Anda di halaman 1dari 16

Ba g i a n 3

MODEL KOMUNIKASI DAN SENI


PERTUNJUKAN

Model-model komunikasi merupakan kelaziman


proses dalam perkembangan ilmu komunikasi yang
didasarkan pada objek pengamatan atau
penerapannya dalam bentuk-bentuk komunikasi,
baik komunikasi intrapersonal, antarpersonal,
kelompok atau massa maupun komunikasi
antarbudaya. Pada model-model komunikasi yang
akan kita bahas bisa jadi akan terdapat model-model
komunikasi yang sifatnya linear (searah) dan circuler
(dua arah). Oleh karena begitu banyak ragam model
komunikasi yang sebelumnya telah ditulis atau
digambarkan oleh beberapa pakar komunikasi dari
be r bag ai l atar dis iplin ilmu , zaman , dan
peruntukannya dalam penyampaian informasi maka
dalam tulisan ini model komunikasi akan dipilih
sekadar untuk menunjukkan bagaimana dari model-
model tersebut dapat ditafsirkan bentuknya juga
penerapannya dalam seni pertunjukan.
Menafsirkan model komunikasi baik yang sifatnya
linear maupun circuler, yang verbal maupun non
verbal pada seni pertunjukan perlu dibarengi dengan
kekuatan tafsir terhadap apa, siapa, dimana, kapan,
mengapa dan bagaimana (5 W 1 H) seni pertunjukan

35
Komunikasi Seni Pertunjukan

sebagai suatu peristiwa komunikasi. Dalam sebuah


pertunjukan dimungkinkan adanya komunikasi
verbal, misalnya ketika sesi bodoran (lawakan) dalam
sebuah rangkaian pertunjukan teater rakyat. Biasanya
seorang pelawak dengan segenap kekuatan
improvisasinya mencoba berdialog dengan
penontonnya. Komunikasi non verbal pun akan
t e r j a d i k e t i k a da l a m s e b u ah pe r t u n j u k a n
tergambarkan peristiwa sedih, senang, bahagia dan
lucu (tragis, komedis, dan melodramatis). Komunikasi
non verbal juga hadir dalam bentuk tari, gerak-gerak
sleptik dan setting panggung yang menyelimuti
keseluruhan pertunjukan.
Sementara komunikasi yang bersifat linear dan
circuler pun memungkinkan terjadi pada peristiwa
pertunjukan. Komunikasi yang linear terjadi tatkala
publik penonton dianggap sebagai sosok yang pasif.
Peristiwa pertunjukan yang melibatkan penonton
pasif ini biasa terjadi dalam pertunjukan tari maupun
musik atau teater yang umumnya diselenggarakan
pada area indoor (di sebuah gedung pertunjukan)
dengan keketatan protokoler yang mengharuskan
penonton ”hanya menikmati”. Secara tidak langsung
antara pertunjukan dan penonton dengan bentuk
demikian akan mengakibatkan terjadinya proses
komunikasi yang searah, individu-individu penonton
seakan meng-iya-kan pertunjukan yang tersaji namun
tak pernah memberikan feedback konkrit terhadap
pertunjukan yang mereka tonton.
Akan tetapi bentuk tersebut senyatanya bisa saja
ditolak, karena pada dasarnya penonton tidak sepasif
apa yang dibayangkan. Penonton pertunjukan akan
berpikir tentang apa yang mereka lihat dalam pentas
dan mencoba mencari makna pertunjukan yang

36
Komunikasi Seni Pertunjukan

mereka nikmati. Makna yang mereka tangkap tentu


saja akan berkait dengan pola pikir mereka masing-
masing. Dengan demikian, komunikasi seni
pertunjukan pada dasarnya menawarkan bentuk
komunikasi yang interaktif, dua arah. Arus
komunikasi yang dua arah dan interaktif biasanya
akan banyak terjadi pada pertunjukan-pertunjukan;
musik, tari, dan teater yang diselenggarakan secara
outdoor, di lapangan terbuka dengan melibatkan
penonton sebagai bagian dari pertunjukan, misalnya
pertunjukan musik dangdut yang interaktif antara
perilaku penonton dan yang ditonton; penyanyi
merespon permintaan penonton, baik lagu maupun
'goyangan' menarinya. Dalam pertunjukan teater
rakyat misalnya, suasana interaktif lebih terasa
dengan gaya seniman teater rakyat yang melayani
masyarakat penontonnya, baik dari segi lakon
maupun bagian-bagian yang mengiringi alur struktur
pertunjukan seperti tarian dan musik.
Dengan asumsi bahwa seni pertunjukan sebagai
media komunikasi, maka seni pertunjukan pada
dasarnya dapat didekati dengan berbagai bentuk
model komunikasi. Namun kembali harus kita
pikirkan, bahwa seni pertunjukan bukan semata-mata
media yang memberikan informasi tapi lebih pada
sebuah bentuk konsensus sosial budaya masyarakat
lingkungannya. Seni pertunjukan merupakan
kristalisasi pemikiran seniman sebagai kreator wujud
seni yang dihasilkan dari perjalanan proses panjang
menangkap fenomena-fenomena dan dihubungkan
dengan nomena yang berkaitan. Pertunjukan seni
bukan hanya menampilkan sisi teknis kesenian, tapi
membawa wacana besar tentang kehidupan sosial
budaya masyarakatnya.

37
Komunikasi Seni Pertunjukan

Untuk hal tersebut, model-model komunikasi


yang telah akrab dipahami oleh para pengamat
komunikasi, dipelajari oleh banyak mahasiswa
komunikasi, masyarakat penyelenggara media, dan
masyarakat umum yang menggeluti komunikasi
perlu menyadari bahwa setiap model yang ada dapat
diterapkan dalam konteks media seni pertunjukan.
Hal ini disebabkan karena seni pertunjukan
merupakan replika dunia nyata, suatu bentuk jagat
kecil yang menceritakan tentang kehidupan jagat
besar. Ungkapan ”dunia adalah panggung
sandiwara” merupakan bukti bahwa apa yang
disajikan seni pertunjukan adalah suatu metafor,
simbol, dan sekaligus wahana pemaknaan konotatif
dan denotatif.
Model-model komunikasi yang sudah diakrabi
kiranya dapat diapresiasi untuk memberikan
informasi tentang bagaimana proses komunikasi
dalam seni pertunjukan dapat diwujudkan. Beberapa
model yang akan kita coba baca dalam tulisan ini di
antaranya meliputi model komunikasi Stimulus
Respon, Model Aristoteles, Model Lasswell (1948),
Model Scrhamm, Model Gudykunst & Kim, Model
Berlo, dan Model Interaksional.

Model Stimulus Respon

Adalah John C. Zhacaris dan Coleman C. Bender


yang menorehkan model komunikasi paling dasar,
yakni model stimulus-respons. Model ini dipengaruhi

38
Komunikasi Seni Pertunjukan

oleh disiplin psikologis, khususnya yang menganut


aliran behavioristik (Mulyana, 2001: 132). Dalam
model ini, proses komunikasi menganggap bahwa
manusia dianggap pasif yang cenderung hanya
menjawab apa yang diingikan sumber komunikasi
(komunikator).
Penerapan model tersebut dalam seni pertunjukan
dimungkinkan bagi pertunjukan-pertunjukan musik,
tari, dan teater yang dikreasi dan dipertunjukkan
dengan memakai jarak melalui medium imajiner.
Pertunjukan yang berjarak membuat penonton tidak
dapat secara spontan dan langsung memberikan
respons yang mempengaruhi suatu pertunjukan.
Komunikasi yang terjadi dalam model ini dianggap
sebagai sesuatu yang statis. Lebih jauh, model
komunikasi semacam ini menganggap manusia selalu
berperilaku karena kekuatan dari luar (stimulus). Hal
demikian dapat kita ketahui dari kelanjutan model
Zacharis dan Bender yang memberikan gambaran
tentang orang kedua (komunikan) hanya akan
memberikan senyum jika seseorang (komunikator)
mengawalinya dengan senyum, jika seorang
komunikator memberikan stimulus sedih maka akan
direspons dengan kesedihan oleh komunikan.
Begitupun dengan pertunjukan, jika suatu
pertunjukan menggambarkan potret buram
kesedihan maka respon penonton berada pada
lingkup kesedihan, sebaliknya jika pertunjukan
bagian dari kesukacitaan maka respons penonton
menggambarkan kegembiraan.
Model komunikasi seperti tersebut dianggap
kelemahan dalam komunikasi karena mengabaikan
komunikasi sebagai proses manusiawi atau faktor
manusia. Oleh karena paham behavioristik yang

39
Komunikasi Seni Pertunjukan

melatarbelakangi model ini, maka faktor lingkungan


luar menjadi sangat dominan mempengaruhi respons
manusia sebagai komunikan. Jika model ini dipakai
dalam mengapresiasi seni pertunjukan, maka akan
terdapat kendala pada kebebasan pikir manusia untuk
menanggapi sajian karya seni. Seolah-olah, karya seni
yang terjadi merupakan hasil final yang tidak dapat
diteruskan dengan perenungan. Para penonton
dibingkai pikirannya oleh frame pertunjukan yang
dikemas oleh seniman hanya untuk menerima apa
yang ditawarkan tapi tidak untuk mengkritisi apa
yang disajikan.

Model Aristoteles

Aristoteles yang kita kenal sebagai filsuf Yunani


merupakan tokoh yang mengawali pembentukan
model komunikasi yang disebut model retoris
(rethorical model). Dalam modelnya ia mengemukakan
tiga unsur penting dalam komunikasi; pembicara,
pesan, dan pendengar. Dengan unsur-unsur tersebut
maka komunikasi dalam model ini dikenal juga
dengan komunikasi publik, yang lebih menekankan
keterampilan berpidato. Faktor terampil dalam
berbicara ini penting oleh karena melibatkan aspek
persuasi sebagaimana dituliskan oleh Deddy Mulyana

40
Komunikasi Seni Pertunjukan

(2001: 135) bahwa persuasi gaya Aristotelian dicapai


oleh siapa anda (etos; keterpercayaan anda), argument
anda (logos; logika dalam pendapat anda), dan
dengan memainkan emosi khalayak (pathos; emosi
khalayak).
Dalam seni pertunjukan kita sering mengenal dan
merasakan adanya model komunikasi ini,
minimalnya kita merasakan ketika menonton
pertunjukan teater yang memiliki soliloque yang
panjang. Kita melihat bagaimana gaya seorang aktor
dengan keterampilan berbicara dan mempersuasikan
lingkungannya dalam sebuah drama monolog
misalnya. Hal demikian menggambarkan komunikasi
yang terjadi dalam seni pertunjukan merupakan
persuasi dari para aktor, yang sementara para
penonton pada dasarnya dianggap statis hanya
didudukan pada posisi sebagai pendengar atau
penonton belaka.
Pada m ode l A ris to te lian yang t idak
memasukan aspek non verbal sebagai sebuah respon
yang lazimnya ada pada setiap proses komunikasi
merupakan kelemahan model ini. Jika kita perhatikan,
dalam seni pertunjukan sudah dipastikan ada aspek
non verbal entah sebagai stimulus ataupun respon
balik secara tidak langsung dari yang melakukan
proses komunikasi. Dengan demikian, model ini
merupakan model yang paling sederhana dipandang
dari faktor komunikasi. Anggapan yang paling
ekstrim apabila model ini diterapkan dalam bentuk
seni pertunjukan, seperti halnya kita
mempertunjukkan kemasan seni pertunjukan pada
para penonton yang niatannya hanya untuk rileksasi;
pertunjukan berjalan sendiri dan penonton pun asyik
dengan sendirinya, dialog-dialog dalam pertunjukan

41
Komunikasi Seni Pertunjukan

meluncur begitu saja dan penonton pun asyik


bercengkerama.

Model Lasswell

Who
Says What
In Which Chanel
To Whom
With What Effect ?

“Siapa mengatakan apa, saluran atau media yang


mana , pada siapa , dan apa pengaruhnya”,
merupakan model Lasswell sebagai model
komunikasi massa. Ia berpendapat bahwa
komunikasi terjadi tidak selalu dua arah, adakalanya
komunikasi satu arah perlu juga diterapkan dalam
masyarakat. Model komunikasi ini biasa dilakukan
dalam hajat hidup masyarakat komunal yang lebih
mengutamakan efek komunikasi (effect) daripada
makna (meaning). Lebih jauh, komunikasi model
Lasswell ini lebih mementingkan fungsi daripada arti.
Untuk itu, model ini biasa dipakai oleh politikus,
pendidik, propagandis dan sebagainya.
Berkaitan dengan seni pertunjukan, model ini akan
sangat tepat jika diterapkan pada pertunjukan
pesanan yang berbau politis dan propagandis atau
pertunjukan-pertunjukan rakyat yang lebih
mengedepankan fungsi diadakannya pertunjukan
untuk kepentingan masyarakat secara massal.
Pertunjukan-pertunjukan tersebut bisa berupa tarian,

42
Komunikasi Seni Pertunjukan

musik/karawitan, dan drama/teater, misalnya


pertunjukan musik dalam rangka kampanye politik
atau pertunjukan oratorium yang didasarkan atas
pesanan suatu instansi dalam suatu perayaan tertentu.
Pada sebuah pertunjukan yang disajikan untuk
kepentingan ideologi, membangun suatu paham
politis; marxis, orde baru dan lain-lain dapat kiranya
diterapkan model komunikasi Lasswell. Pada
kemasan seni pertunjukan tari yang khususnya untuk
me me nuhi u ndangan s uatu n eg ara dalam
kepentingan diplomasi budaya, model ini dapat
digunakan sebagai penyampaian informasi atas
kekayaan seni dan keindahan seni suatu negara
pengirim (kontingen).
Pada seni pertunjukan rakyat didapatkan satu pola
yang cenderung mengikuti model ini, misalnya
pertunjukan rakyat yang sudah menjadi tradisi
masyarakatnya dalam rangka selamatan atau
penolakan bala di suatu tempat. Namun demikian,
pengaruh-pengaruh yang dibangun dari bentuk
komunikasi ini harus pula diketahui dan dipahami
oleh segenap penontonnya sebab biasa dikemas secara
simbolik. Oleh karena sifat seni pertunjukan yang
simbolik, maka model ini tidak mampu menjangkau
ranah simbolik yang disajikan.
Intinya, komunikasi seni pertunjukan dalam
model Lasswell tidak mempersoalkan makna dari
setiap elemen yang menjadi bagian atau unsur
pertunjukan, tetapi lebih pada bagaimana suatu
kemasan utuh pertunjukan dapat memberikan
pengaruh pada masyarakat lingkungannya. Dengan
demikian model komunikasi seperti ini biasanya
difungsikan dalam kaitannya dengan pengawasan
lingkungan, korelasi berbagai bagian terpisah dalam

43
Komunikasi Seni Pertunjukan

masyarakat yang merespon lingkungan, dan


transmisi warisan sosial dari suatu generasi ke
generasi berikutnya.
Model ini sangat menyederhanakan proses
komunikasi, terutama dalam komunikasi seni
pertunjukan. Jika komunikasi seni pertunjukan
diterapkan dalam model semacam ini, maka seorang
kreator atau penyelenggara pertunjukan yang
berkepentingan sangat berharap akan hadirnya
penonton. Dengan model ini pula, pertunjukan akan
sangat artificial karena pesan yang dihadirkan harus
bertujuan sesuai mandat atau niatan awal
diadakannya suatu pertunjukan yang sifatnya praktis.

Model Scrhamm

Wilbur Scrhamm adalah seorang yang telah


beberapa kali membuat model komunikasi
antarmanusia, namun pada intinya ia menegaskan
bahwa harus ada 3 unsur dalam komunikasi, yakni
sumber (Source ), pesan (Message), dan sasaran
(Destination). Jika model ini diterapkan dalam
komunikasi seni pertunjukan maka bagian-bagian
model dapat kita interpretasikan, misalnya encoder

44
Komunikasi Seni Pertunjukan

adalah pelaku seni, decoder adalah penikmat seni, dan


massage adalah pertunjukannya. Permasalahannya
pada model ini bagi seni pertunjukan yang sangat
terikat oleh ruang, waktu dan peristiwa tidak
memungkinkan seni pertunjukan diwadahi oleh
model Scrhamm. Model Scrhamm cenderung
menekankan pada komunikasi sebagai interaksi
dengan kedua pihak yang harus terdapat umpan balik
dan “lingkaran” berkelanjutan. Menurutnya bahwa
semakin besar signal maka semakin baik proses
komunikasi dan untuk menuntaskan komunikasi
maka suatu pesan harus disandi balik. Artinya, dalam
model ini mengindikasikan bahwa dalam seni
pertunjukan, komunikasi tidak pernah tuntas karena
tidak ada penyandian balik ketika pertunjukan
berlangsung. Seni pertunjukan yang dibatasi oleh
waktu tidak akan mampu bagi pelaku seni untuk
menyandi balik interpretasi penontonnya.
Dengan kata lain, pertunjukan hanya terjadi satu
kali dalam ruang, waktu dan peristiwanya. Begitupun
komunikasi pada dasarnya terjadi hanya satu kali
ketika kita ada pada waktu, ruang, dan peristiwa yang
satu. Contoh dari pernyataan tersebut misalnya;
ketika pertama kali kita menonton sajian lakon
Oedipus karya Sophokles kita mendapatkan
pengalaman dan interpretasi tersendiri pertama
kalinya, namun di saat kedua kita menonton
pertunjukan yang sama maka pengalaman kita akan
berubah dan interpretasi kita pun akan berubah tidak
seperti pengalaman pertama kali menonton
pertunjukan tersebut. Hal demikianlah yang
kemudian tidak dapat sepenuhnya model komunikasi
Scrhamm diadopsi sebagai salah salah model dalam
komunikasi seni pertunjukan.

45
Komunikasi Seni Pertunjukan

Model Berlo

Model Berlo cukup dikenal luas oleh masyarakat


komunikasi dengan sebutan SMCR yang berarti
kepanjangan dari source (sumber), massage (pesan),
channel (saluran), dan receiver (penerima). John W.
Keltner mengatakan bahwa model SMCR ini
menekankan pada sumber dan penerima pesan yang
dipengaruhi oleh faktor keterampilan komunikasi,
sikap, pengetahuan, sistem sosial, dan budaya
(Keltner dalam Mulyana, 2001: 150). Model ini dapat
diterapkan dalam berbagai bentuk komunikasi
termasuk juga pada komunikasi seni pertunjukan
(tari, teater/drama, dan musik/karawitan). Hal ini
memungkinkan karena setiap pertunjukan akan dapat
memberikan cukup informasi atau pesan jika
pertunjukan yang dipergelarkan berada satu wilayah
keterampilan komunikasi, sikap, pengetahuan, sistem
sosial dan budaya dalam satu kesatuan. Dengan
sebuah saluran panca indera maka pesan pertunjukan

46
Komunikasi Seni Pertunjukan

akan dapat dikembangkan dan dit angkap


berdasarkan elemen, stuktur, isi, perlakuan dan kode
yang ada dalam pertunjukan tersebut. Akan tetapi
kelemahan dalam model ini tidak mencantumkan
umpan balik dan tidak menganggap penting aspek
non verbal masyarakat penikmat seni atau penonton
sebagai penerima (receiver).

Model Gudykunst & Kim

Model ini disebut juga komunikasi antarbudaya


yang berlainan, namun dua sosok yang berlainan
tersebut merupakan komunikan/komunikator yang
setara dalam komunikasi. Keduanya masing-masing
sebagai pengirim dan sekaligus penerima, atau kedua-
duanya sekaligus melakukan penyandian balik.
Penekanan dalam komunikasi model ini didasarkan
pada penyandian pesan yang dipengaruhi oleh faktor-
faktor budaya, sosio-budaya, psiko-budaya, dan
faktor lingkungan.
Setiap proses komunikasi tidak akan tertutup, tapi
dipengaruhi oleh hal-hal lain, maka kaitan model ini

47
Komunikasi Seni Pertunjukan

dengan seni pertunjukan lebih pada pertunjukan-


pertunjukan yang bersifat interkultural baik pada tari,
musik maupun teater. Pada pertunjukan interkultural
sangat mementingkan presentasi simbol-simbol
budaya yang berlaku pada para pelaku seni. Untuk
mengetahui bagaimana simbol-simbol budaya
tersebut dapat dikomunikasikan lewat sebuah
pertunjukan tergantung pada unsur-unsur budaya
yang mereka miliki. Larry A. Samovar dan Richard E.
Porter mengemukakan enam unsur budaya yang
mempengaruhi persepsi masyarakat untuk tetap
berkomunikasi dengan seseorang (kreator, seniman)
termasuk juga hasil karyanya agar komunikasi tetap
terjaga, yakni: (1) kepercayaan (belief), nilai (values),
dan sikap (attitudes); (2) pandangan dunia (worldview);
(3) Organisasi sosial/kelompok (social organizations);
(4) sifat manusia (human nature); (5) orientasi kegiatan
(activity orientation); dan (6) persepsi tentang diri dan
orang lain (perception of self and other). Dari keenam
unsur budaya ini sangat disarankan untuk dipahami
oleh kreator/seniman dengan sifat adaptif agar
media pertunjukan yang mereka wujudkan dapat
selalu berkomunikasi dengan masyarakat dimana
pertunjukan itu ditampilkan.

Model Interaksional
Model komunikasi interaksional merupakan
model komunikasi yang sangat menghargai
kebebasan manusia. Sosok yang menampilkan model
komunikasi ini Herbert Blumer, yang dalam teorinya
menjelaskan 3 dasar penting dalam manusia: 1)
Manusia bertindak berdasarkan makna yang
diberikan individu terhadap lingkungannya; 2)
Makna itu berhubungan langsung dengan interaksi

48
Komunikasi Seni Pertunjukan

sosial individu dengan lingkungan sosialnya; dan 3)


Makna diciptakan, dipertahankan dan diubah lewat
proses penafsiran yang dilakukan oleh individu
dalam berhubungan dengan lingkungan sosialnya.

Komunikasi interaksional ditunjukkan oleh


gambar model komunikasi simbolik (komunikasi
interaksional) di atas, bahwa peserta komunikasi
adalah orang-orang yang mengembangkan sisi-sisi
manusiawinya lewat suatu interaksi dengan orang
lain. Posisi manusia yang bebas dalam kedudukannya
sebagai peserta komunikasi dianggap sebagai orang
yang aktif, kreatif, dan reflektif menafsirkan dirinya
lewat proses interaksi. Model interaksional dalam
komunikasi seni pertunjukan melihat peluang yang
signifikan pada bagaimana pertunjukan yang oleh
para pelakunya diwujudkan, baik dalam bentuk tari,
musik/karawitan maupun teater atau drama.
Seiring dengan kebebasan berekspresi manusia,
seni pertunjukan sudah saatnya mengacuh pada
bentuk komunikasi interaksional yang lebih
menghargai manusia sebagai mahluk hidup yang
berpikir dan memiliki kebudayaan. Pertunjukan yang

49
Komunikasi Seni Pertunjukan

dipergelarkan dengan memahami model komunikasi


seperti ini akan lebih dapat mencerahkan masyarakat
lingkungannya, tidak saja mementingkan fungsi seni
pertunjukan namun dapat mengeksplorasi makna di
balik simbol-simbol budaya yang ada dalam
pertunjukan.

50

Anda mungkin juga menyukai