Kelas : A
Program Studi : Ilmu Gizi
Mata Kuliah : Bahasa Indonesia
Karangan :
Dari semua bentuk masalah gizi pada anak, wasting memiliki risiko kematian tertinggi,
khususnya gizi buruk berisiko meninggal hampir 12 kali lebih tinggi dibandingkan dengan
anak gizi baik.
Pengertian Wasting
Unicef (2023) menyatakan bahwa wasting adalah permasalahan gizi kurang dan gizi buruk
yang ditandai dengan badan sangat kurus yang dialami oleh anak-anak. Mereka memiliki berat
badan rendah jika dibandingkan terhadap tinggi badannya dan atau kecilnya lingkar lengan atas
(LiLA). Wasting merupakan akibat dari penurunan berat badan yang cepat atau kegagalan
menambah berat badan (Unicef, 2018).
Wasting pada anak merupakan akibat buruknya asupan nutrisi dan/atau penyakit yang dapat
mengancam nyawa. Anak-anak yang menderita wasting memiliki kekebalan yanglemah, rentan
terhadap keterlambatan perkembangan jangka panjang, dan menghadapi peningkatan risiko
kematian, terutama ketika wasting sudah parah. Anak-anak ini memerlukan pemberian
makanan, pengobatan, dan perawatan segera agar dapat bertahan hidup.
Jika anak mengalami ketidaksesuaian atau kegagalan tumbuh kembang, tidak teridentifikasi
dan tidak mendapat tindakan yang baik, maka anak tidak dapat mencapai pertumbuhan yang
maksimal. Hal tersebut dapat berdampak pada berkurangnya kualitas generasi penerus bangsa
di masa depan (Menteri Kesehatan RI, 2014). Pada tahun 2017, hampir 51 juta anak di bawah
usia 5 tahun mengalami wasting dan 16 juta anak mengalami wasting parah (Unicef, 2018).
Seorang anak yang mengalami wasting sedang atau berat memiliki peningkatan risiko
kematian, namun pengobatan masih dapat dilakukan (Unicef, 2018). Asupan diet anak tidak
memadai baik dari segi kualitas dan kuantitas dan/atau anak sering menderita penyakit infeksi
dapat menjadi indikatornya. Anak yang mengalami stunting memiliki tinggi badan lebih
pendek bila dibandingkan anak seusianya. Berbeda dengan wasting yang dapat terjadi dalam
waktu relatif lebih singkat, stunting menunjukkan kondisi kekurangan gizi dalam jangka
panjang (kronik). Anak berisiko stunting jika mengalami kekurangan gizi sejak dari dalam
kandungan hingga anak berusia 2 tahun, atau sering disebut sebagai 1000 hari pertama
kehidupan (1000 HPK).
Dalam tabel hasil penelitian dari Muliyati dkk (2021), dapat dilihat bahwa adanya BBLR (berat
badan lahir rendah) pada bayi, pendapatan keluarga dan pemberian asi kepada bayi dapat
mempengaruhi tingkat resiko wasting pada balita. Bayi yang memiliki berat lahir yang rendah
akan beresiko mengalami wasting lebih besar daripada bayi lahir dengan berat badan normal.
Selain itu, pendapatan keluarga yang rendah dan tidak diberikannya asi esklusif dapat
meningkatkan resiko wasting pada balita.
Asupan makanan seorang anak dan paparan terhadap penyakit dipengaruhi oleh faktor-faktor
yang mendasarinya, termasuk kerawanan pangan rumah tangga (kurangnya ketersediaan, akses
terhadap, dan/atau pemanfaatan makanan yang beragam), tidak memadainya praktik
pengasuhan dan pemberian makan untuk anak-anak, rumah tangga dan lingkungan sekitar yang
tidak sehat, serta layanan kesehatan yang tidak dapat diakses dan seringkali tidak memadai.
Penyebab dasar gizi buruk mencakup struktur dan proses masyarakat yang mengabaikan hak
asasi manusia dan melanggengkan kemiskinan, membatasi atau menolak akses masyarakat
rentan terhadap sumber daya penting. Faktor sosial, ekonomi, dan politik dapat mempunyai
pengaruh jangka panjang terhadap kekurangan gizi ibu dan anak. Terlebih lagi, kekurangan
gizi yang kronis dapat menyebabkan kemiskinan dan menciptakan lingkaran setan (Unicef,
2013)
1. Faktor langsung
A. Asupan Maknan
Gizi pada awal kehidupan memengaruhi kehidupan berikutnya. Gizi pada balita
tidak hanya mempengaruhi gangguan pertumbuhan fisik, tetapi juga
mempengaruhi kualitas kecerdasan dan perkembangan di masa mendatang.
Oleh karena itu peran makanan yang bernilai gizi tinggi sangat penting seperti
pada makanan yang mengandung energi, protein (terutama protein hewani),
vitamin (vitamin B kompleks, vitamin C, vitamin A), dan mineral (Ca,Fe,
Yodium, Fosfor, Zn) (Merryana, 2014).
B. Penyakit Infeksi
Infeksi memberikan kontribusi terhadap defisiensi energi, protein, dan gizi lain
karena menurunnya nafsu makan sehingga asupan makanan berkurang sehingga
memberikan efek negatif pada pertumbuhan anak. Penyakit infeksi yang sering
terjadi pada anak balita adalah demam, diare, dan infeksi saluran pernafasan
atas. Kenyataannya, kekurangan gizi dan penyakit infeksi sering terjadi pada
saat bersamaan. Anak kurang gizi mempunyai daya tahan penyakit yang rendah,
mudah jatuh sakit, dan akan menjadi semakin kurang gizi disebut juga dengan
Infection Malnutrition (Namangboling, 2017).
a) Jenis Kelamin
Jenis kelamin menentukan besar kecilnya status gizi anak. Anak laki-
laki biasanya membutuhkan lebih banyak zat gizi seperti energi dan
protein lebih banyak daripada anak perempuan. Jenis kelamin
merupakan faktor internal seseorang yang berpengaruh terhadap
komposisi tubuh dan distribusi lemak subkutan antara anak laki-laki dan
perempuan berbeda. Pada anak laki-laki 11% dari berat badan
merupakan jaringan subkutan dan pada anak perempuan 18% dari berat
badan merupakan subkutan. Anak perempuan lebih banyak menyimpan
lemak, 17 sedangkan anak laki-laki lebih banyak massa otot dan tulang.
b) Usia
Pertumbuhan pada usia balita dan prasekolah lebih lambat dibandingkan
pada masa bayi namun pertumbuhannya stabil. Masa balita merupakan
usia paling rawan, karena pada masa ini balita sering terkena penyakit
infeksi sehingga menjadikan anak berisiko tinggi menjadi kurang gizi.
Pada usia prasekolah yaitu usia 2-6 tahun, anak mengalami pertumbuhan
yang stabil, terjadi perkembangan dengan aktivitas jasmani yang
bertambah dan meningkatnya keterampilan dan proses berpikir
(Soetjiningsih, 2015).
Memperlambatnya pertumbuhan ini tercermin dalam penurunan nafsu
makan, padahal dalam masa ini anak anak membutuhkan kalori dan zat
gizi yang adekuat untuk memenuhi kebutuhan akan zat gizi mereka.
c) Tingkat Pendidikan Ibu
Menurut putri (2015) semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka
semakin.mudah diberikan pengertian mengenai suatu informasi dan
semakin mudah untuk mengimplementasikan pengetahuannya dalam
perilaku khususnya dalam hal kesehatan dan gizi. Dengan demikian,
pendidikan ibu yang relatif rendah juga akan berkaitan dengan sikap dan
tindakan ibu dalam menangani masalah kurang gizi pada anak balitanya
(Putri, 2015). Pendidikan orang tua akan berpengaruh terhadap
pengasuhan anak, karena dengan pendidikan yang tinggi pada orang tua
akan memahami pentingnya peranan orang tua dalam pertumbuhan
anak. Ibu yang berpendidikan lebih baik cenderung lebih mudah
menerima informasi gizi dan menerapkan pengetahuannya dalam
mengasuh anak dan dalam praktik pemberian makanan. Pada penelitian
Putri dan Wahyono di Indonesia menunjukkan bahwa pendidikan ibu
berhubungan dengan kejadian wasting.
d) Pekerjaan
Ibu yang tidak bekerja dinilai akan mempunyai waktu yang banyak
untuk mengasuh dan memperhatikan anaknya. Asupan gizi anaknya
juga akan diperhatikan. Penelitian Agedew dan Shimeles di Ethiopia
menyebutkan bahwa proporsi anak wasting lebih tinggi pada ibu yang
bekerja.
Dampak-dampak Wasting
1. Kekebalan (sistem imunitas) tubuh rendah
Anak wasting, khususnya anak gizi buruk, memiliki sistem imunitas yang rendah
sehingga mudah terkena penyakit infeksi seperti diare, batuk pilek, dan pneumonia.
Dan, balita wasting bila menderita penyakit infeksi maka kondisinya dapat lebih parah
dan lebih sulit untuk sembuh dibandingkan anak gizi baik.
2. Gangguan pertumbuhan fisik
Anak wasting berisiko mengalami gangguan pertumbuhan fisik, termasuk pertumbuhan
tinggi badan, dikarenakan kurangnya asupan zat gizi yang diperlukan untuk bertumbuh.
Jika kondisi ini berlangsung dalam waktu yang lama, anak tersebut memiliki risiko
lebih tinggi untuk mengalami stunting, yaitu kondisi di mana tinggi badan lebih pendek
bila dibandingkan anak seusianya.
3. Gangguan perkembangan otak
Zat gizi adalah kunci penting dalam mendukung perkembangan otak balita. Sama
seperti stunting, asupan gizi pada anak yang mengalami wasting juga terganggu, yang
berisiko bagi perkembangan otak yang optimal, kemampuan belajar, serta produktivitas
kerja di masa depan.
4. Berisiko terkena penyakit tidak menular saat usia dewasa
Sama halnya dengan stunting, anak yang mengalami wasting memiliki risiko lebih
tinggi untuk menderita penyakit tidak menular, seperti diabetes dan penyakit jantung,
saat usia dewasa.
5. Kematian
Dari semua bentuk masalah gizi anak, wasting, khususnya gizi buruk memiliki risiko
kematian yang paling tinggi, yaitu hingga hampir 12 kali lebih tinggi dibandingkan
anak gizi baik. Risiko kematian yang tinggi pada anak gizi buruk dikarenakan
kekebalan (sistem imunitas) tubuh yang rendah sehingga bila menderita penyakit
infeksi, maka kondisinya akan lebih parah dan lebih sulit untuk sembuh, serta dapat
menyebabkan kematian.
Dengan memahami dampak wasting pada anak membawa kita pada kesadaran betapa
pentingnya tindakan pencegahan, termasuk deteksi dini wasting. Mari bawa anak balita kita ke
posyandu atau fasilitas kesehatan terdekat secara rutin untuk pemantauan pertumbuhan dan
perkembangan, serta deteksi dini wasting.
Pencegahan Wasting
Menurut artikel yang diterbitkan UNICEF, beberapa langkah pencegahan wasting adalah
sebagai berikut :
• Pemberian makanan yang tepat bagi balita
Pemberian ASI eksklusif sejak bayi baru lahir hingga berusia 6 bulan, tanpa makanan
dan minuman lain bahkan air putih sekalipun, karena ASI telah mengandung semua zat
gizi penting yang diperlukan untuk mendukung tumbuh kembang bayi secara optimal.
Setelah 6 bulan, makanan pendamping ASI yang berkualitas dalam jumlah, jenis dan
frekuensi yang cukup diberikan kepada balita, dilanjutkan dengan pemberian ASI
hingga anak berusia 2 tahun atau lebih.
• Rutin ke posyandu
Rutin ke posyandu atau fasilitas kesehatan lain untuk memantau pertumbuhan dan
perkembangan balita. Kunjungan ke posyandu sebaiknya dilakukan setiap bulan, untuk
deteksi dini jika terjadi gangguan tumbuh kembang anak.
Penanganan Wasting
Menurut artikel yang diterbitkan Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, anak wasting atau
gizi buruk perlu menjalani rawat inap di rumah sakit agar dokter dapat menstabilkan kondisi
dan tanda-tanda vital anak. Berikut adalah tindakan yang dapat dilakukan oleh dokter :
• Menyelimuti anak untuk menjaga suhu tubuhnya.
• Memberikan cairan infus untuk mengatasi dehidrasi
• Mengobati infeksi dengan pemberian antibiotik
• Memberikan suplemen, berupa vitamin A, zat besi, dan asam folat.
• Memberikan vaksin
Selain upaya-upaya di atas, dokter juga dapat memberikan makanan cair khusus berupa F75,
F100 atau Ready-to-Use Therapeutic Food (RUTF), melalui mulut atau selang makan secara
perlahan dan bertahap. Makanan tersebut berisi susu, mentega, minyak, gula, dan kacang, yang
ditambahkan dengan vitamin dan mineral.
Referensi
Merryana Adriani, SKM., M.Kes and Bambang Wirjatmadi, Prof. Dr. M.S., MCN., Ph.D.,
Sp.Gk. (2014) Gizi dan Kesehatan Balita : peranan mikro zinc pada pertumbuhan
balita. KENCANA Prenada Media Group, Jakarta. ISBN 978-602.9413.22-9
Namangboling, A. D. B. M. E. S. S. Hubungan Riwayat Penyakit Infeksi dan Pemberian ASI
Eksklusif dengan Status Gizi Anak Usia 7-12 Bulan di Kecamatan Kelapa Lima Kota
Kupang. Sari Pediatr. 19, (2017).
Putri, D. S. K. & Wahyono, T. Y. M. Faktor Langsung dan Tidak Langsung yang Berhubungan
dengan Kejadian Wasting pada Anak Umur 6 – 59 Bulan Di Indonesia Tahun2010.
Media Peneliti dan Pengemb. Kesehat. 23, 110–121 (2013).
Putri, M. S. Hubungan Antara Riwayat Penyakit Infeksi Dengan Status Gizi Pada Anak Batita
Di Desa Mopusi Kecamatan Lolayan Kabupaten Bolaang Mongondow Manado. J. E-
Biomedik 3, (2015).
Putri, Rona Firmana., Delmi Sulastri., Y. L. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Status
Gizi Anak Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Nanggalo Padang. J. Kesehat. Andalas
4, 1 (2015).
UNICEF. UNICEF’s approach to scaling up nutrition for mothers and their children. (2013).
UNICEF. 2023. Tetap Tenang, Mari Ketahui Cara Mencegah Wasting, Unicef.org, viewed
15 November 2023, <https://www.unicef.org/indonesia/id/gizi/artikel/cara-mencegah-
wasting>.