Anda di halaman 1dari 26

Ba g i a n 5

KEHIDUPAN MASYARAKAT
DAN SENI BUDAYA CIREBON

Heterogenitas Masyarakat Cirebon


Pada tahun 1270 ada daerah yang terkenal dengan nama
Ma'ana. Pemimpin daerah itu bernama Ki Ageng Alang-
alang. Ia tinggal di desa Lemah Wungkuk. Karena produksi
terasi sebagai sumber penghidupan masyarakat pada
zaman itu, selanjutnya Ma'ana terkenal dengan nama Cai
Rebon (cai = air dan rebon = anak udang). Sekarang dikenal
dengan sebutan Cirebon dan pada waktu dulu, penduduk
asli menyebutnya dengan Gerage (Marhun, 1991: 171).

Wilayah Cirebon yang dahulu masih kecil dikenal


juga dengan nama Caruban, karena masyarakatnya
yang sangat beragam (caruban = campuran). Daerah
yang awalnya merupakan pemukiman kecil
berkembang menjadi desa yang ramai dikunjungi
banyak orang dari berbagai bangsa, agama, bahasa,
adat istiadat dan kemampuan hidup (Abdurachman,
1982:32). Dalam Sebuah wawancara di ceritakan
tentang sejarah Cirebon, bahwa:
Pada masa Ki Gedeng Alang-alang menjadi tetua wilayah
pedukuhan Cirebon, datanglah beberapa orang asing yang
berlabuh di pantai Muara Jati… Pada tahun 1415 telah
berlabuh di Muara Jati, armada Cina yang dipimpin oleh
Laksamana Te Ho dan Kun Wei Ping beserta para awak
kapalnya. Pada tahun 1418 datang seorang ulama, Syeh

67
Komunikasi Seni Pertunjukan

Hasanudin bin Yusuf Sidik bersama perahu dagang dari


negeri Campa. Kemudian sekitar tahun 1420 datang pula
rombongan orang asing lainnya yaitu ulama Arab dari
Bagdad berjumlah dua belas yang dipimpin langsung oleh
Syeh Datuk Kahfi (Wawancara dengan Kartani,
Budayawan, Cirebon, 12 Agustus 2003).

Dari keterangan awal terbentuknya daerah


Cirebon di atas menunjukkan bahwa daerah Cirebon
memiliki komunitas masyarakat yang heterogen.
Beragamnya masyarakat Cirebon dewasa ini sangat
mungkin diakibatkan dari latar historis yang dimiliki
daerah tersebut. Masyarakat Cirebon terdiri dari
banyak suku bangsa seperti Arab, Cina, India, Sunda,
Jawa dan bahkan dewasa ini banyak berdatangan
masyarakat Indonesia dari luar pulau Jawa. Akan
dapat kita lihat warna keberagaman masyarakat
Cirebon saat ini di pusat-pusat kota, baik kecamatan
maupun kabupaten, di pusat-pusat keramaian atau
pusat perbelanjaan. Umumnya mereka sebagai
wiraswasta, pedagang dan pengusaha, sementara
masyarakat Cirebon yang tinggal di daerah pedesaan
memiliki profesi sebagai petani atau pengrajin serta
pedagang kecil. Bahkan dewasa ini di daerah Cirebon
banyak tumbuh dan berkembang industri-industri
yang menjadikan kehidupan berbudaya sangat
beragam dan semakin kompleks. Kompleksitas
kehidupan sosial budaya akibat pembauran antara
masyarakat pedesaan dan perkotaan dan juga dengan
masyarakat pendatang lainnya merupakan suatu
kelebihan masyarakat Cirebon dan sekaligus
memunculkan aspek-aspek yang bisa saja mengarah
pada menghilangnya kesatuan budaya komunal
masyarakatnya.

68
Komunikasi Seni Pertunjukan

Secara kultural, daerah Cirebon didasarkan pada


budaya masyarakatnya dapat dibagi menjadi tiga
bagian wilayah budaya, di antaranya meliputi
wilayah bagian Utara, Tengah dan Selatan. Pembagian
ini didasarkan pada jalur transportasi utama dan letak
wilayah kantung-kantung budaya. Alasan lain dari
pembagian wilayah budaya masyarakat tersebut,
didasarkan pada bahasa; wilayah Utara adalah
wilayah masyarakat yang berbasis bahasa daerah
Jawa Cirebon, wilayah Tengah adalah wilayah daerah
perkotaan (kota kecamatan, kabupaten dan
kotamadya) yang terdiri atas masyarakat campuran
dengan basis bahasa Jawa-Sunda Cirebon (campuran),
dan wilayah Selatan adalah masyarakat yang
memiliki basis bahasa Sunda.
Wilayah Utara adalah wilayah yang
masyarakatnya cukup banyak menyimpan sumber
daya kultural. Wilayah ini merupakan lingkungan
masyarakat yang masih banyak menaruh minat
terhadap seni budaya sebagai media ekspresi dalam
kehidupan sosial-budaya. Tidak sedikit dari wilayah
ini be rmunculan k elompok-ke lompo k seni
pertunjukan sebagai salah satu bagian dari unsur
kebudayaan, misalnya di daerah Gegesik, Palimanan,
Bojong, Cangkring, Kapetakan dan Gebang.
Sementara di wilayah bagian Tengah adalah wilayah
yang masyarakatnya terdiri atas kalangan menengah
dan beberapa kalangan atas yang di beberapa bagian
wilayahnya sudah terimbas kehidupan kota.
Masyarakat wilayah ini memiliki selera yang berbeda
akan seni budaya sebagai produk kebudayaan juga
dalam kehidupan sosialnya. Sekalipun
masyarakatnya masih banyak menaruh minat
terhadap seni budaya tradisi sebagai media ekspresi

69
Komunikasi Seni Pertunjukan

dan relaksasi, namun untuk memenuhi selera mereka


lebih suka mengangkat seni budaya yang tergolong
modern. Namun demikian bukan berarti pada
kelompok ini tidak memiliki kelompok seni budaya
tradisi. Dan yang ketiga, wilayah Selatan adalah
wilayah masyarakat yang memiliki komunitas seni
budaya tersendiri yang lebih dominan. Wilayah ini
merupakan wilayah yang masyarakatnya dalam segi
bahasa keseharian menggunakan bahasa Sunda dan
biasa disebut daerah Pakidulan. Masyarakat wilayah
bagian selatan ini umumnya bermata pencaharian
sebagai petani dan hanya beberapa dari mereka
menjadi pegawai, buruh atau karyawan (Wawancara
dengan TD. Sudjana, Budayawan Keraton Cirebon, 13
Agustus 2003).
Heterogenitas masyarakat Cirebon salah satunya
juga tercermin dalam bahasa karena keberagaman
masyarakatnya. Sebagai gambaran, hampir di setiap
daerah di wilayah Cirebon masyarakatnya memiliki
logat bahasa Cirebon yang berbeda, sementara itu
beberapa kecamatan Cirebon pun kadang-kadang
berbeda pula bahasanya, misalnya Jawa Cirebon dan
Sunda seperti halnya masyarakat kecamatan
Palimanan, Babakan Ciledug, Gebang, Ciwaringin
dan seterusnya. Dan yang lebih kompleks lagi dari
posisi bahasa adalah masyarakat yang berada di pusat
kota Cirebon, mereka dari berbagai suku bangsa
berbaur, ada yang memakai bahasa asli sukunya, ada
pula yang berbahasa Cirebon namun dicampur-
campur dengan bahasa asli mereka, serta bahasa
nasional sebagai bahasa keseharian.
Dari aspek religius, masyarakat Cirebon menganut
beragam kepercayaan seperti Hindu-Budha, Kristen
dan mayoritas pemeluk Islam. Oleh karena Cirebon

70
Komunikasi Seni Pertunjukan

dibangun dengan semangat sinkretisme oleh para


pendahulunya, maka dalam aktifitas religius pun
masyarakat Cirebon memiliki keberagaman kegiatan
religius. Masyarakat Cirebon bagian luar (bagian
utara) yang mendiami wilayah budaya pesisiran
memiliki aktifitas religius dengan mengadakan pesta
laut (nadran). Masyarakat Cirebon yang mendiami
wilayah tengah dengan wilayah budaya campuran
(pesisiran dan persawahan) memiliki aktifitas religius
yang dikenal dengan ngunjung buyut (selametan
leluhur di area pekuburan). Sementara masyarakat
yang mendiami wilayah budaya antara masyarakat
persawahan dan ladang (terutama bagian selatan
Cirebon) memiliki aktifitas religius yang dikenal
dengan upacara kesuburan, upacara yang berkaitan
dengan padi dan tanaman sejenisnya. Beberapa
aktifitas religius lain yang menjadi semacam peristiwa
budaya dan memiliki kekuatan dan nilai tersendiri
bagi masyarakat Cirebon, misalnya muludan di
Keraton Kasepuhan dan beberapa tempat lainnya di
daerah Cirebon, syawalan di Astana Gunung Jati,
memayu dan ganti sirap di daerah Trusmi, pesta buyut
Karang Mas di Pecung Jamblang, pesta buyut Serang,
ngunjung buyut Gegesik, ngunjung buyut Pekantingan
Klangenan, ngunjung buyut Kebagusan, dan lain-lain.
Kegiatan seperti ini biasa dilakukan oleh masyarakat
Cirebon yang tentunya dihadiri oleh beragam
masyarakat pendukungnya, baik dari dalam Cirebon
maupun dari luar Cirebon.
Keberagaman lain yang dimiliki oleh masyarakat
wilayah Cirebon seperti diungkapkan oleh seorang
tokoh yang mengatakan bahwa:
“Cirebon memiliki kreatifitas seni yang tinggi, dari mulai
seni sastra, lukis, kriya, tari, musik/suara, drama hingga

71
Komunikasi Seni Pertunjukan

seni pertunjukan rakyat lainnya. Kepemilikan di bidang


seni ini merupakan kekuatan tersendiri bagi masyarakat
Cirebon untuk tetap eksis di jalur seni budaya dan menjaga
gerbang kebudayaan. Kesenian daerah Cirebon harus
diakui sebagai inspirator kesenian-kesenian lain di Jawa
Barat dengan kekhasan dan bobot nilai estetiknya yang
tinggi” (Wawancara dengan Rd. Muchtar, Cirebon, 25
Maret 2002).

Tidak dipungkiri bahwa salah satu dari kesenian


yang sangat ekspansif mempengaruhi kehidupan seni
di Jawa Barat adalah topeng Cirebon, yang
mempengaruhi beberapa seni tari di Jawa Barat
khususnya tari topeng. Tari topeng Cirebon juga
sudah dijajahkan kemana-mana, dari skala lokal,
nasional hingga internasional.
He te rogenitas kehidupan sosial budaya
masyarakat Cirebon di atas mencerminkan betapa
dinamisnya kehidupan masyarakat Cirebon dengan
akselerasi yang sangat tinggi, dan hal ini dibuktikan
dengan pengembangan sarana fisik dan non fisik
wilayah itu dari aspek sosial, budaya, ekonomi,
teknologi dan lain-lain.
Wilayah Cirebon merupakan daerah yang cukup strategis
sebagai wilayah perbatasan propinsi antara Jawa Barat dan
Jawa Tengah. Cirebon merupakan jalur utama transportasi
yang menghubungkan pusat ibu kota negara dengan
daerah lain di bagian timur Jawa Barat, yang sekaligus
sebagai wilayah transit antar wilayah (Wawancara
dengan Salana, Budayawan Cirebon, 4 April1999).

Melihat hal tersebut, dapat kita pahami bahwa


karakteristik wilayah Cirebon merupakan wilayah
budaya yang mudah dimasuki atau dipengaruhi oleh
arus budaya luar dan konsekuensi logisnya adalah

72
Komunikasi Seni Pertunjukan

rentan terhadap arus perubahan dalam tatanan


kehidupan sosial-budaya masyarakatnya. Budaya
modern dan arus globalisasi misalnya, mulai terasa
pada kehidupan masyarakat Cirebon. Pola kehidupan
sosial-budaya masyarakat Cirebon mulai
terkontaminasi oleh sebuah pola budaya dan
kehidupan masyarakat modern. Bahkan para
budayawan Cirebon mengatakan, bahwa:
“Akan celaka apabila modernisasi oleh masyarakat Cirebon
diartikan dan ditafsirkan sepihak dengan mengacu pada
pola kehidupan Ibukota Jakarta atau westernisasi yang
semakin hari semakin kisruh dengan pola-pola yang dibawa
masyarakatnya yang pada gilirannya banyak
menimbulkan masalah-masalah, baik sosial, politik,
ekonomi, budaya maupun hankam” (Wawancara dengan
Askadi, dan TD. Sudjana, Budayawan Cirebon, 14
Desember 2003).

Sekalipun demikian, keragaman potensi dan


masalah sosial pada akhirnya menjadi ciri tersendiri
masyarakat Cirebon karena didasari oleh bangunan
yang secara historis penuh keberagaman, baik
masyarakat, budaya, latar belakang sosial maupun
nilai-nilai kepercayaan yang dianut. Ada masyarakat
yang masih menganut dan mendukung nilai-nilai
lama kebudayaannya, dan ada pula masyarakat yang
sudah me lupakan nilai-nilai te rsebut dan
mengubahnya dengan pola budaya dan kehidupan
kekinian di lingkungan masyarakatnya.
Heterogenitas menjadikan masyarakat memilih
sendiri apa yang mereka yakini dalam pola kehidupan
s o s i a l d an b u d a y a . H a l d e m i k i a n s a n g a t
mempengaruhi kebiasaan aktifitas, kreatifitas,
kepercayaan dan nilai-nilai yang diembannya dalam
wacana kehidupan sosial budaya.

73
Komunikasi Seni Pertunjukan

Kerinduan Menumbuhkan Kembali Local Genius


Fakta nyata masyarakat Cirebon adalah
masyarakat yang secara sosial budaya tengah
mengalami transisi dengan adanya perubahan sosial
budaya, dari masyarakat tradisional ke masyarakat
modern. Perubahan kebudayaan dan perubahan
sosial sulit dipisahkan, walaupun di sisi lain ada
perbedaan. Misalnya perubahan sosial hanya
menyangkut struktur sosial dan hubungan sosial,
sedangkan perubahan kebudayaan mengacu pada
perubahan pola-pola perilaku, termasuk teknologi
dan dimensi keilmuan, baik material maupun
nonmaterial.
Dimensi perubahan sosial ada tiga macam, yakni dimensi
struktural, dimensi kultural dan dimensi interaksional.
Dimensi struktural mengacu pada perubahan dalam
bentuk struktur masyarakat, menyangkut perubahan
dalam peranan, munculnya peranan baru, perubahan
dalam struktur kelas sosial dan perubahan dalam lembaga
sosial. Dimensi kultural mengacu pada perubahan
kebudayaan dalam masyarakat, seperti; adanya penemuan
baru (discovery), pembaharuan hasil (invention), kontak
dengan kebudayaan lain sehingga menyebabkan difusi dan
peminzaman kebudayaan. Dimensi interaksional mengacu
ada perubahan hubungan sosial di dalam masyarakat, yang
diidentifikasikan dalam lima dimensi. Seperti frekuensi,
jarak sosial, peralatan, keteraturan dan perundang-
undangan. (Himes dan Moore dalam Sulaiman, 1998:
115-120).

Pengaruh dari perubahan di atas sangat besar


dampaknya bagi masyarakat secara sosial budaya.
Terlebih lagi dalam dinamika modernitas yang pada
wujudnya banyak didatangkan hasil-hasil teknologi
dalam segala bidang, masuknya sistem ekonomi

74
Komunikasi Seni Pertunjukan

kapitalis, masuknya unsur budaya luar, gaya hidup


dan sebagainya, yang langsung dirasakan oleh
masyarakat Cirebon yang masih diliputi suasana
kebudayaan tradisional. Pengaruh-pengaruh tersebut
sangat besar terhadap kelembagaan sosial di daerah
Cirebon, terutama pada lingkungan pedesaan sebagai
lingkungan mayoritas yang ada di wilayah ini.
Demikian pula pada lembaga seperti keluarga;
kehidupan keluarga dikuasai atau dikendalikan oleh
produk teknologi. Maka struktur ekonomi pun
bergeser ke arah komersial setelah masuknya
teknologi ke desa-desa, hal ini ditunjukkan dengan
mulai bergesernya usaha tani dari skala kecil ke skala
besar. Bersamaan dengan itu juga, keluarga petani
juga mulai bergeser dari struktur tradisional ke
keluarga struktur kota. Tidak jarang anak-anak dari
keluarga tradisional (petani) beralih profesi, yang
dulu mereka membantu orang tuanya menggarap
sawah, kini beralih profesi sebagai buruh/karyawan
perusahaan rotan atau bekerja di pusat kota Cirebon
sebagai karyawan Dept. Store.
Implikasinya pada kehidupan sosial budaya
menimbulkan perubahan cita rasa dan nilai
kehidupan masyarakatnya. Jika saja kita arif, akan
lebih baik bila masyarakat Cirebon mengartikan
modern itu secara benar, tetapi masyarakat desa yang
tradisional dengan tingkat pendidikan yang rendah
tak jarang mengartikan modern sebagai tampilan fisik,
modern sebagai gaya hidup kota dengan gemerlapnya
penampilan secara fisikal.
Banyak berbagai hal yang harus dikorbankan demi
modernisasi dan sempat menimbulkan kecurigaan.
Contoh kecil dari kecurigaan tersebut, beberapa
masyarakat berprasangka dengan tumbuh suburnya

75
Komunikasi Seni Pertunjukan

industri rotan di kabupaten Cirebon. Mereka


mengecam dengan mengartikan kata “rotan” menjadi
bentuk simbolik yang diartikan sebagai sorotan setan.
Pemaknaan itu dikarenakan industri rotan banyak
mengambil tenaga kerja di bawah umur atau anak-
anak usia sekolah, yang setelah mereka bekerja di
industri rotan tersebut menunjukkan pola hidup yang
b e r b e d a da r i n i la i- n il a i m as y a r ak at y a n g
dipercayainya; gaya hidup, perilaku, dan kebiasaan
anak-anak tersebut cenderung mengarah pada gaya
hidup masyarakat perkotaan. Kecurigaan juga
muncul dengan banyak berkembangnya kesenian
baru yang diartikan secara modern, misalnya disindir
oleh budayawan Cirebon, bahwa:
Kehadiran dangdut organ tunggal menggeser kesenian
tradisi rakyat setempat yang mengakibatkan sempitnya
lahan bagi orang Cirebon untuk belajar tentang Cirebon itu
sendiri. Kehadirannya banyak membuat ulah, keributan
sosial seperti (tawuran), keributan rumah tangga dan
sebagainya yang oleh orang Cirebon dikatakan lebih banyak
mudarat-nya daripada manfaatnya (Wawancara dengan
Kartani, Budayawan Cirebon, 15 September 2001).

Hal d e mik ian o le h t ok o h dan pe m ik ir


neomodernisme (Wong, Davis, Conyers, Cemea,
Chambers dan Erler), yang menamakan dirinya
sebagai pengkaji tentang modernisasi, butuh
pelurusan atas pengertian modern. Pendekatannya
bertitik tolak pada faktor internal berupa nilai
tradisional dan berbagai pranata sosial. Sudah saatnya
untuk meninggalkan keyakinan bahwa kebudayaan
dan gaya hidup tradisional (budaya lokal) sebagai
penghalang besar bagi pembangunan sosial ekonomi,
maupun budaya modern. Kebudayaan tradisional
justru terkait langsung dan menunjang proses sosial,

76
Komunikasi Seni Pertunjukan

ekonomis dan ekologis masyarakat secara mendasar


(Soelaiman, 1988: 159).
Bagi keberadaan masyarakat Cirebon, hal di atas
merupakan sinyal untuk membangkitkan kembali
kesadaran tentang local genius yang ada pada sumber
daya kultural dan natural. Local genius diartikan
sebagai kekayaan kebudayaan lokal dengan nilai-nilai
spesifik kelokalan, yang menjadi milik masyarakat
lingkungannya. Masyarakat Cirebon mulai sadar
dengan filosofinya, bahwa: “seenak-enake ndeke wong
sejen masih luwih enak ndeke dewek” (sesuatu hal yang
paling enak milik orang lain akan lebih enak milik
sendiri). Membangkitkan kembali local genius
merupakan suatu cara untuk mensiasati perencanaan
strategis pembangunan secara fisik dan non fisik
aspek sosial budaya dengan menghindari sekecil
mungkin resiko kemanusiaan dalam pembangunan,
baik konservasi dan lingkungan alam, pembangunan
perkampungan perkotaan dan infrastrukturnya,
pembangunan sumberdaya (air, pertambangan,
pertanian, perikanan dan kehutanan), pariwisata,
maupun pembangunan sosial (pendidikan,
keagamaan, dan lain-lain). Pertimbangan ini tentu saja
didasarkan pada kekayaan sumber daya kultural dan
natural yang dimiliki oleh wilayah Cirebon dan
masyarakatnya, yang hingga kini masih belum
tersentuh secara keseluruhan.
Di samping pembangunan wilayah dengan
manajemen yang berbasiskan local genius, secara
budaya proses adaptasi harus pula diperhatikan.
Proses adaptasi itu sangat penting bagi para
pengambil kebijakan di daerah Cirebon khususnya
dan masyarakat pada umumnya dalam
perkembangan dan pertumbuhan aspek sosial budaya

77
Komunikasi Seni Pertunjukan

masyarakat terhadap budaya-budaya luar, dimana


akan terwujud pemeliharaan yang seimbang antara
pengatur dan yang diatur serta ada proses
transformasi di antara keduanya yang mutualistik.
Di era otonomi daerah (walaupun masih setengah-
setengah), di era global, dan di era perdagangan bebas
bagi wilayah Cirebon begitu terbuka untuk
mengembangkan diri dengan kekayaan kultural dan
naturalnya. Kekayaan tersebut harus digali dan
dikembangkan untuk bersaing di arena internasional.
Pemanfaatan wilayah-wilayah yang menjadi akses
informasi, tranformasi dan komunikasi
dikembangkan sedemikian rupa dengan lebih dulu
memperkuat kemampuan sumberdaya manusia
(human resources), baik mental maupun spiritual yang
berbasis pada local genius. Keyakinan ini bukan tidak
berdasar, tetapi dari kenyataan aspek sosial budaya,
terutama kebudayaan yang dimiliki masyarakat
Cirebon cukup mendukung. Secara geografis wilayah
Cirebon cukup potensial untuk dimajukembangkan,
baik secara kultural maupun natural, tinggal
bagaimana pemerintah dan masyarakat
memberdayakan kekuatan lokal tersebut.

Masyarakat dan Seni Pertunjukan


dalam Konteks Kebutuhan
Cirebon secara geografis sangat memungkinkan
terjadi keluar masuknya masyarakat dengan beragam
budaya, baik sebagai pendatang yang tak tetap
maupun sebagai pendatang yang menetap. Hal ini
mengakibatkan akselerasi kebudayaan masyarakat
Cirebon semakin dinamis, khususnya dalam
kehidupan berkesenian. Dinamisasi kehidupan
kesenian di wilayah ini menunjukkan betapa

78
Komunikasi Seni Pertunjukan

kebutuhan akan hal tersebut tak terpisahkan dari


kehidupan masyarakatnya. Uraian berikut ini
menggambarkan kebutuhan masyarakat akan seni
pertunjukan, baik dari masyarakat penikmat seni
maupun pelaku seni pertunjukan.
Cukup banyak potensi seni yang dimiliki
masyarakat Cirebon yang meliputi beberapa
kelompok, diantaranya kelompok kesenian
karawitan, teater, pedalangan, musik modern, seni
tari, pertunjukan sastra Cirebon, dan seni pertunjukan
rakyat.
Biasanya masing-masing kelompok kesenian dikategorikan
dalam dua penyebutan kelompok seni, yaitu kelompok
kesenian jaba dan jero. Kelompok kesenian jaba diartikan
sebagai kesenian yang datang dari luar masyarakat Cirebon
yang berbahasa Jawa Cirebon (kesenian yang bahasa
pengantarnya bahasa Sunda), sedangkan kesenian jero
adalah kesenian yang dimiliki oleh masyarakat Cirebon
yang berbahasa Jawa Cirebon (Wawancara dengan
Kartani, Cirebon, 24 Mei 2004).

Kesenian khas masyarakat daerah Cirebon atau


kesenian jero (dalam) berdasarkan data yang ada di
Depdiknas kabupaten Cirebon di antaranya:
karawitan Cirebon, gong renteng, genjring pengiring,
terbangan, brahi, gembyung, sandiwara Cirebon,
wayang kulit, wayang cepak, wayang wong, wayang
catur, tarling, topeng Cirebon, tari baksa, tari klasik
Cirebon, tayuban, angklung Bungko, rudat, genjring
akrobat, sintren atau lais, ronggeng umbul, reog
Cirebon, genjring burok, berokan, ronggeng Bugis,
sampyong, jaran lumping. Sedangkan kesenian
masyarakat Cirebon yang termasuk dalam kategori
kesenian jaba (luar) di antaranya: wayang golek,
degung, kliningan, calung, tanjidor (pejidur), arumba,

79
Komunikasi Seni Pertunjukan

jaipongan, klasik Sunda, longser, kuda kepang,


sitardog, dan debus (Depdikbud Cirebon, 1992/1993).
Hal tersebut menunjukkan bahwa seni
pertunjukan di daerah Cirebon secara jumlah cukup
signifikan. Namun akhir-akhir ini, masyarakat
Cirebon menunjukkan adanya fenomena peralihan
rasa, selera dan daya cipta seni pertunjukan daerah
tersebut yang diilhami oleh budaya-budaya di luar
lingkungannya. Contoh kecil, pada saat ini banyak
menjamur pertunjukan-pertunjukan yang
dikonsumsi oleh masyarakat dari hasil perkenalan
mereka dengan teknologi di bidang organologi musik
modern. Seperti dituturkan Umar Karsiyan, bahwa:
“penurunan volume pemanggungan seni pertunjukan
rakyat diakibatkan dari munculnya tontonan baru yang
banyak digemari masyarakat, misalnya organ tunggal.
Persaingan tontonan di masyarakat Cirebon semakin
meningkat dengan munculnya kesenian baru tersebut.
Kemunculan organ tunggal ini sekaligus juga menambah
berkurangnya volume pemanggungan jenis kesenian
rakyat dan terutama kelompok sandiwara, yang setiap
tahunnya berkurang hingga menjadi rata-rata 25 20 kali
pemanggungan dalam setahun (Wawancara dengan
Umar Karsiyan, Pimpinan Sandiwara, Cirebon, 26
September 2004).

Tumbuh suburnya kelompok-kelompok organ


tunggal, sebuah tontonan masyarakat sekarang (di
Cirebon) yang mendominasi hiburan masyarakat
yang tengah memangku hajat. Bentuknya berupa
sajian musik dangdut atau pop dengan
meminimalisasikan pelaku, misalnya hanya dengan
menghadirkan alat musik keyboard dan pemain serta
beberapa penyanyi. Bentuk kesenian baru inilah yang
mengakibatkan masyarakat menjauh dari seni

80
Komunikasi Seni Pertunjukan

pertunjukan tradisional yang dulu mereka


banggakan. Sebelum bentuk kesenian organ tunggal
itu muncul dan menenggelamkan bentuk-bentuk
kesenian tradisi rakyat Cirebon, muncul juga tontonan
dengan kekuatan teknologi yang menjadi pesaing
seni-seni rakyat tersebut, misalnya layar tancap, video
atau tontonan sejenis dengan menggunakan Laser Disc
(LD) yang dianggap sangat efektif dalam mengiringi
pesta hajat mereka.
Dinamisasi munculnya pertunjukan modern
membuat kompleksitas budaya dalam lingkungan
mereka berdesakan dengan tradisi-tradisi yang dulu
mereka bangga-banggakan. Masyarakat Cirebon telah
'berubah selera', walaupun di sisi lain masih ada
perhatian atas keberadaan seni budaya Cirebon,
khususnya dalam seni pertunjukan rakyat setempat.
Berkaitan dengan masyarakat dan seni pertunjukan
tersebut, Cirebon dinilai cukup pesat perkembangan
dan kemajuannya dilihat dari sisi budaya materil,
sedangkan dari sisi budaya spirituil dapat dikatakan
telah menurun. Budaya Materil adalah budaya
masyarakat dalam berkesenian yang berorientasi
pada keduniawian, seperti masalah ekonomi, politik,
sosial yang dapat dikatakan tidak berhubungan
dengan Yang Maha dan lebih bersifat hiburan semata,
walaupun di sisi lain ada kadar estetika namun sangat
sedikit sekali. Budaya Sprituil adalah budaya
masyarakat dalam berkesenian yang berorientasi
trandensius, mengacu pada hubungan manusia
dengan Tuhannya, dewa-dewa atau roh-roh
leluhurnya dan cukup memiliki filosofis keindahan.
Hal ini tentu saja terlihat dari kegiatan-kegiatan
kesenian yang bersifat ritual berubah menjadi psedou
ritual sedangkan sisi hiburan yang bersifat

81
Komunikasi Seni Pertunjukan

keduniawian semakin marak diselenggarakan.


Gejala kehidupan seni pertunjukan masyarakat
Cirebon merupakan juga sebuah gejala yang
berlabelkan gaya hidup modern dalam berkesenian.
Kondisi ini semakin komplek dengan munculnya
perangkat dan media komunikasi yang semakin
canggih, televisi serta alat-alat telekomunikasi dan
komputerisasi yang memainkan pertumbuhan gaya
hidup modern. Maka dapat kita bayangkan betapa
semakin chaos-nya perangkat dan struktur seni
pertunjukan rakyat yang ada di masyarakat Cirebon.
Dalam sebuah sajian seni pertunjukan tradisional di
tengah-tengah masyarakat Cirebon, apapun jenis dan
bentuk kesenian tersebut hampir semuanya
terkontaminasi oleh unsur modern, salah satunya
adalah musik dangdut. Kesenian dangdut sebagai
produk budaya masyarakat modern mewabah pada
struktur-struktur pertunjukan kesenian daerah
Cirebon, seperti wayang kulit purwa, sintren, tarling,
genjring akrobat, sandiwara, topeng Cirebon dan seni
pertunjukan lainnya.
Bagi masyarakat Cirebon, kehadiran seni
pertunjukan modern memunculkan kelompok-
kelompok yang pro dan kontra. Mereka yang
menerima kehadiran seni pertunjukan modern dan
merasakannya sebagai suatu hiburan beranggapan
bahwa seni apapun harus bersifat menghibur tanpa
perlu memikirkan dampaknya. Kesenian dijadikan
sebagai media yang sekejap dapat melepas masalah-
masalah sosial yang tengah membebaninya. Namun
bagi masyarakat yang berada pada kalangan orang-
orang yang peduli akan pentingnya sebuah tradisi
sangat merasakan bahwa kehadiran seni pertunjukan
dewasa ini sangat mengganggu equibrilium

82
Komunikasi Seni Pertunjukan

(keseimbangan), dimana sering munculnya


kekacauan sosial, seperti keributan di kalangan
penonton terutama penonton muda usia, terjadinya
penyimpangan konsumsi obatan-obatan dan juga
pesta minuman keras.
Berkembangnya bentuk kesenian baru tersebut
mengindikasikan adanya kebudayaan massa yang
semakin menguasai sentra-sentra seniman tradisi dan
masyarakat. Meminjam catatan Idi S. Ibrahim, mereka
semakin terbius oleh ectasy gaya hidup (Ibrahim, 1997:
32). Hal ini berkaitan erat dengan kondisi masyarakat
Cirebon seperti yang digambarkan sebelumnya dan
merupakan fenomena yang menyelimuti seni
pertunjukan rakyat Cirebon secara umum.
Namun demikian, masih ada para seniman dan
kreator seni pertunjukan rakyat Cirebon yang peduli
dengan konsistensi kesenian tradisi daerahnya.
Konsistensi seni pertunjukan rakyat Cirebon yang
dilakukan oleh para senimannya diaplikasikan
dengan tetap memelihara kesenian daerahnya sebagai
suatu media pertunjukan yang dibangun oleh rakyat
untuk kepentingan masyarakat dalam melakukan
amanat-amanat tradisi. Folkways masyarakat Cirebon
masih menginginkan seni pertunjukan miliknya
dipergunakan untuk melengkapi kegiatan-kegiatan
tradisinya seperti khitanan, upacara perkawinan, kaul
atau juga dalam upacara-upacara tradisi yang masih
diyakini seperti ngunjung buyut, nadran dan bentuk-
bentuk upacara syukuran lainnya.
Bagi masyarakat Cirebon, seni pertunjukan adalah
salah satu bagian yang dianggap penting dalam
menjaga keseimbangan kehidupan. Seni pertunjukan
dipercayai memiliki kegunaan-kegunaan yang
memiliki dampak positip bagi masyarakatnya,

83
Komunikasi Seni Pertunjukan

misalnya sebagai pendidikan, pengungkapan sejarah,


penerangan, syarat pelengkap upacara adat,
pengangkat derajat status sosial, dan juga oleh
senimannya diakui sebagai mata pencaharian, di
samping sebagai hobi atau kegemaran untuk
berekspresi dalam kehidupan berbudaya.
Seni pertunjukan telah menjadi kebutuhan
masyarakat dalam menjaga keseimbangan kosmos
sakral mereka. Rasa aman mereka dibangun dengan
tidak melanggar janji (nadzar) yang telah diniatkan
sebelumnya untuk menyertakan seni pertunjukan
dalam suasana suka cita atau sukses yang telah
diraihnya. Cinta kasih mereka sesama manusia,
kerabat, keluarga, dan tetangga dirayakan dengan
diiringi seni pertunjukan, yang sekaligus untuk
menjaga harkat, martabat, dan harga diri dalam
menjaga status sosial mereka. Aktualisasi diri mereka
muncul sebagai orang yang telah sanggup memenuhi
meta-kebutuhan (lihat Boeree, 2004: 288-289). Hal
demikianlah yang kemudian menjadikan seni
pertunjukan teater rakyat sandiwara Cirebon sebagai
kebutuhan masyarakatnya.

Pencapaian Aktualisasi Diri


Pelaku Seni Pertunjukan Rakyat
Kegiatan kreatif memiliki keinginan untuk
membentuk 'sesuatu', demikian Herbert Read
menyebutnya Will-to-form yang salah satunya
ditujukan pada sosok seniman yang memiliki daya
tersebut. Sebagian besar masyarakat memiliki will-to-
form, namun tidak semua bisa disebut sebagai
seniman. Akan berbeda jika pengertian seniman
tersebut tidak terbatas pada seniman yang biasa kita
kenal sekarang, tetapi lebih luas lagi bila meminjam

84
Komunikasi Seni Pertunjukan

istilah Sudjoko, seniman bisa disebut sebagai Empu,


Kipuh, Pandai, Ahli, Utas dan bisa jadi seorang tukang
(Sudjoko dalam Deliar Noer, 1986: 143).
Di Cirebon, sebutan untuk para pelaku sandiwara
pada umumnya oleh masyarakat Cirebon tidak
disebut seniman, akan tetapi mereka menyebutnya
dengan sebutan Tukang sandiwara, Pemaen sandiwara,
Wayang sandiwara atau Dalang sandiwara. Sebutan itu
disandang, dimana sebutan seniman atau bukan
seniman terasa tidak mengganggu kegiatan mereka
sebagai pelaku sandiwara Cirebon. Mereka akan tetap
menjadi pelaku sandiwara dengan sebutan apapun
dalam sebuah pertunjukan yang sudah menjadi
aktifitasnya (back stage). Hal ini berbeda dengan
pelaku seni modern atau barangkali pelaku seni
rakyat yang memiliki tarap pendidikan khusus secara
formal lumayan tinggi. Pelaku seni yang demikian
akan memakai sebutan yang layak bagi dirinya,
misalnya dengan sebutan “seniman”, karena hal itu
sebagai salah satu bentuk “penghargaan” bagi
manusia pelaku seni. Sebutan/julukan atau labeling
seseorang sebagai penghargaan menjadi penting
dalam kehidupan sosial masyarakat budaya
kolektivistik saat ini, misalnya sebutan kyai, ustad,
guru, petani dan lain-lain termasuk juga sebutan
seniman, berarti seseorang telah memiliki status di
mata lingkungan masyarakatnya, tidak mbambung
(tak tentu arah dan tak memiliki profesi). Namun
demikian tidak menjadi hal penting bagi pelaku
sandiwara Cirebon karena mereka tidak bertumpu
pada media sandiwara dalam mencari nafkah, tetapi
hal itu hanya sebagai aktifitas kedua setelah profesi
sebenarnya di masyarakat (second activity).
Mereka para pelaku sandiwara lebih akrab

85
Komunikasi Seni Pertunjukan

dikenal dengan sebutan Wayang sandiwara atau


Dalang sandiwara secara umum di lingkungan
masyarakat Cirebon. Sebutan wayang sandiwara
karena alasan mereka (masyarakat) bahwa sebagai
pelaku sandiwara ia bertindak seperti wayang yang
dimainkan oleh dalang, dijadikan peran/tokoh
dalam sebuah pentas, baik peran yang beraliran putih
maupun hitam. Maka pelaku sandiwara seperti itu,
menurut masyarakat Cirebon disebut wayang, yang
dalam sandiwara Cirebon biasa disebut anak wayang
sandiwara. Sedangkan sebutan dalang, karena para
pelaku sandiwara tersebut tidak saja memainkan
peranannya dalam pentas, akan tetapi dalam
penyampaian dialog, mereka berimprovisasi dengan
wawasan budaya mereka sendiri untuk dapat
menghadirkan aura peran yang dimainkan. Mereka
bertindak seperti layaknya seorang dalang wayang,
hanya saja gerakan yang ia pakai bukan dengan media
wayang, akan tetapi lebih pada tubuh sendiri,
mengolah gestur sendiri. Maka sudah sangat biasa,
dalam masyarakat Cirebon bahwa setiap pelaku
kesenian, khususnya seni pertunjukan rakyat, para
pelakunya disebut dengan nama dalang; ada dalang
wayang, dalang reog, dalang topeng, dalang genjring,
dalang sintren, dan dalang sandiwara.
Peran seseorang dalam sebuah pertunjukan
sandiwara sebagai bentuk pemberdayaan manusia
teater rakyat pada Sandiwara Cirebon, berkaitan
dengan keinginan seseorang untuk lebih dikenal dan
mewujudkan dirinya. Meminjam istilah Kurt
Goldstein yang dipersempit lagi oleh Abraham H.
Maslow, bahwa manusia memiliki kebutuhan yang
salah satunya kebutuhan manusia akan perwujudan
diri (Maslow, 1994: 56-57). Kebutuhan para pelaku

86
Komunikasi Seni Pertunjukan

Sandiwara Cirebon akan perwujudan diri itu dapat


memacu pelaku sandiwara tersebut untuk berbuat
sesuatu, belajar, mengeksplorasi, dan mencari sesuatu
untuk mendapatkan sebuah peran dalam
pertunjukan sandiwara, bahkan mereka menciptakan
sesuatu yang berhubungan dengan sebuah
pertunjukan sandiwara, seperti trik panggung,
penelitian skrip lakon, pemeranan, gaya yang khas
dan lain-lain. Hal itu disadari betul, bahwa
kebutuhan itu akan terwujud dengan tidak
mengabaikan cara-cara magis-spiritual (Magis-spiritual
sebuah cara yang ditempuh oleh pelaku sandiwara
dengan melakukan hal-hal seperti puasa, tapa brata
dan lain-lain), di samping cara-cara yang logis-material
(sebuah cara yang ditempuh oleh para pelaku
sandiwara dengan berlatih keras secara fisik pada hal-
hal yang menjadi perannya).
Pada sandiwara Cirebon setiap tokoh peran
memiliki tipe flat karakter yang monoton (hitam putih),
misalnya pelaku yang memiliki kecenderungan baik
dan tampilan fisik yang meyakinkan akan selalu
mendapat peran/tokoh atau wayang putih. Mereka
yang memiliki kecenderungan buruk atau tampilan
fisik yang kasar akan selalu menempati peran tokoh
wayang ireng (hitam) atau wayang jahat. Sedangkan
bagi mereka yang memiliki kecenderungan bodor/
jenaka akan menempati peran sebagai
pelawak/bodoran dan mereka yang memiliki
keahlian dalam melakukan trik-trik fighting akan
menempati peran sebagai wayang perang (pelaku
sandiwara yang khusus dimainkan dalam adegan-
adegan perang, pertarungan). Para pelaku sandiwara
Cirebon menyadari akan keterbatasan
kemampuannya sebagai pelaku pertunjukan

87
Komunikasi Seni Pertunjukan

sandiwara Cirebon, maka mereka akan terus menerus


mencoba berusaha untuk menjadi salah satu dari
pelaku sandiwara dengan sebutan 'terkenal', misalnya
sutradara terkenal, primadona terkenal, wayang
(tokoh) terkenal, bodor terkenal, sinden terkenal,
nayaga terkenal, ahli teknik panggung terkenal dan
lain-lain. Maka dengan terkenalnya seseorang, artinya
telah memenuhi kebutuhan akan perwujudan dirinya
dalam lingkup panggung sandiwara. Seorang pelaku
itu akan dijadikan sebagai pelaku yang penting dan
dalam setiap pementasan ia akan selalu dibutuhkan.
Dengan demikian merekalah yang diutamakan untuk
memerankan tokoh/peran penting dalam sebuah
pertunjukan. Mereka dibutuhkan karena memiliki
keahlian dan kelebihan tersendiri yang dengan
sendirinya akan memiliki konsekuensi, baik secara
ekonomi maupun eksistensinya.
Untuk menjadi wayang sandiwara terkenal
dipercayai oleh para pelaku sandiwara Cirebon akan
adanya sebuah proses tersendiri agar mendapatkan
peran yang penting dalam pertunjukan. Proses
tersebut telah menjadi tradisi dalam masyarakat
Sandiwara Cirebon, bahwa seseorang ingin memiliki
peranan yang utama, menjadi lakon, menjadi seri
(peran/tokoh dalam sandiwara yang membela
kebenaran), menjadi wayang putih, atau menjadi
primadona harus melalui tahap-tahap yang
sepertinya sudah menjadi ketentuan dalam langkah-
langkah menjadi seorang pemeran, dalang, wayang,
atau tukang sandiwara Cirebon dengan melakukan
kegiatan yang bersifat lahir maupun batin.
Pada tahap permulaan bagi seorang pelaku
Sandiwara Cirebon akan mendapatkan peran yang
levelnya sangat bawah. Mereka akan berperan sebagai

88
Komunikasi Seni Pertunjukan

prajurit yang hanya ikut-ikutan tampil atau sebagai


murid pada sebuah perguruan (dalam sebuah lakon)
yang tidak mengeluarkan dialog, atau mereka
berperan sebagai kroni-kroninya para tokoh jahat.
Mereka ini dikenal sebagai wayang pinggiran atau
pemain pelengkap dan ini berlaku bagi pemain pria
yang ingin memiliki peran dalam sandiwara yakni
berperan sebagai tokoh utama. Proses itu akan
berlangsung lama berbulan-bulan bahkan bertahun-
tahun, hingga mereka terbiasa dengan kehidupan
dalam sebuah pentas, dan ia pun sudah cukup dengan
perbendaharaan cerita/lakon serta sanggup
mengeluarkan dialog dalam sebuah lakon. Begitu pula
bagi pemain wanita yang ingin menjadi primadona,
awalnya ia muncul dengan memegang peran sebagai
penari atau penyanyi. Ia merupakan pelengkap dalam
sebuah lakon yang hanya berperan sebagai penghibur,
menyanyikan sebuah lagu atau menarikan tarian
tertentu dalam selingan-selingan di mana lakon
sedang berjalan. Proses demikian oleh masyarakat
Cirebon merupakan bentuk pewarisan yang biasa
dikenal dengan sebutan guru panggung.
Setelah mengalami masa awal, mereka memang
belum tentu langsung dijadikan peran utama dalam
pertunjukan sandiwara. Mereka masih mengalami
tahapan-tahapan yakni tahapan sebagai pemain yang
memegang peranan setengah penting, artinya mereka
akan memiliki peranan setingkat lebih tinggi daripada
wayang pinggiran. Dalam peranan ini mereka mulai
memiliki legalitas dari seorang pimpinan atau
sutradara sandiwara untuk mengungkapkan dialog-
dialog, tentunya sebatas kemampuan mereka yang
dinilai baru memegang peran. Kemudian mereka
semakin lama, tahun bertambah tahun, pementasan

89
Komunikasi Seni Pertunjukan

demi pementasan mereka lalui, maka mereka akan


terlihat kemampuannya untuk dijadikan tokoh
utama, baik tokoh protagonis maupun antagonis.
Dalam Sandiwara Cirebon, tokoh utama diartikan
sebagai pelaku sandiwara yang dalam pertunjukan
memegang peranan tokoh penting, yang menjalankan
alur cerita, baik protagonis maupun antagonis, dan itu
mesti diperankan oleh pelaku-pelaku yang sudah
cukup berpengalaman dalam menggeluti pertunjukan
demi pertunjukan sandiwara. Bagi seorang
primadona, biasanya dalam sandiwara Cirebon
memiliki syarat-syarat seperti rupa cantik, memiliki
kemampuan untuk menyanyi, menari dan bisa juga
tidak begitu cantik rupanya namun memiliki
kemampuan untuk melawak serta sanggup dalam
memainkan peran apa saja dalam sebuah pentas.
Pelaku yang memiliki peran sebagai pimpinan
sandiwara, primadona, sinden, wayang seri (pemain
utama), ahli teknik, nayaga maupun lain, setelah
mereka menjalani proses secara lahir akan terus
berusaha untuk tidak cepat terlupakan oleh
masyarakatnya. Mereka rata-rata sambil berjalan
sebagai pelaku sandiwara berusaha menjalani proses
secara batin, proses komunikasi secara spiritual. Hal-
hal yang menyangkut meditatif diwariskan secara
turun temurun oleh generasi tua pada generasi baru,
sebagai pewarisan secara batiniah. Dalam
pengetahuan manusia Jawa, hal tersebut dikenal
dengan istilah mbantingraga, dalam arti bahwa untuk
mencapai sesuatu tujuan ia memfungsikan raga
sepenuhnya. Seperti dianjurkan di dalam Serat
Wulangreh dan Serat Wedhatama, ia memfungsikan
raga dengan jalan mengurangi makan dan tidur,
berpuasa “senin-kamis”, ngelakoni seperti tapa-brata

90
Komunikasi Seni Pertunjukan

(Hardjowirogo, 1995: 90-93) sebagai bentuk


komunikasi spiritual mereka.
Dalam masyarakat atau para pelaku sandiwara
Cirebon, mbantingraga diartikan sebagai proses
perolehan pakean batin (kekuatan yang melindungi
batin manusia). Hal tersebut bagi pelaku sandiwara
merupakan keharusan untuk dituntut sebagai
kekuatan yang nanti akan berpengaruh dalam
menjalankan peranannya di sebuah pentas. Seorang
pemimpin sandiwara tidak polos lahir dan batin
untuk memimpin grupnya. Ia harus diisi dengan
pengalamannya secara lahir tentang sandiwara, dan
harus dibekali secara batin misalnya dengan
melakukan puasa, mengurangi tidur juga ngelakoni
sesuatu; meditasi dan sebagainya agar apa yang
menjadi keinginannya tercapai, misalnya keinginan
agar kelompok sandiwaranya mengalami kemajuan
dalam volume pemanggungan, keinginan menjadi
pemimpin sandiwara yang berwibawa di antara anak-
anak wayangnya, bahkan keinginan untuk menjadi
pemain sandiwara yang laku dan 'beken'.
Bagi seorang pelaku sandiwara yang memiliki
peran/tokoh putih, maka ia akan melakukan puasa
dan sebagainya dan memenuhi syarat-syaratnya
untuk mendapatkan Aji Danandjaya, yaitu salah satu
pakaian batin yang memiliki pengaruh agar
masyarakat penonton selalu mengasihi, menyayangi
dan mencintai pelaku tersebut. Peranan tokoh putih
ini bila sudah memiliki Aji Danandjaya akan menjadi
idola masyarakat penonton. Begitu pula dengan
seorang pelaku sandiwara yang memiliki peran
sebagai primadona, maka sudah barang tentu untuk
mempertahankan peranannya agar selalu menarik
perhatian penonton, ia melakukan sesuatu untuk

91
Komunikasi Seni Pertunjukan

menjadi pakaian batinnya. Misalnya saja dengan


memakai susuk berupa emas ataupun berlian, dengan
memakai pakaian batin seperti itu sang primadona
akan selalu menjadi pusat perhatian penonton.
Kemudian primadona juga harus melengkapi dirinya
dengan menjalankan puasa dan sebagainya untuk
mendapatkan Aji Pengasian, yaitu suatu pakaian batin
agar penonton memiliki rasa kasih terhadap pelaku
peranan primadona. Seorang bodor/pelawak pun
demikian, ia harus melengkapi peranannya dengan
Ajian Semar Mesem agar dalam penampilannya
masyarakat penonton terpengaruh untuk tertawa,
merasa gembira dan puas melihat pelaku sandiwara
tersebut.
Beberapa pelaku sandiwara diidentifikasi tidak
melakukan satu atau dua pakaian batin, akan tetapi
beberapa pakaian batin harus mereka miliki. Inilah
cara mereka memenuhi kebutuhannya berperan total
dalam panggung teater rakyat, yang penulis
simpulkan sebagai bentuk pemberdayaan secara batin
dalam mengaktualisasi diri yang sekaligus
merupakan proses komunikasi spiritual.

92

Anda mungkin juga menyukai