Anda di halaman 1dari 18

Kesenian Tayub (Sejarah dan Perkembangannya Dalam Masyarakat)

Abstrak : Indonesia menjadi salah negara dengan beragam jenis kebudayaannya.


Memiliki banyak suku menjadikan wujud kebudayaan selalu bervariasi mulai dari
bahasa, teknolgi, hingga kesenian, setiap wilayah memiliki ciri khasnya masing-
masing. Salah satu wujud kebudayaan dalam bentuk kesenian yakni pertunjukan
Tayub yang biasa di gelar di Jawa Timur yang menganut sistem Mataraman.
Tayub merupakan kesenian yang di gelar dengan tarian-tarian tradisional dan
sudah muncul sejak zaman Kerajaan Hindu Budha. Tayub memiliki arti filosofis
yakni bermakna guyub atau kerukunan. Kemudian seiring waktu kesenian Tayub
mengalami perkembangan, di era kolonial kesenian ini mengalami perubahan
fungsi yang dipengaruhi oleh kehadiran orang-orang bangsa Barat. Tayub di masa
ini maknanya berganti menjadi negatif dengan dimasukkannya minuman keras
sebagai bagian dari inti acara. Tayub hanya menjadi hiburan semata khususnya
bagi para lelaki. Meski begitu masyarakat tetap menganggap Tayub sebagai
bagian dari budayanya yang harus terus dilakukan pelestariannya. Tayub tidak
dibiarkan hilang begitu saja, diwariskan melalui generasi ke generasi dan selalu
digelar ketika masyarakat mengadakan hajatan. Sehingga kesenian tayub akan
terus lestari berada di tengah-tengah masyarakat.

Kata Kunci : Pelestarian, Perkembangan, Perubahan Fungsi, Tayub.

A. Sejarah Kesenian Tayub


Seni tari adalah salah satu bidang seni yang secara langsung menggunakan
tubuh manusia sebagai media ekspresi yang merupakan ungkapan nilai keindahan
dan nilai keluhuran lewat gerakan dan sikap tubuh dengan penghayatan nilai seni.
Tayub adalah salah satu macam tarian jamuan, yaitu di sajikan kepada tamu pada
hajat pekawinan di kalawangan masyarakat Jawa. Seni tayub masih muncul
sampai sekarang. Tayub sudah ada sejak zaman Hindu dan Budha dengan bukti
adanya relief-relief yang terdapat dalam candi-candi yang berada di Jawa Tengah.
Seni Tayub juga tampak pada abad ke 19 yang diceritakan dalam surat Centhini.
Surat centhini adalah sebuah karya sastra baru yang diubah pada abad ke-19
dengan sangat jelas menggambarkan bagaimana tayub sebagai hiburan, dan lebih
mendominasi sebagai hiburan kaum pria.
Tayub pada zaman kerajaan Singosari pertama kali digelar pada waktu
Jumenengan Prabu Tunggul Ametung, kemudian Tayub berkembang ke kerajaan
Kediri dan Majapahit. Pada abad ke-19 di Jawa telah terdapat tari pergaulan yaitu
Tayub, tari ini mengalami perkembangan di dalam masyarakat baik di desa, kota
maupun kalangan istana. Menurut catatan Mangkunegaran disebutkan sebuah
dongeng tentang raja dari negeri Purwacarita yang bernama Prabu Kano di mana
negeri tersebut terdapat peraturan agama Brahma yang disebut Badukan, yaitu
pada jamuan perkawinan maka baik keluarga perempuan maupun laki-laki
bersama-sama dalam pasanagan menari. Adat ini ternyata memang ada.1
Tayub merupakan Jarwa-dhosok (akronim) “yen ditata dadi guyub” (kalau
ditata jadi guyup/rukun). Pertunjukan Tayub yang melibatkan kurang lebih lima
Pria sebagai penayub dengan dua atau tiga ledhek sebagai sri panggungnya, kalau
ditata dan diatur nyaris mampu menampilkan suasana paguyuban yang kuyup
akan nilai persaudaraan, kerukunan, dan kekeluargaan. Menurut Poerbotjakroko
pengertian Tayub adalah tayub yang berasal dari kata sayub yang artinya
minuman keras ataupun makanan yang sudah basi dengan membuang huruf yang
terakhir maka kata tayub akan berubah menjadi sayu yang dalam bahasa Jawa
Krama menjadi sajeng yang mempunyai arti minuman keras. Karena petukaran
2
“s” menjadi “w” berubah menjadi wajeng.
Bentuk ngoko dari wajeng adalah wayu yaitu setengah basi atau menape
menjadi tape. Bisa dikatakan bahwa Tayub mempunyai kaitan yang erat dengan
sesuatu yang menggunakan minuman keras sebagai bagian yang terpenting dalam

1
Ben Suharto, “Tayub Pertunjukan dan Ritus Kesuburan”, (Bandung : Arti.Line, 1999) hlm. 62
2
Ibid, hlm.58.
ritus upacara. Pada catatan Mangkunegaran terdapat pula keterangan bahwa nayub
itu berasal dari kata tayub yang terdiri dari dua kata yaitu mataya yang berarti tari,
dan guyub yang berarti rukun bersama. Sehingga diperkirakan bahwa timbul
perubahan dari dua kata jadi satu: ma-taya dan gu-yub jadi tayub.
Dalam bahasa Jawa tledhek ditulis dengan taledhek atau tkedhek diartikan
demikian maksudnya adalah seseorang perempuan yang pekerjaannya menari juga
nyindhen. Seorang tledhek selain menari juga nembang. Tledhek selain menyanyi
juga harus menari dengan iringan gamelan. Di daerah-daerah kerajaan seperti
Yogyakarta pada zaman sultan Hamengkubuwono ke VII tledhek ditempatkan di
sebuah kampong khusus dan diketahui oleh lurah serta mendapatkan upah. Selain
di kraton Yogyakarta seni Tayub juga berkembang di kraton Surakarta. Raja-raja
di Surakarta lebih memperhatikan kehidupan tledhek sehingga perkembangan
tayub lebih pesat. Pada masa Susuhunan Paku Buwono IV (1788-1820) tayub
sering dipertunjukkan. 3
Di daerah-derah yang jauh dari kota besar dan kraton, seperti Pati, Blora,
Jepara, Grobogan, Sragen dan Tuban. Pada mulanya tayub merupakan sebuah
tarian ritual yang dilangsungkan untuk upacara kesuburan pertanian. Upacara ini
dilangsungkan pada saat mulai panen, dengan harapan pada musim tanam
berikutnya hasil panen akan melimpah lagi. Fungsi ritual adat pun sangat
bervariasi dan beragam, seperti upacara mensakralkan tanah untuk kesuburan dan
kesejahteraan.
Tayub mulai mengalami perkembangan ketika bangsa Barat datang ke
Indonesia dan mengembangkan perkebunan-perkebunan, merekrut tenaga kuli
kontrak serta perempuan buruh pribumi. Khususnya ketika perkebunan kopi
diterapkan dan membuka lahan baru di daerah Priangan yang ditetapkan oleh
VOC.4 Adanya perkebunan mendorong terjadinya perekrutan tenaga ahli dari
Eropa, kedatangan mereka yang pada umumnya masih perjaka, mengakibatkan

3
AG. Eko Fibri, “Tayub Fungsi dan Tantangannya Pada Masa Orde Baru” dalam skripsi fakultas
sastra universitas Sanata Dharma, hlm. 30.
4
Sartono Kartodirjo dan Djiko Suryo, “Sejarah Perkebunan Di Indonesia Kajian Sosial
Ekonomi”, (Yogyakarta: Aditya Media, 1991), hlm. 33
berkembang adanya pergundikan, pelacuran serta pertunjukan hiburan yang
menyajikan penari tayub.
Tayub juga mengalami tantangan pada masa tanam paksa, ketika Tayub
berkembang sampai ke pelosok-pelosok daerah perkebunan. Setiap ada
pementasan seni tayub sering muncul keributan hanya untuk memperebutkan
tledhek. Hal ini membuat para penguasa Jawa maupun VOC mengeluarkan
peraturan untuk mencegah keonaran dan mereka yang membuat keonaran
dikenakan denda yang disebut Nawala Pradata. Namun meskipun larangan sudah
diterapkan keonaran masih sering muncul setiap diadakan pementasan tayub
sehingga membuat keresahan masyarakat.
Tayub yang telah terkena pengaruh negatif dari penjajah Belanda terus
terpelihara hingga pemeritahan dipegang oleh Sunan pakubuwono III. Sewaktu
pemerintahan dipegang oleh Sunan Pakubuwono ke IV, beliau tidak berkenan
dengan adanya pengaruh negatif tersebut. Dan pada akhirnya tayub ditetapkan
sebagai dari pasrawungan di masyarakat. Oleh karena itu kesenian tayub
dikeluarkan dari Kraton dan dihadiahkan kepada Bupati kemudian mengalami
perkembangan di daerah Sragen, Wonogiri dan Purwodadi.
Saat-saat tayub mengalami perkembangan di masyarakat, tantangan mulai
muncul. Tantangan yang ada pada tahun 1960 muncul saat keadaan politik di
Indonesia sangat kacau. Seni yang berbau kerakyatan pada tahun 1950 menjadi
rebutan partai-partai yang ada pada saat itu misalnya PNI dan PKI. Tayub adalah
salah satu seni yang digunakan oleh PKI sebagai alat propaganda untuk mencari
massa. Tayub yang dapat meraih massa terbanyak selalu diarahkan untuk
menampilkan kedekatan kepada rakyat dan menentang feodalisme. Pada tahun
1966 keadaan seni tayub benar-benar mengalami kehancuran karena dengan
kemunculan orde baru semua seni yang berbau kerakyatan apalagi seni yang
dahulunya diguunakan oleh PKI tidak boleh dipentaskan lagi. Alasan yang
digunakan ole horde baru untuk melarang tayub pentas adalah menumbuhkan
semangat komunis yang dapat menghancurkan Negara Indonesia.5
B. Bentuk Kesenian Tayub

5
AG. Eko Fibri. S, Op.Cit., hlm. 33
Pertunjukan kesenian Tayub dinilai sebagai sesuatu yang cukup sakral oleh
masyarakat yang mempercayainya. Dalam kesenian Tayub ada beberapa pemeran
yang dikenal dengan istilah khusus seperti pengarih, joged, pengibing, dan
pengguyub.6 Pengarih merupakan seorang yang mendapat tugas untuk mengatur
jalannya pertunjukan Tayub dari awal mulai hingga akhir serta mengatur giliran
orang-orang yang ingin naik ke atas panggung. Sedangkan joged merupakan para
perempuan yang bertugas untuk menyanyi dan menari di atas panggung dan
memberikan sampur kepada tamu. Untuk dapat menjadi joged dalam seni Tayub
seorang perempuan harus memiliki paras yang cantik, tubuh ideal, dan suara yang
bagus, serta menguasai berbagai macam lagu. Tim joged dalam peraturannya
minimal harus mempunyai 3 orang anggota yang dianggap mampu meramaikan
acara pertunjukan, yang rentang usianya mulai dari 14 hingga 47 tahun. 7 Tim
joged biasanya menggunakan riasan korektif yakni riasan yang lebih tajam
dibanding dengan rias sehari-harinya, misalnya dalam penggunaan bedak, pensil
alis, bibir, dan bulu mata. Tujuan dalam mempertebal riasan adalah untuk
menambah kesan cantik dalam memainkan peranan joged di atas panggung
sehingga akan terlihat lebih segar. Begitu juga dengan busana yang dipakai oleh
joged yang menggunakan kostum kebaya modern tertutup dan berlengan pendek
serta memakai kain jarik wiru tengah. Pengibing merupakan sebutan bagi para
tamu yang datang dan menari bersama joged dalam acara hajatan yang
diselenggarakan. Sedangkan pangguyub merupakan penari laki-laki yang disetujui
oleh pengarih untuk turut menari bersama joged.
Sedangkan pertunjukan Tayub itu sendiri dibagi menjadi tiga bagian
penampilan yakni Sliring, Panembromo, dan Ngibing.8 Sliring merupakan para
anggota joged yang tetap duduk sedangkan joged lain mendapat tugas menari.
Kemudian Panembromo yakni proses saat kedua joged kembali duduk dalam
posisi mengapit para tamu kehormatan kemudian menyanyikan satu lagu.
Sedangkan Ngibing merupakan inti dari pertunjukan Tayub setelah proses
6
Endang Ratih E.W, dkk, “Citra Wanita dalam Pertunjukan Kesenian Tayub”, Jurnal Harmonia,
hlm 4.
7
Ayu Mustika Sari, Malarsih, “Peran Masyarakat Terhadap Kesenian Tayub di Desa Bedingin
Kecamatan Tadonan Kabupaten Blora”, Jurnal Seni Tari, hlm 4.
8
Endang Ratih E.W, Op.cit, hlm 5.
Panembromo selesai kemudian dilakukan tarian antara semua pemeran dalam
pertunjukan.
Biasanya pertunjukan Tayub dimulai pada siang hingga malam hari. Tayub
dilakukan di atas panggung dengan semua pemeran duduk lesehan beralaskan
tikar yang ukurannya ¼ dari besarnya panggung. Sebelum inti dari pertunjukan
Tayub dimulai, diadakan terlebih dahulu proses klenengan yang merupakan
nyanyian lagu-lagu jawa dan dilakukan oleh seorang wirosuworo (pengatur acara
di atas panggung) dengan iringan musik gendang yang tujuannya mengundang
masyarakat untuk datang.9 Setelah klenengan selesai, selanjutnya dilakukan
pertunjukan joged atau tarian dengan beberapa lagu yang mengindikasikan bahwa
pertunjukan akan segera dimulai, kemudian dilanjutkan dengan tari Gambyong
Pareanom. Iringan yang digunakan dalam pertunjukan Tayub merupakan satu set
gamelan Jawa yang dilengkapi dengan laras slendro dan pelog.10
Dalam bagian inti pertunjukan Tayub, pada saat penampilan joged seorang
yang mempunyai acara atau hajat akan diundang ke atas panggung untuk turut
menari bersama, setelah itu barulah orang-orang yang ingin bergabung menari di
atas panggung boleh naik tetapi diurut berdasarkan strata sosialnya. Sebelum
bergabung dengan joged, masyarakat diharuskan mendaftar lebih dulu kepada
pengarih yang mendapat bagian untuk mencatat daftarnya. Bagian dalam menari
juga mempunyai penyebutannya sendiri, jika menari di depan joged menggunakan
sampur maka disebut dengan pambekso, namun bila di belakang dan tidak
menggunakan sampur disebut pangguyup.11
Pertunjukan Tayub akan dibagi dalam dua bagian sajian penampilan. Sajian
pertama pengibing akan dibagi ke dalam dua tim yang jumlah anggotanya sama
dan satu tim mendapat bagian menjadi pambekso dan tim lain menjadi
pangguyub, kemudian menari bersama dengan tim joged di atas panggung. Tim
joged akan menghadap pambekso yang berada di depan dan menari dalam satu
rambahan dan gendhing, kemudian berputar posisi 180 derajat kecuali tim joged
yang hanya merubah arah hadapnya ke belakang sehingga tetap menghadap pada
9
Ayu Mustika Sari, Malarsih, Op.cit, hlm 3.
10
Ibid, hlm 4.
11
Ibid, hlm 5.
tim pambekso.12 Begitu selesai, sajian kedua dilakukan dengan tahap
mengembalikan sampur kepada joged, kemudian diberikan kepada pangguyup
sehingga pangguyub berubah menjadi pambekso. Setelah pertunjukan pertama
selesai dengan partisipan kloter pertama, kemudian dilakukan pertunjukan kedua
dengan alur yang sama.
Sedangkan penonton pertunjukan Tayub tidak dibatasi usianya, semua umur
dan kalangan boleh menyaksikan.13 Mulai dari bapak-bapak, ibu-ibu, hingga anak-
anak. Penonton yang hadir juga tidak dibatasi dengan undangan, warga sekitar
yang tidak memperoleh undangan dari penyelenggara hajatan juga boleh
menyaksikan pertunjukan.
C. Perubahan Fungsi Kesenian Tayub
Jika pada awalnya kesenian Tayub masih tampak sederhana, maka pada saat
ini kesenian sisingaan telah berubah disesuaikan dengan perkembangan jaman.
Sebagai contoh dalam penyajian Tayub dulu tidak menggunakan alat musik
terlalu berlebihan maka pada saat ini sudah banyak alat musik tambahan yang
dipergunakan. Fungsi kesenian Tayub ini pun ikut mengalami perubahan seiring
dengan perkembangan jaman, awalnya kesenian ini hanya untuk menghibur dalam
acara anak yang dikhitan dengan cara melakukan hiburan di depan rumah atau
Balandongan, akan tetapi sekarang kesenian Tayub mempunyai fungsi yang
beragam, antara lain kesenian Tayub dapat ditampilkan di profesi penyambutan
pejabat atau tamu terhormat, pada pagelaran panggung dan arena terbuka secara
eksklusif berdasarkan skenario dan acara-acara yang diselenggarakan oleh
masyarakat. Sejak dahulu, Tayub menjadi satu-satunya hiburan yang paling
diminati, terutama oleh kaum laki-laki. Dengan gamelan sebagai pengiring, maka
para ledhek tayub akan menari, membiarkan dirinya dicolek sana-sini, untuk
menggoda laki-laki yang suka mencari kesenangan. Tentu semua itu tidak gratis.
Laki-laki yang ikut menari dan menjadi pasangan ledhek, harus memberi sawer
kepada ledhek pasangannya. Terkadang terjadi booking kencan di luar acara
Tayub Fungsi hiburan dari seni Tayub memang sudah melekat dalam kehidupan

12
Ibid, hlm 6.
13
Ibid, hlm 8.
pedesaan yang disukai sebagai hiburan. Bentuk pengungkapan rasa nikmat dalam
pertunjukan Tayub diaktualisasikan dengan menonton dan terlibat aktif dalam
gerak tari mengiringi gerak tari seniwati (ledhek).
Di tengah era globalisasi seperti sekarang ini, pelestarian nilai-nilai
budayatradisional dipandang masih tetap relevan untuk dilakukan. Perkembangan
zaman yang semakin maju dan semakin canggihnya teknologi informasi dan
komunikasi, mengakibatkan berbagai pengaruh dan budaya asing akan semakin
mudah masuk kesuatu wilayah. Sementara itu, disadari atau tidak disadari bahwa
tanpa adanya pengenalan dan pemahaman yang tinggi terhadap budaya suatu
daerah, daerah itu akan mudah terpengaruh, atau bahkan kehilangan jati diri
wilayah sebagai bangsa Indonesia yang dikenal sebagai bangsa yang memiliki
peradaban dan budaya. Tari tayub memiliki kesamaan dengan tari topeng yang
berkeliling dari desa ke desa.14 Sejak kemunculan sampai dengan sekarang tayub
mengalami berbagai macam fungsi, dimana fungsi tayub tersebut mengalami
berbagai macam perubahan mengikuti perubahan zaman. Tayub pada zaman
dahulu memiliki fungsi sebagi sarana ritual kesuburan, tetapi seiring dengan
perubahan zaman tayub memiliki banyak fungsi. Perubahan fungsi tayub dapat
dilihat yaitu tayub sebagai alat propaganda partai, sebagai media pendidikan, dan
masih banyak memiliki masalah ditengah masyarakat pendukungnya. Walaupun
perubahan fungsi yang terjadi juga sering memunculkan banyak masalah baik itu
bagi tayub sendiri maupun bagi masyarakat. Fungsi yang sangat sakral bagi
masyarakat pendukungnya. Salah satu kegunaan tayub bagi masyarakat di luar
kraton adalah tayub digunakan sebagai sarana upacara syukuratas hasil panenan,
juga di gunakan di dalam upacara pernikahan.
Tayub yang muncul dan berkembang di tengah masyarakat tidak dapat lepas
dari pengaruh keadaan atau situasi wilayah tayub. Tahun 1950 keadaan politik
Indonesia sangat kacau, banyak partai-partai yang bermuculan. Hal ini
mempengaruhi keberadaan seni yang ada pada saat itu. Salah satu seni yang
terpengaruh oleh keadaan politik adalah seni tayub. Tayub oleh Partai Komunis

Widyastutieningrum Rochana Sri, “Sejarah Tari Gambyong :Seni Rakyat Menuju Istana”.
14

Surakarta: Citra Enik Surakarta. hal.21


Indonesia (PKI) digunakan sebagai alat propaganda dalam kampanye-kampanye.
Alasan PKI menggunakan seni tayub karena mereka melihat tayub sangat dekat
dengan rakyat dan pada tahun 1950 tayub sedang mengalami puncak kejayaannya.
Keadaan tayub mengalami perubahan yang sangat drastis ketika orde baru
muncul. Setelah PKI mengalami kehancuran maka seni tayub juga mengalami
pergeseran menuju arah yang lebih buruk. Keadaan tayub pada zaman orde baru
yang semakin buruk, dikarenakan pada zaman orde baru semua produk yang
pernah berasimilasi dengan PKI harus di musnahkan. Alasan orde baru
memusnakan tayub karena di takutkan dapat menumbuhkan komunisme yang
baru. Bahkan tidak hanya tayub saja yang mengalami pergeseran semu yang
dianggap berbau kerakyatan atau bahkan pernah terlibat dengan PKI di larang
muncul.
Fungsi Seni Tayub Dalam Ritual
Tayub dilaksanakan tepat pukul 13.00 sampai sore hari pada pukul 17.00. Hal
ini untuk mengurangi resiko terjadi tawuran antar warga karena dalam setiap
pementasan Tayub biasanya disediakan minuman keras sehingga dapat
meminimalisir pandangan negatif tentang seni Tayub dari masyarakat. Secara
bergantian dan tertib sesuai arahan pramugari para pengunjung dipersilahkan
menari (ngibing) berdasarkan urutan daftar kehadiran. Tetapi biasanya urutan
yang ngibing dalam pelaksanaan tayub adalah tuan rumah, orang-orang yang
punya status sosial atas di desa setempat, seperti kepala desa, para pamong desa,
orang-orang yang dituakan (sesepuh desa) dan undangan yang datang berdasarkan
urutan kehadiran. Biasanya ada empat atau enam ledhek yang diundang setiap kali
ditunjukkan dalam pertunjukkan tayub.Fungsi seni Tayub disini merupakan seni
yang digunakan sebagai sarana ekspresi untuk ritual. Ritual yang dilakukan
tersebut merupakan ritual Bersih Tayub bisa dikatakan sebagai alat komunikasi
maksudnya adalah di dalam tayub gendhing-gendhing yang di nyanyikan oleh
ledhek biasanya mengandung arti tersendiri ada juga yang berisi pesan-pesan
tertentu, selain itu juga adanya pertunjukkan tersebut maka semua masyarakat bisa
berkumpul di tempat pertunjukkan dan bisa dijadikan sebagai ajang untuk
berkomunikasi dan sarana untuk bertukar informasi antar warga setempat ataupun
warga desa lain. Selain itu adanya pertunjukkan tayub bisa dijadikan sarana untuk
mengikat solidaritas masyarakat setempat. Ada kalanya diantara penonton tidak
mengenal satu sama lainnya, tapi dikarenakan yang ikut menyaksikan
pertunjukkan tayub tersebut dari kalangan masyarakat luas dan dari desa yang
berbeda maka bisa memungkinkan akan terjadi komunikasi. Dari komunikasi
yang tercipta maka lambat laun tanpa mereka sadari bisa membentuk suatu
komunitas baru yaitu suatu komunitas penikmat seni pertunjukkan tayub. Hal
tersebut sesuai dengan pengertian tayub itu sendiri yang berasal dari kata ditata
ben guyub yang mempunyai arti bahwa tariannya diatur sedemikian rupa supaya
tercipta suasana rukun diantara penikmatnya15.
Acara tayub selalu berlangsung dengan kehadiran waranggono. Dalam hal ini
ternyata waranggono memiliki fungsi dan peran penting dalam berlangsungnya
acara Tayub baik sebagai hiburan maupun sebagai ritual. Jika sebagai hiburan
waranggono mempunyai fungsi dan peran sebagai penghibur. Mereka di posisikan
hanya sebagai penari yang menghibur masyarakat. Sedangkan, dalam acara ritual
waranggono penting bagi berlangsungnya acara ritual yang akan diadakan. fungsi
waranggono sendiri dalam proses ritual adalah sebagai pelaksana dalam proses
Nyadranan dengan mengelilingi punden sumur gedhe mbah Ageng dan di iringi
gending-gending sebanyak 10 gending. Sehingga tanpa adanya waranggono
proses ritual tidak akan bisa berjalan karena merupakan syarat penting dalam
proses ritual dan acara seni Tayub. Pada awal tumbuhnya seni tradisi bermula dari
adanya keperluan-keperluan ritual. Seni yang muncul biasanya dianalogikan
dalam suatu gerak, suara, ataupun tindakan-tindakan tertentu dalam suatu upacara
ritual. Pembagian seni tayub dibedakan menjadi dua unsur yang saling berkaitan.
Dua unsur tersebut diantaranya adalah tayub ritual dan tayub hiburan. Kedua seni
tayub tersebut, tentunya mempunyai karakteristik yang berbeda, sehingga ada
semacam penekanan-penekanan yang ada didalamnya yang menggambarkan
simbolisasi kehidupan. Tayub ritual untuk perkawinan dan pertanian sampai
sekarang masih banyak dilaksanakan di desa-desa, terutama di wilayah yang agak
jauh dari kota besar dan istana. Adapun ciri-ciri dari tayub ritual yaitu :

15
Ben Suharto. Loc.cit.
1. Diselenggarakan pada waktu yang terpilih.
2. Dilakukan pada waktu yang terpilih.
3. Penari pria atau pengibing yang menari pertama bersama taledhek harus
pria terpilih.
4. Taledhek yang tampil harus yang terpilih.
5. Dalam penyelanggaraannya diperlukan berbagai sesaji
Untuk upacara kesuburan pertanian, seni tayub diselenggarakan pada saat
panen dimulai, dengan harapan agar panen berikutnya dapat berhasil dengan baik.
Penyelenggaraan yang dijatuhkan pada awal panen ini kemungkinan besar juga
dimaksudkan sebagai ungkapan terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Kuasa,
bahwa panennya telah berhasil. Tempat penyelenggaraannya kebanyakan di
pinggir sawah, dan penari pria yang tampil pertama dengan taledhek adalah tetua
desa. Dibeberapa tempat, penari berpasangan antara tetua desa yang mengawali
ngibing dengan taledhek disebut bedah bumi, yang secara makna harafiah berarti
membelah bumi. Istilah bedah bumiini melambangkan hubungan antara pria dan
wanita yang terlihat dalam gerakan tariberpasangan.. Pertunjukan tayub ritual
yang dipentingkan bukan penataan tarinya, melainkan semata-mata mengungkap
makna magis simbolis dari penampilan pengibing dantaledhek, yang berjoget
secara berpasangan. Gerak simbolis yang melambangkan hubungan sakral antara
pria (pengibing) dan wanita (taledhek) antara daerah yang satu dengan daerah
yang lain bisa berbeda, tergantung pada tataran etika dan tata krama. masyarakat
setempat. Kalau diwilayah istana hubungan itu dilambangkan secara samar, tetapi
dimasyarakat umum biasanya lebih bersifat nyata. Biasanya setelah prosesi tayub
ritual pertanian maupun perkawinan selesai, akan berubah fungsinya sebagai tari
hiburan. Bahkan tayub yang berfungsi sebagai hiburan inilah yang banyak
diminati oleh masyarakat. Dari kekuatannya bertahan dari masa ke masa, tayub
hiburan yang semula merupakan bisnisnya orang-orang pedesaan, namun pada
akhir-akhir ini mulai bergeser menjadi ajang bisnis orang perkotaan. Upaya
tersebut dengan mengangkat seni tayub sebagai suguhan bagi wisatawan
ditempat-tempat wisata. Selain itu, seni tayub juga sudah ada yang dipentaskan di
hotel-hotel sebagi suatu hiburan. Seni tayub sebagai hiburan merupakan pelebaran
fungsi dari tayub ritual kesuburan.
Fungsi Tayub Sebagai Profesi
Profesi penari tayub atau taledhek di wilayah desa Tlogogowo pada saat ini
merupakan profesi yang menjanjikan penghasilan berkecukupan, karena pada
masa sekarang ini banyak warga masyarakat yang membutuhkan jasa taledhek
untuk memeriahkan pesta pernikahan atau hajatan yang lain. Taledhek sangat
dibutuhkan pada kesenian tayub karena merupakan penari inti yang bertugas
menari mendampingi para tamu yang punya hajat, yang berniat ikut membimbing
bersama taledhek tayub. Taledhek merupakan penari wanita yang harus siap
diajak untuk mendampingi pengibing pria pada seni tayub. Mengingat
kompleksnya kemampuan seni yang harus dikuasai olehseorang yang berprofesi
sebagai taledhek, tidak mungkin calon taledhek dapat menguasai segala
kemampuan seni tersebut tanpa disertai belajar dengan giat untuk menjadi seorang
taledhek tayub. Proses pembelajaran untuk menjadi taledhek bagi seorang pemula
biasanya suara merdu didukung wajah dan tubuhyang semampai membuat para
pengibing, semakin semangat dalam menari.
Fungsi Tayub Sebagai Pendidikan Humaniora
Dalam budaya masyarakat primitif yang serba mistis, tentu saja pelembagaan
pendidikan yang terkandung dalam tari, sebagian besar bersangkut-paut dengan
nilai dan norma. Kesadaran masyarakat primitif terhadap kekuatan gerak tari,
terutama untuk mempangaruhi kekuatan alam dan segala benda meupun
kehidupan yang ada. Oleh karenanya ekspresi gerak atau tari dipercaya mampu
menjelaskan peran sebagai magis yang digunakan, yaitu magis imitatif,
simpatetis, maupun kontagius. Dalam kehidupan primitive tampaknya nilai tari
selalu berhubungan dengan kaidah yang sifatnya magisatau ritual. Karena
bagimanapun juga mentalitas primitif bukanlah logika yang bicara, melainkan
ungkapan emosional hidupnya yang menyeluruh. Tari dalam tataran gerak yang
paling sederhana menjadi bagian dari hidupnya, bersama-sama dengan alam. Bagi
masyarakat primitif alam merupakan masyarakat besar atau masyarakat
kehidupan. Dalam lingkungan masyarakat tradisional pedesaan, nilai atau norma
yang terkandung dalam tari mengajarkan sifat egalitarian, sebagaimana sikap
kehidupan mereka yang bersifat kegotongroyongan, yaitu kebersamaan sesame
individu. Jikalau terjadi perbedaan atau menempatkan seseorang pada tingkat
yang lebih tinggi, sifatnya adalah penghormatan kepada sesama. Nilai ungkapan
seperti itu tampak dalam tarian rakyat yang cirinya kebersamaan. Tari tayub
merupakan salah satu tari tradisional yang identik dengan kebersamaan. Dalam
upacar bersih desa atau upacara wiwitan panen, adalah upacara kebersamaan
seluruh warga, semua warga dapat menari bersama tidak ada tingkatan.
Tayub Pada Tahun 1950 sampai tahun 1966
Keadaan politik yang terjadi di Indonesia pada tahun 1950 sampai dengan
tahun1966 sangat ramai muncul partai-partai, baik itu partai yang besar maupun
partai yang kecil Ada beberapa partai yang besar yang saling bersaing
memperebutkan massa, partai yang bersaing sangat ketat pada saat itu adalah PNI
(Partai Nasional Indonesia)dan PKI (Partai Komunis Indonesia). Untuk
memperoleh massa yang banyak maka diperlukan berbagai cara. Salah satu cara
yang dilakukan oleh PKI adalah melakukan pendekatan melalui kebudayaan,
alasan ini dianggap sangat tepat karena pada akhir tahun 1950 perkembangan
budaya sangat pesat. Pada akhir tahun 1950 ada semacam instruksi dari
pemerintah agar tari Melayu seperti tari serampang duabelas diakui sebagai tari
nasional.16 Kelompok-kelompok tayub yang ada pada saat itu mengalami zaman
keemasan atau jaman kejayaan. Hal ini nampak pada setiap kelompok kesenian
tayub yang mengalami kemajuan di segala bidang misalnya bidang ekonomi, pada
tahun 1964 ketika paceklik merajalela di mana-mana ronggeng atau tayub Dukuh
Paruk malahsering naik pentas17. Pentas yang dilakukan oleh kelompok seni tayub
tidak pada orang hajatan melainkan di tempat rapat-rapat umum yang dilakukan
oleh PKI. Karena sering pentas maka kelompok seni tayub mendapatkan
pemasukan uang yang dapat digunakan untuk kehidupan sehari-hari.
D. Usaha Pelestarian Kesenian Tayub

16
Sodarsono R, M. 1999. “Seni Pertunjukan Indonesia Diera globalisasi”. Degdibud. hal.45
17
Ahmad Tohari, “Ronggeng Dukuh Paruk”, Gramedia Pustaka Jaya. Jakarta. hal. 228
Dalam perkembangan zaman yang serba modern saat ini, tentu terjadi
kemunduran eksistensi seni Tayub dikalangan masyarakat. Ditambah lagi dengan
citra negatif yang telah melekat pada masyarakat. Tayub juga dihadapkan dengan
kesenian-kesenian baru yang menyerbu masyarakat terutama generasi muda
penerus. Untuk dapat melanjutkan seni Tayub, ada beberapa upaya yang
dilakukan untuk melestarikan seni Tayub, diataranya :
1. Pewarisan Seni Tayub
Pewarisan seni Tayub merupakan salah satu upaya untuk melestarikan seni
Tayub. Proses pewarisan seni tayub bisa terjadi dengan 2 cara yakni :
a. Pewarisan Secara Tidak Sengaja
Pewarisan tidak sengaja ini bisa terjadi karena orang tua atau para
pemain seni tayub senior biasanya memperkenalkan dunia seni yang
mereka geluti kepada anak atau keturunannya. Dalam hal ini secara
tidak disadari juga mewariskan seni tayub ke generasi muda
berikutnya.
b. Pewarisan Secara Sengaja.
Alih generasi terjadi dengan langsung dan sengaja ketika anak-anak
diajak oleh orang tua, sanak saudara, atau teman-teman mereka untuk
turut menghadiri suatu perhelatan dengan pergelaran seni pertunjukan
tayub.18 Mereka diajak untuk sekedar melihat atau bahkan berdekatan
dengan area pementasan. Bahkan bergabung atau berbaur dengan para
pemain tayub yang telah menguasai penyajiannya.
Proses belajar tayub bagi calon tledhek lazimnya mengikuti para tledhek
yang sudah berpengalaman yang dianggap senior senior. Proses ini biasanya
disebut sebagai ngunthul. Untuk menjadi seorang tledhek tayub tidak harus
melewati proses belajar secara teoritis atau secara khusus, melainkan belajar
dengan pengalaman pentas selama menjadi wurukan.19 Seorang tledehek akan
merasa bangga dan bahgia ketika diikuti oleh wurukan. Proses belajar seni tayub
tidak memiliki batasan waktu.
18
Agus Cahyono, “Pola Pewarisan Nilai-Nilai Kesenian Tayub”, Jurnal Humaniora Vol. 7 No. 1,
2006, hlm. 30
19
Ibid.
Proses pewarisan tayub dari calon tledhek hingga menjadi tledhek dimulai
dari ia sebagai penonton sampai kemudian berangsur angsur mencoba menyertai
penari pada setiap pentas dengan cara ngunthul atau mengikuti tledhek yang sudah
senior atau berpengalaman. Sebelum menjadi tledhek seseorang akan menjalani
perjalanan panjang dengan mengikuti rombongan ngamen dari satu desa ke desa
lain. Mereka biasanya tergabung dalam rombongan seperti reog, barongan,
ketoprak, dan akhirnya ikut rombongan tayuban.
Pola pewarisan seni tayub dilakukan dengan metode menyampaikan segala
materi yang diberikan sambil bekerja. Sehingga para tledhek belajar materi yang
diberikan melalui kegiatan praktek langsung atau latihan kerja.20 Cara pewarisan
nilai-nilai tayub yang diterapkan tersebut bersifat inormal kekeluargaan yang
melibatkan subjek utama orang tua atau anggota komunitas. Pelaksanaan
pewarisan nilai-nilai tayub secara tradisional tersebut dapat berlangsung dengan
baik karena adanya unsur unsur yang terkait yang mendukung secara sistematik. 21
Dengan begitu para wurukan sebagai generasi penerus telah memiliki
pengetahuan, sikap, dan ketrampilan yang memadai serta kesiapan untuk
melanjutkan profesi sebagai penari tayub atau tledhek serta meneruskan
pelestarian tayub.
2. Peran perempuan yang tergabung dalam kelompok Tayub
(meningkatkan kreativitas dalam menari, menyanyi, berias, dan
berbusana)
Perempuan memiliki peran yang sangat penting dalam kelompok tayub
yaitu sebagai pesinden atau tledhek. Sehingga para tledhek harus memiliki banyak
kemampuan seperti menari dan bernyanyi yang mendukung selama pertunjukan.
Ketika menari para tledhek juga dintuntut untuk sumeh, kenes, uwes, dan
menarik. Selain itu juga dituntut menguasai gending, tari, rias, busana, serta
bentuk tubuh dan wajah yang ideal. Para seniwati Tayub menyadari bahwa

20
Op.cit., Hlm. 31
21
Op.cit., Hlm. 34
kehadiran penari sangat menentukan keberhasilan setiap pertunjukan Tayub
termasuk keberlangsungan kesenian tersebut.22
Untuk itu mereka meningkatkan kreativitas dalam menari, menyanyi,
berias, dan berbusana. Dalam menari mereka memperluas volume gerak,
perubahan gerak, dan kualitasnya. Sedangkan dalam gending atau nembang,
mereka memperdalam penguasaan teknik dan penjiwaan, lagu lagu pop atau
dangdut yang akrab di telinga masyarakat juga dikemas dalam dan irama gending
tayub. Dengan adanya improvisasi tersebut menjadikan Tayub sebagai kesenian
tradisional yang dapat diterima di tengah perkembangan seni modern seperti
sekarang ini.23 Hal ini menjadi salah satu upaya melestarikan dan menjaga
eksistensi seni Tayub dikalangan masyarakat.
3. Penyertaan Tayub dalam Upacara Ritual dan Hajatan
Di Desa Pesu, Magetan banyak kegiatan ritual yang dilakukan dengan
menyertakan seni Tayub didalamnya seperti Upacara sedekah bumi, Upacara
bersih desa, dsb. Hampir disetiap desa di wilayah Pesu dan sekitarnya
mengadakan upacara bersih desa dengan menggelar Tayuban di setiap tahunnya.24
Selain Upacara ritual, ketika memiliki hajatan perkawinan masyarakat desa Pesu
biasanya juga menanggap Tayub atau Tayuban. Dari banyaknya upacara dan
hajatan perkawinan yang dilakukan sedikit banyak telah ikut andil dalam
melestarikan kesenian Tayub.
4. Arisan Tayub
Arisan Tayub berada di kabupaten Tulungagung, awalnya berasal dari
perkumpulan guyub agung yang menyukai kesenian Tayub kemudian membuat
sistem arisan. Arisan tayub itu semacam bergilir, bukan dalam arti stuktur ke
anggotaan arisan, hanya sebatas waktu kita memiliki hajat, jadi bukan arisan
undian atau kopyo’an melainkan arisan hajat, yang di selenggarakan oleh
sekelompok, atau perkumpulan anggota tayub itu.25 Para anggota arisan tayub

22
Muhammad Hanif, dkk, “Peran Serta Perempuan dalam Pelestarian Kesenian Tayub di Desa
Pesu Kecamatan Maospati Kabupaten Magetan”, Jurnal Agastya Vol. 1 No. 2, hlm. 169
23
Op.cit., Hlm. 170
24
Ibid.
25
Yeni Setya Amaliya, “Perkumpulan Arisan Tayub sebagai Sarana Pelestarian Seni Tayub di
Kabupaten Tulungagung”, Jurnal Simki-Pedagogia Vol. 1 No.5, hlm. 6
paling tidak 3 tahun sekali mengambil giliran untuk mengadakan hajat langen
beksa tayub di rumahnya, dan hajatan tersebut diadakan dalam beberapa bentuk
mulai dari pernikahan, khitan, ulang tahun, dsb. Setiap hari pasti ada yang
memiliki hajatan namun dalam satu hari hanya diperbolehkan satu orang saja
sehingga tidak terjadi benturan waktu. Dana yang dibutuhkan untuk mengadakan
atau menanggap seni Tayub sekitar 40 juta dan akan memperoleh uang arisan
sekitar 90 juta.
Untuk menjadi anggota dalam arisan tayub ini tidak memiliki persyaratan
khusus bagi yang meyukai tayub atau yang ingin melestarikan budaya tayub.
Namun jika sudah tergabung dalam perkumpulan arisan tayub ini maka tidak
boleh mundur dengan sendirinya. Karena didalam arisan tayub itu semacam
kondangan dan pastinya ada system kondangan “ketumpangan buwuh”, jadi jika
si A mengadakan hajat si B mengondangi (buwuh ), maka pada saat si B punya
hajat si A harus mengondangi dan mengembalikan (buwuhan) dari si B, jadi ada
ikatan satu sama lain.26 Dengan di adakannya arisan Tayub ini sedikit banyak
dapat menjaga kelestarian Tayub dan secara tidak langsung menganalkan kepada
anak mereka mengenai seni ini.

Daftar Pustaka

26
Op.cit.,Hlm. 7.
Amaliya. Yeni Setya. 2017. “Perkumpulan Arisan Tayub sebagai Sarana
Pelestarian Seni Tayub di Kabupaten Tulungagung”. Jurnal Simki-Pedagogia
Vol. 1, No.5.

Ayu Mustika Sari, Malarsih. 2016. “Peran Masyarakat Terhadap Kesenian


Tayub di Desa Bedingin Kecamatan Todanan Kabupaten Blora”. Jurnal Seni
Tari, Vol.5, No. 2.

Cahyono, Agus. 2006. “Pola Pewarisan Nilai-Nilai Kesenian Tayub”. Jurnal


Humaniora. Vol. 7, No. 1.

Eko AG, Fibri. 2008. “Tayub Fungsi dan Tantangannya pada Masa Orde Baru”.
Skripsi Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma.

Endang Ratih E.W, dkk. 2005. “Citra Wanita dalam Pertunjukan Kesenian
Tayub”. Jurnal Humaniora, Vol. 6, No. 2.

Hanif, Muhammad, dkk. 2011. “Peran Serta Perempuan dalam Pelestarian


Kesenian Tayub di Desa Pesu Kecamatan Maospati Kabupaten Magetan”. Jurnal
Agastya Vol. 1, No. 2.

Kartodirjo, Sartono dan Djiko Suryo. 1991. “Sejarah Perkebunan Di Indonesia


Kajian Sosial Ekonomi”. Yogyakarta: Aditya Media.

Suharto, Ben. 1999. “Tayub Pertunjukan dan Ritus Kesuburan”. Bandung :


Arti.Line.

Sri, Widyastutieningrum Rochana. 2004 . “Sejarah Tari Gambyong :Seni Rakyat


Menuju Istana”. Surakarta: Citra Enik Surakarta.

Tohari, Ahmad. 2004. “Ronggeng Dukuh Paruk”. Jakarta: Gramedia Pustaka


Jaya.

Anda mungkin juga menyukai