Anda di halaman 1dari 11

Nama : Ulul Aminatus Sholikah

NIM : 121811433096

Kelas :B

Mata Kuliah : Sejarah Komunitas

Review Buku “Komunitas Cina di Medan Dalam Lintasan Tiga Kekuasaan 1930 –
1960”
(Karya Nasrul Hamdani)
1. Identitas Buku :
a. Judul buku : Komunitas Cina di Medan Dalam Lintasan Tiga Kekuasaan
1930-1960
b. Penulis : Nasrul Hamdani
c. Editor : Muhammad Hisyam
d. Penerbit : LIPI Press
e. Tahun terbit : 2013
f. Tempat terbit : Jakarta
g. Tebal halaman: 227
h. ISBN : 978-979-799-727-4
2. Sinopsis
Kehadiran orang Cina di bumi Indonesia bukan pengalaman baru. Berbagai
studi yang dilakukan, simpulannya selalu sama, bahwa kedatangan orang Cina telah
terjadi sejak sangat lama, ratusan, kalau tidak malah ribuan tahun yang lalu. Sejarah
orang Cina perantauan di Indonesia selalu bertutur tentang masalah. Masalahnya
berubah dari zaman ke zaman. Perubahan itu tergantung atau berkaitan dengan
kondisi yang berkembang, baik di negeri asalnya, daratan Cina, maupun di Indonesia
sendiri.
Buku karya Nasrul Hamdani ini memaparkan masalah demi masalah yang
dihadapi oleh orang Cina, serta seluk beluk orang Cina khususnya di Medan, kota
yang dikenal memiliki penduduk etnis Cina cukup dominan. Pendekatan disiplin
sejarah yang dipakai memungkinkan penulis buku ini dengan leluasa menjelajah
waktu dari periode ke periode dalam sejarah. Sekalipun pada judulnya terkesan
penulis membatasi diri pada periode sekitar peralihan tiga kekuasaan (Belanda,
Jepang, dan Indonesia) tetapi kalau dicermati isinya, penulis buku ini memapar
periode yang lebih panjang, yakni sejak kedatangan orang Cina hingga tahun 1960-an.
3. Hal-hal menarik dalam buku ini menurut saya:
Beberapa hal yang menjadi daya tarik bagi pembaca dalam buku ini menurut
saya adalah pertama, dari pemilihan judul yang sangat menarik. Jika dilihat kembali
perjalanan orang-orang dari komunitas Cina di Indonesia sudah berjalan sangat lama,
tetapi selama ini kebanyakan dari buku-buku yang diterbitkan untuk membahas
megenai diaspora dari komunitas tersebut kebanyakan berpusat di pulau Jawa.
Sedangkan buku ini memilih kota Medan sebagai inti pembahasan dalam perjalanan
diaspora komunitas Cina, sehingga bagi saya timbul rasa penasaran mengenai cara-
cara adaptasi mereka dengan lingkungannya yang tentu akan berbeda dengan
karakteristik masyarakat Jawa seperti yang pernah saya baca. Kemudian dari
pemilihan periodesasi antara tahun 1930 sampai 1960 di mana pada saat itu juga
masih cukup tinggi intensitas permasalahan-permasalahan mengenai sentimen anti
Cina dan masalah kewarganegaraannya. Oleh karena itu, dari segi judul cukup
membuat rasa penasaran pembaca untuk mengetahui lebih dalam tentang bagaimana
dinamika kehidupan yang sebenarnya dialami oleh komunitas Cina yang ada di
Medan.
Kedua, isi dari pemaparan dalam buku ini yang ternyata lebih panjang dari
periodesasi yang dipilih oleh penulis. Meski mengambil batasan tahun yang dimulai
dari 1930, namun penulis memilih untuk menuliskan juga periode seperti masa-masa
VOC hingga awal abad 20-an untuk memperjelas kronologi peristiwa yang ingin
diulasnya. Hal ini menurut saya dapat menjadi langkah yang baik dengan tujuan agar
pembaca tidak merasa bingung dan dapat terbawa pada alur peristiwa yang dibacanya,
sebab tidak semua kalangan pembaca berasal dari orang-orang yang mempunyai
pengetahuan sejarah yang luas.
Ketiga, tujuan dari penulis untuk menuliskan buku ini adalah sedikit banyak
meluruskan hal-hal yang selama ini dianggap “benar” oleh masyarakat mengenai
komunitas Cina yang ada di Medan. Hal ini berkaitan dengan merebaknya sentimen
anti Cina dan perspektif buruk masyarakat mengenai komunitas ini. Jika membaca
pada bab-bab awal dalam buku ini, dapat terlihat kalimat-kalimat yang ditulis oleh
penulis berusaha memberikan pengetahuan baru kepada pembaca yang dapat merubah
perspektif lama tentang komunitas Cina di Medan. Disampaikan dengan sangat hati-
hati melalui kalimat-kalimatnya, penulis berusaha menjelaskan bahwa tidak semua
konflik yang terjadi antara kelompok pribumi dengan kelompok komunitas Cina
merupakan murni permasalahan budaya. Akan tetapi, di balik itu banyak faktor yang
dapat mempengaruhinya yakni permasalahan ekonomi, dan menjadi lebih buruk
ketika dalam kondisi itu beberapa pihak memanfaatkannya sebagai alat politik. Poin
ini menurut saya cukup menunjukkan sisi intelektual yang dimiliki oleh penulis.
Keempat, pendekatan sejarah yang dilakukan oleh penulis dalam penelitiannya
memungkinkan untuk mendapat informasi yang lebih banyak dan detail. Dengan tema
studi sejarah sosial selain melakukan studi literasi, beliau juga melakukan pendekatan
secara sosio-kultural yang memungkinkan untuk melakukan wawancara serta belajar
dan merekam kehidupan orang-orang Cina yang ada di Medan. Keberhasilan ini
menurut saya juga harus diapresiasi sebab tidak semua masyarakat Cina bersifat
terbuka pada orang-orang baru yang ingin mengetahui sejarah kehidupan mereka.
4. Unsur intrinsik dan ekstrinsik
Unsur-unsur intrinsik yang ada dalam buku ini adalah, tema besar yang
diambil oleh penulis yakni diaspora komunitas asing di Indonesia lebih khususnya
diaspora orang-orang Cina di kota Medan. Kemudian dalam buku ini tidak ada unsur
penokohan yang spesifik, penjelasannya disampaikan dalam bentuk narasi sejarah
yang mengulas berbagai peristiwa yang berbeda. Sedangkan alur atau plot yang
digunakan adalah alur maju, sebab periodesasi yang digunakan dimulai dari masa-
masa penjajahan kolonial Belanda sebelum abad 20 misalnya dinamika orang-orang
Cina di Indonesia pada masa VOC, kemudian berlanjut pada periode pemerintahan
kolonial Belanda, hingga masa-masa berhasil dicapainya kemerdekaan bangsa hingga
periode akhir pemerintahan Soekarno sebagai presiden Republik Indonesia di tahun
1960-an.
Sedangkan gaya bahasa yang digunakan penulis dalam buku ini adalah gaya
bahasa penegasan untuk menyatakan sesuatu hal yang ingin disampaikan penulis
secara lebih tegas sehingga memberikan kesan dan pemahaman yang lebih dalam
kepada pembaca. Misalnya beberapa kalimat menggunakan jenis majas Pleonasme
dengan mengulang kata-kata yang bermakna sama, seperti “Selain itu, orang Cina
juga berhasil membangun kehidupan sebagai masyarakat Cina sesungguhnya,
sungguh seperti di daratan Cina!”.
Lalu mengenai latar belakang, kota Medan dipilih sebagai tempat dari inti
penulisan. Sedangkan latar belakang waktu yang diambil yakni selama tiga puluh
tahun mulai dari periode tahun 1930 hingga 1960. Latar belakang suasana
berdasarkan kondisi sosial, politik, ekonomi, dan budaya masing-masing masa
pemerintahan. Dan penulis menggunakan sudut pandang ketiga dalam menjelaskan
fakta-fakta sejarah yang dimilikinya.
Sementara untuk unsur ekstrinsiknya minim sekali dijelaskan mengenai latar
belakang penulis. Dalam buku ini hanya dijelaskan bahwa penulis mendapatkan
pelatihan penelitian sejarah dari Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan
(PMB) LIPI kerja sama dengan Nederlands Instituut voor Oorlogsdocumentatie
(NIOD) Belanda selama 2 tahun, tanpa menjelaskan latar belakang pendidikan atau
kehidupan penulis.
5. Ringkasan isi buku
Buku ini adalah buku yang membahas mengenai diaspora orang-orang
komunitas Tionghoa di kota Medan sekaligus tentang cara mereka untuk beradaptasi
dengan lingkungan yang baru. Periode yang digunakan mulai dari tahun 1930 hingga
1960 yang di dalamnya beragam sekali gejolak kondisi politik yang juga berkaitan
dengan eksistensi masyarakat Tionghoa yang ada di Indonesia.
Di awal pembahasan yakni di bab pertama sebagai pendahuluan, buku ini
menggunakan subjudul Historiografi Cina yang di dalamnya mengulas tentang sejarah
panjang dari konflik antara pribumi dengan kelompok orang-orang Tionghoa. Faktor
penyebab konflik yang paling besar datang dari faktor ekonomi, masyarakat Cina
yang ada di Indonesia dipandang sebagai kelompok yang menguasai sekitar 70 persen
dari keseluruhan perekonomian dan hidupnya terkesan lebih sejahtera jika
dibandingkan dengan rakyat bumiputera. Kondisi tersebut dapat juga diperparah
apabila ada satu atau beberapa kelompok yang memanfaatkannya untuk kepentingan
politik dengan menjadikannya isu-isu baru yang dalam beberapa kajian hal ini
berkaitan dengan masalah internal dari kelompok penguasa atau juga sejarah konflik
yang dialami oleh pemerintah dengan sekelompok warga Cina.
Permasalahan ekonomi antara kelompok bumiputera dengan kelompok
Tionghoa sebenarnya sudah berjalan dari masa kekuasaan VOC hingga kemerdekaan.
Misalnya pada tahun 1740, lebih dari 10.000 jiwa masyarakat Tionghoa di Batavia
yang dibantai dengan tuduhan adanya pemberontakan kepada penguasa. Namun
sebenarnya peristiwa tersebut hanyalah pengalihan isu dari pertengkaran yang terjadi
pada anggota VOC sendiri serta melihat kemajuan dari perdagangan yang dilakukan
oleh komunitas Tionghoa yang dinilai merugikan VOC.
Beralih pada masa kolonial Belanda, ada beberapa faktor baru yang
menyebabkan konflik dengan komunitas Tionghoa terus berlanjut. Misalnya pada
masa itu pemerintah Belanda menempatkan posisi warga asing seperti Arab, India,
dan termasuk juga orang-orang Tionghoa dalam kelas sosial kedua setelah orang-
orang dari kelompok bangsa Eropa, dan kelompok bumiputera berada di posisi paling
akhir. Kelompok etnis asing diberi kesempatan untuk memimpin dengan gelar
kapitan, sementara kelompok bumiputera memiliki gelar komandan. Dan kelompok
bumiputera hanya memiliki kesempatan itu hingga tahun 1828, sementara kelompok
etnis Tionghoa lebih dari 100 tahun sesudahnya masih memiliki kesempatan itu.
Kajian mengenai kelompok etnis Tionghoa di Indonesia kebanyakan berfokus
pada tema-tema besar seperti politik dan jangkauan ruang lingkupnya yang besar
sehingga menimbulkan stigma yang “sama” terhadap kelompok etnis Tionghoa,
padahal kehidupan orang-orang Tionghoa di kota-kota kecil sangat berbeda dan
memiliki keunikan sifat masing-masing yang sesuai dengan lingkungannya. Awal
kedatangan orang-orang komunitas Tionghoa di Medan bermula pada dibukanya
perkebunan-perkebunan yang membutuhkan banyak tenaga kerja sehingga menarik
kelompok Cina untuk dapat bekerja di wilayah itu. Situasi politik yang panas di
negara Cina sendiri pada saat itu juga menjadi faktor penting kedatangan orang-orang
Tionghoa di Medan dan dibukanya pintu imigrasi dari pemerintah Hindia Belanda.
Tidak hanya mengandalkan pekerjaan sebagai buruh perkebunan, masyarakat
etnis Tionghoa juga memanfaatkannya dengan berdagang dan mendirikan usaha-
usaha kecil. Di masa setelahnya, pemerintah semakin menambah kebebasan bagi
orang-orang Tionghoa untuk mendirikan pemukimannya sendiri di wilayah
perantauannya. Dari peristiwa inilah pada akhirnya terbentuk istilah “Cina Medan”.
Sedangkan kondisi penduduk di kota Medan sendiri memang sudah
didominasi oleh kelompok perantau sejak lama, bahkan separuh dari jumlah
keseluruhan penduduknya merupakan kelompok pendatang. Sementara warga asli
kebanyakan bermukim di wilayah swapraja, mereka terkesan hidup dalam kurungan
wilayah yang sengaja dibuat oleh pemerintah Belanda dan mengembangkan
kehidupannya secara tradisional. Jadi di wilayah Medan dapat dikatakan sebagai
masyarakat majemuk di mana berbagai etnis dan suku hidup berdampingan tetapi
tidak saling tercampur. Proses pertemuan antara kelompok warga asli dengan
kelompok perantau hanya terjadi di wilayah pasar sebagai tuntutan kehidupan untuk
melaksanakan kegiatan jual beli demi menunjang kebutuhannya. Namun dinamika
sosial antara kelompok warga asli dengan kelompok perantau khususnya etnis
Tionghoa juga tak jarang memanas sebagai akibat politik yang dilakukan oleh
pemerintah Hindia Belanda dengan memberikan perlakuan khusus kepada etnis
Tionghoa.
Kemudian di bab kedua barulah dijelaskan secara detail mengenai awal mula
kedatangan orang-orang Tionghoa hingga kisaran awal abad 19. Sebenarnya
kedatangan bangsa Cina di Nusantara sudah bermula di awal abad Masehi yang ketika
itu Jung atau kapal Cina sudah lebih dulu berlayar dan singgah di pelabuhan kota-kota
Nusantara. Tetapi karena pada saat itu masih minim bukti maupun tulisan mengenai
kapal ini jadi belum terlalu banyak diketahui. Lalu dua abad setelah peristiwa itu,
seorang warga Cina bernama Fa Hsien sempat menetap di pulau Jawa selama tiga
tahun lamanya, dan dari sanalah ia mulai menuliskan perjalanannya mengenai
aktivitas pelayaran, perdagangan, maupun diplomasi antara Nusantara dengan
kekaisaran Cina.
Hubungan tersebut berlanjut hingga masa kerajaan, yang tetap terjalin baik
antar keduanya. Di Sumatera Timur tepatnya kota Medan pada saat itu berdiri
kerajaan Haru, yang di wilayah ini banyak pendatang Cina membangun
pemukimannya terutama di wilayah bagian Deli dan Delitua. Salah satu kampungnya
bernama “Kotacina” yang menyimpan banyak sekali bukti-buki sejarah mengenai
kedatangan perantau Cina di tanah Sumatera tersebut. Berlanjut pada masa
pemerintahan Hindia Belanda, banyak dari perantau Cina berprofesi sebagai kuli
kontrak dalam beberapa perkebunan tembakau milik pemerintah. Alasan pemerintah
menggunakan tenaga kerja asing dalam mengurus perkebunan adalah ketidakmauan
kaum bumiputera untuk bekerja di perkebunan karena permasalahan upah. Awalnya
penggunaan tenaga kerja Cina hanyalah sebuah percobaan bagi pemerintah untuk
mencapai targetnya dalam menghasilkan tembakau, namun dalam prosesnya hasil
kerja kuli-kuli Cina dapat dikatakan cukup baik. Padahal pada saat itu banyak dari
kuli-kuli Cina tersebut masih awam dan tidak mengerti mengenai sistem yang
dijalankan dalam suatu perkebunan. Dari hasil inilah pemerintah Hindia Belanda
melanjutkan kontrak untuk memakai tenaga kerja Cina dan terus menerus
menunjukkan hasil yang bagus, sehingga para perantau dari Cina terus di datangkan
untuk bekerja di sektor perkebunan.
Sifat-sifat dari pekerja Cina yang dianggap gigih dan memiliki etos kerja yang
baik membuat kelompok orang-orang Cina mampu bertahan dan beradaptasi dengan
lingkungan perkebunan yang keras. Namun hubungan baik tersebut nampaknya mulai
memudar ketika pemerintah Belanda berusaha untuk membuat aturan hukum yang
mengikat para kuli dengan dibuatnya sistem kontrak dan ordonansi kuli atas dorongan
dari pemilik modal. Semua kuli yang tidak bekerja, melakukan pelanggaran peraturan
maka akan mendapatkan sanksi berupa hukuman dan denda, sehingga muncul sifat
eksploitasi yang lama-lama semakin disadari oleh kuli-kuli Cina. Sesudahnya tingkat
imigrasi perantau Cina ke wilayah Deli berangsur menurun dari waktu ke waktu
hingga pemerintah merasa kekurangan tenaga kerja. Hingga pemerintah mengutus
bawahannya untuk membujuk bahkan hingga menipu para kuli agar mau datang ke
wilayah perkebunan di Deli dengan cara awal adalah merayu mereka untuk menonton
film kemudian langsung dimasukkan ke kapal yang siap berlayar.
Melalui penipuan itu, kuli-kuli dari Cina merasa sangat tertipu dan memilih
untuk melakukan pemberontakan yang dinilai sangat berani. Sedangkan untuk
mengatasi permasalahan ini, pemerintah berusaha memutar balikkan fakta dengan
memberikan stigma buruk terhadap pekerja dari Cina. Mereka dituduh sebagai
kelompok pengecut yang suka berkomplot, suka membuat keributan, pemarah, dan
pengomel. Pembentukan stigma ini berlanjut hingga berpuluh-puluh tahun setelahnya.
Dalam bab kedua pembahasan lebih spesifik mengenai dinamika yang dialami
oleh kelompok etnis Tionghoa di kota Medan periode tahun 1930 hingga 1960.
Dengan adanya pembukaan dan perkembangan perkebunan tembakau yang sangat
pesat pada era tahun 1880-an membuat kota Medan juga turut berkembang. Kota ini
mengalami pertumbuhan ekonomi yang sangat cepat dari para penanam modal di
industri perkebunan sehingga mendukung kota Medan untuk tumbuh seperti kota-kota
Eropa sebagai pusat administrasi. Begitu juga dengan perkampungan yang dimiliki
kota ini juga semakin diperluas tak hanya di wilayah Deli dan sekitarnya, sehingga
berjalannya waktu kota Medan dapat disebut sebagai kota yang mengalami
modernisasi dalam banyak hal termasuk juga memiliki ciri-ciri kebaratan. Periode
paruh pertama abad 20 juga menjadi momentum naiknya pertumbuhan ekonomi
dengan sangat cepat dari perkembangan tanaman yang ada, sehingga hal ini menarik
perhatian banyak perantau untuk datang dan beradu nasib di kota ini termasuk juga
masyarakat Jawa. Sehingga kondisi ini menyebabkan pertumbuhan penduduk sekitar
dua kali lipat dari jumlah penduduk awal.
Sedangkan dinamika politik yang dialami komunitas Tionghoa di Medan juga
sangat beragam. Bagi orang-orang Tionghoa yang tergolong dalam kelompok miskin
di daerah perantauan maka isu-isu atau hal-hal yang berkaitan dengan politik
dianggap sebagai sesuatu yang tidak terlalu penting bagi mereka, berbanding terbalik
dengan kelompok elite Cina yang merasa kondisi politik sangat berpengaruh pada
kehidupan mereka. Dipengaruhi kondisi politik di Cina yang memanas dengan adanya
revolusi mengenai nasionalisme sekitar tahun 1911 memberi dampak juga terhadap
orang-orang cina yang ada di perantauan. Mereka terpecah menjadi dua kelompok
yang masing-masing memiliki kekuatan besar yakni kelompok peranakan Cina dan
kelompok Cina totok yang memiliki definisi bukan dari perkawinan campuran. Di
Medan, kelompok Cina totok memiliki jumlah yang lebih besar sehingga
memungkinkan untuk kebudayaan Cina semakin berkembang di kota ini. Tetapi
kebanyakan dari mereka memilih untuk bergabung dengan kelompok asosiasi Cina
yang ada di Medan. Setelah perseteruan mereda, kondisi politik orang-orang
Tionghoa di Medan kembali stabil. Bahkan terus berkembang hingga mereka dapat
menempati posisi dewan kota, dewan kebudayaan, atau juga menguasai sektor
perdagangan di antara partai-partai besar misalnya usaha ekspor-impor. Posisi inilah
yang kemudian memunculkan istilah “borjuasi dagang” terhadap kelompok Tionghoa.
Keberhasilan orang-orang Tionghoa pada saat itu justru semakin menambah
segregasi yang timbul dengan kelompok perantau lainnya terutama perantau dari
Jawa. Sebenarnya permasalahan tetap bermula dari peristiwa penipuan yang
dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda melalui sistem kontrak kuli, sebagai
sesama pekerja perkebunan tetapi antara kedua kelompok perantau sangat minim
berinteraksi. Sehingga orang-orang Jawa tetap memandang kelompok perantau Cina
sebagai kelompok yang sinis, sombong, dan cerewet. Sebaliknya, orang-orang Cina
juga mempunyai pandangannya sendiri terhadap orang-orang Jawa yang mereka
anggap bodoh dan derajat sosialnya lebih rendah dari kelompok mereka. Prasangka-
prasangka tersebut bertahan cukup lama dalam masing-masing kelompok yang
apabila terdapat pemicunya maka pertikaian hebat bisa terjadi kapan saja.
Sebenarnya sentimen antara perantau Cina dengan perantau Jawa hanyalah
permasalahan pembagian kerja, pemerintah Hindia Belanda lebih mengutamakan
menggunakan tenaga kerja Cina dan selalu menempatkan mereka pada posisi utama,
perantau Jawa merasa didiskriminasi. Kebencian ini kemudian dilampiaskan dalam
bentuan makian maupun ejekan kepada kelompok Cina dengan istilah “babi”.
Penggunaan istilah babi untuk merujuk pada sifat kotor, rakus, dan haram jika
dihubungkan dengan agama Islam yang pada saat itu banyak dianut oleh orang-orang
Jawa. Namun ejekan ini tidak lantas meruntuhkan mental orang-orang Cina yang ada
di Medan, melainkan mereka justru membentuk solidaritas yang makin kuat antar
sesamanya dan hal ini menjadi kekuatan tersendiri bagi mereka dan dalam pandangan
kelompok lain.
Dari periode tahun 1930 hingga 1940-an situasi tersebut tidak banyak berubah,
dengan kekuatan yang makin solid dalam kelompok Cina mereka tetap bisa bertahan
bahkan jauh di atas pribumi. Pedagang-pedagang Cina tetap bisa menguasai
perekonomian pasar, hal ini tak lepas dari pembentukan kasta sosial yang dilakukan
oleh pemerintah untuk memecah belah bangsa. Privilege yang diberikan seakan-akan
membuat kelompok Cina menjadi penghambat bagi perkembangan masyarakat
pribumi. Sehingga sesuai dengan harapan pemerintah kolonial stigma negatif terhadap
kelompok Cina akan tetap bertahan. Simbol sekaligus tanda pengikat solidaritas yang
kuat dalam berbagai kelompok yang ada di Medan adalah kesatuan etnisitas sebab
daerah ini memang lebih didominasi dengan jumlah perantaunya.
Pada masa pemerintahan Jepang, kondisi yang sangat kontras dialami oleh
kelompok perantau Cina di kota Medan. Jika pemerintah Belanda memilih untuk
memberikan keistimewaan pada kelompok Cina, maka tidak begitu dengan
pemerintah Jepang. Mereka memilih untuk mengawasi secara ketat siapapun dan dari
kelompok manapun. Apabila seorang melakukan kesalahan yang dianggap fatal maka
akan langsung diberikan hukuman dari pemerintah Jepang.
Jepang nampaknya tidak akan membiarkan kelompok Cina menguasai lagi
sektor perdagangan. Melihat potensi kebencian kalangan bumiputera kepada
kelompok perantau Cina maka hal tersebut segera dimanfaatkan oleh Jepang. Toko-
toko yang dimiliki orang-orang Cina dibiarkan dijarah bahkan membukakan pintu
bagi mereka yang ingin menjarah. Dan orang-orang kaya dari kelompok Cina juga
dipaksa untuk menyumbangkan harta benda mereka dengan tujuan membantu
administrasi Jepang yang digunakan untuk keperluan perang. Begitu juga dengan
kondisi politik, Jepang melarang segala bentuk organisasi maupun partai yang
mengatasnamakan Cina untuk beroperasi dan segera dibubarkan. Saat itu tekanan
mental dan sosial yang dialami kelompok etnis Cina akibat pendudukan Jepang dirasa
semakin buruk. Tidak ada pilihan lain bagi orang-orang Cina selain mencoba bekerja
sama dengan Jepang. Mereka melepas semua embel-embel Belanda yang masih
melekat dalam diri mereka termasuk mengganti nama mereka dengan nama Cina asli.
Mereka juga berusaha mengurangi kontak dengan pemerintah Jepang seminim
mungkin. Namun di samping itu masih ada beberapa perantau Cina yang
diperbolehkan Jepang untuk melakukan kegiatan perdagangan di sektor ekspor-impor
dan berdagang di areka kamp untuk perantau Cina.
Setelah masa pendudukan Jepang berakhir akibat serangan dari sekutu, bangsa
Indonesia berhasil meraih kemerdekaan bangsanya sendiri. Kelompok etnis Cina di
Medan yang sebelumnya masih mengalami trauma akibat penjarahan besar-besaran
yang dialami dalam periode sebelumnya memilih untuk tidak tergesa-gesa dengan
adanya kabar kemerdekaan. Mereka masih takut untuk membuka toko-tokonya,
kawasan pecinan di Medan pada masa ini terlihat sangat sepi. Kondisi ini bertahan
hingga masa revolusi dengan sentiment anti Cina yang terus berkembang dalam
masyarakat bumiputera.
Namun pada periode revolusi tersebut terdapat hubungan lain yang terkesan
lebih harmonis yang dibentuk oleh kelompok bumiputera yang memilih untuk tidak
membenci kelompok Cina. Kelompok bumiputera merasa mereka masih
membutuhkan kelompok Cina untuk dapat memasarkan produksinya sementara
kelompok Cina membutuhkan bumiputera untuk memutar modal pasarnya.
6. Kelebihan dan kekurangan buku
Kelebihan yang terdapat dalam buku ini terletak pada fakta-fakta sejarah yang
diungkap dan dituliskan kembali oleh penulis dengan sangat detail yang tentunya
telah melalui proses kritik pada sumber-sumber yang ditemukannya sehingga
pernyataan-pernyataannya menjadi lebih faktual. Penulis berusaha untuk
menyambungkan benang merah dari apa yang sudah dibaca dan didengar dengan
realita-realita yang didapatnya ketika melakukan wawancara dengan orang-orang
komunitas tionghoa yang ada di Medan. Selain itu tema yang diambil juga sangat
menarik sehingga dapat memberikan pengetahuan-pengetahuan baru bagi
pembacanya. Juga penggunaan banyak referensi dalam buku ini juga dapat sangat
bermanfaat untuk menambah daftar bacaan pembaca yang ingin mengetahui lebih
banyak referensi yang berkaitan dengan tema. Pemilihan warna dalam cover buku
juga menjadi salah satu hal yang harus diapresiasi selain isi buku, warna yang
dominan merah dan kuning juga melambangkan komunitas Tionghoa itu sendiri serta
penggunaan media gambar dalam isi buku juga dapat memperjelas informasi yang
didapatkan pembaca.
Sedangkan untuk kekurangannya adalah kalimat-kalimat yang digunakan
penulis dalam penjelasannya terlalu panjang sehingga ketika banyak kalimat yang
diulang dalam sebuah tulisan menurut saya menjadi sedikit membosankan untuk
dibaca.
7. Kesimpulan
Melalui segala ulasan dalam bentuk poin-poin yang telah dijelaskan
sebelumnya, secara keseluruhan buku ini sangat bagus dalam menyajikan fakta
dinamika peristiwa serta cara-cara adaptasi yang dilakukan orang-orang komunitas
Tionghoa di kota Medan dengan kelompok pribumi pada masa itu. Bagi pembaca
yang memang tertarik dengan bidang sejarah khususnya mengenai diaspora dan
perkembangan etnis di Indonesia maka sangat direkomendasikan untuk membaca
buku ini sebab struktur dan kualitas isi yang menarik untuk dipahami. Kisaran umur
dari pembaca untuk dapat menyerap informasi-informasi di dalam buku ini adalah
usia remaja hingga dewasa. Namun, selain penggemar dari buku-buku sejarah,
pembaca umum juga sangat direkomendasikan untuk membaca buku karena akan
banyak sekali mendapatkan informasi baru dan menarik setelah membaca buku ini.
Kemudian pembaca juga dapat membandingkan buku ini dengan buku
“Tionghoa Medan (Komunitas Paling Kontroversial di Indonesia)”, yang ditulis oleh
Effendi Setiawan dan terbit pada tahun 2018. Tidak lain tujuannya adalah untuk
membandingkan secara akademik mengenai isi buku sebab memiliki kesamaan tema
serta dalam rangka memperluas wawasan yang ada.

Anda mungkin juga menyukai