Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

“ASPEK HUKUM DAN POLITIK DALAM KETAHANAN PANGAN”


Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Ketahanan Pangan

Dosen Pengampu : Isti Nuzulul Atiah Lc,. MA,. Ek.

DISUSUN OLEH :

Mohammad Jibran Tawakal 5554180007


Mila Emilia Yulianti 5554180030
Anton Suhartono 5554180037

UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYSA

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

JURUSAN EKONOMI SYARIAH

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena dengan Rahmat, Karunia
serta Taufik dan Hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik
meskipun banyak kekurangan didalamnya.

Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah
wawasan serta pengetahuan kita mengenai Ketahanan Pangan. Kami juga menyadari
sepenuhnya bahwa didalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata
sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan
makalah yang telah kami buat dimasa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu
yang sempurna tanpa saran yang membangun.

Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya.
Sekiranya makalah yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami pribadi maupun orang
yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata yang
kurang berkenan dan kami mohon kritik dan saran yang membangun demi perbaikan
dimasa depan.

Selasa, 26 Oktober 2021

Serang
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................................................4
1.1 Latar Belakang.............................................................................................................................4
1.2 Rumusan Masalah.............................................................................................................................4
2.3 Tujuan Penelitian.........................................................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN...................................................................................................................................5
2.1 Politik Hukum..............................................................................................................................5
2.2 Pengertian Ketahanan Pangan.....................................................................................................6
2.3 Kebijakan Pangan Di Indonesia...................................................................................................8
2.4 Landasan Hukum Ketahanan Pangan.........................................................................................11
BAB III PENUTUP........................................................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................................................13
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki sumber daya hayati yang
sangat beragam, dan sering dijuluki sebagai negara yang memiliki megabiodiversity.
Keanekaragaman ini merupakan sumber plasma nuftah yang dapat dimanfaatkan untuk
merakit varietas unggul, yang sangat penting bagi pembangunan sektor pertanian,
ketahanan pangan, dan pembangunan perekonomian nasional. Karenanya, pihak yang
telah melakukan pemuliaan tanaman harus diberi penghargaan. Salah satu bentuk
penghargaan tersebut merupakan memberikan perlindungan hukum Hak Kekayaan
Intelektual (HKI) terhadap varietas tanaman yang dihasilkan (Moch Najib Imanullah,
2012:589).

1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana Aspek hukum dan politik dalam ketahanan pangan?
2. Apa saja rukun dan syarat dalam jual beli ?
3. Apa saja jual beli yang diperbolehkan dan dilarang dalam islam?

2.3 Tujuan Penelitian


1. Untuk mengetahui bagaimana Aspek hukum dan politik dalam ketahanan pangan
2. Untuk mengetahui Rukun dan syarat jual beli syariah
3. Untuk mengetahui jual beli apa saja yang diperbolehkan dan dilarang dalam islam
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Politik Hukum


Politik hukum secara singkat berarti kebijaksanaan hukum (Imam Syaukani dan
A. Ahsin Thohari, 2007: 25). Sementara itu Satjipto Rahardjo mengemukakan beberapa
pertanyaan mendasar mengenai studi politik hukum, yaitu : (1) tujuan apa yang hendak
dicapai dengan sistem hukum yang ada; (2) cara-cara apa dan yang mana, yang dirasa
paling baik untuk bisa dipakai mencapai tujuan tersebut; (3) kapan waktunya hukum itu
perlu diubah melalui cara-carabagaimana perubahan itu dilakukan; (4) dapatkah
dirumuskan suatu pola yang baku dan mapan yang bias membantu memutuskan proses
pemilihan tujuan serta cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut secara baik . Satjipto
Rahardjo memberikan pengertian politik hukum sebagai aktivitas memilih dan cara
yang hendak dipakai untuk mencapai suatu tujuan sosial dan hukum tertentu dalam
masyarakat (Satjipto Rahardjo, 1991: 352).

Dalam bukunya yang berjudul Politik Hukum di Indonesia, Moh. Mahfud MD


mengemukakan bahwa ternyata hukum tidak steril dari sub sistem kemasyarakatan
lainnya. Politik kerap kali melakukan intervensi atas pembuatan dan pelaksanaan
hukum sehingga muncul juga pertanyaan berikutnya tentang subsistem mana antara
hukum dan politik yang dalam kenyataannya lebih suprematif. Politik hukum, secara
sederahana dapat dirumuskan sebagai kebijaksanaan hukum (legal policy) yang akan
atau telah dilaksanakan secara nasional oleh Pemerintah; mencakup pula pengertian
tentang bagaimana politik mempengaruhi hukum dengan cara melihat konfigurasi
kekuatan yang ada di belakang pembuatan dan penegakan hukum (Moh. Mahfud
MD,2006:1-2).
2.1 Pengertian Ketahanan Pangan
Pangan merupakan kebutuhan dasar utama bagi manusia yang harus dipenuhi
setiap saat. Hak untuk memperoleh pangan merupakan salah satu hak asasi manusia,
sebagaimana tersebut dalam pasal 27 UUD 1945 maupun dalam Deklarasi Roma
(1996). Pertimbangan tersebut mendasari terbitnya UU No. 7/1996 tentang Pangan.
Sebagai kebutuhan dasar dan salah satu hak asasi manusia, pangan mempunyai arti dan
peran yang sangat penting bagi kehidupan suatu bangsa. Ketersediaan pangan yang
lebih kecil dibandingkan kebutuhannya dapat menciptakan ketidak-stabilan ekonomi.
Berbagai gejolak sosial dan politik dapat juga terjadi jika ketahanan pangan terganggu.
Kondisi pangan yang kritis ini bahkan dapat membahayakan stabilitas ekonomi dan
stabilitas Nasional.

Bagi Indonesia, pangan sering diidentikkan dengan beras karena jenis pangan ini
merupakan makanan pokok utama. Pengalaman telah membuktikan kepada kita bahwa
gangguan pada ketahanan pangan seperti meroketnya kenaikan harga beras pada waktu
krisis ekonomi 1997/1998, yang berkembang menjadi krisis multidimensi, telah memicu
kerawanan sosial yang membahayakan stabilitas ekonomi dan stabilitas Nasional.

Nilai strategis beras juga disebabkan karena beras adalah makanan pokok paling
penting. Industri perberasan memiliki pengaruh yang besar dalam bidang ekonomi
(dalam hal penyerapan tenaga kerja, pertumbuhan dan dinamika ekonomi perdesaan,
sebagai wage good), lingkungan (menjaga tata guna air dan kebersihan udara) dan sosial
politik (sebagai perekat bangsa, mewujudkan ketertiban dan keamanan). Beras juga
merupakan sumber utama pemenuhan gizi yang meliputi kalori, protein, lemak dan
vitamin.

Dengan pertimbangan pentingnya beras tersebut, Pemerintah selalu berupaya


untuk meningkatkan ketahanan pangan terutama yang bersumber dari peningkatan
produksi dalam negeri. Pertimbangan tersebut menjadi semakin penting bagi Indonesia
karena jumlah penduduknya semakin besar dengan sebaran populasi yang luas dan
cakupan geografis yang tersebar. Untuk memenuhi kebutuhan pangan penduduknya,
Indonesia memerlukan ketersediaan pangan dalam jumlah mencukupi dan tersebar,
yang memenuhi kecukupan konsumsi maupun stok nasional yang cukup sesuai
persyaratan operasional logistik yang luas dan tersebar. Indonesia harus menjaga
ketahanan pangannya.

Pengertian ketahanan pangan, tidak lepas dari UU No. 18/2012 tentang Pangan.
Disebutkan dalam UU tersebut bahwa Ketahanan Pangan adalah “kondisi terpenuhinya
Pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya
pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan
terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat,
untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan”.

UU Pangan bukan hanya berbicara tentang ketahanan pangan, namun juga


memperjelas dan memperkuat pencapaian ketahanan pangan dengan mewujudkan
kedaulatan pangan (food soveregnity) dengan kemandirian pangan (food resilience)
serta keamanan pangan (food safety). “Kedaulatan Pangan adalah hak negara dan
bangsa yang secara mandiri menentukan kebijakan Pangan yang menjamin hak atas
Pangan bagi rakyat dan yang memberikan hak bagi masyarakat untuk menentukan
sistem Pangan yang sesuai dengan potensi sumber daya lokal”.

Definisi ketahanan pangan dalam UU No 18 tahun 2012 diatas merupakan


penyempurnaan dan “pengkayaan cakupan” dari definisi dalam UU No 7 tahun 1996
yang memasukkan “perorangan” dan “sesuai keyakinan agama” serta “budaya” bangsa.
Definisi UU No 18 tahun 2012 secara substantif sejalan dengan definisi ketahanan
pangan dari FAO yang menyatakan bahwa ketahanan pangan sebagai suatu kondisi
dimana setiap orang sepanjang waktu, baik fisik maupun ekonomi, memiliki akses
terhadap pangan yang cukup, aman, dan bergizi untuk memenuhi kebutuhan gizi sehari-
hari sesuai preferensinya.
2.2 Kebijakan Pangan Di Indonesia
Sejarah konsep ketahanan pangan di Indonesia dapat dilihat jejaknya dari
kebijakan pangan sejak masa awal kemerdekaan hingga pemerintahan terkini.
Mengikuti hasil studi Jonatan Lassa, “Politik Ketahanan Pangan Indonesia 1952–2005”,
strategi pencapaian ketahanan pangan di Indonesia sering disamakan dengan
ketersediaan pangan, terutama ketersediaan beras dan swasembada beras, lebih daripada
kepemilikan pangan.
Pada masa Orde Lama, kebijakan pangan di Indonesia difokuskan pada
swasembada beras. Terdapat dua kebijakan besar untuk mendukung fokus tersebut,
yakni Program Kesejahteraan Kasimo dan Program Sentra Padi. Program Kesejahteraan
Kasimo turut didukung oleh pembentukan dan peran Yayasan Bahan Makanan (Bama)
pada tahun 1950–1952 serta Yayasan Urusan Bahan Makanan (YUBM) tahun 1953–
1956. Sedangkan Program Sentra Padi, antara lain diduung oleh peran Yayasan Badan
Pembelian Padi (YBPP) tahun 1956, Program Substitusi Jagung tahun 1963, serta
pembentukan Bimas dan Panca Usaha Tani.
Pada masa peralihan Orde Lama ke Orde Baru, selama tahun 1965–1967,
beberapa kebijakan pangan pemerintah meliputi, antara lain pembentukan Komando
Logistik Nasional (Kolognas) tahun 1966 serta pendirian Badan Urusan Logistik
(Bulog) yang menggantikan Kolognas tahun 1967. Bulog kemudian menjadi satu-
satunya pembeli beras tunggal di Tanah Air. Selama Orde Baru, ketahanan pangan
dipahami dengan menggunakan tiga asumsi sesuai hasil studi Handewi P.S. Rachman
dan Meewa Ariani pada tahun 2002 “Ketahanan Pangan: Konsep, Pengukuran, dan
Strategi”.
Pertama, kelangkaan pangan secara cepat direfleksikan oleh meningkatnya harga
pangan. Kedua, harga (pangan) yang terjangkau cukup dapat menjamin akses semua
orang untuk memperoleh pangan yang memadai. Ketiga, produksi pangan domestik
yang cukup (swasembada) menjadi cara yang paling efektif untuk mencapai stabilitas
harga pangan dalam negeri (dan pada gilirannya mencapai ketahanan pangan).
Dengan asumsi tersebut, kebijakan pangan selama Orde Baru dapat
dikelompokkan menjadi tiga periode sesuai perhatian rencana pembangunan lima tahun
(repelita), pertama swasembada beras (1969–1979), swasembada pangan (1979–1989),
dan kembali lagi swasembada beras (1989–1998).
Beberapa program kegiatan selama periode kebijakan swasembada beras tahun
1969–1979, antara lain menambah tugas Bulog sebagai manajemen stok penyangga
pangan nasional (1969), pengimpor gula dan gandum (1971), pengadaan daging untuk
DKI Jakarta (1974), hingga mengontrol impor kacang kedelai (1977). Selain itu, muncul
Serikat Tani Indonesia (1971), penetapan Revolusi Hijau untuk mencapai swasembada
beras (1974), serta penetapan harga dasar jagung, kedelai, kacang tanah, dan kacang
hijau (1978).
Selama penerapan kebijakan swasembada pangan (1979–1989), terdapat beberapa
program, antara lain mengembalikan tugas Bulog sebagai pengontrol harga gabah,
beras, tepung, gandum, dan lain-lain dengan Keppres 39/1978. Pada tahun 1984,
Indonesia mendapatkan medali dari FAO karena keberhasilan swasembada beras.
Pada periode 1989–1998, kebijakan ketahanan pangan Indonesia kembali fokus
pada swasembada beras. Pada periode ini, Bulog diubah fungsinya menjadi hanya
mengontrol harga beras dan gula pasir (1997). Bahkan, pada 1998 Bulog hanya
mengontrol harga beras saja.
Kebijakan swasembada beras kembali dilanjutkan selama pemerintah Presiden BJ
Habibie, Abdurrahman Wahid, dan Megawati Soekarnoputri. Presiden Abdurrahman
Wahid menegaskan tugas Bulog sebagai manajemen logistik beras, mulai dari
penyediaan, distribusi, dan mengontrol harga. Pada masa Presiden Megawati, Bulog
diprivatisasi (2003) serta swasembada beras ditegaskan sebagai strategi tunggal di
bidang pangan (2004).
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menempuh kebijakan revitalisasi pertanian
dan swasembada lima komoditas pangan, yakni beras, jagung, gula, kedelai, dan daging
sapi. Kebijakan ini disertai dengan komitmen untuk meningkatkan pendapatan petani
demi menggenjot PDB, pembangunan agribisnis yang mampu menyerap tenaga kerja,
serta swasembada beras, jagung, serta palawija.
Dalam pemerintahan Presiden Joko Widodo, kebijakan pangan juga diarahkan
untuk swasembada pangan. Beberapa program yang muncul, antara lain Program Cetak
Sawah, Korporasi Usaha Tani, dan Program Lumbung Pangan Masyarakat. Selain itu,
konsep ketahanan pangan didukung dengan kebijakan kedaulatan pangan.
Di tingkat kebijakan, konsep kedaulatan pangan di Indonesia mulai muncul pada
akhir pemerintahan SBY dalam UU 18/2012 tentang Pangan. Konsep tersebut
dipertegas dan diperjelas oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo sesuai dengan
pemikiran yang berkembang di tingkat global, yakni sebagai suatu kebijakan pangan
yang lebih mendasar.
Selama pemerintahan Presiden Joko Widodo, konsep kedaulatan pangan muncul
beberapa kali dalam dokumen pemerintah, antara lain dalam Nawacita, RPJM 2014–
2019, Rencana Induk Pembangunan Pertanian 2015–2045, Rencanan Kerja
Kementerian Pertanian 2015–2019, Rencana Kerja Kementan 2014, serta Rencana
Kerja Kementan 2016.
Pemahaman akan kedaulatan pangan di Indonesia, sesuai artikel “Kedaulatan
Pangan Sebagai Basis untuk Mewujudkan Ketahanan Pangan Nasional”, membentuk
tiga pola penjelasan. Pertama, kedaulatan pangan dianggap sejalan dengan ketahanan
pangan. Dengan demikian, berdaulat secara pangan terwujud saat kebijakan pangan
tidak dikendalikan oleh negara lain. Kedua, ketahanan pangan dipandang sebagai
landasan untuk mencapai kedaulatan pangan. Kedaulatan pangan terwujud pada tingkat
komunitas. Ketiga, pemahaman kedaulatan pangan sesuai dengan pemahaman di tingkat
dunia.
2.4 Landasan Hukum Ketahanan Pangan
UU 18 tahun 2012 tentang Pangan mendefinisikan bahwa Pangan adalah segala
sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan,
perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang
diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan
tambahan Pangan, bahan baku Pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses
penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman.
Kedaulatan Pangan adalah hak negara dan bangsa yang secara mandiri
menentukan kebijakan Pangan yang menjamin hak atas Pangan bagi rakyat dan yang
memberikan hak bagi masyarakat untuk menentukan sistem Pangan yang sesuai dengan
potensi sumber daya lokal. Kemandirian Pangan adalah kemampuan negara dan bangsa
dalam memproduksi Pangan yang beraneka ragam dari dalam negeri yang dapat
menjamin pemenuhan kebutuhan Pangan yang cukup sampai di tingkat perseorangan
dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam, manusia, sosial, ekonomi, dan kearifan
lokal secara bermartabat.
Ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya Pangan bagi negara sampai
dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya Pangan yang cukup, baik jumlah
maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak
bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat,
aktif, dan produktif secara berkelanjutan.
Keamanan Pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah
Pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat
mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia serta tidak bertentangan
dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat sehingga aman untuk dikonsumsi.
Penyelenggaraan Pangan adalah kegiatan perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan
dalam penyediaan, keterjangkauan, pemenuhan konsumsi Pangan dan Gizi, serta
keamanan Pangan dengan melibatkan peran serta masyarakat yang terkoordinasi dan
terpadu.
UU 18 tahun 2012 tentang Pangan mengatakan bahwa Penyelenggaraan Pangan
dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia yang memberikan manfaat secara
adil, merata, dan berkelanjutan berdasarkan Kedaulatan Pangan, Kemandirian Pangan,
dan Ketahanan Pangan. Tujuan Penyelenggaraan Pangan menurut UU 18 tahun 2012
tentang Pangan adalah:
a. meningkatkan kemampuan memproduksi Pangan secara mandiri;
b. menyediakan Pangan yang beraneka ragam dan memenuhi persyaratan
keamanan, mutu, dan Gizi bagi konsumsi masyarakat;
c. mewujudkan tingkat kecukupan Pangan, terutama Pangan Pokok dengan
harga yang wajar dan terjangkau sesuai dengan kebutuhan masyarakat;
d. mempermudah atau meningkatkan akses Pangan bagi masyarakat, terutama
masyarakat rawan Pangan dan Gizi;
e. meningkatkan nilai tambah dan daya saing komoditas Pangan di pasar dalam
negeri dan luar negeri;
f. meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang Pangan yang
aman, bermutu, dan bergizi bagi konsumsi masyarakat;
g. meningkatkan kesejahteraan bagi Petani, Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan
Pelaku Usaha Pangan; dan
h. melindungi dan mengembangkan kekayaan sumber daya Pangan nasional.

UU 18 tahun 2012 tentang Pangan disahkan Presiden Doktor Haji Susilo


Bambang Yudhoyono di Jakarta pada tanggal 16 November 2012. UU 18 tahun 2012
tentang Pangan diundangkan Menkumham Amir Syamsudin pada tanggal 17 November
2012 di Jakarta. UU 18 tahun 2012 tentang Pangan ditempatkan pada Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 227. Penjelasan Atas UU 18 tahun 2012 tentang
Pangan ditempatkan pada Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5360. Agar setiap orang mengetahuinya.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan

Definisi ketahanan pangan dalam UU No 18 tahun 2012 diatas merupakan


penyempurnaan dan “pengkayaan cakupan” dari definisi dalam UU No 7 tahun 1996
yang memasukkan “perorangan” dan “sesuai keyakinan agama” serta “budaya” bangsa.
Definisi UU No 18 tahun 2012 secara substantif sejalan dengan definisi ketahanan
pangan dari FAO yang menyatakan bahwa ketahanan pangan sebagai suatu kondisi
dimana setiap orang sepanjang waktu, baik fisik maupun ekonomi, memiliki akses
terhadap pangan yang cukup, aman, dan bergizi untuk memenuhi kebutuhan gizi sehari-
hari sesuai preferensinya.
DAFTAR PUSTAKA
Imanullah, M. N. (2013). Politik Hukum Ketahanan Pangan Nasional (Kajian Sinkronisasi
Politik Hukum Undang-Undang Hak PVT dan Undang-Undang Pangan). Yustisia
Vol.2 No.1.
Sastroatmodjo, S., Suhadi, & Muhtada, D. (2019). Politik Hukum Ketahanan Pangan: Respon
Pemda ata Kebijakan Negara Tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan. Semarang.
www.bulog.co.id
www.kompaspedia.kompas.i

Anda mungkin juga menyukai