Anda di halaman 1dari 21

A.

PENGERTIAN KETAHANAN PANGAN

1. Swasembada Pangan versus Ketahanan Pangan.


Pada level nasional pengertian ketahanan pangan telah menjadi perdebatan
selama tahun 1970 sampai tahun 1980an. Ketahanan pangan nasional tidak
mensyaratkan untuk melakukan swasembada produksi pangan karena tergantung
pada sumberdaya yang dimiliki. Suatu negara bisa menghasilkan dan mengekspor
komoditas pertanian yang bernilai ekonomi tinggi dan barang-barang industri,
kemudian membeli komoditas pangan di pasar internasional. Sebaliknya, negara
yang melakukan swasembada produksi pangan pada level nasional, namun
dijumpai masyarakatnya yang rawan pangan karena ada hambatan akses dan
distribusi pangan Stevens et al. (2000). Lassa (2006) dengan mengadopsi Stevens
et al. (2000), telah memberikan ilustrasi yang sangat baik mengenai negara-negara
yang melakukan swasembada pangan dengan kondisi ketahanan pangannya.
(Tabel 2.1). Negara-negara kategori A (USA, Canada, Australia, Brunei) memiliki
kapasitas pangan yang paling kuat karena memiliki kondisi pangan ideal di mana
mereka mampu berswasembada pangan tetapi sekaligus juga memiliki ketahanan
pangan yang kuat. Sedangkan Negara C seperti Singapura, Norwegia dan Jepang,
mereka sama sekali tidak swasembada pangan tetapi memiliki fondasi ketahanan
pangan yang jauh lebih kuat dari Negara-negara kategori B seperti Indonesia,
Filipina dan Myanmar.
Tabel 2.1. Swasembada Pangan dengan Ketidak tahanan Pangan.
Swasembada Pangan

Tidak
Pangan

Tahan pangan
Contoh: USA, Kanada,
Australia, Brunei, etc.

Swasembada Contoh: Norwegia,


Jepang,
Singapura.

Tidak tahan pangan


Contoh: Myanmar,
Indonesia,
Filipina
Contoh: Malawi, Eritrea,
Kenya, Kongo, East
Timor

Sumber : Lasa (2006)

Keterbatasan konsep swasembada pangan ini terjadi di Afrika pada


pertengahan tahun 1980 dimana fokus peningkatan produksi untuk mencapai
swasembada justru menimbulkan adanya krisis pangan pada masyarakat.
Sehingga jelas bahwa ketersediaan pangan pada level nasional tidak secara
otomatis menjamin ketahanan pangan pada level individu dan rumah tangga.
(Borton and Shoham, 1991).
Stevens et al . (2000, dalam Lassa, 2006) memberikan ilustrasi yang
membedakan secara tegas antara swasembada pangan dengan ketahanan pangan
Bostwana, sebagai misal, sebagai Negara dengan pendapatan perkapita sedang
tapi mengalami defisit pangan yang kronis karena minimnya lahan pertanian.
Strategi ketahanan pangan nasionalnya adalah swasembada tetapi akhirnya lebih
berorientasi
pada self-reliance. yang mana secara formal mengesahkan kontribusi yang hakiki
dari pangan import terhadap ketahanan pangan nasional. Thompson dan Cowan
(2000 dalam Lassa, 2006) mencatat perubahan kebijakan dan pendefinisian formal
ketahanan pangan dalam kaitannya dengan globalisasi perdangan yang terjadi di
beberapa Negara. Contohnya, Malaysia mendefinisikan ulang ketahahanan
pangannya sebagai swasembada 60% pangan nasional. Sisanya, 40% didapatkan
dari import pangan. Malaysia kini memiliki tingkat ketahanan pangan yang
kokoh. Ini memberikan ilustrasi yang jelas bahwa ketahanan pangan dan
swasembada adalah dua hal yang berbeda. Amartya Sen berhasil menggugat
kesalahan paradigma kaum Maltusian yang kerap berargumentasi bahwa ketidakketahanan pangan dan kelaparan adalah soal produksi dan ketersediaan semata.
Sedangkan dengan mengangkat berbagai kasus di India dan Afrika, Sen mampu
menunjukan bahwa ketidaktahanan pangan dan kelaparan justru kerap terjadi
karena ketiadaan akses atas pangan bahkan ketika produksi pangan berlimpah,
ibarat tikus mati di lumbung padi. Kasus gizi buruk di Nusa Tenggara Barat
adalah salah satu bukti (Lassa, 2006).
Berdasarkan kenyataan tersebut peneliti dan akademisi menyadari bahwa
kerawanan pangan terjadi dimana situasi pangan tersedia tetapi tidak mampu

diakses rumah tangga karena keterbatasan sumberdaya ekonomi yang dimiliki


(pendapatan, kesempatan kerja, sumberdaya ekonomi lainnya). Hal ini konsisten
dengan pendapat Sen (1981) bahwa produksi pangan bukan determinan tunggal
ketahanan pangan, melainkan hanyalah salah satu faktor penentu.
Sampai saat ini di Indonesia, banyak kalangan praktis dan birokrat kurang
memahami pengertian swasembada pangan dengan ketahanan pangan. Akibat dari
keadaan tersebut konsep ketahanan pangan seringkali diidentikkan dengan
peningkatan produksi ataupun penyediaan pangan yang cukup. Perbedaan
swasembada pangan dengan ketahanan pangan disajikan dalam Tabel 1.2.
Tabel 2.2. Perbedaan Swasembada Pangan dengan Ketahanan Pangan.
Indikator
Lingkup

Swasembada Pangan
Nasional

Sasaran
Strategi

Komoditas pangan
Substitusi impor

output

Peningkatan produksi
pangan

Outcome

Kecukupan pangan oleh


produk domestik

Swasembada

pangan

umumnya

Ketahanan Pangan
Rumah
tangga
dan
individu
Manusia
Peningkatan ketersediaan
pangan, akses pangan,
dan penyerapan pangan
Status gizi (penurunan :
kelaparan, gizi
kurang dan gizi buruk)
Manusia sehat dan
produktif (angka
harapan hidup tinggi)

merupakan

capaian

peningkatan

ketersediaan pangan dengan wilayah nasional, sedangkan ketahanan pangan lebih


mengutamakan akses setiap individu untuk memperoleh pangan yang bergizi
untuk sehat dan produktif.

2. Pengertian Ketahanan Pangan


Definisi dan paradigma ketahanan pangan terus mengalami perkembangan
sejak adanya Conference of Food and Agriculture tahum 1943 yang
mencanangkan konsep secure, adequate and suitable supply of food for
everyone. Definisi ketahanan pangan sangat bervariasi, namun umumnya
mengacu definisi dari Bank Dunia (1986) dan Maxwell dan Frankenberger (1992)

yakni akses semua orang setiap saat pada pangan yang cukup untuk hidup sehat
(secure access at all times to sufficient food for a healthy life). Studi pustaka yang
dilakukan oleh IFPRI (1999) diperkirakan terdapat 200 definisi dan 450 indikator
tentang ketahanan pangan (Weingrtner, 2000). Berikut disajikan beberapa
definisi ketahanan yang sering diacu :
1. Undang-Undang Pangan No.7 Tahun 1996: kondisi terpenuhinya
kebutuhan pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya
pangan secara cukup, baik dari jumlah maupun mutunya, aman, merata
dan terjangkau.
2. USAID (1992: kondisi ketika semua orang pada setiap saat mempunyai
akses

secara

fisik

dan

ekonomi

untuk

memperoleh

kebutuhan

konsumsinya untuk hidup sehat dan produktif.


3. FAO (1997) : situasi dimana semua rumah tangga mempunyai akses baik
fisik maupun ekonomi untuk memperoleh pangan bagi seluruh anggota
keluarganya, dimana rumah tangga tidak beresiko mengalami kehilangan
kedua akses tersebut.
4. FIVIMS 2005: kondisi ketika semua orang pada segala waktu secara fisik,
social dan ekonomi memiliki akses pada pangan yang cukup, aman dan
bergizi untuk pemenuhan kebutuhan konsumsi dan sesuai dengan
seleranya (food preferences) demi kehidupan yang aktif dan sehat.
5. Mercy Corps (2007) : keadaan ketika semua orang pada setiap saat
mempunyai akses fisik, sosial, dan ekonomi terhadap terhadap kecukupan
pangan, aman dan bergizi untuk kebutuhan gizi sesuai dengan seleranya
untuk hidup produktif dan sehat.
Berdasarkan definisi tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa ketahanan
pangan memiliki 5 unsur yang harus dipenuhi :
1. Berorientasi pada rumah tangga dan individu
2. Dimensi watu setiap saat pangan tersedia dan dapat diakses
3. Menekankan pada akses pangan rumah tangga dan individu, baik fisik,
ekonomi dan sosial
4. Berorientasi pada pemenuhan gizi

5. Ditujukan untuk hidup sehat dan produktif


Di Indonesia sesuai dengan Undang-undang No. 7 Tahun 1996, pengertian
ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang
tercermin dari:
(1) Tersedianya pangan secara cukup, baik dalam jumlah maupun
mutunya;
(2) Aman;
(3) Merata; dan
(4) Terjangkau. Dengan pengertian tersebut, mewujudkan ketahanan
pangan dapat lebih dipahami sebagai berikut:

Terpenuhinya pangan dengan kondisi ketersediaan yang cukup, diartikan


ketersediaan pangan dalam arti luas, mencakup pangan yang berasal dari
tanaman, ternak, dan ikan untuk memenuhi kebutuhan atas karbohidrat,
protein, lemak, vitamin dan mineral serta turunannya, yang bermanfaat
bagi pertumbuhan kesehatan manusia.

Terpenuhinya pangan dengan kondisi yang aman, diartikan bebas dari


cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu,
merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia, serta aman dari kaidah
agama.

Terpenuhinya pangan dengan kondisi yang merata, diartikan pangan yang


harus tersedia setiap saat dan merata di seluruh tanah air.

Terpenuhinya pangan dengan kondisi terjangkau, diartikan pangan mudah


diperoleh rumah tangga dengan harga yang terjangkau.

3. Ketahan Pangan
ketahanan pangan terdiri dari tiga sub sistem utama yaitu ketersediaan,
akses, dan penyerapan pangan, sedangkan status gizi merupakan outcome dari
ketahanan pangan. Ketersediaan, akses, dan penyerapan pangan merupakan sub
sistem yang harus dipenuhi secara utuh. Salah satu subsistem tersebut tidak
dipenuhi maka suatu negara belum dapat dikatakan mempunyai ketahanan pangan
yang baik. Walaupun pangan tersedia cukup di tingkat nasional dan regional,

tetapi jika akses individu untuk memenuhi kebutuhan pangannya tidak merata,
maka ketahanan pangan masih dikatakan rapuh.

Ketersediaan pangan
(Food Availability)

Akses Pangan/Distribusi
(Food Access)

Penyerapan pangan/konsumsi
(Food Utilization)

Gambar 1. Sub Sistem Ketahanan Pangan

Sumber: Nuhfil Hanani AR., Ketahanan Pangan: Sub Sistem Ketersediaan,


Makalah Workshop I Ketahanan Pangan di Wilayah Jawa Timur, 2009.
Secara rinci penjelasan mengenai sub sistem tersebut dapat diuraikan
sebagai berikut :
a. sistem ketersediaan (food availability) : yaitu ketersediaan pangan dalam
jumlah yang cukup aman dan bergizi untuk semua orang dalam suatu
negara baik yang berasal dari produksi sendiri, impor, cadangan pangan
maupun bantuan pangan. Ketersediaan pangan ini harus mampu

mencukupi pangan yang didefinisikan sebagai jumlah kalori yang


dibutuhkan untuk kehidupan yang aktif dan sehat.
Produksi
Pasokan pangan dari luar
(Impor )

KETERSEDIAAN PANGAN
PER KAPITA

Cadangan pangan
Luas panen

Bantuan pangan

Produktifitas
Diversifikasi produk

Sarana dan
prasarana
pemasaran

Irigasi, teknologi,
kredit,

Jumlah Penduduk

Sarana produksi

Iklim, hama penyakit,


bencana,dll.

Gambar 2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Persediaan Pangan per Kapita


Sumber : Patrick Webb and Beatrice Rogers, 2003, (dimodifikasi).

b. Akses pangan (food access) : yaitu kemampuan semua rumah tangga dan
individu dengan sumberdaya yang dimilikinya untuk memperoleh pangan
yang cukup untuk kebutuhan gizinya yang dapat diperoleh dari produksi
pangannya sendiri, pembelian ataupun melalui bantuan pangan. Akses
rumah tangga dan individu terdiri dari akses ekonomi, fisik dan sosial.
Akses ekonomi tergantung pada pendapatan, kesempatan kerja dan harga.

Akses fisik menyangkut tingkat isolasi daerah (sarana dan prasarana


distribusi), sedangkan akses sosial menyangkut tentang preferensi pangan.

Akses Ekonomi

Pendapatan

Kesempatan kerja

AKSES PANGAN
Harga Pangan

Sarana dan prasarana


perhubungan
Akses Fisik (isolasi daerah)
Infrastruktur pedesaan

Akses sosial

Preferensi thd jenis pangan


dan Pendidikan

Tidak adanya konflik.


Perang. Bencana. dll

Gambar 3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Akses Pangan


Sumber : Patrick Webb and Beatrice Rogers, 2003, (dimodifikasi).

c. Penyerapan pangan (food utilization) yaitu penggunaan pangan untuk


kebutuhan hidup sehat yang meliputi kebutuhan energi dan gizi, air dan
kesehatan lingkungan. Efektifitas dari penyerapan pangan tergantung pada
pengetahuan rumah tangga individu, sanitasi dan ketersediaan air, fasilitas
dan layanan kesehatan, serta penyuluhan gisi dan pemeliharaan balita.
(Riely et.al , 1999).

Konsumsi
1.
2.
3.
4.

Kecukupan Energi
Kecukupan Gizi
Diversifikasi pangan
Keamanan pangan

Falilitas dan Layanan Kesehatan


1. Fasilitas Kesehatan
2. Layanan kesehatan

Sanitasi dan Ketersediaan air


1. Kecukupan air bersih
2. Sanitasi
PENYERAPAN
PANGAN

Pengetahuan ibu RT
1. Pola makan
2. Pola asuh kesehatan

Outcome Nutrisi dan kesehatan


1. Harapan hidup
2. Gizi balita
3. Kematian bayi

Gambar 4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penyerapan Pangan


Sumber: Nuhfil Hanani AR., Ketahanan Pangan: Sub Sistem Ketersediaan,
Makalah Workshop I Ketahanan Pangan di Wilayah Jawa Timur, 2009.

d. Stabiltas (stability) merupakan dimensi waktu dari ketahanan pangan


yang terbagi dalam kerawanan pangan kronis (chronic food insecurity) dan
kerawanan pangan sementara (transitory food insecurity). Kerawanan
pangan kronis adalah ketidak mampuan untuk memperoleh kebutuhan
pangan setpa saat, sedangkan kerawanan pangan sementara adalah
kerawanan pangan yang terjadi secara sementara yang diakibatkan karena
masalah kekeringan banjir, bencana, maupun konflik sosial. (Maxwell and
Frankenberger 1992).
e. Status gizi (Nutritional status ) adalah outcome ketahanan pangan yang
merupakan cerminan dari kualitas hidup seseorang. Umumnya satus gizi

ini diukur dengan angka harapan hidup, tingkat gizi balita dan kematian
bayi. Sistem ketahanan pangan di Indonesia secara komprehensif meliputi
empat
sub-sistem, yaitu:
(i)

ketersediaan pangan dalam jumlah dan jenis yang cukup untuk


seluruh penduduk,distribusi pangan yang lancar dan merata,

(ii)

konsumsi pangan setiap individu yang memenuhi kecukupan gizi


seimbang, yang berdampak pada

(iii)

status gizi masyarakat .

Dengan demikian, sistem ketahanan pangan dan gizi tidak hanya


menyangkut soal produksi, distribusi, dan penyediaan pangan ditingkat makro
(nasional dan regional), tetapi juga menyangkut aspek mikro, yaitu akses pangan
di tingkat rumah tangga dan individu serta status gizi anggota rumah tangga,
terutama anak dan ibu hamil dari rumah tangga miskin. Meskipun secara
konseptual pengertian ketahanan pangan meliputi aspek mikro, namun dalam
pelaksanaan sehari-hari masih sering ditekankan pada aspek makro yaitu
ketersediaan pangan.
Agar aspek mikro tidak terabaikan, maka dalam dokumen ini digunakan
istilah ketahanan pangan dan gizi. Konsep ketahanan pangan yang sempit
meninjau sistem ketahanan pangan dari aspek masukan yaitu produksi dan
penyediaan pangan. Seperti banyak diketahui, baik secara nasional maupun
global, ketersediaan pangan yang melimpah melebihi kebutuhan pangan
penduduk tidak menjamin bahwa seluruh penduduk terbebas dari kelaparan dan
gizi kurang. Konsep ketahanan pangan yang luas bertolak pada tujuan akhir dari
ketahanan pangan yaitu tingkat kesejahteraan manusia. Oleh karena itu, sasaran
pertama Millenium Development Goals (MGDs) bukanlah tercapainya produksi
atau penyediaan pangan, tetapi menurunkan kemiskinan dan kelaparan sebagai
indikator kesejahteraan masyarakat. MDGs menggunakan pendekatan dampak
bukan masukan.
United Nation Development Programme (UNDP) sebagai lembaga PBB
yang berkompeten memantau pelaksanaan MDGs telah menetapkan dua ukuran

10

kelaparan, yaitu jumlah konsumsi energi (kalori) rata-rata anggota rumah tangga
di bawah kebutuhan hidup sehat dan proporsi anak balita yang menderita kurang
gizi.
Hal tersebut menunjukkan bahwa MDGs lebih menekankan dampak
daripada masukan. Oleh karena itu, analisis situasi ketahanan pangan harus
dimulai dari evaluasi status gizi masyarakat diikuti dengan tingkat konsumsi,
persediaan dan produksi pangan; bukan sebaliknya. Status gizi masyarakat yang
baik ditunjukkan oleh keadaan tidak adanya masyarakat yang menderita kelaparan
dan gizi kurang. Keadaan ini secara tidak langsung menggambarkan akses pangan
dan pelayanan sosial yang merata dan cukup baik. Sebaliknya, produksi dan
persediaan pangan yang melebihi kebutuhannya, tidak menjamin masyarakat
terbebas dari kelaparan dan gizi kurang. Tujuan dari ketahanan pangan harus
diorentasikan untuk pencapaian pemenuhan hak atas pangan, peningkatan kualitas
sumberdaya manusia, dan ketahanan pangan nasional. Berjalannya sistem
ketahanan pangan tersebut sangat tergantung pada dari adanya kebijakan dan
kinerja sektor ekonomi, sosial dan politik. Kebijakan pemerintah dalam aspek
ekonomi, sosial maupun politik sangat perpengaruh terhadap ketahanan pangan.

B. PANGAN UNTUK INDONESIA


Indonesia memiliki sumber daya yang cukup untuk menjamin ketahanan
pangan bagi penduduknya. Indikator ketahanan pangan juga menggambarkan
kondisi yang cukup baik. Akan tetapi masih banyak penduduk Indonesia yang
belum mendapatkan kebutuhan pangan yang mencukupi. Sekitar tiga puluh persen
rumah tangga mengatakan bahwa konsumsi mereka masih berada dibawah
kebutuhan konsumsi yang semestinya. Lebih dari seperempat anak usia dibawah 5
tahun memiliki berat badan dibawah standar, dimana 8 % berada dalam kondisi
sangat buruk. Bahkan sebelum krisis, sekitar 42% anak dibawah umur 5 tahun
mengalami gejala terhambatnya pertumbuhan (kerdil); suatu indikator jangka
panjang yang cukup baik untuk mengukur kekurangan gizi. Gizi yang buruk dapat
menghambat pertumbuhan anak secara normal, membahayakan kesehatan ibu dan
mengurangi produktivitas angkatan kerja. Ini juga mengurangi daya tahan tubuh

11

terhadap penyakit pada penduduk yang berada pada kondisi kesehatan yang buruk
dan dalam kemiskinan.
Kebijakan untuk Menjamin Ketahanan Pangan
Terdapat tiga komponen kebijakan ketahanan pangan :
1. Ketersediaan Pangan: Indonesia secara umum tidak memiliki masalah
terhadap ketersediaan pangan. Indonesia memproduksi sekitar 31 juta ton
beras setiap tahunnya dan mengkonsumsi sedikit diatas tingkat produksi
tersebut; dimana impor umumnya kurang dari 7% konsumsi. Lebih jauh
jaringan distribusi swasta yang berjalan secara effisien turut memperkuat
ketahanan pangan di seluruh Indonesia. Beberapa kebijakan kunci yang
memiliki pengaruh terhadap ketersediaan pangan meliputi:
Larangan impor beras
Upaya Kementerian Pertanian untuk mendorong produksi pangan
Pengaturan BULOG mengenai ketersediaan stok beras
2. Keterjangkauan Pangan. Elemen terpenting dari kebijakan ketahanan
pangan ialah adanya jaminan bagi kaum miskin untuk menjangkau sumber
makanan yang mencukupi. Cara terbaik yang harus diambil untuk
mencapai tujuan ini ialah dengan memperluas strategi pertumbuhan
ekonomi, khususnya pertumbuhan yang memberikan manfaat bagi kaum
miskin. Kebijakan ini dapat didukung melalui program bantuan langsung
kepada masyarakat miskin, yang diberikan secara seksama dengan target
Indonesia Policy Briefs - Ide-Ide Program 100 Hari dengan pihak
penyelenggara lain, untuk mendapatkan perbandingan atas pelayanan
publik yang selama ini dilakukan BULOG, termasuk biaya yang timbul
dalam pelayanan tersebut.
3. Membentuk komisi independen yang bertugas memantau stok aman
kebutuhan beras nasional.
4. Menghitung secara akurat biaya penyediaan program RASKIN dan
mengkaji ulang kontrak antara pemerintah dengan BULOG.

12

MENINGKATKAN EFEKTIVITAS DEWAN KETAHANAN PANGAN


DI TINGKAT KABUPATEN/KOTA

Peraturan

Pemerintah

tahun

2000

mengenai

ketahanan

pangan

memberikan suatu kerangka dimana pemerintah daerah dapat berkontribusi dalam


mencapai tujuan ketahanan pangan nasional. PP ini mengatur bahwa pemerintah
sub-nasional turut bertanggung jawab terhadap ketahanan pangan dalam wilayah
mereka masing-masing. Beberapa kabupaten/kota telah membentuk Dewan
Ketahanan Pangan Kabupaten/Kota. PP tersebut juga mendefinisikan kebutuhan
pangan pokok secara luas, hal ini dimaksudkan untuk memberikan keleluasaan
bagi perbedaan pola makanan yang tercermin dalam ukuran-ukuran ketahanan
pangan pada tingkat daerah. Dengan demikian beras tidak harus diberi penekanan
khusus di daerah dimana terdapat makanan pokok lainnya. Ini merupakan
gambaran yang baik dari sistem yang sedang terbentuk, namun demikian
kurangnya kapasitas kemampuan Dewan Ketahanan Pangan Kabupaten/Kota
membuat mereka hanya cenderung sekedar mengikuti agenda-agenda tertentu dan
terlibat dalam pengadaan serta penyimpanan kebutuhan pokok yang tidak efektif.
Ini menjadi catatan penting bagi pemerintah pusat untuk memberikan petunjuk
dan pengembangan kapasitas kemampuan agar Dewan Ketahanan Pangan
Kabupaten/Kota berfungsi secara efektif.

MENGHILANGKAN LARANGAN IMPOR BERAS


Pada

Januari

2004

Kementrian

Industri

dan

Perdagangan

mengumumkanlarangan atas impor beras mulai dari dua bulan sebelum hingga
satu bulan.
1. Peraturan Pemerintah No. 68/2002 tentang Ketahanan Pangan,
December 30, 2002, serves as implementing regulation for paragraph
50 of the National Food Law, No. 7, 1996. yang sesuai. Sejumlah
kebijakan penting yang mempengaruhi keterjangkauan pangan
meliputi:

13

Program Raskin yang selama ini telah memberikan subsidi


beras bagi hampir 9 juta rumah tangga

Upaya BULOG untuk mempertahankan harga pagu beras

Hambatan perdagangan yang mengakibatkan harga pangan


domestik lebih tinggi dibandingkan harga dunia.

2. Kualitas Makanan dan Nutrisi: Hal yang juga penting untuk


diperhatikan, sebagai

bagian dari kebijakan untuk menjamin

ketersediaan pangan yang mencukupi bagi penduduk, ialah kualitas


pangan itu sendiri. Artinya penduduk dapat mengkonsumsi nutrisinutrisi mikro (gizi dan vitamin) yang mencukupi untuk dapat hidup
sehat. Konsumsi pangan pada setiap kelompok pengeluaran rumah
tangga telah meningkat pada jenis-jenis pangan yang berkualitas lebih
baik. Namun, seperti catatan diatas, keadaan nutrisi makanan belum
menunjukkan tanda-tanda perbaikan sejak akhir krisis. Sejumlah
kebijakan penting yang berpengaruh terhadap kualitas pangan dan
nutrisi meliputi, Upaya untuk melindungi sejumlah komoditas pangan
penting

Memperkenalkan program pangan tambahan setelah krisis.

Penyebarluasan dan pemasaran informasi mengenai nutrisi.

Sepuluh langkah dibawah ini mengkaji ulang efektivitas kebijakan di tiga


wilayah tersebut diatas dan kemudian mengajukan sejumlah langkah praktis
dalam meningkatkan keadaan dan mendorong ketahanan pangan. Sepuluh
Langkah untuk Meningkatkan Ketahanan Pangan

1. Mengupayakan peran bulog.


BULOG masih merupakan salah satu institusi terpenting dalam menjamin
ketahanan pangan di Indonesia. Perubahan status hukum BULOG pada tahun
2003 dari Badan menjadi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) telah memperluas
lingkup BULOG untuk melakukan aktivitas komersil sebagai bagian dari peran
pentingnya dalam pelayanan jasa publik. Tugas BULOG termasuk menjaga stok
14

ketahanan pangan nasional, pendukung publik dalam menjaga harga-harga


komoditas pertanian, menyediakan pangan dalam keadaan darurat, dan
melaksanakan program subsidi beras RASKIN bagi masyarakat miskin.
Pengawasan pemerintah pusat terhadap sejumlah pelayanan BULOG, yang
selama ini dilakukan oleh BULOG sendiri, telah dialihkan ke dalam tugas
Kementrian Keuangan dan Kementrian BUMN, dimana keduanya memiliki
keterbatasan kapasitas dan pengalaman dalam hal manajemen dan kebijakan
ketahanan pangan. Namun demikian BULOG masih tetap melakukan fungsi
tersebut selama lebih dari setahun terakhir, meski tanpa adanya persetujuan
mengenai rencana usaha maupun dalam penyusunan anggaran, walaupun
sebenarnya kedua hal tersebut dibutuhkan sebagai payung hukum. Pemerintahan
yang baru harus memperkuat pengawasan terhadap peran BULOG melalui
Kementrian Keuangan dan Kementrian BUMN dengan cara:
1. Membangun prosedur pengesahan laporan keuangan, rencana usaha dan
anggaran tahunan BULOG
2. Mulai membangun mekanisme penyediaan dan kontrak alternatifPangan
untuk Indonesia sesudah periode panen. Larangan ini secara berulang
diperluas dan masih 9terus digunakan.
Tujuan utama dari larangan tersebut dimaksudkan untuk mendukung para
petani dan meningkatkan ketahanan pangan. Namun demikian kenyataan yang
terjadi justru sebaliknya-harga eceran terus naiknamun harga di tingkat petani
tidak berubah, yang menunjukkan bahwa petani tidak memperoleh manfaat sesuai
dengan harapan. Artinya, ketahanan pangan bagi kebanyakan orang menjadi lebih
buruk. Sekitar 80 % penduduk mengkonsumsi beras lebih banyak dari yang
diproduksinya, dan terbebani harga beras yang tinggi. Sementara di lain pihak, 20
% penduduk lainnya yang memperoleh keuntungan dari kebijakan ini, ternyata
bukanlah masyarakat miskin. Studi terakhir menunjukkan bahwa larangan impor
secara permanen dapat meningkatkan jumlah penduduk dibawah garis kemiskinan
sebanyak 1,5 juta orang. Pemerintahan yang baru sebaiknya menghapus larangan
impor dan membiarkan impor beras oleh para importir seperti sebelumnya.
Memproteksi beras justru memperburuk ketahanan pangan. Namun jika proteksi

15

dianggap penting secara politis hal itu dapat ditempuh melalui bentuk yang lebih
transparan dan efisien seperti dengan menerapkan bea masuk yang rendah
ketimbang memberlakukan larangan impor.

2. Mengubah fokus departemen pertanian dari mendorong peningkatan


produksi ke perluasan teknologi dan penciptaan diverivikasi.
Kebijakan harga beras yang tinggi juga memiliki keterbatasan untuk
meningkatkan pendapatan masyarakat pedesaan: Bagi produsen beras yang
produksinya lebih tinggi dari konsumsi, dukungan melalui sejumlah kebijakan
proteksi akan memberikan peningkatan pendapatan dalam waktu seketika; namun
tidak

mendorong

pertumbuhan

pendapatan

yang

berkelanjutan,

ketika

produktivitas pertanian beras domestik telah mencapai titik yang cukup tinggi.
Akan lebih baik bagi Departemen Pertanian untuk memusatkan perhatian pada
peningkatan produktivitas di sejumlah produkproduk pertanian secara lebih luas.
Sebagaimana kita ketahui, konsumsi pangan disetiap kelompok pengeluaran
rumah tangga telah bergerak menuju pangan dengan kualitas yang lebih baik.
Dengan pertumbuhan seperti sekarang ini, konsumsi rumah tangga pada buahbuahan dan sayur-sayuran kecenderungannya akan melebihi nilai konsumsi beras
dalam dekade ini.
Kebijakan pertanian saat ini terlalu berkonsentrasi pada pemenuhan beras,
dimana nilainya cenderung rendah dan termasuk komoditas yang murah di
pasaran internasional. Hal ini telah memaksa petani untuk menanam komoditas
yang bernilai rendah serta menghambat upaya mereka untuk berpindah pada
produksi buah-buahan, hortikultura dan perternakan yang bernilai tinggi. Di saat
bersamaan pertumbuhan permintaan domestikterhadap produk-produk ini semakin
meningkat. Kebijakan pertanian harus bergerak secara agresif menuju suatu
penelitian dan agenda pengembangan yang menaruh perhatian pada komoditas
bernilai tinggi dan produk-produk yang permintaannya tumbuh tinggi. Kebijakan
tersebut juga dapat diusahakan untuk membantu produsen kecil dalam memenuhi
standar kualitas pada pasar-pasar yang sedang terbentuk, serta untuk memperoleh

16

akses pada rantai pasokan pangan yang saat ini banyak dilayani oleh jaringan
supermarket.

3. Menurunkan biaya raskin.


Program RASKIN dimaksudkan sebagai salah satu program penting
pemerintah untuk mendukung ketahanan pangan dengan memasok sekitar 20 kg
beras per bulan kepada 9 juta keluarga miskin. Fakta yang ada menunjukkan
bahwa program tersebut teramat mahal, menghabiskan sekitar Rp. 4,8 trilliun
pada tahun 2004, dan relatif buruknya sasaran yang harus dicapai, menyebabkan
manfaat yang diperoleh masyarakat miskin sangat kecil. Secara rata-rata, rumah
tangga menerima sekitar 6 sampai 10 kg beras dan bukan 20 kg, disebabkan
karena beras tersebut didistribusikan secara merata baik pada rumah tangga yang
tidak miskin maupun rumah tangga miskin. Akibatnya, rata-rata nilai subsidi yang
diberikan kepada masyarakat miskin melalui program ini hanya sekitar 2,1 % dari
pengeluaran perkapita; jauh lebih kecil pada masyarakat yang tidak miskin.
Kemudian juga kebanyakan subsidi tersebut tidak pernah sampai pada rumah
tangga yang tepat, karena kebanyakan dana itu menjadi biaya operasional
BULOG. Pada tahun 2004 pemerintah mengeluarkan sekitar Rp 3.343 untuk
setiap kilogram beras yang diberikan melalui BULOG, meski pada kenyataannya
penyediaan beras oleh pihak swasta dapat diperoleh pada tingkat harga Rp. 2.800.
Dari keseluruhan dana anggaran BULOG untuk pogram RASKIN hanya sekitar
18% yang tepat sasaran kepada masyarakat miskin. Meski terdapat sejumlah
permasalahan pada program Raskin- program ini merupakan salah satu dari
sedikit program dengan lingkup nasional dan memiliki infrastruktur organisatoris
yang berperan penting pada waktu terjadinya gangguan pangan. Penghapusan
program RASKIN, bukanlah suatu cara yang tepat. Meski demikian juga penting
untuk memikirkan reformasi yang radikal berkaitan dengan program ini, antara
lain:
1. Mensosialisasikan dan melaksanakan target dari program RASKIN kepada
masyarakat, dengan demikian masyarakat perdesaan dapat memahami
bahwa distribusi program ini hanya diperuntukan bagi penduduk yang

17

benar-benar miskin. Sekali lagi hal ini akan lebih mudah bila program ini
memang tepat sasaran.
2. Menciptakan dasar biaya penyelenggaraan program RASKIN dan merevisi
anggaran untuk program ini.
3. Memperluas penggunaan metode sasaran mandiri (self-targeting) oleh
masyarakat miskin itu sendiri, misalnya melalui paket RASKIN yang lebih
kecil jumlahnya dan frekwensi pemberian yang lebih sering. Sasaran
program RASKIN semestinya berjumlah lebih kecil dan biayanya jauh
lebih murah. Melalui perbaikan sasaran, program tersebut masih tetap
memiliki dampak yang lebih baik bagi masyarakat miskin.

4. Memikirkan kembali kebijakan stabilisasi harga beras.


Langkah tradisional pemerintah dalam meningkatkan keterjangkauan pangan
umumnya ditempuh dengan cara menstabilisasikan harga beras. Hal ini dilakukan
melalui kebijakan harga pagu dan membeli beras di pasar dengan maksud
mempertahankan tingkat harga tersebut. Meski demikian ketidakmampuan
BULOG dalam mempertahankan harga pagu tersebut telah menjadi hal yang
umum

dan

keterlibatan

pemerintah

didalam

pasar,

telah

menghambat

pengembangan mekanisme penyesuaian harga oleh pihak Indonesia Policy Briefs


- Ide-Ide Program 100 Hari
1. Kemiskinan
2. Menciptakan Lapangan Kerja
3. Iklim Penanaman Modal
4. Memulihkan Daya Saing
5. Infrastruktur
6. Korupsi
7. Reformasi Sektor Hukum
8. Desentralisasi
9. Sektor Keuangan
10. Kredit Untuk Penduduk Miskin
11. Pendidikan

18

12. Kesehatan
13. Pangan Untuk Indonesia
14. Mengelola Lingkungan Hidup
15. Kehutanan
16. Pengembangan UKM
17. Pertambangan
18. Reformasi di Bidang Kepegawaian Negeri.

5. Mendukung dan menerapkan peningkatan gizi pada bahan makanan


pokok.
Peningkatan gizi makanan, seperti melalui aturan penambahan yodium pada
produksi garam atau dengan mengharuskan produsen untuk menambah sejumlah
nutrisi mikro ke dalam produk makanan mereka, merupakan cara yang cukup
efektif dalam meningkatkan standar gizi. Pemerintah telah melakukan hal ini
dengan mendukung penggunaan garam beryodium dan peningkatan gizi tepung
terigu. Akan tetapi kondisi gizi yang buruk masih merupakan persoalan utama.
Sebagai contoh sekitar 63 % wanita hamil dan sekitar 65-68 % anak dibawah 2
tahun menderita anemia disebakan karena kekurangan zat besi.
Sementara itu lebih dari seperempat rumah tangga belum mengkonsumsi
garam beryodium yang cukup. Pemerintahan baru dapat meningkatkan kondisi
gizi masyarakat dengan mendorong dan menerapkan standar pemenuhan produksi
pangan yang bergizi. Sebagai contoh, di beberapa daerah produksi garam oleh
sejumlah produsen kecil lokal didukung oleh pemerintah setempat, sekalipun hasil
produksinya masih belum memenuhi standar yodium nasional. Pemerintah pusat
harus bekerjasama dengan pemerintah daerah, produsen serta konsumen, untuk
mendapatkan cara yang efektif dalam menjamin pemenuhan gizi (meningkatkan
kadar yodium) tanpa harus merusak pendapatan produsen lokal. Hasil yang
dicapai oleh Proyek Penanggulangan Defisiensi Yodium (Intensified Iodine
Deficiency ControlProject) menunjukkan bahwa cara ini dapat ditempuh dan telah
berhasil mengurangi lebih dari 50% angka penderita gondongan pada periode
1996 dan 2003 diantara anak-anak sekolah yang berada di provinsiprovinsi

19

dengan endemi gondongan yang parah maupun moderat. Menerapkan regulasi


yang transparan juga menjamin bahwa investasi untuk memenuhi standar gizi
pada produk makanan tidak akan dikurangi karena adanya produsen yang tidak
memenuhi standar gizi pada produk makanan mereka. Kerjasama antar lembaga
amat dibutuhkan melalui intervensi yang mencakup industri pengolahan makanan
(dibawah Menperindag), impor (Kepabeanan/Bea Cukai), pengawasan penjualan
makanan (BPOM), pemasaran secara sosial (Menkes) dan pemerintahan daerah
(Mendagri).
Kerjasama harus bertujuan untuk membangun mekanisme perlindungan
terhadap produk makanan tertentu, pilihan uji gizi produk makanan serta
mekanisme penyediaannya dan membentuk kemitraan dengan produsen sektor
swasta dan para pemasok produk makanan yang dilindungi. Kerjasama ini juga
dapat ditujukan untuk menciptakan standarisasi produk dan aturan-aturan
produksi, serta memberikan pengawasan dan evaluasi terhadap penyediaan
produk makanan, disamping mengawasi dampaknya terhadap produk makanan
yang dilindungi bagi sejumlah penduduk.

6. Fokuskan kembali perhatian pada program makanan tambahan.


Program makanan tambahan yang tepat sasaran amat berperan penting dalam
peningkatan gizi. Program makanan tambahan diperkenalkan setelah krisis
sebagai bagian dari jaringan pengamanan sosial ( JPS). Nilai anggaran untuk
program ini pada tahun 2004 meningkat hingga Rp 120 milliar untuk memasok
dan mendistribusikan MP-ASI yang diproduksi secara lokal, yaitu sejenis
makanan tambahan utama dalam program tersebut. Meski demikian bukti yang
diperoleh menunjukkan bahwa cakupan program tersebut amat rendah dan tidak
tepat sasaran. Sebuah studi menunjukkan bahwa sekitar 14% penduduk seperlima
terkaya dan 17% penduduk seperlima termiskin yang sama-sama menerima
program makanan tambahan. Pemerintah harus merevisi dan memfokuskan
sasaran program untuk ditujukan pada masyarakat yang mengalami kemiskinan
yang kronis dan berada pada situasi yang amat buruk.

20

7. Meningkatkan informasi mengenai gizi.


Survei menunjukkan bahwa ibu dengan pengetahuan gizi yang lebih baik
menyiapkan lebih banyak gizi dan vitamin pada setiap makanan dalam tangga.
Pengetahuan ibu akan gizi tidaklah terkait erat dengan tingkat pendidikan formal
mereka maupun tingkat pendapatan. Ini menunjukkan bahwa kampanye mengenai
informasi tentang gizi dapat meningkatkan kualitas menu makanan. Apalagi
ketersediaan bahan makanan yang bergizi pada pasar lokal, telah cukup
meningkat.
Di masa lalu jaringan posyandu merupakan salah satu jaringan yang paling
efektif untuk memberikan informasi tentang gizi kepada kaum ibu, namun
cakupan geografis dan kualitas penyampaian informasi gizi melalui posyandu kini
mengalami penurunan. Sementara program revitalisasi posyandu perlu mendapat
perhatian, terpantau adanya sejumlah kendala pada anggaran dan sumber daya
manusia, terutama berkaitan dengan masalah desentralisasi. Selain itu,
penyelenggara jasa informasi alternatif juga mampu memberikan pelayanan yang
lebih baik. Sehingga tujuan untuk membangun kembali jaringan secara nasional
yang pernah ada, seperti posyandu, mungkin bukan suatu hal yang tepat. Akan
lebih baik jika penyampaian informasi sosial mengenai gizi menempuh jalur
altenatif yang tersedia, khususnya melalui saluran televisi dan radio.

21

Anda mungkin juga menyukai