Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH

KETAHANAN PANGAN

PILAR AKSES DAN STABILITAS PANGAN


Dosen Pengampu : Isti Nuzulul Atiah, Lc.,MA.,Ek.

Disusun Oleh:

Faisal 5554180017

Friska Yunistiawati 5554180022

Maulana Mukti Khadafi 5554180023

Nita Putri Herdiani 5554180032

JURUSAN EKONOMI SYARIAH

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA

2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat
dan hidayah-Nya lah kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya.
Makalah ini disusun untuk salah satu tugas pada Mata Kuliah Ketahanan Pangan.
Makalah ini berjudul Pilar Akses dan Stabilitas Pangan. Adapun pembuatan
makalah ini bertujuan untuk pelengkap bahan pembelajaran tentang Ketahanan
Pangan.

Dalam penyusunan makalah ini penulis banyak mendapat bantuan dan


bimbingan dari berbagai pihak, terutama kepada dosen pengampu yang senantiasa
memberikan semangat dan dorongan untuk berkarya selama penelusuran bahan-
bahan di segala media.

Penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis


khususnya dan pembaca pada umumnya. Penulis memohon maaf apabila dalam
penyusunan makalah ini terdapat banyak kekurangan dan kesalahan. Oleh karena
itu, kritik dan saran yang konstruktif dari semua pihak sangat diharapkan demi
peningkatan karya ini, semoga bermanfaat.

Serang, 14 September 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
1.1 Latar Belakang..........................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.....................................................................................2
1.3 Tujuan Masalah.........................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................4
2.1 Definisi dan Aspek Penting Ketahanan Pangan........................................4
2.2 Aksesibilitas Pangan..................................................................................5
2.3 Akses Pangan sebagai Indikator Terpenuhinya Ketahanan Pangan..........7
2.4 Kestabilan Ketahanan Pangan di Tengah Pandemi...................................9
2.5 Permasalahan Akses Pangan...................................................................11
2.6 Upaya Peningkatan Akses Pangan Masyarakat.......................................16
BAB III PENUTUP...............................................................................................21
3.1 Kesimpulan..............................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................22

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Undang-Undang No.7 Tahun 1996 tentang Pangan, mengartikan
ketahanan pangan sebagai : “kondisi terpenuhinya pangan bagi setiap rumah
tangga, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun
mutunya, aman, merata, dan terjangkau”. Pengertian mengenai ketahanan pangan
tersebut mencakup aspe makro, yaitu tersedianya pangan yang cukup; dan
sekaligus aspek mikro, yaitu terpenuhinya kebutuhann pangan setiap rumah
tangga untuk menjalani hidup yang sehat dan aktif (Nainggolan, 2016)

Dalam laporan World Food Programme pada tahun 2016 terdapat terdapat
815 Juta orang mengalami kelaparan yang meningkat dari tahun sebeumnya yang
berjumlah 777 juta orang yang tersebar di seluruh dunia terutama di negara-negara
berkembang (FAO, 2017). Indeks Kelaparan Global pada tahun 2018
menunjukkan bahwa tingkat kelaparan dan kekurangan gizi di dunia masuk dalam
kategori serius (GHI, 2018).

Pada tahun 2012 ditetapkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012


Tentang Pangan yang bertujuan untuk menciptakan ketahanan pangan atau food
security. World Food Summit (1996) mendefinisikan ketahanan pangan adalah
situasi dimana semua orang dapat memiliki akses makanan yang cukup, aman,
dan bergizi, untuk memenuhi kebutuhan makanan mereka untuk mewujudkan
kehidupan yang aktif dan sehat. Sedangkan menurut UU 18 Tahun 2012
ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhnya pangan bagi negara sampai dengan
perseorangan yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik, jumlah
maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak
bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat untuk dapat
hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan. Dua definisi ini
menyimpulkan empat dimensi dalam ketahanan pangan yaitu akses, ketersedian,
pemanfaatan, dan stabilitas.

1
Lembaga international seperti FAO, IFPRI menggunakan indikator untuk
menilai tingkat kelaparan dan pencapaian SDGs poin 2 yaitu mengatasi kepalaran
dan menciptakan ketahanan pangan. Pilar utama yang menentukan ketahanan
pangan antara lain ialah ketahanan pangan, akses pangan, dan pemanfaatan
pangan. Namun, selain 3 pilar tersebut, Gross (2000) menyatakan bahwa terdapat
satu pilar yang juga menjadi pilar ketahanan pangan, yaitu stabilitas. Stabilitas
merupakan faktor penentu yang mempengaruhi ketiga elemen tersebut dan juga
salah satu cara untuk mendapatkan atau memperoleh pangan secara berkelanjutan.

Permasalahan kelaparan dan ketahanan pangan telah menjadi isi


internasional dan masuk dalam tujuan pembangunan SDGs poin 2 yaitu
mengakhiri kelaparan, mencapai ketahanan pangan dan nutrisi lebih baik dan
mendukung pertanian berkelanjutan. Pada artikel ini kami akan mencoba untuk
menganalisis mengenai pilar akses dan stabilitas pangan yang telah dikeluarkan
oleh pemerintah Indonesia.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan uraian latar belakang permasalahan di atas, maka penulis
mencoba mengidentifikasikan rumusan masalah yang berhubungan dengan
penerapan pilar akses dan stabilitas pangan. Adapun rumusan masalah tersebut
meliputi:

1. Apa itu aksesibilitas pangan?


2. Bagaimana akses pangan sebagai indikator dalam terpenuhinya ketahanan
pangan?
3. Bagaimana kestabilan ketahanan pangan di tengah pandemi?
4. Bagaimana permasalahan akses pangan?
5. Bagaimana upaya peningkatan akses pangan masyarakat?

1.3 Tujuan Masalah


Penelitian ini dilakukan berdasarkan adanya hal-hal yang penulis anggap
perlu untuk diteliti lebih lanjut. Maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai
berikut:

2
1. Mengetahui apa itu aksesibilitas pangan.
2. Mengetahui bagaimana akses pangan sebagai indikator dalam terpenuhinya
ketahanan pangan.
3. Mengetahui bagaimana kestabilan ketahanan pangan di tengah pandemi.
4. Mengetahui bagaimana permasalahan akses pangan.
5. Mengetahui bagaimana upaya peningkatan akses pangan masyarakat.

3
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi dan Aspek Penting Ketahanan Pangan
Berdasarkan UU No 7 Th 1996, Pasal 1, definisi ketahanan pangan adalah
“kondisi terpenuhinya pangan bagi rumahtangga yang tercermin dari tersedianya
pangan yang cukup baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau”.
Mengacu pada definisi tersebut, aspek penting yang perlu dicermati dalam
pembangunan ketahanan pangan adalah: (i) Obyek akhir dimana ketahanan
pangan harus diwujudkan, dalam hal ini adalah ‘rumahtangga’; (ii) Syarat
keharusan (necessary condition) dan syarat kecukupan (sufficiency condition)
terwujudnya ketahanan pangan; (iii) Ketahanan pangan tingkat global, nasional,
regional, lokal, rumahtangga merupakan suatu rangkaian sistem hierarkhis; (iv)
Ketahanan pangan dipandang sebagai sistem ekonomi pangan, terdiri dari
subsistem ketersediaan, distribusi, dan konsumsi yang ketiganya saling terkait; (v)
Perubahan lingkungan strategis domestik dan internasional berpengaruh terhadap
pembangunan ketahanan pangan; dan (vi) Karakteristik inheren dalam masing-
masing subsistem ketahanan pangan di tingkat nasional, regional, maupun lokal
(Rachman, et al, 2005).

Dalam perspektif sistem ekonomi pangan, pembangunan ketahanan


pangan memiliki tiga pilar utama yang menjadi pondasi kunci. Tiga pilar utama
dalam pembangunan ketahanan pangan tersebut sekaligus merupakan elemen atau
sub sistem yang perlu mendapat perhatian dalam membangun ketahanan pangan.
Ketiga pilar utama ketahanan pangan tersebut adalah: (i) sub sistem ketersediaan;
(ii) sub sistem distribusi, dan (iii) sub sistem konsumsi atau pemanfaatan hasil
produksi.

Dalam sub sistem ketersediaan, salah satu aspek penting dalam sub sistem
ini terkait langsung dengan tugas Kementerian Pertanian yaitu menghasilkan atau
mempoduksi bahan pangan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi pangan
penduduk. Pada sub sistem distribusi, ini terkait dengan pembangunan dan
penyediaan sarana/prasarana yang berperan mempertemukan sisi produksi dan

4
konsumsi pangan dalam dimensi ruang dan waktu. Sementara itu dalam sub
sistem konsumsi atau pemanfaatan, terkait dengan aksesibilitas/keterjangkauan
rumahtangga terhadap pangan. Aksesibilitas mencakup aspek fisik, artinya
tersedia dan mudah diperoleh saat dibutuhkan; aspek; ekonomi terkait dengan
daya beli dan pendapatan; serta aspek stabilitas baik fisik maupun harga dalam
dimensi ruang dan waktu.

2.2 Aksesibilitas Pangan


Permasalahan utama dalam pemantapan ketahanan pangan rumah tangga
adalah masih besarnya proporsi kelompok masyarakat yang mempunyai daya beli
rendah, ataupun yang tidak mempunyai akses atas pangan karena berbagai sebab.
Pada penelitian yang dilakukan oleh [ CITATION Sal08 \l 1057 ] menunjukkan
bahwa permasalahan dalam konsumsi antara lain adalah: (i) Besarnya jumlah
penduduk miskin dan pengangguran dengan kemampuan akses pangan rendah;
(ii) Rendahnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat terhadap diversifikasi
pangan dan gizi; (iii) Masih dominannya konsumsi energi karbohidrat yang
berasal dari beras; (iv) Rendahnya kesadaran dan penerapan sistem sanitasi dan
higienis rumah tangga; dan (v) Rendahnya kesadaran masyarakat terhadap
keamanan pangan.

Terkait dengan permasalahan konsumsi tersebut, besarnya jumlah


penduduk miskin dan pengangguran yang menyebabkan rendahnya akses terhadap
pangan merupakan masalah yang sangat kompleks yang penyelesaiannya
memerlukan koordinasi dan sinergi yang harmonis antar berbagai pihak baik
pemerintah, pelaku usaha maupun masyarakat secara luas. Salah satu program
pemerintah yang terkait dengan upaya untuk meningkatkan akses penduduk
miskin terhadap pangan adalah digulirkannya program Raskin (program beras
untuk keluarga miskin). Raskin merupakan salah satu upaya Pemerintah untuk
membantu penyediaan sebagian kebutuhan pangan pokok keluarga miskin.
Melalui pelaksanaan program Raskin bersama program bantuan penanggulangan
kemiskinan lainnya, diharapkan dapat memberikan manfaat yang nyata dalam
peningkatan ketahanan pangan dan kesejahteraan sosial rumah tangga. Selain itu,

5
program Raskin merupakan program transfer energi dalam bentuk kalori yang
dapat mendukung program lainnya seperti perbaikan gizi, peningkatan kesehatan
masyarakat, peningkatan kualitas pendidikan dan peningkatan produktivitas
keluarga miskin (Direktotar Jenderal Pemberdayaan Masyarakat dan Desa dengan
Perum Bulog, 2005).

Namun demikian program Raskin juga ada dampak negatifnya yaitu


disinyalir memiliki kontribusi terhadap pudarnya keragaman pola konsumsi
pangan pokok penduduk. Hal ini antara lain terlihat dari adanya pergeseran pola
pangan pokok penduduk yang semula beras+pangan pokok lain (jagung, ubi kayu,
ubi jalar, sagu) berubah ke arah pola tunggal yaitu pola beras. Hal lain yang perlu
mendapat perhatian ekstra dari pola konsumsi pangan pokok penduduk di
Indonesia adalah sangat signifikan peningkatan konsumsi pangan yang berasal
dari terigu [ CITATION Sur08 \l 1057 ]. Mengingat terigu ketersediaannya
sebagian besar berasal dari impor, maka untuk menghemat devisa dan mendorong
produksi pangan domestik pemerintah menerpakan kebijakan percepatan
penganekaragaman konsumsi pangan berbasis sumber daya lokal (Peraturan
Presiden Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009).

Tanpa berpretensi mengabaikan aspek atau pilar ketahanan pangan yang


lainnya, aksesibilitas rumahtangga terhadap pangan merupakan faktor kunci bagi
pencapaian ketahanan pangan di Indonesia dengan berbagai pertimbangan
berikut : (i) Ketahanan pangan dan ketersediaan pangan di tingkat nasional,
regional, wilayah merupakan syarat keharusan tetapi itu saja tidak cukup; (ii)
Terjaminnya ketahanan pangan tingkat rumahtangga merupakan syarat kecukupan
bagi tercapainya ketahanan pangan lokal, regional, nasional, global; (iii) Bukti
empiris menunjukkan bahwa di wilayah tahan pangan dan terjamin masih
ditemukan proporsi rumahtangga rawan pangan yang cukup tinggi (20 – 30
persen); (iv) Kasus rawan pangan dan insiden busung lapar di berbagai daerah
pada kondisi ketersediaan pangan nasional (dan wilayah) cukup baik. Berdasarkan
pertimbangan tersebut, maka peningkatan aksesibilitas rumahtangga terhadap
pangan menjadi salah satu isu yang patut dikedepankan.

6
Adapun tujuan peningkatan aksesibilitas pangan adalah untuk: (i)
Meningkatkan akses pangan bagi rumahtangga yang tercermin dari ketersediaan
pangan yang cukup baik dalam jumlah maupun mutunya, aman, merata dan
terjangkau, dan (ii) Meningkatkan penganekaragaman konsumsi pangan menuju
gizi seimbang untuk memantapkan ketahanan pangan rumahtangga.

Terkait dengan cakupannya, upaya peningkatan aksesibilitas pangan


meliputi aspek fisik dan ekonomi. Dari sisi fisik, (i) perlu upaya peningkatan
ketersediaan pangan dalam ragam jenis, jumlah, mutu, sesuai selera. Dalam hal ini
terkait dengan upaya peningkatan penganekaragaman pangan, peningkatan
produksi, keamanan pangan, preferensi konsumen dan mengedepankan kearifan
lokal; (ii) Kelancaran distribusi dalam dimensi ruang/empat, dan (iii) Stabilitas
penyediaan / pengadaan dalam dimensi waktu. Dari sisi ekonomi, peningkatan
aksesibilitas rumahtangga terhadap pangan perlu upaya peningkatan pendapatan
dan daya beli rumahtangga. Dalam hal ini sektor pertanian perlu mendapat
dukungan kuat dari sektor lain, utamanya dalam upaya peningkatan pendapatan
penduduk di pedesaan. Terkait hai tersebut, pengembangan agroindustri di
pedesaan merupakan salah satu strategi yang perlu dikedepankan.

2.3 Akses Pangan sebagai Indikator Terpenuhinya Ketahanan Pangan


Berbicara masalah kemiskinan tidak lepas dari masalah ketahanan pangan
bahkan ketahanan gizi, karena kedua hal tersebut saling terkait. Akses pangan
merupakan salah satu indikator terpenuhinya ketahanan pangan. Akses pangan
terdiri dari tiga, yaitu akses fisik, aksses sosial, dan akses ekonomi, ketiga akses
tersebut memilki indikator yang dapat menggambarkan kondisi akses pangan.

a. Akses Fisik
Akses fisik adalah salah satu dimensi akses pangan yang dapat diamati
berdasarkan jarak pasar terdekat dalam suatu wilayah dan ketersediaan
pangan di warung sekitar pemukiman penduduk wilayah tersebut. Untuk
menggambarkan kondisi akses pangan secara fisik, dapat dilihat dari
ketersediaan pangan (rasio konsumsi normatif terhadap ketersediaan
pangan pokok). Ketersediaan pangan pokok secara kontiniu sangat

7
diperlukan, ketika ketersediaan bahan pangan pokok kurang atau tidak
terpenuhi bahan pangan pokok tersebut akan menjadi barang yang langka
yang mengakibatkan harganya akan semakin melonjak dan masyarakat
yang berada di kelas ekonomi menengah ke bawah tidak mampu membeli
kebutuhan pangan tersebut, dan tentu akan berdampak pada kemiskinan.
b. Akses Sosial
Akses sosial adalah salah satu dimensi akses pangan yang dapat diamati
dari tingkat pendidikan. Pendidikan dan kemiskinan saling terkait satu
sama lain. Tingkat pendidikan yang rendah sering kita jumpai melekat
pada penduduk yang kurang beruntung perekonomiannya (miskin secara
materi/ekonomi). Pendidikan juga merupakan salah satu indikator yang
mempengaruhi akses pangan. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang
maka semakin besar kesempatannya untuk memperoleh
pekerjaan/pendapatan yang lebih baik, sehingga semakin tinggi pula
kemampuan daya belinya (semakin tinggi aksesnya terhadap pangan).
Persentase penduduk yang tidak tamat sekolah dasar digunakan untuk
menggambarkan kondisi akses pangan dari aspek sosial.
c. Akses Ekonomi
Akses ekonomi adalah salah satu dimensi akses pangan dapat dilihat dari
tingkat kemiskinan berdasarkan data pengeluaran total (pengaluaran
pangan dan non pangan), PDRB. Tingkat kesejahteraan masyarakat di
suatu daerah dapat dilihat dari pendapatan dan pertumbuhan ekonomi di
daerah tersebut. Jika pendapatan dan pertumbuhan ekonomi meningkat
maka tingkat kesejahteraan penduduk juga meningkat. Salah satu
parameter atau indikator untuk mengukur atau melihat daya beli
masyarakat adalah pendapatan penduduk, untuk mengukurnya digunakan
data produk domestik regional bruto per kapita per tahun atas dasar harga
berlaku [ CITATION Har13 \l 1057 ].

8
2.4 Kestabilan Ketahanan Pangan di Tengah Pandemi
Pandemi Covid-19 telah mempengaruhi pilar-pilar ketahanan pangan
secara langsung maupun tidak langsung. Empat pilar ketahanan pangan tersebut
adalah: (1) ketersediaan pangan (apakah ketersediaan pangan cukup selama
pandemi berlangsung?), (2) akses pangan (apakah masyarakat mampu
mendapatkan makanan yang mereka butuhkan?), (3) utilisasi pangan (apakah
memiliki masukan nutrien yang cukup?), dan (3) stabilisasi akses pangan (apakah
masyarakat dapat mengakses pangan setiap waktu?). Krisis pangan ditandai
dengan keterbatasan pangan yang tersedia atau ketidakmampuan masyarakat
dalam mengakses pangan. Ketersediaan pangan berhubungan erat dengan
produksi pangan. Monitoring produksi pangan terutama dibidang pertanian
membutuhkan data yang mendekati real-time. Monitoring secara real-time akan
sangat mudah dilakukan jika desa mengembangkan sistem smart village. Data dari
smart village mendekati real-time karena data tersebut didapatkan dari petani atau
para pemilik lahan pertanian secara langsung, bukan dari tengkulak atau pedagang
dimana proses mendapatkan data dari tengkulak tentunya membutuhkan waktu
yang lebih panjang. Selain untuk mengestimasi produktivitas lahan pertanian, juga
harus mampu mendeteksi perubahan iklim yang terjadi seperti intensitas curah
hujan yang tinggi atau potensi kemarau. Hal tersebut berguna untuk langkah
mitigasi mencegah krisis pangan. Untuk sampai tahap estimasi curah hujan
ataupun perubahan iklim, tentunya desa membutuhkan bantuan dari pihak lain
contohnya BMKG untuk memberikan info secara terkini dan akurat kepada desa.
Info tersebut tentunya tidak secara umum tapi akan lebih baik jika informasi
tersebut spesifik sampai ke tingkat desa. Dengan deteksi dini daerah daerah yang
berpotensi gagal panen atau kekeringan, upaya peningkatan ketahanan pangan
dapat dilakukan. Deteksi hama juga dapat dilakukan dengan penginderaan jauh
yang dapat mencegah gagal panen (Zhang et al., 2019). Sebagai contoh aplikasi
spektroskopi dan pencitraan termal via udara mampu mendeteksi infeksi Xylella
fastidiosa di tanaman sebelum menimbulkan kerusakan pada tanaman (Zarco-
Tejada et al., 2018).

9
Dukungan menjaga kestabilan ketahanan pangan juga perlu dilakukan
estimasi produksi dalam beberapa kurun waktu ke depan. Estimasi penting
dilakukan untuk mengetahui apakah ada tren menurunnya produksi pangan. Jika
terdapat tren tersebut maka seluruh pihak terkait perlu menyiapkan kebijakan
terkait agar tren tersebut cenderung dapat dihindarkan. Estimasi atau prediksi akan
semakin akurat jika disertai dengan data yang akurat juga. Data bisa diperoleh dari
data hasil sensus dan data dari sistem smart village. Kemudian dengan
menggunakan teknologi SIG data tersebut dapat diolah untuk menghasilkan
informasi prediksi. Banyak metodologi geospasial yang bisa digunakan untuk
menghasilkan informasi prediksi, salah satu yang sering digunakan adalah deep
machine learning (Kuwata & Shibasaki, 2015; Zhou et al., 2019). NASA sebagai
badan antariksa Amerika Serikat telah mengelola data satelit yang dapat
digunakan untuk analisis ini. Prediksi yang dilakukan akan membantu dalam
mitigasi pencegahan krisis pangan. Ketersediaan pangan juga dinilai dari
ketersediaan pangan di pasar. “Panic buying” merupakan fenomena yang umum
ketika pertama kali kasus Covid-19 mencuat dan dinyatakan sebagai pandemi.
Tidak hanya saat gelombang pertama Covid-19, gelombang kedua dimana
terdapat banyak pelajaran yang seharusnya tidak dilakukan – panic buying tetap
terjadi. Efek dari panic buying adalah stok makanan menipis di level pasar atau
retail. Stok makanan tersebut harus segera disuplai ulang untuk mencegah kriris
pangan.

Sedangkan untuk kestabilan akses pangan, membutuhkan kestabilan


ekonomi. Pandemi Covid-19 secara langsung berdampak parah terhadap akses
masyarakat ke pangan (Laborde et al., 2020). Ketidakmampuan masyarakat dalam
memenuhi kebutuhan pangan yang seimbang akibat resesi ekonomi menyebabkan
ketahanan pangan yang rentan. Turunnya daya beli masyarakat termasuk produk
pangan juga menyebabkan petani kehilangan modal untuk memulai musim tanam
yang baru. Dampak ekonomi yang dihasilkan dari pandemi Covid-19 membuat
jutaan penduduk Indonesia kehilangan pekerjaan. Memetakan kerentanan sosial
ini dapat direlasikan dengan tingkat kasus Covid-19 di tiap-tiap wilayah akan

10
mampu memberi informasi untuk pemberian bantuan. Termasuk pemberian
bantuan kepada petani kecil agar tidak terdampak ekonomi dan tetap melakukan
produksi pangan [ CITATION Faw20 \l 1057 ].

2.5 Permasalahan Akses Pangan


Dengan memperhatikan angka-angka dalam capaian perkembangan
ketersediaan energi dan protein, perkembangan konsumsi energi, protein, dan skor
PPH, perkembangan jumlah penduduk miskin dan jumlah penduduk rawan
pangan, serta perkembangan prevalensi gizi kurang, pendek, kurus, dan gemuk
pada balita dapat diartikan bahwa masih terjadi permasalahan akses pangan di
Indonesia baik berbasis wilayah maupun rumahtangga dan individu. Masih
banyak kabupaten terutama wilayah di Kawasan Timur Indonesia (KTI) termasuk
wilayah rawan pangan atau rentan pangan. Secara rata-rata, pangan yang
dikonsumsi oleh rumahtangga juga belum sesuai dengan yang dianjurkan.
Beberapa indikator dalam MDGs terkait akses pangan juga belum dapat sesuai
dengan target. Angka kemiskinan dan rawan pangan memang menurun dari tahun
ke tahun, namun penurunannya melambat dan belum mampu memenuhi target
MDGs (terutama untuk kemiskinan). Pertanyaannya adalah faktor-faktor apakah
yang mempengaruhi akses pangan wilayah dan rumahtangga. Analisis yang
dilakukan oleh Suryana (2014) menyimpulkan bahwa terjadi kesenjangan yang
cukup lebar antara rata-rata ketersediaan pangan yang lebih dari cukup dan rata-
rata pangan yang benar-benar dikonsumsi masyarakat yang ternyata masih
dibawah rekomendasi. Beberapa hasil identifikasi permasalahan akses pangan
wilayah dan rumahtangga dapat diungkap sebagai berikut:

1. Ketimpangan PDRB Antar Wilayah/Provinsi

Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) sebagai indikator makro


menunjukkan kemampuan sumber daya ekonomi yang dihasilkan oleh
wilayah atau juga menunjukkan pendapatan yang memungkinkan untuk
dinikmati oleh penduduk suatu daerah. Semakin tinggi nilai PDRB
menunjukkan kemampuan sumber daya ekonomi semakin besar dan peluang

11
pemanfaatannya untuk penduduk yang bertempat tinggal disuatu wilayah
tersebut juga semakin besar. Selama 30 tahun (1982-2012) kontribusi PDRB
Kawasan Barat Indonesia (KBI), yang mencakup wilayah Sumatera, Jawa, dan
Bali sangat dominan, yaitu sekitar 80 % dari PDB, sedangkan peran KTI baru
sekitar 20 %. Kesenjangan pembangunan antar wilayah dalam jangka panjang
dapat memberikan dampak pada kehidupan sosial masyarakat. Keterbatasan
PDRB di wilayah KTI ini berdampak pada terbatasnya pembangunan sarana
dan prasarana di wilayah tersebut. Oleh karena itu, tidaklah heran kalau
kabupaten di KTI banyak yang mempunyai kategori wilayah rawan
pangan/rentan pangan seperti dalam peta yang disusun oleh DKP dan WFP.
Dampak berikutnya adalah banyaknya kantong-kantong kemiskinan di
wilayah ini. Sebagai gambaran, jumlah penduduk sangat rawan pangan pada
tahun 2013 di wilayah Sumatera antara 16,7-20,6%; di Jawa antara 4,9-20,9%;
sedangkan di wilayah Maluku-Maluku Utara antara 20,6-39,5% dan Papua-
Papua Barat antara 40,1-45,3% (Badan Ketahanan Pangan, 2014).

2. Ketimpangan Pembangunan Sarana dan Prasarana

Indonesia memiliki wilayah yang luas berupa daratan dan lautan.


Pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah masih bias pada wilayah
daratan dan bias pada wilayah yang berada di KBI seperti di Jawa dan
Sumatera. Sebaliknya pembangunan sarana dan prasarana terutama berupa
transportasi dari dan ke wilayah KTI masih terbatas, sehingga harga pangan
yang harus didatangkan dari wilayah lain menjadi sangat mahal. Menurut
Purnasihar (2012), daerah pada KBI mencapai pertumbuhan yang cepat, dan
sebaliknya beberapa daerah pada KTI mengalami pertumbuhan yang lambat.
Daerah-daerah tersebut tidak mengalami kemajuan yang sama karena
perbedaan sumber-sumber yang dimiliki serta adanya kecenderungan investor
memilih daerah perkotaan yang telah memiliki fasilitas seperti sarana
prasarana perhubungan, jaringan listrik dan telekomunikasi, perbankan dan
sumber daya manusia yang terampil. Selain itu adanya ketimpangan
redistribusi pembagian pendapatan dari pemerintah pusat kepada daerah

12
berdasarkan luas wilayah darat, yang tentu saja sangat merugikan provinsi
Maluku yang didominasi wilayah laut dibandingkan darat sehingga
mendorong semakin besar ketimpangan regional antar daerah. Sementara itu
menurut Solihin, D (2008), KBI yang luasnya hanya 31,25% dari luas wilayah
nasional dilayani jalan nasional dan provinsi yang total panjangnya 37.687,5
km. Sementara itu wilayah KTI yang luasnya 68,75% dilayani jalan nasional
dan propini yang totalnya justru lebih rendah yaitu 33.241,2 km. Kondisi jalan
yang rusak berat sebagian besar juga di wilayah KTI.

3. Geografi Wilayah

Wilayah Indonesia sangat luas dan sebagian berupa pulau-pulau baik


pulau besar maupun pulau kecil. Masih banyak ditemukan wilayah yang
terisolasi dari pusatpusat kegiatan ekonomi seperti daerah perbatasan, pulau-
pulau kecil, pesisir dan daerah pedalaman. Pada wilayah ini, hubungan antara
pulau atau antar daerah pedalaman harus dilalui dengan transportasi laut,
sehingga untuk pangan yang harus didatangkan dari luar pulau akan
menghadapi kendala apabila keadaan cuaca tidak memungkinkan untuk
melakukan pelayaran. Disisi lain, sarana transportasi laut juga masih terbatas.
Dampak dari hal ini tentu saja adalah terjadinya gangguan pasokan pangan di
wilayah tersebut pada waktu-waktu tertentu dengan harga yang relatif mahal.
Seperti yang disampaikan oleh Alfons; dkk., (2012), potensi kerawanan
pangan cukup besar bagi wilayah-wilayah kepulauan seperti di Maluku.
Dengan kondisi kepulauan, pasokan makanan dapat terputus bila tiba-tiba
cuaca menjadi tidak bersahabat.

4. Besaran dan Ketimpangan Pendapatan Rumahtangga

Salah satu faktor utama yang mempengaruhi akses pangan tingkat


rumahtangga adalah pendapatan rumahtangga. Dengan menggunakan data
Susenas, pengeluaran sebagai proksi pendapatan dan pangsa pengeluaran
pangan sebagai salah satu ukuran kesejahteraan menunjukkan bahwa tingkat
kesejahteraan rumahtangga relatif stagnan. Pangsa pengeluaran tahun 2012

13
sebesar 51,08%, sedangkan pada tahun 2013 sebesar 50,66%. Jumlah
pendapatan rumahtangga belum semuanya mencukupi kebutuhannya sehingga
masih ditemukan penduduk yang miskin dan atau rawan pangan. Dalam
Rencana Pembangunan Kementerian Pertanian 2015-2019 disebutkan bahwa
berdasar harga konstan tahun 2000, tingkat pendapatan petani untuk pertanian
dalam arti luas maupun pertanian sempit menunjukkan peningkatan yang
diindikasikan oleh pertumbuhan yang positif masing-masing sebesar 5,64 %
dan 6,20 %/tahun selama kurun waktu 2010–2014. Namun demikian secara
nominal tingkat pendapatan/kapita petani tersebut masih berada di bawah garis
kemiskinan. Hal ini ditunjukkan bahwa pada tahun 2014 misalnya, tingkat
pendapatan/kapita pertanian dalam arti luas dan sempit masingmasing sekitar
Rp 9.032/kapita/hari dan Rp 7.966/kapita/hari; padahal berdasarkan Bank
Dunia batas garis kemiskinan adalah pendapatan US$ 2/kapita/hari, dengan
tingkat kurs US$ terhadap rupiah tahun 2014 yang telah melewati Rp
10.000/1US$ tentu menunjukkan masih relatif rendahnya tingkat
kesejahteraan petani atau penduduk yang bekerja di sektor pertanian.

Disisi lain, juga masih adanya ketimpangan pendapatan yang


berdampak pada yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin.
Ketimpangan pendapatan yang dihitung dengan indeks gini menunjukkan
dibandingkan dengan tahun 2010, ketimpangan pendapatan semakin besar
yang ditunjukkan dengan besaran indeks gini yang semakin besar. Proporsi
rumahtangga yang termasuk berpendapatan rendah juga relatif tetap. Tiga
kelompok rumah tangga yang diperkirakan berada pada 40 persen penduduk
berpendapatan terbawah adalah: (1) angkatan kerja yang bekerja tidak penuh
(underutilized) terdiri dari penduduk yang bekerja paruh waktu (part time
worker), termasuk di dalamnya adalah rumah tangga nelayan, rumah tangga
petani berlahan sempit, rumah tangga sektor informal perkotaan, dan rumah
tangga buruh perkotaan; (2) usaha mikro kecil termasuk rumah tangga yang
bekerja sebagai pekerja keluarga (unpaid worker); dan (3) penduduk miskin

14
yang tidak memiliki aset maupun pekerjaan (Kementerian Perencanaan
Pembangunan Nasional/BAPPENAS, 2014).

5. Kenaikan Harga Pangan dan Non-Pangan

Daya beli rumahtangga merupakan resultante dari variabel pendapatan


rumahtangga dan harga pangan di pasaran. Yovanda (2015), berdasarkan rilis
Global Food Security Index bulan Januari tahun 2015, dijelaskan adanya
keterkaitan erat antara pangan dan energi. Di antaranya dengan harga minyak
yang turun 60%, maka harga pangan turun 2,8%, dan meningkatkan indeks
ketahanan pangan pada 79 dari 109 negara. Kenaikan harga tanpa dibarengi
kenaikan pendapatan akan menurunkan daya beli rumahtangga. Kenaikan
harga pangan dipicu terutama oleh kenaikan premium dan terbatasnya pasokan
pangan pada periode tertentu. Kenaikan premium akan meningkatkan harga
input produksi dan biaya transportasi, yang kesemuanya tersebut berdampak
pada kenaikan harga pangan dan non pangan. Data laju inflasi gabungan 66
Kota (2007=100) selama tahun 2010-2013 menunjukkan laju yang besar pada
bahan makanan dibandingkan dengan kebutuhan lainnya kecuali transport.

6. Perilaku Konsumsi Pangan Masyarakat yang Menyimpang

Kurangnya pengetahuan rumahtangga tentang pola pangan dan gizi


yang beragam bergizi seimbang dan aman. Sebetulnya pemerintah telah
mempunyai alat untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat terkait pangan
dan gizi baik secara langsung maupun tidak langsung. Program-program
tersebut diantaranya adalah Keluarga Sadar Gizi yang dikenal dengan
KADARSI, Gerakan Nasional Sadar Gizi Menuju Indonesia Prima 2014.
Kedua program tersebut yang menjadi motor adalah Kementerian Kesehatan,
sedangkan program Gerakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi
Pangan (P2KP) dimotori oleh Badan Ketahanan pangan, Kementerian
Pertanian (Djauhari, dkk., (2013). Namun demikian, tampaknya program-
program tersebut tidak berdampak secara signifikan pada perubahan perilaku
konsumsi pangan rumahtangga sesuai dengan kaidah atau aturan pangan dan

15
gizi. Terdapat perilaku yang menyimpang dalam hal konsumsi seperti
diungkap oleh Kariyasa dan Djauhari (2013) adalah pemborosan makanan
sehingga cenderung mengambil makanan dalam jumlah banyak, namun tidak
semuanya dikonsumsi sampai habis. Hal ini terkait dengan persoalan mind-
set, budaya makan dan kurang sadarnya masyarakat akan arti pentingnya
kehilangan nilai ekonomi pangan. Bahkan hasil analisis yang dilakukan oleh
Ariani dan Haryono (2014), perilaku konsumsi makanan telah menyimpang
kearah kebarat-baratan. Globalisasi dan liberalisasi berdampak pada
perubahan gaya makan dari makanan yang dibuat di rumah ke arah makanan
jadi dan dari pangan lokal (nusantara) ke pangan asing (impor), yang
diindikasikan dengan berkembang pesatnya waralaba asing di Indonesia.
Dampak dari penyimpangan tersebut pada orang dewasa terjadinya
peningkatan penyakit degeneratif seperti stroke, diabetes melitus dan lainnya
sedangkan pada anak balita terjadi stunting, gizi kurang dan gizi buruk.

2.6 Upaya Peningkatan Akses Pangan Masyarakat


Telah banyak yang dilakukan oleh pemerintah untuk meningkatkan akses
pangan pada rumahtangga yang rawan pangan baik kronis maupun transien.
Program-program tersebut bersifat antisipatif dan kuratif, yang dilaksanakan oleh
banyak kementerian/lembaga. Kementerian Pertanian, melalui Badan Ketahanan
Pangan telah mempunyai program aksi secara reguler untuk meningkatkan akses
pangan baik secara langsung maupun tidak langsung seperti program P2KP,
Mandiri Pangan, Penguatan Lembaga Distribusi Pangan Masyarakat (LDPM),
Pengembangan Lumbung Pangan Masyarakat, Pengembangan Sistem
Kewaspadaan Pangan dan Gizi. Lembaga ini juga melaksanakan pengembangan
model pemberdayaan ketahanan pangan masyarakat dengan program aksinya
adalah “Peningkatan Kesejahteraan Petani Kecil/Smallholder Livelihood
Development Project in Eastern Indonesia (SOLID) dalam rangka Pemantapan
Ketahanan Pangan Keluarga”. Program aksi tersebut didanai oleh IFAD dan
dilaksanakan di Provinsi Maluku dan Maluku Utara (Badan Ketahanan Pangan,
2014).

16
Dalam UU Pangan No.18 tahun 2012, banyak sekali tanggung jawab
pemerintah dan pemerintah daerah dalam membangun ketahanan pangan
termasuk akses/keterjangkauan pangan. Seperti yang tertulis dalam beberapa pasal
dan ayat sebagai berikut: pemerintah dan pemerintah daerah sebagai pihak yang
bertanggung jawab, seperti dalam hal ketersediaan pangan (Pasal 12,ayat 1),
mengembangkan potensi produksi pangan (Pasal 16, ayat 1), melakukan tindakan
untuk mengatasi krisis pangan (Pasal 44, ayat 1), serta mewujudkan
keterjangkauan pangan bagi masyarakat, rumah tangga dan perseorangan (Pasal
46, ayat 1). Beberapa usulan upaya peningkatan akses pangan sebagai berikut:

1. Pengembangan dan Pembangunan Infrastruktur di Wilayah KTI

Telah terjadi kesenjangan fasilitas dan penghidupan masyarakat di wilayah


KBI dan KTI, yang diindikasikan dengan kesenjangan PDRB, tingginya jumlah
penduduk rawan pangan dan balita dengan gizi kurang. Kesenjangan tersebut
dapat dieliminer melalui pengembangan dan pembangunan sarana dan prasarana
perekonomian terutama di wilayah KTI seperti sarana transportasi baik berupa
jalan maupun kendaraannya. Tersedianya sarana transportasi tersebut akan
meningkatkan kelancaran arus barang dan jasa dalam upaya menekan harga
pangan, peningkatan ketersediaan pangan dan sekaligus meningkatkan mobilitas
masyarakat untuk mendapatkan pendapatan yang lebih baik. Dalam RPJM 2015-
2019, disebutkan bahwa pemerintah akan pengembangan wilayah yang dapat
mendorong transformasi dan akselerasi pembangunan wilayah KTI, yaitu
Sulawesi, Kalimantan, Maluku, Nusa Tenggara dan Papua, dengan tetap menjaga
momentum pertumbuhan di Wilayah Jawa-Bali dan Sumatera. Transformasi dan
akselerasi pembangunan wilayah tersebut salah satunya melalui penyediaan
infrastruktur yang terpadu dan merata.

2. Pembangunan Pulau Mandiri Pangan

Indonesia terdiri dari pulau besar dan pulau kecil dan setiap pulau mempunyai
kapasitas dan fasilitas yang berbeda baik terkait dengan karakteristik sumber daya
manusia maupun karakteristik pola produksi dan konsumsi pangan. Di wilayah

17
KTI terdiri dari banyak pulau-pulau kecil, yang akses jalan harus ditempuh
melalui sarana transportasi laut, seperti di Provinsi Maluku terdapat 12 gugus
pulau yang setiap gugus mempunyai ciri yang khas. Vikijuluw dan Bengen (tanpa
tahun) menyebutkan bahwa kemandirian pangan secara nasional tidak akan
terwujud tanpa adanya kemandirian di pulau-pulau kecil. Etika dan protokol
pembangunan pulau kecil harus diikuti dalam membangun ekonomi pulau-pulau
kecil termasuk pembangunan produksi pangan. Pembangunan pulau mandiri
pangan diharapkan setiap pulau mampu mencukupi kebutuhannya sendiri
terutama untuk pangan pokoknya sesuai dengan potensi dan budayanya. Akan
riskan apabila kebutuhan pangan pokok di pulau-pulau kecil termasuk pulau
terpencil dan terluar kalau kebutuhan pangan pokoknya harus didatangkan dari
wilayah lain. Oleh karena itu, jenis pangan yang diproduksi dan dikonsumsi oleh
masyarakat harus sesuai dengan kondisi agroekositem pulau tersebut. Alfons,
dkk., (2012) pulau mandiri pangan di Maluku didasarkan pada konsep gugus
pulau dengan pendekatan laut pulau, dengan menganut prinsip kedaulatan pangan
dengan prioritas keluarga miskin dan kekurangan pangan, mengembangkan
kearifan lokal dalam proses produksi dengan melibatkan kaum perempuan. Selain
itu juga harus mempertahankan pola konsumsi sesuai budaya setempat.

Upaya pembangunan pulau mandiri pangan dilakukan oleh Pemerintah daerah


bekerjasama dengan para pakar dari perguruan tinggi dan kementerian terkait
serta Lembaga Swadaya Masyarakat dalam satu tim untuk bersama-sama
menyusun langkah-langkah pembangunan pulau mandiri pangan. Langkah-
langkah harus dilakukan secara holistik dan komprehensif, mulai dari hulu sampai
hilir. Tim mencari kondisi eksisting potensi pangan pada wilayah kecil, misalnya
desa atau kecamatan, baik cara budidaya, luasan, cara pengolahan dan perilaku
konsumsinya. Dengan adanya kondisi eksisting akan dapat disusun program-
program pembangunan pulau mandiri pangan. Dalam hal ini, inovasi yang
dilakukan tidak cukup pada inovasi teknologi namun juga kelembagaannya, siapa
bertanggung jawab apa dan seterusnya. Namun perlu diingat adalah
pengembangan ini harus tetap memperhatikan koridor budaya dan kearifan lokal

18
baik dari segi produksi maupun konsumsi sehingga benar-benar makanan yang
dikonsumsi masyarakat berasal dari produksi setempat, sebaliknya apa yang
diproduksi akan dikonsumsinya.

3. Peningkatan Pendapatan Masyarakat

Peningkatan daya beli rumahtangga sangat penting sebagai upaya untuk


peningkatan akses pangan. Upaya ini dilakukan dengan peningkatan pendapatan
dan menjaga stabilitas harga pangan. Upaya peningkatan pendapatan terutama
pada rumah tangga berpendapatan rendah yaitu: 1) angkatan kerja yang bekerja
tidak penuh, yang bekerja paruh waktu (nelayan, petani berlahan sempit, rumah
tangga sektor informal perkotaan, dan rumah tangga buruh perkotaan); (2) usaha
mikro kecil termasuk rumah tangga yang bekerja sebagai pekerja keluarga, dan
(3) penduduk miskin yang tidak memiliki aset maupun pekerjaan. Program
peningkatan pendapatan mereka akan berbeda sesuai dengan ketrampilan, aset
yang dimiliki dan karakteristik usaha. Namun upaya yang utama dilakukan adalah
menciptakan perluasan kesempatan kerja dan usaha dengan membuka lapangan
kerja baru di wilayahnya dan disesuaikan dengan bidang keahlian dan tingkat
pendidikannya. Pada umumnya mereka mempunyai tingkat pendidikan setingkat
SD dan SLTP, oleh karena itu penciptaan lapangan kerja baru mampu untuk
menyerap seluas-luasnya angkatan kerja yang berpendidikan tersebut. Usaha
mikro perlu memperoleh dukungan penguatan teknologi, pemasaran, permodalan,
dan akses pasar. Dalam RPJMN 2015- 2019 disebutkan salah satu upaya untuk
meningkatkan pendapatan masyarakat adalah dengan meningkatkan akses
terhadap lahan dan aset produktif yang seringkali membatasi peningkatan
produksi dan skala usaha masyarakat kurang mampu. Ketersediaan sarana dan
prasarana perekonomian di daerah pedesaan, akses pada kredit jasa keuangan dan
sumber permodalan lainnya bagi pelaku ekonomi di pedesaan, serta pemanfaatan
riset dan teknologi pertanian, diseminasi dan penyediaan informasi teknologi
pertanian juga faktor penting dalam mendorong ekonomi perdesaan.

4. Stabilisasi Harga Pangan dan Non Pangan

19
Upaya peningkatan akses pangan rumahtangga akan tercapai kalau harga –
harga terutama harga pangan terkendali sehingga masyarakat mampu membeli
makanan untuk memenuhi kebutuhannya. Stabilisasi harga pangan dilakukan agar
masyarakat berpendapatan rendah mampu menjangkau pangan yang ada di
pasaran. Stabilisasi pangan pokok yang dilakukan oleh pemerintah saat ini cukup
efektif, namun diperlukan koordinasi dan kekompakan antar kementerian (siapa
menjalankan apa) sehingga stabilisasi harga pangan pokok terjaga terutama di
kantong-kantong wilayah rawan pangan. Pemerintah memonitor neraca
ketersediaan pangan (dalam hal ini produksi pangan) dengan
kebutuhan/konsumsinya untuk dapat melakukan tindakan apabila terjadi gejolak
harga pangan.

5. Peningkatan Pengetahuan Masyarakat akan Pola Pangan Bergizi dan


Sehat

Dalam Undang-Undang Pangan No. 18 tahun 2012, pemerintah dan


pemerintah daerah berkewajiban mewujudkan penganekaragaman konsumsi
pangan untuk memenuhi kebutuhan gizi masyarakat dan mendukung hidup sehat,
aktif dan produksif (Pasal 60, ayat 1). Salah satu upaya tersebut dilakukan dengan
mempromosikan penganekaragaman konsumsi pangan dan meningkatkan
pengetahuan dan kesadaran masyarakat untuk mengkonsumsi aneka ragam
pangan dengan prinsip gizi seimbang (ayat 2). Disisi lain juga terdapat Peraturan
Presiden No. 22 tahun 2009 tentang Kebijakan Percepatan Penganekaragaman
Konsumsi Pangan Berbasis Sumber daya Lokal, yang salah satu langkahnya
adalah kampanye, sosialisasi, advokasi dan promosi penganekaragaman konsumsi
pangan yang bergizi seimbang dan aman berbasis sumber daya lokal.

6. Bantuan Pangan (Pemerintah, Swasta, masyarakat)

Program beras untuk rakyat miskin (raskin) yang namanya akan diganti
dengan Rasta (beras untuk Kesejahteraan) dengan memberikan bantuan beras
setiap bulannya kepada rumahtangga miskin yang dilaksanakan sejak terjadinya
krisis ekonomi tahun 1998 dengan target rumah tangga miskin, kemudian pada

20
tahun 2008, targetnya diperluas tidak hanya rumah tangga miskin tetapi juga
rumah tangga rentan atau hampir miskin (Kementerian Koordinator Bidang
Kesejahteraan Rakyat (2014). Pagu atau jumlah penerima program raskin secara
nasional untuk tahun 2015 sebanyak 15.530.897 rumahtangga, tidak mengalami
perubahan dari pagu Raskin 2013 dan 2014 (Kementerian Koordinator Bidang
Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, 2015).

Kementerian Sosial banyak melakukan aksi peningkatan akses pangan


terutama pada wilayah atau rumahtangga rawan pangan transien akibat adanya
bencana. Program-program tersebut berdampak nyata terhadap peningkatan akses
pangan wilayah dan rumahtangga yang ditunjukkan dengan penurunan jumlah
penduduk miskin dan penduduk rawan pangan. Namun demikian, program
peningkatan akses pangan untuk wilayah dan rumahtangga tetap harus dilakukan
bahkan perlu dilakukan upaya-upaya khusus agar berdampak pada perbaikan
akses pangan secara signifikan, yang pada gilirannya akan berdampak pada
peningkatan kualitas sumber daya manusia. Pemerintah terus mendorong peran
swasta melalui dana Corporate Sosial responsibility (CSR) dan masyarakat untuk
berperan serta dalam pemberian bantuan-bantuan kepada masyarakat yang
membutuhkan baik dalam kondisi normal maupun bencana.
(www.litbang.pertanian.go.id).

21
BAB III
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Kinerja akses pangan akan berpengaruh pada capaian ketahanan pangan.
Walaupun ketersediaan pangan mencukupi, namun masih terjadi masalah pangan
dan gizi (penduduk rawan pangan, stunting, kurang gizi). Permasalahan akses
pangan adalah ketimpangan PDRB antar wilayah/provinsi dan pembangunan
sarana dan prasarana, geografi wilayah, besaran dan ketimpangan pendapatan
rumahtangga, kenaikan harga pangan dan non pangan, serta perilaku konsumsi
pangan yang menyimpang. Berdasarkan permasalahan tersebut, upaya
peningkatan akses pangan rumahtangga dapat ditempuh melalui pengembangan
dan pembangunan infrastruktur terutama di wilayah KTI, pembangunan pulau
mandiri pangan, peningkatan pendapatan masyarakat, stabilisasi harga pangan dan
non pangan, dan peningkatan pengetahuan rumahtangga akan pola pangan bergizi
dan sehat, serta bantuan pangan (pemerintah, swasta, masyarakat).

22
DAFTAR PUSTAKA

Fawzi, N. I., & Husna, V. N. (2020). Pemanfaatan Informasi Geospasial untuk


Ketahanan Pangan Saat Pandemi Covid-19. Seminar Nasional Geomatika
2020: Informasi Geospasial untuk Inovasi Percepatan Pembangunan
Berkelanjutan. Semarang: Universitas Negeri Semarang.

Hadi, A., Rusli, B., & Alexandri, M. B. (2019). Dampak undang-undang nomor
12 tentang pangan terhadap ketahanan pangan Indonesia. Responsive:
Jurnal Pemikiran Dan Penelitian Administrasi, Sosial, Humaniora Dan
Kebijakan Publik, 2(4), 173-181.

Hartanti, W., Lubis, S. N., & Butar-Butar, H. (2013). Dampak Pertambahan


Penduduk, Akses Pangan, dan Usaha Pengentasan Kemiskinan terhadap
Jumlah Penduduk Miskin di Sumatera Utara. Journal of Agriculture and
Agribusiness Socioeconomics, 2(5).

Nainggolan, K. (2016). Ketahanan dan stabilitas pasokan, permintaan, dan harga


komoditas pangan. Analisis Kebijakan Pertanian, 6(2), 114-139.

Saliem, H. P. (2008, September 8-12). Indonesian Rice Market: Current Situation


of Supply, Demand, Price and Policies for Increasing Supply and
Enhacing National Food Security. Australian Apec Study Centre.

Suryani, E., & Saliem, H. P. (2008). Perubahan Pola Konsumsi Pangan Sumber
Karbohidrat di Perdesaan. Majalah Pangan, Bulog.

23

Anda mungkin juga menyukai