Anda di halaman 1dari 19

TUGAS AKHIR

KETAHANAN PANGAN

DISUSUN OLEH ;

KELOMPOK 1
HUMAIRAH HAIRIYAH SIREGAR (210305501008)
FIKRI YUDITRI (210305501032)
AZIZAH JUNARDI (210305502002)
FARINDA FAUZIAH AZ-ZAHRA (210305502026)

PROGRAM STUDI GIZI


FAKULTAS ILMU KEOLAHRAGAAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
TAHUN 2023
MATERI 1

A. Pengertian Ketahanan Pangan


Ketahanan Pangan merupakan situasi dimana semua rumah tangga
mempunyai akses baik fisik maupun ekonomi untuk memperoleh pangan bagi seluruh
anggota keluarganya, dan dimana rumah tangga tidak beresiko untuk mengalami
kehilangan kedua akses tersebut. Pencapaian ketahanan pangan di Indonesia terkait
dengan salah satu tujuan UUD 1945 dalam alinea keempat yaitu mencapai
kesejahteraan umum. Hal tersebut berarti konsep ketahanan pangan mencakup
ketersediaan pangan yang memadai, stabilitas, dan akses terhadap pangan-pangan
utama. FAO (2012).
Ketahanan Pangan merupakan kondisi tersediannya pangan yang memenuhi
kebutuhan setiap orang saat untuk dapat hidup sehat, aktif dan produktif. Makna yang
terkandung dalam ketahanan pangan mencakup dimensi fisik (ketersediaan), ekonomi
(daya beli), gizi (pemenuhan kebutuhan gizi individu), nilai budaya dan religious,
keamanan pangan (kesehatan), dan waktu (tersedia secara berkesinambungan).
Martiano & Hardinsyah 2012).
Ketahanan Pangan didefinisikan sebagai kondisi terpenuhnya pangan bagi
setiap masyarakat yang tercermin dari tersediannya pangan yang cukup, baik jumlah
mutunya, aman merata, terjangkau, dan berbasis pada keragamaan sumber daya local.
Ketahanan pangan merupakan suatu sistem yang terdiri dari subsistem ketersediaan,
distribusi, dan konsumsi. Subsistemketersediaan pangan berfungsi menjamin pasokan
pangan untuk memenuhi kebutuhan seluruh penduduk, baik dari segi kuantitas,
kualitas, keragamaan, maupun keamananya.Undang-Undang Republik Indonesia
(Nomor 7 Tahun 2009).
Ketahanan pangan tidak lepas dari sifat produksi komoditi pangan itu sendiri
yang musiman dan fluktuasi karena sangat mudah dipengaruhi oleh iklim atau cuaca.
Perilaku produksi yang sangat dipengaruhi iklim tersebut sangat mempengaruhi
ketersediaan pangan. Kalau perilaku produksi yang rentan terhadap perubahan iklim
tersebut tidak dilengkapi dengan kebijakan pangan yang tangguh maka akan sangat
merugikan, baik untuk produsen maupun konsumen, khususnya berpendapatan
rendah. Karakteristik komoditi pangan yang mudah rusak, lahan produksi petani yang
terbatas, sarana dan prasarana pendukung pertanian yang kurang memadai dan
lemahnya penanganan panen dan pasca panen mendorong Pemerintah untuk
melakukan intervensi dengan mewujudkan ketahanan pangan di berbagai sektor
unggulan produksi pertanian.
Ketahanan pangan ini menjadi semakin penting karena pangan bukan hanya
merupakan kebutuhan dasar (basic need) tetapi juga merupakan hak dasar (basic
right) bagi setiap umat manusia yang wajib dipenuhi. Oleh karena pangan merupakan
hak dasar itulah, maka negara telah mendapatkan haknya atas pangan(Hariyadi, dkk,
2009 : 1.
Pembahasan tentang ketahanan pangan tidak hanya berbicara bagaimana
ketersediaan pangan (produksi, impor dan penyimpanan) akan tetapi aksesibilitasnya
(distribusi dan kemampuan masyarakat dalam mengakses pangan) tersebut harus
diperhatikan. Negara harus mampu menjamin masyarakat untuk dapat memenuhi
sendiri kebutuhan pangannya, atau menyediakan pangan yang dapat dijangkau oleh
semua kalangan atau memberi bantuan agar masyarakat dapat mengakses kebutuhan
pangan mereka. Dalam sebuah penelitian yang berjudul “kontektualisasi Management
inventory pangan nasional dalam perspektif islam” (Hakim 2018) menjelaskan bahwa
adanya disparitas supply dan demand. Para petani melakukan produksi berdasarkan
musim untuk mengurangi biaya dan gangguan hama. Hal ini mengakibatkan kenaikan
tingkat disparitas sehingga harga pangan jatuh di saat musim panen dan naik di luar
musim panen. Penelitian ini fokus pada Management pengelolaan pasca panen yaitu
Bulog dan distribusi yang baik pada resi Gudang.

B. Filosofi Ketahanan Pangan


Filosofi dari ketahanan pangan bagi suatu negara adalah terpenuhinya
kebutuhan pangan bagi penduduk negara tersebut tanpa mempersoalkan sumber
pasokan pangan tersebut, apakah dari dalam negeri atau impor. Ketahanan pangan
tidak mempersoalkan apakah impor pangan terlalu besar atau terlalu kecil, melainkan
lebih menekankan kepada apakah penduduk suatu negara bisa makan dengan cukup,
bergizi, hidup sehat dan cerdas, serta jauh dari ancaman kelaparan.

C. Peraturan Ketahanan Pangan


Dalam peraturan pemerintah nomor 68 tahun 2002 tentang ketahanan pangan
yang di maksud dengan sistem produksi pangan adalah metode/tata cara dalam
kegiatan atau proses menghasilkan, menyiapkan, mengolah, membuat, mengawetkan,
mengemas, mengemas kembali, dan/atau mengubah bentuk pangan, pemerintah selalu
berusaha untuk meningkatkan ketahanan pangan di kabupaten nunukan demi
kelangsungan hidup masyarakatnya. Ketahanan pangan merupakan hal yang sangat
penting karena ketahanan pangan diselenggarakan untuk memenuhi kebutuhan
konsumsi rumah tangga yang terus berkembang dari waktu ke waktu.

PERATURAN PEMERINTAH TENTANG KETAHANAN PANGAN.


BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan :
1. Ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang
tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman,
merata dan terjangkau.
2. Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang
diolah maupun tidak diolah yang diperuntukan sebagai makanan atau minuman bagi
konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan
lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan
makanan atau minuman.
3. Ketersediaan pangan adalah tersedianya pangan dari hasil produksi dalam negeri
dan/atau sumber lain.
4. Cadangan pangan nasional adalah persediaan pangan di seluruh wilayah untuk
konsumsi manusia, bahan baku industri, dan untuk menghadapi keadaan darurat.
5. Produksi pangan adalah kegiatan atau proses menghasilkan, menyiapkan,
mengolah, membuat, mengawetkan, mengemas, mengemas kembali, dan/atau
mengubah bentuk pangan.
6. Perdagangan pangan adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan dalam
rangka penjualan dan/atau pembelian pangan, termasuk penawaran untuk menjual
pangan, dan kegiatan lain yang berkenaan dengan pemindahtanganan pangan dengan
memperoleh imbalan.
7. Peredaran pangan adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan dalam rangka
penyaluran pangan kepada masyarakat, baik diperdagangkan maupun tidak.
8. Pengangkutan pangan adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan dalam
rangka memindahkan pangan dari satu tempat ke tempat lain dengan cara atau sarana
angkutan apapun dalam rangka produksi, peredaran, dan/atau perdagangan pangan.
9. Penganekaragaman pangan adalah upaya peningkatan konsumsi aneka ragam
pangan dengan prinsip gizi seimbang.
10. Masalah Pangan adalah keadaan kelebihan pangan, kekurangan pangan, dan/atau
ketidak mampuan rumah tangga dalam memenuhi kebutuhan pangan.
11. Keadaan darurat adalah keadaan kritis tidak menentu yang mengancam kehidupan
sosial masyarakat yang memerlukan tindakan serba cepat dan tepat di luar prosedur
biasa.
12. Terjangkau adalah keadaan di mana rumah tangga secara berkelanjutan mampu
mengakses pangan sesuai dengan kebutuh-an, untuk hidup yang sehat dan produktif.
13. Pemerintah Pusat adalah perangkat Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
terdiri dari Presiden beserta para Menteri.
14. Pemerintah Daerah adalah Kepala Daerah beserta perangkat Daerah otonom yang
lain sebagai Badan Eksekutif Daerah.
15. Setiap orang adalah orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk
badan hukum maupun tidak.

D. Tiga Pilar Ketahanan Pangan


Ketahanan pangan menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 adalah
suatu kondisi kecukupan pangan bagi suatu bangsa dan perseorangan, yang menjamin
tersedianya pangan dalam jumlah dan mutu yang cukup, aman, beragam, bergizi,
adil, terjangkau, dan mencerminkan budaya masyarakat. masyarakat. Mampu
menjalani kehidupan yang sehat, aktif dan produktif secara berkelanjutan, sesuai
dengan agama, pandangan dunia, dan lain-lain. Ketahanan pangan didasarkan pada
tiga pilar yaitu :
1) Pilar ketersediaan pangan yang dimaksud dengan ketersediaan pangan yang
berasal dari produksi dalam negeri, cadangan pangan, impor, dan bantuan pangan
apabila kedua sumber utama tersebut tidak dapat memenuhi kebutuhan.
2) Pilar akses atau keterjangkauan pangan adalah mengenai memperoleh pangan
bergizi cukup dari satu atau kombinasi sumber, termasuk produksi dan pasokan
rumah tangga, pembelian, barter, hadiah, pinjaman dan bantuan pangan, yang
didefinisikan sebagai kemampuan rumah tangga untuk melakukannya. Dalam
konteks ketahanan pangan, akses merupakan hal yang penting karena meskipun
pangan tersedia dalam jumlah yang cukup di suatu wilayah, namun belum tentu
tersedia bagi masyarakat karena kendala fisik, ekonomi, atau sosial.
3) Pilar “Pemanfaatan Pangan” mengacu pada penggunaan makanan di rumah dan
kemampuan individu untuk menyerap dan memetabolisme nutrisi. Pemanfaatan
pangan meliputi penyimpanan, pengolahan, penyiapan dan keamanan makanan
dan minuman, kebersihan, pola makan (khususnya bagi masyarakat dengan
kebutuhan gizi khusus), dan penggunaan di rumah sesuai dengan kebutuhan
individu (pertumbuhan, kehamilan, menyusui). di dalam. situasi. Status kesehatan
setiap anggota keluarga. Mengingat pentingnya peran ibu dalam meningkatkan
profil gizi keluarga, khususnya bayi dan anak kecil, pendidikan ibu sering
digunakan sebagai indikator untuk mengukur pemanfaatan pangan rumah tangga.

Untuk mendukung implementasi ketiga pilar tersebut diperlukan kondisi


politik dan makroekonomi yang mendukung, perdagangan internasional dan domestik
yang adil bagi produsen dan konsumen, ketersediaan sumber daya alam dan
lingkungan hidup yang berkelanjutan, serta iklim dan sumber daya dan lingkungan
strategis, termasuk kondisi agro-ekologi dan lingkungannya. . ketersediaan
infrastruktur dan teknologi pendukung; Peningkatan produksi pangan. Sumber daya
yang memadai dan lingkungan strategis memfasilitasi penerapan tiga pilar ketahanan
pangan untuk mencapai tujuan akhir yaitu meningkatkan status pangan dan gizi
rumah tangga dan negara. Situasi pangan rumah tangga dan negara tercermin pada
sumber daya manusia yang mampu menjalani kehidupan sehat, aktif, dan produktif
secara berkelanjutan.

MATERI 2

A. Ketersediaan Pangan
Ketersediaan pangan dapat dipenuhi dari produksi dalam negeri dan cadangan
pangan nasional, atau melalui impor apabila kedua sumber utama tersebut tidak
dapat memenuhi kebutuhan. Produksi pangan adalah kegiatan atau proses
menghasilkan, menyiapkan, mengolah, membuat, menyimpan, mengemas,
mengemas kembali, dan/atau mengubah bentuk pangan. Sedangkan Cadangan
Pangan Nasional adalah cadangan pangan di seluruh wilayah Republik Indonesia
untuk konsumsi manusia dan untuk mengatasi permasalahan seperti kekurangan
pangan, gangguan pasokan dan harga, serta keadaan darurat.
Aspek ketersediaan pangan diwakili oleh indikator rasio standar konsumsi
karbohidrat terhadap ketersediaan pangan ditinjau dari sudut produksi.
Berdasarkan definisi di atas, ketersediaan pangan dipenuhi oleh produksi dalam
negeri serta cadangan pangan dan impor atau perdagangan antar daerah. Data
mengenai stok pangan dan perdagangan antar daerah tidak digunakan karena
terbatasnya data yang tersedia di tingkat kabupaten. Selain itu, daerah yang
mengandalkan pasokan pangan dari daerah lain juga rentan terhadap gangguan
dan guncangan akibat fluktuasi harga, bencana alam, dan gangguan lain yang
berdampak pada distribusi pangan. Oleh karena itu, pendekatan produksi dalam
negeri dinilai masih relevan dengan indikator aspek ketersediaan pangan saat ini.
B. Aksebilitas Pangan
Permasalahan utama dalam pemantapan ketahanan pangan rumah tangga adalah
masih besarnya proporsi kelompok masyarakat yang mempunyai daya beli rendah,
ataupun yang tidak mempunyai akses atas pangan karena berbagai sebab. Studi
Saliem, et al (2008) menunjukkan bahwa permasalahan dalam konsumsi antara
lain adalah:
(i) Besarnya jumlah penduduk miskin dan pengangguran dengan kemampuan
akses pangan rendah;
(ii) Rendahnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat terhadap diversifikasi
pangan dan gizi;
(iii) Masih dominannya konsumsi energi karbohidrat yang berasal dari
beras;
(iv)Rendahnya kesadaran dan penerapan sistemsanitasi dan higienis rumah
tangga; dan
(v) Rendahnya kesadaran masyarakat terhadap keamanan pangan.
Terkait dengan permasalahan konsumsi tersebut, besarnya jumlah penduduk
miskin dan pengangguran yang menyebabkan rendahnya akses terhadap pangan
merupakan masalah yang sangat kompleks yang penyelesaiannya memerlukan
koordinasi dan sinergi yang harmonis antar berbagai pihak baik pemerintah,
pelaku usaha maupun masyarakat secara luas. Salah satu program pemerintah
yang terkait dengan upaya untuk meningkatkan akses penduduk miskin terhadap
pangan adalah digulirkannya program Raskin (program beras untuk keluarga
miskin).
Raskin merupakan salah satu upaya Pemerintah untuk membantu penyediaan
sebagian kebutuhan pangan pokok keluarga miskin. Melalui pelaksanaan program
Raskin bersama program bantuan penanggulangan kemiskinan lainnya,
diharapkan dapat memberikan manfaat yang nyata dalam peningkatan ketahanan
pangan dan kesejahteraan sosial rumah tangga. Selain itu, program Raskin
merupakan program transfer energi dalam bentuk kalori yang dapat mendukung
program lainnya seperti perbaikan gizi, peningkatan kesehatan masyarakat,
peningkatan kualitas pendidikan dan peningkatan produktivitas keluarga miskin
(Direktotar Jenderal Pemberdayaan Masyarakat dan Desa dengan Perum
Bulog,2005).
Namun demikian program Raskin juga ada dampak negatifnya yaitu disinyalir
memiliki kontribusi terhadap pudarnya keragaman pola konsumsi pangan pokok
penduduk. Hal ini antara lain terlihat dari adanya pergeseran pola pangan pokok
penduduk yang semula beras+pangan pokok lain (jagung, ubi kayu, ubi jalar,
sagu) berubah ke arah pola tunggalyaitu pola beras. Hal lain yang perlu mendapat
perhatian ekstra dari pola konsumsi pangan pokok penduduk di Indonesia adalah
sangat signifikan peningkatan konsumsi pangan yang berasal dari terigu (Suryani
dan Rachman, 2008). Mengingat terigu ketersediaannya sebagian besar berasal
dari impor, maka untuk menghemat devisa dan mendorong produksi pangan
domestik pemerintah menerpakan kebijakan percepatan penganekaragaman
konsumsi pangan berbasis sumber daya lokal (Peraturan Presiden Republik
Indonesia Nomor 22 Tahun 2009).
Tanpa berpretensi mengabaikan aspek atau pilar ketahanan pangan yang lainnya,
aksesibilitas rumahtangga terhadap pangan merupakan faktor kunci bagi
pencapaian ketahanan pangan di Indonesia dengan berbagai pertimbangan
berikut : (i) Ketahanan pangan dan ketersediaan pangan di tingkat nasional,
regional, wilayah merupakan syarat keharusan tetapi itu saja tidak cukup; (ii)
Terjaminnya ketahanan pangan tingkat rumahtangga merupakan syarat kecukupan
bagi tercapainya ketahanan pangan lokal, regional, nasional, global; (iii) Bukti
empiris menunjukkan bahwa di wilayah tahan pangan dan terjamin masih
ditemukan proporsi rumah tangga rawan pangan yang cukup tinggi (20 – 30
persen); (iv) Kasus rawan pangan dan insiden busung lapar di berbagai daerah
pada kondisi ketersediaan pangan nasional (dan wilayah) cukup baik.
Berdasar pertimbangan tersebut, maka peningkatan aksesibilitas rumahtangga
terhadap pangan menjadi salah satu isu yang patut dikedepankan. Adapun tujuan
peningkatan aksesibilitas pangan adalah untuk: (i) Meningkatkan akses pangan
bagi rumah tangga yang tercermin dari ketersediaan pangan yang cukup baik
dalam jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau, dan (ii)
Meningkatkan penganekaragaman konsumsi pangan menuju gizi seimbang untuk
memantapkan ketahanan pangan rumahtangga.
Terkait dengan cakupannya, upaya peningkatan aksesibilitas pangan meliputi
aspek fisk dan ekonomi. Dari sisi fisik, (i) perlu upaya peningkatan ketersediaan
pangan dalam ragam jenis, jumlah, mutu, sesuai selera. Dalam hal ini terkait
dengan upaya peningkatan penganekaragaman pangan, peningkatan Produksi,
keamanan pangan, preferensi Konsumen dan mengedepankan kearifan lokal; (ii)
Kelancaran distribusi dalam dimensi Ruang/empat, dan (iii) Stabilitas
penyediaan /pengadaan dalam dimensi waktu.
Dari sisi ekonomi, peningkatan Aksesibilitas rumahtangga terhadap pangan Perlu
upaya peningkatan pendapatan dan daya Beli rumahtangga. Dalam hal ini sektor
Pertanian perlu mendapat dukungan kuat dari Sektor lain, utamanya dalam upaya
Peningkatan pendapatan penduduk di Pedesaan. Terkait hai tersebut,
pengembangan Agroindustri di pedesaan merupakan salah satu strategi yang perlu
dikedepankan.

C. Konsumsi/Penyerapan Pangan
Konsumsi Pangan adalah sejumlah makanan dan atau minuman yang dimakan
atau diminum oleh manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan hayatinya. Kajian
konsumsi pangan dapat dilakukan dari dua aspek, yaitu secara kuantitatif dan
secara kualitatif. Untuk menilai apakah penduduk telah terpenuhi kebutuhan
pangannya secara kuantitatif dapat didekati dari konsumsi dan tingkat kecukupan
energi dan proteinnya. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII (WNPG)
menganjurkan konsumsi energi dan protein penduduk Indonesia masing-masing
adalah 2000 kkal/kap/hari dan 52 gram/kap/hari. Pada rekomendasi WNPG
sebelumnya, angka kecukupan energi adalah 2100 kkal/kap/hari dan kecukupan
protein sebesar 56 gram/kap/hari.
Persyaratan kecukupan (sufficiency condition) untuk mencapai keberlanjutan
konsumsi pangan adalah adanya aksesibilitas fisik dan ekonomi terhadap pangan.
Aksesibilitas ini tercermin dari jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi oleh
rumah tangga. Dengan demikian data konsumsi pangan secara riil dapat
menunjukkan kemampuan rumah tangga dalam mengakses pangan dan
menggambarkan tingkat kecukupan pangan dalam rumah tangga. Perkembangan
tingkat konsumsi pangan tersebut secara implisit juga merefleksikan tingkat
pendapatan atau daya beli masyarakat terhadap pangan.
Pada tahun 1999 tingkat konsumsi hampir semua jenis pangan menurun akibat
krisis ekonomi yang berlangsung sejak 1997. Konsumsi beras menurun sekitar 6
persen dan terigu (pangan olahan dari terigu) menurun sekitar separuhnya (52
persen). Sebaliknya konsumsi jagung dan ubi kayu sedikit meningkat. Pada
masa pemulihan ekonomi (2002 – 2007), konsumsi beras dan jagung masih terus
menurun, konsumsi terigu relatif stagnan, sedangkan konsumsi ubi jala dan ubi
kayu meningkat. Peningkatan terbesar terjadi pada konsumsi ubi kayu yang
mencapai 16.6%.

D. Pemberdayaan Petani Menjamin Ketahanan Pangan


Sektor Pertanian masih menjadi salah satu prioritas yang mendapat perhatian
pemerintah, karena tumbuh kembangnya sektor pertanian salah satu kunci pembangunan
nasional (Saheb, Slamet dan Zuber, 2018). Namun, selama ini pertumbuhan positif sektor
pertanian belum dirasakan petani secara nyata. (Suharto, 2010, h. 57-60) mendefinisikan
pemberdayaan sebagai sebuah proses dan tujuan. Sebagai proses, pemberdayaan adalah
serangkaian kegiatan untuk memperkuat kekuasaan atau keberdayaan kelompok lemah
dalam masyarakat, termasuk individu-individu yang mengalami masalah kemiskinan.
Sebagai tujuan, maka pemberdayaan menunjuk pada keadaan atau hasil yang ingin
dicapai oleh sebuah perubahan sosial, yaitu masyarakat yang berdaya, memiliki
kekuasaan atau mempunyai pengetahuan dan kemampuan dalam memenuhi kebutuhan
hidupnya yang baik yang bersifat fisik, ekonomi maupun sosial seperti memiliki
kepercayaan diri, mampu menyampaikan aspirasi, mempunyai mata pencaharian,
berpartisipasi dalam kegiatan sosial, dan mandiri dalam melaksanakan tugastugas
kehidupannya.

Pangan merupakan kebutuhan utama bagi manusia. Selama masih ada


kehidupan, manusia selalu membutuhkan pangan. Namun, ketahanan pangan di
Indonesia bisa dikatakan masih kurang. Hal ini karena tidak seimbangnya komposisi
antar kelompok pangan masyarakat, dimana konsumsi beras masih terlalu tinggi
sedangkan konsumsi pangan hewani, sayuran serta buah-buahan masih rendah. Di
antara kebutuhan yang lainnya, pangan merupakan kebutuhan yang harus dipenuhi agar
kelangsungan hidup seseorang dapat terjamin.

Indonesia merupakan salah satu Negara berkembang yang dulu hingga sekarang
masih terkenal dengan mata pencaharian penduduknya sebagian petani atau berrcocok
tanam. Luas lahan pertanian pun tidak diragukan lagi. Namun, kesejahteraan petani di
sini dikatakan masih belum makmur dan sejahtera. Hal ini dikarenakan harga jual hasil
panen yang didapat tidak seimbang dengan modal kerja yang dikeluarkan. Selain itu,
keterampilan dan pengetahuan petani juga dirasa masih kurang. Melihat hal tersebut,
sesuai dengan otonomi daerah, Pemerintah Daerah mempunyai kewenangan
mengembangkan pertaniannya dengan melakukan pemberdayaan kepada para petani.

Salah satu pemberdayaan yang banyak dilakukan yaitu melalui penyuluhan.


Penyuluhan dilakukan dengan memberikan informasi tentang teknologi baru serta cara
bercocok tanam dengan cara yang lebih baik kepada kelompok tani atau Gabungan
Kelompok Tani (Gapoktan) oleh PPL (Penyuluh Pertanian Lapangan). Penyuluhan
tersebut ditujukan untuk meningkatkan kemampuan serta keterampilan masyarakat
petani dalam menjalankan usaha taninya agar mendapatkan hasil yang lebih banyak,
lebih baik serta beragam. Hasil yang lebih baik tersebut dapat menunjang terwujudnya
suatu ketahanan pangan.
Parson et.al. (Suharto, 2010) menyatakan bahwa proses pemberdayaan umumnya
dilakukan secara kolektif. Dalam konteks pekerjaan sosial, pemberdayaan dapat
dilakukan melalui tiga aras atau matra pemberdayaan (empowerment setting), yaitu:

1) Aras Mikro
Pemberdayaan dilakukan terhadap klien secara individu melalui bimbingan,
konseling, stress management, dan crisis intervention. Tujuan utamanya adalah
membimbing atau melatih klien dalam menjalankan tugas-tugas kehidupannya. Model
ini biasanya disebut sebagai pendekatan yang berpusat pada tugas (task centered
approach). Pemberdayaan dalam aras mikro ini, dilaksanakan melalui strategi
penyuluhan untuk para petani.
Penyuluhan Pertanian didefinisikan proses pembelajaran bagi pelaku utama, serta
pelaku usaha agar mereka mau dan mampu menolong dan mengorganisasikan dirinya
dalam mengakses informasi pasar, teknologi, permodalan, dan sumberdaya lainnya,
sebagai upaya untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi usaha, pendapatan, dan
kesejahteraannya, serta meningkatkan kesadaran dalam pelestarian fungsi lingkungan.
2) Aras Mezzo
Pemberdayaan dilakukan terhadap sekelompok klien dengan menggunakan
kelompok sebagai media intervensi. Pendidikan dan pelatihan, dinamika kelompok,
biasanya digunakan sebagai strategi dalam meningkatkan kesadaran, pengetahuan,
keterampilan dan sikapsikap klien agar memiliki kemampuan memecahkan permasalahan
yang dihadapinya. Strategi pemberdayaan yang dilakukan dalam aras mezzo ini terdiri
dari pendidikan dan pelatihan serta pengembangan sumber daya manusia.
3) Aras Makro
Pendekatan ini disebut juga sebagai Strategi Sistem Besar (large-system strategy),
karena sasaran perubahan diarahkan pada sistem lingkungan yang lebih luas. Strategi
Sistem Besar memandang klien sebagai orang yang memiliki kompetensi untuk
memahami situasi-situasi mereka sendiri, dan untuk memilih serta menentukan strategi
yang tepat untuk bertindak. Beberapa strategi dalam pendekatan ini adalah perumusan
kebijakan, perencanaan sosial, kampanye, aksi sosial, lobbying, pengorganisasian
masyarakat, manajemen konflik. Dalam pendekatan aras makro ini pemberdayaan
difokuskan pada ketahanan pangan untuk petani, sebagai fasilitator untuk penyediaan
ketahanan pangan.

E. Memahami Kebijakan Pemberdayaan Petani Dalam Menjamin Ketahanan Pangan


F. Kebijakan Produksi Pangan
Dari perspektif kebijakan operasional, perkembangan Kementerian
Pertanian diterjemahkan ke dalam ketersediaan dan aksesibilitas. Selain itu,
produksi keamanan pangan harus memungkinkan masyarakat lokal mencapai
aspek komposisi, keamanan pangan, dan distribusi pangan. Di tingkat rumah
tangga, kondisi ini memungkinkan masyarakat mencapai ketahanan pangan
berkelanjutan. Selain itu, ketersediaan pangan harus dikaitkan dengan tingkat
lokal dan juga ketersediaan pangan nasional. Ketahanan pangan, yang merupakan
makanan pokok terpenting, tidak lepas dari faktor politik, ekonomi, sosial, dan
budaya karena rata-rata masyarakat Indonesia dan sebagian masyarakat lainnya
mengonsumsi beras, jagung, dan gandum. Oleh karena itu, ketahanan pangan
menjadi penting dalam dimensi politik, ekonomi, sosial dan budaya. (Nudia Indah
P, 2020)
Pemerintah Indonesia juga harus memperbaiki sektor pertanian. Sebab,
Indonesia mempunyai potensi sumber daya alam yang sangat besar. Jika
dimanfaatkan dengan baik, terutama di sektor pertanian, hal ini dapat
meningkatkan permasalahan ketahanan pangan.
Arah pertumbuhan pangan akan selalu meningkat ditandai dengan laju
pertumbuhan penduduk. Sementara pemanfaatan sumber daya alam belum
terlaksana secara baik, jika ini terusmenerus terjadi maka akan menimbulkan
impor. Sehingga harus diarahkan menjadi kemandirian pangan untuk ketahanan
pangan berkelanjutan Dengan arahan tersebut harus memperhatikan:
1) Sisi ketersediaan: kualitas SDA dan sumber daya air, memprioritaskan
produksi dalam negeri, pengelolaan cadangan makanan per daerah yang
seharusnya dilakukan.
2) Sisi distribusi: perbaikan ditribusi barang secara cermat, menghapus
peraturan daerah yang membuat ketahanan pangan antar daerah tidak terlaksana
dan.
3) Sisi konsumsi : kebutuhan gizi yang seimbang harus terpenuhi dalam
rumah tangga , pemenuhan pangan yang cukup bagi masyarakat dan pembantuan
pangan bagi orang miskin, ibu hamil dan gizi buruk.

Dengan demikian arahan yang terdapat didalam UU pangan untuk


mencapai: ketersediaan pangan, keterjangkauan pangan, dan pemanfaatan
pangan. Implementasi arah kebijakan tersebut tentunya perlu dukungan kebijakan
lain antara lain:
a. Meningkatkan koordinasi dalam mengelola ketahanan pangan serta
kerawanan pangan
b. Meningkatkan penelitian
c. Meningkatkan kelembagaan ketahanan pangan dan 4. Meningkatkan
kerjasama internasional.
Strategi kebijakan pemerintah dalam ketahanan pangan sudah ada
sebelum zaman kolonial ,namun hingga saat ini pemerintah belum menyebut
secara gamblang tentang konsep ketahanan pangan, ketersediaan pangan pada
orde baru mempunyai 3 asumsi kelemahan yaitu; Kelangkaan pangan secara
cepat ini menimbulkan kenaikan harga, Harga pangan memadai dapat menjamin
semua orang tercukupi, dan Produksi pangan swasembada untuk ketahanan
pangan dalam negeri.
Strategi kebijakan pangan ini memberikan dorongan untuk mendapatkan
pertumbuhan sektor harga pangan yang dilakukan oleh pemerintah supaya harga
sesuai yang inginkan konsumen. Di Indonesia ada penetapan strategi yang
dilakukan pemerintah meliputi :
1) Pemerintah membuat rancangan yang baru untuk memudahkan dan
memberikan fasilitas yang dibutuhkan oleh konsumen.
2) Pemerintah mengadakan iklan investasi pertanian diberbagai wilayah
terutama di kawasan terpencil.
3) Pembangunan pasar desa di wilayah desa utamanya para petani untuk
menjual hasil panen yang telah dipanen.

G. Kebijakan Distribusi

Aspek yang harus diperhatikan pada saat peredaran pangan:

1) Ketentuan Umum Cara yang Baik di Peredaran


a. Tanggung jawab manajemen
Untuk sarana peredaran skala UMK, pimpinan/manajemen minimal misalnya
dapat menunjukkan kepedulian untuk memenuhi persyaratan keamanan, mutu dan
legalitas pangan olahan yang disimpan, didistribusikan dan/atau dijual,
pimpinan/manajemen minimal melakukan evaluasi terhadap pekerjaan yang
dilakukan terkait keamanan, mutu, dan gizi pangan olahan. Whistle Blowing System
(WBS) tidak wajib diterapkan. Pimpinan/manajemen sarana pperedaran seharusnya
mempunyai komitmen dan wawasan tentang pengendalian keamanan pangan,
kebijakan keamanan pangan, review manajemen, sistem pelaporan internal, struktur
organisasi, dan kehadiran pimpinan/manajemen
b. Rencana Keamanan Pangan
Perusahaan/sarana seharusnya memiliki rencana keamanan pangan untuk
menganalisis bahaya keamanan pangan serta mengendalikan bahaya tersebut
sehingga tidak mencemari produk Untuk sarana peredaran skala UMK, disarankan
menerapkan rencana keamanan pangan, dalam hal ini untuk menganalisis bahaya
keamanan pangan dan pengendalian bahaya.. Sarana perlu membentuk:
1. Tim/penanggung jawab keamanan ppangan.
2. Lingkup rencana keamanan pangan.
3. Identifikasi bahaya, pengendalian bahaya, monitoring dan tindakan koreksi.
4. Reviu rencana keamanan pangan.
c. Sistem Manajemen Mutu
Sarana memiliki manual mutu yang berisi ketentuan tertulis terkait seluruh
proses/aktivitas yang dilaksanakan di sarana dan diimplementasikan secara konsisten.
Untuk Sarana Peredaran skala UMK, pimpinan/manajemen minimal memiliki
prosedur atau ketentuan tertulis terkait pengendalian pangan olahan yang tidak sesuai,
kedaluwarsa atau yang harus ditarik atau memiliki panduan operasional gudang/ritel.
Ketersediaan dokumen Sistem Manajemen Mutu berupa:
1) Manual mutu, dapat berupa panduan operasional gudang/ritel.
2) Prosedur pengendalian dokumen
3) Sistem Audit Internal d. Prosedur persetujuan/kontrak dengan pemasok
pangan olahan, sarana, dan/atau pemasok jasa.
4) Spesifikasi pangan olahan dan spesifikasi penyimpanan.
5) Prosedur ketertelusuran dan penarikan produk.
6) Prosedur penanganan insiden.
7) Prosedur penanganan complain.
8) Dokumentasi dan pencatatan.
d. Standar Bangunan dan Fasilitas
Untuk Sarana Peredaran skala UMK, disarankan memiliki area penerimaan
yang spesifik. Area (misal tempat parkir) yang secara khusus dikosongkan pada saat
penerimaan dapat dianggap sebagai memadai. Area khusus yang dimaksud terlindung
dari pengaruh cuaca (misal panas / hujan), dan risiko pencemaran (misalnya area
tidak berdebu dan jauh dari tempat sampah). Untuk pencegahan pencemaran pangan,
dengan merancang:
1) Standar Bangunan Luar - perlu diperhatikan terkait kebersihan lingkungan
sarana.
2) Standar Keamanan Lokasi - menjaga kemungkinan pencemaran yang
disengaja.
3) Standar Fasilitas, Peralatan, dan Bangunan.
4) Lay out dan Segregasi Ruangan.
5) Fasilitas Staf/Pelanggan.
6) Fasilitas Penanganan Sampah.
7) Selokan dan Drainase.
8) Ketersediaan Air dan Es.
9) Fasilitas Pengendalian Hama.
10) Fasilitas Pengendalian Bahaya Kimia dan Fisik.
11) Fasilitas Pembersihan dan Sanitasi.
e. Ketentuan Penerimaan dan Penyimpanan
Pimpinan/manajemen seharusnya melakukan monitoring secara berkala pada
prosedur penerimaan dan penanganan produk sesuai sifat produk, yang efektif untuk
menjamin keamanan pangan yang diterima serta terdokumentasi. Sarana seharusnya
mengatur penyimpanan produk di gudang, peletakan di area pemajangan dan/atau
pada saat distribusi produk sedemikian rupa sehingga dapat mencegah potensi
pencemaran silang seperti bahaya mikrobiologi, fisika, dan kimia, alergen, aspek
kehalalan dan allergen. Sistem penerimaan dan penyimpanan pangan yang efektif,
seperti:
1) Produk yang datang tidak boleh menungu lama di area penerimaan.
2) Personel bagian penerimaan yang menangani pangan yang berisiko tinggi
sebaiknya mengenakan pakaian kerja yang bersih, tutup kepala, masker, dan
sarung tangan.
3) Penerimaan pangan seharusnya diperhatikan dan dicatat tanggal kedaluwarsa
untuk memastikan bahwa produk yang diterima sudah mencantumkan
tanggal kedaluwarsa dan memiliki masa simpan yang cukup untuk dijual.
4) Tersedia fasilitas area khusus.
5) Pencatatan dan dokumentasi.
6) Pemeriksaan keterangan kedaluwarsa secara berkala terutama untuk produk
pangan olahan yang mudah rusak.
7) Pemisahan penyimpanan bahan pangan - mengandung babi, minuman
beralkohol, dan produk retur.
f. Legalitas Sarana dan Produk
Sarana memiliki Persyaratan Legal Bangunan/Sarana yang memiliki
perizinan usaha sesuai dengan jenis usahanya dan Persyaratan Legal Produk pangan
olahan yang disimpan/dipajang harus memiliki Nomor Izin Edar yang masih berlaku
kecuali produk pangan olahan yang termasuk “dikecualikan dari ketentuan kewajiban
pendaftaran produk”.
g. Pembersihan, Sanitasi, dan Pemeliharaan
Untuk Sarana Peredaran skala UMK, Pimpinan/Manajemen minimal dapat
menjelaskan secara lisan frekuensi pelaksanaan sanitasi, perawatan, dan pemeliharaan
yang dilakukan dan cara melakukan monitoring. Untuk sarana peredaran skala usaha
mikro dan kecil, Pimpinan/Manajemen minimal melakukan pemeriksaan akurasi alat
ukur secara berkala. Petugas/karyawan memahami:
1) Cara membersihkan ruangan dan peralatan dengan benar.
2) Penggunaan disinfektan yang sesuai.
3) Jadwal sanitasi dan perawatan.
4) Penanganan sampah.
5) Pemeliharaan dan perawatan alat ukur.
h. Personel
Pimpinan/manajemen seharusnya menyelenggarakan pelatihan yang
berkesinambungan kepada personel minimal mencakup sanitasi, higiene, penanganan
produk, serta penanganan peralatan. Untuk Sarana Peredaran skala UMK, minimal
dengan pelatihan berupa orientasi terkait penanganan produk, sanitasi dan higiene.
Karyawan bisa menjelaskan dan menunjukkan kemampuannya dalam menjalankan
penanganan produk, sanitasi dan hygiene. Setiap orang yang terlibat dalam ritel
pangan wajib:
1) Memahami keamanan pangan.
2) Menjual pangan aman dan bermutu.
3) Memenuhi persyaratan kesehatan.
4) Mampu menerapkan higiene perorangan.
2) Ketentuan Transportasi dan Pengangkutan
Alat transportasi pangan seharusnya dalam kondisi laik jalan, bersih, tidak berbau, tidak
berkarat, tidak menyebabkan pencemaran terhadap produk. Untuk Sarana Peredaran skala
UMK, Pimpinan/manajemen minimal dapat menjelaskan bagaimana:
a. Proses bongkar muat dilakukan.
b. Orang yang bertanggungjawab.
c. Orang yang melakukan pengawasan serta pencatatan dokumen terkait; minimal bisa
menjelaskan hal-hal yang harus dilakukan pada saat terjadi kerusakan, kecelakaan, atau
insiden terhadap kendaraan yang digunakan mendistribusikan produk.
3) Ketentuan Pemajangan
Untuk sarana ritel pangan, area dan fasilitas pemajangan (display) pangan olahan seharusya
memadai sesuai kebutuhan:
a. Pemajangan pangan olahan siap saji.
b. Pemajangan Minuman Beralkohol.
c. Pemajangan Pangan Mengandung Babi.
d. Pemajangan Pangan Iradiasi.
e. Pemajangan Pangan Produk Rekayasa Genetika (PRG).
f. Rotasi Produk.
g. Label Produk Curah.

DAFTAR PUSTAKA

Dekasari, D.A. 2016. Pemberdayaan Petani Dalam Meningkatkan Ketahanan Pangan Di Desa
Sambiroto, Kecamatan Padas, Kabupaten Ngawi. Jurnal Analisa Sosiologi. 5(1) : 38-
50.

Ika, S., Setiawan, H., & Damayanty, S. A. (2015). Evaluation of Indonesian Food Politics and
Fiscal Politics Support. Kajian Ekonomi dan Keuangan, 19(1), 1-26.

Indonesia, R. (2003). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 68 tahun 2002


tentang ketahanan pangan. Lembaga Informasi Nasional.

Laily, S. F.R. Ribawanto, H. Nurani, F. 2017. Pemberdayaan Petani Dalam Meningkatkan


Ketahanan Pangan. Jurnal Administrasi Publik. 2(1) : 147-153.

Nurpatimah, N., Mahsyar, A., & Said, A. (2018). Implementasi Kebijakan Peraturan
Pemerintah Nomor 68 Tahun 2002 Tentang Ketahanan Pangan Di Kabupaten
Nunukan. Kolaborasi: Jurnal Administrasi Publik, 4(2), 151-166.

Rumawas, V. V., Nayoan, H., & Kumayas, N. (2021). Peran Pemerintah Dalam Mewujudkan
Ketahanan Pangan di Kabupaten Minahasa Selatan (Studi Dinas Ketahanan Pangan
Minahasa Selatan). Governance, 1(1).

Rachman, H. P. S. (2010). Aksesibilitas pangan: faktor kunci pencapaian ketahanan pangan di


Indonesia. Jurnal Pangan, 19(2), 147-156.

Anda mungkin juga menyukai