan yang memadai, stabilitas, dan

akses terhadap pangan-pangan utama.

Ketahanan pangan merupakan kondisi tersedianya pangan yang memenuhi kebutuhan

setiap orang setiap saat untuk dapat hidup sehat, aktif dan produktif. Makna yang terkandung

dalam ketahanan pangan mencakup dimensi fisik (ketersediaan), ekonomi (daya beli), gizi

(pemenuhan kebutuhan gizi individu) nilai budaya dan religius, keamanan pangan (kesehatan),

dan waktu (tersedia secara berkesinambungan) (Martianto & Hardinsyah 2001).

Maxwell 1990, diacu dalam Manesa 2009, menyatakan bahwa ketahanan pangan secara

mendasar didefinisikan sebagai akses semua orang pada setiap waktu terhadap kebutuhan pangan

agar dapat hidup sehat. Dari berbagai konsep ketahanan pangan tersebut dapat diartikan bahwa

ketahanan pangan rumah tangga disamping factor ketersediaan dan daya beli juga ditentukan

oleh factor akses pangan itu sendiri baik diperoleh secara langsung maupun melalui jaringan

lainnya.

Menurut Tim Penelitian-LIPI (2004), berdasarkan definisi ketahanan pangan dari FAO

(1996) dan UU RI No.7 tahun 1996, yang mengadopsi definisi dari FAO, ada 4 komponen yang

harus dipenuhi untuk mencapai kondisi ketahanan pangan yaitu: 1) kecukupan ketersediaan

pangan; 2) stabilitas ketersediaan pangan tanpa fluktuasi dari musim ke musim atau dari tahun ke

tahun; 3) aksesibilitas/keterjangkauan terhadap pangan serta 4) kualitas/keamanan pangan.

Keempat komponen tersebut dapat digunakan untuk mengukur ketahanan pangan di tingkat

rumah tangga. Ketahanan pangan sendiri menurut UU no. 7 tahun 1996 mengenai pangan,
merupakan kondisi terpenuhinya pangan bagi setiap rumah tangga yang tercermin dari

tersedianya pangan yang cukup baik jumlah dan mutunya, aman, merata dan terjangkau.

Konsep ketahanan pangan mulai mengalami perkembangan dari 1970-an hingga

dipertegas lagi mengenai pengertian ketahanan pangan pada World Food Summit yang

dilaksanakan tahun 1996 menyatakan bahwa ketahanan pangan tercapai bila semua orang secara

terus-menerus, baik secara fisik, social, dan ekonomi mempunyai akses untuk pangan yang

memadai/cukup, bergizi dan aman, yang memenuhi kebutuhan pangan mereka dan pilihan

makanan untuk hidup secara aktif dan sehat (DKP, 2009).

Ketahanan pangan merupakan kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang

tercermin dari:

 Tersedianya pangan yang cukup, baik dalam jumlah maupun mutunya;

 aman;

 merata;

 terjangkau (Departemen Pertanian, 2001)

Konsep ketahanan pangan semakin dipertegas dengan kebijakan pembangunan global

yaitu Millenium Development Goals (MDGs). Tujuan utama pembangunan MDGs yaitu

mengurangi proporsi penduduk yang hidup kemiskinan dan kelaparan sampai setengahnya pada

tahun 2015. Indonesia menjadi salah satu Negara yang berkomitmen untuk mengintegrasikan

MDGs sebagai bagian dari program pembangunan nasional. Indonesia telah melakukan berbagai

upaya untuk mencapai target MDGs. Upaya yang dilakukan oleh Indonesia antara lain adalah

dengan melaksanakan pembangunan ketahanan pangan sebagai salah satu program utama

pembangunan nasional.
 Elemen System Ketahanan Pangan

System ketahanan pangan dan gizi secara komprehensif meliputi empat subsistem, yaitu:

 Ketersediaan pangan dalam jumlah dan

 Jenis yang cukup untuk seluruh penduduk,

 Distribusi pangan yang lancer dan merata,

 Konsumsi pangan setiap individu yang memenuhi kecukupan gizi seimbang, yang

berdampak pada status gizi masyarakat.

Dengan demikian, system ketahanan pangan dan gizi tidak hanya menyangkut soal

produksi, distribusi, dan penyediaan pangan ditingkat makro (nasional dan regional), tetapi juga

menyangkut aspek mikro yaitu akses pangan di tingkat rumah tangga dan individu serta status

gizi anggota rumah tangga, terutama anak dan ibu hamil dari rumah tangga miskin (RAN PG

2006-2010).

Pilar Ketahanan Pangan

Ketersediaan pangan memiliki hubungan dengan suplai pangan melalui, distribusi

produksi dan pertukaran. Produksi pangan ditentukan oleh berbagai jenis factor, termasuk;

1. Kepemilikan lahan dan penggunaanya

2. Jenis dan manajemen tanah

3. Pemilihan, pemuliaan, dan manajemen tanaman pertanian

4. Pemuliaan dan manajemen hewan ternak

5. Pemanenan
Produksi sebuah tanaman seperti pertanian, banyak dipengaruhi banyak factor seperti

cuaca, curah hujan dan temperatur. Pemanfaatan lahan, air dan energy untuk menumbuhkan

produksi bahan pangan seringkali berkompetisi dengan kebutuhan lainnya.

Produksi tanaman pertanian bukanlah kebutuhan yang mutlak bagi suatu Negara untuk

dapat mencapai suatu ketahanan pangan. Sebagai contoh Negara yang tidak memiliki sumber

daya alam untuk memproduksi bahan pangan namun mampu mencapai ketahanan pangan adalah

singapura dan jepang.

Sub-sub Ketahanan Pangan

1. Sub System Ketersediaan

Subsistem ketersediaan pangan berfungsi menjamin pasokan pangan untuk

memenuhi kebutuhan seluruh penduduk, dari segi kuantitas, kualitas, keragaman dan

keamanannya. Terdapat acuan kuantitatif untuk ketersediaan, yaitu Angka Kecukupan

Gizi (AKG) rekomendasi Widya Karya Pangan dan Gizi VII tahun 2004, dalam satuan

rata-rata perkapita perhari untuk energy sebesar 2.200 Kilo Kalori dan protein 57 gram.

Angka tersebut merupakan standar kebutuhan energy bagi setiap individu agar mampu

menjalankan aktivitas sehari-hari. Di samping itu juga terdapat acuan untuk menilai

tingkat keragaman ketersediaan pangan, yaitu Pola Pangan Harapan (PPH) dengan skor

100 sebagai PPH yang ideal. Kinerja keragaman ketersediaan pangan pada suatu waktu

dapat dinilai dengan metoda PPH.

Ketersediaan pangan dapat dipenuhi dari tiga sumber yaitu: (1) produksi dalam

negeri, (2) impor pangan dan (3) pengelolaan cadangan pangan. Dengan jumlah

penduduk cukup besar dan kemampuan ekonomi relative lemah, maka kemauan untuk
menjadi bangsa yang mandiri di bidang pangan harus terus diupayakan. Karena itu,

bangsa Indonesia mempunyai komitmen tinggi untuk memenuhi kebutuhan pangannya

dari produksi dalam negeri. Impor pangan merupakan pilihan akhir, apabila terjadi

kelangkaan produksi pangan dalam negeri. Hal ini sangat penting untuk menghindari

ketergantungan pangan terhadap Negara lain, yang dapat berdampak pada kerentanan

oleh campur tangan asing baik secara ekonomi maupun politik. Hal yang perlu disadari

adalah, bahwa kemampuan memenuhi kebutuhan pangan dari produksi sendiri,

khususnya bahan pangan pokok, juga menyangkut harkat martabat dan kelanjutan

eksistensi bangsa.

Impor pangan sebagai alternatif terakhir untuk mengisi kesenjangan antara

produksi dan kebutuhan pangan dalam negeri, diatur sedemikian rupa agar tidak

merugikan kepentingan para produsen pangan di dalam negeri, yang mayoritas petani

skala kecil, juga kepentingan konsumen khususnya kelompok miskin. Kedua kelompok

produsen dan konsumen tersebut rentan terhadap gejolak perubahan harga yang tinggi.

Cadangan pangan merupakan salah satu sumber pasokan untuk mengisi

kesenjangan antara produksi dan kebutuhan dalam negeri atau daerah. Stabilitas pasokan

pangan dapat dijaga dengan pengelolaan cadangan yang tepat. Cadangan pangan terdiri

atas cadangan pangan pemerintah dan cadangan pangan masyarakat. Cadangan pangan

masyarakat meliputi rumah tangga, pedagang dan industry pengolahan. Cadangan pangan

pemerintah (pemerintah pusat, propinsi dan kabupaten/kota) hanya mencakup pangan

tertentu yang bersifat pokok.


Untuk menjaga dan meningkatkan kemampuan produksi pangan domestic diperlukan

kebijakan yang kondusif, meliputi insentif untuk berproduksi secara efisien dengan

pendapatan yang memadai, serta kebijakan perlindungan dari persaingan usaha yang

merugikan petani. Seperti dibahas di muka, kebijkan perdagangan perlu diterapkan dengan

tepat untuk melindungi kepentingan produsen maupun konsumen.

2. Subsistem Distribusi

Subsistem distribusi berfungsi mewujudkan system distribusi yang efektif dan

efisien, sebagai prasyarat untuk menjamin agar seluruh rumah tangga dapat memperoleh

pangan dalam jumlah dan kualitas yang cukup sepanjang waktu, dengan harga yang

terjangkau. Bervariasinya kemampuan produksi pangan antar wilayah dan antar musim

menuntut kecermatan dalam mengelola system distribusi, sehingga pangan tersedia

sepanjang waktu di seluruh wilayah. Kinerja subsistem distribusi dipengaruhi oleh

kondisi prasarana dan sarana, kelembagaan dan peraturan perundangan.

Sebagai Negara kepulauan, selain memerlukan prasarana dan sarana distribusi

darat dan antar pulau yang memadai untuk mendistribusikan pangan, juga input produksi

pangan ke seluruh pelosok wilayah yang membutuhkan. Untuk itu penyediaan prasarana

dan sarana distribusi pangan merupakan bagian dari fungsi fasilitas pemerintah, yang

pelaksanaanya harus mempertimbangkan aspek efektivitas distribusi pangan sekaligus

aspek efisiensi secara ekonomi. Biaya distribusi yang paling efisien harus menjadi acuan

utama, agar tidak membebani produsen maupun konsumen secaa berlebihan.

Lembaga pemasaran berperan menjaga kestabilan distribusi dan harga pangan.

Lembaga ini menggerakkan aliran produk pangan dari sentra-sentra produksi ke sentra-

sentra konsumsi, sehingga tercapai keseimbngan antara pasokan dan kebutuhan. Apabila
lembaga pemasaran bekerja dengan baik, maka tidak akan terjadi fluktuasi harga terlalu

besar pada musim panen maupun paceklik, pada saat banjir maupun sungai (sebagai jalur

distribusi) mongering, ketika omnak normal maupun ombak ganas, saat normal maupun

saat bencana.

Peraturan-peraturan pemerintah daerah, seperti biaya retribusi dan pungutan

lainnya dapat mengakibatkan biaya tinggi yang mengurangi efisiensi kinerja subsistem

distribusi. Di samping itu, keamanan di sepanjang jalur distribusi, di lokasi pemasaran

maupun pada proses transaksi sangat mempengaruhi besarnya biaya distribusi. Untuk itu,

iklim perdagangan yang adil, khususnya dalam penentuan harga dan cara pembayaran

perlu diwujudkan, sehingga tidk terjadi eksploitasi oleh salah satu pihak terhadap pihak

lain (pihak yang kuat terhadap yang lemah). dalam Hal ini, penjagaan keamanan,

pengaturan perdagangan yang kondusif dan penegakan hokum menjadi kunci

keberhasilan kinerja subsistem distribusi.

Stabilitas pasokan dan harga merupakan indicator penting yang menunjukkan

kinerja subsistem distribusi. Harga yang terlalu berfluktuasi dapat merugikan petani

produsen, pengolah pedagang hingga konsumen, sehingga berpotensi menimbulkan

keresahan social. Oleh sebab itu hampir semua Negara melakukan intervensi kebijakan

untuk menjaga stabilitas harga pangan pokok yang mempengaruhi kehidupan sebagian

besar masyarakat. Dalam kaitan ini pemerintah telah menerapkan kebijakan stabilitas

harga pangan, melalui pembelian maupun penyaluran bahan pangan (beras) oleh Perum

Bulog.

System perdagangan pangan global yang semakin terbuka dapat menjadi kendala

dalam upaya stabilitas harga pangan. Kebijakan-kebijakan subsidi domestic, subsidi


ekspor dan kredit ekspor yang diterapkan oleh Negara-negara eksportir telah

menyebabkan harga pangan global terdistorsi dan tidak merefleksikan biaya produksi

yang sebenarnya. Untuk melindungi produsen dalam negeri dari persaingan yang tidak

adil, diperlukan kebijakan proteksi secara selektif dengan perhitungan yang cermat.

3. Subsistem Konsumsi

Subsistem konsumsi berfungsi mengarahkan agar pola pemanfaatan pangan secara

nasional memenuhi kaidah mutu, keragaman, kandungan gizi, keamanan dan kehalalan,

di samping juga efisiensi untuk mencegah pemborosan.

Subsistem konsumsi juga mengarahkan agar pemanfaatan pangan dalam tubuh (food

utility) dapat optimal, dengan peningkatan kesadaran atas pentingnya pola konsumsi

beragam dengan gizi seimbang mencakup energy, protein, vitamin dan mineral,

pemeliharaan sanitasi dan hygiene serta pencegahan penyakit infeksi dalam lingkungan

rumah tangga. Hal ini dilakukan melalui pendidikan dan penyadaran masyarakat untuk

meningkatkan pengetahuan, kesadaran, dan kemauan menerapkan kaidah-kaidah tersebut

dalam pengelolaan konsumsi.

Kinerja subsistem konsumsi tercermin dalam pola konsumsi masyarakat di tingkat

rumah tangga. Pola konsumsi dalam rumah tangga dipengaruhi oleh berbagai factor

antara lain kondisi ekonomi, social dan budaya setempat. Untuk itu, penanaman

kesadaran pola konsumsi yang sehat perlu dilakukan sejak dini melalui pendidikan

formal dan non-formal. Dengan kesadaran gizi yang baik, masyarakat dapat menentukan

pilihan pangan sesuai kemampuannya dengan tetap memperhatikan kuantitas, kualitas,

keragaman dan keseimbangan gizi. Dengan kesadaran gizi yang baik, masyarakat dapat
meninggalkan kebiasaan serta budaya konsumsi yang kurang sesuai dengan kaidah gizi

dan kesehatan. Kesadaran yang baik ini lebih menjamin teroenuhinya kebutuhan gizi

masing-masing anggota keluarga sesuai dengan tingkatan usia dan aktivitasnya.

Acuan kuantitatif untuk konsumsi pangan adalah Angka Kecukupan Gizi (AKG)

rekomendasi Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) ke-VIII tahun 2004, dalam

satuan rata-rata per kapita perhari, untuk energi 2.000 Kilo kalori dan protein 52 gram.

Acuan untuk menilai tingkat keragaman konsumsi pangan adalah Pola Pangan Harapan

(PPH) dengan skor 100 sebagai pola yang ideal. Kinerja keragaman konsumsi pangan

pada suatu waktu untuk komunitas tertentu dapat dinilai dengan metoda PPH.

Dalam kondisi kegagalan berfungsinya salah satu subsistem di atas, maka pemerintah

perlu melakukan tindakan intervensi. Berbagai macam intervensi yang dapat dilakukan

adalah: (a) pada subsistem ketersediaan berupa bantuan/subsidi saprodi, kebijakan harga

pangan, kebijakan impor/ekspor, kebijakan cadangan pangan pemerintah; (b) pada

subsistem distribusi berupa penyaluran pangan bersubsidi, penyaluran pangan untuk

keadaan darurat dan operasi pasar untuk pengendalian harga pangan; dan (c) pada

subsistem konsumsi dapat dilakukan pemberian makanan tambahan untuk kelompok

rawan pangan/gizi buruk, pemberian bantuan tunai untuk meningkatkan kemampuan

mengakses pangan.

Lembaga Dalam System Ketahanan Pangan

Melalui berbagai kesepakatan internasional dan nasional, Indonesia telah menyatakan

komitmen dan berperan aktif dalam berbagai program yang terkait dengan ketahanan pangan dan

kemiskinan, antara lain melalui deklarasi Roma Tahun 1996 pada Konferensi Tingkat Tinggi
(KTT) Pangan Dunia, Deklarasi Millenium Development Goals (MDGs) Tahun 2000,

International Convenant on Economic, Social, and Cultural Rights (ICOSOC) yang sudah

diratifikasi oleh Indonesia dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005, Regional ASEAN

pada Sidang ASEAN Ministers on Agriculture and Forestry (AMAF) di Ha Noi pada bulan

Oktober 2008. Di dalam negeri telah terwujud melalui kesepakatan Gubernur selaku Ketua

Dewan Ketahanan Pangan (DKP) Provinsi dan Bupati/Walikota selaku Ketua DKP

Kabupaten/Kota dalam Konferensi dan Sidang Regional DKP pada bulan November 2008.

Ketahanan pangan dengan prinsip kemandirian dan berkelanjutan senantiasa harus

diwujudkan dari waktu ke waktu, sebagai prasyarat bagi keberkelanjutan eksistensi bangsa

Indonesia. Upaya mewujudkan ketahanan pangan tidak terlepas dari pangaruh factor-faktor

internal maupun eksternal yang terus berubah secara dinamis, dalam penyelenggaraan ketahanan

pangan, peran Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota dalam mewujudkan ketahanan

pangan sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 13 Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2002

adalah melaksanakan dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan ketahanan pangan di

wilayah masing-masing dan mendorong keikutsertaan masyarakat dalam penyelenggaraan

ketahanan pangan, dilakukan dengan: (a) memberikan informasi dan pendidikan ketahanan

pangan; (b) meningkatkan motivasi masyarakat; (c) membantu kelancaran penyelenggaraan

ketahanan pangan; (d) meningkatkan kemandirian ketahanan pangan.

Mengingat pentingnya ketahanana pangan, pemerintah mengambil langkah tegas dengan

mengeluarkan (a) peraturan pemerintah nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat

Daerah, (b) Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2007 tentang Laporan Penyelenggaraan

Pemerintah Daerah Kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Informasi Laporan

Penyelenggaraan Pemerintahan Daeraha Kepada Masyarakat, dan (c) Peraturan Pemerintah


Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah

Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sebagai pengganti Peraturan

Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Provinsi Sebagai

Daerah Otonom.

Sebagaimana diamantkan dalam Pasal 7 huruf m, Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun

2007 bahwa Ketahanan Pangan sebagai urusan wajib dalam penyelenggaraan pemerintahan.

Menindaklanjuti ketahanan pangan sebagai urusan wajib bagi daerah, maka diterbitkan Peraturan

Menteri Dalam Negeri Nomor 57 Tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis Penataan Organisasi

Perangkat Daerah dan hasil Konferensi Dewan Ketahanan Pangan menjadi acuan implementasi

di daerah. Sampai dengan tahun 2009 secara bertahap di provinsi dan kabupaten/kota telah

dibentuk 438 lembaga structural ketahanan pangan tersebar di 33 provinsi dan 405

kabupaten/kota. Dari 438 lembaga structural ketahanan pangan tersebut yang bersifat mandiri

dalam bentuk Badan Ketahanan Pangan di Provinsi sejumlah 19 unit, dan 38 unit di tingkat

Kabupaten/kota. Selebihnya beragam, baik dalam bentuk Kantor Ketahanan Pangan maupun

bergabung dengan Unit Kerja Lain.

Strategi Dalam System Ketahanan Pangan

Strategi yang dikembangkan dalam upaya pembangunan ketahanan pangan adalah

sebagai berikut:

1. Peningkatan kapasitas produksi pangan nasional secara berkelanjutan (minimum setara

dengan laju pertumbuhan penduduk) melalui intensifikasi, ekstensifikasi dan

diversifikasi.
2. Revitalisasi industry hulu produksi pangan (benih, pupuk, pestisida dan alat dan mesin

pertanian).

3. Revitalisasi Industry Pasca Panen dan Pengolahan Pangan.

4. Revitalisasi dan restrukturisasi kelembgaan pangan yang ada; koperasi, UKM dan

lumbung desa.

5. Pengembangan kebijakan yang kondusif untuk terciptanya kemandirian pangan yang

melindungi pelaku bisnis pangan dari hulu hingga hilir meliputi penerapan technical

barrier for Trade (TBT) pada produk pangan, insentif, alokasi kredit, dan harmonisasi

tariff bea masuk, pajak resmi dan tak resmi.

Ketahanan pangan diwujudkan oleh hasil kerja system ekonomi pangan yang terdiri dari

subsistem ketersediaan meliputi produksi, pasca panen dan pengolahan, subsistem distribusi dan

subsistem konsumsi yang saling berinteraksi secara berkesinambungan. Ketiga subsistem

tersebut merupakan satu kesatuan yang didukung oleh adanya berbagai input sumberdaya alam,

kelembagaan, budaya, dan teknologi. Proses ini hanya akan berjalan dengan efisien oleh adanya

partisipasi masyarakat dan fasilitas pemerintah.

Partisipasi masyarakat (petani, nelayan dll) dimulai dari proses produksi, pengolahan,

distribusi dan pemasaran serta jasa pelayanan di bidang pangan. Fasilitas pemerintah

diimplementasikan dalam bentuk kebijakan ekonomi makro dan mikro di bidang perdagangan,

pelayanan dan pengaturan serta intervensi untuk mendorong terciptanya kemandirian pangan.

Output dari pengembangan kemandirian pangan adalah terpenuhinya pangan, SDM berkualitas,

ketahanan pangan, ketahanan ekonomi dan ketahanan nasional.


Factor Yang Mempengaruhi Ketahanan Pangan

Untuk mewujudkan ketahanan pangan nasional, setidaknya ada factor hal penting dan

berpengaruh yang ketersediaan ketahanan pangan antara lain sebagai berikut:

1. Luas lahan

Makin banyak dan luas lahan untuk pertanian pangan maka ketahanan pangan

Negara tersebut semakin baik. Maraknya pembangunan untuk industry dan pemukiman

membuat lahan pertanian semakin menyusut dan ini menjadi pertanda serius dan

ancaman bagi NKRI. Pertambahan penduduk dan penyebaran yang tidak merata

menyebabkan lahan pertanian semakin menyempit oleh dorongan aktivitas manusia.

2. Cuaca dan iklim

Pertanian lahan basah sangat bergantung pada kondisi jatuhnya musim. Jika

terjadi kemarau panjang maka biasanya terjadi paceklik atau gagal panen. Nelayan di

pantai juga sangat bergantung pada kondisi perairan disekitarnya. Jika ada badai maka

mereka tidak melaut. Selain itu kadangkala terjadi anomaly cuaca yang menyebabkan

perubahan pola tanam.

3. Teknologi

Kemajuan teknologi sangan mempengaruhi produktivitas pertanian. Di Negara

maju, panen sudah menggunakan mesin otomatis sehingga hemat biaya dan waktu. Selain

itu pengolahan berbagai macam produk juga memerlukan teknologi yang canggih.
4. Infrastruktur

Baik tidaknya suatu infrastruktur akan sangat mempengaruhi stabilitas ketahanan

pangan. Infrastruktur menjadi tanggung jawab pemerintah untuk menyediakannya, dan

menjadi tanggung jawab rakyat untuk menjaga an memeliharanya agar terjadi simbiosis

mutualisme demi tercapainya kemajuan di suatu bangsa, yang bagian kecilnya adalah

tercapainya ketahanan pangan.

5. Kondisi ekonomi, politik, social dan keamanan

Ketahanan pangan dapat tercipta apabila aspek penting dalam suatu Negara

terpenuhi. Aspek ini ada empat poin yakni kondisi ekonomi, politik, social, dan

keamanan. Sebab, apabila dari keempat aspek tersebut tidak dapat berjalan dengan baik

maka dampaknya dapat meluas ke segi lainnya yang merugikan masyarakat termasuk

ketahanan pangan.

6. Degradasi lahan

Diperkirakan 40% dari lahan pertanian di dunia terdegradasi secara serius.

Pertanian intensif mendorong terjadinya penurunan kesuburan tanah dan penurunan hasil.

7. Hama dan penyakit

Penyakit dan hama dapat mempengaruhi sebuah produksi budidaya pertenakan

dan tanaman sehingga dapat berdampak bagi ketersediaan suatu bahan pangan. Contoh

penyakit tanaman Ug99, salah satu penyakit karat batang pada gandum dapat

menyebabkan kehilangan hasil pertanian hingga 100%.


8. Krisis air global

Tingginya muka air tanah terus menurun di berbagai Negara dikarenakan

pemompaan yang berlebihan. Diberbagai Negara di dunia telah melakukan importasi

gandum yang disebabkan oleh terjadinya deficit air, Negara-negara besar sudah

mengalaminya seperti china dan india.

9. Perebutan lahan

Kepemilikan lahan lintas batas Negara semakin meningkat. Perusahaan Korea

Utara Daewoo Logistics telah mengamankan satu bidang lahan yang luas di Madagascar

untuk membudidayakan jagung dan tanaman pertanian lainnya untuk produksi biofuel.

10. Perubahan iklim

Fenomena cuaca yang estrim seperti kekeringan dan banjir diperkirakan akan

meningkat karena perubahan iklim terjadi. Kejadian ini akan memiliki dampak di sector

pertanian. Diperkirakan pada tahun 2040, hampir seluruh kawasan sungai Nil akan

menjadi padang pasir di mana aktivitas budidaya tidak dimungkinkan karena

keterbatasanair.

Perbedaan Dan Pengaruh Indicator Ketahanan Pangan Terhadap Proporsi BBLR Pada

Wilayah Pesisir Pulau Jawa (Kabupaten Bangkalan dan Kabupaten Tulungagung)

Pangan dan produksi pangan berkaitan dengan ketahanan pangan dan status gizi suatu

wilayah. Terdapat 9 indikator ketahanan pangan yaitu rasio warung, rasio took, rasio rumah

tangga tidak sejahtera, rasio rumah tangga tanpa arus listrik, rasio akses roda 4, rasio anak tidak

sekolah, rasio rumah tangga tanpa air bersih, rasio jumlah tenaga kesehatan, dan rasio fasilitas

sanitasi. Ketahanan pangan dipengaruhi beberapa aspek, selain aspek ketersediaan, angka

kemiskinan tiap tahun juga mempengaruhi status ketahanan pangan. Rumah tangga di wilayah
pesisir memiliki tingkat kesejahteraan rendah, hal ini disebabkan adanya pembagian hasil

tangkap yang kecil pada nelayan. Berdasarkan Food Security Vulnerability Atlas (FSVA) tahun

2016 wilayah Kabupaten Bangkalan dan Kabupaten Tulungagung termasuk dalam kategori

wilayah rawan pangan, serta masih ditemukan adanya BBLR kedua kabupaten.

Penentuan Dimensi Serta Indicator Ketahanan Pangan Di Indonesia Kaji Ulang Metode

Ketahanan Pangan- World Food Program

Pangan merupakan kebutuhan manusia yang paling mendasar. Untuk mencapai

ketahanan pangan diperlukan ketersediaan pangan dalam jumlah dan kualitas yang cukup,

terdistribusi dengan harga terjangkau dan aman dikonsumsi bagi setiap warga untuk menopang

aktivitasnya sehari-hari sepanjang waktu. Menurut Suryana pemenuhan kebutuhan pangan dalam

konteks ketahanan pangan merupakan pilar bagi pembentukan sumber daya manusia berkualitas

yang diperlukan untuk meningkatkan daya saing bangsa Indonesia di tataran global.

Menurut Food and Agriculture Organization (FAO), ketahanan pangan lebih banyak

ditentukan oleh kondisi social ekonomi daripada iklim pertanian, dan pada akses terhadap

pangan ketimbang produksi atau ketersediaan pangan. Ketahanan pangan sendiri didefenisikan

sebagai akses setiap rumah tangga atau individu untuk dapat memperoleh pangan pada setiap

waktu untuk keperluan hidup yang sehat dengan persyaratan penerimaan pangan sesuai dengan

nilai atau budaya setempat. Di Indonesia, pengelolaan ketahanan pangan dimandatkan kepada

dewan ketahanan pangan (DKP) yang dibentuk pada tahun 2001 dan diketahui langsung oleh

presiden dengan penanggung jawab hariannya Menteri Pertanian. Lembaga ini bertugas untuk

merumuskan kebijakan di bidang ketahanan pangan nasional.


DKP bekerja sama dengan World Food Programme (WFP) telah melakukan pemetaan

wilayah (atlas) kerawanan dan kerentanan pangan Food Security and Vulnerability Atlas (FSVA)

sampai level kabupaten di seluruh Indonesia pada tahun 2005 dan tahun 2009. Tujuan

penyusunan peta tersebut adalah sebagai salah satu alat bagi pemerintah daerah dalam

mengembangkan strategi yang tepat untuk menangani kerentanan pangan. Metode yang

digunakan dalam pembuatan FVSA mengacu pada panduan WFP. Salah satu aspek kunci

metode tersebut ialah penetapan bobot setiap indicator dalam perhitungan indeks komposit

ketahanan dan kerentanan pangan. Metode yang digunakan oleh DKP-WFP ialah Principal

Component Analysis (PCA) atau analisis komponen utama.

Anda mungkin juga menyukai