Anda di halaman 1dari 16

Tugas Kelompok 4 :

“VERIFIKASI DATA WAWANCARA”

NAMA KELOMPOK 4:

 MUH. DZULJALI WAL IKRAM


 ALI AKBAR
 MIRDATOC
 NADIYA RAHMADANI
 LA ODE AHMAD SAHRUL

JURUSAN PENDIDIKAN SEJARAH

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS HALU OLEO

KENDARI

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat-Nya sehingga
makalah ini dapat tersusun sampai dengan selesai. Tidak lupa kami mengucapkan terima
kasih terhadap bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan
baik pikiran maupun materinya.

Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah ini bisa
pembaca praktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Bagi kami sebagai penyusun merasa
bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini karena keterbatasan
pengetahuan dan pengalaman Kami. Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran
yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Kamis, 2 Desember 2021

Penulis Kelompok 4
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................................

DAFTAR ISI.............................................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.................................................................................................................
B. Rumusan Masalah............................................................................................................
C. Tujuan Penelitian.............................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN

A. Tehnik Membuat Transkip...............................................................................................


B. Menganalisis Hasil Data Wawancara...............................................................................

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan.......................................................................................................................
B. Saran dan Kritik...............................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Darban dalam Padiatra, (2021) yang menyatakan bahwa sejarah lisan ialah sumber
sejarah yang dilisankan oleh manusia pengikut atau yang menjadi saksi akan peristiwa
sejarah pada zamannya. Kartodirdjo dalam Padiatra, (2021) sendiri merumuskan
bahwasanya sejarah lisan ialah cerita-cerita mengenai pengalaman kolektif yang
disampaikan secara lisan. Lapian sebagaimana dituturkan kemudian juga ikut berembug
dengan menjelaskan bahwasanya di Amerika Serikat sendiri sejarah lisan diartikan
sebagai sebuah rekaman pita suara yang berisikan mengenai wawancara atas peristiwa
ataupun hal-hal yang sekiranya dialami dan diingat oleh narasumber, Di sisi lain, A.
Gazali Usman menuturkan bahwasanya sejarah lisan merupakan rekaman pita wawancara
dari sebuah peristiwa yang dialami oleh pengkisah, Sugeng Priyadi sendiri
mendefinisikan sejarah lisan secara sebagai sebuah karya sejarah yang menyangkut
komunitas, masyarakat, dan bangsa dengan memakai sumber sejarah lisan secara
dominan, yang terjadi pada masa kini atau kontemporer atau paling sedikit 50 tahun
terakhir, sedangkan Reiza Dienaputra menuturkan bahwasanya sejarah lisan merupakan
rekonstruksi visual atas berbagai peristiwa sejarah yang benar-benar terjadi yang terdapat
didalam memori setiap individu manusia (Padiatra, 2021).

Dalam beberapa hal tertentu, sejarah lisan tentunya bukan merupakan rekonstruksi
sejarah yang biasa, Ia dapat pula menjadi sejarah alternatif yang terkadang dapat
membuka beberapa tabir yang terkadang tidak hadir dalam narasi-narasi yang ada dalam
sumber teks, sejarah lisan, melalui sumber-sumber yang dihasilkan yakni sumber lisan
dalam hal ini dapat melampaui narasi-narasi tekstual yang terkadang dibuat sesuai dengan
narasi keinginan individu atau kelompok tertentu, yang terkadang bisa saja tidak sesuai
dengan kenyataan atau peristiwa yang terjadi pada saat itu (Padiatra, 2021). Di sisi lain,
sejarah lisan juga bisa mengungkapkan apa yang kemudian suasana emosional yang
terjadi pada peristiwa yang ingin direkonstruksikan, suasana yang barangkali hanya dapat
dirasakan oleh masyarakat atau individu yang ikut serta atau ada di dalam kejadian
tersebut (Padiatra, 2021).
Antara sejarah dengan sejarah lisan mempunyai suatu hubungan yang saling
mengisi dan melengkapi. Maksudnya bahwa suatu dokumen yang tertulis tidak akan
dapat menceritakan semua peristiwa yang pernah terjadi. Untuk memperoleh kelengkapan
dari informasi dokumen tersebut, perlu dilakukan wawancara sejarah lisan. Oleh karena
wawancara sejarah lisan itu bertujuan untuk mengisi gap atau kekosongan informasi pada
dokumen (bagawanabiyasa.wordpress.com).

Wawancara hanya dapat dilakukan apabila didukung oleh orang-orang yang


pernah mengalami suatu peristiwa itu, apabila masih hidup. Namun, apabila orang
tersebut sudah meninggal, kemungkinan wawancara dilakukan terhadap orang-orang
yang pernah dekat dengannya sewaktu masih hidup sehingga dengan menggunakan dua
pendekatan itu dapatlah seseorang untuk menelusuri suatu peristiwa secara terperinci dan
mendetail (bagawanabiyasa.wordpress.com).

Dengan wawancara, peristiwa yang terjadi dapat digali informasinya sampai ke


akar rumput. Di samping itu, wawancara dapat menampilkan dan menyediakan akses
layanan yang penting dalam folklore serta dapat mengungkapkan informasi yang hilang.
Dalam kaitan itu, dapat dikemukakan bahwa kegunaan wawancara sejarah lisan adalah
sebagai berikut.

a. Dapat mengungkapkan kembali peristiwa yang terjadi.


b. Dapat melestarikan sejarah lokal masyarakat dan nasional.
c. Efektif dalam mengungkap data sejarah perseorangan.
d. Dapat mengembangkan interpretasi si pewawancara.
e. Metodologi sejarah lisan dapat digunakan sebagai alat untuk mengumpulkan
informasi.
f. Dapat membawa dimensi lokal baru dan sejarah keluarga.
g. Sangat penting sebagai sumber untuk program-program di radio dan televisi.
h. Dapat memperoleh tambahan informasi bagi penelitian dan dapat berperan
sebagai mata rantai masa yang lalu dan masa kini
(bagawanabiyasa.wordpress.com).

Wawancara sejarah lisan agak berbeda dengan wawancara jurnalistik, sebab ada
persiapan metodologis yang secara kritis dilakukan, pemilihan topik-topik tertentu, kajian
pustaka dan dokumen-dokumen yang terkait serta pedoman wawancara. Termasuk juga
seleksi yang ketat terhadap orang yang akan diwawancarai (pengkisah) dan terhadap apa-
apa yang diceritakannya. Karena itu ruang lingkup mereka harus lebih luas dari pada yang
dibutuhkan untuk pemakaian langsung atau khusus. Sejarah lisan merupakan salah satu
dari sumber-sumber sejarah, karena ada sumber tertulis dan ada sumber lisan
(bagawanabiyasa.wordpress.com).

Wawancara sejarah lisan juga memiliki hubungan yang terikat dengan Verifikasi
Data. Karena dari pengertiannya menurut Noeng Muhadjir (1998: 104) mengemukakan
pengertian analisis data sebagai “upaya mencari dan menata secara sistematis catatan
hasil observasi, wawancara, dan lainnya untuk meningkatkan pemahaman peneliti tentang
kasus yang diteliti dan menyajikannya sebagai temuan bagi orang lain. Sedangkan untuk
meningkatkan pemahaman tersebut analisis perlu dilanjutkan dengan berupaya mencari
makna.”

Dari pengertian itu, tersirat beberapa hal yang perlu digaris bawahi, yaitu (a)
upaya mencari data adalah proses lapangan dengan berbagai persiapan pralapangan
tentunya, (b) menata secara sistematis hasil temuan di lapangan, (c) menyajikan temuan
lapangan, (d) mencari makna, pencarian makna secara terus menerus sampai tidak ada
lagi makna lain yang memalingkannya, di sini perlunya peningkatan pemahaman bagi
peneliti terhadap kejadian atau kasus yang terjadi. Pengertian seperti itu, tampaknya
searah dengan pendapat Bogdan, yaitu: “Data analysis is the process of systematically
searching and arranging the interview transcripts, fieldnotes, and other materials that you
accumulate to increase your own understanding of them and to enable you to present what
you have discovered to others” (Sugiono, 2007:427). Yang perlu digarisbawahi dari
analisis data menurut Bogdan, selain yang dikemukakan Noeng Muhadjir ialah field notes
atau catatan lapangan, masalah ini akan diuraikan dalam penjelsan khusus.

 Rumusan Masalah
A. Jelaskan Tehnik membuat transkip?
B. Bagaimana cara menganalisis data hasil wawancara?
 Tujuan Penulisan
A. Menjelaskan secara detail tentang tehnik membuat transkip
wawancara.
B. Untuk bisa mengetahui cara menganalisis data hasil wawancara.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Tehnik Membuat Transkip

Penggalian data pada sebuah penelitian, terkadang menemui kendala saat peneliti
memerlukan data dengan karakteristik khusus, misalnya tentang persepsi, opini,
kepercayaan dan sikap terhadap suatu produk, pelayanan, konsep atau ide. Begitu pula
untuk penelitian dengan tujuan tertentu, misalnya kajian kebutuhan atau evaluasi suatu
program. Untuk itu diperlukan suatu teknik pengumpulan data di mana partisipan
dibebaskan untuk saling berdiskusi tanpa ada rasa takut atau kuatir terhadap pendapat
yang akan dikeluarkannya. Salah satu teknik pengumpulan data yang cocok dalam hal ini
adalah teknik Focus Group Discussion (FGD) atau Diskusi Kelompok Terarah (Kristiana,
2013: 117).

FGD adalah salah satu teknik pengumpulan data kualitatif yang banyak
digunakan, khususnya oleh pembuat keputusan atau peneliti, karena relatif cepat selesai
dan lebih murah. Teknik FGD mempermudah pengambil keputusan atau peneliti dalam
memahami sikap, keyakinan, ekspresi dan istilah yang biasa digunakan oleh peserta
mengenai topik yang dibicarakan, sehingga sangat berguna untuk mengerti alasan-alasan
yang tidak terungkap dibalik respons peserta (Kristiana, 2013: 118).

Dengan FGD akan cepat diperoleh temuan-temuan baru dan sekaligus


penjelasannya, yang mungkin tidak terdeteksi jika menggunakan teknik lain. Namun
demikian, karena jumlah peserta FGD tidak banyak maka hasil FGD tidak dapat
digeneralisasikan atau digunakan sebagai kesimpulan umum untuk populasi atau
kelompok yang lebih luas dari peserta FGD, walaupun mempunyai ciri-ciri atau
karakteristik peserta FGD (Kristiana, 2013: 118).

Teknik pengumpulan data kualitatif FGD relatif lebih mudah diselenggarakan


daripada teknik pengumpulan data kualitatif yang lain. Namun dalam pelaksanaannya,
banyak kegiatan FGD yang belum dilaksanakan sesuai dengan kaidah sehingga hasilnya
tidak dapat maksimal. Tulisan ini dimaksudkan dapat menyegarkan kembali ingatan
peneliti mengenai beberapa kaidah dalam FGD yang perlu diperhatikan agar hasil FGD
dapat maksimal, berdasarkan studi penelusuran pustaka (Kristiana, 2013: 118).

Focus Group Discussion (FGD) adalah bentuk diskusi yang didesain untuk
memunculkan informasi mengenai keinginan, kebutuhan, sudut pandang, kepercayaan
dan pengalaman yang dikehendaki peserta. Definisi lain, FGD adalah salah satu teknik
dalam mengumpulkan data kualitatif; di mana sekelompok orang berdiskusi dengan
pengarahan dari seorang fasilitator atau moderator mengenai suatu topik. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa FGD adalah salah satu teknik pengumpulan data
kualitatif yang didesain untuk memperoleh informasi keinginan, kebutuhan, sudut
pandang, kepercayaan dan pengalaman peserta tentang suatu topik, dengan pengarahan
dari seorang fasilitator atau moderator mengenai suatu topik (Kristiana, 2013: 118).

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa FGD adalah salah satu teknik
pengumpulan data kualitatif yang didesain untuk memperoleh informasi keinginan,
kebutuhan, sudut pandang, kepercayaan dan pengalaman peserta tentang suatu topik,
dengan pengarahan dari seorang fasilitator atau moderator. Berikut beberapa hal yang
berkaitan dengan teknik pengumpulan data kualitatif melalui FGD (Kristiana, 2013: 118).

Tujuan FGD adalah untuk mengeksplorasi masalah yang spesifik, yang berkaitan
dengan topik yang dibahas. Teknik ini digunakan dengan tujuan untuk menghindari
pemaknaan yang salah dari peneliti terhadap masalah yang diteliti. FGD digunakan untuk
menarik kesimpulan terhadap makna-makna intersubjektif yang sulit diberi makna sendiri
oleh peneliti karena dihalangi oleh dorongan subjektivitas peneliti (Kresno dalam
Kristiana, 2013: 118).

B. Menganalisis Data Hasil Wawancara.

Dalam menganalisis data hasil wawancara diambil dari tehnik data yang disebut
Koding. Sebelumnya perlu dipahami bahwa teknik koding adalah langkah yang dilakukan
seorang peneliti untuk mendapatkan gambaran fakta sebagai satu kesatuan analisis data
kualitatif dan teknik mengumpulkan serta menarik kesimpulan analisis psikologis
terhadap data yang diperoleh (Maphur, 2017: 2).

Koding sebagaimana diuraikan oleh Saldana (2009) dimaksudkan sebagai cara


mendapatkan kata atau frase yang menentukan adanya fakta psikologi yang menonjol,
menangkap esensi fakta, atau menandai atribute psikologi yang muncul kuat dari
sejumlah kumpulan bahasa atau data visual. Data tersebut dapat berupa transkrip
wawancara, catatan lapangan observasi partisipan, jurnal, dokumen, literatur, artefak,
fotografi, video, website, korespondensi email dan lain sebagainya. Kode dengan
demikian merupakan proses transisi antara koleksi data dan analisis data yang lebih luas
(Maphur, 2017: 2).

Menurut Maphur (2017: 2) beberapa tahapan yang perlu dilakukan seorang


peneliti agar bisa memulai koding dengan baik.

1. Menyiapkan Data Mentah Menjadi Verbatim


Apakah anda sudah siap dengan data secara keseluruhan ?

Data yang sudah terkumpul bukan data mentah, seperti rekaman, video,
gambar, coraat-coret observasi, atau jenis data mentah lainnya yang belum diubah
dalam sebuah bahasa atau kalimat. Data yang akan dikoding adalah data yang sudah
berbentuk kata-kata atau sekumpulan tanda yang sudah peneliti ubah dalam satuan
kalimat atau tanda lain yang bisa memberikan gambara bahasa dan visual. Jika data
wawancara, maka peneliti perlu menyiapkan transkrip wawancara secara utuh dari
hasil rekaman suara menjadi sekumpulan kalimat sebagaimana audio asli dari hasil
wawancara. Biasanya dikenal istilah “verbatim.” Jika data observasi terstruktur atau
partisipan, maka siapkan juga hasil check list, sejenisnya sesuai dengan teknik
observasi peneliti atau narasi catatan lapangan yang sudah berbentuk lembaran.
Jikalau berbentuk foto, anda sudah siapkan narasi dari sebuah foto atau menandai
dengan kata-kata, hal yang penting menunjukkan adanya fakta psikologis. Begitu juga
data dokumen lain, peneliti membuat terpisah dari data aslinya, yakni dengan meng-
copy agar data asli tidak rusak karena boleh jadi data asli adalah data penting. Jika
data yang anda temukan atau anda bangun dalam bentuk video, dibutuhkan transkrip
audio agar peneliti mendapat secara langsung paparan percakapan selain melihat
secara bersamaan fakta gerak visual video. Dalam konteks video, koding akan
diproses lebih kompleks, tidak hanya mencatat hasil pengamatan data visual, tetapi
juga isi percakapannya.

2. Pemadatan Fakta
Mengapa dibutuhkan pemadatan fakta dari setiap data yang sudah terkumpul ?
Setelah administrasi data terbangun, peneliti menuju langkah selanjutnya,
yakni melakukan pemadatan fakta. Pemadatan fakta bertujuan memperoleh fakta-
fakta psikologis dari data yang sudah terkumpul untuk dipilah “perfsakta secara
terpisah-pisah.” Pemadatan fakta dapat diambil dari seluruh data, baik dari transkrip
hasil wawancara, catatan lapangan, video, dokumentasi dan data lain yang ada.
Kesalahan yang sering terjadi pada pemula, pemadatan fakta dilakukan tidak “per-
fakta,” tetapi langsung diinterpretasikan dalam sebuah narasi pendek.

Pada data hasil transkripsi wawancara, pemadatan fakta tidak lain adalah
merekonstruksi kalimat subyek menjadi kalimat yang tertata dengan baik dan dapat
memudahkan peneliti untuk memahami makna penuturan subyek. Mengapa ini
dibutuhkan ? Karena transkrip hasil wawancara, ucapan verbal subyek informan yang
diubah dalam bentuk ketikan kalimat, biasanya struktur kalimatnya tidak baku dan
sulit dipahami. Hal ini dimaklumi bahwa bahasa verbal akan berbeda dengan bahasa
tulis. Berdasar alasan ini maka traskrip verbatime dibutuhkan untuk melihat struktur
kalimat subyek dalam sebuah bangunan kalimat tertulis. Oleh karena itu pemadatan
fakta digunakan untuk memudahkan peneliti menangkap makna sebuah kalimat yang
dituturkan subyek dan diubah menjadi kata, frase, atau kalimat baku. .

3. Menyiapkan Probing untuk Pendalaman Data


Ketika ada pemadatan fakta dan interpretasi, kadang data masih menimbulkan
sebuah tanda tanya baru, bagaimana menyikapi data yang seperti itu ?

Jika data dianggap belum lengkap dan menimbulkan pertanyaan bagi peneliti,
hal ini memberikan kesempatan bagi peneliti membuat catatan kecil untuk didalami.
Catatan ini dapat berupa investasi pertanyaan wawancara lanjutan sehingga peneliti
akan mendapatkan data yang lebih mendalam. Data yang mendalam sangat
dibutuhkan bagi peneliti kualitatif karena akan menambah kredibilitas analisis dan
semakin menunjukkan keunikan hasil penelitian. Teknik ini disebut sebagai
“probing.” Hasil probing akan diperlakukan sebagaimana wawancara yakni dibuat
transkrip verbatim. Probing dilakukan untuk mendapatkan cross-check data ke subyek
dengan tujuan agar fakta-fakta psikologis lebih akurat dan mendalam. Probing
menjadi siklus pendalaman data sehingga data sudah dianggap jenuh (exhausted)
sehingga dengan demikian peneliti mencukupkan penggalian data.

4. Pengumpulan Fakta Sejenis


Jika semua data sudah dilakukan pemadatan fakta dan diinterpretasikan, lalu
mau diapakan fakta-fakta dan interpretasi yang sudah dilakukan.

Setelah pemadatan fakta dilakukan tuntas atas semua data yang dimiliki
peneliti, langkah berikut adalah pengumpulan fakta sejenis. Tujuan pengumpulan
fakta sejenis untuk mengetahui kualitas fakta psikologis yang sudah diperoleh dari
data verbatim wawancara atau lainnya. Pengumpulan fakta sejenis membantu peneliti
melakukan sistematisasi kategorisasi dan pada akhirnya menemukan tema-tema kunci
sebagai bahan menarasikan data.

Pengumpulan fakta sejenis juga membantu peneliti untuk mengetahui apakah


data yang diperoleh sudah mendalam, mencerminkan data triangulasi, data dianggap
mencukupi atau belum sehingga dibutuhkan pendalaman data. Selain itu,
pengumpulan fakta sejenis dapat membantu peneliti untuk mengukur kredibilitas dan
keandalan data kualitatif. Peneliti dalam pengumpulan fakta sejenis akan mengetahui
bahwa data dengan kategori tertentu dianggap sudah cukup mewakili kesimpulan
analisis atau masih terasa kering sehingga perlu didalami lagi. Pengumpulan fakta
sejenis dapat membantu peneliti melakukan investasi pertanyaan pendalaman
(probing). Dalam pengumpulan fakta sejenis kita dapat mengetahui susunan fakta dan
temuan analisis sehingga kualitas tumpukan fakta sejenis apakah akan dipertahankan
sebagai data yang dapat dianalisisatau fakta yang ada akan diabaikan karena bukan
merupakan fakta yang dibutuhkan peneliti untuk menjawab pertanyaan penelitian.
Melalui pengumpulan fakta sejenis, peneliti akan mempertahankan fakta sejenis dan
boleh jadi akan menggali lagi fakta itu karena dianggap masih menyisakan pertanyaan
pendalaman yang mendukung pembuktian menjawab masalah penelitian.

Pengumpulan fakta sejenis bersifat “natural dan deliberatif.” Natural untuk


mendapatkan “pola tindakan repetitif subyek” dan konsistensi makna subyek,
sementara untuk deliberatif karena salah satu tujuan utama peneliti melakukan
pengkodean yaitu menemukan pola tindakan repetitif dan konsistensi makna subyek
yang ditemukan di sejumlah data yang sudah didokumentasikan (Saldana, 2009).

Pengumpulan fakta sejenis dapat dilakukan mengacu pada analisis individual


atau analisis kelompok. Jika analisis individual, maka pengumpulan fakta sejenis
mengikuti data individual, namun jika analisis data dilakukan menggunakan analisis
kelompok atau kolektif, maka pengumpulan fakta sejenis diisi dari seluruh data.
Adapun contoh yang diuraikan di sini menggunakan pengumpulan fakta sejenis
berdasarkan analisis kelompok, yakni semua data tidak dibedakan oleh karena alasan
individual tetapi dikumpulkan menjadi satu dalam keranjang fakta sejenis.

5. Menentukan Kategorisasi
Setelah pengumpulan fakta sejenis dilakukan oleh peneliti, lantas diapakan
kumpulan fakta sejenis tersebut ?

Jika pengumpulan fakta sejenis dilakukan dan peneliti sudah mendapatkan


fakta yang mendalam dan meluas, peneliti akan memperoleh gambaran data berbasis
fakta secara visual. Pekerjaan ini akan menyenangkan karena peneliti sudah mulai
dapat melihat dan memahami dinamika psikologis dari data yang sudah digali.
Peneliti dapat memulai untuk menyusun narasi hasil penelitian. Oleh karena itu dari
kumpulan pemadatan fakta sejenis dan kesimpulan interpretasi, peneliti akan dapat
membuat kategorisai. Kategorisasi dapat diartikan sebagai kesimpulan analisis setelah
peneliti melihat kumpulan fakta dan kesalinghubungan diantara fakta.
Kesalinghubungan fakta ini juga akan dibantu kode interpretasi sehingga pembuatan
kata, frase atau kalimat kategorisasi akan betul-betul mencerminkan varian fakta
sejenis. Dalam psikologi, kategorisasi dapat diibaratkan merupakan kesimpulan
diagnosis dari gejala awal fakta yang didapat.

Pada fakta yang luas dan mendalam, kategorisasi dapat memunculkan varians
sub-sub kategorisasi. Jika dibandingkan dengan cara sebelumnya, peneliti tidak akan
mendapat detil-detil interpretasi pada proses pengodean karena langsung melompat
memberikan kategorisasi “need for achievement.” Penarikan kategorisasi ini
dilakukan sebagaimana alur sistematis yang ditunjukk pada arah anak panah yang
menunjukkan jalur cara interpretasi sehingga peneliti memperoleh sub-kategorisasi
dan kategorisasi (Tabel 2). Selain itu, kode interpretasi rajin…rajin….rajin….lebih
eksplisit dan menunjukkan repetisi begitu menonjol pada data. Hal ini tidak akan
terlihat manakala peneliti hanya melihat padakesimpulan akhir kategorisasi “need for
achievement.” Padahal, jika melihat repetisi rajin yang tersaji pada data, penamaan
kategorisasi tidak hanya “need for achievement,” dengan melihat fakta yang seperti
itu, muatan need for achievement-nya jauh lebih kuat. Muatan yang menguat
menunjukkan kategorisasi tidak semata need for achievement tetapi lebih menjiwai
data itu berdaasrkan bobot psikologisya sehingga lebih tepa diubah menjadi
“dorongan motivasi berprestasi yang kuat.”

6. Membangun Konsep dan Menarasikan

Bagaimana pada saat kita sudah menemukan kategorisasi dari data yang kita
peroleh dan mendapatkan banyak kategorisasi.

Ketika peneliti sudah mendapatkan banyak kategorisasi, maka tugas


selanjutnya memilih kebutuhan yang utama yaitu kategorisasi apa saja yang paling
penting menjawab masalah penelitian. Jika temuan kategorisasi kemudian tidak
sejalan dengan masalah awal penelitian berarti seorang peneliti harus memihak
temuan fakta di lapangan. Peneliti boleh jadi akan mengubah desain penelitiannya
termasuk rumusan masalah penelitian atau menurut Creswell (2013) mengenai
kebutuhan akan studi yang perlu dijawab karena peneliti telah menemukan fakta yang
benar-benar berpijak di lapangan (emik), termasuk masalah atau fokus penelitian yang
dipilih. Melalui cara ini ajuan proposal penelitian menjadi lebih match dengan realitas
di lapangan. Pada penelitian kualitatif, konfirmasi ide penelitian dengan fakta
dilapangan dibutuhkan agar penelitian kita tidak hanya menarik di ide peneliti dengan
sejumlah pijakan literatur tetapi tidak berkesinambungan dengan realitas di lapangan
karena diksi, bahasa, budaya, dan seting penelitian boleh jadi tidak ditemukan di
referensi atau sebagaimana yang dibayangkan oleh peneliti sebelumnya.

Hal ini seringkali terjadi pada mahasiswa penyusun skripsi, setelah mereka
saya minta mengoding data pendahuluan, pikiran yang sebelumnya dijadikan pijakan,
masalah atau ketertarikan studinya, ternyata terbantahkan setelah mereka
mengumpulkan data, mengkoding dan memetakan data untuk dipilih fokus studinya.
Apa yang dipikirkan tidak sejalan dengan fakta yang di lapangan. Hal ini
sebagaimana seringkali ditemui pada mahasiswa yang sedang menyusun proposal
penelitian skripsi dengan pendekatan kualitatif. Mereka sering kehilangan fokus
penelitian karena data rujukan kajian semata-mata ditumpukan pada rujukan hasil
penelitian dan teori tanpa mengintegrasikan hasil koding data. Ada juga yang
mempunyai data lapangan, tetapi data itu hanya di permukaan, hasil pembicaraan
dengan subyek penelitian, dan mereka tidak mentranskrip dalam bentuk verbatim.
Data mereka disimpan pada memori. Cara kerja ini mengakibatkan konten fakta
psikologinya tidak dikenali.
Pada latihan awal ini, jika sudah menemukan banyak kategorisasi, maka
peneliti bisa mengumpulkan kategorisasi secara sistematis dan menggabungkan
diantara kategorisas-kategorisasi yang berhubungan menjadi satu kesatuan tema atau
konsep. Tema atau konsep ini, jika peneliti ingin membuat sebuah proposal penelitian
maka peneliti dapat menjadikannya sebagai fokus penelitian. Tetapi jika kategorisasi
yang sudah terbangun itu adalah bagian dari proses penelitian, maka bangunan konsep
atau tema yang terbangun dari sekumpulan kategorisasi akan dinarasikan sebagai
temuan penelitian atau analisis hasil penelitian yang disajikan secara tematik.

Untuk itu narasi yang dibangun oleh peneliti didasari oleh pemetaan secara
sistematis makna-makna yang saling berhubungan yang dibangun peneliti sehingga
narasi utuhnya akan menjadi gagasan tematik dan pada akhirnya membentuk
rangkaian teori-teori psikologi. Penting dipahami sekali lagi, penataan atau pemetaan
kategorisasi yang diperoleh dari serangkaian proses koding perlu disusun secara
sistematis sedemikian rupa sehingga membentuk konstruksi teori psikologi yang
holistik, mendalam dan unik. Peneliti ada baiknya juga dianjurkan membangun
visualisasi bangunan konsep atau tema yang ditemukan dalam bentuk bagan-bagan
sehingga pembaca akan lebih mudah memahami dinamika perjumpaan diantara
kategorisasi yang membentuk sebuah konsep dan gambaran teori temuan penelitian.
Kemampuan ini membutuhkan pengalaman dan kepekaan bagi seorang peneliti
sehingga mereka mampu menyuguhkan sebuah narasi deskriptif yang menarik dan
memukau pembaca karena suguhan temuan penelitian benar-benar memberikan
informasi teori psikologi yang orisinil.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
 Tehnik Membuat Transkip

Penggalian data pada sebuah diperlukan suatu teknik pengumpulan data di


mana partisipan dibebaskan untuk saling berdiskusi tanpa ada rasa takut atau
kuatir terhadap pendapat yang akan dikeluarkannya. Salah satu teknik
pengumpulan data yang cocok dalam hal ini adalah teknik Focus Group
Discussion (FGD) atau Diskusi Kelompok Terarah.

 Menganalisis Data Hasil Wawancara.

Dalam menganalisis data hasil wawancara diambil dari tehnik data yang
disebut Koding. Sebelumnya perlu dipahami bahwa teknik koding adalah langkah
yang dilakukan seorang peneliti untuk mendapatkan gambaran fakta sebagai satu
kesatuan analisis data kualitatif dan teknik mengumpulkan serta menarik
kesimpulan analisis psikologis terhadap data yang diperoleh

B. Saran dan Kritik

Penulis tentunya masih menyadari jika makalah diatas masih terdapat banyak
kesalahan dan jauh dari kesempurnaan. Penulis akan memperbaiki makalah tersebut
dengan berpedoman pada banyak sumber serta kritik yang membangun dari para
pembaca.
DAFTAR PUSTAKA

Padiatra, Muara, Aditia. 2021. “Sejarah Lisan: Sebuah Pengantar Ringkas”.Yogyakarta:


Buku Belaka.
https://bagawanabiyasa.wordpress.com/2018/09/30/sejarah-lisan/

Mahpur, Mohammad. 2017. Memantapkan Analisis Data Kualitatif Melalui Tahapan Koding
dalam http://repository.uin-malang.ac.id/800/2/koding.pdf diakses pada 18
Mei 2018.
Alwi Asegaf. 2017. Teori Komunikasi Dasar: Definisi, Fungsi, Ciri-Ciri, dan Manfaat. Jurnal
Ilmu Komunikasi. 9(2): 13-17.

Paramita, Astridya& Kristiana, Lusi. 2013. “Teknik Focus Group Discussion Dalam
Penelitian Kualitatif”. Jurnal Penelitian Sistem Kesehatan. Vol. 16 No. 2:
117–127
Muhadjir, Noeng. 1998. Metodologi Penelitian Kualitatif Pendekatan Positivistik,
Rasionalistik, Phenomenologik, dan Realisme Metaphisik Telaah Studi
Teks dan Penelitian Agama
Sugiono. 2007. Metode Penelitian Bisnis. Bandung: Alfabeta

Anda mungkin juga menyukai