Anda di halaman 1dari 14

PERANAN PERSEDIAAN DALAM KETAHANAN PANGAN:

SEBUAH PERSPEKTIF PERAN BULOG BARU


Oleh:
Dr. Tajuddin Bantacut, MSc1

PENDAHULUAN

Ketahanan pangan adalah ukuran tingkat akses (accessibility) masyarakat (semua orang)
terhadap bahan pangan untuk memenuhi kebutuhan sesuai dengan preferensinya. Penentu
untuk mencapai ketahanan yang baik adalah kemampuan masyarakat dalam mengakses
di satu sisi dan ketersediaan bahan pangan yang diperlukan di sisi yang lain. Preferensi
bermakna bahan pangan yang tersedia sesuai dengan kebiasaan (foodstuff) sehingga tidak
terjadi persoalan psikologis, sosial dan kesehatan.

Persediaan (stock) adalah fungsi dari pasokan dan permintaan yang sangat dipengaruhi
oleh produksi dan pengadaan lainnya. Kedua peubah fungsi ini tidak sepenuhnya dapat
dikendalikan sehingga sulit untuk diperkirakan. Fluktuasi produksi semakin sering terjadi
akibat perubahan iklim, serangan hama dan penyebab gagal panen lainnya sehingga pasokan
sering sangat labil (IFPRI, 2001). Di sisi lain, permintaan seringkali melonjak secara tiba-tiba
baik menghadapi hari besar atau akibat bencana alam atau perubahan pola perdagangan yang
mendorong konsumen untuk menambah persediaan melebihi biasanya. Permainan dalam
perdagangan sering juga menjadi pemicu perubahan pola permintaan.

Ketidakmenentuan perilaku pasokan, permintaan dan pasar secara umum mengharuskan


adanya penyangga (buffer) pasokan sebagai pengendali gejolak dan kelabilan ketahanan
pangan. Inilah yang menjadi esensi dari persediaan. Banyak faktor yang mempengaruhi
persediaan mulai dari produksi, konsumsi dan perdagangan. Tulisan ini membahas
peran persediaan dalam memperkuat ketahanan pangan diawali dengan konsep, definisi,
permasalahan, lembaga terkait (khususnya Perum Bulog) dan diakhiri dengan usulan
penguatan lembaga ketahanan pangan nasional.

1 Staf pengajar pada Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Peretanian IPB.

2
KETAHANAN PANGAN

UU No .7 Tahun 1996 mengartikan ketahanan pangan sebagai terpenuhinya pangan bagi


rumah tangga dari tersedianya pangan secara cukup (jumlah dan mutu), aman, merata
dan terjangkau. Dalam kondisi sekarang, ukuran yang paling mudah untuk menentukan
tersedianya pangan secara cukup dilihat dari ketersediaan beras. Aman dapat diartikan
sebagai ketiadaan gangguan pasokan dan kesehatan. Merata berarti tersedia di setiap tempat
dimana masyarakat umumnya membeli atau memperoleh bahan pangan. Terjangkau yakni
masyarakat mampu dan dapat membeli dalam jumlah yang memadai. Artinya, akses tidak
selalu ditandai oleh harga murah (Sawit, 2007).

Makna yang termaktub dalam UU tersebut sejalan dengan definisi yang banyak digunakan
di kalangan akademis dan pemerintahan. Ketahanan pangan diartikan sebagai akses oleh
semua orang pada setiap waktu terhadap bahan pangan yang cukup untuk hidup sehat dan
aktif. Pemahaman ini memaknai ketahanan pangan sebagai sesuatu yang situasional sehingga
penanganannya berbeda menurut kondisi sosial ekonomi masyarakat. Bagi kelompok
masyarakat yang memiliki pendapatan yang cukup, maka akses mereka terhadap bahan
pangan tidak dipengaruhi oleh harga dan lokasi. Sebaliknya, bagi kelompok miskin akses
dibatasi oleh kekurangan dana untuk membeli bahan pangan meskipun tersedia dalam jumlah
yang mencukupi di sekitar tempat tinggal mereka.

Ketidaktahanan pangan (food insecurity) adalah keadaan dimana keterbatasan atau


ketidaktentuan persediaan dan kesanggupan untuk mendapatkan makanan bergizi secara
cukup dan aman. Keadaan ini bervariasi mulai dari menu yang tidak sehat sampai kelaparan
massal (outrigth hunger). Secara nasional, upaya untuk menghindari keadaan ketidakcukupan
dilakukan melalui dua sisi sekaligus yakni meningkatkan atau mengamankan ketersediaan
dan memperbaiki kesanggupan untuk mendapatkan bahan pangan.

Pemerintah Indonesia tunduk dan ikut serta dalam World Food Security yang salah satu dari
komitmennya adalah menjamin bahwa kebijakan dan perdagangan pangan secara umum
memperkuat ketahanan pangan bagi semua orang (Committee on World Food Security, 2001)
. Pembangunan ketahanan pangan mempunyai dimensi yang sangat luas antara lain meliputi
(i) penyediaan bahan pangan secara lengkap dan memadai, (ii) meningkatkan pendapatan

3
masyarakat, (iii) menyediakan fasilitas dan kebijakan perdagangan, (iv) pendidikan gizi bagi
masyarakat, dan (v) sistem transportasi yang menunjang. Pada tingkat yang paling rendah,
ketahanan pangan diupayakan dengan memperbaiki akses masyarakat terhadap bahan pokok.
Indonesia menetapkan sembilan bahan pokok utama (beras, minyak goreng, gula pasir,
daging sapi/ayam, telor ayam, susu, minyak tanah, garam beryodiyum, dan jagung).

Bahan pokok yang paling utama dan sangat sensitif serta mendapat perhatian dari pemerintah
adalah beras karena dikonsumsi oleh sebagian terbesar penduduk Indonesia. Beras bukan saja
menjadi komoditas pangan dan perdagangan tetapi telah menjadi komoditas politik. Oleh
karena itu, pembangunan ketahanan pangan berbasis beras secara nasional sangat beralasan
karena mempunyai tempat secara sosial, ekonomi dan politik.

Bagi rumahtangga, ketahanan pangan berarti akses semua anggotanya pada setiap waktu
untuk memenuhi kebutuhan hidup sehat dan aktif, paling tidak meliputi (i) ketersediaan yang
siaga pangan bergizi secara cukup dan aman, dan (ii) kepastian untuk memperoleh pangan
yang secara norma sosial dan agama dapat diterima.

Ketahanan pangan rumahtangga dapat dikatagorikan menjadi (i) sangat tahan yaitu
tidak ada masalah dan ketakutan (anxiety) serta mempunyai akses secara terus menerus
terhadap pangan yang mencukupi, (ii) marginal tahan yaitu ada permasalahan waktu atau
kekhawatiran tentang akses untuk mendapat pangan yang cukup tetapi mutu, variasi dan
jumlah konsumsi mereka tidak berkurang secara substansial, (iii) ketahanan pangan rendah
yaitu rumah tangga mengurangi mutu, keragaman, dan kebiasaan menu, dan (iv) ketahanan
pangan sangat rendah yaitu sewaktu-waktu dalam satu tahun pola makan dari satu atau lebih
anggota keluarga terganggu dan mengurangi konsumsi akibat tidak mampu membeli atau
kekurangan bahan pangan.

Masalah atau gangguan terhadap ketahanan pangan dapat terjadi setiap saat pada semua titik
dalam mata rantai pasok (supply chain), mulai dari kebun/sawah sampai ke meja makan.
Oleh karena itu, pengamanan ketahanan pangan meliputi semua tahapan, yakni dari poduksi,
pengolahan, perdagangan, pengangkutan dan persiapan/konsumsi. Pada lingkup inilah,
manajemen resiko operasi dihadapkan pada pilihan kebijakan dan keputusan yang rumit.
Kaidah ketahanan tinggi pada biaya murah adalah pilihan ideal, tetapi menyimpan persediaan
dalam jumlah yang memadai adalah pilihan yang realistis.

4
Kekurangan gizi dan kelaparan adalah kejadian yang harus ditiadakan dan tidak ada
toleransi. DHHS (2001) menghindari resiko melemahnya ketahanan pangan dengan (i)
resiko harus nol (accept no risk), karena ia datang tanpa gejala, indikasi atau pemberitaan
serta tidak pernah menghasilkan manfaat, (ii) perkiraan resiko harus mendapatkan respon
kebijakan yang sesuai, dan (iii) resiko hanya dapat dipertaruhkan jika peluang keuntungan
(penghematan biaya simpan dan penanganan) jauh lebih tinggi dari potensi kerugian.
Dalam konteks yang terakhir, sumber cadangan untuk penanganan resiko harus siaga untuk
merespon persoalan yang timbul akibat kesalahan perkiraan.

PERSEDIAAN

Persediaan adalah bahan pangan yang tersedia dan dapat diakses oleh masyarakat setiap saat
dalam jumlah dan mutu yang memadai. Dengan demikian, persediaan terdapat dalam semua
tingkatan dalam mata rantai pasok. Pada tingkat rumah tangga, persedian sangat bervariasi
menurut kebiasaan yakni ada yang cukup untuk harian, mingguan, bulanan bahkan tahunan.
Oleh karena itu, sangat sulit untuk menduga atau memperkiraan persediaan yang dimiliki
oleh masyarakat.

Pemaknaan persediaan berbeda meskipun memiliki kesamaan antara cadangan pangan


dengan bisnis murni. Dalam dunia bisnis, perputaran yang tinggi menunjukkan tingkat
perkembangan bisnis semakin baik. Hal ini didasari oleh sifat persediaan sebagai asset yang
kurang liquid, sehingga nisbah perputaran yang tinggi (high turnover) adalah tujuan yang
harus dicapai. Namun, perputaran yang terlalu tinggi dapat berarti kehilangan penjualan
karena kekurangan persediaan (Sexton, 2007). Dalam perspektif ketahanan pangan,
persediaan yang stabil mengindikasikan ketahanan yang baik, sehingga laju perputaran
rendah adalah tujuan. Kesamaannya adalah jumlah harus optimal karena persediaan berarti
biaya.

Persediaaan nyata adalah jumlah dari produksi atau akan diproduksi dalam waktu singkat,
stock dalam perjalanan (transportasi), volume dalam sistem distribusi, jumlah yang sedang
atau berada pada pengolahan, dan barang yang ada dalam perdagangan eceran. Termasuk
dalam persediaan adalah cadangan pada tingkat rumah tangga. Penguatan persediaan harus
melibatkan semua pihak sehingga ketahanan berada pada semua lini. Memperkirakan
cadangan pada semua tingkat adalah sangat tidak mungkin dilakukan. Umumnya, terutama

5
negara berkembang termasuk Indonesia, perkiraan persediaan hanya melibatkan jumlah
(total) dan tingkat konsumsi.

Pada tingkat makro (nasional), persediaan lebih mudah diperkirakan yakni jumlah produksi
ditambah impor bahan pangan. Kecukupan dilihat dari volume produksi dan impor
dibandingkan dengan konsumsi. Apabila total persediaan sama atau melebihi konsumsi maka
persediaan mencukupi atau jika stock berada pada tingkat yang aman. Sebaliknya, persediaan
mengalami kekurangan (deficit) maka ketahanan berada dalam keadaan kurang, lemah atau
sangat lemah tergantung pada kemudahan untuk menambah (impor) persediaan.

Secara teoritis, jika jumlah persediaan (produksi ditambah impor) melebihi konsumsi maka
kegiatan pengadaan tidaklah penting. Distribusi akan terjadi dengan sendirinya mengikuti
kaidah pasar, yakni barang dari produsen akan dibawa ke daerah konsumen. Untuk bahan
pangan, terutama beras, mekanisme pasar tidak hanya bergantung kepada azas pasokan
dan permintaan (supply-demand), tetapi juga sifatnya yang tidak lentur (inelastic) terhadap
perubahan harga. Konsumen akan membelanjakan semua dananya untuk memenuhi
kebutuhan. Volume penjualan tidak akan mengalami perubahan akibat kenaikan harga-
bahkan dapat menambah keuntungan. Peran persediaan harus juga dilihat dari perspektif ini
sehingga perubahan pola perdagangan tidak melemahkan ketahanan pangan akibat kenaikan
harga.

Perdebatan bahkan kebingungan di kalangan lembaga pemerintah sering terjadi dalam


merealisasikan penguatan persediaan. Sumber perbedaan terletak pada perkiraan produksi
dan cadangan pangan masyarakat. Seperti telah diuraikan sebelumnya, persediaan pangan
pada tingkat masyarakat sulit atau tidak pernah dapat diperkirakan. Data atau kepastian
produksi mejadi satu-satunya alat ukur untuk mengetahui ketersediaan pangan, terutama
beras. Kesulitan menjadi nyata, ketika data produksi berbeda antar lembaga satu dengan yang
lainnya.

Fakta di lapangan sering terjadi adalah ketika pemerintah meyakini produksi melebihi
kebutuhan justru terjadi “kesulitan” pasokan. Tingkat persediaan yang dikelola oleh
Perum Bulog-pun sulit dijadikan acuan, karena sangat mungkin tingkat pengadaan tidak
optimal. Dalam situasi seperti ini, sulit menemukan titik temu antara perkiraan produksi dan
kebutuhan persediaan dalam gudang (inventory). Persoalannya adalah persediaan berbanding

6
langsung dengan biaya (pengadaan, pengangkutan, penyimpanan, susut, dan lain-lain).
Semakin tinggi volume yang harus ditangani maka biaya yang “diperlukan” semakin besar.
Sebaliknya, persediaan yang kurang mengancam ketahanan pangan bahkan cenderung
menjadi alasan untuk “menaikkan” harga sehingga menurunkan kemampuan sebagian
masyarakat untuk mencukupi kebetuhan mereka.

Penambahan persediaan melalui outsourcing tidak dapat dilakukan dengan segera, terutama
jika terjadi kondisi darurat. Persediaan minimum harus tetap ada walaupun bahan pangan
beredar dalam jumlah yang cukup dan harga yang normal. Idealnya, tidak harus semua
negara mempunyai produksi untuk mencukupi kebutuhan masing-masing, tetapi yang
penting adalah total produksi sama atau melebihi total konsumsi pada tingkat dunia. Dengan
demikian, masing-masing negara berkonsentrasi pada komoditas potensial yang lebih
menguntungkan. Persoalan global sourcing adalah (i) matar antai pasok lebih (terlalu)
panjang, (ii) sulit mengendalikan persediaan, (iii) sulit memperkiraan waktu pengiriman
(pengadaan), (iv) sulit membuat pencatatan, dan (v) sering merupakan operasi yang mahal.

Satu-satunya cara termudah untuk menyeimbangkan persediaan pada tingkat yang aman
adalah memperbaiki akurasi perkiraan produksi. Selisih negatif (kurang) adalah jumlah yang
harus diimpor untuk mencapai tingkat persediaan yang aman. Selebihnya harus dipenuhi
dari produksi dalam negeri. Selisih positif menunjukkan bahwa produksi melebihi kebutuhan
sehingga tambahan tidak diperlukan. Pada kondisi persediaan cukup, lembaga persediaan
mengkonsentrasikan pada upaya stabilisasi harga serta mencari peluang ekspor. Pertanyaan
yang harus dijawab adalah siapa atau lembaga apa yang dapat dipercaya untuk menentukan
tingkat produksi tersebut? Paper ini berupaya menjawab pertanyaan ini.

PERUM BULOG SEBAGAI LEMBAGA PERSEDIAAN

Perusahaan Umum (Perum) Bulog didirikan melalui Peraturan Pemerintah Republik


Indonesia Nomor 7 Tahun 2003. Dengan ini, status Lembaga Pemerintah non-Departemen
tidak lagi berlaku. Demikian juga dengan nama, Bulog tidak lagi merupakan kepanjangan
dari Badan Urusan Logistik. Banyak kekhususan yang dimiliki sebelumnya secara signifikan
dikurangi. Namun, lingkup tugas utama Perum tetap pada menjalankan usaha-usaha logistik
pangan pokok yang bermutu. Status ini memberikan keleluasaan dalam pengelolaan
persediaan pangan secara lebih luas dan beragam dengan memasukkan pertimbangan teknis

7
dan ekonomis dalam penguatan ketahanan pangan (Tabel 1).

Tabel 1. Ringkasan Proses Reformasi BULOG

Aspek Kelembagaan Sebelum Reformasi Sesudah Reformasi

Monopoli impor beras, gandum Tidak memiliki hak monopoli,


Tugas dan fungsi
(termasuk terigu), gula, kedelai, deregulasi perdagangan
bawang putih; dan menentukan dalam negeri, tidak mendapat
rekanan dalam negeri melalui hak monopoli distribusi dan
sistem DO (order delivery). pengolahan dalam negeri.
Menetapkan ketentuan untuk
monopoli pengolahan gandum
dan distribusi kedelai dalam
negeri

Mengendalikan harga beras Pengurangan operasi pasar,


melalui operasi pasar, persediaan, menjaga harga
pengelolaan persediaan, dasar, bertanggungjawab
ketahanan pangan terhadap ketahanan pangan
seperti jaring pengaman sosial.
Menggunakan sistem Kredit Ditiadakan
Pembiayaan
Likuiditas Bank Indonesia:
KLBI
Ketahanan pangan dan semua
Biaya dan kerugian dalam aktivitas publik dibiayai dari
perdagangan beras ditutupi APBN; Aktivitas bisnis yang
dengan pendapatan dari menguntungkan (termasuk
perdagangan produk pertanian perdagangan beras dan
lainnya; Keuntungan digunakan komoditas lainnya) dilakukan
sebagai pendapatan BULOG dengan manajemen sendiri.
Lembaga Pemerintah langsung Perusahaan Publik di bawah
Organisasi, tatakelola
di bawah Presiden Menteri Negara BUMN

Perusahaan perdagangan negara Diperlakukan sama dengan


yang tidak mengikuti ketentuan perusahaan bisnis swasta,
WTO prinsip akuntasi umum berlaku

Sumber: Yonekura (2005)

Tugas utama Bulog dalam kegiatan pelayanan publik meliputi: (i) menjaga harga pembelian
pemerintah (HPP) gabah, (ii) pengendalian harga, khususnya pangan pokok, (iii) penyaluran
raskin (beras untuk masyarakat miskin), (iv) penyaluran beras untuk golongan anggaran
(TNI/POLRI dan lainnya), dan (v) pengelolaan stock pangan sebagai cadangan pangan

8
pemerintah. Semua tugas tersebut erat kaitannya dengan ketahanan pangan nasional. Tugas
ini bertambah berat dengan adanya perdagangan bebas beras yang ternyata melemahkan
ketahanan pangan nasional (Oxfam, 2001). Persaingan perdagangan dunia terjadi
secara domestik merugikan sektor perberasan nasional secara menyeluruh (Sidik, 2004;
Suparmoko, 2002).

Bulog menjabarkan penugasan tersebut dengan menetapkan misi menyelenggarakan/


menjalankan: (i) tugas pelayanan publik untuk menunjang keberhasilan pelaksanaan
kebijakan pangan nasional, (ii) kegiatan ekonomi di bidang pangan secara berkelanjutan
yang memberikan manfaat kepada perekonomian nasional, (iii) kegiatan ekonomi di bidang
pangan dan usaha lain secara berkelanjutan dan bermanfaat bagi stakeholders, dan (iv)
usaha dalam bidang produksi, pemasaran dan jasa komoditi pangan guna mendukung
program pengembangan hasil pertanian khususnya pangan dan bidang lainnya dengan upaya
memaksimalkan produktivitas, efisiensi dan kemampuan menghasilkan.

Dalam menyangga persediaan, Bulog bertugas untuk mengamankan persediaan beras


nasional pada tingkat 1-1,2 juta ton, 350,000 ton diantaranya dikelola langsung baik
melalui pangadaan dalam negeri maupun impor. Pengadaan mempunyai fungsi majemuk
yakni selain menyiapkan persediaan juga menstabilkan harga gabah pada tingkat petani.
Fungsi ganda juga terjadi dalam pengelolaan persediaan yakni selain mengamankan juga
menyalurkan beras bagi kelompok miskin dan operasi pasar untuk mengendalikan harga
beras.

Banyak negara berkembang yang membangun ketahanan pangan dan perbaikan kesejahteraan
secara bersamaan. Negara kecil dan miskin seperti Ethiopia-pun berhasil menerapkan
pendekatan (i) stabilisasi harga, (ii) penekanan biaya pemasaran dan pembangkitan
persaingan sehat, dan (iii) pengadaan bahan pangan secara biaya-efektif (cost-effective).
Hasilnya adalah perbaikan akses terhadap sumber pangan secara lebih rasional (Amha, et al.,
1997).

Dalam menjalankan tugas tersebut, Bulog berperan sebagai perpanjangan tangan Pemerintah,
sehingga semua pembiayaan ditanggung oleh negara. “Kehilangan” biaya sangat tinggi
karena Bulog harus membeli gabah dan menjual beras pada Harga Pembelian Pemerintah
(HPP). Pembelian dilakukan terutama pada musim panen raya yakni ketika harga

9
gabah “jatuh” dan penjualan dilakukan ketika harga beras tinggi. Dari kacamata bisnis, Bulog
membeli “rugi” karena lebih tinggi dari harga pasar dan menjual lebih rendah dari harga
pasar. Kerugian bertambah lagi dengan biaya penanganan (gudang, pengendalian hama, serta
susut mutu dan jumlah). Peran pelayanan publik (demikian sebutan untuk tugas ini) adalah
pusat biaya (cost center). Dalam kaidah bisnis, persediaan tidak memberikan pengembalian
terhadap asset (return on net asset/RONA) sampai terjual.

Sulit untuk menilai keberhasilan pelaksanaan tugas persediaan ini, karena faktanya harga
gabah selalu rendah saat panen dan harga beras sewaktu-waktu naik tanpa terkendali.
Operasi pembelian dan pasar hanya bersifat sesaat dan tidak mungkin mengendalikannya
secara penuh. Namun, Bulog telah membuktikan kemampuannya dalam mengendalikan
ketersediaan beras. Penyebab utama dari “kesulitan” tersebut adalah bahwa volume
pembelian (bisnis) hanya berkisar tujuh persen dari total produksi nasional. Artinya,
pengaruh operasi pembelian lebih bersifat psikologis dari pada ekonomis, satu hal yang selalu
terjadi dalam pasar beras Indonesia.

Pengaruh psikologis-sosial (psiko-sosial) Bulog sangat signifikan meskipun bersifat sesaat.


Dalam hal jaminan pasokan, keberadaan Bulog telah mampu menumbuhkan kepercayaan
masyarakat terhadap ketahanan pangan (beras) nasional. Sebagian kalangan menilai Bulog
sebagai lembaga yang mempunyai peran besar tetapi kontribusi kecil. Investasi dan jaringan
yang luas menjangkau sebagian besar wilayah nusantara dianggap sebagai pemborosan. Oleh
karena itu, peran Bulog sisi lainnya, yakni kegiatan komersial harus berkembang lebih cepat
dari pada pelayanan publik.

Berbasis pada volume bisnis yang relatif kecil, maka kontribusi Bulog dalam menjaga HPP
gabah belum bersifat sinambung, hanya sewaktu-waktu. Mata rantai perdagangan gabah
yang panjang juga menyulitkan penerapan HPP pada tingkat petani. Bulog telah melakukan
berbagai upaya seperti pembelian semua jenis dan tingkat mutu gabah sehingga marjin
setiap kenaikan HPP dapat diterima petani. Metodologi bukanlah jawaban ketika berhadapan
dengan volume besar (massal) yang justru berada di luar jangkauan. Menambah volume
pembelian bukanlah pilihan yang bijak karena akan menambah “kerugian”.

Keadaan bisnis seperti itu menjadikan Bulog berhadapan dengan masalah (i) penggunaan
fasilitas dan gudang tidak optimal terutama di daerah perkotaan, (ii) biaya operasi untuk

10
memproduksi per kg beras mahal, (iii) kerugian dari menyimpan beras/stok dalam waktu
yang lama, sehingga tanggungan biaya operasional dan bunga bank yang besar, dan (iv)
sistem pengadaan, pengolahan, penyimpanan dan distribusi belum efektif. Masalah ini akan
terus membebani keuangan negara sebagai konsekuensi dari tugas pelayanan publik yang
lebih bersifat “charity”. Di sisi lain, permasalahan ini juga menjanjikan peluang bisnis yang
dapat membantu menyeimbangkan aliran tunai (cash flow) Perum.

Dilihat dari sisi fasilitas dan jejaring usaha, Bulog adalah satu dari sedikit perusahaan
yang sangat kuat. Fasilitas infrastruktur logistik yang besar dan tersebar (unit pengolahan
gabah beras/UPGB, kendaraan operasional, jaringan telekomunikasi), bangunan (gudang
dan perkantoran), dan sumberdaya manusia yang dimiliki sangat baik. Semua fasilitas
dan “kekayaan” ini menjadi pusat biaya karena terkonsentrasi pada usaha “losing profit”
yakni membeli dengan harga tinggi dan menjual murah. Bagi negara dengan ekonomi
yang kuat, situasi seperti ini adalah wajar sebagai bentuk pelayanan kepada masyarakat.
Sebaliknya, bagi Indonesia mungkin saja suatu saat menjadi dilema ketika keuangan negara
tidak mampu menyokong semua keperluan tersebut.

Mengacu pada Pasal 8 dan 9 PP 7/2003, maka Perum perlu memperbesar porsi komersial
sebagai upaya memperkuat tugas publik dengan memanfaatkan alokasi keuangan negara
yang sudah sangat besar. UPGB tidak hanya berorientasi pada golongan anggaran dan raskin
tetapi harus masuk ke pasar komersial. Dengan demikian, biaya minimum operasional yang
dialokasikan dapat digunakan menjadi ongkos produksi untuk menghasilkan beras komersial.
Optimasi kapasitas akan menekan biaya dan meningkatkan keuntungan. Pengelolaan usaha
komersial harus diterapkan bagi setiap UPGB, sedang tugas pemasokan beras hanya berlaku
pada kondisi “darurat”.

Gudang dan fasilitas lainnya yang terdapat di perkotaan dapat dimanfaatkan untuk pusat-
pusat perdagangan beras dan biji-bijian atau bahan pangan lainnya sehingga nilai lahan dan
posisi strategis menjadi keuntungan ekonomis. Sarana dan prasarana ini, dengan sendirinya,
harus dikelola dengan azas ekonomi sehingga bukan menjadi pusat biaya, tetapi justru pusat
keuntungan. Otonomi untuk setiap wilayah (regional) dapat menjadi dasar pengelolaan atau
bahkan membentuk badan khusus (anak perusahaan) sehingga kriteria keuntungan menjadi
ukuran keberhasilan dapat diterapkan.

11
Bulog memiliki mitra kerja yang cukup besar dan tersebar di seluruh Indonesia merupakan
jejaring yang berpotensi bagi pengembangan usaha. Ketika perusahaan lain terkendala dan
sulit untuk mambangun, Bulog justru tidak optimal memanfaatkan jejaring yang banyak
dan luas tersebut. Sementara ini, mitra Bulog secara sepihak mengambil manfaat ekonomi
dari kerjasama yaitu mendapat jaminan pembelian. Tentu ada kriteria dan persyaratan, tetapi
semuanya dapat dipenuhi dan tetap menguntungkan. Azas take and give dalam arti membeli
dan menjual tentu saja dapat dengan mudah dibangun dengan semua mitra yang sudah dan
akan ada.

Azas bisnis dalam pengelolaan usaha akan, dengan sendirinya, mengarahkan Perum
pada upaya efisiensi. Persediaan adalah jumlah yang harus dikelola secara dinamis
bukan dalam gudang tetapi dalam jaringan bisnis. Volume bisnis yang jauh melampaui
cadangan beras minimal akan memperkuat ketahanan pangan secara dinamis pula. Kerugian
akibat penurunan mutu dan susut dapat dihindari (dikurangi) karena persediaan berputar
dengan lebih cepat. Analogi yang sederhana adalah seorang pedagang beras tidak perlu
mencadangkan secara khusus untuk keperluannya, tetapi ketika pasokan terbatas dia dapat
menggunakan seluruh beras dagangannya. Konsekuensi logisnya adalah biaya produksi dan
penanganan menjadi lebih rasional.

Bulog dengan porsi komersial yang besar adalah wajah baru yang diharapkan dapat menjadi
lembaga yang memperkuat ketahanan pangan. Prinsip komersial yang menjadi dasar
operasional mengharuskan aktivasi semua fasilitas dan organisasi, sehingga Perum menjadi
lebih siap dalam menjalankan semua misinya. Jejaring yang aktif lebih mudah digerakkan.
Waktu respon terhadap kejadian darurat (atau krisis pangan) menjadi lebih singkat. Inilah
langkah awal menuju sistem pengadaan, pengolahan, penyimpanan dan distribusi yang efektif
harus dibangun.

Upaya di atas tidak lain adalah untuk mempercepat perintisan usaha bisnis jangka panjang
dengan sasaran pengembangan Perum Bulog sebagai Logistic Service Company. Oleh
karena itu, dalam jangka sangat pendek harus dimulai penyiapan infrastruktur termasuk
implementasi kebijakan, mekanisme, prosedur baku operasi (SOP) baru, serta proses bisnis
yang baik. Dengan perspektif yang baru ini, kekuatan ketahanan pangan yang disumbangkan
oleh Bulog tidak terletak pada jumlah cadangan dalam gudang, tetapi lebih pada kinerja

12
bisnisnya. Semakin baik bisnis Bulog semakin siap menghadapi situasi darurat dan semakin
kuat kemampuan pengelolaan cadangan.

BULOG BARU DAN KETAHANAN PANGAN

Kata kunci ketahanan adalah akses terhadap bahan pangan (terutama bahan pangan pokok).
Oleh karena itu, upaya harus dilakukan untuk membangun masyarakat sehingga mereka
mempunyai akses yang baik terhadap (bahan) pangan yang memadai. Pilihan lain adalah
mempertinggi frekuensi lalu lintas bahan pangan (food journey) di sekitar masyarakat
(konsumen) sehingga sewaktu-waktu dapat “diberhentikan” untuk dibeli atau dibagikan
dalam “jangkauan” masyarakat. Selama ini volume perdagangan beras sudah cukup memadai
dan hampir tidak pernah mencapai tingkat krisis cadangan. Namun, masih sering terjadi
bahwa barang tersedia tetapi di luar jangkauan (akses terbatas).

Bulog baru mengendalikan harga bukan dengan menimbun atau menjual cadangan beras,
tetapi dari dinamisasi dan normalisasi perdagangan. Masuknya Bulog dalam perdagangan
secara komersial, luas dan transparan dapat menepis isu-isu yang sering menimbulkan
gejolak pasar beras nasional. Hal ini disebabkan, pasar beras didominasi oleh pedagang
dalam jaringan tertentu yang dapat dengan mudah digerakkan untuk mengatur harga dan
informasi perberasan. Isu-isu seperti inilah yang mempunyai pengaruh lebih signifikan
dibandingkan normalisasi harga yang dapat dilakukan oleh Bulog.

Bulog baru adalah trendsetter perdagangan beras yang dapat menentukan harga dan
menjamin mutu pada tingkat akurasi yang lebih tinggi. Misi baru ini mengharuskan Bulog
memiliki: (i) pusat-pusat perdagangan beras (diadopsi dari pusat perdagangan biji-bijian),
(ii) informasi harga (selalu menjual dan membeli beras atau padi pada harga tersebut), (iii)
transaksi maya (untuk memudahkan jual beli pada harga pasar yang benar), (iv) jaminan
mutu (setiap pembeli akan mendapat apa yang dibayar), dan (v) jaminan pasokan (selalu siap
melayani permintaan baik dari pemerintah maupun pedagang beras).

Perilaku pasar beras nasional yang selama ini tidak terkendali adalah akibat tidak adanya
lembaga yang dapat dipercaya oleh masyarakat. Ketika ada isu kekurangan produksi,
secara serta merta harga naik padahal cadangan berada jauh di atas batas minimal. Ketika
Pemerintah merencanakan impor maka harga beras turun dengan cepat, padahal realisasinya

13
belum terjadi. Lebih dari itu, impor adalah untuk memperkuat cadangan dan tidak masuk
pasar nyata (real market). Irasionalitas pasar (market irrationality) ini secara rumit
mempengaruhi pasar beras nasional yang tidak jarang menurunkan ketahanan pangan pada
tingkat keluarga.

Bulog baru seyogianya dapat melawan irasionalitas pasar yang hanya dapat dilakukan bila
memiliki pasar tandingan (alternative market). Intervensi dengan operasi pembelian dan
pasar tidak dapat diharapkan untuk membangun pasar perberasan yang sehat. Pasar tandingan
adalah pasar beraturan (regulated market) yang beroperasi menurut kaidah bisnis (mulia)
dan memperkuat ketahanan pangan. Keberadaannya akan memperbaiki akses semua lapisan
masyarakat (produsen dan konsumen) terhadap bahan pokok (beras). Petani menjual padi
dan konsumen membeli beras dengan harga patokan (price reference) yang dikeluarkan oleh
pasar. Jika pasar tempat mereka membeli lebih mahal atau menjual lebih murah dari patokan,
mereka dapat melakukan transaksi di pasar alternatif.

PENUTUP

Tingkat ketahanan pangan diukur dari akses masyarakat (semua orang) terhadap bahan
pangan untuk memenuhi kebutuhan hidup aktif dan sehat menurut preferensinya. Sampai
tingkat tertentu, akses dipengaruhi oleh ketersedian dalam batas jangkauan masyarakat. Oleh
karena itu, peran lembaga persediaan sangat penting untuk mengelola cadangan dalam jumlah
dan mutu yang memadai. Lembaga yang mengelola cadangan pangan di Indonesia adalah
Perum Bulog.

Bulog menjalankan fungsi penguatan ketahanan pangan dengan melakukan pembelian


gabah/beras, operasi pasar, dan penyaluran beras untuk masyarakat miskin. Hasil akhir yang
diharapkan dari semua fungsi ini adalah stabilnya perdagangan bahan pangan (beras) dari
segi harga dan mutu. Fakta yang terjadi, upaya tersebut tidak mampu menstabilkan pasar
(harga beli gabah dan harga jual beras) pada tingkat yang wajar. Bulog memiliki keterbatasan
dalam business share yang hanya berkisar tujuh persen dari produksi beras nasional.

Indonesia memerlukan lembaga kuat dalam menjamin ketahanan pangan. Dalam perspektif
inilah Bulog harus dikembangkan. Melalui reorientasi, reposisi, dan revitalisasi, Bulog baru
harus terjun dalam bisnis beras nasional secara total sehingga dapat menjadi trendsetter

14
dan lembaga pangan yang kuat yang dipercaya oleh masyarakat. Posisi semacam ini dapat
mengawal pasar beras nasional menjadi atau beroperasi dengan kaidah pasar yang rasional.

DAFTAR PUSTAKA

Amha, W., J. Stepanek, T.S. Jayne and A. Negassa. 1997. Meeting Food Aid and Price
Stabilization Objectives Through Local Grain Purchase: A Review of The 1996
Experience. Working Paper 7 Grain Market Research Project Ministry of Economic
Development and Cooperation, Ethiopia, Addis Ababa.

Committee on World Food Security. 2001. Fostering the Political Will to Fight Hunger.
Twenty-seventh Session, Rome, 28 May - 1 June 2001. Food and Agriculture
Organization, United Nations. Rome.

DHHS. 2001. Food Safety and Security: Operational Risk Management Systems Approach.
US Food and Drug Administration Center for Food Safety and Applied Nutrition.

IFPRI. 2001. Sustainable Food Security for All by 2020. International Food Policy Research
Institute, Washington, D.C. USA.

Oxfam. 2001. The Impact of Rice Trade Liberalization on Food Security in Indonesia. A
study conducted for Oxfam-Great Britain.

Sawit, M. H. 2007. Usulan kebijakan beras dari Bank Dunia: Resep yang keliru. Jurnal
Ekonomi Rakyat, Juli 2007.

Sexton, J. 2007. Inventory Management System (Ims). Rice Lake Weighing Systems. http://
jim.sexton@rlws.com.

Sidik, M. 2004. Indonesia Rice Policy in View of Trade Liberalization. Paper presented at
FAO Rice Conference, Rome, Italy, 12-13 February 2004.

Suparmoko, M. 2002. The Impact of The WTO Agreement on Agriculture in The Rice Sector.
Paper presented at the Workshop on Integrated Assessment of the WTO Agreement
on Agriculture in the Rice Sector, Geneva, Switzerland, April 5th, 2002.

Yonekura, H. 2005. Institutional Reform in Indonesia’s Food Security Sector: The


Transformation of Bulog Into a Public Corporation. The Developing Economies,
XLIII-1: 121–48.

Young, H., S. Jaspars, R. Brown, J. Frize, and H. Khogali. 2001. Food-Security Assessments
in Emergencies: A Livelihoods Approach. Humanitarian Practice Network (HPN),
Overseas Development Institute, London.

14

Anda mungkin juga menyukai