Bab 1...................................................................................................................................................... 2
1.1 Latar belakang............................................................................................................................. 2
1.2 rumusan masalah........................................................................................................................ 2
1.3 Tujuan.......................................................................................................................................... 2
BAB 2..................................................................................................................................................... 3
2.1 Pengertian Ketahanan Pangan..................................................................................................... 3
2.2 Seberapa kuat ketahanan pangan Indonesia............................................................................... 6
2.3Indonesia Negara penghasil pangan yang masih impor bahan pangan ...................................... 10
a. Penyebab Indonesia Melakukan Impor Bahan Pangan ............................................................ 10
b.Solusi untuk menciptakan ketahanan pangan Indonesia .......................................................... 12
Bab 3.................................................................................................................................................... 15
3.1 kesimpulan................................................................................................................................ 15
Bab 1
PENDAHULUAN
1
1.1 Latar belakang
Menurut Peraturan Pemerintah RI nomor 28 tahun 2004 pangan adalah segala sesuatu
yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun yang tidak diolah, yang
diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan
tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses
penyiapan, pengolahan dan atau pembuatan makanan atau minuman.
1.3 Tujuan
1. memahami sistem ketahanan pangan yang ada di Indonesia
2.mengetahui apa saja yang menjadi kendala pada ketahanan pangan di Indonesia
BAB 2
PEMBAHASAN
2
Pangan merupakan kebutuhan dasar utama bagi manusia yang harus dipenuhi setiap saat.
Hak untuk memperoleh pangan merupakan salah satu hak asasi manusia, sebagaimana
tersebut dalam pasal 27 UUD 1945 maupun dalam Deklarasi Roma (1996). Pertimbangan
tersebut mendasari terbitnya UU No. 7/1996 tentang Pangan. Sebagai kebutuhan dasar dan
salah satu hak asasi manusia, pangan mempunyai arti dan peran yang sangat penting bagi
kehidupan suatu bangsa. Ketersediaan pangan yang lebih kecil dibandingkan kebutuhannya
dapat menciptakan ketidak-stabilan ekonomi. Berbagai gejolak sosial dan politik dapat juga
terjadi jika ketahanan pangan terganggu. Kondisi pangan yang kritis ini bahkan dapat
membahayakan stabilitas ekonomi dan stabilitas Nasional.
Bagi Indonesia, pangan sering diidentikkan dengan beras karena jenis pangan ini
merupakan makanan pokok utama. Pengalaman telah membuktikan kepada kita bahwa
gangguan pada ketahanan pangan seperti meroketnya kenaikan harga beras pada waktu krisis
ekonomi 1997/1998, yang berkembang menjadi krisis multidimensi, telah memicu kerawanan
sosial yang membahayakan stabilitas ekonomi dan stabilitas Nasional.
Nilai strategis beras juga disebabkan karena beras adalah makanan pokok paling penting.
Industri perberasan memiliki pengaruh yang besar dalam bidang ekonomi (dalam hal
penyerapan tenaga kerja, pertumbuhan dan dinamika ekonomi perdesaan, sebagai wage
good), lingkungan (menjaga tata guna air dan kebersihan udara) dan sosial politik (sebagai
perekat bangsa, mewujudkan ketertiban dan keamanan). Beras juga merupakan sumber utama
pemenuhan gizi yang meliputi kalori, protein, lemak dan vitamin.
3
serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat
hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan".
UU Pangan bukan hanya berbicara tentang ketahanan pangan, namun juga memperjelas
dan memperkuat pencapaian ketahanan pangan dengan mewujudkan kedaulatan pangan (food
soveregnity) dengan kemandirian pangan (food resilience) serta keamanan pangan (food
safety). Kedaulatan Pangan adalah hak negara dan bangsa yang secara mandiri menentukan
kebijakan Pangan yang menjamin hak atas Pangan bagi rakyat dan yang memberikan hak
bagi masyarakat untuk menentukan sistem Pangan yang sesuai dengan potensi sumber daya
lokal.
Kemandirian Pangan adalah kemampuan negara dan bangsa dalam memproduksi Pangan
yang beraneka ragam dari dalam negeri yang dapat menjamin pemenuhan kebutuhan pangan
yang cukup sampai di tingkat perseorangan dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam,
manusia, sosial, ekonomi, dan kearifan lokal secara bermartabat. Keamanan Pangan adalah
kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah Pangan dari kemungkinan cemaran
biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan
kesehatan manusia serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya
masyarakat sehingga aman untuk dikonsumsi.
Definisi ketahanan pangan dalam UU No 18 tahun 2012 diatas merupakan
penyempurnaan dan "pengkayaan cakupan" dari definisi dalam UU No 7 tahun 1996 yang
memasukkan "perorangan" dan "sesuai keyakinan agama" serta "budaya" bangsa. Definisi
UU No 18 tahun 2012 secara substantif sejalan dengan definisi ketahanan pangan dari FAO
yang menyatakan bahwa ketahanan pangan sebagai suatu kondisi dimana setiap orang
sepanjang waktu, baik fisik maupun ekonomi, memiliki akses terhadap pangan yang cukup,
aman, dan bergizi untuk memenuhi kebutuhan gizi sehari-hari sesuai preferensinya.
Berbagai gejolak sosial dan politik dapat juga terjadi jika ketahanan pangan terganggu.
Kondisi kritis ini bahkan dapat membahayakan stabilisasi nasional yang dapat meruntuhkan
Pemerintah yang sedang berkuasa. Pengalaman telah membuktikan kepada kita bahwa
gangguan pada ketahanan seperti kenaikan harga beras pada waktu krisis moneter, dapat
memicu kerawanan sosial yang membahayakan stabilitas ekonomi dan stabilitas nasional.
Untuk itulah, tidak salah apabila Pemerintah selalu berupaya untuk meningkatkan ketahanan
pangan bagi masyarakat, baik dari produksi dalam negeri maupun dengan tambahan impor.
Pemenuhan kebutuhan pangan dan menjaga ketahanan pangan menjadi semakin penting bagi
Indonesia karena jumlah penduduknya sangat besar dengan cakupan geografis yang luas dan
tersebar. Indonesia memerlukan pangan dalam jumlah mencukupi dan tersebar, yang
4
memenuhi kriteria konsumsi maupun logistik; yang mudah diakses oleh setiap orang; dan
diyakini bahwa esok masih ada pangan buat rakyat.
Ketahanan pangan kita tidak lepas dari sifat produksi komoditi pangan itu sendiri yang
musiman dan berfluktuasi karena sangat mudah dipengaruhi oleh iklim/cuaca. Perilaku
produksi yang sangat dipengaruhi iklim tersebut sangat mempengaruhi ketersediaan pangan
nasional. Kalau perilaku produksi yang rentan terhadap perubahan iklim tersebut tidak
dilengkapi dengan kebijakan pangan yang tangguh maka akan sangat merugikan, baik untuk
produsen maupun konsumen, khususnya produsen berskala produksi kecil dan konsumen
berpendapatan rendah. Karakteristik komoditi pangan yang mudah rusak, lahan produksi
petani yang terbatas; sarana dan prasarana pendukung pertanian yang kurang memadai dan
lemahnya penanganan panen dan pasca panen mendorong Pemerintah untuk melakukan
intervensi dengan mewujudkan kebijakan ketahanan pangan.
Permasalahan yang muncul lainnya di dalam distribusi. Stok pangan yang tersedia
sebagian besar di daerah produksi harus didistribusikan antar daerah/antar pulau. Namun
tidak jarang sarana dan prasaran distribusi masih terbatas dan kadang lebih mahal daripada
distribusi dari luar negeri (kasus pengiriman sapi dari Nusa Tenggara ke Jakarta yang lebih
mahal daripada dari Australia ke Jakarta; atau biaya pengiriman beras dari Surabaya ke
Medan yang lebih mahal dari pada pengiriman dari Vietnam ke Jakarta).
Dari sisi tataniaga, sudah menjadi rahasia umum akan panjangnya rantai pasokan yang
mengakibatkan perbedaan harga tingkat produsen dan konsumen yang cukup besar dengan
penguasaan perdagangan pangan pada kelompok tertentu (monopoli, kartel dan oligopoli).
Sedangkan dari sisi konsumsi, pangan merupakan pengeluaran terbesar bagi rumah tangga (di
atas 50% dari jumlah pengeluaran). Yang disayangkan adalah fenomena substitusi pangan
pokok dari pangan lokal ke bahan pangan impor.
5
Ketahanan pangan tak Cuma soal impor atau narasi swasembada, tapi bagaimana negara
seperti Singapura justru dianggap punya indeks ketahanan pangan yang mumpuni. Jika
pembangunan pangan kami dapat dikatakan mencapai keberhasilan, maka hal itu merupakan
kerja raksasa dari suatu bangsa secara keseluruhan,” kata Soeharto seperti dikutip dari buku
Beribu Alasan Rakyat Mencintai Pak Harto (2006) karya Dewi Ambar Sari dan Lazuardi Adi
Sage (hlm. 92).
Persoalan pangan memang jadi isu yang selalu menggelinding setiap pemerintahan yang
berkuasa. Persoalan impor, swasembada, hingga narasi ketahanan pangan seolah saling
berkelindan. Pada Pilpres 2019, isu ketahanan pangan juga menjadi barang dagangan masing-
masing capres dan cawapres.
Kubu Jokowi dan Prabowo mengangkat isu ketahanan pangan, mulai persoalan impor
beras dan jagung, harga bahan pangan, hingga infrastruktur pendukung swasembada pangan.
Ketahanan Pangan, berdasarkan definisi Badan Ketahanan Pangan (BKP) Kementerian
Pertanian, adalah suatu kondisi terpenuhinya pasokan pangan bagi negara sampai dengan
perseorangan untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan.
Hal ini tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya,
aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama,
keyakinan, dan budaya masyarakat. Definisi mirip-mirip juga jadi pijakan Badan Pangan
Dunia (FAO), bahwa ketahanan pangan terjadi saat semua orang, sepanjang waktu punya
akses fisik dan ekonomi terjaga kebutuhan dan nutrisi pangan untuk kehidupan yang sehat
dan aktif.
Ketahanan pangan menjadi salah satu 6emba negara-negara di dunia tak hanya Indonesia. Ini
karena produktivitas suatu negara berkaitan dengan kebutuhan pangan warganya yang tercukupi.
Indeks ketahanan pangan global Global Food Security Index/GFSI, hasil kerja sama The
Economist dan perusahaan sains bidang pangan Corteva, menunjukkan ketahanan pangan Indonesia
memang ada perbaikan setidaknya sejak 2012. Skor Indonesia di semua aspek pada 2012 sebesar 46,8
naik menjadi 54,8 pada 2018 (skor tertinggi 100). Tahun lalu, Indonesia menempati posisi 65 di dunia
dan kelima di ASEAN dari 113 negara (Oktober 2018).
Posisi teratas masih didominasi negara-negara maju, Singapura justru berada di posisi teratas.
Artinya ketahanan pangan tak Cuma bicara soal sumber daya produksi pangan, tapi ada aspek-aspek
lain.
6
Pada laporan GFSI, ada empat aspek dalam penilaian indeks ketahanan pangan, yaitu
keterjangkauan, ketersediaan, kualitas dan keamanan, juga sumber daya. Bila ditelisik, skor
aspek keterjangkauan pangan Indonesia adalah sebesar 55,2 (peringkat 63 dari 113 negara).
Skor aspek ketersediaan adalah 58,2; menempati posisi ke-58. Sementara skor aspek kualitas
dan keamanan sebesar 44,5 (peringkat 84) dan skor 7embag sumber daya alam adalah 43,9
(peringkat 111).
Secara garis beras, indeks ketahanan pangan di Indonesia memang membaik. Bagaimana
bila melihatnya secara detail untuk masing-masing daerah?
Pemerintah melalui BKP, Kementerian Pertanian, sudah menyusun Indeks Ketahanan
Pangan (IKP). Ada 7embaga7 Indikator yang merupakan turunan dari tiga aspek ketahanan
pangan, yaitu ketersediaan, keterjangkauan dan pemanfaatan pangan. Selanjutnya, IKP
dikelompokkan dalam enam kelompok, angka enam paling punya ketahanan pangan dan
angka satu sebagai wilayah yang paling rentan pangan.
Berdasarkan skor IKP, mayoritas kabupaten dan kota di Indonesia memiliki tingkat
ketahanan pangan yang baik. Namun, ada 81 kabupaten (19,47 persen) dan 7 kota (7,14
persen) di Indonesia yang perlu mendapat prioritas penanganan kerentanan pangan yang
komprehensif.
7
Di tingkat kabupaten, sebanyak 81 wilayah atau 19,47 persen dari 416 kabupaten
memiliki skor IKP yang rendah. Artinya, 81 daerah tersebut masuk dalam kelompok IKP 1
sampai 3. Sebaran wilayah kelompok rentan ini adalah 26 kabupaten (6,25 persen) masuk
kelompok 1, 21 kabupaten (5,05 persen) masuk kelompok 2, dan 34 kabupaten (8,17 persen)
masuk kelompok 3.
8
Ada dua kota (2,04 persen) masuk kelompok 1, yaitu Kota Subulussalam di Aceh dan
Kota Tual di Maluku, 2 kota (2,04 persen) masuk kelompok 2, yaitu Kota Gunung Sitoli di
Sumatera Utara dan Kota Pagar Alam di Sumatera Selatan, dan 3 kota (3,06 persen) yang
masuk kelompok 3, yaitu Kota Tanjung Balai di Sumatera Utara, Kota Lubuk Linggau di
Sumatera Selatan, dan Kota Tidore Kepulauan di Maluku Utara.
Beberapa indikasi rentannya 81 kabupaten dan 7 kota adalah kabupaten dan kota tersebut
sangat tergantung pada pasokan pangan dari wilayah lain untuk memenuhi kebutuhan pangan
penduduknya dan akses yang terbatas terhadap infrastruktur dasar air bersih.
Pengeluaran pangan di wilayah tersebut pun lebih dari 65 persen terhadap total
pengeluaran. Selain itu, tingkat penduduk miskin dan angka balita stunting atau kerdil
tergolong tinggi. Di wilayah Papua masih memiliki masalah kekurangan pangan yang serius.
Pemetaan ketahanan pangan di wilayah-wilayah Indonesia penting. Dengan mengetahui
keadaan pangan di wilayah tersebut, baik pemerintah atau lembaga lainnya dapat membuat
kebijakan yang tepat sasaran.
9
a. Penyebab Indonesia Melakukan Impor Bahan Pangan
Impor beras Negara Indonesia merupakan negara yang mempunyai kekayaan sumber
daya alam yang melimpah. Hal ini terbukti dengan keadaan tanah Indonesia yang sangat
subur. Negara Indonesia memiliki peran penting sebagai produsen bahan pangan di mata
dunia. Indonesia adalah produsen beras terbesar ketiga dunia setelah China dan India.
Kontribusi Indonesia terhadap produksi beras dunia sebesar 8,5% atau 51 juta ton. China dan
India sebagai produsen utama beras berkontribusi 54%. Vietnam dan Thailand yang secara
tradisional merupakan negara eksportir beras hanya berkontribusi 5,4% dan 3,9%.
Dalam konteks pertanian umum, Indonesia memiliki potensi yang luar biasa. Kelapa
sawit, karet, dan coklat produksi Indonesia mulai bergerak menguasai pasar dunia. Namun,
dalam konteks produksi pangan memang ada suatu keunikan. Meski menduduki posisi ketiga
sebagai negara penghasil pangan di dunia, hampir setiap tahun Indonesia selalu menghadapi
persoalan berulang dengan produksi pangan terutama beras. Produksi beras Indonesia yang
begitu tinggi belum bisa mencukupi kebutuhan penduduknya, akibatnya Indonesia masih
harus mengimpor beras dari Negara penghasil pangan lain seperti Thailand. Salah satu
penyebab utamanya adalah jumlah penduduk yang sangat besar. Data statistik menunjukkan
pada kisaran 230-237 juta jiwa, makanan pokok semua penduduk adalah beras sehingga
sudah jelas kebutuhan beras menjadi sangat besar.
Penduduk Indonesia merupakan pemakan beras terbesar di dunia dengan konsumsi 154
kg per orang per tahun. Bandingkan dengan rerata konsumsi di China yang hanya 90 kg,
India 74 kg, Thailand 100 kg, dan Philppine 100 kg. Hal ini mengakibatkan kebutuhan beras
Indonesia menjadi tidak terpenuhi jika hanya mengandalkan produksi dalam negeri dan harus
mengimpornya dari negara lain. Selain itu, Indonesia masih mengimpor komoditas pangan
lainnya seperti 45% kebutuhan kedelai dalam negeri, 50% kebutuhan garam dalam negeri,
bahkan 70% kebutuhan susu dalam negeri dipenuhi melalui impor.
Faktor lain yang mendorong adanya impor bahan pangan adalah iklim, khususnya cuaca
yang tidak mendukung keberhasilan sektor pertanian pangan, seperti yang terjadi saat ini.
Pergeseran musim hujan dan musim kemarau menyebabkan petani kesulitan dalam
menetapkan waktu yang tepat untuk mengawali masa tanam, benih besarta pupuk yang
digunakan, dan sistem pertanaman yang digunakan. Sehingga penyediaan benih dan pupuk
yang semula terjadwal, permintaanya menjadi tidak menentu yang dapat menyebabkan
kelangkaan karena keterlambatan pasokan benih dan pupuk. Akhirnya hasil produksi pangan
pada waktu itu menurun. Bahkan terjadinya anomali iklim yang ekstrem dapat secara
10
langsung menyebabkan penurunan produksi tanaman pangan tertentu, karena tidak
mendukung lingkungan yang baik sebagai syarat tumbuh suatu tanaman. Contohnya saat
terjadi anomali iklim El Nino menyebabkan penurunan hasil produksi tanaman tebu, sehingga
negara melalukan impor gula.
Penyebab impor bahan pangan selanjutnya adalah luas lahan pertanian yang semakin
sempit. Terdapat kecenderungan bahwa konversi lahan pertanian menjadi lahan non pertanian
mengalami percepatan. Dari tahun 1981 sampai tahun 1999 terjadi konversi lahan sawah di
Jawa seluas 1 Juta Ha di Jawa dan 0,62 juta Ha di luar Jawa. Walaupun dalam periode waktu
yang sama dilakukan percetakan sawah seluas 0,52 juta ha di Jawa dan sekitar 2,7 juta Ha di
luar pulau Jawa, namun kenyataannya percetakan lahan sawah tanpa diikuti dengan
pengontrolan konversi, tidak mampu membendung peningkatan ketergantungan Indonesia
terhadap beras impor. Ketergantungan impor bahan baku pangan juga disebabkan mahalnya
biaya transportasi di Indonesia yang mencapai 34 sen dolar AS per kilometer. Bandingkan
dengan negara lain seperti Thailand, China, dan Vietnam yang rata-rata sebesar 22 sen dolar
AS per kilometer. Sepanjang kepastian pasokan tidak kontinyu dan biaya transportasi tetap
tinggi, maka industri produk pangan akan selalu memiliki ketergantungan impor bahan baku.
Saat ini di sektor pangan, kita telah tergantung oleh mekanisme pasar yang dikuasai oleh
segelintir perusahaan raksasa. Privatisasi sektor pangan—yang notabene merupakan
kebutuhan pokok rakyat—tentunya tidak sesuai dengan mandat konstitusi RI, yang
menyatakan bahwa “Cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak
dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”. Faktanya,
Bulog dijadikan privat, dan industri hilir pangan hingga distribusi (ekspor-impor) dikuasai
oleh perusahaan seperti Cargill dan Charoen Phokpand. Mayoritas rakyat Indonesia jika tidak
bekerja menjadi kuli di sektor pangan, pasti menjadi konsumen atau end-user. Privatisasi ini
pun berdampak serius, sehingga berpotensi besar dikuasainya sektor pangan hanya oleh
monopoli atau oligopoli (kartel), seperti yang sudah terjadi saat ini. Liberalisasi, disebabkan
oleh kebijakan dan praktek yang menyerahkan urusan pangan kepada pasar (1998, Letter of
11
Intent IMF), serta mekanisme perdagangan pertanian yang ditentukan oleh perdagangan
bebas (1995, Agreement on Agriculture, WTO). Akibatnya negara dikooptasi menjadi antek
perdagangan bebas. Negara ini pun melakukan upaya liberalisasi terhadap hal yang harusnya
merupakan state obligation terhadap rakyat. Market access Indonesia dibuka lebar-lebar,
bahkan hingga 0% seperti kedelai (1998, 2008) dan beras (1998). Sementara domestic
subsidy untuk petani kita terus berkurang (tanah, irigasi, pupuk, bibit, teknologi dan insentif
harga).
- Mematok harga dasar pangan yang menguntungkan petani dan konsumen. Harga
tidak boleh tergantung kepada harga internasional karena tidak berkorelasi langsung
dengan ongkos produksi dan keuntungan. Harga harus sesuai dengan ongkos produksi
dan keuntungan petani dan kemampuan konsumen.
12
- Memberikan insentif harga kepada petani komoditas pangan (terutama beras, kedelai,
jagung, singkong, gula dan minyak goreng) jika terjadi fluktuasi harga. Hal ini
sebagai jaminan untuk tetap menggairahkan produksi pangan dalam negeri.
- Mengatur kembali tata niaga pangan. Pangan harus dikuasai oleh negara dan
digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Bulog bisa diberikan peran
ini, tapi harus dengan intervensi yang kuat dari Kementerian Pertanian, Kementerian
Perdagangan dan Kementerian Keuangan.
- Menyediakan insentif bagi petani komoditas pangan, terutama bibit, pupuk, teknologi
dan kepastian beli.
- Memperlancar arus distribusi hasil pertanian dengan siklus yang pendek, sehingga
dapat tersalurkan ke seluruh penjuru Nusantara dengan harga yang terjangkau sampai
ke tangan rakyat.
- Menciptakan diversifikasi pangan yang memiliki nilai gizi yang setara dengan beras
dan ekonomis terjangkau oleh rakyat. Sehingga rakyat tidak selalu bergantung pada
ketersediaan beras. Hal ini dapat dijalankan bersamaan dengan menggali potensi
tanaman tradisional (lokal) yang sudah terbiasa dikonsumsi oleh masyarakat setempat.
- Untuk menunjang budidaya tanaman pangan yang lebih cermat dan akurat perlu
didukung dengan ketersediaan data iklim khususnya curah hujan yang secara kontinyu
dapat di-update secara otomatis dari stasiun-stasiun iklim yang telah dipasang. Selain
itu, Balitklimat telah dan sedang menyusun kalender tanam yang diharapkan dapat
membantu Dinas Pertanian, petani dan pelaku agribisnis serta pengguna lainnya
dalam budidaya dan pengembangan tanaman pangan khususnya dan tanaman-
tanaman semusim lainnya.
13
Jika berbagai kebijakan dapat berjalan dengan baik, mampu memprioritaskan
penggunaan produk pangan dalam negeri, memberikan insentif bagi petani maka harapan dan
optimisme keberhasilan pembangunan pertanian serta terciptanya ketahanan pangan nasional
akan semakin nyata.
Bab 3
PENUTUP
3.1 kesimpulan
1. Pangan merupakan kebutuhan dasar utama bagi manusia yang harus dipenuhi setiap saat. Hak
untuk memperoleh pangan merupakan salah satu hak asasi manusia.
2. Beberapa indikasi rentannya 81 kabupaten dan 7 kota adalah kabupaten dan kota di
Indonesia masih sangat tergantung pada pasokan pangan dari wilayah lain untuk memenuhi
kebutuhan pangan penduduknya dan akses yang terbatas terhadap infrastruktur dasar air
bersih
14
3. Faktor yang mendorong adanya impor bahan pangan adalah iklim, khususnya cuaca yang
tidak mendukung keberhasilan sektor pertanian pangan, seperti yang terjadi saat ini.
Pergeseran musim hujan dan musim kemarau menyebabkan petani kesulitan dalam
menetapkan waktu yang tepat untuk mengawali masa tanam, benih besarta pupuk yang
digunakan, dan sistem pertanaman yang digunakan. Sehingga penyediaan benih dan pupuk
yang semula terjadwal, permintaanya menjadi tidak menentu yang dapat menyebabkan
kelangkaan karena keterlambatan pasokan benih dan pupuk
15