KETAHANAN PANGAN
Disusun Oleh:
Faisal 5554180017
2021
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat
dan hidayah-Nya lah kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya.
Makalah ini disusun untuk salah satu tugas pada Mata Kuliah Ketahanan Pangan.
Makalah ini berjudul Pilar Akses dan Stabilitas Pangan. Adapun pembuatan
makalah ini bertujuan untuk pelengkap bahan pembelajaran tentang Ketahanan
Pangan.
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
1.1 Latar Belakang..........................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.....................................................................................2
1.3 Tujuan Masalah.........................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................4
2.1 Definisi dan Aspek Penting Ketahanan Pangan........................................4
2.2 Aksesibilitas Pangan..................................................................................5
2.3 Akses Pangan sebagai Indikator Terpenuhinya Ketahanan Pangan..........7
2.4 Kestabilan Ketahanan Pangan di Tengah Pandemi...................................9
2.5 Permasalahan Akses Pangan...................................................................11
2.6 Upaya Peningkatan Akses Pangan Masyarakat.......................................16
BAB III PENUTUP...............................................................................................21
3.1 Kesimpulan..............................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................22
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam laporan World Food Programme pada tahun 2016 terdapat terdapat
815 Juta orang mengalami kelaparan yang meningkat dari tahun sebeumnya yang
berjumlah 777 juta orang yang tersebar di seluruh dunia terutama di negara-negara
berkembang (FAO, 2017). Indeks Kelaparan Global pada tahun 2018
menunjukkan bahwa tingkat kelaparan dan kekurangan gizi di dunia masuk dalam
kategori serius (GHI, 2018).
1
Lembaga international seperti FAO, IFPRI menggunakan indikator untuk
menilai tingkat kelaparan dan pencapaian SDGs poin 2 yaitu mengatasi kepalaran
dan menciptakan ketahanan pangan. Pilar utama yang menentukan ketahanan
pangan antara lain ialah ketahanan pangan, akses pangan, dan pemanfaatan
pangan. Namun, selain 3 pilar tersebut, Gross (2000) menyatakan bahwa terdapat
satu pilar yang juga menjadi pilar ketahanan pangan, yaitu stabilitas. Stabilitas
merupakan faktor penentu yang mempengaruhi ketiga elemen tersebut dan juga
salah satu cara untuk mendapatkan atau memperoleh pangan secara berkelanjutan.
2
1. Mengetahui apa itu aksesibilitas pangan.
2. Mengetahui bagaimana akses pangan sebagai indikator dalam terpenuhinya
ketahanan pangan.
3. Mengetahui bagaimana kestabilan ketahanan pangan di tengah pandemi.
4. Mengetahui bagaimana permasalahan akses pangan.
5. Mengetahui bagaimana upaya peningkatan akses pangan masyarakat.
3
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi dan Aspek Penting Ketahanan Pangan
Berdasarkan UU No 7 Th 1996, Pasal 1, definisi ketahanan pangan adalah
“kondisi terpenuhinya pangan bagi rumahtangga yang tercermin dari tersedianya
pangan yang cukup baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau”.
Mengacu pada definisi tersebut, aspek penting yang perlu dicermati dalam
pembangunan ketahanan pangan adalah: (i) Obyek akhir dimana ketahanan
pangan harus diwujudkan, dalam hal ini adalah ‘rumahtangga’; (ii) Syarat
keharusan (necessary condition) dan syarat kecukupan (sufficiency condition)
terwujudnya ketahanan pangan; (iii) Ketahanan pangan tingkat global, nasional,
regional, lokal, rumahtangga merupakan suatu rangkaian sistem hierarkhis; (iv)
Ketahanan pangan dipandang sebagai sistem ekonomi pangan, terdiri dari
subsistem ketersediaan, distribusi, dan konsumsi yang ketiganya saling terkait; (v)
Perubahan lingkungan strategis domestik dan internasional berpengaruh terhadap
pembangunan ketahanan pangan; dan (vi) Karakteristik inheren dalam masing-
masing subsistem ketahanan pangan di tingkat nasional, regional, maupun lokal
(Rachman, et al, 2005).
Dalam sub sistem ketersediaan, salah satu aspek penting dalam sub sistem
ini terkait langsung dengan tugas Kementerian Pertanian yaitu menghasilkan atau
mempoduksi bahan pangan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi pangan
penduduk. Pada sub sistem distribusi, ini terkait dengan pembangunan dan
penyediaan sarana/prasarana yang berperan mempertemukan sisi produksi dan
4
konsumsi pangan dalam dimensi ruang dan waktu. Sementara itu dalam sub
sistem konsumsi atau pemanfaatan, terkait dengan aksesibilitas/keterjangkauan
rumahtangga terhadap pangan. Aksesibilitas mencakup aspek fisik, artinya
tersedia dan mudah diperoleh saat dibutuhkan; aspek; ekonomi terkait dengan
daya beli dan pendapatan; serta aspek stabilitas baik fisik maupun harga dalam
dimensi ruang dan waktu.
5
program Raskin merupakan program transfer energi dalam bentuk kalori yang
dapat mendukung program lainnya seperti perbaikan gizi, peningkatan kesehatan
masyarakat, peningkatan kualitas pendidikan dan peningkatan produktivitas
keluarga miskin (Direktotar Jenderal Pemberdayaan Masyarakat dan Desa dengan
Perum Bulog, 2005).
6
Adapun tujuan peningkatan aksesibilitas pangan adalah untuk: (i)
Meningkatkan akses pangan bagi rumahtangga yang tercermin dari ketersediaan
pangan yang cukup baik dalam jumlah maupun mutunya, aman, merata dan
terjangkau, dan (ii) Meningkatkan penganekaragaman konsumsi pangan menuju
gizi seimbang untuk memantapkan ketahanan pangan rumahtangga.
a. Akses Fisik
Akses fisik adalah salah satu dimensi akses pangan yang dapat diamati
berdasarkan jarak pasar terdekat dalam suatu wilayah dan ketersediaan
pangan di warung sekitar pemukiman penduduk wilayah tersebut. Untuk
menggambarkan kondisi akses pangan secara fisik, dapat dilihat dari
ketersediaan pangan (rasio konsumsi normatif terhadap ketersediaan
pangan pokok). Ketersediaan pangan pokok secara kontiniu sangat
7
diperlukan, ketika ketersediaan bahan pangan pokok kurang atau tidak
terpenuhi bahan pangan pokok tersebut akan menjadi barang yang langka
yang mengakibatkan harganya akan semakin melonjak dan masyarakat
yang berada di kelas ekonomi menengah ke bawah tidak mampu membeli
kebutuhan pangan tersebut, dan tentu akan berdampak pada kemiskinan.
b. Akses Sosial
Akses sosial adalah salah satu dimensi akses pangan yang dapat diamati
dari tingkat pendidikan. Pendidikan dan kemiskinan saling terkait satu
sama lain. Tingkat pendidikan yang rendah sering kita jumpai melekat
pada penduduk yang kurang beruntung perekonomiannya (miskin secara
materi/ekonomi). Pendidikan juga merupakan salah satu indikator yang
mempengaruhi akses pangan. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang
maka semakin besar kesempatannya untuk memperoleh
pekerjaan/pendapatan yang lebih baik, sehingga semakin tinggi pula
kemampuan daya belinya (semakin tinggi aksesnya terhadap pangan).
Persentase penduduk yang tidak tamat sekolah dasar digunakan untuk
menggambarkan kondisi akses pangan dari aspek sosial.
c. Akses Ekonomi
Akses ekonomi adalah salah satu dimensi akses pangan dapat dilihat dari
tingkat kemiskinan berdasarkan data pengeluaran total (pengaluaran
pangan dan non pangan), PDRB. Tingkat kesejahteraan masyarakat di
suatu daerah dapat dilihat dari pendapatan dan pertumbuhan ekonomi di
daerah tersebut. Jika pendapatan dan pertumbuhan ekonomi meningkat
maka tingkat kesejahteraan penduduk juga meningkat. Salah satu
parameter atau indikator untuk mengukur atau melihat daya beli
masyarakat adalah pendapatan penduduk, untuk mengukurnya digunakan
data produk domestik regional bruto per kapita per tahun atas dasar harga
berlaku [ CITATION Har13 \l 1057 ].
8
2.4 Kestabilan Ketahanan Pangan di Tengah Pandemi
Pandemi Covid-19 telah mempengaruhi pilar-pilar ketahanan pangan
secara langsung maupun tidak langsung. Empat pilar ketahanan pangan tersebut
adalah: (1) ketersediaan pangan (apakah ketersediaan pangan cukup selama
pandemi berlangsung?), (2) akses pangan (apakah masyarakat mampu
mendapatkan makanan yang mereka butuhkan?), (3) utilisasi pangan (apakah
memiliki masukan nutrien yang cukup?), dan (3) stabilisasi akses pangan (apakah
masyarakat dapat mengakses pangan setiap waktu?). Krisis pangan ditandai
dengan keterbatasan pangan yang tersedia atau ketidakmampuan masyarakat
dalam mengakses pangan. Ketersediaan pangan berhubungan erat dengan
produksi pangan. Monitoring produksi pangan terutama dibidang pertanian
membutuhkan data yang mendekati real-time. Monitoring secara real-time akan
sangat mudah dilakukan jika desa mengembangkan sistem smart village. Data dari
smart village mendekati real-time karena data tersebut didapatkan dari petani atau
para pemilik lahan pertanian secara langsung, bukan dari tengkulak atau pedagang
dimana proses mendapatkan data dari tengkulak tentunya membutuhkan waktu
yang lebih panjang. Selain untuk mengestimasi produktivitas lahan pertanian, juga
harus mampu mendeteksi perubahan iklim yang terjadi seperti intensitas curah
hujan yang tinggi atau potensi kemarau. Hal tersebut berguna untuk langkah
mitigasi mencegah krisis pangan. Untuk sampai tahap estimasi curah hujan
ataupun perubahan iklim, tentunya desa membutuhkan bantuan dari pihak lain
contohnya BMKG untuk memberikan info secara terkini dan akurat kepada desa.
Info tersebut tentunya tidak secara umum tapi akan lebih baik jika informasi
tersebut spesifik sampai ke tingkat desa. Dengan deteksi dini daerah daerah yang
berpotensi gagal panen atau kekeringan, upaya peningkatan ketahanan pangan
dapat dilakukan. Deteksi hama juga dapat dilakukan dengan penginderaan jauh
yang dapat mencegah gagal panen (Zhang et al., 2019). Sebagai contoh aplikasi
spektroskopi dan pencitraan termal via udara mampu mendeteksi infeksi Xylella
fastidiosa di tanaman sebelum menimbulkan kerusakan pada tanaman (Zarco-
Tejada et al., 2018).
9
Dukungan menjaga kestabilan ketahanan pangan juga perlu dilakukan
estimasi produksi dalam beberapa kurun waktu ke depan. Estimasi penting
dilakukan untuk mengetahui apakah ada tren menurunnya produksi pangan. Jika
terdapat tren tersebut maka seluruh pihak terkait perlu menyiapkan kebijakan
terkait agar tren tersebut cenderung dapat dihindarkan. Estimasi atau prediksi akan
semakin akurat jika disertai dengan data yang akurat juga. Data bisa diperoleh dari
data hasil sensus dan data dari sistem smart village. Kemudian dengan
menggunakan teknologi SIG data tersebut dapat diolah untuk menghasilkan
informasi prediksi. Banyak metodologi geospasial yang bisa digunakan untuk
menghasilkan informasi prediksi, salah satu yang sering digunakan adalah deep
machine learning (Kuwata & Shibasaki, 2015; Zhou et al., 2019). NASA sebagai
badan antariksa Amerika Serikat telah mengelola data satelit yang dapat
digunakan untuk analisis ini. Prediksi yang dilakukan akan membantu dalam
mitigasi pencegahan krisis pangan. Ketersediaan pangan juga dinilai dari
ketersediaan pangan di pasar. “Panic buying” merupakan fenomena yang umum
ketika pertama kali kasus Covid-19 mencuat dan dinyatakan sebagai pandemi.
Tidak hanya saat gelombang pertama Covid-19, gelombang kedua dimana
terdapat banyak pelajaran yang seharusnya tidak dilakukan – panic buying tetap
terjadi. Efek dari panic buying adalah stok makanan menipis di level pasar atau
retail. Stok makanan tersebut harus segera disuplai ulang untuk mencegah kriris
pangan.
10
mampu memberi informasi untuk pemberian bantuan. Termasuk pemberian
bantuan kepada petani kecil agar tidak terdampak ekonomi dan tetap melakukan
produksi pangan [ CITATION Faw20 \l 1057 ].
11
pemanfaatannya untuk penduduk yang bertempat tinggal disuatu wilayah
tersebut juga semakin besar. Selama 30 tahun (1982-2012) kontribusi PDRB
Kawasan Barat Indonesia (KBI), yang mencakup wilayah Sumatera, Jawa, dan
Bali sangat dominan, yaitu sekitar 80 % dari PDB, sedangkan peran KTI baru
sekitar 20 %. Kesenjangan pembangunan antar wilayah dalam jangka panjang
dapat memberikan dampak pada kehidupan sosial masyarakat. Keterbatasan
PDRB di wilayah KTI ini berdampak pada terbatasnya pembangunan sarana
dan prasarana di wilayah tersebut. Oleh karena itu, tidaklah heran kalau
kabupaten di KTI banyak yang mempunyai kategori wilayah rawan
pangan/rentan pangan seperti dalam peta yang disusun oleh DKP dan WFP.
Dampak berikutnya adalah banyaknya kantong-kantong kemiskinan di
wilayah ini. Sebagai gambaran, jumlah penduduk sangat rawan pangan pada
tahun 2013 di wilayah Sumatera antara 16,7-20,6%; di Jawa antara 4,9-20,9%;
sedangkan di wilayah Maluku-Maluku Utara antara 20,6-39,5% dan Papua-
Papua Barat antara 40,1-45,3% (Badan Ketahanan Pangan, 2014).
12
berdasarkan luas wilayah darat, yang tentu saja sangat merugikan provinsi
Maluku yang didominasi wilayah laut dibandingkan darat sehingga
mendorong semakin besar ketimpangan regional antar daerah. Sementara itu
menurut Solihin, D (2008), KBI yang luasnya hanya 31,25% dari luas wilayah
nasional dilayani jalan nasional dan provinsi yang total panjangnya 37.687,5
km. Sementara itu wilayah KTI yang luasnya 68,75% dilayani jalan nasional
dan propini yang totalnya justru lebih rendah yaitu 33.241,2 km. Kondisi jalan
yang rusak berat sebagian besar juga di wilayah KTI.
3. Geografi Wilayah
13
sebesar 51,08%, sedangkan pada tahun 2013 sebesar 50,66%. Jumlah
pendapatan rumahtangga belum semuanya mencukupi kebutuhannya sehingga
masih ditemukan penduduk yang miskin dan atau rawan pangan. Dalam
Rencana Pembangunan Kementerian Pertanian 2015-2019 disebutkan bahwa
berdasar harga konstan tahun 2000, tingkat pendapatan petani untuk pertanian
dalam arti luas maupun pertanian sempit menunjukkan peningkatan yang
diindikasikan oleh pertumbuhan yang positif masing-masing sebesar 5,64 %
dan 6,20 %/tahun selama kurun waktu 2010–2014. Namun demikian secara
nominal tingkat pendapatan/kapita petani tersebut masih berada di bawah garis
kemiskinan. Hal ini ditunjukkan bahwa pada tahun 2014 misalnya, tingkat
pendapatan/kapita pertanian dalam arti luas dan sempit masingmasing sekitar
Rp 9.032/kapita/hari dan Rp 7.966/kapita/hari; padahal berdasarkan Bank
Dunia batas garis kemiskinan adalah pendapatan US$ 2/kapita/hari, dengan
tingkat kurs US$ terhadap rupiah tahun 2014 yang telah melewati Rp
10.000/1US$ tentu menunjukkan masih relatif rendahnya tingkat
kesejahteraan petani atau penduduk yang bekerja di sektor pertanian.
14
yang tidak memiliki aset maupun pekerjaan (Kementerian Perencanaan
Pembangunan Nasional/BAPPENAS, 2014).
15
gizi. Terdapat perilaku yang menyimpang dalam hal konsumsi seperti
diungkap oleh Kariyasa dan Djauhari (2013) adalah pemborosan makanan
sehingga cenderung mengambil makanan dalam jumlah banyak, namun tidak
semuanya dikonsumsi sampai habis. Hal ini terkait dengan persoalan mind-
set, budaya makan dan kurang sadarnya masyarakat akan arti pentingnya
kehilangan nilai ekonomi pangan. Bahkan hasil analisis yang dilakukan oleh
Ariani dan Haryono (2014), perilaku konsumsi makanan telah menyimpang
kearah kebarat-baratan. Globalisasi dan liberalisasi berdampak pada
perubahan gaya makan dari makanan yang dibuat di rumah ke arah makanan
jadi dan dari pangan lokal (nusantara) ke pangan asing (impor), yang
diindikasikan dengan berkembang pesatnya waralaba asing di Indonesia.
Dampak dari penyimpangan tersebut pada orang dewasa terjadinya
peningkatan penyakit degeneratif seperti stroke, diabetes melitus dan lainnya
sedangkan pada anak balita terjadi stunting, gizi kurang dan gizi buruk.
16
Dalam UU Pangan No.18 tahun 2012, banyak sekali tanggung jawab
pemerintah dan pemerintah daerah dalam membangun ketahanan pangan
termasuk akses/keterjangkauan pangan. Seperti yang tertulis dalam beberapa pasal
dan ayat sebagai berikut: pemerintah dan pemerintah daerah sebagai pihak yang
bertanggung jawab, seperti dalam hal ketersediaan pangan (Pasal 12,ayat 1),
mengembangkan potensi produksi pangan (Pasal 16, ayat 1), melakukan tindakan
untuk mengatasi krisis pangan (Pasal 44, ayat 1), serta mewujudkan
keterjangkauan pangan bagi masyarakat, rumah tangga dan perseorangan (Pasal
46, ayat 1). Beberapa usulan upaya peningkatan akses pangan sebagai berikut:
Indonesia terdiri dari pulau besar dan pulau kecil dan setiap pulau mempunyai
kapasitas dan fasilitas yang berbeda baik terkait dengan karakteristik sumber daya
manusia maupun karakteristik pola produksi dan konsumsi pangan. Di wilayah
17
KTI terdiri dari banyak pulau-pulau kecil, yang akses jalan harus ditempuh
melalui sarana transportasi laut, seperti di Provinsi Maluku terdapat 12 gugus
pulau yang setiap gugus mempunyai ciri yang khas. Vikijuluw dan Bengen (tanpa
tahun) menyebutkan bahwa kemandirian pangan secara nasional tidak akan
terwujud tanpa adanya kemandirian di pulau-pulau kecil. Etika dan protokol
pembangunan pulau kecil harus diikuti dalam membangun ekonomi pulau-pulau
kecil termasuk pembangunan produksi pangan. Pembangunan pulau mandiri
pangan diharapkan setiap pulau mampu mencukupi kebutuhannya sendiri
terutama untuk pangan pokoknya sesuai dengan potensi dan budayanya. Akan
riskan apabila kebutuhan pangan pokok di pulau-pulau kecil termasuk pulau
terpencil dan terluar kalau kebutuhan pangan pokoknya harus didatangkan dari
wilayah lain. Oleh karena itu, jenis pangan yang diproduksi dan dikonsumsi oleh
masyarakat harus sesuai dengan kondisi agroekositem pulau tersebut. Alfons,
dkk., (2012) pulau mandiri pangan di Maluku didasarkan pada konsep gugus
pulau dengan pendekatan laut pulau, dengan menganut prinsip kedaulatan pangan
dengan prioritas keluarga miskin dan kekurangan pangan, mengembangkan
kearifan lokal dalam proses produksi dengan melibatkan kaum perempuan. Selain
itu juga harus mempertahankan pola konsumsi sesuai budaya setempat.
18
baik dari segi produksi maupun konsumsi sehingga benar-benar makanan yang
dikonsumsi masyarakat berasal dari produksi setempat, sebaliknya apa yang
diproduksi akan dikonsumsinya.
19
Upaya peningkatan akses pangan rumahtangga akan tercapai kalau harga –
harga terutama harga pangan terkendali sehingga masyarakat mampu membeli
makanan untuk memenuhi kebutuhannya. Stabilisasi harga pangan dilakukan agar
masyarakat berpendapatan rendah mampu menjangkau pangan yang ada di
pasaran. Stabilisasi pangan pokok yang dilakukan oleh pemerintah saat ini cukup
efektif, namun diperlukan koordinasi dan kekompakan antar kementerian (siapa
menjalankan apa) sehingga stabilisasi harga pangan pokok terjaga terutama di
kantong-kantong wilayah rawan pangan. Pemerintah memonitor neraca
ketersediaan pangan (dalam hal ini produksi pangan) dengan
kebutuhan/konsumsinya untuk dapat melakukan tindakan apabila terjadi gejolak
harga pangan.
Program beras untuk rakyat miskin (raskin) yang namanya akan diganti
dengan Rasta (beras untuk Kesejahteraan) dengan memberikan bantuan beras
setiap bulannya kepada rumahtangga miskin yang dilaksanakan sejak terjadinya
krisis ekonomi tahun 1998 dengan target rumah tangga miskin, kemudian pada
20
tahun 2008, targetnya diperluas tidak hanya rumah tangga miskin tetapi juga
rumah tangga rentan atau hampir miskin (Kementerian Koordinator Bidang
Kesejahteraan Rakyat (2014). Pagu atau jumlah penerima program raskin secara
nasional untuk tahun 2015 sebanyak 15.530.897 rumahtangga, tidak mengalami
perubahan dari pagu Raskin 2013 dan 2014 (Kementerian Koordinator Bidang
Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, 2015).
21
BAB III
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Kinerja akses pangan akan berpengaruh pada capaian ketahanan pangan.
Walaupun ketersediaan pangan mencukupi, namun masih terjadi masalah pangan
dan gizi (penduduk rawan pangan, stunting, kurang gizi). Permasalahan akses
pangan adalah ketimpangan PDRB antar wilayah/provinsi dan pembangunan
sarana dan prasarana, geografi wilayah, besaran dan ketimpangan pendapatan
rumahtangga, kenaikan harga pangan dan non pangan, serta perilaku konsumsi
pangan yang menyimpang. Berdasarkan permasalahan tersebut, upaya
peningkatan akses pangan rumahtangga dapat ditempuh melalui pengembangan
dan pembangunan infrastruktur terutama di wilayah KTI, pembangunan pulau
mandiri pangan, peningkatan pendapatan masyarakat, stabilisasi harga pangan dan
non pangan, dan peningkatan pengetahuan rumahtangga akan pola pangan bergizi
dan sehat, serta bantuan pangan (pemerintah, swasta, masyarakat).
22
DAFTAR PUSTAKA
Hadi, A., Rusli, B., & Alexandri, M. B. (2019). Dampak undang-undang nomor
12 tentang pangan terhadap ketahanan pangan Indonesia. Responsive:
Jurnal Pemikiran Dan Penelitian Administrasi, Sosial, Humaniora Dan
Kebijakan Publik, 2(4), 173-181.
Suryani, E., & Saliem, H. P. (2008). Perubahan Pola Konsumsi Pangan Sumber
Karbohidrat di Perdesaan. Majalah Pangan, Bulog.
23