Anda di halaman 1dari 10

1

SENI PERTUNJUKAN DALAM PERSPEKTIF KOMUNIKASI


DI ERA INFORMASI

Oleh : J A E N I

Majelis Senat STSI Bandung yang saya hormati…


Para Wisudawan yang saya banggakan …
Para hadirin tamu undangan
dan orang tua wisudawan yang saya hormati.
Assalamualaikum wr.wb
Selamat Pagi
dan salam sejahtera untuk kita semua................

Pendahuluan
Sebuah kenyataan bahwa zaman kini sudah bergeser sebagaimana dicatat
oleh para ahli di berbagai bidang ilmu yang mengisyaratkan adanya
perkembangan kebudayaan umat manusia di setiap era yang menjadi titik
puncaknya. Sejak manusia memasuki era berburu, era bertani (ladang-sawah-laut),
era industri dan era informasi, dimana tahap-tahap era tersebut telah
mengindikasikan kemajuan-kemajuan, adanya perkembangan dan perubahan, tak
terkecuali pada bidang seni-budaya.
Di setiap zaman yang berubah dan berkembang itu telah menyisakan
artefak dan pemikiran, nilai-nilai, dan gagasan atau ide budaya yang
mengantarkan kreatifitas budaya setiap zamannya. Perkembangan setiap era
budaya patut kita baca untuk kemudian menjadi background of knowledge (latar
pengetahuan) dalam memasuki perkembangan era baru kini, yakni era informasi
dalam kaitannya dengan dunia seni pertunjukan. Era informasi ini disinyalir
sebagai era konvergensi media, yang ditandai dengan menyatunya berbagai
teknologi komunikasi dan informasi di tengah-tengah kita (lihat La Rose &
Straubhaar, 2000; Fidler, 2002).
Kehadiran era informasi saat ini dalam kehidupan seni budaya, khususnya
bagi seni pertunjukan, memiliki konsekuensi logis terhadap perwujudan seni
pertunjukan. Pada satu sisi, kehadiran teknologi informasi dan komunikasi
memiliki konsekuensi terhadap seni pertunjukan yang bisa jadi memarjinalkan
seni pertunjukan tersebut akibat maraknya seni kemas yang dihasilkan oleh media
di era informasi tersebut. Pada sisi lain, kehadiran teknologi informasi dan
komunikasi bagi seni pertunjukan dapat memberikan sentuhan estetik lain dan
efektivitas kerja seni yang lebih efisien, tanpa meninggalkan idealisme berkarya
seni. Konsekuensi logis ini butuh jawaban dari para seniman dan akademisi
2

bidang seni pertunjukan dalam menghadapi era yang serba instan dan memiliki
akselerasi yang sangat tinggi.
Beberapa konsekuensi logis di atas salah satunya harus kita pilih agar seni
pertunjukan tetap eksis di tengah-tengah masyarakat, sekalipun tantangan klasik
masih berlangsung, yaitu kurangnya perhatian pemerintah terhadap
keberlangsungan seni pertunjukan itu sendiri. Gedung-gedung seni dibangun,
sekolah-sekolah seni didirikan, penghargaan-penghargaan diberikan kepada
pelaku seni, namun tidak lebih dari sekadar perhatian semu atas pengakuan seni
oleh pemerintah. Tahun demi tahun, periode hingga periode pemerintahan
berikutnya, seni pertunjukan yang menjadi salah satu kekayaan budaya nusantara
ini tidaklah pernah menjadi agenda penting dalam membangun bangsa. Padahal,
bangsa dan pemerintah ini sangat merasakan bagaimana seni dapat melukai
perasaan bangsa ini. Kehilangan seni bisa menjadi kehilangan identitas kita
sebagai sebuah bangsa. Kasus-kasus seperti itu telah berlangsung sebelumnya dan
bisa menjadi pelajaran bagi kita semua, misalnya; pengakuan seni kita oleh negara
tetangga yang membuat para pejabat kebakaran jenggot; Pergelaran improvisasi
tari cakalele yang digelar persis pada saat kunjungan Presiden SBY dalam
merayakan Hari Keluarga Nasional (Harganas) ke XIV, di Lapangan Merdeka
Ambon, 29 Juni 2007, membuat pemerintah terbelalak atas kekuatan seni yang
bisa menembus ring keamanan yang begitu ketat (Detik News, 02/07/2007);
kasus lain, terjadi pula pada acara Konferensi Besar Masyarakat Adat Papua yang
berlangsung di GOR Cenderawasih, Jayapura, pada Selasa 3 Juli 2007, dengan
kekuatan komunikasi seni itu menjadi ancaman terhadap keutuhan bangsa.
Contoh kasus-kasus seni pertunjukan itu cukup jelas untuk menunjukkan
bagaimana kekuatan komunikasi seni pertunjukan perlu diperhitungkan. Seni
pertunjukan merupakan alat dalam kehidupan budaya dan melaluinya harus
mampu bersinergi dengan masyarakat di era informasi dewasa ini, baik dalam sisi
praktis maupun teoretis.
Selanjutnya, bagaimana posisi generasi muda kita dan keseniannya,
terutama lulusan STSI Bandung yang memiliki disiplin ilmu seni yang berbeda
dengan perguruan tinggi lain dalam menghadapi era informasi dewasa ini.
Mahasiswa seni atau masyarakat seni dengan kemampuannya, kreatifitasnya dan
spesialisasinya, harus yakin bahwa dengan kompetensi seni mampu berdiri di
tengah arus deras era informasi saat ini. Insan seni sanggup berperan melalui seni
(pertunjukan) untuk menyuarakan dan sekaligus mengkomunikasikan nilai-nilai
seni, baik nilai yang bersifat ideal-rasional maupun nilai kualitas atas seni
pertunjukan yang bersumber dari tradisi-tradisi milik sendiri. Masyarakat seni -
seniman dan akademisi - merupakan sosok-sosok yang mampu menyuarakan
gagasan-gagasan tentang berbagai fenomena bangsa sekaligus menginformasikan
kekayaan kultural dan identitas bangsanya melalui media seni di era informasi
dewasa ini.
Untuk hal itu dibutuhkan pemahaman seni pertunjukan dalam perspektif
komunikasi. Seni pertunjukan merupakan suatu media komunikasi yang mampu
berperan dan memberikan pencerahan secara ideal, dan pada tataran pragmatis
3

seni pertunjukan dapat berperan dalam arena sosial, ekonomi, politik dan budaya
dalam masyarakat dan lingkungan budayanya.

Proses dan Konteks Komunikasi Seni Pertunjukan


Seni pertunjukan merupakan jagat kecil sebagai sebuah representasi jagat
besar (kehidupan dunia sebenarnya). Melalui asumsi ini, maka proses dan
konteks-konteks komunikasi hadir dalam seni pertunjukan karena komunikasi
bersifat omnipresent (hadir dimana-mana). Berkaitan dengan asumsi tersebut,
maka dalam seni pertunjukan terdapat konteks-konteks komunikasi yang meliputi;
komunikasi intrapersonal, komunikasi interpersonal, komunikasi publik,
komunikasi budaya dan komunikasi transendental.
Komunikasi intrapersonal, merupakan bentuk komunikasi yang
difokuskan pada kognisi, simbol dan intensi individu. Komunikasi ini
menekankan pada peran dari proses komunikasi dalam diri. Beberapa pakar
komunikasi menyetujui bahwa komunikasi intrapersonal merupakan jantung dari
aktivitas komunikasi (West and Turner, 2007: 34). Menurut Mulyana (2002: 72)
bahwa, komunikasi intrapersonal atau intrapribadi sebagai komunikasi dengan diri
sendiri, baik disadari maupun tidak.
Berkaitan dengan arti komunikasi intrapersonal di atas, maka dalam seni
pertunjukan terdapat proses komunikasi tersebut, terutama dilakukan oleh pelaku
dan publik seni itu sendiri. Ketika pertunjukan berlangsung, antara pelaku dan
publik seni sama-sama mengandalkan perasaan dan pengalamannya, seraya
berdialog dengan dirinya. Perasaan dan pengalaman begitu penting kedudukannya
bagi komunikasi intrapersonal dalam seni pertunjukan dan merupakan fasilitas
alamiah dalam diri seseorang. Peranan perasaan dan pengalaman itu banyak
terjadi pada peristiwa komunikasi seni pertunjukan.
Ketika pertunjukan berlangsung, konteks komunikasi ini pun berjalan;
pelaku seni berpikir dan bertindak untuk menggerakkan tubuhnya, dalam
tubuhnya berkecamuk perasaan-perasaan bagaimana cara berbuat untuk seni atau
bergerak untuk membentuk sebuah tarian. Telinga mereka merasakan musik yang
ada, sementara anggota tubuh mereka mengikuti irama musik. Dalam memainkan
peran, maka ia berpikir bagaimana mewujudkan peran itu. Seluruh anggota
tubuhnya akan dimaksimalkan untuk membentuk peran itu termasuk juga pikiran,
perasaan dan pengalamannya mereka. Prose situ semua merupakan proses
komunikasi intrapersonal.
Demikian halnya dengan publik pertunjukan yang juga melakukan proses
komunikasi intrapersonal dalam dirinya. Mereka (para penonton) akan menikmati
sajian cerita, gerak-gerak tubuh para para penari, musik, dan unsur-unsur rupa
yang hadir dalam pertunjukan itu. Publik merasakan kegembiraan dalam hatinya
atas pertunjukan yang diapresiasinya sesuai dengan pengalaman dan perasaan.
Publik juga merasakan kesedihan dan kelucuan jika dalam cerita atau gerak dan
irama yang sesuai dengan perasaan dan pengalamannya. Dari peristiwa itu,
4

perasaan dan pengalaman sangat memainkan peran dalam komunikasi


intrapersonal publiknya.
Komunikasi Interpersonal, lebih disarankan dalam arti yang paling luas
untuk mencakup semua interaksi di mana terdapat hubungan di antara semua
partisipan (Devito, 1997: 232). Untuk hal itu definisi komunikasi interpersonal
sedemikian “cair” sebagai Komunikasi antarpribadi, antara orang-orang secara
tatap muka, yang memungkinkan setiap pesertanya menangkap reaksi orang lain
secara langsung, baik secara verbal maupun nonverbal (Mulyana, 2002: 73).
Momen peristiwa komunikasi intrapersonal dalam seni pertunjukan lebih
banyak terdapat di belakang panggung atau dalam proses kerja kreatif
antarseniman sebelum pertunjukan itu dipentaskan. Momen-momen itu terdapat
pula ketika pertunjukan berlangsung yang ditunjukkan oleh dialog antara seorang
pelaku dengan penontonnya dalam sesi improvisasi; dialog antara seorang bodor
dengan penontonnya; pertukaran pesan antara penembang (sinden) dengan salah
satu penonton; atau interaksi non verbal antara penari dan penontonnya.
Komunikasi Publik, sering dianalogikan dengan komunikasi di depan
umum (Devito, 1997: 359). Menurut West dan Turner (2007: 34), komunikasi
publik biasanya berupa komunikasi dari seseorang ke banyak orang, yang
pesannya bersifat persuasif dengan memperhatikan beberapa hal yaitu analisis
khalayak, kredibilitas pembicara, dan proses penyampaian pesan yang membujuk.
Sementara meminjam catatan Mulyana (2007: 82) dinyatakan bahwa komunikasi
publik merupakan komunikasi antara seorang pembicara dengan sejumlah besar
orang (khalayak), yang tidak dikenali satu per satu. Namun terdapat benang merah
antara seni pertunjukan dengan konteks komunikasi publik dengan ciri-ciri
komunikasi yang meliputi: 1) terjadi di tempat umum (publik); 2) merupakan
peristiwa yang telah direncanakan; 3) terdapat agenda; dan 4) beberapa orang
ditunjuk untuk menjalankan fungsi-fungsi khusus.
Mengingat komunikasi seni pertunjukan terkait dengan komunikasi publik,
maka definisi publik dapat dipahami melalui istilah yang dinyatakan oleh Denton
dan Woodward (1990: 14) sebagai istilah yang digunakan untuk menggantikan
istilah “masyarakat umum” atau “rakyat”. Sementara Sastropoetro (1987: 35),
lebih spesifik mendefinisikan istilah publik sebagai sejumlah orang yang memiliki
minat, kepentingan, atau kegemaran yang sama. Komunikasi publik jelas terlihat
pada seni pertunjukan sebagai seni yang segmentatif, yang dalam kata lain
memiliki publiknya sendiri.
Dalam skala publik seni, adakalanya seni pertunjukan pada satu wilayah
yang sama atau daerah atau satu kecamatan sekalipun, tidak bisa dipaksakan
untuk diapresiasi oleh seluruh isi masyarakat yang ada dalam wilayah tersebut.
Disini kita dapat menarik garis sambung, bahwa seni pertunjukan akan selalu
ditonton, diapresiasi atau akan dapat berkomunikasi dengan publik seni itu sendiri
yang memiliki minat, kepentingan, atau kegemaran yang sama.
Komunikasi Budaya, begitu nampak pada seni pertunjukan sebagai salah
satu produk kebudayaan. Komunikasi budaya memiliki banyak ragam, sekalipun
ia memiliki keterbatasan-keterbatasan yang dikarenakan oleh keragaman budaya
5

setiap kelompok manusia. Keragaman itu menjadikan konteks-konteks


komunikasi budaya dalam seni pertunjukan mengalami perkembangan, dari
komunikasi intrabudaya menuju komunikasi antarbudaya, dan hingga komunikasi
lintas budaya. Beberapa varian komunikasi itu menunjukkan bahwa komunikasi
sangat erat kaitannya dengan budaya, bahkan Edward T. Hall (1981) mengatakan
bahwa kebudayaan adalah komunikasi dan komunikasi adalah kebudayaan
(Liliweri, 2002: 9).
Dalam konteks komunikasi budaya, seni pertunjukan merupakan bagian
dari perangkat model pengetahuan atau sistem makna yang terjalin secara
menyeluruh dalam simbol-simbol yang ditransmisikan lewat seni pertunjukan.
Untuk hal itu, seni pertunjukan sesungguhnya menyajikan model pengetahuan
atau sistem makna yang digunakan secara selektif oleh warga masyarakat
pendukungnya untuk berkomunikasi, melestarikan dan menghubungkan
pengetahuan, serta merupakan pedoman bersikap dan bertindak dalam
menghadapi lingkungannya, guna memenuhi berbagai kebutuhan.
Komunikasi budaya dalam seni pertunjukan menjadi unsur pengikat yang
mempersatukan pedoman-pedoman bertindak yang berbeda hingga menjadi suatu
desain yang utuh, menyeluruh, dan operasional, serta dapat diterima sebagai hal
yang bernilai oleh masyarakat pendukungnya. Konteks komunikasi budaya dalam
seni pertunjukan merupakan wadah komunikasi masyarakat yang berupaya
mencapai tujuannya dalam mengubah sikap, mengubah opini/
pendapat/pandangan, mengubah perilaku serta mengubah budaya masyarakat itu
sendiri. Peristiwa pertunjukan bukan semata-mata fenomena, melainkan noumena.
Seni pertunjukan disajikan tidak hanya untuk pancaindera, tetapi juga untuk mata
hati yang secara kultural menjadi sangat simbolik.
Komunikasi Transendental, dalam seni pertunjukan mungkin terkesan
sangat “mengada-ada” dan tidak begitu akrab dalam khazanah ilmu komunikasi.
Namun demikian hal itu merupakan kenyataan yang sangat terkait dengan
kehidupan seni pertunjukan rakyat (etnik) Indonesia. Komunikasi transendental
terkait dengan kehidupan budaya masyarakat timur yang religius dan bentuk
komunikasi ini sesungguhnya dilakukan oleh manusia. Nina W. Syam (2006)
mendefinisikan komunikasi transendental sebagai komunikasi yang berlangsung
dalam diri dengan sesuatu di luar diri yang disadari keberadaannya. Sementara
Mulyana (1999) memaknai komunikasi transendental sebagai komunikasi antara
manusia dengan Tuhan.
Hubungan komunikasi transedental dengan seni pertunjukan cukup
beralasan jika melihat jenis seni pertunjukan rakyat. Ketika seni pertunjukan
ditampilkan dalam upacara selametan, maka di situ bentuk komunikasi
transendental muncul antara pelaku seni pertunjukan, pertunjukan, dan
masyarakatnya. Dalam pertunjukan yang demikian, dipercayai oleh
masyarakatnya ada kehadiran Sang Maha Kuasa di dunia manusia. Konteks
pertunjukan yang demikian menjadi bagian dari proses komunikasi transenden
yang menghadirkan keramat (karomah) dan berkat (barokah).
6

Seni Pertunjukan Sebagai Media Komunikasi Simbolik


Telah banyak dilakukan penelitian tentang seni pertunjukan, namun tidak
secara eksplisit menyatakan bagaimana komunikasi pada pertunjukan itu
berlangsung. Hal itu disebabkan karena kesadaran kita kurang dilengkapi dengan
topangan pemikiran ilmu di luar pengetahuan seni. Bahwa seni pertunjukan adalah
media komunikasi, harus kita yakini karena untuk apa kita mewujudkan suatu
bentuk pertunjukan jika tidak untuk dikomunikasikan pada publiknya. Dengan
demikian, seni pertunjukan sebagai media komunikasi akan jelas dilihat dari peran
dan fungsinya (lihat Fiske, 1990:18; Bandem, 1996:32-33).
Seni pertunjukan memiliki fleksibilitas untuk menampilkan wujud
seninya, baik sebagai media presentasi maupun representasi. Ia hadir untuk
menumbuhkembangkan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Ia diciptakan
oleh pelaku seni dengan tafsir makna tersendiri, yang kemudian diamati, ditonton,
atau diapresiasi oleh penikmat seni dengan tafsir makna tersendiri pula. Peristiwa
komunikasi demikian pada suatu bentuk pertunjukan merupakan kejadian yang
terus-menerus berlangsung, dan hal inilah yang menyebabkan seni pertunjukan
tetap bertahan di tengah-tengah masyarakatnya.
Seni pertunjukan memiliki interaksi dengan masyarakatnya, dimana setiap
orang atau masyarakat ingin melibatkan dirinya dengan cara menonton,
mengapresiasi, mengamati, menginterpretasi, mengkritisi dan bahkan ingin
melibatkan diri menjadi pelaku dalam peristiwa pertunjukan tersebut. Interaksi di
sini lebih dipandang sebagai interaksi simbolik, yang inti dari interaksi tersebut
adalah suatu aktivitas yang merupakan ciri khas manusia, yakni komunikasi atau
proses pertukaran simbol yang diberi makna (Mulyana, 2002: 68). James Lull
mempertegas arti komunikasi seni pertunjukan, sebagai suatu konstruksi makna
melalui pertukaran bentuk-bentuk simbolik (Lull, 1998: 223). Dua pengertian
komunikasi itu cukup memberikan penegasan bahwa seni pertunjukan
mengindikasikan proses komunikasi simbolik, interpretatif, transaksional, dan
kontekstual yang memberi ruang interpretasi dan harapan berbeda terhadap apa
yang disampaikan dalam suatu pertunjukan (Lustig dan Koester dalam Liliweri,
2003:13).
Arah seni pertunjukan sebagai media komunikasi simbolik berkisar pada
pemahaman tentang simbol dan proses penyimbolan terhadap seni pertunjukan
yang membutuhkan pengetahuan lebih luas. Proses penyimbolan menjadi salah
satu bentuk intelektualitas insan seni yang memiliki kepekaan akademis dan
akademisi yang memiliki kepekaan kesenimanan. Simbol begitu melekat pada
kehidupan religius manusia yang memiliki nilai-nilai spiritualitas tinggi, seperti
diungkapkan oleh Goethe, sedangkan Coleridge dan George MacDonald
berpendapat bahwa simbol sesungguhnya mengambil bagian dalam realitas yang
membuatnya dapat dimengerti sebagai sebuah subtansi. Konsepsi simbol tersebut
bersifat spiritual dan mistis, maka beberapa kaum intelektual seperti Arnold
Toynbee mengatakan bahwa “simbol diciptakan bukan untuk merepro objeknya
namun menerangi objek tersebut”. Secara sederhana simbol diartikan oleh
7

Dillistone sebagai sebuah kata atau barang yang mewakili atau mengingatkan
suatu entitas yang lebih besar (Dillistone, 2002: 18-19).
Simbol tak terkait dengan sebuah kehidupan di luar kehidupan manusia
dan hal ini menandakan betapa eratnya hubungan antara simbol dan manusia.
Ernst Cassirer menyebutkan bahwa manusia adalah animal symbolicum dimana
manusia tak pernah melihat, menemukan, dan mengenal dunia secara langsung
kecuali melalui berbagai simbol (Cassirer, 1944: 23-26). Sementara para
antropolog, Kroeber dan Kluckhohn dengan konsepsi budayanya mengatakan
bahwa “budaya terdiri dari pola-pola, eksplisit atau implisit, tentang dan untuk
perilaku yang diperoleh dan dipindahkan melalui simbol-simbol, membangun
capaian-capaian yang dipilah dari kelompok manusia, termasuk jelmaan-
jelmaannya dalam artifak-artifak” (Kroeber dan Kluckhohn dalam Berry, 1999:
326).
Demikian pentingnya pengetahuan tentang simbol, maka dalam konteks
komunikasi seni pertunjukan, simbol adalah sesuatu yang dipertukarkan baik
dalam komunikasi verbal maupun non-verbal. Lebih lanjut, komunikasi yang
menyangkut seni pertunjukan tidak sekedar komunikasi sebagai tindakan praktis
dan pragmatis (Bakker dalam Herusatoto, 2003: 15), namun lebih tinggi yaitu
sebuah tindakan pencapaian nilai-nilai ideal, nilai-nilai kualitas. Contoh kecil
komunikasi seperti ini terjadi pada masyarakat yang menyelenggarakan kesenian,
yang tentunya tidak sekedar menyelenggarakan kemeriahan. Kesenian tidak
sekedar hiburan bagi penyelenggara dan penontonnya. Perhelatan itu memiliki
makna sebagai totalitas pertunjukan yang dapat memberikan pencerahan bagi
segenap masyarakat yang terlibat di dalamnya.
Seni pertunjukan dalam peristiwa komunikasi adalah tindakan-tindakan
ekspresif yang bisa hanya mengatakan sesuatu tentang dunia apa adanya juga bisa
bermaksud mengubah tatanan dunia tersebut secara metaporis (Leach, 1976: 43).
Oleh karenanya, bentuk penyimbolan dalam seni pertunjukan Indonesia secara
umum perlu merujuk pada benang merah tradisi yang menjadi landasan pola pikir
budaya masyarakatnya.

Seni Pertunjukan Di Era Informasi


Mencermati pernyataan Edmund Leach dan uraian sebelumnya tentang
komunikasi seni pertunjukan, maka kedudukan seni pertunjukan secara metaporis
dalam kehidupan berbudaya sangat signifikan. Seni pertunjukan adalah bagian
penting dari kehidupan masyarakat lingkungannya. Oleh karena kepentingan
tersebut maka seni pertunjukan membutuhkan orang-orang yang mampu berpikir,
memiliki jiwa eksploratif, konstruktif, bermoral, dan penuh tanggung jawab.
Dengan bersandarkan pada kemampuan dan kapabilitas manusia sebagai
aktor seni pertunjukan, maka di era informasi dewasa ini seni pertunjukan dapat
eksis dan bersinergi dengan media komunikasi lainnya. Pada gilirannya,
pemakaian teknologi komunikasi dan informasi menjadi penting bagi kreator seni
pertunjukan. Konvergensi media tidak saja dihasilkan dari media-media yang
8

berperangkat teknologi, namun perangkat pemikiran dan kreativitas sang kreator


seni menjadi penting diadopsi oleh teknokrat di bidang komunikasi dan informasi.
Kehidupan seni pertunjukan yang diimbangi dengan keberadaan kreator
yang memiliki kepekaan akademik di era informasi saat ini memberikan nuansa
lain, terutama dalam pengakuan hak intelektual seniman atas karya-karya seni
yang dilahirkannya. Di era informasi, seni pertunjukan dapat pula diakses dan
diapresiasi sebagai penanaman kembali nilai-nilai luhur budaya lingkungannya
melalui teknologi komunikasi yang saat ini sudah tak terbendung kecanggihannya.
Sebagai suatu bentuk tindakan ekspresif, seni pertunjukan tidak pula
bergantung pada alat-alat canggih sistem komunikasi dan informasi yang
dihasilkan saat ini, tetapi seni pertunjukan semakin cerdas oleh karena memiliki
banyak tantangan dengan hadirnya media seni lain yang dihasilkan dari teknologi
informasi tersebut. Tindakan ekspresif seni pertunjukan diharapkan mampu
memfilter kekurangan-kekurangan media komunikasi seni yang berbasis teknologi
informasi dan bahkan diharapkan pula dapat mengambil manfaat dari kehadiran
teknologi informasi tersebut untuk kepentingan seni pertunjukan.
Jika kesadaran tentang era informasi ini tidaklah dipahami oleh para
pelaku seni pertunjukan, termasuk para lulusan perguruan tinggi seni, niscaya seni
pertunjukan yang dihasilkannya tak mampu berpartisipasi di arena yang semakin
mengglobal. Kesadaran itu bukan saja mampu memainkan perangkat-perangkat
teknologi komunikasi dan informasi, namun lebih penting lagi kita mampu
berdialog dengan kemajuan teknologi tersebut untuk digunakan sebagai cara
membangun simbol-simbol budaya yang universal. Selanjutnya kita mampu
mewacanakan simbol-simbol yang diciptakan dalam seni pertunjukan dengan
konteks-konteks makna yang dapat dipertanggungjawabkan, baik secara keilmuan
maupun kultural.
Keberadaan seni pertunjukan sungguh penting di era informasi dewasa ini
sebagai identitas bangsa. Tanggung jawab atas eksistensi seni pertunjukan
tersebut adalah tanggung jawab kita semua; seniman, budayawan, akademisi,
masyarakat dan termasuk pula pemerintah. Perjuangan kita bagi seni pertunjukan
bukan semata-mata atas nilai material, namun lebih dari itu merupakan spirit
harga diri manusia yang merdeka. Klaim kesenian kita oleh negara tetangga bisa
kita artikan sebagai perampasan harga diri dan identitas bangsa. Agar tidak terjadi
kembali perampasan-perampasan itu, maka kita perlu berbekal diri dengan ilmu
pengetahuan yang berkait dan penguasaan atas hadirnya teknologi informasi yang
menyerbu masyarakat kita dewasa ini.
Agar dapat menjadi institusi masyarakat seni yang berperan aktif dalam
membangun bangsa di era seperti ini, kiranya ada tiga syarat yang harus dipenuhi
oleh institusi seni dan masyarakat yang ada di dalamnya, yakni; (1) mampu
memanfaatkan ilmu seni termasuk ilmu pengetahuan yang lain; (2) mampu
memanfaatkan teknologi termasuk teknologi informasi; (3) mampu dan
menguasai salah satu bahasa global untuk menjamin seni pertunjukan dapat
berkomunikasi dengan masyarakat tanpa batas. Ketiga kemampuan tersebut
9

kiranya dapat diupayakan agar produk seni yang dihasilkan mampu berbincang di
percaturan dunia.
Demikian sekilas pandangan tentang seni pertunjukan dalam perspektif
komunikasi di era informasi, yang mudah-mudahan dapat dijadikan suplemen
informasi keilmuan bagi para wisudawan yang saya banggakan. Sekian dan terima
kasih. Wassalamualaikum wr.wb.

DAFTAR PUSTAKA

Bandem, I Made dan Sal Murgiyanto. 1996. Teater Daerah Indonesia.


Yogyakarta: Kanisius Kerja Sama dengan Forum Apresiasi Kebudayaan
Den Pasar-Bali.
Berry, John W. dkk. 1999. Psikologi Lintas Budaya (Riset dan Aplikasi). Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Denton, R.E., G.C. Woodward. 1990. Politic Communication in America. New
York: Praeger.
Devito, Joseph A. 1997. Komunikasi Antarmanusia: Kuliah Dasar. Penerjemah
Agus Mulyana. Jakarta: Professional Books.
Dillistone, F.W., 2002. Daya Kekuatan Simbol (The Power of Symbols).
Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Cassirer, Ernst. 1944. An Essay on Man: An Introduction to Philosophy of Human
Culture. New Haven.
Fidler, Roger. 2002. Mediamorfosis. Yogyakarta: Penerbit Bentang.
Fiske, John. 1990. Introduction To Communication Studies. London and New
York: Routledge.
Herusatoto, Budiono. 2003. Simbolisme dalam Budaya Jawa. Yogyakarta:
Hanindita Graha Widia.
Jaeni. 2005. Komunikasi Seni Pertunjukan Teater Rakyat: Kajian Hermeneutika
pada Pertunjukan Sandiwra Cirebon. Tesis S2. Bandung: Program
Pascasarjana, Universitas Padjadjaran.
La Rose, Robert and Joseph D. Straubhaar. 2000. Media Now: Communications
Media In The Information Age, United States of America:
10

Wadworth/Thomson Learning.
Leach, Edmund. 1988. Culturre and Communication: The Logic By Which
Simbols are Connected. New York: Cambridge University Press.
Liliweri, Alo. 2003. Makna Budaya Dalam Komunikasi Antarbudaya.
Yogyakarta: LKiS.
Lull, James. 1997. Media, Komunikasi, Kebudayaan: Suatu Pendekatan Global,
(diterjemakan oleh A. Setiawan Abadi), Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Mulyana, Deddy. 2001. Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. Bandung:
Rosdakarya.
_______________. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu
Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya. Bandung: Rosdakarya.
_______________. 2004. Komunikasi Efektif: Suatu Pendekatan Lintas Budaya.
Bandung: Remaja Rosdakarya.
Poloma, Margaret M. Sosiologi Kontemporer. Terjemaham Tim Yasogama.
Jakarta: Rajawali.
Sastropoetro, R.A. Santoso. 1987. Pendapat Publik, Pendapat Umum, dan
Pendapat Khalayak dalam Komunikasi Sosial. Bandung: CV. Remadja
Karya.
Schechner, Richard. 1988. Performance Theory. New York and London:
Routledge.
Soeprapto, H.R.Riyadi. 2002. Interaksi Simbolik: Perspektif Sosiologi Modern.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar bekerjasama dengan Averroes Press.
Syam, Nina Winangsih, 2006. Komunikasi Transendental. Bandung: Yayasan
Arena Komunikasi.
West, Richard & Lynn H. Turner. 2007. Introducing Communication Theory:
Analysis and Application. New York: McGraw-Hill.

Anda mungkin juga menyukai