Disusun Oleh:
Kelompok 6
KELAS D4 DC 1A
2019
I
Daftar Isi
BAB I .......................................................................................................................1
PENDAHULUAN ...................................................................................................1
BAB II ......................................................................................................................4
PEMBAHASAN ......................................................................................................4
PENUTUP ..............................................................................................................18
II
BAB I
PENDAHULUAN
1
yang meliputi pendidikan dan pelatihan di bidang pangan, penyebarluasan ilmu
pengetahuan dan teknologi di bidang pangan dan penyuluhan di bidang pangan.
Di samping itu, kerjasama internasional juga dilakukan dalam bidang produksi,
perdagangan dan distribusi pangan, cadangan pangan, pencegahan dan
penanggulangan masalah pangan serta riset dan teknologi pangan.
Dari uraian di atas terlihat ketahanan pangan berdimensi sangat luas dan
melibatkan banyak sektor pembangunan. Keberhasilan pembangunan ketahanan
pangan sangat ditentukan tidak hanya oleh performa salah satu sektor saja tetapi
juga oleh sektor lainnya. Dengan demikian sinergi antar sektor,
sinergi pemerintah dan masyarakat (termasuk dunia usaha) merupakan kunci
keberhasilan pembangunan ketahanan pangan.
Menyadari hal tersebut di atas, Pemerintah pada tahun 2001 telah
membentuk Dewan Ketahanan Pangan ( DKP) diketuai oleh Presiden RI dan
Menteri Pertanian sebagai Ketua Harian DKP. DKP terdiri dari 13 Menteri
termasuk Menteri Riset dan Teknologi dan 2 Kepala LPND. Dalam pelaksanaan
sehari-hari, DKP dibantu oleh Badan Bimas Ketahanan Pangan Deptan, Tim Ahli
Eselon I Menteri Terkait (termasuk Staf Ahli Bidang Pangan KRT), Tim Teknis
dan Pokja.
Peraturan Pemerintah No.68 Tahun 2002 tentang ketahanan pangan pasal
9 menyebutkan: (1) penganekaragaman pangan diselenggarakan untuk
meningkatkan ketahanan pangan dengan memperhatikan sumber daya,
kelembagaan, dan budaya lokal, (2) penganekaragaman pangan sebagaimana
dimaksudkan dalam ayat1 dilakukan dengan a. Meningkatkan keragaman pangan,
b. Mengembangkan teknologi pengolahan dan produk pertanian dan c.
Meningkatkan kesadaran masyarakat untuk mengkonsumsi anekaragam pangan
dengan prrinsip gizi berimbang.
2
2. Bagaimana tujuan dari pembangunan ketahanan pangan?
3. Bagaimana strategi dalam upaya pembangunan ketahanan pangan?
4. Apa saja sub sistem ketahanan pangan?
5. Bagaimana kondisi ketahanan pangan Indonesia?
6. Aspek-aspek apa saja yang berkaitan dengan permasalahan dan tantangan
yang dihadapi oleh pemerintah dalam mencapai ketahanan pangan?
7. Bagaimana program dalam upaya ketahanan pangan?
1.3 Tujuan
1.4 Manfaat
Manfaat yang dapat kita petik dari makalah ini adalah kita dapat
mengetahui tentang ketahanan pangan yang ada di Indonesia sehingga dengan
adanya ketahanan pangan ini, masyarakat dapat lebih memahami hal-hal apa yang
perlu di perhatikan dalam ketahanan pangan mereka.
3
BAB II
PEMBAHASAN
4
bergizi untuk pemenuhan kebutuhan konsumsi dan sesuai dengan seleranya
(food preferences) demi kehidupan yang aktif dan sehat.
5. Mercy Corps (2007) : keadaan ketika semua orang pada setiap saat
mempunyai akses fisik, sosial, dan ekonomi terhadap terhadap kecukupan
pangan, aman dan bergizi untuk kebutuhan gizi sesuai dengan seleranya
untuk hidup produktif dan sehat.
6. World Bank (1996) : Ketahanan pangan adalah akses oleh semua orang pada
segala waktu atas pangan yang cukup untuk kehidupan yang sehat dan aktif.
5
3) Terpenuhinya pangan dengan kondisi yang merata, diartikan pangan yang
harus tersedia setiap saat dan merata di seluruh tanah air.
4) Terpenuhinya pangan dengan kondisi terjangkau, diartikan pangan mudah
diperoleh rumah tangga dengan harga yang terjangkau.
Ketahanan pangan diwujudkan oleh hasil kerja sistem ekonomi pangan yang
terdiri dari subsistem ketersediaan meliput produksi , pasca panen dan
pengolahan, subsistem distribusi dan subsistem konsumsi yang saling berinteraksi
6
secara berkesinambungan. Ketiga subsistem tersebut merupakan satu kesatuan
yang didukung oleh adanya berbagai input sumberdaya alam, kelembagaan,
budaya, dan teknologi. Proses ini akan hanya akan berjalan dengan efisien oleh
adanya partisipasi masyarakat dan fasilitasi pemerintah.
Partisipasi masyarakat ( petani, nelayan dll) dimulai dari proses produksi,
pengolahan, distribusi dan pemasaran serta jasa pelayanan di bidang pangan.
Fasilitasi pemerintah diimplementasikan dalam bentuk kebijakan ekonomi makro
dan mikro di bidang perdagangan, pelayanan dan pengaturan serta intervensi
untuk mendorong terciptanya kemandirian pangan. Output dari pengembangan
kemandirian pangan adalah terpenuhinya pangan, SDM berkualitas, ketahanan
pangan, ketahanan ekonomi dan ketahanan nasional.
Sub sistem ketahanan pangan terdiri dari tiga sub sistem utama yaitu
ketersediaan, akses, dan penyerapan pangan, sedangkan status gizi merupakan
outcome dari ketahanan pangan. Ketersediaan, akses, dan penyerapan pangan
merupakan sub sistem yang harus dipenuhi secara utuh. Salah satu subsistem
tersebut tidak dipenuhi maka suatu negara belum dapat dikatakan mempunyai
ketahanan pangan yang baik. Walaupun pangan tersedia cukup di tingkat nasional
dan regional, tetapi jika akses individu untuk memenuhi kebutuhan pangannya
tidak merata, maka ketahanan pangan masih dikatakan rapuh.
7
yaitu kemampuan semua rumah tangga dan individu dengan sumberdaya yang
dimilikinya untuk memperoleh pangan yang cukup untuk kebutuhan gizinya yang
dapat diperoleh dari produksi pangannya sendiri, pembelian ataupun melalui
bantuan pangan. Akses rumah tangga dan individu terdiri dari akses ekonomi,
fisik dan sosial. Akses ekonomi tergantung pada pendapatan, kesempatan kerja
dan harga. Akses fisik menyangkut tingkat isolasi daerah (sarana dan prasarana
distribusi), sedangkan akses sosial menyangkut tentang preferensi pangan.
8
2.5 Kondisi ketahanan pangan Indonesia
9
Pada laporan GFSI, ada
empat aspek dalam penilaian
indeks ketahanan pangan,
yaitu keterjangkauan,
ketersediaan, kualitas dan
keamanan, juga sumber daya.
Bila ditelisik, skor aspek
keterjangkauan pangan
Indonesia adalah sebesar 55,2 (peringkat 63 dari 113 negara). Skor aspek
ketersediaan adalah 58,2; menempati posisi ke-58. Sementara skor aspek kualitas
dan keamanan sebesar 44,5 (peringkat 84) dan skor faktor sumber daya alam
adalah 43,9 (peringkat 111). Secara garis beras, indeks ketahanan pangan di
Indonesia memang membaik. Bagaimana bila melihatnya secara detail untuk
masing-masing daerah? Pemerintah melalui BKP, Kementerian Pertanian, sudah
menyusun Indeks Ketahanan Pangan (IKP). Ada sembilan Indikator yang
merupakan turunan dari tiga aspek ketahanan pangan, yaitu ketersediaan,
keterjangkauan dan pemanfaatan pangan. Selanjutnya, IKP dikelompokkan dalam
enam kelompok, angka enam paling punya ketahanan pangan dan angka satu
sebagai wilayah yang paling rentan pangan. Berdasarkan skor IKP, mayoritas
kabupaten dan kota di Indonesia memiliki tingkat ketahanan pangan yang baik.
Namun, ada 81 kabupaten (19,47 persen)
dan 7 kota (7,14 persen) di Indonesia
yang perlu mendapat prioritas
penanganan kerentanan pangan yang
komprehensif. Di tingkat kabupaten,
sebanyak 81 wilayah atau 19,47 persen
dari 416 kabupaten memiliki skor IKP
yang rendah. Artinya, 81 daerah tersebut
masuk dalam kelompok IKP 1 sampai 3.
Sebaran wilayah kelompok rentan ini
adalah 26 kabupaten (6,25 persen) masuk
10
kelompok 1, 21 kabupaten (5,05 persen) masuk kelompok 2, dan 34 kabupaten
(8,17 persen) masuk kelompok 3.
Dari 26 kabupaten kelompok 1, sebanyak 17 kabupaten berada di Provinsi
Papua, 6 kabupaten di Provinsi Papua Barat, 2 kabupaten di Provinsi Maluku dan
1 kabupaten di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Pada wilayah kota, mayoritas
wilayah memiliki ketahanan
pangan yang baik.
Sebanyak 32 kota (32,65
persen) masuk dalam
kelompok 5 dan 50 kota
(51,02 persen) ada di
kelompok 6. Namun, ada 7
kota (7,14 persen) memiliki
tingkat ketahanan pangan
yang rentan.
Ada dua kota (2,04 persen) masuk kelompok 1, yaitu Kota Subulussalam di
Aceh dan Kota Tual di Maluku, 2 kota (2,04 persen) masuk kelompok 2, yaitu
Kota Gunung Sitoli di Sumatera Utara dan Kota Pagar Alam di Sumatera Selatan,
dan 3 kota (3,06 persen) yang masuk kelompok 3, yaitu Kota Tanjung Balai di
Sumatera Utara, Kota Lubuk Linggau di Sumatera Selatan, dan Kota Tidore
Kepulauan di Maluku Utara. Beberapa indikasi rentannya 81 kabupaten dan 7
kota adalah kabupaten dan kota tersebut sangat tergantung pada pasokan pangan
dari wilayah lain untuk memenuhi kebutuhan pangan penduduknya dan akses
yang terbatas terhadap infrastruktur dasar air bersih. Pengeluaran pangan di
wilayah tersebut pun lebih dari 65 persen terhadap total pengeluaran. Selain itu,
tingkat penduduk miskin dan angka balita stunting atau kerdil tergolong tinggi. Di
wilayah Papua masih memiliki masalah kekurangan pangan yang serius.
11
2.6 Aspek-aspek tentang permasalahan dan tantangan yang dihadapi oleh
1) Teknis
a) Berkurangnya areal lahan pertanian karena derasnya alih lahan pertanian ke
non pertanian seperti industri dan perumahan (laju 1%/tahun).
b) Produktifitas pertanian yang relatif rendah dan tidak meningkat.
c) Teknologi produksi yang belum efektif dan efisien.
d) Infrastruktur pertanian (irigasi) yang tidak bertambah selama krisis dan
kemampuannya semakin menurun.
e) Masih tingginya proporsi kehilangan hasil pada penanganan pasca panen
(10-15%).
f) Kegagalan produksi karena faktor iklim seperti El-Nino yang berdampak
pada musim kering yang panjang di wilayah Indonesia dan banjir .
2) Sosial- ekonomi
a) Penyediaan sarana produksi yang belum sepenuhnya terjamin oleh
pemerintah.
b) Sulitnya mencapai tingkat efisiensi yang tinggi dalam produksi pangan
karena besarnya jumlah petani (21 juta rumah tangga petani) dengan lahan
produksi yang semakin sempit dan terfragmentasi (laju 0,5%/tahun).
c) Tidak adanya jaminan dan pengaturan harga produk pangan yang wajar dari
pemerintah kecuali beras.
d) Tata niaga produk pangan yang belum pro petani termasuk kebijakan tarif
impor yang melindungi kepentingan petani.
e) Terbatasnya devisa untuk impor pangan sebagai alternatif terakhir bagi
penyediaan pangan.
12
Aspek Distribusi Pangan
1) Teknis
a) Belum memadainya infrastruktur, prasarana distribusi darat dan antar pulau
yang dapat menjangkau seluruh wilayah konsumen.
b) Belum merata dan memadainya infrastruktur pengumpulan, penyimpanan
dan distribusi pangan , kecuali beras.
c) Sistem distribusi pangan yang belum efisien.
d) Bervariasinya kemampuan produksi pangan antar wilayah dan antar musim
menuntut kecermatan dalam mengelola sistem distribusi pangan agar
pangan tersedia sepanjang waktu diseluruh wilayah konsumen.
2) Sosial-ekonomi
a) Belum berperannya kelembagaan pemasaran hasil pangan secara baik dalam
menyangga kestabilan distribusi dan harga pangan.
b) Masalah keamanan jalur distribusi dan pungutan resmi pemerintah pusat dan
daerah serta berbagai pungutan lainnya sepanjang jalur distribusi dan
pemasaran telah menghasilkan biaya distribusi yang mahal dan
meningkatkan harga produk pangan.
2) Sosial-ekonomi
a) Tingginya konsumsi beras per kapita per tahun (tertinggi di dunia > 100 kg,
Thailand 60 kg, Jepang 50 kg).
b) Kendala budaya dan kebiasaan makan pada sebagian daerah dan etnis
sehingga tidak mendukung terciptanya pola konsumsi pangan dan gizi
13
seimbang serta pemerataan konsumsi pangan yang bergizi bagi anggota
rumah tangga.
c) Rendahnya kesadaran masyarakat, konsumen maupun produsen atas
perlunya pangan yang sehat dan aman.
d) Ketidakmampuan bagi penduduk miskin untuk mencukupi pangan dalam
jumlah yang memadai sehingga aspek gizi dan keamanan pangan belum
menjadi perhatian utama.
Aspek Manajemen
Keberhasilan pembangunan ketahanan dan kemandirian pangan dipengaruhi
oleh efektifitas penyelenggaraan fungsi-fungsi manajemen pembangunan yang
meliputi aspek perencanan, pelaksanaan, pengawasan dan pengendalian serta
koordinasi berbagai kebijakan dan program. Masalah yang dihadapi dalam aspek
manajemen adalah:
a) Terbatasnya ketersediaan data yang akurat, konsisten , dipercaya dan
mudah diakses yang diperlukan untuk perencanaan pengembangan
kemandirian dan ketahanan pangan.
14
b) Belum adanya jaminan perlindungan bagi pelaku usaha dan konsumen kecil
di bidang pangan.
c) Lemahnya koordinasi dan masih adanya iklim egosentris dalam lingkup
instansi dan antar instansi, subsektor, sektor, lembaga pemerintah dan non
pemerintah, pusat dan daerah dan antar daerah.
15
Kegiatan diversifikasi ditujukan untuk meningkatkan produksi pangan
pokok alternatif selain beras, penurunan konsumsi beras dan peningkatan
konsumsi pangan pokok alternatif yang berimbang dan bergizi serta berbasis pada
pangan lokal. Diversifikasi dilakukan dengan mempercepat implementasi
teknologi pasca panen dan pengolahan pangan lokal yang telah diteliti ke dalam
industri.
4. Revitalisasi Industri Pasca Panen dan Pengolahan Pangan
Revitalisasi/restrukturisasi industri pasca panen dan pengolahan pangan
diarahkan pada 1) penekanan kehilangan hasil dan penurunan mutu karena
teknologi penanganan pasca panen yang kurang baik, 2) pencegahan bahan baku
dari kerusakan dan 3) pengolahan bahan baku menjadi bahan setengah jadi dan
produk pangan.
5. Revitalisasi dan Restrukturisasi Kelembagaan Pangan
Keberadaan, peran dan fungsi lembaga pangan seperti kelompok tani,
UKM, Koperasi perlu direvitalisasi dan restrukturisasi untuk mendukung
pembangunan kemandirian pangan. Kemitraan antara lembaga perlu didorong
untuk tumbuhnya usaha dalam bidang pangan. Koordinator kegiatan ini adalah
Meneg Koperasi dan UKM dan Deptan dibantu oleh Depperindag. Alokasi dana
untuk kegiatan ini berupa koordinasi antar departemen dan instansi untuk
melahirkan kebijakan baru untuk kelembagaan pangan. Kebutuhan dana
dibebankan pada anggaran masing-masing departemen.
6. Kebijakan Makro
Kebijakan dalam bidang pangan perlu ditelaah dan dikaji kembali
khususnya yang mendorong tercapainya ketahanan pangan dalam waktu 1-5
tahun. Beberapa hal yang perlu dikaji seperti pajak produk pangan, retribusi, tarif
bea masuk, iklim investasi, dan penggunaan produksi dalam negeri serta kredit
usaha.
16
Program jangka menengah ditujukan pada pemantapan pembangunan
ketahanan pangan yang lebih efisien dan efektip dan berdaya saing
tinggi. Beberapa program yang relevan untuk dilakukan adalah:
1. Perbaikan undang-undang tanah pertanian termasuk didalamnya pengaturan
luasan lahan pertanian yang dimiliki petani, pemilikan lahan pertanian oleh
bukan petani. Sistem bawon atau pembagian keuntungan pemilik dan
penggarap, dsb.
2. Modernisasi pertanian dengan lebih mendekatkan pada pada peningkatan
efisiensi dan produktivitas lahan pertanian, penggunaan bibit unggul, alat
dan mesin pertanian dan pengendalian hama terpadu dan pasca panen dan
pengolahan pangan.
3. Pengembangan jaringan dan sistem informasi antar instansi, lembaga yang
terkait dalam bidang pangan serta pola kemitraan bisnis pangan yang
berkeadilan.
4. Pengembangan prasarana dan sarana jalan di pertanian agar aktivitas
kegiatan pertanian lebih dinamis.
17
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
18
3.2 Saran
19
DAFTAR PUSTAKA
Sari Dewi A dan Lazuardi Adi S. 2006. Beribu Alasan Rakyat Mencintai Pak
Harto, Jakarta : PT. Jakarta Citra
20