Anda di halaman 1dari 68

1. D.

Nilai-Nilai dalam Kebudayaan

Nilai budaya adalah aspek ideal yang terwujud sebagai konsepsi-konsepsi abstrak yang hidup
dalam pikiran sebagian besar dari warga suatu masyarakat mengenai apa yang harus dianggap
penting dan berharga dalam hidup Koentjaraningrat dalam Yusni, (2001: 15).
Selanjutnya lebih jauh (Koentjaraningrat 2000: 11) mengemukakan bahwa nilai budaya adalah
tingkat yang paling abstrak dari adat terdiri dari konsepsi-konsepsi yang hidup dalam pikiran
sebagian besar dari warga masyarakat mengenai hal-hal yang harus mereka anggap amanat
bernilai dalam hidupnya. Dalam wujud yang paling konkret, aspek nilai budaya ini berupa
norma-norma, aturan-aturan dan hukum yang menjadi pedoman manusia dalam bertindak dan
berperilaku.
Sebagian terbesar sastra daerah di Indonesia identik dengan sastra lisan. Fungsinya, selain
sebagai saluran untuk memelihara dan menurunkan buah pikiran suku atau pihak yang
mempunyai sastra itu, juga cerminan alam pikiran, pandangan hidup, serta ekspresi pada
keindahan masyarakat pemiliknya.
Dapat disimpulkan bahwa nilai budaya adalah perilaku yang hidup dalam pikiran masyarakat
mengenai hal-hal yang mereka anggap amat bernilai dalam hidupnya, wujudnya dapat berupa
adat istiadat, norma-norma, aturan-aturan dan hukum yang mengatur tindak budaya yang adab
dan menjadi pedoman manusia dalam bertindak dan berperilaku. Nilai budaya yang dimaksud
dalam pembahasan ini yaitu nilai budaya yang hidup dalam pikiran masyarakat mengenai hal-hal
yang mereka anggap amat bernilai dalam hidupnya dan wujudnya dapat berupa adat istiadat,
norma-norma, yang mengatur tindak budaya yang adab dan menjadi pedoman manusia dalam
bertindak dan berperilaku.

1. E.

Definisi dan Konsep Kearifan Lokal (Local Wisdom)

Kearifan lokal secara etimologi terdiri dari dua kata yakni kata kearifan yang berarti
kebijaksanaan atau kecendikiaan, dan kata lokal yang berarti di satu tempat atau setempat.
Secara umum kearifan lokal (local wisdom) dapat diartikan sebagai gagasan-gagasan setempat
yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, dan terpelihara serta diikuti oleh
masyarakat setempat (di tempat tertentu). Mengacu pada makna etimologi seperti dimaksud
maka kearfan lokal (local wisdom) dapat diartikan sebagai gagasan-gagasan setempat yang
besifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik dan tertanam dan diakui oleh anggota
masyarakatnya. Dengan demikian, secara umum La ode Taalami dkk (2010: 40-41) mengatakan
bahwa kearifan lokal dapat dimaknai sebagai berbagai sistem nilai, atauran atau norma-norma,
pandangan hidup, sistem pengetahuan, cara, serta berbagai strategi kehidupan yang berwujud
aktivitas yang bersifat bijaksana penuh dengan kearifan, bernilai baik, dan terpelihara serta
diakui oleh masyarakat lokal (masyarakat pendukungnya) dalam menjawab berbagai masalah
dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya.

Dalam kehidupan bermasyarakat atau kebudayaan yang ada di daerah tersebut tentu memiliki
makna maupaun nilai-nilai yang tekandung di dalamnya, itulah yang dinamakan kearifan lokal.
Hal ini sesuai dengan pendapat Ali Hadara (2011: 30) bahwa kearifan lokal merupakan nilai-nilai
yang secara tradisional dijunjung tinggi oleh masyarakat secara kolektif tetapi berlaku terbatas
pada lokalitas dan komunitas tertentu.
Jadi dalam setiap komunitas masyarakat hampir dapat dipastikan memiliki nilai-nilai sosial
budaya yang dijadikan tradisi demi kelangsungan hidupnya. Inilah yang dinamakan mental
struktur dalam ilmu sejarah atau morfologi budaya dalam ilmu antropologi. Kearifan lokal itu
tercermin dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Dalam kaitannya dengan aktivitas
kemaritiman yang dilakukan oleh masyarakat Wakatobi secara umum, khususya masyarakat
pulau Wangi-Wangi terdapat banyak nilai-nilai kearifan lokal yang sangat diperlukan untuk
menggapai cita-cita dan menciptakan kehidupan masyarakat yang harmonis, aman, tentram, dan
sejahtera lahir dan batin.
Selanjutnya Karo Cyber (2011) mengatakan bahwa kearifan lokal merupakan gagasan-gagasan
atau nilai-nilai, pandangan-padangan setempat atau (lokal) yang bersifat bijaksana, penuh
kearifan, bernilai baik yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya.
Dari beberapa konsep keraifan lokal yang dikemukakan di atas dapat ditarik suatu kesimpulan
bahwa kearifan lokal merupakan gagasan atau kerangka berpikir masyarakat yang bijaksana
memiliki nilai-nilai baik, terpelihara, mengandung kearifan dan dapat dikuti oleh masyarakat
untuk kelangsungan hidupnya.
BAB III
METODE PENELITIAN

1. A. Waktu dan Tempat Penelitian


Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 17 April 2013 sampai selesai di Kelurahan
Wanci, Kelurahan Mandati, Desa Liya dan Desa Kapota di pulau Wangi-Wangi Kabupaten
Wakatobi.
1. B.

Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan strukturis dengan menggunakan metode sejarah


sebagaimana yang dikemukakan oleh Nugroho Notosusnto (1978: 35-43) bahwa untuk mengkaji
metode sejarah terdiri dari heuristik, kritik, interpretasi dan historiografi.
Penelitian ini penulis menggunakan Pendekatan strukturis yaitu mempelajari peristiwa dan
struktur sebagai satu kesatuan yang saling melengkapi. Artinya peristiwa mengandung kekuatan
mengubah struktur sosial, sedangkan struktur mengandung hambatan atau dorongan bagi
tindakan perubahan dalam masyarakat.

Disamping itu, R.Z Leirissa (1996) dalam Ali Hadara, (2010: 6), dalam tulisannya yang bejudul
historiografi: suatu tinjauan kritis mengemukakan bahwa hingga kini terdapat tiga domain
penelitian sejarah, yaitu domain peristiwa, domain struktur dan domain strukturis.
1. C.

Metode dan Sumber Data Penelitian


1. 1.

Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode sejarah yang di kemukakan oleh
Kuntowijoyo (1995 : 89) yaitu sebagai berikut :
1. PemilihanTopik
2. Pengumpulan Sumber (heuristik)
3. Verifikasi (kritik sejarah terhadap keabsahan sumber)
4. Interpretasi (analisis dan sintesis)
5. Penulisan
Berdasarkan pendapat yang di kemukakan oleh Kuntowijoyo, maka dalam penelitian ini melalui
prosedur atau tahap-tahap sebagai berikut :
1. 1.

PemilihanTopik

Dalam memilih topik penulis memilih topik yang ada kaitannya dengan sejarah sebab dalam
penelitian ini adalah penelitian sejarah. Adapun topik yang dipilih berdasarkan pertimbangan dua
hal yaitu :
1. a.

Kedekatan Emosional

Penilitian ini memiliki kedekatan emosional dengan melihat topik bahwa judul ini belum ada
yang mengkaji secara ilmiah, sehingga penulis sebagi putra daerah pulau Wangi-Wangi merasa
bertanggung jawab untuk melakukan penelusuran jejak-jejak peninggalan sejarah dan budaya di
pulau Wangi-Wangi sehingga tidak menimbulkan tanda tanya bagi masyarakat khususnya
generasi muda yang belum mengetahui tentang berbagai bentuk kearifan lokal di pulau WangiWangi.
1. b.

Kedekatan Intelektual

Kedekatan intelektual yakni dalam penyusunan tulisan ini, penulis berpedoman pada metodologi
dan kaidah-kaidah ilmiah penulisan seajarah sehingga sesuai dengan tuntunan prosedur keilmuan
dalam penulisan sejarah, yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya sebagaimana
diperoleh penulis selama belajar di program studi pendidikan sejarah.

1. 2.

Pengumpulan Sumber ( Heuristik)

Peneliti berusaha untuk mendapatkan dan menghimpun data yang relevan dengan permasalahan
dalam penelitian ini. Adapun teknik pengumulan sumber yang akan digunakan peneliti, mengacu
pada pendapat Kasianto (2006 : 9), yaitu:
1. Studi dokumen yaitu teknik pengumpalan data dengan cara mengkaji dokumen atau
arsip-arsip tertulis yang ada hubungannya dengan permasalahan wujud kearifan lokal,
suatu nilai yang terdapat didalamnya.
2. Studi lisan yaitu teknik pengumpulan data yang dilakukan oleh peneliti dengan cara
wawancara kepada informan yang banyak memiliki informasi. Melalui studi lisan, maka
peneliti melakukan wawancara dengan beberapa informan yang penulis anggap
mempunyai pemahaman dan pengetahuan tentang kearifan lokal.
3. Studi remin, sebagaiman yang dikemukakan oleh Nazir (2003: 49) yaitu teknik
pengumpulan data berupa bahan-bahan atau tulisan yang mempunyai nilai-nilai sejarah
yang terdapat tanpa suatu kesadaran menghasilkannya untuk keperluan pembuktian
sejarah. Berdasarkan hasil pengamatan dilapangan ditemukan benda-benda peninggalan
seperti kuburan kuno, tradisi kariaa, (khitanan) pohamba-hamba (gotong royong), adat
perkawinan, adat kelahiran serta bahan dan tulisan tentang kearifan lokal yang dapat
dijadikan sebagai peninggalan sejarah dalam bentuk budaya atau peninggalan para
leluhur.
4. 3.

Verifikasi (Kritik Sejarah Terhadap Keabsahan Sumber)

Pada tahap ini, penulis melakukan penelitian terhadap sumber data yang telah terkumpul,
khususnya data yang masih diragukan otentitas dan kredibilitasnya. Untuk mengetahui otentitas
(keaslian) dan kredibilitas (kebenaran) data yang telah terkumpul tersebut maka peneliti
melakukan analisi skritik sejarah, baik kritik eksternal maupun kritik internal.
1)
Kritik ekstern yakni kritik yang dilakukan untuk mengetahui otentitas sumber data yang
didapatkan. Dalam hal ini dilakukan analisis terhadap sumber data dengan cara meneliti sifatsifat luarnya sehingga diperoleh data yang lebih akurat. Sjamsuddin (1998: 105) mengemukakan
bahwa kritik eksternal adalah suatu penelitian ata sasal-usul dari sumber, suatu pemeriksaan atas
catatan atau peninggalan itu sendiri untuk mendapatkan semua informasi yang mungkin dan
untuk mengetahui apakah pada suatu waktu sejak asal mulanya sumber itu telah diubah oleh
orang-orang tertentu atau tidak.
2)
Kritik Intern yakn ikritik yang dilaukan untuk mengetahui kredibilitas isi sumber data yang
didapat. Kasianto (2006: 14) menyatakan bahwa untuk menguji apakah sumber itu dapat
dipercaya atau kebenarannya dan ketepatannya maka dapat dilakukan melalui 4 aspek yaitu : (1)
kemampuan menyatakan kebenaran, (2) kemauan menyatakan kebenaran, (3) keakuratan
pelaporan dan (4) adanya dukungan secara bebas dari orang lain yang juga menyaksikan
peristiwa secara langsung mengenai isi laporang yang disampaikan.

1. 4.

Interpretasi Data (Analisis dan Sintesis)

Setelah melakukan penilaian data melalui kritik ekstern dan kritik intern, maka data
tersebut diinterpretasi atau ditafsirkan dengan mengacu pada konsep yang berhubungan dengan
masalah yang diteliti. Pada bagian interpretasi ini otentitas dan kredibilitas sumber data yang
sudah ditetapkan melalui kritik selanjutnya dihubungkan antara data yang satu dengan yang
lainnya sehingga didapatkan fakta sejarah yang dapat dipercaya kebenarannya secara ilmiah
yang dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut :
1) Analisis, yaitu proses menguraikans sumber-sumber data, Karena kadang-kadang sebuah
sumber mengandung beberapa kemungkinan, mana sumber yang asli dan bukan.
2)
Sintesis, yaitu proses menyatukan berapa data yang terkumpul yang dianggap saling
berhubungan dan relevan dengan penelitian yang dikaji.
1. 5.

Penulisan (Historiografi)

Historiografi atau penyusunan data merupakan bagian akhir dari seluruh rangkaian
penelitian sejarah. Pada bagian ini penulis menyusun kisah secara kronologis dan sistematis
berdasarkan data dan fakta yang berhasil dikumpulkan dan telah lulus verifikasi serta sudah
diinterpretasikan.
1. 2.

Sumber Data Penelitian

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan tiga kategori sumber data penelitian yaitu sebagai
berikut :
1. Sumber tertulis, yaitu data yang diperoleh dari berbagai literatur dalam bentuk buku dan
skripsi, laporan hasil penelitian serta sumber tertulis lainnya yang sesuai dengan kajian
penelitian ini.
2. Sumber lisan, yaitu tindakan pengambilan data yang diperoleh dari hasil wawancara
dengan para informan, diantaranya adalah tokoh masyarakat, tokoh agama, pemerintah
setempat yang mengetahui tentang permasalahan yang diteliti, suatun pengamatan
beberapa kegiatan kemasyarakat yang terekam ketika melakukan penelitian.
3. Sumber visual, yaitu data yang diperoleh dari hasil pengamatan mengenai beberapa
bentuk kegiatan berupa, kegiatan kemasyarakatan, upacara adat, kesenian dan sopan
santun dalam pergaulan yang berkaitan dengan wujud keraifan lokal.
BAB IV
GAMBARAN UMUM PULAU WANGI-WANGI

1. A.

Latar Belakang Sejarah Pulau Wangi-Wangi

Wangi-Wangi merupakan salah satu pulau dari empat pulau yang yang terdapat digugusan
Kepulauan Tukang Besi di Sulawesi Tenggara, selain nama tersebut gugusan kepulauan ini
biasa disebut juga dengan istilah liwuto pasi atau pulau karang. Setelah mengalami pemekaran
kepulauan ini lebih populer dengan sebutan Wakatobi.
Dari keempat pulau ini peneliti akan menjelaskan sedikit tentang sejarah singkat salah satu pulau
di gugusan kepulauan. Pulau yang dimaksud adalah pulau dimana penulis melakukan penelitian
yakni pulau Wangi-Wangi.
Pulau Wangi-Wangi atau Wanse (Wanci) atau biasa juga disebut pulau Koba, merupakan sebuah
pulau yang dulunya di huni oleh rombongan dari Wolio yang berjumlah empat orang saudara
kandung. Keempat orang ini menempati beberapa tempat di pulau Wangi-Wangi. Keempat
saudara kandung tersebut adalah Gangsalangi menempati Tindoi, Gansaori menempati Lia, La
Ode Patimalela menempati Wa Bue-Bue dan Kapota, serta Wa Surubaende menempati Mandati
Tonga.
Berdasarkan hasil wawancara dengan informan disebutkan bahwa keempat tempat tersebut
sampai sekarang masih dikeramatkan oleh masyarakat Wangi-Wangi umumnya masyarakat
Wakatobi (La Ode Mada Wawancara, 15 Juni 2013), hal ini sejalan dengan pandangan La Ode
Idi (Samlia, 1995: 39) bahwa keempat daerah dimana tempat keempat orang tersebut oleh
masyarakat Wangi-Wangi dijadikan tempat-tempat yang dikeramatkan. Hal ini juga sejalan
dengan hasil tinjauan lokasi penelitian bawa disalah satu tempat di desa Kapota tepatnya di Togo
Molengo (kampung lama), ditemukan bekas-bekas semedi masyarakat yakni sebuah piring yang
berisi satu batang rokok daun pinang dan dupa yang berasal dari sabut kelapa. Disamping itu,
dalam media cetak juga menyebutkan bahwa terjadi perselisihan diantara warga dan pelaksana
proyek pembangunan jalan menuju salah satu tempat yang dikeramatkan oleh masyarakat
(Tindoi) (Bau-Bau Pos edisi, 28 Juli 2013).
Sumber lain yang menyebutkan asal muasal pulau Wangi-Wangi adalah sebuah artikel
(http://.com asal mula mandati.html. yang di akses pada tanggal 29-06-2013), mengenai kisah
seorang pelaut yang berasal dari Kepulauan Key di Maluku melabuhkan perahunya di sebuah
karang yang tidak lain sekarang adalah pulau Wangi-Wangi. Entah apa alasannya, pelaut itu
sangat yakin bahwa suatu saat karang itu aka menjadi sebuah pulau. Sebelum meninggal, ia
berpesan pada istrinya agar jika kelak anaknya (Wasurubhaende) dewasa antarkanlah ia ke
sebuah pulau yang terletak tidak jauh dari pulau Maluku. Seperti anak-anak lainnya,
Wasurubhaende, senang bermain di pantai. Namun anehnya, setiap dia main di pantai ia selalu
melihat semacam kilat. Setiap ia menanyakan hal itu tidak ada seorangpun yang mengetahui
apakah pertanda kilat itu. Konon ceritanya pulau Wangi-Wangi adalah sebuah karang yang
dikelilingi lautan. Ha ini dibuktikan dari adanya Watu Kapala yang terletak di Hanta Tooge.
Siwupima Andaresta, (SBF 406, tt) (Ali Hadara dkk, 2010: 37) disebutkan bahwa istilah WangiWangi diambil dari perilaku manusia pertama yang menghuni kawasan ini dengan jiwa suka
memberi pertolongan bagi yang membutuhkan perlindungan. Dalam bahasa Mindanao Sulu
yaitu bahasa Yakan disebut Wangi-Wangi. Namun dalam tradisi lokal, diceritakan bahwa Wangi-

Wangi berasal dari bau wangi yang berasal dari cengkeh yang dijemur oleh penduduk
setempat. Dengan hembusan angin dalam jarak tertentu wangi itu tercium oleh setiap pelaut yang
melewatinya.
1. B.

LingkunganAlam

1. 1.

Letak Geografis Pulau Wangi-Wangi

.
Wangi-Wangi merupakan salah satu dari gugusan kepulauan Wakatobi terdapat dibagian timur
pulau Buton berada diperairan laut Banda, yang dikelilingi oleh pulau-pulau kecil yaitu, pulau
Kapota, Otoue, Sempoea, Nuaponda, Toporo, dan Matahora. Pulau-pulau ini ada yang belum
dihuni tetapi telah dilmanfaatkan sebagai perkebunan kelapa, umbi-umbian, objek wisata,
selebihnya masih hutan belantara. Pulau Wangi-Wangi memiliki luas wilayah 448 km2 (kantor
wilayah kecamatan Wangi-Wangi).
Secara astronomi pulau Wangi-Wangi terletak pada 4,300-60 lintang selatan (LS) dan 120-1250
Bujur Timur (BT). Sedangkan bedasarkan letak geografisngya pulau Wangi-Wangi berbatasan
dengan laut Banda pada sebelah Utara dan Timur, pulau Kaledupa dan laut Flores pada bagian
Selatan, serta laut Banda dan laut Buton pada bagian Baratnya, jadi persis berada di tengahtengah laut Banda.
Berdasarkan letaknya tersebut maka pulau Wangi-Wangi dikelilingi oleh laut, sehingga sehingga
sebahagian besar masyarakat menggantungkan kehidupannya dari laut. Selain itu keberadaan
pulau Wangi-Wangi sangat strategis karena berada pada jalur pelayaran yang menghunbungkan
antara Indonesia bagian Barat sebagai konsumen dan Indonesia bagian Timur sebagai penghasil
rempah-rempah.
Berdasarkan peta geologi indonesia tahun 1980 formasi pulau geologi Wangi-Wangi terdiri dari
batuan sedimen, tersier dan pleistosen berkapur serta karang pleistosen batuan miosin, napal dan
esoin. Selain itu berdasarkan peta geologi BAPPEDA Buton (1992) bahwa hamparan pulau
wangi-wangi tersusun atas batuan gamping. (html//:tamannasional lautWakatobi.com di akses
pada tanggal, 10 Juni 2013).
Menurut Peta Tanah Kabupaten Buton, pulau Wangi-Wangi masuk kedalam dua kelompok besar
jenis tanahnya, yaitu :
1. Kelompok pertama termasuk tanah-tanah yang terletak pada ketinggian di bawah 100 m
di atas permukaan laut. Tanah-tanah ini antara lain berdiri atas kambisol, mediteran,
gleisol, podsolik, alluvial, grumosol dan regosol.
2. Kelompok kedua termasuk tanah-tanah yang terletak pada ketinggian di atas 100 m di
atas permukaan laut, yang terdiri atas jenis tanah kambisol kromik, regosol kalkarik dan

mediteran kromik. (html//: taman nasional laut Wakatobi.com, di akses pada tanggal 10
juni 2013).
Berdasarkan keadaan tersebut maka keadaan tanah pada setiap tempat yang yang ada di pulau
Wangi-Wangi berbeda. Ada yang memiliki daerah tipe tanah berpasir seperti daerah pesisir
pantai Desa Patuno, Kelurahan Patuno, Desa Waha, Desa Matahora, Desa Longa dan Desa Lia
Mawi. Daerah yang memiliki tipe tanah liat mencakup seluruh desa yang berada jauh dari pesisir,
diantaranya Desa Tindoi, Desa Maleko, Desa Wungka, Desa Waginopo dan Desa Pookambua.
Sedangkan daerah yang memiliki tipe tanah berbatu yakni Desa Waelumu, Desa Sombu,
Kelurahan Wanci, Kelurahan Mandati, Desa Lia Togo, Kelurahan Wandoka (Hasil Pengamatan,
7 Juni 2013)
2. Topografi dan Lingkungan perairan
a. Topografi Pulau Wangi-Wangi
Pulau Wangi-Wangi, merupakan salah satu pulau di kabupaten Wakatobi pada umumnya
memiliki topografi yang hampir sama. Topografi pulau Wangi-Wanngi secara vertikal dapat
diklasifikasikan kedalam tiga bagian, yaitu :
1. Dataran rendah dengan ketinggian antara 0-25 m dari permukaan laut
2. Dataran sedang dengan ketinggian antara 25-100 m dari permukaan laut
3. Dataran tinnggi dengan ketinggian antara 100-275 m dari permukaan laut (BPS
Kabupaten Wakatobi).
Topografi pulau Wangi-Wangi sebagian besar bergelombang. Berbukit sedang, berbukit agak
tinggi pada bagian yang mendekati bagian puncak Wangi-Wangi (275m dpl). Dataran landai
hanya didapatkan disekitar pantai dengan luas yang tidak begitu besar, kemudian diikuti dengan
lapangan agak terjal. Disamping itu pulau Wangi-Wangi dikelilingi oleh beberapa pulau-pulau
kecil, diantaranya Pulau Kapota dan Otoue pada bagian Barat, Nua Ponda dan Kompo One pada
bagian selatan, Matahora pada bagian Timur. (Kantor Rehabilitas Lahan Kabupaten Wakatobi).
Sedangkan berdasarkan pembagian iklim menurut Schmidt dan Fergusson termasuk iklim tipe C,
dengan curah hujan bervariasi antara 1.500-2.00 mm per tahun. Bulan-bulan kering terjadi pada
bulan Juli hingga November. Suhu harian berkisar antara 190C hingga 240C. Kelembaban udara
rata-rata 80% pertahun
Pulau Wangi-Wangi terletak pada daerah laut tropis basa yang termasuk peralihan, karena
pengaruh angin barat dan angin timur. Angin barat terjadi pada bulan Desember sampai dengan
Ferbuari, sedang angin timur terjadi pada bulan Juli sampai dengan bulan september. Pada
keadaan tersebut keadaan laut cukup sulit untuk dilayari, karena arus kencang dan ombak besar
serta gelombang sering mencapai 2 hingga tiga meter.
b. lingkungan perairan

Lingkungan perairan pulau Wangi-Wangi dapar dikelopokan kedalam dua bagian yaitu
lingkungan perairan yang ada di darat dan lingkungan perairan laut.
1. Lingkungan Perairan Darat
Di pulau Wangi-Wangi tidak dijumpai adanya sungai-sungai besar yang permanen. Hal ini
disebabkan bentuk kepulauan yang kecil serta tersusun atas batuan kapur yang bersifat mudah
meloloskan air hujan. Oleh karena itu di beberapa tempat dapat dijumpai sungai bawah tanah
yang merupakan ciri khas ekosistem karst yang disebut Topa
Adanya sumber-sumber air tersebut sangat penting dalam mendukung upaya peningkatan
kepariwisataan, karena sumber air tersebutlah yang diharpkan dapat digunakan untuk memenuhi
kebutuhan air bersih bagi wisatawan. Di pulau Wangi-Wangi diperkirakan terdapat 40 buah
sumber air (topa), di antaranya yaitu Teko Sapi, Konta Male, Topa, Maleko, Posalu. Sumber air
merupakan sumber air yang ada di darat yang terdapat pada goa yang terbuka.
1. Lingkungan Perairan Laut
Dalam kaitannya dengan laut, orang Wakatobo pada umumnya dan khususnya masyarakat
Wangi-Wangi menganggap bahwa laut adalah tempat untuk mencari kehidupan, sedangkan darat
hanya merupakan tempat tinggal, barang siapa yang ingn menguasai wilaya Wakatobi maka
harus menguasai laut. Oleh sebab itu fakta sejarah menunjukann bahwa sejak zaman dahulu kala,
orang kaya di Wakatobi umumnya dan Wangi-Wangi khususnya adalah pelaut. Besarnya
ketergantungan dan perhatian kepada wilayah laut tercermn dalam istilah Liwotu Pasi (Pulau
Karang), suatu istilah yang diberikan oran Buton terhadap gugusan pulau ini. Disini menunjukan
bahwa sesungguhnya wilayah Pulau Wangi-Wangi yang merupakan salah satu bagian dari
kepulauan Wakatobi secara umum terbagi kedalam dua kategori, yaitu Wakatobi Liwuto
(Wakatobi Pulau) atau Wakatobi Darat dan Wakatobi Pasi(Wakatobi Karang) atau Wakatobi Laut
(Ali Hadara, 2006:7). Selain merupakan pulau karang, pulau Wangi-Wangi pada musim-musim
tertentu memiliki gelombang yang sangat besar sehingga masyarakat tidak bisa melaut atau
berlayar.
Pulau Wangi-Wangi dikelilingi laut, lingkungan perairan laut pulau Wangi-Wangi datar
kemudian landai kearah laut, dengan beberapa daerah bertubir curam. Kedalam airnya bervariasi,
bagian terdalam terletak di sebelah Barat dan Timur (sampai 1.044 m). Dasar perairan bervariasi,
yakni berpasir, rumput laut dan berkarang. Perlu diketahui bahwa setiap kawasan perairan yang
ada di pulau Wangi-Wangi berbeda-beda, misalnya di Desa Waha tempat di mana berdirinya
Kanturu Bumbu (mercusuar) memiliki lingkungan perairan yang terdiri atas pasir putih (one
mohute) yang memisahkan antara darat dan laut, rumpu laut (rondo) yang memisahkan pasir
dengan karang. Karang (kente/pasi), laut dalam (olo). Disamping itu memiliki kuba-kuba yang
berjejer sebanyak sembilan buah yang terdapat pada ujung selatan sampai keutara Desa Waha.
Kuba-kuba arau landai tersebut yang oleh masyarakat setempat disebut ou yang terbentuk
alami sesuai dengan kondsi topografi atau kondisi geografi Pulau Wangi-Wangi dengan
kedalaman kurang lebih 500 meter. (La Asa, Wawancara 5 Juni 2013). kuba-kuba ini di
fungsikan oleh masyarakat sebagai tempat berlabuhnya perahu, atau kapal bagi masyarakat
nelayan.

Disamping itu, pulau Wangi-Wangi yang merupakan salah satu dari gugusan pulau Wakatobi
banyak memiliki gugusan karang (pasi) seperti karang Kapota disebelah selatan yang berbatasan
langsung dengan laut Flores karang Kapota, karang Patuno dan karang Matahora. Oleh karena
itu Departemen Kehutanan dan Kelautan (SK) Nomor 393/Kpts/96 Tangal 30 Juli menetapkan
tukang Besi menjadi Taman laut Kepulauan Wakatobi (Wangi-Wangi, Kaledupa, Tomia
Binongko). (Arman 2007:26)
1. C.

Keadaan Domografi

Masyarakat Pula WangiWangi sangat dinamis dan heterogen. Ali Hadara (2005:7)
mengemukakan bahwa tidak diketahu secara pasti asal muasal masyarakat Wangi-Wangi. Mereka
diduga berasal dari Maluku, Nusa Tenggara, daratan Sulawesi, bahkan diduga ada yang berasal
dari Jawa dan Sumatra. Asumsi ini diperkuat dengan alasan geografisnya, budaya dan bahasa.
Selain itu ada yang berpendapat bahwa masyarakat pulau Wangi-Wangi merupakan pendatang
dari Kalkuta (India) yang dipelopori oleh Samburaka, Ternate (Maluku) yang dipelopori oleh
utusan kerajaan Ternate dan Wolio (Buton). (Harviayadin, 2005:21). Lebih dari itu terdapat
masyarakat Bajo yang merupakan pendatang dari Mantigola (Kaledupa) pada tahun 1946. Juga
ada masyarakat Liya yang merupakan migrasi dari pulau Oroho. (Arman, 2007:29).
Dari uraian tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa masyarakat pulau Wangi-Wangi diduga
berasal dari beberapa tempat, selain itu berasal dari daerah tetangga seperti Oroho, kedatangan
masyarakat ini akibat bajak gangguan laut Tobelo atau dalam masyarakat pulau Wangi-Wangi
dikenal dengan sebutan Sanggilayang sering melakukan pencurian bahkan tidak segan-segan
untuk membunuh masyarakat yang melakukan perlawanan. Di sampng itu Arman (2007:30)
mengemukakan bahwa selain pendatang tersebut ada juga kelompok masyarakat lain yang
datang di pulau Wangi-Wangi, yakni suku Bajo (sama). Mereka awalnya adalah orang Bajo daro
Mantigla Kaledupa. Perpindahan ini disebabkan adanya gangguan DI/TII.
1. 1.

Bahasa

Secara umum masyarakat Pulau Wangi-Wangi menggunakan bahasa kepulauan Tukang Besi
dengan dialek wanci (Jaria, 1998:2), bahasa Kaumbeda (Ali Hadara, 2005:20) dan bahasa Bajo.
Bahasa Wakatobi dengan dialek Wanci, terdiri atas beberapa sub dialek yaitu dialek Wanci,
dialek Mandati, dialek Lia dan dialek Kapota. Segmen dialek bahasa disesuakan dengan wilayah
hukum adat (sara) yang disebut Kadie. Di pulau Wangi-Wangi terdapat empat Kadie yaitu Kadie
Wanci, Kadie Mandati, Kadie Lia dan Kadie Kapota.
Di masa kesultanan, Kadie merupakan cakupan daerah tertentu dengan sistem pemrintahan
otonom setingkat desa sistem pemerintahan tersebut dijalnkan oleh sara yang menjalankan fungs
legislatif, yudikatif dan eksekutif. Fungsi sara dipimpin meantuu yang disebut bonto,
kontabilatara, pangalasa, jurubahasa, meantu-meantu dan wati. Fungsi yudikatif sara dijelaskan
oleh Bonto yang dibantu Bobata dengan eputusan tertinggi pada musyawarah mufakat. Sebutan
meantuu-meantuu dalam Bobata disesuaikan dengan karakteristik masing-masing sara dalam
pulau Wangi-Wangi. (Harviyadin, 2005:22-23).
1. 2.

Jumlah Penduduk

Penduduk pulau Wangi-Wangi mengalami perkembangan dari tahun ke tahun. Hal ini
membuktikan bahwa tingkat kesehatan masyarakat semakin membaik sehingga mengakibatkan
tingkat kelahiran semakin bertambah dan tingkat kematian semakin menurun.
Jumlah penduduk pulau Wangi-Wangi pada tahun 2012 adalah 52. 327 jiwa dimana jumlah
penduduk laki-laki adalah 25. 310 jiwa dan jumlah penduduk perempuan adalah 26.569 jiwa.
(kantor kecamatan Wangi-Wangi dan Wangi-Wangi Selatan dan statistik tahun 2013).
Berdasarkan jumlah penduduk di atas, maka nampak bahwa jumlah penduduk perempuan lebih
besar dibanding dengan jumlah penduduk laki-laki dengan selisih 1.259 hal ini dsebabkan oleh
banyaknya kecelakaan di darat dan sdilaut serta para pelayar atau para perantau yang enggan
kembali.
Jumlah penduduk pulau Wangi-Wangi dari tahun ke tahun berubah-ubah. Adapun gambaran
penduduk pulau Wangi-Wangi dari tahun 2009 sampai tahun 2012 akan penulis uraikan pada
tabel berikut:
Tabel 1.
Data penduduk pulau Wangi-Wangi berdasarkan jenis kelamin
Tahun 2009-2012

Laki-laki

Perempuan

(orang)

(orang)

2009

22.764

24. 263

47. 027

2010

22. 560

24. 489

47. 445

2011

23. 655

25. 246

48. 901

2012

25. 310

26. 569

52. 327

Jumlah

94.289

100.567

194.856

Tahun

P+L

Sumber:Kantor Kecamatan Wangi-Wangi


dan Wangi-Wangi selatan tanggal 15 Juni 2013

Berdasarkan tabel 1 tersebut dapat dilihat bahwa jumla penduduk perempuan lebih besar
dibanding dengan penduduk laki-laki. Hal ini disebabkan karena banyak kaum kaki-laki yang
merantau guna mencari nafkah di daerah lain. Perantau tersebut banyak dilakukan oleh kaum
laki-laki karena topografi wilayah yang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
1. 3.

Pendidikan

Tingkat pendidikan merupakan indikator penilaian yang menunjukan kemajuan masyarakat di


samping indikator lain. Makin tinggi pendidikan seseorang makin mudah dalam mengambil
langkah-langkah penelesaian masalah yang dihadapi, demikian pila sebaliknya.
Dari segi sarana pendidikan formal di pulau Wangi-Wangi cukup memadai, hal ni dapat dlihat
dari meningkatnya sarana pendidikan yang dimulai dari Taman Kanak-Kanak (TK) sampai
Sekolah Menengah Atas (SMA) bahkan sekarang sudah banyak Perguruan Tinggi Swasta yang
masuk di pulau Wangi-Wangi. Kesadaran masyarakat akan manfaat pendidikan formal sangat
penting, yang diawali oleh munculnya kesadaran bahwa susahnya mencari mata pencaharian atau
pekerjaan tetap. Keadaan itulah yang membuat parah orang tua berusaha dibidang ekonomi serta
memberi motivasi kepada anak-anaknya untuk melanjutkan pendidikannya ke jenjang
pendidikan yang lebih tingi (Perguruan Tinggi). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 2 di
bawah ini:
Tabel 2
Sebaran Penduduk Kecamatan Wangi-Wangi dan
Kecamatan Wangi-Wangi Selatan Menurut Tingkat Pendidikan

No

Tingkat Pendidikan

Jumlah

Persentase
(0/0)

1 Tidak tamat sekolah dasar

6.251

1,98

2 Tamat sekolah dasar

27.456

8,73

3 Tamat SMP/sederajat

8.352

2,65

4 Tamat SMA/sederajat

4.325

1,37

108

34,35

5 Sarjana muda

6 Sarjana

Jumlah

160

50,89

314.384

100,00

Sumber: Kantor Kecamatan Wangi-Wangi


dan Wangi-Wangi Selatan 2013

Berdasarkan tabel 2 tersebut di atas maka dapat diperoleh gambaran bahwa penduduk kecamatan
Wangi-Wangi dan Wangi-Wangi selatan sebagian besar mengikuti pada berbagai jenjang, mulai
dari pendidikan dasar sampai dengan perguruan tingi atau pada tingkat sarjana.
1. D.

Mata Pencaharian

Dengan keadaan geografis yang telah diuraikan di atas maka turut mempengaruhi sistem mata
pencaharian masyarakat Pulau Wangi-Wangi, dengan demikian sangat nampak mata pencaharian
masyarakat yang heterogen sesuai dengan kondisi alam yang dimiliki atau yang ada.
Pada awalnya alternatif pertama masyarakat pulau Wangi-Wangi adalah sektor pertanian yang
mengelolah tanaman jangka panjang seperti kelapa, jambu monyet, cengkeh dan tanaman jangka
pendek seperti kacang tanah, sayur-sayuran, umbi-umbian dan lain sebagainya. Sebagai
masyarakat petani selalu menginginkan hasil panen yang memuaskan, akan tetapi keinginan itu
kadang-kadang selalu gagal yang disebabkan oleh kondisi tanah yang tidak memungkinkan di
samping itu hasil pertanian hanya untuk konsumsi sehari-hari saja dan hasil sebagian kecil untuk
dijual.
Di sisi lain dari kondisi alam tersebut di atas, terbentang lautan yang luas yang cenderung
memberikan harapan yang lebih besar untuk memperbaiki keadaan ekonomi masyarakat pulau
Wangi-Wangi. Maka pada perkembangan selanjutnya pelayaran dan perdagangan dijadikan
sebagai alternatif utama.
Pada tahap awal pelayaran dan perdagangan masih bersifat lokal dalam arti ruang lingkup
meliputi wilayah Wakatobi, dengan barang yang diperdagangkan seperti jagung, ubi kayu dan
sebagianya. Pada perkembangan selanjutnya telah bersifat nasional dan bahkan Internasional
yang melibatkan daerah-daerah yang ada di wilayah Indonesia sperti, Maluku, Makasar,
Surabaya, dan luar negeri seperti, Malaysia, Australia, Singapura dan Filiphina. Barang yang
diperdagangkan adalah cengkeh, pala, kelapa, barang pecah dan lain sebagainya.

Akibat dari pelayaran dan perdagangan tersebut membuka lapangan kerja baru bagi masyarakat
yakni pembuatan kapal serta pemeliharaannya. Alternatif lain dari daerah kepaulauan adalah
adanya pekerjaan di bidang perikanan yang tidak kalah pentingnya dengan bidang lain. Fakta
sejarah menunjukan bahwa dari dulu hingga sekarang orang kaya di pulau Wangi-Wangi adalah
para pelayar dan pedagang. (Muniadi, 17 Juni 2013).
1. E.

Induk-Induk Kebudayaan Masyarakat Pulau Wangi-Wangi

1. 1.

Wanci

Wanci atau Wanse adalah sebuah nama yang telah diberikan oleh orang-orang terdahulu yang ada
di pulau ini sehingga sampai sekarang nama itu tidak perna terlupakan oleh generasinya. Dalam
hasil penelitian Samlia dalam Buhari (2010:25) nama Wanci atau Wanse berasal dari nama
orang barat yang pernah ke pulau ini.
Wanci memiliki berbagai macam kebudayaan yang dianut masyarakat karena orang-orang/para
pendatang yang akan masuk ke pulau Wangi-Wangi terlebih dulu singgah di Wanci sebelum
menyebar kedaerah lain yang ada di pulau ini. Di samping wilayahnya yang strategi untuk
pelayaran, daerah ini juga mudah dijangkau dengan transportasi laut dari kawasan Buton dan
daerah lainya. (Ampana, wawancara 16 juni 2013).
Sehingga dengan keadaan demikian daerah Wanci sangat pesat dalam hal mengelolah informasi
yang datang dan kebudayaan yang ada dari daerah luar. Banyak peninggalan budaya yang masih
ada sampai sekarang di Wanci baik itu berupa benda maupun seni maupun pesta.
Salah satu benda peningalan budaya pada daerah ini adalah benteng yang ada di pegunungan
Tindoi yang di dalamnya terdapat kuburan kuno yang sampai sekarang dianggap keramat dan
masih banyak yang datang untuk berziarah. Menurut kepercayaan penduduk setempat bahwa jika
ada yang mengambil/menebang pohon di hutan tersebut jatuh sakit.
Kuburan yang terdapat dalam benteng itu adalah kuburan Gansauri yang merupakan salah
seorang dari empat bersaudara yang berkuasa di pulau Wangi-Wangi dan menyebarkan budaya
Islam khususnya di Tindoi. Untuk mengkaji ini di butuhkan penelitian khusus yang bisa
memakan waktu lama untuk menuntaskannya.
1. 2.

Mandati

Dahulu Mandati disebut Mandati Tonga atau koba, posisi mandati diapit oleh Wanse dan Liya.
Mandati pertama kali dipimpin oleh La Ode Sinapu dengan gelar Waopu Mansuana atau Waopu
Barakati. Ia pernah diangkat oleh Sara Wolio untuk menjadi sultan di Kesultanan Buton. Namun,
ia menolak hal itu. Setelah berakhir masa kekuasaannya ia digantikan oleh Waopu Jenggo dan
selanjutnya Waopu Jenggo digantikan oleh Waopu Dhao Kireno.

Di Mandati Tonga berdiri sebuah benteng yang dibangun sendiri oleh rakyatnya. Benteng ini
sebagai mekanisme pertahanan dalam menghadapi musuh. Benteng ini kini menjadi prasasti
sejarah yang menjadi saksi bisu yang hendak bertutur bahwa di masa lalu ancaman terus datang
silih-berganti.
Pada awalnya masyarakat Liya meminta kepada masyarakat Mandati untuk menanam Tau di
wilyah kekeuasaan Mandati. Namun, lama-kelamaan masyarakat Liya ingin menguasai wilayah
Mandati. Hal itu memancing kemarahan masyarakat Mandati. Dan terjadilah perang antara
daerah Liya dan Mandati. Dalam perang itu Mandati mengalami kekalahan. Perang antara kedua
daerah itu juga berimbas pada masyarakat Wanse. Setelah Mandati di kuasai oleh Liya, Mandati
mencari wilayah kekuasaan baru yaitu dengan menyingkirkan masyarakat Wanse. Dan terjadilah
pergeseran wilayah kekuasaan, yaitu Liya menduduki wilyah Mandati yang sekarang Liya,
Mandati menduduki wilayah kekuasaan Wanse yang sekarang Mandati dan masyarakat Wanse
bergeser ke sebelah selatan yang sekarang Wanse hingga kini.
Dari kejadian di atas bahwa kebudayaan Mandati Tonga berkembang hingga sekarang disebut
Manadati. Perkembangan budaya Mandati ini bahkan semua gerakan adat atau tradisi yang
berlaku sama meliputi beberapa desa di antaranya desa Matahora, desa Numana, desa Padakuru
dan desa Wungka Mandati. Beberapa desa ini memiliki budaya yang sama dengan Mandati yang
dulu di sebut Mandati Tonga sebagai pusat budaya Mandati. (La Uda,
http://klipingut.wordpress.com (di akses 23 Juni 2013).
1. 3.

Liya

Kebudayaan Liya ditandai dengan adanya benteng dan mesjid yang berdiri koko dari masa
kesultanan Buton. Benteng ini memiliki keunikan karena memiliki konstruksi batunya yang
tanpa menggunakan perekat semen. Kini, Benteng Liya Togo menjadi salah satu obyek wisata
yang banyak dikunjungi turis mancanegara. Benteng Liya Togo menyimpan sejarah Islam di
Kesultanan Buton lantaran benteng ini adalah salah satu benteng yang menjadi pusat penyebaran
Islam di Kesultanan Buton pada masa lampau. Di dalam benteng seluas 30 hektare itu terdapat
masjid tua yang diperkirakan dibangun pada abad ke 16 Masehi.
Konstruksi benteng dan bangunan masjid mirip dengan konstruksi benteng dan Masjid Keraton
Buton di Kota Baubau. Kini Benteng Liya Togo ditetapkan jadi Cagar Budaya Dunia oleh
Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata RI. Benteng ini berlokasi di Desa Liya Raya,
Kecamatan Wangi-wangi Selatan, Kabupaten Wakatobi, Provinsi Sulawesi Tenggara.
Kebudayaan Liya ini menyebar dari dalam keraton sampai pada daerah pesisir masyarakat liya
adapun peninggalan budaya yang berbentuk seni dari keraton Liya seperti posepaa dan lariangi
kareke. Diperkirakan salah satu tarian tradisional asli milik Keraton Liya yakni Tarian Lariangi
Kareke merupakan salah satu tarian tradisional yang tertua di Indonesia yang diperkirakan lahir
sejak pertengahan abad ke XIII. Tarian ini menggambarkan suatu peradaban yang tinggi mulai
dari bentuk gerakan da syair yang dinyanyikan oleh para pemainnya mengandung pesan-pesan
moral dan budaya. Adapun pesan-pesan moral dan budaya yang dinyanyikan oleh para penari
yang biasanya berjumlah genap antara 12 orang sampai 16 orang ini adalah penyampaian pesan
kepada para tamu atau pendatang. Salah satu diantara pesan tersebut adalah jika tuan datang ke

negeriku maka hormatilah budaya kami, jika tuan datang menyapa kami, maka sapalah dengan
santun dan berbudaya, jika tuan datang ke negeriku maka janganlah membawa budayanya.
(Ali Habiu, krim lewat EmailBlogThis di akses 23 Juni 2013)
4. Kapota
Pulau yang letaknya 2 mil arah sebelah barat pulau Wangi-Wangi itu, dikenal dengan pulau
Kapota. Pada abad 5 lampau di Pulau Koba, memerintah seorang Ratu bernama Wa
Surubaenda. Ratu itu beranak 4 orang. 2 orang anak laki-laki dan 2 orang anak perempuan.
Setelah anak-anaknya dewasa Ratu Wa Surubaenda menyerahkan kekuasaannya kepada
Gangsalangi berkuasa di Riwu Motalo (Liya dan Oroho), Gangsauri berkuasa di Tindoi, dan Wa
Suru Bontongi berkuasa di Mandati Tonga yang menjadi pusat Togo Koba. Karena Pulau yang
terletak disebelah barat, dihuni oleh migran dari Lamakera (Flores). Maka puterinya yang
terbungsu bernama Patimalela diangkat menjadi penguasa di pulau itu. Karena pulau itu
merupakan kegenapan atau kecukupan wilayah yang diperintah oleh dinasti Ratu Surubaenda,
Maka pulau itu diberi nama Kapota. Dari kata kapo berarti genap atau lengkap. Dengan
demikian, Kapota berarti kegenapan atau kelengkapan wilayah kekuasaan dinasti Wa
Surubaenda. (La Uda, http://klipingut.wordpress.com di akses 23 Juni 2013).
Dari berbagai kisah tentang pulau kapota ini maka terjadi bayak budaya yang berkembang baik
itu pesta rakyat, kesenian, permaianan yang sampai sekarang masih sebagian terjaga dengan
utuh. Masyarakat kapota sendiri memiliki budaya yang hampir sama dengan budaya yang
berkembang di Wanse (Wanci), Liya dan Mandati namun ada bagian-bagian yang membedakan
salah satu contoh kabuenga (ayunan) ada perbedaan dalam pelaksanaanya dengan daerah lain
yang ada di pulau Wangi-Wangi itu sendiri

BAB V
HASIL PENELITIAN

1. A. Wujud Kearifan Lokal Masyarakat Wangi-Wangi


Pulau Wangi-Wangi adalah salah satu pulau di kabupaten Wakatobi yang mengalami
pemekaran menjadi dua kecamatan yakni kecamatan Wangi-Wangi dan kecamatan
Wangi-Wangi Selatan, juga merupakan ibu kota Kabupaten Wakatobi. Pulau ini memiliki
potensi wisata yang begitu banyak salah satu potensi itu adalah potensi wisata lautnya
yang sekarang telah dikenal oleh hampir seluruh negara di dunia. Disamping potensi
wisata lautnya ternyata pulau ini juga memiliki potensi wisata budaya.
Potensi wisata budaya yang dimiliki oleh masyarakat Wangi-Wangi sangat banyak
bentuknya. Adapun bentuk (wujud) potensi wisata tersebut termuat dalam suatu bentuk
kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat Wangi-Wangi antara lain (1) kegiatan

kemasyarakatan seperti poasa-asa (gotong-royong), pohamba-hamba (bantu membantu),


(2) kegiatan adat istiadat seperti, upacara adat kelahiran, upacara adat perkawinan,
upacara adat bangka mbule-mbule, upacara adat kariaa, kabuengan (3) kegiatan kesenian
seperti pobanti (pantun rakyat (4) sopan santun dalam pergaulan.

1. 1.
a)

Kegiatan Kemasyarakatan

Pohamba-Hamba

Bergotong royong adalah satu kegiatan sosial yang sangat mulia tanpa pamrih untuk
mencapai suatu tujuan bersama. Gotong royong ini menjadi kebudayaan bangsa
Indonesia, rasanya belum lengkap kita hidup layaknya bangsa besar ini kalau hidup kita
hanya berorientasi dari sisi individu tanpa menganggap penting terhadap gotong royong.
Dalam masyarakat Wangi-Wangi gotong royong disebut dengan istilah pohamba-hamba.
Kegiatan pohamba-hamba masyarakat Wangi-Wangi dapat dilihat pada kegiatan pesta
perkawinan seperti pemasangan tenda, pengambilan kayu bakar. Selain pada pesta
perkawinan kegiatan pohamba-hamba juga dapat kegiatan kemasyarakat seperti kerja
bakti, sebagaimana yang diungkapkan oleh salah seorang informan bahwa, dulu kalau
ada kegiatan kerja bakti perangkat desa akan menyuruh beberapa orang mayarakat desa
mengumumkan bahwa akan ada kerja bakti, orang yang disuruh dan beberapa temannya
akan berkeliling desa mengumumkan bahwa akan ada kerja bakti. (La Ruda,
Wawancara 8 Juni 2013).
Berdasarkan ungkapan informan tersebut dapat disimpulkan bahwa masyarakat WangiWangi dulu sistem kebersamaannya masih kuat dan masih patuh pada tokoh adat maupun
tokoh masyarakat. Kepatuhan itu bukan karena adanya imbalan yang diberikan kepada
yang disuruh tetapi kepatuhan itu diemban karena dia merasa diri sebagai warga
masyarakat yang harus taat pada pimpinannya.
Kegiatan pohamba-hamba juga dapat dilihat pada beberapa masyarakat yang melakukan
pembersihan kebun. Kegiatan pembersihan kebun ini biasanya dilakukan oleh dua sampai
lima orang, bahkan lebih. Kegiatan ini juga dilakukan oleh perempuan. Kegiatan
pohamba-hamba ini dilakukan biasanya dilaksanakan selama dua sampai tiga jam
seharian berganti-gantian. Seperti yang diungkapkan oleh informan bahwa:
Saya dan beberapa orang masyarakat selalu melakukan kegiatan pohamba-hamba, yakni
cabut rumput (ofu) membersihkan kebun. Kami lakukan selama dua jam perorang setelah

dua jam kami pindah lagi kekebun yang satunya. Pohamba-hamba ini masih berlangsung
hingga kini, akan tetapi sudah jarang dilakukan. (La Kari, Wawancara 10 Juni 2013)

Dari pemaparan informan tersebut dapat disimpulkan bahwa kegiatan pohamba-hamba


tidak hanya dilakukan oleh laki-laki saja, tetapi kegiatan ini juga dilakukan dapat
dilakukan oleh kaum perempuan dengan jalan bantu membantu membersihkan kebun.
Kegiatan pohamba-hamba dapat juga dilakukan percampuran antara laki-laki dan
perempuan baik orang tua, anak muda, maupun anak-anak.
b)

Kabo

Kabo adalah kegiatan masyarakat Wangi-Wangi dalam menangkap ikan yang dilakukan
secara bersama-sama dari orang tua sampai anak muda yang diangap mampu untuk
menangkap ikan, dengan jumlah kurang lebih puluhan bahka ratusan orang dengan
harapan agar dapat menghasilkan ikan yang banyak.
Dalam kegiatan ini dilakukan pada saat air laut akan surut sekitar satu sampai dua meter
atau kedalaman air laut sudah sampai dileher orang dewasa. Setelah air laut surut dan
semua orang sudah berkumpul maka laki-laki siap dan berjejer di pantai untuk siap turun
dengan masing-masing orang memegang tombak dalam masyarakat Wangi-Wangi
menyebutnya pandanga/sarampa.
Setelah berada pada kedalam sudah sampai dada/pinggang orang dewasa maka jejeran
orang akan membentuk lingkaran yang berbentuk huruf U hingga pada lingkaran huruf O
dan siap untuk menombak ikan yang masuk ke dalam lingkaran (jaring), ikan yang
berhasil di tangkap akan di bawah ke darat dan siap unuk dibagikan kepada setiap orang
yang membutuhkannya.
Pada dasarnya kegiatan ini di laksanakan pada saat ada acara atau pesta rakyat seperti
perkawinan, sunatan, adat kematian dan pada saat lebaran degan tujuan untuk membantu
beban masyarakat yang sedang melaksanakan pesta atau acara.
Sebelum kegiatan Kabo ini dilaksanakan atau turun ke laut maka harus ada parika atau
orang yang dituakan (tokoh adat) dan dianggap mampu dan membacakan doa-doa untuk
melemahkan setiap hal buruk yang ada di dalam laut dan mampu menjinakkkan ikan agar
mudah ditangkap dan ditombak. (Suhaeri, wawancara 6 juni 2013).
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa makna kearifan lokal dari kegiatan Kabo ini
dapat berupa menjaga kelestarian ekosistem laut. Masyarakat pulau Wangi-Wangi
mengetahui bahwa ekosistem laut sangat penting sebagai tempat bertelurnya ikan-ikan
dan hewan lainnya yang ada di laut. Sehingga lebih menggunakan cara ini dalam
menangkap ikan. Mereka tahu bahwa ketika menggunakan bahan peledak untuk
menagkap ikan bahkan ikan yang tidak sepantasnya di tangkap ikut mati akibat cara

penangkapan ikan yang tidak etis maka akan merusak semua ekosistem yang ada sehingga
tempat bertelurnya ikan ikut rusak juga.
Selain nilai menjaga kelestarian laut, dalam kegiatan Kabo mengandung nilai kebersamaan
dan persatuan diantara masyarakat. Dalam kegiatan ini semua orang berjejer dan
perpegangan tangan sambil mebentuk lingkarandan memegang tombak manandakan
bahwa persatuan dan kebersamaan sangatlah berarti di samping akan banyak hasil yang
didapatkan juga ikan-ikan tidak mudah keluar dari lingkaran itu.
c)

Wotea

Wotea adalah kegiatan bersama masyarakat pulau Wangi-Wangi baik itu membersihkan
jalan, membuka lahan untuk pekebunan maupun membersihkan kampung dari rumputrumput yang mengotori kampung. Kegiatan ini dipelopori oleh para perangkat desa atau
tokoh masyarakat yang dituakan dalam suatu kampung tersebut. Berdasarkan
pengamatan dilapangan kegiatan ini masih berlangsung hingga kini
Wotea membersihkan jalan, dalam kegiatan ini setiap orang khususnya kaum laki-laki
bebondong-bondong datang dan berjejer di samping jalan yang penuh dengan rumput dan
menebang setiap rumput atau pohon yang menghalangi jalan sampai bersih dan kaum
perempuan membersihka halam kampung. Selain itu ada juga kegiatan wotea untuk
membuka lahan. Kegiatan ini setiap orang saling membantu dalam membuka lahan
pertanian dari membuka lahan sampai pada penanaman. Yang menjadi tuan rumah dalam
kegiatan ini wajib menyiapkan makanan buat orang-orang yang membantunya karna
dalam kegiatan ini saling betukar artinya habis yang satu dibantu maka selanjutnya
giliran yang lain lagi dan seterusnya. (La Ruda, wawancara 6 Juli 2013)
Makna yang dapat dipetik dalam kegiatan wotea bahwa kebersihan itu penting dan sangat
dibutuhkan oleh masyarakat. Masyarakat pulau Wangi-Wangi menyadari bahwa
kebersihan itu adalah sebagian dari iman sehingga dalam kegiatan ini sangat sering
dilakukan bahkan dalam satu bulan kegiatan ini dilakukan sebanyak 2 atau 3 kali.
Masarakat memahami bahwa sumber penyakit yang ada dalam masyarakat itu berasal
dari banyaknya kotoran atau sampah yang sembarangan dibuang, sehingga dengan
pemahaman ini masyarakat pulau Wangi-Wangi selalu menjaga kelestarian dan nilai
kebersamaan yang terkandung dalam kegiatan Wotea.
d)

Jampua

Jampua adalah kegiatan suatu keluarga untuk memperbaiki kuburan keluarganya yang
sudah meninggal yang diganti dengan pondasi semen semua pinggir kubur yang meninggal
tersebut. Kegiatan ini dilakukan oleh keluarga yang meninggal bila dari pihak keluarga
sudah mampu untuk membeli semua perlengkapan untuk kuburan yang akan di jampu
tersebut.

Dalam kegiatan ini semua warga kampung datang bahkan dari luar kampung tersebut jika
orang tersebut tahu hari pelaksanaan jampua ini untuk membantu pihak keluarga yang
sedang melaksanakan kegiatan tersebut dan tidak mengharapkan imbalan atau upah
dalam bentuk apapun hanya niatan untuk membantu.
Jampua lebih dimaknai sebagai penghormatan dan penghargaan dari keluarga kepada
almarhum yang di jampu kuburannya. Dengan makna penghormatan ini semua kerabat
berdatangan baik dari keluarga yang masih ada ikatan darah maupun karabat yang
bukan ikatan darah dengan niatan selain membantu juga meringankan beban keluarga
yang ditinggalkan oleh yang akan di jampu kuburannya.
Selain dari makna penghargaan dan penghormatan makna kearifan yang terkandung
dalam kegiatan ini menyadarkan masyarakat bahwa semua manusia sebagai mahluk
ciptaan Tuhan akan mengalami hal yang sama, meninggalkan dunia yang hanya sebagai
tempat persinggahan sementara dan harus banyak beramal dan berbuat baik kepada
sesama maupaun selalu menjalankan apa yang di perintahkan oleh Tuhan.
e)

Alaa Nu Kau

Alaa nu kau merupakan salah satu tradisi pohamba-hamba masyarakat Wangi-Wangi


untuk mengambilkan kayu bakar pada suatu pesta adat. Tradisi ini sudah hampir hilang
akibat kemajuan teknologi juga adanya larangan pihak pemerintah untuk tidak
mengambil atau menebang kayu sembarangan.
Kegiatan alaa nu kau oleh masyarakat Wangi-Wangi dilakukan kalau ada kegiatan atau
pesta pernikahan, karia, atau pesta adat lainnya. Kegiatan ini bukan hanya pihak keluarga
yang mengambil kayu tetapi semua warga kampung khususnya laki-laki ikut membantu
dalam mengambil kayu untuk keperluan memasak.
Prose pengambilan bukan merupakan tahap akhir, setelah selesai melakuakan penambilan
kayu langkah selanjutnya semua masyarakat yang telah mengambil kayu khususnya lakilaki memotong-motong kecil kayu untuk siap dipake pada saat acara akan dilaksanakan
atau sebelum hari H pelaksanaksaan acara, sementara ibu-ibu atau kaum perempuan
memasak untuk makanan para kaum laki-laki yang melakukan pekerjaan keras.
f)

Posaasa

Posaasa merupakan kegiatan kebersamaan yang diartikan tidak tercerai berai. Kegiatan
ini biasanya berlangsung pada situasi tidak terikat artinya dimana dan kapan saja bisa
dilaksanakan. Baik itu dilingkungan keluarga, maupun lingkungan masyarakat.
Kegiatan posaasa dalam lingkungan keluaga dilihat pada keharmonisan dalam keluarga.
Dalam masyarakat Wangi-Wangi kegiatan ini dapat dilihat pada lengkap atau tidaknya
sebuah keluarga, seperti kumpul bersama dalam menyambut bulan ramadhan, kumpul
bersama merayakan hari raya idul fitri dan idul adha, dan lain-lain. Jika ada salah satu

kelurga yang tidak ada dihari-hari tersebut rasanya ada yang kurang ada yang tidak
lengkap.
Kegiatan posaasa dalam lingkungan mamsyarakat merupakan kegiatan kumpul bersama
bercanda, bergurau, tukar pikiran dan lain sebagainya. Kegiatan ini dalam masyarakat
Wangi-Wangi dapat dijumpai pada acara-acara adat, pesta perkawinan, kegiatan
kemasyarakatan, atau duduk-duduk santai di pos jaga (rumah jaga/bantea) dan lain-lain.

1. 2.

Kegiatan Adat Istiadat

2. a.

Adat Perkawinan

Seperti kita ketahui bahwa Indonesia memiliki beragam suku dan kebudayaan, jadi tidak
heran apabila kita sering melihat upacara-upacara adat yang sangat unik. Upacara
pernikahan adalah termasuk upacara adat yang harus kita jaga, karena dari situlah akan
tercermin jati diri kita, bersatunya sebuah keluarga bisa mencerminkan bersatunya
sebuah negara. Mungkin tidak menjadi masalah apabila anda memilih atau menikah
dengan orang yang satu suku, namun apa jadinya bila anda menikah dengan orang yang
berbeda suku, beda adat dan kebiasaan, pasti anda harus mempunyai bekal pengetahuan
tentang seluk beluk, dan tatacara pernikahan.
Adat perkawinan masyarakat Wangi-Wangi dapat dibagi dalam lima tahap, yakni: (1)
tahap pemilihan jodoh (kaburi) (2) tahap tahap parara/paombo (3) tahap pelamaran
(potumpu) (4) pertunangan (heporae) (5) eka sebagai tahapan yang terakhir (Ali Hadara,
dkk. 2011:17)
1)

Kaburi

proses awal untuk memasuki jenejang pernikahan menurut adat masyarakat WangiWangi diawali dengan pemilihan calon pengantin wanita yang disebut kaburi. Menurut Ali
Hadara, dkk (2011:17) tatacara penatalaksanaan pemilihan jodoh (kaburi) menurut adat
masyarakat Wangi-Wangi pertama-tama diawali dengan perjodohan yang dilakukan oleh
kedua orang tua laki-laki dan perempuan. Perjodohan ini biasa masih terjadi dalam
lingkup keluarga, persahabat kedua orang tua, atau adanya pertemuaan antara laki-laki
dan perempuan disebuah acara adat atau acara-acara lain. Pertama, perjodohan yang
masih ada ikatan keluarga dalam hal ini keluarga jauh. Umumnya dalam masyarakat
Wangi-Wangi perjodohan dalam ikatan keluarga jauh ini masih sering terjadi sampai
sekarang. Hal itu tersebut dimaksudkan untuk tetap mempererat atau memperkokoh
hubungan keluarga, atau untuk menjaga status sosial misalnya sama-sama golongan
kaomu (bangsawan). Disisi lain perjodohan antara keluarga ini juga untuk mempermudah
atau meringankan segala urusan misalnya dalam hal mahar dan sebagainya. Kedua,
perjodohan karena hubungan persahabatan antara keluarga antara pihak laki-laki dan
perempuan. Perjododohan ini biasanya dilakukan melalui pendekatan dari kedua belah
pihak atas nama anaknya masing-masing, atau salah satu dari kedua keluarga itu

mengutarakan kata-kata ungakapan adat seperti ane diumpa na wa komba melala, anemo
kemiano ara mbeado, artinya dimana sibulan terang, sudah ada orangnya atau belum.
Selain ungkapan yang dilontarkan oleh pihak laki-laki biasanya juga ungkapan dari pihak
perempuan, misalnya arate kadola moanento ai notoogemo ara mbeado, artinya apa ayam
jantanya itu hari sudah besar atau belum . Ungakapan-ungkapan ini sebetulnya
merupakan suatu pertanyaan yang bertujuan untuk saling mengetahui keberadaan
(status) anak laki-laki atau perempuan yang akan dijodohkan. Pertanyaan itu merupakan
langkah awal untuk menuju suatu perjodohan tetapi dilakukan oleh orang tua mereka.
Disamping adanya ungkapan-ungkapan tersebut diatas, biasanya dalam sebuah
pertemuan persahabatan dan silaturahmi, jika salah satu keluarga laki-laki atau keluarga
perempuan mengadakan kunjungan. Dalam pertemuan atau kunjungan silaturahmi
tersebut kandang kala mereka mempromosikan anak-anaknya baik mengenai
keberadaan anaknya yang sudah sukses usahanya, sudah bekerja, berpendidikan tinggi,
berprilaku baik, atau hal-hal lainnya yang menyangkut kelebihan dan kebaikan anakanaknya. Ketiga, perjodohan karena adanya pertemuan antara laki-laki dan perempuan
disebuah acara, pesta atau pada tempat dan kegiatan lainnya. Jalur perjodohan ketiga ini
sering terjadi dikalangan anak mudah sekarang, bukan hanya ditengah masyarakat
Wangi-Wangi melainkan juga pada anak-anak muda di daerah lainnya.
Ketiga jalur utama perjodohan di atas hanya merupakan formalitas saja, artinya
suatu langkah awal sebelum secara berterus terang menyatakan keinginannya langsung
kepada kepada keluarga perempuan. Hal-hal penting yang perlu diperhatikan dalam
mencari jodoh ini, yakni proses pencariaan sejumlah informasi penting terhadap
perempuan yang akan dilamar. Proses ini dilakukan terutama untuk mencari tahu tentang
perilaku perempuan yang akan dilamar tersebut dari tetangga atau teman dekatnya.
Kegiatan ini dilakukan oleh pihak laki-laki, dengan cara menyuruh seseorang yang
bekerja secara rahasia tanpa diketahui oleh pihak perempuan. Setelah mendapatkan
informasi maka utusan tadi mengabarkan kepada pihak laki-laki tentang apa yang
diketahui mengenai perempuan yang akan dilamar. Jika pihak laki-laki tertarik maka
langkah selanjutnya menuju ketahapan resmi yang dinamakan parara.
2)

Parara

Kata parara, dalam dialek orang Wangi-Wangi dapat dikatakan sebagai sebuah kata
khusus. Dikatakan demikian, sebab kata tersbut hanya digunakan berkaitan dengan
rangakaian kegiatan pinang-meminang. Secara harfiah, kata para dalam areal bahasa
Wangi-Wangi, utamanya Wanci, kurang lebih berarti membuat tampak, mengabarkan
atau menginformasikan secara diam-diam. Dengan makna yang demikian itu, maka kata
parara dapat diartikan sebagai kegiatan atau kunjungan awal dari seorang pemuda yang
menaruh hati pada seorang gadis, yang biasanya dilakukan oleh orang tua atau yang
ditunjuk khusus untuk menginformasikan kepada pihak orang tua sang gadis bahwa anak
laki-laki mereka menaruh hati (mencintai) anak gadis mereka. Dalam kegiatan kunjungan
parara dimaksud, biasanya utusan yang mewakili keluarga si pemudah menanyakan status
si gadis apakah telah ada jejaka/laki-laki lain yang lebih dahulu meminang, melamar atau
dijodohkan dengannya. Bila dalam kegiatan parara diketahui belum ada laki-laki lain
yang dating kepada pihak keluarga, maka utusan dari pihak keluarga laki-laki akan

menyampaikan pada pihak keluarga si gadis untuk menunggu kedatangan mereka pada
saat tertentu, dan biasanya dalam kegiatan parara dimaksud waktunya sudah ditentukan
(Ali Hadara, dkk, 2011:20-21)
3)

Potumpu/ Heporae

Potumpu adalah merupakan rangkaian pertama dalam pernikahan dimana dalam


kegiatan ini orang tua laki-laki dan orang toko adat, agama serta laki-laki yang ingin
melamar kerumah perempuan untuk bertemu orang tua perempuan. Sesampainya di
rumah maka rombonga pelamar menanyakan kesiapan yang dilamar.
Setelah ada kesiapan dari pihak perempuan maka proses pelamaran langsung dilakukan
dengan rangkaian mengikat perempuan dengan cicin emas. Di antara kedua pasangan ini
salaing tukar cicin dengan dipasangkan di jari manis sebgai tanda bahwa keduanya sudah
resmi bertunangan.
4)

Rangkami

Rangkami merupakan lanjutan dari proses heporae dimana perempuan ketika dipanggil
kerumah laki-laki dan ketika kembali kerumahnya diantara oleh rombongan dari
keluarga laki-laki dengan berbagai bawaan mulai dari makan samapi dengan
perlengkapan lain yang dibutuhkan oleh perempuan sebagai tunangannya.
Setelah sekian lama tunangan maka selanjutnya laki-laki bersama orang tuanya bertemu
kembali dengan keluarga perempuan untuk mengadakan persetujuan tentang hari
pelaksanaan pernikahan.
Sebelum berlangsungan atau sampai pada hari H pelaksanaan pernikahan banyak yang
perlu dilakukan yang memiliki nilai kerafian lokal dalam masyarakat pulau Wangi-Wangi.
Diatantaranya: mengambil kayu, mendirikan tenda (sabua), dan mengupulkan air
sebanyak-banyaknya.
5)

Hopowaa

Hopowaa adalah langkah pertama dari adat pernikahan setela persetujuan untuk hari H
pernikahan telah ditentukan. Hopowaa ini, anggota keluarga mendatangi kampung ke
kampun dan rumah ke rumah menginformsikan kepada pihak keluarga yang ada di
kampung lain maupun bukan keluarga yang bertalian darah untuk datang di acara
pernikhan tersebut. Pada zaman dulu, hopowa ketika ada acara pernikahan maka pihak
keluarga yang melakukan hopowa berjalan kaki hingga puluhan kilo mengelilingi, dari
kampung yang satu ke kampung yang lainnya.
Kalau kita kaitkan dengan zaman sekarang hopowa yang ada di perkotaan maka hopowa
adalah undangan yang sekarang dilakukan oleh orang dalam bentuk surat. Hingga saat ini
masyarakat pulau Wangi-Wangi masih banyak bahkan masih bisa dikatakan murni masih

menggunakan cara hopowa dalam memberi tahukan, mengundang atau menginformasikan


pihak keluarga atau kerabat yang lain tentang akan diadakannya pernikahan.
Dengan perkembangan alat transportasi maka kegiaan hopowaa ini tidak lagi jalan kaki
untuk keliling dari kampung ke kampung tapi sudah mengunakan roda dua atau motor
bahkan sudah menggunakan mobil. Namun, budaya ini tetap terjaga sampai sekarang
karna selain memberikan informasi kepada keluarga yang lain juga menambah keakraban
serta menjalin silaturahim kepada keluarga yang lain. Kegiatan ini sebenarnya bukan
hamya berlaku pada acara pernikahan tetapi semua acara adat maupun pesta masyarakat.
6)

Te Pakawia

Menurut Ali Hadara dkk, (2011:27-32) Tahap kawi atau eka merupakan tahap akhir dari
seluruh rentetan perkawinan masyarakat Wangi-Wangi. Setelah kegiatan parara
kemudian dilanjutkan dengan potumpu dan heporae maka muaranya adalah ijab Kabul
atau nikah. Setelah pelamaran sehingga sepasang muda mudi diresmikan sebagai
tunangan (heporae), biasanya dalam waktu tidak terlalu lama dianjukan dengan
pernikahan. Untuk menuju ke jenjang tersebut, biasanya sebelum terjadi pembicaraan
tentang segala sesuatunya, antara lain; tanggal, hari, bulan dan perlengkapan perkawinan,
umumnya di dahului dengan pemberitahuan awal dari keluarga calon mempelai laki-laki
tentang rencana, atau lebih tepatnya maksud untuk diselenggarakan perkawinan.
Kegiatan tersebut dalam dialek daerah setempat disebut paombo, selain sudah dibicarakan
waktu perayaan perkawinan, (tanggal, hari, bulan) juga dibicarakan pula tata cara dan
seluruh mekanisme yang akan ditempuh dalam perkawinan dimaksud menurut ketentuan
agama islam dan ketentuan adat. Apabila kedua belah pihak kelurga calon mempelai
sudah setuju, mereka akan kembali dan mulai saat itu pula masing-masing keluarga akan
mempersiapkan segala sesuatunya guna menyosong waktu yang telah ditetapkan.
Persiapan dimaksud dimulai dengan pemberitahuan kepada keluarga satu klan. Artinya,
dalam kebiasaan persiapkan pesta perkawinan dalam kebudayaan orang, wakatobi,
khususnya komunitas Wanci, kerabat yang pertama-tama diberi informasi adalah
keluarga satu klan dari pihak kedua belah keluarga satu klan dikabari (hopowaa) barulah
dilanjutkan dengan kerabat lainya.
Perlu pula dikemukakan disini bahwa dalam kebiasaan masyarakat Wangi-Wangi dimasa
lampau, sesungguhnya tidak dikenal istila uang naik atau uang yang dimakan api
yakni sejumlah uang yang harus dipersiapkan oleh calon pengantin laki-laki sperti yang
berlaku bagi suku-suku lainya, sebut saja suku bugis, makasar atau tolaki, umumnya bagi
masyarakat Wakatobi, khusunya Wangi-Wangi di masa lampau, ketentuan adat sebagai
kewajiban yang harus dipenuhi oleh calon mempelai laki-laki adalah sepasang perhiasan
emas, satu pis kain kaci, dua belas lembar sarung, satu set tempat tidur, satu kelambu, dan
sebilah parang. Seperangkat adat inilah yang dinamakan kamondo. Di dalam kamondo
tersebut, khusus yang berwujud emas masih dipilah kedalam dua bagian, yaitu ada yang
disebut rangkami dan ada yang dinamakan paeka. Paeka dalam suatu adat perkawinan
masyarakat Wangi-Wangi sama dengan mahar, dengan begitu keberadaanya menjadi
sesuatu yang wajib.

Dilihat dari sudut pelaksanaan, setelah kedua keluarga calon mempelai menentukan waktu
penyelenggaraan pernikahan, masing-masing keluarga dari kedua calon mempelai mulai
mempersipakan segala kebutuhan dalam pelaksanaanya. Penting untuk ditemukan disini
bahwa sebelum akad nikah dilangsungkan kerumah kelurga calon mempelai perempuan,
baik kelurga calom mempelai laki-laki maupun perempuan melaksanakan pesta secara
terpisah atau secara sendiri-sendiri. Artinya, kelurga calon mempelai laki-laki maupun
calon mempelai calon mempelai perempuan mengundang kelurga satu kian dan kerabat
lainya dirumah masing-masing, dan umumnya kehadiran sanak kelurga diiringi dengan
makan bersama. Dengan cara seperti dimaksud, terlihat bahwa pesta tersebut tampak
seperti reuni akbar kelurga satu klan dan kerabat dekat lainya. Setelah makan bersama
yang biasanya di ikuti dengan doa bersama pula, maka bilamana sudah tiba waktu akad
seperti yang telah disepakati, maka seluruh pihak keluarga akan mengantar calon
pengantin laki-laki kerumah calon pengantin perempuan untuk melaksanakan akad nikah.
Setelah itu. Kelurga pun kembali, ada yang masih menuju kerumah pengantin laki-laki,
tetapi tidak sedikit pula yang langsung kembali kerumah mereka masing-masing.

a)

Sombo

Pada masyarakat Wangi-Wangi sudah menjadi keharusan adat bagi seorang perempuan
yang sudah menginjak dewasa untuk dipingit (dikurung). Dalam bahasa adat mereka
namakan kungku atau sombo. Olenya itu bagi calon mempelai perempuan sebelum
diadakan perkawinan harus dipingit (sombo) terlebih dahulu selama tujuh sampai 40 hari.
Adapun prosesi sombo ini diadakan setelah perempuan bertunangan atau resmi menjadi
calon istri dari laki-laki.
Sebelum perempuan yang akan menikah ini pingit, keluarga laki-laki menyerahkan
seperangkat adat yang dinamakan parambaku yang diantar oleh pihak laki-laki kepada
pihak perempuan oleh syarawowine (pemangku adat). Karena parambaku ini dikhususkan
untuk perempuan yang akan di sombo. Maka berisikan perlengkapan wanita yang
langsung diserahkan kepada pihak perempuan karena semua perlengkapan tersebut akan
digunakan oleh calon mempelai wanita. Selain itu dari keluarga pihak laki-laki
menyiapkan bedak kuning (campuran kunyit dan beras ketan yang dihaluskan) serta
kelapa yang diparut, dua jergen air, dua potong kayu serta makanan khas masyarakat
Wangi-Wangi, yang merupakan pertanda bahwa wanita tersebut akan dikurung (sombo)
Prosesi pingitan diawali dengan orang tua laki-laki (ibunya) mencuci rambut perempuan
(keramas) memakai santan kelapa sekalgus dimandikan dengan air dua jergen yang di
bawah oleh pihak laki-laki, setelah disucikan perempuan dipakaikan sarung tanpa pakain
lain karena akan memakai bedak yang berwarna kuning tadi ke seluruh tubuh (he raha
kuni).

b)

Pelaksnaan Akad Nikah

Sebelum pelaksanaan akad nikah, keesokan harinya pada hari ke-40, calon mempelai lakilaki bserta keluarganya ke rumah perempuan dengan membawa seperangkat
perlengkapan adat yang dinamakan kamondo,berupa perlengkapan tidur seperti, kasur,
bantal, ranjang, yang diterima oleh kelurga pihak perempuan karena akan segera
diadakan perkawinan. Pada hari itu juga perempuan yang dipingit kelurga dari
kurangnya (polimba) yang dilakukan di rumah calon mempelai perempuan. Adapun
prosesinya setelah perempuan cukup 40 hari kelurga dari kurungan atau pingitan (sombo),
perempuan tersebut disebersihkan kemudian dimandikan oleh orang yang dituangkan
(pemangku adat).
Setelah selesai dimandikan dan disucikan perempuan menggunting sedikt rambutnya
(hekire), kemudian memakai baju adat. Sebelum perempuan keluar rumah menuju tempat
diadakan acara polimbaa, juga dinamakan pahenauka, terlebih dahulu disiapkan kain
putih panjang yang dibentangkan dari kamar perempuan dsamapi kedalam tempat
pelaksanaa adat polimbaa. selesai acara pahenauka, maka dilanjukan dengan acara akad
nikah yang dilaksanakan dirumah mempelai perempuan yang hadiri oleh petugas PPN
(petugas pencatat Nikah), dan beberapa saksi, serta satu orang protokol serta kedua orang
tua mempelai.
c)

Penyerahan Mahar

Setelah perayaan pesta perkawinan telah selesai, maka dalam adat masyarakat WangiWangi dilanjutkan penyerahan mahar (kamondo) oleh pihak laki-laki kepada pihak
perempuan. Adapun prosesi adatnya dilakukan pada malam hari. Pada saat setelah
selaesai pesta perkawinan, kelurga pihak laki-laki dan pihak perempuan yang telah
menjadi istrinya membawa kamondo tersebut. Selesai menyerhkan mahar tersebut kedua
kelurga laki-laki dan perempuan bermusyawarah untuk menentukan hari baik bagi
pengantin perempuan untuk bertandang kerumah mertuanya. Biasanya dalam
pelaksaanya adalah empat hari sesudah acara perkawinan
1. b.

Upacara Adat Kelahiran

Setiap pasangan suami istri tentu berharap memiliki keturunan atau anak. Ketika tahu
bahwa buah hati yang dinanti-nanti akan lahir, mereka menyiapkan segala sesuatu untuk
menyambutnya. Baik itu upacara penyambutan bayi yang akan lahir juga memanggilkan
ahli dalam proses melahirkan anak.
Anak merupakan sesuatu yang sangat didambakan bagi pasangan suami istri, selain
karunia dari Tuhan juga merupakan hasil dari usaha dari pasangan suamai istribegitu
pula dengan masyarakat pulau Wangi-Wangi. Ketika mendapatkan seorang anak
(melahirkan anak) masyarakat Wangi-Wangi umumnya melakukan berbagai upacara
untuk mensyukuri kelahiran anaknya yang dianggap memiliki nilai dan kearifan lokal.
(Muniadi, wawancara 17 juli 2013).
Berikut adalah berbagai Upacara Kelahiran yang dilakukan dan dipersiapkan oleh
masyarakat Wangi-Wangi sebelum dan ketika telah melahirkan anak.

1)

Sebelum Melahirkan Anak

Pada saat akan melahirkan seorang suami menemani istrinya. Seorang istri yang akan
melahirkan biasanya diliputi perasaan gelisah. Karena itu, suami hendaknya menemani
dan memberikan motivasi agar tetap tabah dan sabar. Selain itu juga berdoa kepada Allah
Taala serta banyak beristighfar, bershalawat, dan membaca al-Qur`an. Dalam tradisi
masyarakat pulau Wangi-Wangi ada beberapa hal yang harus di hindari oleh calon ibu
maupun calon ayah. Tradisi berupa pantangan atau larangan dan masih dipertahankan
dan dipegang teguh oleh masyarakat sampai sekarang, adapun pantangan yag dimaksud
diantaranya:
1. Calon ibu atau calon bapak dilarang membunuh binatang. Sebab, jika itu
dilakukan, bisa menimbulkan cacat pada janin sesuai dengan perbuatannya itu.
2. Membawa gunting kecil / pisau / benda tajam lainnya di kantung baju si Ibu agar
janin terhindar dari marabahaya.
3. Ibu hamil tidak boleh keluar malam, karena banyak roh jahat yang akan
mengganggu janin.
4. Ibu hamil dilarang melilitkan handuk di leher agar anak yang dikandungnya tak
terlilit tali pusat.
5. Ibu hamil tidak boleh benci terhadap seseorang secara berlebihan, nanti anaknya
jadi mirip seperti orang yang dibenci tersebut.
6. Ibu hamil tidak boleh makan pisang yang dempet, nanti anaknya jadi kembar siam.
7. Ngidam adalah perilaku khas perempuan hamil yang menginginkan sesuatu,
makanan atau sifat tertentu terutama di awal kehamilannya. Jika tidak dituruti
maka anaknya akan mudah mengeluarkan air liur.
8. Dilarang makan nanas, nanas dipercaya dapat menyebabkan janin dalam
kandungan gugur.
9. Jangan makan ikan mentah agar bayinya tak bau amis.
10. Ibu hamil tidak boleh duduk di pintu nanti lama baru melahirkan
11. Jangan minum air es agar bayinya tak besar. Minum es atau minuman dingin
diyakini menyebabkan janin membesar atau membeku sehingga dikhawatirkan
bayi akan sulit keluar.
12. Untuk sang Ayah dilarang mengganggu, melukai, bahkan membunuh hewan. Nanti
bayinya akan mirip dengan hewan tersebut. (Wa Harima, wawancara 5 juni 2013)

Serta masih banyak pantangan-pantangan lain yang harus dihindari oleh sang calon ibu
maupun ayah. Namun sebenarnya pantangan-pantangan tersebut dapat dinalar apabila
ditelaah menurut perkembangan ilmu pengetahuan. Hanya saja beberapa kemungkinan
tidak tertuju langsung dengan keberlangsungan hidup si jabang bayi kelak.
2)

Proses Melahirkan Anak

Setelah anak bayi akan lahir maka akan mengadakan sesaji atau selamatan melalui
upacara tertentu yang berkaitan aktivitas kehidupan mereka sehari-hari, sebagai mana
halnya yang dilakukan wanita Wangi-Wangi apabila melahirkan, maka suaminya segera
mencari bhisa (dukun anak) yang mengetahui seluk beluk melahirkan tersebut.
Dalam melahirkan, apabila calon ibu kesulitan dalam melahirkan maka bhisa atau dukun
beranak menafsikan bahwa tingkah laku sang ibu sebelum hamil, misalnya kasar terhadap
suami atau ibunya, tidak saling membagi dan selalu menyembuyikan yang dimilikinya
untuk itu diadakan upacara seperti menginjak ubun-ubun, meminum air yang disertai
dengan mantra dan sebagainya agar mempercepat kelahiran sang bayi.
Ketika bayi sudah lahir maka Mengazani jika bayi adalah laki-laki dan Mengiqamahkan
jika bayi adalah perempuan. Suami hendaklah segera mengazani di telinga kanan dan
mengiqamahkan di telinga kiri pada anaknya yang baru lahir. Ini dimaksudkan agar
kalimat pertama yang didengar oleh bayi adalah kalimat thayyibah dan dijauhkan dari
gangguan setan.
Harapan soerang suami mengazankan dan mengiqamahkan agar bayi yang baru lahir
sebelum mendengarkan bunyi yang lain akan diperdengarkan dengan ayat tuhan. Selain
terhindar dari setan masyarakat Wangi-Wangi percaya bahwa bayi adalah titipan dari
Tuhan Yang Maha Kuasa dan patut disyukuri.
3)

Sesudah Melahirkan

a)

Hedhasa/Heufemena

Hedhasa/Heufemena adalah sebuah tradisi pengobatan khusus bagi ibu-ibu yang baru
melahirkan dengan pemijatan menggunakan air panas campuran daun sere (kanahali)
dan daun pisang yang telah kering untuk mengembalikan bentuk tubuh yang membesar
dan rahim yang luka.
Tradisi ini terdapat di kabupaten Wakatobi kecamatan Wangi-Wangi Provinsi Sulawesi
Tenggara. Pada dasarnya, proses ini tidak hanya memandikan ibu yang rahimnya terluka
karena melahirkan dan membersihkan darah nifas ibu, namun anak yang baru lahir juga
dimandikan agar anak tersebut tidak terkena penyakit pada perutnya, yaitu perut yang
dingin /lembab (futho kompho dalam bahasa Wangi-Wangi).
Dalam proses hedhasa ini juga yang menggunakan batu besar dan bundar yang
dipanaskan untuk, ditutup dengan kain panas yang basah untuk di oleskan ke perut ibu

yang barumelahirka. Dengan tujuan yang sama untuk membersihkan darah nifas ibu yang
masih ada dalam perut.
Tradisi ini masih di gunakan oleh masyarakat Wakatobi karena di anggap lebih efektif
dalam memulihkan rahim ibu dan mengembalikan kondisi perut ibu yang besar dan anak
yang dilahirkan tidak terjadi futho kompo. Biasanya jika seorang ibu paskah persalinan
rahimnya robek dan tidak ada obat untuk menyembuhkannya (tidak mungkin dilakukan
jahitan pada rahim yang robek).
Sehingga masyarakat Wangi-Wangi membudidayakan hedhasa untuk memulihkan rahim
ibu tersebut dan mengembalikan bentuk tubuh dan rahim yang luka. Kebanyakan
masyarakat Wangi-Wangi khususnya seorang ibu yang memiliki anak perempuan yang
baru melahirkan bisa melakukan tradisi ini. Hal ini dikarenakan oleh tradisi masyarakat
Wangi-Wangi masih kental dengan budaya nenek moyang sehingga masih dilakukan
hingga sekarang. Adapun prosese hedhasa adalah:
1. Siapkan alat dan bahan: Baskom untuk membasuh perut ibu dan anak (baskom),
api unggun, dan air panas, daun pisang yang kering dan kanahali (daun sere).
2. Basuhlah perut ibu dan anak pada air panas yang berbeda: ibu dibasuh dengan air
panas campuran daun sere dan daun pisang kering+dipijat bagian perut/ditekan
perutnya (hedhasa`e dan heufemena`e dalam bahasa lokal Wangi-Wangi) untuk
mengembalikan bentuk tubuh ibu yang gemuk dan mengembalikan bentuk rahim
yang luka.
3. Lakukan henderu (hangatkan ibu didepan atau dari belakang api unggun/tungku).
Hal ini dilakukan agar luka pada rahim bisa cepat sembuh serta menghangatkan
tubuh dan mengurangi lemak yang menumpuk.
4. Setelah itu,hangatkan kedua tangan anak (soa-soa e na limano dalam bahasa
Wangi-Wangi) agar anak tidak mengalami perut lembab (futo kompo).
5. Ibu yang melakukan tradisi hedhasa pada biasa disebut dengan `bhisa, atau dalam
bahasa Indonesia lebih dikenal seperti dukun anak. (Wa Saria, wawancara 5 Juni
2013)
b)

Hewale-Walea

Pada saat bayi berumur sepuluh hari diadakan upacara Hewale-walea (membuang sial)
diperkirakan dalam usia tersebut pusar bayi telah gugur. Dalam masyarakat jawa
menyebutnya molak malik. Prorses pelaksanaan hewale-wale adalah.
1)
Mandikan air tambaa lange-lange, air khusus yang terdapat di Liya dan dimandikan
oleh orang khusus bhisa atau dukun anak.
2)

Setelah dimandikan Ibu bayi mengelilingi rumag sebanyak 7 kali

3)

Ibu bayi dipersilahkan masuk ke dalam rumah.

4)
Setelah ibu bayi masuk, tempat injakan ibu bayi di tangga di potong dengan parang
dengan nilai bahwa untuk melemahkan semua niatan buruk yang ada dalam suatu
kampung tersebut.
5) Ambil rangka bambu untuk dipasangkan makanan yang berwariasi untuk dibagikan
pada anak-anak
6)
Kemudian bhisa membacakan doa untuk ibu dan bayi setelah selesai giliran ibu
membacakan doa untuk anaknya sesuai kehendaknya.
Tradisi hewale-walea ini di pulau Wangi-Wangi hanya terdapat di Desa Lia. Tradisi ini
hanya berlaku buat ibu yang baru melahirkan anak pertama dan baru menikah sekali. (La
Ode Mada, wawancara 15 Juni 2013)
c)

Gunti Hotu

Gunti hotu adalah upacara potong rambut untuk anak bayi dengan umur si bayi 40 hari.
Upacara ini sangat penting artinya bagi sebuah keluarga, rambut yang di bawa dari dalam
kandungan di sebut bulu panas, maka harus dihilangkan. Untuk itu masyarakat WangiWangi melakukan selamatan, doa atau upacara sederhana yang disebut gunti hotu. Pada
upacara ini pihak keluarga mengundang para tokoh agama, tokoh masyarakat, dan tokoh
adat untuk membacakan selakaran yang terdiri dari untaian doa dan Shalawat Nabi.
Biasanya seorang laki-laki atau ayahnya menggendong bayi atau orang yang masih
lengkap keluarganya dan bila perlu orang yang sukses tersebut spaya anak ini kelak
menjadi orang yang baik dan berhasil seperti oang yang menggendongnya. Yang
memotong rembut bayi adalah salah seorang toko agama atau toko adat
Pada kesempatan itulah sang bayi diberi nama dan diperbolehkan keluar rumah. Bhisa
(dukun anak) mengoleskan air kelapa muda kepada bayi dan ibu bayi dengan tujan agar
terhindar dari segala macam penyakit, selau segar seperti kelapa muda yang di pake
airnya tersebut. Kelapa tersebut ketika di ambil dari pohonnya dan tidak boleh jatuh atau
pndah tangan dari yng pergi ambil sampai nanti di tanah baru bisa dipegang oleh orang
lain. (suhaeri, wawancara 6 Juni 2013).
Dapat kita pahami bahwa dalam kegiatan ini mengandung makna setiap umat manusia
yang di dunia harus di bersihkan dari hal-hal buruk yang di bawa sejak lahir, di samping
itu sebagai suatu informasi bahwa ibu ini sudah memiliki seorang anak kelak nanti akan
menjadi orang yang berguna bagi bangsa dan negara harapannya.
Selesai membacakan doa selamat dalan upacara ini setiap toko adat, agama dan toko
masyarakat yang turut membacakan doa dikasihkan pasali (amplop berisi uang) sebagai
tanda penghormatan dan penghargaan kepada mereka yang telah mendoakan anaknya.

Makna lain yang terkandung di dalam upacara tesebut adalah untuk memperat hubungan
silaturahim antara keluarga serta pada seluruh masyarakat yang terikat dalam suatu
kesatuan wilayah atau adaerah. Sehingga dengan ini masyarakat selalu bersama-sama
dalam menyelesaikan masalah seberat apapun itu.
d)

Dole-Dole

Dole-dole adalah upacara yang sangat sederhana pada saat bayi menginjak umur kurang
lebih satu atau dua bulan. Upacara ini diadakan oleh bhisa (dukun anak) memandikan
bayi satu persatu dengan air yang sudah dibaca-baca/didoakan oleh bhisa dengan jumlah
bayi yang banyak dalam satu kampung atau bahkan dari luar kampung yang dibantu lahir
oleh bhisa tersebut dengan masing-masing orang tua bayi membawa kelapa.
Setelah selesai dimandikan si bayi akan diikatkan tali benang di pinggangnya, serta kelapa
yang di bawah tadi akan di bawah pulang kembali dan ditanam oleh ibu bayi sebagai
tanda bahwa anak bayi tersebut sudah melakukan upacara dole-dole.
Dalam upacara ini, dapat dimaknai bahwa bhisa mengadakan upacara dengan tujuan
untuk mempertemukan anak dan orang tua si bayi untuk saling mengenal bahwa bayi
tersebut dikasih lahir oleh bhisa yang bersangkutan. Dalam upacara ini bayi yang
dimandikan harus di wunua ganto (di rumah panggung) dan airnya jatuh di tanah.
Menandakan bahwa bayi yang dikaruniakan adalah titipan dari Tuhan maka harus di jaga
dan selalu dinasehati agar menjadi orang yang bertakwa pada Tuhan-Nya.
1. c.

Upacara Adat Kariaa.

Kariaa (khitanan) selain merupakan acara adat, juga merupakan acara keagamaan
dalam hal ini terkenal dengan nama kariaa. Pada umumnya masyarakat pulau WangiWangi memeluk agama Islam yang dalam ajarannuya diperintahkan bagi anak laki-laki
untuk dikhitan ( kariaa). Dalam kariaa terjadi pertalian antara nilai-nilai agama Islam
dengan Tradisi lama yang berkembang dalam masyarakat pulau Wangi-Wangi, sehingga
diadakan pada bulan-bulan yang baik menurut orang yang dituakan dalam suatu
wilayah/kampung, misalnya selesai lebaran baik lebaran Idul Fitri maupun selesai Idul
Adha. Anak laki-laki yang akan dikhitan bisanya berumur lima tahun atau tujuh tahun,
namun dalam prakteknya anak-anak berumur empat tahun pun dikhitan. Dalam upacara
Kariaa ada beberapa hal yang harus dilakukan :
1. Kegiatan Menjelang Kariaa: Upacara adat sunatan adalah salah satu upacara
yang sangat penting bagi masyarakat pulau Wangi-Wangi.Sebelum sampai pada
hari berlangsungnya Kariaa banyak sekali yang dilewati seperti ambil kayu,
membersihkan beras serta mempersiapkan untuk keperluan yang berkaiatan
dengan sunatan.
2. Kegiatan Pelaksanaan Kariaa : Sehari sebelum pelaksanaan terlebih dahulu
diambilkan bunganya pinang dan bunganya kelapa (bansa) untuk keperluan pada
saat di mandikan. Proses penyiraman dan pemandian dilangsungkan pada

menjelang subu. Pada keesokan harinya untuk menyenangkan anak yang akan
disunat maka anak tersebut diarak dengan kalau perempuan dipikul dalam
kansodaa (kayu yang di racik seperti tempatnya para raja dulu) sedangkan lakilaki jadi lengko (lari keliling kampung bersama rombongan orang banyak) yang
diiringi dengan musik dan rombongan yang berpakaian adat. Anak yang akan
dikhitan dikembalikan kerumahnya masing-masing dipersiapkan untuk disunat.
Setelah disunat dilangsungkan pembacaan doa selamat oleh semua toko agama,
adat dan masyarakat. Tuan rumah memabagikan amplop (pasali) yang berisi uang
pada toko agama, adat masyarakat yang membacakan doa selamat. Untuk
keperluan sunatan diambilkan pisau, bambu khusus yang sudah di runcing, pinang
yang secara khusus diambilkan dari orang yang dituakan serta batang pisang hantu
(loka onitu). Pisang ini bisa di dapatkan di dalam hutan.
3. Kegiatan Sesudah selesai kariaa: sekitar 7 hari selesai sunatan maka ada namanya
manga pogaa-gaaka (makan berpisah). Setiap keluarga yang mengadakan sunatan
berkumpul kembali untuk kemudian masak bersama sebagai tanda bahwa upacara
sunatan berakhir. Nilai yang terkandung dalam kegiatan ini dilihat dari segi
religiusnya adalah anak-anak yang dulunya belum di islamkan menjadi islam.
Kegiatan ini bermakna simbolis atas pengakuan, pembentukan dan pembinaan
dalam fase awal untuk menjadi seorang muslim. Sebelum dusunat anak tidak boleh
masuk kemesjid karna masih di anggap belum bersih dan sisi lain anak yang
bersangkutan menandakan telah menginjak keremajaan. Wawancara dengan
beberapa toko masyarakat.

1. d.

Upacara Adat Kabuengan

Pada zaman dahulu kala, Kapota pernah di pimpin oleh seorang Raja, yaitu Raja
Kambode. Raja tersebut mempunyai seorang putra bernama La Lili Alamu. Kehidupan
keluarga mereka tentram dan bahagia.
Setelah putra raja tersebut sudah menanjak akil baligh, dia ingin sekali mempersunting
seorang gadis, dan gadis yang di cintainya adalah gadis bernama Wa Siogena. Sehingga
pada suatu hari, putra Raja bersujud dihadapan baginda Raja dan memberi tahukan
kepada baginda Raja, agar dilamarkan seorang gadis yang benama Wa Siogena . Setelah
mendengar permintaan putranya, sang Raja menjawab,apa !kau minta dilamarkan Wa
Siogena?kamu tahu atau tidak, Wa Siogena itu tidak sederajat dengan kita. Dia itu
terlahir dari keluarga yang miskin, jadi dia tidak pantas untuk menjadi Permasuri anak
Raja. Mendengar perkataan sang Raja, La Lili Alamu langsung mundur dan menjauhi
sang Raja dengan hati yang kecewa.
Sehingga pada suatu malam, tepatnya pada malam jumat, La Lili Alamu di buai mimpi
dalam tidurnya, bahwa sewaktu pergi sembahyang di sebuah surau, di dalam
perjalannnya dihalang-halangi oleh bayangan seorang gadis dan La Lili Alamu bertanya
pada bayangan gadis tersebut, siapa gerangan bayangan di depanku?(berturut-turut 3x

bertanya), barulah gadis itu menjawab, tersenyumlah hai tuanku (sebanyak 3x), niscaya
akan ku beritahukan namaku, dengan spontan La Lili Alamu tersenyum (sebanyak
3x),barulah bayangan gadis tersebut memberitahukan namanya bahwa, saya ini adalah Wa
Siogena, yang akan menjadi jodohnya tuan dunia akhirat.
Di pagi harinya kemudian, mimpi indah tersebut di ceritakan kepada baginda Raja, tapi
Raja tetap pada pendiriannya tidak menyetujui gadis tersebut.Malahan mimpi indah
putranya itu di anggap sebagai alasan belaka untuk mendapatkan Wa Siogena. Dengan
kekecewaan yang sangat mendalam, anak sang baginda Raja tersebut langsung meminta
izin pergi merantau, dan sang baginda Raja menyetujui permintaan putranya tersebut
demi untuk terpisah dari gadis yang terhina itu.
Di saat meninggalkan orang tuanya, La Lili Alamu hanya meninggalkan dua buah pantun.
wa Ina ku melai komo
Kumenangkamo te matasu
Kumenangkamo te matasu
Umpa torampe-torampesu
Ibu aku akan pergi jauh
Ku mau ikuti mataku
Ku mau ikuti mataku
Kemanapun dia menuju
Orang tuanya menjawab :
Atu-atu ko lumangkemo
Rodae na jandi wa Ina
Kolumangke gawu na lulu
Kombule di seba wa Ina
Jikalau kamu berangkat
Ingat janji ibumu
Walaupun kamu pergi jauh

Kamu akan kembali ke pangkuan ibumu.

Dalam perjalanan merantau ke Negeri seberang, selalu di ombang-ambingkan oleh


gelombang samudera, dan bila malam telah tiba tinggalah bintang-bintang di langit yang
menjadi tatapan matanya. Ingatanya pun tetap pada Putri kesayangannya Wa Siogena .
Kedua insan ini ibarat bunga sudah hidup setangkai, yang tidak dapat di pisahkan lagi.
Begitulah kisah perjalanan Putra sang Raja, di dalam perantauan buah hati belahan
jantung tidak dapat terlupakan dari matahari terbit sampai matahari terbenam, dan dari
kutub Utara sampai kutub Selatan, Putri yang jumpainya tidak dapat mengalahkan Wa
Siogena. Dan sampai akhirnya kemudian, La Lili Alamu kembali juga kepangkuan
Ibunda Raja di kampung halaman.
Setibanya La Lili Alamu dari perantauan, mulailah baginda Raja berpikir bahwa Putraku
ini segera akan ku tunangkan dengan dayang-dayang yang lahir dari keturunan Raja.
Dengan cara mengumpulkan semua dayang-dayang yang ada di seluruh kerajaan, dengan
mengadakan sayembara pilihan jodoh, yakni membuat pesta ayunan. Kemudian
memberitahukan kepada Putranya bahwa hai Putraku kau akan segera bertunangan
Putranya menjawab dengan siapakah gerangan Ayahanda? Raja menjawab semua
dayang-dayang yang ada di Negeri ini akan di undang untuk mengikuti Sayembara
pemilihan jodoh.Tapi yang ananda Pilih bukan orangnya.Melainkan sarung leja yang
telah di gantung di ayunan untuk dipilih. Sarung leja tersebut adalah simbolis semua
dayang-dayang yang mengikuti sayembara. Barang siapa sarungnya sudah dipilh ananda,
maka itulah yang akan menjadi pemaisuri ananda.
Dengan berat hati La Lili Alamu menerima keputusan sang Raja. Tapi, keputusan tersebut
tidak bisa di bantah sehingga sayembara pemilahan jodoh pun akan segera di
mulai. Semua dayang-dayang yang di undang dari seluruh kerajaan sudah hadir, dan
sarung lejanya sudah di gantung di Ayunan, aparat kerajaan sudah di tugaskan sesuai
fungsinya masing- masing, termasuk bala tentara Kerajaan di perketat, setelah persiapan
acara sayembara pemilihan jodoh sudah mantap, barulah acara pembukaan di mulai.
Sang raja mengumumkan terlebih dahulu kepada semua hadirin bahwa pemilihan jodoh
Anakku La Lili Alamu bukan memilih dayang- dayang yang hadir, tetapi akan memilih
sarung leja yang di miliki oleh dayang-dayang yang sudah di gantungkan Di Ayunan dan
barang siapa yang terpilih sarung lejanya, maka itulah yang akan menjadi permaisuri
Anakku.
Pernyataan Raja itu sangat di harapkan oleh dayang dayang untuk terpilh sarung
lejanya. Setelah Raja selesai mengumumkannya barulah putranya di persilahkan untuk
memilih sarung sarung leja yang di sukainya, maka mulailah Putra raja memilih sarung
leja yang di jaga ketat oleh pengawal kerajaan..

Putar kiri putar kanan, La Lili Alamu memilh selembar sarung leja yang berkenann di
hatinya. Tidak lama kemudian tercetuslah hatinya untuk mengambil selembar sarung
yang tertindis dengan sarung leja yang lain. Sarung tersebut langsung diserahkan kapada
baginda raja untuk di umumkan siapa pemiliknya. Kemudian, sarung leja tersebut di
perlihatkan kepada dayang- dayang yang mengikuti sayembara pemilihan jodoh.Semua
mata tertuju kepada sarung leja yang di pilih oleh putranya tersebut.Tapi, tidak ada satu
pun yang mengaku sebagai pemilik sarung tersebut.Sehingga perasaan sang Raja menjadi
geram dan berulang-ulang mengatakan siapa pemilikya?
Dengan perasaan takut dan gemetar, serta keringat dingin yang membasahi tubuhnya.Wa
Siogena mengancungkantangan dan mengaku bahwa sarung tersebut adalah miliknya.
Melihat kenyataan ini sang Raja hampir tak sadarkan diri karena ternyata sarung
tersebut adalah putri yang terlahir dari keluarga yang sangat terhina dan tidak sederajat
dengan mereka. Dengan berat hati, akhirnya sang Raja mengumumkan bahwa yang akan
menjadi permaisuri anakku La Lili Alamu adalah Wa Siogena.(ibid.kisah festival
kabuenga kapota, kabupaten wakatobi.diakses 16 September 2013, tersedia
http://wakatobinationalpark.com).
Budaya wakatobi yang masih dilestarikan salah satunya kabuenga. Ini adalah salah satu
perayaan lokal yang bahkan katanya telah diadakan sejak zaman kerajaan buton.
Kabuenga sendiri adalah ayunan besar yang dapat diduduki cewek dan cowok dewasa
dimana mereka percaya bahwa pasangan yang diayun adalah berjodoh. Oleh sebab itu
yang mengayunnya pun sambil memanjatkan doa dan nyanyian untuk mendoakan
pasangan tersebut. Menurut ceritanya, kabuenga ini diadakan karena para pemuda lokal
yang notabane adalah pelaut sulit memiliki waktu untuk bersosialisasi sehingga mereka
kesulitan mencari pasangan sehingga diadakanlah kabuenga untuk mengatasi hal ini.
Prosesi kabuenga dimana para gadis dalam balutan pakaian adat bersama para ibu
mereka dituntun dan berjalan mengelilingi arena kegiatan sambil menyanyikan lagu
kadhandiyo untuk beberapa kali. Sehubungan dengan prosesi, para gadis menyuguhkan
minuman dalam takaran tertentu kepada tamu yang diundang. Tamu dengan spontan
akan menghargai minuman dengan memberikan sejumlah uang dalam amplop yang
tertutup.Setelah prosesi itu selesai, anak anak muda membagikan bingkisan kepada
sejumlah gadis gadis kecil peserta kabuenga yang biasanya mengambil tempat di tengah
arena.Setelah itu acara yang ditunggu tunggu pun berlangsung. Para orang tua lelaki akan
memberikan sejumlah uang atau membawa bahan makanan untuk diberikan kepada salah
satu gadis pujaan sang pemuda. Maka itu berarti sang pemuda mencintai sang gadis.
Acara kabuenga diakhiri dengan mengayun pasangan muda mudi yang diketahui saling
mencintai. Mereka diayun secara bersama oleh para orang tua dan disaksikan oleh seluruh
pengunjung.

Sketsa acara kabuengan di kapota


(sumber: Rafika, 2011:58)

1. e.

Tradisi Pencarian Jodoh

Setiap datang Ramadan, beberapa perempuan Wangi-Wangi percaya bahwa segera


mendapatkan jodoh, dengan jalan menjual kacang.Wadah kacang tanah ini sebahagian
perempuan wangi-Wangi memmupuk harapan untuk mendapatkan seorang pemuda.
Sebagaimana yang diungkapkan Wa Iba kepada Koran Tempo Ini (memang) sudah
menjadi kebiasaan kami,.Tradisi yang dikenal sebagai adat kacang jodoh ini sudah
diwariskan dari generasi ke generasi.
Setiap bulan ramadha akan dipadati gadis-gadis penjual kacang. Mereka ada yang
menempati halaman rumah, pinggir jalan, atau kawasan strategis, seperti pasar dan
lapangan.Hal ini tidak hanya di satu tempat saja tetapi dapat menyasikan disepanjang
jalan Desa Waha, Tindoi, dan Wandoka riuh dipadati gadis belia penjaja kacang jodoh.
Biasanya, para gadis ini menyiapkan sendiri kacang jualannya.Untuk mendapatkan rasa
dan aroma yang enak, mereka menyangrai (menggoreng tanpa minyak) kacang kulit di
atas pasir panas dalam wajan tanah liat.Kacang garing itu lantas dipajang di atas tampah
dan dijual seharga Rp 2.000 per bungkus.
Lapak kacang jodoh biasanya dibuka menjelang berbuka puasa hingga selesai salat
tarawih.Meski Wangi-wangi sudah diterangi listrik, mereka tetap memilih berdagang di
bawah temaram lampu minyak.Itulah yang diajarkan para leluhur. Dengan gaya malumalu kucing ada juga yang kenes mereka meladeni pembeli yang kebanyakan pria lajang.
Jika beruntung, transaksi penganan itu bakal berlanjut menjadi perkenalan dan
pernikahan.

Tokoh masyarakat Wangi-Wangi, Hambali, mengatakan tradisi kacang jodoh telah


dilaksanakan secara turun-temurun.Ia tak tahu sejak kapan hal itu berlangsung. Di
samping mempertemukan muda-mudi, dia mengatakan,tradisi ini seharusnya dimaknai
sebagai metode pembelajaran bagi seorang gadis yang beranjak dewasa sebelum membina
keluarga.Bertemu jodoh atau tidak, cuma Tuhan yang bisa mengaturnya, ujarnya.

1. 3.

Kegiatan Kesenian Tradisional

Pobanti bersal dari bahasa wolio, terdiri dari dua kata yaitu po dan banti. Po berfungsi
sebagai pembentuk kata benda sedangkan banti mengandung pengertian puisi atau sajak.
Dengan demikian pobanti adalah puisi atau sajak.
La ode Nsha (1979 :235) mengemukakan, pobanti berarti puisi umum atau sanjak umum
yang berisisi mutiara-mutiara kebijaksanaan atau pernyataan rasa dalam berbentuk yang
amat digemari dan mengena hingga dasar hati bahkan dalam situasi pembicaraan umum
maupun dalam suasana dari hati ke hati.
Sebagai salah satu bentuk kesenian rakyat yang diwariska secara turun temurun, tidak
diketahui secara pasti kapan pobanti lahir dan berkembang di dalam masyarakat
pendukungnya. La Niampe (1998 :10) mengemukakan bahwa pobanti yang tergolong
karya yang banyak jumlahnya dan populer dikalangan pendukungnya tersebut telah lama
dikenal oleh masyarakat Buton sejak zaman pra Islam.
penyebaran kabanti yang sudah berlangsung sejak lama tersebut meliputi seluruh barata
yang ada di kesultanan Buton, mulai dari Barata Muna, Barata Tiworo di Barat sampai
dengan Barata Kulisusu di Utara dan Barata Kaledupa di Timur pulu Buton.
Dari hasil analisa terhadap fungsi pobanti maka terdapat pobanti pengantar tidur. Adapun
Pobanti pengantar tidur tersebut adalah:
1. 1.

Pobanti Bue-Bue

Bue-bue bermakna timang-timang atau diayun-ayun. Secara metodologis merupakan


ayun-ayun atau ayunan dengan menggunakan media sarung yang digantuangkan kepada
tiang rumah dengan masksud agar seorang anak dapat tidur. Sedangkan bue-bue selain
untuk penghibu juga dilakukan untuk meninabobokan anak. Karena substansi kegiatan
bue-bue adala untuk menghibur, maka biasanya kegiatan tersebut diiringi senandung dan
syair algu yang dalam bahasa masyarakat pulau Wangi-Wangi dikenal dengan istilah
pobanti.
Terdapat banyak pobanti yang terkait dengan tradisi ini, ada yang secara eksplisit dapat
dipahami makna dan arti syairnya, tetapi juga banyak yang makna syairnya tidak
diketahui artinya. Mengapa masyarakat Wangi-Wangi melakukan bue-bue maupun kuakua, hal ini dijelaskan dalam sebuah pobanti sebagai berikut:

Ku Bue-buee anedo no pei

: aku akan mengayun-ngayunnya karena belum pintar.

Anedo te di tembatemba

: masih harus ditimang-timang

Ku bumuebuee nggalamo

: aku akan mengahun-ngayunnya dulu

Mina anedo kiikii

: sewaktu ia masih kecil

Ku bumuebuee nggalamo

: aku akan mengayun-ngayunnya dulu

Mondo kusala telarono

: sudah perna aku menyalahi perasaannya.

Bait pertama pobanti tersebut menjelaskan bahwa bue-beu dilakukan untuk membantu
sang anak yang belum mampu mengurus dirinya secara mandiri, dalam kontes ini bue-bue
adalah menuntut seorang anak agar dapat tidur lelap dan tenang. Bait kedua, menjelaskan
bahwa mereka atau anak kepulauan senantiasa diayun-ayun sewaktu kecil, dimana
kegiatan tersebut merupakan tradisi yang diterima secara turun temurun.
Lebih lanjut dijelaskan, bahwa tradisi bue-bue bukan hanya sebagai tradisi, tetapi
sekaligus sebagai upaya untuk merekatkan hubungan anak dengan orang tuanya. Posisi
domografis pulau Wangi-Wangi sebagai daerah yang tidak terlalu potensial untuk lahan
pertanian dan perkebunan menyebabkan pilihan utama hidup orang kepulauan ini selain
sebagainelayan juga sebagai pedagang antara pulau. Yang terkandang proses
perjalanannya dilakukan selama berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun.
Dengan keadaan demikian seorang anak lahir, sedangkan orang tuanya masih di rantau
orang. Juga kadangkala seorang anak masih dalam usia dini, telah ditinggal oleh kedua
ibu bapaknya yang mencari nafkah di negeri orang.
Oleh karena itu, bait ketiga dari pobanti tadi mengungkapkan perasaan orang tua, bahwa
ia mengayun-ayun atau menimang-nimang anaknya sebagai upaya untuk
menyatupadukan rasa anak dengan orang tua, ini dapat diperhatikan pad kalimat pobanti
yang menyebutkan: aku akan mengayun-ayunnya dulu; sudah pernah aku menyalahi
perasaannya.
Kata mengayun-ayunnya dahulu bisa berarti makna bahwa dalam waktu beberapa lama
anak tersebut belum bahkan tidak perna di ayun, demikian pula dengan kalimat sudah
perna aku menyalahi perasaannya, merupakan metephor dari perasaan tanggung jawab
orang tua yang sudah sekian lama, karena kondisi kehidupan yang memaksa mereka
kerantau orang sehingga anak seolah sebagai yatim yang tidak memiliki gantungan hidup
yang jelas. Karena rasa tanggung jawab tersebut, maka untuk mengobati kerinduan
sekaligus merapatkan hubungan tali kasih antara keduanya, anak tersebut kemudian
dimanjakan dan diayun.

1. 2.

Pobanti Kua-Kua

Sebagaimana bue-bue, kua-kua juga bermakna timang-timang atau diayun-ayun.


Meskipun semakna, namun secara teknis ada perbedaan antara kua-kua dengan beu-bue.
Kua-kua dilakukan dengan meletakan seorang anak di atas kaki, lalu digoyang sehingga
sang anak terayun-ayun. Kua-kuasebagai sebuah tradisi dikalukan untuk menghibur, dan
untuk mengisi waktu senggang untuk bermain bersama seorang anak.
Dalam tradisi ini tidak mesti dilakukan oleh orang tua tapi dilakukan juga seorang kakak,
atau keluarga dekat kepada seorang anak yang rewel karena ditingal pergi oleh ayah atau
ibunya yang berpergian. Karena itu substansi kegiatan kua-kua memiliki kesamaan
dengan bue-bue yaitu untuk menghibur, maka biasanya selalu diiringi yanyian atau lagu
yang dalam bahasa Wangi-Wangi dikenal dengan pobanti.
Pobanti kua-kua sebagaimana bue-bue ada banyak jenisnya, lagunya berikut ini pobanti
kua-kua yang sering dinyanyikan oleh para ibu maupun seorang ayah dalam mengayun
anak mereka atau bagi kakak yang mengayun adiknya:
Kua-kua sangka

: ayun-ayun

Sangka ako kami

: padukan kami dala satu rajukan

Bara nobubuti

: jangan sampe terjatuh

I gala galampa nu mia

: di teras/halamannya oang

Maka O tando ako te kami

: lalu kami jadi tertudu

Wa tuari-watuari

: wa tuari-watuari

Maka bongkololo

: maka bongkolo-lo

Kua-kua sangka, artinya mengayun dengan cara menyangkutkan sang anak di atas kedua
pergelangan kaki. Kua-kua dilakonkan oleh orang yang paling dewasa karena dalam gerak
ayunan bila tidak dilakukan secara baik, maka bisa mencederai atau bahkan
mencelakakan anak. Oleh karena itu, seorang anak yang dipandang belum mampu
melakukannya masi butuh pendampingan atau tuntunan. Proses ini juga sebagai proses
pembelajaran awal dan perkenalan akan gerak ayunan, bahwa kelak kemudian hari ia
kan melakukan hal yang sama kepada adiknya atau bahkan kepada anaknya.
Bunyi dari syair di atas menggambarkan keinginan hati yang kuat parah orang tua untuk
semakin dekat dengan anak-anaknya atau keluarganya yang lain. Kata sangka secara
literal bermakna merajut, menganyam misalnya, sangka a kiye, artinya menganyam
tikar. Jadi keeratan mereka seperti yang terdapat pada baki, yaitu keranjang atau bakul
yang terbuat dari anyaman bambu yang digunakan oleh para petani untuk mengankut
hasil kebun.

Bara no buti:jangan sampai anak yang diayun tersebut terjatuh disebabkan karena
cengkraman antara badan anak dengan kaki yang diibaratkan seperti anyaman tidak
rapat/erat. Di gala-galampa nu mia (terjatuh) diteras rumah orang. Makna metaphor
kalimat pobanti tersebut mengadaikan pentingnya memelihara keluarga atau tanggung
jawab menjaga keluarga dengan ikatan batin yang kokoh se kokoh anyaman bakul yang
antara satudan yang lainya saling memberikan kekuatan, sehingga seseorang anak yang
menjadi tanggung jawab keluarga tidak menjadi bebn orang lain (tetangga), yang dapat
menyebabkan keluarga besar menjadi tertuduh, sebagai keluarga yang tidak bersatu dan
bertanggung jawab atas anak-anak mereka.
Pobanti sejenis yang biasa dilagukan oleh masyarakat buton kepulauan ketika sedang
bermain dan menghibur seseorang anak adalah kua-kua ina maladu
Kua-kua ina maladu

: ayun-ayun

Sebangka sabangku nu seru

: perahu-perahunya seram

Mbali batu na kokombuno

: tiangnya dari batang

Helempe ako-E te Wa

: kmpulkan padanya pasir

Seperti bue-bue, syair atau nyanyian ini biasanya dilanturkan oleh seseorang ibu yang
hendak menidurkan anaknya. Dalam syair ini,ada indetitas bagi orang kepulauan yang
dikomunikasikan kepada anaknya. Bahwa mereka sebenarnya adalah komunitas bahari
yang dalam interaksi kehidupan mereka tidak bisa lepas dari alat transportasi
lautBangka nama perahu layar khas masyarakat buton.
Kata Seraadalah pulau seram, yaitu salah satu tempat yang banyak dituju oleh orangorang kepulauan sebagai tempat rantau dan mencari nafka. Pengungkapan pulau
seram, juga merupakan penegasan bahwa kelak mereka yaitu anak-anak mereka juga
akan menuju kesana merantau mencari hidup.
Sumiman Udu (http://kabanti.blogspot.com di akses 8 Agustus 2013) menyebutkan bahwa
pobanti ini, juga dilantumkan oleh playar-pelayar buton. Yang dalam perjalananya karena
merasa jenuh dan ingin cepat tiba pada daerah tujuan lalu menyanyikan sebagai
penghibur dan pelipur lara.

1. 4.

Sopan Santun dalam Pergaulan

Sopan santun sangat penting untuk diterapkan, terutama dalam bermasyarakat, karena
norma ini sangat erat kaitannya terhadap masyarakat. Sekali saja ada pelanggaran
terhadap norma kesopanan, pelanggar akan mendapat sanksi. Kesopanan merupakan

tuntutan dalam hidup bersama. Ada norma yang harus dipenuhi supaya diterima secara
sosial.
Sopan santun adalah peraturan hidup yang timbul dari hasil pergaulan sekelompok itu.
Norma kesopanan bersifat relatif, artinya apa yang dianggap sebagai norma kesopanan
berbeda-beda di berbagai tempat, lingkungan, atau waktu.
Begitu pula pada masyarakat pulau Wangi-Wangi terdapat adat sopan santun pergaulan
yang diterapkan di dalam kehidupan sosial bermasyarakat dan akan mendapat sangsi jika
nanti dilanggar. Beberapa sopan santun pergaulan dalam masyarakat pulau Wangi-Wangi:
1. a.

Sopan Anak Terhadap Orang Tua dan Orang Tua Terhadap Anak

Banyak orang tua di daerah Wangi-Wangi yang masih berkebun dan selalu jalan kaki
pada saat pulang dari kebun, serta memikul barang yang di hasilkan di kebun. ketika
dilihat oleh anak-anak maka harus segera dibantu dan semua barang bawaannya di ambil
oleh anak-anak tersebut sebagai bentuk kesopanan kepada orang tua.
Orang tua selalu memberikan arahan kepada anak-anak untuk selalu berbuat baik, tidak
boleh kata-kata kasar kepada orang lain, maki-maki serta selalu memghina orang. Dalam
kondisi atau keadaan apapun orang tua tidak boleh membiarkan anak-anaknya pergi
tanpa pamitan pada orang tua baik orang yang tuanya sendiri maupun orang yang
dituakan dalam satu kampung.
1. b.

Sopan Laki-Laki Terhadap Perempuan dan Perempuan Terhadap Laki

Perempuan adalah lambang kesucian agama. Perempuan adalah pelengkap bagi hidupnya
laki-laki sehihgga seorang laki-laki wajib memperlakukan sorang wanita dengan baik.
Dalam kehidupan bermasyarakat, saling terjadi namanya perbedaan pendapat baik itu
sesama laki-laki maupun laki-laki dengan perempuan namun, walaupun dengan keadaan
demikian laki-laki sangat tidak pantas ketika memarahi perempuan apa lagi sampai
memukulinya itu merupakan sikap yang tidak sempatasnya di dapatkan oleh seorang
wanita dari laki-laki.
Begitu juga sebaliknya seorang wanita harus lebih tahu bagaimana bersikap dengan baik
terhadap laki-laki. Ketika diperintahkan untuk melakukan sesuatu, contonya masakan
maka seorang perempuan tanpa pamrih, dengan senang hati untuk memasakannya.
1. c.

Sopan Santun di Antara Remaja Sesama Jenis dan Lawan Jenis

Remaja adalah anak yang baru mau menginjak kedewasaan. Dalam kehidupan remaja
banyak rintangan yang kemudian harus dilewati baik dalam lingkungan keluarga,
lingkungan pendidikan maupun pergaulan denga teman-teman sebaya. Hal yang pertama
terjadi dalam kehidupan remaja dalam masyarakat Wangi-Wangi adalah banyak para
remaja yang belum tamat sekolah menengah atas (SMA) sudah banyak mengkosumsi
alkohol sehingga ketika pergi keacara sering terjadi keributan (kaco).

Melihat keadaan di atas adat sopan santun sangat diperlukan. Dalam masyarakat pulau
Wangi-Wangi ada sopan santun yang kemudian diterapkan. Para remaja selalu dinasehati
untuk tidak melakukan keributan di kampung orang selain itu dilihat tidak baik sama
orang dan juga tidak banyak temannya karna dijengkeli. Sesama remaja baik itu sesama
jenis maupun lawan jenis saling menghormati, tidak bicara kasar dan lain yang dianggap
tidak bagus oleh sesamnya.
1. d.

Sopan Santun dalam Keramaian dan Penghargaan Kepada Tamu

Kehidupan masyarakat tidak pernah luput dari keramaian seperti pelaksanaan pesta
rakyat dan acara keramaian lainnya yang berkaitan dengan orang banyak. Masyarakat
pulau Wangi-Wangi dalam setiap tahunnya bahkan bisa dikatakan selalu ada acara
keramian, dalam keramian tersebut selalu dipadati oleh orang banyak baik dari wilayah
kesatuan kampung maupun dari luar wilayah kampung tersebut. Maka dari keadaan
tersebut masyarakat Pulau Wangi-Wangi memiliki budaya sopan dalam menghargai para
tamu.
Dalam menyambut tamu masyarakat Wangi-Wangi selalu mengutamakan tamu, karna
dalam pandangan masyarakat Wangi-Wangi menganggap tamu adalah raja dan harus
dilayani, sehingga ketika dusuru makan maka yang harus duluan adalah tamu baru tuan
rumah.
Ketika pada saat acara kedatangan tamu maka sebelum melakukan aktivitas tamu
tersebut harus dipersilahkan dulu makan, selain itu tamu di sambut dengan tarian
tradisional daerah Wangi-Wangi jika tamu tersebut adalah pejabat daerah maupun
nasioanl.Dalam masyarakat Wangi-Wangi ada tiga cara memanggil orang:
1. a.

Yikita (panggilan untuk orang paling tua)

2. b.

Komiu (panggilan untuk seumuran/sebaya)

3. c.
Yikoo (panggilan untuk adik/lebih mudah dari kita). (La Ode Taufik,
Wawancara 14 Juli 2013)

1. B. Makna dan Nilai-Nilai yang Terkandung Dalam Kearifan Lokal Masyarakat


Wangi-Wangi Kabupaten Wakatobi

Setiap tradisi pasti memiliki suatu makna (nilai-nilai) yang terkandung di dalamnya.
Geertz (1974), Poerwanta (2010) dalam Edy Karno (2013:54) mengemukakan bahwa,
dalam memahami suatu kebudayaan lebih memperhatikan pemahaman makna daripada
tingkah laku manusia, atau hanya sekedar mencari hubungan sebab akibat.

Berdasarkan pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa agar dapat memahami makna
dari suatu tradisi maka kita harus mampu menafsirkan simbol-simbol yang dipergunakan
oleh seseorang. Suatu penafsiran konfigurasi atau sistem simbol-simbol tadi, hendaknya
dilakukan secara menyeluruh dan mendalam, seperti yang terdapat tradisi masyarakat
Wangi-Wangi.
Nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi suatu masyarakat ada yang disebut dengan nilainilai ideal dan nilai-aktual. Nilai-nilai ideal menjadi cita-cita setiap orang sedangkan nilainilai aktual merupakan nilai-nilai yang diekspresikan dalam perilaku sehari-hari. (Salma,
2011: 9)
Nilai-nilai suatu tradisi dalam suatu daerah ada yang sifatnya pasif (tidak dipulikasikan)
dan ada yang sifatnya aktif (dipulikasikan). Berdasarkan uraian ini maka nilai-nilai yang
terkandung dalam masyarakat Wangi-Wangi yang penulis uraikan satu persatu adalah
nilai-nilai kedua nilai-nilai tersebut di atas.
Berdasarkan uaraian tersebut, ada empat nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi
masyarakat Wangi-Wangi yakni, nilai religius, nilai etika, nilai estetika, nilai sosial.
1.

Nilai Religius (Kepercayaan)

Nilai religius dalam tradisi masyarakat Wangi-Wangi di atas dapat dilihat pada kegiatan
adat istiadat masyarakat Wangi-Wangi seperti upacara adat kariaa,orang yang akan di
karia (disunat) akan diberikan petuah-petuah/nasehat oleh para tokoh agama agar kelak
kalau telah dewasa nanti di menjadi anak yang berbakti kepada kedua orang tuanya, taat
menjalankan perintah agama, menghormati yang lebih tua menyangi yang lebih muda
dalan nasehat-nasehat lainnya. Sebagaimana yang telah dituturkan oleh informan:
kainae nupoolimu nu karia rodae napogausu ana, ara nu mobasamo rodae na mooriu,
rodae na mansuanau, jagae namingku, hekoleamaae na pogau
artinya sekarang kamu sudah selesai sunat (khitan) ingat ucapanku ini: kalau kamu
sudah besar ingat tuhanmu, ingat orang tuamu,perbaiki perilakumu, perbaiki bahasamu
(tutur katamu) (hasil tinjauan lapangan, 5 Agustua 2013)

Berdaskan hasil tinjauan lapangan tersebut di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa
dalam nilai-nilai agama yang terdapat upacara adat kariaa berupa nasehat/petuah-petuah
yang diberikan pada yang disunat/dikaria. Proses pemberian nasehat ini biasanya
dilakukan oleh tokoh agama dalam bentuk masal pada pusat kegiatan karia yang disebut
dengan sombonga.
Selain itu nailai-nilai agama yang terkandung lainnya yakni dalam upacara adat
perkawinan. Sebagaimana tepat lain pada umumnya acara pernikahan sarat dengan nilainilai khususnya nilai religius. Nilai agama yang terkandung dalam adat penikahan

masyarakat Wangi-Wangi proses pensucian calon mempelai wanita setelah dipingit, proses
ini dimaksukan agar perempuan yang akan dinikahi bersih dari segala fitnah dan menjadi
seorang ibu yang baik kelak jika dia telah menikah, selain itu ada petuah-petuah/nasehatnasehat yang disampaikan oleh tokoh agama maksunya adalah agar kelak laki-laki dan
perempuan yang telah menikah bersatu membentuk sebuah keluarga yang berlandaskan
islam.
Sedangkan nilai-nilai agama yang terkandung dalam upacara adat kelahiran dalam
kehidupan ini kita harus selalu dapat menjaga hawa nafsu kita, mengendalikan diri kita
jangan sampai kita membuat kerusakan dimuka bumi, nilai ini dapat dilihat pada saat
sebelum melahirkan atau masih dalam proses kehamilan. Kita dilarang membunuh
binatang, dilarang melilit sarung atau benda lain dileher, dilarang berdiri didepan pintu,
dilarang membawa benda-benda tajam, dilarang keluar malam dan lain-lain. Selain
patangan dan larang terdapat nilai-nilai lain seperti seorang suami harus dengan sabar
menemani serta memotivasi istrinya, banyak beribadah kepada Tuhan Yang Esa, rajin
bersalawat dan membaca Alquran.

1. Nilai Etika (Moral)


Berbicara mengenai nilai etika berarti kita akan diarahkan perilaku. Sedangkan berbicara
mengenai perilaku kita akan berhadapan dengan dua perkara yakni perilaku baik dan
perilaku tidak baik atau buruk.
Nilai etika yang terkandung dalam tradisi masyarakat pulau wangi-wangi yang penulih
bahas pada bagian pertama adalah bagaimana tingkah laku saling menghormati dan
saling menghargai antara yang satu dengan yang lainnya. Hal ini terlihat jelas pada adat
perkawinan bahwa sebelum laki-laki melakukan pelamaran terhadap calon wanita yang
akan dinikahinya ia harus tahu dulu latar belakang wanita yang akan dinikahinya, setelah
dia ketahui maka dia akan menuruskan niatnya untuk menikahi wanita tersebut. Bagi
keluarga calon wanita yang akan dinikahi ia harus menyatakan apa yang sebenarnya tidak
boleh ada kebohongan, jika dia sudah punya calon lain maka harus disampaikan kepada
yang akan menikahinya dengan bahasa yang baik dan bijak agar yang laki-laki atau
keluarga laki-laki tersebut tidak merasa kecewa begitu juga sebaliknya.
Nilai etika lain yakni pada tradisi karia, seorang anak yang telah dikaria pada umumnya
dia telah dewasa untuk itu dia harus megang teguh petuah/pesan yang telah disampaikan
oleh tokoh agama maupun tokoh masyarakat. Secara umum memberikan pemahaman
kepada kita bahwa pada suatu saat kelak kita harus berbuat baik pada sesame, kita harus
saling menghormati, saling menghargai, saling menjaga, dan lain sebagainya.
Disamping pesta adat karia nilai-nilai etika juga dapat dilihat pada sopan santun
pergaulan dalam masyarakat Wangi-Wangi. Nilai-nilai yang terkandung pada tradisi ini
adalah agar kita dapat hidup rukun tidak ada keributan baik di lingkungan keluarga,
maupun dilingkungan masyarakat, disamping itu kita ditutut untuk aling menghormati

dan saling menghargai antara anak dengan orang tua, antara adik dengan kakak, antara
laki-laki dan perempuan, antara teman dengan teman.
1. Nilai Estetika (Keindahan)
Nilai estetika yang dimiliki oleh tradisi masyarakat wangi-Wangi adalah hal-hal unik yang
tercermin dalam tradisi tersebut baik dalam pola pergaulan antara laki-laki dan
perempuan, prosesi perkawinan yang dimulai dari pemilihan jodoh hingga proses
perkawinan. Prosesi penangkapan ikan secara bersama-sama dalam proses kabo, pakaian
adat yang digunakan dalam upacara adat karia yang diikuti dengan arakan-arakan
keliling kampung yang diusung di atas sebuah wadah yang disebut kansodaa, kemudian
ada kegiatan lengko dan tari makanjara. Keindahan lantuan pobanti yang memberikan
pesan-pesan atau nasehat dan lain sebagainya.
1. Nilai Sosial
Secara umum nilai sosial yang terkandung dalam tradisi adat masyarakat Wangi-Wangi
adalah kebersamaan. Dalam masyarakat Wangi-Wangi dimana setiap kegiatan senantiasa
dikerjakan secara gotong royong. Dengan bekerja secara bersama-sama tanpa
memandang usia, kedudukan dan derajat, di atas kebersamaan itu adalah tempat tali
silaturahim diantara masyarakat pulau Wangi-Wangi.
Nilai sosial yang terkandung dalam kegiatan kemasyarakatan adalah salang menolong
dan saling membantu antara satu dengan yang lain, menolong tanpa pamrih membantu
tanpa imbalan. Disamping itu berkumpul saling bertukar pikiran, menolong
masyarakat/warga lain yang membutuhkan pertolongan, membantu orang yang sedang
mengadakan pesta dan secara bersama-sama membangun atau memperbaiki tempat
umum. Selain itu nilai social lainnya adalah adanya saling menghormati antar sema warga
masyarakat, antar keluarga, antar teman, antara laki-laki dan perempuan dan lain
sebagainya.

BAB VI
PENUTUP
1. A.

Kesimpulan

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas dala pembahasan hasil penelitian,
maka peneliti dapat menarik kesimpulan bahwa keraifan lokal dalam masyarakat pulau
Wangi-Wangi sangat penting untuk diungkapkan dan dimunculkan kepermukaan sebab,
dengan karifan lokal masyarakat dapat memahami arti penting dan makna suatu kegiatan
adat maupun budaya yang berkembang. Seperti kagiatan adat yang telah peneliti jelaskan
di atas dalam pembahasan hasil penitian seperti:
1. Wujud kearifan lokal masyarakat Wangi-Wangi Kabupaten Wakatobi adalah:
a)
Kegiatan kemasyarakatan yaitu pohamba-hamba (gotong-royong), kabo (tumpa air),
wotea (pemotongan/pembersihan rumput), jampua (perbaiki kuburan), alaa nu kau (proses
penganbilan kayu), dan posaasa (bersatu/berkumpul).
b)
Kegiatan adat istiadat yaitu adat perkawinan, upacara adat kelahiran, dan upacara
adat kariaa (khitanan).
c)

Kegiatan kesenian tradisional yaitu pobanti (puisi atau sajak).

d)

Sopan santun dalam pergaulan.


1. Makna dan Nilai-Nilai yang terkandung dalam kearifan lokal masyarakat WangiWangi Kabupaten Wakatobi adalah:
2. Nilai Religius (Kepercayaan)

3. Nilai Etika (Moral)


4. Nilai Estetika (Keindahan)
5. Nilai Sosial
1. B.

Saran-Saran

Melalui tulisan ini, penulis dapat mengajukan beberapa saran:


1. Menghimbau kepada pemerintah kabupaten Wakatobi umumnya dan khususnya
pemrintah pulau Wangi-Wangi agar kearifan lokal yang ada dalam masyarakat
selalu dikembangkan dan tidak boleh dulupakan. Karna kearifan lokal memilki
nilai budaya yang sangat besar.
2. Menghimbau kepada pemerintah kabupaten Wakatobi umumnya dan khususnya
pemerintah pulau Wangi-Wangi agar menjadkan kearifan lokal sebagai salah satu
sumber belajar bagi generasi penerus Wangi-Wangi agar memahami arti penting
kearifan lokal.
3. C.

Implikasinya Terhadap Pembelajaran Sejarah di Sekolah

Dalam jenjang pendidikan formal sejarah merupakan salah satu mata pelajaran IPS yang
diajarkan mulai dari tingkat SD sampai tingkat perguruan tinggi, sehingga tidak dapat
dipungkiri bahwa mata pelajaran sejarah juga memankan peranan penting dalam
meningkatkan mutu pendidikan. Keberadaan mata pelajaran sejarah di sekolah bertujuan
untuk membimbing para peserta didik agar mampu memahami masa kini berdasarkan
prespektif masa lampau. Pemahaman siswa tentang kekinian dan prespektif sejarah akan
memberikan nilai lebih karena tida hanya mengetahui fakta sejarah, melainkan juga
memahami interaksi makna yang terkandung di dalamnya, sehingga muncul motivasi
siswa untuk memahami sejarah.
Implikasi hasil penelitian yang berjudul kearifan lokal masyarakat pulau Wangi-Wangi
kabupaten Wakatobi (suatu tinjauan sejarah) terhadap pembelajaran sejarah berdasarkan
susunan materi yang terdapat dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang
erat kaitannya dengan materi pokok kehidupan awal manusia Indonesia di bidang
kepercayaan, sosial, budaya, ekonomi dan teknologi serta pengaruhnya dalam kehidupan
masa kini pada kelas X SMA.
Untuk membahas mata pelajajaran ini diperlukan waktu 245 menit (2 jam pelajaran).
Adapun straregi yang dapat digunakan oleh guru adalah mengajarkan materi sejarah
dengan menggunakan metode ceramah, diskusi, tanya jawab dan karya wisata.
Tulisan mengenai kearifan lokal masyarakat pulau Wangi-Wangi kabupaten Wakatobi
(suatu tinjauan sejarah) diharapkan akan menjadi referensi tambahan di sekolah pada
materi pelajaran Sejarah agar siswa dapat memahami perkembangan kehidupan

masyarakat dan wilayah serta dapat menambah pengetahuan mengenai warisan budaya
yang telah ada dari zaman kezaman pada siswa sebagai generasi penerus di masa yang
akan datang.

DAFTAR PUSTAKA

Ali Habiu. 2011. Masjid Tertua Terdapat Di Togo Lamantanari Desa Liya Kepaulauan
Wangi-Wangi Kabupaten Wakatobi. (di akses 23 Juni 2013).

Ali Hadara (belum dipublikasikan). 2011. Adat Pernikahan Masyarakat Wakatobi. Kendari.
Sulo printing.
Ali Hadara. 2010. Filsafat Sejarah Edisi Ke dua. Bahan Ajar. Kendari: FKIP Universitas
Halu Oleo.

2011. Sejarah Wakatobi Dari Masa Praintegrasi Sampai Terbentuknya Kabupaten


Wakatobi. Yogyakarta. Teras-Yogyakarta

2006. Dinamika Pelayaran Tradisional Orang Kepulauan Tukang Besi. Makalah


diajukan pada kongres nasioanal sejarah VIII di Jakarta 16 November.

Arman. 2007. Perkembangan Motorisasi di Pulau Wangi-Wangi Kabupaten Wakatobi.


Skripsi FKIP: UHO

Buhari La Bia. 2010. Kanturu Bumbu di Pulau Wangi-Wangi (1902-2008). Skripsi FKIP:
Unhalu

Edy Karno. 2013. Kontribusi Nilai-Nilai Budaya Terhadap Kesejahteraan Masyarakat (Studi
pada Masyarakat Bajo Indah Kec. Soropia kab. Konawe). Laporan Hasil Penelitian: UHO

Jabar, Tribun. 2009. Ancaman Kultural lag dan Mestijo Cultural.


http://klipingut.wordpress.com (di akses 10 januari 2013).

Jaria. 1988. System Derivasi Dan Infeksi Ansterdam Pada Zaman Voc Di Hila Pulau Ambon
1642-1799. Skripsi: Unhalu

Harviayaddin. 2005. Pengtahuan Lokal Masyarakat Kepulauan Tukang Besi Dalam System
Pertanian (Studi Kasus Di Pulau Wangi-Wangi Kabupaten Wakatobi). Skripsi faperta:
Unhalu

Karo Cyber. 2011. pen-kearifan-lokal. http://klipingut.wordpress.com (di akses 10 Januari


2013).gertian

Koetjaraningrat, 1982. Kebudayan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: PT Gramedia.

Koentjaraningrat. 2000 Pengantar Ilmu Antropol. Jakarta: Radar Jaya


Kuntowijoyo. 1995. Pengantar Ilmu Sejarah. Yokyakarta: Yayasan Bentang Budaya.
La ode Taalami dkk. 2010. Kearifan Lokal dalam Kebudayan Masyarakat Mekongga.
Jakarta: Dinamika press.

La Ode Turi. 2007. Esensi Kepemimpinan Bhinci-Bhinci Kuli (Suatu Tinjauan Budaya
Kepemimpinan Lokal Nusantara). Kendari: khasana Nusantara.

Kasianto. 2006. Pedoman Penulisan Sejarah lokal. Jakarta: Departemen Kebudayaan dan
Praiwisata.

Mudjiono. 2010. Pengantar Kajian Budaya. Jakarta : PT Rajawali

Munandar, Sulaeman. 2010. Ilmu Budaya Dasar-Suatu Penantar. Bandung: Refika aditama

Nazir, Moh. 2003. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Nugroho Notosusanto. 1978. Masalah Penelitian Sejarah Konteporer (Suatu Pengalaman).


Jakarta: Yayasan Idayu.

Poespowardojo, Soerjanto. 1989. Strategi Kebudayaan Suatu Pendekatan Filosofi. Jakarta:


Pt Gramedia Pustaka Utama

Sidi Gazalba. 1967. Pengantar Kebudayaan Sebagai Ilmu. Jakarta: Balai Pustaka.

Sjamsuddin, Helius. 1998. Metodologi Sejarah. Jakarta: Depdikbud.

Soekanto, Soerjono. 1990. Sosiologi, Suatu Pengantar. Jakarta: CV Rajawali.

Sumiman Udu. Kabanti. (di akses 8 Agustus 2013)

Suparlan, Parsudi. 1992. Model Transformasi Masyarakat Terasing Ke Dalam Sistim


Nasional Indonesia (Sebuah Alternatife). Jakarta: CV Bumi Aksara.

William A Haviland. 2004. Antropologi Edisi ke Empat (Alih Bahasa oleh R.G Soekadijo).
Jakarta: Erlangga.

Yani Mujianto dkk. 2010. Pengantar Ilmu Budaya. Yokyakarta: pelangi Publishing.

Yusni. 2001. Nilai-nilai Budaya yang Terkandung dalam Teks I La Gallo Ritumpana
Welenrennge: Skripsi, Kendari: FKIP Unhalu
La Uda. 2001. Asal Mula Manadati. http://klipingut.wordpress.com (di akses 23 Juni 2013).

LAMPIRAN-LAMPIRAN

Nampak masyarakat yang sedang


Melaksanakan jampua (perbaikan kubur).
(Dokumentasi 6 Juli 2013)

Adat pernikahan, rombongan keluarga laki-laki bersama


pengantin laki-laki menuju rumah pengantin perempuan.
(Dokumentsi 7 Juli 2013)

Air tambaa lange-lange (air dalam gua) sebagai air untuk memandikan bay
yang baru dilahirkan dan ibu baru melahirkan menjalankan
upacara hewale-walea (khusus untuk orang liya).
(Dokumentasi 15 Juli 201).

Tampak masyarakat yang sedang bersamasama melakukan pekerjaan di masjid.


( Dokumentasi 3 Agustus 201).

Pemuda dan orang tua sedang melakukan kerja bakti wotea


(membersihkan rumput) yang ada di pinggir jalan.
(Dokumentasi 10 Agustus 2013)

Masyarakat sedang membantu membuat sabua


(tempat berlindung) untuk semua kegiatan adat.
(Dokumentasi 16 Agustus 2013)

Para rombongan kariaa siap-siap menuju


sombonga (pusat acara adat kariaa)
(Dokumentasi 13 Agustus 2013)

Rombongan peserta karia menuju sombonga ( pusat adat kariaa)


(Dokumentasi 13 Agustus 2013)

Orang sedang joget menyambut kedatangan rombongan/


para orang yang ikut dalam kariaa (khitanan).
( Dokumentasi 13 Agustus 2013)

Ayunan (Kabuenga) dalam Masyarakat


Pulau Wangi-Wangi

DAFTAR INFORMAN

1. Nama
Umur
Jenis kelamin

: La Asa
: 87 Tahun
: Laki-Laki

Agama

: Islam

Pendidikan

: SR (sekolah rakyat)

Pekerjaan

Alamat
Keterangan

: Desa Waha, Kecamatan Wangi-Wangi Kabupaten Wakatobi


: Tokoh Masyarakat, Wawancara Tanggal 5 Juni 2013

1. Nama
Umur
Jenis kelamin

: Muniadi, S. Pd. M.Si


: 42 Tahun
: Laki-Laki

Agama

: Islam

Pendidikan

: S2

Pekerjaan

: Guru Sejarah

Alamat
Wakatobi
Keterangan

: Enunu Desa Bente Kecamatan Wangi-Wangi Kabupaten


:Cucu Pelaku Sejarah, Wawancara Tanggal 17 Juni ,,,,,,,,,,,,,,2013

1. Nama
Umur
Jenis kelamin

: La Dao B
: 54 Tahu
: Laki-Laki

Agama

: Islam

Pendidikan

: SR (Sekolah Rakyat)

Pekerjaan
Alamat
Keterangan

: Pembantu PPN
: Desa Wungka kecamatan Wangi2 Selatan Kabupaten Wakatobi
: Tokoh Adat, Wawancara Tanggal 19 Juni 2013

1. Nama
Umur
Jenis kelamin

: Ampana
: 89 Tahun
: Laki-Laki

Agama

: Islam

Pendidikan

: SR (Sekolah Rakyat)

Pekerjaan

: Veteran

Alamat

: Desa Bira kecamatan Wangi-Wangi Kabupaten Wakatobi

Keterangan

: Tokoh Masyarakat, Wawancara 16 Juni 2013

Nama

: La Ruda

Umur

: 56 Tahun

Jenis kelamin

: Laki-Laki

Agama

: Islam

Pendidikan

: Tamatan SMA

Pekerjaan

: Kepala Kampung

Alamat
Wakatobi
Keterangan

1. Nama
Umur

: Desa Pookambua, Kecamatan Wangi-Wangi ..Kabupaten


: Tokoh Masyarakat, Wawancara 8 Juni 2013

: Suhaeri,
: 46 Tahun

Jenis kelamin

: Laki-Laki

Agama

: Islam

Pendidikan

: Tamatan SMA

Pekerjaan

: Tani

Alamat
Keterangan

: Desa Kapota Wangi2 Selatan Kabupaten Wakatobi


: Cucu Pelaku Sejarah, Wawancara 6 juni 2013

1. Nama
Umur
Jenis kelamin

: Wa Saria
: 59 Tahun
: Perempuan

Agama

: Islam

Pendidikan

: Tamat SD

Pekerjaan

: Tani

Alamat
Wakatobi

: Desa Pookambua, Kecamatan Wangi-Wangi ,,Kabupaten

Keterangan

: Dukun Anak, Wawancara 5 juni 2013

Nama

: La Ode Mada

Umur

:76 Tahun

Jenis kelamin

: Laki-Laki

Agama

: Islam

Pendidikan

: SR (Sekolah Rakyat)

Pekerjaan

: Pembantu PPN

Alamat
: Desa Liya Togo, Wangi2 Selatan Kabupaten
,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,Wakatobi

Keterangan

: Tokoh Masyarakat, Wawancara 15 Juni 2013

1. Nama
Umur
Jenis kelamin

: Wa Harima
: 61 Tahun
: Perempuan

Agama

: Islam

Pendidikan

: Tamatan SD

Pekerjaan

: Tani

Alamat
Wakatobi

: Desa Pookambua, Kecamatan Wangi-Wangi ,,Kabupaten

Keterangan

: Dukun Anak, Wawancara 5 Juni 2013

Nama

: La Ode Taufik

Umur

: 68 Tahun

Jenis kelamin
Agama

: Laki-Laki
: Islam

Pekerjaan

: Imam Adat

Pendidikan

: Tamat SMA

Alamat
Wakatobi

: Desa Waginopo, Kecamatan Wangi-Wangi Kabupaten

Keterangan

: Tokoh Masyarakat, Wawancara 16 Juni 2013.

LA MANI. S.Pd
Sejarah Wakatobi
December 3, 2013 Leave a comment
Sejak ratusan tahun yang lampau hingga saat ini, sejarah Kepulauan Wakatobi (Kepulauan
Tukang Besi) ditulis sebagai bagian dari sejarah Buton. Sejarahnya ditulis hanya untuk
memperjelas dan memperkaya khasanah sejarah Buton, bukan sejarah yang memperjelas dan
mempertegas identitas dan jatidiri Wakatobi yang berbeda dengan yang lain. Hal ini disebabkan
karena selama ratusan tahun lamanya, kepulauan ini menjadi bagian dari pemerintahan
Kesultanan Buton dan selama puluhan tahun menjadi bagian dari pemerintahan Kabupaten
Buton. Padahal prestasi sejarahnya di masa lampau, dalam skala regional maupun nasional,
terutama dalam bidang pelayaran, perdagangan, perikanan, dan teknologi pandai besi, tidak bisa
diabaikan begitu saja. Keunggulannya dalam bidang pelayaran niaga, misalnya, telah ikut
membesarkan dan mempopulerkan nama Buton sebagai salah satu etnik maritim di Indonesia
sehingga keunggulan sejarahnya itu perlu diungkapan secara terang benderang secara obyektif.
Sejak tahun 2004 yang lalu, gugusan kepulauan ini mulai memekarkan diri dari
Kabupaten Buton dengan nama Kabupaten Wakatobi. Karena itu sebagai suatu kabupaten yang
baru lahir, semakin terasa diperlukan penjelasan detil sejarahnya, termasuk budayanya, untuk
lebih memperjelas dan mempertegas karakter dan jatidiri serta memperkuat kemandiriannya
melalui suatu kegiatan penelitian. Hasilnya dapat dirancang sebagai salah satu bahan materi
muatan lokal di sekolah, dari tingkat SD hingga SLTA baik secara mandiri (mata pelajaran
tersendiri) maupun terintegrasi dalam mata pelajaran terkait (suplemen).
Ada dua masalah utama dalam penelitian ini. Pertama adalah bagaimana sejarah
Wakatobi sebelum berintegrasi dengan Buton. Kedua, bagaimana sejarah Wakatobi ketika
terintegrasi ke dalam pemerintahan Kesultanan Buton. Penelitian ini bertujuan untuk
menjelaskan (explanation) sejarah Wakatobi dalam periode awal sebelum terintegrasi
(praintegrasi) ke Buton hingga masa keintegrasiannya dengan status Barata Kaedupa secara
obyektif berdasarkan sumber-sumber sejarah yang otentik dan kredibel. Hasilnya (output) adalah
sebuah laporan hasil penelitian tentang sejarah Wakatobi Dari Masa Praintegrasi Hingga Barata
Kaedupa. Hasil penelitian dapat dirancang untuk materi muatan lokal di sekolah dari SD hingga
SLTA dalam rangka menanamkan semangat patriotisme dan kebanggaan di kalangan anak didik.
Rancangannya dapat berbentuk mata pelajaran tersendiri ataupun terintegrasi ke dalam mata
pelajaran terkait seperti Sejarah Nasional dan Dunia, Seni Budaya, Ekonomi, Sosiologi, dan PKn
di SMA; IPS Terpadu di SMP; dan IPS di SD. Bagi pemerintah akan menjadi data base sejarah
dan budaya dalam rangka memberi semangat pembangunan. Bagi publik masyarakat akan
menjadi sumber informasi sejarah tentang prestasi dan kontribusi masyarakat dalam berbagai
ivent sejarah di masa lampau. Pada akhirnya akan memperjelas identitas dan jatidiri masyarakat
Kabupaten Wakatobi sehingga akan lebih mudah dikenal secara lebih intim dalam pergaulan
masyarakat regional, nasional, maupun internasional.

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan structures (Lloyd,
1993) yang menjelaskan peristiwa sejarah dan struktur sejarah secara terpadu. Artinya uraian
tentang peristiwa sejarah harus selalu dikaitkan dengan struktur sejarah seperti struktur geografi,
ekonomi, sosial, dan budaya. Metode yang digunakan adalah metode sejarah yang dimulai
dengan tahap pengumpulan bahan-bahan sejarah (heuristik) kemudian disusul dengan kritik
sumber (eksternal dan internal), interpretasi (pemaknaan) dan historiografi (penulisan). Metode
sejarah merujuk pada Helius Sjamsuddin (2007), Louis Gottschalk (2006), dan RZ Leirissa
(1996).
Penelitian (studi dokumen dan wawancara) ini dilaksanakan di Kabupaten Wakatobi,
Kota Bau-Bau dan Kendari. Studi dokumen dilakukan pula pada kantor Arsip Nasional di
Makassar dan Jakarta. Sumber data penelitian adalah data-data tertulis, lisan, visual dan IT. Datadata tertulis dalam bentuk dokumen, arsip, laporan ilmiah, artikel. Sedangkan sumber lisan
adalah wawan-cara dengan pelaku ataupun saksi sejarah yang masih hidup. Sumber visul adalah
benda-benda peninggalan sejarah seperti benteng dan isinya, istana, makam, dan sebagainya.
Adapun jadwal kegiatan penelitian dapat dilihat pada jadwal berikut.
Wilayah dan masyarakat Kepulauan Wakatobi mulai lebih dikenal sejak mekar pada awal
tahun 2004. Ini disebabkan karena selama beratus-ratus tahun lamanya kepulauan yang kini lebih
dikenal sebagai pusat segitiga karang dunia dan dulu dikenal sebagai pusat tanah atau perut
bumi (puonufuta) ini menjadi bagian dari wilayah Kesultanan Buton dan Kabupaten Buton.
Popularitasnya tenggelam dalam kebesaran nama dan sejarah Buton. Padahal dalam statusnya
sebagai barata (daerah otonom) telah ikut memperkuat posisi Buton sebagai kerajaan terbesar di
Sulawesi Tenggara. Peran dan kontribusinya dalam proses panjang sejarah Buton, terutama
dalam aspek pelayaran, perdagangan, perikanan, dan kepandaian menempa besi tidak bisa
diabaikan begitu saja.
Wilayah yang mencakup tidak kurang dari 40 pulau karang dan 94 persen adalah perairan
ini dihuni oleh tidak kurang dari 100.000 jiwa penduduk, menghuni sembilan pulau, terbagi ke
dalam tiga suku sehingga berbicara dalam tiga bahasa (Kaumbeda, Ciacia, dan Bajo), empat
dialek, dan sepuluh sub dialek, seratus persen beragama Islam. Pada awal abad ke-17
dikukuhkan menjadi salah satu dari empat barata (barata patapalena) Kesultanan Buton dengan
nama Barata Kaedupa yang wilayah kekuasannya mencakup seluruh kawasan Kepulauan
Tukang Besi (Toekang Besi Eilanden). Sebelum terintegrasi ke Buton, wilayahnya terbagi-bagi
dalam otonomi kedatuan (kerajaan kecil) yang masing-masing dipimpin oleh penguasa sakti,
berani, dan cekatan yang mereka namakan warang atau kasemba, didampingi oleh seorang
panglima perang yang mereka namakan parojogi atau kasega.
Berintegrasinya ke dalam kekuasaan Buton, secara umum, karena faktor kepentingan
keamanan bersama, terutama karena ancaman bajak laut dari Tobelo dan Mindanao yang mereka
namakan sanggila, serta ancaman Gowa, Ternate dan Belanda pada umumnya. Baik Buton
maupun Wakatobi merasa terancam oleh gangguan sanggila sejak se abad sebelum integrasi.
Oleh sebab itu dalam struktur kekuasaan dan pertahanan Kesultanan Buton, Barata Kaedupa
mempunyai fungsi utama sebagai pihak yang bertanggungjawab dalam masalah keamanan Buton
dan vazalnya dari sektor timur dan selatan.

Barata Kaedupa berpusat di Bente (Ollo) di Pulau Keledupa, yang tidak begitu jauh dari
puonufuta. Pusat pemerintahan (kraton) dikelilingi oleh sebuah benteng, di dalamnya terdapat
kamali (istana raja), baruga (balai pertemuan), dan sebuah mesjid. Dari kraton inilah roda
pemerintahan Barata Kaedupa dijalankan. Selama masa barata dipimpin oleh sekitar 20 orang
raja (bergelar lakina) yang pernah berkuasa, berlangsung sekitar 400 tahun. Wilayahnya dibagi
ke dalam 18 limbo (kampung, daerah), sembilan limbo (kadie) berada di Pulau Kaledupa dan
sembilan lainnya di luar Pulau Kaledupa. Ke delapan belas limbo itu mencakup delapan bergelar
miantuu atau lakina diangkat dari golongan kaomu serta sepuluh kadie bergelar bontona diangkat
dari golongan walaka. Dalam setiap wilayah kadie biasanya dikelilingi dengan benteng
pertahanan. Hubungan Buton dengan Kaedupa ini digambarkan dalam ungkapan yang berbunyi
Kaedupa te ni rabu, te andi-andi nu Wolio, arti harfiahnya Kaedupa yang diciptakan, adiknya
Wolio. Falsafahnya adalah gau satoto yang mencakup enam prinsip nilai, yakni tara, turu, toro,
taha, toto, dan ihlasi. Ideologi pemerintahannya berbunyi nokede ikilli, notade itoto,
noparangaki ibanannara, arti harfiahnya duduk di tempat yang bersih, berdiri di tempat yang
lurus, berpegang teguh pada kebenaran.
Hasil penelitian ini dapat bermanfaat paling tidak bagi tiga institusi pemerintah
Kabupaten Wakatobi yang relevan, yaitu Dinas Pendidikan, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata,
serta Badan Lingkungan Hidup. Selain itu tentunya masyarakat Wakatobi pada umumnya dapat
mengambil manfaat dari buku ini. Karena itu penulis merekomendasikan kepada tiga institusi
terkait tersebut dan masyarakat Wakatobi pada umumnya untuk memanfaatkan buku ini baik
untuk kepentingan praktis-pragmatis maupun kepentingan yang bersifat teoritis.
Pertama, adalah bagi Dinas Pendidikan buku ini dapat dirancang dalam bentuk proses
pembelajaran baik untuk materi muatan lokal maupun materi suplemen (tambahan) yang terintegrasi dalam topik-topik bahasan dalam mata pelajaran IPS di SD, IPS Sejarah (IPS Terpadu)
di SMP atau mata pelajaran sejarah di SMA dalam periode tertentu dalam rangka menanamkan
semangat patriotisme dan kebanggaan di kalangan anak didik.
Kedua, adalah bagi Dinas Kebudayaan dan Pariwisata akan menjadi data base sejarah
(dan budaya) dalam rangka menggiat-kan semangat (falsafah) pembangunan dan mendukung
program promosi kebudayaan dan kepariwisataan serta pemberian identitas misalnya penetapan
hari jadi kota, lambang daerah, lagu daerah, model rumah adat dan gedung penting lainnya,
nama-nama jalan, nama-nama gedung atau ruangan penting, nama pelabuhan laut dan udara, dan
sebagainya. Selain itu bisa menjadi acuan naskah dalam mendesain sebuah sendratari (seni,
drama, dan tarian) daerah.
Ketiga, institusi lain yang relevan adalah Badan Lingkungan Hidup (BLH). Bagi BLH,
bagian dari isi buku Sejarah Wakatobi ini akan bermanfaat sebagai salah satu sumber informasi
dalam upaya pelestarian lingkungan perairan berbasis budaya, terutama pemanfaatan karang dan
penangkapan ikan yang tidak merusak habitat dan lingkungannya. Bagi publik masyarakat
Wakatobi pada umumnya akan menjadi sumber berbagai informasi sejarah tentang prestasi dan
kontribusi masyarakat dalam berbagai ivent dan struktur sejarah di masa lampau dalam berbagai
aspek kehidupan (ekonomi, politik, budaya, agama dan ideologi). Terutama bagi mahasiswa
program studi Pendidikan Sejarah di FKIP atau Jurusan Sejarah FIB akan bermanfaat sebagai
salah satu materi penunjang Matakuliah Sejarah Lokal Sulawesi Tenggara. Pada akhirnya akan

memperjelas identitas dan jatidiri masyarakat Wakatobi sehingga akan lebih mudah dikenal
secara lebih intim dalam pergaulan masyarakat lokal, regional, nasional, maupun internasional.
Sekian, insya Allah semoga dapat bermanfaat. (ALI HADARA)

Anda mungkin juga menyukai