Anda di halaman 1dari 22

PEDOMAN KERJA WASTING

RSKIA ANNISA PAYAKUMBUH

Oleh:
Friska Angraini, Amd. Gz

RUMAH SAKIT KHUSUS IBU DAN ANAK ANNISA


PAYAKUMBUH
2022
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Wasting adalah kegagalan untuk mencapai pertumbuhan yang optimal,


diukur berdasarkan BB/TB (berat badan menurut tinggi badan) (BAPPENAS
2011). Anak wasting ditandai dengan badan yang kurus akibat kurangnya asupan
zat gizi sehingga massa tubuh tidak sesuai dengan tinggi badan anak. Wasting
merupakan masalah gizi serius yang perlu diatasi di Indonesia. Dampak wasting
pada anak adalah mengalami penurunan daya ekspolasi terhadap lingkungannya,
peningkatan frekuensi menangis, kurang bergaul dengan sesama anak, kurang
perasaan gembira, dan cenderung menjadi apatis (Pramudya & Bardosono 2012).

Riskesdas mengemukakan prevalensi wasting di Indonesia sebesar 12,1%


pada tahun 2013 yang artinya mengalami penurunan sebanyak 1,5% dari tahun
2007 dengan prevalensi 13,6%. Pada tahun 2013, prevalensi sangat kurus di
Indonesia sebesar 5,3% dan prevalensi kurus sebesar 6,8%. Prevalensi tersebut
mengalami penurunan jika dibandingkan dengan prevalensi pada tahun 2007
(sangat kurus 6,2% dan kurus 7,4%) dan tahun 2010 (sangat kurus 6,0% dan kurus
7,3%).

Pada tahun 2005, World Health Organization (WHO) memperkirakan


sekitar 10% anak di bawah umur lima tahun (balita) di dunia menderita wasting
(kekurusan). Anak yang mengalami wasting diketahui menggunakan data primer
berupa data wasting yang dikumpulkan dengan pengukuran antropometri
berdasarkan indeks berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) menggunakan
WHO Antro 2005 (nilai Z skor < -2 SD s/d > -3 SD). Indonesia memiliki masalah
kesehatan masyarakat yang serius sesuai dengan indikator WHO. Penulis
membuat sebuah program yang diharapkan dapat menurunkan prevalensi wasting
di Indonesia yaitu Indonesia Sehat Tanpa Wasting yang diharapkan dapat
dilaksanakan di seluruh provinsi di Indonesia.
Dalam jangka panjang, anak tersebut akan mengalami gangguan kognitif,
penurunan prestasi belajar, gangguan tingkah laku, bahkan peningkatan resiko
kematian (Pramudya & Bardosono 2012). Dampak tersebut akan merugikan
bangsa dan dapat menyebabkan lost generation jika dialami oleh banyak anak dan
tidak dilakukan penanggulangan terhadap penyakit tersebut. Di masa yang akan
dating, anak tersebut akan memiliki produktivitas yang kurang serta
meningkatkan morbiditas dan mortalitas anak di Indonesia.

B. TUJUAN

Tujuan Umum

Untuk pengurangan dan pengendalian angka wasting di RSKIA Annisa


Payakumbuh

Tujuan Khusus

a. Mencegah anak yang hasil z score di ambang batas


b. Mengetahui status gizi anak yang ada di lingkungan RSKIA Annisa
Payakumbuh
c. Memberikan intervensi gizi khusus untuk anak yang mengalami
wasting di RSKIA Annisa Payakumbuh
BAB II
WASTING

A. PENGERTIAN

Balita kurus adalah suatu kondisi dimana balita menderita gangguan gizi
dengan diagnosis ditegakkan berdasarkan penilaian tinggi badan per berat
badan (Hasyim, 2017). Wasting merupakan suatu kondisi kekurangan gizi
akut dimana BB anak tidak sesuai dengan TB atau nilai Z-score kurang dari
-2SD (Standart Deviasi) (Afriyani, 2016). Anak kurus merupakan masalah
gizi yang sifatnya akut, sebagai akibat dari peristiwa yang terjadi dalam
waktu yang tidak lama seperti kekurangan asupan makanan (Rochmawati,
2016).
Wasting adalah kondisi ketika berat badan balita menurun sangat
kurang, atau bahkan berada di bawah rentang normal. Balita yang
mengalami wasting umumnya memiliki proporsi tubuh yang kurang ideal.
Wasting membuat berat badan balita tidak sepadan dengan tinggi badan
untuk anak seusianya. Wasting biasanya terjadi karena penurunan berat
badan drastis akibat tidak tercukupinya kebutuhan penyakit yang bisa
berujung pada turunnya berat badan, seperti diare, zat gizi harian anak dan
biasanya disertai dengan satu atau lebih juga bisa mengakibatkan wasting.
Anak dikatakan mengalami wasting ketika hasil pengukuran indikator
BB/TB berada di -3 sampai dengan di bawah -2 standar deviasi (SD). Lebih
dari itu, anak balita juga bisa mengalami wasting akut (severe acute
malnutrition) ketika indikator BB/TB menunjukkan angka di bawah -3 SD
atau dengan kata lain, wasting akut adalah kondisi penurunan berat badan
yang sudah lebih parah ketimbang wasting biasa (Kemenkes RI, 2020)
Wasting merupakan kelompok gizi kurang, secara langsung disebabkan
oleh inadekuat zat gizi dan penyakit infeksi sedangkan penyebab pokok
masalah gizi kurang meliputi: ketahanan pangan yang tidak memadai,
perawatan ibu dan pelayanan kesehatan yang tidak memadai (kemenkes RI,
2017a). Wasting yang disebabkan oleh defisit asupan energi yang terjadi
secara alamiah sehubungan dengan ketidaktahanan pangan serta kelaparan
(Barasi, 2003). Faktor risiko terjadi wasting meliputi: pemberian ASI, berat
badan bayi lahir, kunjungan ANC, status pekerjaan ibu, tingkat pendidikan
(Puspitasari et al., 2018).

B. PENYEBAB WASTING

Faktor penyebab wasting dikelompokkan 3 kategori yaitu berdasarkan


faktor ibu, anak, dan keluarga. Faktor ibu yaitu ASI eksklusif, pola asuh,
tingkat pendidikan ibu, tingkat pengetahuan ibu, dan status pekerjaan .
Faktor anak yaitu jenis kelamin, usia, asupan nutrisi, penyakit infeksi, dan
BBLR. Faktor keluarga yaitu ketahanan pangan keluarga, tingkat ekonomi
dan jumlah anggota keluarga (Prawesti, 2018).

Faktor Ibu
1. Asi ekslusif
ASI Eksklusif ASI merupakan satu-satunya sumber asupan makanan
yang terbaik bagi bayi karena memiliki unsur-unsur memenuhi semua
kebutuhan nutrien selama periode 6 bulan. ASI harus diberikan sampai usia
24 bulan karena mengandung nutrisi esensial untuk mambantu
perkembangan dan pertumbuhan bayi agar lebih optimal. Pemberian ASI
dikelompokkan tiga waktu yaitu pemberian ASI ketika anak baru lahir
(kolostrum), pemberian ASI sampai usia 6 bulan tanpa tambahan
makanan/minuman lain (eksklusif), pemberian ASI sampai dengan usia 24
bulan disertai makanan pendamping ASI (Septikasari, 2018).
ASI yang keluar pada hari pertama dan kedua setelah melahirkan
biasa disebut dengan kolostrum. Kolostrum berwarna kuning atau jernih
karena mengandung sel hidup menyerupai sel darah putih yang dapat
membunuh kuman penyakit. Selain itu kolostrum mengandung air, tinggi
protein, lemak, laktose, mineral, vitamin, rendah karbohidrat,
immunoglobulin dan antibodi yang melindungi bayi dari infeksi
(Rochmawati, 2016)(Goi, 2013).
ASI eksklusif adalah pemberian ASI pada saat usia bayi 0-6 bulan
tanpa disertai makanan/minuman lainnya seperti susu formula, jeruk, madu,
air teh, air putih, pisang, bubur susu, biskuit, bubur nasi dan nasi tim kecuali
vitamin, mineral dan obat. Bayi yang mendapat ASI eksklusif 80% atau
lebih akan memiliki status gizi normal. ASI ekslusif diberkan kepada bayi
tanpa ditambahkan cairan lain. Pemberian ASI eksklusif juga dapat
menurunkan risiko penyakit diare terutama karena mengurangi
kemungkinan kontaminasi dari makanan (Septikasari, 2018)

Faktor yang bisa mempengaruhi pemberian ASI eksklusif pada bayi


Septikasari, 2018 yaitu :
a. Kurangnya pengetahuan ibu tentang ASI eksklusif. Pengetahuan
akan sangat berpengaruh terhadap perilaku termasuk perilaku
dalam pemberian ASI eksklusif,
b. aktivitas ibu yang menghambat pemberian ASI eksklusif.
Kesibukan ibu akan mempengaruhi pemberian ASI eksklusif
sehingga banyak ibu yang bekerja tidak dapat memberikan ASI
pada bayinya setiap 2-3 jam,
c. dukungan keluarga. Lingkungan keluarga merupakan lingkungan
yang sangat berpengaruh erhadap keberhasilan ibu menyusui ASI
eksklusif. Peran suami dan keluarga akan menentukan kelancaran
refleks pengeluaran ASI sangat dipengaruhi oleh keadaan emosi
atau perasaan ibu,
d. dukungan tenaga kesehatan. Petugas kesehatan sangat penting
dalam melindungi, meningkatkan, dan mendukung usaha
menyusui
Risiko pemberian makanan pada usia anak dibawah 6 bulan diantaranya :
a. tingginya solutekload (beban terlarut) hingga dapat menimbulkan
hiperosmolaritas,
b. peningkatan berat badan yang terlalu cepat hingga menjurus ke
obesitas,
c. alergi terhadap salah satu zat gizi yang terdapat dalam makanan,
d. mendapat zat tambahan, seperti garam dan nitrat yang dapat
merugikan,
e. terdapat zat pewarna atau pengawet di dalam makanan yang tidak
diinginkan,
f. ada kemungkinan pencemaran dalam penyediaan atau
penyimpanan makanan,
g. kekurangan gizi,
h. konstipasi
Setelah anak berusia 6 bulan, ASI hanya mampu memenuhi
kebutuhan nutrisi sebanyak 60 % oleh karena itu anak perlu diberikan
makanan tambahan pendamping ASI (MP ASI). MP ASI merupakan
makanan yang diberikan bersamaan dengan ASI sampai anak berusia 2
tahun. MP ASI harus mencakup semua zat gizi yang dibutuhkan antara lain
karbogidrat, protein, lemak, vitamin, mineral, dan air dengan
memperhatikan kebersihan dan keamanannya bagi bayi (Septikasari, 2018).
2. Pola asuh
Anak merupakan kelompok yang paling rentan terhadap gangguan
kesehatan dan gizi, karena pada masa ini masih terjadi proses pertumbuhan
dan perkembangan yang memerlukan zat-zat gizi dalam jumlah yang besar.
Pada masa anak-anak kelangsungan serta kualitas hidup anak sangat
tergantung pada orang tuanya terutama ibu. Peran serta keluarga terutama
ibu dalam proses pola asuh sangat menentukan status gizi pada anak
(Subekti, 2012).
Pola asuh merupakan suatu kesepakatan di dalam rumah tangga
dalam mengalokasikan waktu, perhatian, dan dukungan yang cukup untuk
memenuhi kebutuhan fisik, mental, dan sosial dalam rangka tumbuh
kembang anak. Terdapat beberapa teori yang membahas mengenai macam-
macam pola asuh salah satu teori yang sering diterapkan adalah teori dari
Range (1997).
Teori ini mengemukakan bahwa pola pengasuhan dapat
dikelompokkan menjadi empat yaitu pola asuh makan, pola asuh kebersihan
dan kesehatan, pola asuh psikososial, pola asuh anak ketika di dalam
kandungan (Subekti, 2012).
a. Pola Asuh Makan
Orang tua yang sibuk dengan pekerjaannya sering melupakan pola
asuh makan bagi anaknya. Pola asuh makan pada anak usia prasekolah
berperan penting dalam proses pertumbuhan pada anak, karena dalam
makanan banyak mengandung zat gizi. Zat gizi memiliki keterkaitan
yang erat hubungannya dengan kesehatan dan kecerdasan anak. Jika pola
asuh makan tidak tercapai dengan baik pada usia ini maka pertumbuhan
dan perkembangan akan terganggu, sehingga dapat menyebabkan tubuh
anak menjadi kurus (Sa’diya, 2015)
Pola asuh makan yang baik pada anak disebabkan karena orang tua
telah mengajarkan kebiasaan makan yang baik sejak kecil. Sedini
mungkin diajarkan kepada anak tentang kebiasaan makan yang baik
dapat terbawa sampai mereka dewasa dan dapat mempengaruhi kualitas
hidupnya. Untuk usia balita dapat mengikuti pola asuh makan keluarga
serta bentuk dan kebutuhannya harus diatur. Orang tua cenderung
mengatur pola asuh makan anaknya berdasarkan jenis dan jumlah
makanan yang dimakan, akan tetapi tidak memperhatikan jadwal makan.
Orang tua yang tidak membudayakan disiplin makan, anak cenderung
menuruti kemauan sendiri tanpa memperhatikan nilai gizi yang mereka
makan (Sa’diya, 2015).
Pada anak usia balita sering kali nafsu makannya menurun. Anak
lebih tertarik untuk bermain daripada makan, sehingga pola asuh makan
yang sudah disiapkan oleh ibu sering kali terlewati. Untuk dapat
menciptakan pola asuh makan yang baik maka makanan yang disajikan
harus bervariasi supaya tidak membosankan. Hal ini dikarenakan variasi
makanan akan dapat meningkatkan selera makan anak sehingga
kebutuhan nutrisi dalam tubuh terpenuhi (Sa’diya, 2015).
Hal-hal yang perlu diperhatikan ketika anak makan (Hardiman, 2014):
1) Ciptakan suasana makan yang menyenangkan
2) Tetap waspada. Selama ada resiko tersedak, bayi tidak boleh
ditinggalkan sendiri saat makan. Jangan membiasakan
meletakkan mainan di dekat tempat makan bayi atau
menyuapinya di depan televisi. Hal ini akan mengganggu
konsentrasi ibu dan juga anak.
3) Kaya variasi. Berilah anak makanan yang bervariasi karena di
masa bayi, anak akan belajar mengenal berbagai cita rasa.
4) Makanan keluarga. Kenalkan makanan yang biasa di makan
keluarga saat usia bayi menjelang 12 bulan, namun berikan
makanan yang tidak banyak mengandung garam, tidak pedas,
tidak berlemak, tidak digoreng, dan tidak mengandung bahan
makanan kimia (penyedap, pengawet, pewarna, perasa).
5) Kenalkan jadwal makan. Biasakan anak makan pada jam makan
yaitu pagi, siang, dan sore.
6) Makanan pada saat anak sakit. Beri makanan padat yang lebih
lunak dari biasanya, jika perlu tambahkan kaldu. Selain itu,
berikan makanan dalam keadaan hangat, porsinya sedikit namun
diberikan secara sering.

b. Pola asuh kebersihan dan kesehatan


Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Derso et al,
menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara sanitasi dengan
kejadian wasting. Penelitian ini menunjukkan bahwa rumah tangga yang
tidak memiliki akses yang sesuai dengan kriteria rumah sehat akan
beresiko lebih besar untuk terjadinya wasting. Hal ini dikarenakan rumah
yang tidak termasuk dalam kriteria rumah sehat akan menimbulkan suatu
penyakit dan bisa mempercepat penyebaran penyakit. (Derso et al, 2017).
Sanitasi lingkungan dapat menjadi faktor pendukung
berkembangnya penyakit menular dan infeksi seperti diare, dan ISPA.
Kedua penyakit tersebut merupakan penyakit yang sering diderita anak
balita di negara berkembang. Kedua penyakit ini juga berkaitan dengan
terjadinya gangguan tumbuh kembang dan tingginya angka kematian
bayi. Penyakit infeksi dapat menurunkan daya tahan tubuh anak sehingga
bisa memperburuk keadaan gizi dan akan mempengaruhi perkembangan
dan pertumbuhan (Rahayu dkk, 2018).
c. Pola Asuh Psikososial
Menjaga hubungan baik antara ibu dan anak merupakan salah satu
faktoryang menentukan baik buruknya tumbuh kembang pada anak. Oleh
karena itu keluarga terutama ibu harus selalu memberikan perawatan
psikososial. Perawatan psikososial pada anak bisa dilakukan sejak tahun
pertama kehidupan. Anak yang tidak mempunyai kedekatan dengan
ibunya cenderung lebih susah diberikan pemahaman akan hal yang boleh
dilakukan atau tidak. Hal ini karena anak tidak memiliki kepercayaan
kepada ibunya. Apabila hal ini terus menerus terjadi, anak akan menjadi
semaunya sendiri termasuk dalam hal makanan. Sehingga pertumbuhan
dan perkembangan anak bisa terganggu (Lestari & Handayani, 2014).
d. Pola Asuh Anak Selama Di Dalam Kandungan
Pola asuh anak selama di dalam kandungan berkaitan dengan status
giziIibu pada saat kehamilan. Ibu yang mengalami kurang gizi akan
mengakibatkan janin yang dikandung juga mengalami kekurangan zat
gizi. Kekurangan zat gizi pada kehamilan yang terjadi terus menerus akan
melahirkan anak dengan kondisi kurang gizi (kurus) atau berat bayi lahir
rendah (BBLR).
Kondisi ini jika berlangsung dalam kurun waktu yang relatif lama akan
menyebabkan anak mengalami kegagalan dalam pertumbuhan dan
perkembangan (Ni’mah, 2015).
a. Cara merawat anak selama di dalam kandungan :
1) Mempertahankan berat badan ibu normal
Berat badan normal adalah tidak terlalu gemuk dan terlalu kurus.
Kegemukan akan menurunkan kesuburan ibu, demikian pula jika ibu
terlalu kurus (kurang gizi). Selain itu, kegemukan dan kurang gizi
berisiko menimbulkan masalah saat ibu hamil dan melahirkan
(Anggarani, 2013).
2) Menerapkan pola makan sehat dan seimbang

Asupan gizi sangat berperan dalam menentukan kualitas kesehatan


ibu. Saat hamil, kesehatan janin ditentukan oleh kualitas makanan
yang dikonsumsi oleh ibu selama kehamilan. Agar pola makan sehat
dan seimbang, perlu diperhatikan beberapa hal seperti, porsi makanan
harus sesuai dengan kebutuhan tubuh, berasal dari sumber bahan
pangan yang sehat, pengolahan makanan dari dapur sehat, dan waktu
makan yang tepat (Anggarani, 2013).

3) Selalu menggunakan air bersih


Dengan menggunakan air bersih, kita dapat terhindar dari penyakit
seperti diare, kolera, disentri, thypus, cacingan, penyakit mata,
penyakit kulit, atau keracunan (Anggarani, 2013).
4) Menggunakan jamban bersih
Jamban yang tidak bersih dapat menjadi sumber penyebaran penyakit
diare, kolera, dan disentri (Anggarani, 2013).
5) Mencuci tangan dengan sabun
Cucilah tangan menggunakan sabun terutama sebelum makan,
sebelum mengelola makanan,setelah buang air besar, dan setelah
memegang hewan. Kebiasaan sehat ini sangat berpengaruh besar
untuk menghindari atau mencegah berbagai penyakit (Anggarani,
2013).
6) Tidak mengonsumsi alkohol, narkotika, dan zat berbahaya lainnya

Alkohol dan narkotika dapat menimbulkan efek berbahaya terhadap


kesehatan janin dan ibu hamil. Ibu hamil yang mengkonsumsi zat
berbahaya pada saat pembentukan dan perkembangan janin dapat
menyebabkan terhambatnya pertumbuhan organ janin yang masih
berkembang. selain itu zat berbahaya juga meningkatkan risiko
terjadinya keguguran, berat bayi lahir rendah, dan kelainan prematur.
Oleh karena itu, setiap wanita hamil harus berhati-hati terhadap apa
yang dikonsumsinya (Anggarani, 2013).

7) Nutrisi selama kehamilan


a) Asam Folat
Folat atau vitamin B dibutuhkan untuk mencegah kegagalan
penutupan tabung saraf neural pada janin dan mencegah
terjadinya kelainan berat pada otak serta tulang belakang janin.
Kekurangan asam folat bisa bisa mengakibatkan terjadinya
persalinan prematur, BBLR, dan juga kecacatan bayi. Folat bisa
didapat dari makananmakanan seperti sayuran hijau (bayam,
kubis, kol), buah-buahan (jeruk, melon, stroberi, lemon), kacang-
kacangan, dan makanan berbahan dasar gandum (roti, oatmeal)
(Senoaji, 2012).
b) Kalsium dan vitamin D
Kalsium penting untuk pertumbuhan dan kekuatan tulang dan
gigi, pengaturan sistem saraf, otot serta darah. Kalsium bisa
didapat dari semua produk susu dan turunnya seperti keju dan
yoghurt, atau bisa juga dari telur dan ikan salmon. Vitamin D bisa
didapat dari telur, ikan salmon, ikan tuna, dan mentega (Senoaji,
2012).
c) Zat besi
Zat besi penting untuk mencegah anemia atau kurang darah pada
ibu hamil. Selama kehamilan ibu cenderung jadi mudah lelah dan
sering merasa pusing. Hal ini terjadi karena berkurangnya jumlah
darah ibu karena dibagi ke janin. Berkurangnya jumlah darah itu
akan mengakibatkan berkurangnya aliran nutrisi ke janin. Zat besi
bisa didapat dari daging-dagingan, kacang-kacangan, dan sayuran
hijau (Senoaji, 2012).
3. Tingkat Pendidikan Ibu

Tingkat pendidikan sangat mempengaruhi seseorang untuk memahami dan


menerima informasi. Orang tua dengan pendidikan yang rendah akan lebih
mengikuti pantangan yang ada daripada menerima hal yang baru. Misalnya
pantangan memakan makanan tertentu. Hal ini dianggap bahwa pantangan
yang sudah ada tidak akan memberikan dampak apapun terhadap anak, bahkan
jika dilanggar dianggap akan berdampak buruk bagi anak. Orang tua dengan
pendidikan yang baik akan mengerti bagaimana mengasuh anak dengan baik,
menggunakan fasilitas pelayanan kesehatan dengan baik dan menjaga
kebersihan lingkungan (Septikasari, 2018).
Anak yang memiliki ayah dengan pendidikan rendah akan meningkatkan
risiko kejadian kurang gizi sebesar 1,5 kali lebih besar dibandingkan dengan
anak yang memiliki ayah dengan pendidikan tinggi. Pendidikan ayah dapat
merefleksikan pekerjaan kepala keluarga dan secara tidak langsung
berhubungn dengan pendapatan keluarga dan status sosial keluarga. Status
sosial keluarga yang baik akan lebih berpeluang mampu memenuhi kebutuhan
keluarga termasuk dalam sektor pangan dan menyediakan lingkungan tempat
tinggal dengan sanitasi yang baik sehingga anak dapat tumbuh dalam kondisi
sehat (Septikasari, 2018).

4. Tingkat Pengetahuan Ibu


Pengetahuan gizi merupakan kemampuan seseorang untuk mengingat
kembali kandungan gizi makanan, sumber serta kegunaan zat gizi tersebut
dalam tubuh. Pengetahuan gizi sendiri adalah salah satu permasalahan di
masyarakat yang menyebabkan berbagai masalah gizi terutama wasting. Pada
umumnya di masyarakat ibu yang memiliki pengetahuan gizi sangat rendah.
Para ibu tidak mengetahui cara menghidangkan makanan agar anaknya tidak
bosan, tidak mengetahui pemilihan makanan yang bernilai gizi baik, dan tidak
mengetahui cara pengelolaan makanan yang baik. Hal ini akan
mempengaruhi asupan gizi yang diterima anak menjadi kurang (Subekti,
2012).
5. Status Pekerjaan
Pekerjaan merupakan faktor penting dalam menentukan kualitas maupun
kuantitas pangan, karena pekerjaan berhubungan dengan pendapatan.
Pendapatan keluarga yang mencukupi akan menunjang perilaku anggota
keluarga untuk mendapatkan pelayanan kesehatan keluarga lebih memadai.
Pendapatan akan mempengaruhi pemenuhan zat gizi makanan keluarga dan
kesempatan dalam mengikuti pendidikan formal (Wado, 2019).

Faktor Anak
1. Jenis Kelamin
Jenis kelamin menentukan besar kecilnya status gizi anak. Menurut
hasil penelitian Ni’mah (2015) wasting paling sering dialami oleh anak
laki-laki. Hal ini dikarenakan anak laki-laki biasanya membutuhkan
lebih banyak zat gizi seperti energi dan protein daripada perempuan.
Jenis kelamin merupakan faktor internal seseorang yang berpengaruh.
2. Usia
Menurut hasil penelitian Ni’mah (2015) wasting paling sering dialami
anak dengan umur 13-36 bulan. Pada anak usia diatas 6 bulan,
merupakan usia dimana balita sangat tergantung pada makanan
tambahan. Disamping itu anak juga sudah mulai mengenal makanan
jajanan. Apabila hal ini tidak terpenuhi dalam kualitas maupun
kuantitas makanan yang cukup maka status gizi anak akan menurun.
Anak balita merupakan kelompok yang menunjukkan pertumbuhan
badan yang pesat, sehingga memerlukan zat-zat gizi yang tinggi setiap
kilogram berat badannya. Karena makanan memberikan sejumlah zat
gizi yang diperlukan untuk tumbuh kembang pada setiap tingkat
perkembangan dan usia yaitu masa bayi, balita, dan usia prasekolah.
Pemilihan makanan yang tepat dan benar sangat mempengaruhi
kecukupan gizi untuk tumbuh kembang fisik (Suhendri, 2019).
3. Asupan Nutrisi
Asupan nutrisi merupakan makanan bergizi yang digunakan untuk
mencukupi kebutuhan tubuh. Asupan nutrisi pada anak yang tidak
adekuat dapat mengakibatkan terganggunya pertumbuhan dan
perkembangan anak, bahkan apabila kondisi tersebut tidak ditangani
dengan baik maka risiko kesakitan dan kematian anak akan meningkat.
Selain itu tidak terpenuhinya nutrisi dalam tubuh dapat berpengaruh
terhadap sistem kekebalan tubuh. Sistem kekebalan tubuh yang lemah
menyebabkan anak lebih rentan terkena penyakit menular dari
lingkungan sekitarnya terutama pada lingkungan dengan sanitasi yang
buruk maupun dari anak lain atau orang dewasa yang sedang sakit.
Karena daya tahan tubuh lemah, anak dengan asupan nutrisi tidak
adekuat sering kali mengalami infeksi saluran cerna berulang. Infeksi
saluran cerna inilah yang meningkatkan risiko kekurangan gizi semakin
berat karena tubuh anak tidak dapat menyerap nutrisi dengan baik.
Status gizi yang buruk dikombinasikan dengan infeksi dapat
menyebabkan keterlambatan pertumbuhan (Septikasari, 2018).
4. Penyakit Infeksi
Penyakit infeksi adalah penyakit yang diderita anak, bersifat akut yang
terjadi setiap bulan atau kronik yang terjadi baik dalam satu minggu
atau lebih secara terus menerus. Penyakit infeksi dapat menurunkan
nafsu makan anak, menyebabkan kehilangan bahan makanan karena
muntah/diare, dan gangguan penyerapan dalam saluran pencernaan,
sehingga dapat menyebabkan asupan nutrisi untuk tubuh berkurang.
Selain itu infeksidapat menghambat reaksi imunologis yang normal
dengan menghabiskan sumber energi di tubuh. Jika hal ini terjadi secara
terus menerus pertumbuhan dan perkembangan anak bisa terhambat
serta kondisi fisik juga akan mengalami pengurusan (wasting)
(Prawesti, 2018).
5. BBLR
Berat lahir merupakan berat bayi yang ditimbang dalam waktu satu jam
pertama setelah dilahirkan. Secara normal berat bayi baru lahir berkisar
antara 2.500- 4.000 gram. Bayi yang lahir lebih dari 4.000 gram disebut
bayi besar sedangkan bayi yang lahir kurang dari 2.500 gram disebut
dengan berat bayi lahir rendah (BBLR).
Kejadian BBLR merusakan salah satu indikator kesehatan masyarakat
karena memiliki hubungan dengan angka kematian, kesakitan, dan
kejadian gizi kurang di
masa yang akan datang (Septikasari,32018).
Anak yang lahir dengan BBLR selain memiliki organ-organ dan tubuh
yang kecil juga mengalami defisit sel otak sebesar 10-17 %. Defisit sel
otak akan meningkat menjadi 30-40 % apabila bayi tidak mendapatkan
asupan makanan dengan baik. Defisit sel otak dapat mengakibatkan
gangguan pada sistem saraf yang akan mempengaruhi pertumbuhan dan
perkembangan pada anak. Selain defisit sel otak bayi dengan BBLR
juga mengalami defisit simpanan gizi sehingga imunitas atau daya
tahan tubuh mengalami penurunan. Dengan demikian maka bayi
dengan BBLR akan mudah terserang penyakit terutama penyakit
infeksius (Hayati, 2009).

Berdasarkan Faktor Keluarga


1. Ketahanan Pangan Keluarga
Ketahanan pangan keluarga merupakan suatu kondisi ketersediaan
pangan yang cukup bagi setiap orang pada setiap saat dan setiap
individu yang mempunyai akses untuk memperolehnya, baik secara
fisik maupun ekonomi. Ketahanan pangan didefinisikan sebagai kondisi
terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang
tercermin dari ketersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun
mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak
bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat untuk
dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan. Fokus
ketahanan pangan tidak hanya pada penyediaan pangan tingkat wilayah
tetapi juga ketersediaan dan konsumsi pangan tingkat daerah dan rumah
tangga, dan bahkan individu dalam memenuhi kebutuhan gizinya
(Arlius, 2017).
2. Tingkat Ekonomi Keluarga
Menurut buku yang ditulis oleh Septikasari (2018) keluarga dengan
pendapatan dibawah UMR, 3,2 kali lebih berisiko tidak memberikan
nutrisi yang adekuat dibandingkan dengan keluarga dengan pendapatan
diatas UMR. Rendahnya daya beli menyebabkan pemenuhan kebutuhan
dasar pangan yang memenuhi syarat asupan gizi yang cukup tidak dapat
terpenuhi yang pada akhirnya berdampak pada status gizi keluarga
khususnya anak sebagai kelompok rentan. Keluarga dengan status
ekonomi yang rendah tidak dapat memenuhi kebutuhan gizi karena
tidak memiliki uang yang cukup untuk membeli bahan makanan yang
bergizi. Rumah yang dijadikan sebagai tempat tinggal dibiarkan
seadanya tanpa dirubah kedalam standar rumah sehat menurut
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor :
829/Menkes/SK/VII/1999 tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan
(tabel 2.3). Hal ini dilakukan karena keterbatasan dana yang diperoleh
keluarga. Selain itu dalam sektor kesehatan, apabila salah satu keluarga
ada yang sakit maka hanya mampu dirawat sendiri dengan peralatan
dan kemampuan seadanya tanpa dibawa ke pelayanan kesehatan
(Hasyim, 2017).
3. Jumlah Anggota Keluarga
Jumlah anggota keluarga dalam satu rumah dapat mempengaruhi
pemenuhan asupan nutrisi yang didapatkan oleh setiap anggota
keluarga. Jumlah anggota keluarga memiliki keterkaitan dengan tingkat
ekonomi. Apabila ekonomi rendah ditambah dengan jumlah anggota
keluarga yang lebih dari enam orang akan berisiko mengalami
gangguan gizi (Suhendri, 2019).
C. TANDA TANDA WASTING
Tanda- tanda balita gizi kurang sebagai berikut:
Parameter yang valid dalam antropometri dapat dinilai empat indeks:
Berat Badan menurut Umur (BB/U),
Berat Badan menurut Tinggi Badan (BB/TB),
Tinggi Badan menurut Umur (TB/U)
a. Berat Badan menurut Umur (BB/U) Gizi kurang adalah apabila berat
badan bayi / anak menurut umur berada diantara 60,1%-80% standar
Harvard
b. Tinggi Badan menurut Umur (TB/U) Gizi kurang adalah apabila
panjang / tinggi badan bayi / anak menurut umurnya berada diantara 70,1%-
80% dari standar Harvard
c. Berat Badan menurut Tinggi Badan (BB/TB) Gizi kurang adalah apabil
berat bayi / anak menurut panjang / tingginya berada diantara 70,1%- 90%
dari standar Harvard
d. Pada KMS berat badan balita gizi kurang terletak pada pita warna kuning
yang berada dibawah pita warna hijau.

D. DAMPAK

Wasting merupakan ancaman serius pada kelangsungan hidup anak


dan perkembangannya karena berdampak pada (Adriani, 2016):
a. Angka mortalitas pada anak wasting menunjukkan tiga sampai
sembilan kali lebih tinggi daripada anak yang tidak wasting.
b. Anak wasting yang bertahan hidup meningkatkan risiko tumbuh
stunting
c. Anak yang mengalami wasting berisiko tinggi mengalami retardasi
pertumbuhan linier.
d. Gangguan perkembangan kognitif
e. Menurunnya kemampuan belajar
f. Berkurangnya massa tubuh (otot, organ tubuh, dan tulang)

Menurut Victora et al. (1999) menyatakan bahwa kurang gizi pada


anak menurunkan sistem imun yang akhirnya akan meningkatkan risiko
terjadinya penyakit infeksi. Keadaan kurang gizi mempunyai efek
terhadap mekanisme pertahanan terhadap antigen, serta berpengaruh juga
terhadap respon imun yang lebih khusus (Hastoety, 2018).

Penurunan respon seperti itulah yang menyebabkan virus dengan


mudah menginfeksi dan bereplikasi, sehingga timbullah penyakit infeksi
pada anak tersebut. Kaitan penyakit infeksi dengan keadaan gizi kurang
merupakan hubungan timbal balik, yaitu hubungan sebab akibat.
Penyakit infeksi dapat memperburuk keadaan gizi, dan keadaan gizi yang
jelek dapat mempermudah terkena infeksi (Wahyono, 2010).

Balita yang mengalami wasting dapat meningkatkan risiko kesakitan


dan kematian anak. Anak yang wasting sangat mudah terkena penyakit
infeksi. Apabila keadaan kurang gizi pada masa balita terus berlanjut,
maka dapat mempengaruhi intellectual performance, kapasitas kerja, dan
kondisi kesehatannya di usia selanjutnya.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Hendrayati (2013) penyakit


infeksi seperti diare dan Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA) yang
disebabkan oleh sanitasi pangan dan lingkungan yang buruk,
berhubungan dengan kejadian wasting.

Penelitian yang dilakukan Khan et al. (2016) juga menyatakan ada


hubungan yang signifikan antara penyakit infeksi dengan kejadian
wasting. Diare yang terjadi pada anak sangat berbahaya karena dapat
menyebabkan tubuh kehilangan cairan dalam jumlah banyak. Diare
sangat berhubungan dengan kerusakan yang terjadi pada mukosa usus
sehingga protein, cairan dan zat lainnya tidak dapat terserap dengan baik.
Selain itu terjadi masalah dalam aliran usus dan enzim pancreas.
Seseorang dengan penyakit saluran pernafasan juga mengalami masalah
yang dapat mempengaruhi asupan gizi (Hidayati, 2017).

Penyakit Infeksi bisa berhubungan dengan gangguan gizi melalui


beberapa cara, yaitu mempengaruhi nafsu makan, menyebabkan
kehilangan bahan makanan karena diare dan mempengaruhi metabolisme
makanan (Asiah, 2018)

E. PENATALAKSANAAN WASTING
Makanan Tambahan Balita adalah suplementasi gizi berupa makanan
tambahan dalam bentuk biskuit dengan formulasi khusus dan difortifikasi
dengan vitamin dan mineral yang diberikan kepada bayi dan anak balita
usia 6-59 bulan dengan kategori kurus untuk mencukupi kebutuhan gizi.
Sasaran utama MT Balita adalah balita kurus usia 6-59 bulan dengan
indikator Berat Badan (BB) / Tinggi Badan (TB) kurang dari minus 2
standar deviasi (<- 2 Sd). Tiap bungkus MT Balita berisi 4 keping biskuit
(40 gram) ketentuan pemberian (Kemenkes RI, 2018) :
1. Usia 6 -11 bulan diberikan 8 keping (2 bungkus) per hari
2. Usia 12-59 bulan diberikan 12 keping (3 bungkus) per hari
3. Bila sudah mencapai berat badan sesuai panjang/tinggi badan dan
atau berat badan sesuai umur, PMT pemulihan pada Balita
dihentikan dan selanjutnya mengonsumsi makanan keluarga gizi
seimbang
4. Biskuit dapat langsung dikonsumsi atau terlebih dahulu ditambah
air matang dalam mangkok bersih sehingga dapat dikonsumsi
dengan menggunakan sendok
5. Setiap pemberian MT harus dihabiskan Berdasarkan Angka
Kecukupan Gizi 2013 dari Kementerian Kesehatan RI, kebutuhan
kalori anak usia 1-3 tahun adalah 1125 kkal per hari.
Bila dilihat kebutuhan kalori anak tersebut, berikut contoh
pembagian porsi makan anak usia 3 tahun:
1. Makanan pokok
Ada beberapa makanan pokok yang bisa diberikan dalam satu
porsi makan anak usia 3 tahun. Berdasarkan Data Komposisi
Pangan Indonesia, berikut makanan pokok yang bisa dijadikan
pilihan:
a. Nasi putih 100 gram atau satu centong nasi, mengandung
180 kal energi dan 38,9 gram karbohidrat
b. Kentang 100 gram mengandung 62 kal energi dan 13,5
gram karbohidrat
c. Roti seberat 100 gram mengandung 248 kal energi dan
50 gram karbohidrat
d. Sesuaikan menu makanan dengan kesukaan anak Anda
agar ia semangat untuk menyantapnya.
2. Protein hewani
Untuk memenuhi kebutuhan energi 1125 kal dalam sehari, wajib
menambahkan protein hewani ke dalam porsi makan anak usia 3
tahun. Berikut takaran protein hewani yang bisa dijadikan pilihan:
a. Daging sapi 100 gram mengandung 273 kal energi dan
17,5 gram protein
b. Ayam 100 gram mengandung 298 kal energi dan 18,2
gram protein
c. Ikan 100 gram rata-rata mengandung 100 kal dan 16,5
gram protein
d. Telur ayam 100 gram mengandung 251 kal energi dan
16,3 gram protein
e. Untuk daging sapi dan ayam, pastikan proses
memasaknya lebih lama agar daging empuk dan anak
tidak sulit mengunyahnya.
3. Protein nabati
Tahu dan tempe menjadi andalan dalam asupan protein nabati.
Tubuh anak usia 3 tahun membutuhkan 26 gram protein di dalam
tubuh. Selain tahu tempe, Anda bisa mencoba bubur kacang hijau
yang mengandung 109 kal energi dan 8,9 gram protein.
4. Sayur dan buah
Anak-anak membutuhkan 100-400 gram sayur dan buah dalam
sehari. Ini bisa didapat dalam waktu makan yang berbeda, bisa saat
sarapan, makan siang, makan malam, atau camilan. Sebagai
contoh, ½ mangkuk sayur sop untuk pagi hari, ¼ mangkuk sayur
bayam di siang hari, dan ¼ rebusan jagung di malam hari. Untuk
buah bisa memakai banyak pilihan, seperti dua potong semangka
dalam sehari. Lalu esoknya diganti melon, pisang, atau jeruk. Buah
bisa dijadikan camilan setelah makan berat.
5. Susu
Mengutip buku Gizi Anak dan Remaja yang ditulis oleh dr. Sandra
Fikawati, satu porsi susu yang diberikan pada anak usia 3 tahun
tidak harus dalam bentuk minuman, tetapi juga bahan makanan.
Susu mengandung kalsium dan vitamin D yang mampu
meningkatkan kekuatan tulang dan gigi anak. Berdasarkan Angka
Kecukupan Gizi (AKG) 2013, anak usia 1-3 tahun membutuhkan
650 miligram kalsium dan 15 miligram vitamin D dalam satu hari.
Dilihat dari Data Komposisi Pangan Indonesia, 100 ml susu
mengandung 143 mg kalsium. Selain itu, lengkapi kebutuhan
kalsium dari makanan olahan susu lain misalnya, yoghurt dan keju.
Sebagai bayangan, ini contoh porsi makan anak usia 3 tahun yang
bisa menjadi panduan orangtua :
a. ¼ sampai ½ potong roti
b. ¼ gelas sereal
c. 1 sendok makan sayuran
d. ½ potong buah segar
e. 1 buah telur
f. 28 gram daging cincang
BAB III
PENUTUP

Berdasarkan uraian diatas, maka dapat disimpulkan :

Secara umum, Instalasi Gizi RSKIA Annisa Payakumbuh harus


melaksanakan penetalaksanaan gizi untuk kasus anak wasting ataupun memberi
edukasi kepada ibu hamil dan menyusui untuk pencegahan terjadinya wasting
pada balita. Demikianlah Pedoman wasting ini kami susun, semoga dapat
digunakan sebagai acuan dalam penyelenggaraan pelayanan balita wasting di
RSKIA Annisa Payakumbuh kedepannya.

Anda mungkin juga menyukai