Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

ASPEK SOSIAL BUDAYA DALAM KETAHANAN PANGAN

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ketahanan Pangan

Dosen Pengampu : Isti Nuzulul Atiah, Lc., MA., Ek

Disusun Oleh :

M. Aria Nurhusein M (5554180015)

Restiana (5554180019)

Andini Maulina (5554180033)

JURUSAN EKOONOMI SYARIAH

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena dengan Rahmat,
Karunia serta Taufik dan Hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini
dengan baik meskipun banyak kekurangan didalamnya.

Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah
wawasan serta pengetahuan kita mengenai ketahanan pangan. Kami juga
menyadari sepenuhnya bahwa didalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh
dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan
demi perbaikan makalah yang telah kami buat dimasa yang akan datang,
mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.

Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang


membacanya. Sekiranya makalah yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami
pribadi maupun orang yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila
terdapat kesalahan kata yang kurang berkenan dan kami mohon kritik dan saran
yang membangun demi perbaikan dimasa depan.

Serang, 19 Oktober 2021

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................i

DAFTAR ISI............................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1

1.1 Latar Belakang..........................................................................................1

1.1 Rumusan Masalah.....................................................................................1

1.2 Tujuan Penulisan.......................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................3

2.1 Aspek Sosial Budaya Dalam Ketahanan Pangan......................................3

2.2 Faktor Pendukung Ketahanan Pangan Dalam Aspek Sosial Budaya........8

2.3 Faktor Penghambat Ketahanan Pangan Dalam Aspek Sosial Budaya......8

2.4 Potensi Sosial Budaya (Sosial dan Kuitural Kapital) Lokal......................9

BAB III PENUTUP...............................................................................................12

3.1 Simpulan..................................................................................................12

DAFTRA PUSTAKA............................................................................................13

ii
iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pembangunan ketahanan pangan di Indonesia merupakan langkah untuk

menyelesaikan masalah pangan. Ketahanan pangan merupakan kondisi

ketersediaan pangan yang cukup bagi setiap orang pada setiap saat dan setiap

individu memiliki akses untuk memperolehnya baik secara fisik maupun

ekonomi.

Indonesia berkomitmen untuk mewujudkan ketahanan pangan melalui

Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996, usaha untuk mewujudkan ketahanan

pangan merupakan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat. Hal tersebut

diwujudkan melalui pengaturan, pembinaan, pengendalian dan pengawasan

terhadap ketersediaan pangan yang cukup baik jumlah atau mutunya, aman,

bergizi, beragam, merata dan terjangkau oleh daya beli masyarakat.

1.1 Rumusan Masalah

1. Bagaiman aspek sosial dan budaya dalam ketahanan pangan?

2. Apa saja faktor pendukung ketahanan pangan dalam aspek sosial

budaya?

3. Apa saja faktor penghambat ketahanan pangan dalam aspek sosial

budaya?

1
1.2 Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui bagaimana aspek sosial dan budaya dalam

ketahanan pangan

2. Untuk mengetahui faktor pendukung ketahanan pangan dalam aspek

sosial budaya

3. Untuk mengetahui faktor penghambat ketahanan pangan dalam aspek

sosial budaya

2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Aspek Sosial Budaya Dalam Ketahanan Pangan
1. Faktor-faktor sosial Rumah Tangga
Kebutuhan makan bukanlah satu-satunya dorongan untuk
mengatasi rasa lapar, di samping itu ada kebutuhan fisiologis, seperti
pemenuhan gizi ikut mempengaruhi. Setiap strata atau kelompok sosial
masyarakat mempunyai pola tersendiri dalam memperoleh, menggunakan,
dan menilai makanan yang merupakan ciri dari strata atau kelompok sosial
masing-masing (Suhardjo, 1989). Hal ini sesuai Hukum Bennet dengan
adanya pembagian strata dalam masyarakat berdasarkan ekonomi, yaitu
semakin tinggi pendapatan menyebabkan semakin beragam konsumsi jenis
makanan pokok (Hardinsyah dan Suhardjo, 1987). Lingkungan sosial
memberikan gambaran jelas tentang perbedaan pola makan. Setiap
masyarakat atau suku mempunyai kebiasaan makan berbeda sesuai
kebiasaan yang dianut. Masyarakat mengkonsumsi bahan makanan
tertentu yang mempunyai nilai sosial sesuai dengan tingkat status sosial
yang terdapat pada masyarakat tersebut. (Suhardjo, 1989).
- Tingkat Pendidikan Rumah tangga
Soekirman (2000) mengemukakan bahwa pada bagan penyebab
kekurangan gizi oleh Unicef 1998 tercantum bahwa meski secara tidak
langsung namun tingkat pendidikan merupakan salah satu faktor
penyebab terjadinya kekurangan gizi. Dari sudut sosial ekonomi,
tingkat pendidikan ibu rumah tangga merupakan salah satu aspek yang
dapat digunakan untuk mengukur tingkat kesejahteraan suatu rumah
tangga.
Tingkat pendidikan formal seorang ibu seringkali berhubungan
positif dengan peningkatan pola konsumsi makanan rumah tangga. Hal
ini termasuk upaya mencapai status gizi yang baik pada anak-anaknya
(Koblinsky, et.al, 1997). Tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan

3
memudahkan seseorang untuk menyerap informasi dan
mengimplementasikan dalam perilaku dan gaya hidup sehari-hari,
khususnya dalam hal kesehatan dan gizi (Atmarita, 2004).
- Status Pekerjaan Orang Tua
Perkawinan dan rumah tangga yang terbentuk diciptakan oleh
fungsi daripada perkawinan itu berupa dukungan ekonomis dan ikatan
kasih sayang. Konsekuensinya adalah bapak didudukkan pada posisi
dan peranan instrumental dalam arti kegiatan produktif managerial dan
publik, sedangkan ibu didudukkan pada posisi mengelola dan
mengurus pekerjaan rumah tangga. Hal tersebut berarti bahwa terdapat
pembagian kerja antara bapak dan ibu dalam rumah tangga dan
masyarakat bahwa kebiasaan bapak mencari nafkah di luar rumah
untuk memenuhi kebutuhan hidup rumah tangga (Indrawasih, 1997).
Kesejahteraan rumah tangga tidak selalu bergantung pada
penghasilan yang diperoleh, tetapi juga ditentukan oleh siapa yang
mencari nafkah dan mengontrol pengeluaran rumah tangga. Ibu
dibandingkan bapak ternyata cenderung mengalokasikan uang untuk
belanja makanan rumah tangganya. Meningkatnya penghasilan rumah
tangga yang berasal dari ibu bekerja akan memperbaiki konsumsi
makanan seluruh anggota rumah tangga (Khomsan, 2004)
- Tingkat Pendapatan Rumah Tangga
Pendapatan rumah tangga adalah jumlah pendapatan yang
diperoleh dari pendapatan semua anggota rumah tangga dari berbagai
kegiatan ekonomi sehari-hari misalnya upah dan gaji, hasil produksi
pertanian dikurangi biaya produksi, pendapatan dari usaha rumah
tangga bukan pertanian dan pendapatan dari kekayaaan seperti sewa
rumah, sewa alat, bunga, santunan asuransi, dan lain-lain. Pada rumah
tangga dengan pendapatan rendah, 60-80 % dari pendapatannya
dibelanjakan untuk makanan. Elastisitas pendapatan untuk makanan
yang digambarkan dari persentase perubahan kebutuhan akan makanan

4
untuk tiap 1 % perubahan pendapatan, lebih besar pada rumah tangga
yang miskin dibandingkan pada rumah tangga kaya.
Ada batasan penghasilan terendah yang dinyatakan oleh Sajogyo
(1977) tentang pita kemiskinan yang dinyatakan dalam setara beras;
berbunyi bahwa makanan atau bahan makanan yang dapat dibeli untuk
rumah tangga tidak mencukupi untuk memelihara kesehatan seluruh
rumah tangga (Suhardjo, 1989). Batasannya yaitu :
a. Paling miskin : pengeluaran yang diukur dengan ekuivalen beras
mencapai 270 kg di perkotaan dan 180 kg di pedesaan.
b. Miskin sekali : 360 kg beras di perkotaan dan 240 kg beras di
pedesaan.
c. Miskin : bila mencapai ekuivalen 480 kg di perkotaan dan 320 di
daerah pedesaan.
- Jumlah Anggota Rumah tangga
Anggota rumah tangga adalah semua orang yang biasanya
bertempat tinggal di suatu rumah tangga, baik berada di rumah pada
saat pencacahan maupun sementara tidak ada. Anggota rumah tangga
yang telah bepergian 6 bulan atau lebih, dan anggota rumah tangga
yang bepergian kurang dari 6 bulan tetapi bertujuan pindah atau akan
meninggalkan rumah 6 bulan atau lebih, tidak dianggap anggota rumah
tangga. Orang yang telah tinggal di suatu rumah tangga 6 bulan atau
lebih, atau yang telah tinggal di suatu rumah tangga kurang dari 6
bulan tetapi berniat menetap di rumah tangga tersebut, dianggap
sebagai anggota rumah tangga.
Pemantauan konsumsi gizi tingkat rumah tangga tahun 1995-1998
juga menyatakan bahwa jumlah anggota rumah tangga yang semakin
banyak, akan semakin mengalami kecenderungan turunnya rata-rata
asupan energi dan protein per kapita per hari yang ditunjukkan dengan
prevalensi tertinggi pada rumah tangga yang beranggotakan diatas
enam orang.
2. Faktor-Faktor Budaya Rumah Tangga

5
Budaya telah menjadi konsep penting dalam memahami masyarakat
dan kelompok manusia untuk waktu yang lama. Budaya dapat diartikan
sebagai gabungan kompleks asumsi tingkah laku, cerita, mitos, metafora
dan berbagai ide lain yang menjadi satu untuk menentukan apa arti
menjadi anggota masyarakat tertentu. Pengertian lain budaya adalah
sebagai suatu pola semua susunan baik material maupun perilaku yang
sudah diadposi masyarakat sebagai suatu cara tradisional dalam
memecahkan masalah-masalah para anggotanya. Dalam budaya juga
termasuk semua cara yang telah terorganisasi, kepercayaan, norma, nilai-
nilai budaya implisit serta premis-premis yang mendasar dan mengandung
suatu perintah.
- Kepercayaan masyarakat
Pada masyarakat tertentu terdapat suatu pemeo artinya makin
tinggi tingkat keprihatinan seseorang makin bahagia dan makin tinggi
taraf sosial yang dapat dicapainya. Keprihatinan ini dapat dicapai
dengan “tirakat” yaitu suatu kepercayaan melakukan kegiatan fisik dan
mengurangi tidur, makan dan minum atau berpantang melakukan
sesuatu. Upacara agama atau selamatan merupakan bagian dari bentuk-
bentuk kebudayaan di daerah pedesaan, dan malahan juga di kota-kota.
Misalnya pada permulaan mendirikan suatu bangunan baru ataupun
sebuah rumah baru, selalu dirayakan sebagai upacara peletakan batu
pertama yang diikuti dengan selamatan. Upacara selamatan lainnya
dilakukan pada waktu pemasangan kasau yang pertama dan pada
waktu bangunan selesai.
Pada waktu upacara-upacara ini tergantung dari kemampuan tuan
rumah, maka dipotong kambing, sapi atau kerbau dan kepalanya
dikuburkan pada tempat yang khusus sebagai korban untuk
menyenangkan roh-roh menurut kepercayaan berdiam di daerah
tersebut
- Adat Istiadat

6
Tidak berbeda dengan kepercayaan masyarakat, biasanya pada
beberapa negara yang masih mengedepankan nilai adat istiada, akan
mempengaruhi pola pangan yang mereka lakukan. Juga dalam
menjadikan acuan dalam mengedepankan regulasi mengenai ketahanan
pangan. Misalnya seperti Indonesia yang secara turun-temurun sudah
terbiasa makan nasi, bahkan sampai ada istilah kalau tidak makan nasi
selama hidupnya maka ia tidak akan berumur panjang, keadaan ada
istiadat inilah yang kemudian dijadikan landasan oleh masyarakat
untuk akhirnya menjadikan beras atau nasi sebagai bahan pokok dan
tidak boleh dihilangkan.
- Fungsi Sosial Makanan
Banyak simbol religi atau magis yang dikaitkan pada makanan.
Dalam agam Islam, kambing sering dikaitkan dengan upacara-upacara
penting dalam kehidupan, seperti pada upacara selamatan bayi baru
lahir, atau pada khitanan.
Makanan merupakan media penting dalam upaya manusia
berhubungan satu sama lain. Di dalam rumah tangga kehangatan
hubungan antar anggotanya terjadi pada waktu makan bersama.
Begitupun di antara rumah tangga besar diupayakan pertemuan secara
berkala dengan makan untuk memelihara dan mempererat hubungan
silaturahmi. Antar tetangga, sering dilakukan tukar menukar makanan.
- Preferensi Makanan
Manusia makan untuk kenikmatan. Kesukaan akan makanan
berbeda dari satu bangsa ke bangsa lain, dan dari daerah/suku ke
daerah /suku lain. Di Indonesia, kesukaan makanan antar daerah/suku
juga banyak berbeda. Makanan di Sumatra, khususnya di Sumatra
Barat lebih pedas daripada makanan di Jawa, khususnya Jawa Tengah
yang suka makanan manis.
Secara umum makanan yang disukai adalah makanan yang
memenuhi selera atau citarasa/inderawi, yaitu dalam hal rupa, warna,
bau, rasa, suhu dan tekstur. Ada tiga faktor utama yang mempengaruhi

7
konsumsi makanan, yaitu : karakteristik individu, karakteristik
makanan, dan karakteristik lingkungan. Suatu model atau kerangkan
pemikiran diperlukan untuk menelaah konsumsi makanan kaitannya
dengan berbagai karakteristik tersebut, serta hubungan antar
karakteristik itu sendiri.

2.2 Faktor Pendukung Ketahanan Pangan Dalam Aspek Sosial Budaya

Potensi sosial budaya atau sosial dan kultural kapital yang telah
diuraikan di atas merupakan faktor-faktor yang dapat mendukung ketahanan
pangan. Selain itu, ada beberapa ciri sosial budaya bangsa kita yang juga
dapat mendukung ketahanan pangan. Sebagai negara kepulauan yang maha
luas dengan keberagaman suku, agama, budaya, alam dan tingkat
"kemajuan"-nya, maka tidak mengherankan jika masyarakal Indonesia kaya
dengan unit-unit sosial yang memiliki sifat yang disebut oleh Toennies
sebagai gemeinschaft {"guyub"), atau yang disebut Durkheim sebagai
mechanical solidarity.

Basis unit sosial semacam ini bermacam-macam, ada yang berbasis


kesukuan, marga, agama, teritori atau daerah, pekerjaan atau profesi,
almamater dan sebagainya. Dalam unit sosial ini, para anggotanya saling
memperhatikan dan menolong satu sama lain, termasuk dalam masalah
pangan. Oleh sebab itu, unit sosial seperti ini telah dan akan dapat
memainkan peranan yang sangat penting dalam menciptakan ketahanan
pangan, baik di tingkat rumahtangga maupun komunitas yang lebih luas.
2.3 Faktor Penghambat Ketahanan Pangan Dalam Aspek Sosial Budaya
Faktor pertama penghambat ketahanan pangan dalam aspek social
budaya adalah konsumsi, dimana bagi kebanyakan orang Indonesia
karbohidrat utama dalam makanan sehari-hari ialah nasi, bahkan ada
pribahasa “belum makan, kalau belum makan nasi”. Selain dari hal itu,
ditemukan juga bahwa di NTT yang notabenen karbohidrat utamanya itu
jagung, nasi menjadi sebuah barang yang nilai atau prestisenya lebih tinggi
dari pada jagung. Sehingga orang NTT jika menyuguhkan suguhan kepada

8
tamu dari luar NTT mereka akan menyuguhkan nasi sebagai karbohidrat
utama dan jagung sebagai lauk, karena takut dinilai rendah oleh tamu.
Kontruksi social yang menempatkan beras lebih tinggi gengsinya atau
prestisenya seperti ini turut mendorong proses “berasisasi” dan
ketergantungan pada beras yang sangat tinggi, yang pada gilirnya
melemahkan ketahanan pangan.

Kedua dari segi produksi, salah satu ancaman yang amat besar dan
serius terhadap ketahanan pangan, khususnya beras adalah konversi lahan
pertanian subur, khususnya di Jawa yang terus berlangsung. Konversi lahan
pertanian ini sesungguhnya hanyalah bagian permukaan dari fenomena
social budaya yang kompleks yang berada di belakangnya. Disana ada
masalah kepentingan (interest) dari berbagai kelompok serta kontestasi
kekuasaan antara kelas kapitalis besar, penguasa, dan kebijakan pemerintah,
baik disadari ataupun tidak.

Pemerintah nampaknya belum “habis-habisan” mendukung dan


memperkuat sektor pertanian di Indonesia, bahkan cenderung
mengabaikannya. Sekalipun Pemerintah Indonesia di bawah Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono telah merancang program “revitalisasi pertanian”
pada tahun 2005 (krsimurthi 2006), tapi realisasi oleh program itu sangat
minim, sehingga lebih berupa retorika belaka. “Pengabaian” sektor
pertanian oleh pemerintah merupakan faktor yang sangat memperlemah
ketahanan pangan nasional. Selanjutnya, dibelakang kepentingan interest
beberapa kelompok ini, ada juga hal yang sangat mempengaruhi dalam
ketahanan pangan dari aspek social budaya, yaitu paradigmamasyarakat
mengenain pekerjaan sebagai petani yang dianggap rendah yang identic
dengan keterbelakangan dan kemiskinan

2.4 Potensi Sosial Budaya (Sosial dan Kuitural Kapital) Lokal


Seperti kita ketahui bersama dari segi konsumsi, diversifikasi
pangan merupakan suatu hal yang penting untuk menciptakan ketahanan
pangan. Dalam konteks ini kita beruntung karena komunitas dan suku di

9
berbagai daerah di Indonesia memiliki atau paling tidak pernah memiliki
jenis makanan pokok yang bervariasi, bukan beras saja. Sebagai contoh, kita
semua sudah mengetahui bahwa sagu merupakan salah satu makanan pokok
bagi orang-orang Ambon. Sementara itu, bagi orang-orang NTT (Nusa
Tenggara Timur), jagung merupakan salah satu makanan pokok yang
penting, sedangkan singkong merupakan salah satu makanan pokok bagi
orang Jawa dan umbi- umbian merupakan salah satu makanan pokok bagi
sebagian orang di Papua.

Secara umum, masyarakat di perdesaan Indonesia mempunyai pola


konsumsi yang cukup beragam. Keragaman ini bukan hanya menyangkut
makanan pokok, tetapi juga "makanan pendamping" maupun "makanan
tambahan". Dengan kata lain, diversifikasi pangan justru sudah
dilaksanakan oleh berbagai suku dan komunitas lokal di penjuru negeri ini.

Pola konsumsi lokal semacam ini perlu didukung bahkan


"direplikasi" di tingkat nasional untuk memperkokoh ketahanan pangan di
negeri ini. Sayangnya, pada masa-masa yang lalu potensi budaya lokal
semacam itu seringkali dihancurkan melalui kebijakan tertentu, seperti
"berasisasi", misalnya. Sementara itu, pada masa kini budaya lokal
semacam itu juga mengalami "gempuran" yang tak kalah dahsyatnya
melalui konstruksi sosial tentang apa yang dianggap sebagai makanan yang
"bergengsi" atau "modem". Sebuah lagu yang pernah populer, yang
mengasosiasikan "Anak Singkong" sebagai anak yang serba inferior
dibandingkan dengan "Anak Keju" yang melambangkan superioritas,
hanyalah merupakan sebuah contoh gempuran terhadap budaya lokal yang
berkaitan dengan pangan ini.

Sebenamya pada tingkat nasional, proses diversifikasi pangan juga


sudah terjadi. Kalangan kelas menengah ke atas dan juga kaum muda,
khususnya di perkotaan, tidak sepenuhnya menjadikan beras sebagai satu-
satunya bahan pangan pokok. Kentang, roti dan makanan lain yang terbuat
dari bahan baku tepung, misalnya, sudah merupakan bahan makanan pokok

10
yang cukup populer untuk kalangan ini. McDonald, Kentucky Fried
Chicken dan Pizza memberikan kontribusi yang signifikan dalam
mempromosi diversifikasi pangan di kalangan kelas menengah atas serta
kaum muda di perkotaan ini. Tentu proses "McDonalisasi" ini {meminjam
istilah Ritzer, 1993) sangat dipengaruhi oleh proses-proses sosiologis seperti
masalah status dan prestise sosial, rasionalisasi, pragmatisme, mobilitas
sosial vertikal dan sebagainya.

11
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Ketahanan pangan sangat penting, baik dari segi biologis maupun
sosial. Indonesia sebagai negara yang memiliki potensi sosial budaya lokal
yang mendukung ketahanan pangan, baik dari segi variasi, penyediaan,
maupun pengelolaan bahan pangan, serta sistem pengelolaan sumber daya
alam untuk pangan. Namun disisi lain masyarakat indonesia juga memiliki
ciri-ciri sosial budaya yang dapat menghambat upaya menciptakan
ketahanan pangan yang kuat. Faktor sosial budaya yang mendukung dan
menghambat ini perlu diperhatikan dalam melakukan dekonstruksi dan
rekonstruksi sosial bagi upaya mewujdukan ketahanan pangan yang
tangguh. Oleh karena itu makalah ini mencoba memberikan kontribusi dari
aspek sosial budaya dalam ketahanan pangan di Indonesia.

12
DAFTRA PUSTAKA
Gunadia , Fitrah DKK. (2018) Analisis Faktor-Faktor Teknologi dan Sosial
Budaya yang Mengancam Keberlanjutan Kemandirian Pangan Pokok di Provinsi
Jawa Barat, Indonesia

Kinseng, R. A. Aspek sosial budaya dalam peningkatan ketahanan pangan.

Mapandin, W. Y. (2006). Hubungan Faktor-Faktor Sosial Budaya Dengan Konsumsi


Makanan Pokok Rumah Tangga Pada Masyarakat Di Kecamatan Wamena, Kabupaten
Jayawijaya Tahun 2005 The Association Of Socio-Culture Factors And Staple Food
Consumption Among Households Of Wamena Community, Jayawijaya In 2005 (Doctoral
dissertation, Program Pascasarjana Universitas Diponegoro).

13

Anda mungkin juga menyukai