Anda di halaman 1dari 19

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN

(RPP)

Satuan Pendidikan : SMA Negeri 9 Malang


Kelas/ Semester : X/ Genap
Mata pelajaran : Sejarah Indonesia
Materi Pokok : Islamisasi dan Silang Budaya Indonesia
Sub Materi Pokok : Jaringan Keilmuan di Nusantara
Alokasi Waktu: 2 x 45 menit

A. Kompetensi Inti
1. Menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang dianutnya.
2. Menghayati dan mengamalkan perilaku jujur, disiplin, tanggungjawab, peduli
(gotong-royong, kerjasama, toleran, damai), santun, responsif dan pro-aktif dan
menunjukkan sikap sebagai bagian dari solusi atas berbagai permasalahan dalam
berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam serta dalam
menempatkan diri sebagai cerminan bangsa dalam pergaulan dunia.
3. Memahami, menerapkan, menganalisis pengetahuan faktual, konseptual, prosedural
berdasarkan rasa ingintahunya tentang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya, dan
humaniora dengan wawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban
terkait penyebab fenomena dan kejadian, serta menerapkan pengetahuan prosedural
pada bidang kajian yang spesifik sesuai dengan bakat dan minatnya untuk
memecahkan masalah.
4. Mengolah, menalar, dan menyaji dalam ranah konkret dan ranah abstrak terkait
dengan pengembangan dari yang dipelajarinya di sekolah secara mandiri, dan mampu
menggunakan metoda sesuai kaidah keilmuan.

B. Kompetensi Dasar

1.2 Menghayati keteladanan para pemimpin dalam toleransi antar umat beragama dan
mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.
2.1 Menunjukkan sikap tanggungjawab, peduli terhadap berbagai hasil budaya pada
zaman praaksara, Hindu-Budha dan Islam.
3.8 Menganalisis karakteristik kehidupan masyarakat, pemerintahan dan kebudayaan
pada masa kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia dan menunjukkan contoh bukti-
bukti yang masih berlaku pada kehidupan masyarakat Indonesia pada masa kini
4.8 Menyajikan hasil penalaran dalam bentuk tulisan tentang nilai-nilai dan unsur
budaya
yang berkembang pada masa kerajaan Islam dan masih berkelanjutan dalam
kehidupan bangsa Indonesia pada masa kini

C. Indikator
3.8.1 Menganalisis peran istana dalam pengembangan tradisi keilmuan Islam di
Nusantara
3.8.2 Menganalisis perkembangan tradisi keilmuan Islam di berbagai kerajaan di
Nusantara
4.8.1 Menunjukkan model pelaksanaan pendidikan Islam pada masa perkembangan
kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara

D. Tujuan pembelajaran
1. Dengan mengamati media gambar tentang model pendidikan masa kerajaan Islam
(pesantren) peserta didik dapat menganalisis hasil-hasil budaya Islam pada masa
sekarang
2. Dengan berdiskusi kelompok peserta didik dapat menganalisis peran Istana dalam
pengembangan tradisi keilmuan Islam di Nusantara
3. Dengan berdiskusi kelompok peserta didik dapat menganalisis perkembangan tradisi
keilmuan Islam di berbagai kerajaan di Nusantara
4. Dengan berdiskusi kelompok peserta didik dapat menganalisis model pelaksanaan
pendidikan Islam pada masa perkembangan kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara

E. Materi Ajar
1. Peran Istana dalam pengembangan tradisi keilmuan Islam di Nusantara
2. Perkembangan tradisi keilmuan Islam di berbagai kerajaan di Nusantara
3. Model pelaksanaan pendidikan Islam pada masa perkembanagn kerajaan-kerajaan
Islam di Nusantara

F. Metode Pembelajaran
1. Metode Pembelajaran : Diskusi, Ceramah, Tanya Jawab
2. Pendekatan Pembelajaran : Scientific Learning

G. Kegiatan Pembelajaran

Alokasi
Kegiatan Diskripsi
Waktu
Pendahulua 1. Mengucapkan salam dengan ramah 10 menit
n 2. Berdoa sebelum membuka pelajaran
3. Memeriksa kehadiran peserta didik, (kerapian dan
kebersihan ruang kelas, presensi, menyiapkan media dan
alat serta buku yang diperlukan)
4. Apersepsi: materi pembelajaran pertemuan yang lalu dan
kaitkan dengan perkembangan zaman kekinian
5. Guru menyampaikan topik tentang Perkembangan Jaringan
Keilmuan Islam di Nusantara.
6. Menjelaskan tujuan pembelajaran atau kompetensi dasar
yang akan dicapai.
7. Penyampaian lingkup dan teknik penilaian yang meliputi
a Penilaian Sikap
b Penilaian Pengetahuan
c Penilaian Ketrampilan

Inti MENGAMATI 60 menit


1. Peserta didik mengamati foto masjid besar Aceh, gambar
ulama di kerajaan Pasai (Hamzah Fansuri), walisongo dan
beberapa Pesantren
2. Peserta didik di bagi menjadi 5 kelompok beranggotakan 5
anak
3. Guru menjelaskan materi tentang perkembangan teknologi
zaman Logam di Indonesia
4. Untuk makin memperkaya pemahaman materi, peserta didik
diminta untuk membaca buku pegangan siswa kurikulum
2013 tentang Perkembangan Jaringan Keilmuan Islam di
Nusantara

MENANYA
1. Melalui pengamatan dan membaca buku teks (halaman 87-
90), Guru memberi kesempatan /memotivasi untuk bertanya
hal yang belum diketahui tentang obyek pengamatan,
misalnya:
a. Bagaimana peran Istana dalam pengembangan tradisi
keilmuan Islam di Nusantara?
b. Bagaimana perkembangan tradisi keilmuan islam
diberbagai kerajaan di Nusantara?
c. Bagaimana model pelaksanaan pendidikan Islam pada
masa perkembangan kerajaan-kerajaan Islam di
Nusantara?

MENALAR

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, peserta didik


diminta :
a. Siswa mencatat segala sesuatu yang ada pada beberapa
gambar tersebut dan buku yang telah dibaca
b. Siswa diberi arahan untuk menyusun catatannya menjadi
pendapatnya.

MENCOBA
1. Peserta didik melakukan diskusi kelompok :
a. Kelompok I dan II mendiskusikan dan merumuskan
tentang peran Istana dalam pengembangan keilmuan
Islam di Nusantara
b. Kelompok III dan IV mendiskusikan dan merumuskan
tentang perkembangan tradisi keilmuan Islam di
berbagai kerajaan di Nusantara
c. Kelompok V dan VI mendiskusikan dan merumuskan
tentang model pelaksanaan pendidikan Islam pada
masa perkembangan Kerajaan-kerajaan Islam di
Nusantara
2. Peserta didik membuat laporan hasil diskusi

MEMBUAT JEJARING
1. Guru meminta perwakilan masing-masing kelompok
mempresentasikan hasil diskusinya di depan kelas dan
kelompok lain menanggapi, tekniknya :
a. Kelompok I dan II panel, kelompok lain bertanya dan
memberikan masukan
b. Kelompok III dan IV panel, kelompok lain bertanya dan
memberikan masukan,dan seterusnya
2. Peserta didik mencatat/ menyempurnakan hasil diskusinya
3. Peserta didik membuat laporan hasil dikusi untuk
dikumpulkan
Penutup 1. Peserta didik diberikan ulasan singkat tentang kegiatan 20 menit
pembelajaran dan hasil belanjarnya mana yang sudah baik
dan mana yang masih harus ditingkatkan.
2. Peserta didik dapat ditanyakan apakah sudah memahami
materi tersebut
3. Sebagai refleksi, guru membimbing peserta didik untuk
membuat kesimpulan tentang pelajaran yang baru saja
berlangsung serta menanyakan kepada peserta didik apa
manfaat yang diperoleh setelah mempelajari topik
Terbentuknya Jaringan Keilmuan (Islam) di Nusantara.
4. Peserta didik menjawab pertanyaan (acak) secara lisan untuk
mendapatkan umpan balik atas pembelajaran yang baru saja
dilakukan
5. Peserta didik mengerjakan tes tertulis
6. Peserta didik mengumpulkan hasil diskusi kelompok
7. Menginformasikan rencana kegiatan pembelajaran untuk
pertemuan yang akan datang
8. Menutup dengan salam

H. Alat /Bahan/ Sumber Bahan :


1. Alat : White Board, spidol, LCD, Laptop, Lembar Observasi,
Lembar Tugas
2. Sumber Belajar :
2.1 ---------. 2013. Sejarah Indonesia. Jakarta. Kemendikbud.
2.2 Nugroho Notosusanto. 2010. Sejarah nasional Indonesia, Jilid II. Jakarta :
Balai Pustaka.
2.3 Sunanto, Musrifah. 2005. Sejarah Peradaban Islam di Indonesia. Jakarta : PT.
Rajagrafindo Persada
2.4 Burhanudin, Jajat. 2012. Ulama Kekuasaan : Pergumulan Elite Muslim dalam
Sejarah Indonesia. Jakarta : Mizan

I. Penilaian Proses dan Hasil Belajar


1. Teknik : Tes dan Non-Tes
2. Bentuk :
Tes : Tertulis
Non tes : Penilaian Proyek
3. Instrumen Tes :
Soal
1 Mengapa Islam bisa cepat diterima oleh masyrakat di Indonesia?
Islam bersifat universal dan dalam penyebaran agamanya cenderug menyatu pada
kebudayaan atau kebiasaan masyarakat Indonesia. Oleh karena itu agama ISlam dapat
dengan mudah diterima oleh msyarakat Indonesia. Pengajaran Islam pun tidak
berhentu disatu tempat saja, melainkan meluas.
2 Bagaiamana peran Istana dalam pengembangan tradisi keilmuan Islam? Berikan
contoh!
Istana dapat sebagai bangunan sarana pembelajaran atau pengajian. Para wali dapat
mengajarkan agama islam dalam istana tersebut dimulai dari sang pangeran lanjut ke
teman temannya,dll. Kerajaan dapat menjadi inspirasi bagi masyarakatnya. Sebagai
contoh, di kerajaan Pasai, saat rajanya masuk islam, masyarakatnya menjadi umat
islam juga mengikuti sang raja.
3 Siapa itu Hamzah Fansuri? Berikan penjelasan!
Hamzah Fansuri merupakan salah seorang ulama yang mengajarkan faham tasawuf
yang banyak dipengaruhi oleh ajaran Ibnu Arabi, al-Hallaj, al-Busthami dan lainnya.
Ia merupakan pelopor penulisan risalah tasawuf dan keagamaan lain dengan
menggunakan kaidah ilmiah yang disusun secara sistematis. Beliau juga
mengembangkan pengetahuan filsafat dan mistik dengan pendekatan Islam.
4 Apa fungsi perpustakaan yang ada di kerajaan Malaka?
Perpustakaan berfungsi sebagai pusat penyalinan kitab-kitab dan penerjemahannya
dari bahasa Arab ke bahasa Melayu.
5 Di kerajaan Aceh, Sultan dan juga para ulama besar membangun pusat-pusat
pendidikan yang disebut dayah. Jelaskan apa yang dimaksud dengan Dayah!
Dayah adalah pusat pendidikan yang berfungsi semacam pendidikan tinggi Islam.
Karena di lembaga inilah ilmu-ilmu keislaman yang paling tinggi dipelajari oleh para
penuntut ilmu.

Pedoman Penskoran:
Penskoran
No Skor
.
1 Jawaban benar 5
2 Jawaban benar kurang lengkap 3
3. Jawaban singkat 2
4. Jawaban salah 1

Konversi ke nilai= jml skor x 5, misal jml skor 20 maka nilainya adalah 100

4. Instrumen Non- Tes


1) Lembar pengamatan diskusi (terlampir)
2) Lembar Tugas Membuat Makalah dengan tema Terbentuknya jaringan
keilmuan di Nusantara. Dalam makalah disampaikan juga bagaimana model
pendidikan Islam pada masa perkembangan kerajaan-kerajaan Islam di
Nusantara, masihkan keberlanjutannya sampai sekarang? Upaya kamu untuk
menerapkan nilai-nilai keteladanan dari para tokoh, pemimpin dan ulama
zaman kerajaan, jelaskan dan tunjukkan buktinya melalui gambar-gambar atau
foto yang sesuai.

Mengetahui: Malang, 29 Februari 2016


Guru Pamong Guru Praktikan

Cipto Hadisiswantoro,S.Pd Siti Balqis Nur Saadah


NIP. NIM. 120731435897

Lampiran 1
Penilaian Diskusi

Satuan Pendidikan : SMA Negeri 9 Malang


Kelas/ Semester : X/ Genap
Mata pelajaran : Sejarah Indonesia
Materi Pokok : Islamisasi dan Silang Budaya Indonesia
Sub Materi Pokok : Terbentuknya Jaringan Keilmuan di Nusantara
Pertemuan ke- :
Alokasi Waktu: 2 x 45 menit

Komponen Yang Dinilai


Taggung Nilai
No Nama Siswa Peduli Rasa Ingin Tau Kerjasama
jawab KD

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

Skor maksimum untuk setiap keterampilan yang dinilai adalah 5, sehingga skor total adalah
25 (5x5). Diubah menjadi nilai dengan dikalikan 4 untuk mendapat nilai bulat (100).

Contoh skor: 18---------nilai= 72 (18x4).

Pembobotan penilaian
a Sikap : 20
b Hasil portopolio : 60
c Tes tertulis : 20
Total : 100

Lampiran 2 : Lembar Tugas

LEMBAR TUGAS

Nama Siswa :.
Nomor :.
Kelas/ Semester : X/ Genap
Mata pelajaran : Sejarah Indonesia
Materi Pokok : Terbentuknya jaringan keilmuan di Nusantara
Peretemuan ke- :
Alokasi Waktu: 2 x 45 menit (1 x pertemuan)

Membuat Makalah dengan tema Terbentuknya jaringan keilmuan di Nusantara


Dalam makalah disampaikan juga bagaimana model pendidikan Islam pada masa
perkembangan kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara, masihkan keberlanjutannya sampai
sekarang? Upaya kamu untuk menerapkan nilai-nilai keteladanan dari para tokoh, pemimpin
dan ulama zaman kerajaan, jelaskan dan tunjukkan buktinya melalui gambar-gambar atau
foto yang sesuai.

Format Penilaian Makalah

Struktur Makalah Indikator Nilai

Pendahuluan Menunjukkan dengan tepat isi :


Latar belakang
Rumusan masalah
Tujuan penulisan.
Struktur Makalah Indikator Nilai

Isi Ketepatan pemilihan materi


Orisinalitas makalah
Mendeskripsikan perkembangan jaringan keilmuan
Islam di Nusantara
Struktur/logika penulisan disusun dengan jelas
sesuai metode yang dipakai
Bahasa yang digunakan sesuai EYD dan
komunikatif
Daftar pustaka yang dapat dipertanggungjawabkan
(Ilmiah)
Menghindari sumber (akun) yang belum dikaji
secara ilmiah
Penutup Kesimpulan sesuai dengan rumusan masalah
Saran relevan dengan kajian, dan berisi pesan
untuk peningkatan kepedulian terhadap hasil-hasil
perkembangan Jaringan Keilmuan Islam di
Nusantara
Jumlah
Kriteria Penilaian untuk masing-masing indikator:

Sangat sesuai 4
Sesuai 3
Cukup 2
Kurang 1

Skor perolehan
Nilai = X 100
Skor Maksimal (48)
Lampiran 3

LEMBAR PENILAIAN

Nilai
Aspek Yang Dinilai
Akhir
Nama Sikap
No Tanggungjawab,
Siswa Tes
Makalah
peduli, rasa ingin Bekerjasama Tertulis
tau
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

Catatan :

1 Siswa dikatakan tuntas apabila telah memenuhi standar nilai KKM (KKM = 75)
2 Apabila siswa belum tuntas,maka harus mengulang dengan materi pada indikator
yang sama
3 Untuk memperkuat pemahaman setelah pembelajaran peserta didik diberi tugas
membuat kliping dan disusun menjadi portopolio

Lampiran 4 : MATERI

Terbentuknya Jaringan Keilmuan di Nusantara

Dalam tradisi intelektual klasik Islam, kegiatan keilmuan dekat dengan lingkungan istana.
Bahkan dalam banyak kasus, istana khalifah atau sultan bagian dari aktivitas ilmiah.
Fenomena seperti ini juga menjadi fenomena umum di kerajaan Islam Melayu-Nusantara.
Pada mulanya berlangsung di Sumatera Bagian Utara, yaitu di Kerajaan Samudra Pasai dan
Aceh Darussalam, kemudian hal yang sama juga berkembang di kerajaan Islam Melayu-
Nusantara lainnya, seperti di Palembang, Banjarmasin, Riau, Banten, Mataram, Malaysia,
dan Brunai Darussalam.

Di samping ada ilmuan yang dekat dengan lingkungan istana, terdapat juga ilmuan yang tidak
memiliki afiliasi dengan Istana. Ilmuan yang disebut terakhir ini tentu lebih independen
dalam kiprah keilmuan atau keulamaan.

Taufik Abdullah menjelaskan bahwa Ibnu Batutah dalam bukunya Rihlah Ibnu Bathutah
melaporkan bahwa ketika ia berkunjung ke Samudra Pasai pada tahun 1354 ia mengikuti
halaqah yang diadakan raja setelah salat Jumat hingga waktu Asar tiba. Pada masa itu, Ibnu
Batutah bertemu dengan dua orang pembesar Istana Samudra Pasai, dan juga bertemu dengan
ahli fiqh dari kelompok orang-orang Timur Tengah yaitu al-Qadhi al-Syarif Amir Sayyid al-
Sirazi dan Taj al-Din al-Isfahani (berasal daru Persia, Iran). Bahkan menurut keterangan
Yusuf ibn Ismail al-Nabbani dalam bukunya Jami Karamat al-Auliya`, bahwa al-Yafii,
seorang Syekh Tasauf terkenal di Mekkah, berguru pada seorang al-Jawi (Melayu), yaitu
Syeikh Abu Abdillah Masud ibn Abdillah al-Jawi pada abad VIII Hijriyah. Hal ini
menunjukkan bahwa pada abad tersebut telah ada ulama Nusantara yang ahli Tasawuf. Hal
ini menjadi bukti kuat bahwa Sultan juga terlibat dalam aktivitas keilmuan.

Hikayat-hikayat Melayu juga menceritakan adanya kegiatan intelektual di kalangan istana


dan rakyat kebanyakan. Sebagai contoh, Hikayat Raja-raja Pasai menyebutkan adanya
sejumlah pembesar dalam negeri pada masa pemerintahan Malik al-Saleh. Diantaranya,
Sayyid Ali Ghiatuddin (Tun Sri Kaya) dan Sayyid Asmayuddin (Tun Baba Kaya). Keduanya
menjadi guru kerajaan. Setelah Sultan Malik al-Zahir, putra Sultan Malik al-Saleh meninggal,
kedua anaknya yaitu Sultan Malik al-Mahmud dan Sultan Malik al-Mansur diasuh oleh kedua
pembesar tersebut. Sultan Malik al-Mahmud diasuh dan dididik oleh Sayyid Ali Ghiatuddin,
sedangkan Sultan Malik al-Mansur diasuh dan dididik Sayyid Asmayuddin. Ketika Sultan
Malik al-Mahmud menjadi sultan di Pasai, Sayyid Ghiatuddin diangkat menjadi perdana
menteri Pasai, dan Sayyid Asmayuddin menjadi perdana menteri di Samudra.

Penjelasan di atas menunjukkan bahwa Samudra Pasai adalah tempat studi Islam yang paling
tua dengan keterlibatan kerajaan. Sementara itu di luar kerajaan, halaqah ajaran Islam diduga
sudah dilakukan di koloni-koloni tempat pedagang Muslim yang singgah di berbagai
pelabuhan. Halaqah ajaran Islam yang dilakukan oleh kerajaan diduga dilakukan di Mesjid
Istana, khusus bagi anak-anak pembesar kerajaan. Sementara untuk masyarakat umum
dilaksanakan di mesjid lainnya, di rumah-rumah guru, dan surau-surau. Halaqah inilah yang
menjadi cikal bakal lembaga pendidikan Islam selanjutnya.

Istana juga berfungsi sebagai tempat mudzakarah masalah-masalah ilmu pengetahuan dan
juga berfungsi sebagai perpustakaan, di samping juga berfungsi sebagai pusat penterjemahan
dan penyalinan kitab-kitab, terutama kitab-kitab keislaman. Pelajaran yang diberikan di
berbagai halaqah dan institusi pendidikan Islam lainnya dibagi menjadi dua tingkatan:

Tingkat dasar terdiri atas pelajaran membaca, menulis, bahasa Arab, pengajian al-
Qur`an, dan ibadah praktis.
Tingkat yang lebih tinggi dengan materi ilmu fiqh, tasauf, ilmu kalam, dan
sebagainya.
Di kerajaan Aceh Darussalam, Sultan Iskandar Muda sangat memperhatikan pengembangan
pendidikan, di samping tentunya keagamaan. Ia sangat dekat dengan para ulama. Di
antaranya yang terkenal adalah Syams al-Addin al-Samatrani (w. 1630 M), seorang sufi
pengikut Hamzah Fansuri. Sultan dan juga para ulama besar membangun pusat-pusat
pendidikan yang disebut dayah. Nuruddin al-Raniri dan Abd al-Rauf Singkel adalah di antara
ulama terkenal yang mengajar di lembaga pendidikan ini. Ketika itu, Kerajaan Aceh
Darussalam menjadi pusat kajian Islam di wilayah Asia Tenggara. Banyak penuntut ilmu
yang datang dari luar untuk belajar di lembaga pendidikan Islam yang dikenal dengan dayah
itu. Di antaranya adalah Syaikh Burhanuddin yang berasal dari Ulakan, Pariaman, Sumatera
Barat. Dayah berfungsi semacam pendidikan tinggi Islam. Karena di lembaga inilah ilmu-
ilmu keislaman yang paling tinggi dipelajari oleh para penuntut ilmu. Kemajuan dalam
bidang pendidikan Islam di Aceh ini menyebabkan orang menjulukinya sebagai Serambi
Mekkah.

Kerajaan Banten juga menjadi pusat pendidikan Islam, terutama setelah kedatangan Syaikh
Yusuf al-Maqassari (1626-1699) dari Kerajaan Goa. Syekh Yusuf menjadi daya tarik bagi
para penunut ilmu dari seluruh penjuru Nusantara, terutama tentunya wilayah Indonesia
tengah untuk datang ke Banten memperdalam ilmu keislaman.

Di bawah Sultan Ageng Tirtayasa, Banten menjadi sangat kuat berorientasi ke Mekkah.
Sultan bahkan meminta pengakuan gelarnya dari Syarif Makkah, dan putra mahkota sendiri
pergi berhaji ke Makkah, serta Kota Banten didorong perkembangannya menjadi pusat
pendidikan Islam, tempat pemuda-pemuda Muslim Nusantara berdatangan untuk menimba
ilmu.

Kesultanan Banten (Bantam) merupakan salah satu kerajaan Muslim paling penting di Jawa.
Ketika Syekh Yusuf al-Maqassari tiba di Banten, yang sedang berkuasa adalah Abu al-
Mufakhir Abd al-Qadir (1037-63/1626-51), ayah dari Abd al-Fattah (populer disebut Sultan
Ageng Tirtayasa) yang juga berjasa besar membangun Banten menjadi pusat pendidikan
Islam, yang diberi gelar Sultan oleh Syarif Makkah pada 1048/1638. Ia mempunyai minat
khusus pada masalah-masalah keagamaan. Ia bahkan sering mengirimkan pertanyaan tentang
keagamaan bukan hanya kepada Nur al-Din al-Raniri, tetapi juga kepada para ulama di
Haramayn. Pertanyaan-pertanyaan ini kemudian mendorong ditulisnya karya-karya khusus
para ulama yang bertujuan menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Sejalan dengan hal di
atas, Van Bruinessen menjelaskan sebagai berikut:

Para pengusa Banten tampaknya juga menaruh minat yang sungguh-sungguh kepada
masalah-masalah akidah dan tasauf yang sangat dalam dan rumit. Sejarah Banten, sebuah
karya abad ke-17, yang menceritakan tentang utusan ke Makkah yang sudah disebutkan di
atas, mencatat bahwa utusan itu juga ditujukan untuk mencari pendapat atau penjelasan yang
berwibawa tentang tiga teks keagamaan yang rupanya mengandung doktrin-doktrin tasauf
seperti yang diuraikan oleh Hamzah Fansuri, di samping untuk meminta pengiriman seorang
ahli hukum Islam yang berpengetahuan luas untuk memberikan penerangan di Banten.
Utusan Banten tersebut bertemu dengan, antara lain, seorang ulama terkenal Muhammad Ali
ibn Alan, namun mereka tidak berhasil membujuknya untuk datang ke Banten bersama
mereka.

Abu al-Mufakhkhir Abd al-Qadir dan anaknya Sultan Ageng nampaknya tidak saja seorang
politisi yang mengendalikan kekuasaan, tetapi juga orang yang terpelajar. Dalam bidang
tasauf, bahkan ia sangat tertarik mengetahui lebih dalam kontroversi-kontroversi di seputar
doktrin-doktrin tasauf Hamzah Fanzuri. Buktinya dia juga berkonsultasi kepada Nur al-Din
ar-Raniri, yang pada waktu itu akan meninggalkan Aceh untuk kembali ke tanah
kelahirannya, Ranir di Gujarat, India. Minat yang sungguh-sungguh dari para penguasa
Banten juga tercermin dalam usaha mereka menjalin hubungan yang baik dengan para ulama,
baik ulama setempat, maupun asing, dan banyak di antara ulama yang mendapatkan
kedudukan yang sangat berpengaruh di Istana.

Sultan Ageng Tirtayasa (1053-96/1651-83) tak pelak adalah penguasa besar terakhir
Kesultanan Banten. Di bawah pemerintahannya, Kesultanan mencapai masa keemasan.
Pelabuhannya menjadi pusat perdagangan internasional yang penting di Nusantara. Orang-
orang Banten berniaga dengan mitra dagang dari Inggris, Denmark, Cina, Indo-Cina, India,
Persia, Filipina dan Jepang. Kapal-kapal Kesultanan Banten berlayar di banyak perairan
Nusantara, mewakili kekuatan dagang terakhir dari kerajaan-kerajaan Melayu Indonesia.

Sultan Ageng, sebagaimana ayahnya, menaruh minat khusus pada agama. Ia hampir
sepanjang waktu ditemani para ulama. Dengan demikian, ia dapat mempertahankan reputasi
Banten sebagai pusat pengetahuan dan keilmuan Islam yang penting di Nusantara.
Syekh Yusuf al-Maqassari, di antara ilmuan yang paling berpengaruh di Banten, bahkan di
Nusantara, selanjutnya menjadi bagian dari keluarga besar Istana karena ia menikah dengan
putri Sultan Ageng. Meskipun, ia hampir tenggelam ke dalam urusan politik konfrontasi
dengan Belanda, ia terus mengajar murid-murid di ibukota Banten serta menulis beberapa
karya. Di antara murid al-Maqassari yang paling menonjol adalah sang putra mahkota Abd
al-Qahhar, yang dibelakang hari justru menjadi musuh politiknya, karena Abd al-Qahhar
bekerja sama dengan Belanda untuk mempertahankan kekuasaannya ketika berhadapan
dengan ayahnya sendiri, Sultan Ageng.

Tidak diragukan lagi bahwa, tidak hanya ulama yang sibuk dalam pencarian ilmu, tetapi juga
para Sultan. Kesibukan akademik dan keilmuan pada masa kesultanan Samudra Pasai, Aceh
Darussalam, Banten, dan lain-lain sebagaimana ditunjukkan dengan sempurna oleh
Azyumardi Azra dalam Jaringan Ulama terkhusus pada ilmu-ilmu keislaman terutama
tasauf dan tarekat.

Keterlibatan istana atau kesultanan Samudra Pasai, Aceh Darussalam, Banten, dan lainnya
dalam pengembangan pendidikan Islam di antaranya melalui institusi halaqah, menjadikan
umat Islam Nusantara mengalami lompatan peradaban terutama dalam ilmu-ilmu keislaman.
Hal mana telah menjadi pengalaman khilafah Islamiyah zaman klasik Islam. Istana, karena
memiliki kekuatan finansial dan relasi internasional, tentu dengan mudah melakukan
gebrakan ilmiah dengan cepat dan unggul. Hal demikian tentu sulit dilakukan pribadi-pribadi
yang tidak memiliki kekuatan finansial atau afiliasi ke Istana. Ketiga kesultanan yang
disebut-sebut di atas, pada masanya menjadi pusat keilmuan yang paling penting di
Nusantara. Boleh pula disebutkan bahwa kesultanan tersebut menjadi pilar utama Islamisasi
di Nusantara dan berjasa besar membangun jaringan ulama Nusantara dengan Timur Tengah.
Istana, tidak saja melanjutkan tradisi ilmiah khusus dalam ilmu-ilmu keislaman kaum
Muslim zaman klasik, tetapi juga menjaga dan mempertahankan kedaulatan dar al-Islam pada
wilayahnya masing-masing dari berbagai konfrontasi fisik yang dilakukan oleh kolonialis
Barat.

Kegiatan keilmuan yang dominan adalah tertumpu pada tasauf dan tarekat sebagaimana yang
menonjol di Makkah dan Madinah pada masa-masa itu.

Beberapa tokoh Islam yang telah mengembangkan ilmu pengetahuan dan kebudayaan di
Nusantara, misalnya:
1. Hamzah Fansuri

Hamzah Fansuri merupakan salah seorang ulama yang mengajarkan faham tasawuf yang
banyak dipengaruhi oleh ajaran Ibnu Arabi, al-Hallaj, al-Busthami dan lainnya. Ia merupakan
pelopor penulisan risalah tasawuf dan keagamaan lain dengan menggunakan kaidah ilmiah
yang disusun secara sistematis. Beliau juga mengembangkan pengetahuan filsafat dan mistik
dengan pendekatan Islam. Beberapa pokok ajarannya (1) tentang wujud; wujud itu hanyalah
satu, walaupun kelihatannya banyak. (2) tentang Allah; Allah adalah zat yang mutlak dan
qadim, first causal dan pencipta alam semesta. (3) tentang penciptan; wujud Tuhan itu
laksana lautan yang dalam (al-Bahr al-amiq) yang tak bergerak dan alam semesta ini
merupakan gelombang dari lautan wujud Tuhan itu. (4) tentang manusia; ia adalah
aliran/pancaran langsung dari zat yang mutlak.

2. Abdurrauf Singkel

Nama lengkapnya adalah Syekh Abdur Rauf bin Ali al-Fansuri al-Jawi, lahir di Fansur pada
tahun 1620 M dan meninggal di Kuala tahun 1693 M.

Selain seorang sufi, beliau juga dikenal sebagai sebagai seorang ulama besar bermazhab
Syafii. Pemikirannya di kedua bidang ini banyak menjadi referensi kaum muslimin di Asia
Tenggara. Karya-karyanya ada yang berbahasa Melayu juga berbahasa Arab. Sejauh
menyangkut tulisannya tentang tasawuf, Abdurrauf Singkel senantiasa menjelaskan bahwa
wajib bagi para sufi untuk menempuh jalur syariat. Beliau seorang pengikut dan tokoh
thariqat Syattariyah.

3. Nuruddin ar-Raniry

Nama lengkapnya ialah Nuruddin bin Ali bin Hasanji bin Muhammad Hamid ar-Raniry. Ia
berasal dari Ranir (Rander) Gujarat, hidup pada masa abad ke-17 M. Beliau seorang penulis
produktif, politikus dan flosofis. Beliau adalah seorang mufti kerajaan Aceh dan menjalin
hubungan yang harmonis dengan Sultan Iskandar Tsani. Kitab-kitab karangannya banyak
membahas fiqh, sejarah, dan hadits. Dalam pengembangan ajaran Islam di Aceh berpaham
ahlussunnah waljamaah bermazhab Syafii.

Salah satu pokok ajarannya dari sekian banyak tulisannya, beliau menyerang pemikiran
Hamzah dan Syamsudin. Misalnya tentang roh Nuruddin berpendapat, bahwa roh itu
diciptakan oleh Tuhan. Pengertian hadits Barang siapa mengenal dirinya, sesungguhnya ia
telah mengenal Tuhannya telah dilewengkan oleh Hamzah dengan konsep penyatuan
manusia dengan Tuhannya. Nuruddin memahami hadits itu dengan pengertian, bahwa barang
siapa mengenal dirinya sebagai makhluk, maka ia akan mengenal Tuhan sebagai khalik yang
menciptakan. Dan barang siapa mengenal dirinya sebagai fana, maka dia akan mengenal
Tuhannya sebagai yang baqa. Tuhan adalah pencipta dan wajibul wujud lagi qadim,
karenanya disebut wujud haqiqi. Alam ini adalah mumkinul wujud, artinya dijadikan Tuhan
dari al-adam (tiada) menjadi wujud yang khariji, karenanya disebut wujud majazi.

4. Yusuf al-Makasari

Beliau merupakan salah satu kerabat dari kerajaan Gowa. Pada tahun 1644, belajar di
Mekkah. Sebelum berangkat ke Mekkah, singgah di Banten, kemudian ke Aceh untukbelajar
dengan Nuruddin Ar-Raniry.

Pada tahun 1667, Yusuf kembali ke Nusantara setelah mengembara selama 22 tahun untuk
belajar agama di Mekkah maupun Yaman. Setelah kembali, Yusuf langsung melancarkan
gerakan pembaharuan yang bertujuan untuk melakukan furifikasi ajaran Islam dari sisa-sisa
paganisme dan kepercayaan-kepercayaan yang tidak Islami. Melalui karya-karyanya, beliau
menyebarkan gagasan-gagasan tentang Islam yang murni dan lebih berorientasi pada syariat.

5. Syaikh Burhanuddin

Kehadiran surau sebagai sebuah lembaga pendidikan Islam semacam pesantren jelas
berkaitan erat dengan perluasan fungsi surau dalam masyarakat Minangkabau. Cikap bakal
surau, setidaknya menurut Mahmud Yunus, pertama kali dimunculkan oleh Syaikh
Burhanuddin (1066-1111 H/1646-1591 M). Syekh Burhanuddin adalah seorang ulama dan
pengembang agama Islam di Minangkabau dilahirkan di Guguk Sikaladi Pariangan Padang
Panjang dengan nama kecil Pono. Sebagai seorang mubaligh yang mengembangkan agama
Islam setelah memperdalam syariat Islam selama 10 tahun di Aceh, sekembali dari Aceh
mendirikan surau di Tanjung Medan dan surau-surau lainnya di Ulakan. Sekembalinya dari
Kotaraja Aceh, tempat ia belajar ilmu agama kepada Syaikh Abdurrauf al-Singkili, ulama
Aceh terkenal, Syaikh Burhanuddin mendirikan surau di kampong halamannya, Ulakan,
Pariaman. Di surau inilah, Syaikh Burhanuddin melakukan pengajaran Islam dan mendidik
beberapa murid yang menjadi ulama yang berperan penting dalam pengembangan ajaran
Islam selanjutnya di Minangkabau.

6. Syekh Abdul Muhyi al Garuti

Syeikh Haji Abdul Muhyi lahir di Mataram sekitar tahun 1650 M /1071 H dan dibesarkan
oleh orang tuanya di kota Gresik/Ampel. Pada saat berusia 19 tahun beliau pergi ke Aceh/
Kuala untuk berguru kepada Syeikh Abdul Rouf bin Abdul Jabar selama 8 tahun yaitu dari
tahun 1090 -1098 H/1669 -1677 M. Pada usia 27 tahun beliau beserta teman sepondok
dibawa oleh gurunya ke Baghdad untuk berziarah ke makam Syeikh Abdul Qodir Al-Jailani
dan bermukim di sana selama dua tahun. Setelah itu mereka diajak oleh Syeikh Abdul Rauf
ke Makkah untuk menunaikan Ibadah Haji.
Lampiran 5

Gambar yang ditayangkan / diamati siswa

Anda mungkin juga menyukai