Anda di halaman 1dari 106

SKRIPSI

PERKAWINAN ADAT SUKU BAJO (STUDI KAWIN LARI DI DESA

MASADIAN, KECAMATAN MENUI KEPULAUAN, KABUPATEN

MOROWALI, SULAWESI TENGAH

OLEH

FEBRIANTI

N1A116101

JURUSAN ANRTOPOLOGI SOSIAL

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS HALU OLEO

KENDARI

2022
HALAMAN PERSETUJUAN

Telah diperiksa dan disetujui oleh dosen pembimbing untuk dipertahankan

pada ujian Skripsi pada Jurusan Antropologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas

Halu Oleo

Judul : PERKAWINAN ADAT ORANG BAJO (STUDI


KAWIN LARI DI DESA MASADIAN,
KECAMATAN MENUI KEPULAUANKABUPATEN
MOROWALI, SULAWESI TENGAH
Nama : Febrianti

Stambuk : N1A116101

Jurusan/Program Studi : Antropologi

Fakultas : Ilmu Budaya

Kendari, 17 Juli 2023

Menyetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

Ashmarita, S.Sos, M.Si Abdul Jalil, S.H.I., M.A.M. E,I


NIP. 19760930200212001 NIP. 19790605 201504 1 002

Mengetahui :

Ketua Jurusan/Program Studi


Anrtopologi

Dr. La Ode Topo Jers., M.Si


NIP. 19681231 200212 1 043
PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa :

1. Karya tulis saya, skripsi ini adalah asli dan belum pernah diajukan untuk

mendapat gelar akademik, (diploma, sarjana, magister dan doktor) di

Universitas Halu Oleo maupun perguruan tinggi lainnya.

2. Karya tulis ini adalah murni gagasan rumusan (pemikiran) dan penelitian

karya sendiri, dengan tanpa bantuan pihak orang lain kecuali arahan Tim

Pembimbing, dan masukan Tim Penguji.

3. Dalam karya tulis ini tidak terdapat karya atau (didukung oleh) pendapat

(Ahli) yang ditulis atau dipublikasikan oleh orang lain, kecuali secara

tertulis dengan jelas dicantumkan sebagai acuan dalam naskah dengan

disebutkan nama pengarang dengan di cantumkan dengan daftar pustaka.

4. Pernyataan ini saya buat dengan sesungguh-sungguhnya dan apabila di

kemudian hari terdapat penyimpangan dan ketidak benaran dalam

pernyataan ini, maka saya bersedia menerima sanksi akademik sesuai

dengan norma yang berlaku di perguruan tinggi.

Kendari, 17 Juli 2023

Yang membuat pertanyaan

Febrianti
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Puji syukur atas kehadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala karena berkat rahmat

dan hidayah-NYA lah, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan

judul “Perkawinan Adat Suku Bajo (Studi Kawin Lari Di Desa Masadian,

Kecamatan Menui Kepulauan, Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah) “.

Shalawat serta salam tidak lupa pula kita sampaikan kepada junjungan besar Nabi

Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam, karena atas perjuangan nya lah

sehingga kita dapat merasakan nikmat Islam yang kita rasakan pada saat ini.

Pertama-tama penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada orang tua

yang sangat berperan penting dalam hidup penulis, Bapak Muhammadong

S.P.d.i , yang sangat saya cintai dan sayangi dan Ibunda saya Raida . Terima kasih

atas Do’a dan dukungan yang di berikan kepada penulis. Karena berkat dorongan

motivasi serta doa yang tak henti-hentinya di berikan kepada penulis, sehingga

penulis bersemangat untuk menyelesaikan Tugas Akhir ini. Dan tidak lupa pula

kepada saudara saya Bintang Pratiwi yang tidak ada henti-hentinya memberi

dukungan dan selalu mendorong untuk menyelesaikan studi ini.

Selanjutnaya penulis ingin mengucapkan terima kasih pada orang tua saya

di bangku Pendidikan Tinggi di Universitas Halu Oleo, Fakultas Ilmu Budaya,

yang sangat berjasa pada pada tulisan ini .Yang terhormat kepada Ibu Ashmarita,

S.Sos, M.Si, selaku dosen pembimbing 1 yang telah banyak meluangkan waktu,

pikiran dan tenaga serta dukungan untuk memberikan arahan dan bimbingan

kepada penulis sehingga Tugas Akhir ini dapat terselesaikan. Tak lupa pula
kepada Bapak Abdul Jalil, S.H.I., M.A.M.E,I, selaku pembimbing 2 dalam

penulisan tugas akhir ini.Terima kasih atas kesabaran, dukungan dan bimbingan

sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini.

Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada berbagai pihak yang

langsung ataupun yang tidak langsung membantu penulis dalam penyusunan tugas

akhir ini, terutama kepada :

1. Prof. Dr. Muhammad Zamrun F.S.Si., M.Si., M.Sc. Selaku Rektor

Universitas Halu Oleo.

2. Dr. Akhmad Marhadi, S.Sos., M.Si . Selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya

Universitas Halu Oleo.

3. Dr. La Ode Topo Jers., M.Si Selaku Ketua Jurusan Antropologi, Fakultas

Ilmu Budaya, Universitas Halu Oleo yang telah memberi nasehat dan

mempermudah administrasi di lingkup jurusan.

4. Segenap dosen antropologi yang telah memberikan masukan dan kritik dalam

penyusunan skripsi ini.

5. Seluruh Staf Administrasi/ Pegawai dalam lingkungan Fakultas Ilmu Budaya

Universitas Halu Oleo, yang telah memberikan layanan administrasi pada

penulis.

6. Kepada Kepala Desa Bapak Rahmat S. , Toko Adat Bapak Mustaring dan

masyarakat desa masadian yang sebagai pelaku kawin lari yakni Bapak Muis,

Bapak Mansur, Bapak Jumasri , Bapak Marsel, Bapak Ruslan, Bapak Ikbal,

Bapak Idham, Bapak Muhlis , Bapak Sakaria , Bapak Herman . Terima kasih

atas pelayanannya kepada penulis selama peneitian.


7. Kepada Teman saya Sitti Iftiria Wallaston S.Sos Terima kasih atas dukungan

dan saran-saran yang diberikan kepada penulis.

8. Teman- teman Antropologi angkatan 2016 Terima kasih telah menjadi saudara,

sahabat, kawan dan lawan penulis. Terima kasih atas dukungan dan saran-saran

yang diberikan kepada penulis.

Terima kasih kepada semua pihak yang tidak dapat penulis sebut satu

persatu, terima kasih telah membantu penulis dalam menyelesaikan tugas akhir

ini. Sekali lagi terima kasih atas dukungannya. Penulis sangat mengharapkan

adanya kritikan dan saran terkait tulisan ini agar dapat disempurnakan

sebagaimana mestinya.

Kendari, 17 Juli 2023

Febrianti

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis adat


kawin lari dan faktor penyebab terjadinya kawin lari pada S u k u Bajo di
Desa Masadian, Kecamatan Menui Kepulauan, Kabupaten Morowali.
Penelitian ini menggunakan teori Max Weber yakni individu dalam masyarakat
merupakan aktor yang kreatif dan realitas sosial bukan merupakan alat
yang statis daripada paksaan sosial.Artinya tindakan manusia tidak
sepenuhnya ditentukan oleh norma, kebiasaan, nilai, dan sebagainya yang
tercakup dalam konsep faktasosial. Teknik pengumpulan data dilakukan
dengan menggunakan pengamatan dan wawancara mendalam . Data yang
diperoleh dianalisis secara deskriptif kualitatif. Analisis data dimaksudkan untuk
menyederhanakan data yang diperoleh ke dalam bentuk yang lebih mudah dibaca
dan diinterpretasikan. Hasil dari penelitian ini adalah pada Proses pelaksanaan
adat perkawinan suku Bajo di Desa Masadian terdapat dua proses perkawinan
yakni dengan proses peminangan dan proses kawin lari. Pada proses peminangan
terdapat beberapa tahap yaitu pemilihan Jodoh , penjajakan (tilau lalang),
peminangan (Massuro) , pembayaran ongkos, malam pacar (pabbarrang), upacara
adat perkawinan (pesta perkawinan) , sedangkan pada proses perkawinan dengan
kawin lari (Silaiyang) terdapat beberapa tahap yaitu pasangan pergi ke rumah
tokoh adat untuk melakukan kawin lari (Silaiyang), pembayaran ongkos
perkawinan(Nyoroh), mempersiapkan alat dan bahan dan akad nikah (Panikkang).
Adapun faktor yang menyebabkan kawin lari atau silaiyang yakni 1) Syarat dan
pembiayaan yang tidak dapat dipenuhi, 2) Perempuan belum diizinkan berumah
tangga, 3) Laki-laki atau perempuan telah dijodohkan, 4) Keluarga perempuan
menolak lamaran pihak laki-laki, 5) Perempuan telah hamil diluar nikah.

Kata Kunci : Suku Bajo, Adat,Faktor, Kawin Lari, Tradisi, Max Weber

ABSTRACT

This study aims to describe and analyze the custom of elopement and the
factors that cause elopement among Bajo people in Masadian Village, Menui
Islands District, Morowali Regency. This research uses Max Weber's theory. Data
collection techniques were carried out using observation and in-depth interviews.
The data obtained were analyzed descriptively qualitatively. Data analysis is
intended to simplify the data obtained into a form that is easier to read and
interpret.
The result of this research is that in the process of implementing the Bajo
tribal marriage customs in Masadian Village, there are two marriage processes,
namely the proposing process and the elopement process. In the proposal process
there are several stages, namely the selection of mate, assessment (tilau lalang),
proposal (Massuro), payment of fees, girlfriend's night (pabbarrang), traditional
marriage ceremonies (wedding party), while in the marriage process by elopement
(Silaiyang) there are several The stage is that the couple goes to the traditional
leader's house to elope (Silaiyang), pay the wedding fee (Nyoroh), prepare tools
and materials and the marriage contract (Panikkang). There are several factors that
cause elopement or marriage, namely 1) conditions and financing that cannot be
met, 2) women have not been allowed to marry, 3) men or women have been
betrothed, 4) women's families reject the man's application, 5 ) women have
become pregnant out of wedlock.

Keywords: Bajo Tribe, Marriage, Factor, Custom, Max Weber

DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL .................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN ........................................................................ ii
HALAMAN PERNYATAAN.......................................................................... iii
KATA PENGANTAR...................................................................................... vi
ABSTRAK........................................................................................................ vii
ABSTRACT..................................................................................................... viii
DAFTAR ISI ................................................................................................... ix
DAFTAR TABEL ........................................................................................... xii
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xiii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .......................................................................... 5
1.3 Tujuan Penelitian ............................................................................ 5
1.4 Manfaat Penelitian .......................................................................... 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LADASAN TEORI DAN
KERANGKA PIKIR ………………...........................
…………………………… 7
2.1 Tinjauan Pustaka ............................................................................ 7
2.1.1 Adat …………………………........................…………...
…………….. 7
2.1.2 Tradisi …………………………........................
……………………….. 8
2.1.3 Konsep Kawin Lari …………….................
………………………. 9
2.1.4 Penelitian Relevan …………….................
………………………… 14
2.2 Landasan Teori ............................................................................... 22
2.3 Kerangka Pikir ............................................................................. 24
BAB III METODE PENELITIAN……………….........................
……………………… 26
3.1 Lokasi Penelitian ............................................................................. 26
3.2 Teknik Penentuan Informan ............................................................ 26
3.3 Teknik Pengumpulan Data .............................................................. 27
3.3.1 Pengamatan Terlibat (Observation Participation)............... 28
3.3.2 Wawancara Mendalam (Indepth Interviuw)............................ 29
3.4 Teknik Analisis Data........................................................................ 31
BAB IV GAMBARAN UMUM DESA MASADIAN………...................
……………... 33
4.1 Sejarah Desa Masadian ................................................................... 33
4.2 Lokasi dan Lingkungan Alam ......................................................... 35
4.3 Keadaan Demografi.......................................................................... 36
4.3.1 Jumlah Penduduk…………………...................
…………………………… 36
4.3.2. Komposisi Penduduk……………………….................
………………….. 36
4.4 Jumlah Kasus Kawin Lari............................................................... 40
4.5. Perkawinan Pada Masyarakat Suku Bajo….....…………………….
42
4.6 Agama dan Kepercayaan ................................................................. 44
4.6.1 Agama Dan Kepercayaan........................................................ 44
4.6.2 Bahasa..................................................................................... 46
4.6.3 Adat Istiadat............................................................................ 47
BAB V KAWIN LARI PADA ADAT SUKU BAJO……….................
………….. 49
5.1. Perkawinan Kawin Lari (Silaiyang) ................................................ 52
5.1.1 Pasangan Pergi Ke Rumah Tokoh Adat Dengan Melakukan
Kawin Lari (Silaiyang)…………………………….
………………….......……….. 55
5.1.2. Pembayaran ongkos perkawinan (nyoroh)............................ 56
5.1.3. Mempersiapkan alat dan bahan............................................. 57
5.1.4 Akad Nikah (Panikkaang)...................................................... 58
5.2 . Faktor Terjadinya Kawin Lari (Silaiyang).................................... 58
5.2.1. Syarat dan Pembiayaan Yang Tidak Dapat Dipenuhi ..... 59
5.2.2. Salah Satu Pihak Bukan Keturunan Bangsawan. ......... 62
5.2.3 Laki-Laki atau Perempuan Telah Dijodohkan.................. 63
5.2.4. Keluarga Perempuan Menolak Lamaran Pihak Laki-Laki67
5.2.5. Perempuan Hamil Diluar Nikah………………........…..…...
……. 70
BAB VI PENUTUP......................................................................................... 72
6.1 Kesimpulan ...................................................................................... 72
6.2 Saran ................................................................................................ 73
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
No Halaman
1. Jenis penduduk berdasarkan umur dan jenis kelamin Desa Masadian
Kecamatan Menu, Kepulauan Kabupaten Morowali Tahun
2021…………………….................................
………………………………………..………….. 37
2.Jenis penduduk berdasarkan mata pencaharian Desa Masadian Kecamata Menui
Kabupaten Morowali Tahun
2020…………………………….................................…………….
……………………………….. 38
3.Komposisi penduduk menurut tingkatpendidikan Di Desa Masadian Kecamatan
Menui Kepulauan Kabupaten Morowali Tahun 2020……………..
….......................…….............................................................. 39
4.Pasangan Kawin Lari Dalam Jangka Waktu Tahun 2019-2021, Di Desa
Masadian Kecamatan Menui Kepulauan Kabupaten
Morowal……………………………………………................................
…………………..…… 40
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Bagan Kerangka Pikir ............................................................... 25
Gambar 5.1 Foto Pasangan Kawin Lari ....................................................... 66
Gambar 5.2 Foto Buku Nikah........................................................................ 66
BAB I

PENDAHULUAN

Pembahasan pada bab ini meliputi beberapa sub bab diantaranya yaitu,

latar belakang penelitian, rumusan masalah yang menjadi fokus penelitian, tujuan

penelitian, manfaat penelitian yang meliputi manfaat teoritis dan manfaat praktis

sehingga dilakukannya penelitian terkait Kawin Lari di Desa Masadian.

1.1 Latar Belakang

Manusia sebagai mahluk sosial tentu memiliki keinginan untuk menjalani

kehidupan bersama dengan manusia lain. Salah satu cara yang dilakukan adalah

dengan membentuk sebuah keluarga diawali dengan sebuah perkawinan. Dalam

bahasa Indonesia, perkawinan berasal dari kata “kawin” yang menurut bahasa

artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis, melakukan hubungan kelamin

atau bersetubuh ( KBI,2007) . Tujuan dari perkawinan adalah membentuk rumah

tangga dan memperoleh keturunan yang merupakan penerus. Pernikahan

diharapkan dapat sah terbentuk sebagai dasar terbangunnya rasa bahagia aman

dan sejahtera (Irfan,2015). Perkawinan diatur berdasarkan tata tertib yang berlaku

dalam masyarakat tentu berbeda-beda antara satu suku atau budaya dengan

budaya yang lain,antara agama yang satu dengan yang lain, sehingga dapat

dikatakan bahwa perkawinan sangat dipengaruhi oleh budaya, kepercayaan dan

lingkungan dimana perkawinan itu terjadi. Bentuk perkawinan diantaranya adalah


perkawinan jujur,perkawinan semenda, perkawinan bebas (mandiri), dan

perkawinan campuran, serta perkawinan lari. (Ridwan,2004)

Kawin lari banyak terjadi dan dilakukan di berbagai wilayah Indonesia,

seperti pada wilayah Makassar kawin lari dikenal dengan istilah silariang,

daerah Muna kawin lari dikenal dengan istilah pofileigho, dan masih banyak

daerah yang melakukan perkawinan dengan cara kawin lari. Terlepas dari

perbedaan nama kawin lari di berbagai daerah tersebut, namun semuanya

memiliki arti dan pengertian yang sama yaitu dilakukan oleh seorang

pasangan laki-laki dengan membawa keluar seorang gadis dari rumahnya

untuk dinikahi dengan cara sembunyi-sembunyi tanpa sepengetahuan keluarga

masing-masing. Akan tetapi yang membedakan kawin lari dari berbagai

wilayah tersebut adalah tempat dan aturan adat yang berlaku pada setiap

daerah terhadap yang melakukan kawin lari tersebut.

Pada Desa Sukaraja Kecamatan Pedamaran Kabupaten Ogan

Komering Ilir, salah satu adat yang dilakukan dalam pernikahan kawin lari

(belarian) yaitu adat pengampahan, yaitu denda yang harus dibayar oleh

keluarga si bujang kepada keluarga si gadis serta pemerintah setempat

berupa tiga ekor ayam dan dua rangkai kelapa (Purnamasari, 2018).

Kemudian dalam adat orang Tolaki Mombolasuako atau kawin lari

yang terjadi karena seorang laki-laki membawa lari seorang gadis untuk

dinikahi. Jika hal itu terjadi maka adat yang harus dilakukan adalah

rembinggare (adat penghalang kaki supaya jangan bergerak) ruo mata

yakni dua lembar sarung, sokei (denda adat) aso kasu yakni satu pis kain
kaci, peosawaakoa (adat peredam amarah) aso kasu yakni satu ekor

kerbau, dan pekopu (adat penyerahan anak kepada orang tuanya) ruo

mata yakni satu lembar baju perempuan dan satu lembar kain Panjang.

Desa Masadian merupakan daerah desa pesisir pantai yang rata ketinggian

air laut diperkirakan sekitar 2 km dari permukaan, dan Desa Masadian ini berada

pada kawasan daratan rendah. Ada beberapa budaya pernikahan pada

masyarakat Masadian, yakni terdapat dua jenis pernikahan adat, yaitu

dilamar (dipassuroang) dan kawin lari (silayyang). Umumnya adat

pernikahan dilamar (dipassuroang) dimulai dengan acara lamaran,

penentuan hari pernikahan sampai pada acara atau pesta pernikahan

dilaksanakan. Sementara kawin lari (silayyang), dilakukan oleh seorang

laki-laki dan perempuan pada malam hari, saat keluarga mereka lengah dan

orang sudah terlelap tidur tanpa diketahui oleh orang tua atau keluarga dari

pihak perempuan maupun keluarga laki-laki. Kawin Lari (silayyang) dari

tahun ke tahun terus menunjukan peningkatan. Pada tahun 2019 sampai dengan

tahun 2021 terdapat 12 pasang muda-mudi yang melakukan silayyang tersebut

yang pada umumnya yang melakukan kawin lari adalah anak-anak yang putus

atau tidak sekolah bahkan anak masih dibawah umur. Laki-laki dan perempuan

yang akan melakukan kawin lari Silayang akan dijemput si laki-laki dengan tujuan

membawanya menuju ke rumah Imam, ke salah-satu rumah warga, atau

kerabat laki-laki dan tinggal dalam satu kamar yang sama untuk sementara

waktu sampai mereka direstui oleh pihak keluarga masing-masing dan

dinikahkan. Pasangan yang telah melakukan silayang dan sudah bermalam di


kamar yang sama harus menerima resiko yang akan terjadi setelahnya, seperti

amukan keluarga pihak perempuan. Biasanya yang melakukan silayyang ini

sebenarnya hanya berpacaran biasa namun dikarenakan hubungan mereka

ditentang oleh orang tua mereka sehingga mereka melakukan kawin lari agar

mereka tidak dipisahkan.

Berdasarkan pengamatan penulis fenomena kawin lari sangat sering

terjadi pada Suku Bajo di Desa Masadian, Kecamatan Menui Kepulauan yang

biasanya di karenakan oleh beberapa faktor diantaranya :1) Syarat dan

pembiyaan yang tidak dapat di penuhi ; 2) Perempuan belum diizinkan

menikah : 3) Laki-laki aatu perempuan telah dijodohkan ; 4) Keluarga

perempuan menolak lamaran pihak laki-laki ; 5) Kawin lari juga dilakukan

karena laki-laki dan perempuan telah berbuat yang bertentangan dengan hukum

agama (perempuan telah hamil).

dengan mata pencaharian sebagaian besar adalah nelayan, yang hampir

setiap bulan sepanjang tahun 2019-2021 ada sepasang anak yang melakukan

kawin lari (silayyang) dimana mereka selalu melakukan silayyang (kawin lari)

pada saat pertengahan bulan purnama atau pada saat para nelayan istirahat dari

melakukan pekerjaan sebagai pelaut. Namun meski keduanya telah dinikahkan,

hubungan antara keluarga pria dan wanita tetap tidak berdamai. Oleh sebab itu

selama mereka berdua belum diterima kembali ditengah-tengah keluarga dan

berdamai yang disebut dengan sipamapporah (meminta maaf), maka pria yang

membawa pergi wanita itu harus terus waspada dan berusaha menghindar untuk

bertemu orang tua dan keluarga pihak perempuan


Berangkat dari latar belakang tersebut diatas, maka penulis tertarik

menulis tentang adat kawin lari pada orang bajo di Desa Masadian,

Kecamatan Menui Kepulauan, Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah

dengan permasalahan sebagai berikut:

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang diatas, rumusan dalam

penelitian adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana adat kawin lari pada orang Bajo di Desa Masadian,

Kecamatan Menui Kepulauan, Kabupaten Morowali, Sulawesi

Tengah?

2. Apa faktor penyebab terjadinya kawin lari pada orang Bajo di Desa

Masadian, Kecamatan Menui Kepulauan, Kabupaten Morowali,

Sulawesi Tengah?

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mendeskripsikan dan menganalisis adat kawin lari pada

orang Bajo di Desa Masadian, Kecamatan Menui Kepulauan,

Kabupaten Morowali

2. Untuk mendeskripsikan dan menganalisis faktor penyebab

terjadinya kawin lari pada orang Bajo di Desa Masadian,

Kecamatan Menui Kepulauan, Kabupaten Morowali.

1.4 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:


1. Manfaat Teoritis: penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat

untuk menambah wawasan pengetahuan tentang kawin lari dan

dapat menambah wawasan baru dalam kajian Antropologi,

khususnya pada Organisasi Sosial Kekerabatan dan

Antropologi Sosial Budaya.

2. Manfaat praktis: dapat menambah koleksi penelitian di perpustakaan

khususnya mengenai kawin lari pada masyarakat suku Bajo di

Desa Masadian, Kecamatan Menui Kepulauan, Kabupaten

Morowali Sulawesi Tengah.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PIKIR

Pembahasan pada bab ini, meliputi tinjauan pustaka untuk

mengklasifikasi, membandingkan dengan penelitian lain untuk menelusuri dan

mendapatkan kebaruan pada penelitian, landasan teori yang digunakan untuk

mendapatkan data dan menganalisis hasil penelitian, dan kerangka pikir sebagai

gambaran alur penelitian.

2.1 Tinjauan Pustaka


Pada sub bab ini peneliti perlu memberikan batasan istilah untuk

hal-hal yang diteliti. Tujuan pemberian batasan istilah ini adalah untuk

mempermudah dan memberi pemahaman mengenai beberapa istilah yang

digunakan dalam penelitian sehingga tidak mengalami kesalah pahaman.

Beberapa batasan istilah tersebut diantaranya:

2.1.1 Adat

Adat dapat dipahami sebagai tradisi lokal (local castom) yang mengatur

interkasi masyarakat. Dalam ensiklopedi disebutkan bahwa adat adalah

“Kebiasaan” masyarakat yang telah dilakukan berulang kali secara turun-temurun.

Kata “adat” disini lazim dipakai tanpa membedakan mana yang mempunyai

sanksi seperti “Hukum Adat” dan mana yang tidak mempunyai sanksi seperti

disebut adat saja (Ensiklopedi Islam,2010).

Adat adalah gagasan kebudayaan yang terdiri dari nilai-nilai budaya,

norma, kebiasaan, kelembagaan, dan hukum adat yang mengatur tingkah

laku manusia antara satu sama lain yang lazim dilakukan di suatu kelompok

masyarakat. Dengan demikian adat merupakan bagian dari kebudayaan

karena kebudayaan menunjuk kepada berbagai aspek kehidupan, yaitu

meliputi cara-cara berlaku kepercayaan-kepercayaan dan sikap-sikap, dan juga

hasil dari kegiatan manusia yang khas untuk suatu masyarakat atau

kelompok penduduk tertentu (Ihromi, 2017). Adat yang dimaksud dalam

tulisan ini adalah adat kawin lari pada orang Bajo, khususnya di Desa

Masadian, Kecamatan Menui Kepulauan, Kabupaten Morowali.

2.1.2. Tradisi
Tradisi menurut artian bahasa adalah sesuatu kebiasaan yang

berkembang di masyarakat, baik yang menjadi adat kebiasaan, atau yang

diasimilasikan dengan ritual adat atau agama. Dalam pengertian lain,

sesuatu yang telah dilakukan sejak lam dan menjadi bagian dari

kehidupan suatu kelompok masyarakat, biasanya dari suatu negara,

kebudayaan, waktu, atau agama yang sama. Biasanya tradisi ini berlaku

secara turun temurun baik melalui informasi lisan berupa cerita, atau

informasi tulisan berupa kitab-kitab kuno atau yang terdapat pada

catatan-catatan prasasti.

Menurut Funk dan Wagnalls seperti yang dikutip oleh Muhaimin

tentang istilah tradisi dimaknai sebagai pengetahuan, doktrin, kebiasaan,

praktek dan lain-lain yang dipahami sebagai pengetahuan yang diwariskan

secara turun- temurun termasuk cara penyampain doktrin dan praktek

tersebut. Lebih lanjut lagi Muhaimin mengatakan tradisi terkadang

disamakan dengan kata-kata adat yang dalam pandangan masyarakat

awam dipahami sebagai struktur yang sama.

Selanjutnya Tjaya dan Sudarminta dalam Andreas menyatakan secara

umum istilah tradisi dapat dirumuskan sebagai sekumpulan praktek, dan

kepercayaan yang secara sosial ditransmisikan dari masa lalu atau

pewarisan kepercayaan atau kebiasaan dari generasi yang satun generasi

selanjutnya. Praktek kepercayaan ini dipandang dan memiliki otoritas

pada zaman sekarang karena berasal dari masa lalu. Sering kali konsep

ini memiliki nuansa lisan dalam arti yang bersifat tidak tertulis. Oleh
karena itu dipahami sebagi sebuah pewarisan. Pengertian tradisi secara

umum juga menimbulkan persepsi bahwa tradisi bersifat abadi dan tidak

akan berubah sepanjang masa. Kalau tradisi dipahami secara umum

sebagai tindakan kontinyu untuk memelihara nilai-nilai yang dipandang

berharga oleh sebuah komunitas, maka nilai-nilai yang dipelihara dan

diwariskan tersebut haruslah memiliki kaitan dengan kebenaran

seperti yang diyakini oleh komunitas tersebut. Kawin lari bukanlah hal

yang baru dalam kajian ilmu pengetahuan.

2.1.3 Konsep Kawin Lari

Kawin Lari Secara umum merupakan peristiwa laki-laki melarikan

perempuan yang akan dikawininya dengan persetujuan si perempuan itu, untuk

menghindarkan diri dari tata cara adat yang dianggap berlarut-larut dan memakan

biaya terlalu mahal (Kamus Besar Bahasa Indonesia 1990). Pengertian ini sejalan

dengan yang dikatakan Hadikusuma (1997) bahwa kawin lari sering terjadi karena

pasangan ingin menghindari persyaratan adat dalam melakukan perkawinan.

Perkawinan lari juga adalah bentuk perkawinan yang tidak didasarkan atas

persetujuan orang tua, tetapi didasarkan kemauan sepihak atau kemauan kedua

pihak yang bersangkutan.

Kawin lari adalah salah satu jalan yang mudah dilakukan apabila

menghadapi masalah. Kawin lari biasanya digunakan sebagai jalan pintas apabila

calon pendamping hidup tidak mendapat restu dari kedua orang tua untuk

membangun bahtera rumah tangga dan untuk menghindarkan diri dari berbagai

keharusan atau rintangan (tidak adanya persetujuan) dari pihak orangtua dan
sanak saudara. Sedangkan yang disebut dengan perkawinan di bawa lari adalah

lari dengan seorang perempuan yang sudah ditunangkan (mempunyai tunangan)

atau dikawinkan dengan orang lain.

Pada dasarnya jika terjadi kawin lari, maka secara hukum belum masuk ke

dalam ranah perkawinan. Biasanya, setelah peminangan barulah dilangsungkan

akad perkawinan. Rukun dan syarat dalam perkawinan menentukan suatu

perbuatan hukum, terutama yang menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan

tersebut dari segi hukum. Dalam suatu perkawinan, rukun dan syarat tidak boleh

tertinggal, dalam arti perkawinan tidak sah bila keduanya tidak ada atau tidak

lengkap. Keputusan kawin lari biasanya diambil dalam keadaan terdesak.

Pasangan tidak melihat efek jangka panjang. Kawin lari adalah buah dari

pemikiran saat emosi sedang tidak stabil. Terhadap pasangan kawin lari di

lingkungan masyarakat Suku Bajo, merupakan suatu sikap ketidak patuhan

terhadap hukum Islam maupun Hukum Adat pada umumnya. Ketidakpatuhan

terhadap hukum tersebut mengakibatkan timbulnya banyak dampak dan persoalan

diantranya tidak tercatatnya perkawinan, perkawinan yang tidak di dahului dengan

peminangan atau kawin lari, sangat memungkinkan pihak pasangan melakukan

perkawinan sirri yang tidak mencatatkan perkawinan. Pelaku kawin lari juga tidak

mendapatkan jaminan perlindungan hokum dan pemerintah.karena,

perkawinannya dilakukan tanpa menghadirkan wali perempuan dan tidak

dicatatkan. Sehingga, semua yang berhubungan dengan administrasi pemerintah

tidak bias dilakukan. Salah satu hal terpenting adalah hokum Negara tidak

mengakui adanya perkawinan diantara keduanya. Dampak yang kedua adalah


masalah dalam administrasi Negara, yaitu tidak mendapatkan buku nikah dari

kantor urusan agama (KUA) dan hukum Negara tidak mengakui kawin lari.

Dampat yang ketiga yakni segala bentuk hubungan hukum yang berkaitan dengan

administrasi perkawinan tidak dapat dilakukan. Keharmonisan keluarga tidak

tercipta. Biasanya kedua belah pihak tidak akur karena mereka tidak setuju atas

tindakan silayyang tersebut.

Ketidak mampuan pasangan untuk mempertahankan perkawinan.

Disebabkan, masing-masing pihak belum dewasa dalam menyikapi persoalan, dan

belum mempu secara psikologis, sehingga masing-masing pasangan juga

berpeluang besar untuk bercerai. Pelaku kawin lari yang masih remaja dan belum

memiliki pekerjaan yang tetap tidak akan bisa menjalankan fungsinya sebagai

kepala keluarga dan memenuhi kebutuhan hidup berumah tangga. Begitu juga

dengan wanita, kondisi psikologis yang belum mapan dapat menjadi ruang bagi

timbulnya masalah dan tidak bisa menyelesaikannya secara dewasa.Akibatnya,

perkawinan tidak dapat dipertahankan lagi. Apabila orang tua perempuan dan

keluarga merasa keberatan atas kasus kawin lari yang dialami oleh anaknya maka

sesuai dengan ketentuan Hukum Pidana, pihak orang tua perempuan dan keluarga

dapat melaporkannya ke pihak yang berwajib dan diproses secara hukum.

Perkawinan seperti ini terjadi apabila sepasang muda mudi sudah saling

cinta dan cinta mereka tersebut tidak mendapat restu dari orang tua mereka, baik

secara sepihak maupun kedua belah pihak. Adapun penyebab terjadinya kawin lari

yakni keluarga perempuan menolak pinangan dari seorang laki-laki, tingginya

uang mahar, dan hamil di luar nikah.


Bentuk-bentuk perkawinan lari yakni, kawin lari bersama dan kawin bawa

lari. Ada beberapa ahli yang menyumbangkan pemikirannya untuk menjelaskan

kedua bentuk tersebut. Dan ahli-ahli ini memilki pendapat yang sama tentang

kedua bentuk tersebut. Mereka adalah Ter Haar, Imam Sudyat dan Hilman

Hadikusuma.

Kawin lari bersama atau dalam bahasa Belanda disebut sebagai wegloop-

huwelijk ialah jenis perkawinan yang terjadi dengan larinya calon suami-isteri

tanpa peminangan formil atau pertunangan yang umumnya terdapat dalam sistem

patrilineal; dikenal dalam sistem parental, bahkan terdapat juga di dalam sistem

matrilineal .Kawin lari bersama merupakan perbuatan belarian untuk

melaksanakan perkawinan atas persetujuan si gadis (Hadikusuma,2003).

Tujuan dari perkawinan ini ialah untuk menghindarkan diri dari berbagai

macam keharusan sebagai konsekwensi kawin pinang, terlebih dari campur tangan

dan rintanganrintangan pihak orang tua serta kelompok kerabat. Padahal

perbuatan itu tidak selalu dicela benar oleh kaum kerabat (Sudyat,2009). Tujuan

dari kawin lari bersama ini memiliki kesamaan dengan pengertian kawin lari pada

umumnya dan pendapat dari Hadikusuma yang sudah dijelaskan di atas.

Cara melakukan kawin lari tersebut ialah bujang gadis sepakat melakukan

kawin lari dan pada waktu yang sudah ditentukan melakukan lari bersama, atau si

gadis secara diam-diam diambil kerabat pihak bujang dari tempat kediamannya,

atau si gadis datang sendiri ke tempat kediaman pihak bujang. Segala sesuatunya

berjalan menurut tata tertib adat belarian (Hadikusuma,2003). Selain itu, si gadis

dan si bujang (pasangan muda-mudi) juga meninggalkan sepucuk surat, sesuatu


barang ataupun sejumlah uang di rumah si pemudi, lalu menyelamatkan diri di

rumah penghulu masyarakat, atau sanak saudara, atau bisa juga di tempat keluarga

dari si bujang

Kawin bawa lari (schaak-huwelijk) adalah melakukan kawin lari dengan

seorang perempuan yang sudah memiliki tunangan atau yang sudah dikawinkan

dengan orang lain, atau membawa lari perempuan dengan paksaan ( Ter Haar Ben,

1976). Oleh karena itu, kawin bawa lari juga disebut sebagai kawin lari paksaan.

Perkawinan ini juga merupakan perbuatan melarikan gadis dengan akal tipu, atau

dengan paksaan atau kekerasan, tidak atas persetujuan si gadis dan tidak menurut

tata tertib adat belarian. Dengan pengertian seperti itu, bisa dirumuskan tujuan

kawin bawa lari yaitu untuk memenuhi hasrat dan keinginan salah satu pihak.

Sanksi kawin lari juga diatur dalam Pasal 332 ayat 1 KUH pidana yang

berbunyi: Karena melarikan perempuan dihukum dengan hukuman penjara

selama-lamanya tujuh tahun, barang siapa melarikan perempuan yang dibawah

umur tanpa persetujuan orang tuanya atau walinya tetapi dengan kemauan

perempuan itu sendiri dengan maksud untuk memiliki perempuan itu baik dengan

perkawinan maupun tanpa perkawinan. Menurut Pasal 332 KUHP walaupun

perempuan yang dibawa lari itu atas kemauan sendiri, jika ia masih dibawah umur

dan tanpa izin orang tua atau walinya maka pemuda yang membawa lari

perempuan tersebut tetap mendapat hukuman.

2.1.4.Penelitian Terdahulu
Banyak hasil penelitian tentang kawin lari. Adapun beberapa hasil

penelitian terkait dengan analisis kawin lari adalah sebagai berikut:

Penelitian yang dilakukan oleh Sitorus (2013) dengan judul Perkawinan

Menurut Adat Batak Toba di Kota Kendari. Hasil penelitian menunjukan bahwa

perkawinan Pada Orang Batak Toba di Kota Kendari terdapat dua tahapan yang

jarang dilakukan yaitu pembagian jambar dan tumpak. Hal itu disebabkan karena

dalam tahapan ini, keluarga terdekat dari pengantin perempuan harus lengkap.

Pada penelitian yang dilakukan oleh Mahmud (2014) dengan judul

Perkawinan Dibawah Tangan Pada Masyarakat Wawonii di Kecamatan Wawonii

Barat Kabupaten Konawe Kepulauan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

penyebab perkawinan dibawah tangan disebabkan oleh, faktor ekonomi, faktor

adat, budaya, perjodohan orang tua dan umur.

Ningsih (2016). Hasil observasi dan wawancara dalam penelitian

menunjukkan bahwa pernah terjadi perkawinan munik (kawin lari) namun telah

berubah, yaitu terdapat kasus munik (kawin lari) karena melanggar nilai agama,

perkawinan munik (kawin lari) pada dasarnya untuk kedua orang yang telah sama-

sama ingin menikah namun terhalang restu orangtua, namun pada saat ini

perkawinan Munik (kawin lari) yang terjadi bukan lagi karena tidak mendapatkan

restu, tetapi karena telah melakukan pelanggaran nilai agama, walaupun masih

terdapat beberapa kasus yang dikarenakan tidak mendapatkan restu, faktor yang

mempengaruhi hal tersebut adalah mulai hilangnya Norma adat yang disebut

Sumang (melanggar nilai agama dan norma adat), lemahnya kontrol orang tua

terhadap anak, pergaulan anak itu sendiri, kemajuan teknologi, dan salah
menggunakan fasilitas yang telah diberikan oleh orang tua, seperti sepeda motor

dan telepon genggam.

Ahmad (2016) hasil penelitian menunjukkan bahwa alasan masyarakat

Lelekaa melakukan perkawinan mombolasuako dilatar belakangi oleh beberapa

faktor diantaranya adalah tidak mendapat restu orang tua. Perkawinan

mombolasoako dianggap sangat efektif dari segi waktu maupun biaya, tidak

disetujui dengan orang tua dan juga perkawinan dalam adat Tolaki ini merupakan

suatu hal yang dianggap biasa, sehingga secara otomatis mengubah paradigma

masyarakat tentang bagaimana sesungguhnya adat menilai perbuatan melarikan

anak gadis seseorang untuk dinikahi yang pada dasarnya adalah sebuah tindakan

yang melanggar adat.

Selanjutnya, penelitian dari Fariany (2017) hasilnya yang diperoleh

bahwa alasan-alasan yang melatarbelakangi masyarakat Lombok Tengah

melakukan Kawin Lari adalah karena dengan pelarian yang mereka lakukan

akan menunjukkan kemampuan mereka memegang tanggung jawab untuk

mandiri menjalankan kehidupan mereka bersama. Adapun alasan yang lain

karena ketidaksetujuan dari orang tua dengan pasangan yang dipilih oleh

anak mereka dank arena adanya suatu paksaan atau bisa dikatakan

ketidaktahuan dari pihak perempuan kalu dia ternyata dibawa lari oleh

pasangannya.

Aminulloh (2017) hasil penelitian menunjukkan yaitu: (1) tradisi

kawin culik masyarakat Suku Sasak, Lombok Tengah tetap dilaksanakan

sampai saat ini yaitu, dalam peristiwa komunikasi budaya seperti


mbair(mengambil calon istri) mesejati (melapor) selabar (menyampaikan

informasi). Sedangkan situasi komunikasi budaya meliputi keseluruhan

ritual perkawinan seperti nuntut wali (meminta wali nikah), rebaq pucuk

(perundingan), soroang sera haji krame (persaksian harga kemartabatan),

nyangkolan (perayaan), sampai pada tahap yang terakhir,yaitu bales ones

nae (kunjungan). Bentuk tindakan komunikasi budaya ada pada interaksi

simboliknya, menggambarkan pola komunikasi atau pemujaan kepada

leluhur dan nenek moyang Suku Sasak yang berperan sebagai saksi

jalannya rangkaian upacara pernikahan dari awal sampai akhir; (2) simbol

dalam tradisi kawin culik masyarakat Suku Sasak terletak pada tindakan

ritual pelaksanaan perkawinan dari awal sampai akhir, yaitu sirah aji,

penjaruman, kao tendoq, salindede, pembukak jebak, babas kute, kor jiwe,

pelengkak, dedaosan, pemegat, dan symbol pada busana adat Suku

Sasak.

Kharunnisa (2017) hasil penelitian menunjukkan bahwa praktek kawin

lari juga terdapat pada masyarakat kecamatan Kutapanjang yaitu pada masyarakat

kampung Rema Tue, Kutaujung, Rikit Dekat. Dalam masyarakat tersebut terjadi

kawin lari, dimana praktek kawin lari tersebutbanyakterjadi pada anak usiaremaja,

dewasa yaitu pada jenjang pendidikan pada anak SMP dan SMA. Dampak praktek

kawin lari ini diantaranya adalah bagi pasangan yang melakukan kawin lari, tidak

tercatatnya status pernikahannya. Sehingga mengakibatkan pada tidak diakuinya

pernikahan. Dampak lainnya yaitu antara pasangan kawin lari dengan keluarga

masing-masing pihak tidak akur. Perkwainan itu sendiri tidak direstui oleh orang
tua yang bersangkutan. Kemudian, hubungan perkawinan bisa bercerai,

disebabkan karena perkawinannya tidak mampu menyelesaikan masalah keluarga.

Selanjutnya, penelitian dari Fariany (2017) hasilnya yang diperoleh

bahwa alasan-alasan yang melatarbelakangi masyarakat Lombok Tengah

melakukan Kawin Lari adalah karena dengan pelarian yang mereka lakukan

akan menunjukkan kemampuan mereka memegang tanggung jawab untuk

mandiri menjalankan kehidupan mereka bersama. Adapun alasan yang lain

karena ketidaksetujuan dari orang tua dengan pasangan yang dipilih oleh

anak mereka dank arena adanya suatu paksaan atau bisa dikatakan

ketidaktahuan dari pihak perempuan kalu dia ternyata dibawa lari oleh

pasangannya.

Prastia, (2017) hasil penelitian ini adalah alasan terjadinya kawin lari

adalah syarat dan pembiayaan yang tidak dapat dipenuhi (1) perempuan belum

diizinkan berumah tangga (2) keluarga menolak lamaran laki-laki (3) laki-laki

atau perempuan telah dijodohkan (4) dan perempuan telah hamil (5). Serta cara

penyelesaian kasus kawin lari sama seperti pernikahan biasa tetapi tidak lagi

menggunakan pemilihan jodoh dan pertunangan tapi langsung pada proses

pelamaran.

Penelitian Jasrun (2018) hasilnya menunjukkan bahwa beberapa hal

yang menyebabkan terjadinya pofeleigho pada masyarakat Muna di

Kelurahan Rahandouna, antaralain: (1) hamil di luar nikah; (2) keterbatasan

ekonomi pihak laki-laki; (3) tidak adanya persetujuan orang tua; (4) tidak

disetujui istri pertama dan kedua, serta (5) ditolak lamaran pihak laki-laki.
Proses penyelesaian pofilegho meliputi beberapa tahapan, yakni:

kaferatono kamokula norobine, tanggono anai robine welambu no

imamu, poghawangho adati atau pertemuan adat. Pertemuan adat dalam

pernikahan pofeleigho membicarakan beberapa hal yang penting seperti

kafoampeno adati moghane nerobine, kalentuno gholeo, ijab Kabul adat

dan ijab Kabulsecara hukum perkawinan negara. Adapun tahapan lainnya

adalah pelaksanaan pesta keluarga yang dilaksanakan berdasarkan

kesepakatan pihak laki-laki dan pihak perempuan untuk mengadakan pesta

secara ramai atau tidak.

Penelitian Purnamasari (2018) hasilnya menunjukkan bahwa factor-

faktor yang melatarbelakangi terjadinya pelarian di Desa Sukaraja ialah

tidak direstui oleh kedua orangtua, faktor ekonomi, faktor pendidikan dan

sebagainya.Dari faktor-faktor tersrebut terdapat prosesi adat

penyelesaian perkawinan dalam tradisi belarian di Desa Sukaraja yaitu

adanya rasan, yaitu suatu kesepakatan antara bujang dan gadis untuk

melangsungkan pernikahan, kemudian adat selanjutnya munggah yaitu

bujang dan gadis dating ke rumah pemerintah (Kades atau Kadus)

setempat mendaftarkan diri untuk minta dinikahkan. Proses adat

selanjutnya adalah pengampahan, yaitu denda yang harus dibayar oleh

keluarga si bujang kepada keluarga si gadis serta pemerintah setempat

berupa tiga ekor ayam dan dua rangkai kelapa, kemudian adat selanjutnya

adalah acara bedami yaitu acara permohonan maaf keluarga si bujang


kepada keluarga si gadis sekaligus bermusyawarah untuk

melangsungkan pernikahan.

Penelitian yang dilakukan oleh Harianto (2018), Fenomena Kawin Lari

(Pofileigho) Pada Masyarakat Muna Di kelurahan Tampo, Kecamatan

Napabalano, Kabupaten Muna. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk

mengetahui dan menganalisis alasan-alasan terjadinya kawin lari pada masyarakat

Muna dan untuk mengetahui dan menganalisis proses penyelesaian kasus kawin

lari pada masyarakat Muna. Penelitian ini dilaksanakan di Kelurahan Tampo

Kecamatan Napabalano Kabupaten Muna dengan jumlah informan penelitian ini

sebanyak 15 orang yang terdiri dari 10 orang pelaku kawin lari, 2 orang tua pelaku

kawin lari, 2 orang tokoh adat, dan lurah Tampo. Kesimpulan penelitian ini adalah

alasan terjadinya kawin lari adalah syarat dan pembiayaan yang tidak dapat

dipenuhi (1) perempuan belum diizinkan berumah tangga (2) keluarga menolak

lamaran laki-laki (3) lakilaki atau perempuan telah dijodohkan (4) dan perempuan

telah hamil (5). Serta cara penyelesaian kasus kawin lari sama seperti pernikahan

biasa tetapi tidak lagi menggunakan pemilihan jodoh dan pertunangan tapi

langsung pada proses pelamaran.

Ratna dkk (2019) hasil penelitian menunjukkkan bahwa: 1) Proses

pelaksanaan adat perkawinan suku Bajo di Desa Sainoa dilakukan melalui

beberapa tahapan yakni; a) pemilihan jodoh, b) penjajakan (tilau lalang). c)

peminangan (Massuro). d) penyerahan biaya perkawinan (nyoroh), e) pabarraang

(malam pacar), f) akad nikah (panikkaang). Akad nikah dilaksanakan di dalam

lammeh (rumah pengantin). 2) Alat kelengkapan adat dalam proses pelaksanaan


perkawinan yakni daun sirih, pinang, kapur, dulah kuneh, lilin, bendera dan oje’.

3) Makna yang terkandung dalam adat perkawinan nampak pada peralatan adat

yang menyertai pelaksanaan tahapan perkawinan, yakni terdiri dari daun sirih,

pinang, kapur, dulah kunih, lilin, bendera dan oje’.Semua benda tersebut memiliki

makna agar perjalanan hidup kedua pengantin senantiasa mendapatkan berkah

dari Yang Maha kuasa. 4) Perubahan dalam adat perkawinan nampak pada proses

dan peralatan yang mengikut seiring dengan perkembangan zaman.

Penelitian yang mengkaji masalah kawin lari sebelumnya telah banyak

dilakukan diantaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh Rahmawati (2020)

Pelaksanaan Budaya Paca (Belis) Dalam Perkawinan Adat Masyarakat Manggarai

Desa Golo Bilas Kecematan Komodo Kabupaten Manggarai Barat. Jenis

penelitian adalah penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang

digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alami (sebagai lawannya

adalah eksperimen) dimana peneliti adalah sebagai instrument kunci, teknik

penggumpulan data dilakukan secara trianggulasi (gabungan) dan hasil penelitian

kualitatif lebih menekanmakna dari pada generalisasi.Informan yang digunakan

dalam penelitian ini adalah purposive sampling. Hasil penelitian menunjukkan

bahwa pelaksanaan budaya Paca (belis) dalam perkawinan adat masyarakat

Manggarai Budaya adalah suatau kebiasaan yang telah berlaku di masyarakat

secara turun temurun. Budaya tersebut kemudian dijunjung tinggi oleh masyrakat

desa Golo Bilas. Belis (Paca) merupakan bagian yang tidak bias dipisahkan dari

adat perkawinan masyarakat. Belis (Paca) yang merupakan bentuk penghargaan

perempuan yang dilihat dari makna belis dalam adat perkawinan masyarakat.
Berdasarkan hasil analisis terhadap data hasil penelitian bahwa faktor yang

melatar belakangi kawin lari adalah faktor suka sama suka, tidak direstui orang

tua, syarat-syarat pembayarandan pembiayaan yang terlalu tinggi, laki-laki dan

perempuan telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum Islam

dan yang terakhir faktor budaya atau tradisi adat. Tradisi kawin lari

mengakibatkan adanya keharusan si gadis untuk tinggal serumah bersama si

bujang sebelum terjadinya akad nikah. Hal ini menurut perspektif hukum Islam

akibat yang timbul dari tradisi kawin lari bertentangan dengan perintah Allah

SWT dalam Al-Qur‟an dan Hadits.

Kawin lari dapat terjadi di suatu lingkungan masyarakat. Kawin lari

merupakan bagian dari bentuk-bentuk perkawinan atau suku-suku tertentu. Secara

umum kawin lari merupakan peristiwa laki-laki melarikan perempuan yang akan

dikawininya dengan persetujuan si perempuan itu, untuk menghidarkan diri dari

tata cara adat yang dianggap berlarut-larut dan dianggap memakai biaya yang

sangat mahal. Terjadinya kawin lari yang terjadi khususnya di Desa Masadian,

Kecamatan Menui, Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah merupakan bentuk

perkawinan yang tidak didasarkan oleh persetujuan orang tua, melainkan atas

kemauan sepihak maupun kedua pihak yang bersangkutan.

2.2 Landasan Teori

Penelitian ini menggunakan teori tindakan sosial yang

dikemukakan oleh Max Webber (1992) sebagai pijakan analisis tindakan

sosial mengenai kawin lari pada orang Bajo, khususnya Desa Masadian,

Kecamatan Menui, Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah.Webber


mengatakan, individu manusia dalam masyarakat merupakan aktor yang

kreatif dan realitas sosial bukan merupakan alat yang statis daripada

paksaan sosial. Artinya tindakan manusia tidak sepenuhnya ditentukan

oleh norma, kebiasaan, nilai, dan sebagainya yang tercakup dalam konsep

fakta sosial. Walaupun demikian Webber mengakui bahwa dalam

masyarakat terdapat struktur sosial dan pranata sosial. Dikatakan bahwa

struktur sosial dan pranatasosial merupakan dua konsep yang saling

berkaitan dalam membentuk tindakan sosial.

Beberapa asumsi fundamental mengenai teori tindakan sosial

(Action theory) yang dikemukakan oleh Webber, antara lain: (1) Tindakan

manusia muncul dari kesadaran sendiri sebagai subjek dan dari situasi

eksternal dalam posisinya sebagai objek; (2) Sebagai subjek manusia

bertindak atau berperilaku untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu; (3)

Dalam bertindak manusia menggunakan cara teknik prosedur, metode

serta perangkat yang diperkirakan cocok untuk mencapai tujuan tersebut;

(4) Kelangsungan tindakan manusia hanya dibatasi oleh kondisi yang tidak

dapat diubah dengan sendirinya ; (5) Manusia memilih, menilai dan

mengevaluasi terhadap tindakan yang sedang terjadi dan yang akan

dilakukan ; (6) Ukuran-ukuran, aturan-aturan atau prinsip-prinsip moral

diharapkan timbul pada saat pengambilan keputusan ; (7) Studi

mengenai antar hubungan sosial memerlukan pemakaian teknik penemuan

yang bersifat subjektif.


Tindakan sosial (social action) adalah tindakan yang memiliki

makna subjektif (subjective meaning) bagi dan aktor pelakunya, baik yang

terbuka maupun tertutup, yang diutarakan secara langsung maupun tidak

langsung, yang oleh pelakunya diarahkan pada tujuannya. Sehingga

tindakan sosial itu bukanlah perilaku yang kebetulan tetapi memiliki pola

dan struktur dan makna tertentu (Muliyono:2020)

Kawin lari merupakan perilaku yang dapat dikategorikan sebagai

tindakan sosial,dimana tindakan sosial merupakan proses aktor terlibat

dalam pengambilan-pengambilan keputusan subjektif tentang sarana dan

cara untuk mencapai tujuan tertentu yang telah dipilih, tindakan tersebut

mengenai semua jenis perilaku manusia, yang ditujukan kepada perilaku

orang lain, yang telah lewat yang sekarang dan yang diharapkan diwaktu

yang akan dating. Di Desa Masadian, Kecamatan Menui Kepulauan, Kabupaten

Morowali terdapat 12 pasangan pelaku kawin lari , tercatat dari tahun 2019

sampai dengan 2020. Penyebab terjadinya tindakan kawin lari tersebut adalah

dimana pihak laki-laki tidak dapat memenuhi persyaratan dan pembiayaan yang di

ajukan oleh pihak perempuan, selanjutnya adanya perbedaan golongan strata

antara laki-laki dan perempuan yang mengakibatkan tidak adanya restu dari orang

tua kedua pasangan, selanjutnya orang tua psangan sudah menjodohkan anaknya

tanpa sepengatahuan baik dari pihak laki-laki maupun perempuan, selanjutnya

keluarga pihak perempuan menolak lamaran keluarga pihak laki-laki, terakhir

perempuan yang sudah hamil diluar nikah dimana hal ini terjadi karena adanya

pergaulan bebas di kalangan remanja. Akibat dari perkawinan kawin lari tersebut
adalah tidak mendapatkan buku nikah dari KUA, keharmonisan keluarga tidak

tercipta, di jauhi oleh tetangga-tetangga setempat, tidak baiknya hubungan

keluarga antara pihak laki-laki dan pihak perempuan.

2.3 Kerangka Pikir

Desa Masadian, Kecamatan Menui Kepulauan, Kabupaten Morowali

merupakan sala-satu desa yang masih melakukan perkawinan adat kawin

lari. Perkawinan ini oleh masyarakat Masadian dikenal dengan Silayyang,

dilakukan dengan cara yang jauh berbeda dengan perkawinan dilamar

(dipassuroang) pada masyarakat di sana. Selain itu pernikahan yang

dilakukan dengan cara kawin lari merupakan perkawinan yang dilarang atau

tidak baik menurut hukum dan masyarakat Masadian.

Kerangka pikir digunakan untuk membantu menganalisis suatu

permasalahan, dimana penulis mengambil judul tentang Kawin lari atau

silaiyang. Pada masyarakat Bajo khususnya di Desa Masadian, Kecamatan

Menui Kepulauan, Kabupaten Morowali terdapat adat perkawinan dengan

perkawinan dilamar dan kawin lari (Silaiyang). Dalam penelitian ini memakai

teori Max Weber dimana manusia dalam masyarakat merupakan aktor yang

kreatif dan realitas sosial bukan merupakan alat yang statis daripada

paksaan sosial.Artinya tindakan manusia tidak sepenuhnya ditentukan

oleh norma, kebiasaan, nilai, dan sebagainya yang tercakup dalam konsep

fakta sosial
Masyarakat Desa Masadian

Perkawinan Adat Suku Bajo

Faktor penyebab terjadinya kawin


Adat kawin lari pada adat Suku Bajo di lari pada Suku Bajo di Desa
Desa Masadian, Kecamatan menui Masadian, Kecamatan menui
Kepulauan, Kabupaten Morowali, Sulawesi Kepulauan, Kabupaten Morowali,
tengah
Sulawesi Tengah.

Teori Max Webber

Perkawinan Adat Suku Bajo (Studi Kawin Lari Pada


Masyarakat Suku Bajo Di Desa Masadian, Kecamatan Menui
Gambar : Kerangka pikir
Kepulauan, Kabupaten Morowali)

Gambar : Kerangka Pikir


BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi Penelitian

Penelitian ini telah dilaksanakan di Desa Masadian, Kecamatan Menui

Kabupaten Morowali. Penentuan lokasi ini didasarkan atas pertimbangan bahwa

di Desa Masadian terdapat peristiwa kawin lari pada suku bajo, yang

membedakannya dengan daerah-daerah lain di desa ini sudah sering

terjadi kawin lari pada muda-mudinya bahkan dalam waktu tiga tahun

terjadi peristiwa kawin lari sebanyak dua belas kali yakni pada tahun 2019

terdapat tiga kali kasus kawin lari, tahun 2020 terdapat tujuh kali kasus

kawin lari, dan pada tahun 2021 terdapat dua kali kasus kawin lari.

3.2 Teknik Penentuan Informan

Penentuan informan ini menggunakan teknik purposive yaitu pemilihan

informan berdasarkan kebutuhan penelitian atau pemilihan informan secara

sengaja. Informan penelitian adalah orang yang dimanfaatkan untuk memberikan

informasi tentang situasi dan kondisi terkait hal yang akan diteliti, sehingga untuk

mengetahui kawin lari yang terjadi di desa tersebut sebaiknya mereka yang

sepenuhnya masyarakat Desa Masadian dan telah mengetahui serta memahami

secara tepat kejadian kawin lari pada masyarakat Desa Masadian, sehingga

diperoleh informasi sebanyak mungkin dalam rangka menjawab permasalahan

penelitian. Pemilihan informan dalam peneltian ini terdiri atas informan kunci dan
informan biasa. Berdasarkan hal di atas bahwa informan yang dipilih terdiri

atas informan kunci dan informan biasa. Informan kunci dalam penelitian

ini adalah Kepala Desa Masadian yang dianggap mampu memberikan

informasi terkait permasalahan penelitian. Adapun informan biasa yaitu

terdiri dari tokoh masyarakat, toko agama dan masyarakat biasa yang

dianggap mampu memberikan informasi yang berkaitan dengan

permasalahan penelitian.

Jumlah informan dalam penelitian ini sebanyak 24 orang terdiri dari

Kepala Desa Bapak Rahmat S. (45 tahun) , toko adat Bapak Mustaring (60 tahun)

dan masyarakat desa masadian yang sebagai pelaku kawin lari yakni Bapak Muis

( 24 tahun) dan Ibu Yulita (21 tahun) selaku pasangan suami istri , Bapak Mansur

(22 tahun) dan Ibu Julhayani (16 tahun) selaku pasangan suami istri , Bapak

Jumasri (23 tahun) dan Ibu Raehana (20 tahun) selaku pasangan suami istri ,

Bapak Marsel (20 tahun)dan Ibu Rina (18 tahun) selaku pasangan suami istri ,

Bapak Ruslan(26 tahun) dan Ibu Jumaria ( 24 tahun) selaku pasangan suami istri ,

Bapak Ikbal (21 tahun) dan Ibu Irawati (23 tahun) selaku pasangan suami istri,

Bapak Idham (25 tahun) dan Ibu Ulfayani (24 tahun) selaku pasangan suami istri,

Bapak Muhlis (26 tahun) dan Ibu Halipa (24 tahun) selaku pasangan suami istri,

Bapak Sakaria (27 tahun) dan Ibu Marwa (25 tahun) selaku pasangan suami istri,

Bapak Herman (29 tahun) dan Ibu Rahmawati (26 tahun) selaku pasangan suami

istri, Bapak yang berinisial A (18 tahun) dan Ibu berinisial D (17 tahun) selaku

pasangan suami istri

3.3 Teknik Pengumpulan Data


Untuk memperoleh informasi sesuai dengan fokus penelitian, maka

digunakan teknik penelitian lapangan dengan menggunakan teknik

wawancaa mendalam (Indepth Inteview) dan pengamatan (Obsevation).

Berikut ini akan dijeaskan teknik-teknik pengumpulan data yang digunakan

oleh peneliti, sebagai beikut:

3.3.1 Pengamatan (Observation)

Pengamatan adalah suatu penyelidikan secara sistematis

menggunakan kemampuan indera manusia. Pengamatan dapat

digolongkan menjadi pengamatan berperan serta danpengamatan tidak

berperan serta. Pengamatan berperan serta, berarti pengamat (peneliti)

budaya ikut terlibat baik pasif maupun aktif kedalam tindakan budaya.

Pada pengamatan tidak berperan serta, peneliti berada diuar aktifitas

budaya. Pengamatan dapat dibedakan juga menjadi dua lagi, yaitu

pengamatan terbuka dan pengamatan tertutup.

Pengamatan terbuka menghendaki agar peneliti melakukan

observasi dan diketahi oleh subyek penelitian juga biasanya dilakukan

pada tempat yang luas dan dalam tindakan budaya yang umum.

Sebaliknya, pengamatan tertutup berarti ketika observasi pengamat tidak

diketahui oleh subyek penelitian. Pengamatan juga dibedakan menurut

latar pelaksanaannya, yaitu pengamatan terstruktur dan tidak terstruktur.

Pengamatan terstruktur, biasanya situasi telah diatur dan hal-hal lain

telah dipersiapkan. Sebaliknya pengamatan tidak terstruktur adalah bentuk

observasi yang lebih alamiah (Endaswara, 2017:209-211). Observasi


berlangsung secara natural dan kemungkinan tidak diketahui langsung

oleh subyek penelitian. Kegiatan pengamatan meliputi melakukan

pencatatan secara sistematik kejadian-kejadian, perilaku-perilaku, objek-

objek yang dilihat dan hal-hal lain yang diperlukan dalam mendukung

penelitian adat kawin lari pada masyarakat Masadian, Kecamatan Menui

Kepulauan, Kabupaten Morowali. Pada tahap awal observasi peneliti

akanmengumpulkan beberapa data atau informasi. Tahap selanjutnya

peneliti melakukan observasi yang terfokus, yaitu melalui penyempitan

data atau informasi yang diperlukan sehingga peneliti dapat menemukan

benang merahnya. Disamping itu juga observasi dilakukan untuk

mendapatkan data tambahan sekiranya terdapat hal yang kurang jelas

pada teknik pengumpulan data sebelumnya.

3.3.2 Wawancara Mendalam

Wawancara adalah cara yang digunakan untuk tujuan suatu tugas

tertentu, mencoba mendapatkan keterangan atau pendirian secara lisan

dari seorang informan, dengan bercakap-cakap muka dengannya.Seperti

halnya dengan observasi, maka wawancara mendalam juga merupakan

instrumen penelitian, melalui wawancara mendalam (indepth interview)

pada perkawinan adat kawin lari. Dalam penelitian ini memperoleh hasil yaitu

bagaimana proses pernikahan dalam masyarakat bajo baik dalam proses

peminagn maupun Silaiyang atau kawin lari dan beberapa faktr terjadinya

kawin lari. Menurut Bogdan dan Taylor peneliti akan membentuk dua

macam pertanyaan, yaitu pertanyaan substatif dan pertanyaan teoritik.


Pertanyaan substatif berupa persoalan khas yang terkait dengan aktivitas

budaya. Sedangkan pertanyaan teoritik berkaitan dengan makna dan

fungsi ( Endaswara, 2017:214 ).

Wawancara mendalam yaitu mengumpulkan data dengan

mengadakan tanya jawab langsung antara peneliti dan informan yang telah

ditetapkan dengan tujuan agardapat diperoleh data yang lengkap sesuai

dengan keperluan penelitian dari setiap informan dengan menggunakan

pedoman wawancara yang telah dibuat.Pedoman wawancaa dibuat untuk

mengetahui hal-hal apa saja yang ditanyakan. Adapun yang dijadikan

pedoman wawancara, fokus penelitian adalah perkawinan adat suku Bajo ( studi

kawin lari) di Desa Masadian, Kecamatan Menui, Morowali Kaupaten, dan

faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi terjadinya kawin lari (Silaiyang)

Dari hasil observasi, baik observasi biasa maupun observasi terlibat,

peneliti menggunakan teknik wawancara mendalam. Hal pertama yang peneliti

lakukan setelah tiba di lapangan adalah menemui Kepala Desa Masadian dan

toko adat yaitu Bapak Rahmat S dan Bapak Mustaring. Pada tanggal 4 April

2022 peneliti melakukan kunjungan lapangan langsung untuk mengadakan sesi

tanya jawab langsung dengan informan terkait bagaimana proses adat dalam

perkawinan dengan cara peminangan dan perkawinan dengan adat kawin lari di

Desa Masadian, Kecamatan Menui Kepulauan, Kabupaten Morowali. Peneliti

mulai bertanya-tanya tentang proses dan tahapan dalam proses perkawinan

baik itu perkawinan dengan proses pelamaran maupun perkawinan dengan


proses kawin lari, peralatan apa saja yang digunakan dalam perkawinan di

Desa Masadian, Kecamatan Menui Kepulauan, Kabupaten Morowali.

Selanjutnya pada tanggal 5 April 2022 peneliti mulai pergi ke rumah

informan selanjutnya untuk melakukan wawancara secara langsung berkaitan

dengan masalah penelitian. Dalam hal ini peneliti mulai menanyakan kepada

informan yang berjumlah dua puluh empat orang (24 orang) yang dimana

merupakan pasangan suami istri yang melakukan kawin lari dan faktor-faktor

apa saja yang mengakibatkan kawin lari atau silaiyang tersebut.

3.4 Teknik Analisis Data

Setelah semua data lapangan terkumpul, maka langkah selanjutnya

akan diadakan tahap analisis data berdasarkan perspektif emik dan etik.

Analisis data dalam penelitian ini dilakukan secara deskriptif-kualitatif

dengan melakukan langkah-langkah berikut seperti (1) menyusun satuan-

satuan data yang telah dikumpul dari hasil observasi, wawancara, kelompok

terfokus dibagi satu persatu, dikumpulkan sesuai dengan golongannya,

kemudian dilakukan reduksi guna meminimalisir data yang kurang relevan,

membuat atraksi dan menyusun satuan-satuan data, (2) melakukan

kategori data, (3) menyusun antar kategori data yang lainnya, dan

melakukan interpretasi makna-makna setiap hubungan antar kategori data

yang sudah dikelompokkan sehingga dapat ditemukan makna

kesimpulannya.

Adapun data-data yang dianalisis adalah tentang adat kawin lari

pada masyarakat Masadian, Kecamatan Menui Kepulauan, Kabupaten


Morowali dengan menggunakan teknik analisis teori tindakan sosial Max

Webber. Data tersebut diperoleh dari pengamatan terlibat dan wawancara

mendalam menurut jenis permasalahan. Setelah itu analisis data selesai,

akan diinterpretasikan sesuai dengan kategori-kategori yang relevan

dengan teori yang sesuai dengan data penelitian sampai dengan

penarikan kesimpulan. Selanjutnya hasil analisis data ditulis dalam

kerangka etnografi yang terdiri dari bab dan sub bab satu sehingga

tersusun menjadi sebuah karya ilmiah atau tugas akhir.

Hal ini sesuai dengan pendapat Spradley (1997) dimana hasil

pengamatan dan wawancara diakumulasi sejak awal hingga akhir

penelitian, bahkan saat penyusunan laporan, analisis sudah dilakukan

dalam halini, setiap data langsung disimpulkan sesuai aspek bahasanya

kemudian diolah dan dianalisis secara deskriptif kualitatif dan tetap

diarahkan untuk menjawab masalah-masalah dalam penelitian ini.

Penelitian ini menggunakan teori Max Weber. Teori Max Weber adalah teori

yang dilihat dari tindakan sosial, dimana penelitian ini dapat dilihat dari

tindakan sosialnya seperti tindakan pelaku dalam menyikapi perkawinan adat

kawin lari tersebut.


BAB 1V

GAMBARAN UMUM DESA MASADIAN

4.1 Sejarah Desa Masadian

Pada mulanya pulau Masadian di kenal sebagai sala satu pulau yang

terbentang di tengah lautan dan di apit dari beberapa pulau lainnya seperti pulau

tiga, pulau samarengga,dan pulau tengah. Pulau tersebut berada di lintang selatan

yang jaraknya kurang lebih 3,5 mil antara pulau menui dengan pulau Masadian.

Pulau ini agresif pantainya sangat di kenal sejak dahulu kala sampai sekarang,

pasirnya putih, airnya bersih dan tawar. Pulau Masadian ini pada dasarnya

merupakan suatu pertemuan para nelayan tempat mencari nafkah, karena pulau

Masadian telah memiliki potensi sumber daya alam yang melimpah seperti

teripang, ikan, japing, dan hasil-hasil laut lainnya. Seorang informan yang
bernama Bapak Rahmat S (45 tahun) sebagai Kepala Desa di Desa Masadian,

mengungkapkan bahwa:

“Pulau Masadian pertama kalinya telah di huni oleh Suku Bajo yang tidak di
kenal asalnya bernama “Putodesi” hari demi hari Suku Bajo mulai
berdatangan satu persatu dengan mencari nafkah di pulau Masadian. Suku
Bajo ini tidak mengenal rumah mereka menggunakan perahu layar sabagai
tempat tinggal, alat yang di gunakan untuk mencari kebutuhan sehari-hari
yaitu pukat dan pancing. Kemudian lama kelamaan pada tahun 1960-an”
(Wawancara, 4 April 2022)

Pulau Masadian telah di ramaikan oleh berbagai para nelayan yang berasal

dari pulau menui, pulau padei, soropia, bontulo, mekar, dan saponda. Dari

beberapa asal pulau ini rata-rata mayoritas Suku Bajo terkecuali para nelayan

yang berasal dari Pulau Menui. Dari situ penduduk Pulau Masadian sudah mulai

bertambah sedikit demi sedikit hingga pada akhirnya Pulau Masadian menjadi

ramai penduduknya.

Setelah itu, Pulau Masdian berkembang terus menerus penduduknya semua

para nelayan yang berada di Pulau Masadian memilih untuk tinggal selama-

lamanya, dan di jadikan Pulau Masadian sebagai salah satu pulau tempat

pencaharian. Namun pada saat itu pola pikir mereka masih sangat terbatas belum

ada salah seorang pun yang berpikir untuk membuat rumah, semua masih asing

untuk tinggal di perahu. Tidak lama kemudian para nelayan yang berasal dari

pulau menui tinggal di Pulau Masadian terpikir untuk membuat rumah yang bahan

bakunya terdiri dari kayu bundar tanpa menggunakan paku hanya yang di gunakan

rotan sebagai alat pengikat, atap dan dindingnya terbuat dari daun rombiah yang

biasa di sebut daun Sagu. Sejak itu semua suku Bajo di Pulau Masadian mulai

belajar membuat rumah Gubuk di Pulau Masadian.


Di lihat rumah para nelayan yang ada di Pulau Masadian sudah begitu

banyak ada seorang suku Bajo bernama Bapak H. Yusuf memprakarsai seluruh

para nelayan di Pulau Masadian untuk membuat musohal tempat beribadah,

dengan ukuran 4x5 yang bahan bakunya terbuat dari kayu bundar dan daun sagu.

Sampai pada tahun 1962 pada saat di mekarkannya pulau menui menjadi

Kecamatan Menui Kepulauan Kabupaten Poso Provinsi Sulawesi Tengah yang di

jabat langsung oleh camat yang bernama Harunah, Pulau Masadian di jadikan

status lingkungan yang di anak kodai oleh Bapak H. Yusuf selama lima tahun dan

perkembangan lingkungan Pulau Masadian penduduknya sudah mulau

berkembang dan maju. Pada tahun 1967 lingkungan Pulau Masadian di mekarkan

menjadi desa definitif sekaligus pelantikan Bapak H. Yusuf selama lima tahun.

Seorang informan yang bernama Bapak Rahmat S (45 tahun) sebagai Kepala Desa

di Desa Masadian, mengungkapkan bahwa:

“Mulai tahun 1967 sampai dengan 1979 telah di pimpin oleh bapak kepala
desa bernama Bapak H. Yusuf . Selanjutnya pada tahun 1979 Bapak H.
Yusuf telah meninggal dunia maka di lanjutkan pemerintahan oleh Bapak
Manan selama 5 tahun lamanya. Mulai tahun 1985 sampai dengan 1990
masa jabatan bapak Manan selesai di lanjutkan oleh Bapak kepala desa
bernama Bapak Sudirman, dari tahun 1992 sampai tahun 1997. Pada tahun
1998 di lanjutkan pemerintahannya oleh Bapak Ute Nusi sampai dengan
tahun 2003. Setelah tahun 2003 di lanjutkan oleh Bapak Muh. Tahang dari
tahun 2004 sampai tahun 2013. Selanjutnya pada tahun 2013 sampai 2018
di lanjutkan oleh Bapak Sabsudi Nanga. Selanjutnya pada tahun 2018
sampai tahun 2021 kepala desa di lanjutkan oleh Bapak Rahmat Sumatri.
Terakhir pada tahun 2022 sampai sekarang Kepala Desa dipimpin oleh
Bapak H. Mardin”
.( Wawancara, 4 April 2022)

Desa Masadian saat ini berkembang saat pesat, masyarakatnya tidak hnaya

bekerja menjadi nelayan, melainkan ada yang sebagai guru dan lainnya.

4.2 Lokasi dan Lingkungan Alam


Desa Masadian merupakan desa yang terdiri dari pulau kecil yang terpisah

berada di pusat daratan Kabupaten Morowali.Secara geografis terletak di kawasan

Teluk Menui Barat di Kecamatan Menui Kepulauan Kabupaten Morowali

Provinsi Sulawesi Tengah. Desa Masadian merupakan salah satu desa di

Kecamatan Menui, Kepulauan Kabupaten Morowali dengan luas wilayah Desa

Masadian + tujuh koma lima ha, berada Kecamatn Menuai berjarak + lima belas

km dari pusat ibu kota Kecamatan. Kecamatan Menui Kepualauan berjarak

serratus tujuh puluh empat km dari Kabuapaten Morowali. Desa Masadian

terbentuk pada Tahun 1970 dan merupakan salah satu desa hasil pemekaran desa

Pulau Tiga dalam wilayah Kecamatan Menui Kepulauan. Desa Masadian yang

terdiri dari 5 dusun dengan batas wilayah desa sebagai berikut:

1. Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Pulau Stagal

2. Sebelah Barat berbatasan dengan Pulau Tengah

3. Sebelah Selatan berbatasan dengan Laut Lepas

4. Sebelah Timur berbatasan dengan Pulau Samarenggah

a. Kondisi Topografi Desa Masadian

Desa Masadian merupakan dareah pesisir pantai yang rata-rata ketinggian

air lautnya dua km dari permukaan air laut dan desa Masadian ini berada pada

kawasan dataran rendah sehingga sehingga banyak masyarakat desa Masadian

yang bermata pencaharian adalah nelayan karena letak pulaunya yang sangat

strategis.
Wilayah Desa Masadian 100% berada pada daratan rendah antara 2 km

diatas permukaan laut dan merupakan wilayah kepulauan dari Kecamatan Menui

Kepulauan yang rata-rata mata pencahariannya adalah nelayan.

4.3. Keadaan Demografi

4.3.1 Jumlah Penduduk

Desa Masadian merupakan Desa yang memiliki penduduk, berdasarkan

registrasi penduduk pada Tahun 2020, penduduk Desa Masadian sebanyak 972

jiwa dengan jumlah keluarga sebanyak 246 KK.

4.3.2. Komposisi Penduduk

1. Keadaan Penduduk Desa Masadian Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin

Penduduk Desa Masadian, Kecamatan Menui Kepulauan, Kabupaten

Morowali pada Tahun 2021 sebanyak 972 jiwa dengan dengan perincian jenis

kelamin laki-laki sebanyak 508 dan perempuan sebanyak 462. Jenis penduduk

berdasarkan umur dan jenis kelamin dapat dilihat pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1. Jenis penduduk berdasarkan umur dan jenis kelamin Desa Masadian
Kecamatan Menui Kepulauan Kabupaten Morowali Tahun 2020.

Kelompok Umur Jenis Kelamin Jumlah


No. %
(Tahun) Laki-Laki Perempuan (Jiwa)
1 0–4 21 18 39 4,01
2 5-9 27 23 50 5,14
3 10 - 14 47 35 82 8,43
4 15 - 19 33 29 62 6,32
5 20 - 24 28 25 53 5,45
6 25 - 29 39 37 76 7,81
7 30 - 34 141 90 231 23,76
8 35 - 39 42 37 79 8,12
9 40 - 44 39 31 70 7,20
10 45 - 49 30 43 73 7,51
11 50 - 54 23 38 61 6,27
12 55 - 64 13 26 39 4,01
13 60 - 64 17 15 32 3,29
14 ≥ 65 8 17 25 2,57
Jumlah 508 464 972 100
Sumber : Kantor Masadian Tahun 2020.

Berdasarkan Tabel 4.1 tentang komposisi penduduk masyarakat

Masadian menurut usia dan jenis kelamin pada bulan Desember 2020 adalah

jumlah penduduk terbanyak yang berumur antara 30-34 Tahun terdiri dari laki-

laki jumlah 141 dan perempuan berjumlah 90 jiwa atau sebesar 23,76%

dibanding dengan kelompok usia lainnya. Kelompok umur yang sedikit adalah

berumur 65 tahun keatas terdiri dari laki-laki dan perempuan hanya berjumlah 25

jiwa atau sebesar 2,57%.

Tabel 4.1 dapat disimpulkan bahwa jumlah keseluruhan komposisi

penduduk Desa Banu-Banua Jaya menurut jenis kelamin dan usia dari 0-65 Tahun

keatas adalah laki-laki berjumlah 508 jiwa atau sebesar 23,76% dengan total

keseluruhan yaitu 972 jiwa. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah penduduk laki-

laki lebih banyak dibanding penduduk perempuan.

2. Keadaan Penduduk Desa Masadian Berdasarkan Mata Pencaharian

Sesuai dengan keadaan lingkungan alam di desa Masadian yang

dikelilingi oleh laut yang sangat potensial dengan sumber mata pencaharian pokok
yang dijalani selama ini, tetapi sebagian mata pencaharian penduduk Desa

Masadian tidak hanya berorientasi dengan satu jenis saja mata pencaharian

nelayan dalam memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Untuk mengetahui lebih

jelasnya mata pencaharian penduduk Desa Masadian dapat dilihat pada Tabel

4.2.

Tabel 4.2. Jenis penduduk berdasarkan mata pencaharian Desa Masadian


Kecamatan Menui Kabupaten Morowali Tahun 2020.

No. Mata Pencaharian Jumlah Persentase


(Jiwa) (%)
1 Nelayan 210 73,68
2 Pedagang 18 6,31
3 Tukang Kayu 14 4,91
4 Tukang ojek 12 4,21
5 Wiraswasta/Kontraktor 7 2,45
6 Buruh Bangunan 7 2,45
7 Pertukangan 5 1,75
8 Tukang Batu 5 1,75
9 Pegawai Pns/Negri Sipil 4 1,40
10 Perkebunan 3 1,05
Jumlah 285 100
Sumber : Kantor Desa Masadian Tahun 2020.

Berdasarkan Tabel 4.2 dapat dilihat bahwa penduduk Desa Masadian yang

bermata pencaharian terbanyak adalah nelayan yaitu sebanyak 210 jiwa atau

73,68% sedangkan mata pencaharian terendah adalah perkebunan yaitu 3 jiwa


atau 1,05 %. Tabel 4.2 menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk Desa

Masadian bermata pencaharian sebagai nelayan.

3. Keadaan Penduduk Desa Masadian Berdasarkan Tingkat Pendidikan

Tingkat pendidikan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi

seseorang dalam berfikir serta bertindak terutama yang berafiliasi dengan

kesesuaian pekerjaan yang dikerjakan. Pendidikan yang cukup tinggi akan lebih

mendorong untuk bekerja dengan menggunakan cara yang lebih terampil dan

dinamis dalam menjalankan aktivitas keseharian. Memperluas kesempatan untuk

memperoleh pendidikan, perlu memperhatikan dan memberi kesempatan belajar

sekaligus meningkatkan pengetahuan khususnya bagi anak-anak usia sekolah..

Lebih jelasnya tingkat pendidikan tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.3.

Tabel 4.3. Komposisi penduduk menurut tingkat pendidikan Di Desa Masadian


Kecamatan Menui Kepulauan Kabupaten Morowali Tahun 2020.

No. Tingkat Pendidikan Jumlah Presentase


(jiwa) (%)
1. Tamat SD 192 39,34
2. Tamat SLTP/Sederajat 187 38,31
3. Tamat SLTA/Sederajat 72 14,75
4. Perguruan Tinggi 27 5,53
5. S1 9 1,84
6. S2 1 0,20
Jumlah 972 100
Sumber : Kantor Desa Masadian Tahun 2020.

Tabel 4.3 di atas menunjukkan bahwa jumlah keseluruhan penduduk

menurut tingkat pendidikan di Desa Masadian Kecamatan Menui Kepulauan

Kabupaten Morowali sebanyak 972 jiwa. Penduduk dengan tingkat pendidikan

terbanyak adalah tamatan SLTP yaitu sebanyak 192 jiwa atau 39,34% dan S2

yang paling sedikit yaitu sebanyak 1 jiwa atau 0,20%.


Bisa dilihat dalam tabel di atas bahwasanya tingkat Pendidikan di Desa

Masadian, Kecamatan Menui Kepulauan Kabupaten, Morowali lebih

mendominasi tamatan SLTP atau SMA. Dimana ini sangat berpengaruh pada pola

pikir masyarakat Desa Masadian. Dengan ketidaktahuannya tentang hukum kawin

lari yang akan berpengaruh bagi setiap pasangan yang melakukan. Baik itu

berpengaruh bagi keluarga pihak perempuan maupun keluarga pihak laki-laki

4.4 Jumlah Kasus Kawin Lari

Pada tahun 2019-2021 terdapat 12 (dua belas) pasangan yang melakukan

silayyang. Pada umumnya, yang melakukan kawin lari adalah anak-anak yang

putus sekolah atau anak-anak yang tidak pernah bersekolah, bahkan banyak juga

anak-anak yang masih dibawah umur. Pada dasarnya, anak-anak yang melakukan

kawin lari, sebenarnya hanya berpacaran tetapi karena hubungan mereka ditentang

oleh kedua orang tua, sehingga mereka melakukan kawin lari agar mereka tidak

dipisahkan satu sama lain. Untuk mengetahui lebih jelasnya jumlah kasus kawin

lari di Desa Masadian dapat dilihat pada tabel 4.4.


Tabel 4.4. Pasangan Kawin Lari Dalam Jangka Waktu Tahun 2019-2021, Di Desa
Masadian Kecamatan Menui Kepulauan Kabupaten Morowali Tahun
2020.

No Nama Pasangan Kawin Lari


Laki-laki Umur Perempuan Umur Umur Pernikahan
1 Inisial M 24 Inisial Y 21 Kurang lebih 4 tahun
2 Inisial M 22 Inisial J 16 Kurang lebih 4 tahun
3 Inisial J 23 Inisial R 20 Kurang lebih 4 tahun
4 Inisial M 20 Inisial R 18 Kurang lebih 3 tahun
5 Inisial R 26 Inisial J 24 Kurang lebih 3 tahun
6 Inisial I 21 Inisial I 23 Kurang lebih 3 tahun
7 Inisial I 25 Inisial U 24 Kurang lebih 3 tahun
8 Inisial M 26 Inisial H 24 Kurang lebih 2 tahun
9 Inisial S 27 Inisial M 25 Kurang lebih 2 tahun
10 Inisial H 29 Inisial H 26 Kurang lebih 2 tahun
11 Inisial A 18 Inisial D 17 Kurang lebih 2 tahun
Sumber : Olahan Data Primer 2022

Tabel 4.4. di atas menunjukan bahwa jumlah pasangan kasus kawin lari

yang terjadi di Desa Masadian, Kecamatan Menui Kepulauan Kabupaten

Morowali dalam jangka waktu tiga tahun terakhir berjumlah 12 pasang. Yang

didominasi dengan lulusan SLTP atau SMA. Pada pasangan kawin lari dengan

Inisial M dan Inisial Y merupakan pasangan yang menikah dari tahun 2019

sampai sekarang,pasangan kawin lari dengan Inisial M dan Inisial J merupakan

pasangan yang menikah pada tahun 2019 sampai sekarang, pasangan kawin lari

yang berinisial J dan Inisial R merupakan pasangan yang menikah pada tahun

2019 sampai sekarang, dimana alasan ke tiga pasangan tersebut melakukan kawin
lari adalah di karenakan pihak laki-laki tidak mampu memenuhi syarat dan

pembiyayan yang diminta oleh pihak perempuan.

Selanjutnya pada tahun 2020 terdapat empat pasangan pelaku kawin lari,

yakni Inisial M dan Inisial R, pelaku kawin lari dengan Inisial R dan Inisial J,

pelaku kawin lari dengan Inisial I dan Inisial R, dan pelaku kawin lari dengan

Inisial I dan Inisial U. Dimana pasangan tersebut menikah pada tahun 2020 dan

masih bertahan hingga saat ini, dimana alasan ke empat pasangan tersebut adalah

pihak orang tua perempuan telah menjodohkan anaknya dengan laki-laki lain

begitupun sebaliknya. Sehingga terlintas dibenak mereka untuk melakukan kawin

lari.

Selanjutnya pada tahun 2021 terdapat empat pasangan pelaku kawin lari

dengan inisial M dan Inisial H, pelaku kawin lari dengan Inisial S dan Inisial M,

pelaku kawin lari dengan Inisial H dan Inisial H. Dimana pasangan tersebut

menikah pada tahun 2020 dan masih bertahan hingga saat ini, dimana alasan ke

tiga pasangan tersebut adalah orang tua pihak perempuan menolak lamaran pihak

laki-laki, walaupun si erempuan tidak menolak untuk dilamar, sedangkan pada

pasangan kawin lari Inisial A dan Inisial D alasan pasangan ini melakukan kawin

lari di karenakan adanya pergaulan bebas, dimana tidak terkontrolnya pergaulan

dikalangan remaja yang menimbulkan adanya penyimpangan sosil.

pelaku kawin lari dengan Inisial A dan Inisial D.

4.5. Perkawinan Pada Masyarakat Suku Bajo

Perkawinan merupakan salah satu dimensi kehidupan yang sangat penting

dalam kehidupan manusia di manapun. Begitu pentingnya perkawinan, maka


banyak yang mengherankan jika agama-agama di dunia mengatur masalah

perkawinan bahkan tradisi atau adat masyarakat dan juga institusi Negara tidak

ketinggalan mengatur perkawinan yang berlaku di kalangan masyarakatnya.

Tujuan perkawinan adalah suatu titik permulaan dari suatu mata rantai kehidupan

baru. Disebut kehidupan baru, karena sejak kedua individu itu bersepakat untuk

menikah maka keduanya telah sepakat untuk menjalankan peran baru. Bukan lagi

semata-mata sebagai individu yang bebas dan tunggal (single) tetapi sebagai

suami istri yang terikat satu sama lain. Kehidupan baru itu pada dasarnya dimulai

dengan persetujuan antara keduanya untuk membentuk suatu keluarga.

Suku Bajo merupakan salah satu suku bangsa yang ada di Indonesia dan

memiliki tradisi dan budaya yang unik. Keunikan tersebut nampak pada adat

perkawinan. Adat perkawinan suku Bajo memiliki keunikan dan sarat dengan

nilai-nilai simbolis. Perkawinan merupakan suatu peristiwa penting dalam

kehidupan manusia. Perkawinan tidak saja menyangkut pribadi kedua calon suami

istri, tetapi juga menyangkut urusan keluarga dan masyarakat. Pada umumnya

perkawinan dianggap sebagai sesuatu yang suci dan karenanya setiap agama

selalu menghubungkan kaidah-kaidah perkawinan dengan kaidah-kaidah agama.

Secara umum tujuan perkawinan itu adalah untuk memperoleh kebahagiaan,

ketentraman hidup, memperoleh ketenangan, memperoleh kasih sayang, dan

mendapatkan keturunan yang sah sebagai penerus keluarga (Wingjodipoero, 1971:

139).

Perkawinan menurut orang bajo adalah suatu ikatan lahir batin antara

seorang laki-laki dan seorang perempuan dengan jalan yang sah untuk membentuk
suatu kehidupan rumah tangga yang menyebabkan lahirnya generasi baru yang

meneruskan silsilah keluarga dan kelompoknya dimasa mendatang. Dengan

demikian tujuan perkawinan menurut orang bajo adalah untuk melanjutkan

keturunan, memelihara harta pusaka dan warisan nenek moyangnya, menjauhi

fitnah dan celaan masyarakat dan untuk mencapai ketentraman hidupnya.

Masyarakat Bajo di Desa Masadian mengenal dua model perkawinan,

yaitu perkawinan dengan cara peminangan (massuro) dan perkawinan dengan cara

kawin lari (silaiyang). Perkawinan dengan peminangan (Massuro) adalah jenis

perkawinan yang lazim dilakukan oleh masyarakat Bajo di Desa Masadian. Dalam

perkawinan jenis ini kedua belah pihak keluarga bersepakat untuk menikahkan

keluarga mereka secara normal sesuai proses pelaksanaannya dimulai dari tahap

penjajakan (tilau lalang), peminangan (massuro), penyerahan biaya perkawinan

(nyoroh), malam pacar (pabarraang), dan akad nikah (panikkaang) sedangkan

kawin lari (silayyang) merupakan perkawinan yang dilaksanakan tidak

berdasarkan peminangan akan tetapi perkawianan jenis ini terjadi apabila

sepasang muda-mudi sudah saling cinta dan cinta mereka tersebut tidak mendapat

restu dari orang tua sehingga kedua muda-mudi ini melakukan mufakat untuk lari

ke rumah penghulu mendapat perlindungan dan selanjutnya diurus untuk

dinikahkan.Deskripsi mengenai kedua macam perkawinan tersebut adalah sebagai

berikut.

4.5.1.Peminangan (Massuro)

Pada perkawinan jenis ini, orang tua laki-laki datang kepada orang tua

perempuan dengan membawa rombongan keluarga dengan tujuan untuk


menanyakan apakah anak laki-lakinya dapat diterima sebagai menantu atau tidak.

Jika lamaran tersebut diterima, maka dibicarakanlah waktu dan teknis

pelaksanaannya. Pada pemilihan jodoh ini sebagaimana lazimnya baik pihak laki-

laki (pemuda) maupun pihak perempuan (pemudi) mempunyai patokan atau

penilaian yang harus dipenuhi seseorang untuk menjadi pasangan hidupnya.

Seorang informan yang bernama Bapak Mustaring (60 tahun) sebagai toko adat

di Desa Masadian, mengungkapkan bahwa :

“Baik perempuan maupun laki-laki harus memiliki patokan dalam


memilih calon imamnya dan calon istrinya kelak, jika si calon
pengantin tidak saling mengetahui satu sama lain, makanantinya
dalam pernikahan ada saja hambatan. Dalam memilih pasangan hidup
ada baiknya seorang laki-laki memilih kriteria istri yakni dilihat dari
agamanya wataknya, kecantikan,kelakuan, dan ketelatenan dalam
mengurus rumah tangga. Demikian halnya dalam memilih suami
seorang perempuan punya kriteria antara lain dilihat dari agamanya,
wataknya, kegantengan, tingkah laku, pekerjaan” (Wawancara, 4
April 2022)

Kriteria seperti yang telah dijelaskan sudah berlaku pada masyarakat Bajo

di Desa Masadian dalam hal pemilihan jodoh. Ketentuan-ketentuan yang terdapat

di dalam masyarakat Bajo untuk pasangan hidup ini tetap mengacu pada ajaran

Islam dari hadits Rasulullah Muhammad S.A.W yang menentukan ada 4 unsur

yang dapat dijadikan penilaian dalam memilih jodoh.

Pada masyarakat suku Bajo, dikenal beberapa tahapan dalam proses

pelaksanaan adat perkawinan. Seorang informan yang bernama Bapak Mustaring

(60 tahun) sebagai toko adat di Desa Masadian, mengungkapkan bahwa :

“Pada proses pernikahan dengan cara peminangan atau massuro ada tahap-
tahap yang dilakukan yaitu dimulai dengan tahap pemilihan jodoh,
penjajakan (tilau lalang), peminangan (massuro), pembayaran ongkos
(nyoroh), malam pacar (pabarraang) dan pelaksanaan aqad nikah
(panikkaang)” .(Wawancara ,4 April 2022)

Berikut ini akan diuraikan mengenai proses upacara adat perkawinan

mesurro masyarakat Bajo di Desa Masadian, Kecamatan Menui Kepulauan,

Kabupaten Morowali:

1.Pemilihan Jodoh

Dalam hal memilih jodoh masih ada orang tua bersifat sepihak dalam

memilihkan jodoh untuk anaknya. Dalam hal ini ketika orang tua melihat anaknya

telah dewasa, ia akan mulai mengadakan kunjungan pada kerabatnya atau

keluarganya. Seorang informan yang bernama Bapak Mustaring (60 tahun)

sebagai toko adat di Desa Masadian, mengungkapkan bahwa :

“Pemilihan jodoh untuk seorang anak baik laki-laki maupun perempuan


biasanya itu orang tua masing-masing yang pilihkan, baik itu mungkin dari
keluarga dekatnya maupun keluarga jauhnya. Biasanya pemilihan jodoh
ini di ikuti dengan kunjungan atau silaturahmi sesama keluarga maupun
orang yang dipilih untuk dijodohkan” (Wawancara ,4 April 2022)

Dalam kunjungan tersebut orang tua secara langsung memperhatikan anak

gadis yang cocok untuk dijadikan menantunya. Dalam hal pemilihan jodoh orang

tua mempertimbangkan bibit, bobot dan bebet.

2. Penjajakan (Tilau Lalang)

Penjajakan dilakukan dengan maksud untuk mengetahui ada tidaknya

peluang diterimanya pinangan laki-laki. Tahap penjajakan ini tidak saja tertuju

pada gadis yang sudah mempunyai hubungan cinta dengan bujang yang melamar

(yang sudah saling kenal mengenal), tetapi juga dilakukan kepada gadis lainnya.

“Sebelum pelamaran dilakukan maka pihak orang tua laki-laki (bujang)


menyuruh utusan yang biasanya terdiri dari 2 orang yaitu laki-laki dan
perempuan, untuk datang melihat-lihat dan bertanya-tanya keadaan si
gadis yang dipilih itu. Utusan yang dipilih untuk melaksanakan penjajakan
ini biasanya diambil dari keluarga laki-laki yang dipercaya mampu
menyampaikan maksud dengan bahasa kiasan”. (Wawancara ,4 April
2022)

Jika menurut hasil penjajakan ini belum ada yang mengikatnya maka

selanjutnya pihak lakilaki akan kembali ke rumah dan berunding dengan keluarga

untuk selanjutnya menentukan waktu yang terbaik untuk melangkah ke tahap

berikutnya. Apabila kata sepakat sudah diperoleh maka selanjutnya pihak

keluarga laki-laki akan mengutus beberapa orang terpandang baik kalangan

keluarga maupun dari luar lingkungan keluarga untuk menyampaikan lamaran

kepada pihak perempuan

3.Pelamaran Dengan Membawa Papinangang

Persiapan pelamaran akan diawali dengan kunjungan pihak laki-laki

kepada keluarga calon untuk menyampaikan tujuan. Kunjungan tersebut diwakili

oleh utusan dari keluarga bersama duta adat. Dalam kunjungan itu akan

ditentukan waktu pelamaran dan persiapan apa saja yang harus dilakukan. Setelah

ada kesepakatan maka pihak laki-laki akan mempersiapkan bahan dan alat apa

saja yang akan dibawa saat pelamaran. Setelah itu maka pihak laki-laki akan

menghubungi orang tua pihak perempuan.

Keluarga pihak laki-laki bersama juru bicara adatnya berkunjung ke

rumah orang tua perempuan tersebut dengan membawa sebuah bungkusan yang

merupakan “papinangang”, isi dari papinangang ini yaitu Apo (kapur), leko (daun

sirih) dan pinah atau pinang. Pada isi papinangang yang dibawa terdapat makna
yang terkandung didalamnya. Seorang informan yang bernama Bapak Mustaring

(60 tahun) sebagai toko adat di Desa Masadian, mengungkapkan bahwa :

“Pada saat pihak laki-laki datang kerumah orang tua perempuan, dari
pihak laki laki membawa sebuah papinangang. Papinangang yang
berwarna kuning dipakai pada waktu upacara massuro (meminang),
sebagai makna keceriaan dan kehangatan bagi keluarga karena
berfungsi sebagai tempat penyimpan bahan-bahan pinangan antara lain
Leko (daun sirih), Pinah (pinang), Apo (kapur). Leko (daun sirih),
pinah (pinang), Apo (kapur), jika dimakan tidak secara sendiri-sendiri
tetapi secara bersama-sama sehingga menghasilkan rasa yang enak bagi
yang memakannya, jika dimakan secara tersendiri akan terasa pahitnya
memiliki makna simboliknya dari bahan pinangan tersebut tidak
diartikan secara satu persatu tetapi mempunyai makna secara
keseluruhan., karena sirih dan pinang kalau di makan sendiri-sendiri
akan terasa pahit dan tidak enak. Namun kalau dikunyah bersamaan
akan menimbulkan rasa nikmat manis dan hangat serta harmonis. Jadi
bahan-bahan tersebut melambangkan sebagai alat pemersatu pihak-
pihak yang terlibat dalam suatu pembicaraan untuk menyatukan hati
membulat tekad tanpa harus mengorbankan adanya perbedaan. serta
yang ditentukan 77 Real atau 88 Real “.(Wawancara, 4 April 2022).

Pada saat keluarga pihak laki-laki tiba di rumah pihak perempuan untuk

proses pelamaran, Papinangang tersebut akan disembunyikan agar tidak nampak,

nanti setelah pihak perempuan menerima kedatangan pihak laki-laki barulah

Papinangang tersebut dinampakkan di hadapan keluarga pihak perempuan. Juru

bicara adat pihak keluarga laki-laki kemudian menyampaikan maksud kedatangan

mereka. Seorang informan yang bernama Bapak Mustaring (60 tahun) sebagai

toko adat di Desa Masadian, mengungkapkan bahwa:

“Apabila pihak perempuan sudah menerima kedatangan pihak laki-laki


baru disitu papinangang di simpan dihadapan pihak perempuan ,
selanjutnya juru bicara pihak laki-laki tersebut mengutaran maksud atas
kedatangannya dengan uraian dialog saat pelamaran yakni “Darua kami
matikka iru nia parallu basar kami kakaang itu, pattuju kami itu missa dua
tullu maksud kami natilau kami nia bubunga ma dialang rumata nianeke
aha nyirang ia” (adapun kedatangan kami ini ada maksud yang sangat
besar terhadap kalian, tujuan kami ini tidak ada basa basinya, kami ingin
bertanya ada bunga di dalam rumah apakah sudah ada yang menyiramnya
atau belum. Jika ada misalnya, kalau boleh besar sekali hati kami ingin
menyiramnya”. (Wawancara , 4 April 2022)

Ungkapan tersebut kemudian dijawab oleh juru bicara adat pihak

perempuan. Seorang informan yang bernama Bapak Mustaring (60 tahun) sebagai

toko adat di Desa Masadian, mengungkapkan bahwa:

“ Kalau sudahmi pihak laki-laki da kasitau maksud dan tujuannya ,sekarang


gantian oleh pihak perempuan untuk menjawab bicara dari pihak laki-laki
dengan ungkapan sebagai berikut: “sumerang iru katonang kami ne, dadi
ngaga ne kita dolu na tilau kami dolu ana kami. Sumerang ada nea ana
kami nyoho ne kami aha kakita pabara bona kita palimba”. Kalau begitu
kami sudah tahu, jadi kita menunggu dulu karena kami mau tanya dulu
sama anak kami. Bilamana dia mau maka kami menyuruh seseorang untuk
membawa kabar agar kita (kalian) kembali” (Wawancara, 4 April 2022).

Setelah juru bicara pihak perempuan telah selesai, selanjutnya pihak

keluarga laki-laki bermaksud untuk menanyakan kepada pihak perempuan yakni

jumlah uang atau mas kawin yang akan di berikan.

4. Pembayaran Ongkos

Perkawinan (Nyoroh) Nyoroh adalah suatu acara penyerahan ongkos

perkawinan yang telah disepakati kepada pihak perempuan. Di masyarakat Bajo,

Pananga hanya sebagai pelengkap untuk menetukan hari pernikahan. Dalam acara

menaikkan ongkos perkawinan ini pihak pria menyediakan persyaratan-

persyaratan seperti apa yang menjadi semua kebutuhan pengantin perempuan.

Sebelum ongkos perkawinan ini diserahkan dalam bungkusan kain putih

selanjutnya mereka akan mengadakan suatu dialog, seorang informan yang


bernama Bapak Mustaring (60 tahun) sebagai toko adat di Desa Masadian,

mengungkapkan bahwa:

“Sebelum ongkos perkawinan diserahkan biasanya ada dialog yang


dilakukan antara pihak laki-laki dan pihak perempuan yakni
Pihak laki-laki, “darua ai ma pabicaraanta nia ne boa kami ma sangang
itu” (sesuai apa yang kita bicarakan sudah kami bawa malam ini).
Pihak perempuan, “lako battiru ne pattujudi alakune sikarah itu” (kalau
sudah begitu maksud kalian kami akan mengambilnya sekarang ini)”.
(Wawancara, 4 April 2022).

Dengan diterimanya ongkos perkawinan tersebut oleh pihak perempuan

maka berarti selesailah acara menaikkan ongkos perkawinan (pembayaran ongkos

perkawinan). Kemudian kegiatan selanjutnya dilakukan pembicaraan mengenai

penetuan waktu upacara perkawinan. Penentuan hari pelaksanaan upacara

pernikahan disesuaikan dengan hari yang baik guna memberikan keberuntungan

rumah tangga baik bagi calon pengantin .

5. Malam Pacar (Pabarraang)

Pada malam sebelum hari pernikahan semua keluarga dari pihak laki-laki dan

perempuan akan diundang dalam rangka acara pabarraang (bahasa Bajo), atau

malam pacar dalam bahasa Bugis. Pertama-tama bersama-sama ke rumah

pengantin perempuan, di adakan malam pacar (Pabarraang) dan diiringi gendang

serta pembakaran lilin yang terbuat dari kemiri. Usai di rumah pengantin

perempuan maka semua undangan berpindah tempat ke rumah laki-laki untuk

mengadakan acara malam pacar (Pabarraang) dengan adat yang sama.

Adapun bahan yang digunakan dalam proses malam pacar (Pabarraang)

tersebut terdiri dari: baki kuningan (dulah kuneh) yang berisi kapak (bandoh),

sarung wana putih yang diletakkan di atas baki kuning, bedak basah terbuat dari
tepung beras dicampur dengan kunyit intuk memperkuning bedak, lilin yang

terbuat dari bahan tawon (madu) yang diletakkan di pinggir piring bedak, Oje’

yang digunakan sebagai alat untuk memayungi calon pengantin. Oje’ terbuat dari

kayu dan kain putih, yang dipegang oleh dua orang. Oje’ tersebut dipegang sambil

digoyang-goyang.

6. Upacara Adat Perkawinan (Pesta Perkawinan)

Pelaksanaan upacara perkawinan masyarakat Bajo, baik itu dalam

kalangan masyarakat golongan mampu dan tidak mampu, nampak adanya

kesederhanaan. Kesederhanaan ini, tidak terlepas dari pengaruh agama yang

dianut oleh masyarakat Bajo yakni agama Islam. Pelaksanaan upacara pernikahan

masyarakat Bajo dipadukan antara hukum Islam dengan adat kebiasaan

masyarakat. Oleh karena itu, di dalam upacara pernikahan tidak mengenal

tingkatan-tingkatan masyarakat antara golongan bangsawan dan golongan budak,

meskipun masyarakat Bajo di Desa Masadian mengenal adanya golongan lolo

(bangsawan) dan to sama golongan biasa, namun dalam pelaksanaan perkawinan

saat ini tidak lagi memandang dari golongan mana. Seorang informan yang

bernama Bapak Rahmat S. (45 tahun) sebagai Kepala Desa di Desa Masadian,

mengungkapkan bahwa:

“Masyarakat yang melaksanakan perkawinan mempunyai tingkatan yang


sama. Mengenai ramai atau tidaknya pesta pernikahan itu tergantung pada
kemampuan ekonomi orang yang melaksanakannya” (Wawancara, 4 April
2022).

Pelaksanaan pesta pernikahan, jauh sebelumnya yaitu skitar tujuh hari atau

tiga hari sebelum hari pernikahan tiba, para kerabat, keluarga, sudah hadir untuk
turut mempersiapkan berbagai keperluan. Pada hari hari pernikahan, kedua

mempelai akan menggunakan pakaian adat dan mempelai laki-laki siap untuk

diantar ke rumah mempelai perempuan dengan cara ditandu menggunakan

Rempaang. Rempaang tersebut dari bambu yang akan dipikul empat orang laki-

laki.

Di depan barisan pengantin laki-laki ada enam orang perempuan yang

membawa bosara yang berisi kue khas orang Bajo, serta ada empat orang yang

membawa sarung (bidah), gula (gola) dan kelapa biji (saloka) yang dipikul dengan

menggunakan bambu (bolo). Jika pengantin laki-laki sudah mendekati rumah

pengantin perempuan maka diadakan sambutan tarian yaitu tari silat (manca).

Tarian tersebut dimainkan dua orang laki-laki, satu orang dari pihak laki-laki dan

satu orang dari pihak perempuan, diserta dengan gendang dan gong. Tiba di

rumah pengantin perempuan, terlebih dahulu pengantin laki-laki disambut dengan

hamburan beras (buas) lalu di pancing dengan sehelai kain sutra dan gelang Emas.

Setelah pengantin laki-laki diterima oleh pihak perempuan, ia langsung dituntun

ke tempat yang telah disediakan (lammeh), sedangkan pengantin perempuan

masih berada di dalam kamarnya.

4.5 Agama dan Kepercayaan

4.5.1 Agama dan Kepercayaan

Sistem religi dan kepercayaan masyarakat Bajo di Desa Masadian,

Kecamatan Menui Kepulauan, Kabupaten Morowali tertuang dalam kegiatan

ritual sehari-hari. Sebagai tempat kegiatan ritual keagamaan, terlihat adanya

sarana peribadatan berupa masjid sebagai tempat beribadah. Ibadah atau sholat
fardhu dilaksanakan di masjid secara berjamaah selain itu masjid juga memiliki

fungsi sebagai tempat pertemuan, pengajian atau acara yang berkaitan dengan

kegiatan keagamaan lainnya..

Meskipun mayoritas masyarakat Bajo di Desa Masadian beragama Islam,

namun kepercayaan terhadap makhluk halus (ghaib) selain kepercayaan kepada

Allah SWT masih dilakukan oleh masyarakat Bajo di Desa Masadian. Keyakinan

ini diwujudkan dalam bentuk tindakan dan perilaku dalam kehidupan sehari-hari.

Agama dan tradisi tumbuh dan berkembang saling melengkapi sehingga

memberikan kesan harmonis dalam menjalankannya. Tradisi budaya suku Bajo

bersumber dari ajaran Islam sehingga banyak persamaannya. Mereka lebih

percaya pada keagungan kekuasaan hanya kepada Allah SWT, mereka juga

mempercayai keberadaan nenek-nenek laut (Mbo Tambirah) dan menganggap

tradisi mandi setelah melahirkan sebagai bagian dari budaya nenek moyang

mereka. Oleh karena itu, antara budaya dan agama masing-masing memiliki

ruangnya sendiri dan berjalan sesuai koridornya.

Indikasi bahwa suku Bajo masih mempercayai makhluk selain Allah SWT

adalah seringnya terjadi praktik ritual terkait kepercayaan akan keberadaan nenek

penjaga laut (mbo tambirah). Mbo Tambirah mempunyai tugas untuk menjaga

laut sehingga dalam kepercayaan masyarakat Bajo dalam kaitannya dengan

penangkapan ikan makhluk ini dapat membawa rezeki dan dapat menimbulkan

bencana jika masyarakat pulau Kabalutan lalai terhadap larangan (pamali) yang

menimbulkan kekacauan atau kerusakan lingkungan (laut).


Dalam membangun interaksi dengan penjaga laut ini, orang biasanya

meminta sandro (dukun) yang merupakan orang yang memiliki kelebihan di luar

jangkauan manusia (supranatural) untuk melakukannya. Wujudnya berupa

upacara laut seperti Tiba' Anca sesuai dengan maksud yang diinginkan.

Keyakinan yang mereka miliki tidak lepas dari apa yang diwarisi oleh nenek

moyang mereka sebelumnya. Suku Bajo percaya bahwa ada makhluk halus yang

baik dan ada juga yang jahat. Roh-roh ini berfungsi untuk mengendalikan dunia

mereka. Kebahagiaan, kesedihan, dan bahkan penyakit adalah pengaruh dari roh.

4.5.2 Bahasa

Sebagai masyarakat yang dinamis, bahasa merupakan kekuatan yang

bertahan dalam lingkungan yang berubah dengan cepat yang terjadi secara terus

menerus. Bahasa Bajo secara jelas mendefinisikan siapa dan bagian mana dari

masyarakat yang dapat dituturkan oleh hampir semua lapisan masyarakat dari

anak-anak hingga orang tua.

Kehidupan sehari-hari masyarakat Bajo di Desa Masadian menggunakan

bahasa Bajo sebagai bahasa persatuan (baong sama). Hal ini dikarenakan

dominasi suku Bajo yang mendiami suku Bajo di Desa Masadian dan tidak ada

bahasa daerah dari suku lain untuk dijadikan bahasa yang akan digunakan dalam

kehidupan sehari-hari. Menggunakan bahasa Bajo (baong sama) sebagai bahasa

sehari-hari bukan berarti bahasa daerah lain tidak bisa digunakan untuk

berkomunikasi. Ada beberapa bahasa daerah yang biasa digunakan untuk

berkomunikasi dalam kehidupan sehari-hari pada masyarakat Bajo di Desa

Masadian, namun dilihat dari konteks dengan siapa mereka berkomunikasi.


Misalnya, bahasa suka (orang darat) digunakan untuk berkomunikasi dengan

sesama orang tanah (seperti itu) atau mereka yang bukan Bajo Masadian. Bahasa

Bajo memiliki tiga tingkatan penggunaan, yaitu bahasa tertinggi (halus), halus

(sopan) dan bahasa pasar (kasar).

Meskipun ada suku lain yang mendiami Desa Masadian sebagai

masyarakat adat, jumlahnya sangat sedikit. Hal inilah yang membuat bahasa tanah

tidak digunakan sebagai bahasa sehari-hari karena bukan bahasa identitas Suku

Bajo. Namun, kini bahasa tanah sebagai bahasa lain di Kecamatan Walea Besar

digunakan sebagai bahasa pergaulan pemuda suku Bajo. Dialek Bajo memiliki

penekanan pada akhir huruf dari kata yang diucapkan. Misalnya adinta

(makanan), baca adinnta. Seringkali, kalimat diucapkan dengan satu suara keras,

sementara kata terakhir ditahan hingga suaranya berkurang.

4.5.3 Adat Istiadat

Suku Bajo memiliki beberapa adat kebiasaan yang selalu dilaksanakan

sejak beberapa tahun silam. Adat yang biasa dilakukan adalah Sunno’ (Khitanan),

Sangkineh (meminta keselamatan dan kesehatan calon bayi dan ibu ketika sedang

mengandung agar proses lahiran lancar), Tiba’ Anca (meminta Kesembuhan dari

penyakit) dan Ngala’ Bangi (mendoakan orang yang sudah meninggal). Suku

Bajo juga memiliki bendera kebangsaan yang biasa disebut ula-ula. Ula-ula

adalah bendera kerajaan suku Sama (Bajo) jiwa dari ula-ula adalah ambar laut

atau mustika laut yang berkhasiat sebagai penawar dan juga dapat memberi

keyakinan akan tercapainya suatu tujuan


Bendera ula-ula merupakan simbol identitas suku Bajo yang terbuat dari

kain berbentuk segit tiga terbalik yang merupakan interpretasi sebuah mitos

berupa binatang raksasa (gurita) yang memiliki keterkaitan dengan kehidupan

suku Bajo yang bisa membawa keselamatan atau musibah. Dalam kebudayaan

suku Bajo ula-ula biasa difungsikan pada saat prosesi adat, perkawinan, atau

dalam pengobatan (wabah penyakit). Hewan laut berwujud gurita (kuitta)

merupakan saudara kembar (kaka) yang terlahir bersama bayi (manusia)

bersamaan dengan ari-ari (tamuni). Hubungan antara kedua makhluk yang

berbeda alam ini terlihat ketika manusia (sama) mengalami sakit keras (piddi)

atau dalam musibah di lautan (tenggelam) maka saudara (kuitta) akan

memberikan tanda terhadap masyarakat adanya musibah yang kelak menimpa

penduduk.

Ula-ula terdiri dari 5 warna yakni merah, putih, biru, kuning dan hitam.

Masing-masing memiliki makna yaitu: 1) warna merah melambangkan keberanian

untuk berjuang mencapai tujuan; 2) warna putih melambangkan kebersihan,

kesucian serta keikhlasan. Bersih dari pengaruh, suci dalam niat dan ikhlas dalam

berkorban; 3) warna biru melambangkan kesegaran dan ketenangan menatap masa

depan; 4) warna kuning melambangkan ketuaan yang artinya berilmu, penuh

pengalaman, guna menimbang-nimbang setiap langkah perjuangan menuju masa

depan yang lebih baik; dan 5) warna hitam melambangkan ketabahan serta

kesabaran dalam menghadapi segala tantangan, demi terwujudnya suatu

kehidupan sejahtera dan abadi


BAB V

KAWIN LARI PADA ADAT SUKU BAJO

Dalam masyarakat adat suku bajo khususnya di Desa Masadian kawin lari

disebut dengan silayyang. Silayyang dalam masyarakat bajo merupakan suatu

bentuk pernikahan yang sangat tercela. Perbuatan silayyang akan menimbulkan

aib tidak hanya bagi orang tua tetapi juga sanak keluarga baik keluarga pria

berlebih bagi keluarga wanita yang melakukan silayyang. Kawin lari (silayyang)
yakni perkawinan dimana laki-laki dan perempuan melarikan diri kerumah

penghulu adat atau pemuka agama dan memohon perlindungan.

Berdasarkan pengamatan penulis fenomena kawin lari sangat sering terjadi

pada suku Bajo Desa Masadian yang biasanya di karenakan oleh beberapa faktor

diantaranya : 1) Faktor pendidikan dimana hampir sebagian besar yang melakukan

kawin lari tersebut adalah anak-anak yang putus sekolah atau mereka yang tidak

pernah bersekolah yang keseharian kegiatan mereka hanya bermain dan ikut

mencari nafkah sebagai nelayan; 2) Faktor Ekonomi dimana orang tua dari pihak

laki-laki tidak memliki uang yang cukup untuk melakukan peminangan kepada

perempaun yang merupakan pacar dari anak laki-laki tersebut; 3) Orang tua atau

keluarga perempuan tidak merestui hubungan anak gadisnya dengan lakilaki yang

merupakan kekasih anaknya sehingga kedua pasangan tersebut melakukan

silayyang agar mereka tidak dipisahkan; 4) Kawin lari juga dilakukan karena laki-

laki dan perempuan telah berbuat yang bertentangan dengan hukum agama

(perempuan telah hamil).

Kawin Lari (silaiyang) dari tahun ke tahun terus menunjukan peningkatan,

sepasang muda mudi yang melakukan silayyang tersebut yang pada umumnya

yang melakukan kawin lari adalah anak-anak yang putus atau tidak sekolah

bahkan anak masih dibawah umur. Biasanya yang melakukan silayyang ini

sebenarnya hanya berpacaran biasa namun dikarenakan hubungan mereka

ditentang oleh orang tua mereka sehingga mereka melakukan kawin lari agar

mereka tidak dipisahkan.


Di Desa Masadian, Kecamatan Menui Kepulauan, Kabupaten

Morowali yang mayoritas penduduknya merupakan suku Bajo dengan mata

pencaharian sebagaian besar adalah nelayan yang hampir setiap bulan ada

sepasang anak yang melakukan kawin lari (silayyang) dimana mereka selalu

melakukan silayyang (kawin lari) pada saat pertengahan bulan purnama atau pada

saat para nelayan istirahat dari melakukan pekerjaan sebagai pelaut. Namun meski

keduanya telah dinikahkan, hubungan antara keluarga pria dan wanita tetap tidak

berdamai. Oleh sebab itu selama mereka berdua belum diterima kembali ditengah-

tengah keluarga dan berdamai yang disebut dengan sipamapporah (meminta

maaf), maka pria yang membawa pergi wanita itu harus terus waspada dan

berusaha menghindar untuk bertemu orang tua dan keluarga pihak perempuan.

Pada kehidupan sosial masyarakat pada prinsipnya kawin lari tidak

dibenarkan karena didalamnya ada hal-hal yang dilanggar yaitu tidak taat asas

musyawarah dan mufakat, adanya perilaku memaksakan kehendak dan

tercorengnya nama baik keluarga maupun masyarakat karena kawin lari

memungkinkan terjadinya perbuatan-perbuatan maksiat yang tidak diinginkan.

Upaya yang dilakukan para pihak terhadap kasus kawin lari di desa Masadian,

Kecamatan Menui Kepulauan, Kabupaten Morowali yaitu yang pertama para

Tokoh Adat sebagaimana bertindak sebagai tokoh yang dituakan di desa dan

selain dihormati juga sangat disegani oleh masyarakat, para tokoh adat memanggil

keluarga dari kedua belah pihak untuk bermusyawarah dan berdiskusi mencari

solusi bagi keduanya, agar permasalahan dapat terselesaikan dengan baik,

kemudian para tokoh adat membantu pasangan kawin lari untuk mengikuti tata
cara pernikahan yang benar muali dari proses akad nikah sampai seterusnya sesuai

dengan adat istiadat yang berlaku. Selanjutnya para pemerintah desa dengan

melihat kasus kawin lari yang tiap tahun selalu ada bahkan meningkat, sehingga

aparat pemerintah desa Masadian bertindak tegas dengan menerapkan peraturan

bahwa setiap siswa sekolah harus memiliki akta kelahiran, dengan ketentuan

bahwa setiap anak yang akan didaftarkan pada sekolah dasar wajib memiliki akta

kelahiran, dan akta kelahiran dapat terbit berdasarkan perkawinan yang sah dan

diakui oleh negara dengan bukti memiliki buku nikah . terakhir para Orang tua

dan keluarga, setelah mengetahui anak mereka telah melakukan kawin lari, para

keluarga pada kedua belah pihak, terlebih dahulu bertemu dan berunding mencari

penyelesaian sebelum diselesaikan oleh para tokoh adat, mereka berdiskusi

tentang nasib anak mereka yang telah mencoreng nama baik keluarga tetapi

mereka sadari kalau perbuatan anak mereka tidak sepenuhnya salah sehingga

mereka mengikhlaskan anak mereka untuk diselesaikan proses perkawinan sesuai

adat yang telah ditentukan.

Berdasarkan pernyataan di atas bahwasanya para pemangku adat dan

pemerintah desa lebih harus memperketat aturan atau sanksi untuk para pelaku

kawin lari. Dimana perkawinan ini merupakan perkawinan tercela yang tidak

mengikuti aturan adat dan aturan agama. Seorang informan yang bernama Bapak

Mustaring S (60 tahun) sebagai Toko Adat di Desa Masadian, mengungkapkan

bahwa:

“Hukum adat yang melanggar sehingga dikenakan sanksi yaitu dengan


membayar denda sesuai ketentuan adat yang sudah ditentukan. Denda
disini yaitu membayar sejumlah uang kepada orang tua perempuan
dimaksudkan sebagai uang penyembuhan hati orang tua perempuan yang
mana anaknya melakukan kesalahan dengan tidak mendengarkan
perkataan orang tua dan sudah membuat malu nama baik orang tua, uang
denda yang harus dibayar dalam silayyang suku bajo sesuai ketentuan adat
yaitu apabila salah satu dari pasangan yang silayyang tersebut berasal dari
satu desa, maka uang denda yang diberikan sebesar Rp. 8.000.000,- di luar
adat, sedangkan apabila salah satu diantara mereka dalam hal ini lak-laki
berasal dari luar desa maka uang denda yang diberikan sebesar Rp.
12.000.000,- di luar adat, yang mana adat disini disesuaikan dari keturunan
masing-masing kedua belah pihak kedua orang tua. ( Wawancara, 4 April
2022)

Di Desa Masadian hukum adat masih sangat berlaku bagi masyarakat yang

melanggar aturan di Desa Masadian, Kecamatan Menui Kepulauan, Kabupaten

Morowali.

5.1 Perkawinan Kawin Lari (Silaiyang)

Kawin lari (silaiyang) adalah suatu perkawinan yang terjadi atas

kesepakatan laki-laki dan perempuan tanpa sepengetahuan orang tua pihak

perempuan. Umumnya di Desa Masadian, Kecamatan Menui Kepulauan,

Kabupaten Morowali, kawin lari dilakukan pada malam hari menuju rumah

Tokoh Agama atau Tokoh Adat. Seorang informan yang bernama Bapak Rahmat

S (45 tahun) sebagai Kepala Desa di Desa Masadian, mengungkapkan bahwa:

“ Jadi kawin lari ini dia atau biasa disebut silaiyang pada masyarakat bajo
merupakan perbuatan yang tidak baik ditiru, tidak baik juga di contoh sama
masyarakat sekitar khususnya pada anak-anak muda , karena kawin lari atau
silaiyang ini merupakan tindakan yang tidak direstui oleh orang tua
siperempuan maupun si laki-laki.Biasanya kawin lari dilakukan malam hari
agar tidak diketahui oleh pihak keluarga dengan menaruh uang di bawah
bantal, kalau sudah ada pasangan yang kawin lari pasti larinya kerumah saya
atau langsung kerumah toko adat maupun penghulu “ (Wawancara, 4 April
2022)

Kawin lari yang dilakukan pasangan muda-mudi biasanya dilaksanakan

melakukan pada malam hari atau dalam keadaan sunyi. Selanjutnya, Seorang
informan yang bernama Bapak Mustaring S (60 tahun) sebagai Toko Adat di Desa

Masadian, mengungkapkan bahwa:

“ Kawin lari biasanya dilakukan pada waktu suasana sunyi agar tidak
ketahuan oleh pihak keluarga perempuan. Kawin lari ini bertujuan
menghindarkan diri dari berbagai keharusan yang ada dalam jalur
perkawinan melalui peminangan serta untuk menghindarkan diri dari
berbagai rintangan yang datangnya dari orang tua pihak perempuan”
(Wawancara, 4 April 2022)

Kawin lari dalam masyarakat adat Suku Bajo disebut dengan “Silayyang”.

Silayyang dalam masyarakat Bajo merupakan bentuk perkawinan yang sangat

tercela. Perbuatan silayyang adalah aib tidak hanya bagi orang tua, tetapi juga

sanak keluarga baik keluarga laki-laki terlebih bagi keluarga perempuan. Kawin

lari dimana laki-laki dan perempuan melarikan diri ke rumah penghulu adat atau

pegawai agama untuk meminta perlindungan. Silayyang mengalami peningkatan

setiap tahunnya.

Pada tahun 2019-2021 terdapat hampir 12 (dua belas) pasangan yang

melakukan silayyang. Pada umumnya, yang melakukan kawin lari adalah anak-

anak yang putus sekolah atau anak-anak yang tidak pernah bersekolah, bahkan

banyak juga anak-anak yang masih dibawah umur. Pada dasarnya, anak-anak

yang melakukan kawin lari, sebenarnya hanya berpacaran tetapi karena hubungan

mereka ditentang oleh kedua orang tua, sehingga mereka melakukan kawin lari

agar mereka tidak dipisahkan satu sama lain.

Kawin lari adalah salah satu jalan yang mudah dilakukan apabila

menghadapi masalah. Kawin lari biasanya digunakan sebagai jalan pintas apabila

calon pendamping hidup tidak mendapat restu dari kedua orang tua untuk
membangun bahtera rumah tangga dan untuk menghindarkan diri dari berbagai

keharusan atau rintangan (tidak adanya persetujuan) dari pihak orangtua dan

sanak saudara. Sedangkan yang disebut dengan perkawinan di bawa lari adalah

lari dengan seorang perempuan yang sudah ditunangkan (mempunyai tunangan)

atau dikawinkan dengan orang lain.

Pada dasarnya jika terjadi kawin lari, maka secara hukum belum masuk ke

dalam ranah perkawinan. Biasanya, setelah peminangan barulah dilangsungkan

akad perkawinan. Rukun dan syarat dalam perkawinan menentukan suatu

perbuatan hukum, terutama yang menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan

tersebut dari segi hukum. Dalam suatu perkawinan, rukun dan syarat tidak boleh

tertinggal, dalam arti perkawinan tidak sah bila keduanya tidak ada atau tidak

lengkap. Keputusan kawin lari biasanya diambil dalam keadaan terdesak.

Pasangan tidak melihat efek jangka panjang. Kawin lari adalah buah dari

pemikiran saat emosi sedang tidak stabil. Terhadap pasangan kawin lari di

lingkungan masyarakat Suku Bajo, merupakan suatu sikap ketidakpatuhan

terhadap hukum Islam maupun Hukum Adat pada umumnya.

Berikut ini akan diuraikan mengenai proses upacara adat perkawinan

dengan cara kawin lari (silaiyang) pada masyarakat Bajo di Desa Masadian:

5.1.1 Pasangan Pergi Ke Rumah Tokoh Adat Dengan Melakukan Kawin Lari

(Silaiyang).

Pada masyarakat Suku Bajo di Desa Masadian, peristiwa Silaiyang

(melarikan diri untuk dinikahkan) adalah perbuatan yang mengakibatkan

“pakayya” bagi keluarga perempuan. Seorang informan yang bernama Bapak


Rahmat S (45 tahun) sebagai Kepala Desa di Desa Masadian, mengungkapkan

bahwa:

“ Kalau dulu itu , pada zaman orang tuaku dulu kalau sudah adami yang
melakukan kawin lari semacam ini bagi pihak perempuan yang disebut
“nggai ia” selalu berusaha untuk menegakkan harga diri atau “pakayya”
dengan cara membunuh lelaki yang melarikan anak gadisnya (anaknya). “
(Wawancara. , 4 April 2022)

Namun, sekarang ini menurut ketentuan adat, apabila keduanya telah

berada di rumah anggota adat atau penghulu (pemerintah) maka ia tidak bisa

diganggu lagi. Penghulu atau anggota adat harus berusaha dan berkewajiban

mengurus dan menikahkannya. Seorang informan yang bernama Bapak Rahmat S

(45 tahun) sebagai Kepala Desa di Desa Masadian, mengungkapkan bahwa:

“ Kalau sudah adami laki-laki dengan perempuan yang melakukan kawin


lari datang kerumah saya atau kerumahnya toko adat di desa ini, itu tidak
ada yang bisa menganggu atau datang jemput itu perempuan. Karena
sudah tugasnya kami yang mengurus dan kasih menikah ini anak” .
(Wawancara, 4 April 2022)

Pihak laki-laki yang membawa pihak perempuan akan menyimpan uang

atau baju laki-laki di bawah bantal tempat tidur perempuan. Hal tersebut sebagai

tanda bahwa anak perempuan mereka telah dibawa lari oleh laki-laki atau

pasangannya. Setelah itu, kedua pasangan tersebut menuju rumah tokoh adat atau

penghulu untuk meminta perlindungan untuk dinikahkan.

Tokoh adat atau penghulu kemudian menemui pihak keluarga laki-laki

untuk menyampaikan bahwa anak mereka telah membawa lari anak perempuan ke

rumah tokoh adat atau penghulu untuk dinikahkan. Setelah itu tokoh adat atau

penghulu menemui keluarga perempuan dengan maksud menyampaikan bahwa


anak perempuannya berada di rumah tokoh adat atau penghulu bersama anak laki-

laki untuk meminta perlindungan untuk dinikahkan.

5.1.2 Pembayaran ongkos perkawinan (nyoroh)

Nyoroh adalah suatu acara penyerahan ongkos perkawinan yang telah di

sepakati kepada pihak perempuan. Di Desa Masadian, Pananga hanya sebagai

pelengkap untuk menetukan hari pernikahan. Dalam acara menaikkan ongkos

perkawinan ini pihak pria menyediakan persyaratan-persyaratan seperti apa yang

menjadi semua kebutuhan pengantin perempuan. Seorang inforan yang bernama

Bapak Mustaring (60 tahun) sebagai toko adat di Desa Masadian, mengungkapkan

bahwa:

“ Dalam acara menaikkan ongkos ini harus ada rombongan keluarga yang
datang bawa ongkosnya yakni terdiri dari laki-laki dan perempuan masing-
masing berpakaian adat yang sopan, dan setelah rombongan mereka tiba di
rumah pihak perempuan, mereka dijemput dan disambut dengan sebaik-
baiknya oleh keluarga pihak perempuan. Biaya perkawinan tersebut
diserahkan dalam bungkusan kain putih”. (Wawancara, 4 April 2022)

Pada proses penyerahan ongkos , dilanjutkan dengan acara penyerahan

mahar oleh pihak laki-laki yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan dengan

menggunakan pakaian adat Bajo .

5.1.3 Mempersiapkan Alat Dan Bahan

Setelah tahap pembayaran ongkos yang dilakukan oleh pihak laki-laki

selesai, selanjutnya barulah para toko adat menyiapkan alat dan bahan yang akan

di pakai dalam proses pernikahan. Alat dan bahan yang harus disediakan oleh

toko adat atau penghulu adalah menyiapkan papinangang, dimana papinangan

adalah sebuah wadah yang berwarna kuning yang dipakai pada waktu upacara
massuro (meminang). Papinangang berfungsi sebagai tempat penyimpan bahan-

bahan pinangan antara lain Leko (daun sirih), Pinah (pinang), Apo (kapur).

Selanjutnya menyiapkan berbagai bahan yakni leko (daun sirih), pinah (pinang),

apo (kapur), menyiapkan bidah (sarung) dan kain putih (kaeng pote). Seorang

informan yang bernama Bapak Mustaring (60) selaku toko adat di Desa Masadian,

mengungkapkan bahwa :

“ Sama halnya dengan perkawinan melalui peminangan atau masuro,


perkawinan dalam kawin lari juga membutuhkan bahan-bahan agara
perkawinan dapat sesuai dengan ketentuan adat, dimana alat dan bahan-
bahan yang digunakan adalah adanya papinangan atau wadah, wadah ini
digunakan untuk menyimpan daun sirih,pianng dan kapur, selain itu
sarung juga hal wajib yang harus disiapkan serta kain putih untuk
keperluan perkawinan ini” ( Wawancara, 4 April 2022)

Alat dan bahan yang di bawa dalam pernikahan kawin lari biasanya di

sediakan langsung oleh tokoh adat atau toko agama, karena mereka bertanggung

jawab atas kedua calon mempelai. Walaupun pernikahan ini tidak disetujui

dengan dengan masyarakat Desa Masadian.

5.1.4 Akad Nikah (Panikkaang)

Pada proses akad nikah perkawinan Silaiyang, sebelum diadakan ijab qabul,

pengantin laki-laki diantar ke rumah mempelai perempuan , mempelai laki-laki

duduk di atas kain putih ukuran 1-2 meter. Kain putih tempat duduk mempelai

laki-laki tersebut mengandung hakikat atau ibarat putihnya hati laki-laki untuk

menerima calon istrinya

Pada proses ijab qabul tersebut, pembantu PPN memanggil nama pengantin

laki-laki sebanyak satu kali dan setiap kali dipanggil dijawab oleh pengantin laki-

laki ya, setelah itu pengantin laki-laki dituntun oleh pembantu PPN untuk
bertaubat kepada Allah SWT dengan membacakan surah Al-fatihah, al-Ikhlas, Al-

Falaq, An-Nas, lalu mengucapkan taubat yaitu Astagfirullah sebanyak 3 kali,

mengucapkan syahadat sebanyak 3 kali disertai dengan artinya. Setelah

pelaksanaan ijab qabul selesai, maka pengantin laki-laki dan pengantin perempuan

akan melakukan sembah sujud pada kedua orang tua untuk meminta maaf. Setelah

pengantin laki-laki dan pengantin perempuan meminta maaf kepada kedua orang

tua maka pengantin tersebut diantar ke pelaminan untuk bertemu para tamu.

5.2.Faktor-Faktor Terjadinya Kawin Lari (Silaiyang)

Soerjono Soekanto menjelaskan bahwa penyebab terjadinya kawin lari

bersama bahwa perkawinan dengan lari bersama dilakukan untuk menghindarkan

diri dari berbagai keharusan sebagai akibat perkawinan dengan cara pelamaran

atau pertunangan atau juga untuk menghindarkan diri dari rintangan-rintangan

dari pihak orang tua dan sanak saudara pihak perempuan. Fenomena terjadinya

kawin lari (silayyang) di Desa Masadian, Kecamatan Menui Kepulauan,

Kabupaten Morowali terjadi karena beberapa faktor, yakni pertanma faktor

pendidikan dimana sebagian besar pelaku kawin lari adalah anak-anak yang putus

sekolah atau yang tidak pernah bersekolah, keseharian ikut mencari nafkah

dengan orang tuanya menjadi nelayan. Selanjutnya faktor Ekonomi dimana orang

tua dari laki-laki tidak memiliki uang untuk meminang perempuan,yang keduanya

memiliki hubungan kekasih. Selanjutnya faktor keluarga, orang tua atau keluarga

perempuan tidak merestui hubungan keduanya.sehingga melakukan silayyang

agar mereka tidak dipisahkan. Terakhir faktor usia dimana Silayyang juga
dilakukan oleh pasangan yang masih dibawah umur Kawin lari dilakukan karena

perempuan telah hamil di luar nikah.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya kawin lari atau

silaiyang, diantaranya sebagai berikut :

5.2.1 Syarat dan Pembiayaan Yang Tidak Dapat Dipenuhi

Penyebab terjadinya kawin lari karena adanya kebiasaan menetapkan syarat

mahar dan biaya perkawinan yang relatif tinggi dari pihak calon istri/perempuan.

Kondisi tersebut menjadi persoalan, ketika calon suami/laki-laki berasal dari

golongan masyarakat yang tidak mampu, tidak memiliki penghasilan yang cukup

sebagai nelayan, sehingga sulit untuk memenuhi syarat bagi pihak perempuan.

Sementara hubungan keduanya (antara calon suami dan istri), tidak dapat lagi

dipisahkkan, sudah saling mencintai, sehingga memutuskan untuk menikah.

Namun dengan kondisi tersebut, maka mereka menempuh jalan silayyang.

Beberapa infoman mengakui bahwa keinginannya untuk melakukan kawin

lari dikarenakan tidak dapat memenuhi syarat dan pembiayaan. Jadi mereka

memilih kawin lari untuk menghindari pernikahan dengan biaya yang tinggi.

Seorang informan yang bernama Bapak Muis (24 tahun) sebagai pelaku kawin

lari , mengungkapkan bahwa:

“ Saya melakukan kawin lari karena tidak dapat memenuhi pembiayaan


yang cukup tinggi. Saya juga sudah memberitahu kepada orang tua
perempuan ini bahwasanya saya akan membayar dua kali mahar, tapi
orang tuanya menolak. Karena saya dan perempuan ini saling suka ya...apa
boleh buat kita kawin lari saja” (Wawancara , 5 April 2022)
Penyebab terjadinya kawin lari karena adanya kebiasaan menerapkan mahar

dan biayaya perkawinan yang begitu tinggi dari pihak perempuan. Selanjutnya Ibu

Yulita (21 tahun), selaku istri dari Bapak Muis, mengungkapkan bahwa:

“ Iye memang.... kami berdua melakukan tindakan kawin lari, sebenarnya


saya juga sudah memberikan pengertian kepada kedua orang tua saya,
untuk bisa memeberikan keringanan kepada calon suamiku, supaya biarmi
kasian dia bayar dua kali maharnya yang penting pernikahannya kita
lancar, tapi mau diapa saya punya orang tua menolak, dari situmi kita
merencenakan kawin lari” (Wawancara, 5 April 2022)

Karena nilai mahar atau mas kawin yang di sepakati oleh pihak perempuan

terlalu tinggi , maka sering kali terjadi adanya kesalahpahaman antara kedua

pihak. Dimana calon mempelai laki-laki terkadang tidak menyanggupi rangkaian

mahar yang di sepakati oleh pihak perempuan.

Selain Bapak Muis , ada juga Bapak Mansur (22 tahun) sebagai pelaku

kawin lari, mengungkapkan bahwa :

“ Saya harus berfir kedepannya, bahwasanya jika biyaya pernikahan


dikeluarkan terlalu banyak maka akan berdampak pada kondisi ekonomi
rumah tangga yang melemah dimana keuangan telah banyak digunakan.
Saya memikirkan kondisi ekonomi setelah pernikahan karena tidak lagi
ingin tinggal bersama orang tua, yang dianggapnya jika telah menikah,
mereka harus memiliki tempat tinggal sendiri. Sehingga untuk dapat
melakukan pernikahan dengan tetap dapat menghemat biaya, maka kami
memilih untuk melakukan kawin lari”. (Wawancara, 5 April 2022)

Kenyataan tersebut dapat terjadi karena laki-laki berasal dari golongan yang

tidak mampu memenuhi ketentuan yang biasa disyaratkan oleh pihak

perempuan.Selanjutnya Ibu Julhayani (16 tahun), selaku istri dari Bapak Mansur,

mengungkapkan bahwa:

“ Kedua orang tuaku beserta keluargaku yang disini, mereka inginkan


pernikahan kami di buatkan acara yang mewah dan meriah, tapi
maksudnya kita begini biarmi hanya ijab kabul saja dan disaksikan dengan
keluarga besarku dengan keluarga pihak laki-laki. Supaya nanti pas selesai
pernikahan kita tidak pusingmi lagi masalah uang,karna ada uang
pegangannya kita. Tapi orang tuaku menolak, Sehingga untuk dapat
melakukan pernikahan, maka kami memilih untuk melakukan kawin lari”.
(Wawancara, 5 April 2022)

Pada dasarnya biayaya merupakan salah satu unsur penting dalam sebuah

pernikahan, kadangkala laki-laki tidak dapat menyanggupi hal tersebut sementara

laki-laki dan perempuan sudah tidak dapat dipisahkan lagi dan merasa harus

menikah maka mereka menepuh jalan pintas dengan silaiyang. Selanjutnya

informan dari Bapak Jumasri (23 Tahun) sebagai pelaku kawin lari,

mengungkapkan bahwa :

“ Saya melakukan kawin lari disebabkan tidak mampunya saya untuk


mengadakan pelamaran sehingga memilih untuk melakukan jalan pintas
yaitu pelarian, pelarian yang dimaksud adalah membawa lari seorang gadis
untuk melakukan kawin lari” . (Wawancara, 5 April 2022)

Dalam pra pernikahan biasanya pihak laki-laki melakukan proses

pelamaran. Tapi kadangkala ada juga yang tidak melakukan proses pelamaran

karena alasan biyaya yang sangat tinggi. Selanjutnya Ibu Raehana (20 tahun),

selaku istri dari Bapak Jumasri, mengungkapkan bahwa:

“ Keinginan keluargaku pihak laki-laki mereka datang melamar, tapi itumi


kasian dalam proses pelamaran pasti mengeluarkan uang atau biaya. Saya
sudah bilang juga dengan keluargaku, janganmi pake pelamaran biarpi
bapak dengan mama saja yang saksikan pertukaran cincinku tidak usahmi
undang banyak orang, tapi pihak keluargaku tidak mau juga. Mulai darisitu
kami merencanakan untuk kawin lari atau silaiyang ini “(Wawancara, 5
April 2022

Pada masa pra-pernikahan biasanya pihak perempuan menuntut adanya

prosesi pelamaran yang diselenggarakan dengan mewah. Pada proses pelamaran


ini kadangkala menghabiskan biaya yang sangat mahal. Biasanya pihak laki-laki

tidak mampu mengadakan prosesi tersebut dan kadangkala terbesit didalam

pikiran untuk melakukan kawin lari atau silaiyang.

5.2.2 Salah Satu Pihak Bukan Keturunan Bangsawan.

Selain penyebab di atas yang melarang anaknya untuk bersuami karena

memikirkan masa depan untuk anaknya. Ada pula orang tua yang melarang

anaknya bersuami karena didasarkan atas perbedaan golongan strata. Seorang

informan yang bernama Bapak Ruslan (26 tahun) sebagai pelaku kawin lari ,

mengungkapkan bahwa:

“ Orang tua nya belum mengizinkan untuk menikah karena alasan masih
kuliah, ternyata itu hanya alasan saja, karena saya bukan turunan bangsawan
dan bukan strata yang sama (selevel) dengan keluarganya, disaat saya
mendengar gosip tersebut saya langsung kepikiran untuk melakukan kawin
lari”. (Wawancara , 5 April 2022)

Terkadang golongan atau strata menjadi penghalang bagi setiap pasangan yang

akan melanjutkan kejenjang pernikahan. Selanjutnya Ibu Jumaria (24 tahun),

selaku istri dari Bapak Ruslan, mengungkapkan bahwa:

“ Saat itu sebenarnya saya sudah berbincang juga sama orang tuaku, saya
bilang tidak usahmi pakai golongan bangsawan begitu, karena menurtku
sama saja orang biasa dengan orang yang bangsawan, tapi tetap saja orang
tuaku tidak mendengar maunya sa di jodohkan dengan yang piihannya
mereka.Mulai dari situmi saya memutuskan untuk melakukan kawin lari
“(Wawancara, 5 April 2022)

Karena faktor ini, anak lebih memilih melakukan kawin lari. orang tua yang

masih memegang erat budaya zaman dulu memilih pernikahan anaknya dengan

untuk dinikahkan dengan laki-laki yang memiliki strata yang sama. Tapi di balik

semua itu anak yang akan dinikahkan belum tentu mau menikah dengan lakilaki
dari golongan yang sama. Anak melakukan kawin lari karena orang tua tidak

mengizinkan anaknya untuk menikah dengan laki-laki yang berbeda dengan

golongannya. Anak menganggap tidak masalah jika menikah dengan laki-laki

yang dari golongan masyrakat biasa atau bukan keturunan bangsawan.

5.2.3 Laki-Laki atau Perempuan Telah Dijodohkan

Salah satu faktor yang menyebabkan seseorang melakukan kawin lari,

pasangan yang telah bertunangan dalam waktu dekat ataupun lama, mereka akan

menikah. Dengan kata lain mereka tidak perlu lagi mencari pasangannya untuk

menikah. Tapi dalam masa peralihan itu, pasangan merasa tidak lagi cocok

dengan tunangannya karena tunangannya memiliki sifat yang dianggap tidak baik

untuk seorang wanita. Jadi untuk menghindari terjadinya pernikahan, pasangan

mencari orang lain yang akan dia nikahi. Untuk menikahinya, mereka melakukan

kawin lari agar terlepas dari pertunangannya dengan perempuan sebelumnya.

Selain itu, penyebab terjadinya kawin lari adalah pertunangan yang dibuat oleh

orang tua tanpa meminta persetujuan sang anak. Seorang informan yang bernama

Bapak Marsel (20 tahun) sebagai pelaku kawin lari , mengungkapkan bahwa:

“ Alasan saya melakukan kawin lari ini adalah dikarenakan orang tua
perempuan ingin menikahkan anaknya dengan pilihannya. Saat saya tau kabar
buruk itu , perasaan saya sudah tidak enak, saya gelisah dan susah tidur dan
ototmatis saya menolak, karena kita sudah lama menjalin hubungan dalam hal
pacaran dan saya juga sudah berkomitmen sejak lama sama dia (siperempuan)
”. (Wawancara, 6 April 2022)

Perjodohan sering dilakukan oleh orang tua laki-laki maupun orang tua

perempuan. Dengan berbagai cara yang dilakukan, agar perjodohan berjalan

dengan lancar. Tapi kadangkala seorang anak sering menolak, dengan alasan
sudah mempunyai pasangan masing-masing. Selanjutnya Ibu Rina (18 tahun),

selaku istri dari Bapak Marsel, mengungkapkan bahwa:

“ Memang pada saat itu saya sudah curiga memang dengan kedua orang tuaku,
bagaimanakah da ajak saya ketemu dengan keluarga jauhnya , katanya hanya
menyambung silaturahmi saja ternyata mereka mau jodohkan saya, otomatis
saya kaget disitu karena suda ada juga saya punya pacar dan kami sudah
berkomitmen juga. Saat kejadian itu saya merasa gundah dan gelisah, dan
semenjak kejadian itu kami memetuskan untuk melakukan kawin lari ini
“(Wawancara , 6 April 2022)

Perempuan tidak mau menikah dengan laki-laki yang ditunangkannya

karena dia tidak menyukai laki-laki tersebut dan perempuan itu telah memiliki

pacar yang disukainya, untuk menghindari pernikahan dengan laki-laki yang

ditunangkannya maka perempuan bersedia dibawa lari oleh pacarnya untuk

melakukan kawin lari. Sehingga dengan kawin lari, pertunangan itu menjadi batal.

Seorang informan yang bernama Bapak Ikbal (27 tahun) sebagai pelaku kawin lari

, mengungkapkan bahwa:

“ Sebenarnya saya juga sudah datang dirumahnya meminta dengan baik-baik


sama orang tuanya, tapi begitumi katanya anaknya dia mau nikahkan
dengan tentara saja, baru itu tentara orang kampung sini juga , karna saya
tidak terima dengan keputusannya akhirnya saya memutuskan kawin lari.
Baru memang sudah lama juga kita pacaran “. (Wawancara, 6 April 2022)

Penyebab terjadinya kawin lari karena orang tua perempuan telah

menjodohkannya dengan seorang yang tidak dicintainya . Dalam hal ini pemilihan

jodoh atau pasangan hidup orang tualah yang mengatur perjodohan anak-anaknya

sehingga tidak jarang terjadi tekanan atau pemaksaan secara sepihak. Selanjutnya

Ibu Irawati (25 tahun), selaku istri dari Bapak Ikbal, mengungkapkan bahwa:

“ Dari dulu memang keluargaku mereka tidak suka kalau saya bersama
dengan dia menikah, hanya adeknya bapaku saja kasian yang dukung kita
ini. Orang tuaku dia lebih pilih orang yang berpangkat daripada pilihan
anaknya sendiri. Padahal saya mauku dari pilihan ku sendiri saya menjalin
bahtera rumah tangga , tidak usahmi ada campuran tangan dari orang tuaku.
Semenjak kejadian itu saya memutuskan untuk kawin lari” (Wawancara, 6
April 2022)

Orang tua kadangkala memilihkan jodoh untuk anak-anaknya. Biasanya pihak

perempuanlah yang seringkali dijodohkan secara paksa oleh kedua orang tua.

Selanjutnya seorang informan yang bernama Bapak Idham (33 tahun) sebagai

pelaku kawin lari , mengungkapkan bahwa:

“ Orang tuanya sudah menjodohkan dia dengan keluarganya. Keluarganya ini


keluarga dekat dari mamanya,satu kampungnya kita juga . Karna si
perempuan ini menolak dengan perjodohannya, akhirnya dia datang kasitau
saya dirumah waktu itu, tapisaya belum pulang dirumah saya masih dikebun
waktu itu. Untungnya adik saya datang memberitahu saya. Tanpa fikir
panjang saya memutuskan saja langsung ambil jalan pintas yakni kawin
lari” (Wawancara , 6 April 2022)

Penyebab terjadinya kawin lari karena orang tua perempuan sudah

menjodohkan dengan pilihannya. Selanjutnya Ibu Ulfayani (23 tahun), selaku istri

dari Bapak Idham, mengungkapkan bahwa:

“ Saya tidak suka saya dijodoh-jodohkan begitu, mauku saya pilihanku


sendiri karna saya akan jalani lika-likunya nanti bukan mereka, jadi saya
memutuskan untuk kawin lari” (Wawancara, 6 April 2022)

Pada pasangan kawin lari di atas, Ibu Ulfayani (23 tahun) merupakan seorang

yang bercadar, dimana ia memutuskan kawin lari karena orang tua nya telah

menjodohkan nya dengan laki-laki lain, yang tidak sesuai dengan pilihannya. Pada

proses wawancara peneliti mengabadikan buku nikah untuk menjadi bahan

dokumentasi.
Gambar 5.2 : Buku Nikah
(Dokumentasi Febrianti, 2022)

Gambar 5.3 : Pasangan Kawin Lari


(Dokumentasi Febrianti, 2022)

Selain orang tua perempuan sudah menjodohkan anaknya, ada pula orang

tua yang tidak menyukai laki-laki yang dipilih oleh si perempuan. Selanjutnya

seorang informan yang bernama Bapak Muhlis (28 tahun) sebagai pelaku kawin

lari , mengungkapkan bahwa:


“ Orang tuanya tidak setuju dengan saya sejak lama, akhirnya orang tuanya
ingin menjodohkan dengan seorang polisi, tapi untungnya si perempuan
menolak dan langsung memberi tahu saya bahwasanya dia akan di
jodohkan. Setelah beberapa hari dengan pemikiran yang matang saya
putuskan kawin lari saja” . ( Wawancara, 7 April 2022)

Terkadang orang tua berperan dalam pemilihan jodoh terhadap anaknya,

yang mengakibatkan orang tua memilih secara sepihak dan tidak memberitahu

anaknya terlebih dahulu. Selanjutnya Ibu Halipa (25 tahun), selaku istri dari

Bapak Muhlis, mengungkapkan bahwa:

“ Memang dari dulu kami ini tidak dapat restu, jadi bapaku da paksa saya
menikah dengan pilihannya, tapi saya tolak karna memang saya tidak suka
dengan pilihannya bapakku.Mulai dari kejadian itu saya kepikiran terus ,
karena memang saya tidak mau pisah dengan dia apapun
keadaanya,walaupun dia kekurangan ekonomi saya tetap berada
disampinya. Jadi saya memutuskan untuk kawin lari bersamanya”
( Wawancara, 7 April 2022)

Dalam hal ini pihak perempuan menolak akan dijodohkan dengan pilihan

kedua orangtua nya, Alasan tersebut dapat menjadi factor terjadinya kawin lari.

5.2.4. Keluarga Perempuan Menolak Lamaran Pihak Laki-Laki

Penolakan lamaran pihak laki-laki dengan berbagai alasan misalnya, laki-

laki tersebut belum mempunyai pekerjaan dan penghasilan yang tetap, atau

perilaku laki-laki tersebut tidak disenangi oleh keluarga perempuan. Sehingga

perempuan merasa kecewa dengan keputusan orang tuanya yang menolak atau

tidak menerima lamaran laki-laki pilihannya, pada akhirnya, perempuan bertindak

sendiri menemui laki-laki pilihannya dan meminta agar kawin lari dengan segala

resiko dari pihak keluarga perempuan.


Penyebab pasangan melakukan kawin lari karena orang tua perempuan

menolak lamaran laki-laki, walaupun si perempuan tidak menolak untuk dilamar,

pernikahan tidak akan terjadi karena kedua calon tidak mendapat restu dari orang

tua perempuan. Seorang informan yang bernama Bapak Sakaria (24 tahun)

sebagai pelaku kawin lari , mengungkapkan bahwa:

“ Keluarga saya sudah datang dengan i’tikad baik untuk mendatangi rumah si
perempuan untuk melakukan pelamaran, ketika keluarga saya berbincang-
bincang dengan keluraga siperempuan, ternyata mereka langsung menolak.
Karena saya memang tidak disuka dari dulu. Setelah itu keluarga saya datang
dengan membawa berita buruk itu, seketika saya langsung menemui pacar
saya dan mengajaknya kawin lari. “ (Wawancara,7 April 2022)

Restu orang tua dalam suatu pernikahan sangatlah penting, Dimana restu

orang tua menjamin kebahagiaan bagi kedua pasangan yang akan manikah.

Selanjutnya Ibu Nurma (25 tahun), selaku istri dari Bapak Sakaria,

mengungkapkan bahwa:

“ Waktu itu pihak laki-laki mereka sudah datang juga di rumah, tapi itumi
tidak dihargai dan bahkan tidak disambut sama sekali, padahal saya sudah
bilang dengan orang tuaku sudah ini laki-laki yang saya pilih untuk
menjadikan pendampingku sampai tua kelak, tapi keluargaku malah tidak
setuju dengan pilihanku itu. Dari situmi saya berencana kawin lari”
(Wawancara,7 April 2022)

Di dalam sebuah pernikahan memanglah restu orang tua sangat di butuhkan


oleh pasangan calon suami istri, tetapi terkadang orang tua selalu memaksan
kehendak anak-anaknya.

Selanjutnya seorang informan yang bernama Bapak Herman (24 tahun)

sebagai pelaku kawin lari , mengungkapkan bahwa:

“ Alasan saya kawin lari itu, karena memang orang tuanya mereka nda suka
sekali dengan saya ini, sudah dari dulu juga . Entah gara-gara saya miskin
mungkin atau orang kekurangan kasian saya, dari situmi saya befikir mending
saya kawin lari saja dari pada saya tidak jadi dengan perempuan ini”
(Wawancara, 7 April 2022)

Penyebab terjadinya kawin lari karena orang tua menolak lamaran pihak

laki-laki sebagai pendamping hidup anaknya, dengan berbagai alasan misalnya

laki-laki tersebut belum memiliki pekerjaan yang tetap atau sifat laki-laki yang

tidak disukai oleh keluarga pihak perempuan. Selanjutnya Ibu Rahmawati (22

tahun), selaku istri dari Bapak Herman , mengungkapkan bahwa:

“Alasan saya melakukan kawin lari karena orang tua ku mereka tidak merestui
kami berdua, katanya bapaku untuk apakah menikah dengan laki-laki yang
kaya begitu, nda jelas pekerjaan, baru miskin tidak mempunyai pendapatan
tetap kalian mau makan apa nanti kasian itu. Padahal saya sudah kasi juga
bapaku insya allah nanti kita bisa mencari sama-sama yang penting bapak
restui dulu kami supaya bagus jalannya nanti pernikahannya kita. Tapi
bapakku tetap saja menolak dan tidak mendengarkan saya. “(Wawancara, 7
April 2022)

Jadi untuk tetap bisa bersama dan melakukan pernikahan, kedua pasangan

tersebut melakukan kawin lari, yang menurutnya jika mereka lakukan, mereka

tetap akan mendapat restu dari orang tua mereka. Dalam hal ini, jika orang tua

tidak ingin agar anaknya melakukan kawin lari, maka orang tua harus mengerti

keadaan dari anak agar mereka tidak bertindak sesuai keinginan mereka sendiri.

Faktor ini akan sering ditemukan di Desa Masadian, jika banyak orang tua yang

tidak mengerti keinginan anaknya untuk melakukan perkawinan. Mereka akan

memilih untuk melakukan kawin lari sesuai keinginannya agar mereka tetap

menikah.

5.2.5. Perempuan Hamil Diluar Nikah


Hubungan antara laki-laki dengan perempuan yang terlalu dekat dan intim

sehingga melakukan hubungan di luar kewajaran, dapat menyebabkan hamilnya

perempuan di luar nikah. Apabila hal seperti ini terjadi, maka pihak laki-laki yang

akan bertanggung jawab, dan akan berusaha untuk segera melakukan peminangan,

atau dengan cara membawa lari sang perempuan atas keinginan perempuan itu

sendiri, karena risiko konflik antara pihak orang tua dan keluarga perempuan.

Remaja usia sekolah sudah mulai menjalani hubungan dengan lawan jenis

tidak terkontrolnya pergaulan dikalangan remaja dapat memicu terjadinya

penyimapangan sosial. Hamil diluar nikah merupakan salah satu dampak yang

ditimbulkan dari adanya pergaulan bebas. Seorang informan yang berinisial A (18

tahun), mengungkapkan bahwa :

“ Saya dan pacar saya sudah menjalin hubungan sejak lama, dari awal
masuk SMA hingga kelas dua SMA, saya sangat sayang dengan dia dan
tidak membiarkan dia di dekati oleh orang lain. Saya juga sering
kerumahnya untuk menjemput dia untuk kencan di tepi pantai , pada saat
itu cuacanya mendung tanpa berbintang awalnya pacar saya menolak
untuk kencan tapi saya memaksa dengan alasan saya membelikan dia
makanan kesukaannya. Setelah di pantai tiba-tiba hujan saya langsung
mengajak dia ke rumah kebetulan di rumah orang-orang sudah pada tidur,
dan disitulah kami melakukan hubungan yang mengakibatkan dia hamil.
Seminggu kemudian dia menelpon katanya jemput mi saya karna saya
sudah tidak halangan ini..saya jemput dia dan kami kawin lari”
“(Wawancara, 10 April 2022)

Seseorang akan malu jika kehamilannya diketahui oleh masyarakat

sekitar , dia belum memiliki suami. Untuk mencegah hal itu, pasangan akan

memilih melakukan kawin lari, karena selain perempuan telah hamil, laki-laki

juga terkendala dengan masalah biaya jika mereka melakukan pernikahan seperti

pada umumnya. Kehamilan di luar nikah ini memaksa remaja melakukan


pernikahan diusianya yang masih bisa dikatakan dini. Seorang informan yang

berinisial D (17 tahun), mengungkapkan bahwa :

“ Saya tidak kasitau orang-orang dirumah bahwasanya saya hamil dengan


pacarku,karna saya takut dimarahi baru sa takut juga di tau sama
keluargaku jadi saya sembunyikan kehamilanku. Waktu saya hubungi dia,
da langsung datang kerumah ambil saya . Disitumi kita langsung kawin
lari (Wawancara, 10 April 2022)

Secara psikologis usia remaja belum memiliki kesiapan untuk membina

rumah tangga dan mengurus anak dengan baik. Dimana kenyataannya mereka

akhirnya berpisah atau bercerai. Hamil diluar nikah juga menyebabkan pendidikan

seorang anak menjadi terhenti


BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dengan cara observasi dan

wawancara langsung terhadap informan penelitian, maka peneliti mengambil

kesimpulan, kawin lari (silayyang) merupakan perkawinan yang dilaksanakan

tidak berdasarkan peminangan, proses pelaksanaanya dimulai dari pihak laki-laki

yang membawa pihak perempuan akan menyimpan uang atau baju laki-laki di

bawah bantal tempat tidur perempuan. Hal tersebut sebagai tanda bahwa anak

perempuan mereka telah dibawa lari oleh laki-laki atau pasangannya. Setelah itu,

kedua pasangan tersebut menuju rumah tokoh adat atau penghulu untuk meminta

perlindungan untuk dinikahkan. Adapun isi perkatan dari kedua pasangan yaitu:

Tokoh adat atau penghulu kemudian menemui pihak keluarga laki-laki untuk

menyampaikan bahwa anak mereka telah membawa lari anak perempuan ke

rumah tokoh adat atau penghulu untuk dinikahkan. Setelah itu tokoh adat atau

penghulu menemui keluarga perempuan dengan maksud menyampaikan bahwa


anak perempuannya berada di rumah tokoh adat atau penghulu bersama anak laki-

laki untuk meminta perlindungan untuk dinikahkan, selanjutnya pembayaran

ongkos adalah suatu acara penyerahan ongkos perkawinan yang telah di sepakati

kepada pihak perempuan. Di Desa Masadian, Pananga hanya sebagai pelengkap

untuk menetukan hari pernikahan, selanjutnya pada proses akad nikah perkawinan

Silaiyang, sebelum diadakan ijab qabul, pengantin lakilaki diantar ke rumah

mempelai perempuan (Ruma Dinda) mempelai laki-laki duduk di atas kain putih

ukuran 1-2 meter.

Fenomena terjadinya kawin lari (silayyang) di Desa Masadian, Kecamatan

Menui Kepulauan, Kabupaten Morowali terjadi karena beberapa faktor, yaitu

pertama faktor pendidikan dimana sebagian besar pelaku kawin lari adalah anak-

anak yang putus sekolah atau yang tidak pernah bersekolah, keseharian ikut

mencari nafkah dengan orang tuanya menjadi nelayan, yang kedua faktor

ekonomi dimana orang tua dari laki-laki tidak memiliki uang untuk meminang

perempuan,yang keduanya memiliki hubungan kekasih, yang ketiga faktor

keluargayakni orang tua atau keluarga perempuan tidak merestui hubungan

keduanya.sehingga melakukan silayyang agar mereka tidak dipisahkan, yang

terakhir faktor usia yakni Silayyang juga dilakukan oleh pasangan yang masih

dibawah umur Kawin lari dilakukan karena perempuan telah hamil di luar nikah.

6.2 Saran

Penulis menyarankan masalah-masalah atau problema sosial yang terjadi

di masyarakat Suku Bajo di Desa Masadian Kecamatan Menui Kepulauan

Kabupaten Morowali agar tidak lagi melakukan Silaiyang atau kawin lari yaitu
Pertama, bagi tokoh atau lembaga adat, sebaiknya memberikan sosialisasi kepada

masyarakat mengenai masalah-masalah apa saja yang timbul jika suatu pasangan

memilih kawin lari, terutama pada generasi muda agar lebih berhati-hati lagi

dalam mengambil keputusan. Kedua, bagi pemerintah Desa Masadian agar

kiranya berupaya menjembatani keluarga laki-laki dan keluarga perempuan dalam

hal pengurusan perkawinan silaiyang, dimana agar kiranya pelaku kawin lari

dibimbing dan dinasehati agar menjadi yang lebih baik lagi.


DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, K.1982. Kebudayaan dan Peranan Hukum Adat Suku Bajo. Jakarta:
Depdikbud
Amirulloh, Akhirul dkk. 2017. Tradisi Kawin Culik Masyarakat Suku Sasak di
Lombok Tengah dalam Perspektif Komunikasi Budaya. FISIP:
Universitas Tunggadewi, Malang.
Ahmad. 2016. Penyelesaian Adat Perkawinan Mombolasuako Pada Suku Tolaki,
Studi Kasus Di Desa LeleKaa Kecamatan Wolasi Kabupaten. Konawe
Selatan. Skripsi FIB Univesitas Halu Oleo
Andreas, dkk. 2005. Menggali Nilai Sejarah Kebudayaan Sulselra Sirik dan
Pacce. Ujung Pandang: SKIJ Makassar Press.
B. Ter Haar Ben, penerjemah : Soebakti Poesponopo. Asas-Asas dan Susunan
Hukum Adat
Bachtiar, Sitorus, Febrianto. 2013. Perkawinan Menurut Adat Batak Toba di Kota
Kendari. Skripsi FISIP Antropologi Univesitas Halu Oleo.
Endaswara,Suwardi. 2017. Metodologi Penelitian Kebudayaan. Yogyakarta:
Gajah Mada University Press Anggota IKAPI.
Koodoh ,Erens E. 2011. Hukum Adat Orang Tolaki. Catur tunggal Depok
Sleman YOGYAKARTA: TERAS.
Funk dan Wagnalls.2001.Teori Budaya, diterjemahkan oleh Landung Simatupang.
Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
Erwin Harianto (2018) Fenomena Kawin Lari (Pofileigho) Pada Masyarakat
Muna Di kelurahan Tampo, Kecamatan Napabalano, Kabupaten
Muna.Jurnal. Universitas Halu Oleo
Fariany . 2017. Adat Kawin Lari pada Masyarakat Sasak (Studi Kasus di
Kabupaten Lombok Tengah). Jurnal.
Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, (Bandung: Bandar
Maju, 2003)
Ihromi T.O. 2017. Pokok-pokok Antropologi Budaya. Jakarta: YayasanPustaka
Obor Indonesia.
Jasrun. 2018. Pofeleigho: Kasus Kawin Lari pada Masyarakat Muna di
Kelurahan Rahandouna Kecamatan Poasia (StudiKasus pada Sembilan
Pasangan Rumah Tangga). Jurusan Antropologi: Fakultas Ilmu
Budaya Universitas Halu Oleo, Volume 7.
Fajriani, Kurniati. 2007. Penyesuaian perkawinan bagian Pendahuluan. Jurnal.
F.PSI UI.
Kharunnisa . 2017. Dampak praktek Kawin Lari Terhadap kehidupan Keluarga
Pada Masyarakat Kec.Kutapanjang Kab. Gayo Lues. Skripsi.
Muliyono. 2020. Harmonisasi Sosial Budaya Antar Umat Beragama di Desa
Lolibu Kecamatan Lakudo Kabupaten Buton Tengah. Program Studi
Kajian Budaya: Universitas Halu Oleo.
Mahmud.(2014). Perkawinan di bawah Tangan Pada Masyarakat Wawonii Di
Kecamatan Wawonii Barat Kabupaten. Konawe Kepulauan. Skripsi
FIB Univesitas Halu Oleo
Muhamad Saleh Ridwan . Pernikahan Dalam Perspektif Islam Dan Hukum
Nasional. Cet. 1 Alaudin University Press. 2004
Ningsih (2016). Perkawinan Munik (Kawin Lari) Pada Suku Gayo di Kecamatan
Atu Lintang, Kabupaten Aceh Tengah. Jurnal. Pendidikan Pancasila
dan Kewarganegaraan. Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan.
Universitas Syiah Kuala.
Purnamasari, Fitri. 2018. Tradisi Belarian di Desa Sukaraja Kecamatan
Pedamaran Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI). Jurusan Sejarah
Peradaban Islam: Fakultas Adab dan Humaniora.
Rosramadhana dan Taufan, Nofriani. 2016. Fenomena Perkawinan Dini di
Kalangan Perempuan Jawa Deli-deli Serdang. Pendidikan Antropologi
Fakultas Ilmu Sosial: Universitas Negeri Medan.
Ratna (2019) Adat Perkawinan Suku Bajo di Desa Sainoa, Kecamtan Bungku
Selatan, Kabupaten Morowali. Jurnal Jurusan Ilmu Sejarah. Fakultas
lmu Budaya. Universitas Halu Oleo
Spardley, James P. Metode Etnografi. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.
Weber, M. 1992. The Protestant Ethic and The Spirit of Capitasism. New York:
Routledge.
Wingjodipoero, 1971. Pernikahan Pada Masyarakat Bajo. Jakarta: Depdikbud
Dokumen / Sumber lain
Dokumen Desa Masadian

LAMPIRAN
LAMPIRAN 1

PEDOMAN WAWANCARA

1. Bagaimana proses perkawinan dalam peminangan dan kawin lari pada


masyarakat Suku Bajo di Desa Masadian, Kecamatan Menui, Kabupaten
Morowali?
2. Apa makna benda pada proses perkawinan pada masyarakat Suku Bajo di Desa
Masadian, Kecamatan Menui, Kabupaten Morowali?
3. Apa saja alat dan bahan yang diperlukan dalam proses pernikahn masyarakat
Suku Bajo di Desa Masadian, Kecamatan Menui, Kabupaten Morowali?
4. Apa saja faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kawin lari pada
masyarakat Suku Bajo di Desa Masadian, Kecamatan Menui, Kabupaten
Morowali?
5. Bagaimana hukum adat terhadap kawin lari di Desa Masadian, Kecamatan
Menui, Kabupaten Morowali?
6. Apa saja sanksi yang di dapat terhadap pelaku kawin lari di Desa Masadian,
Kecamatan Menui, Kabupaten Morowali?
7. Bagaiman sejarah Desa Masadian, Kecamatan Menui, Kabupaten Morowali?
LAMPIRAN II
DAFTAR INFORMAN
1. Nama : Bapak Mustaring
Umur : 60 Tahun
Alamat : Desa Masadian, Kecamatan Menui, Kabupaten Morowali
Pekerjaan : Toko Adat (Penghulu)
2. Nama : Bapak Rahmat
Umur : 45 Tahun
Alamat : Desa Masadian, Kecamatan Menui, Kabupaten Morowali
Pekerjaan : Kepala Desa
3. Nama : Bapak Muis
Umur : 24 Tahun
Alamat : Desa Masadian, Kecamatan Menui, Kabupaten Morowali
Pekerjaan : Penjual Ikan
4. Nama : Ibu Yulita
Umur : 21 Tahun
Alamat : Desa Masadian, Kecamatan Menui, Kabupaten Morowali
Pekerjaan : Penjual Ikan
5. Nama : Bapak Mansur
Umur : 22 Tahun
Alamat : Desa Masadian, Kecamatan Menui, Kabupaten Morowali
Pekerjaan : Penjual Ikan
5. Nama : Ibu Julhayani
Umur : 16 Tahun
Alamat : Desa Masadian, Kecamatan Menui, Kabupaten Morowali
Pekerjaan : Penjual Kue
7. Nama : Bapak Jumasri
Umur : 23 Tahun
Alamat : Desa Masadian, Kecamatan Menui, Kabupaten Morowali
Pekerjaan : Buruh
8. Nama : Ibu Raehana
Umur : 20 Tahun
Alamat : Desa Masadian, Kecamatan Menui, Kabupaten Morowali
Pekerjaan : IRT
9. Nama : Bapak Ruslan
Umur : 26 Tahun
Alamat : Desa Masadian, Kecamatan Menui, Kabupaten Morowali
Pekerjaan : Buruh
10. Nama : Ibu Jumaria
Umur : 24 Tahun
Alamat : Desa Masadian, Kecamatan Menui, Kabupaten Morowali
Pekerjaan : IRT
11. Nama : Bapak Marsel
Umur : 20 Tahun
Alamat : Desa Masadian, Kecamatan Menui, Kabupaten Morowali
Pekerjaan : Wiraswasta
12 Nama : Ibu Rina
Umur : 18 Tahun
Alamat : Desa Masadian, Kecamatan Menui, Kabupaten Morowali
Pekerjaan : IRT
13. Nama : Bapak Ikbal
Umur : 21 Tahun
Alamat : Desa Masadian, Kecamatan Menui, Kabupaten Morowali
Pekerjaan : Wiraswasta
14 Nama : Ibu Irawati
Umur : 23 Tahun
Alamat : Desa Masadian, Kecamatan Menui, Kabupaten Morowali
Pekerjaan : IRT
15. Nama : Bapak Idham
Umur : 25 Tahun
Alamat : Desa Masadian, Kecamatan Menui, Kabupaten Morowali
Pekerjaan : Buruh
16. Nama : Ibu Ulfayani
Umur : 24 Tahun
Alamat : Desa Masadian, Kecamatan Menui, Kabupaten Morowali
Pekerjaan : IRT
17. Nama : Bapak Muhlis
Umur : 26 Tahun
Alamat : Desa Masadian, Kecamatan Menui, Kabupaten Morowali
Pekerjaan : Nelayan
18. Nama : Ibu Halipa
Umur : 24 Tahun
Alamat : Desa Masadian, Kecamatan Menui, Kabupaten Morowali
Pekerjaan : IRT
19. Nama : Bapak Sakaria
Umur : 24 Tahun
Alamat : Desa Masadian, Kecamatan Menui, Kabupaten Morowali
Pekerjaan : Wiraswasta
20. Nama : Ibu Nurma
Umur : 21 Tahun
Alamat : Desa Masadian, Kecamatan Menui, Kabupaten Morowali
Pekerjaan : IRT
21. Nama : Bapak Herman
Umur : 24 Tahun
Alamat : Desa Masadian, Kecamatan Menui, Kabupaten Morowali
Pekerjaan : Buruh Pelabuhan
22. Nama : Ibu Rahmawati
Umur : 22 Tahun
Alamat : Desa Masadian, Kecamatan Menui, Kabupaten Morowali
Pekerjaan : IRT
23. Nama : Inisial A
Umur : 18 Tahun
Alamat : Desa Masadian, Kecamatan Menui, Kabupaten Morowali
Pekerjaan : Tukang Ojek
24. Nama : Inisial D
Umur : 17 Tahun
Alamat : Desa Masadian, Kecamatan Menui, Kabupaten Morowali
Pekerjaan : Penjual Bakso Bakar
LAMPIRAN III
DOKUMENTASI PENELITIAN

Foto I : Bersama Ibu


Nurma dan
Bapak Sakaria

Foto ll : Bersama
Kepala Desa

Foto Ill : Bersama Ibu Halipa dan Bapak Muhlis

Anda mungkin juga menyukai