Anda di halaman 1dari 5

Operasi Militer Oleh TNI Masa Orde Lama

Tentara Negara Indonesia sebagai benteng pertahanan negara memiliki kewajiban


untuk menjaga kondisi keamanan dan kedamaian di dalam negeri. Pada masa kepemimpinan
Sukarno pemerintah Orde Baru masih harus berusaha membangun kondisi negara dalam
keadaan yang baik pasca peperangan dengan pihak kolonial, salah satu kewajibannya adalah
menstabilkan kondisi politik negeri. Saat itu masih banyak pemberontakan-pemberontakan
yang dilakukan oleh rakyat Indonesia sendiri yang menolak untuk bergabung dengan NKRI,
baik melalui organisasi maupun secara kedaerahan. Di sinilah peran TNI ditunjukkan,
pemerintah Orde Baru menginstruksikan agar militer melakukan tindakan tegas dalam
menumpas pemberontakan salah satunya dengan mengadakan operasi militer.
Banyak peristiwa penumpasan yang dilakukan oleh TNI, misalnya tahun 1949 pernah
dilakukan operasi militer di kabupaten Tegal yang melibatkan organisasi DI/TII. Amir Fatah
merupakan pemimpin dari DI/TII kabupaten Tegal, yang berusaha memanfaatkan Islam
sebagai ideologi sebab masyarakat Tegal sangat fanatik dengan ajaran agama tersebut.
Dengan berperan sebagai kyai dalam masyarakat, Amir Fatah dan kelompoknya mengajarkan
ajaran jihad dan konsep tentang pendirian Negara Islam, sehingga dapat dengan mudah
menerima kepercayaan rakyat Tegal.1 Setelah berhasil mempunyai banyak pendukung, sifat
dari DI/TII mengekang pendukungnya. Maret 1949 pasukan Dimyati dari DI/TII melakukan
kekerasan terhadap rakyat, di antaranya enam orang warga kecamatan Pagerbarang ditindas
dan satu orang meninggal dunia.2 Pada akhirnya masyarakat melaporkan hal tersebut kepada
TNI, dengan segera pihak militer negara tersebut berhasil menangkap dua anggota pelakunya.
Merasa tidak terima dengan tindakan TNI, pemimpin pasukan Dimyati berusaha
untuk membalas dendam dengan melakukan penyerangan di desa Slarang yang kemudian
pimpinan TNI yakni Kompi Hadisutrisno menjadi korban tembaknya. 3 Dari keberhasilan
penyerangan tersebut, nampak DI/TII belum merasa puas. Mereka terus melakukan
penyerangan yang difokuskan pada wilayah-wilayah yang menjadi kekuasaan dan pos
pertahanan TNI. Pihak TNI sempat mengalami kuwalahan dan terpaksa mundur untuk
beberapa saat ke wilayah Majenang.4
Setelah berdiskusi, TNI memutuskan untuk melakukan operasi militer terhadap
gerakan DI/TII. Ada dua cara yang dilakukan, yakni melalui jalur damai dan jalur

1
Nurul Fatimah dan Indriyanto, “Penumpasan Gerakan Darul Islam/ Tentara Islam Indonesia Kabupaten
Tegal 1949-1962”, Jurnal Historiografi, Vol. 1, No. 2, 2020, hlm 138.
2
Ibid, hlm 139.
3
Ibid.
4
Ibid.
penyerangan. Jalur damai dilakukan dengan menyebarkan pengumuman keuntungan yang
didapatkan anggota DI/TII apabila mau menyerahkan diri. Sementara jalur penyerangan
dilakukan dengan membentuk operasi Gerakan Banteng Negara pada 7 Januari 1950.
Pasukan tersebut terdiri dari pasukan Brigade Infanteri Divisi III, Divisi IV, Batalion
Administrasi, dan Batalion Satuan Tempur.5 Tujuan dari dilakukannya operasi tersebut selain
menghentikan gerakan DI/TII, juga untuk meminimalisir penyebaran di daerah lain.
Setelah dilakukan selama dua tahun, operasi tersebut tidak menunjukkan hasil yang
maksimal. Oleh karena itu, TNI memutuskan untuk membuat operasi tambahan yakni
Banteng Raiders pada tahun 1952.6 TNI secara aktif memberikan peringatan kepada rakyat
tentang bahaya mengikuti DI/TII. Dan usaha ini berhasil, hingga salah satu pimpinan DI/TII
yakni Zaenal Abidin dapat ditangkap. Dari penangkapan tersebut, banyak anggota DI/TII
yang merasa tertekan kemudian memilih untuk menyerahkan diri. Dan TNI juga berhasil
membakar pos-pos pertahanan milik DI/TII hingga 1962 gerakan DI/TII dapat diatasi
sepenuhnya.
Selain di kabupaten Tegal, operasi penumpasan yang dilakukan oleh TNI terhadap
gerakan DI/TII juga terjadi di wilayah lain yaitu kabupaten Garut. Para pemimpin TNI pada
saat itu memerintahkan Divisi Siliwangi yang bertugas di sekitar area Garut untuk segera
membentuk kelompok dan menumpas gerakan tersebut. Akhirnya pada tahun 1950
dibentuklah pasukan Batalyon 306 Divisi Siliwangi yang diketuai oleh Mayor Alwin Nurdin.7
Mayor Alwin Nurdin memutuskan untuk menggunakan strategi bertahan, yakni hanya
melakukan penyerangan ketika pasukan DI/TII lebih dulu menyerang pos-pos pertahanan
TNI.
Pemilihan strategi tersebut tidak dapat berjalan lancar, hingga setelah 8 tahun
setelahnya. Setelah 1958, Batalyon 306 memilih untuk menggunakan strategi operasi militer
yang disebut dengan R.P. 2. 1. dan P4K.8 Strategi R.P. 2. 1. Bertujuan untuk menguasai lebih
banyak ruang musuh sehingga pergerakan mereka menjadi terbatas, dan akan memaksa
musuh untuk memasuki daerah-daerah kekuasaan TNI. Dengan dilakukannya strategi
tersebut dan adanya bantuan dari pihak kepolisian dengan penambahan pasukan 5994 Ranger
maka gerakan DI/TII di kabupaten Garut dapat ditumpas habis.

5
Ibid, hlm 140.
6
Ibid, hlm 141.
7
Hakim, Fauzan Manaanul, Tesis: “Peranan Batalyon 306 Divisi Siliwangi Dalam Penumpasan Gerakan
DI/TII di Garut Tahun 1950-1962”, (Yogyakarta: UNY, 2017), hlm 9.
8
Ibid, hlm 10.
Selain dari gerakan DI/TII, pihak TNI juga banyak menghadapi tantangan
pemberontakan dari gerakan lainnya, misalnya Republik Maluku Selatan (RMS) tahun 1950.
Penolakan dari Soumokil dan pendukungnya untuk bergabung dengan Indonesia dan lebih
memilih untuk mendirikan negara Maluku sendiri, akhirnya menimbulkan situasi yang tidak
kondusif. Sebelumnya, pemerintah sudah berusaha menempuh jalur damai dengan cara
mengutus tokoh-tokoh keagamaan di Maluku untuk membujuk anggota gerakan RMS agar
menghentikan pemberontakan, serta menyelenggarakan Konferensi Maluku. Namun kedua
cara tersebut tidak berhasil sehingga pemerintah memutuskan untuk melakukan operasi
militer.
Tanggal 14 Juli 1950, Angkatan Perang dari Republik Indonesia tiba di Maluku
sekitar pukul 09.00. Operasi militer yang dilakukan oleh Angkatan Perang ini terbagi menjadi
beberapa gerakan, antara lain Operasi Malam, Operasi Fajar, Operasi Senopati, Operasi Pulau
Maluku, Operasi Bintang Siang, dan Pasukan Penutup.9
Operasi Malam dilakukan oleh 850 orang anggota TNI yang tergabung dalam
Batalyon Pattimura dimulai dari Pulau Buru hingga dapat mencapai kota Namlea yang
menjadi daerah pertahanan RMS. Dalam pertempuran ini, TNI sempat kuwalahan
menghadapi perlawanan musuh. Namun karena kegigihan untuk menumpas RMS, maka pada
akhirnya kota Namlea dapat dikuasai TNI dan memukul mundur kelompok RMS. Diketahui
bahwa 61 anggota TNI telah gugur dalam pertempuran tersebut.
Kemudian Operasi Fajar dilakukan pada 21 Juli 1950 dengan tujuan untuk
membebaskan Pulau Seram yang menjadi daerah kekuasaan RMS. Serangan ini berhasil
dilakukan dan memukul mundur pasukan RMS.10 Namun dari pertempuran ini seorang
Mayor Abdullah gugur dinyatakan telah gugur. Setelah itu rencana selanjutnya yakni Operasi
Senopati segera dilakukan oleh TNI. Operasi ini dilakukan selama dua tahap yakni tanggal 28
September-2 November 1950 dan 3 November hingga dapat dikuasainya kota Ambon yang
merupakan pusat pemberontakan.11 Hingga akhir pertempuran, TNI dapat menguasai daerah-
daerah sasaran dan dengan segera pemerintah memutuskan untuk membentuk aparat
kekuasaan republik yang berupa pemerintah daerah dan Kodir.
Di Madiun pada 1948, juga pernah dilakukan penumpas terhadap gerakan Partai
Komunis Indonesia (PKI) oleh pasukan TNI. Saat itu Jenderal Soedirman sebagai Panglima
Besar mengutus Kolonel Gatot Subroto sebagai Gubernur Militer di wilayah Surakarta-

9
RZ Lerissa dkk. “Tantangan dan Rongrongan Terhadap Keutuhan Negara dan Kesatuan RI: Kasus Repbulik
Maluku Selatan” (Jakarta: CV Manggala Bhakti,1993), hlm 67.
10
Ibid, hlm 75.
11
Ibid, hlm 76.
Madiun-Pati-Semarang serta Kolonel Sungkono sebagai Gubernur Militer Jawa Timur. 12
Rencana penumpasan oleh TNI ini dilakukan dari berbagai arah yakni dari barat dan timur,
tujuannya adalah untuk menguasai kembali wilayah Madiun. Pasukan TNI dibagi menjadi
beberapa divisi dan batalyon, serta melakukan penyerangan dari berbagai daerah di sekitar
kota Madiun. Dua batalyon inti dari pasukan ini adalah Batalyon Suryakencana yang
dipimpin oleh Letkol Kusno Utomo dan Batalyon Kala Hitam yang dipimpin oleh Kemal
Idris.13 Batalyon Kemal Idris bertugas untuk melakukan pembersihan di wilayah utara Solo,
sebab bagaimana pun pengaruh dari PKI dinilai sangat kuat di wilayah tersebut. Sedangkan
Batalyon Kala Hitam bergerak dari arah Kalioso yang berjarak sekitar 25 km dari kota Solo.
Perlawanan sempat diberikan oleh kelompok PKI bahkan mereka juga
membumihanguskan daerah kekuasaan mereka agar TNI tidak dapat menguasainya. Sebelum
memutuskan untuk membakar daerah kekuasaan, kelompok PKI lebih dulu menyiksa warga
agar mau melarikan diri. Dari peristiwa tersebut banyak warga yang memilih bergabung
dengan TNI dan membantu penyerangan yang terus-menerus dilakukan oleh TNI. Pada
akhirnya pemberontakan tersebut dapat ditumpas, hingga salah seorang pemimpin PKI yakni
Amir Syarifuddin di desa Klambu daerah sekitar Purwodadi.14

KESIMPULAN
Di masa Orde Lama, kondisi negara belum sepenuhnya stabil pasca terbebas dari
penjahahan bangsa Eropa. Dalam situasi tersebut, negara Indonesia yang berbentuk
kepulauan masih mengalami banyak perlawanan tidak hanya dari luar negara tetapi juga
masyarakatnya sendiri. Misalnya dengan adanya gerakan DI/TII yang berusaha mendirikan
negara Islam, kelompok RMS yang tidak ingin bergabung dengan Indonesia, serta PKI yang
melawan ideologi bangsa. Di sini TNI berperan sangat penting dalam menumpas segala
pemberontakan, salah satunya melalui operasi militer. Operasi militer dilakukan dengan
perencanaan dan strategi yang matang. Dengan membagi divisi dalam suatu daerah
perlawanan menjadi beberapa batalyon, TNI berhasil menumpas satu persatu perlawanan
yang ada. Usaha ini dilakukan oleh TNI tidak lain adalah untuk tetap menjaga keutuhan
negara.

12
Resta Cahya Nugraha, Murdiyah Winarti, “Kiprah Divisi Siliwangi Dalam Menghadapi Pemberontakan PKI
Madiun Tahun 1948”, Jurnal Factum, Vol. 7, No. 2, 2018, hlm 221.
13
Ibid, hlm 222.
14
Ibid, hlm 225.
Daftar Pustaka
Nugraha, Resta Cahya dan Murdiyah Winarti. (2018). Kiprah Divisi Siliwangi Dalam
Menghadapi Pemberontakan PKI Madiun Tahun 1948. Jurnal Factum, Vol. 7, No. 2.

Lerissa, RZ, dkk. (1993). Tantangan dan Rongrongan Terhadap Keutuhan Negara dan
Kesatuan RI: Kasus Repbulik Maluku Selatan. Jakarta: CV Manggala Bhakti.

Fatimah, Nurul dan Indriyanto. (2020). Penumpasan Gerakan Darul Islam/ Tentara Islam
Indonesia Kabupaten Tegal 1949-1962. Jurnal Historiografi, Vol. 1, No. 2.

Hakim, Fauzan Manaanul. (2017). Peranan Batalyon 306 Divisi Siliwangi Dalam
Penumpasan Gerakan DI/TII di Garut Tahun 1950-1962. (Tesis, Universitas Negeri
Yogyakarta, 2017).

Anda mungkin juga menyukai