Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH SOSIOLOGI ANTROPOLOGI

“PERUBAHAN PENDAPATAN, STATUS SOSIAL DAN DAMPAKNYA


PADA GIZI”

Oleh:
KELOMPOK IV
D-IV IA GIZI

‘AINIL MARDHIYAH
ANISA ULFA
ANNISA RAFIKA
ASTIKA CITRA UTAMI
ARI HASNIKA
SILFIA YULIANI
MUTIA AMATULLAH

DOSEN MATAKULIAH :
Defriani Dwiyanti, S.SiT, M.Kes

KEMENTRIAN KESEHATAN RI
POLITEKNIK KESEHATAN RI PADANG
2015/2016
Kata Pengantar

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, kami
panjatkan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat-Nya kepada kami,
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah sosiologi antropologi tentang perubahan
pendapatan, status sosial dan dampaknya pada gizi.

Adapun makalah makalah sosiologi antropologi tentang perubahan pendapatan, status


sosial dan dampaknya pada gizi ini telah kami usahakan semaksimal mungkin dan tentunya
dengan bantuan berbagai pihak, sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu
kami tidak lupa menyampaikan bayak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
kami dalam pembuatan makalah ini.

Namun tidak lepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa ada kekurangan
baik dari segi penyusun bahasanya maupun segi lainnya. Oleh karena itu dengan lapang dada dan
tangan terbuka kami membuka selebar-lebarnya bagi pembaca yang ingin memberi saran dan
kritik kepada kami sehingga kami dapat memperbaiki makalah ini.

Akhirnya penulis mengharapkan semoga dari makalah makalah sosiologi antropologi


tentang perubahan pendapatan, status sosial dan dampaknya pada gizi ini dapat diambil hikmah
dan manfaatnya sehingga dapat memberikan inpirasi terhadap pembaca.

Padang,  Maret 2016

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sebagai negara berkembang Indonesia memiliki angka pertumbuhan penduduk yang
sangat tinggi, tapi tidak seimbang dengan Sumber Daya Manusia (SDM) yang maksimal.
Kurangnya kemampuan dan keterbatasan dalam mengelola Sumber Daya Alam (SDA)
dimana seharusnya kekayaan alam dapat di manfaatkan dengan kurangnya kemampuan
masyarakat untuk memanfaatkan pada akhirnya Sumber Daya Alam (SDA) dapat dilihat
sebagai bahan mentah saja. Padahal dengan pemanfaatan Sumber Daya Alam (SDA) dapat
meningkatkan status ekonomi masyarakat yang mana dapat meningkatkan derajat ekonomi.
Dengan rendahnya status ekonomi akan menjadikan masyarakat semakin miskin.
Salah satu dampak dari kemiskinan akan mengakibatkan kualitas kesehatan menurun,
yang berpengaruh akibat rendahnya ekonomi adalah kekurangan gizi akibat daya beli yang
kurang. Kemiskinan adalah merupakan suatu keadaan yang menggambarkan kurangnya
pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang paling pokok seperti pangan, pakaian,
tempat berteduh dan lain-lain. (Emil Salimbahwa)
Kemampuan keluarga untuk membeli bahan makanan tergantung pada besar kecilnya
pendapatan keluarga. Keluarga dengan pendapatan terbatas kemungkinan besar akan kurang
memenuhi kebutuhan makanannya terutama untuk memenuhi kebutuhan zat gizi dalam
tubuhnya. Selain itu tingkat pendapatan dapat menentukan pola makan. Orang dengan tingkat
ekonomi rendah biasanya akan membelanjakan sebagian besar pendapatan untuk makanan,
sedangkan orang dengan tingkat ekonomi tinggi akan berkurang belanja untuk makanan.
(FKM UI, 2007 : 176)
Saat ini di dalam era globalisasi dimana terjadi perubahan gaya hidup dan pola
makan, Indonesia menghadapi permasalahan gizi ganda. Di satu pihak masalah gizi kurang
yang pada umumnya disebabkan oleh kemiskinan, kurangnya persediaan pangan, kurang
baiknya kualitas lingkungan, kurangnya pengetahuan masyarakat tentang gizi. Selain itu
masalah gizi lebih yang disebabkan oleh kemajuan ekonomi pada lapisan masyarakat
tertentu disertai dengan kurangnya pengetahuan tentang gizi (Azrul,2004).
Peningkatan pendapatan pada kelompok masyarakat tertentu mengakibatkan
perubahan gaya hidup dan pola makan. Perubahan pola makan ini dipercepat dengan
maraknya arus budaya makanan asing yang disebabkan oleh kemajuan teknologi informasi
dan globalisasi ekonomi. Disamping itu perbaikan ekonomi menyebabkan berkurangnya
aktifitas fisik masyarakat tertentu. Perubahan pola makan dan aktifitas fisik ini berakibat
semakin banyaknya penduduk dengan golongan tertentu mengalami masalah gizi lebih
berupa kegemukan dan obesitas (Almatsier,2009).

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengaruh perubahan pendapatan terhadap gizi
2. Bagaimana dampak status social terhadap gizi

C. Tujuan penulisan
1. Mahasiswa mampu mngetahui bagaimana pengaruh perubahan pendapatan
terhadap gizi
2. Mahasiswa mampu mengetahui bagaimana dampak status social terhadap gizi
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Perubahan pendapatan dan dampaknya terhadap gizi

Menurut ilmu ekonomi pendapatan adalah jumlah uang yang diterima oleh perusahaan dari
aktivitasnya, kebanyakan dari penjualan produk dan/atau jasa kepada pelanggan. Bagi investor,
pendapatan kurang penting dibanding keuntungan, yang merupakan jumlah uang yang diterima
setelah dikurangi pengeluaran. Pertumbuhan pendapatan merupakan indikator penting dari
penerimaan pasar dari produk dan jasa perusahaan tersebut. Pertumbuhan pendapatan yang
konsisten, dan juga pertumbuhan keuntungan, dianggap penting bagi perusahaan yang dijual ke
publik melalui saham untuk menarik investor.

Status Sosial Ekonomi yaitu meliputi data sosial yaitu, keadaan penduduk, keadaan keluarga,
pendidikan, perumahan, dapur penyimpanan makanan, sumber air, kakus. Sementara data
ekonomi meliputi pekerjaan, pendapatan keluarga, kekayaan, pengeluaran dan harga makanan
yang tergantung pada pasar dan variasi musim (Supriasa, 2002).

Menurut Dalimunthe (1995), kehidupan sosial ekonomi adalah suatu kehidupan sosial
ekonomi masyarakat yang menggunakan indikator pendidikan, pekerjaan dan penghasilan
sebagai tolak ukur.

Fungsi ekonomi yaitu :

 kebutuhan makan dan minum


 kebutuhan pakaian untuk menutup tubuh
 kebutuhan tempat tinggal

Peningkatan pendapatan pada kelompok masyarakat tertentu mengakibatkan perubahan gaya


hidup dan pola makan. Perubahan pola makan ini dipercepat dengan maraknya arus budaya
makanan asing yang disebabkan oleh kemajuan teknologi informasi dan globalisasi ekonomi.
Disamping itu perbaikan ekonomi menyebabkan berkurangnya aktifitas fisik masyarakat
tertentu. Perubahan pola makan dan aktifitas fisik ini berakibat semakin banyaknya penduduk
dengan golongan tertentu mengalami masalah gizi lebih berupa kegemukan dan obesitas
(Almatsier,2009).
Masalah gizi di Indonesia dan di negara berkembang pada umumnya masih didominasi oleh
masalah Kurang Energi Protein (KEP), Masalah Anemia Besi, masalah Gangguan Akibat
Kekurangan Yodium (GAKY), masalah Kurang Vitamin A (KVA) (Nyoman S, dkk 2002).
Rawan pangan dan gizi masih menjadi salah satu masalah besar bangsa ini. Masalah gizi
berawal dari ketidakmampuan rumah tangga mengakses pangan, baik karena masalah
ketersediaan di tingkat lokal, kemiskinan, pendidikan dan pengetahuan akan pangan dan gizi,
serta perilaku masyarakat. Kekurangan gizi mikro seperti vitamin A, zat besi dan yodium
menambah besar permasalahan gizi di Indonesia. Dengan demikian masalah pangan dan gizi
merupakan permasalahan berbagai sektor dan menjadi tanggung jawab bersama pemerintah dan
masyarakat (Suzeta, 2007).
Salah satu akibat kemiskinan adalah ketidakmampuan rumah tangga untuk memenuhi
kebutuhan pangan dalam jumlah dan kualitas yang baik; lebih dari 10 persen penduduk di setiap
provinsi mengalami rawan pangan, kecuali di Provinsi Sumatera Barat, Bali, dan Nusa Tenggara
Barat. Hal ini berakibat pada kekurangan gizi, baik zat gizi makro maupun mikro, yang dapat
diindikasikan dari status gizi anak balita dan wanita hamil (Suzeta, 2007).

Tingkat pendapatan merupakan faktor yang paling menentukan terhadap kuantitas dan
kualitas makanan yang dikonsumsi. Dengan demikian, terdapat hubungan yang erat antara
pendapatan dan keadaan status gizi. Rendahnya pendapatan menyebabkan daya beli terhadap
makanan menjadi rendah dan konsumsi pangan akan berkurang. Kondisi ini akhirnya akan
mempengaruhi kesehatan dan status gizi.
Faktor pendapatan mempunyai peranan besar dalam masalah gizi dan kebiasaan makan
masyarakat. Ketersediaan pangan suatu keluarga sangat dipengaruhi oleh tingkat pendapatan
keluarga tersebut. Pendapatan keluarga akan mempengaruhi tingkat konsumsi pangan keluarga.
Tingkat pendapatan yang tinggi akan memberikan peluang yang lebih besar dalam memilih
makanan yang baik dalam jumlah dan jenis (Suhardjo 1989). Jenis pekerjaan yang dimiliki
seseorang merupakan faktor yang paling menentukan kuantitas makanan karena jenis pekerjaan
memiliki hubungan dengan pendapatan yang diterima.
Menurut Martianto dan Ariani (2004) tingkat pendapatan seseorang akan berpengaruh
terhadap jenis dan jumlah bahan pangan yang dikonsumsinya. Sesuai dengan Hukum Bennet,
semakin tinggi pendapatan maka kualitas bahan pangan yang dikonsumsi pun semakin baik
yang tercermin dari perubahan pembelian bahan pangan yang harganya murah menjadi bahan
pangan yang harganya lebih mahal dengan kualitas yang lebih baik. Sebaliknya, rendahnya
pendapatan yang dimiliki oleh seseorang akan mengakibatkan terjadinya perubahan kebiasaan
makan yang tercermin dari pengurangan frekuensi makan dari tiga kali menjadi dua kali dalam
sehari.
Selain itu, masyarakat berpendapatan rendah juga akan mengkonsumsi pangan dalam jumlah
dan jenis yang beragam untuk memenuhi kebutuhan gizi yang seimbang seperti mengkonsumsi
tahu dan tempe sebagai pengganti daging. Menurut Winarno (1993), tingkat ekonomi
(pendapatan) yang rendah dapat mempengaruhi pola makan. Pada tingkat pendapatan yang
rendah, sebagian besar pengeluaran ditujukan untuk memenuhi kebutuhan pangan dengan
berorientasi pada jenis pangan karbohidrat. Hal ini disebabkan makanan yang mengandung
banyak karbohidrat lebih murah dibandingkan dengan makanan sumber zat besi, sehingga
kebutuhan zat besi akan sulit terpenuhi, dan dapat berdampak pada terjadinya anemia gizi besi.
Pendapatan dianggap sebagai salah satu determinan utama konsumsi makanan dan
pertumbuhan. Berg (1988) dan Megawangi (1989) menyatakan ada 3 kecenderungan yang
relevan terhadap hubungan antara pendapatan dan konsumsi makanan, yaitu :
 Hukum Engel yang menyatakan bahwa jika pendapatan meningkat, proporsi
pengeluaran untuk makanan terhadap pendapatan total menurun, tetapi absolut
untuk makanan meningkat. Sesungguhnya hukum ini tidak berlaku pada
kelompok masyarakat miskin yang pengeluaran absolutnya untuk makanan sudah
sangat rendah atau bahkan dibawah kebutuhan minimum, sehingga jika terjadi
peningkatan pendaatan maka proporsi pengeluaran untuk makanan pun
meningkat.
 Hukum Perisse yang menyatakan bahwa jika terjadi perubahan pendapatan, maka
makanan yang dibeli akan lebih bervariasi atau berubah. Mereka yang
mempunyai pendapatan sangat rendah akan selalu membeli lebih banyak
makanan sumber karbohidrat, tetapi jika pendapatannya naik maka makanan
sumber karbohidrat yang dibeli akan menurun diganti dengan makanan sumber
protein hewani dan produk sayuran.
 Jika pendapatan meningkat, pilihan terhadap makanan akan berubah kepada yang
lebih bersih dengan proses yang lebih baik dan lebih menyenangkan.

Dalam rangka penganekaragaman konsumsi pangan, daya beli harus sanggup membeli bahan
makanan yang mencukupi, baik kuantitas maupun kualitasnya. Keluarga dan masyarakat yang
berpenghasilan rendah, akan mempergunakan sebagian besar dari pendapatannya untuk membeli
makanan dan bahan makanan. Pada batas penghasilan terendah, yaitu makanan dan bahan
makanan yang dapat dibeli untuk keluarga tidak mencukupi untuk mendapat dan memelihara
kesehatan seluruh keluarga disebut dengan garis kemiskinan.
Pendapatan rumah tangga adalah jumlah pendapatan yang diperoleh dari pendapatan semua
anggota rumah tangga dari berbagai kegiatan ekonomi sehari-hari misalnya upah dan gaji, hasil
produksi pertanian dikurangi biaya produksi, pendapatan dari usaha rumah tangga bukan
pertanian dan pendapatan dari kekayaaan seperti sewa rumah, sewa alat, bunga, santunan
asuransi, dan lain-lain (Surbakti, 1995).
Pendapatan keluarga  merupakan penghasilan dalam jumlah uang yang akan dibelanjakan
oleh keluarga dalam bentuk makanan. Kemiskinan sebagai penyebab  gizi kurang menduduki
posisi pertama  pada kondisi yang  umum. Hal ini harus mendapat perhatian  serius karena
keadaan ekonomi ini relatif mudah diukur dan berpengaruh besar terhadap konsumen pangan.
Golongan miskin menggunakan bagian terbesar dari pendapatan untuk memenuhi kebutuhan
makanan, dimana untuk keluarga  di negara berkembang sekitar dua pertiganya (Suhardjo,
1996).
Berbagai upaya perbaikan gizi biasanya berorientasi pada tingkat pendapatan. Seiring makin
meningkatnya pendapatan, maka kecukupan akan makanan dapat terpenuhi. Dengan demikian
pendapatan merupakan faktor utama dalam menentukan kualitas dan kuantitas bahan makanan.
Besar kecilnya pendapatan rumah tangga tidak lepas dari jenis pekerjaan ayah dan ibu serta
tingkat pendidikannya (Soekirman, 1991).
Pada rumah tangga dengan pendapatan rendah, 60-80 % dari pendapatannya dibelanjakan
untuk makanan. Elastisitas pendapatan untuk makanan yang digambarkan dari persentase
perubahan kebutuhan akan makanan untuk tiap 1 % perubahan pendapatan, lebih besar pada
rumah tangga yang miskin dibandingkan pada rumah tangga kaya (Soekirman, 1991).
Upaya pemenuhan konsumsi makanan yang bergizi berkaitan erat dengan daya beli rumah
tangga. Rumah tangga dengan pendapatan terbatas, kurang mampu memenuhi kebutuhan
makanan yang diperlukan tubuh, setidaknya keanekaragaman bahan makan kurang bisa dijamin
karena dengan uang yang terbatas tidak akan banyak pilihan. Akibatnya kebutuhan makanan
untuk tubuh tidak terpenuhi (Apriadji, 1986).
Masalah kesehatan yang menimbulkan perhatian masyarakat cukup besar akhir-akhir ini
adalah masalah gizi kurang dan gizi buruk. Walaupun sejak tahun 1989 telah terjadi penurunan
prevalensi gizi kurang yang relatif tajam, mulai tahun 1999 penurunan prevalensi gizi kurang
dan gizi buruk pada balita relatif lamban dan cenderung tidak berubah. Saat ini terdapat 10
provinsi dengan prevalensi gizi kurang di atas 30, dan bahkan ada yang di atas 40 persen, yaitu
di Provinsi Gorontalo, Nusa Tenggara Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur (NTT), dan Papua.
Kurang Energi dan Protein (KEP) pada tingkat parah atau lebih populer disebut busung lapar,
dapat menimbulkan permasalahan kesehatan yang besar dan bahkan dapat menyebabkan
kematian pada anak. Menurut data Susenas 2003, diperkirakan sekitar 5 juta (27,5 persen) anak
balita menderita gizi kurang, termasuk 1,5 juta (8,3 persen) di antaranya menderita gizi buruk.
Data Departemen Kesehatan menunjukkan bahwa pada tahun 2004 masih terdapat 3,15 juta anak
(16 persen) menderita gizi kurang dan 664 ribu anak (3,8 persen) menderita gizi buruk. Pada
tahun 2005 dilaporkan adanya kasus gizi buruk tingkat parah atau busung lapar di Provinsi Nusa
Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur, serta beberapa provinsi lainnya. Penderita kasus gizi
buruk terbesar yang dilaporkan terjadi di Provinsi Nusa Tenggara Barat, yaitu terdapat 51 kasus
yang dirawat di rumah sakit sejak Januari sampai dengan Mei 2005. Jumlah kasus di sembilan
provinsi sampai Juni 2005 dilaporkan sebanyak 3.413 kasus gizi buruk dan 49 di antaranya
meninggal dunia.
Munculnya kejadian gizi buruk ini merupakan masalah yang menunjukkan bahwa masalah
gizi buruk yang muncul hanyalah sebagian kecil dari masalah gizi buruk yang sebenarnya terjadi.
Di Provinsi Nusa Tenggara Barat misalnya, berdasarkan hasil pencatatan dan pelaporan sejak
Januari-Juni 2005 hanya ditemukan sekitar 900 kasus. Namun, diperkirakan terdapat 2.200 balita
marasmus kwashiorkor. Masalah busung lapar terutama dialami oleh anak balita yang berasal
dari keluarga miskin.
Dari semua masalah kesehatan yang ada tersebut menunjukkan bahwa ekonomi atau
pendapatan suatu masyarakat sangat berpengaruh pada status gizi masyarakat tersebut.
Kemampuan untuk membeli bahan makanan yang berkualitas dengan gizi yang seimbang
disebabkan karena daya beli dan pengetahuan pula. Dari pengertian ini dapat dijelaskan bahwa
semakin basar pendapatan dan pengetahuan dari masyarakat akan semakin tinggi pamenuhan
gizi dan semakin baik pula status gizi pada masyarakat. Status gizi yang rendah dan masalah-
masalah kesehatan terjadi karena rendahnya daya beli barang atau jasa untuk pemunuhan
kesehatannya, sedangakan rendahnya daya beli tersebut disebabkan karena rendahnya
pendapatan serta pengetahuan kesehatan yang kurang.
Tingkat pendapatan sangat berpengaruh terhadap konsumsi energi. Seseorang yang
mempunyai pendapatan perbulan yang tinggi akan mempunyai daya beli yang tinggi pula
sehingga memberikan peluang yang lebih besar untuk memilih berbagai jenis makanan.
Dalam hal ini adalah daya beli keluarga. Kemampuan keluarga untuk membeli bahan
makanan antara lain tergantung pada besar kecilnya pendapatan keluarga, harga bahan makanan
itu sendiri, serta tingkat pengelolaan sumber daya lahan dan pekarangan. Keluarga dengan
pendapatan terbatas kemungkinan besar kurang dapat memenuhi kebutuhan makanannya
terutama untuk memenuhi kebutuhan zat gizi dalam tubuhnya (Fikawati & Shafiq, 2012).
Pendapatan merupakan faktor yang paling menentukan kualitas dan kuantitas hidangan.
Semakin banyak mempunyai uang berarti semakin baik makanan yang diperoleh. Dengan kata
lain semakin tinggi penghasilan, semakin besar pula persentase dari penghasilan tersebut untuk
membeli daging, buah, sayuran dan beberapa jenis bahan makanan lainnya (Fikawati & Shafig,
2012).

Kemiskinan sebagai penyebab gizi kurang menduduki posisi pertama pada kondisi umum di
masyarakat. Masalah utama penduduk miskin pada umumnya sangat tergantung pada pendapatan
perhari yang pada umumnya tidak mencukupi kebutuhan dasar secara normal. Penduduk miskin
cenderung tidak mempunyai cadangan panagan karena daya belinya rendah.

Pada tahun 1998, ada 51,0% rumah tangga didaerah perkotaan dan 47,5% rumah tangga
didaerah, pedesaan mengalami masalah kekurangan konsumsi pangan (Ernawati, 2006).

Pada umumnya, dengan meningkatnya pendapatan perorangan, terjadilah perubahan-


perubahan dalam susunan makanan. Akan tetapi, pengeluaran uang lebih banyak untuk pangan
yang tidak terjamin lebih beragamnya konsumsi pangan (Suhardjo, 1999).
Keterbatasan penghasilan keluarga turut menentukan mutu makanan yang disajikan. Tidak
dapat disangkal bahwa penghasilan keluarga akan turut menentukan hidangan yang disajikan
untuk keluarga sehari-hari, baik kualitas maupun jumlah makanan (Proverawati & Asfuah,
2009).

B. Perubahan status social dan dampaknya terhadap gizi

Status social adalah suatu kedudukan sosial seseorang di masyarakat yang dapat diperoleh
dengan sendirinya (otomatis) melalui usaha ataupun karena pemberian. Interaksi sosial akan
mendorong individu untuk dapat mencapai status sosial yang lebih tinggi. Status sosial yang
lebih tinggi akan berpengaruh pula pada sikap dan rasa penghargaan yang tinggi dari masyarakat.
Oleh karena itu, setiap orang akan berusaha untuk mencapai status sosial yang lebih tinggi.

Sebagai contoh, seorang pejabat tentunya memiliki ruang lingkup interaksi yang lebih luas
dan bervariatif bila dibandingkan dengan seorang petani. Pejabat akan berinteraksi dengan
banyak orang dan dari berbagai status dan latar belakang yang berbeda-beda, mulai dari
masyarakat biasa, pengusaha, politikus, teknokrat, akademis, dan sebagainya yang berkaitan
dengan tugas dan fungsinya. Lain halnya dengan petani, dalam kesehariannya ia hanya
berinteraksi dengan sedikit orang yang status dan latar belakangnya juga tidak jauh bebeda
dengan dirinya.

Keadaan sosial ekonomi keluarga merupakan salah satu faktor yang menentukan jumlah
makanan yang tersedia dalam keluarga sehingga turut menentukan status gizi keluarga tersebut.
Yang termasuk dalam faktor sosial (Supariasa, 2002) adalah:
a. Keadaan penduduk suatu masyarakat
b. Keadaan keluarga.
c. Tingkat pendidikan orang tua
d. Keadaan rumah

Data ekonomi dari faktor sosial ekonomi meliputi :


a. Pekerjaan orang tua.
b. Pendapatan keluarga.
c. Pengeluaran keluarga.
d. Harga makanan yang tergantung pada pasar dan variasi musim
Banyak faktor sosial ekonomi yang sukar untuk dinilai secara kuantitatif, khususnya
pendapatan dan kepemilikan (barang berharga, tanah, ternak) karena masyarakat enggan untuk
membicarakannya kepada orang yang tidak dikenal, termasuk ketakutan akan pajak dan
perampokan. Tingkat pedidikan termasuk dalam faktor sosial ekonomi karena tingkat pendidikan
berhubungan dengan status gizi yaitu dengan meningkatkan pendidikan kemungkinan akan dapat
meningkatkan pendapatan sehingga meningkatkan daya beli makanan untuk mencukupi
kebutuhan gizi keluarga .
Kurangnya pemberdayaan keluarga dan pemanfatan sumber daya masyarakat
mempengaruhi faktor sosial ekonomi keluarga, termasuk kurangnya pemberdayaan wanita dan
tingkat pendidikan dan pengetahuan orang tua khususnya ibu dalam mengasuh anaknya juga
termasuk faktor sosial ekonomi yang akan mempengaruhi status gizi keluarga.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Di dalam konsumsi pangan terdapat bebagai perubahan sosial termasuk
perubahan pendapatan. Perubahan pendapatan menentukan tingkat konsumsi pangan
seseorang. Semakin tinggi pendapatan, semakin tinggi pula konsumsi pangannya,
begitupun sebaliknya. Selain itu rendahnya pendapatan menyebabkan daya beli terhadap
makanan menjadi rendah dan konsumsi pangan akan berkurang. Kondisi ini akhirnya
akan mempengaruhi kesehatan dan status gizi. Status gizi mempunyai andil yang cukup
besar dalam menciptakan status kesehatan.

B. Saran
Berdasarkan penjelasan diatas upaya untuk meningkatkan status gizi adalah
dengan cara meningkatkan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan makanan bergizi
seimbang, seiring dengan peningkatan ekonomi atau penghasilan harus disertai dengan
peningkatan pengetahuan tentang pentingnya pemenuhan kebutuhan kesehatan terutama
gizi.
DAFTAR PUSTAKA

Foster, George M dan Barbara Gallatin Anderson. 1986. Antropologi Kesehatan. Penerjemah
Priyanti Pakan Suryadarma dan Meutia F. Hatta Swasono, Jakarta: UI Press.

http://id.wikipedia.org/wiki/Perubahan_sosial

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/37295/4/Chapter%20II.pdf

http://francischa99.blogspot.co.id/2013/02/konsep-dasar-nutrisi-faktor-sosial.html

http://sutarmo-univet.blogspot.co.id/2014/12/pengaruh-ekonomi-terhadap-status-gizi.html

Anda mungkin juga menyukai