Anda di halaman 1dari 12

KETAHANAN PANGAN

Tugas Mata Kuliah Metoda Penulisan Ilmiah


DOSEN PENGAMPU :
Prof. Dr. Ir. Suandi, M.Si. IPU

DISUSUN OLEH:
KELOMPOK 5
R-002
Nydia Pratiwi Siregar D1B022034
Dwi Kurnia Febriyanti D1B022050
Sesli Dianastarin D1B022054
Alif Budi Setiawan D1B022057

PROGRAM STUDI AGRIBISNIS


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS JAMBI
2024
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur bagi Allah SWT yang telah dilimpahkan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga tugas paper mata kuliah Metode Penulisan Ilmiah yang berjudul “Ketahanan
Pangan” dapat selesai dengan baik.

Penyusunan paper ini banyak dibantu dari berbagai pihak. Untuk itu penulis
mengucapkan terima kasih kepada Dosen pengampu mata kuliah Metode Penulisan Ilmiah
yang telah membimbing dan memberikan pengarahan, serta kerjasama tim yang telah bekerja
sama dalam hal penyusunan tugas ini.

Besar harapan penulis, laporan ini dapat menjadi sarana membantu masyarakat dalam
memahami Pembangunan pertanian dilingkungan masyarakat di Desa Sembubuk. Demikian
apa yang bisa penulis sampaikan, semoga pembaca dapat mengambil manfaat dari karya ini.

Jambi, 27 Maret 2024

Tim Penyusun
DAFTAR ISI
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pangan merupakan kebutuhan dasar yang paling esensial bagi manusia untuk
mempertahankan hidup dan kehidupan. Pangan sebagai sumber zat gizi (karbohidrat,
lemak, protein, vitamin, mineral dan air ) menjadi landasan utama manusia untuk
mencapai kesehatan dan kesejahteraan sepanjang siklus kehidupan (Suandi, 2012). Maka
dari itu diperlukan suatu pengelolaan terhadap pangan atau yang disebut dengan istilah
ketahanan pangan untuk mencapai kesejahteraan.
Ketahanan pangan menurut Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2015 adalah
kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin
dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam,
bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan
budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan.
Sistem Ketahanan Pangan meliputi tiga subsistem, yaitu: a. Ketersediaan Pangan dengan
sumber utama penyediaan dari produksi dalam negeri dan cadangan Pangan b.
Keterjangkauan Pangan oleh seluruh masyarakat, baik secara fisik maupun ekonomi; dan
c. Pemanfaatan Pangan untuk meningkatkan kualitas konsumsi Pangan dan Gizi,
termasuk pengembangan keamanan Pangan. Dengan mengacu pada sistem Ketahanan
Pangan tersebut, penyelenggaraan Pangan ditujukan untuk dapat memenuhi kebutuhan
Pangan bagi negara sampai dengan perseorangan yang tercermin dari tersedianya Pangan
yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, terjangkau,
dan tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat. Pada akhirnya
akan dapat dibangun sumber daya manusia yang sehat, aktif, dan produktif secara
berkelanjutan, yang mempunyai kapasitas prima berkiprah dalam persaingan global.(PP
No 14 Tahun 2015, 2015)
Strategi Ketahanan Pangan Nasional hendaknya tidak hanya diarahkan untuk untuk
mencapai kecukupan akan pangan, tetapi juga lebih diarahkan untuk mencapai
kemandirian dan kedaulatan pangan (swasembada pangan) serta peningkatan daya saing
produk-produk pangan nasional dalam rangka Ketahanan Nasional. Kita mengetahui
bahwa pangan adalah komoditi yang sangat strategis bagi ketahanan nasional.
Ketersediaan dan keterjangkauan pangan merupakan indikator kunci bagi stabilitas
nasional. Pengalaman krisis yang terjadi di Indonesia, baik pada tahun 1965 maupun 1998
pemicu utamanya adalah kenaikan harga pangan yang sangat tinggi, sehingga tidak
terjangkau oleh masyarakat. Kondisi ini menimbulkan distrust masyarakat terhadap
Pemerintah yang pada akhirnya menyebabkan jatuhnya Pemerintah.
1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana permasalahan ketersediaan pangan akibat terbatasnya dan menurunnya


kapasitas produksi?
2. Apa saja hambatan dalam distribusi pangan terkait dengan infrastruktur, lembaga, dan
keamanan distribusi?
3. Bagaimana konsumsi pangan yang tidak memadai, terutama terkait dengan bias
konsumsi energi pada beras dan biji-bijian?
4. Bagaimana peran kebijakan pangan dalam meningkatkan kemandirian pangan dan
pemberdayaan masyarakat?
5. Bagaimana pengembangan lumbung desa dapat meningkatkan ketahanan pangan di
tingkat lokal dan nasional?

1.3 Tujuan

Tujuan penulisan adalah melakukan analisis menyeluruh terhadap isu ketahanan


pangan dan memberikan rekomendasi kebijakan untuk menyelesaikan permasalahan
tersebut.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

Definisi dan paradigma ketahanan pangan terus mengalami perkembangan sejak


adanya Conference of Food and Agriculture tahum 1943 yang mencanangkan konsep
secure, adequate and suitable supply of food for everyone”. Definisi ketahanan pangan
sangat bervariasi, namun umumnya mengacu definisi dari Bank Dunia (1986) dan
Maxwell dan Frankenberger (1992) yakni “akses semua orang setiap saat pada pangan
yang cukup untuk hidup sehat (secure access at all times to sufficient food for a healthy
life). Studi pustaka yang dilakukan oleh IFPRI (1999) diperkirakan terdapat 200 definisi
dan 450 indikator tentang ketahanan pangan (Weingärtner, 2000). Berikut disajikan
beberapa definisi ketahanan yang sering diacu. Undang-Undang Pangan No.7 Tahun 1996
menyatakan kondisi terpenuhinya kebutuhan pangan bagi rumah tangga yang tercermin
dari tersedianya pangan secara cukup, baik dari jumlah maupun mutunya, aman, merata
dan terjangkau. Sementara USAID (1992) menyatakan kondisi ketika semua orang pada
setiap saat mempunyai akses secara fisik dan ekonomi untuk memperoleh kebutuhan
konsumsinya untuk hidup sehat dan produktif. Sedangkan FAO (1997) menyatakan
situasi dimana semua rumah tangga mempunyai akses baik fisik maupun ekonomi untuk
memperoleh pangan bagi seluruh anggota keluarganya, dimana rumah tangga tidak
beresiko mengalami kehilangan kedua akses tersebut.
Sistem ketahanan pangan di Indonesia secara komprehensif meliputi empat sub-
sistem, yaitu: (i) ketersediaan pangan dalam jumlah dan jenis yang cukup untuk seluruh
penduduk, (ii) distribusi pangan yang lancar dan merata, (iii) konsumsi pangan setiap
individu yang memenuhi kecukupan gizi seimbang, yang berdampak pada (iv) status gizi
masyarakat. Dengan demikian, sistem ketahanan pangan dan gizi tidak hanya
menyangkut soal produksi, distribusi, dan penyediaan pangan ditingkat makro (nasional
dan regional), tetapi juga menyangkut aspek mikro, yaitu akses pangan di tingkat rumah
tangga dan individu serta status gizi anggota rumah tangga, terutama anak dan ibu hamil
dari rumah tangga miskin. Meskipun secara konseptual pengertian ketahanan pangan
meliputi aspek mikro, namun dalam pelaksanaan sehari-hari masih sering ditekankan
pada aspek makro yaitu ketersediaan pangan. Agar aspek mikro tidak terabaikan, maka
dalam dokumen ini digunakan istilah ketahanan pangan dan gizi. Konsep ketahanan
pangan yang sempit meninjau sistem ketahanan pangan dari aspek masukan yaitu
produksi dan penyediaan pangan. Seperti banyak diketahui, baik secara nasional maupun
global, ketersediaan pangan yang melimpah melebihi kebutuhan pangan penduduk tidak
menjamin bahwa seluruh penduduk terbebas dari kelaparan dan gizi kurang.
Konsep ketahanan pangan yang luas bertolak pada tujuan akhir dari ketahanan pangan
yaitu tingkat kesejahteraan manusia. Oleh karena itu, sasaran pertama Millenium
Development Goals (MGDs) bukanlah tercapainya produksi atau penyediaan pangan,
tetapi menurunkan kemiskinan dan kelaparan sebagai indikator kesejahteraan masyarakat.
MDGs menggunakan pendekatan dampak bukan masukan.
Ketersediaan pangan di sebuah negara amat ditentukan oleh kondisi iklim yang
kondusif. Musim kemarau yang berkepanjangan, bahaya banjir dan berbagai bencana
alam, kebakaran hutan, khususnya di wilayah-wilayah produksi tanaman pangan, akan
berdampak pada ketersediaan pangan. FAO dalam press releasenya bersama-sama dengan
WFP pada bulan September 2010, mengemukakan bahwa jumlah penduduk dunia yang
menderita kelaparan pada tahun 2010, mencapai 925 juta orang. Situasi ini diperparah
dengan semakin berkurangnya investasi di sektor pertanian yang sudah berlangsung
selama 20 tahun terakhir, sementara sektor pertanian menyumbang 70% dari lapangan
kerja baik secara langsung maupun tidak langsung. Kekhawatiran akan makin
menurunnya kualitas hidup masyarakat, bahaya kelaparan, kekurangan gizi dan akibat-
akibat negatif lain dari permasalahan tersebut secara keseluruhan akan menghambat
pencapaian goal pertama dari Millenium Developmenr Goal (MDGs) yakni eradication of
poverty and extreme hunger (Kemenlu RI, 2011). Persoalan ketahanan pangan menjadi
isu yang sangat krusial. Ketahanan pangan dewasa ini, sejak krisis ekonomi hingga
sekarang, kemampuan Indonesia untuk memenuhi kebutuhan sendiri kebutuhan pangan
bagi penduduk terus menurun, Kenyataan yang ada menunjukkan, bahwa untuk
memenuhi kebutuhan pangan bagi lebih dari 20 juta jiwa, dalam periode 1997–2003,
Indonesia harus mengimpor bahan pangan diantaranya beras rata-rata 2 juta ton, kedelai
900 ribu ton, gula pasir 1,6 juta ton, jagung 1 juta ton, akhir-akhir ini garam sebesar1,2
juta ton dan menghabiskan devisa negara 900 juta dolar AS pada tahun 2003 (BPS, 2003;
Lemlit UGM, 2009).
BAB III
Metode Kajian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode deskriptif
dan korelasional. Metode deskriptif yaitu metode untuk membuat gambaran atau lukisan
secara sistematis, faktual, dan aktual mengenai fakta – fakta, sifat – sifat serta hubungan
antara fenomena yang diselidiki. Metode korelasional adalah metode kelanjutan dari
metode deskriptif yang mempunyai tujuan mencari hubungan secara sistematik antara
variabel – variabel yang diteliti (Nasir, 1999).
Pengumpulan data penelitian diperoleh melalui data sekunder. Data sekunder diambil
dari data Badan Pusat Statistik dari tahun 2017 dan 2018 (Jawa Barat dalam angka) dan
data yang berasal dari beberapa lembaga / badan terkait dengan ketahanan pangan yaitu
Badan Koordinasi Wilayah IV, Dinas Pertanian, Dinas Perhubungan, Badan Ketahanan
Pangan, BULOG, Dinas Pasar, Dinas perdagangan dan Perindustrian, Bappeda baik
ditingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota Jawa Barat Wilayah IV. Penggunaan variabel
– variabel pengukur untuk menentukan ketahanan pangan suatu daerah dibutuhkan disini
karena variabel – variabel pengukur tersebut merupakan bentuk kuantifikasi / angka yang
merepresentasikan keadaan yang ada di dalam sistem ketahanan pangan setiap daerahnya.
Variabel yang dihasilkan ini selanjutnya diisi sesuai daerahnya masing – masing
menggunakan data pokok dari BPS dan data lain dari lembaga / Instansi terkait.
Selanjutnya hasil pemasukkan data digunakan untuk menilai kondisi masing-masing
tingkat ketahanan pangan kabupaten / kota akan menghasilkan nilai masing-masing
indikator (ketersediaan pangan, aksesibilitas pangan dan, mutu pangan). Teknik yang
digunakan untuk menganalisis kondisi masing-masing indikator ketahanan pangan adalah
modifikasi dari Location Quotient (LQ). Alasan penggunaan metode LQ untuk mengukur
ketahanan pangan dikarenakan metode ini dapat mentukan komoditas basis agar dapat
memilih dan memilah variabel yang diprioritaskan serta tidak diprioritaskan yang
digunakan sebagai kumulatif sehingga dapat dilihat perbandingan komparasi antara satu
kabupaten / kota dengan Provinsi Jawa Barat. Variabel yang diambil bukan variabel
komoditas, melainkan variabel yang berpengaruh terhadap ketiga indikator yaitu
ketersediaan, akses dan mutu pangan. Maka dilakukan modifikasi dari metode Location
quotient (LQ) menjadi Food Security Quotient (FSQ).

BAB IV
Hasil Kajian Dan Pembahasa

Seperti terlihat pada Tabel, bahwa ratarata tingkat ketahanan pangan rumahtangga di
daerah penelitian tergolong kuat. Dari 165 responden yang diwawancarai, terdapat
sebanyak 70 persen lebih menyatakan bahwa mereka tergolong pada kelompok
rumahtangga yang tahan dan sangat tahan dalam pengelolaan pangan rumahtangga.
Kemudian, setelah dilakukan pembilahan dari ketiga subsistem, ternyata pengelolaan
pangan yang paling kuat terdapat pada pengelolaan susbsistem pemanfaatan pangan yaitu
mencapai 73 persen lebih, sedangkan pengelolaan pangan pada subsistem aksesibilitas
dan subsistem ketersediaan masing-masing adalah sebesar 72 dan 70 persen. Perlu
dicatat, ketersediaan pangan yang dimiliki oleh rumahtangga di daerah penelitian adalah
ketersediaan pangan secara fisik yang berasal dari produksi sendiri dan stok pangan
sebelumnya, sedangkan import tidak dihitung dalam pengukuran ketersediaan pangan di
daerah penelitian.
Hasil pengamatan lapangan diperoleh bahwa jumlah asosiasi lokal yang
diikuti keluarga contoh di daerah penelitian tergolong besar karena lebih dari 65
persen keluarga contoh mengikuti sebanyak tiga atau lebih asosiasi lokal. Dengan
semakin banyaknya jumlah asosiasi lokal yang diikuti oleh anggota keluarga contoh
diharapkan dapat mendukung atau mempengaruhi tingkat kebersamaan dan
solidaritas sesama anggota masyarakat sehingga pada gilirannya akan berdampak
terhadap kesejahteraan dan kemajuan desa. Kemudian, pada masa era globalisasi,
reformasi dan otonomi daerah, asosiasi lokal yang berkembang di daerah dan diikuti
oleh anggota masyarakat akan sangat berperan dalam membendung dan menopang
berbagai informasi berupa inovasi baru yang datang dari luar terutama yang berkaitan
dengan kehidupan masyarakat dan pembangunan daerah.

Hasil temuan lapangan diketahui bahwa lebih dari 75 persen, karakter masyarakat di
daerah penelitian tergolong tinggi dan sangat tinggi. Dari ketiga dimensi karakter
masyarakat, dimensi yang paling tinggi terdapat pada tingkat solidaritas masyarakat
yaitu mencapai 77 persen lebih. Tinggi rendahnya tingkat solidaritas masyarakat dilihat
dari tiga dimensi: ketergantungan satu sama lainnya, saling bantu membantu, dan adanya
kepekaan terhadap kemajuan desa. Secara operasional solidaritas masyarakat merupakan
frekuensi interaksi antara satu individu dengan individu lainnya yang merujuk pada
seberapa jauh individu melakukan kontak-kontak langsung antara satu dengan lainnya.
Semakin positif sifat interrelasi diantara anggota masyarakat yang berupa solidaritas,
atau semangat kemasyarakatan, semakin besar kecenderungannya untuk saling
memperhatikan keinginan masingmasing dalam mencari jalan ke arah saling memberi
kepuasan dan kerjasama.
Hasil pengamatan di lapangan, diperoleh bahwa ketahanan pangan berkelanjutan di
daerah penelitian cukup tinggi, baik dilihat dari keberlanjutan social ekonomi, ekologi
maupun keberlanjutan secara sosio-demografi. Seperti terlihat pada Tabel, dimana
ketahanan pangan masyarakat di daerah penelitian memiliki nilai keberlanjutan
mencapai 70 persen lebih. Tingkat keberlanjutan paling tinggi terdapat pada dimensi
keberlanjutan secara ekonomi yaitu mencapai 73 persen, kemudian diikuti keberlanjutan
secara ekologi yaitu sebesar 72 persen, sedangkan tingkat keberlanjutan terendah
terdapat pada dimensi sosio-demografi yaitu hanya 70 persen.

BAB V
Kesimpulan dan Saran
5.1 Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat kita ambil dari jurnal ini adalah, ketahanan pangan
merupakan hal yang penting untuk memastikan ketersediaan pangan yang cukup,
aman, dan bergizi bagi seluruh lapisan masyarakat. Pemberdayaan rumah tangga dan
masyarakat melalui program-program seperti Desa Mandiri Pangan dapat
meningkatkan ketahanan pangan di tingkat lokal dan nasional. Kebijakan yang
mengarah pada kemandirian pangan, pemberdayaan masyarakat, dan pembangunan
ekonomi berbasis pertanian dapat membantu mengatasi masalah kelaparan dan
kemiskinan.

5.2 saran

ada beberapa saran yang dapat di berikan

1. Perlu adanya kerjasama antara pemerintah, lembaga swasta, perguruan tinggi,


lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat umum dalam implementasi kebijakan
ketahanan pangan.

2. Penting untuk meningkatkan aksesibilitas terhadap pangan melalui peningkatan


pendapatan rumah tangga dan stabilisasi harga pangan.
3. Diperlukan upaya untuk diversifikasi sumber pendapatan petani di pedesaan agar
mereka dapat mengatasi fluktuasi harga pangan dan meningkatkan ketersediaan
pangan bagi masyarakat.
Daftar Pustaka
Fatchiya, A., Amanah, S., & Kusumastuti, Y. I. (2016). Penerapan Inovasi Teknologi
Pertanian dan Hubungannya dengan Ketahanan Pangan Rumah Tangga Petani. Jurnal
Penyuluhan, 12(2), 190. https://doi.org/10.25015/penyuluhan.v12i2.12988
Hestina, J. (2011). KETAHANAN PANGAN Heri Suharyanto * Abstrak. Sosial Humaniora,
4(2), 186–194. http://iptek.its.ac.id/index.php/jsh/article/view/633/355
Miyasto. (2014). Strategi Ketahanan Pangan Nasional guna Meningkatkan Kemandirian dan
Daya Saing Ekonomi dalam Rangka Ketahanan Nasional. Jurnal Kajian Lemhanas RI2,
17, 17–34.
http://www.lemhannas.go.id/images/Publikasi_Humas/Jurnal/Jurnal_Edisi_17_Maret_2
014.pdf
Mucharam, I., Rustiadi, E., Fauzi, A., & Harianto. (2020). Signifikansi Pengembangan
Indikator Pertanian Berkelanjutan Untuk Mengevaluasi Kinerja Pembangunan Pertanian
Indonesia. RISALAH KEBIJAKAN PERTANIAN DAN LINGKUNGAN Rumusan Kajian
Strategis Bidang Pertanian Dan Lingkungan, 7(2), 61–81.
https://doi.org/10.29244/jkebijakan.v7i2.28038
Prabowo Staf Pengajar Fakultas Pertanian Universitas Wahid Hasyim Semarang, R. (2010).
Kebijakan Pemerintah Dalam Mewujudkan Ketahanan Pangan Di Indonesia. Mediagro,
62(2), 62–73.
Purwaningsih, Y. (2008). Ketahanan Pangan: Situasi, Permasalahan, Kebijakan, Dan
Pemberdayaan Masyarakat. Jurnal Ekonomi Pembangunan: Kajian Masalah Ekonomi
Dan Pembangunan, 9(1), 1. https://doi.org/10.23917/jep.v9i1.1028
Rahmawati, E. (2012). Aspek Distribusi pada Ketahanan Pangan Masyarakat di Kabupaten
Tapin. AGRIDES: Jurnal Agribisnis Perdesaan, 2(3), 9252.
Raihan, R. Z., Kastaman, R., & Tensiska, T. (2020). Menentukan Kondisi Ketahanan Pangan
Jawa Barat Wilayah IV Menggunakan Food Security Quotient (FSQ). Jurnal Ekonomi
Pertanian Dan Agribisnis, 4(1), 68–76. https://doi.org/10.21776/ub.jepa.2020.004.01.7
Suandi. (2012). Modal Sosial Dan Pembangunan Ketahanan Pangan Sustainable Food
Security Development and Social. Agrisep, 11(2), 270–281.
Triyono, K. (2013). Keanekaragaman Hayati Dalam Menunjang Ketahanan Pangan. Jurnal
Inovasi Pertanian, 11(1), 12–22.

Anda mungkin juga menyukai