KETAHANAN PANGAN
DISUSUN OLEH ;
KELOMPOK 1
HUMAIRAH HAIRIYAH SIREGAR (210305501008)
FIKRI YUDITRI (210305501032)
AZIZAH JUNARDI (210305502002)
FARINDA FAUZIAH AZ-ZAHRA (210305502026)
MATERI 2
A. Ketersediaan Pangan
Ketersediaan pangan dapat dipenuhi dari produksi dalam negeri dan cadangan
pangan nasional, atau melalui impor apabila kedua sumber utama tersebut tidak
dapat memenuhi kebutuhan. Produksi pangan adalah kegiatan atau proses
menghasilkan, menyiapkan, mengolah, membuat, menyimpan, mengemas,
mengemas kembali, dan/atau mengubah bentuk pangan. Sedangkan Cadangan
Pangan Nasional adalah cadangan pangan di seluruh wilayah Republik Indonesia
untuk konsumsi manusia dan untuk mengatasi permasalahan seperti kekurangan
pangan, gangguan pasokan dan harga, serta keadaan darurat.
Aspek ketersediaan pangan diwakili oleh indikator rasio standar konsumsi
karbohidrat terhadap ketersediaan pangan ditinjau dari sudut produksi.
Berdasarkan definisi di atas, ketersediaan pangan dipenuhi oleh produksi dalam
negeri serta cadangan pangan dan impor atau perdagangan antar daerah. Data
mengenai stok pangan dan perdagangan antar daerah tidak digunakan karena
terbatasnya data yang tersedia di tingkat kabupaten. Selain itu, daerah yang
mengandalkan pasokan pangan dari daerah lain juga rentan terhadap gangguan
dan guncangan akibat fluktuasi harga, bencana alam, dan gangguan lain yang
berdampak pada distribusi pangan. Oleh karena itu, pendekatan produksi dalam
negeri dinilai masih relevan dengan indikator aspek ketersediaan pangan saat ini.
B. Aksebilitas Pangan
Permasalahan utama dalam pemantapan ketahanan pangan rumah tangga adalah
masih besarnya proporsi kelompok masyarakat yang mempunyai daya beli rendah,
ataupun yang tidak mempunyai akses atas pangan karena berbagai sebab. Studi
Saliem, et al (2008) menunjukkan bahwa permasalahan dalam konsumsi antara
lain adalah:
(i) Besarnya jumlah penduduk miskin dan pengangguran dengan kemampuan
akses pangan rendah;
(ii) Rendahnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat terhadap diversifikasi
pangan dan gizi;
(iii) Masih dominannya konsumsi energi karbohidrat yang berasal dari
beras;
(iv)Rendahnya kesadaran dan penerapan sistemsanitasi dan higienis rumah
tangga; dan
(v) Rendahnya kesadaran masyarakat terhadap keamanan pangan.
Terkait dengan permasalahan konsumsi tersebut, besarnya jumlah penduduk
miskin dan pengangguran yang menyebabkan rendahnya akses terhadap pangan
merupakan masalah yang sangat kompleks yang penyelesaiannya memerlukan
koordinasi dan sinergi yang harmonis antar berbagai pihak baik pemerintah,
pelaku usaha maupun masyarakat secara luas. Salah satu program pemerintah
yang terkait dengan upaya untuk meningkatkan akses penduduk miskin terhadap
pangan adalah digulirkannya program Raskin (program beras untuk keluarga
miskin).
Raskin merupakan salah satu upaya Pemerintah untuk membantu penyediaan
sebagian kebutuhan pangan pokok keluarga miskin. Melalui pelaksanaan program
Raskin bersama program bantuan penanggulangan kemiskinan lainnya,
diharapkan dapat memberikan manfaat yang nyata dalam peningkatan ketahanan
pangan dan kesejahteraan sosial rumah tangga. Selain itu, program Raskin
merupakan program transfer energi dalam bentuk kalori yang dapat mendukung
program lainnya seperti perbaikan gizi, peningkatan kesehatan masyarakat,
peningkatan kualitas pendidikan dan peningkatan produktivitas keluarga miskin
(Direktotar Jenderal Pemberdayaan Masyarakat dan Desa dengan Perum
Bulog,2005).
Namun demikian program Raskin juga ada dampak negatifnya yaitu disinyalir
memiliki kontribusi terhadap pudarnya keragaman pola konsumsi pangan pokok
penduduk. Hal ini antara lain terlihat dari adanya pergeseran pola pangan pokok
penduduk yang semula beras+pangan pokok lain (jagung, ubi kayu, ubi jalar,
sagu) berubah ke arah pola tunggalyaitu pola beras. Hal lain yang perlu mendapat
perhatian ekstra dari pola konsumsi pangan pokok penduduk di Indonesia adalah
sangat signifikan peningkatan konsumsi pangan yang berasal dari terigu (Suryani
dan Rachman, 2008). Mengingat terigu ketersediaannya sebagian besar berasal
dari impor, maka untuk menghemat devisa dan mendorong produksi pangan
domestik pemerintah menerpakan kebijakan percepatan penganekaragaman
konsumsi pangan berbasis sumber daya lokal (Peraturan Presiden Republik
Indonesia Nomor 22 Tahun 2009).
Tanpa berpretensi mengabaikan aspek atau pilar ketahanan pangan yang lainnya,
aksesibilitas rumahtangga terhadap pangan merupakan faktor kunci bagi
pencapaian ketahanan pangan di Indonesia dengan berbagai pertimbangan
berikut : (i) Ketahanan pangan dan ketersediaan pangan di tingkat nasional,
regional, wilayah merupakan syarat keharusan tetapi itu saja tidak cukup; (ii)
Terjaminnya ketahanan pangan tingkat rumahtangga merupakan syarat kecukupan
bagi tercapainya ketahanan pangan lokal, regional, nasional, global; (iii) Bukti
empiris menunjukkan bahwa di wilayah tahan pangan dan terjamin masih
ditemukan proporsi rumah tangga rawan pangan yang cukup tinggi (20 – 30
persen); (iv) Kasus rawan pangan dan insiden busung lapar di berbagai daerah
pada kondisi ketersediaan pangan nasional (dan wilayah) cukup baik.
Berdasar pertimbangan tersebut, maka peningkatan aksesibilitas rumahtangga
terhadap pangan menjadi salah satu isu yang patut dikedepankan. Adapun tujuan
peningkatan aksesibilitas pangan adalah untuk: (i) Meningkatkan akses pangan
bagi rumah tangga yang tercermin dari ketersediaan pangan yang cukup baik
dalam jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau, dan (ii)
Meningkatkan penganekaragaman konsumsi pangan menuju gizi seimbang untuk
memantapkan ketahanan pangan rumahtangga.
Terkait dengan cakupannya, upaya peningkatan aksesibilitas pangan meliputi
aspek fisk dan ekonomi. Dari sisi fisik, (i) perlu upaya peningkatan ketersediaan
pangan dalam ragam jenis, jumlah, mutu, sesuai selera. Dalam hal ini terkait
dengan upaya peningkatan penganekaragaman pangan, peningkatan Produksi,
keamanan pangan, preferensi Konsumen dan mengedepankan kearifan lokal; (ii)
Kelancaran distribusi dalam dimensi Ruang/empat, dan (iii) Stabilitas
penyediaan /pengadaan dalam dimensi waktu.
Dari sisi ekonomi, peningkatan Aksesibilitas rumahtangga terhadap pangan Perlu
upaya peningkatan pendapatan dan daya Beli rumahtangga. Dalam hal ini sektor
Pertanian perlu mendapat dukungan kuat dari Sektor lain, utamanya dalam upaya
Peningkatan pendapatan penduduk di Pedesaan. Terkait hai tersebut,
pengembangan Agroindustri di pedesaan merupakan salah satu strategi yang perlu
dikedepankan.
C. Konsumsi/Penyerapan Pangan
Konsumsi Pangan adalah sejumlah makanan dan atau minuman yang dimakan
atau diminum oleh manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan hayatinya. Kajian
konsumsi pangan dapat dilakukan dari dua aspek, yaitu secara kuantitatif dan
secara kualitatif. Untuk menilai apakah penduduk telah terpenuhi kebutuhan
pangannya secara kuantitatif dapat didekati dari konsumsi dan tingkat kecukupan
energi dan proteinnya. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII (WNPG)
menganjurkan konsumsi energi dan protein penduduk Indonesia masing-masing
adalah 2000 kkal/kap/hari dan 52 gram/kap/hari. Pada rekomendasi WNPG
sebelumnya, angka kecukupan energi adalah 2100 kkal/kap/hari dan kecukupan
protein sebesar 56 gram/kap/hari.
Persyaratan kecukupan (sufficiency condition) untuk mencapai keberlanjutan
konsumsi pangan adalah adanya aksesibilitas fisik dan ekonomi terhadap pangan.
Aksesibilitas ini tercermin dari jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi oleh
rumah tangga. Dengan demikian data konsumsi pangan secara riil dapat
menunjukkan kemampuan rumah tangga dalam mengakses pangan dan
menggambarkan tingkat kecukupan pangan dalam rumah tangga. Perkembangan
tingkat konsumsi pangan tersebut secara implisit juga merefleksikan tingkat
pendapatan atau daya beli masyarakat terhadap pangan.
Pada tahun 1999 tingkat konsumsi hampir semua jenis pangan menurun akibat
krisis ekonomi yang berlangsung sejak 1997. Konsumsi beras menurun sekitar 6
persen dan terigu (pangan olahan dari terigu) menurun sekitar separuhnya (52
persen). Sebaliknya konsumsi jagung dan ubi kayu sedikit meningkat. Pada
masa pemulihan ekonomi (2002 – 2007), konsumsi beras dan jagung masih terus
menurun, konsumsi terigu relatif stagnan, sedangkan konsumsi ubi jala dan ubi
kayu meningkat. Peningkatan terbesar terjadi pada konsumsi ubi kayu yang
mencapai 16.6%.
Indonesia merupakan salah satu Negara berkembang yang dulu hingga sekarang
masih terkenal dengan mata pencaharian penduduknya sebagian petani atau berrcocok
tanam. Luas lahan pertanian pun tidak diragukan lagi. Namun, kesejahteraan petani di
sini dikatakan masih belum makmur dan sejahtera. Hal ini dikarenakan harga jual hasil
panen yang didapat tidak seimbang dengan modal kerja yang dikeluarkan. Selain itu,
keterampilan dan pengetahuan petani juga dirasa masih kurang. Melihat hal tersebut,
sesuai dengan otonomi daerah, Pemerintah Daerah mempunyai kewenangan
mengembangkan pertaniannya dengan melakukan pemberdayaan kepada para petani.
1) Aras Mikro
Pemberdayaan dilakukan terhadap klien secara individu melalui bimbingan,
konseling, stress management, dan crisis intervention. Tujuan utamanya adalah
membimbing atau melatih klien dalam menjalankan tugas-tugas kehidupannya. Model
ini biasanya disebut sebagai pendekatan yang berpusat pada tugas (task centered
approach). Pemberdayaan dalam aras mikro ini, dilaksanakan melalui strategi
penyuluhan untuk para petani.
Penyuluhan Pertanian didefinisikan proses pembelajaran bagi pelaku utama, serta
pelaku usaha agar mereka mau dan mampu menolong dan mengorganisasikan dirinya
dalam mengakses informasi pasar, teknologi, permodalan, dan sumberdaya lainnya,
sebagai upaya untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi usaha, pendapatan, dan
kesejahteraannya, serta meningkatkan kesadaran dalam pelestarian fungsi lingkungan.
2) Aras Mezzo
Pemberdayaan dilakukan terhadap sekelompok klien dengan menggunakan
kelompok sebagai media intervensi. Pendidikan dan pelatihan, dinamika kelompok,
biasanya digunakan sebagai strategi dalam meningkatkan kesadaran, pengetahuan,
keterampilan dan sikapsikap klien agar memiliki kemampuan memecahkan permasalahan
yang dihadapinya. Strategi pemberdayaan yang dilakukan dalam aras mezzo ini terdiri
dari pendidikan dan pelatihan serta pengembangan sumber daya manusia.
3) Aras Makro
Pendekatan ini disebut juga sebagai Strategi Sistem Besar (large-system strategy),
karena sasaran perubahan diarahkan pada sistem lingkungan yang lebih luas. Strategi
Sistem Besar memandang klien sebagai orang yang memiliki kompetensi untuk
memahami situasi-situasi mereka sendiri, dan untuk memilih serta menentukan strategi
yang tepat untuk bertindak. Beberapa strategi dalam pendekatan ini adalah perumusan
kebijakan, perencanaan sosial, kampanye, aksi sosial, lobbying, pengorganisasian
masyarakat, manajemen konflik. Dalam pendekatan aras makro ini pemberdayaan
difokuskan pada ketahanan pangan untuk petani, sebagai fasilitator untuk penyediaan
ketahanan pangan.
G. Kebijakan Distribusi
DAFTAR PUSTAKA
Dekasari, D.A. 2016. Pemberdayaan Petani Dalam Meningkatkan Ketahanan Pangan Di Desa
Sambiroto, Kecamatan Padas, Kabupaten Ngawi. Jurnal Analisa Sosiologi. 5(1) : 38-
50.
Ika, S., Setiawan, H., & Damayanty, S. A. (2015). Evaluation of Indonesian Food Politics and
Fiscal Politics Support. Kajian Ekonomi dan Keuangan, 19(1), 1-26.
Nurpatimah, N., Mahsyar, A., & Said, A. (2018). Implementasi Kebijakan Peraturan
Pemerintah Nomor 68 Tahun 2002 Tentang Ketahanan Pangan Di Kabupaten
Nunukan. Kolaborasi: Jurnal Administrasi Publik, 4(2), 151-166.
Rumawas, V. V., Nayoan, H., & Kumayas, N. (2021). Peran Pemerintah Dalam Mewujudkan
Ketahanan Pangan di Kabupaten Minahasa Selatan (Studi Dinas Ketahanan Pangan
Minahasa Selatan). Governance, 1(1).