Anda di halaman 1dari 18

MAKALA

NILAI SOSIAL PANGAN DAN MAKANAN

NAMA: RITA DELINA SABAAT

NIM : PO.5303241200078

MATA KULIA : ILMU SOSIAL ANTROPOLOGI

PROGAM STUDI D-III GIZI

REGULER A

JURUSAN GIZI POLTEKKES KEMENKES KUPANG

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis naik kehadirat Tuhan Yang Maha Esa Karen atas limpah rahmat serta
anurganya sehingga penulis dapat menyusun dan menyelesaikan makala yang berjudul Nilai
Sosial Pangan dan Makanan

Penulis menyadari Makala ini tidak luput dari berbagai kekuranagn. Untuk ini penulis
mengharapkan saran dan kritik demi kesepurnaan dan perbaikan sehingga akhirnya makala ini
dapat memberikan manfaat bagi kita semua

Kupang, 29 Mei 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL …………………….. i

KATA PENGANTAR ……………………….ii

DAFTAR ISI ……………………………………iii

BAB I PENDAHULUAN ………………………….1

1.1 Latar Belakang


1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan

BAB II PEMBAHASAN …………………………………….. 2

2.1 Faktor social budaya berhubungan dengan makanan


2.2 Faktor-faktor budaya rumah tangga
2.3 Fungsi social makanan
2.4 Perubahan sosial dan kebudayaan berkaitan dengan pola komsumsi pangan dan gizi
penduduk

BAB IV PENUTUP ………………………………………………… 14

3.1 Kesimpulan
3.2 Saran

DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………15

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Konsumsi makanan merupakan proporsi terbesar dalam susunan hidangan di
Indonesia, karena dianggap terpenting diantara jenis makanan lain.Suatu hidangan bila
tidak mengandung bahan makanan pokok dianggap tidak lengkap oleh masyarakat
(Sediaoetama, 1999). Di sisi lain makanan dalam pandangan sosial budaya, memiliki
makna lebih luas dari sekedar sumber gizi.Hal ini terkait dengan kepercayaan, status,
prestis, kesetiakawanan dan ketentraman dalam kehidupan manusia (Apomfires, 2002).
Menurut ahli antropologi Margaret Mead, pola pangan atau food pattern,adalah
cara seseorang atau sekelompok orang memanfaatkan pangan yang tersedia sebagai
reaksi terhadap tekanan ekonomi dan sosio-budaya yang dialaminya. Pola pangan
berkaitan dengan makan ( food habit )
Aspek sosial budaya pangan adalah fungsi pangan dalam masyarakat yang
berkembang sesuai dengan keadaan lingkungan, agama, adat, kebiasaan, dan pendidikan
masyarakat tersebut. Konsumsi makanan adalah makanan yang dimakan seseorang
1.2 Rumusan Masalah
1. Faktor social budaya berhubungan dengan makanan
2. Faktor-faktor budaya rumah tangga
3. Fungsi social makanan
4. Perubahan sosial dan kebudayaan berkaitan dengan pola komsumsi pangan dan
gizi penduduk
1.3 Tujuan
Tujuan dari makala ini supaya kita sebagai pembaca bisa mengetahui apa itu
Faktor social budaya berhubungan dengan makanan, Faktor-faktor budaya rumah tangga,
Fungsi social makanan, Perubahan sosial dan kebudayaan berkaitan dengan pola
komsumsi pangan dan gizi penduduk.

1
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 FAKTOR SOSIAL BUDAYA BERHUBUNGAN DENGAN MAKANAN


1. Faktor-Faktor Sosial Rumah Tangga
Kebutuhan makan bukanlah satu-satunya dorongan untuk mengatasi rasa lapar, di
samping itu ada kebutuhan fisiologis, seperti pemenuhan gizi ikut mempengaruhi.
Setiap strata atau kelompok sosial masyarakat mempunyai pola tersendiri dalam
memperoleh, menggunakan, dan menilai makanan yang merupakan ciri dari strata
atau kelompok sosial masingmasing (Suhardjo, 1989). Hal ini sesuai Hukum Bennet
dengan adanya pembagian strata dalam masyarakat berdasarkan ekonomi, yaitu
semakin tinggi pendapatan menyebabkan semakin beragam konsumsi jenis makanan
pokok (Hardinsyah dan Suhardjo, 1987).
Lingkungan sosial memberikan gambaran jelas tentang perbedaan pola makan.
Setiap masyarakat atau suku mempunyai kebiasaan makan berbeda sesuai kebiasaan
yang dianut. Masyarakat mengkonsumsi bahan makanan tertentu yang mempunyai
nilai social sesuai dengan tingkat status sosial yang terdapat pada masyarakat
tersebut. (Suhardjo, 1989).
2. Tingkat Pendidikan Rumah tangga
Soekirman (2000) mengemukakan bahwa pada bagan penyebab kekurangan gizi
oleh Unicef 1998 tercantum bahwa. meski secara tidak langsung namun tingkat
pendidikan merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya kekurangan gizi. Dari
sudut sosial ekonomi, tingkat pendidikan ibu rumah tangga merupakan salah satu
aspek yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat kesejahteraan suatu rumah
tangga.
Tingkat pendidikan formal seorang ibu seringkali berhubungan positif dengan
peningkatan pola konsumsi makanan rumah tangga. Hal ini termasuk upaya mencapai
status gizi yang baik pada anak-anaknya (Koblinsky, et.al, 1997). Tingkat pendidikan
yang lebih tinggi akan memudahkan seseorang untuk menyerap informasi dan

2
mengimplementasikan dalam perilaku dan gaya hidup sehari-hari, khususnya dalam hal
kesehatan dan gizi (Atmarita, 2004).
3. Status Pekerjaan Orang Tua
Perkawinan dan rumah tangga yang terbentuk diciptakan oleh fungsi daripada
perkawinan itu berupa dukungan ekonomis dan ikatan kasih sayang. Konsekuensinya
adalah bapak didudukkan pada posisi dan peranan instrumental dalam arti kegiatan
produktif managerial dan publik, sedangkan ibu didudukkan pada posisi mengelola
dan mengurus pekerjaan rumah tangga. Hal tersebut berarti bahwa terdapat
pembagian kerja antara bapak dan ibu dalam rumah tangga dan masyarakat bahwa
kebiasaan bapak mencari nafkah di luar rumah untuk memenuhi kebutuhan hidup
rumah tangga (Indrawasih, 1997).
Kesejahteraan rumah tangga tidak selalu bergantung pada penghasilan yang
diperoleh, tetapi juga ditentukan oleh siapa yang mencari nafkah dan mengontrol
pengeluaran rumah tangga. Ibu dibandingkan bapak ternyata cenderung
mengalokasikan uang untuk belanja makanan rumah tangganya. Meningkatnya
penghasilan rumah tangga yang berasal dari ibu bekerja akan memperbaiki konsumsi
makanan seluruh anggota rumah tangga (Khomsan, 2004).
4. Tingkat Pendapatan Rumah Tangga
Pendapatan rumah tangga adalah jumlah pendapatan yang diperoleh dari
pendapatan semua anggota rumah tangga dari berbagai kegiatan ekonomi sehari-hari
misalnya upah dan gaji, hasil produksi pertanian dikurangi biaya produksi,
pendapatan dari usaha rumah tangga bukan pertanian dan pendapatan dari kekayaaan
seperti sewa rumah, sewa alat, bunga, santunan asuransi, dan lain-lain (Surbakti,
1995).
Berbagai upaya perbaikan gizi biasanya berorientasi pada tingkat pendapatan.
Seiring makin meningkatnya pendapatan, maka kecukupan akan makanan dapat
terpenuhi. Dengan demikian pendapatan merupakan faktor utama dalam menentukan
kualitas dan kuantitas bahan makanan. Besar kecilnya pendapatan rumah tangga tidak
lepas dari jenis pekerjaan ayah dan ibu serta tingkat pendidikannya (Soekirman,
1991).

3
Pada rumah tangga dengan pendapatan rendah, 60-80 % dari pendapatannya
dibelanjakan untuk makanan. Elastisitas pendapatan untuk makanan yang
digambarkan dari persentase perubahan kebutuhan akan makanan untuk tiap 1 %
perubahan pendapatan, lebih besar pada rumah tangga yang miskin dibandingkan
pada rumah tangga kaya (Soekirman, 1991).
Upaya pemenuhan konsumsi makanan yang bergizi berkaitan erat dengan daya
beli rumah tangga. Rumah tangga dengan pendapatan terbatas, kurang mampu
memenuhi kebutuhan makanan yang diperlukan tubuh, setidaknya keanekaragaman
bahan makan kurang bisa dijamin karena dengan uang yang terbatas tidak akan
banyak pilihan. Akibatnya kebutuhan makanan untuk tubuh tidak terpenuhi (Apriadji,
1986).
5. Jumlah Anggota Rumah tangga
Anggota rumah tangga adalah semua orang yang biasanya bertempat tinggal di
suatu rumah tangga, baik berada di rumahpada saat pencacahan maupun sementara
tidak ada. Anggota rumah tangga yang telah bepergian 6 bulan atau lebih, dan
anggota rumah tangga yang bepergian kurang dari 6 bulan tetapi bertujuan pindah
atau akan meninggalkan rumah 6 bulan atau lebih, tidak dianggap anggota rumah
tangga. Orang yang telah tinggal di suatu rumah tangga 6 bulan atau lebih, atau yang
telah tinggal di suatu rumah tangga kurang dari 6 bulan tetapi berniat menetap di
rumah tangga tersebut, dianggap sebagai anggota rumah tangga (BPS, 2004).
Pemantauan konsumsi gizi tingkat rumah tangga tahun 1995-1998 juga
menyatakan bahwa jumlah anggota rumah tangga yang semakin banyak, akan
semakin mengalami kecenderungan turunnya rata-rata asupan energi dan protein per
kapita per hari yang ditunjukkan dengan prevalensi tertinggi pada rumah tangga yang
beranggotakan diatas enam orang (Latief, dkk, 2000).
2.2 FAKTOR-FAKTOR BUDAYA RUMAH TANGGA
Budaya telah menjadi konsep penting dalam memahami masyarakat dan kelompok
manusia untuk waktu yang lama. Budaya dapat diartikan sebagai gabungan kompleks asumsi
tingkah laku, cerita, mitos, metafora dan berbagai ide lain yang menjadi satu untuk
menentukan apa arti menjadi anggota masyarakat tertentu. Pengertian lain budaya adalah
sebagai suatu pola semua susunan baik 41 material maupun perilaku yang sudah diadposi

4
masyarakat sebagai suatu cara tradisional dalam memecahkan masalah-masalah para
anggotanya (Moeljono, 2003). Dalam budaya juga termasuk semua cara yang telah
terorganisasi, kepercayaan, norma, nilai-nilai budaya implisit serta premis-premis yang
mendasar dan mengandung suatu perintah serta tentang kandungan kimia makanan
(Winarno, 2019)
1. Kepercayaan masyarakat
Pada masyarakat tertentu terdapat suatu pemeo artinya makin tinggi tingkat
keprihatinan seseorang makin bahagia dan makin tinggi taraf sosial yang dapat
dicapainya. Keprihatinan ini dapat dicapai dengan “tirakat” yaitu suatu kepercayaan
melakukan kegiatan fisik dan mengurangi tidur, makan dan minum atau berpantang
melakukan sesuatu. Upacara agama atau merupakan bagian dari bentuk-bentuk
kebudayaan di daerah pedesaan, dan malahan juga di kotakota. Misalnya pada
permulaan mendirikan suatu bangunan baru ataupun sebuah rumah baru, selalu
dirayakan sebagai upacara peletakan batu pertama yang diikuti dengan selamatan.
Upacara selamatan lainnya dilakukan pada waktu pemasangan kasau yang pertama
dan pada waktu bangunan selesai. Pada waktu upacara-upacara ini tergantung dari
kemampuan tuan rumah, maka dipotong kambing, sapi atau kerbau dan kepalanya
dikuburkan pada tempat yang khusus sebagai korban untuk menyenangkan roh-roh
menurut kepercayaan berdiam di daerah tersebut (Suhardjo, 1989).
2. Pengetahuan Gizi Ibu
Pengetahuan adalah merupakan hasil tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan
penginderaan terhadap suatu obyek tertentu. Penginderaan tersebut sebagian besar
berasal dari penglihatan dan pendengaran. Pengukuran atau penilaian pengetahuan
pada umumnya berisi materi yang ingin diukur dari responden. Pengetahuan
seseorang biasanya diperoleh dari pengalaman yang berasal dari berbagai macam
sumber, misalnya media massa, media elektronik, buku petunjuk, petugas kesehatan,
media poster, kerabat dekat dan sebagainya, bisa juga melalui proses pembelajaran
seperti penyuluhan, pelatihan atau kursus. Pengetahuan dapat membantu menjelaskan
aspek-aspek penting didunia dan meramalkan terjadinya peristiwa-peristiwa yang
akan terjadi.

5
Pengetahuan gizi memegang peranan sangat penting dalam menggunakan
makanan yang baik sehingga dapat mencapai keadaan gizi yang cukup. Tingkat
pengetahuan gizi ibu sebagai pengelola rumah tangga berpengaruh pada jenis bahan
makanan yang dikonsumsi rumah tangga seharihari. Pengetahuan gizi dapat diperoleh
dari pendidikan formal maupun pendidikan non formal. Pengetahuan gizi memegang
peranan sangat penting dalam menggunakan makanan dengan tepat, sehingga dapat
tercapai keadaan dan status gizi yang baik (Husaini et al., 2017).
2.3 FUNGSI SOSIAL MAKANAN
1. Fungsi religi atau magis
Banyak simbol religi atau magis yang dikaitkan pada makanan. Dalam agam
Islam, kambing sering dikaitkan dengan upacara-upacara penting dalam kehidupan,
seperti padaupacara selamatan bayi baru lahir, atau pada khitanan. Dalam agama
Katolik, anggur diibaratkan darah Kristus dan roti tubuhnya. Pada masyarakat Jawa
pada berbagai upacara selamatan dihidangkan nasi tumpeng atau nasi kuning
(Almatsier, 2002).
2. Fungsi Komunikasi
Makanan merupakan media penting dalam upaya manusia berhubungan satu sama
lain. Di dalam rumah tangga kehangatan hubungan antar anggotanya terjadi pada
waktu makan bersama. Begitupun di antara rumah tangga besar diupayakan
pertemuan secara berkala dengan makan untuk memelihara dan mempererat
hubungan silaturahmi. Antar tetangga, sering dilakukan tukar menukar makanan
(Almatsier, 2002).
Dalam bisnis, kesepakatan sering diperoleh dalam suatu jamuan makan di
restoran atau di tempat makan lain. Pestapesta makan sering diselenggarakan untuk
menghormati seseorang, sekelompok orang atau untuk merayakan suatu peristiwa
penting. Banyak waktu dan uang digunakan untuk mengusahakan agar makanan yang
disajikan memenuhi selera tamu yang diundang (Almatsier, 2002)
3. Preferensi Makanan
Manusia makan untuk kenikmatan. Kesukaan akan makanan berbeda dari satu
bangsa ke bangsa lain, dan dari daerah/suku ke daerah /suku lain. Di Indonesia,
kesukaan makanan antar daerah/suku juga banyak berbeda. Makanan di Sumatra,

6
khususnya di Sumatra Barat lebih pedas daripada makanan di Jawa, khususnya Jawa
Tengah yang suka makanan manis. Secara umum makanan yang disukai adalah
makanan yang memenuhi selera atau citarasa/inderawi, yaitu dalam hal rupa, warna,
bau, rasa, suhu dan tekstur (Almatsier, 2002). Hasil penelitian Drewnowski (1999)
menyebutkan ada hubungan yang siginifikan preferensi makanan dengan frekuensi
makan pada wanita.
Ada tiga faktor utama yang mempengaruhi konsumsi makanan, yaitu :
karakteristik individu, karakteristik makanan, dan karakteristik lingkungan. Suatu
model atau kerangkan pemikiran diperlukan untuk menelaah konsumsi makanan
kaitannya dengan berbagai karakteristik tersebut, serta hubungan antar karakteristik
itu sendiri.
4. Ketersediaan Bahan Makanan
Ketersediaan makanan adalah suatu kondisi dalam penyediaan makanan yang
mencakup makanan dan minuman tersebut berasal apakah dari tanaman, ternak atau
ikan bagi rumah tangga dalam kurun waktu tertentu. Ketersediaan makanan dalam
rumah tangga dipengaruhi antara lain oleh tingkat pendapatan .
Ketersediaan makanan terkait dengan usaha produksi, distribusi dan perdagangan
makanan. Ketahanan pangan di tingkat mikro dinilai dari ketersediaan dan konsumsi
makanan dalam bentuk energi dan protein per kapita per hari
Proses makan pada manusia sering kali dikaitkan dengan aspek sosial budaya.
Urusan makan pada manusia tidaklah sesedarhana memasukkan makanan ke mulut,
seperti yang dilakukan hewan dan makhluk hidup lain. Aspek sosial budaya makan
adalah fungsi makanan dalam masyarakat yang berkembang sesuai dengan keadaan
lingkungan, agama, adat, kebiasaan, dan pendidikan masyarakat.

Ada beberapa kaitan makanan dengan fungsi sosial budaya.

1) Fungsi Kenikmatan
Salah satu tujuan manusia makan adalah untuk memperoleh kenikmatan.
Kesukaan akan makanan bereda dari satu bangsa dengan bangsa lain dan
dari satu daerah/suku dengan daerah/suku lain. Misalnya, makanan di
Negara tropis biasanya lebih berbumbu dibanding dengan negara yang

7
memiliki empat musim. Secara umum makanan yang disukai adalah
makanan yang memenuhi selera atau cita rasa, yaitu dalam hal rupa,
warna, bau, rasa, suhu, dan tekstur (Almatsier, 2002).
2) Makanan untuk Menyatakan Jati Diri
Makanan sering dianggap sebagai bagian penting untuk menyatakan jati
diri seseorang atau sekelompok orang. Misalnya di Cina, teh dianggap
sebagai minuman untuk menyambut tamu yang datang kerumah mereka.
Dan mereka malu jika minuman tersebut tidak dapat dihidangkan kepada
tamu.
3) Fungsi Religi dan Magis
Banyak simbol religi dan magis yang dikaitkan pada makanan. Dalam
agama islam, kambing sering dikaitkan dengan acara-acara penting dalam
kehidupan. Di antaranya, kambing untuk akikah bayi baru lahir, sebagai
hewan kurban, dan sebagainya. Dalam agama katolik, anggur diibaratkan
sebagai darah Kristus, sementara roti adalah tubuhnya.
4) Fungsi Komunikasi
Makanan merupakan media penting bagi manusia dalam berhubungan
dengan manusia lainnya. Di dalam keluarga, kehangatan hubungan
antaranggota terjadi pada waktu makan bersama.
5) Fungsi Status Ekonomi
Saat ini orang yang biasanya memakan junk food berasal dari keluarga
kaya dibanding dengan orang yang makan di warung biasa.
6) Simbol Kekuasaan
Melaui makan juga, seseorang atau sekelompok masyarakat dapat
menunjukkan kekuasaannya terhadap orang atau sekelompok masyarakat
lain. Misalnya, majikan makan makanan yang berbeda dengan makanan
yang dimakan pembantunya.
Keenam point tersebut diatas merupakan makanan dalam sisi
budaya. Hal tersebut di atas biasanya tidak terlalu diperhatikan oleh semua
orang dan lebih banyak orang yang tidak ingin memperhatikannya.

8
2.4 PERUBAHAN SOSIAL DAN KEBUDAYAAN BERKAITAN DENGAN POLA
KONSUMSI PANGAN DAN GIZI PENDUDUK
1. Makanan Sebagai Identitas Kelompok
Nasi adalah satu komoditas makanan utama bagi masyarakat Sunda dan Jawa.
Semantara jagung menjadi komoditas makanan utama masyarakat Madura. Bagi
orang barat mereka tidak membutuhkan nasi setelah mengkonsumsi roti karena roti
merupakan makanan utama dalam budaya barat. Persepsi dan penilaian seperti ini
merupakan makna makanan sebagai budaya utama sebuah masyarakat, oleh karena
itu tidak mengherankan bila orang sunda, kendati sudah makan roti kadang kala
masih berkata belum makan kerena dirinya belum makan nasi.
Karena ada kesangsian terhadap makanan hasil olahan atau makanan instan,
banyak di antara masyarakat kota yang sudah mulai pidah ketradisi vegetarian. Bagi
kelompok “gang‟‟, menghirup ganja, narkoba, dan merokok merupakan ciri
kelompoknya. Kacang diidentikan sebagai makan yang biasa menemani orang
menonton sepak bola, merokok menjadi teman untuk menghadirkan inspirasi atau
kreativitas. Pemahaman dan persepsi inilah lebih merupakan sebuah persepsi budaya
tandingan (counter-cultulre) terhadap budaya dominan.
Selain mengandung budaya dominan dan budaya tandingan, makanan pun
menjadi bagian dari budaya populer. Bakso merupakan makanan populer bagi
perempuan. Terakhir makanan sebagai makanan khusus untuk kelompok tertentu.
Makanan sub kultural misalnya daging babi bagi kalangan nasrani, ketupat bagi
kalangan muslim di hari lebaran, dodol bagi Cina dihari imlek, coklat menjadi icon
budaya dalam menunjukan rasa cinta dan kasih.
Berdasarkan talaahan ini, makanan mengandung makna sebagai:
a) Identitas arus budaya utama (dominan culture), artinya harus ada dan
menjadi kebutuhan utama masyarakat.
b) Budaya tandingan (counterculture), yaitu menghindari arus utama akibat
adanya kesangsian atau ketidak sepakatan dengan budaya arus utama, dan
c) Makanan sebagai identitas budaya bagi suatu kelompok tertentu
(subculture)
2. Makanan sebagai keunggulan etnik

9
Bila orang mendengar kata gudek, maka akan terbayang kota Yogyakarta,
mendengar kata pizza hat akan terbayang Italia, mendengar kata dodol dan jeruk
terbayang kota Garut, tetapi bila mendengar jeruk bangkok atau ayam bangkok sudah
tentu akan terbayang Bangkok-Thailand. Contoh tersebut menunjukan bahwa
makanan merupakan unsur budaya yang membawa makna budaya komunitasnya. Di
dalam makanan itu, orang tidak hanya mengkonsumsi material makananya melainkan
mengkonsumsi kreativitas dan keagungan budaya. Tidak ada yang heran bila ada
orang yang makan tahu sumedang terasa hampa makna bila tahu itu dibeli diluar
sumedang dan dirinya pun tidak pegi kesumedang. Begitu pula sebaliknya,
masyarakat akan memiliki kebanggaan tertentu bila mengkonsumsi moci yang dibeli
asli dari Cianjur.
Makanan adalah icon keunggulan budaya masyarakat. Semakin variatif makanan
itu dikenal publik semakin tinggi apresiasinya masyarakat daerah itu, semakin luas
distribusi wilayah pasar dari makanan tersebut, menunjukan kualitas makanan
tersebut diakui oleh masyarakat.
3. Perubahan Produksi pangan
Secara tradisional, makanan diperoleh melalui pertanian. Dengan meningkatnya
perhatian dalam agribisnis atas perusahaan-perusahaan multinasional yang memiliki
pasokan makanan dunia melalui paten pada makanan yang dimodifikasi secara
genetis, telah terjadi tren yang sedang berkembang menuju pertanian berkelanjutan
praktek. Pendekatan ini, sebagian didorong oleh permintaan konsumen, mendorong
keanekaragaman hayati, daerah kemandirian dan pertanian organik metode.
Peralatan yang digunakan dalam proses produksi pangan secara tradisional adalah
alat yang sederhana. Contohnya adalah kompor tungku, pemanggang yang
menggunakan bara api, piring yang terbuat dari tanah, dan sebagainya. Sedangkan
produksi secara modern menggunakan teknologi yang canggih. Kelebihan
menggunakan teknologi adalah dapat mempermudah dan mempecepat proses
produksi pangan. Contohnya adalah oven, kompor listrik, mikrowave, dan
sebagainya.
Dalam budaya populer, produksi massal produksi pangan, khususnya daging
seperti ayam dan daging sapi, mendapat kecaman dari berbagai dokumenter

10
mendokumentasikan pembunuhan massal dan perlakuan buruk terhadap binatang,
terutama pada perusahaan-perusahaan besar. Produksi serealia pun dilakukan secara
massal dan menggunakan peralatan modern.
Produksi pangan yang dilakukan secara modern dapat mempermudah proses
produksi. Hal tersebut juga dapat mempengaruhi perubahan sosial dan kebudayaan.
Contohnya adalah jika produksi pangan dilakukan secara tradisional maka
masyarakat akan saling bekerja sama dan saling bergotong-royong, dan dapat
meningkatkan hubungan sosial antar masyarakat. Sedangkan produksi pangan yang
dilakukan secara modern menggunakan alat-alat canggih dapat meregangkan
hubungan antar masyarakat. Karena dalam proses produksi hanya dibutuhkan tenaga
kerja dengan jumlah yang relatif sedikit.
4. Perubahan Konsumsi Pangan
Pola konsumsi pangan masyarakat di setiap daerah berbeda-beda, yaitu perbedaan
pola konsumsi pada masa pra-ASI, balita, anak-anak, remaja, dewasa, ibu hamil, dan
lanjut usia (Banudi, 2013).
Pada masa sebelum adanya pengetahuan masyarakat tentang gizi, para orang tua
mengambil peran penting dalam memperhatikan kebutuhan gizi keluarganya.
Pengetahuan orang tua yang minim dapat mempengaruhi status gizi keluarganya.
Sebelum adanya panduan tentang gizi, makanan pra-ASI yang dikonsumsi bayi
dibawah 6 bulan adalah madu, air tajin, pisang, air kelapa, dan kopi. Masyarakat
belum mengetahui bahwa bayi berumur dibawah 6 bulan tidak boleh diberi makanan
lain kecuali ASI. Setelah adanya panduan ilmu gizi yang menyebar di masyarakat,
pemberian makanan pra-ASI yang salah semakin berkurang.
Pada kalangan anak-anak dan remaja, pola konsumsi makanan dipengaruhi oleh
budaya masyarakat yang menganggap bahwa makanan memiliki pantangan atau tabu
untuk dimakan. Contohnya bagi anak-anak dan balita dilarang memakan makanan
yang asam, pedas, anyir, karena dapat mengakibatkan perut menjadi panas bahkan
sakit perut. Di era globalisasi, pola konsumsi anak-anak dan remaja beralih ke
makanan cepat saji (fast food), snack, dan konsumsi gula yang berlebihan. Hal
tersebut dapat memperburuk status gizi dan kesehatan.

11
Masyarakat beralih pada tempat-tempat yang menjual makanan cepat saji, yaitu
restoran, cafe, pizza hut, dan outlet-outlet lainnya. Kepercayaan masyarakat terhadap
makanan tertentu dapat mempengaruhi pola konsumsi pangan pada setiap kalangan.
Perubahan pola konsumsi pangan tersebut dapat menjadikan status gizi lebih baik
ataupun menjadi semakin buruk.
5. Perubahan Distribusi Pangan
Secara sederhana, proses distribusi pangan hanya menggunakan alat transportasi
sederhana, yaitu gerobak sapi, angkutan umum, truk, dan sebagainya. Di era modern,
peralatan yang digunakan adalah teknologi canggih yang dapat mempermudah proses
distribusi pangan. Bahkan, proses distribusi dapat melibatkan hubungan kerja antar
negara. Alat transportasi yang digunakan pun semakin modern, seperti pesawat,
helikopter, paket kilat, dan sebagainya.
Pemasaran makanan menyatukan produsen dan konsumen. Ini adalah rangkaian
kegiatan yang membawa makanan dari petani ke piring. Pemasaran bahkan produk
makanan tunggal dapat menjadi proses rumit yang melibatkan banyak produsen dan
perusahaan. Sebagai contoh, lima puluh enam perusahaan yang terlibat dalam
pembuatan satu dapat dari mie sup ayam. Usaha ini meliputi tidak hanya ayam dan
prosesor sayuran tetapi juga perusahaan-perusahaan yang mengangkut bahan dan
orang-orang yang mencetak label dan pembuatan kaleng. Sistem pemasaran pangan
adalah tidak langsung terbesar langsung dan non-pemerintah majikan di Amerika
Serikat.
Di era pra-modern, penjualan makanan surplus berlangsung seminggu sekali saat
petani mengambil barang-barang mereka pada hari pasar, ke pasar desa setempat.
Berikut makanan dijual ke grosir untuk dijual di toko-toko lokal mereka untuk
membeli oleh konsumen lokal. Dengan terjadinya industrialisasi, dan pengembangan
industri pengolahan makanan, yang lebih luas makanan dapat dijual dan
didistribusikan di jauh lokasi. Biasanya toko-toko kelontong awal akan kontra
didasarkan toko di mana pembeli kepada penjaga toko apa yang mereka inginkan,
sehingga penjaga toko bisa mendapatkannya untuk mereka.
Pada abad ke-20 supermarket lahir. Supermarket membawa mereka self service
pendekatan untuk belanja menggunakan shopping cart, dan mampu menawarkan

12
makanan berkualitas dengan biaya yang lebih rendah melalui skala ekonomi dan
mengurangi biaya staf. Di bagian akhir abad ke20, ini telah lebih jauh merevolusi
oleh perkembangan luas gudang berukuran, luar kota supermarket, menjual berbagai
macam makanan dari seluruh dunia.
Tidak seperti pengolahan makanan, ritel makanan adalah pasar lapis dua di mana
sejumlah kecil sangat besar perusahaan mengendalikan sebagian besar supermarket.
Raksasa supermarket menggunakan daya beli yang besar atas petani dan prosesor,
dan pengaruh yang kuat atas konsumen. Namun demikian, kurang dari sepuluh persen
dari belanja konsumen pada makanan pergi ke petani, dengan persentase lebih besar
akan iklan, transportasi, dan perusahaan menengah.

13
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
1. Faktor social budaya berhubungan dengan makanan yang terdiri dari Faktor-Faktor
Sosial Rumah Tangga, Tingkat Pendidikan Rumah tangga, Status Pekerjaan Orang
Tua, Tingkat Pendapatan Rumah Tangga,
2. FAKTOR-FAKTOR BUDAYA RUMAH TANGGA adalah Budaya telah menjadi
konsep penting dalam memahami masyarakat dan kelompok manusia untuk waktu
yang lama. Budaya dapat diartikan sebagai gabungan kompleks asumsi tingkah laku,
cerita, mitos, metafora dan berbagai ide lain yang menjadi satu untuk menentukan apa
arti menjadi anggota masyarakat tertentu
3. FUNGSI SOSIAL MAKANAN yang terdiri dari Fungsi religi atau magis, Fungsi
Komunikasi, Preferensi Makanan, Ketersediaan Bahan Makanan
6. PERUBAHAN SOSIAL DAN KEBUDAYAAN BERKAITAN DENGAN POLA
KONSUMSI PANGAN DAN GIZI PENDUDUK yang terdiri dari Makanan Sebagai
Identitas Kelompok, Makanan sebagai keunggulan etnik, Perubahan Produksi
pangan, Perubahan Konsumsi Pangan, Perubahan Distribusi Pangan

3.2 Saran
Semoga makala ini bermanfaat dan menamba ilmu bagi kita semua yang membaca.

14
DAFTAR PUSTAKA

file:///C:/Users/Acer/Downloads/Documents/BUKU%20SOSIOLOGI%20DAN%
20ANTROPOLOGI%20GIZI.pdf

15

Anda mungkin juga menyukai