Anda di halaman 1dari 4

EKOLOGI PANGAN DAN GIZI

“Bagan 1 (Faktor yang mempengaruhi status gizi balita menurut bagan call dan
levinson)”

Dosen Pembimbing:

Djayusmantoko, Dn Com, M.Kes

Disusun Oleh:

NAMA : FUSVI SINTIA DEWI

NPM : 2016 31 022

PROGRAM STUDI S1-ILMU GIZI

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BAITURRAHIM

JAMBI

TAHUN AKADEMIK

2018
Bagan 1:

Penjelasan:

Menurut hasil bagan dari Call dan Levinson dapat dijelaskan bahwa status gizi
dipengaruhi oleh dua faktor yaitu konsumsi makan dan tingkat kesehatan, terutama adanya
penyakit infeksi, kedua faktor ini adalah penyebab langsung, sedangkan penyebab tidak
langsung adalah zat gizi dalam bahan makanan, ada/tidak program pemberian makanan diluar
keluarga, daya beli keluarga (pendapatan/harga), kebiasaan makan orangtua/ibu,
pemeliharaan kesehatan serta lingkungan fisik. Kesehatan mempengaruhi kebutuhan nutrisi
seseorang. Ketika saat dibutuhkan asupan yang lebih baik seperti protein tinggi untuk
mempercepat proses penyembuhan.

Menurut UNICEF (1998) dalam Supariasa (2012) menggambarkan faktor yang


berhubungan dengan status gizi, pertama penyebab langsung adalah asupan gizi dan penyakit
infeksi, kedua, penyebab tidak langsung yaitu keterdediaan pangan tingkat rumah tangga,
perilaku / asuhan ibu dan anak, pelayanan kesehatan dan lingkungan, ketiga masalah utama
yaitu kemiskinan, pendidikan rendah, ketersediaan pangan dan kesempatan kerja. Keempat,
masalah dasar, yaitu krisis politik dan ekonomi.

Menurut Laura Jane Harper dalam Supariasa (2012), faktor yang mempengaruhi
status gizi ditinjau dari sosial budaya dan ekonomi adalah ketersediaan pangan, tingkat
pendapatan, pendidikan dan penggunaan pangan. Ketersediaan pangan meliputi pemilihan
tanaman yang ditanam. Pola penanaman, pola penguasaan lahan, mutu luas lahan, cara
pertanian, cara penyimpanan, faktor lingkungan, rangsangan bereproduksi dan peranan sosial.
Penggunaan pangan meliputi status sosial, kepercayaan keagamaan, kepercayaan
kebudayaan, keadaan kesehatan, pola makan, kehilangan tersebab oleh proses memasak,
distribusi makanan dalam keluarga, besar keluarga, dan pangan yang tercecer.
Faktor-faktor yang mempengaruhi:

1. Pendidikan orangtua
Menurut Abdoerrahman dalam Marut (2007), tingkat pendidikan kepala rumah
tangga secara langsung ataupun tidak langsung menentukan keadaan ekonomi rumah
tangga, semakin tinggi tingkat pendidikan kepala rumah tangga semakin tinggi
pendapatan perkapita keluarga.
Tingkat pendidikan sangat berpengaruh terhadap perubahan sikap dan perilaku
hidup sehat. Tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan memudahkan seseorang atau
masyarakat untuk menyerap informasi dan mengimplementasikannya dalam perilaku dan
gaya hidup sehari-hari, khususnya dalam hal kesehatan dan gizi (Fallah, 2004).

2. Konsumsi zat gizi (asupan zat gizi)


Menurut Pudjiadi (2001), Kekurangan zat gizi dapat mengganggu pertumbuhan.
Kekurangan energi, protein, vitamin dan trace element dapat mengurangi pertumbuhan.
Asupan gizi yang baik sering tidak bisa dipenuhi oleh seorang anak karena faktor dari
luar dan dalam. Faktor dari luar diantaranya adalah ekonomi keluarga, sedangkan faktor
dari dalam ada dalam diri anak yang secara psikologis muncul sebagai problema makan
anak. Selain asupan energi dan protein, beberapa zat gizi mikro diperlukan terutama
untuk produksi enzim, hormon, pengaturan proses biologis untuk pertumbuhan dan
perkembangan (Devi ,2010).

3. Konsumsi bahan makanan hewani


Bahan makanan hewani adalah bahan makanan yang berupa atau berasal dari
hewan atau produk-produk yang diolah dengan menggunakan bahan dasar hewan.
Pangan hewani mempunyai berbagai keunggulan dibanding pangan nabati. Pertama
pangan hewani terasa lebih gurih atau enak karena mengandung protein dan lemak yang
banyak. Kedua, pangan hewani mengandung protein yang lebih berkualitas karena
mudah digunakan tubuh dan memiliki komposisi asam amino yang lengkap (Hardinsyah,
2008).
Ketiga pangan hewani mengandung berbagai zat gizi mineral yang tinggi dan
mudah digunakan oleh tubuh. Misalnya kalsium pada susu, zat besi, zink dan selenium
yang banyak didalam daging, hati dan telur. Kalsium dan zink berperan dalam
pertumbuhan dan berbagai proses dalam tubuh. Zat besi bersama zat gizi lainnya
berperan dalam pertumbuhan sel- sel darah merah hemoglobin. Hemoglobin berguna
untuk membawa oksigen keseluruh bagian tubuh. Bila kadar hemoglobin rendah
(anemia) maka tubuh kekurangan oksigen, badan menjadi lemah, konsentrasi belajar dan
stamina atau produktifitas kerja menjadi menurun.

Keempat, pangan hewani mengandung zat gizi, vitamin yang unik. Misalnya
Vitamin A dalam hati dan kuning telur yang mudah digunakan tubuh. Kemudian Vitamin
B12 yang tidak terdapat pada pangan nabati. Vitamin B12 yang kaya dalam pangan
hewani berperan penting dalam pembentukan sel darah merah yang menangkap oksigin
bagi tubuh dan dalam pembentukan myelin syaraf (Hardinsyah, 2008).
4. Besar keluarga (Jumlah anggota keluarga)
Jumlah anggota keluarga akan mempengaruhi distribusi makanan didalam
keluarga, semakin besar anggota keluarga maka semakin besar resiko terjadinya kurang
pemerataan terhadap makanan. Dengan kecilnya jumlah keluarga konsumsi kebutuhan
zat gizi dapat terpenuhi yang akan berpengaruh terhadap status gizi balita ( Andarina dan
Sumarmi, 2006 ). Besarnya jumlah anggota keluarga akan berpengaruh terhadap
pemenuhan kebutuhan pangan, idealnya keluarga mempunyai anggota maximal 4 orang.
Besar keluarga yang lebih sedikit akan mengurangi resiko terhadap gizi kurang
(Mawadah, 2008).

Jarak kelahiran anak yang terlalu dekat dan jumlah anak yang terlalu banyak akan
mempengaruhi asupan zat gizi dalam keluarga, kesulitan mengurus, dan kurang bisa
menciptakan suasana tenang dirumah. Kasus kurang gizi lebih banyak ditemukan pada
keluarga besar dibandingkan keluarga kecil.

Jumlah anak kelaparan dari keluarga besar hampir 4 kali lebih besar
dibandingkan jumlah anak yang keluarga kecil. Sehingga anak –anak yang dihasilkan
dari keluarga demikian lebih banyak yang kurus, punya daya pikir yang lemah, kurang
darah, dan terserang penyakit. Diharapkan dengan keluarga kecil selain kesejahteraan
lebih terjamin maka kebutuhan akan pangan juga akan lebih terpenuhi daripada keluarga
dengan jumlah besar (Anderson, et al,2008) dalam Lutfiana dan Budiono (2010).

Banyaknya anggota keluarga akan mempengaruhi tingkat intensitas kerawanan


pangan keluarga, terutama pada keluarga miskin. Hasil penelitian Kigutha (1994) dalam
Den Hartag, Van Staverin dan Broowe (1995) menunjukkan bahwa peningkatan jumlah
anggota keluarga berhubungan negatif dengan konsumsi pangan hewani dan makanan
pokok, yang mengakibatkan menurunnya konsumsi energi dan protein (Hardinsyah, dkk
2010).

Anda mungkin juga menyukai