A. DEFINISI
Stunting (kerdil) adalah kondisi dimana balita memiliki panjang atau tinggi badan yang
kurang jika dibandingkan dengan umur. Kondisi ini diukur dengan panjang atau tinggi badan
yang lebih dari minus dua standar deviasi median standar pertumbuhan anak dari WHO.
Stunting disebabkan oleh asupan gizi yang kurang dalam waktu cukup lama akibat
pemberian makanan yang tidak sesuai dengan kebutuhan gizi. Stunting dapat terjadi mulai
janin masih dalam kandungan dan baru nampak saat anak berusia dua tahun. (Kemenkes
RI,2018).
Stunting yang telah tejadi bila tidak diimbangi dengan catch-up growth (tumbuh kejar)
mengakibatkan menurunnya pertumbuhan, masalah stunting merupakan masalah kesehatan
masyarakat yang berhubungan dengan meningkatnya risiko kesakitan, kematian dan
hambatan pada pertumbuhan baik motorik maupun mental. Stunting dibentuk oleh growth
faltering dan catcth up growth yang tidak memadai yang mencerminkan ketidak mampuan
untuk mencapai pertumbuhan optimal, hal tersebut mengungkapkan bahwa kelompok balita
yang lahir dengan berat badan normal dapat mengalami stunting bila pemenuhan kebutuhan
selanjutnya tidak terpenuhi dengan baik.
B. ETIOLOGI
1. Kebersihan Lingkungan
Sanitasi yang baik akan mempengaruhi tumbuh kembang seorang anak. Sanitasi dan
keamanan pangan dapat meningkatkan risiko terjadinya penyakit infeksi (Kemenkes RI,
2018). Penerapan hygiene yang tidak baik mampu menimbulkan berbagai bakteri yang
mampu masuk ke dalam tubuh yang menyebabkan timbul beberapa penyakit seperti
diare, cacingan, demam, malaria dan beberapa penyakit lainnya. Penelitian di Libya,
faktor-faktor yang dapat meningkatkan risiko stunting akibat lingkungan rumah adalah
kondisi tempat tinggal, pasokan air bersih yang kurang dan kebersihan lingkungan yang
tidak memadai. Kejadian infeksi dapat menjadi penyebab kritis terhambatnya
pertumbuhan dan perkembangan. Penyediaan toilet, perbaikan dalam praktek cuci tangan
dan perbaikan kualitas air adalah alat penting untuk mencegah tropical enteropathy dan
dengan demikian dapat mengurangi risiko hambatan pertumbuhan tinggi badan anak
(Prendergast, 2014).
2. Makanan Pendamping ASI
Masalah kebutuhan gizi yang semakin tinggi akan dialami bayi mulai dari umur
enam bulan membuat seorang bayi mulai mengenal Makanan Pendamping ASI (MP-
ASI) yang mana pemberian MP-ASI untuk menunjang pertambahan sumber zat gizi
disamping pemberian ASI hingga usia dua tahun. Makanan pendamping harus diberikan
dengan jumlah yang cukup, sehingga baik jumlah, frekuensi, dan menu bervariasi bisa
memenuhi kebutuhan anak (Kemenkes RI, 2011).
3. ASI Eksklusif
Air Susu Ibu (ASI) merupakan air susu yang dihasilkan seorang ibu setelah
melahirkan. ASI Eksklusif adalah pemberian ASI yang diberikan sejak bayi dilahirkan
hingga usia bayi 6 bulan tanpa memberikan makanan atau minuman lainnya seperti susu
formula, air putih, air jeruk kecuali vitamin dan obat (Kemenkes RI, 2016). ASI
mengandung enzim pencerna susu sehingga organ pencernaan pada bayi sangat mudah
untuk mencerna dan menyerap ASI, kata lain organ pencernaan bayi belum memiliki
enzim yang cukup untuk mencerna makanan lain selain ASI. Komposisi ASI dengan
konsentrasi sesuai dengan pencernaan bayi akan membuat bayi tumbuh dengan badan
yang seimbang (Arif, 2009).
Seorang anak yang minum ASI eksklusif mempunyai tumbuh kembang yang baik,
hal ini dikarenakan di dalam ASI terdapat antibodi yang baik sehingga membuat anak
tidak mudah sakit, selain itu ASI juga mengandung beberapa enzim dan hormone
(Pollard, 2015).
4. Berat Bayi Lahir Rendah
Berat bayi lahir rendah memiliki hubungan yang bermakna dengan kejadian
stunting. Dikatakan BBLR jika berat < 2500 gram (Kemenkes, 2010). Berat Badan Lahir
Rendah (BBLR) merupakan faktor risiko yang paling dominan terhadap kejadian stunting
pada anak baduta. Karakteristik bayi saat lahir (BBLR atau BBL normal) merupakan hal
yang menentukan pertumbuhan anak.
5. Pendidikan Orang Tua
Tingkat pendidikan orang tua yang rendah juga mampu meningkatkan risiko
terjadinya malnutrisi pada anak. Tingkat pendidikan orang tua merupakan salah satu
penyebab terjadinya stunting hal ini dikarenakan pendidikan yang tinggi dianggap
mampu untuk membuat keputusan dalam meningkatkan gizi dan kesehatan anak- anak.
Pengetahuan yang tinggi juga mempengaruhi orang tua dalam menentukan pemenuhan
gizi keluarga dan pola pengasuhan anak, dimana pola asuh yang tidak tepat akan
meningkatkan risiko kejadian stunting (Adriani, 2012).
6. Pendapatan Orang Tua
Tingkat pendapatan keluarga memiliki hubungan yang bermakna dengan kejadian
stunting. Hal ini dikarenakan keluarga dengan pendapatan yang rendah akan
mempengaruhi dalam penyediakan pangan untuk keluarga. Daya beli keluarga tergantung
dengan pendapatan keluarga, dengan adanya pendapatan yang tinggi maka kemungkinan
terpenuhinya kebutuhan makan bagi keluarga (Adriani, 2012).
7. Penyakit Infeksi Diare
Diare merupakan keadaan dimana seseorang BAB dengan konsistensi yang lembek
atau bahkan dapat berupa air saja dengan frekuensi yang sering bisa tiga atau lebih dalam
satu hari. Penyakit infeksi diare ini sering diderita oleh anak, seorang anak yang
mengalami diare secara terus menerus akan berisiko untuk mengalami dehidrasi atau
kehilangan cairan sehingga penyakit infeksi tersebut dapat membuat anak kehilangan
nafsu makan dan akan membuat penyerapan nutrisi menjadi terganggu (Kemenkes RI,
2011).
Faktor Penyebab Stunting dikategorikan ke dalam empat kelompok utama, yaitu
karakteristik rumah tangga dan perumahan; karakteristik ibu dan ayah; layanan perawatan
antenatal dan karakteristik anak. Berdasarkan Penelitian Christiana,dkk (2019) dengan
judul “Determinants of the Stunting of Children Under Two Years Old in Indonesia: A
Multilevel Analysis of the 2013 Indonesia Basic Health Survey”menemukan bahwa
kemungkinan stunting meningkat secara signifikan di antara anak-anak yang tinggal di
rumah tangga dengan tiga atau lebih anak di bawah lima tahun, rumah tangga dengan
lima hingga tujuh anggota rumah tangga, riwayat kunjungan ANC < 4 kali, anak dengan
jenis kelamin laki-laki, anak-anak usia 12-23 bulan dan anak dengan berat badan <2500 g
saat lahir. Juga, kemungkinan stunting meningkat secara signifikan seiring dengan
penurunan tingkat status ekonomi dalam rumah tangga.
Berdasarkan faktor karakteristik rumah tangga terdapat hubungan antara indeks
kekayaan rumah tangga dan stunting. Indeks kekayaan yang lebih tinggi mencerminkan
peningkatan kemampuan rumah tangga untuk membeli dan mengakses makanan
berkualitas baik dan layanan perawatan kesehatan yang memadai, serta peningkatan
fasilitas sanitasi dan air minum yang aman. Praktik higienis yang tepat telah dilaporkan
berpotensi meningkatkan pertumbuhan anak melalui pencegahan berbagai morbiditas.
Hubungan antara indeks kekayaan rumah tangga yang rendah dan stunting mungkin
bekerja melalui status kerawanan pangan rumah tangga dan pemenuhan keragaman
makanan minimum pada anak-anak. Rumah tangga dengan indeks kekayaan rumah
tangga yang tinggi cenderung lebih tahan pangan dan mampu memenuhi kebutuhan
makan anak (Christiana,dkk, 2019).
Faktor penting lainnya di tingkat rumah tangga yang ditemukan dalam analisis
tersebut adalah ukuran keluarga dan jumlah anak balita yang tinggal dalam rumah tangga
tersebut. Alokasi makanan dan sumber daya lainnya yang tidak tepat dalam rumah tangga
dengan banyak anak dapat menyebabkan kesehatan mereka yang buruk dan status gizi
yang kurang optimal. Selanjutnya, rumah tangga besar mungkin menyarankan penipisan
sumber daya, ketersediaan pangan berkurang, aksesibilitas dan persaingan untuk sumber
daya yang langka. Kehadiran lebih dari satu anak di bawah lima tahun juga dapat
mengakibatkan praktik pemberian ASI dan makanan pendamping ASI yang kurang
optimal.
Hasil analisis dalam penelitian Christiana,dkk (2019) menunjukkan bahwa bayi
dengan berat badan lahir rendah memiliki kemungkinan yang lebih tinggi untuk
mengalami stunting. Karena stunting sering dimulai di dalam rahim, kemungkinan
kekurangan berat badan cenderung tetap sampai tahap anak usia dini. Pertumbuhan bayi
lahir rendah dilaporkan berada di belakang pertumbuhan bayi dengan berat badan normal
saat lahir. Pertumbuhan anak yang kurang optimal selama periode prenatal sering kali
disebabkan oleh kekurangan gizi ibu. Namun, selama periode pascakelahiran, praktik
pemberian makan yang optimal dapat mengurangi efek pertumbuhan intrauterin yang
buruk. Dengan demikian, setelah melahirkan, jika asupan makanan tidak memadai,
diperburuk oleh kondisi lingkungan yang tidak sehat, anak-anak akan lebih rentan
terhadap infeksi, yang menyebabkan penyerapan nutrisi yang buruk dan akhirnya
menyebabkan pertumbuhan yang buruk. Penelitian Christiana,dkk (2019) menemukan
bahwa anak laki-laki lebih mungkin mengalami stunting daripada anak perempuan. Hal
ini diduga sebagai akibat dari meningkatnya kerentanan anak laki-laki terhadap infeksi
dan penyakit lain yang dapat mengganggu pertumbuhan anak.
Nutrisi ibu yang optimal harus sangat didorong bahkan sebelum pembuahan, karena
sangat penting untuk memastikan pertumbuhan optimal dalam rahim. Penggunaan
suplemen zat besi/asam folat atau suplementasi mikronutrien multipel selama kehamilan
sangat bermanfaat dalam meningkatkan pertumbuhan janin, panjang lahir, dan
pertumbuhan pascakelahiran. Terdapat hubungan yang kuat antara stunting dengan
konsumsi makanan hewani, terutama berbagai jenis makanan hewani. Selain itu,
pendidikan dan konseling gizi selama kehamilan yang dilengkapi dengan dukungan
nutrisi ditemukan dapat meningkatkan berat badan lahir, yang penting untuk
pertumbuhan anak yang memadai. Selain itu, diperlukan strategi edukasi untuk
mendorong konsumsi zat gizi makro selama kehamilan. Pemberian suplementasi protein
berenergi seimbang khususnya pada wanita gizi kurang dapat meningkatkan
pertumbuhan janin.
Semua bukti ini mencerminkan kebutuhan untuk mempromosikan pemanfaatan
layanan perawatan antenatal untuk ibu dan bayinya, seperti yang ditemukan dalam
analisis kami. Beberapa kontak selama kunjungan antenatal menyebabkan kontak teratur
dan berulang dengan petugas kesehatan dan kesempatan untuk sesi pendidikan kesehatan
interaktif. Dengan memiliki asuhan antenatal yang memadai, ibu akan dapat
meningkatkan pengetahuannya tentang pemberian makanan yang tepat untuk bayinya
setelah melahirkan, termasuk menyusui dan makanan pendamping ASI. Para ibu juga
dapat memperoleh kesempatan untuk menerima informasi tentang penyakit dan infeksi
pada masa kanak-kanak, dan bagaimana mencegahnya. Kehadiran yang memadai di ANC
mungkin juga terkait dengan sikap ibu tentang memberikan perawatan yang memadai
setelah melahirkan, menghasilkan pertumbuhan dan kesejahteraan anak yang optimal.
C. DIAGNOSIS DAN GEJALA KLINIS
Stunting sendiri akan mulai nampak ketika bayi berusia dua tahun (TNP2K, 2017).
Stunting didefinisikan sebagai keadaan dimana status gizi pada anak menurut TB/U
mempunyai hasil Zscore - 3,0 SD s/d < -2,0 SD (pendek) dan Zscore <-3,0 SD (sangat
pendek). Hasil pengukuran Skor Simpang Baku (Z-score) didapatkan dengan mengurangi
Nilai Individual Subjek (NIS) dengan Nilai Median Baku Rujukan (NMBR) pada umur yang
bersangkutan, setelah itu hasilnya akan dibagi dengan Nilai Simpang Baku Rujuk (NSBR).
Jika tinggi badan lebih kecil dari nilai median, maka NSBR didapatkan dengan cara
mengurangi median dengan – 1 SD. Jika tinggi badan lebih besar dari pada median, maka
NSBR didapatkan dengan cara mengurangi + 1 SD dengan median, berikut ini rumus yang
bisa digunakan
Z-Score = (NIS-NMBR)/NSBR
Keterangan :
Kunci utama pencegahan stunting dengan intervensi yang berhasil adalah dengan
melakukan peran kolaboratif. Kontribusi yang diberikan oleh bidan adalah pencegahan
stunting cukup besar. Adanya Bidan Delima menjadi landasan profesionalisme bidan
dalam memberikan pelayanan yang sesuai dengan standar khusunya pada program
penganggulangan stunting (Aisyah1,Risqi ., Suparni,2022).
Peran Kolaborasi Pencegahan Stunting :
1. Primer
2. Sekunder
3. Tersier
Link :
Determinants of the Stunting of Children Under Two Years Old in Indonesia: A Multilevel Analysis of the
2013 Indonesia Basic Health Survey - PMC (nih.gov)