Oleh : J A E N I
Pendahuluan
Sebuah kenyataan bahwa zaman kini sudah bergeser sebagaimana dicatat
oleh para ahli di berbagai bidang ilmu yang mengisyaratkan adanya
perkembangan kebudayaan umat manusia di setiap era yang menjadi titik
puncaknya. Sejak manusia memasuki era berburu, era bertani (ladang-sawah-laut),
era industri dan era informasi, dimana tahap-tahap era tersebut telah
mengindikasikan kemajuan-kemajuan, adanya perkembangan dan perubahan, tak
terkecuali pada bidang seni-budaya.
Di setiap zaman yang berubah dan berkembang itu telah menyisakan
artefak dan pemikiran, nilai-nilai, dan gagasan atau ide budaya yang
mengantarkan kreatifitas budaya setiap zamannya. Perkembangan setiap era
budaya patut kita baca untuk kemudian menjadi background of knowledge (latar
pengetahuan) dalam memasuki perkembangan era baru kini, yakni era informasi
dalam kaitannya dengan dunia seni pertunjukan. Era informasi ini disinyalir
sebagai era konvergensi media, yang ditandai dengan menyatunya berbagai
teknologi komunikasi dan informasi di tengah-tengah kita (lihat La Rose &
Straubhaar, 2000; Fidler, 2002).
Kehadiran era informasi saat ini dalam kehidupan seni budaya, khususnya
bagi seni pertunjukan, memiliki konsekuensi logis terhadap perwujudan seni
pertunjukan. Pada satu sisi, kehadiran teknologi informasi dan komunikasi
memiliki konsekuensi terhadap seni pertunjukan yang bisa jadi memarjinalkan
seni pertunjukan tersebut akibat maraknya seni kemas yang dihasilkan oleh media
di era informasi tersebut. Pada sisi lain, kehadiran teknologi informasi dan
komunikasi bagi seni pertunjukan dapat memberikan sentuhan estetik lain dan
efektivitas kerja seni yang lebih efisien, tanpa meninggalkan idealisme berkarya
seni. Konsekuensi logis ini butuh jawaban dari para seniman dan akademisi
2
bidang seni pertunjukan dalam menghadapi era yang serba instan dan memiliki
akselerasi yang sangat tinggi.
Beberapa konsekuensi logis di atas salah satunya harus kita pilih agar seni
pertunjukan tetap eksis di tengah-tengah masyarakat, sekalipun tantangan klasik
masih berlangsung, yaitu kurangnya perhatian pemerintah terhadap
keberlangsungan seni pertunjukan itu sendiri. Gedung-gedung seni dibangun,
sekolah-sekolah seni didirikan, penghargaan-penghargaan diberikan kepada
pelaku seni, namun tidak lebih dari sekadar perhatian semu atas pengakuan seni
oleh pemerintah. Tahun demi tahun, periode hingga periode pemerintahan
berikutnya, seni pertunjukan yang menjadi salah satu kekayaan budaya nusantara
ini tidaklah pernah menjadi agenda penting dalam membangun bangsa. Padahal,
bangsa dan pemerintah ini sangat merasakan bagaimana seni dapat melukai
perasaan bangsa ini. Kehilangan seni bisa menjadi kehilangan identitas kita
sebagai sebuah bangsa. Kasus-kasus seperti itu telah berlangsung sebelumnya dan
bisa menjadi pelajaran bagi kita semua, misalnya; pengakuan seni kita oleh negara
tetangga yang membuat para pejabat kebakaran jenggot; Pergelaran improvisasi
tari cakalele yang digelar persis pada saat kunjungan Presiden SBY dalam
merayakan Hari Keluarga Nasional (Harganas) ke XIV, di Lapangan Merdeka
Ambon, 29 Juni 2007, membuat pemerintah terbelalak atas kekuatan seni yang
bisa menembus ring keamanan yang begitu ketat (Detik News, 02/07/2007);
kasus lain, terjadi pula pada acara Konferensi Besar Masyarakat Adat Papua yang
berlangsung di GOR Cenderawasih, Jayapura, pada Selasa 3 Juli 2007, dengan
kekuatan komunikasi seni itu menjadi ancaman terhadap keutuhan bangsa.
Contoh kasus-kasus seni pertunjukan itu cukup jelas untuk menunjukkan
bagaimana kekuatan komunikasi seni pertunjukan perlu diperhitungkan. Seni
pertunjukan merupakan alat dalam kehidupan budaya dan melaluinya harus
mampu bersinergi dengan masyarakat di era informasi dewasa ini, baik dalam sisi
praktis maupun teoretis.
Selanjutnya, bagaimana posisi generasi muda kita dan keseniannya,
terutama lulusan STSI Bandung yang memiliki disiplin ilmu seni yang berbeda
dengan perguruan tinggi lain dalam menghadapi era informasi dewasa ini.
Mahasiswa seni atau masyarakat seni dengan kemampuannya, kreatifitasnya dan
spesialisasinya, harus yakin bahwa dengan kompetensi seni mampu berdiri di
tengah arus deras era informasi saat ini. Insan seni sanggup berperan melalui seni
(pertunjukan) untuk menyuarakan dan sekaligus mengkomunikasikan nilai-nilai
seni, baik nilai yang bersifat ideal-rasional maupun nilai kualitas atas seni
pertunjukan yang bersumber dari tradisi-tradisi milik sendiri. Masyarakat seni -
seniman dan akademisi - merupakan sosok-sosok yang mampu menyuarakan
gagasan-gagasan tentang berbagai fenomena bangsa sekaligus menginformasikan
kekayaan kultural dan identitas bangsanya melalui media seni di era informasi
dewasa ini.
Untuk hal itu dibutuhkan pemahaman seni pertunjukan dalam perspektif
komunikasi. Seni pertunjukan merupakan suatu media komunikasi yang mampu
berperan dan memberikan pencerahan secara ideal, dan pada tataran pragmatis
3
seni pertunjukan dapat berperan dalam arena sosial, ekonomi, politik dan budaya
dalam masyarakat dan lingkungan budayanya.
Dillistone sebagai sebuah kata atau barang yang mewakili atau mengingatkan
suatu entitas yang lebih besar (Dillistone, 2002: 18-19).
Simbol tak terkait dengan sebuah kehidupan di luar kehidupan manusia
dan hal ini menandakan betapa eratnya hubungan antara simbol dan manusia.
Ernst Cassirer menyebutkan bahwa manusia adalah animal symbolicum dimana
manusia tak pernah melihat, menemukan, dan mengenal dunia secara langsung
kecuali melalui berbagai simbol (Cassirer, 1944: 23-26). Sementara para
antropolog, Kroeber dan Kluckhohn dengan konsepsi budayanya mengatakan
bahwa “budaya terdiri dari pola-pola, eksplisit atau implisit, tentang dan untuk
perilaku yang diperoleh dan dipindahkan melalui simbol-simbol, membangun
capaian-capaian yang dipilah dari kelompok manusia, termasuk jelmaan-
jelmaannya dalam artifak-artifak” (Kroeber dan Kluckhohn dalam Berry, 1999:
326).
Demikian pentingnya pengetahuan tentang simbol, maka dalam konteks
komunikasi seni pertunjukan, simbol adalah sesuatu yang dipertukarkan baik
dalam komunikasi verbal maupun non-verbal. Lebih lanjut, komunikasi yang
menyangkut seni pertunjukan tidak sekedar komunikasi sebagai tindakan praktis
dan pragmatis (Bakker dalam Herusatoto, 2003: 15), namun lebih tinggi yaitu
sebuah tindakan pencapaian nilai-nilai ideal, nilai-nilai kualitas. Contoh kecil
komunikasi seperti ini terjadi pada masyarakat yang menyelenggarakan kesenian,
yang tentunya tidak sekedar menyelenggarakan kemeriahan. Kesenian tidak
sekedar hiburan bagi penyelenggara dan penontonnya. Perhelatan itu memiliki
makna sebagai totalitas pertunjukan yang dapat memberikan pencerahan bagi
segenap masyarakat yang terlibat di dalamnya.
Seni pertunjukan dalam peristiwa komunikasi adalah tindakan-tindakan
ekspresif yang bisa hanya mengatakan sesuatu tentang dunia apa adanya juga bisa
bermaksud mengubah tatanan dunia tersebut secara metaporis (Leach, 1976: 43).
Oleh karenanya, bentuk penyimbolan dalam seni pertunjukan Indonesia secara
umum perlu merujuk pada benang merah tradisi yang menjadi landasan pola pikir
budaya masyarakatnya.
kiranya dapat diupayakan agar produk seni yang dihasilkan mampu berbincang di
percaturan dunia.
Demikian sekilas pandangan tentang seni pertunjukan dalam perspektif
komunikasi di era informasi, yang mudah-mudahan dapat dijadikan suplemen
informasi keilmuan bagi para wisudawan yang saya banggakan. Sekian dan terima
kasih. Wassalamualaikum wr.wb.
DAFTAR PUSTAKA
Wadworth/Thomson Learning.
Leach, Edmund. 1988. Culturre and Communication: The Logic By Which
Simbols are Connected. New York: Cambridge University Press.
Liliweri, Alo. 2003. Makna Budaya Dalam Komunikasi Antarbudaya.
Yogyakarta: LKiS.
Lull, James. 1997. Media, Komunikasi, Kebudayaan: Suatu Pendekatan Global,
(diterjemakan oleh A. Setiawan Abadi), Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Mulyana, Deddy. 2001. Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. Bandung:
Rosdakarya.
_______________. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu
Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya. Bandung: Rosdakarya.
_______________. 2004. Komunikasi Efektif: Suatu Pendekatan Lintas Budaya.
Bandung: Remaja Rosdakarya.
Poloma, Margaret M. Sosiologi Kontemporer. Terjemaham Tim Yasogama.
Jakarta: Rajawali.
Sastropoetro, R.A. Santoso. 1987. Pendapat Publik, Pendapat Umum, dan
Pendapat Khalayak dalam Komunikasi Sosial. Bandung: CV. Remadja
Karya.
Schechner, Richard. 1988. Performance Theory. New York and London:
Routledge.
Soeprapto, H.R.Riyadi. 2002. Interaksi Simbolik: Perspektif Sosiologi Modern.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar bekerjasama dengan Averroes Press.
Syam, Nina Winangsih, 2006. Komunikasi Transendental. Bandung: Yayasan
Arena Komunikasi.
West, Richard & Lynn H. Turner. 2007. Introducing Communication Theory:
Analysis and Application. New York: McGraw-Hill.