Anda di halaman 1dari 7

PERMASALAHAN GIZI DI TIGA NEGARA

(MISKIN, BERKEMBANG, MAJU)

Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Global Health

Konsentrasi

Dosen:
Farid Agushybana, S.KM., DEA., Ph.D.

Disusun Oleh :
1. Ainun Nadzifatul Amalia Hafidz 25000119410020
2. Afiyah Hidayati 25000119410029
3. Dentia Wahyu Mukti 25000119410031

PROGRAM STUDI MAGISTER KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2019
PERMASALAHAN GIZI DI 3 NEGARA
(MISKIN, BERKEMBANG, DAN MAJU)

Permasalahaan gizi terjadi di berbagai negara baik negara miskin,


berkembang, maupun maju sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada di negara-
negara tersebut. Permasalahan gizi di tiga negara tersebut sangat dipengaruhi oleh
faktor social, ekonomi, kondisi lingkungan, dan kesehatan. Berikut penjabaran
permasalahan dan penyebab masalah gizi di ntiga negara yang berbeda :
1. Negara miskin
Dari artikel yang kami dapat mengenai permasalahan gizi di negara Ethiopia
yang termasuk kedalam negara miskin ada beberapa permasalahan gizi yang
ditemukan antara lain gizi buruk dan stunting. Adapun penyebab dari gizi buruk
dan stunting yang ada di negara Ethiopia antara lain :
a. Kurangnya ketersediaan pangan dimana Ethiopa merupakan negara miskin
sehingga belum mampu mencukupi kebutuhan pangan warganya.
b. Diversifikasi pangan yang terbatas dimana lahan pertanian yang belum
dimanfaatkan secara optimal dimana kondisi demografis yang kurang.
c. Kurangnya sumber air dimana di Ethiopia terjadi krisis air bersih dan langka
akan sumber air bersih .
d. Sanitasi yang buruk akibat buruknya infrastruktur.

2. Negara berkembang
Berdasarkan literatur yang kami dapatkan, permasalahan gizi di negara
Indonesia (contoh negara berkembang) adalah: Stunting dan Beban gizi ganda
(kekurangan gizi dan kelebihan gizi). Masalah gizi di Indonesia juga meliputi
masalah kekurangan gizi dan kelebihan gizi. Masalah kekurangan gizi yang
mendapat banyak perhatian akhir-akhir ini adalah masalah kurang gizi kronis
dalam bentuk anak pendek atau “stunting”, kurang gizi akut dalam bentuk anak
kurus atau “wasting”. Kemiskinan dan rendahnya pendidikan dipandang sebagai
akar penyebab kekurangan gizi. Masalah kegemukan terkait dengan berbagai
penyakit tidak menular (PTM), seperti penyakit jantung, hipertensi, diabetes,
stroke dan kanker paru-paru dianggap masalah negara maju dan kaya, bukan
masalah negara berkembang dan miskin. Kenyataan menunjukkan bahwa kedua
masalah gizi tersebut saat ini juga terjadi di negara berkembang. Dengan
demikian negara berkembang dan miskin saat ini mempunyai beban ganda akibat
kedua masalah gizi tersebut. Beban gizi ganda atau Double Burden of
Malnutrition (DBM) adalah suatu keadaan koeksistensi antara kekurangan gizi
dan kelebihan gizi makronutrien maupun mikronutrien di sepanjang kehidupan
pada populasi, masyarakat, keluarga dan bahkan individu yang sama (WHO,
2010). Dikhawatirkan dimensi DBM di sepanjang kehidupan, atau keterkaitan
antara gizi buruk pada ibu hamil dan janin dengan meningkatnya kerentanan
terhadap kelebihan gizi dan pola makan yang terkait penyakit tidak menular di
kemudian hari. (Djauhari, T. 2017)
Menurut WHO (2008), jumlah penderita gizi balita stunting di dunia
mencapai 21% dan keadaan gizi balita pendek menjadi penyebab 2,2 juta dari
seluruh penyebab kematian balita di seluruh dunia. Keadaan gizi balita kurus pada
balita juga dapat dijumpai di Negara berkembang, termasuk di Indonesia. Masalah
gizi pada balita dapat muncul karena beberapa faktor yaitu penyebab langsung,
tidak langsung, akar masalah dan pokok masalah. Masalah gizi berawal dari
kekurangan nutrient yang spesifik atau karena diet yang tidak adekuat atau karena
komposisi proporsi makanan yang dikonsumsi tidak tepat. Penyebab langsung
yaitu asupan makan yang kurang dan penyakit infeksi yang diderita balita. Balita
yang mendapat asupan makanan yang cukup tetapi sering menderita penyakit
infeksi misalnya diare, akhirnya dapat menderita kekurangan gizi. Sebaliknya
balita yang tidak cukup makan dapat melemahkan daya tahan tubuhnya
(imunitas), menurunkan nafsu makan dan mudah terserang infeksi, sehingga
akhirnya juga dapat terjadi kekurangan gizi. Penyebab tidak langsung diantaranya
pengetahuan ibu, ketersediaan pangan, pola asuh, pelayanan kesehatan, dan
lainnya. Faktor tidak langsung ini saling berkaitan dan bersumber pada akar
masalah yaitu pendidikan, dan ekonomi keluarga. (Sulistianingsih dan Yanti,
2015)
Stunting merupakan masalah gizi kronis yang disebabkan oleh multi-faktorial
dan bersifat antar generasi. Di Indonesia masyarakat sering menganggap tumbuh
pendek sebagai faktor keturunan. Persepsi yang salah di masyarakat membuat
masalah ini tidak mudah diturunkan dan membutuhkan upaya besar dari
pemerintah dan berbagai sektor terkait. Hasil studi membuktikan bahwa pengaruh
faktor keturunan hanya berkontribusi sebesar 15%, sementara unsur terbesar
adalah terkait masalah asupan zat gizi, hormon pertumbuhan dan terjadinya
penyakit infeksi berulang. Variabel lain dalam pertumbuhan stunting yang belum
banyak disebut adalah pengaruh paparan asap rokok maupun polusi asap juga
berpengaruh terhadap pertumbuhan stunting. (Aryastami dan Tarigan, 2017).
Stunting juga dapat merugikan kesehatan jangka panjang, dan pada saat
dewasa dapat mempengaruhi produktivitas kerja, komplikasi persalinan, dan
meningkatnya risiko kegemukan dan obesitas yang dapat memicu penyakit
sindrom metabolik seperti penyakit jantung koroner, stroke, hipertensi, dan
diabetes mellitus tipe 2.
Stunting merupakan kondisi kronis yang menggambarkan terhambatnya
pertumbuhan karena malnutrisi jangka panjang. Stunting menurut WHO Child
Growth Standart didasarkan pada indeks panjang badan dibanding umur (PB/U)
atau tinggi badan dibanding umur (TB/U) dengan batas (zscore) kurang dari -2
SD. Secara global, sekitar 1 dari 4 balita mengalami stunting Stunting adalah
masalah gizi utama yang akan berdampak pada kehidupan sosial dan ekonomi
dalam masyarakat. Selain itu, stunting dapat berpengaruh pada anak balita pada
jangka panjang yaitu mengganggu kesehatan, pendidikan serta produktifitasnya di
kemudian hari. Anak balita stunting cenderung akan sulit mencapai potensi
pertumbuhan dan perkembangan yang optimal baik secara fisik maupun
psikomotorik (Djauhari, 2017).
3. Negara maju
Berdasarkan beberapa literatur yang kami dapatkan, permasalahan gizi di
Negara Eropa yang merupakan negara maju, tentu berbeda dengan negara miskin
dan negara berkembang. Obesitas pada anak di negara Eropa menjadi masalah
kesehatan public yang signifikan. Spanyol merupakan negara dengan rate
tertinggi dalam masalah obesitas khususnya pada anak usia 2 sampai 5 tahun.
Obesitas adalah penyebab terbesar dari perkembangan penyakit tidak menular.
Obesitas juga merupakan salah satu faktor penyebab sindrom metabolic. Kondisi
ini terjadi pada 20-30% populasi penduduk di negara Eropa. Obesitas merupakan
hasil dari beberapa elemen multifactorial yaitu interaksi genetic, lingkungan dan
perilaku. Selain obesitas, masyarakat Eropa juga mengalami masalah nutrisi
seperti defisiensi Vitamin D dan defisiensi Asam Folat
Adapun penyebab dari permasalah gizi di negara Eropa antara lain :
1. Pola sedentary life , yaitu pola hidup dimana manusia tidak terlibat dalam
aktifitas yang cukup. Pola hidup ini dianggap sebagai faktor resiko terhadap
berbagai masalah kesehatan seperti penyakit jantung dan stroke. Faktor resiko
adalah hal-hal yang dapat meningkatkan kemungkinan seseorang menderita
suatu penyakit. Pola hidup sedentari juga merupakan faktor resiko terhadap
berbagai masalah kelainan metabolic seperti: kolesterol tinggi, tekanan darah
tinggi, diabetes, resistensi insulin, obesitas,
2. Diet yang tidak seimbang. Pola makan buah dan sayur yang tidak seimbang
dengan makanan manis dan daging yang sering dikonsumsi masyarakat eropa
setiap pagi, menjadi perhatian dan salah satu penyebab masalah nutrisi yang
dialami saat ini.
DAFTAR PUSTAKA

Wagaye Fentahun, Mamo Wubshet, and Amare Tariku. 2016. Undernutrition and
associated factors among children aged 6-59 months in East Belesa District,
northwest Ethiopia: a community based cross-sectional study. BMC Public
Health.
Semaw Ferede Abera, Eva Johanna Kantelhardt, Afewrok Mulugeta Bezabih,
Alemseged Aregay Gebru, Gebisa Ejeta, Judith Lauvai, Andreas Wienke &
Veronika Scherbaum. 2019. Nutrition-specific and sensitive drivers of poor
child nutrition in Kilte Awlaelo-Health and Demographic Surveillance Site,
Tigray, Northern Ethiopia: implications for public health nutrition in resource-
poor settings. Global Health Action.
Aryastami, N,K dan Tarugan, I. 2017. Kajian Kebijakan dan Penanggulangan
Masalah Gizi Stunting di Indonesia. Jakarta: Badan Litbang Kementerian
Kesehatan RI.,
Djauhari, T. 2017. Gizi dan 1000 HPK. Malang: Bagian Anatomi Fakultas
Kedokteran Universitas Muhammadiyah Malang.
Nutrition and Lifestyle in European Adolescents: The HELENA (Healthy Lifestyle in
Europe by Nutrition in Adolescence) Study. 2014 American Society for
Nutrition. Adv. Nutr. 5: 615S–623S, 2014; doi:10.3945/an.113.005678
Getting to grips with the obesity epidemic in Europe. SAGE Open Medicine Volume
4: 1–6 © The Author(s) 2016 Reprints and permissions:
sagepub.co.uk/journalsPermissions.nav DOI: 10.1177/2050312116670406
smo.sagepub.com
Sulistianingsih, A. dan Yanti, D.A.M. ……. Kurangnya Asupan Makan Sebagai
Penyebab Kejadian Balita Pendek (Stunting). Lampung: STIKes
Muhammadiyah Pringsewu.
Trends in Child Obesity and Underweight in Spain by Birth Year and Age, 1983 to
2011
2016 Sociedad Espan˜ola de Cardiologı´a. Published by Elsevier Espan˜a, S.L.U

Anda mungkin juga menyukai