“KELOMPOK 5”
Analisis jurnal dan refrensi epid dan nutrition transition
BEBAN GIZI GANDA
Disusun oleh:
1.Rizka Gia Novita
2.Sarilisnawati
3.Siti Rachmawati
4.Songo Wigerar
5.Sri Putri Hnadayani
6.Sri Yunida
7.Supriadi
8.Susanti
9.Susilawati
10.Sutary
11.Saleh
BAB I PENDAHULUAN
Hampir semua negara di dunia mengalami Masalah Gizi Ganda (MGG), baik negara
dengan pendapatan tinggi maupun rendah. Global Nutrition Report tahun 2020
menunjukkan bahwa dari 143 negara di dunia, sebanyak 124 negara (86,7%)
setidaknya mengalami dua masalah gizi yang serius. Dari 124 negara tersebut,
sebanyak 37 negara memiliki tiga masalah gizi yang serius (stunting balita, anemia,
dan overweight pada wanita dewasa). Kalau untuk di Indonesia masalah gizi ganda
juga telah menjadi perhatian, meskipun prioritas utama pemerintah Indonesia masih
pada masalah gizi kurang, khususnya stunting dan gizi buruk.1
Fenomena beban gizi ganda pada keluarga memiliki dampak
di Indonesia.
kurang (stunting, wasting, dan defisiensi zat gizi mikro) bersamaan dengan gizi
lebih dan obesitas di sepanjang kehidupan. Masalah gizi lebih dan gaya hidup
kardiovaskular, hipertensi, dan kanker. Masalah gizi ganda dapat terjadi pada
Anemia pada wanita dan anak-anak masih menjadi masalah kesehatan masyarakat
dengan kategori berat menurut klasifikasi WHO (WHO, 2010). Anemia sebagian
besar disebabkan oleh defisiensi zat besi, dan juga terkait dengan defisiensi
mikronutrien lainnya seperti vitamin A, asam folat, dan vitamin B12. Prevalensi
anemia juga lebih tinggi di daerah dimana kecacingan umum terjadi. Anemia pada
ibu hamil (hemoglobin < 11 g/dl) pada tahun 2013 (Kementerian Kesehatan, 2013).
5. Kegemukan dan Obesitas
Prevalensi kegemukan (IMT ≥25 sampai <27) dan obesitas (IMT ≥ 27) di kalangan
orang dewasa meningkat tajam dan obesitas sekarang menjadi tantangan masalah
gizi terbesar di masa depan yang dihadapi oleh Indonesia. Dalam lima tahun, antara
tahun 2013 dan 2018, prevalensi obesitas telah meningkat enam persen dan lebih
tinggi dari target RPJMN 2015-2019.
6. Gizi Remaja
Remaja di Indonesia sudah mulai menderita Beban Ganda Masalah Gizi. Pada tahun
2013, 9,4% remaja berusia 16-18 tahun dan 11,1% dari mereka yang berusia 13-15
tahun mengalami kurus (IMT per usia <-2 SD Zscore), sementara 7,3% dan 10,8%,
secara berurutan, mengalami kelebihan berat badan (IMT per usia > +1 SD Zscore)
(Kementerian Kesehatan, 2013).
Cara Mengatasi Beban Ganda Masalah Gizi di Indonesia
4.Membangun sistem informasi dan bukti terkait gizi untuk menyediakan sumber data
yang kredibel dan tepat waktu yang dapat digunakan untuk pengambilan keputusan.
Kesimpulan
Beberapa saran dan aksi kebijakan yang perlu dipertimbangkan untuk mengatasi
DBM di Indonesia, yaitu:
Peraturan Pemasaran Susu Pengganti ASI, sehingga bayi tidak lagi diberi
susu pengganti ASI oleh pekerja kesehatan, terutama pada saat kelahiran
3. Keamanan Pangan dan Gizi
Mengembangkan
. model untuk memperkirakan dampak ekonomi dan fiskal DBM di sepanjang
kehidupan.Menjajaki potensi dan kemungkinan untuk memberlakukan pajak atas komoditas
pangan impor yang menerima subsidi dari negara asalnya, serta pajak atas makanan cepat saji
tertentu, misalnya minuman yang mengandung kadar gula tinggi, yang sangat bersifat
obesogenik.
Sekian dan terimaksih
TUGAS KELOMPOK 5 GIZI KESEHATAN MASYARAKAT
Dosen Pengampu:
Dr. Novrikasari, SKM, MKes
Disusun oleh:
1
Kata Pengantar
Segala puji dan syukur ke hadirat Allah swt, Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat dan
hidayah-Nya, tim penulis dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul "Beban
gizi Ganda " dengan tepat waktu.
Makalah disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Gizi Kesehatan Masyarakat.
Selain itu, makalah ini bertujuan menambah wawasan tentang bagi para mahasiswa
khususnya Mahasiswa S2 IKM Unversitas Sriwijaya dan bagi para pembaca dan
juga bagi penulis.
Tim penulis mengucapkan terima kasih kepada Dosen pengampu Ilmu Gizi
Kesehatan Masyarakat selaku dosen mata kuliah Gizi. Ucapan terima kasih juga
disampaikan kepada semua anggota kelompok lima gizi yang telah membantu
diselesaikannya makalah ini.
Tim penulis menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, saran
dan kritik yang membangun diharapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Penulis
2
Daftar Isi
C. Tujuan ...........................................................................................6
C. Anemia .........................................................................................21
A. Kesimpulan ...................................................................................55
B. Saran ............................................................................................58
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hampir semua negara di dunia mengalami Masalah Gizi Ganda (MGG), baik
negara dengan pendapatan tinggi maupun rendah. Global Nutrition Report tahun
2020 menunjukkan bahwa dari 143 negara di dunia, sebanyak 124 negara (86,7%)
setidaknya mengalami dua masalah gizi yang serius. Dari 124 negara tersebut,
sebanyak 37 negara memiliki tiga masalah gizi yang serius (stunting balita, anemia,
dan overweight pada wanita dewasa). Kalau untuk di Indonesia masalah gizi ganda
juga telah menjadi perhatian, meskipun prioritas utama pemerintah Indonesia masih
dari berkurangnya gizi buruk dapat dilihat dari dua sisi, pertama berkurangnya biaya
berkaitan dengan kematian dan kesakitan dan di sisi lain akan meningkatkan
status gizi adalah berkurangnya kematian bayi dan anak balita, berkurangnya biaya
meningkatnya angka obesitas, padahal disisi lain masalah gizi kurang juga masih
1
Diana, R & Tanziha, I. 2020. Double-Duty Actions to Reduce the Double Burden of Malnutrition in
Indonesia. DOI: 10.2473/amnt.v4i4.2020. 326-334
2
Azwar, Azrul. Kecenderungan Masalah Gizi dan Tantangan di Masa Mendatang. Dirjen Bina Kesmas
Depkes
4
menjadi masalah kesehatan. Hal ini menimbulkan sebuah fenomena baru yaitu
beban gizi ganda (dual burden malnutrition) yang didefinisikan sebagai suatu kondisi
dimana terdapat masalah gizi kurang (undernutrition) dan gizi lebih (overnutrition)
yang terjadi di waktu yang sama. Fenomena ini tidak hanya terjadi pada tingkat
status gizi anak balita. Transisi pangan ditandai dengan perubahan pola konsumsi
mempengaruhi keadaan status gizi terutama keadaan status gizi balita. Sementara
terjadinya transisi status gizi, dapat menimbulkan masalah gizi ganda (double
burden).4 Kekurangan gizi pada anak-anak dapat mulai terjadi pada tahap sangat
awal kehidupan. Saat seorang anak menerima asupan gizi yang kurang baik saat
masih dalam kandungan, tubuhnya akan beradaptasi agar dapat bertahan hidup
jangka panjang bagi anggota keluarga yang mengalami malnutrisi, seperti gangguan
produktifitas kerja, outcome kehamilan yang buruk6 dan risiko penyakit degeneratif.7
B. Rumusan Masalah
Indonesia?
3
Fitri, Widya Astuti dkk. 2020. Prevalensi dan Faktor yang Berhubungan dengan Terjadinya Beban Gizi
Ganda pada Keluarga di Indonesia
4
Fuada, Novianty. 2010. Analisis Spasial Terhadap Perubahan Status Gizi Anak Balita di Indonesia
5
MEDIKA Jurnal Kedokteran Indonesia. 2017. Menghadapi Beban Ganda Malnutrisi
6
Haddad, L., Cameron, L. & Barnett, I. 2015 The Double Burden of Malnutrition in SE Asia and the
Pacific. Priorities, Policies and Politics. Health Policy Plan.
7
Nugent, R., Levin, C., Hale, J., & Hutchinson, B.. 2019. Economic Effects of the Double Burden of
Malnutrition. The Lancet.
5
2. Bagaimana Hubungan antara fenomena beban gizi ganda dan dampak
Indonesia?
C. Tujuan
Indonesia.
masyarakat di Indonesia.
6
BAB II
KAJIAN TEORI
dan bahkan individu yang sama. Yang mengkhawatirkan adalah dimensi DBM di
sepanjang kehidupan, atau keterkaitan antara gizi buruk pada ibu hamil dan janin
dengan meningkatnya kerentanan terhadap kelebihan gizi dan pola makan yang
(penyakit tidakmenular) justru semakin meningkat. Hal ini terjadi seiring dengan
berubahnya gaya hidup, sosial ekonomi dan meningkatnya umur harapan hidup
pakar Demografi Abdoel Omran pada tahun 1971. Pada saat itu ia mengamati
menuliskan sebuah teori bahwa ada 3 fase transisi epidemiologis yaitu : 1)The age
of pestilence and famine, yang ditandai dengan tingginya mortalitas 2)The age of
7
receding pandemics, era di mana angka harapan hidup mulai meningkat antara 30-
50 dan 3)The age of degenerative and man-made disease, fase dimana penyakit
infeksi mulai turun namun penyakit degeneratif mulai meningkat. gambaran itu
memang untuk negara Barat.Teori ini kemudian banyak di kritik. Kritikan dari
beberapa tokoh seperti Rogers dan Hackenberg (1987) dan Olshansky and
Ault(1986) membuat Omran melakukan sedikit revisi. Bagi negara Barat, ketiga
model tersebut ditambah 2 lagi yaitu: 4)The age of declining CVD mortality, ageing,
harapan hidup mencapai 80-85, angka fertilitas sangat rendah, serta penyakit
kardiovakular dan kanker, serta 5)The age of aspired quality of life with paradoxical
dengan angka harapan hidup mencapai 90 tahun tetapi dengan karakteristik kronik
yaitu masih banyaknya masyarakat yang mengalami gizi kurang dan terjadinya
peningkatan masyarakat dengan gizi lebih. Gaya hidup masyarakat yang berubah
maupun akibat penyakit yang akan ditimbulkan. Transisi epidemiologi gizi ini
World Health Organization (WHO) menyatakan akan ada satu miliar orang di
atau kegemukan. Jumlah ini juga di prediksi oleh WHO tetap akan meningkat pada
2015 mendatang dengan jumlah penderita obesitas sebanyak 1,5 miliar orang. Hal
ini di anggap wajar terjadi, pasalnya masyarakat perkotaan yang hidup di bawah
untuk berolah raga dan makan makanan yang sehat (Pusat Promosi Kesehatan
8
pembunuh manusia terbesar. Angka kematian tertinggi ada di negara-negara
luasnya masalah gizi yang ada dan gambaran tentang trend kejadian
sumber daya yang tersedia. Hasil dari peramalan tersebut akan membantu
kurang (stunting, wasting, dan defisiensi zat gizi mikro) bersamaan dengan gizi
lebih dan obesitas di sepanjang kehidupan. Masalah gizi lebih dan gaya hidup
9
kardiovaskular, hipertensi, dan kanker. Masalah gizi ganda dapat terjadi pada
Akses dan pelayanan kesehatan, asi eksklusif, dan kondisi sosial ekonomi
program ini telah ada dan dilakukan pemerintah Indonesia, namun masih dalam
konteks mengatasi masalah gizi secara individu (stunting atau kegemukan saja).
program yang berpotensi menjadi DDA (pelayanan gizi dan kesehatan ibu hamil
dan anak, monitoring pertumbuhan anak, asi eksklusif, dan jaringan pengaman
sosial) perlu ditingkatkan dan diperluas agar program ini dapat menyelesaikan
MGG. Paradigma dan pemikiran baru ini dapat menjadi pendekatan yang
komprehensif untuk menurunkan masalah gizi kurang dan lebih secara simultan.
Dampak dari beban ganda malnutrisi ini sangat serius dan manifestasinya
dapat mulai terjadi pada tahap sangat awal kehidupan. Saat seorang anak
menerima asupan gizi yang kurang baik saat masih dalam kandungan, tubuhnya
akan beradaptasi agar dapat bertahan hidup dalam kondisi gizi yang kurang.
Akibatnya, apabila nantinya ia hidup dalam lingkungan dengan asupan gizi yang
mudah diperoleh, tubuhnya akan sangat rentan terhadap obesitas sehingga mudah
terkena penyakit tidak menular, seperti penyakit diabetes melitus dan jantung.
yang mengalami stunting, proses-proses lain di dalam tubuh juga terhambat, salah
8
Diana, R & Tanziha, I. 2020. Double-Duty Actions to Reduce the Double Burden of Malnutrition in
Indonesia. DOI: 10.2473/amnt.v4i4.2020. 326-334
10
satunya adalah pertumbuhan otak yang berdampak pada kecerdasan. Dalam
mengurangi skor IQ sebesar 5-11 poin dan nilai-nilai sekolahnya juga lebih rendah
dibandingkan dengan yang tidak mengalami stunting. Selain itu, anak yang lahir
dengan berat badan kurang, memiliki peluang 2,6 kali lebih kecil untuk melanjutkan
ke pendidikan tinggi. Oleh karena itu, permasalahan stunting tidak hanya berhenti
pada tubuh yang pendek saja. Berdasarkan data yang dirilis oleh World Bank,
produktivitas seseorang yang mengalami stunting saat masih kecil ternyata lebih
rendah dibandingkan dengan yang tidak. Hal ini sejalan dengan capaian pendidikan
yang lebih rendah. Masalah akan semakin parah apabila pola makan tidak diatur
dengan baik saat dewasa yang dapat menimbulkan berbagai macam penyakit tidak
menular. Dampak beban ganda malnutrisi tidak hanya dirasakan oleh individu. Dari
segi ekonomi, kerugian akibat stunting dan malnutrisi diperkirakan setara dengan 2-
3% PDB Indonesia.
Nasional (JKN). Penyakit tidak menular, seperti stroke, diabetes melitus, dan gagal
ginjal, kini menjadi penyebab 60% kematian di Indonesia dan pembiayaan JKN
untuk kasus penyakit tidak menular ini merupakan salah satu yang terbesar.
Faktor yang Mempengaruhi Beban Ganda Malnutrisi Banyak orang tua yang
orang tua ini seolah menganggap wajar jika orang tuanya pendek maka anaknya
juga pendek. Padahal, sebenarnya stunting merupakan masalah gizi yang dapat
dicegah sejak dalam kandungan. Oleh karena itu, seorang ibu memegang peran n
penting dalam memutus lingkaran setan malnutrisi ini. Ibu hamil yang mengalami
kekurangan gizi, misalny a kekurangan energi kronis (KEK) dan anemia defisiensi
besi, berpotensi untuk melahirkan bayi dengan bayi yang kurus dan pendek. Jika hal
ini tidak diperbaiki pada 2 tahun pertama kehidupannya, kekurangan ini dapat menja
11
di permanen dan mempengaruhi perkembangan kognitif dan meningkatkan risiko
disebabkan oleh berbagai faktor lainnya. Studi yang dilakukan oleh World Bank
penyakit dari penyakit menular menjadi penyakit tidak menular. Kedua, naiknya
lemak perkapita naik dua kali lipat. Konsumsi makanan olahan juga terus meningkat,
khususnya di wilayah perkotaan. Ketiga, banyak kota tidak ramah bagi pejalan kaki
menyediakan makanan sehat terbatas. Orang yang bekerja dan sekolah tidak punya
banyak pilihan selain makanan siap saji di luar rumah. Terakhir, budaya dan trasisi
yang mempengaruhi gizi ibu hamil dan anak-anak, serta norma sosial membuat
dengan berat badan kurang. Menurunkan prevalensi stunting, wasting, dan obesitas
merupakan salah satu goal dalam Sustainable Development Goals (SDGs) yang
seharusnya dapat dicapai di tahun 2030. Mengurangi prevalensi malnutrisi ini sangat
penting dalam mencapai tujuan tersebut. Program intervensi kesehatan pada ibu
hamil dan 2 tahun pertama kehidupan anak mutlak diperlukan. Hal ini dikarena kan 2
diintervensi dari sejak dalam kandungan dan pola asuh yang baik selama 2 tahun
perbaikan gizi sangat diperlukan untuk meningkatkan derajat kesehatan dan juga
untuk mengembang kan perekonomian. Oleh karena itu, dalam mengatasai berbagai
penyebab malnutrisi diperlukan pendekatan yang holistik dari berbagai sektor. Salah
12
satunya adalah penyediaan air bersih. Sanitasi yang baik sangat diperlukan dalam
Hari Gizi Nasional dan Investasi Gizi di Indonesia Setiap tanggal 25 Januari
diperingati sebagai Hari Gizi Nasional. Peringatan ini dapat dijadikan momentum
masih harus diselesaikan. Salah satunya adalah masalah beban ganda malnutrisi ini.
Sudah saatnya isu gizi menjadi salah satu prioritas dalam rencana pembangunan,
Pemerintah seharusnya dapat menjamin setiap warganya, terutama anak balita, ibu
hamil, dan lansia mendapatkan akses gizi yang baik. Negara harus hadir sebagai
penjamin terpenuhi - nya hak pangan hingga di tingkat individu, seperti yang
diamanah kan UU No 18/2012 tentang Pangan. Hal tersebut dapat dilakukan lewat
beragam aksi, seperti revitalisasi posyandu, bantuan pangan bagi balita dan ibu
hamil, program pemberian makanan tambahan anak sekolah, subsidi dan stabilisasi
harg a pangan, dan diversivikasi pangan lokal. Investasi di bidang gizi sifatnya
jangka panjang.
Selama ini, gizi memang hanya dianggap sebagian kecil dari berbagai urusan
kesehatan sehingga kita sering berpikir sempit dan jangka pendek. Kita kurang sekali
menghargai masa depan. Oleh karena itu, yang diperlukan tidak hanya komitmen
pendanaan dari birokrat dan politisi, tapi juga jaminan keberlanjutan aneka program
berbagai langkah itu, kita dapat mencegah lahirnya generasi yang malnutrisi.
(Medika, 2017)
13
b. studi cross-sectional atau studi prevalensi: untuk mengetahui hubungan
antara faktor-faktor penyebab dan kelainan gizi pada suatu waktu dengan
gizi (kasus) dengan orang yang bebas kelainan gizi (kontrol) berdasarkan
factor penyebab yang telah lalu Modul Epidemiologi dan Transisi Gizi 2016 A
Lain.
mengikuti individu tersebut untuk waktu tertentu diikuti akibat dari factor
a. Gizi atau status gizi sukar untuk ditentukan secara langsung sehingga selama
c. Masalah gizi merupakan akibat dari banyak faktor sehingga program gizi dan
(indikator yang bereaksi terhadap terapi gizi). Pemilihan indikator yang terbaik
14
Masalah Gizi yang terjadi di Indonesia
atau dengan ungkapan lain status nutrisinya berada di bawah standar rata-rata.
Nutrisi yang dimaksud bisa berupa protein, karbohidrat dan kalori. Di Indonesia,
kasus KEP (Kurang Energi Protein) adalah salah satu masalah gizi utama yang
Orang akan menderita gizi buruk jika tidak mampu untuk mendapat manfaat
dari makanan yang mereka konsumsi, contohnya pada penderita diare, nutrisi
berlebih, ataupun karena pola makan yang tidak seimbang sehingga tidak mendapat
cukup kalori dan protein untuk pertumbuhan tubuh. Beberapa orang dapat menderita
gizi buruk karena mengalami penyakit atau kondisi tertentu yang menyebabkan
tubuh tidak mampu untuk mencerna ataupun menyerap makanan secara sempurna.
Contohnya pada penderita penyakit seliak yang mengalami gangguan pada saluran
pencernaan yang dipicu oleh sejenis protein yang banyak terdapat pada tepung yaitu
gluten. Penyakit seliak ini mempengaruhi kemampuan tubuh untuk menyerap nutrisi
sehingga terjadi defisiensi. Kemudian ada juga penyakit cystic fibrosis yang
c. Anak yang asupan gizinya terganggu karena penyakit bawaan seperti jantung
15
f. Adanya kondisi medis tertentu
Gejala-gejala Gizi Buruk dapat mempengaruhi kesehatan tubuh baik fisik dan
mental. Semakin berat kondisi gizi buruk yang diderita (semakin banyak nutrisi yang
kurang) akan memperbesar resiko terjadinya masalah kesehatan secara fisik. Pada
gizi buruk yang berat dapat terjadi kasus seperti marasmus (lemah otot) akibat
defisiensi protein dan energi, kretinisme dan kerusakan otak akibat defisiensi yodium,
kebutaan dan resiko terkena penyakit infeksi yang meningkat akibat defisensi vitamin
b. Pusing.
16
Dampak gizi buruk pada anak terutama balita
terhambat.
d. Mudah terkena penyakit ispa, diare, dan yang lebih sering terjadi.
Indikasi Gizi Buruk Untuk KEP ringan dan sedang, gejala klinis yang bisa
dijumpai pada anak adalah berupa kondisi badan yang tampak kurus.
Gejala klinis KEP berat/gizi buruk secara garis besar bisa dibedakan menjadi tiga
sering timbul pada usia 1-3 tahun karena pada usia ini kebutuhan protein tinggi.
Meski penyebab utama kwashiorkor adalah kekurangan protein, tetapi karena bahan
makanan yang dikonsumsi kurang menggandung nutrient lain serta konsumsi daerah
berbagai negara.
c. Pambut tipis kemerahan seperti warna rambut jagung dan mudah dicabut
17
e. Terjadi pembesaran hati.
f. Otot mengecil (hipotrofi), lebih nyata bila diperiksa pada posisi berdiri atau
duduk.
g. Terdapat kelainan kulit berupa bercak merah muda yang meluas dan
dermatosis).
h. Sering disertai penyakit infeksi yang umumnya akut • anemia dan diare
dan “emosional”. Sering terjadi pada bayi yang tidak cukup mendapatkan ASI
serta tidak diberi makanan penggantinya, atau terjadi pada bayi yang sering
diare.
e. Jaringan lemak subkutis sangat sedikit sampai tidak ada (baggy pant/pakai
celana longgar.
klinis kwashiorkor dan marasmus disertai edema yang tidak mencolok. Cara
Mengukur Status Gizi Anak Banyak cara yang bisa dilakukan untuk mengukur status
gizi pada anak. Berikut adalah salah satu contoh pengukuran status gizi bayi dan
balita berdasarkan tinggi badan menurut usia dan lingkar lengan atas.
18
Berikut adalah beberapa cara untuk mencegah terjadinya gizi buruk pada anak:
pendamping ASI yang sesuai dengan tingkatan umur, lalu disapih setelah
berumur 2 tahun
lemak minimal 10% dari total kalori yang dibutuhkan, sementara protein 12%
d. Jika anak dirawat di rumah sakit karena gizinya buruk, bisa ditanyakan
kepada petugas pola dan jenis makanan yang harus diberikan setelah pulang
e. Jika anak telah menderita karena kekurangan gizi, maka segera berikan
kalori yang tinggi dalam bentuk karbohidrat, lemak, dan gula. Sedangkan
dan vitamin penting lainnya. Penanganan dini sering kali membuahkan hasil
yang baik. Pada kondisi yang sudah berat, terapi bisa dilakukan dengan
meninggalkan sisa gejala kelainan fisik yang permanen dan akan muncul
c. Konsumsi Vitamin A seperti susu, ikan goring, hati, sayur hijau, dan kuning.
19
d. Konsumsi Vitamin B 12 seperti kedelai, telur, keju,daging, tempe, dll
Obesitas
Obesitas adalah penyakit gizi yang disebabkan kelebihan kalori dan ditandai
yang diperlukan untuk fungsi tubuh. Gizi lebih (over weight) dimana berat badan
melebihi berat badan rata-rata, namun tidak selalu identik dengan obesitas.
Penyebab
f. Gangguan hormon
Gejala
c. Dagu ganda.
e. Perut menggantung.
makanan.
Resiko/dampak obesitas
20
a. Gangguan respon imunitas seluler.
Mengatasi Obesitas
namun aktifitasnya kurang, sehingga latihan fisik yang intensif menjadi pilihan
utama
b. Pada obesitas berat selain latihan fisik juga memerlukan terapi diet. Jumalh
energi dikurangi, dan tubuh mengambil kekurangan dari jaringan lemak tanpa
esensial.
c. Kurangi asupan energi, akan tetapi vitamin dan nutrisi lain harus cukup, yaitu
g. Bila terdapat komplikasi, yaitu sesak nafas atau sampai tidak dapat berjalan,
ANEMIA
Anemia defisiensi adalah anemia yang disebabkan oleh kekurangan satu atau
beberapa bahan yang diperlukan untuk pematangan eritrosit. Keadaan dimana kadar
hemoglobin (Hb), hematokrit (Ht) dan eritrosit lebih rendah dari nilai normal, akibat
defisiensi salah satu atau beberapa unsur makanan yang esensial yang dapat
Macam-macam anemia
21
a. Anemia defisiensi besi adalah anemia karena kekurangan zat besi atau
sintesa hemoglobin.
b. Anemia megaloblastic.
a. Prevalensi tertinggi terjadi didaerah miskin, gizi buruk dan penderita infeksi
b. Hasil studi menunjukan bahwa anemia pada masa bayi mungkin menjadi
e. Sakit kepala
f. Jantung membesar
g. Produktivitas rendah.
22
f. Ekonomi rendah
b. Balita
Penanganan
b. Pembekalan KIE kepada kader dan orang tua serta pemberian suplemen
c. Pembekalan KIE kepada guru dan kepala sekolah agar lebih memperhatikan
anak sekolah
e. Pemberian KIE dan suplemen dalam bentuk pil KB kepada wanita usia subur
(WUS)
DEFISIENSI VITAMIN A
Penyebab
23
d. Gangguan absorbsi vitamin A atau pro vitamin A (penyakit pankreas, diare
kelenjar tiroid
Sifat
a. Mudah teroksidasi
b. Kadar vitamin A dalam plasma 12 bulan 200.000 IU, usia 6-12 bulan 100.000
IU, usia < 6 bulan 50.000 IU, dosis pada hari berikutnya diberikan sesuai usia
demikian pula pada 1-4 minggu kemudian dosis yang diberikan juga sesuai
usia.
d. Vitamin A merupakan nutrient esensial, yang hanya dapat dipenuhi dari luar
24
d. Defisiensi yang berlangsung lama akan mengganggu fungsi kelenjar tiroid
Dampak
b. Hipotiroid
c. Kretinisme
d. Kegagalan reproduksi
e. Kematian
b. Terjadi penurunan kognitif dan kinerja motorik pada anak usia 10-12 tahun
pada mereka yang dilahirkan dari wanita yang mengalami defisiensi yodium d.
Sasaran
a. Ibu hamil
b. WUS
25
BAB III
PEMBAHASAN
Kurang gizi yang dialami pada anak usia di bawah lima tahun antara lain
cenderung mengalami penurunan dari tahun 2007 hingga 2018. Stunting pada anak
adalah bentuk kekurangan gizi yang paling umum di Indonesia dan tetap menjadi
anak usia di bawah dua tahun sebesar 29,9 %. Angka ini memperlihatkan adanya
penurunan dalam beberapa tahun terakhir dan target penurunan stunting untuk anak
usia di bawah dua tahun pada 2019 telah terpenuhi dimana angka ini mendekati
target pada RPJMN yakni 28% di tahun 2019. Data tahun 2013 dan 2018
menunjukkan adanya disparitas prevalensi stunting secara geografis. Data dari 2013
background paper sebelumnya tentang gizi di Indonesia yang dilakukan pada tahun
2014 (Bappenas, 2014), menunjukkan bahwa stunting sangat umum terjadi di bagian
paling timur dan paling barat Indonesia dimana mencapai puncaknya dengan 51,7 %
di Nusa Tenggara Timur (NTT). Sebagian besar provinsi (28 dari 34 provinsi)
memiliki prevalensi stunting di atas 30%, yang dikategorikan oleh WHO sebagai
prevalensi yang sangat tinggi dalam masalah kesehatan masyarakat (WHO, NLiS,
2018). Prevalensi stunting pada anak lebih tinggi di daerah pedesaan (40%)
dibandingkan dengan daerah perkotaan (31%), dan jauh lebih tinggi pada kelompok
hal ini menggambarkan bahwa stunting bukan hanya masalah yang terkait dengan
kemiskinan. Data Riskesdas 2018 menunjukan hal yang tidak jauh berbeda dimana
26
bagian paling timur dan paling barat Indonesia menjadi daerah dengan angka
prevalensi stunting sangat tinggi (≥30%) berdasarkan klasifikasi WHO terbaru (WHO,
NLiS, 2018). Secara nasional, prevalensi stunting balita menurun menjadi 30,8%
2013, terjadi penurunan sebesar 1,28 poin persen pertahun. Hal ini mengindikasikan
bahwa apabila tingkat penurunan ini dapat dipertahankan maka target penurunan
stunting pada balita sesuai WHA dapat tercapai di tahun 2025. Di tingkat kabupaten,
stunting antara 2007 dan 2013 serta 52 kabupaten mengalami pengurangan di atas
10% selama periode enam tahun. Pengamatan lebih dekat dan pemahaman tentang
faktor-faktor yang berkontribusi pada perbaikan gizi di kabupaten yang berhasil akan
membantu kabupaten lain yang belum berhasil secara efektif menurunkan stunting
pada anak.
Wasting adalah bentuk kekurangan gizi yang sangat serius karena sangat
meningkatkan risiko kematian dan kesakitan. Tingkat kematian pada anak dengan
gizi buruk akut (Severe Acute Malnutrition/SAM) adalah 11,6 kali lebih tinggi
dibandingkan pada anak dengan gizi baik, dan mereka yang bertahan hidup dari
sepanjang hidup mereka (Ologin, McDonald, & Ezzati, 2013). Bukti global
(Lelijveld, Seal, & Wells, 2016) (Grantham-McGregor, Powell, Walker, & Chang,
1994). Indonesia memiliki tingkat kekurangan gizi akut tertinggi keempat di dunia,
dengan sekitar tiga juta anak balita mengalami wasting (kurus), diantaranya yakni 1,4
juta anak mengalami sangat kurus (Kementerian Kesehatan, 2013). Data tahun 2013
menunjukkan bahwa enam provinsi memiliki prevalensi lebih dari 15% yang
27
dianggap sebagai masalah kesehatan masyarakat yang sangat tinggi oleh WHO
bahwa ada beberapa kemajuan dalam menurunkan prevalensi wasting, namun hal
ini belum dikonfirmasi oleh survei SMART1 yang dilakukan di Kabupaten Kupang
wasting pada balita mengalami penurunan menjadi 10,2% dan semua provinsi
memiliki prevalensi balita kurus di bawah 15%, dengan provinsi Nusa Tenggara
Kesehatan, 2018).
antara kekurangan gizi jangka pendek wasting dan kronis stunting. Prevalensi
underweight cenderung meningkat antara tahun 2010 sampai 2016, namun hasil
Namun demikian, underweight bukan merupakan indikator yang sensitif dan indikator
pada tahun 2014 (Bappenas, 2014), terdapat minimnya ketersediaan data terbaru
tentang status gizi ibu untuk menentukan capaian target sejak tahun 2014. Kurang
Energi Kronis (KEK) pada ibu hamil yang diukur melalui lingkar lengan atas (LILA)
dilaporkan dalam background paper tentang gizi 2014 dan ditemukan adanya
peningkatan antara 2010 dan 2013. Hampir satu dari empat wanita hamil (24,2%)
memiliki LILA yang rendah (<23,5 cm) pada tahun 2013 dan ini hamper tidak
28
berubah pada tahun 2016, kemudian menurun pada tahun 2018 menjadi 17,3%.
Berat badan lahir rendah (BBLR) (Berat badan lahir rendah (BBLR) (<2.500
gram) merupakan indikator kekurangan gizi ibu yang menunjukkan adanya sedikit
perubahan selama 10 tahun terakhir. Riskesdas 2018 dengan indikator BBLR <2.500
gram menunjukkan adanya peningkatan yakni 5,4% di tahun 2007 menjadi 5,7% di
tahun 2013 dan 6,2% di tahun 2018. Serupa dengan tahun 2013 dimana BBLR
terjadi lebih banyak pada keluarga dengan tingkat pendidikan yang lebih rendah.
Namun, angka ini cenderung sama untuk daerah pedesaan (6,3%) dan perkotaan
Menyusui hingga usia dua tahun telah dilaporkan secara luas memiliki
banyak manfaat jangka pendek dan jangka panjang bagi anak dan ibu (Horta &
merekomendasikan bahwa bayi harus disusui secara eksklusif selama enam bulan
pendamping ASI dalam bentuk padat atau semi padat bersamaan dengan kelanjutan
menyusui hingga usia 24 bulan. Seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4, target
Meskipun prestasi ini terlihat jelas, praktik pemberian makan pada bayi dan anak
(PMBA) di Indonesia masih sangat tidak memadai. Sementara 61% ibu memulai
menyusui dalam satu jam pertama kelahiran bayi mereka, hanya setengah (54%)
terus menyusui hingga usia dua tahun (BPS & Kemenkes, 2017). Lebih dari
sepertiga (37%) dari ibu pada tahun 2012 memberikan susu botol kepada anak
mereka antara usia 0-23 bulan yang meningkatkan risiko penyakit infeksi seperti
diare karena sulitnya mensterilkan dot pada botol dengan benar (BPS & Kemenkes,
2012). Selain itu, jenis makanan pendamping yang diperkenalkan tidak memadai
untuk memenuhi kebutuhan gizi anak yang sedang dalam masa pertumbuhan. Pada
29
tahun 2012, hanya 58,2% anak-anak berusia 6 hingga 23 bulan menerima makanan
dengan empat atau lebih kelompok makanan. Ini berarti bahwa hampir setengah dari
semua anak Indonesia tidak menerima gizi yang mereka butuhkan selama dua tahun
Defisiensi Mikronutrien
Sangat sedikit data baru yang tersedia terkait defisiensi mikronutrien sejak
background paper sebelumnya tentang gizi dilakukan sebagai bagian dari Kajian
Sektor Kesehatan 2014 (Bappenas, 2014). Anemia pada wanita dan anak-anak
klasifikasi WHO (WHO, 2010). Anemia sebagian besar disebabkan oleh defisiensi
zat besi, dan juga terkait dengan defisiensi mikronutrien lainnya seperti vitamin A,
asam folat, dan vitamin B12. Prevalensi anemia juga lebih tinggi di daerah dimana
kecacingan umum terjadi. Anemia pada ibu hamil (hemoglobin < 11 g/dl) pada tahun
2013 (Kementerian Kesehatan, 2013). Namun, di tahun 2018, data anemia pada
anak balita belum tersedia. Tidak ada keraguan bahwa anemia memiliki dampak
Hingga saat ini ketersediaan data baru tentang defisiensi vitamin A masih
terakhir tentang status vitamin A dilakukan oleh Kementerian Kesehatan pada tahun
1992 dan menemukan bahwa serum retinol kurang dari 20 μg / dL pada setengah
dari anak-anak berusia 6-59 bulan. SEANUTS 2011 memeriksa status vitamin A
pada anak, tetapi tidak termasuk anak dengan usia kurang dari dua tahun yang
data tidak dapat dibandingkan. Dalam survei ini hanya 1,5 persen anak di daerah
Demikian pula, tidak terdapat data baru tentang tingkat kekurangan yodium
yang tersedia sejak background paper sebelumnya tentang gizi di Indonesia yang
dilakukan sebagai bagian dari Kajian Sektor Kesehatan 2014 (Bappenas, 2014),
30
yang menemukan bahwa status yodium pada anak sekolah dan wanita usia subur
tetap memadai, sementara status yodium pada wanita hamil berada pada ambang
batas.
Prevalensi kegemukan (IMT ≥25 sampai <27) dan obesitas (IMT ≥ 27) di
kalangan orang dewasa meningkat tajam dan obesitas sekarang menjadi tantangan
masalah gizi terbesar di masa depan yang dihadapi oleh Indonesia. Dalam lima
tahun, antara tahun 2013 dan 2018, prevalensi obesitas telah meningkat enam
obesitas tertinggi ditemukan di Sulawesi Utara (30,2%) dan terendah di NTT (10,3%)
dimana semua provinsi telah mengalami peningkatan obesitas secara progresif dari
berdasarkan jenis kelamin dan kuintil kekayaan belum tersedia di Riskesdas 2018.
wanita dewasa jauh lebih tinggi daripada pria dewasa, dimana terdapat 41,6% wanita
dewasa kelebihan berat badan dibandingkan 24% pria. Sementara di tahun 2013,
obesitas ditemui pada semua kelompok kuintil pendapatan baik yang rendah
maupun yang lebih tinggi dan 7% orang dewasa pada kuintil kekayaan terendah
Pada kelompok anak di bawah usia lima tahun, prevalensi kelebihan berat
badan (berat badan per tinggi badan >2 score) menunjukan tidak ada peningkatan.
(Kementerian Kesehatan, 2018). Walapun data berat badan lebih pada balita
berdasarkan kuintil kekayaan di tahun 2018 belum tersedia, data Riskesdas tahun
2013 menunjukkan kegemukan terjadi lebih banyak pada kuintil kekayaan yang lebih
tinggi dibandingkan pada kuintil kekayaan yang lebih rendah, namun bahkan pada
31
kuintil kekayaan terendahpun, 10,2% anak balita mengalami kegemukan pada tahun
2013
Gizi Remaja
Meskipun tidak ada target yang masuk dalam RPJMN 2015-2019 untuk gizi
remaja, masa remaja adalah periode kritis kedua untuk pertumbuhan fisik setelah
tahun pertama kehidupan, dimana ketika perubahan psikososial dan emosional yang
mendalam terjadi dan peningkatan kognitif dan kapasitas intelektual tercapai. Selain
itu, Indonesia sendiri adalah rumah bagi sekitar 45 juta remaja laki-laki dan
perempuan atau setara dengan 18% dari total penduduk (BPS, 2010). Remaja di
Indonesia sudah mulai menderita Beban Ganda Masalah Gizi. Pada tahun 2013, 9,4%
remaja berusia 16-18 tahun dan 11,1% dari mereka yang berusia 13-15 tahun
mengalami kurus (IMT per usia <-2 SD Zscore), sementara 7,3% dan 10,8%, secara
berurutan, mengalami kelebihan berat badan (IMT per usia > +1 SD Zscore)
Prevalensi kegemukan pada kelompok usia 16-18 tahun meningkat tajam dari
1,4% pada tahun 2010 menjadi 7,3% pada 2013, yang menunjukkan bahwa
kegemukan meningkat dengan cepat. Prevalensi stunting pada usia 16-18 tahun
sebesar 31,4% dan pada kelompok usia 13-15 tahun sebesar 35,1%, dan yang
menjadi perhatian adalah sebagian besar anak perempuan akan memasuki fase
malnutrisi. Prevalensi kurus (LILA <23,5 cm) pada kelompok remaja putri yang hamil
sudah lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan yang lebih tua yaitu sekitar satu
dari tiga dibandingkan dengan satu dari empat (24,2%) secara berurutan. Gaya
32
Rumah tangga miskin dan menengah di Indonesia memiliki pola konsumsi
yang minim akan zat gizi dan kurang beragam, sementara rumah tangga menengah
ke atas memiliki pola konsumsi berlebih, khususnya sumber energi dan makanan
olahan. Hal ini berkontribusi terhadap terjadinya kekurangan gizi pada kelompok
Data survei pada tahun 2014 menunjukkan bahwa hampir setengah populasi di
Indonesia (45,7%) mengonsumsi kurang dari 70% Angka Kecukupan Gizi (AKG)3
untuk energi, sementara 36,1% mengkonsumsi kurang dari 80% AKG untuk protein4
protein pada kelompok masyarakat menurut tingkat kekayaan. Hanya mereka yang
berada pada kuintil ketiga, keempat, dan kelima yang mengonsumsi energi dan
protein yang cukup. Pada saat yang sama, semakin banyak penduduk yang
mengonsumsi makanan dan minuman yang tidak sehat secara berlebihan. Analisis
data tahun 2014 menemukan bahwa 29,7% penduduk Indonesia mengonsumsi gula,
garam, dan lemak melebihi rekomendasi WHO dimana untuk gula > 50 g/hari,
garam > 5 g/hari, dan lemak > 67 g/ hari (Atmarita, Jahari, Sudikno, & Soekatri, 2016)
serealia yang selalu menjadi makanan pokok utama. Sebagaimana dituliskan dalam
background paper tentang gizi sebelumnya sebagai bagian dari Kajian Sektor
Kesehatan 2014, pola makan rumah tangga berubah dengan cepat, tetapi tidak
menjadi lebih sehat. Gambar 7 mengilustrasikan bahwa antara tahun 2007 dan 2017,
proporsi energi dalam makanan yang berasal dari serealia yang dikonsumsi oleh
penduduk perkotaan dan pedesaan menurun namun hal ini terjadi karena ada
peningkatan proporsional dalam asupan energi dari makanan dan minuman jadi
sebagian besar kecenderungannya adalah makanan yang diproses5 dan tinggi gula,
garam dan lemak, di antara penduduk pedesaan sangat terlihat nyata dan
33
dalam kelompok ini sehingga akan menambah Beban Ganda Masalah Gizi.
Sementara itu, konsumsi tepung terigu juga meningkat, yang didorong dengan
semakin meningkatnya konsumsi mi instan pada 15% remaja berusia 10-19 tahun
yang mengonsumsi mi setiap hari pada tahun 2013 (Kementerian Kesehatan, 2013).
Di sisi lain, konsumsi buah dan sayur tetap rendah dimana 93,5% penduduk berusia
10 tahun ke atas mengonsumsi buah dan sayur kurang dari 5 porsi dalam sehari
(Kementerian Kesehatan, 2013). Pada tahun 2018, pola konsumsi tersebut tidak
mengkonsumsi buah dan sayur kurang dari 5 porsi dalam sehari (Kementerian
Kesehatan, 2018).
pada anak. Sebuah penelitian yang dilakukan di Jawa Timur menilai keragaman pola
menemukan bahwa skor yang lebih rendah dikaitkan dengan stunting bahkan ketika
makanan, serta asupan energi dan protein dari ASI (Mahmudiono, Sumarmi, &
anak-anak berusia 6-59 bulan mengonsumsi makanan sumber zat besi dan hanya
ketahanan pangan meningkat antara tahun 2010 dan 2015 yakni ketika hanya 58
dari 398 kabupaten yang ditemukan sangat rentan terhadap kerawanan pangan
34
2015) (WFP, 2017) (WFP & Bappenas, 2017). Sebuah studi untuk memperkirakan
biaya konsumsi di Indonesia menemukan bahwa 38% dari populasi nasional tidak
mampu membeli makanan bergizi dan persentase ini naik menjadi 68% di daerah
terpencil seperti NTT dimana biaya transportasi makanan tinggi (WFP & Bappenas,
2017). Gejolak harga pangan terutama untuk beras, daging, sayur, dan buah,
memperburuk situasi ketika rumah tangga miskin terpaksa mengurangi jumlah dan
kualitas makanan yang mereka konsumsi (SMERU, 2015). Sebagian besar (80%)
lebih dari separuh pengeluaran mereka untuk makanan di tahun 2017, dan
membelanjakan porsi yang jauh lebih besar dari uang mereka untuk makanan
olahan, yang sebagian besar cenderung makanan yang diproses, meningkat empat
kali lipat pada masyarakat perkotaan dan juga pedesaan dari tahun 2007 hingga
sangat jelas. Infeksi, terutama diare, kecacingan, infeksi saluran pernapasan akut
(ISPA), serta campak dan malaria, dapat menurunkan nafsu makan, menyebabkan
yang kekurangan gizi memiliki risiko lebih besar terkena infeksi (Tomkins & Watson,
1989). Penyakit infeksi masih banyak terjadi di Indonesia. Pada tahun 2012, 14,3%
anak usia di bawah lima tahun dilaporkan mengalami diare dalam dua minggu
35
terakhir, sementara 5% memiliki gejala ISPA, dan 31% pernah mengalami demam
(BPS & Kemenkes, 2012). Sementara tahun 2018, 12,3% balita dilaporkan
mengalami diare (Kementerian Kesehatan, 2018). Saat ini, data mengenai angka
kecacingan di tingkat nasional yang dikaitkan dengan anemia dan stunting masih
belum tersedia. Bukti yang ada menunjukkan bahwa lebih dari seperempat anak
balita (28%) menderita kecacingan (Kemenkes, 2015). Penyakit infeksi lebih sering
penyakit bergeser dari penyakit menular dan kematian pada usia lebih muda ke arah
PTM, peningkatan usia harapan hidup, dan peningkatan usia rata-rata kematian.
meningkat dari 50,7% pada tahun 2004 menjadi 71% pada tahun 2014 (WHO, 2014).
diperkirakan hampir dua kali lipat, dari 7,6 juta pada 2013 menjadi 11,8 juta pada
2030. Dengan pertumbuhan prevalensi diabetes sebesar 6% per tahun, hal ini jauh
Hasil dari peningkatan beban PTM yang berkaitan dengan pola makan
kesehatan bagi semua warga negara. Pada tahun 2017, 41% dari populasi tidak
36
tercakup oleh JKN termasuk sekitar 62% anak di bawah usia lima tahun (BPS, 2017).
fasilitas kesehatan terdekat. Data tahun 2013 menunjukkan bahwa akses ke fasilitas
poskesdes/poskestren) sudah cukup baik (ditempuh dalam waktu ≤15 menit oleh
(puskesmas), relatif terjangkau (ditempuh ≤15 menit oleh hampir 70% rumah tangga)
(lihat Gambar 8). Namun demikian, rumah tangga termiskin menempuh lebih lama
dibanding dengan kelompok terkaya untuk semua jenis fasilitas kesehatan. Waktu
tempuh ≤15 menit oleh kelompok termiskin untuk ke posyandu sekitar 85% dan
Hubungan antara kekurangan gizi dengan minimnya akses air bersih, sanitasi,
berkaitan dengan ketersediaan kakus yang tidak layak dan air minum yang tidak
dimasak (Beal, Tumilowicz, Sutrisna, Izwardy, & Neufeld, 2018). Namun, bukti
terbaru dari uji coba yang besar dan dirancang dengan baik di Bangladesh (Luby ,
Rahman, & Arnold, 2018), Kenya (Null, Stewart, & Pickering, 2018) (uji coba Manfaat
WASH) dan Zimbabwe (SHINE) telah melaporkan tidak ada efek dari intervensi
akses ke air dan sanitasi saja akan memiliki dampak terbatas pada pertumbuhan
anak.
37
Praktik pemberian makan bayi dan anak yang buruk berkaitan dengan
kejadian stunting pada anak di Indonesia (Beal, Tumilowicz, Sutrisna, Izwardy, &
Neufeld, 2018). Sesuai dengan ketentuan WHO dan UNICEF Global, Kementerian
pendamping ASI yang aman dan bergizi serta dilanjutkan menyusui sampai
setidaknya anak berusia dua tahun. Waktu dan durasi pemberian ASI pada anak di
Indonesia sangat bervariasi. Sebagaimana dicatat, hanya 61% wanita yang memulai
menyusui dalam satu jam pertama kelahiran bayi mereka dan hanya setengah (54%)
yang terus menyusui hingga dua tahun (BPS & Kemenkes, 2017). Kajian mendalam
tentang gizi ibu, bayi, dan anak di Indonesia menemukan bahwa praktik-praktik yang
merugikan, seperti tidak memberikan kolostrum kepada bayi baru lahir dilakukan
oleh beberapa ibu saat pemberian makan pra-lakteal dengan kurma yang dilunakkan,
madu, biskuit, dan susu formula (Breast Milk Substitutes/BMS) umum terjadi (60%),
dan paling sering dilakukan oleh wanita dari kuintil kekayaan yang lebih tinggi (Alive
& Thrive, 2018). Inisiasi dan durasi menyusui bervariasi menurut provinsi, usia ibu,
pemberian ASI eksklusif seperti melahirkan dengan cara bedah caesar, melahirkan
di fasilitas non kesehatan dan non pemerintah, kurangnya dukungan dari sang nenek,
menerima sampel susu formula dari bidan, pembengkakan payudara ibu, penyakit
terlalu dini di Indonesia dan jenis makanan yang diperkenalkan tidak mendukung
pertumbuhan dan perkembangan optimal. Hanya 23% bayi berusia 6-8 bulan diberi
empat atau lebih kelompok makanan pada tahun 2012, naik menjadi 75% di antara
kelompok usia 18-23 bulan (BPS & Kemenkes, 2012). Proporsi anak usia 6-23 bulan
yang diberi makan sesuai dengan ketiga rekomendasi PMBA6 sebesar 18% untuk
anak usia 6-8 bulan dan 45% untuk anak usia 18-23 bulan (BPS & Kemenkes, 2012).
38
Terdapat bukti yang menunjukkan bahwa hambatan keuangan menjadi alasan
makanan pendamping yang adekuat paling rendah (Alive & Thrive, 2018).
Faktor lain yang berperan pada PMBA yang tidak adekuat adalah minimnya
menyediakan fasilitas bagi perempuan yang menyusui selama jam kerja, sementara
dan 45 hari setelah melahirkan. Namun, sebuah studi pada tahun 2011 menemukan
bahwa hanya 10% dari instansi pemerintah dan 11% dari instansi swasta
menyediakan ruang menyusui (Save the Children, 2013), sementara lebih dari
Indonesia memiliki beberapa regulasi yang berlaku terkait dengan Kode Internasional
Milk Substitutes).
Undang-Undang No. 33 Tahun 2012 tentang Pemberian ASI Eksklusif saat ini
formula untuk bayi di bawah enam bulan di fasilitas kesehatan, sementara fasilitas
kesehatan dan petugas kesehatan tidak diizinkan untuk menjual, memberi, atau
mempromosikan susu formula untuk bayi. Ada juga beberapa pembatasan terhadap
pelabelan dan iklan produk susu untuk bayi di bawah satu tahun. Namun, sebuah
terhadap kode internasional tersebut oleh berbagai produsen dan distributor (Access
to Nutrition Index, 2016). UNICEF telah menyoroti ukuran substansial dari bisnis
39
pengganti ASI di Indonesia dengan penjualan diperkirakan mencapai Rp 25,8 triliun
Saat ini, belum ada undang-undang yang mengatur tentang pemberian makan
untuk anak di atas usia dua tahun serta belum adanya kepatuhan terhadap undang-
undang yang ada untuk mendukung praktik PMBA yang aman dan bergizi. Analisis
yang dilakukan oleh Universitas Padjajaran dengan UNICEF dan Alive & Thrive, telah
menyelamatkan 5.377 kehidupan anak dan Rp 3 triliun dalam biaya kesehatan setiap
tahun (UNICEF, 2016). Hal ini menyoroti kebutuhan mendesak untuk memperluas
regulasi nasional dalam memastikan PMBA yang memadai untuk semua anak di
bergantung pada praktik pengasuhan yang optimal. Sangat disadari bahwa intervensi
pendidikan anak usia dini (PAUD) berfokus pada (i) dukungan orang tua; (ii) stimulasi
dan pendidikan dini; (iii) kesehatan dan gizi; (iv) tambahan pendapatan; serta (v)
program yang komprehensif dan terintegrasi, dimana hal-hal tersebut memiliki efek
positif pada perkembangan kognitif anak (Rao, Sun, & Wong, 2013). Saat ini, terdapat
dua bentuk intervensi PAUD di Indonesia, yaitu target pertama adalah anak-anak usia
0-3 tahun melalui sesi pengasuhan (Bina Keluarga Balita) yang dilaksanakan oleh
adalah anak-anak yang berusia 3-6 tahun di pos PAUD dan dilaksanakan oleh
anak-anak di bawah usia enam tahun belum tercakup oleh program ini.
telah meningkat dari 4,9% pada 2015 ditargetkan menjadi 5,4% pada tahun 2018
40
dan jumlah orang miskin menurun menjadi 26,58 juta pada tahun 2017 (Bappenas,
dicerminkan oleh tingkat kekurangan gizi dan pola konsumsi. Kurang gizi serta
asupan energi dan protein yang tidak memadai jauh lebih tinggi pada kelompok
kuintil kekayaan yang lebih rendah, serta di provinsi yang paling miskin dan terpencil,
makanan tinggi kadar gula, garam, dan lemak lebih umum terjadi pada kelompok
kekayaan yang lebih tinggi. Untuk saat ini, hal ini dengan cepat akan menjadi
bahwa untuk mencapai pertumbuhan yang lebih cepat dan lebih inklusif, Indonesia
perlu membelanjakan lebih baik dan lebih banyak di daerah-daerah prioritas (World
Bank, 2018). Hubungan sinergis antara kemiskinan dan gizi berarti bahwa
proporsi orang dalam kelompok usia produktif (15-64 tahun) mencapai maksimum
saat ini akan membentuk angkatan kerja yang produktif di tahun 2020-2030. Sisi
negatif dari fenomena demografi ini adalah setidaknya sepertiga anak dan remaja
saat ini mengalami stunting dan akan kurang produktif di masa depan. Sisi positifnya
demografi‟. Selain profil usia yang berubah dari populasi, juga terjadi peningkatan
41
Populasi perkotaan meningkat dari 42% pada tahun 2000 menjadi 50% pada tahun
2010, dan diperkirakan akan meningkat menjadi 67% pada 2035 (SMERU, 2015).
Dampak negatif dari kecenderungan ini adalah lebih banyak orang di daerah
perkotaan yang terpapar dengan lingkungan obesogenik (gerai makanan cepat saji,
iklan makanan dan minuman tinggi gula, garam, lemak, dll.) yang terkait dengan
tingkat obesitas yang semakin tinggi. Selain itu, lingkungan perkotaan menjadi tidak
yang lebih dapat diandalkan dan tersedia bagi mereka, terdapat sedikit fasilitas
olahraga yang dapat diakses, serta tenaga kerja yang telah beralih dari pekerjaan
pertanian dan yang bersifat fisik. Hal yang mengkhawatirkan adalah gaya hidup
sering duduk santai (2 jam), menonton televisi (2 jam), menggunakan ponsel mereka
(2 jam), atau duduk untuk belajar atau bekerja (3 jam). Selama akhir pekan, mereka
(68%) melakukan duduk santai atau melakukan pekerjaan rumah tangga seperti
menyapu, sedangkan 60% anak laki-laki bermain sepak bola (UNICEF, 2018
menjangkau lebih banyak orang dengan lebih mudah melalui pesan dan aksi untuk
2. Desentralisasi
tahun 2000. Reformasi memberikan kewenangan yang lebih besar, kekuasaan politik,
dan sumber daya keuangan bagi kabupaten dan desa, tidak melalui provinsi.
42
Wewenang yang menjadi tanggung jawab pemerintah daerah termasuk tanggung
kabupaten yang dapat dialokasikan sesuaidengan prioritas daerah. Pada tahun 2014,
desentralisasi keuangan menjadi selangkah lebih maju dengan adanya Dana Desa.
Sumber dana yang lebih besar saat ini tersedia di tingkat kabupaten dan desa yang
Masalah Gizi melalui solusi yang disesuaikan dengan konteks lokal di daerah
3. Gender
Terdapat bukti global yang kuat yang menyatakan bahwa status perempuan
dalam masyarakat terkait dengan status gizi dan kelangsungan hidup anak. Analisis
seperti jumlah perempuan dalam pekerjaan atau tingkat pendidikan mereka relatif
kesehatan, pendidikan, angkatan kerja dan partisipasi politik. Selain itu, ada inisiatif
yang berjalan, seperti Gerakan Pekerja Perempuan Sehat Produktif (GP2SP) yang
Perlindungan Anak. Program ini bertujuan untuk meningkatkan status kesehatan dan
gizi pekerja perempuan sehingga mereka dapat merawat anak-anak mereka dan
43
mencapai produktivitas kerja maksimum untuk mendukung keluarga mereka.
tetap ada. Perempuan Indonesia lebih rentan terhadap kemiskinan sebagai akibat
properti dan sumber daya alam, dan akses ke mata pencaharian. Data dari 2012
menunjukkan bahwa 63,3% wanita menikah antara usia 15-49 tahun dipekerjakan
pada tahun sebelumnya tetapi 26,3% dari wanita yang dipekerjakan tersebut tidak
dibayar baik secara tunai maupun dalam bentuk barang, termasuk mereka yang
bekerja di pertanian pribadi dan dalam bisnis keluarga (BPS & Kemenkes, 2012).
(atau garmen) di Indonesia merupakan salah satu kasus terburuk dalam hal
rekan laki-laki mereka untuk pekerjaan yang sama dan dengan latar belakang
pendidikan yang sama (rendah) (Indonesia Investments, 2018). Hanya 49,6% wanita
di tahun 2012 memiliki rumah sementara 41,4% memiliki lahan, yang sebagian besar
Perempuan yang berpartisipasi dalam setidaknya tiga keputusan rumah tangga lebih
Mereka juga melaporkan tingkat kematian bayi, anak, dan balita yang lebih rendah
daripada wanita yang tidak berpartisipasi dalam keputusan rumah tangga (BPS &
Kemenkes, 2012).
2015, 21,6% wanita menikah atau dalam ikatan sebelum usia 18 tahun dan angka ini
dini berarti bahwa anak perempuan meninggalkan sekolah lebih awal, memiliki bayi
44
pertama mereka lebih awal dan lebih mungkin memiliki bayi dengan berat badan
lahir rendah dan tumbuh dengan kekurangan gizi. Selain itu, sebagian besar
saat ini. Pada 2016, satu dari tiga wanita berusia 15-64 tahun melaporkan bahwa
mereka pernah mengalami kekerasan fisik atau seksual oleh pasangan selama masa
hidup mereka (Statistics Indonesia, 2016). Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap
terkait untuk ibu bersalin pada tempat kerja di Indonesia juga masih perlu
ketenagakerjaan (No. 13, 2003), seorang pekerja perempuan berhak atas 45 hari
perhitungan untuk tanggal persalinan oleh ahli kandungan atau bidan. Namun, 57,5%
trimester terakhir kehamilan, menyusui dan merawat anak mereka yang masih kecil,
yang semuanya akan mempengaruhi status gizi anak-anak mereka. UNICEF telah
perempuan dan laki-laki, serta anak perempuan dan anak laki-laki menikmati hak,
sumber daya, peluang, dan perlindungan yang sama. Pergeseran dalam kesetaraan
gender tidak hanya membutuhkan perubahan kesadaran dan perilaku, tetapi juga
Keyakinan sosial dan budaya dapat mempengaruhi gizi baik secara positif
maupun negatif. Tinjauan praktik gizi sensitif di Indonesia menyoroti adanya tabu
sosial dan budaya dalam hal pembatasan makanan dan pemahaman tentang gizi
45
pada ibu dan anak (Alive & Thrive, 2018). Di antara kelompok populasi tertentu,
makanan dibatasi pada masa kehamilan yakni termasuk daging, sayuran dan buah
yang mengandung vitamin dan mineral penting seperti zat besi dan vitamin A. Ada
dan kualitas ASI. Beberapa ibu tidak memberikan kolostrum kepada bayi mereka
yang baru lahir karena mereka memiliki persepsi negatif tentang manfaatnya dan
berpikir bayi mereka akan jatuh sakit. Penelitian formatif dilakukan di 11 kabupaten
keberlanjutan mitos tentang makanan dari nenek (IMA World Health, 2018). Ada
keyakinan yang luas bahwa madu baik untuk bayi, bahwasusu formula sama baiknya
dengan ASI, dan ASI tidak mencukupi sehingga diperlukan makanan tambahan. Ada
juga persepsi di antara ibu dan nenek di Indonesia, bahwa untuk anak “lebih gemuk
lebih sehat” meskipun persepsi “badan ideal” untuk wanita dewasa adalah tinggi dan
langsing sedangkan berotot untuk pria dewasa (Rachmi, Hunter, Li, & Barr, 2017).
Change/SBCC) dilakukan berdasarkan pesan yang yang dihasilkan dari riset formatif
yang saat ini sedang berjalan dan belum dievaluasi. Keberhasilan aksi SBCC dalam
SBCC.
5. Keadaan Darurat
Bencana adalah hal yang umum terjadi di Indonesia dapat berupa gempa
manusia dan kerusakan ekonomi. Hal ini mengakibatkan hilangnya aset dan
pendapatan pada rumah tangga yang rentan, tempat tinggal sementara yang
46
kenaikan harga, penurunan produksi dan kekurangan pangan (SMERU, 2015).
Semua faktor ini meningkatkan risiko kekurangan gizi, terutama pada anak.
Sementara Indonesia telah menghindari krisis gizi yang serius dalam beberapa tahun
Hubungan antara fenomena beban gizi ganda dan dampak kesehatan jangka
kekurangan gizi tetap menjadi masalah yang signifikan dan terlihat sedikit mengalami
penurunan. Indonesia menderita kekurangan gizi yang cukup tinggi (defisiensi gizi
makro dan mikro) yang diiringi dengan meningkatnya prevalensi obesitas yang
Wilayah Asia Tenggara dan Pasifik memiliki hampir setengah dari populasi di
seluruh dunia, yang menderita Beban Ganda Masalah Gizi. Tidak ada wilayah lain
yang memiliki prevalensi berat badan lebih (gemuk) yang meningkat secepat di
wilayah Asia Tenggara dan Pasifik ini dan Indonesia adalah salah satu contoh utama.
dimulai lebih awal dengan 12% anak di bawah lima tahun menderita kurus (wasting),
Kesehatan, 2013). Sekitar 11% dari remaja perempuan dan laki-laki berusia 13-15
tahun mengalami kurus, yang diukur melalui indeks massa tubuh (IMT) yang rendah,
sementara 11% dari remaja pada usia yang sama lainnya mengalami kegemukan.
Antara tahun 2010-2013, prevalensi berat badan lebih (gemuk) dan obesitas
meningkat dua kali lipat pada wanita dewasa (dari 15% menjadi 33%), sedangkan
Keberadaan kekurangan gizi, obesitas, dan kekurangan gizi mikro di dalam rumah
tangga dan individu yang sama juga telah dipublikasikan secara ilmiah. Beban ganda
ibu dan anak, di mana ibu yang mengalami berat badan lebih tinggal di rumah yang
47
sama dengan anak yang pendek (stunted) atau gizi kurang (underweight), telah
diamati pada 11% rumah tangga pedesaan di Indonesia (Oddo, Rah, Semba, & et al.,
2012). Sementara data terbaru menurut Riskesdas 2018 menunjukkan terdapat 10,1%
anak balita kurus dan 7,6% balita mengalami kegemukan (Kementerian Kesehatan,
2018).
harapan hidup yang telah dipengaruhi oleh: pergeseran beban penyakit dari penyakit
menyebabkan peningkatan konsumsi lemak dan makanan olahan per kapita; serta
dimana kota-kota tersebut tidak ramah pejalan kaki dan kurangnya fasilitas yang
Selain itu, Beban Ganda Masalah Gizi memiliki dampak di sepanjang siklus
kehidupan. Kerusakan yang paling parah dan berlangsung jangka panjang terjadi
pada periode pertumbuhan dan perkembangan yang cepat, khususnya selama 1.000
hari pertama kehidupan (1.000 HPK) sejak masa kehamilan hingga anak berusia dua
tahun, dan selama masa remaja. Saat ini, Beban Ganda Masalah Gizi paling umum
terjadi di kelompok berpenghasilan tinggi di Indonesia (Oddo, Rah, Semba, & et al.,
peningkatan yang cepat pada kelompok miskin karena meningkatnya obesitas dan
berat badan berlebih dikombinasikan dengan sedikitnya perubahan yang terjadi pada
Dimana kerugian tersebut dapat terjadi mulai sebelum kelahiran. Ibu dengan berat
terhambat serta lahir dengan berat badan lahir rendah dan dengan risiko kematian
48
yang lebih tinggi (Black, Victora, Walker, & et al., 2013). Berat badan berlebih dan
obesitas pada ibu juga meningkatkan risiko kematian bayi (Meehan, Beck, Mair-
Jenkins, & et al., 2014). Sementara bayi dengan berat badan lahir rendah lebih
dengan tingkat mortalitas dan morbiditas yang lebih tinggi. Kurang gizi menyebabkan
45% kematian pada anak usia di bawah lima tahun di seluruh dunia (Black, Victora,
Walker, & et al., 2013) dan merupakan predisposisi bagi anak untuk menderita
penyakit menular seperti diare dan infeksi saluran pernapasan akut (Black, Allen,
Bhutta, & et al., 2008). Pada saat yang sama, setidaknya 2,6 juta orang meninggal
setiap tahun akibat kelebihan berat badan ataupun obesitas (WHO, 2018). Anak
yang gemuk cenderung tumbuh menjadi orang dewasa yang mengalami berat badan
berlebih dan mengalami PTM yang berkaitan dengan pola makan seperti diabetes
tipe 2 (Bjeeregaard, Jensen, & Angquist, 2018) dan penyakit kardiovaskular (Litwin,
2014). Remaja putri yang mengalami malnutrisi lebih rentan untuk menjadi wanita
dewasa yang juga terkena malnutrisi dan melahirkan bayi dengan berat badan lahir
rendah. Dengan demikian, ia akan mewariskan Beban Ganda Masalah Gizi dari satu
Anak-anak yang kurang gizi dan/ atau kelebihan berat badan, tidak hadir di sekolah
lebih sering dan berprestasi kurang baik secara akademis (Dewey & Begum, 2011)
(An, Yan, Shi, & Yang, 2017). Diperkirakan bahwa stunting dan kekurangan gizi
lainnya merugikan Indonesia lebih dari US$ 5 miliar per tahun setara dengan
sebagai akibat dari standar pendidikan yang buruk dan berkurangnya kemampuan
fisik (WFP, 2014) (Bappenas, 2018). Kerugian akan lebih besar jika obesitas dan
49
kelebihan berat badan diperhitungkan. Sifat Beban Ganda Masalah Gizi yang
yang paling rentan oleh efek gabungan dari kekurangan gizi dan obesitas yang
mengarah kepada ketimpangan yang lebih besar antara kaya dan miskin.
kepemimpinan politik yang kuat. Komitmen ini tercermin dalam pencantuman target
dan strategi untuk mengatasi kekurangan gizi dan obesitas dalam dokumen
perencanaan nasional, dan dalam peningkatan alokasi pembiayaan untuk gizi yang
disalurkan ke kabupaten dan desa. Dokumen perencanaan dan strategi daerah dan
sektor terkait belum sesuai dengan rencana nasional dimana hal ini dapat
berdampak buruk pada alokasi anggaran untuk gizi. Langkah pertama yang penting
adalah menetapkan regulasi untuk memastikan bahwa target, kebijakan, dan strategi
nasional untuk gizi sepenuhnya tercermin dalam rencana daerah dan sektor terkait.
Alasan utama adalah adanya kesenjangan yang signifikan dalam intervensi gizi
spesifik yang esensial, khususnya untuk mengatasi anemia, malnutrisi akut (wasting),
memiliki sumber daya dan tanggung jawab yang lebih besar untuk mengelola
program gizi daripada sebelumnya dan hal yang sama berlaku di tingkat desa
50
dengan diperkenalkannya Dana Desa. Selain itu, pemerintah di daerah diharapkan
dapat melakukan koordinasi lintas sektor yang efektif di dalam sistemnya tersendiri
dan dengan sedikit pengalaman dalam hal bekerja secara multisektoral. Oleh karena
itu, penting untuk pemerintah di daerah memiliki panduan dan dukungan teknis yang
jelas untuk secara efektif menyediakan serangkaian utuh intervensi gizi spesifik dan
layanan yang komprehensif, menambah jumlah dan kapasitas penyedia layanan gizi,
memastikan bahwa sistem pengadaan dan pasokan produk gizi (suplemen dan
Penyebab dan dampak Beban Ganda Masalah Gizi masih belum secara utuh
pemerintah. Sebagian dari alasan untuk hal ini adalah bahwa kondisi seperti stunting
dan kelebihan berat badan tidak sangat terlihat. Selain itu, masih ada tabu sosial dan
budaya yang luas tersebar dalam hal pembatasan makanan, pemahaman tentang
gizi pada ibu dan anak, dan persepsi bahwa bayi yang gemuk lebih sehat. Pengambil
bagaimana hal ini dapat mengikis bonus demografis yang diharapkan terjadi pada
untuk berkomunikasi, dan fakta bahwa semakin banyak jumlah penduduk yang
memiliki akses ke telepon seluler dan televisi, adalah saat yang tepat untuk memulai
meningkatkan kesadaran dan komitmen untuk perbaikan gizi. Selain itu, sinergi
pesan gizi melalui strategi komunikasi perubahan perilaku juga penting untuk dapat
belum efektif, dan kesenjangan dalam hal pengetahuan telah diidentifikasi sebagai
51
hambatan dalam pengambilan keputusan berbasis bukti. Sejumlah besar data
dihasilkan, tetapi kualitas dan kegunaan informasi ini masih perlu ditingkatkan.
ulang seluruh sistem informasi gizi. Hal ini akan melibatkan: (i) revitalisasi sistem
informasi gizi untuk mengintegrasikan indikator gizi spesifik dan gizi sensitif, (ii)
indikator yang esensial, (iii) standardisasi metode dan definisi indikator, (iv)
teratur dengan format yang jelas dan sederhana yang sesuai untuk pembuat
penelitian untuk mengisi kekosongan tersebut. Kajian perlu juga dilakukan dalam hal
ada (PSG, Riskesdas, Susenas, SIMPUS, SIP, PIS-PK dan lain-lain) dan
kebijakan.
Penyebab dan dampak Beban Ganda Masalah Gizi masih belum secara utuh
pemerintah. Sebagian dari alasan untuk hal ini adalah bahwa kondisi seperti stunting
dan kelebihan berat badan tidak sangat terlihat. Selain itu, masih ada tabu sosial dan
budaya yang luas tersebar dalam hal pembatasan makanan, pemahaman tentang
gizi pada ibu dan anak, dan persepsi bahwa bayi yang gemuk lebih sehat. Pengambil
bagaimana hal ini dapat mengikis bonus demografis yang diharapkan terjadi pada
52
Percepatan Penurunan Stunting Nasional memberikan peluang besar untuk
pinjaman Bank Dunia dan memperkenalkan sistem pembiayaan berbasis hasil untuk
pendukung teknis tambahan sedang dijalankan di tingkat kabupaten dan desa untuk
dampak pada keadaan malnutrisi lainnya seperti defisiensi mikronutrien, wasting dan
bayi dengan BBLR, sehingga hal tersebut kemudian dapat memperluas pengaruh
dari intervensi yang tidak hanya untuk penurunan stunting. Kedua, memperkuat
lingkungan yang mendukung untuk gizi adalah investasi jangka panjang yang akan
bermanfaat bagi populasi yang lebih luas di luar anak-anak. Ketiga, menempatkan
kepemimpinan dan otoritas yang lebih tinggi dalam melakukan koordinasi lintas
Dari uraian di atas dapat disimpulkan lima kebijakan untuk Mengatasi Beban
semua masyarakat.
53
KEBIJAKAN 3: Meningkatkan kesadaran dan komitmen untuk perbaikan
saluran komunikasi.
perbaikan gizi.
54
BAB IV
PENUTUP
KESIMPULAN
kemudian hari, yang saat ini menjadi mayoritas beban penyakit di Indonesia.
perhatian khusus pada “Gizi Buruk” dalam menentukan situasi gizi nasional.
kaya. Hal itu tidak benar. Meskipun obesitas meningkat seiring dengan
rentan di lingkungan ini adalah orang-orang dewasa yang paling miskin dan
sosial budaya.
55
2. Hubungan antara fenomena beban gizi ganda dan dampak kesehatan
harapan hidup yang telah dipengaruhi oleh: pergeseran beban penyakit dari
ramah pejalan kaki dan kurangnya fasilitas yang mendorong aktivitas fisik.
Selain itu, Beban Ganda Masalah Gizi memiliki dampak di sepanjang siklus
selama 1.000 hari pertama kehidupan (1.000 HPK) sejak masa kehamilan
hingga anak berusia dua tahun, dan selama masa remaja. Saat ini, Beban
di Indonesia. Indonesia saat ini tidak hanya mengalami DBM, bahkan saat ini
menjadi masalah defisiensi energy dan protein (gizi buruk dan kurang, serta
stunting), defisiensi zat gizi mikro (anemia pada ibu hamil), dan kelebihan
energi (gizi lebih balita, gizi lebih penduduk usia > 18tahun). Namun, apapun
56
SARAN
Kebijakan dan Rencana Gizi yang perlu ditinjau lebih jauh untuk mencegah
peningkatan gizi ibu hamil dan anak usia dini, terutama dengan
Nutrition).
Pentingnya Gizi dimulai sejak dini yaitu gizi pada ibu hamil, bayi, dan balita
bayi tidak lagi diberi susu pengganti ASI oleh pekerja kesehatan,
57
Memperkuat upaya untuk memperbaiki pola makan anak melalui
ganda yang terus dialami ibu dan balita khususnya, melalui fortifikasi
Pendidikan Gizi dan Gaya Hidup Sehat merupakan salah satu faktor penting
58
dan efektif di seluruh Indonesia untuk mahasiswa, akademisi, pejabat
masalah DBM.
lebih banyak jalur sepeda, trotoar, daerah pejalan kaki dan taman.
5. Penelitian
serta pajak atas makanan cepat saji tertentu, misalnya minuman yang
59
Memeriksa kandungan lemak pada pola makanan nasional termasuk
kualitas lemak (berapa banyak asam lemak jenuh dan berapa banyak
asam lemak tak jenuh), serta jumlah dan sumber lemak trans yang
dikonsumsi.
60
DAFTAR PUSTAKA
Dirjen Bina
3. Diana, R & Tanziha, I. 2020. Double-Duty Actions to Reduce the Double Burden
4. Fitri, Widya Astuti dkk. 2020. Prevalensi dan Faktor yang Berhubungan dengan
5. Fuada, Novianty. 2010. Analisis Spasial Terhadap Perubahan Status Gizi Anak
Balita di Indonesia.
6. Haddad, L., Cameron, L. & Barnett, I. 2015 The Double Burden of Malnutrition in
SE Asia and the Pacific. Priorities, Policies and Politics. Health Policy Plan
Company. Austarlia.
Malnutrisi .
9. Nugent, R., Levin, C., Hale, J., & Hutchinson, B.. 2019. Economic Effects of the
61
Malnutrition in Eastern Indonesia: Does food access matter?
Arina Nur Fauziyah¹
1
Alumni Program Pascasarjana Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi & Bisnis, Universitas Indonesia,
Contact: fauziyah.arin@gmail.com
Reviewed September 28 2016, and accepted on November 5, 2016
Abstrak
Meningkatnya prevalensi kekurangan gizi dan kelebihan berat badan di Indonesia Timur menimbulkan dugaan bahwa keter-
batasan akses pangan, baik dari sisi akses ke pasar maupun akses secara ekonomi berpengaruh terhadap beban ganda malnu-
trisi. Studi ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh akses pangan terhadap kekurangan gizi pada balita dan kelebihan berat
badan individu dewasa serta kemungkinan terjadinya beban ganda malnutrisi dalam satu rumah tangga di Indonesia Timur.
Dengan menggunakan data IFLS East tahun 2012 dan metode estimasi probit serta probit with sample selection, hasil studi
menemukan bahwa keterbatasan akses pangan secara ekonomi, dari sisi pendapatan dan harga pangan pokok tidak hanya
meningkatkan kemungkinan kekurangan gizi pada anak balita, tetapi juga dapat beban ganda malnutrisi dalam satu rumah
tangga. Hasil studi ini mengimplikasikan bahwa diperlukan kebijakan yang berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya
karena kecenderungan malnutrisi yang dialami juga berbeda. Selain itu, diperlukan pula upaya peningkatan pendapatan mas-
yarakat serta kebijakan stabilisasi harga pangan, terutama pangan pokok untuk mengatasi malnutrisi, termasuk menurunkan
kemungkinan beban ganda malnutrisi dalam satu rumah tangga di Indonesia Timur.
Abstract
The increasing of underweight and overweight prevalence in Indonesia represented that Indonesia faces double burden of malnutri-
tion. From these fact, we suggest that lack of food access, either geographically or economically leads to adult’s overweight, but in other
side child tends to be underweight. This study aimed to analyze the impact of food access to child undernutrition, adult overweight,
and possibilities of the occurrence of household double burden of malnutrition in the Eastern of Indonesia. Using IFLS East Data 2012
and estimate with probit and probit with sample selection, this study found that lack of food affordability lead to malnutrition. These
result imply that the policies are needed to tackling malnutrition in the Eastern of Indonesia should be different between each province
and also needed policy to increase income and stabilizing food price.
Beban Ganda;
Permasaiahan Keamanan Pangan di Indonesia
Oleh:
Purwiyatno Hariyadi
RINGKASAN
Keamanan pangan merupakan prasyarat bagi suatu produk pangan, yang
harus ditangani secara terpadu, melibatkan berbagai stakeholders; baik dari
pemerintah, industri, dan konsumen. Pada kenyataannya; Indonesia harus
menanggung beban ganda keamanan pangan. Beban pertama berkaitan dengan
masalah-masalah mendasar keamanan pangan; terutama masih belum
diaplikasikannya prinsip GMP dengan baik. Beban kedua, secara khusus
berkaitan dengan industri pangan Indonesia yang berorientasi ekspor; yang harus
menghadapi berbagai isu keamanan pangan baru yang selalu bermunculan dari
waktu ke waktu, berubah-ubah dan berbeda dari satu negara ke negara lainnya.
Penyebab permasaiahan beban ganda keamanan pangan di Indonesia ini
adalah belum dipahami dan disadarinya arti strategis keamanan pangan. Oleh
karena itu, pemerintah perlu memberikan perhatian yang layak pada (i)
pembenahan infrastruktur keamanan pangan, (ii) program pendidikan pada
produsen dan konsumen, (iii) prioritas alokasi dana untuk pembengunan
keamanan pangan dan (iv) pembinaan dan fasilitasi prasarana untuk industri
kecil dan menengah. Secara khusus, pemerintah Indonesia perlu memberikan
prioritas yang cukup pada pembinaan dan fasilitasi prasarana keamanan pangan
untuk industri kecil dan menengah. Peningkatan kondisi keamanan pangan
industri kecil menengah ini akan memberikan dampak pada peningkatan status
kesehatan masyarakat, peningkatan daya saing produk, dan pada gilirannya
akan meningkatkan produktivitas dan akan berkontribusi pada peningkatan daya
saing bangsa.
Data diperoleh dari Direktorat Surveilan & Penyuluhan Keamanan Pangan, BPOM. 2008
66 = kimia
IRT, 258
Jasa Boga,
N = 610 143
309 = tdk terdeteksi Pangan Olahan.
96
A. B.
Gambar 1.Penyebab keracunan pangan (A) dan jenis Industri yang memproduksi pangan
bermasalah (B) selama tahun 2001-2006 (BPOM, 2007).
70
• Filthy a Salmonella
CD Filthy + Salmonella^ Filthy + other
H Thermal process a Other
2001
jEiisittte
2002 2003 2004 2005
Gambar 2. Persentase penolakan produk pangan Indonesia ke US pada tahun 2001-2005 (Data
dikumpulkan dari: http://www.fda.aov/ora/oasis).
Gambar 3. Jenis produk pangan ekspor Indonesia yang ditolak oleh AS pada tahun 2001-2005 ((Data
dikumpulkan dari: http://www.tda.gov/ora/oasis).
Peningkatan
Kinerja
Kreatif/lnovatit
Gambar 4. Peningkatan mutu, gizi dan keamanan pangan dan daya saing bangsa.
ABSTRACT
Transitions nutritional status is a reflection of the general transition, such as demographics, food,
education and health. Demographic Transition reciprocally affects the transition in nutrition/health. This
analysis was aimed to identifr the distribution of the area and the differentiating factor of the double
burden malnutrition on the children under five. Analysis was performed using aggregated National Data
from Susenas 2007-2010 and Riskesdas 2007-2010. Unit analysis is the province. Spatial analysis was
done with overlay method. The Analysis showed that high levels of potentially affected areas with double
burden malnutrition were all of province in Kalimantan, Sulawesi and Maluku. Additionally was DKI
province, Central Java, North Sumatra, South Sumatra, Riau Islands, Bangka Belitung and Lampung.
Those situation is need to be concerned especially with demographic bonus phenomena. Demographic
Bonus becomes a problem, if it is not accompanied by an increment in education, skills, health. When
assuming other factor remain, it is predicted that in the event of the demographic bonus, there will be also
a double burden malnutrition problems. Distribution of areas that experience with double burden
malnutrition, clustered in regions outside Java, it shows social disparities still exist among Indonesian,
community. Susceptible areas of double burden malnutrition was spread outside Java. Namely,
Kalimantan, Sulawesi, Maluku. Sumatra, Riau Islands, Bangka Belitung.
ABSTRAK
Transisi status gizi merupakan refleksi fenomena transisi umum, seperti demografi, pangan, pendidikan dan
kesehatan. Transisi demografi berpengaruh secara timbal balik terhadap transisi gizi/kesehatan. Tujuan dari
analisis ini yaitu mengetahui sebaran daerah beban gizi ganda (double burden) balita. Analisis dilakukan
dengan menggunakan data Agregat Susenas 2007-2010 dan Riskesdas 2007- 2010. Unit analisis adalah
Provinsi. Analisis spatial menggunakan metode overlay. Hasil analisis menunjukkan bahwa daerah rawan
transisi status gizi ganda yaitu seluruh wilayah Kalimantan, Sulawesi dan Maluku. Selain itu adalah, DKI,
Jateng, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Kepulauan Riau, Bangka Belitung dan Lampung. Faktor
determinan pembeda adalah angka rasio ketergantungan. Keadaan tersebut perlu dicermati kaitannya
dengan fenomena bonus demografi. Bonus demografi menjadi masalah jika tidak dibarengi dengan
peningkatan pendidikan, keterampilan, kesehatan. Apabila asumsi faktor lain tetap, maka diperkirakan jika
terjadi bonus demografi, akan terjadi pula masalah beban ganda. Sebaran daerah yang mengalami beban
ganda mengelompok di wilayah Luar Pulau Jawa ini menunjukkan masih terjadinya kesenjangan sosial
pada masyarakat di Indonesia. Daerah rawan transisi beban gizi ganda sebagian besar menyebar di luar
Pulau Jawa. Yaitu, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Sumatra, Riau Islands, Bangka Belitung.
69
Jumal Ekologi Kesehatan Vol. 14 No 1, Maret 2015: 69 — 80
Perubahan status gizi terjadi di adanya transisi pola konsumsi, yang diduga
negara yang mengalami perubahan berpengaruh terhadap perubahan status gizi
demografi. Di Indonesia permasalahan status anak balita.
gizi kurang atau belum terselesaikan, di sisi
Selain transisi kesehatan, transisi
lain terjadi pertumbuhan yang sangat pesat
pangan juga berpengaruh pada perubahan
terhadap populasi, perekonomian, arus
status gizi anak balita. Transisi pangan
informasi dan kesejahteraan, yang
ditandai dengan perubahan pola konsumsi
berdampak terhadap tingkat pengetahuan
yang terjadi. Keseimbangan ketersediaan
maupun gaya hidup yang dapat menimbulkan
pangan secara tidak langsung dapat
pola penyakit ganda. Kondisi ini ditunjukkan
mempengaruhi keadaan status gizi Terutama
dengan belum terselesaikannya penyakit-
keadaan status gizi balita. Sementara
penyakit seperti ISPA, kekurangan gizi dan
terjadinya transisi status gizi, dapat
gizi buruk serta kecenderungan peningkatan
menimbulkan masalah gizi ganda (double
terhadap penyakit jantung, diabetes,
burden). Menurut FAO 2006, masalah gizi
hipertensi dan kanker.
ganda merupakan keadaan pada suatu
Sementara pada orang dewasa masyarakat dengan gizi kurang dan gizi lebih
menunjukkan data pergeseran pola penyakit. yang terjadi bersamaan (Budi Artiya, IPB,
Penyakit infeksi berangsur turun sedangkan 2013) Pada kasus gizi kurang (BB/U) secara
penyakit menahun yang disebabkan oleh nasional sudah terjadi penurunan prevalensi.
penyakit degeneratif, diantaranya penyakit Tahun 2007 sebesar 18,4 persen turun
Diabetes Mellitus meningkat dengan tajam menjadi 17,9 persen pada tahun 2010
(Suyono, 2005). Hal ini tidak menutup (Kemenkes RI, 2010). sementara 14 persen
kemungkinan terjadi pergeseran pola pada rentang usia yang sama mengalami
penyakit pada balita. kegemukan. Sedangkan prevalensi malnutrisi
pada anak usia sekolah (6-12 tahun) sebesar
Empat penyakit yaitu, penyakit
11,2 persen dan kegemukan 9,2 persen
jantung, diabetes, hipertensi dan kanker yang
(RISKESDAS, 2010 ).
berkorelasi erat dengan obesitas. Tingginya
asupan asam lemak jenuh, rendahnya asupan Prevalensi yang hampir berimbang
sayur dan buah, rendahnya tingkat aktivitas tersebut perlu dicermati karena tidak
fisik serta diadopsinya pola hidup dan menutup kemungkinan menggambarkan
kebiasaan makanan junk food juga suatu fenomena gunung es adannya dualisme
meningkatkan resiko obesitas (Saptawati masalah gizi di masyarakat.
Bardososno, 2012). Sedangkan pada balita
Masalah gizi merupakan masalah
terdapat kecenderungan pola penyakit infeksi
multi dimensi yang disebabkan faktor
yang masih tinggidan didominasi oleh ISPA
langsung maupun tidak langsung. Penyebab
dan Diare. Sementara untuk Pnemunomia ada
tidak langsung adalah tidak cukup
penurunan dari tahun 200 sampai dengan
tersedianya pangan di rumah tangga, kurang
2009 (Ditjen PPM-PL Depkes RI,2012).
baiknya pola pengasuhan anak terutama
Data Riskesdas 2010 mensarikan, dalam pola pemberian makan pada balita,
masalah kekurangan konsumsi energi dan kurang memadainya sanitasi dan kesehatan
protein terjadi pada semua kelompok umur, lingkungan serta kurang baiknya pelayanan
terutama pada anak usia sekolah (6-12 kesehatan (Roedito D, 2003). Pola pemberian
tahun), usia pra remaja (13-15 tahun), usia makan pada anak balita dapat dilihat dari
remaja (16-18 tahun), dan kelompok ibu tingkat kecukupan energy protein keluarga.
hamil, khususnya ibu hamil di perdesaan. Faktor lain, yang mempengaruhi adalah
Sementara, data BPS menunjukkan, tahun tingkat ekonomi, sosial dan pendidikan orang
2002 sampai dengan 2009, konsumsi protein tua balita. Perubahan perubahan pada faktor
bersumber nabati cenderung mengalami tersebut dapat mempengaruhi pula perubahan
penurunan, sebaliknya konsumsi protein satatus gizi anak balita. Bila keadaan di
bersumber hewani (daging, ikan, telur, susu) masyarakat terjadi kenaikan status gizi
cenderung mengalami peningkatan (BPS kurang dan lebih secara bersamaan maka hal
Survei Sosial Ekonomi Nasional, 2010),. ini akan mengindikasikan adanya transisi gizi
Keadaan tersebut menunjukan indikasi ganda.
70
Analisis spasial terhadap perubahan (Noviati F & Sri PH)
Perubahan KK Miskin
Perubahan Pendidikan Dasar
Perubahan Angka Ketergantungan
Perubahan Pangan
71
Jumal Ekologi Kesehatan Vol. 14 No 1, Maret 2015 : 69 — 80
72
Analisis spacial terhadap perubahan ...(Noviati F & Sri PH)
Tabel 1. Field delta (2007-2010) persentase angka variabel pembeda daerah yang mengalami
perubahan status gizi ganda balita
Delta
Delta Angka
Delta Perubahan
ketergantungan Delta
No Provinsi Pendidikan Pangan
(Dependency KK.miskin (%)
Dasar (%) (Konsumsi
Ratio)(%)
Protein %)
1 Aceh -2.2 -18.7 -14.5 14.5
2 Sumut -2.5 -4.2 -3 14
3 Sumbar -2.6 -13.9 -5.7 -11.4
4 Riau 0.4 -21.1 -3.7 19.6
5 Jambi -2.7 -9.9 -9.9 -4.5
6 SumSel -1.7 2.2 -2.1 19.3
7 Bengkulu -1.7 -8.5 -12.6 -4A
8 Lampung -2.8 11 -5.7 3.7
9 Kep.Babel -0.8 -42.5 3.7 2.1
10 Kep.Riau -1.8 -29.4 -11.8 16.1
11 DIG -1.4 -38 -11.1 9.7
12 JAbar -0.8 -3.5 -3.7 7.1
13 Jateng -1.4 7.8 -4 8.7
14 DIY -1.5 -9.3 -5.8 -11.3
15 Jatim -1.4 4.5 -6.7 3.3
16 Banten -2.7 -11.2 -8.8 -2.6
17 Bali -0.4 -29.5 -1.2 -1.2
18 NTB -1.8 10.9 -1.4 7.1
19 NTT -7.8 20 -7.3 31.3
20 Kalbar -2.2 -6 -3.6 18.9
21 Kalteng -1.5 -22.5 -5.2 24
22 KalSel -2.6 -16 -12.1 1.6
23 KalTim -2.4 -16.8 3.5 4.5
24 SuLut -2.2 -24.6 -9.7 -14.3
25 SulTeng -2.8 12.3 -0.5 11.3
26 Sul.Selatan -1.8 -1.1 -8.7 17.6
27 Sul.Tenggara -1.7 9.2 -0.7 37.6
28 Gorontalo -3.1 0 1.2 1.2
29 SulBar -2.2 15.6 -5.6 10.4
31 Maluku -4.7 1.4 -18.9 34.3
31 Mal.UT -4.9 -10.7 5.6 37.8
32 Papua.Barat -2.4 -16.2 -6.1 36.3
33 Papua -2.6 -10.4 -7.5 26.4
Rerata Delta -2.3 -8.6 -5.6 11.2
akhir, yaitu sebaran daerah yang mengalami menghasilkan peta keluarga miskin yang
rawan gizi ganda, juga mengalami rawan berpengaruh/yang menjadi factor pembeda
perubahan angka ketergantungan, rawan terjadinya masalah gizi ganda. Perubahan
perubahan keluarga miskin, rawan perubahan keluarga miskin yang tergolong rawan
pendidikan dan pangan, seperti terlihat pada menyebar di daerah Jawa Selawesi, Papua
gambar 8. dan sebagian Kalimantan dan Sumatra.
Gembar 2, merupakan pemetaan
hasil variabel perubahan ekonomi,
A
OE ACEH DARUSSALIA NORTV StiLAWESI
TERA 11)
'4 LAUAN R ORT UKU
WE
Witt ixosali
LAWESI
Rawan kk.miskin
I J -42.5 - -13.4 (Tidak Rawan)
on -13.5 - 20 (Rawan)
74
Analisis spasial terhadap perubahan ...(Noviati F & Sri PH)
-7,01116SiMilli■CIEC
Hasil analisis deskriminan pada s/d 5.7. Seperti tampak pada gambar 4.
kelompok variabel sosial menghasilkan Daerah persebaran lebih banyak di dominasi
variabel pendidikan dasar sebagai faktor daerah Indonesia bagian timur. Seperti Papua
pembeda. Oleh karena itu variabel ini dan Papua Barat. Maluku, Sulbar, Sultera,
dipetakan sebagai variabel dasar untuk Sulsel, Sulut, Kaltim, Kalteng Kalbar, NTT,
dilakukan tumpang tindih dengan 3 variabel seluruh Jawa kecuali Jawa Barat dan Jawa
lainnya. Angka perubahan persentase Tengah. Sementara bagian Sumatra meliputi,
menyebar dari -18.9 s/d 5.7 persen. Lampung, Kep Ri, Babel, Bengkulu, Jambi
Digolongkan reawan pada rentang angka dan Aceh
perubahan -18.9 s/d -5.6 dan tidak rawan -5.7
75
Jurnal Ekologi Kesehatan Vol. 14 No 1, Maret 2015 : 69 — 80
44,3 PAPUA
-• LAWESI
BENGKUU
gy m • _
=
21:ST NU NGGARA
ERA
•eutlret, eeriafe. NORT LUKU
ANTA
SOOT
Sour A WJ.LAWESI
BENGKLItU
tOtg§tvLE ,
';!ST NU NGGARA
76
Analisis spasial terhadap perubahan ...(Noviati F & Sri PH)
ANTA
r 1=111.
SO UT 10.
SOU LAWESI
BENGKULU
NTRAL JAVA -
ST NU,ONGGARA
Potensi
r1
Rawan Perubahan Faktor Gizi Ganda
O (Tidak Rawan))
gm 1 (Rawan)
Gambar 6. Peta sebaran daerah rawan perubahan faktor gizi ganda
Sementara sebaran gizi ganda yang lebih dan gizi kurang tahun 2007 dan 2010.
merupakan variabel dependen dipetakan Sebaran daerah yang mengalami rawan gizi
tersendiri berdasarkan katagori. Data tabulasi ganda tampak pada gambar 7.
menggunakan data persentase perubahan gizi
E ACEH DARUSSALANS
KEP ULAUAN RIAU NORTH qtfILAWESI
ATERA
PP&
EAST.
G NTALO
NORT LUKU
'WE
W WESI
S
Vz•-
tt•S
ESI Wit!
IDENGKULU ST.- SULAWESI
NTRAL JAVA • N
.0 q4,4R^.
'5‘ST NU NGGARA
A I TIdak rawan
Rawan
77
Jurnal Ekologi Kesehatan Vol. 14 No 1, Maret 2015 : 69 — 80
Tersaji pada gambar 8, merupakan gizi ganda maupun rawan dari aspek faktor-
peta hasil akhir tumpang tindih (overlay) faktor yang mempengaruhi terjadinnya gizi
antara peta sebaran status gizi ganda dan peta ganda. Seperti perubahan ekonomi,
sebaran faktor faktor gizi ganda. Peta ini perubahan angka ketergantungan
mengindikasikan daerah yang rawan di lihat (Dependency ratio), perubahan variabel
dari semua aspek. Rawan dari aspek sebaran pendidikan, perubahan konsumsi protein.
S ESI
SO LAWESI
BENGKLTL •
NTRAL JAVA ;
sarP
411671
;?:-44,
46N`k 4i$16`
'I
%isST NU NGGARA
78
Analisis spasial terhadap perubahan (Noviati F & Sri PI-I)
Hal tersebut menunjukan faktor yang paling transisi status gizi ganda sebanyak 18
membedakan daerah yang mengalami rawan wilayah provinsi, yaitu : Kalbar, Kalteng,
double burden dan yang tidak adalah Kalsel, Kaltim, Sulut, Sulteng, Sulsel, Sultra,
perubahan angka ketergantungan, selaras Gorontalo, Maluku, Malut, DKI, Jawa
dengan analisis statistik. Hasil pengolahan Tengah, Sumatera Utara, dan Selatan, Kepri,
statistik dengan menggunakan analisis Kep.Babel dan Lampung.
deskriminan juga menunjukkan basil
Daerah yang mengalami rawan
signifikan bahwa perubahan angka
transisi gizi ganda juga mengalami kerawan
ketergantungan merupakan faktor pembeda
faktor faktor yang mempengaruhi/pembeda
antara daerah yang mengalami transisi satus
adalah : Maluku, Sulawesi Selatan,
gizi balita dan daerah yang tidak mengalami
Kalimantan dan Sumatera Selatan.
transisi satus gizi balita. (N.Fuada 2012).
Saran
Faktor determinan pembeda adalah
angka ketergantungan. Merupakan angka Sebaran perubahan status gizi ganda
kasar mengambarkan keadaan ekonomi suatu banyak terdapat di luar pulau jawa. Perin
negara. Bonus demografi terjadi jika angka pencegahan terhadap masalah gizi, dengan
angka ketergantungan berkisar antara 0.4 s/d cara yang efektif menjangkau seluruh
0,5. Keadaan tersebut perlu dicermati wilayah Indonesia. Antara lain dengan
kaitannya dengan fenomena bonus menyampaikan pesan pesan pencegahan
demografi. Bonus demografi menjadi terjadinnya gizi ganda, dengan menggunakan
masalah jika tidak dibarengi dengan akses media massa maupun elektronik.
peningkatan pendidikan, ketrampilan, Antara melalui pembuatan poster, modul e-
kesehatan. Apabila asumsi faktor lain tetap, book (mata ajaran) pada pendidikan umum,
maka diperkirakan jika terjadi bonus dan tv-lokal.
demografi, akan terjadi pula masalah beban
ganda (Media, 2012)
UCAPAN TERIMAKASIH
Basil akhir dari peta berdasarkan
metoda tumpang tindih menggambarkan Terimakasih kami ucapakan kepada
suatu daerah yang digolongkan rawan secara Badan Litbangkes yang telah memberikan
keseluruhan. Peta ini mengindikasikan kesempatan pada pennulis untuk
daerah yang rawan di lihat dari semua aspek, menganalisis data Riskesnas .
yaitu rawan dari segi sebaran gizi ganda
maupun rawan dad faktor faktor yang
mempengaruhi. Terlihat semua daerah berada DAFTAR PUSTAKA
di luar pulau jawa. Keadaan ini diduga BPS (2010). Survei Sosial Ekonomi Nasional, Modul
berkaitan dengan adanya percepatan KonsumsiDitjen PPM-PL, Depkes RI (2012).
perubahan, dimana undang-undang BULETIN/PNEUMONIA.pdf (Internet)
desentralisasi, mulai dilaksanakan. Daerah Tersedia dari:
http://www.depkes.goid/downloads/publikas
tersebut adalah : Maluku, Sulawesi Selatan,
i/buletin. Dikutip 20 mei 2012
Kalimantan dan Sumatera Selatan. Daerah ini Budi Artiya (IPB), (2012) Masalah Gizi Lebih
dapat dikatakan rawan mengalami perubahan (Internet) Tersedia dari
gizi ganda pada balita, juga rawan perubahan http.//www.scribd.corri/doc/188849454/Gizi-
KK miskin, angka ketergantungan, Lebih. Dikutip 21 feb 2014
Daldjoeni, (2003). Geografi Kota dan Desa. PT
perubahan pergeseran pendidikan dan Alumni. Bandung.
perubahan konsumsi protein. Ening Ariningsih, Konsumsi dan Kecukupan Energi
Protein Rumahatangga perdesaan di
Indonesia Analisis Data Susenas 1999, 2002
KESIMPULAN DAN SARAN dan 2005, Makalab Seminar Dinamika
Pertanian dan Perdesaan, 2008.
Kesimpulan Media (2012), Bonus Demografi Bisa Jadi Malapetaka
Jika Gagal Dikelola(Intemet). Tersedia dari,
Berdasarkan analisis yang telah http://www.mediaindonesia.com. 20 Okt2012
dilakukan dapat diambil beberapa N Fuada (2012). Laporan Analisis Lanjut. Litbangkes.
2012
kesimpulan tentang daerah yang tergolong
rawan. Daerah yang mengalami rawan
79
Jumal Ekologi Kesehatan Vol. 14 No 1, Maret 2015: 69 —80
Penatalaksanaan Diabetes Mellitus Terpadu. Penerbit Suyono S. Patofisiologi Diabetes Mellitus. Dalam
FKUI. Jakarta. 2005 Soegondo S dkk (2005),
Sapatawati Bardososno (2009). Majalah Gizi di Wahyono T, (2002). Analisis Data Statistik SPSS14.
Indonesia. Majalah Kedokteran Indonesia Elex Media Komp.Gramedia. Jakarta.
Volume 59 No1.2009 WHO, (2008). Double Burden (Internet) Tersedia
dari:http://www.repository.ipb.ae.id/bitstream
/handle/. Dikutip 20 Mei 2012
80
•
•
•
•
Menu
• cakrawala
Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Masalah gizi ganda (MGG) merupakan kondisi hadirnya masalah gizi kurang
(stunting, wasting, dan defisiensi zat gizi mikro) bersamaan dengan gizi lebih dan
obesitas di sepanjang kehidupan. Masalah gizi lebih dan gaya hidup berhubungan
dengan penyakit tidak menular seperti diabetes melitus, penyakit kardiovaskular,
hipertensi, dan kanker. Masalah gizi ganda dapat terjadi pada tingkat individu,
rumah tangga, dan masyarakat.
Hampir semua negara di dunia mengalami MGG, baik negara dengan pendapatan
tinggi maupun rendah. Global Nutrition Report tahun 2020 menunjukkan bahwa
dari 143 negara di dunia, sebanyak 124 negara (86,7%) setidaknya mengalami dua
masalah gizi yang serius. Dari 124 negara tersebut, sebanyak 37 negara memiliki
tiga masalah gizi yang serius (stunting balita, anemia, dan overweight pada wanita
dewasa). Masalah gizi ganda telah menjadi perhatian di Indonesia meskipun
prioritas utama pemerintah Indonesia masih pada masalah gizi kurang, khususnya
stunting dan gizi buruk.
Pada 1 April 2016, Majelis umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
mengeluarkan resolusi United Nations Decade of Action on Nutrition from 2016 to
2025 yang sesuai dengan kerangka Sustainable Development Goals (SDGs) 2030.
Aksi gizi satu dekade ini bertujuan untuk meningkatkan aksi mengakhiri kelaparan,
dan menghilangkan semua bentuk kekurangan dan kelebihan gizi di dunia dan
memastikan akses terhadap diet yang sehat dan berkelanjutan secara universal
untuk semua orang, tanpa memandang siapa dan dimana mereka tinggal. Pada
tahun 2017, WHO menginisiasi dilakukannya Double-Duty Actions (DDA) yaitu
suatu upaya terintegrasi untuk menyelesaikan masalah gizi ganda. DDA ini
meliputi intervensi, kebijakan dan program yang secara simultan memiliki potensi
untuk mengurangi risiko beban gizi kurang (wasting, stunting, dan defisiensi zat
gizi mikro) dan gizi lebih (overweight, obesitas dan PTM yang berhubungan dengan
diet.
DDA yang di kenalkan oleh WHO merupakan suatu anjuran yang bersifat global.
WHO menyatakan bahwa DDA tidak perlu suatu program yang baru. Akan tetapi,
bisa dilihat dari program yang sudah ada tetapi berpotensi untuk menyelesaikan
masalah gizi ganda secara simultan. Apa potensi DDA yang sesuai dengan kondisi di
Indonesia?. Artikel ini akan menganalisis faktor-faktor yang berhubungan dengan
masalah gizi ganda di Indonesia.
Dengan menganalisis data agregat dari 34 provinsi di Indonesia dari Riset
Kesehatan Dasar 2018 (Riskesdas) dan Survei Sosial Ekonomi Nasional tahun 2018
(Susenas). Maka diketahui bahwa Indonesia saat ini mengalami masalah gizi ganda
yang serius. Dari 34 provinsi, separuhnya memiliki beban gizi ganda serius, 14
provinsi mengalami masalah kegemukan, dan 2 provinsi mengalami masalah
stunting (Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur). Provinsi Lampung
merupakan satu-satunya provinsi yang tidak memiliki MGG yang serius.Hampir
seluruh provinsi di Indonesia memiliki masalah stunting dan kegemukan.
Prevalensi stunting berkisar antara 17,6% sampai 42,7%. Sementara itu, prevalensi
kegemukan antara 19,1% sampai 46,5%. Berdasarkan kriteria kategorimasalah gizi
ganda (stunting balita 30% dan kegemukan 30%) maka Indonesia saat ini
mengalami MGG yang serius (stunting 30,8%; kegemukan 35,4%). Sebaran MGG
yang serius ini cukup merata dari bagian barat sampai timur Indonesia.
Akses dan pelayanan kesehatan, asi eksklusif, dan kondisi sosial ekonomi
berhubungan dengan masalah gizi ganda di Indonesia. Semua kebijakan dan
program ini telah ada dan dilakukan pemerintah Indonesia, namun masih dalam
konteks mengatasi masalah gizi secara individu (stunting atau kegemukan saja).
Penanganan MGG di Indonesia membutuhkan aksi yang mendasar yaitu
penanganan masalah kemiskinan dan adanya cakupan kesehatan yang menyeluruh
bagi seluruh penduduk (universal health coverage). Fokus pada 4 program yang
berpotensi menjadi DDA (pelayanan gizi dan kesehatan ibu hamil dan anak,
monitoring pertumbuhan anak, asi eksklusif, dan jaringan pengaman sosial) perlu
ditingkatkan dan diperluas agar program ini dapat menyelesaikan MGG. Paradigma
dan pemikiran baru ini dapat menjadi pendekatan yang komprehensif untuk
menurunkan masalah gizi kurang dan lebih secara simultan.
Penulis: Rian Diana
Referensi Diana, R & Tanziha, I. 2020. Double-Duty Actions to Reduce the Double
Burden of Malnutrition in Indonesia. Amerta Nutr (2020).326-334. DOI:
10.2473/amnt.v4i4.2020. 326-334.
Link: https://e-journal.unair.ac.id/AMNT/article/view/20407
Berita Terkait
Selengkapnya »
Selengkapnya »
Dukung Pembelajaran Tatap Muka, BKMP UNAIR dan KSP-CTPS
Salurkan 600 Paket Safe School Kits
12/10/2021
Selengkapnya »
UNAIR News
Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).
Leave Reply
SEARCH
Berita Terkini
Refleksi Model Pemberdayaan Masyarakat dalam Pemberian ASI Eksklusif
Selengkapnya »
Kalsium Ionofor Sebagai Aktivator Oosit Terhadap Tingkat Fertilisasi dan Tingkat Pembelahan Embrio
Selengkapnya »
Dukung Pembelajaran Tatap Muka, BKMP UNAIR dan KSP-CTPS Salurkan 600 Paket Safe School Kits
Selengkapnya »
Fakultas Farmasi UNAIR Gelar Webinar Pengabdian Masyarakat Sambut Kuliah Luring
Selengkapnya »
Dekan FH UNAIR Langsungkan Penelitian terkait Wewenang Komnas HAM dalam Kebakaran Hutan di Indonesia
Selengkapnya »
Bagikan
Share on facebook
Share on twitter
Share on linkedin
Share on whatsapp
ALAMAT REDAKSI
• unair.ac.id
• Tentang Kami
K A J I A N S E K T O R K E S E H ATA N
Pengarah
Dr. Ir. Subandi Sardjoko, MSc
Penulis
Fiona Watson, M.Sc
Dr. Minarto, MPS
Sri Sukotjo, M.A PEMBANGUNAN GIZI DI INDONESIA
Jee Hyun Rah, PhD
dr. Ardiani Khrisna Maruti
Kata Pengantar
Berbagai penelitian terbaru menunjukkan bahwa permasalahan gizi sangat kompleks sehingga
memerlukan intervensi dengan menggunakan pendekatan yang bersifat multisektor baik yang
terkait langsung dengan asupan dan kesehatan (intervensi spesifik) maupun terkait dengan
sosial ekonomi, infrastruktur, perilaku, ketahanan pangan dan lain sebagainya (intervensi
sensitif). Kajian ini dilakukan dengan tujuan untuk menganalisis permasalahan gizi di Indonesia
serta memberikan rekomendasi kebijakan yang perlu diambil.
Pada umumnya, permasalahan gizi terkait dengan kebijakan pembangunan secara umum.
Oleh karena itu, kajian ini dilakukan secara paralel dengan kajian pada 9 bidang lain yang terkait
seperti transisi demografi dan epidemiologi, fungsi esensial kesehatan masyarakat, pengadaan
obat, vaksin, dan alat kesehatan, pendanaan kesehatan, ketersediaan pelayanan kesehatan
dan tenaga kesehatan dalam sebuah Kajian Sektor Kesehatan (Heath Sector Review). Kajian
ini merupakan salah satu masukan bagi penyusunan Background Study maupun Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 untuk bidang kesehatan dan
gizi masyarakat.
Kami yakin bahwa kajian ini akan bermanfaat untuk para pengambil kebijakan baik di tingkat
pusat maupun di daerah, serta pembaca lain pada umumnya seperti akademisi, mahasiswa,
praktisi kesehatan dan pihak lain terkait. Semoga kajian ini dapat memberikan kontribusi bagi
pembangunan gizi di Indonesia.
Subandi Sardjoko
Deputi Bidang Pembangunan Manusia,
Masyarakat dan Kebudayaan
Kementerian PPN/Bappenas
vivi •• Pembangunan
PembangunanGizi
GizididiIndonesia
Indonesia Kajian Sektor Kesehatan • vii
Tim Penulis mengucapkan terima kasih kepada Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
di Kementerian Kesehatan, Republik Indonesia yang telah memberikan akses bagi pemanfaatan Kata Pengantar iv
berbagai data dari Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) Tahun 2018, Survei Demografi dan
Ucapan Terima Kasih dan Penghargaan vi
Kesehatan Indonesia (SDKI) Tahun 2017, dan Riset Tenaga Kesehatan (RISNAKES) Tahun 2017,
serta kajian sektor gizi oleh berbagai pihak. Terimakasih juga disampaikan kepada Badan Pusat Daftar Isi vii
Statistik atas pemberian data yang dibutuhkan, termasuk masukan teknis pada saat konsultasi
dan paparan. Daftar Tabel ix
Daftar Gambar x
Tim Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang membantu penulisan
dan perbaikan laporan ini. Apresiasi yang tinggi kami berikan kepada Bapak Pungkas Bahjuri Daftar Kotak xi
Ali sebagai Direktur Kesehatan dan Gizi Masyarakat (KGM) Bappenas dan tim yang telah
memberikan masukan untuk perbaikan tulisan, seluruh tim penulis dan sekretariat Health Daftar Singkatan xii
Sector Review (HSR) 2018, UNICEF, serta para narasumber yang tidak kami sebutkan satu
Ringkasan Eksekutif xiv
persatu.
1. Pendahuluan 1
Kajian ini disusun oleh Tim Kajian Sektor Kesehatan (Health Sector Review) di bawah bimbingan
Bapak Subandi (Deputi Bidang Pembangunan Manusia, Masyarakat, dan Kebudayaan, 2. Analisis Situasi: Capaian dan Tantangan 5
Bappenas) dengan arahan teknis dari Bapak Pungkas Bahjuri Ali (Direktur Kesehatan dan Gizi
2.1. Beban Ganda Masalah Gizi dan Konsekuensinya 6
Masyarakat, Bappenas). Adapun koordinasi pelaksanaan Health Sector Review dibantu oleh
Prof. Ascobat Gani sebagai team leader. 2.2. Kemajuan dalam Penanganan Beban Ganda Masalah Gizi 8
Kajian ini merupakan bagian dari Kajian Sektor Kesehatan (Health Sector Review) yang 2.2.1. Kurang Gizi pada Anak 9
dilakukan pada tahun 2018 oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/BAPPENAS
dengan dukungan dari UNICEF dan DFAT, beserta beberapa mitra pembangunan lain seperti 2.2.2. Kurang Gizi pada Perempuan 12
ADB, JICA, USAID, WHO, World Bank, WFP, dan mitra dari lembaga lainnya yang tidak dapat
2.2.3. Pemberian Makan pada Bayi dan Anak 13
disebutkan satu per satu. Proses edit dan cetak laporan kajian ini didukung oleh UNICEF
Indonesia. 2.2.4. Defisiensi Mikronutrien 13
Kajian sektor kesehatan dilakukan secara paralel untuk 10 topik meliputi: 2.2.5. Kegemukan dan Obesitas 14
1 Transisi Demografi dan Epidemiologi: Permintaan Pelayanan Kesehatan di Indonesia 2.2.6. Gizi Remaja 15
2 Fungsi Kesehatan Masyarakat (Public Health Functions) dan Health Security 2.3. Penyebab Beban Ganda Masalah Gizi 18
5 Sumber Daya Manusia Kesehatan 2.3.3. Praktik Pemberian Makan dan Pengasuhan yang Tidak Adekuat 24
6 Penyediaan Obat, Vaksin, dan Alat Kesehatan 2.3.4. Akar Masalah dan Isu Cross-cutting 26
7 Pengawasan Obat dan Makanan, termasuk Keamanan Pangan 2.4. Respons terhadap Beban Ganda Masalah Gizi 31
Daftar Tabel
3. Isu Strategi dan Peluang 57 Tabel 1 Target Gizi di Indonesia dan Sasaran Global 8
3.1. Mengatasi Beban Ganda Masalah Gizi 58 Tabel 2 Akses ke Infrasturktur secara Nasional pada Tahun 2011 23
3.2. Memperkuat Kapasitas dan Aksi Gizi di Tingkat Sub-nasional 58 Tabel 3 Intervensi Program untuk Menanggulangi Beban Ganda Masalah Gizi
di Sepanjang Siklus Kehidupan 36
3.3. Menyebarluaskan Pesan 59
Tabel 4 Implementasi, Cakupan, dan Tantangan Intervensi Gizi Spesifik di Indonesia 43
3.4. Membangun Bukti untuk Pengambilan Keputusan Terkait Gizi 59
Tabel 5 Program Gizi Sensitif Potensial 50
3.5. Memperluas Upaya untuk Upaya-upaya Multisektoral 60
4. Target 61 Tabel 6 Target dan Indikator Terkait Gizi di Renstra Kementerian Utama 53
5. Opsi Kebijakan 65 Tabel 7 Indikator dan Target yang Direkomendasikan untuk RPJMN 2020-2024 63
Lampiran 79 Tabel 9 Kebijakan dan Strategi yang Direkomendasikan untuk RPJMN 2020-2024 66
x • Pembangunan Gizi di Indonesia Kajian Sektor Kesehatan • xi
Gambar 1 Kerangka Aksi untuk Mencapai Gizi dan Perkembangan Janin Kotak 1 Fokus pada Upaya Kabupaten yang Berhasil untuk Mengurangi
dan Anak yang Optimal 2 Stunting dan Memperbaiki Gizi 10
Gambar 2 Kemajuan Terhadap Target RPJMN 2019 untuk Gizi Kurang pada Anak 9 Kotak 2 Fokus pada Gaya Hidup dan Pola Makan Remaja yang Berkontribusi
pada Beban Ganda Masalah Gizi 16
Gambar 3 Perbaikan Gizi di Tiga Kabupaten MYCNSIA, 2011-2014 11
Kotak 3 Fokus pada Peningkatan Konsumsi Makanan dan Minuman Jadi yang
Gambar 4 Kemajuan terhadap Target RPJMN 2019 untuk Berat Bayi Lahir Rendah, Berkontribusi pada Kejadian Beban Ganda Masalah Gizi 21
Anemia dan ASI Eksklusif 12
Kotak 4 Fokus pada Sumber Daya Potensial untuk Gizi Melalui Dana Desa 39
Gambar 5 Kemajuan Terhadap Target RPJMN 2019 untuk Kegemukan dan Obesitas 15
Kotak 5 Fokus pada Model PGBM yang Berhasil di Kabupaten Kupang 47
Gambar 6 Asupan Energi dan Protein per Kapita per Hari menurut
Kelompok Tingkat Kekayaan padaTahun 2017 19
Gambar 7 Asupan Energi per Kapita per Hari dari Kelompok Makanan
yang Berbeda padaTahun 2007 dan 2017 20
Gambar 9 Kekurangan Gizi pada Anak menurut Kuintil Kekayaan pada Tahun 2013 80
Gambar 11 Prevalensi Stunting pada Anak Balita menurut Provinsi Tahun 2018 81
xii • Pembangunan Gizi di Indonesia Kajian Sektor Kesehatan • xiii
Daftar Singkatan
RAD-PG Rencana Aksi Daerah Pangan dan Gizi
AKG Angka Kecukupan Gizi RAN-PG Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi
BPPSDMK Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan RS Rumah Sakit
Kemendikbud Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan UNICEF United Nations Children’s Fund
Kemen-ESDM Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral WFP World Food Programme
Ringkasan Eksekutif
Laporan ini menganalisis situasi gizi di Indonesia. Dokumen ini dibuat atas permintaan Badan makanan olahan meningkat empat kali lipat antara tahun 2007 dan 2017, sehingga memicu
Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) tingkat obesitas yang berkembang pesat. Penyebab kedua, terkait dengan penyakit, akses
sebagai bagian dari Kajian Sektor Kesehatan yang lebih luas. Temuan ini akan digunakan untuk yang tidak memadai terhadap pelayanan kesehatan, serta minimnya akses air bersih dan
menentukan target dan arahan strategis terkait gizi yang akan dimasukkan dalam Rencana sanitasi. Sementara penyakit infeksi terus marak dan berhubungan dengan kekurangan gizi,
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Analisis ini menggunakan Penyakit Tidak Menular (PTM) meningkat sebagai akibat dari meningkatnya obesitas serta
data dan informasi dari survei nasional, studi khusus, literatur ilmiah, dan konsultasi dengan menambah beban sistem pelayanan kesehatan. Penyebab ketiga, terkait dengan praktik
informan kunci di tingkat pusat dan daerah. PMBA dan minimnya asupan makanan ibu, serta praktik perawatan ibu dan pengasuhan anak
yang kurang optimal. Selain itu, akar masalah Beban Ganda Masalah Gizi juga terkait dengan
Bagian 1 menjelaskan situasi gizi di Indonesia dan menilai pencapaian dan tantangan dalam kemiskinan dan ketidaksetaraan, tren demografi dan urbanisasi, gender, kepercayaan sosial
memenuhi target gizi yang ditetapkan dalam RPJMN 2015-2019. Analisis menemukan bahwa dan budaya, serta keadaan darurat.
meskipun pertumbuhan ekonomi di Indonesia cukup baik, walaupun terjadi perbaikan tetapi
kekurangan gizi tetap menjadi masalah yang signifikan. Selain itu, Indonesia juga memiliki Bagian akhir dari Bagian 1 menilai langkah yang diambil di Indonesia untuk perbaikan gizi. Tiga
masalah kekurangan gizi yang tinggi serta obesitas yang meningkat - yang disebut ‘Beban dimensi untuk perbaikan gizi sudah tercakup: intervensi gizi spesifik yang mengatasi penyebab
Ganda Masalah Gizi’ (Double Burden of Malnutrition). Beban Ganda Masalah Gizi memiliki langsung malnutrisi; intervensi gizi sensitif yang mengatasi penyebab tidak langsung malnutrisi;
dampak di seluruh siklus hidup serta gangguan jangka panjang pada periode kritis pertumbuhan dan lingkungan yang mendukung yang diperlukan untuk mendukung intervensi gizi spesifik
dan perkembangan, yakni selama 1.000 hari pertama kehidupan (1.000 HPK) sejak kehamilan dan sensitif. Elemen utama yang diperlukan untuk memperkuat ‘lingkungan yang mendukung’
hingga anak berusia dua tahun. adalah ketersediaan data yang berkualitas yang menjadi dasar dalam pengambilan keputusan.
Hasil analisis menemukan bahwa ketersediaan data dan informasi terkait gizi telah digunakan
Riskesdas 2018 menunjukkan stunting (tinggi badan menurut umur di bawah standar) pada untuk mengukur capaian target gizi yang ditetapkan dalam RPJMN. Namun, masih terdapat
anak adalah bentuk yang paling umum dari kekurangan gizi di Indonesia yang mempengaruhi kesenjangan dalam pemahaman dan kekurangan dalam pengembangan sistem informasi
30,8% balita. Walaupun ada beberapa indikasi perbaikan, namun angka stunting tetap tinggi gizi saat ini. Elemen kedua berkaitan dengan komitmen politik terhadap gizi. Di Indonesia,
di wilayah paling timur dan paling barat Indonesia dengan angka terendah 17,7% di DKI Pemerintah telah menunjukkan komitmen politik yang kuat untuk gizi di tingkat pusat, namun
Jakarta dan angka tertinggi 42,6% di Nusa Tenggara Timur. Wasting (berat badan menurut komitmen ini belum tercermin di tingkat daerah. Elemen terakhir adalah kapasitas dan sumber
tinggi badan di bawah standar) juga merupakan tantangan gizi utama yang mempengaruhi daya yang berkualitas dalam pemberian layanan gizi. Pencapaian utama di Indonesia adalah
10,2% anak balita. Anak-anak wasting memiliki risiko kematian 11,6 kali lebih besar daripada peningkatan potensi pendanaan untuk gizi yang bersumber dari anggaran di tingkat pusat
anak-anak yang bergizi baik dan mereka yang bertahan hidup dapat terus mengalami masalah maupun daerah. Namun, keberlanjutan pendanaan dan peningkatan kapasitas di tingkat
perkembangan sepanjang hidup mereka. Underweight (berat badan menurut usia di bawah daerah untuk merencanakan, memprioritaskan, dan mengelola berbagai dana untuk gizi secara
standar), yang mencerminkan baik stunting maupun wasting, mempengaruhi 17,7% anak efektif masih diperlukan. Selanjutnya, Indonesia memiliki ketersediaan ahli gizi yang siap dan
balita. Berat Badan Lahir Rendah/BBLR (<2.500 gram), yang menjadi indikasi kekurangan gizi terlatih, tetapi keterampilan mereka tidak dimanfaatkan secara optimal serta pelatihan untuk
ibu, mempengaruhi 6,2% bayi, sementara 48,9% wanita hamil mengalami anemia. Meskipun penyedia layanan gizi masih tidak konsisten.
terdapat perbaikan dalam Pemberian Makan pada Bayi dan Anak (PMBA) dengan tingkat
pemberian ASI eksklusif sebesar 52%, sebagian besar bayi masih diberi susu menggunakan Sebanyak 14 intervensi gizi spesifik telah diakui secara global untuk mengatasi kekurangan
botol serta praktik pemberian makanan pendamping yang tidak memadai. Saat ini, 21,8% gizi. Di Indonesia, 9 dari 14 intervensi tersebut telah menjadi program nasional, 2 intervensi
orang dewasa mengalami obesitas dan angka ini meningkat dengan cepat, terutama pada diimplementasikan sebagian, dan 3 intervensi masih belum diimplementasikan. Akibatnya,
perempuan. masih terdapat kesenjangan yang signifikan dalam mengatasi anemia, malnutrisi akut dan
obesitas, serta dalam meningkatkan praktik pemberian makanan pendamping ASI. Peran
Berdasarkan hasil analisis penyebab Beban Ganda Masalah Gizi, ditemukan tiga faktor yang intervensi gizi sensitif dalam perbaikan gizi telah diketahui dengan baik dan di Indonesia
secara tidak langsung menjadi penyebab Beban Ganda Masalah Gizi. Penyebab pertama, terdapat lima sektor yang relevan dengan gizi: (i) kesehatan, (ii) perlindungan sosial, (iii)
konsumsi pangan yang tidak memadai dan kerawanan pangan. Tingkat kecukupan energi pertanian dan ketahanan pangan, (iv) pendidikan dan perkembangan anak, serta (v) air bersih,
pada hampir separuh penduduk (45,7%) sangat kurang (<70% AKE/Angka Kecukupan Energi) sanitasi, dan higiene. Intervensi gizi sensitif telah terbukti berperan dalam mempengaruhi
dan 36,1% penduduk dengan tingkat kecukupan protein sangat kurang (<80% AKP/Angka status gizi, namun di dalam implementasinya masih terdapat kesenjangan yang dapat diatasi
Kecukupan Protein), sementara 95,5% orang yang berusia 5 tahun ke atas mengkonsumsi dengan perencanaan dan pemantauan lintas sektor yang dilakukan secara bersama dan
kurang dari lima porsi buah dan sayuran dalam sehari. Akses ekonomi (keterjangkauan) difokuskan pada kelompok sasaran yang sama tetapi dilaksanakan secara independen oleh
terhadap pangan menjadi penyebab utama kerawanan pangan dibandingkan dengan sektor-sektor kunci.
ketersediaan pangan. Pengeluaran untuk makanan dan minuman jadi, yang sebagian besar
xvi
xvi •• Pembangunan
PembangunanGizi
GizididiIndonesia
Indonesia
Bagian 2 menganalisis peluang masa depan dan isu-isu strategis untuk gizi di Indonesia,
sementara Bagian 3 mengusulkan target untuk serangkaian indikator gizi. Target perbaikan
gizi di Indonesia yang direkomendasikan untuk dicapai pada tahun 2024 adalah indikator
stunting, wasting, dan overweight pada anak balita, anemia pada ibu hamil dan remaja
1.
putri, berat badan lahir rendah, serta pemberian ASI eksklusif pada bayi. Target-target utama
ini sejalan dengan enam target global yang didukung oleh negara-negara anggota Majelis Pendahuluan
Kesehatan Dunia (World Health Assembly/WHA) dan kemudian dimasukkan ke dalam Tujuan
Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs). Salah satu target utama
yang juga direkomendasikan adalah indikator obesitas pada usia dewasa, yang juga menjadi
tantangan utama perbaikan gizi saat ini. Target tersebut juga sejalan dengan rekomendasi
WHO global. Target-target tersebut hanya dapat dicapai jika terjadi peningkatan kualitas dan
kuantitas seluruh intervensi gizi spesifik dan sensitif serta diarahkan pada kelompok termiskin
dan paling rentan, dan juga diperlukan peran yang kuat dari lingkungan yang mendukung.
Bagian 4, sebagai bagian akhir kajian, menjelaskan lima alternatif kebijakan dan rekomendasi
untuk langkah-langkah di masa mendatang.
1. Menetapkan regulasi yang kuat dalam meningkatkan komitmen dan alokasi anggaran
PEMBANGUNAN GIZI DI INDONESIA
untuk perbaikan gizi di tingkat pusat dan daerah.
2. Meningkatkan pemberian layanan gizi yang berkualitas kepada seluruh masyarakat.
3. Meningkatkan kesadaran dan komitmen untuk perbaikan gizi dengan menggunakan
metode inovatif dan menggunakan berbagai saluran komunikasi. K A J I A N S E K T O R K E S E H ATA N
4. Membangun sistem informasi gizi berbasis bukti sebagai sumber data yang kredibel
dan tepat waktu yang dapat digunakan dalam pengambilan keputusan.
5. Memperluas keterlibatan multi-sektor dalam percepatan perbaikan gizi.
2 • Pembangunan Gizi di Indonesia 1. Pendahuluan • 3
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan Kementerian Kesehatan Laporan ini menitikberatkan pada perkembangan gizi yang terjadi sejak background study
(Kemenkes) telah melakukan analisis situasi gizi sebagai bagian dari Kajian Sektor Kesehatan tentang gizi di Indonesia yang dilakukan pada tahun 2010-2014 sebagai bagian dari Kajian
yang lebih luas. Kajian ini akan digunakan untuk menentukan target dan arah strategis untuk gizi Sektor Kesehatan sebelumnya (Bappenas, 2014). Bagian 1 laporan ini menggambarkan situasi
yang akan dimasukkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) gizi di Indonesia dan menilai pencapaian dan tantangan dalam memenuhi target gizi yang
2020-2024. Analisis ini menggunakan data, informasi, dan temuan dari survei nasional, studi, ditetapkan dalam RPJMN 2015-2019. Selain itu, juga mengkaji penyebab malnutrisi dan
literatur ilmiah, serta konsultasi dengan informan kunci di tingkat pusat dan daerah. langkah yang diambil untuk perbaikan gizi di Indonesia. Bagian 2 menganalisis peluang masa
depan dan isu strategis, sementara Bagian 3 merekomendasikan target untuk indikator gizi.
Meskipun gizi merupakan bagian dari Kajian Sektor Kesehatan, namun intervensi gizi spesifik Terakhir, Bagian 4 menetapkan alternatif kebijakan dan rekomendasi langkah-langkah di masa
hanya akan memberikan sedikit kontribusi pada perbaikan gizi melalui penanganan penyebab mendatang.
langsung masalah gizi. Perbaikan gizi yang berkelanjutan dan signifikan memerlukan
pendekatan multisektoral dan juga intervensi gizi sensitif yang menangani penyebab tidak Ruang lingkup analisis dalam background paper ini memiliki beberapa keterbatasan. Pertama,
langsung dari masalah gizi. Lingkungan yang mendukung juga diperlukan untuk mendukung hanya ada sedikit data baru yang tersedia pada indikator status gizi sejak background study
pelaksanaan intervensi gizi spesifik dan sensitif. Ketiga dimensi untuk mencapai perbaikan sebelumnya tentang gizi yang dilakukan pada tahun 2014 (Bappenas, 2014). Survei nasional
gizi yang optimal tersebut disusun dalam kerangka yang terdapat pada Gambar 1. Percepatan berikutnya (Riset Kesehatan Dasar/Riskesdas) dengan data yang dapat dibandingkan baru
perbaikan gizi memiliki pengaruh dalam pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan tersedia pada bulan Oktober 2018 ketika proses penyusunan kajian ini telah selesai dilakukan.
(SDGs). Global Nutrition Report 2017 mengidentifikasi lima bidang utama yang terdapat Kedua, karena analisis ini merupakan bagian dari Kajian Sektor Kesehatan, maka masukan
dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) 2015-2030 dimana gizi turut memberikan dari sektor-sektor utama di luar kesehatan terbatas.
kontribusi dan manfaatnya (Development Initiatives, 2017): (i) produksi pangan berkelanjutan,
(ii) sistem infrastruktur yang kuat, (iii) sistem kesehatan, (iv) pemerataan dan inklusi, serta (v)
perdamaian dan stabilitas.
2.
Analisis situasi:
Capaian dan Tantangan
K A J I A N S E K T O R K E S E H ATA N
6 • Pembangunan Gizi di Indonesia 2. Analisis Situasi: Capaian dan Tantangan • 7
2.1. Beban Ganda Masalah Gizi dan Konsekuensinya Beban Ganda Masalah Gizi mengakibatkan banyak sekali kerugian, baik dalam bidang
kesehatan, maupun bidang pembangunan dan ekonomi Indonesia. Dimana kerugian tersebut
Meskipun pertumbuhan ekonomi terjadi secara dramatis di Indonesia, kekurangan gizi tetap dapat terjadi mulai sebelum kelahiran. Ibu dengan berat badan kurang cenderung memiliki
menjadi masalah yang signifikan dan terlihat sedikit mengalami penurunan. Indonesia bayi dengan pertumbuhan intra-uterus yang terhambat serta lahir dengan berat badan lahir
menderita kekurangan gizi yang cukup tinggi (defisiensi gizi makro dan mikro) yang diiringi rendah dan dengan risiko kematian yang lebih tinggi (Black, Victora, Walker, & et al., 2013).
dengan meningkatnya prevalensi obesitas - yang disebut sebagai ‘Beban Ganda Masalah Gizi’ Berat badan berlebih dan obesitas pada ibu juga meningkatkan risiko kematian bayi (Meehan,
(Double Burden of Malnutrition). Beck, Mair-Jenkins, & et al., 2014). Sementara bayi dengan berat badan lahir rendah lebih
cenderung untuk mengalami kekurangan gizi pada masa kanak-kanak (Cresswell, Campbell,
Wilayah Asia Tenggara dan Pasifik memiliki hampir setengah dari populasi di seluruh dunia, De Silva, & Filippi, 2012).
yang menderita Beban Ganda Masalah Gizi. Tidak ada wilayah lain yang memiliki prevalensi
berat badan lebih (gemuk) yang meningkat secepat di wilayah Asia Tenggara dan Pasifik ini Kekurangan gizi dan kegemukan selama masa kanak-kanak dikaitkan dengan tingkat mortalitas
dan Indonesia adalah salah satu contoh utama. Beban Ganda Masalah Gizi di Indonesia terjadi dan morbiditas yang lebih tinggi. Kurang gizi menyebabkan 45% kematian pada anak usia
di sepanjang siklus kehidupan, dimulai lebih awal dengan 12% anak di bawah lima tahun di bawah lima tahun di seluruh dunia (Black, Victora, Walker, & et al., 2013) dan merupakan
menderita kurus (wasting), sementara 12% lainnya mengalami kegemukan (overweight) predisposisi bagi anak untuk menderita penyakit menular seperti diare dan infeksi saluran
(Kementerian Kesehatan, 2013). Sekitar 11% dari remaja perempuan dan laki-laki berusia pernapasan akut (Black, Allen, Bhutta, & et al., 2008). Pada saat yang sama, setidaknya 2,6
13-15 tahun mengalami kurus, yang diukur melalui indeks massa tubuh (IMT) yang rendah, juta orang meninggal setiap tahun akibat kelebihan berat badan ataupun obesitas (WHO,
sementara 11% dari remaja pada usia yang sama lainnya mengalami kegemukan. Antara 2018). Anak yang gemuk cenderung tumbuh menjadi orang dewasa yang mengalami berat
tahun 2010-2013, prevalensi berat badan lebih (gemuk) dan obesitas meningkat dua kali lipat badan berlebih dan mengalami PTM yang berkaitan dengan pola makan seperti diabetes tipe
pada wanita dewasa (dari 15% menjadi 33%), sedangkan seperempat wanita hamil mengalami 2 (Bjeeregaard, Jensen, & Angquist, 2018) dan penyakit kardiovaskular (Litwin, 2014). Remaja
kurus (Kementerian Kesehatan, 2013). Keberadaan kekurangan gizi, obesitas, dan kekurangan putri yang mengalami malnutrisi lebih rentan untuk menjadi wanita dewasa yang juga terkena
gizi mikro di dalam rumah tangga dan individu yang sama juga telah dipublikasikan secara malnutrisi dan melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah. Dengan demikian, ia akan
ilmiah. Beban ganda ibu dan anak, di mana ibu yang mengalami berat badan lebih tinggal di mewariskan Beban Ganda Masalah Gizi dari satu generasi ke generasi berikutnya.
rumah yang sama dengan anak yang pendek (stunted) atau gizi kurang (underweight), telah
diamati pada 11% rumah tangga pedesaan di Indonesia (Oddo, Rah, Semba, & et al., 2012). Beban Ganda Masalah Gizi menghambat pembangunan manusia, mengakibatkan kemiskinan
Sementara data terbaru menurut Riskesdas 2018 menunjukkan terdapat 10,1% anak balita intergenerasi, dan memperlambat pertumbuhan ekonomi. Anak-anak yang kurang gizi dan/
kurus dan 7,6% balita mengalami kegemukan (Kementerian Kesehatan, 2018). atau kelebihan berat badan, tidak hadir di sekolah lebih sering dan berprestasi kurang baik
secara akademis (Dewey & Begum, 2011) (An, Yan, Shi, & Yang, 2017). Diperkirakan bahwa
Beban Ganda Masalah Gizi di Indonesia dikaitkan dengan meningkatnya usia harapan hidup stunting dan kekurangan gizi lainnya merugikan Indonesia lebih dari US$ 5 miliar per tahun
yang telah dipengaruhi oleh: pergeseran beban penyakit dari penyakit menular ke penyakit setara dengan hilangnya 2-3% dalam produk domestik bruto karena kehilangan produktivitas
tidak menular (PTM); peningkatan kesejahteraan secara nasional disertai dengan peningkatan sebagai akibat dari standar pendidikan yang buruk dan berkurangnya kemampuan fisik (WFP,
ketersediaan pangan, yang telah menyebabkan peningkatan konsumsi lemak dan makanan 2014) (Bappenas, 2018). Kerugian akan lebih besar jika obesitas dan kelebihan berat badan
olahan per kapita; serta pertumbuhan urbanisasi dengan lebih banyak orang yang tinggal di diperhitungkan.
perkotaan dimana kota-kota tersebut tidak ramah pejalan kaki dan kurangnya fasilitas yang
mendorong aktivitas fisik. Sifat Beban Ganda Masalah Gizi yang kompleks dan saling terkait di Indonesia mendesak
pemerintah untuk mengambil langkah-langkah yang efektif dan simultan mengatasi semua
Selain itu, Beban Ganda Masalah Gizi memiliki dampak di sepanjang siklus kehidupan. bentuk malnutrisi.
Kerusakan yang paling parah dan berlangsung jangka panjang terjadi pada periode pertumbuhan
dan perkembangan yang cepat, khususnya selama 1.000 hari pertama kehidupan (1.000 HPK)
sejak masa kehamilan hingga anak berusia dua tahun, dan selama masa remaja. Saat ini, Beban
Ganda Masalah Gizi paling umum terjadi di kelompok berpenghasilan tinggi di Indonesia
(Oddo, Rah, Semba, & et al., 2012). Namun, bukti menunjukkan bahwa kecenderungannya
akan terjadi peningkatan yang cepat pada kelompok miskin karena meningkatnya obesitas
dan berat badan berlebih dikombinasikan dengan sedikitnya perubahan yang terjadi pada
angka kekurangan gizi (Delisle & Batal, 2016).
8 • Pembangunan Gizi di Indonesia 2. Analisis Situasi: Capaian dan Tantangan • 9
2.2. Kemajuan dalam Penanganan Beban Ganda Masalah Gizi 2.2.1. Kurang Gizi pada Anak
Bagian ini menilai kemajuan terhadap target untuk menurunkan prevalensi kekurangan gizi Kurang gizi yang dialami pada anak usia di bawah lima tahun antara lain stunting,
dan obesitas yang ditetapkan dalam RPJMN 2015-2019 (lihat Tabel 1). wasting, dan underweight. Di Indonesia, prevalensi kurang gizi tersebut cenderung
mengalami penurunan dari tahun 2007 hingga 2018. Gambar 2 mengilustrasikan capaian
target gizi anak balita menurut RPJMN 2015-2019.
Tabel 1. Target Gizi di Indonesia dan Sasaran Global
Gambar 2. Capaian Target RPJMN 2015-2019 terkait Kekurangan Gizi pada Anak Balita
Target WHA Baseline Riskesdas Target RPJMN
Indikator
(2025) (2013) 2018 (2019)
45
Stunting (pendek) pada
Penurunan 40% 37.2% 30.8% - 38.1
anak usia 0-59 bulan 40 37.2 37.2
33.6
Anemia pada wanita Data belum 35 36.8
Penurunan 50% 22.7% - 35.6 30.8
usia subur tersedia 30 32.8 28
26.1
5.7% 29.9
Berat badan lahir 6.2% 8% (Buku II) 25
Penurunan 30% (< 2500 19.6 21
rendah pada bayi (< 2500 gr) (≤ 2500 gr) 18.4 17.9
gr) 20 17.7 17
Overweight 15 13.6 13.3 12.1
(kegemukan) pada anak 11.9% 8.0 - 10.2
Tidak meningkat 9.8 9.5
10
usia 0-59 bulan
ASI Eksklusif pada bayi 5
usia Naik menjadi 50% 41.5% 52.0% 50% (Buku II) 0
< 6 bulan (minimal) 2007 2010 2013 2016 2018 RPJMN Target
data Riskesdas data Sirkesnas data Riskesdas 2019
Wasting (kurus) pada
Turun menjadi <5% 12.1% 10.2% 9.5% (Buku II)
anak usia 0-59 bulan
Stunting (pendek) pada anak usia 0-23 bulan Stunting (pendek) pada anak usia 0-59 bulan
Kerangka Global WHO untuk PTM (2025) Wasting (kurus) pada anak usia 0-59 bulan Underweight (gizi kurang) pada anak usia 0-59 bulan
Sumber: WHO, 2012; WHO, 2013; Bappenas, 2015; Kementerian Kesehatan, 2013;
Data tahun 2013 dan 2018 menunjukkan adanya disparitas prevalensi stunting secara
Kementerian Kesehatan, 2018
geografis. Data dari 2013 (Kementerian Kesehatan, 2013), yang telah dijelaskan secara
lengkap dalam background paper sebelumnya tentang gizi di Indonesia yang dilakukan
pada tahun 2014 (Bappenas, 2014), menunjukkan bahwa stunting sangat umum terjadi di
Tiga dari indikator RPJMN 2015-2019 sama dengan target global yang disahkan oleh negara-
bagian paling timur dan paling barat Indonesia dimana mencapai puncaknya dengan 51,7
negara anggota Majelis Kesehatan Dunia (World Health Assembly/WHA) pada tahun 2012 dan
% di Nusa Tenggara Timur (NTT). Sebagian besar provinsi (28 dari 34 provinsi) memiliki
kemudian dimasukkan ke dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) sebagai target
prevalensi stunting di atas 30%, yang dikategorikan oleh WHO sebagai prevalensi yang
yang harus dipenuhi pada tahun 2030. Indonesia adalah negara penandatangan kesepakatan
sangat tinggi dalam masalah kesehatan masyarakat (WHO, NLiS, 2018). Prevalensi
WHA dan SDGs. Selain itu, RPJMN juga mencakup target gizi untuk obesitas usia dewasa,
stunting pada anak lebih tinggi di daerah pedesaan (40%) dibandingkan dengan daerah
yang telah diadopsi sebagai target pilihan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dalam
perkotaan (31%), dan jauh lebih tinggi pada kelompok dengan tingkat kekayaan terendah
Kerangka Global WHO untuk PTM.
10 • Pembangunan Gizi di Indonesia 2. Analisis Situasi: Capaian dan Tantangan • 11
dibandingkan dengan kuintil terkaya. (lihat Lampiran 1). Namun demikian, 29,0% anak- Gambar 3. Perbaikan Gizi di Tiga Kabupaten MYCNSIA, 2011-2014
anak di kuintil kekayaan tertinggi mengalami stunting dimana hal ini menggambarkan
bahwa stunting bukan hanya masalah yang terkait dengan kemiskinan. Data Riskesdas % 100
2018 menunjukan hal yang tidak jauh berbeda dimana bagian paling timur dan paling 90 81.7
80 72.3 69.5
barat Indonesia menjadi daerah dengan angka stunting balita tertinggi dibandingkan 64.3
70 61.4
daerah lainnya (lihat Lampiran 1). Terdapat 20 provinsi memiliki prevalensi stunting 60 52.2 53.3
sangat tinggi (≥30%) berdasarkan klasifikasi WHO terbaru (WHO, NLiS, 2018). Secara 50 43.1
40 33.8
nasional, prevalensi stunting balita menurun menjadi 30,8% (Kementerian Kesehatan, 29.6 29.7 30.3 30.2
30 23.9
2018). Jika dibandingkan dengan prevalensi stunting tahun 2013, terjadi penurunan 17.1
20
sebesar 1,28 poin persen pertahun. Hal ini mengindikasikan bahwa apabila tingkat 6.9
10
penurunan ini dapat dipertahankan maka target penurunan stunting pada balita sesuai 0
WHA dapat tercapai di tahun 2025. All
Semua Poorest
Termiskin All
Semua Poorest
Termiskin All
Semua Poorest
Termiskin All
Semua Poorest
Termiskin
Stunting
Stunting Exclusive breastfeeding
ASI Eksklusif Minimum acceptable
Minimum Handwashing with soap
Cuci tangan
Di tingkat kabupaten, kemajuan penurunan stunting sangat bervariasi. Dari 438 diet diet
acceptable pakai sabun
kabupaten di Indonesia, hampir setengah (206 setara dengan 47%) mengalami penurunan
2011 (baseline) 2014 (endline)
prevalensi stunting antara 2007 dan 2013 serta 52 kabupaten mengalami pengurangan di
atas 10% selama periode enam tahun. Pengamatan lebih dekat dan pemahaman tentang Sumber: (UNICEF, 2017)
faktor-faktor yang berkontribusi pada perbaikan gizi di kabupaten yang berhasil akan
membantu kabupaten lain yang belum berhasil secara efektif menurunkan stunting pada Wasting adalah bentuk kekurangan gizi yang sangat serius karena sangat meningkatkan
anak. Contoh dimana stunting telah berhasil diturunkan di tiga kabupaten melalui adopsi risiko kematian dan kesakitan. Tingkat kematian pada anak dengan gizi buruk akut
pendekatan multisektoral dijelaskan dalam Kotak 1. (Severe Acute Malnutrition/SAM) adalah 11,6 kali lebih tinggi dibandingkan pada anak
dengan gizi baik, dan mereka yang bertahan hidup dari keadaan gizi buruk akut dapat
terus mengalami masalah perkembangan di sepanjang hidup mereka (Ologin, McDonald,
Kotak 1. Fokus pada Upaya Kabupaten yang Berhasil & Ezzati, 2013). Bukti global menunjukkan bahwa wasting (kurus) meningkatkan risiko
dalam Menurunkan Stunting dan Perbaikan Gizi stunting pada anak, gangguan perkembangan kognitif, dan penyakit tidak menular di
masa dewasa (Lelijveld, Seal, & Wells, 2016) (Grantham-McGregor, Powell, Walker,
Aksi bersama untuk perbaikan gizi dilakukan di Kabupaten Klaten, Sikka, dan & Chang, 1994). Indonesia memiliki tingkat kekurangan gizi akut tertinggi keempat di
Jayawijaya sebagai bagian dari program Maternal and Young Child Nutrition dunia, dengan sekitar tiga juta anak balita mengalami wasting (kurus), diantaranya
Security in Asia (MYCNSIA) dari tahun 2011 hingga 2014. Hasilnya adalah yakni 1,4 juta anak mengalami sangat kurus (Kementerian Kesehatan, 2013). Data tahun
pengurangan lima persen poin pada persentase stunting, 20 persen poin 2013 menunjukkan bahwa enam provinsi memiliki prevalensi lebih dari 15% yang
peningkatan untuk persentase ASI eksklusif dan peningkatan konsumsi pada anak dianggap sebagai masalah kesehatan masyarakat yang sangat tinggi oleh WHO (WHO,
serta perilaku kebersihan. Peningkatan yang terjadi lebih besar pada kelompok NLiS, 2018) sehingga memerlukan respons darurat. Meskipun Gambar 2 menunjukkan
yang paling miskin. Tujuh faktor keberhasilan percepatan perbaikan gizi yang bahwa ada beberapa kemajuan dalam menurunkan prevalensi wasting, namun hal ini
dapat diidentifikasi mencakup: (i) lingkungan legislatif yang mendukung; (ii) belum dikonfirmasi oleh survei SMART1 yang dilakukan di Kabupaten Kupang yang
perencanaan dan penganggaran di tingkat pusat dan daerah; (iii) pendekatan menunjukkan tetap tingginya prevalensi wasting (UNICEF/ACF, 2016 Unpublished).
multisektoral untuk mengintegrasikan hasil dan mengoptimalkan saluran untuk Namun demikian, data terbaru Riskesdas 2018 menunjukan angka wasting pada balita
promosi; (iv) platform efektif untuk rumah tangga yang paling rentan dan kurang mengalami penurunan menjadi 10,2% dan semua provinsi memiliki prevalensi balita
beruntung; (v) peningkatan pengetahuan dan keterampilan konseling tenaga kurus di bawah 15%, dengan provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) memiliki prevalensi
kesehatan masyarakat; (vi) sistem pemantauan yang efektif; serta (vii) bekerja tertinggi yakni sebesar 14,4% (Kementerian Kesehatan, 2018).
sama dengan mitra.
Underweight adalah indikator kekurangan gizi anak yang tidak membedakan antara
kekurangan gizi jangka pendek wasting dan kronis stunting. Prevalensi underweight
cenderung meningkat antara tahun 2010 sampai 2016, namun hasil utama Riskesdas 2018
menunjukkan penurunan prevalensi menjadi 17,7% yang mengindikasikan bahwa target
RPJMN 2015-2019 kemungkinan besar akan tercapai. Namun demikian, underweight
bukan merupakan indikator yang sensitif dan indikator ini belum diadopsi sebagai
indikator WHA (lihat Tabel 1).
1 Survei SMART (Standardized Monitoring and Assessment of Relief and Transition) mengadopsi metode standar
untuk mengukur tingkat wasting (kekurusan) pada anak-anak.
12 • Pembangunan Gizi di Indonesia 2. Analisis Situasi: Capaian dan Tantangan • 13
2.2.2. Kurang Gizi pada Perempuan 2.2.3. Pemberian Makan pada Bayi dan Anak
Sejak penyusunan background paper sebelumnya tentang gizi di Indonesia pada tahun Menyusui hingga usia dua tahun telah dilaporkan secara luas memiliki banyak manfaat
2014 (Bappenas, 2014), terdapat minimnya ketersediaan data terbaru tentang status gizi jangka pendek dan jangka panjang bagi anak dan ibu (Horta & Victora, 2013). WHO,
ibu untuk menentukan capaian target sejak tahun 2014. Kurang Energi Kronis (KEK) pada UNICEF, dan Kementerian Kesehatan Indonesia merekomendasikan bahwa bayi harus
ibu hamil yang diukur melalui lingkar lengan atas (LILA) dilaporkan dalam background disusui secara eksklusif selama enam bulan pertama semenjak lahir dan sesudah itu
paper tentang gizi 2014 dan ditemukan adanya peningkatan antara 2010 dan 2013. Hampir dilakukan pengenalan makanan pendamping ASI dalam bentuk padat atau semi padat
satu dari empat wanita hamil (24,2%) memiliki LILA yang rendah (<23,5 cm) pada tahun bersamaan dengan kelanjutan menyusui hingga usia 24 bulan. Seperti yang ditunjukkan
2013 dan ini hampir tidak berubah pada tahun 2016, tetapi kemudian menurun di tahun pada Gambar 4, target RPJMN 2015-2019 untuk pemberian ASI eksklusif tampaknya akan
2018 menjadi 17,3% (Kementerian Kesehatan, 2018). tercapai.
Berat badan lahir rendah (BBLR) (<2.500 gram) merupakan indikator kekurangan gizi ibu Meskipun prestasi ini terlihat jelas, praktik pemberian makan pada bayi dan anak (PMBA)
yang menunjukkan adanya sedikit perubahan selama 10 tahun terakhir dan tidak ada di Indonesia masih sangat tidak memadai. Sementara 61% ibu memulai menyusui
indikasi yang jelas bahwa target RPJMN 2015-2019 akan terpenuhi (lihat Gambar 4). Data dalam satu jam pertama kelahiran bayi mereka, hanya setengah (54%) terus menyusui
Riskesdas 2018 dengan indikator BBLR <2.500 gram menunjukkan adanya peningkatan hingga usia dua tahun (BPS & Kemenkes, 2017). Lebih dari sepertiga (37%) dari ibu pada
yakni 5,4% di tahun 2007 menjadi 5,7% di tahun 2013 dan 6,2% di tahun 2018. Serupa tahun 2012 memberikan susu botol kepada anak mereka antara usia 0-23 bulan yang
dengan tahun 2013 dimana BBLR terjadi lebih banyak pada keluarga dengan tingkat meningkatkan risiko penyakit infeksi seperti diare karena sulitnya mensterilkan dot pada
pendidikan yang lebih rendah. Namun, angka ini cenderung sama untuk daerah pedesaan botol dengan benar (BPS & Kemenkes, 2012). Selain itu, jenis makanan pendamping
(6,3%) dan perkotaan (6,1%) (Kementerian Kesehatan, 2018). yang diperkenalkan tidak memadai untuk memenuhi kebutuhan gizi anak yang sedang
dalam masa pertumbuhan. Pada tahun 2012, hanya 58,2% anak-anak berusia 6 hingga
Gambar 4. Kemajuan terhadap Target RPJMN 2015-2019 untuk Bayi 23 bulan menerima makanan dengan empat atau lebih kelompok makanan. Ini berarti
dengan Berat Badan Lahir Rendah, Anemia dan ASI Eksklusif bahwa hampir setengah dari semua anak Indonesia tidak menerima gizi yang mereka
butuhkan selama dua tahun pertama hidupnya untuk bertumbuh dan berkembang
secara optimal.
Sangat sedikit data baru yang tersedia terkait defisiensi mikronutrien sejak background
paper sebelumnya tentang gizi dilakukan sebagai bagian dari Kajian Sektor Kesehatan
2014 (Bappenas, 2014). Anemia pada wanita dan anak-anak masih menjadi masalah
kesehatan masyarakat dengan kategori berat menurut klasifikasi WHO (WHO, 2010).
Anemia sebagian besar disebabkan oleh defisiensi zat besi, dan juga terkait dengan
defisiensi mikronutrien lainnya seperti vitamin A, asam folat, dan vitamin B12. Prevalensi
anemia juga lebih tinggi di daerah dimana kecacingan umum terjadi. Seperti yang
ditunjukkan Gambar 4, anemia pada ibu hamil (hemoglobin <11 g/dl) telah meningkat
secara mengkhawatirkan dalam beberapa tahun terakhir. Data dari tahun 2016
menunjukkan bahwa lebih dari separuh ibu hamil mengalami anemia yang jauh di atas
nilai target RPJMN 2015-2019. Riskesdas 2018 juga menunjukkan hal serupa dengan
hampir separuh ibu hamil mengalami anemia (48,9%). Selain itu, lebih dari seperempat
Sumber: RISKESDAS 2007, 2010, 2013, 2018; SIRKESNAS 2016. Catatan: angka ASI Eksklusif (28%) anak-anak di bawah usia lima tahun mengalami anemia (hemoglobin < 11 g/dl)
diambil berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2007, 2012, dan 2017. pada tahun 2013 (Kementerian Kesehatan, 2013). Namun, di tahun 2018, data anemia
pada anak balita belum tersedia. Tidak ada keraguan bahwa anemia memiliki dampak
besar pada kesehatan dan kesejahteraan perempuan dan anak di Indonesia.
Hingga saat ini ketersediaan data baru tentang defisiensi vitamin A masih minim sehingga
tidak memungkinkan untuk menilai kemajuan. Survei nasional terakhir tentang status
vitamin A dilakukan oleh Kementerian Kesehatan pada tahun 1992 dan menemukan
bahwa serum retinol kurang dari 20 μg / dL pada setengah dari anak-anak berusia 6-59
14 • Pembangunan Gizi di Indonesia 2. Analisis Situasi: Capaian dan Tantangan • 15
bulan. SEANUTS 2011 memeriksa status vitamin A pada anak, tetapi tidak termasuk anak Gambar 5. Kemajuan terhadap Target RPJMN 2015-2019
dengan usia kurang dari dua tahun yang kemungkinan besar berada pada risiko terbesar untuk Kegemukan dan Obesitas
kekurangan vitamin A, sehingga data tidak dapat dibandingkan. Dalam survei ini hanya
1,5 persen anak di daerah pedesaan berusia 2-4 tahun ditemukan memiliki kekurangan 40
vitamin A.
35
Demikian pula, tidak terdapat data baru tentang tingkat kekurangan yodium yang tersedia 30
sejak background paper sebelumnya tentang gizi di Indonesia yang dilakukan sebagai
25 21.8
bagian dari Kajian Sektor Kesehatan 2014 (Bappenas, 2014), yang menemukan bahwa 20.7
status yodium pada anak sekolah dan wanita usia subur tetap memadai, sementara 20
15.4 15.4
status yodium pada wanita hamil berada pada ambang batas. 14.0
15 12.2
5
Prevalensi kegemukan (IMT ≥25 sampai <27) dan obesitas (IMT ≥ 27) di kalangan
orang dewasa meningkat tajam dan obesitas sekarang menjadi tantangan masalah gizi 0
2007 2010 2013 2016 2018 RPJMN Target
terbesar di masa depan yang dihadapi oleh Indonesia. Dalam lima tahun, antara tahun data Riskesdas data Sirkesnas data Riskesdas 2019
2013 dan 2018, prevalensi obesitas telah meningkat enam persen dan lebih tinggi dari
Obesitas pada dewasa usia 18+ tahun Overweight (gemuk) pada anak usia 0-59 bulan
target RPJMN 2015-2019 (lihat Gambar 5). Selain itu, terdapat perbedaan geografis yang
signifikan dengan prevalensi obesitas tertinggi ditemukan di Sulawesi Utara (30,2%) dan
terendah di NTT (10,3%) dimana semua provinsi telah mengalami peningkatan obesitas Sumber: RISKESDAS 2007, 2010, 2013, 2018; SIRKESNAS 2016
secara progresif dari waktu ke waktu (Kementerian Kesehatan, 2018). Data obesitas pada
dewasa berdasarkan jenis kelamin dan kuintil kekayaan belum tersedia di Riskesdas 2018.
Walaupun demikian, di tahun 2016, menunjukkan kegemukan dan obesitas pada wanita 2.2.6. Gizi Remaja
dewasa jauh lebih tinggi daripada pria dewasa, dimana terdapat 41,6% wanita dewasa
kelebihan berat badan dibandingkan 24% pria. Sementara di tahun 2013, obesitas ditemui Meskipun tidak ada target yang masuk dalam RPJMN 2015-2019 untuk gizi remaja2,
pada semua kelompok kuintil pendapatan baik yang rendah maupun yang lebih tinggi masa remaja adalah periode kritis kedua untuk pertumbuhan fisik setelah tahun pertama
dan 7% orang dewasa pada kuintil kekayaan terendah mengalami obesitas (Kementerian kehidupan, dimana ketika perubahan psikososial dan emosional yang mendalam terjadi
Kesehatan, 2013) (lihat Lampiran 1). dan peningkatan kognitif dan kapasitas intelektual tercapai. Selain itu, Indonesia sendiri
adalah rumah bagi sekitar 45 juta remaja laki-laki dan perempuan atau setara dengan
Pada kelompok anak di bawah usia lima tahun, prevalensi kelebihan berat badan (berat 18% dari total penduduk (BPS, 2010). Remaja di Indonesia sudah mulai menderita Beban
badan per tinggi badan >2 score) menunjukan tidak ada peningkatan. Sekitar 7% anak Ganda Masalah Gizi. Pada tahun 2013, 9,4% remaja berusia 16-18 tahun dan 11,1%
balita diperkirakan mengalami kegemukan pada tahun 2018 (Kementerian Kesehatan, dari mereka yang berusia 13-15 tahun mengalami kurus (IMT per usia <-2 SD Zscore),
2018). Walapun data berat badan lebih pada balita berdasarkan kuintil kekayaan di tahun sementara 7,3% dan 10,8%, secara berurutan, mengalami kelebihan berat badan (IMT
2018 belum tersedia, data Riskesdas tahun 2013 menunjukkan kegemukan terjadi lebih per usia > +1 SD Zscore) (Kementerian Kesehatan, 2013). Prevalensi kegemukan pada
banyak pada kuintil kekayaan yang lebih tinggi dibandingkan pada kuintil kekayaan kelompok usia 16-18 tahun meningkat tajam dari 1,4% pada tahun 2010 menjadi 7,3%
yang lebih rendah, namun bahkan pada kuintil kekayaan terendahpun, 10,2% anak balita pada 2013, yang menunjukkan bahwa kegemukan meningkat dengan cepat. Prevalensi
mengalami kegemukan pada tahun 2013 (lihat Lampiran 1). stunting pada usia 16-18 tahun sebesar 31,4% dan pada kelompok usia 13-15 tahun
sebesar 35,1%, dan yang menjadi perhatian adalah sebagian besar anak perempuan akan
memasuki fase kehamilan dalam keadaan kurang gizi sehingga dapat memperpanjang
siklus malnutrisi. Prevalensi kurus (LILA <23,5 cm) pada kelompok remaja putri yang
hamil sudah lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan yang lebih tua yaitu sekitar
satu dari tiga dibandingkan dengan satu dari empat (24,2%) secara berurutan. Kotak 2
menjelaskan gaya hidup dan pola konsumsi remaja di Indonesia dan melihat pentingnya
mengembangkan kebijakan yang menargetkan kelompok usia remaja.
Sebuah survei dan studi kualitatif di dua kabupaten di Indonesia telah menunjukkan Perbaikan kebijakan dan program pangan sekolah merupakan pilihan penting untuk
bahwa remaja tidak mengembangkan gaya hidup dan pilihan konsumsi yang sehat. perbaikan gizi di Indonesia. Program gizi berbasis sekolah yang terintegrasi dapat
Secara keseluruhan, mereka relatif tidak aktif dan menghabiskan sebagian besar mengatasi Beban Ganda Masalah Gizi, kesehatan buruk yang terkait, serta dapat
waktu luang untuk duduk: menonton TV, menggunakan ponsel mereka, belajar, atau digunakan untuk membangun dan mengintegrasikan intervensi gizi yang sedang
bekerja. Sebagian besar remaja bepergian dengan sepeda motor dan menghabiskan dilakukan. Sekolah juga berperan sebagai pintu akses potensial untuk melibatkan
sedikit waktu untuk berjalan, bersepeda, dan berolahraga. orang tua dan masyarakat. Selain itu, standar makanan di sekolah telah terbukti efektif
untuk meningkatkan ketersediaan dan pembelian makanan sehat serta mengurangi
Meskipun remaja pada umumnya makan tiga kali sehari, namun terdapat sedikit
pembelian makanan yang tidak sehat.
keluarga yang memasak dan makan bersama. Hanya setengah remaja yang disurvei
sarapan di rumah, sementara separuh lainnya membeli makanan, baik di warung
maupun di sekolah. Penelitian kualitatif menemukan bahwa makan siang biasanya Sumber: Soekarjo, Roshita, Thow, & et al., 2018; UNICEF, 2018 Unpublished;
merupakan makanan jadi yang dibeli di warung dan seringkali termasuk minuman UNICEF, 2018 Unpublished
manis. Makan malam sebagian besar dilakukan di rumah, tetapi jarang dilakukan
secara bersama dengan keluarga. Sebaliknya, makan malam paling sering dilakukan
di depan televisi, menggantikan praktik tradisional makan bersama di atas tikar Pesan Kunci
di lantai. Dua per tiga (66%) remaja yang disurvei mengonsumsi kudapan berupa
makanan olahan dan sekitar sepertiga remaja mengonsumsi kue, kue kering, 1. Indonesia menderita Beban Ganda Masalah Gizi dimana kekurangan gizi dan
gorengan, dan kerupuk. Selain itu, 20% mengonsumsi makanan siap saji dan 14% obesitas berada dalam populasi, rumah tangga, dan individu yang sama.
kudapan lokal buatan sendiri. Sementara 84% sering mengonsumsi minuman manis.
2. Periode kritis untuk intervensi gizi adalah 1.000 hari pertama kehidupan dimulai
Rata-rata remaja menghabiskan sekitar Rp 6.000,- (US$ 0,42) per hari untuk makanan
dari kehamilan hingga anak berusia dua tahun, dan masa remaja.
dan minuman. Sebagai hasil dari pilihan konsumsi ini, kurang dari setengah remaja
yang disurvei mengonsumsi 5 atau lebih dari 11 kelompok makanan yang memenuhi 3. Stunting, wasting, anemia, dan obesitas adalah tantangan gizi yang menjadi
rekomendasi untuk konsumsi yang beragam. prioritas utama.
Studi kualitatif menemukan bahwa meskipun sekolah-sekolah memiliki pengelolaan 4. Remaja sudah menderita Beban Ganda Masalah Gizi dan data survei dari dua
yang berbeda-beda dalam penjualan makanan, tetapi tidak ada kontrol pada jenis kabupaten menunjukkan bahwa mereka tidak melakukan gaya hidup dan pilihan
makanan yang dijual, yang pada umumnya menjual makanan dan minuman yang konsumsi yang sehat.
tidak sehat. Selain itu, pada umumnya para guru masih belum memahami bahwa
5. Minimnya ketersediaan data terbaru tentang indikator gizi utama di seluruh
pendidikan gizi di sekolah menengah (SMP dan SMA) merupakan tanggung jawab
siklus kehidupan serta variasi dalam metode survei dan definisinya sehingga
mereka. Selain dari pendidikan gizi di sekolah dasar, sumber utama informasi gizi
membuat indikator tersebut sulit untuk dipantau kemajuannya sejak disusun
untuk remaja adalah televisi dan internet.
background paper sebelumnya tentang gizi di Indonesia sebagai bagian dari
Kajian Sektor Kesehatan Tahun 2014.
Temuan ini menggarisbawahi peluang penting yang dapat dilakukan pada remaja
dalam meningkatkan status gizi dan pola konsumsi penduduk Indonesia. Saat ini, 6. Diperlukan langkah bersama untuk mencapai target status gizi dalam RPJMN
gizi remaja belum dianggap sebagai prioritas dalam agenda pembangunan nasional, 2015-2019 dengan stunting pada anak usia di bawah dua tahun menjadi satu-
satunya indikator yang berpotensi untuk mencapai target.
18 • Pembangunan Gizi di Indonesia 2. Analisis Situasi: Capaian dan Tantangan • 19
2.3. Penyebab Beban Ganda Masalah Gizi Gambar 6. Asupan Energi dan Protein per Kapita per Hari
Menurut Kelompok Tingkat Kekayaan pada Tahun 2017
Bagian ini mengkaji penyebab Beban Ganda Masalah Gizi di Indonesia dan mengidentifikasi
pencapaian target dan tantangan dalam mengatasinya. Gambar 1 mengilustrasikan beberapa 3000 100
penyebab malnutrisi yang berperan pada masing-masing tingkatan yang berbeda. Penyebab
2564 90
langsung dijelaskan dengan warna hijau, sementara tiga kelompok penyebab tidak langsung 81.5
2500 2353
ditunjukkan dengan warna dasar biru, dan akar masalah ditunjukan dengan warna kuning. 80
Bagian berikut menyajikan data terbaru tentang penyebab malnutrisi di Indonesia.
AKG = 2150 Kkal 2155 69 .1
1975 70
2000
1500 45.4 50
Rumah tangga miskin dan menengah di Indonesia memiliki pola konsumsi yang
minim akan zat gizi dan kurang beragam, sementara rumah tangga menengah ke atas 40
memiliki pola konsumsi berlebih, khususnya sumber energi dan makanan olahan. 1000
Hal ini berkontribusi terhadap terjadinya kekurangan gizi pada kelompok masyarakat 30
menengah ke bawah serta obesitas pada kelompok menengah ke atas. Data survei 20
pada tahun 2014 menunjukkan bahwa hampir setengah populasi di Indonesia 500
(45,7%) mengonsumsi kurang dari 70% Angka Kecukupan Gizi (AKG)3 untuk energi, 10
sementara 36,1% mengkonsumsi kurang dari 80% AKG untuk protein4 (SKMI, 2014).
0 0
Gambar 6 menunjukkan perbedaan konsumsi sumber energi dan protein pada kelompok Energy Protein
Energi Protein
masyarakat menurut tingkat kekayaan. Hanya mereka yang berada pada kuintil ketiga,
keempat, dan kelima yang mengonsumsi energi dan protein yang cukup. Q1 Q2 Q3 Q4 Q5
5 ‘Diproses ’didefinisikan sebagai makanan atau minuman apapun yang telah diolah dari keadaan mentah.
3 AKG per orang per hari untuk energi adalah 2,150 kkal sesuai dengan Peraturan Menkes, Pasal 4, 2013.
4 AKG per orang per hari untuk protein adalah 57 gram.
20 • Pembangunan Gizi di Indonesia 2. Analisis Situasi: Capaian dan Tantangan • 21
Keragaman pola konsumsi yang rendah berkaitan dengan terjadinya stunting pada anak. dan kualitas makanan yang mereka konsumsi (SMERU, 2015). Sebagian besar (80%)
Sebuah penelitian yang dilakukan di Jawa Timur menilai keragaman pola konsumsi pada rumah tangga dengan tingkat pengeluaran rendah dan menengah menghabiskan lebih
12 kelompok makanan, yang kemudian dijumlahkan sebagai Skor Keragaman Konsumsi dari separuh pengeluaran mereka untuk makanan di tahun 2017, dan membelanjakan
Pangan Rumah Tangga (Household Dietary Diversity Score), menemukan bahwa skor porsi yang jauh lebih besar dari uang mereka untuk makanan dibandingkan dengan 20%
yang lebih rendah dikaitkan dengan stunting bahkan ketika penyesuaian dibuat untuk penduduk terkaya (BPS, 2017).
ukuran keluarga, pengetahuan ibu, pengeluaran untuk makanan, serta asupan energi dan
protein dari ASI (Mahmudiono, Sumarmi, & Rosenkrantz, 2017). Kementerian Kesehatan Meskipun harga makanan tetap menjadi penghalang utama bagi banyak keluarga miskin
memperkirakan bahwa hanya 29% dari anak-anak berusia 6-59 bulan mengonsumsi di Indonesia, tetapi pengeluaran untuk makanan dan minuman olahan, yang sebagian
makanan sumber zat besi dan hanya 20% yang mengonsumsi telur (Kemenkes, 2014). besar cenderung makanan yang diproses, meningkat empat kali lipat pada masyarakat
perkotaan dan juga pedesaan dari tahun 2007 hingga 2017. Pertumbuhan industri
Gambar 7. Asupan Energi per Kapita per Hari dari Kelompok Makanan yang Berbeda makanan dan minuman mendorong terjadinya perubahan pola konsumsi di Indonesia
pada Tahun 2007 dan 2017 dan berkontribusi pada terjadinya Beban Ganda Masalah Gizi seperti yang dijelaskan pada
Kotak 3.
100
9.5
90 15.3 19.2 Kotak 3. Fokus pada Peningkatan Konsumsi Makanan dan Minumam Olahan
26.7
80 yang Berkontribusi pada Kejadian Beban Ganda Masalah Gizi
70
Sumber: BPS, 2007; BPS, 2017 Peningkatan jumlah makanan dan minuman olahan di pasar yang ada di Indonesia
diiringi dengan peningkatan gerai makanan cepat saji. Menurut perusahaan riset
pasar, Euromonitor International, penjualan makanan cepat saji diperkirakan akan
Asupan makanan ditentukan oleh ketahanan pangan yang memiliki empat dimensi, tumbuh sebesar 7% per tahun hingga 2016 dengan jumlah gerai yang melonjak dari
yaitu: ketersediaan, akses, konsumsi, dan pemanfaatan pangan (WFP, 2017). Badan 5.890 pada tahun 2011 menjadi 9.100 pada tahun 2017. Lebih lanjut lagi, perusahaan
Pangan Dunia (WFP) melaporkan bahwa secara keseluruhan, ketahanan pangan memperluas jangkauan mereka di luar kota-kota besar (Bland, 2013).
meningkat antara tahun 2010 dan 2015 yakni ketika hanya 58 dari 398 kabupaten yang
Seiring dengan meningkatnya pasokan, demikian pula permintaan, perubahan
ditemukan sangat rentan terhadap kerawanan pangan (WFP, 2016). Beberapa penelitian
gaya hidup konsumen dianggap telah menjadi penyebab terjadinya peningkatan
baru-baru ini menyimpulkan bahwa akses ekonomi (keterjangkauan) terhadap pangan
konsumsi produk olahan (Sumarwan, 2018). Konsumen memiliki lebih sedikit waktu
dibandingkan dengan ketersediaan pangan merupakan penyebab utama kerawanan
untuk menyiapkan makanan di rumah karena mereka menghabiskan lebih banyak
pangan di Indonesia (SMERU, 2015) (WFP, 2017) (WFP & Bappenas, 2017). Sebuah
waktu bekerja di luar rumah, sementara produk olahan tersedia dengan mudah
studi untuk memperkirakan biaya konsumsi di Indonesia menemukan bahwa 38%
di pasaran dengan harga terjangkau. Selain itu, terdapat beberapa bukti yang
dari populasi nasional tidak mampu membeli makanan bergizi dan persentase ini naik
menunjukkan bahwa iklan TV mendorong konsumsi makanan olahan dimana rata-
menjadi 68% di daerah terpencil seperti NTT dimana biaya transportasi makanan tinggi
rata orang yang menonton TV terpapar dengan satu iklan makanan atau minuman
(WFP & Bappenas, 2017). Gejolak harga pangan terutama untuk beras, daging, sayur, dan
tidak sehat setiap empat menit di Indonesia, sedangkan di China, Malaysia, dan
buah, memperburuk situasi ketika rumah tangga miskin terpaksa mengurangi jumlah
22 • Pembangunan Gizi di Indonesia 2. Analisis Situasi: Capaian dan Tantangan • 23
Korea Selatan dengan durasi setiap 12-26 menit (Kelly, Hebden, & King, 2014). Studi prevalensi diabetes pada penduduk umur ≥ 15 tahun sebesar 10,9% berdasarkan kriteria
lain juga menunjukkan pengaruh yang signifikan dari paparan televisi selama masa Diabetes Melitus menurut Konsensus PERKENI 2015 (Kementerian Kesehatan, 2018).
kanak-kanak terhadap pengeluaran rumah tangga di kemudian hari, dan juga pada
konsumsi makanan dan minuman ringan di Indonesia (Oberlander, 2018). Data Hasil dari peningkatan beban PTM yang berkaitan dengan pola makan adalah permintaan
terbaru juga melihat pengaruh pilihan makanan di Indonesia melalui ketersediaan yang meningkat terhadap layanan kesehatan di Indonesia. Pengeluaran kesehatan telah
pilihan yang lebih luas dari aplikasi layanan cepat yang memungkinkan pelanggan meningkat di Indonesia tetapi akses ke pelayanan kesehatan masih belum universal.
untuk memesan dan membayar makanan dengan mudah menggunakan ponsel Pada tahun 2014, Pemerintah Indonesia memperkenalkan skema asuransi kesehatan
(Martianto, 2018). universal yang dikenal sebagai Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) untuk memastikan
akses ke pelayanan kesehatan bagi semua warga negara. Pada tahun 2017, 41% dari
Saat ini, walaupun target penurunan obesitas telah dimasukkan ke dalam RPJMN
populasi tidak tercakup oleh JKN termasuk sekitar 62% anak di bawah usia lima tahun
2015-2019, akan tetapi program pencegahan dan penatalaksanaan obesitas secara
(BPS, 2017). Sebuah evaluasi tentang Puskesmas (Pusat Kesehatan Masyarakat) di
komprehensif belum ada, sehingga pengawasan terhadap konten, pemasaran, dan
Indonesia menemukan bahwa beberapa puskesmas mengalami kekurangan pasokan air
penjualan makanan olahan perlu ditingkatkan. Hal tersebut menjadi kebutuhan
bersih, listrik, telepon dan dokter (lihat Tabel 2).
mendesak bagi pemerintah untuk menyusun dan memperkuat regulasi yang
membatasi ketersediaan, aksesibilitas, dan konsumsi makanan dan minuman
dengan kadar gula, garam, dan lemak yang tinggi.
Tabel 2. Akses ke Infrastruktur secara Nasional pada Tahun 2011
Jenis Akses %
2.3.2. Beban Penyakit, Akses terhadap Pelayanan Kesehatan, dan Lingkungan yang
Tidak Mendukung Kecamatan tanpa puskesmas 6,3
Gambar 8. Persentase Rumah Tangga berdasarkan Waktu Tempuh ke Fasilitas Kesehatan kolostrum kepada bayi baru lahir dilakukan oleh beberapa ibu saat pemberian makan
pada Tahun 2013 pra-lakteal dengan kurma yang dilunakkan, madu, biskuit, dan susu formula (Breast
Milk Substitutes/BMS) umum terjadi (60%), dan paling sering dilakukan oleh wanita dari
100 0.7 0.5 0.7 0.4 kuintil kekayaan yang lebih tinggi (Alive & Thrive, 2018). Inisiasi dan durasi menyusui
2.4 2
90 18.5 12.4 bervariasi menurut provinsi, usia ibu, kuintil kekayaan, dan jenis pekerjaan. Kajian ini
80 mengidentifikasi hambatan pemberian ASI eksklusif seperti melahirkan dengan cara
70
bedah caesar, melahirkan di fasilitas non kesehatan dan non pemerintah, kurangnya
60
50 dukungan dari sang nenek, menerima sampel susu formula dari bidan, pembengkakan
89.3 88.5 94.4
40 83.8 payudara ibu, penyakit anak, serta bekerja penuh waktu.
30 65.6 69.5
20
10 28.5 Hampir separuh (48%) bayi diperkenalkan pada makanan pendamping yang terlalu dini
18.2
0 di Indonesia dan jenis makanan yang diperkenalkan tidak mendukung pertumbuhan
dan perkembangan optimal. Hanya 23% bayi berusia 6-8 bulan diberi empat atau lebih
kelompok makanan pada tahun 2012, naik menjadi 75% di antara kelompok usia 18-23
bulan (BPS & Kemenkes, 2012). Proporsi anak usia 6-23 bulan yang diberi makan sesuai
dengan ketiga rekomendasi PMBA6 sebesar 18% untuk anak usia 6-8 bulan dan 45% untuk
anak usia 18-23 bulan (BPS & Kemenkes, 2012). Terdapat bukti yang menunjukkan bahwa
hambatan keuangan menjadi alasan buruknya praktik pemberian makanan pendamping
≤ 15 menit 16-30 menit 31-60 menit > 60 menit karena provinsi dengan tingkat kerawanan pangan tertinggi merupakan daerah dengan
tingkat praktik pemberian makanan pendamping yang adekuat paling rendah (Alive &
Sumber: RISKESDAS 2013 Thrive, 2018).
Hubungan antara kekurangan gizi dengan minimnya akses air bersih, sanitasi, dan higiene Faktor lain yang berperan pada PMBA yang tidak adekuat adalah minimnya penegakan
(WASH) di Indonesia sudah semakin banyak dibuktikan. Sebuah tinjauan literatur terbaru regulasi yang komprehensif di Indonesia. Berdasarkan Undang-Undang No. 36 Tahun
menemukan bahwa prevalensi stunting di Indonesia berkaitan dengan ketersediaan kakus 2009 tentang Kesehatan, perusahaan diberi kewajiban untuk menyediakan fasilitas
yang tidak layak dan air minum yang tidak dimasak (Beal,Tumilowicz, Sutrisna, Izwardy, & bagi perempuan yang menyusui selama jam kerja, sementara Undang-Undang No. 13
Neufeld, 2018). Namun, bukti terbaru dari uji coba yang besar dan dirancang dengan baik Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, memberikan hak seorang pekerja perempuan
di Bangladesh (Luby , Rahman, & Arnold, 2018), Kenya (Null, Stewart, & Pickering, 2018) untuk beristirahat selama 45 hari sebelum melahirkan dan 45 hari setelah melahirkan.
(uji coba Manfaat WASH) dan Zimbabwe (SHINE) telah melaporkan tidak ada efek dari Namun, sebuah studi pada tahun 2011 menemukan bahwa hanya 10% dari instansi
intervensi WASH terhadap stunting. Dampak yang kurang tersebut mungkin merupakan pemerintah dan 11% dari instansi swasta menyediakan ruang menyusui (Save the
konteks khusus. Namun demikian, penelitian menunjukkan bahwa peningkatan akses ke Children, 2013), sementara lebih dari setengah (57,5%) dari tenaga kerja perempuan di
air dan sanitasi saja akan memiliki dampak terbatas pada pertumbuhan anak. Indonesia dipekerjakan secara informal dengan sedikit hak ketenagakerjaan (Indonesia
Investments, 2018). Indonesia memiliki beberapa regulasi yang berlaku terkait dengan
2.3.3. Praktik Pemberian Makan dan Pengasuhan yang Tidak Adekuat Kode Internasional tentang Pemasaran Pengganti ASI (the International Code of Marketing
of Breast-Milk Substitutes). Undang-Undang No. 33 Tahun 2012 tentang Pemberian ASI
Praktik pemberian makan bayi dan anak yang buruk berkaitan dengan kejadian stunting Eksklusif saat ini melarang produsen dan distributor mempromosikan serta mengiklankan
pada anak di Indonesia (Beal, Tumilowicz, Sutrisna, Izwardy, & Neufeld, 2018). Sesuai susu formula untuk bayi di bawah enam bulan di fasilitas kesehatan, sementara fasilitas
dengan ketentuan WHO dan UNICEF Global, Kementerian Kesehatan merekomendasikan kesehatan dan petugas kesehatan tidak diizinkan untuk menjual, memberi, atau
pemberian ASI secara eksklusif selama enam bulan pertama setelah anak lahir, kemudian mempromosikan susu formula untuk bayi. Ada juga beberapa pembatasan terhadap
diiringi dengan pemberian makanan pendamping ASI yang aman dan bergizi serta pelabelan dan iklan produk susu untuk bayi di bawah satu tahun. Namun, sebuah studi
dilanjutkan menyusui sampai setidaknya anak berusia dua tahun. Waktu dan durasi 2015 di Indonesia menemukan lebih dari 1.000 insiden ketidakpatuhan terhadap kode
pemberian ASI pada anak di Indonesia sangat bervariasi. Sebagaimana dicatat dalam internasional tersebut oleh berbagai produsen dan distributor (Access to Nutrition Index,
Bagian 1.2.3, hanya 61% wanita yang memulai menyusui dalam satu jam pertama 2016). UNICEF telah menyoroti ukuran substansial dari bisnis pengganti ASI di Indonesia
kelahiran bayi mereka dan hanya setengah (54%) yang terus menyusui hingga dua dengan penjualan diperkirakan mencapai Rp 25,8 triliun pada tahun 2016 (UNICEF, 2016).
tahun (BPS & Kemenkes, 2017). Kajian mendalam tentang gizi ibu, bayi, dan anak di
Indonesia menemukan bahwa praktik-praktik yang merugikan, seperti tidak memberikan
6 Didefinisikan sebagai susu atau produk susu, dengan keragaman dan frekuensi makan yang adekuat.
26 • Pembangunan Gizi di Indonesia 2. Analisis Situasi: Capaian dan Tantangan • 27
Saat ini, belum ada undang-undang yang mengatur tentang pemberian makan untuk anak Tren Demografi dan Urbanisasi
di atas usia dua tahun serta belum adanya kepatuhan terhadap undang-undang yang ada
untuk mendukung praktik PMBA yang aman dan bergizi. Analisis yang dilakukan oleh Indonesia mengantisipasi ‘bonus demografi’ pada tahun 2020-2030 ketika proporsi
Universitas Padjajaran dengan UNICEF dan Alive & Thrive, telah mengungkapkan bahwa orang dalam kelompok usia produktif (15-64 tahun) mencapai maksimum dan rasio
peningkatan pemberian ASI di Indonesia dapat menyelamatkan 5.377 kehidupan anak ketergantungan berada pada tingkat terendah (Bappenas, 2018). Produktivitas ekonomi
dan Rp 3 triliun dalam biaya kesehatan setiap tahun (UNICEF, 2016). Hal ini menyoroti dengan demikian perlu dioptimalkan. Anak-anak dan remaja saat ini akan membentuk
kebutuhan mendesak untuk memperluas regulasi nasional dalam memastikan PMBA angkatan kerja yang produktif di tahun 2020-2030. Sisi negatif dari fenomena demografi
yang memadai untuk semua anak di bawah usia tiga tahun. ini adalah setidaknya sepertiga anak dan remaja saat ini mengalami stunting dan
akan kurang produktif di masa depan. Sisi positifnya adalah terdapat peluang untuk
Selain PMBA yang memadai, pertumbuhan dan perkembangan anak bergantung pada mengurangi Beban Ganda Masalah Gizi, mengembangkan pola makan yang sehat, serta
praktik pengasuhan yang optimal. Sangat disadari bahwa intervensi pendidikan anak berinvestasi dalam ‘bonus demografi’.
usia dini (PAUD) berfokus pada (i) dukungan orang tua; (ii) stimulasi dan pendidikan dini;
(iii) kesehatan dan gizi; (iv) tambahan pendapatan; serta (v) program yang komprehensif Selain profil usia yang berubah dari populasi, juga terjadi peningkatan migrasi dari
dan terintegrasi, dimana hal-hal tersebut memiliki efek positif pada perkembangan pedesaan ke daerah perkotaan ketika orang mencari pekerjaan. Populasi perkotaan
kognitif anak (Rao, Sun, & Wong, 2013). Saat ini, terdapat dua bentuk intervensi PAUD di meningkat dari 42% pada tahun 2000 menjadi 50% pada tahun 2010, dan diperkirakan
Indonesia, yaitu target pertama adalah anak-anak usia 0-3 tahun melalui sesi pengasuhan akan meningkat menjadi 67% pada 2035 (SMERU, 2015). Dampak negatif dari
(Bina Keluarga Balita) yang dilaksanakan oleh Badan Kependudukan dan Keluarga kecenderungan ini adalah lebih banyak orang di daerah perkotaan yang terpapar dengan
Berencana Nasional (BKKBN). Target kedua adalah anak-anak yang berusia 3-6 tahun lingkungan obesogenik (gerai makanan cepat saji, iklan makanan dan minuman tinggi
di pos PAUD dan dilaksanakan oleh Kementerian Pendidikan. Namun, cakupan masih gula, garam, lemak, dll.) yang terkait dengan tingkat obesitas yang semakin tinggi. Selain
belum menyeluruh dengan 38% anak-anak di bawah usia enam tahun belum tercakup itu, lingkungan perkotaan menjadi tidak kondusif untuk aktivitas fisik yang menyebabkan
oleh program ini. minimnya olahraga yang berdampak terhadap penambahan berat badan dan obesitas.
Orang-orang yang tinggal di daerah perkotaan memiliki pilihan transportasi yang lebih
2.3.4. Akar Masalah dan Isu yang Terkait dapat diandalkan dan tersedia bagi mereka, terdapat sedikit fasilitas olahraga yang dapat
diakses, serta tenaga kerja yang telah beralih dari pekerjaan pertanian dan yang bersifat
Kemiskinan dan Ketidakmerataan fisik. Hal yang mengkhawatirkan adalah gaya hidup remaja di Indonesia, baik di daerah
perkotaan maupun pedesaan. Sebuah survei di dua kabupaten menemukan bahwa
Beban Ganda Masalah Gizi sangat terkait dengan kemiskinan dan ketidakmerataan. selama seminggu, remaja melaporkan paling sering duduk santai (2 jam), menonton
Di Indonesia, pertumbuhan ekonomi selama tiga tahun terakhir telah meningkat dari televisi (2 jam), menggunakan ponsel mereka (2 jam), atau duduk untuk belajar atau
4,9% pada 2015 ditargetkan menjadi 5,4% pada tahun 2018 dan jumlah orang miskin bekerja (3 jam). Selama akhir pekan, mereka melaporkan bahwa mereka paling sering
menurun menjadi 26,58 juta pada tahun 2017 (Bappenas, 2018). Meskipun demikian, menggunakan ponsel mereka (3 jam), menonton televisi (2 jam), atau duduk untuk belajar/
ketidakmerataan yang lebar tetap terjadi. Kemiskinan terkonsentrasi di daerah pedesaan bekerja di sekolah/kampus/tempat kerja (2 jam). Di luar sekolah, anak perempuan lebih
di mana 14,3% penduduk hidup di bawah garis kemiskinan sedangkan 8,3% orang di umum (68%) melakukan duduk santai atau melakukan pekerjaan rumah tangga seperti
daerah perkotaan. Tingkat kemiskinan dicerminkan oleh tingkat kekurangan gizi dan menyapu, sedangkan 60% anak laki-laki bermain sepak bola (UNICEF, 2018 Unpublished).
pola konsumsi. Kurang gizi serta asupan energi dan protein yang tidak memadai jauh Namun demikian, urbanisasi juga menawarkan kesempatan untuk menjangkau lebih
lebih tinggi pada kelompok kuintil kekayaan yang lebih rendah, serta di provinsi yang banyak orang dengan lebih mudah melalui pesan dan aksi untuk mempromosikan
paling miskin dan terpencil, dimana ketidakmerataan ini semakin meningkat. Sementara makanan dan gaya hidup yang lebih sehat.
obesitas dan konsumsi makanan tinggi kadar gula, garam, dan lemak lebih umum terjadi
pada kelompok kekayaan yang lebih tinggi. Untuk saat ini, hal ini dengan cepat akan Desentralisasi
menjadi masalah utama di antara kelompok miskin. Bank Dunia telah memberitahukan
bahwa untuk mencapai pertumbuhan yang lebih cepat dan lebih inklusif, Indonesia perlu Sistem pemerintahan yang terdesentralisasi di Indonesia diperkenalkan pada tahun
membelanjakan lebih baik dan lebih banyak di daerah-daerah prioritas (World Bank, 2000. Reformasi memberikan kewenangan yang lebih besar, kekuasaan politik, dan
2018). Hubungan sinergis antara kemiskinan dan gizi berarti bahwa memprioritaskan gizi sumber daya keuangan bagi kabupaten dan desa, tidak melalui provinsi. Wewenang
akan berkontribusi dalam mengurangi kemiskinan, sementara mengurangi kemiskinan yang menjadi tanggung jawab pemerintah daerah termasuk tanggung jawab untuk
akan berkontribusi pada perbaikan gizi. penyediaan layanan di berbagai sektor, termasuk layanan gizi. Sementara pemerintah
pusat mempertahankan peran kepemimpinan, koordinasi, dan pemantauan. Dana yang
ada disalurkan langsung kepada pemerintah kabupaten yang dapat dialokasikan sesuai
28 • Pembangunan Gizi di Indonesia 2. Analisis Situasi: Capaian dan Tantangan • 29
dengan prioritas daerah. Pada tahun 2014, desentralisasi keuangan menjadi selangkah Pernikahan dini tetap menjadi masalah tersendiri di Indonesia. Pada tahun 2015, 21,6%
lebih maju dengan adanya Dana Desa (lihat Kotak 4). Sumber dana yang lebih besar saat wanita menikah atau dalam ikatan sebelum usia 18 tahun dan angka ini lebih tinggi di
ini tersedia di tingkat kabupaten dan desa yang memberdayakan pemerintah daerah dan pedesaan dibandingkan dengan perkotaan (BPS, 2015). Pernikahan dini berarti bahwa
masyarakat untuk mengatasi Beban Ganda Masalah Gizi melalui solusi yang disesuaikan anak perempuan meninggalkan sekolah lebih awal, memiliki bayi pertama mereka lebih
dengan konteks lokal di daerah mereka. Tantangannya adalah memastikan melalui awal dan lebih mungkin memiliki bayi dengan berat badan lahir rendah dan tumbuh
advokasi bahwa gizi diprioritaskan di antara banyaknya prioritas yang saling bersaing dengan kekurangan gizi. Selain itu, sebagian besar perempuan Indonesia pernah
dan memastikan bahwa pemerintah daerah memiliki pemahaman tentang penyebab, mengalami kekerasan oleh mantan atau pasangan saat ini. Pada 2016, satu dari tiga
dampak, dan intervensi yang tepat untuk menangani Beban Ganda Masalah Gizi. wanita berusia 15-64 tahun melaporkan bahwa mereka pernah mengalami kekerasan
fisik atau seksual oleh pasangan selama masa hidup mereka (Statistics Indonesia,
Gender 2016). Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan telah menekankan bahwa
undang-undang yang ada tidak cukup melindungi perempuan (Komisi Nasional
Terdapat bukti global yang kuat yang menyatakan bahwa status perempuan dalam Perempuan, 2018).
masyarakat terkait dengan status gizi dan kelangsungan hidup anak. Analisis data
dari 96 negara menunjukkan bahwa tingkat ketimpangan gender masyarakat, seperti Ketersediaan dukungan terkait untuk ibu bersalin pada tempat kerja di Indonesia
jumlah perempuan dalam pekerjaan atau tingkat pendidikan mereka relatif terhadap juga masih perlu ditingkatkan. Sebagaimana dicatat dalam bagian 1.3.3, di bawah
laki-laki, merupakan faktor penting yang berkontribusi terhadap tingkat malnutrisi hukum ketenagakerjaan (No. 13, 2003), seorang pekerja perempuan berhak atas 45
dan kematian anak (Marphatia, Cole, & Grijalva-Eternod, 2016). Di Indonesia, Instruksi hari istirahat sebelum melahirkan dan 45 hari setelah melahirkan sesuai dengan
Presiden (No. 9, 2000) mencerminkan niat pemerintah untuk terus memperbaiki perhitungan untuk tanggal persalinan oleh ahli kandungan atau bidan. Namun, 57,5%
kondisi untuk perempuan dan anak perempuan di bidang kesehatan, pendidikan, dari tenaga kerja perempuan di Indonesia dipekerjakan secara informal dengan sedikit
angkatan kerja dan partisipasi politik. Selain itu, ada inisiatif yang berjalan, seperti hak ketenagakerjaan (Indonesia Investments, 2018). Kurangnya hak ketenagakerjaan
Gerakan Pekerja Perempuan Sehat Produktif (GP2SP) yang dilaksanakan bersama oleh memperlemah kemampuan perempuan untuk beristirahat selama trimester terakhir
Kementerian Kesehatan, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Ketenagakerjaan, dan kehamilan, menyusui dan merawat anak mereka yang masih kecil, yang semuanya akan
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Program ini bertujuan mempengaruhi status gizi anak-anak mereka.
untuk meningkatkan status kesehatan dan gizi pekerja perempuan sehingga mereka
dapat merawat anak-anak mereka dan mencapai produktivitas kerja maksimum untuk UNICEF telah menyoroti perlunya mempromosikan kesetaraan gender, yang berarti
mendukung keluarga mereka. Meskipun ada prakarsa ini, ketidaksetaraan gender dan bahwa perempuan dan laki-laki, serta anak perempuan dan anak laki-laki menikmati
praktik-praktik berbahaya tetap ada. hak, sumber daya, peluang, dan perlindungan yang sama. Pergeseran dalam kesetaraan
gender tidak hanya membutuhkan perubahan kesadaran dan perilaku, tetapi juga
Perempuan Indonesia lebih rentan terhadap kemiskinan sebagai akibat ketidaksetaraan perubahan dalam dinamika kekuatan mendasar yang membentuk norma dan hubungan
gender dalam distribusi pendapatan, akses ke kredit, kontrol atas properti dan sumber daya gender (UNICEF, 2017).
alam, dan akses ke mata pencaharian. Data dari 2012 menunjukkan bahwa 63,3% wanita
menikah antara usia 15-49 tahun dipekerjakan pada tahun sebelumnya tetapi 26,3% dari Kepercayaan dan Praktik Budaya
wanita yang dipekerjakan tersebut tidak dibayar baik secara tunai maupun dalam bentuk
barang, termasuk mereka yang bekerja di pertanian pribadi dan dalam bisnis keluarga Keyakinan sosial dan budaya dapat mempengaruhi gizi baik secara positif maupun
(BPS & Kemenkes, 2012). Selanjutnya, perempuan menghadapi diskriminasi dalam hal negatif. Tinjauan praktik gizi sensitif di Indonesia menyoroti adanya tabu sosial dan
upah. Industri pakaian (atau garmen) di Indonesia merupakan salah satu kasus terburuk budaya dalam hal pembatasan makanan dan pemahaman tentang gizi pada ibu dan
dalam hal kesenjangan upah di sektor manufaktur negara. Rata-rata, pekerja perempuan anak (Alive & Thrive, 2018). Di antara kelompok populasi tertentu, makanan dibatasi
informal di industri garmen Indonesia berpenghasilan 20% lebih rendah daripada rekan pada masa kehamilan yakni termasuk daging, sayuran dan buah yang mengandung
laki-laki mereka untuk pekerjaan yang sama dan dengan latar belakang pendidikan yang vitamin dan mineral penting seperti zat besi dan vitamin A. Ada juga pembatasan selama
sama (rendah) (Indonesia Investments, 2018). Hanya 49,6% wanita di tahun 2012 memiliki periode setelah melahirkan karena beberapa makanan diyakini menunda penyembuhan
rumah sementara 41,4% memiliki lahan, yang sebagian besar berbagi kepemilikan (BPS setelah melahirkan atau untuk mempengaruhi rasa dan kualitas ASI. Beberapa ibu tidak
& Kemenkes, 2012). Partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan juga terkait memberikan kolostrum kepada bayi mereka yang baru lahir karena mereka memiliki
dengan capaian di bidang kesehatan. Perempuan yang berpartisipasi dalam setidaknya persepsi negatif tentang manfaatnya dan berpikir bayi mereka akan jatuh sakit.
tiga keputusan rumah tangga lebih mungkin untuk mendapatkan pelayanan ANC, dan
untuk melahirkan dan mendapatkan pelayanan paska persalinan dari penyedia layanan Penelitian formatif dilakukan di 11 kabupaten dengan kombinasi survei, diskusi kelompok
yang terlatih. Mereka juga melaporkan tingkat kematian bayi, anak, dan balita yang lebih terarah dan wawancara mendalam, menemukan kurangnya kesadaran tentang
rendah daripada wanita yang tidak berpartisipasi dalam keputusan rumah tangga (BPS pentingnya gizi pra-natal dan adanya keberlanjutan mitos tentang makanan dari nenek
& Kemenkes, 2012). (IMA World Health, 2018). Ada keyakinan yang luas bahwa madu baik untuk bayi, bahwa
30 • Pembangunan Gizi di Indonesia 2. Analisis Situasi: Capaian dan Tantangan • 31
susu formula sama baiknya dengan ASI, dan ASI tidak mencukupi sehingga diperlukan 2.4. Respons terhadap Beban Ganda Masalah Gizi
makanan tambahan. Ada juga persepsi di antara ibu dan nenek di Indonesia, bahwa
untuk anak “lebih gemuk lebih sehat” meskipun persepsi “badan ideal” untuk wanita Bagian berikut membahas pencapaian dan tantangan pemerintah dalam menanggapi Beban
dewasa adalah tinggi dan langsing sedangkan berotot untuk pria dewasa (Rachmi, Ganda Masalah Gizi. Kemajuan dikaji terhadap kebijakan dan strategi yang ditetapkan dalam
Hunter, Li, & Barr, 2017). konsolidasi Kajian Sektor Kesehatan 2014 yang digunakan sebagai dasar untuk RPMJN 2014-
2019. Bagian ini dibagi menjadi tiga bagian yang sesuai dengan tiga kelompok intervensi yang
Kampanye komunikasi perubahan perilaku sosial (Social Behaviour Communication diperlukan untuk mencapai gizi optimal seperti yang diilustrasikan pada Gambar 1: intervensi
Change/SBCC) dilakukan berdasarkan pesan yang yang dihasilkan dari riset formatif gizi spesifik, intervensi gizi sensitif dan lingkungan yang mendukung.
yang saat ini sedang berjalan dan belum dievaluasi. Keberhasilan aksi SBCC dalam
mempengaruhi perilaku terkait gizi di negara-negara tetangga (Sanghvi, Haque, & Roy, Pendekatan pemerintah untuk memperbaiki gizi diatur dalam bagian terpisah dari undang-
2016) memperkuat pentingnya memperkenalkan kebijakan untuk mendukung SBCC. undang yang berkaitan dengan kesehatan dan makanan. UU Kesehatan No. 36/2009
menetapkan tujuan prioritas untuk meningkatkan gizi, dan strategi untuk Program Perbaikan
Keadaan Darurat Gizi Masyarakat. Strategi tersebut meliputi: (a) peningkatan pola konsumsi makanan sesuai
dengan gizi seimbang; (b) peningkatan kesadaran dan perilaku gizi, aktivitas fisik, dan
Bencana adalah hal yang umum terjadi di Indonesia dapat berupa gempa berulang, kesehatan; (c) peningkatan akses, dan kualitas layanan gizi sesuai dengan informasi ilmiah dan
banjir dan kekeringan yang kerap terjadi menyebabkan penderitaan manusia dan teknis; dan (d) peningkatan sistem pengawasan pangan dan gizi. Undang-undang lebih lanjut
kerusakan ekonomi. Hal ini mengakibatkan hilangnya aset dan pendapatan pada rumah menetapkan kewajiban pemerintah termasuk dalam merespon kebutuhan gizi keluarga yang
tangga yang rentan, tempat tinggal sementara yang meningkatkan paparan penyakit hidup dalam kemiskinan dan/atau yang terdampak oleh kejadian darurat. Pemerintah juga
dan konsumsi makanan yang tidak memadai, kenaikan harga, penurunan produksi dan bertanggung jawab untuk meningkatkan pengetahuan dan kesadaran tentang pentingnya gizi.
kekurangan pangan (SMERU, 2015). Semua faktor ini meningkatkan risiko kekurangan UU Pangan No. 18/2012 menetapkan bahwa pemerintah berkewajiban mengatur perdagangan
gizi, terutama pada anak. Sementara Indonesia telah menghindari krisis gizi yang serius pangan dengan tujuan menjaga pasokan dan harga makanan yang stabil, mengelola cadangan
dalam beberapa tahun terakhir, perubahan iklim cenderung meningkatkan frekuensi dan makanan dan menciptakan iklim bisnis yang sehat. Undang-undang itu juga menyatakan
intensitas bencana tersebut di Indonesia sehingga meningkatkan risiko terhadap gizi. bahwa Rencana Aksi Pangan dan Gizi harus disiapkan setiap lima tahun baik di tingkat pusat
maupun daerah.
Pesan Kunci
2.4.1. Lingkungan yang Mendukung
1. Diet yang tidak adekuat dan kerawanan pangan berkontribusi terhadap kekurangan
gizi dan obesitas: Lingkungan yang mendukung mengacu pada semua elemen yang diperlukan untuk
• Hampir setengah penduduk (45,7%) dengan tingkat kecukupan energi sangat memberikan dukungan untuk intervensi dan program gizi (The Lancet, 2013). The Lancet
kurang (<70% AKE) dan 36,1% dengan tingkat kecukupan protein sangat Maternal and Child Nutrition Series yang diterbitkan pada tahun 2013, menyimpulkan
kurang (<80% AKP). sementara 95,5% penduduk yang berusia 5 tahun keatas bahwa ada tiga faktor esensial yang membentuk lingkungan yang mendukung:
mengonsumsi kurang dari lima porsi buah atau sayur dalam sehari. pengetahuan dan bukti, politik dan pemerintahan, serta kapasitas dan sumber daya.
• Akses ekonomi (keterjangkauan) pangan dibandingkan dengan ketersediaan Penilaian Kapasitas Gizi (Nutrition Capacity Assessment) terhadap faktor-faktor esensial
pangan adalah penyebab utama kerawanan pangan. tersebut telah dilakukan oleh UNICEF, Bappenas dan Kementerian Kesehatan, dan laporan
• Pengeluaran untuk makanan dan minuman jadi, yang sebagian besar cenderung penilaian kapasitas gizi tersebut yang dikeluarkan pada tahun 2018 kemudian menjadi
diproses, meningkat sebanyak empat kali lipat antara 2007 dan 2017 yang salah satu dasar penulisan background paper ini (UNICEF, Bappenas & Kemenkes, 2018).
didorong oleh industri makanan dan minuman yang sedang berkembang. Penilaian ini menggunakan pendekatan metode campuran termasuk tinjauan ulang
2. Penyakit, akses yang tidak memadai ke pelayanan kesehatan, dan air dan sanitasi, dokumen yang relevan, diskusi kelompok terarah dan wawancara yang dilakukan di
terkait dengan Beban Ganda Masalah Gizi: tujuh provinsi dan kabupaten yang telah dipilih sebelumnya.
• Penyakit infeksi terus menyebar dan memiliki keterkaitan dengan kekurangan gizi.
• PTM sedang meningkat sebagai akibat dari meningkatnya obesitas dan Pemerintah telah memahami pentingnya lingkungan yang mendukung dan yang
menambah beban sistem pelayanan kesehatan. pertama dari dua kebijakan yang termasuk dalam konsolidasi Kajian Sektor Kesehatan
3. Pemberian makan pada bayi dan anak dan asupan makanan ibu yang buruk, serta 2014 adalah untuk:
praktik perawatan ibu dan pengasuhan anak yang suboptimal adalah penyebab
penting dari kekurangan gizi dan obesitas: • “Meningkatkan kepemimpinan yang efektif, koordinasi multi-sektor, dan
• Tingkat menyusui meningkat tetapi praktik pemberian makanan pendamping ASI pembagian tanggung jawab untuk mendukung Gerakan 1.000 HPK7 di tingkat
yang tidak sesuai terjadi di mana-mana. pusat dan daerah”.
4. Perekonomian yang berubah, demografi, relasi gender, keyakinan sosial dan budaya,
dan perubahan iklim di Indonesia menawarkan peluang serta ancaman terhadap gizi.
7 Gerakan 1.000 Hari Pertama Kehidupan diluncurkan oleh empat menteri pemerintah ketika Indonesia bergabung
dalam Gerakan global Peningkatan Gizi (Scaling Up Nutrition/SUN Movement) pada tahun 2011.
32 • Pembangunan Gizi di Indonesia 2. Analisis Situasi: Capaian dan Tantangan • 33
Pengetahuan dan Bukti Selanjutnya hal tersebut mengakibatkan adanya kesenjangan informasi penting dan
tidak adanya pengumpulan indikator kunci. Data regular yang relevan tidak dikumpulkan
Meskipun konsolidasi Kajian Sektor Kesehatan 2014 tidak memasukkan kebijakan atau yakni kecacingan, defisiensi mikronutrien, komposisi tubuh dan kebugaran fisik, dimana
strategi khusus yang berkaitan dengan pengetahuan dan bukti terkait gizi, ketersediaan dengan tersedianya data tersebut akan memungkinkan pemerintah mengatasi kekurangan
data gizi yang tepat waktu dan kredibel, yang disajikan dengan cara yang dapat diakses, vitamin dan mineral, dan juga untuk menangani peningkatan epidemi obesitas dan PTM.
dapat membantu pemerintah dan pelaku lainnya untuk bersikap responsif terhadap Tidak ada sistem informasi manajemen gizi yang utuh yang memungkinkan pelacakan
tantangan, dan memastikan akuntabilitas (The Lancet, 2013). Setidaknya delapan cakupan, kinerja dan kualitas layanan gizi. Hal ini harus mencakup indikator seperti
survei sekali waktu (cross-sectional) dan sistem pengumpulan data rutin yang berbeda jumlah perempuan dan orang dewasa yang menerima konseling tentang PMBA dan/
digunakan di Indonesia untuk mengumpulkan informasi gizi dan sejumlah besar data atau pencegahan obesitas, jumlah petugas kesehatan yang dilatih, tingkat kepatuhan
dikumpulkan di tingkat pusat dan daerah (lihat Lampiran 3). Selain itu, studi satu-kali konsumsi Tablet Tambah Darah, dan basis data tentang suplai dan pengadaan suplemen
dilakukan bertujuan untuk mendapatkan wawasan tentang aspek gizi tertentu atau untuk gizi dan peralatan. Selain itu, data tidak selalu dipilah berdasarkan kabupaten atau
mengukur dampak dari intervensi tertentu. Studi-studi ini biasanya dilakukan dalam sub- kelompok populasi yang akan memungkinkan pemanfaatan data untuk menangani
populasi dan tidak diulang. Pencapaian penting di Indonesia adalah kemampuan untuk masalah disparitas. Pengetahuan tentang Beban Ganda Masalah Gizi pada kelompok
melacak capaian target gizi yang terdapat dalam RPJMN 2015-2019 dimana data dari populasi yang berbeda (wanita, remaja, anak sekolah terutama usia 5-12 tahun, dan
indikator yang relevan dikumpulkan secara teratur. Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) kelompok etnis yang berbeda) dan dampak intervensi pada konteks yang berbeda masih
secara luas dianggap dapat diandalkan dan juga mengumpulkan data yang relevan dengan perlu ditingkatkan. Secara khusus, pemahaman tentang epidemi obesitas di Indonesia,
semua target tersebut setiap lima tahun. Pencapaian penting lainnya adalah penerapan bagaimana dan mengapa pola konsumsi pangan berubah, dan cara yang efektif untuk
sistem surveilans gizi melalui Kementerian Kesehatan, yang berdasarkan survei sekali mengendalikan epidemi obesitas masih sangat terbatas. Pemahaman tentang penyebab
waktu (cross-sectional) tahunan dengan menggunakan 30 teknik pengambilan sampel malnutrisi dalam konteks yang berbeda masih terbatas dan faktor keberhasilan program
secara klaster di tingkat kabupaten untuk mengumpulkan data dari 15 indikator gizi. Data yang dapat direplikasi dan disesuaikan untuk situasi yang berbeda tidak didokumentasikan
tersebut memungkinkan status gizi anak di bawah usia lima tahun dan wanita hamil dan disebarluaskan secara rutin.
dapat dilacak untuk mendukung perencanaan layanan.
Politik dan Pemerintahan
Namun, ada tantangan besar. Pertama, kapasitas yang terbatas dalam menganalisis dan
menggunakan sejumlah besar data yang dikumpulkan. Pemerintah kabupaten umumnya Komitmen politik
tidak menggunakan informasi terkait gizi secara efektif dalam perencanaan, pemantauan, Komitmen nasional untuk gizi ditunjukkan melalui keputusan pemerintah untuk
dan evaluasi program. Sebaliknya, data rutin tidak dianalisis di tingkat kabupaten memasukkan target gizi dalam RPJMN 2014-2019 dan komitmen ini telah menguat dalam
tetapi hanya dikumpulkan dan diteruskan ke tingkat yang lebih tinggi. Kedua, sistem beberapa tahun terakhir. Pemerintah telah berjanji untuk memenuhi target gizi global
pengumpulan data tidak terintegrasi, menghambat kemampuan untuk merancang, WHA pada tahun 2025 (WHO, 2012) dan merupakan penandatangan target yang sama
merencanakan, dan memantau intervensi yang efektif. Suatu sistem informasi yang yang terdapat dalam SDGs (UN, 2015). Pada tahun 2011, Indonesia bergabung dengan
terintegrasi akan memerlukan indikator gizi relevan yang terstandardisasi dari seluruh Gerakan Peningkatan Gizi (Scaling up Nutrition/SUN Movement) dan meluncurkan
sektor terkait untuk digabungkan menjadi satu basis data untuk dilakukan analisis. Saat Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi pada Seribu Hari Pertama Kehidupan.
ini, sistem informasi beroperasi secara independen mengumpulkan data pada kelompok
populasi yang berbeda selama periode waktu yang berbeda. Misalnya, data ketahanan Inisiatif yang lebih baru adalah peluncuran pada tahun 2017 tentang Gerakan Penurunan
pangan dan keragaman pola makan tidak dikumpulkan secara rutin, dan temuan dari Stunting Nasional sebagai bagian dari kampanye anti-kemiskinan yang lebih luas dari
survei dipublikasikan secara terpisah. Kurangnya sistem informasi terintegrasi juga Pemerintah. Ini bertujuan untuk memperkuat dukungan politik dan kepemimpinan
mencegah analisis mendalam tentang penyebab dan faktor yang mempengaruhi tingkat untuk gizi di semua tingkatan, dan untuk memperkuat koordinasi dan konvergensi lintas
malnutrisi pada kelompok populasi yang berbeda. Ketiga, metode dan definisi indikator berbagai sektor. Pada tahun 2018, gerakan ini sedang dilaksanakan di 100 kabupaten
yang terstandar tidak selalu diterapkan. Contohnya adalah definisi dari indikator ‘ASI prioritas dengan tingkat kemiskinan dan prevalensi stunting yang tinggi, dan rencananya
eksklusif’. Sesuai dengan WHO (WHO, 2007), Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia adalah untuk memperluas ke seluruh 514 kabupaten yang ada pada 2021. Gerakan
yang dilakukan setiap lima tahun mendefinisikan ‘pemberian ASI eksklusif’ sebagai Masyarakat untuk Hidup Sehat (Germas), yang dimulai tahun 2016, adalah program
proporsi bayi usia 0–5 bulan yang diberi ASI eksklusif dan mencakup semua bayi yang kesehatan masyarakat nasional yang juga menggunakan pendekatan multisektoral.
ada pada saat survei sedang disusui secara eksklusif. Definisi ini berbeda dari indikator Program ini melibatkan 18 kementerian dan lembaga. Salah satu dari enam kegiatan
yang digunakan oleh RISKESDAS yang mencakup semua data anak yang berusia hingga utama Germas adalah penyediaan makanan sehat dan akselerasi perbaikan gizi.
23 bulan yang sedang, atau pernah, mendapatkan ASI eksklusif sampai usia 6 bulan.
Sehingga, kedua set data tersebut tidak dapat dibandingkan.
34 • Pembangunan Gizi di Indonesia 2. Analisis Situasi: Capaian dan Tantangan • 35
Tabel 3. Intervensi Program untuk Menanggulangi Beban Ganda Masalah Gizi Untuk pencegahan obesitas pada usia dewasa diperlukan strategi nasional terkait
di Sepanjang Siklus Kehidupan pengaturan makanan dan aktifitas fisik yang didalamnya mencakup lingkungan, kebijakan
dan program yang mendukung, meliputi, pencegahan di tingkat masyarakat, deteksi dini,
Tahap Intervensi Langsung Intervensi Tidak Langsung dan tatalaksana obesitas di fasilitas kesehatan. Menurut WHO beberapa contoh intervensi
Kehidupan (Gizi Spesifik) (Gizi Sensitif) yang terbukti sangat efektif dan cukup efektif adalah (WHO, 2009):
Konsepsi 1. Pemberian 1. Garam 1. Mencegah 1. Kebijakan fiscal • Kebijakan pemerintah untuk mendukung diet yang sehat misalnya mengganti
sampai mikronutrien (Tablet beryodium pernikahan anak pangan
kelahiran Tambah Darah atau 2. Fortifikasi dan kehamilan a. Subsidi pangan jenis minyak yang dipakai untuk mengurangi konsumsi lemak jenuh.
multi-mikronutrien) tepung remaja b. Pajak lemak/gula • Kebijakan untuk lingkungan yang mendukung aktifitas fisik, terkait transportasi
2. Pemberian makanan 3. Fortifikasi 2. Program bantuan c. Retribusi dan kegiatan rekreasional.
tambahan dengan minyak tunai bersyarat 2. Perencanaan kota
energi dan protein (dengan a. Jalur sepeda • Himbauan untuk menggunakan tangga sebagai bagian dari aktifitas fisik (termasuk
seimbang pendidikan gizi) b. Taman menyebarkan informasi tentang manfaat penggunaan tangga sebagai bagian dari
3. Obat cacing c. Daerah pedestrian aktifitas fisik).
4. Pengurangan asap d. Sanitasi
rumah tangga/rokok e. Rumah bebas • Strategi pengendalian harga (kebijakan fiskal) dan pengaturan label makanan
5. Pengobatan radikal rokok di titik-titik penjualan makanan seperti toko kelontong, cafetaria, restoran untuk
untuk dugaan malaria mendukung makanan yang sehat.
6. Kelambu
berinsektisida • Pendekatan multi sasaran untuk mendorong jalan kaki dan bersepeda ke sekolah,
kegiatan santai dan jalan yang sehat.
Anak balita 1. Promosi pemberian 1. Kode pemasaran
(0-5 tahun) ASI eksklusif pengganti ASI Koordinasi
2. Promosi pemberian 2. Program bantuan
makanan pendamping tunai bersyarat Konsolidasi Kajian Sektor Kesehatan 2014 merekomendasikan untuk:
ASI yang tepat (dengan
3. Intervensi cuci tangan pendidikan gizi) • “Memperkuat koordinasi multi-sektor dan multi-stakeholder dari Gerakan 1.000
dan kebersihan
4. Pemberian vitamin HPK di tingkat pusat dan daerah.”
A dan zinc, dan
mikronutrien lainnya Rekomendasi ini baru sebagian terpenuhi. Indonesia adalah anggota Global SUN
sesuai kebutuhan
5. Obat cacing Movement dan di tahun-tahun awal Gerakan tersebut, berbagai platform dibentuk untuk
6. Manajemen/ meningkatkan koordinasi dan kolaborasi. Salah satunya dan yang terpenting adalah
tatalaksana gizi buruk dibentuknya Gugus Tugas Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi yang dipimpin
akut
oleh Kementerian Koordinasi PMK (Pembangunan Manusia dan Kebudayaan) sebagai
Anak 1. Berbasis sekolah 1. Tidak ada mesin Ketua Gugus Tugas dan melibatkan berbagai sektor kementerian dan lembaga terkait.
(5-18 tahun) 2. Menyediakan penjual otomatis Kelemahan utama dengan Gugus Tugas Gizi Nasional ini adalah bahwa gugus tugas ini
makanan sehat atau penjualan belum memiliki kepemimpinan di tingkat yang lebih tinggi dengan otoritas yang diperlukan
3. Promosi dan makanan cepat
penyediaan latihan saji di sekolah atas kementerian lainnya. Akibatnya, masing-masing sektor terus merencanakan,
fisik harian 2. Tidak ada iklan menganggarkan, dan melaksanakan programnya secara mandiri. Selain itu, partisipasi
4. Pemberian Tablet makanan yang dari mitra non pemerintah dalam Gugus Tugas tersebut juga masih perlu ditingkatkan.
Tambah Darah ditujukan untuk
mingguan / obat anak-anak Saat ini pemerintah sedang meningkatkan Gerakan Penurunan Stunting Nasional yang
cacing dikoordinasikan oleh Kantor Wakil Presiden yang memiliki wewenang untuk melibatkan
semua kementerian dan lembaga terkait. Salah satu yang diusulkan adalah memperkuat
Dewasa 1. Konseling oleh 1. Pelabelan Gugus Tugas Nasional untuk Gizi melalui revisi undang-undang untuk membentuk otoritas
(18+ tahun) penyedia layanan makanan
medis tentang diet a. Petunjuk yang lebih besar yang akan mengarah pada peningkatan koordinasi dan aksi multisektoral.
sehat (signposting)
2. Dorongan di terkait gizi Jaringan pendukung juga dibentuk sebagai bagian dari SUN Movement: jaringan PBB/
tempat kerja untuk b. Kontrol klaim
berolahraga dan makanan donor, jaringan masyarakat sipil, jaringan bisnis dan jaringan sains/akademisi. Jaringan
makan makanan sehat yang ada tersebut perlu disegarkan kembali untuk dapat bekerja bersama secara optimal
3. Berolahraga secara
dan perlu diberi pemahaman kembali mengenai tantangan gizi yang ada saat ini. Dimana
teratur
hal ini berarti perlu memberi perhatian yang lebih besar pada Beban Ganda Masalah Gizi.
Sumber: Shrimpton & Rokx, 2013 Keterlibatan dan koordinasi sektor bisnis menjadi sangat penting, dan telah terjadi
peningkatan yang signifikan dalam keterlibatan sektor swasta dalam bidang gizi selama
38 • Pembangunan Gizi di Indonesia 2. Analisis Situasi: Capaian dan Tantangan • 39
empat tahun terakhir. Jaringan bisnis SUN telah membentuk Komite Pengarah pada tahun tingkat daerah. Totalnya, Rp 141,9 triliun setara dengan US$ 9,8 miliar (dengan nilai tukar
2015 yang mencakup perwakilan dari berbagai perusahaan sektor swasta. Pencapaian pada tahun 2018). Alokasi yang signifikan (20% dari total) diberikan kepada Kementerian
penting lainnya adalah keterlibatan sektor swasta dalam fortifikasi tepung terigu, garam Kesehatan dan proporsi yang lebih kecil dialokasikan untuk Kementerian Sosial (10%) dan
dan minyak, program obat cacing untuk anak-anak pra-sekolah dan program ‘Gerakan ke Kementerian Pekerjaan Umum (4%). Alokasi terbesar untuk penurunan stunting (42%)
Pekerja Perempuan Sehat Produktif’ yang mulai direvitalisasi tahun 2016 yang tujuannya akan dialokasikan ke Dana Desa (lihat Kotak 4) dimana hal ini menunjukkan perhatian
adalah untuk memperkenalkan makanan bergizi seimbang bagi pekerja pabrik, terutama pemerintah dalam pemberdayaan masyarakat.
untuk meningkatkan gizi perempuan dewasa muda. Meskipun ada pencapaian tersebut,
pemahaman sektor swasta akan peraturan pemerintah yang ada saat ini, dan koordinasi,
juga dalam mengatasi konflik kepentingan masih perlu diperbaiki. Kotak 4. Fokus pada Sumber Daya Potensial untuk Gizi melalui Dana Desa
Sementara koordinasi untuk program gizi ditekankan di tingkat pusat, namun di tingkat
Dana Desa dialokasikan setiap tahun untuk setiap desa di Indonesia dari anggaran
provinsi dan kabupaten, hal ini masih perlu ditingkatkan. Bappeda bertanggung jawab untuk
pusat. Jumlah alokasi untuk setiap desa dihitung berdasarkan populasi, daerah dan
secara teratur membawa berbagai sektor bersama-sama berkoordinasi dan memantau
tingkat kemiskinan (Peraturan Pemerintah, 2014). Pengaturan penggunaan Dana Desa
pelaksanaan RAD-PG, tetapi yang dilakukan umumnya terbatas pada pemantauan
ditetapkan dalam peraturan pemerintah (No. 60, 2014) dan menetapkan bahwa dana
anggaran saja (Institute of Social and Economic Research, 2018 Unpublished). Hasilnya
tersebut diperuntukkan bagi keperluan administrasi pemerintah, pembangunan,
adalah bahwa masing-masing sektor mengelola program mereka secara mandiri tanpa
pemberdayaan masyarakat, dan kegiatan masyarakat.
integrasi yang tepat.
Dana tersebut dialokasikan berdasarkan tujuan pembangunan desa yang disepakati
Baik koordinasi horizontal lintas sektor maupun koordinasi vertikal antara pusat melalui pertemuan desa dan sesuai dengan prioritas pemerintah kabupaten, provinsi
dan daerah masih perlu ditingkatkan. Sejak desentralisasi, provinsi dan kabupaten dan pusat. Setiap desa menerima daftar kegiatan sektoral dimana mereka dapat
memiliki kemandirian yang jauh lebih besar dimana hal tersebut memiliki dampak pada memilih untuk menggunakan sebagian dari alokasi tersebut. Kementerian Desa
melemahnya hubungan pusat dan daerah. baru-baru ini menerbitkan Buku Saku Desa untuk mengatasi stunting (Kementerian
Desa PDTT, 2017). Buku ini menetapkan 10 kategori potensial dan 48 subkategori
Kapasitas dan Sumber Daya yang dapat dibiayai oleh Dana Desa. Kategori termasuk pendanaan untuk: air dan
sanitasi; insentif, pelatihan dan biaya perjalanan untuk petugas kesehatan dan
Sumber daya keuangan kader (sukarelawan masyarakat); pelayanan dan dukungan untuk wanita hamil dan
Meskipun tidak ada strategi khusus yang berkaitan dengan sumber pendanaan yang menyusui; pemantauan pertumbuhan dan gizi anak pra-sekolah dan usia sekolah; dan,
diusulkan dalam konsolidasi Kajian Sektor Kesehatan 2014, tetapi ada beberapa pencapaian pemberdayaan masyarakat untuk mempromosikan gaya hidup sehat.
penting yang terjadi. Pencapaian utama adalah peningkatan potensi pendanaan untuk
Meskipun kegiatan ini memiliki potensi untuk mengurangi stunting, kegiatan
gizi yang berasal dari sumber pendanaan pusat maupun daerah. Desentralisasi telah
tersebut perlu dihubungkan dengan kegiatan lain yang mendukung. Misalnya,
menyebabkan peningkatan pengalihan dana dari pusat ke pemerintah daerah - dari 13%
membangun toilet dan memperbaiki fasilitas sanitasi tanpa adanya konseling
belanja pemerintah pusat pada tahun 2000 (sebelum desentralisasi) menjadi sekitar 30%
tentang kebersihan dan cuci tangan akan memiliki dampak yang terbatas. Selain
pada tahun 2010 (SMERU, 2012). Selain itu, Dana Desa menyediakan potensi sumber
itu, ada banyak permintaan untuk penggunaan Dana Desa sehingga advokasi untuk
pendanaan yang lebih lanjut untuk gizi. Selain itu, tersedia beberapa sumber pendanaan
gizi akan menjadi sangat penting. Kendala kapasitas saat ini di tingkat sub-nasional
lain yang dapat diakses oleh pemerintah kabupaten dan puskesmas (Institute of Social
menunjukkan bahwa tanpa dukungan teknis, pemerintah desa akan menemukan
and Economic Research, 2018 Unpublished).
kesulitan untuk memahami isi dokumen misalnya pada panduan Buku Saku Desa.
Mengukur peningkatan dalam hal pendanaan tidak mudah. Beberapa upaya telah dilakukan Sumber: (Institute of Social and Economic Research, 2018 Unpublished)
untuk memperkirakan anggaran nasional dan pengeluaran untuk gizi. Perhitungan untuk
membuat anggaran perencanaan gizi di Indonesia telah dilakukan oleh SUN Movement
Perbedaan antara biaya yang dihitung oleh SUN Movement dan Kementerian Keuangan
pada tahun 2015. Total biaya tahunan diperkirakan setara dengan US$ 2,3 miliar (Rp 32,3
menunjukkan bahwa belum adanya sistem penganggaran yang disepakati di Indonesia
triliun dengan nilai tukar pada tahun 2018) (SUN Movement, 2015). Mayoritas (90%) adalah
untuk menghitung biaya teoretis yang secara efektif dapat mengatasi masalah gizi dalam
untuk biaya program gizi sensitif. Perhitungan tersebut tidak termasuk biaya rencana untuk
segala bentuknya terhadap pengeluaran yang aktual. Sebaliknya, Beban Ganda Masalah
mengatasi obesitas. Baru-baru ini, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) telah menghitung
Gizi ditangani melalui beberapa sumber pendanaan pemerintah dan belum tersedia
ulang alokasi anggaran untuk gizi agar konsisten dengan target penurunan stunting
perkiraan yang tepat untuk jumlah pengeluaran yang diperlukan maupun yang aktual.
yang terkandung dalam RJPMN 2015-2019 (Kementerian Keuangan, 2018). Menurut
Diperkirakan, lebih banyak dana diperlukan untuk dapat secara efektif meningkatkan
perhitungan ini, total Rp 49,7 triliun dialokasikan pada 2018 untuk berbagai kementerian di
intervensi gizi spesifik dan gizi sensitif dalam mencapai cakupan yang menyeluruh (lihat
tingkat pusat untuk penurunan stunting, sementara Rp 92,2 triliun akan dialokasikan pada
bagian 1.4.2 dan 1.4.3).
40 • Pembangunan Gizi di Indonesia 2. Analisis Situasi: Capaian dan Tantangan • 41
Semakin kompleksnya pengaturan pendanaan untuk gizi di tingkat daerah, hal ini puskesmas (24%) yang belum memiliki ahli gizi di tahun 2014 (Kemenkes, 2014). Selain
menyulitkan dalam memastikan jumlah dana yang sebenarnya disalurkan untuk perbaikan itu, Penilaian Kapasitas Gizi (Nutrition Capacity Assessment) 2018 menemukan bahwa ahli
gizi. Penilaian Kapasitas Gizi (Nutrition Capacity Assessment) 2018 menemukan bahwa gizi sering dinilai rendah dan kurang dimanfaatkan. Dalam melakukan tugasnya, tenaga
kapasitas provinsi dan kabupaten dalam merencanakan, memprioritaskan, dan mengelola ahli gizi terlalu banyak fokus pada fungsi administratif dan penanganan kekurangan gizi,
berbagai dana secara efektif yang bertujuan untuk memberikan layanan gizi berkualitas dan kurangnya perhatian terhadap pencegahan Beban Ganda Masalah Gizi di masyarakat,
tinggi masih perlu ditingkatkan (Institute of Social and Economic Research, 2018 mengelola pemberian layanan dan mentoring petugas layanan gizi. Fokus pemerintah
Unpublished). Analisis yang dilakukan sebagai bagian dari penilaian menemukan bahwa dalam mengatasi obesitas dan kelebihan berat badan masih perlu ditingkatkan (Institute
pedoman standar yang ada belum sepenuhnya diterapkan oleh pemerintah daerah dalam of Social and Economic Research, 2018 Unpublished).
melakukan penganggaran atau alokasi dana untuk gizi. Salah satu cara untuk mengatasi
kesenjangan ini adalah dengan mengembangkan format penganggaran yang terstandar, Selain ahli gizi terdapat petugas kesehatan lainnya yang juga memberikan layanan gizi,
setidaknya untuk serangkaian intervensi gizi spesifik, dan memberikan panduan rinci yang diantaranya adalah bidan dalam menyediakan pelayanan selama kunjungan pemeriksanaan
konsisten untuk semua kabupaten dalam hal perencanaan dan pengelolaan anggaran. Hal kehamilan dan pelayanan terkait gizi di puskesmas dan posyandu serta kader posyandu
ini akan membantu dinas kesehatan kabupaten untuk merencanakan dan menganggarkan yang mengawasi pemantauan pertumbuhan anak, pemberian vitamin A, pemberian obat
program gizi secara lebih efektif. cacing, dan konseling PMBA. Dalam beberapa tahun terakhir, efektivitas sistem posyandu
perlu ditingkatkan (Bappenas, 2014). Tantangan utamanya adalah kurangnya remunerasi
Pasokan dan pengadaan bagi kader yang diharapkan untuk mengambil tanggung jawab yang cukup besar dengan
Sistem pasokan dan pengadaan, termasuk perencanaan, pembelian dan distribusi untuk insentif minimal.
suplai gizi, secara teori, dilaksanakan melalui Program Obat Gizi Nasional. Pasokan Tablet
Tambah Darah (TTD) untuk ibu hamil dan remaja putri, dan kapsul vitamin A dosis tinggi Tantangan selanjutnya adalah perlunya meningkatkan kualitas pelatihan baik kepada
untuk anak merupakan tanggung jawab pemerintah pusat. Dalam prakteknya, keputusan petugas sebelum melaksanakan pekerjaan (pre-service), maupun pelatihan bagi petugas
tentang alokasi anggaran dan prioritas suplai dibuat oleh Kepala Dinas Kesehatan yang sudah bekerja (in-service) dalam memberikan layanan gizi. Penilaian Kapasitas Gizi
Kabupaten sesuai dengan prioritas di kabupaten tersebut. Karena komunikasi antara tingkat (Nutrition Capacity Assessment) 2018 menemukan bahwa jumlah pelatihan terkait gizi
pusat dan daerah belum optimal, pengadaan obat seringkali mengalami keterlambatan, yang diterima oleh seseorang bervariasi, dan bahwa pelatihan yang disampaikan tidak
kekurangan atau kelebihan pasokan, yang berarti bahwa kebutuhan daerah tidak selalu sesuai dengan kebutuhan tenaga kerja gizi saat ini. Disimpulkan bahwa tidak ada paket
terpenuhi secara tepat waktu (Sunawang, 2015). standar untuk pelatihan terkait gizi pada petugas sebelum melaksanakan pekerjaannya
maupun ketika sudah bekerja yang mencakup intervensi gizi spesifik esensial yang
Untuk mengatasi keadaan tersebut, beberapa kabupaten mengatur pengadaan mereka harus diberikan melalui layanan kesehatan. Pada saat ini, hanya sedikit pelatihan yang
sendiri, misalnya dengan membeli mikronutrien lain sebagai alternatif untuk TTD dari memasukkan konten gizi kepada petugas yang bekerja di sektor terkait seperti pertanian,
pasar yang ada. Kelemahan dari pengaturan ini adalah kurangnya panduan tentang ketahanan pangan, perlindungan sosial atau air, sanitasi dan higiene. Hasilnya adalah
peraturan untuk pembelian langsung obat-obatan yang berkaitan dengan gizi di tingkat bahwa gizi tetap menjadi tanggung jawab sektor kesehatan dan kesadaran akan peran yang
kabupaten. Masalah lain dalam sistem pasokan adalah kompleksitas perencanaan dimainkan oleh sektor lain dalam menangani Beban Ganda Masalah Gizi menjadi terbatas.
pengadaan dan pembiayaan dengan peraturan berbeda yang mengatur penggunaan dana Mengingat besarnya kesenjangan secara jumlah maupun geografis tenaga gizi, analisis
di tingkat daerah. yang lebih menyeluruh terhadap beban kerja dan distribusi sumber daya manusia untuk
mendukung kegiatan gizi di tingkat pusat dan daerah diperlukan. E-learning menawarkan
Klarifikasi dan efisiensi sistem pasokan dan pengadaan diperlukan untuk memastikan cara praktis untuk menjangkau sejumlah besar petugas dengan paket pelatihan yang
bahwa kebutuhan dapat dipenuhi sepenuhnya di tingkat kabupaten. terstandardisasi dan terbaru.
dan tercermin dalam layanan yang diberikan di tingkat daerah dengan cakupan penuh.
(RENSTRA) Kementerian Kesehatan dan dalam layanan gizi di SPM yang akan dikerjakan
yang berdasarkan bukti global perlu dipastikan tercermin dalam SPM sektor kesehatan
• “Meningkatkan cakupan dan kualitas paket layanan kesehatan dan gizi terpadu
yang lama. Lampiran 3 mengilustrasikan bagaimana target terkait gizi yang terdapat
pelayanan dasar bidang kesehatan pada SPM Kesehatan tersebut terdiri dari 12
Dalam Negeri untuk lima sektor. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No 2 tahun 2018
dianggap penting untuk intervensi gizi spesifik. Saat ini, dari 14 intervensi tersebut hanya
mengatasi kekurangan gizi (The Lancet, 2013) dan juga empat intervensi lebih lanjut yang
Salah satu strategi yang diusulkan dalam konsolidasi Kajian Sektor Kesehatan 2014
peraturan (No. 43, 2016) dan dioperasionalkan oleh Kementerian Kesehatan. Jenis
tentang Standar Pelayanan Minimal (SPM) telah ditetapkan SPM untuk enam sektor
10 intervensi gizi esensial harus dimasukkan ke dalam kebijakan dan panduan nasional,
dan dikerjakan melalui layanan gizi di tingkat daerah dengan cakupan penuh. Paling tidak
dan 3 intervensi yang belum menjadi kebijakan nasional saat ini. Intervensi gizi spesifik
Tabel 4 menyajikan 10 intervensi gizi spesifik yang telah terbukti secara global (The Lancet
Maternal and Child Nutrition Series) pada tahun 2013 sebagai hal yang esensial untuk
dalam RPJMN 2015-2019 tercermin pada indikator yang terdapat dalam rencana strategis
bidang kesehatan sedang dalam proses penyusunan sebagai revisi pedoman teknis SPM
Intervensi Gizi Spesifik Esensial (direkomendasikann oleh Lancet Maternal and Child Nutrition Series 2013)
Konseling Program nasional · 61% bayi menerima inisiasi menyusui Cakupan menyusui masih rendah.
dan promosi dini/IMD (disusui dalam 1 jam Hambatan termasuk perempuan yang
menyusui Promosi menyusui melalui konseling pertama setelah kelahiran) (BPS & bekerja, aksesibilitas terhadap formula
interpersonal di fasilitas kesehatan Kemenkes, 2017) . pengganti ASI, dan keyakinan budaya dan
tabu.
dan di tingkat masyarakat. · 52% bayi usia 0-5 bulan mendapatkan
ASI eksklusif (BPS & Kemenkes, 2017).
· 54% anak usia 20-23 bulan
melanjutkan ASI (BPS & Kemenkes,
2017).
Konseling Implementasi sebagian · 37% anak usia 6-23 bulan Praktek pemberian makanan pendamping
dan promosi mendapatkan makanan pendamping yang adekuat masih belum universal.
Pemberian Pemberian makanan pendamping yang memenuhi minimum acceptable Hambatan termasuk perempuan yang
Makanan yang optimal dipromosikan melalui diet (MAD) (BPS & Kemenkes, 2012). bekerja, aksesibilitas terhadap formula
Pendamping ASI pengganti ASI, dan undang-undang yang
yang tepat konseling inter-personal di fasilitas · 58% anak usia 6-23 bulan menerima belum adekuat untuk melindungi anak usia
kesehatan dan di tingkat masyarakat. makanan pendamping dari kelompok di atas 6 bulan.
makanan dengan jumlah cukup (BPS
& Kemenkes, 2012).
Pemberian Program nasional · 25,2 % ibu hamil dengan KEK Sekitar seperempat ibu hamil diperkirakan
makanan menerima makanan tambahan menderita KEK. Penyediaan biskuit
tambahan dengan Kurang Energi Kronis (KEK) (Kementerian Kesehatan, 2018). memiliki kelemahan akibat kurangnya
energi-protein didefinisikan dengan LILA < kepatuhan karena perempuan berbagi
yang seimbang 23.5 cm dan terjadi pada ibu biskuit dengan yang lain, biaya yang tinggi
untuk ibu hamil hamil. Penanganan KEK adalah dan masalah pasokan.
dengan pemberian biskuit yang
mengandung energi dan protein
tinggi.
Pemberian multi- Program nasional · 24 % ibu hamil menerima Anemia masih menjadi masalah kesehatan
mikronutrien sekurangnya 90 Tablet Tambah Darah masyarakat di Indonesia. Tantangan
(atau Tablet Kebijakan saat ini adalah (TTD) (Kementerian Kesehatan, 2018). termasuk memastikan kepatuhan dan
Tambah Darah) memberikan setidaknya 90 hari rantai pasokan yang dapat diandalkan.
untuk ibu hamil Tablet Tambah Darah (TTD) untuk
ibu hamil.
2. Analisis Situasi: Capaian dan Tantangan • 43
Intervensi Implementasi di Indonesia Cakupan Tantangan
Manajemen/ Implementasi sebagian · Data tidak tersedia. Manajemen berbasis masyarakat untuk
tatalaksana SAM belum dimasukkan ke dalam
gizi buruk akut Kebijakan saat ini adalah kebijakan nasional. Akses ke manajemen
(Severe Acute penanganan berbasis fasilitas untuk berbasis fasilitas masih terbatas terutama
Malnutrition/ anak dengan gizi buruk akut (SAM). di daerah terpencil.
SAM)
Manajemen/ Implementasi tidak ada Anak-anak dengan MAM belum ditangani
tatalaksana secara komprehensif melalui dukungan
balita kurus Tidak ada kebijakan untuk dan konseling untuk ibu namun dengan
(moderate acute manajemen MAM. Kebijakan saat melakukan pemberian biskuit yang
ini adalah untuk memberikan biskuit
44 • Pembangunan Gizi di Indonesia
Garam beryodium Program nasional · 47% rumah tangga mengkonsumsi Konsumsi universal garam beryodium
garam beryodium berdasarkan titrasi belum terpenuhi.
Kebijakan saat ini terkait wajib
(Kementerian Kesehatan, 2013)
iodisasi garam sudah ada, dan
garam beryodium tersedia di
· 77% of rumah tanggan mengkonsumsi
seluruh daerah.
garam beryodium yang cukup
berdasarkan tes cepat (Kementerian
Kesehatan, 2013)
Pemberian Program nasional · 53,5% anak usia 6-59 bulan menerima Hampir separuh anak tidak menerima
vitamin A vitamin A sesuai standar (6-11 bulan 1 vitamin A sesuai standar sehingga cakupan
Kebijakan saat ini adalah pemberian
kali; 12-59 bulan 2 kali) (Kementerian penuh belum tercapai.
vitamin A untuk usia 6-59 bulan dua
kali setahun. Kesehatan, 2018)
Bubuk multi- Implementasi tidak ada Anemia terjadi pada 28% anak balita dan
mikronutrien / belum terkendali (Kemenkes, 2015).
fortifikasi tingkat Fortifikasi makanan tingkat rumah
rumah tangga tangga dengan bubuk multi-
mikronutrien dianjurkan untuk
memperbaiki status zat besi dan
mengurangi anemia pada bayi dan
anak usia 6-23 bulan.
Pemberian Tablet Program nasional · 1,4 % remaja puteri (usia 12-18 Anemia umum terjadi pada 23% remaja
Tambah Darah tahun) menerima TTD ≥52 butir putri (Kementerian Kesehatan, 2013).
(TTD) mingguan Kebijakan saat ini adalah (Kementerian Kesehatan, 2018) Tantangan termasuk memastikan
untuk remaja memberikan Tablet Tambah Darah kepatuhan dan rantai pasokan yang dapat
putri (TTD) secara mingguan untuk diandalkan.
remaja putri.
Pemantauan Program nasional · 54,6% anak balita dipantau Pemantauan pertumbuhan perlu disertai
pertumbuhan pertumbuhannya ≥ 8 kali dalam dengan konseling dan dukungan
Kebijakan saat ini adalah untuk 12 bulan terakhir (Kementerian berkualitas baik.
memantau pertumbuhan anak Kesehatan, 2018)
balita 8 kali per tahun untuk
mengidentifikasi anak dengan
stunting, wasting dan obesitas
2. Analisis Situasi: Capaian dan Tantangan • 45
46 • Pembangunan Gizi di Indonesia 2. Analisis Situasi: Capaian dan Tantangan • 47
Promosi praktik pemberian makanan pendamping ASI yang sesuai Kotak 5. Fokus pada Model PGBM yang Berhasil di Kabupaten Kupang
Diperlukan tindakan intensif untuk mengisi kesenjangan yang ada dalam layanan gizi.
Promosi praktik pemberian makanan pendamping ASI yang sesuai untuk anak adalah hal
Indonesia memiliki beban malnutrisi akut tertinggi ke-4 di dunia, dengan wasting
yang penting tetapi saat ini hanya sebagian yang diterapkan. Seperti yang disebutkan
dialami oleh sekitar 3 juta anak balita, di mana 1,3 juta menderita SAM. Angka
di bagian sebelumnya, ada banyak tantangan dengan pemberian makanan pendamping
kematian di antara anak dengan SAM jauh lebih tinggi dibandingkan dengan
yang menyebabkan kegagalan pertumbuhan pada sejumlah besar anak. Legislasi yang
anak yang bergizi baik tetapi cakupan dan kualitas penanganan berbasis fasilitas
jauh lebih kuat disertai dengan konseling dan dukungan yang lebih baik bagi ibu dan
tetap sangat rendah di Indonesia. UNICEF dalam kemitraan dengan Aksi Melawan
pengasuh diperlukan untuk memperbaiki praktik pemberian makanan pendamping.
Kelaparan (Action Against Hunger), telah mendukung Pemerintah Indonesia dalam
melaksanakan program PGBM di beberapa kecamatan terpilih di Kabupaten Kupang.
Manajemen malnutrisi akut
Kesenjangan utama dalam layanan adalah manajemen malnutrisi akut (wasting). Hasil yang sangat baik dicapai pada tahun terakhir pelaksanaan program (2017-2018),
Penanganan kekurangan gizi akut telah menjadi komponen standar pelayanan kesehatan dengan program PGBM diakui oleh pemerintah tingkat pusat dan daerah sebagai
di Indonesia selama bertahun-tahun. Pelayanan rawat inap untuk anak dengan gizi buruk intervensi penyelamatan jiwa yang telah terbukti, yang memiliki potensi besar
akut (SAM) disediakan di rumah sakit kabupaten dan provinsi, beberapa Puskesmas, dan untuk ditingkatkan sebagai layanan gizi esensial. Pada April 2018, rata-rata lebih dari
pusat pemulihan gizi/PPG (therapeutic feeding centres). Namun, cakupan dan kualitas 6.500 anak dilakukan skrining untuk SAM setiap bulan, dan 719 telah dirawat untuk
pelayanan untuk anak dengan kekurangan gizi akut masih sangat rendah. Kemenkes mendapatkan pengobatan, di antaranya lebih dari 60% berhasil pulih dan kembali
Kesehatan melaporkan bahwa mereka menangani kurang dari 4.500 anak SAM per tahun, ke status gizi normal. Program PGBM secara konsisten telah memenuhi tiga dari
dibandingkan dengan perkiraan beban kasus tahunan SAM sebesar 1,3 juta. Ini setara empat Indikator Kinerja Sphere1 sejak 2017: tingkat penyembuhan rata-rata 79%;
dengan kurang dari 1% anak SAM. Sebagian dari alasan untuk cakupan yang rendah adalah tingkat kegagalan 9%; dan tingkat kematian di bawah 1%. Sebuah survei SMART
tidak dapat diaksesnya fasilitas untuk penanganan SAM di daerah terpencil. Pemullihan gizi pada tahun 2018 menemukan peningkatan positif secara keseluruhan dalam status
berbasis masyarakat atau PGBM (Community-based management of acute malnutrition/ gizi dan kesehatan anak sejak dimulainya program pada tahun 2015. Namun, upaya
CMAM) adalah model yang telah diuji dalam berbagai konteks di seluruh dunia dan berkelanjutan diperlukan untuk mengurangi prevalensi SAM.
sekarang ditetapkan sebagai cara yang efektif untuk mengurangi angka kematian. Anak
Pada 2018, program ini akan diperluas ke empat kabupaten di NTT, yaitu kecamatan
dengan SAM di bawah usia enam bulan atau berusia 6-59 bulan dengan komplikasi medis
lain di Kabupaten Kupang, Kabupaten Sikka, TTS dan Kota Kupang.
atau tidak ada nafsu makan harus dirawat di rumah sakit untuk menerima layanan rawat
inap, perawatan berbasis fasilitas yang mengikuti protokol standar sementara mereka yang Sumber: UNICEF komunikasi personal
tidak memiliki komplikasi medis dan memiliki nafsu makan yang baik dapat menerima
layanan rawat jalan sesuai dengan protokol standar. Model PGBM telah dikembangkan Namun demikian, pelaksanaan manajemen malnutrisi akut sedang/kurus (Moderate Acute
dan diuji di beberapa kecamatan terpilih di Kabupaten Kupang di Indonesia. Dan telah Malnutrition) masih belum dilakukan secara komprehensif, hanya melakukan penyediaan
menunjukkan bahwa PGBM adalah intervensi penyelamatan hidup yang terbukti berhasil makanan tambahan tinggi energi dan protein tanpa dukungan yang memadai melalui
menangani anak dengan SAM dan menunjukkan bahwa PGBM dapat diintegrasikan ke kegiatan konseling. Mengingat bahwa anak kurus (MAM) yang tidak dikelola cenderung
dalam sistem kesehatan yang ada di Indonesia (lihat Kotak 5). menjadi SAM dan berisiko lebih tinggi terhadap kematian, merupakan hal yang prioritas
untuk memastikan bahwa manajemen anak kurus (MAM) dibangun di dalam sistem
kesehatan.
Target, Indikator dan Kegiatan Terkait Gizi dalam Perencanaan Sektor Utama Upaya nasional yang ada saat ini untuk mengurangi stunting perlu didampingi dengan
upaya untuk mengurangi wasting, anemia dan obesitas. Serupa dengan stunting, upaya
Potensi peran sektor terkait dalam meningkatkan gizi di Indonesia belum tercermin untuk mengatasi obesitas perlu dilakukan secara lintas sektoral. Meningkatkan akses
dalam rencana sektor utama. Analisis rencana strategis (RENSTRA) dari kementerian- ke konseling dan dukungan melalui layanan kesehatan, program kesehatan dan gizi
kementerian utama dilakukan untuk menetapkan bagaimana gizi tercermin dalam target sekolah, kontrol atas konten, penjualan dan pemasaran makanan dan minuman, hanyalah
sektoral, indikator, dan program untuk beberapa Kementerian kunci. Temuan ini terdapat beberapa aksi sektoral yang diperlukan untuk menghentikan peningkatan obesitas secara
dalam Lampiran 4 dan dirangkum dalam Tabel 6. efektif. Langkah pertama adalah meningkatkan kesadaran tentang penyebab dan dampak
kelebihan berat badan dan obesitas.
Target
Meskipun beberapa target gizi dimasukkan dalam Buku I RPJMN 2015-2019, hal ini tidak Tabel 6. Target dan Indikator terkait Gizi di Renstra Kementerian Utama
kemudian secara eksplisit tercermin sebagai target strategis dalam renstra kementerian
terkait selain Kemenkes. Setidaknya target stunting dan obesitas harus secara eksplisit
Kementerian Sasaran strategis Indikator (2014-2019) Program
dimasukkan dalam semua renstra kementerian kunci untuk memperkuat kontribusi
penting yang dimainkan oleh semua sektor dalam mengatasi Beban Ganda Masalah Gizi. 1. Swasembada · Peningkatan produksi (juta
beras, jagung ton):
dan kedelai dan Beras 70,6 menjadi 82,1
Indikator
peningkatan Jagung 19,0 menjadi 24,7
Pengamatan Tabel 6 menunjukkan bahwa sangat sedikit indikator dalam RENSTRA saat produksi daging Kedelai 0,95 menjadi 3,0
ini terkait dengan gizi dan tidak cukup spesifik untuk dapat menilai peningkatan dalam dan gula Gula 2,63 menjadi 3,82 Kawasan Rumah
Pertanian
jalur kausal untuk perbaikan gizi. Pertama, mereka tidak fokus pada kelompok populasi Sapi 460,4 menjadi 755,1 Pangan Lestari
yang memang perlu ditargetkan agar intervensi dapat memberikan dampak. Di Indonesia,
2. Peningkatan · Pola Pangan Harapan:
kelompok-kelompok sasaran ini termasuk wanita, anak-anak, remaja dan orang miskin,
diversifikasi 81,8 menjadi 92,5
meskipun kelompok sasaran tertentu lainnya merupakan konteks spesifik. Peningkatan pangan · Asupan energi/kapita/hari:
prevalensi secara nasional dapat menutupi adanya kesenjangan yang semakin meningkat 1.967 menjadi 2.150 kkal
untuk itu program perlu menentukan kelompok sasaran yang paling akan mengalami
1. Mengurangi · Pengembangan 5.000
dampak dari intervensi terkait gizi yang dikerjakan. Kedua, diperlukan indikator yang
jumlah desa desa tertinggal
lebih spesifik untuk melacak perbaikan terkait gizi. Sebagai contoh, pola pangan harapan tertinggal
adalah indikator yang relatif tumpul berdasarkan pola konsumsi nasional. Indikator yang Desa,
lebih sesuai untuk mengukur keragaman pola makan rumah tangga dan individu telah Pembangunan 2. Pemberantasan · Peningkatan 80 kabupaten
Program Padat
Daerah daerah yang di wilayah yang paling
dikembangkan yang merupakan proksi yang lebih baik dari kecukupan gizi dalam diet (FAO, Karya
Tertinggal & paling terbelakang terbelakang
2010). Pertimbangan cermat tentang indikator mana yang paling sesuai untuk melacak Transmigrasi
capaian perbaikan gizi diperlukan di semua sektor terkait, sehingga indikator yang relevan 3. Pengembangan · Meningkatnya ketahanan
dapat diidentifikasi dan dimasukkan dalam RENSTRA berikutnya. Wilayah Tertentu pangan di 57 kabupaten
yang rawan pangan
5. Peranan program gizi sensitif dalam memperbaiki gizi sudah diketahui dengan baik:
• Lima sektor yang terkait dengan gizi adalah: (i) kesehatan, (ii) perlindungan sosial,
(iii) pertanian dan ketahanan pangan, (iv) pendidikan dan perkembangan anak, dan
(v) air, sanitasi dan higiene.
• Beberapa bukti tentang bagaimana intervensi gizi sensitif mempengaruhi status
gizi sudah tersedia tetapi kesenjangan dalam pengetahuan masih perlu diperbaiki.
• Pemrograman yang sukses bergantung pada perencanaan dan pemantauan lintas
sektoral yang dilakukan secara bersama, yang difokuskan pada kelompok sasaran
yang sama dan dilaksanakan secara mandiri oleh masing-masing sektor terkait.
56 • Pembangunan Gizi di Indonesia
3.
Isu Strategis
dan Peluang
K A J I A N S E K T O R K E S E H ATA N
58 • Pembangunan Gizi di Indonesia 3. Isu Strategis dan Peluang • 59
Bagian ini menetapkan isu-isu strategis yang harus dipertimbangkan ketika mengembangkan 3.3. Menyebarluaskan Pesan
alternatif kebijakan. Bagian ini juga mengidentifikasi peluang potensial untuk perbaikan gizi di
Indonesia saat ini. Lima isu strategis dijelaskan yang dapat diatasi melalui lima kebijakan yang Penyebab dan dampak Beban Ganda Masalah Gizi masih belum secara utuh dipahami
meliputi banyak hal yang ditetapkan dalam kotak di bawah bagian yang relevan. dengan baik meskipun masalah tersebut sudah menjadi prioritas pemerintah. Sebagian dari
alasan untuk hal ini adalah bahwa kondisi seperti stunting dan kelebihan berat badan tidak
sangat terlihat. Selain itu, masih ada tabu sosial dan budaya yang luas tersebar dalam hal
3.1. Mengatasi Beban Ganda Masalah Gizi pembatasan makanan, pemahaman tentang gizi pada ibu dan anak, dan persepsi bahwa bayi
yang gemuk lebih sehat. Pengambil keputusan tidak selalu menyadari dampak malnutrisi
Background paper sebelumnya tentang gizi di Indonesia yang dilakukan sebagai bagian dari terhadap ekonomi dan bagaimana hal ini dapat mengikis bonus demografis yang diharapkan
Kajian Sektor Kesehatan 2014 mengidentifikasi Beban Ganda Masalah Gizi sebagai tantangan terjadi pada 2020-2030. Mengingat semakin banyaknya jenis dan penggunaan media modern
nomor satu untuk gizi di Indonesia (Bappenas, 2014) dan terus menjadi tantangan gizi utama saat untuk berkomunikasi, dan fakta bahwa semakin banyak jumlah penduduk yang memiliki akses
ini. Seiring berjalannya waktu, kelompok masyarakat termiskin akan menjadi yang paling rentan ke telepon seluler dan televisi, adalah saat yang tepat untuk memulai kampanye advokasi,
oleh efek gabungan dari kekurangan gizi dan obesitas yang mengarah kepada ketimpangan komunikasi, dan mobilisasi yang komprehensif untuk meningkatkan kesadaran dan komitmen
yang lebih besar antara kaya dan miskin. Pendekatan yang diperluas, komprehensif, terpadu untuk perbaikan gizi. Selain itu, sinergi pesan kunci yang dilakukan oleh kementerian/lembaga
dan multisektoral untuk menanggulangi malnutrisi sedang diupayakan oleh Pemerintah dengan terkait dalam menyebarkan pesan gizi melalui strategi komunikasi perubahan perilaku juga
kepemimpinan politik yang kuat. Komitmen ini tercermin dalam pencantuman target dan strategi penting untuk dapat dikerjakan secara bersama-sama.
untuk mengatasi kekurangan gizi dan obesitas dalam dokumen perencanaan nasional, dan dalam
peningkatan alokasi pembiayaan untuk gizi yang disalurkan ke kabupaten dan desa. Dokumen
KEBIJAKAN 3: Meningkatkan kesadaran dan komitmen untuk perbaikan gizi dengan
perencanaan dan strategi daerah dan sektor terkait belum sesuai dengan rencana nasional dimana menggunakan metode inovatif dan berbagai saluran komunikasi.
hal ini dapat berdampak buruk pada alokasi anggaran untuk gizi. Langkah pertama yang penting
adalah menetapkan regulasi untuk memastikan bahwa target, kebijakan, dan strategi nasional
untuk gizi sepenuhnya tercermin dalam rencana daerah dan sektor terkait.
3.4. Membangun Bukti untuk Pengambilan Keputusan terkait Gizi
KEBIJAKAN 1: Menetapkan regulasi yang kuat untuk meningkatkan komitmen dan alokasi Keterbatasan kapasitas untuk menganalisis data, sistem informasi gizi yang belum efektif, dan
anggaran untuk gizi di tingkat pusat dan daerah. kesenjangan dalam hal pengetahuan telah diidentifikasi sebagai hambatan dalam pengambilan
keputusan berbasis bukti. Sejumlah besar data dihasilkan, tetapi kualitas dan kegunaan
informasi ini masih perlu ditingkatkan. Dengan meningkatnya aksesibilitas teknologi inovatif,
3.2. Memperkuat Kapasitas dan Intervensi Gizi di Tingkat Daerah ada peluang untuk mendesain ulang seluruh sistem informasi gizi. Hal ini akan melibatkan:
(i) revitalisasi sistem informasi gizi untuk mengintegrasikan indikator gizi spesifik dan gizi
Hambatan utama untuk perbaikan gizi di Indonesia adalah kurangnya kapasitas dalam sensitif, (ii) mengurangi jumlah indikator yang saat ini dikumpulkan menggantikannya dengan
mengimplementasikan program di tingkat daerah. Komitmen pusat yang kuat terhadap indikator yang esensial, (iii) standardisasi metode dan definisi indikator, (iv) memperkenalkan
pendekatan multisektoral untuk gizi belum sepenuhnya diterjemahkan ke dalam pemberian pelatihan dan pengawasan di tingkat daerah dalam melakukan pengumpulan, analisis, dan
layanan gizi berkualitas kepada masyarakat. Alasan utama adalah adanya kesenjangan yang penggunaan informasi untuk tujuan perencanaan dan pemantauan, (v) mengembangkan
signifikan dalam intervensi gizi spesifik yang esensial, khususnya untuk mengatasi anemia, sarana untuk mengkomunikasikan hasil secara teratur dengan format yang jelas dan
malnutrisi akut (wasting), obesitas dan PMBA. Selain itu, kapasitas daerah dalam merencanakan, sederhana yang sesuai untuk pembuat kebijakan dan pelaksana program. Penting juga untuk
melaksanakan, menganggarkan dan memantau intervensi gizi di tingkat daerah masih perlu melakukan penilaian komprehensif atas kesenjangan prioritas dalam hal pengetahuan dan
ditingkatkan. Dengan adanya desentralisasi berarti bahwa kabupaten memiliki sumber daya dan memulai penelitian untuk mengisi kekosongan tersebut. Kajian perlu juga dilakukan dalam
tanggung jawab yang lebih besar untuk mengelola program gizi daripada sebelumnya dan hal hal kebutuhan informasi untuk pengambilan keputusan, sistem informasi yang sudah ada
yang sama berlaku di tingkat desa dengan diperkenalkannya Dana Desa. Selain itu, pemerintah (PSG, Riskesdas, Susenas, SIMPUS, SIP, PIS-PK dan lain-lain) dan mengembangkan sistem
di daerah diharapkan dapat melakukan koordinasi lintas sektor yang efektif di dalam sistemnya informasi gizi untuk memenuhi kebutuhan program dan kebijakan.
tersendiri dan dengan sedikit pengalaman dalam hal bekerja secara multisektoral. Oleh karena
itu, penting untuk pemerintah di daerah memiliki panduan dan dukungan teknis yang jelas
KEBIJAKAN 4: Membangun sistem informasi dan bukti terkait gizi untuk menyediakan
untuk secara efektif menyediakan serangkaian utuh intervensi gizi spesifik dan gizi sensitif yang sumber data yang kredibel dan tepat waktu yang dapat digunakan untuk pengambilan
ditingkatkan. Aspek penting termasuk meningkatkan cakupan layanan yang komprehensif, keputusan.
menambah jumlah dan kapasitas penyedia layanan gizi, memastikan bahwa sistem pengadaan
dan pasokan produk gizi (suplemen dan peralatan) efisien dan memperkenalkan peraturan yang
lebih kuat untuk mempromosikan gizi yang sehat.
Penyebab dan dampak Beban Ganda Masalah Gizi masih belum secara utuh dipahami
dengan baik meskipun masalah tersebut sudah menjadi prioritas pemerintah. Sebagian dari
4.
Target
alasan untuk hal ini adalah bahwa kondisi seperti stunting dan kelebihan berat badan tidak
sangat terlihat. Selain itu, masih ada tabu sosial dan budaya yang luas tersebar dalam hal
pembatasan makanan, pemahaman tentang gizi pada ibu dan anak, dan persepsi bahwa bayi
yang gemuk lebih sehat. Pengambil keputusan tidak selalu menyadari dampak malnutrisi
terhadap ekonomi dan bagaimana hal ini dapat mengikis bonus demografis yang diharapkan
terjadi pada 2020-2030. Mengingat semakin banyaknya jenis dan penggunaan media modern
untuk berkomunikasi, dan fakta bahwa semakin banyak jumPeluncuran Gerakan Percepatan
Penurunan Stunting Nasional memberikan peluang besar untuk mempercepat penurunan
prevalensi stunting pada anak secara signifikan. Pemerintah telah menginvestasikan sejumlah
besar dana dengan dukungan pinjaman Bank Dunia dan memperkenalkan sistem pembiayaan
berbasis hasil untuk memberi insentif kepada pemerintah daerah untuk bertindak secara tepat.
Pendekatan multi-sektor sedang diadopsi dan pemerintah daerah di 100 kabupaten sasaran
awal telah diinstruksikan untuk memastikan bahwa RPJMD mencerminkan target dan kegiatan
PEMBANGUNAN GIZI DI INDONESIA
terkait stunting untuk sektor-sektor terkait. Mekanisme pendukung teknis tambahan sedang
dijalankan di tingkat kabupaten dan desa untuk meningkatkan kapasitas daerah. Upaya yang
telah mengalami peningkatan ini memiliki sejumlah keunggulan. Pertama, aksi multisektoral
cenderung memiliki dampak pada keadaan malnutrisi lainnya seperti defisiensi mikronutrien, K A J I A N S E K T O R K E S E H ATA N
wasting dan bayi dengan BBLR, sehingga hal tersebut kemudian dapat memperluas pengaruh
dari intervensi yang tidak hanya untuk penurunan stunting. Kedua, memperkuat lingkungan
yang mendukung untuk gizi adalah investasi jangka panjang yang akan bermanfaat bagi
populasi yang lebih luas di luar anak-anak. Ketiga, menempatkan inisiatif anti-stunting di
dalam Kantor Wakil Presiden memberikan tingkat kepemimpinan dan otoritas yang lebih tinggi
dalam melakukan koordinasi lintas sektor dan kementerian yang diperlukan untuk percepatan
perbaikan gizi.
Target gizi utama untuk Indonesia yang perlu dicapai pada tahun 2024 (lihat Tabel 7) Tabel 7. Indikator dan Target yang Direkomendasikan untuk RPJMN 2020-2024
konsisten dengan enam target global yang disahkan oleh negara-negara anggota Majelis
Kesehatan Dunia (World Health Assembly/WHA) dan kemudian dimasukkan ke dalam Tujuan
Baseline Riskesdas RPJMN Target
Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Satu target utama tambahan direkomendasikan untuk Target Global
Indikator Utama 2013 2018 2024 2025
indikator obesitas pada orang dewasa, yang juga mencerminkan tantangan gizi utama saat ini. (2025)
(%) (%) (%) (%)
Target tersebut konsisten dengan rekomendasi global WHO.
Stunting (pendek)
Penurunan
Selain itu, ada 2 indikator dan target tambahan yang juga diusulkan, yakni anemia pada ibu pada anak usia 37,2 30,8 24 22
40%
hamil dan stunting pada anak di bawah usia 2 tahun. Anemia sangat tinggi pada ibu hamil 0-59 bulan
dan data telah dikumpulkan secara teratur di Indonesia sehingga merupakan indikator yang
Anemia pada Penurunan
berguna untuk memantau capaian. Indikator tambahan kedua yaitu stunting pada anak di 22,7 12 11
wanita usia subur 50%
bawah usia dua tahun, diusulkan karena merupakan periode di mana intervensi dapat menjadi
yang paling efektif dan kemudian dimasukkan dalam RPJMN 2015-2019. Meskipun anemia Berat badan lahir
Penurunan 6,2
pada anak adalah masalah yang signifikan di Indonesia, saat ini tidak ada pengumpulan data rendah pada bayi 5.7 4 3
30%
secara teratur yang memungkinkan untuk memantau capaian untuk indikator ini. Oleh karena (<2.500 gr)
itu tidak dimasukkan sebagai indikator tetapi perlu dipertimbangkan secara serius untuk Overweight
mengumpulkan data tersebut secara teratur. (kegemukan) pada Tidak
11,8 8 8 8
anak usia 0-59 meningkat
Target yang diproyeksikan sesuai dengan target global atau dihitung dengan menggunakan bulan
angka prevalensi awal (baseline) untuk 2013 dan menggunakan target global untuk
Naik menjadi
menghitung perubahan tahunan (lihat Tabel 7). Target-target ini dapat dipenuhi jika semua aksi ASI Eksklusif pada
50% 41,5 60 60
gizi spesifik dan gizi sensitif ditingkatkan, diarahkan pada kelompok termiskin dan yang paling bayi usia < 6 bulan 52
(minimal)
rentan, dan lingkungan yang mendukung diperkuat untuk mendukung aksi. Berdasarkan
data awal Riskesdas 2018 yang menunjukan bahwa prevalensi stunting pada balita 30,8%, Wasting (kurus)
Turun
mengindikasikan bahwa perhitungan target telah sesuai dengan penurunan yang terjadi. pada anak usia 12,1 10,2 5 5
menjadi <5%
0-59 bulan
Obesitas pada
Tidak
dewasa usia 18+ 15,4 21,8 15 15
meningkat
tahun
Stunting (pendek)
Penurunan
pada anak usia 32,8 29,9 21 19
40%
0-23 bulan
Catatan:
Data awal (baseline) semuanya diambil dari RISKESDAS 2013 dengan pengecualian ASI eksklusif yang
berdasarkan SDKI 2012 dan anemia pada ibu hamil yang berdasarkan data awal tahun 2016. Proyeksi
untuk menyusui didasarkan pada peningkatan tahunan yang diharapkan yakni sebesar 1-2% setiap
tahun.
64 • Pembangunan Gizi di Indonesia
Stunting pada anak usia 0-59 bulan digunakan sebagai contoh untuk menunjukkan
5.
Opsi kebijakan
bagaimana target dihitung berdasarkan tingkat penurunan tahunan. Target global untuk
stunting pada usia 0-59 bulan adalah penurunan sebesar 40% pada tahun 2025. Dengan
mengambil angka RISKESDAS 2013 sebagai baseline, penurunan tahunan dihitung.
2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024 2025
37,20 35,96 34,72 33,48 32,24 31,00 29,76 28,52 27,28 26,04 24,80 23,56 22,32
PEMBANGUNAN GIZI DI INDONESIA
K A J I A N S E K T O R K E S E H ATA N
66 • Pembangunan Gizi di Indonesia 6. Opsi Kebijakan • 67
Tabel 9 mengusulkan serangkaian lima kebijakan untuk mencapai indikator dan target dalam
meningkatkan gizi masyarakat yang diusulkan dalam RPJMN 2020-2024 yang perlu dilakukan KEBIJAKAN 3:
oleh Pemerintah Indonesia. Meningkatkan kampanye, advokasi dan komunikasi perubahan perilaku
untuk perbaikan gizi
• Memperkuat peraturan untuk mengontrol pemasaran dan produksi makanan dan KEBIJAKAN 5:
minuman yang mengandung tinggi lemak, gula dan garam, dan produk makanan Memperluas keterlibatan multi-sektor untuk mempercepat perbaikan gizi.
bayi dan anak
• Memperkuat sistem pengadaan dan suplai produk gizi untuk memastikan efisiensi • Memperkuat peran multi-sektor dengan identifikasi dan memperjelas program-
dalam pemenuhan kebutuhan bagi kelompok sasaran program multi sektor yang berkontribusi untuk mengatasi BGG
• Mengembangkan dan memperkuat program yang mendukung peningkatan • Memetakan kebijakan dan sumber daya yang tersedia, dan mengidentifikasi
kesehatan dan gizi untuk kelompok remaja dan wanita usia subur dukungan yang diperlukan untuk semua sektor utama untuk
mengimplementasikan program-program prioritas gizi sensitif, termasuk
• Kementerian Kesehatan menyusun kebijakan mengatasi obesitas secara
pemanfaatan wadah yang sudah ada untuk pemberdayaan masyarakat seperti
komprehensif yang mencakup pencegahan dan penatalaksanaan
posyandu dan UKBM lainnya
68 • Pembangunan Gizi di Indonesia Kajian Sektor Kesehatan • 69
Referensi
• Menyelaraskan target program multi sektor di wilayah geografis dan rumah
tangga prioritas 1. Access to Nutrition Index. (2016). Global Index 2016. Dikutip dari https://www.
accesstonutrition.org/sites/2015.atnindex.org/files/atni-global-index-2016_2.pdf
• Memperkuat sistem koordinasi dan komunikasi untuk sinergi kegiatan antara
sektor-sektor utama di tingkat nasional dan sub nasional termasuk di dalamnya 2. Alive & Thrive. (2018). Desk review on maternal, infant, and young child nutrition and
sektor non pemerintah, tentang gizi dan peran/dukungan yang diperlukan dari nutrition-sensitive practices in Indonesia .
masing-masing sektor untuk memastikan sasaran menerima secara lengkap
intervensi yang dibutuhkan untuk perbaikan gizi 3. An, R., Yan, H., Shi, X., & Yang, Y. (2017). Childhood obesity and school absenteeism:
a systematic review and metaanalysis. Pediatric Obesity. Dikutip dari https://
• Memperkuat peraturan untuk mempercepat perbaikan gizi di berbagai sektor
onlinelibrary.wiley.com/doi/full/10.1111/obr.12599
seperti implementasi fortifikasi makanan, perlindungan anak untuk mencegah
pernikahan anak, integrasi pesan kunci tentang gizi ke dalam kurikulum/bahan
4. Atmarita, Jahari, A., Sudikno, & Soekatri, M. (2016). Asupan Gula, Garam dan Lemak di
PAUD dan keluarga berencana
Indoensia: Analisis Survei Konsumsi Makanan Individu (SKMI) 2014 . Jurnal Persatuan
Ahli Gizi Indonesia, 39(1), 1-14.
9. Bappenas & UNICEF. (2017). SDG Baseline Report on Children in Indonesia. Jakarta:
UNICEF.
12. Bappenas. (2014). Kajian Sektor Kesehatan: Bidang Gizi. Jakarta: Bappenas.
14. Bappenas. (2018). Stunting, Ekonomi, dan Pembangunan Sumber Daya Manusia.
Presentasi pada Pertemuan di bulan Juni 2018 yang diselenggarakan oleh Bappenas.
Jakarta.
15. Barker, D., Osmond, C., & Golding, J. (1989). Growth in utero, blood pressure in
childhood and mortality from cardiovascular disease. British Medical Journal, 298, 564-
567. Dikutip dari https://www.bmj.com/content/bmj/298/6673/564.full.pdf
16. Beal, T., Tumilowicz, A., Sutrisna, A., Izwardy, D., & Neufeld, L. (2018). A review of child
stunting determinants in Indonesia. Maternal and Child Nutrition, 1-10.
70 • Pembangunan Gizi di Indonesia Kajian Sektor Kesehatan • 71
17. Bjeeregaard, L., Jensen, B., & Angquist, L. (2018). Change in Overweight from 35. Dewey, K., & Begum, K. (2011). Long‐term consequences of stunting in early life.
Childhood to Early Adulthood and Risk of Type 2 Diabetes. New England Journal of Maternal and Child Nutrition. Dikutip dari https://onlinelibrary.wiley.com/doi/
Medicine, 378(14). Dikutip dari https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/29617589 full/10.1111/j.1740-8709.2011.00349.x
18. Black, R., Allen, L., Bhutta, Z., & et al. (2008). Maternal and child undernutrition: global 36. Dieu, H., Dibley, M., Sibbritt, D., & Hanh, T. (2009). Trends in overweight and obesity in
and regional exposures and health consequences. The Lancet, 371, 243-260. Dikutip pre-school children in urban areas of Ho Chi Minh City, Vietnam, from 2002 to 2005.
darihttps://www.thelancet.com/journals/lancet/article/PIIS0140-6736(07)61690-0/fulltext Public Health Nutrition, 12(5), 702-709. Dikutip dari https://www.cambridge.org/core/
journals/public-health-nutrition/article/trends-in-overweight-and-obesity-in-preschool-
19. Black, R., Victora, C., Walker, S., & et al. (2013). Maternal and child undernutrition children-in-urban-areas-of-ho-chi-minh-city-vietnam-from-2002-to-2005/91488C673F63
and overweight in low-income and middle-income countries. The Lancet, 382(9890), C24A6144FCC0376EF2C0
427-451. Dikutip dari https://www.thelancet.com/pdfs/journals/lancet/PIIS0140-
6736(13)60937-X.pdf 37. FAO & WHO. (2014). ICN2 Second International Conference on Nutrition. Rome. Dikutip
dari FAO: http://www.fao.org/about/meetings/icn2/en/
20. Bland, B. (2013, June 7). Fast-food wars heat up in Indonesia. Financial Times. Dikutip
dari https://www.ft.com/content/87be05fa-cdd5-11e2-8313-00144feab7de 38. FAO. (2010). Guidelines for Measuring Household and Individual Dietary Diversity.
Rome: FAO. Dikutip dari http://www.fao.org/docrep/014/i1983e/i1983e00.pdf
21. BPS. (2007). Konsumsi kalori dan protein: Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS).
39. FAO. (2018). Toolkit on nutrition-sensitive agriculture and food systems. Dikutip dari
22. BPS. (2015). Survei Sosial Ekonomi Nasional. (SUSENAS). FAO: http://www.fao.org/nutrition/policies-programmes/toolkit/en/ (16 Juli 2018)
23. BPS. (2016). Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS). 40. Friedman, J., Heywood, P., Marks, G., Saadah, F., & Choi, Y. (2006). Health sector
decentralization and Indonesia’s nutrition programs : opportunities and challenges.
24. BPS. (2017). Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS). Washington: World Bank. Dikutip dari http://documents.worldbank.org/curated/
en/101241468049450209/Health-sector-decentralization-and-Indonesias-nutrition-
25. BPS. (2017). Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS). programs-opportunities-and-challenges
26. BPS & Kemenkes. (2012). Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI). 41. Friere, W. (n.d.). The double burden of undernutrition and excess body weight in
Ecuador.
27. BPS & Kemenkes. (2012). Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI).
42. Grantham-McGregor, S., Powell, C., Walker, S., & Chang, S. (1994). The long-term
28. BPS & Kemenkes. (2017). Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI).
follow-up of severely malnourished children who participated in an intervention
program. Child Development, 65, 428-439.
29. BPS & Kemenkes. (2017). Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI).
43. Hendriadi, A. (2018). Food Production for Family Nutrition Improvement. Presentation
30. BPS. (2010). Sensus Penduduk.
at WIDYAKARYA NASIONAL PANGAN DAN GIZI XI 4 July 2018.
31. Cresswell, J., Campbell, O., De Silva, M., & Filippi, V. (2012). Effect of maternal obesity
44. Horta, B., & Victora, C. (2013). Long-term effects of breastfeeding. Geneva: WHO.
on neonatal death in sub-Saharan Africa: multivariable analysis of 27 national datasets.
The Lancet, 380, 1325-1330. Dikutip dari https://www.thelancet.com/journals/lancet/
45. Horta, B., & Victora, C. (2013). Short-term effects of breastfeeding: A systematic review
article/PIIS0140-6736(12)60869-1/abstract
on the benefits of breastfeeding on diarrhoea and pneumonia mortality. Geneva: WHO.
Dikutip dari http://apps.who.int/iris/bitstream/handle/10665/95585/9789241506120_eng.
32. Delisle, H., & Batal, M. (2016). The double burden of malnutrition associated with
pdf?sequence=1
poverty. The Lancet, 387(10037), 2504-2505. Dikutip dari https://www.thelancet.com/
journals/lancet/article/PIIS0140-6736(16)30795-4/fulltext
46. IMA World Health. (2018). Final Report: NNCC Model and Lessons Learned (2015‐2018).
33. Denboba, A., Hasan, A., & Wodon, Q. (2015). Early Childhood Education and
47. Indonesia Investments. (2018, March 9). Women in Indonesia: Informal Employment,
Development in Indonesia: An Assessment of Policy Using SABER. World Bank.
Wage Gap & Violence. Dikutip dari https://www.indonesia-investments.com/news/
news-columns/women-in-indonesia-informal-employment-wage-gap-violence/
34. Development Initiatives. (2017). Global Nutrition Report 2017: Nourishing the SDGs.
item8650 (27 Juli 2018)
Bristol: Development Initiatives. Dikutip dari http://globalnutritionreport.org/wp-
content/uploads/2017/11/Report_2017-2.pdf
72 • Pembangunan Gizi di Indonesia Kajian Sektor Kesehatan • 73
48. Institute of Social and Economic Research. (2018 Unpublished). Nutrition Capacity 67. Lelijveld, N., Seal, A., & Wells, A. (2016). Chronic disease outcomes after severe acute
Assessment of Indonesia. Jakarta: UNICEF. malnutrition in Malawian children (ChroSAM): a cohort study. Lancet Glob Health.
49. Kelly, B., Hebden, L., & King, L. (2014). Children’s exposure to food advertising on free- 68. Lindsay, R., Dabelea, D., Roumain, J., & et al. (2000). Type 2 diabetes and low birth
to-air television: an asia-pacific perspective. Health Promotion International. weight: the role of paternal inheritance in the association of low birth weight and
diabetes. Diabetes, 49(3), 445-449. Dikutip dari http://diabetes.diabetesjournals.org/
50. Kementerian Desa PDTT. (2017). Peraturam Menteri Desa, Pembangunan Daerah content/49/3/445
Tertinggal, dan Transmigrasi RI No 19/2017. Jakarta.
69. Litwin, S. (2014). Childhood obesity and adulthood cardiovascular disease: quantifying
51. Kementerian Desa PDTT. (2017). Permendes No.19 tahun 2017. the lifetime cumulative burden of cardiovascular risk factors. Journal of American
College of Cardiology , 64, 1588-1590.
52. Kementerian Keuangan. (2018). Presentasi tentang Program Pencegahan Stunting
oleh Direktur Anggaran untuk Manusia dan Budaya. Dikutip dari http://www.anggaran. 70. Luby , S., Rahman, M., & Arnold, B. (2018). Effects of water quality, sanitation,
depkeu.go.id/content/Publikasi/stunting/Penanganan%20Stunting_DJA.pdf handwashing, and nutritional interventions on diarrhoea and child growth in rural
Bangladesh: a cluster randomised controlled trial. Lancet Global Health, 6, e302-3315.
53. Kementerian Kesehatan. (2007). Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS).
71. Lukman (komunikasi personal). (2018).
54. Kementerian Kesehatan. (2010). Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS).
72. Lukman, A. (2018). Membangun Teknologi Dan Kreatifitas Dalam Perbaikan Gizi
55. Kementerian Kesehatan. (2014). Dikutip dari Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Termasuk Inovasi Dan Diversifikasi Pangan Untuk Konsumsi Anak. Presentasi pada
SDM Kesehatan, Kementerian Kesehatan: http://www.bppsdmk.kemkes.go.id/web/ Lokakarya Pra-WNPG pada bulan Juni 2018 yang diselenggarakan oleh Bappenas.
Jakarta.
56. Kementerian Kesehatan. (2014). Survei Diet Total.
73. Mahendradhata, Y., & et al. (2017). The Republic of Indonesia. Health System Review.
57. Kementerian Kesehatan. (2014). Studi Diet Total: Survei Konsumsi Makanan Individu
Asia Pacific Observatory on Health Systems and Policies. Dikutip dari file:///C:/Users/
(SKMI) Indonesia.
Fiona/Documents/Fiona%20Watson/Indonesia/Documents/2017%20Indonesia%20
Health%20System%20Review.pdf
58. Kementerian Kesehatan. (2013). Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS).
74. Mahmudiono, T., Sumarmi, S., & Rosenkrantz, R. (2017). Household dietary diversity
59. Kementerian Kesehatan. (2016). Survei Indikator Kesehatan Nasional (SIRKESNAS).
and child stunting in East Java, Indonesia. Asia Pacific Journal of Clinical Nutrition,
26(2), 317-325. Dikutip dari https://www.readbyqxmd.com/read/28244712/household-
60. Kementerian Kesehatan. (2018). Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS).
dietary-diversity-and-child-stunting-in-east-java-indonesia
61. Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. (2011).
75. Marphatia, A., Cole, T., & Grijalva-Eternod, C. (2016). Associations of gender inequality
Peraturan Menteri No 23 Tahun 2001 tentang Jabatan Fungsional Nutrisionis. Jakarta.
with child malnutrition and mortality across 96 countries. Global Health, Epidemiology
62. Kementerian Pertanian. (2018). Akses Pangan Beragam untuk Akselerasi Penurunan and Genomics, 1. Dikutip dari https://www.cambridge.org/core/journals/global-health-
Stunting. Dipresentasikan pada Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi. Jakarta. epidemiology-and-genomics/article/associations-of-gender-inequality-with-child-
malnutrition-and-mortality-across-96-countries/6B7D994859A0220C205B54F6AC9C
63. Khor, G. (n.d.). 9E90
64. Khor, G., & Sharif, Z. (2003). Dual forms of malnutrition in the same households 76. Martianto, D. (2018). Peningkatan Aksesibilitas Pangan yang Beragam. Presentasi pada
in Malaysia - A case study among Malay rural households. Asia Pacific Journal Widyakarya Pangan dan Gizi XI pada tanggal 3 Juli 2018. Jakarta.
of Clinical Nutrition, 12(4), 427-437. Dikutip dari https://www.researchgate.net/
publication/5652146_Dual_forms_of_malnutrition_in_the_same_households_in_ 77. Meehan, S., Beck, C., Mair-Jenkins, J., & et al. (2014). Maternal Obesity and
Malaysia_-_A_case_study_among_Malay_rural_households Infant Mortality: A Meta-Analysis. Pediatrics, 133(5). Dikutip dari http://pediatrics.
aappublications.org/content/133/5/863
65. Komisi Nasional Perempuan. (2018). Laporan Tahunan.
78. Members of the Working Group on Food Security Council. (2018). Improving Access to
66. Kroker-Lobos, M. (n.d.). Diverse Food. Presentation at Widyakarya Food and Nutrition Meeting XI 3rd July 2018.
Jakarta.
74 • Pembangunan Gizi di Indonesia Kajian Sektor Kesehatan • 75
79. Novo Nordisk. (2013). Where economics and health meet: changing diabetes in 91. Sanghvi, T., Haque, R., & Roy, S. (2016). Achieving behaviour change at scale: Alive
Indonesia. & Thrive’s infant and young child feeding programme in Bangladesh. Maternal
and Child Nutrition, 12(1), 141-154. Dikutip dari http://stopstunting.org/wp-content/
80. Null, C., Stewart, C., & Pickering, A. (2018). Effects of water quality, sanitation, uploads/2016/05/Maternal-Child-Nutrition_StotpStuntinginSouthAsia_Paper09.pdf
handwashing, and nutritional interventions on diarrhoea and child growth in rural
Kenya: a cluster-randomised controlled trial. Lancet Global Health, 6, e316-e329. 92. Satriawan, E. (2018). Cumulative Impact of Conditional Cash Transfer Program (CCT)
on Health. Evaluation of Hope Family Program After 6 Years. Presented at the Health
81. Oberlander, L. (2018). TV exposure, food consumption, and health outcomes - evidence Sector Review Meeting 31st May 2018. Jakarta.
from Indonesia. INCOMPLETE THESIS. Dikutip dari https://editorialexpress.com/cgi-bin/
conference/download.cgi?db_name=CSAE2018&paper_id=937 93. Save the Children. (2013). The Power of the First Hour: Breastfeeding Saves Lives.
82. Oddo, V., Rah, J., Semba, R., & et al. (2012). Predictors of maternal and child double 94. Shrimpton, R., & Rokx, C. (2013). The Double Burden of Malnutrition in Indonesia.
burden of malnutrition in rural Indonesia and Bangladesh. American Journal of Clinical
Nutrition, 95(4), 951-958. Dikutip dari https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22357721 95. SMERU. (2012). Child poverty and disparities in Indonesia: Challenges for inclusive
growth. Jakarta: UNICEF. Dikutip dari http://www.smeru.or.id/en/content/child-poverty-
83. Ologin, I., McDonald, C., & Ezzati, M. (2013). Associations of Suboptimal Growth and-disparities-indonesia-challenges-inclusive-growth
with All-Cause and Cause-Specific Mortality in Children under Five Years: A Pooled
Analysis of Ten Prospective Studies. PLOS. Dikutip dari http://journals.plos.org/plosone/ 96. SMERU. (2015). Food and Nutrition Security in Indonesia: A Strategic Review . Jakarta:
article?id=10.1371/journal.pone.0064636 WFP.
84. Peraturan Pemerintah. (2014). Peraturan Pemerintah No. 60 tentang dana hibah desa 97. Soekarjo, D., Roshita, A., Thow, A.-M., & et al. (2018). Strengthening nutrition-specific
yang berasal dari penerimaan negara dan anggaran belanja. Jakarta. policies for adolescents in Indonesia: a qualitative policy analysis. Submitted to Food
and Nutrition Bulletin.
85. Rachman, B. (2018). Access to Diverse Food. Presentation at Widyakarya Food and
Nutrition Meeting XI 3rd July 2018. Jakarta. 98. Statistics Indonesia. (2016).
86. Rachmi, C., Hunter, C., Li, M., & Barr, A. (2017). Perceptions of overweight by primary 99. Sumarwan, U. (2018). Analyses of Indonesian Food Consumptions: Differences of
carers (mothers/grandmothers) of underfive and elementary school-aged children in Rural and Urban Consumers’ Food Choices between 2007 and 2017. Paper presented at
Bandung, Indonesia: a qualitative study. International Journal of Behavioural Nutrition Regional Seminar on Drivers of Consumer Food Choices March 1314, 2018, Holiday Inn
and Physical Activity, 14, 101. Dikutip dari https://ijbnpa.biomedcentral.com/track/ Bangkok Sukhumvit, Bangkok, Thailand .
pdf/10.1186/s12966-017-0556-1?site=ijbnpa.biomedcentral.com
100. SUN Movement. (2015). Indonesia. Call for Commitments for Nutrition. Dikutip dari
87. Rah, J., Sukotjo, S., & Badgaiyan, N. e. (2018 Submitted for publication). Improved http://scalingupnutrition.org/wp-content/uploads/2015/06/Indonesia-Costed-Plan-
sanitation is associated with reduced child stunting among Indonesian children under Summary.pdf
three years of age.
101. Sunawang. (2015). Supply Chain and Procruement of ‘Medicines for Nutrition
88. Rao, N., Sun, J., & Wong, J. (2013). Early childhood development and cognitive Programs’ Ministry of Health, 2014-2015.
development in developing countries: A rigorous literature review. DFID. Dikutip
dari https://assets.publishing.service.gov.uk/government/uploads/system/uploads/ 102. Symington, E., Gericke, G., Nel, J., & Labadarios, D. (2016). The relationship between
attachment_data/file/488541/early-childhood-cognitive-dev-brief.pdf stunting and overweight among children from South Africa: Secondary analysis of the
National Food Consumption Survey – Fortification Baseline I. South African Medical
89. Ruel, M., Quisumbing, A., & Balagamwala, M. (2018). Nutrition- Journal, 106(1), 65-69. Dikutip dari http://www.scielo.org.za/pdf/samj/v106n1/24.pdf
sensitive agriculture: What have we learned so far? Global Food
Security, 17, 128-153. Dikutip dari https://reader.elsevier.com/reader/sd/ 103. The Lancet. (2013). Executive summary of the Maternal and Child Nutrition Series. The
C3EF014696FB50861CFE72FC9A714BB6BA38855A72F1BF9B554E4B8CE239535 Lancet. Dikutip dari http://www.thelancet.com/series/maternal-and-child-nutrition
786ABD47C1B37CA20A62D2EE64DF7294C
104. The Sphere Project. (2011). Humanitarian Charter and Minimum Standards in
90. Sandjaja, S., Budiman, B., Harahap, H., & et al. (2013). Food consumption and Humanitarian Response. Dikutip dari http://www.sphereproject.org/resources/?search
nutritional and biochemical status of 0·5–12-year-old Indonesian children: the =1&keywords=&language=English&category=22&subcat-22=23&subcat-29=0&subcat-
SEANUTS study. British Jourcal of Nutrition, 110, S11-S20. 31=0&subcat-35=0&subcat-49=0
76 • Pembangunan Gizi di Indonesia Kajian Sektor Kesehatan • 77
105. Thrabrany et al. (2014). 122. WFP. (2016). An Evaluation of the 2012-2015 Local Food-Based School Meal Program.
106. Timmer, P., Hastuti, & Sumarto, S. (2017). Evolution and Implementation of the 123. WFP. (2016). Indonesia Country Strategic Plan (2017-2020). Jakarta.
Rastra Program in Indonesia. World Bank. Dikutip dari http://pubdocs.worldbank.org/
en/293371506435172757/Chapter-7.pdf 124. WFP. (2017). Food Security Monitoring Bulletin. Indonesia. Special Focus: Food security
in 100 districts prioritized for reduction of stunting. Jakarta: WFP.
107. Tomkins, A., & Watson, F. (1989). Malnutrition and infection: a review. Geneva: ACC/
SCN. Dikutip dari https://www.popline.org/node/381319 125. WHO. (1981). International Code of Marketing of Breast-milk Substitutes. Geneva.
Dikutip dari http://www.who.int/nutrition/publications/code_english.pdf
108. UN. (2015). Sustainable Development Goals. Dikutip dari Sustainable Development
Goals: https://sustainabledevelopment.un.org/sdgs (17 April 2018) 126. WHO. (2007). Indicators for assessing infant and young child feeding practices.
Dikutip dari http://apps.who.int/iris/bitstream/handle/10665/43895/9789241596664_eng.
109. UNICEF. (2012). Indonesian Nutrition Capacity Assessment. Jakarta: UNICEF & EU. pdf;jsessionid=35FAEF12A76B74BFA09FF815E3530DF6?sequence=1
Dikutip dari http://archive.wphna.org/wp-content/uploads/2013/10/Indonesian-National-
and-District-Nutrition-Capacity-Assessment-Report-final.pdf 127. WHO. (2009). Interventions on Diet and Physical Activity: What works, Summary
Report.
110. UNICEF. (2016). Millions of Indonesian babies are missing out on the best start in life.
Dikutip dari UNICEF Media Centre: https://www.unicef.org/indonesia/media_25472.html 128. WHO. (2009). Recommendations on Wheat and Maize Flour Fortification. Geneva.
Dikutip dari http://apps.who.int/iris/bitstream/handle/10665/111837/WHO_NMH_NHD_
111. UNICEF. (2017). Improving Nutrition Security in Indonesia. District Actions to Improve MNM_09.1_eng.pdf?sequence=1
Infant and Young Child Feeding. Jakarta: UNICEF.
129. WHO. (2010). Nutrition Landscape Information System (NLIS): Country Profile
112. UNICEF. (2017). UNICEF Gender Action Plan, 2018-2021. Interpretation Guide. Geneva. Dikutip dari http://www.who.int/nutrition/nlis_
interpretation_guide.pdf
113. UNICEF. (2018 Unpublished). Baseline Survey of Adolescent Nutritional Status in
Indonesia’s Klaten and Lombok Barat Districts. Jakarta. 130. WHO. (2012). Resolution WHA65.6. Comprehensive implementation plan on maternal,
infant and young child nutrition. In: Sixty-fifth World Health Assembly Geneva, 21–26
114. UNICEF. (2018 Unpublished). Qulitative study on the factors influencing the eating and May 2012. Resolutions and decisions, annexes. Geneva: World Health Organisation.
physical activity behaviours of adolescent girls and boys in Indonesia . Jakarta. Dikutip dari http://www.who.int/nutrition/topics/WHA65.6_resolution_en.pdf?ua=1
115. UNICEF, Bappenas & Kemenkes. (2018). Nutrition Capacity Assessment of Indonesia. 131. WHO. (2013). Set of 9 voluntary global NCD targets for 2025. Retrieved from http://
www.who.int/nmh/global_monitoring_framework/gmf1_large.jpg?ua=1
116. UNICEF/ACF. (2016 Unpublished). SMART survey.
132. WHO. (2014). Indonesia: NCD country profile. Dikutip dari http://www.who.int/nmh/
117. UNICEF/WHO/World Bank. (2018). Joint Child Malnutrition Estimates. UNICEF, WHO, countries/idn_en.pdf?ua=1 (28 Juli 2018)
World Bank. Dikutip dari http://www.who.int/nutgrowthdb/2018-jme-brochure.pdf?ua=1
133. WHO. (2016). Use of multiple micronutrient powders for point-of-use fortification
118. USAID. (2015). Indonesia Urban Water Sanitation and Hygiene Annual Progress Report of foods consumed by infants and children aged 6-23 months and children aged
5. USAID. 2-12 years. Teneva: WHO. Dikutip dari http://apps.who.int/iris/bitstream/hand
le/10665/252540/9789241549943-eng.pdf?ua=1
119. Victora, C., Adair, L., Fall, C., & et al. (2008). Maternal and child undernutrition:
consequences for adult health and human capital. The Lancet, 371(9609), 340-357. 134. WHO. (2017). Double Duty Actions for Nutrition: Policy Brief. Geneva: WHO. Dikutip dari
Dikutip dari https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2258311/ http://www.who.int/nutrition/publications/double-duty-actions-nutrition-policybrief/en/
120. WFP & Bappenas. (2017). The Cost of the Diet Study in Indonesia. Jakarta: WFP. 135. WHO. (2017). The Republic of Indonesia Health System Review.
121. WFP. (2014). 10 Facts about Malnutrition in Indonesia. Dikutip dari WFP: https://www. 136. WHO. (2018). Global Strategy on Diet, Physical Activity and Health. Dikutip dari WHO:
wfp.org/stories/10-facts-about-malnutrition-indonesia http://www.who.int/dietphysicalactivity/childhood_consequences/en/
78 • Pembangunan Gizi di Indonesia
137. WHO. (2018). NLiS. Dikutip dari Stunting, wasting, overweight and underweight
- Nutrition Landscape Information System (NLiS): http://apps.who.int/nutrition/
landscape/help.aspx?menu=0&helpid=391&lang=EN
138. WHO Expert Consultation. (2004). Appropriate body-mass index for Asian populations
and its implications for policy and intervention strategies. The Lancet, 363, 157-163.
Dikutip dari http://www.who.int/nutrition/publications/bmi_asia_strategies.pdf
139. WHO/UNICEF. (2017). Progress on drinking water, sanitation and hygiene: Update
and SDG baselines. Geneva: WHO & UNICEF. Dikutip dari https://www.unicef.org/
publications/files/Progress_on_Drinking_Water_Sanitation_and_Hygiene_2017.pdf
140. Widodo, J. (2018, April 5th). Speech at the Office of the President.
141. World Bank. (2013). PAMSIMAS: Responding to the water and sanitation challenges in
rural Indonesia.
143. World Bank. (2017). Program-for-Results Information Document . Jakarta: World Bank. Lampiran
144. World Bank. (2017). Towards a Comprehensive, Integrated, and Effective Social
Assistance System in Indonesia.
145. World Bank. (2018). Towards inclusive growth. Jakarta: World Bank. Dikutip dari http://
documents.worldbank.org/curated/en/155961522078565468/pdf/124591-WP-PUBLIC-
mar-27-IEQMarENG.pdf
146. World Cancer Research Fund International. (2018). NOURISHING Framework. Dikutip
dari https://www.wcrf.org/int/policy/nourishing/our-policy-framework-promote-healthy-
diets-reduce-obesit
K A J I A N S E K T O R K E S E H ATA N
Lampiran 1
Perbedaan Angka Malnutrisi Antar Provinsi dan Penyebaran Gambar 11. Prevalensi Stunting pada Anak Balita menurut Provinsi Tahun 2018
yang Tidak Merata menurut Tingkat Kekayaan
Nusa Tenggara Timur 42.6
Sulawesi Barat 41.8
Aceh 37.3
Gambar 9. Kekurangan Gizi pada Anak menurut Kuintil Kekayaan pada Tahun 2013
Sulawesi Selatan 35.6
Kalimantan Tengah 34.2
% 50 48.4
Maluku 34.1
45 42.4 Nusa Tenggara Barat 33.7
38.5 Kalimantan Barat 33.5
40
Kalimantan Selatan 33.2
35 32.3 Papua 32.9
29 Jawa Timur 32.7
30
Gorontalo 32.4
25 Sulawesi Tengah 32.3
20 Sulawesi Utara 32.3
14 13 Sumatera Utara 32.3
15 11.7 11.9 10.6
Sumatera Selatan 32.0
10 Maluku Utara 31.4
Penduduk Target RPJMN 2015-2019 RENSTRA Kemenkes 2015-2019 SPM Kemenkes 2016 Lancet 2013
Wanita usia · Prevalensi anemia pada ibu Indikator Program (Sasaran Pelayanan Antenatal 1. Pemberian mikronutrien untuk
subur dan ibu hamil (Buku II) Strategis): · Mengukur berat badan, tinggi semua ibu hamil
hamil · Persentase ibu hamil Kurang Energi badan dan LILA 2. Pemberian suplemen kalsium
Kronik (KEK) (target 18.2%) · Pemeriksaan Hemoglobin darah untuk ibu hamil dengan resiko
Indikator Kegiatan: (Hb) rendah asupan kalsium
Lampiran 2
· Persentase ibu hamil Kurang Energi · Pemberian Tablet Tambah Darah 3. Pemberian makanan tambahan
Kronik yang mendapat makanan (minimal 90 tablet) dengan nergi protein seimbang
tambahan (target 95%) untuk ibu hamil sesuai kebutuhan
· Tatalaksana/penanganan kasus
· Persentase ibu hamil yang (kesehatan dan gizi termasuk
· Stunting pada anak <2 tahun · Persentase bayi baru lahir yang (sesuai yang tercantum pada 5. Edukasi pemberian makanan
mendapat Inisiasi Menyusui Dini panduan) pendamping ASI yang sesuai, dan
Buku II pemberian PMT untuk penduduk
(IMD) (target 50%)
· Prevalensi bayi dengan berat yang rawan pangan
badan lahir rendah (BBLR) · Persentase balita kurus yang Pelayanan Kesehatan Balita:
mendapat makanan tambahan 6. Pemberian kapsul Vitamin A
· Persentase bayi usia <6 bulan · Penimbangan minimal 8 kali untuk anak usia 6-59 bulan
(target 90 %). Catatan: tidak ada setahun, pengukuran tinggi/
yang mendapat ASI eksklusif perbedaan untuk kurus dan sangat 7. Pemberian suplementasi zinc
panjang badan minimal 2 kali
· Prevalensi of wasting (kurus) kurus setahun untuk pencegahan pada anak usia
pada anak <5 tahun · Persentase remaja puteri yang 12-59 bulan
· Pemberian kapsul vitamin A (2
mendapat Tablet Tambah Darah kali setahun) 8. Manajemen balita kurus (MAM)
(TTD) (target 30%) 9. Manajemen ballita gizi buruk
(SAM)
Penduduk Buku I dan II Sasaran Kegiatan: · Deteksi kemungkinan obesitas
secara umum Obesitas pada dewasa 18+ · Menurunnya angka kesakitan dan pada kelompok usia 15-49 tahun 10. Pemberian garam beryodium
tahun kematian akibat penyakit tidak dilakukan dengan mengukur
menular. tinggi badan dan berat badan
serta lingkar perut
Indikator Kegiatan:
· Tidak ada indikator untuk obesitas
Wanita usia subur dan ibu hamil · Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan (2013)
· Pedoman Penanggulangan Kurang Energi Kronik (KEK) pada Ibu Hamil (2015)
· Panduan Penyelenggaraan Pemberian Makanan Tambahan Pemulihan bagi Balita Gizi Kurang dan Ibu Hamil KEK
(Bantuan Operasional Kesehatan) (2012)
· Petunjuk Teknis Pemberian Makanan Tambahan (Balita, Ibu Hamil, Anak Sekolah) (2017)
· Pedoman Pencegahan dan Penanggulangan Anemia pada Remaja Putri dan Wanita Usia Subur (WUS) (2016)
Bayi dan anak · Petunjuk Teknis Pelayanan Kesehatan Neonatal Esensial di Layanan Kesehatan Dasar (2012)
· Petunjuk Teknis Penggunaan Buku Kesehatan Ibu dan Anak (2015)
· Panduan Manajemen Suplementasi Vitamin A (2009)
· Pedoman Pelayanan Anak Gizi Buruk (2011)
· Buku Bagan Tatalaksana Anak Gizi Buruk (Buku I), Petunjuk Teknis Tatalaksana Anak Gizi Buruk (Buku II) (2013)
· Petunjuk Teknis Pemberian Makanan Tambahan (2017)
· Panduan Sosialisasi Tatalaksana Diare Balita (2011)
· Pedoman Pengendalian Kecacingan (2012)
Penduduk secara umum · Petunjuk Teknis Pos Pembinaan Terpadu Penyakit Tidak Menular (2012)
· Petunjuk Teknis Surveilans Penyakit Tidak Menular (2015)
Lampiran • 83
Survei Gizi dan Sistem Pengumpulan Data
Jenis Survei Lembaga Frekuensi Metode dan tipe data yang dikumpulkan Pelaporan dan tantangan
Riset Badan 5-tahunan Survei sekali waktu (cross-sectional) terhadap sekitar 300,000 rumah Informasi banyak digunakan
Kesehatan Penelitian dan tangga. Indikator gizi: untuk perencanaan dan untuk
Dasar Pengembangan (i) antropometri (anak <5 tahun) mengukur dampak.
Kesehatan, (ii) menyusui
Kemenkes (iii) asupan mikronutrien (ibu hamil TTD & vitamin A, anak <5 tahun
Lampiran 3
vitamin A)
(iv) pengobatan (untuk diare & suplementasi zinc)
(v) garam beryodium (sampel urin dikumpulkan tahun 2007 & 2013)
Survei Sosial Badan Pusat Dua kali Survei sekali waktu (cross-sectional) terhadap sekitar 300.000 rumah Digunakan untuk menghitung
Ekonomi Statistik per tahun tangga di bulan Maret dan 75.000 rumah tangga di bulan September. tingkat kemiskinan dan
Nasional Indonesia Data konsumsi/pengeluaran rumah tangga dikumpulkan. Indikator gizi sebagai alat pemantauan
(Susenas) yang dikumpulkan termasuk: untuk pembangunan.
(i) praktik menyusui
Studi Diet Badan Survey Survei sekali waktu (cross-sectional) terhadap 191.524 individual dari Digunakan untuk menentukan
Total Penelitian dan satu kali 51.127 rumah tangga. pola konsumsi makanan
Pengembangan Data yang dikumpulkan tentang: dan kecukupan gizi dari diet,
Kesehatan, pengolahan makanan & teknik
Kemenkes (i) konsumsi makanan individu memasak.
(ii) analisis kontaminasi kimia bahan makanan
Surveilan gizi Direktorat Gizi Tahunan Survei sekali waktu (cross-sectional) melalui 30 teknik pengambilan Digunakan untuk memantau
Masyarakat, sampel secara kelompok (cluster SAMpling) di tingkat kabupaten. Data status gizi ibu hamil dan anak-
Kemenkes yang dikumpulkan adalah data anak <5 tahun dan ibu hamil. Seluruhnya anak untuk perencanaan dan
ada 15 indikator gizi yang dikumpulkan termasuk: pemantauan.
(i) indikator antropometri anak <5 tahun
(ii) praktik menyusui
(iii) suplementasi zat besi untuk ibu
(iv) suplementasi vitamin A untuk anak-anak
(v) anak-anak dan ibu hamil dengan gizi kurang yang menerima biskuit
(vi) LILA wanita usia subur
(vii) Pengujian garam beryodium
Jenis Survei Lembaga Frekuensi Metode dan tipe data yang dikumpulkan Pelaporan dan tantangan
Sistem Kementerian Bulanan Data dikumpulkan melalui fasilitas layanan kesehatan masyarakat. Tidak ada kewajiban bagi
surveilan Kesehatan Indikator mencakup cakupan: kabupaten untuk melaporkan
kesehatan (i) pemantauan pertumbuhan (berat badan per umur saja) indikator sehingga tidak semua
rutin (ii) kasus malnutrisi akut yang diobati fasilitas kesehatan masyarakat
(iii) suplementasi vitamin A untuk anak-anak melakukan pelaporan.
(iv) suplementasi zat besi untuk ibu, Kompilasi data dan umpan
(v) pemberian ASI eksklusif balik yang sangat lambat.
(vi) konsumsi garam beryodium
SMS-Gateway Direktorat Gizi Diluncurkan pada tahun 2011, pelaporan waktu nyata (real-time) untuk Tingkat respon yang rendah.
(Sistem Masyarakat, gizi buruk akut dilaporkan oleh petugas puskesmas melalui perangkat Bukti anekdotal bahwa pihak
Pelaporan Kemenkes ponsel. Laporan diterima oleh server untuk dimasukkan ke dalam basis berwenang di kabupaten tidak
Kasus gizi data (database) yang kemudian ditampilkan melalui internet secara ingin melaporkan jumlah
real time- gizi waktu nyata (real time) (http://gizi.depkes.go.id/sms-gateway/) kasus yang tinggi.
buruk akut)
Sistem Direktorat Gizi E-PPGBM adalah aplikasi untuk mencatat dan melaporkan status gizi Belum ada evaluasi terhadap
elektronik Masyarakat, anak dan wanita hamil secara cepat, akurat, teratur dan berkelanjutan efektivitas aplikasi ini
untuk Kemenkes untuk persiapan perencanaan dan perumusan kebijakan gizi. Indikator
pelaporan gizi:
indikator gizi (i) antropometri
(E-PPGBM) (ii) ASI eksklusif
(iii) Cakupan vitamin A, TTD dan PMT
menuju kemandirian pangan Kemandirian dan Diversifikasi menjadi 1.0 %/Tahun (2015-2019). Daerah Provinsi dalam target capaian tahun
dengan peningkatan produksi Konsumsi Pangan. 2015:
pangan pokok; (ii) stabilisasi Kegiatan: a. Ketersediaan dan Cadangan Pangan:
harga bahan pangan; (iii) SASARAN PEMBANGUNAN Pengembangan ketersediaan dan penanganan Penguatan cadangan pangan 60% pada
perbaikan kualitas konsumsi KETAHANAN PANGAN rawan pangan tahun 2015.
Definisi Operasional:
a. Cadangan Pangan di tingkat pemerintah:
* Tersedianya cadangan pemerintah di tingkat
kabupaten/kota minimal sebesar 100 ton
ekuivalen beras dan di tingkat provinsi
minimal sebesar 200 ton ekuivalen beras;
b. Cadangan Pangan di tingkat masyarakat:
* Penyediaan cadangan pangan sebesar 500
kg ekuivalen beras di tingkat rukun tetangga
(RT) untuk kebutuhan minimal 3 bulan, yang
bersifat pangan pokok tertentu dan sesuai
dengan potensi lokal
Target capaian penguatan cadangan
pangan (cadangan pangan pemerintah dan
cadangan pangan masyarakat) sebesar 60%
Lampiran • 87
Definisi:
Pola Pangan Harapan (PPH) adalah susunan
beragam pangan yang didasarkan pada
sumbangan energi dari kelompok pangan
Lampiran 4
Definisi Operasional:
Definisi:
Kerawanan pangan adalah suatu kondisi
ketidakcukupan pangan yang dialami daerah,
masyarakat atau rumah tangga pada waktu
tertentu untuk memenuhi standar kebutuhan
fisiologis bagi pertumbuhan dan kesehatan
masyarakat.
Definisi Operasional:
Penanganan rawan pangan dilakukan pertama
melalui pencegahan kerawanan pangan
untuk menghindari terjadinya rawan pangan
disuatu wilayah sedini mungkin dan kedua
melakukan penanggulangan kerawanan
pangan pada daerah yang rawan kronis
melalui program-progam sehingga rawan
pangan di wilayah tersebut dapat tertangani,
dan penanggulangan daerah rawan transien
melalui bantuan social.
Target capaian penanganan daerah rawan
pangan sebesar 60% pada tahun 2015.
74.093 desa
rumah tangga desa; 3. Meningkatnya pelayanan sosial dasar di 5.000
desa tertinggal dan 2.000 desa berkembang
(ii) fasilitasi, pembinaan, potensi mandiri
maupun pendampingan dalam 4. Meningkatnya pembangunan sarana dan
jaminan kualitas air untuk * Tercapainya pengentasan mendukung ketahanan air, kedaulatan pangan, masyarakat
kehidupan sehari-hari: Indikator: permukiman kumuh perkotaan dan ketahanan energi guna menggerakkan sektor- Indikator:
* Peningkatan kapasitas air baku menjadi 0 persen melalui sektor strategis ekonomi domestik dalam rangka 1. Persentase tersedinya air baku untuk
nasional dari 51,44 m3/det penanganan kawasan kemandirian ekonomi. memenuhi kebutuhan
(2014) menjadi 118,6 m3/det. permukiman kumuh seluas pokok minimal sehari-hari; dan
Indikator Kegiatan:
Fasilitasi SPAM PDAM:
* Jumlah PDAM yang difasilitasi
* Jumlah kawasan SPAM MBR (Masyarakat
Berpenghasilan Rendah) yang dikembangkan
jaringannya
Meningkatkan perlindungan, Sasaran: Masalah Kesejahteraan Sosial) lainnya sebesar 1 Masalah Kesejahteraan Sosial skala provinsi.
produktivitas dan pemenuhan Tersalurkannya bantuan tunai (satu) persen pada tahun 2019
hak dasar bagi penduduk bersyarat bagi masyarakat Indikator:
kurang mampu, melalui (i) miskin dan rentan. Indikator: Persentase (%) PMKS skala provinsi
penataan asistensi sosial 1.1. Persentase (%) keluarga miskin dan yang memperoleh bantuan sosial. Untuk
JAMINAN SOSIAL
Harapan (PKH) Tujuan: terpadu “Program Penanganan Fakir Miskin”. tahun 2014.
(i) untuk meningkatkan standar hidup Kelompok ditargetkan untuk kesehatan, Anggaran untuk cakupan 10 juta rumah tangga
Lembaga keluarga penerima manfaat melalui akses pendidikan, dan/atau kesejahteraan sosial: penerima pada tahun 2018 adalah Rp 17,3
pelaksana: ke pendidikan, kesehatan dan pelayanan 1. Kesehatan triliun.
Voucher Makanan
kabupaten. Target untuk 2018 adalah
dan mencapai (secara akumulatif 2017 + 2018)
10 juta keluarga penerima manfaat di 220
BPNT atau Bantuan kabupaten.
Pangan Non-Tunai
(i) untuk menciptakan lapangan • Desa dengan tingkat stunting tinggi; Program ini baru dimulai pada 2018,
Lembaga penyelenggara: kerja; jadi belum ada data tentang dampak
• Desa dengan jumlah pengangguran yang tersedia.
Kementerian Desa (ii) untuk mendorong kebersamaan, tinggi;
gotong royong dan partisipasi
PERTANIAN
Program Deskripsi Sasaran dan Cakupan Biaya dan Dampak
Kebun Rumah KRPL adalah upaya untuk meningkatkan Target groups: Biaya:
produksi buah dan sayuran untuk rumah
Kawasan Rumah Pan- tangga miskin. · Tahap Penumbuhan (2019): Biaya untuk 2017 adalah Rp 29,9 juta
gan Lestari (KRPL) (Badan Ketahanan Pangan, 2017)
Tujuan: 2.300 Kelompok atau Desa
Dampak:
(i) optimalisasi pemanfaatan pekaran- · Tahap Pengembangan (Kegiatan
Lembaga penyeleng- gan sebagai sumber pangan dan gizi lanjutan 2018): Hasil evaluasi (Kementerian Pertanian,
gara: keluarga serta pendapatan secara 2018)
2.300 Kelompok atau Desa
berkelanjutan.
Kementerian Pertanian • Peningkatan pendapatan keluar-
Selain kelompok sasaran baru di ga dan masyarakat menyebabkan
KRPL adalah intensifikasi berkebun di
2019: ada 442 kabupaten/kota di 34 pengurangan pengeluaran pangan
rumah yang mengoptimalkan penggu-
provinsi dengan prioritas sebagai sebesar Rp 750.000 hingga Rp
naan sumber daya lokal untuk menjamin
daerah rawan pangan dan kabupat- 1.500.000 / bulan
keberlangsungan penyediaan makanan
en prioritas untuk program stunting
rumah tangga yang berkualitas tinggi dan
(Badan Ketahanan Pangan, 2018). • Mendukung diversifikasi pan-
beragam bagi masyarakat.
gan berbasis sumber daya lokal
untuk meningkatkan Konsumsi
B2SA* (Meningkatkan diversifikasi
Penerima manfaat:
Kegiatan meliputi: makanan) (Skor Pola Pangan Hara-
Kelompok wanita/kelompok mas- pan dari 85.2 di tahun 2015 menjadi
• Petak demonstrasi (Demplot), Kebun 90.4 di tahun 2017)
yarakat lainnya dengan anggota
Bibit Desa;
minimal 30 rumah tangga per KRPL
• Konservasi sumber daya genetik
• Pengembangan lahan pekarangan; lokal 300 komoditas
(Hendriadi, 2018)
• Pengembangan kebun sekolah;
• Pengolahan hasil pekarangan (Menu
Cakupan:
B2SA)
· 2014 4.303; 2015 2.599; 2016 4.877
(Badan Ketahanan Pangan, 2017)
B2SA * adalah singkatan untuk Makanan
Beragam, Bergizi, Seimbang dan Aman.
Lampiran • 105
PENDIDIKAN
Program Deskripsi Sasaran dan Cakupan Biaya dan Dampak
Pendidikan Anak PAUD menggunakan pendekatan Kelompok sasaran: Biaya:
USia Dini komprehensif untuk pengembangan anak
usia dini. Anak sejak lagir sampai usia 6 tahun.
Biaya di tahun 2017 adalah Rp 1.7 triliun.
Program PAUD
atau Pendidiakn Tujuan: Cakupan: Dampak:
Anak Usia Dini • Pada tahun 2011, 66% institusi PAUD
Lampiran 5
(i) untuk memberikan rangsangan melaksanakan program gizi dan · Indonesia cenderung
pendidikan untuk membantu kesehatan. memperlihatkan hasil kurang baik
pertumbuhan dan perkembangan fisik • Tingkat partisipasi PAUD telah dibandingkan negara lain dalam tiga
Lembaga dan spiritual agar anak memiliki kesiapan meningkat dari 50% pada tahun 2010, bidang: cakupan program dari 25
penyelenggara: dalam memasuki pendidikan lebih lanjut. 67% pada tahun 2013 menjadi 72% intervensi PAUD; kesetaraan dengan
(Evaluation Report of the 2012 – 2015 Local tinggi yang menerima obat cacing.
Food-Based School Meal Program (LFBSM))
Program Deskripsi Sasaran dan Cakupan Biaya dan Dampak
Program makanan di sekolah diperluas Kelompok sasaran: Biaya:
mulai tahun 2016.
Pemberian Makanan Anak usia sekolah dasar, perempuan Informasi tidak tersedia.
Tambahan di Seko- Tujuan: dan petani lokal.
lah) Dampak:
(i) untuk mendorong rantai pasokan Cakupan:
Program Gizi Anak makanan sekolah yang berkelanjutan Survei dasar dan akhir terhadap para
Lampiran 5
Sekolah (Pro-GAS) dan, mempromosikan diet bergizi dan Pada tahun 2017, Pro-GAS telah siswa program pemberian makanan tam-
seimbang dengan fokus khusus pada meningkat di lima provinsi dengan bahan di sekolah di Indonesia menemukan
(National School siswa usia sekolah dasar, perempuan mencapai 100.000 siswa dan 563 bahwa ada:
Meals dan pemuda sekolah dasar di 11 kabupaten prior-
itas stunting, dibandingkan dengan • peningkatan signifikan dalam jumlah
Lampiran • 111
112 • Pembangunan Gizi di Indonesia
Direktorat Kesehatan dan Gizi Masyarakat
Kedeputian Pembangunan Manusia, Masyarakat dan Kebudayaan
Kementerian PPN/Bappenas
Jalan Taman Suropati No. 2, Jakarta Pusat, 10310
Telp: (021) 31934379, Fax: (021) 3926603
Email: kgm@bappenas.go.id
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember
MKMI
MEDIA KESEHATAN MASYARAKAT INDONESIA
The Indonesia Journal of Public Health
Media Kesehatan Masyarakat Indonesia adalah publikasi ilmiah yang menerima setiap tulisan ilmiah
dibidang kesehatan, baik laporan penelitian (original articel research paper),
makalah ilmiah (review paper) maupun laporan kasus (case report) dalam
bahasa Indonesia atau Inggris.
Penanggung Jawab
Dr. Aminuddin Syam, SKM, M.Kes., M.Med.Ed (Dekan FKM UNHAS)
Pemimpin Redaksi
Dr. Ida Leida M. Thaha, SKM, M.KM, MSc.PH
Redaksi Pelaksana
Dr. Andi Ummu Salmah, SKM, MSc
Jumriani Ansar, SKM, M.Kes
Indra Fajar Wati, SKM. MA
Muh. Yusran Amir, S.KM., MPH
Dr. dr. Masyitha Muis, MS
Syamsuar Manyullei, SKM, M.Kes, MSc.PH
Nur Arifah, S.KM., MA
Andi Imam Arundhana, S.Gz., MPH
Sekretariat
Andi Selvi Yusnitasari, SKM, M.Kes
Sirkulasi
Syamsiah, S.E
Drs. Syamsu Alam
Administrasi
Lolah Auliya Muthmainnah, SKM
Ummul Qura, SKM
Jurnal ini diterbitkan oleh Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin 4 kali setahun (Maret, Juni,
September, Desember). Surat menyurat menyangkut naskah, langganan dan sebagainya dapat dialamatkan ke :
Sekretariat
Redaksi Jurnal Media Kesehatan Masyarakat Indonesia
Ruang Jurnal FKM Lt.1 Ruang K108 Kampus Unhas Tamalanrea 90245
Telp (0411) 586 658, Fax (0411) 586013, E-mail : jurnal.mkmi@gmail.com
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember
MKMI
MEDIA KESEHATAN MASYARAKAT INDONESIA
The Indonesia Journal of Public Health
DAFTAR ISI
Status Gizi dan Sosial Ekonomi sebagai Penyebab Anemia Ibu Hamil 1-14
Evi Martha, Herlena Hayati
Daun Sirsak (Annona Muricata L.) Efektif Menurunkan Kadar Gula Darah 15-25
Siti Fadlilah, Adi Sucipto, Nazwar Hamdani Rahil, Sumarni Sumarni
Hubungan Mutu Pelayanan dengan Kepuasan Pasien di Instalasi Rawat Inap 38-47
Rumah Sakit Ibnu Sina YW-UMI
Fridawaty Rivai, Syalwinda Lestari, Khalid Shaleh
Kejadian Mild Cognitive Impairement pada Petani Tembakau Pengguna Pestisida 76-88
di Kabupaten Jember
Reny Indrayani, dkk
Puzzle Gizi sebagai Upaya Promosi terhadap Perilaku Gizi Seimbang pada Siswa 89-99
Ade Saputra Nasution, Andreanda Nasution
Prevalensi dan Faktor yang Berhubungan dengan Terjadinya Beban Gizi Ganda 100-115
pada Keluarga di Indonesia
Nur Fitri Widya Astuti, Emy Huriyati, Susetyowati Susetyowati
Karakterisasi DNA Mikrobiota Usus Bayi pada Persalinan Normal yang diberi 116-126
ASI dan Susu Formula
Mudyawati Kamaruddin, dkk
Akses Sanitasi, Merokok dan Annual Parasite Incidence Malaria sebagai Predik- 127-139
tor Stunting Baduta di Indonesia
Zenderi Wardani, Dadang Sukandar, Yayuk Farida Baliwati, Hadi Riyadi
Jember
2Departemen Gizi Kesehatan, Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan
ABSTRAK
Perkembangan urbanisasi dan ekonomi pada negara berkembang menyebabkan terjadinya
nutrition transition. Hal ini mengakibatkan munculnya fenomena beban gizi ganda pada keluarga dimana
terdapat anggota rumah tangga yang memiliki status gizi kurang dan lebih tinggal dalam satu keluarga.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi dan faktor-faktor yang berhubungan dengan
fenomena beban gizi ganda pada keluarga di Indonesia. Penelitian cross-sectional ini menggunakan data
Indonesian Family Life Survey (IFLS) tahun 2014 dengan jumlah sampel sebesar 6468 keluarga. Indikator
beban gizi ganda keluarga ditunjukkan dengan adanya status gizi lebih dan kurang tinggal dalam satu
keluarga yang diwakili oleh ibu dan anak. Analisis statistik dengan metode chi-square digunakan untuk
menguji variabel yang memiliki hubungan dengan terjadinya beban gizi ganda keluarga. Hasil
menunjukkan prevalensi beban gizi ganda keluarga di Indonesia adalah 8,27% dan persentase tertinggi
terdapat pada regional Kalimantan dan Indonesia Timur. Faktor-faktor yang berhubungan dengan
kejadian beban gizi ganda secara signififikan (p<0,05) pada keluarga di Indonesia adalah usia ibu (p =
0,001), pendidikan ibu (p = 0,022), jumlah anak (p = 0,001) dan jumlah anggota rumah tangga (p = 0,001).
Penelitian lanjutan dengan metode longitudinal diperlukan untuk mengetahui prediktor beban gizi ganda
pada keluarga di Indonesia sehingga dapat dirumuskan intervensi yang tepat untuk pencegahan masalah
tersebut.
Kata Kunci : Beban gizi ganda, keluarga, Indonesia
ABSTRACT
Urbanization and economic rapid developments in the developing countries cause a nutrition
transition. They affect the household dual burden of malnutrition in which there is overnutrition and
undernutrition occuring at the same time in a household. This study proposed to calculate the prevalence of
household dual burden malnutrition and find its determinants. This cross-sectional study use the Indonesian
Family Life Survey (IFLS) 2014 data with total of 6468 families were enrolled as the sample of the study. The
household dual burden malnutrition indicator is represented by mother and children’s nutritional status.
Descriptive analysis and chi-square test were used in this study. The study found that the prevalence of
household dual burden malnutrition in Indonesia is 8.27% in which the Borneo and Eastern Indoesia region
has the higest prevalence. Maternal age (p = 0.001), maternal education (p = 0.022), number of children (p =
0.001), and number of household members (p = 0.001) were having significant correlation (p<0.05) with the
household dual burden malnutrition in Indonesia. Further study by using longitudinal design is needed to find
the predictors of it so the government can formulate an effective and efficient intervenion to prevent adverse
effects of household dual burden malnutrition to the community.
Keywords : Dual burden malnutrition, households, Indonesia
100
Digital
Digital Repository
Repository
101 of 115 Nur
Universitas
Universitas
Fitri Widya Astuti, et
Jember
Jember
al | MKMI | 16(1) | 2020 | 100-115
PENDAHULUAN
Proses globalisasi, modernisasi, urbanisasi, dan ekonomi yang bergerak dengan cepat
menyebabkan terjadinya nutrition transtition dan terciptanya lingkungan obesogenik
(obesogenic environment). Hal ini berdampak pada meningkatnya angka obesitas, padahal
disisi lain masalah gizi kurang juga masih menjadi masalah kesehatan.1 Hal ini menimbulkan
sebuah fenomena baru yaitu beban gizi ganda (dual burden malnutrition) yang didefinisikan
sebagai suatu kondisi dimana terdapat masalah gizi kurang (undernutrition) dan gizi lebih
(overnutrition) yang terjadi di waktu yang sama. Fenomena ini tidak hanya terjadi pada
tingkat populasi dan individu, tetapi juga pada tingkat rumah tangga2,3
Secara global, kasus beban gizi ganda direpresentasikan dengan 1,9 milyar orang usia
dewasa memiliki status gizi lebih dan 200 juta balita mengalami status gizi kurang. 4
Sementara di Asia, prevalensi beban gizi ganda berada pada kisaran 5-29%.2 Prevalensi
beban gizi ganda di Indonesia menunjukkan peningkatan dalam rentang tahun 1993- 2007,
dimana saat ini sekitar satu dari empat keluarga di Indonesia (24,7%) mengalami beban
gizi ganda dan kondisi ini diprediksi akan terus meningkat.5,6 Hasil penelitian sebelumnya
menunjukkan bahwa fenomena ini lebih banyak terjadi pada pasangan ibu dan anak,
dimana anak memiliki status gizi kurang dan ibu memiliki status gizi lebih.7,8
Fenomena beban gizi ganda pada keluarga memiliki dampak kesehatan jangka
panjang bagi anggota keluarga yang mengalami malnutrisi, seperti gangguan
perkembangan pada anak, kerentanan terhadap penyakit menular, menurunnya
produktifitas kerja, outcome kehamilan yang buruk, dan risiko penyakit degeneratif.9,10
Selain itu, keluarga dengan masalah beban gizi ganda juga dapat mengalami peningkatan
beban ekonomi dalam bentuk peningkatan biaya kesehatan serta hilangnya upah dan
produktivitas, sehingga dapat mempengaruhi kondisi ketahanan pangan, gizi, dan
kesejahteraan keluarga.10,11
Masalah beban gizi ganda di dalam rumah tangga mungkin terjadi akibat perbedaan
usia antar anggota keluarga yang menyebabkan adanya perbedaan kondisi fisiologis dan
kebutuhan gizi. Hal ini menyebabkan adanya potensi perbedaan alokasi sumber daya di
dalam rumah tangga.12 Selain itu, ketimpangan pendapatan masyarakat pada tingkat
regional maupun negara juga memberikan kontribusi dalam berkembangnya masalah
ini.13,14
Beberapa penelitian terdahulu terkait beban gizi ganda menunjukkan bahwa faktor-
faktor yang berhubungan dengan terjadinya beban gizi ganda pada tingkat keluarga secara
signifikan merujuk pada faktor langsung dan tak langsung yang berkaitan dengan status
Digital
Digital Repository
Repository
102 of 115 Nur
Universitas
Universitas
Fitri Widya Astuti, et
Jember
Jember
al | MKMI | 16(1) | 2020 | 100-115
gizi, seperti faktor asupan makanan, ketahanan pangan, karakteristik ibu dan anak, tingkat
ekonomi keluarga, dan tingkat pendidikan.5,6,7,15 Selain faktor-faktor tersebut, faktor
lingkungan, fasilitas kesehatan, dan wilayah tempat tinggal juga memiliki peran yang
penting dalam pengentasan masalah malnutrisi.16,17,18
Adanya perbedaan demografis, karakteristik dan budaya masyarakat memungkinkan
adanya perbedaan faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian beban gizi ganda antar
negara. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana status gizi
pada tingkat keluarga, mengetahui prevalensi kasus beban gizi ganda pada keluarga dan
mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan terjadinya fenomena tersebut pada
tingkat keluarga di Indonesia. Pendekatan dan analisis tingkat keluarga digunakan untuk
menghasilkan sebuah kajian untuk mendukung peningkatan derajat kesehatan melalui
pendekatan keluarga, sesuai dengan tujuan dari pemerintah dalam mengatasi masalah
kesehatan di Indonesia.19
Penentuan status gizi pada tingkat keluarga terdiri dari 4 kategori, yaitu keluarga
dengan status gizi normal (keluarga yang memiliki ibu dan anak dengan status gizi normal),
keluarga dengan status gizi kurus (keluarga yang memiliki pasangan ibu dan anak
setidaknya ada salah satu yang memiliki status gizi kurus, tapi tidak ada yang gemuk),
keluarga dengan status gizi gemuk (keluarga yang memiliki pasangan ibu dan anak
setidaknya ada satu yang gemuk dan tidak ada yang kurus), dan keluarga dengan status gizi
beban gizi ganda (keluarga yang memiliki pasangan ibu dan anak gemuk dan kurus atau
sebaliknya).6 Faktor maternal (usia ibu, pekerjaan ibu, dan pendidikan ibu), tingkat
ekonomi, kepemilikan jaminan kesehatan (jamkesmas), fasilitas Buang Air Besar (BAB) di
rumah, sanitasi umum, dan wilayah tempat tinggal keluarga akan diuji untuk mengetahui
faktor yang berhubungan dengan kejadian beban gizi ganda pada keluarga di Indonesia.
Analisis univariat dilakukan untuk mengetahui karakteristik pada tingkat keluarga
dan juga menentukan prevalensi beban gizi ganda. Analisis bivariat menggunakan uji chi-
square test untuk menguji variabel yang memiliki hubungan dengan terjadinya fenomena
beban gizi ganda. Analisis bivariat pada penelitian ini, keluarga dengan status gizi normal,
kurus dan gemuk direduksi menjadi satu kategori, sehingga hanya terdapat dua kategori
yaitu keluarga dengan beban gizi ganda dan tidak. Hasil analisis akan disajikan dalam
Digital
Digital Repository
Repository
104 of 115 Nur
Universitas
Universitas
Fitri Widya Astuti, et
Jember
Jember
al | MKMI | 16(1) | 2020 | 100-115
bentuk tabel dan narasi. Pengolahan dan analisis data pada penelitian ini menggunakan
software STATA 13. Data yang digunakan pada penelitian ini telah mendapatkan
persetujuan dewan komisi etik dari RAND Corporation dan Universitas Gadjah Mada
(KE/FK/0636/EC/2017).
HASIL
Setelah melalui proses pemilihan sampel, akhirnya diperoleh sampel sebesar 6468
keluarga untuk dilakukan analisis lebih lanjut. Berdasarkan hasil analisis, keluarga yang
menjadi sampel pada penelitian ini sebagian besar memiliki ibu dengan usia 31-40 tahun
(44,85%), memiliki pendidikan menengah (53,08%), dan tidak bekerja (34,69%). Selain itu,
sebagian besar keluarga memiliki tingkat ekonomi yang berada pada kuintil 2 atau miskin
(23,35%) dan bertempat tinggal di daerah perkotaan (57,20%). Terkait sanitasi rumah,
sejumlah (81,91%) keluarga sudah memiliki fasilitas Buang Air Besar (BAB) di rumah.
Selain itu, kepemilikan asuransi kesehatan memiliki persentase yang hampir sama antara
keluarga yang sudah memiliki asuransi kesehatan maupun yang belum (Tabel 1).
Tabel 1a. Karakteristik Sosial Demografi Keluarga di
Indonesia
Karakteristik n=6468 %
Usia Ibu (tahun)
< 21 47 0,73
21-30 1560 24,12
31-40 2901 44,85
> 40 1960 30,30
Pendidikan Ibu
Tidak sekolah 206 3,18
Dasar 2134 32,99
Menengah 3434 53,08
Tinggi 695 10,75
Pekerjaan Ibu
Wiraswasta 1679 25,96
Pekerja kantoran 1336 20,66
Pekerja lepas 1209 18,69
Tidak bekerja 2244 34,69
Tingkat Ekonomi
Kuintil 1 (Sangat miskin) 1464 22,63
Kuintil 2 (Miskin) 1510 23,35
Kuintil 3 (Menengah) 1457 22,53
Kuintil 4 (Kaya) 1295 20,02
Kuintil 5 (Sangat kaya) 742 11,47
Jumlah Anggota Rumah
Tangga (orang)
2-4 4153 64,21
5-7 2144 33,15
>7 171 2,64
Digital
Digital Repository
Repository
105 of 115 Nur
Universitas
Universitas
Fitri Widya Astuti, et
Jember
Jember
al | MKMI | 16(1) | 2020 | 100-115
ganda pada keluarga di Indonesia, yaitu faktor usia ibu (p = 0,001), pendidikan ibu (p =
0,022), jumlah anak (p = 0,001), dan jumlah anggota rumah tangga (p = 0,001) (Tabel 3).
Tabel 3a. Faktor yang Berhubungan dengan Terjadinya Beban Gizi Ganda pada
Keluarga di Indonesia
Beban Gizi Ganda Keluarga
Karakteristik Ya Tidak p
n=535 % n=5933 %
Usia Ibu (tahun)
< 21 2 4,26 45 95,74
21-30 81 5,19 1479 94,81
0,001*
31-40 267 9,20 2634 90,80
> 40 185 9,44 1775 90,56
Pendidikan Ibu
Tidak sekolah 15 7,28 191 92,72
Dasar 207 9,70 1927 90,30
0,022*
Menengah 267 7,78 3166 92,22
Tinggi 46 6,62 649 93,38
Pekerjaan Ibu
Wiraswasta 146 8,70 1533 91,30
Pekerja kantoran 117 8,76 1219 91,24
0,671
Pekerja lepas 94 7,78 1115 92,22
Tidak bekerja 178 7,93 2066 92,07
Tingkat Ekonomi
Kuintil 1 (Sangat miskin) 114 7,79 1350 92,21
Kuintil 2 (Miskin) 123 8,15 1387 91,85
Kuintil 3 (Menengah) 136 9,33 1321 90,67 0,565
Kuintil 4 (Kaya) 104 8,03 1191 91,97
Kuintil 5 (Sangat kaya) 58 7,62 684 92,18
Jumlah Anggota Rumah
Tangga (orang)
2-4 282 6,74 3871 93,21
5-7 235 10,71 1909 89,04 0,001*
>7 18 10,53 153 89,47
Digital
Digital Repository
Repository
107 of 115 Nur
Universitas
Universitas
Fitri Widya Astuti, et
Jember
Jember
al | MKMI | 16(1) | 2020 | 100-115
Tabel 3b. Faktor yang Berhubungan dengan Terjadinya Beban Gizi Ganda pada
Keluarga di Indonesia
Beban Gizi Ganda Keluarga
Karakteristik Ya Tidak p
n=535 % n=5933 %
Jumlah Anak (orang)
≤2 320 6,64 4498 93,36
0,001*
>2 215 13,03 1435 86,97
Wilayah Tempat Tinggal
Desa 223 8,06 2545 91,94
0,587
Kota 312 8,43 3388 91,57
Fasilitas BAB
Ada 440 8,31 4858 91,69
0,835
Tidak ada 95 8,12 1075 91,88
Sanitasi Umum Rumah
Baik 326 8,01 3744 91,99
0,320
Tidak baik 209 8,72 2189 91,28
Kepemilikan Asuransi
Kesehatan
Ya 268 8,17 3013 91,83
0,760
Tidak 267 8,38 2920 91,62
Regional Tempat
Tinggal
Jawa-Bali 300 8,11 3399 91,89
Sumatera 126 7,91 1467 92,09 0,379
Lainnya a 109 9,27 1067 90,73
Sumber: Indonesian Family Life Survey, 2014
*Singnifikan pada tingkat p<0,05
a(Kalimantan dan Indonesia Timur)
PEMBAHASAN
Penelitian ini menunjukkan bahwa prevalensi beban gizi ganda menurun dari tahun
2007 yang mencapai angka 20%.6 Penurunan ini dapat disebabkan karena adanya
perbedaan dalam penentuan kriteria beban gizi ganda pada keluarga dimana sebelumnya
menggunakan indikator seluruh keluarga, tetapi pada penelitian ini hanya digunakan
pasangan ibu dan anak untuk menentukan status beban gizi ganda pada keluarga. Penelitian
di Semarang dan Jawa Barat, menggunakan indikator beban gizi ganda dengan sampel
pasangan ibu dan anak, menunjukkan hasil prevalensi diatas 30%.8,25 Tingginya prevalensi
beban gizi ganda pada keluarga pada penelitian tersebut dikarenakan hanya pada satu
lingkup kota dan provinsi, sedangkan pada penelitian ini lingkup sampel adalah seluruh
Indonesia.
Hasil penelitian menunjukkan beberapa variabel seperti usia ibu, pendidikan ibu,
jumlah anggota rumah tangga, dan jumlah anak memiliki hubungan yang signifikan
terhadap terjadinya beban gizi ganda pada tingkat keluarga. Penelitian terkait sebelumnya
Digital
Digital Repository
Repository
108 of 115 Nur
Universitas
Universitas
Fitri Widya Astuti, et
Jember
Jember
al | MKMI | 16(1) | 2020 | 100-115
memaparkan bahwa pada kondisi beban gizi ganda dengan status gizi lebih terjadi pada ibu,
usia ibu yang semakin bertambah meningkatkan peluang terjadinya obesitas karena adanya
penurunan metabolisme tubuh yang mengakibatkan penumpukan massa lemak tubuh yang
berpengaruh pada kenaikan berat badan yang akhirnya mempengaruhi tingkat IMT
seseorang.7,26,27 Meskipun mayoritas status gizi pada ibu lebih banyak dengan status
overweight, terdapat pula ibu dengan status gizi kurang dan anak dengan status gizi lebih.
Sebuah penelitian di Bangladesh menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang
signifikan antara usia dan status gizi kurang. Hal ini terjadi karena terkait dengan ketahanan
pangan dan diversifikasi pangan pada keluarga sehingga mempengaruhi status gizi individu
di dalamnya.28 Selain itu, penelitian di Tajik menunjukkan adanya korelasi positif antara gizi
kurang karena terjadi proses inflamasi di dalam tubuh karena proses inflamasi berkaitan
dengan daya imunitas tubuh individu. Saat daya tahan tubuh rendah, maka menyebabkan
seseorang rentan terhadap terjadinya kesakitan, seperti infeksi atau penyakit karena stress
oksidatif.29,30
Selain itu, rendahya ketahanan pangan dan keberagaman pangan pada rumah tangga
serta kejadian infeksi dapat menyebabkan seseorang mengalami defisiensi mikronutrient.
Hal tersebut dapat berpengaruh terhadap metabolisme tubuh dan akhinya berdampak pada
terjadinya status gizi kurang pada individu.31,32 Namun, disisi lain, penelitian yang dilakukan
di Afrika Utara menunjukkan bahwa tidak ada korelasi yang signifikan antara usia ibu dan
kejadian beban gizi ganda pada keluarga.33
Hasil analisis menunjukkan bahwa jumlah anak juga berhubungan dengan terjadinya
beban gizi ganda pada keluarga. Penelitian sebelumnya menyebutkan bahwa jumlah paritas
yang tinggi memiliki korelasi positif dan memiliki peluang 2-4 kali untuk menyebabkan
obesitas pada ibu karena penumpukan lemak viseral setelah mengandung.34,35 Namun,
jumlah paritas yang bertambah menyebabkan ketimpangan alokasi makanan dan sumber
daya lainnya pada anggota keluarga, sehingga anggota keluarga yang menerima sedikit
alokasi makanan berpotensi untuk mengalami kurang gizi.28
Sama seperti pemaparan sebelumnya, keterkaitan antara jumlah anggota keluarga
dengan terjadinya beban gizi ganda pada keluarga disebabkan karena kondisi ketahanan
pangan dalam keluarga dan distribusi bahan pangan di dalam keluarga tersebut. Semakin
banyak anggota keluarga, maka jumlah kebutuhan pangan semakin tinggi. Kebutuhan
pangan yang meningkat juga berkaitan dengan meningkatnya beban ekonomi keluarga dan
pada akhirnya memberikan potensi untuk berkurangnya asupan makan ketika peningkatan
beban ekonomi tersebut tidak diimbangi dengan peningkatan penghasilan pada
keluarga.28,36
Digital
Digital Repository
Repository
109 of 115 Nur
Universitas
Universitas
Fitri Widya Astuti, et
Jember
Jember
al | MKMI | 16(1) | 2020 | 100-115
kandungan gizi yang tepat dan pencegahan timbulnya penyakit yang merupakan kunci
utama dalam mencegah terjadinya malnutrisi.41 Namun, pada penelitian ini, status ekonomi
keluarga tidak menunjukkan nilai yang signifikan. Hal ini selaras dengan hasil penelitian
yang dilakukan di Sri Lanka dan Kerala.45,46
Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa ada keterkaitan yang signifikan antara
wilayah tempat tinggal dengan terjadinya beban gizi ganda pada rumah tangga, terutama di
wilayah perkotaan.6,14,37,27 Hal ini berkaitan dengan adanya rapid nutrition transition,
ketimpangan ekonomi, ketahanan pangan, dan norma budaya yang membentuk pola makan
pada suatu keluarga di wilayah tertentu.14,37,39,40,47 Namun, pada penelitian ini, wilayah dan
regional tempat tinggal tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Hal ini sesuai
dengan penelitian yang dilakukan di beberapa negara, seperti Bangladesh, Guatemala, dan
Haiti.21
Kesehatan lingkungan dan sanitasi rumah merupakan salah satu faktor yang
berperan dalam terjadinya malnutrisi karena terkait dengan tingkat kesakitan, terutama
pada anak yang di proyeksikan mengalami penyakit infeksi, seperti diare dan infeksi
saluran nafas.48 Khalakheti, dkk dalam penelitiannya menyatakan bahwa ketersediaan
jamban di rumah memiliki hubungan yang signifikan terhadap terjadinya diare, salah satu
penyebab malnutrisi pada anak, bahkan dapat menekan kejadian diare sampai 42%.49
Penelitian ini menujukkan bahwa tidak ada hubungan antara kondisi sanitasi rumah dan
kepemilikan jamban pada keluarga terhadap terjadinya beban gizi ganda. Hal ini selaras
dengan penelitian sebelumnya.50,51 Belum ada pemaparan yang jelas keterkaitan antara
sanitasi dan terjadinya masalah beban gizi ganda pada keluarga. Namun, fasilitas sanitasi
lingkungan yang baik seperti adanya akses jamban atau air bersih pada keluarga
memungkinkan untuk mencegah penurunan status kesehatan dan masalah gizi pada
anggota keluarga.
Penelitian kesehatan berbasis komunitas menggunakan data nasional dengan jumlah
sampel yang besar merupakan kelebihan dari penelitian ini. Namun, disisi lain terdapat
beberapa kelemahan pada penelitian ini, yaitu metode potong lintang belum bisa
menunjukkan prediktor dari fenomena beban gizi ganda pada keluarga di Indonesia. Selain
itu, variabel seperti asupan, riwayat infeksi, dan ketahanan pangan belum dilakukan
analisis pada penelitian ini karena keterbatasan variabel yang terdapat pada data sekunder
yang digunakan.
Digital
Digital Repository
Repository
111 of 115 Nur
Universitas
Universitas
Fitri Widya Astuti, et
Jember
Jember
al | MKMI | 16(1) | 2020 | 100-115
REFERENSI
1. Colleen M. Doak, Maiza Campos Ponce, Marieke Vossenaar & Noel W. Solomons. The
Stunted Child with an Overweight Mother as a Growing Public Health Concern in
Resource-Poor Environments: a Case Study from Guatemala. Annals of Human Biology.
2016;43(2):122-130.
2. Rachmi, C. N., Li, M., & Baur, L. A. The Double Burden of Malnutrition in Association of
South East Asian Nations (ASEAN) Countries: a Comprehensive Review of the
Literature. Asia Pacific Journal of Clinical Nutrition. 2018;27(4):736-755.
3. Fongar, A., Gödecke, T., & Qaim, M. Various Forms of Double Burden of Malnutrition
Problems Exist in Rural Kenya. BMC Public Health. 2019;19(1):1-9.
4. World Health Organization. The Double Burden of Nutrition: Policy Brief. [Diakses pada
tanggal 6 Maret 2020].
5. Mahmudiono, T., Nindya, T. S., Andrias, D. R., Megatsari, H., & Rosenkranz, R. R.
Household Food Insecurity as a Predictor of Stunted Children and Overweight/Obese
Mothers (SCOWT) in urban Indonesia. Nutrients. 2018;10(5): 535.
6. Vaezghasemi, M., Ohman, A., Eriksson, M., Hakimi, M., Weinehall, L., Kusnanto, H. & Ng,
N. The Effect of Gender and Social Capital on the Dual Burden of Malnutrition: a
Multilevel Study in Indonesia. PLoS One. 2014;9(8):1-10.
7. El Kishawi, R. R., Soo, K. L., Abed, Y. A., & Muda, W. A. M. W. Prevalence and Associated
Factors for Dual Form of Malnutrition in Mother-Child Pairs at the Same Household in
the Gaza Strip-Palestine. PloS one. 2016;11(3):1-14.
8. Sekiyama, M., Jiang, H. W., Gunawan, B., Dewanti, L., Honda, R., Shimizu-Furusawa, H.,
Abdoellah, O. S. & Watanabe, C. Double Burden of Malnutrition in Rural West Java:
Digital
Digital Repository
Repository
112 of 115 Nur
Universitas
Universitas
Fitri Widya Astuti, et
Jember
Jember
al | MKMI | 16(1) | 2020 | 100-115
Household-Level Analysis for Father-Child and Mother-Child Pairs and the Association
with Dietary Intake. Nutrients. 2015;7(10):8376-8391.
9. Haddad, L., Cameron, L. & Barnett, I. The Double Burden of Malnutrition in SE Asia and
the Pacific: Priorities, Policies and Politics. Health Policy Plan. 2015;30(9): 1193-1206.
10. Nugent, R., Levin, C., Hale, J., & Hutchinson, B. Economic Effects of the Double Burden of
Malnutrition. The Lancet. 2019;1-9
11. Schott, W., Aurino, E., Penny, M. E., & Behrman, J. R. The Double Burden of Malnutrition
among Youth: Trajectories and Inequalities in Four Emerging Economies. Economics &
Human Biology. 2019;34:80-91.
12. Tzioumis, E. & Adair, L. S. Childhood Dual Burden of Under-and Overnutrition in Low-
and Middle-Income Countries: a Critical Review. Food and Nutrition Bulletin.
2014;35(2):230-243.
13. Mazumdar, S. Determinants of Inequality in Child Malnutrition in India. Asian
Population Studies. 2010;6(3):307–333.
14. Hanandita, W. & Tampubolon, G. The Double Burden of Malnutrition in Indonesia:
Social Determinants and Geographical Variations. SSM-Population Health. 2015:116-
125.
15. Alaofè, H., & Asaolu, I. Maternal and Child Nutrition Status in Rural Communities of
Kalalé District, Benin: the Relationship and Risk Factors. Food and Nutrition Bulletin.
2019;40(1):56-70.
16. De Silva, I., & Sumarto, S. Child Malnutrition in Indonesia: Can Education, Sanitation and
Healthcare Augment the Role of Income?. Journal of International Development.
2018;30(5):837-864.
17. Kusumawati, E., Rahardjo, S. & Sari, H. P. Model Pengendalian Faktor Risiko Stunting
pada Anak Bawah Tiga Tahun. Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional.
2015;9(3):249-256.
18. Torlesse, H., Cronin, A. A., Sebayang, S. K. & Nandy, R. Determinants of Stunting in
Indonesian Children: Evidence from a Cross-Sectional Survey Indicate a Prominent
Role for the Water, Sanitation and Hygiene Sector in Stunting Reduction. BMC Public
Health. 2016;1(16):1-11.
19. Sekretariat Jendral Kementerian Kesehatan RI. Pedoman Umum Program Indonesia
Sehat dengan Pendekatan Keluarga. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI; 2016.
20. J. Strauss, F. Witoelar, and B. Sikoki. The Fifh Wave of the Indonesia Family Life Survey
(IFLS5): Overview and Field Report. [Volume 1]. RAND Corporation; 2016.
Digital
Digital Repository
Repository
113 of 115 Nur
Universitas
Universitas
Fitri Widya Astuti, et
Jember
Jember
al | MKMI | 16(1) | 2020 | 100-115
21. Kosaka, S. & Umezaki, M. a Systematic Review of the Prevalence and Predictors of the
Double Burden of Malnutrition Within Households. The British Journal of Nutrition.
2017;117(8):1118-1127.
22. WHO, E. C. Appropriate Body-Mass Index for Asian Populations and its Implications for
Policy and Intervention Strategies. The Lancet (London, England). 2004;363(9403):
157-163.
23. World Health Organization. The WHO Child Growth Standards. 2006. [Diakses pada
tanggal 20 November 2016].
24. World Health Organization. WHO Reference. Growth reference data for 5–19 years.
2007. [Diakses pada tanggal 20 November 2016].
25. Setyaningsih, Aryanti. Hubungan antara Status Sosial Ekonomi, Motif Pemilihan
Makanan, dan Kualitas Diet dengan Kejadian Beban Gizi Ganda Malnutrisi di Rumah
Tangga (The Double Burden of Malnutrition in Household) di Kecamatan Peduringan
Kota Semarang. [Thesis]. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada; 2016.
26. Hauqe, S. E., Sakisaka, K., & Rahman, M. Examining the Relationship Between
Socioeconomic Status and the Double Burden of Maternal over and Child Under-
Nutrition in Bangladesh. European Journal of Clinical Nutrition. 2019;73(4):531-540.
27. Oddo, V. M., Rah, J. H., Semba, R. D., Sun, K., Akhter, N., Sari, M., de Pee, S., Moench-
Pfanner, R., Bloem, M. & Kraemer, K. Predictors of Maternal and Child Double Burden
of Malnutrition in Rural Indonesia and Bangladesh. The American Journal of Clinical
Nutrition. 2012;95(4): 951-958.
28. Fahim, S. M., Das, S., Gazi, M. A., Alam, M. A., Mahfuz, M., & Ahmed, T. Evidence of Gut
Enteropathy and Factors Associated with Under Nutrition among Slum-Dwelling
Adults in Bangladesh. The American Journal of Clinical Nutrition. 2020;111:657-666.
29. Barth‐Jaeggi, T., Zandberg, L., Bahruddinov, M., Kiefer, S., Rahmarulloev, S., & Wyss, K.
Nutritional Status of Tajik Children and Women: Transition Towards a Double Burden
of Malnutrition. Maternal & Child Nutrition. 2019;16(2):1-11.
30. Mastorci, F., Vassalle, C., Chatzianagnostou, K., Marabotti, C., Siddiqui, K., Eba, A. O.,
Mhamed,A.A.S., Bandopadhyay, A., Nazzaro, M.S., Passera, M., & Pingitore, A.
Undernutrition and Overnutrition Burden for Diseases in Developing Countries: The
Role of Oxidative Stress Biomarkers to Assess Disease Risk and Interventional
Strategies. Antioxidant. 2017;6(41):1-10.
Digital
Digital Repository
Repository
114 of 115 Nur
Universitas
Universitas
Fitri Widya Astuti, et
Jember
Jember
al | MKMI | 16(1) | 2020 | 100-115
31. Nithya, D. J., & Bhavani, R. V. Dietary Diversity and its Relationship with Nutritional
Status among Adolescents and Adults in Rural India. Journal of Biosocial Science.
2018;50(3):397-413.
32. Ghose, B., Yaya, S., & Tang, S. Anemia Status in Relation to Body Mass Index among
Women of Childbearing Age in Bangladesh. Asia Pacific Journal of Public Health.
2016;28(7):611-619.
33. Sassi, S., Abassi, M. M., Traissac, P., Gharbia, H. B., Gartner, A., Delpeuch, F., & El Ati, J.
Intra-Household Double Burden of Malnutrition in a North African Nutrition Transition
Context: Magnitude and Associated Factors of Child Anaemia with Mother Excess
Adiposity. Public Health Nutrition. 2019;22(1):44-54.
34. Huayanay-Espinoza, C. A., Quispe, R., Poterico, J. A., Carrillo-Larco, R. M., Bazo-Alvarez,
J. C., & Miranda, J. J. Peer Reviewed: Parity and Overweight/Obesity in Peruvian
Women. Preventing Chronic Disease. 2017;14(102):1-12.
35. Ghaderian, S. B., Yazdanpanah, L., Shahbazian, H., Sattari, A. R., Latifi, S. M., &
Sarvandian, S. Prevalence and Correlated Factors for Obesity, Overweight and Central
Obesity in South West of Iran. Iranian Journal of Public Health. 2019:48(7):1354-1361.
36. Alaofè, H., & Asaolu, I. Maternal and Child Nutrition Status in Rural Communities of
Kalalé District, Benin: the Relationship and Risk Factors. Food and Nutrition Bulletin.
2019:40(1):56-70.
37. Roemling, C. & Qaim, M. Dual Burden Households and Intra-Household Nutritional
Inequality in Indonesia. Economics and Human Biology. 2013;11(4):563-573.
38. Sekiyama, M., Jiang, H. W., Gunawan, B., Dewanti, L., Honda, R., Shimizu-Furusawa, H.,
Abdoellah, O. S. & Watanabe, C. Double Burden of Malnutrition in Rural West Java:
Household-Level Analysis for Father-Child and Mother-Child Pairs and the Association
with Dietary Intake. Nutrients. 2015;7(10):8376-9831.
39. Alonso, E. B., Cockx, L., & Swinnen, J. Culture and Food Security. Global Food Security.
2018;17:113-127.
40. Mahmudiono, T., Nindya, T. S., Andrias, D. R., Megatsari, H., & Rosenkranz, R. R.
Household Food Insecurity as a Predictor of Stunted Children and Overweight/Obese
Mothers (SCOWT) in urban Indonesia. Nutrients. 2018;10(533):1-16.
41. Leroy, J. L., Habicht, J.-P., de Cossío, T. G. & Ruel, M. T. Maternal Education Mitigates the
Negative Effects of Higher Income on the Double Burden of Child Stunting and Maternal
Overweight in Rural Mexico. The Journal of Nutrition. 2014;144(5):765-770.
Digital
Digital Repository
Repository
115 of 115 Nur
Universitas
Universitas
Fitri Widya Astuti, et
Jember
Jember
al | MKMI | 16(1) | 2020 | 100-115
42. Dang, Archana; Meenakshi, J. V. The Nutrition Transition and the Intra-Household
Double Burden of Malnutrition in India, ADBI Working Paper, No. 725, Asian
Development Bank Institute (ADBI). Tokyo; 2017. [Diakses pada tanggal 9 Maret 2020].
43. Lee J, Houser RF, Must A, et al. Socioeconomic Disparities and the Familial Coexistence
of Child Stunting and Maternal Overweight in Guatemala. Economics and Human
Biology. 2012;10(3):232–241.
44. Wong, C. Y., Zalilah, M. S., Chua, E. Y., Norhasmah, S., Chin, Y. S. & Siti Nur'Asyura, A.
Double-Burden of Malnutrition among the Indigenous Peoples (Orang Asli) of
Peninsular Malaysia. BMC Public Health. 2015;1(15):1-9.
45. ShinsugiC, Gunasekara D, Gunawardena NK, Subasinghe W, Miyoshi M, Kaneko S,
Takimoto, H. Double Burden of Maternal and Child Malnutrition and Socioeconomic
Status in Urban Sri Lanka. PLoS One. 2019;14(10):1-13.
46. Jayalakshmi, R., & Kannan, S. The Double Burden of Malnutrition: an Assessment of
‘Stunted Child and Overweight/Obese Mother (SCOWT) Pairs’ in Kerala
Households. Journal of Public Health Policy. 2019;40(3):342-350.
47. Rachmawati, S., Machmud, P. B., & Hatma, R. D. Hubungan Praktik Kesehatan pada Awal
Kehidupan dengan Kejadian Stunting pada Balita. Media Kesehatan Masyarakat
Indonesia. 2019;15(2):120-127.
48. Higgins‐Steele, A., Mustaphi, P., Varkey, S., Ludin, H., Safi, N., & Bhutta, Z. A. Stop
Stunting: Situation and Way Forward to Improve Maternal, Child and Adolescent
Nutrition in Afghanistan. Maternal & Child Nutrition. 2016;12(S1):237-241.
49. Kalakheti, B., Panthee, K., & Jain, K. C.. Risk Factors of Diarrhea in Children Under Five
Years in Urban Slums: An Epidemiological Study. Journal of Lumbini Medical College.
2017;4(2):94-98.
50. Masibo, P. K., Humwa, F., & Macharia, T. N. The Double Burden of Overnutrition and
Undernutrition in Mother-Child Dyads in Kenya: Demographic and Health Survey Data,
2014. Journal of Nutritional Science. 2020;9(5):1-12.
51. Anik, A. I., Rahman, M. M., Rahman, M. M., Tareque, M. I., Khan, M. N., & Alam, M. M.
(2019). Double Burden of Malnutrition at Household Level: a Comparative Study
among Bangladesh, Nepal, Pakistan, and Myanmar. PloS one. 2019;14(8):1-16.
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember
Penanggung jawab, pemimpin, dan segenap redaksi Jurnal Media Kesehatan Masyarakat
Indonesia menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya serta ucapan terima kasih yang
tulus kepada para mitra bebestari sebagai penelaah dalam Volume 16, Nomor 1, Maret 2020.
Berikut ini adalah daftar nama mitra bebestari yang berpartisipasi :
Prof. Dr. dr. Muhammad Nadjib Bustan, MPH (FMIPA Universitas Negeri Makassar)
Prof. Dr. Ridwan A, SKM., M.Kes., M.Sc.PH (FKM Universitas Hasanuddin)
Prof. Dr. dr. Veni Hadju.,M.Sc,Ph.D (FKM Universitas Hasanuddin)
Prof. Dr. H. Indar, SH., MPH (FKM Universitas Hasanuddin)
Prof. Dr. dr. H. M. Alimin Maidin, MPH (FKM Universitas Hasanuddin)
Prof. Dr. Drg. A. Zulkifli Abdullah, M.Kes (FKM Universitas Hasanuddin)
Prof. Dr. Ir. Evawany A, M.Si (Universitas Sumatera Utara)
Dr. Masni., Apt., MSPH (FKM Universitas Hasanuddin)
Dr. Suriah, SKM., M.Kes (FKM Universitas Hasanuddin)
Dr. Lalu Muhammad Saleh (FKM Universitas Hasanuddin)
Dr. Agus Bintara Birawida, S. Kel., M.Kes (FKM Universitas Hasanuddin)
Dr. Ede Surya Darmawan SKM., M.DM (FKM Universitas Indonesia)
Dr. Healthy Hidayanthy, SKM., M.Kes (FKM Universitas Hasanuddin)
Dr. Abdul Salam, SKM., M.Kes (FKM Universitas Hasanuddin)
Atas kerjasamanya yang terjalin selama ini, dalam membantu kelancaran penerbitan Jurnal
Media Kesehatan Masyarakat Indonesia, semoga kerjasama ini dapat berjalan dengan baik
untuk masa yang akan datang.
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember
FORMULIR BERLANGGANAN
UCAPAN TERIMA KASIH
JURNAL MKMI
bersedia untuk menjadi pelanggan Jurnal Media Kesehatan Masyarakat Indonesia (MKMI)
dengan biaya berlangganan (pilih salah satu) :
Rp. 800.000,- / tahun (Jurnal 4 edisi, termasuk ongkos kirim)
…………….………………,2020
(………………………………………)
Toggle navigation
Permasalahan gizi di Indonesia seakan tidak ada habisnya. Indonesia masih memiliki beban untuk
mengentaskan stunting dan wasting yang masih tinggi. Di saat yang sama, Indonesia memiliki
masalah baru, yakni angka prevalensi obesitas yang juga terus meningkat. Hal ini membuat
Indonesia memiliki masalah undernutrition dan overnutritiondalam waktu bersamaan atau yang
disebut dengan double burden of malnutrition atau beban ganda malnutrisi. Beban ganda
malnutrisi ini dapat terjadi di tingkat individu, rumah tangga, dan populasi di sepanjang daur
kehidupan manusia.
Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013, prevalensi balita stunting di
Indonesia mencapai 37,2%, meningkat dari tahun 2010(35,6%) dan tahun 2007 (36,8%). Artinya,
ada sekitar 8 juta anak di Indonesia yang mengalami stunting atau 1 dari 3 orang anak memiliki
tinggi badan di bawah yang seharusnya. Prevalensi stunting di Indonesia lebih tinggi
dibandingkan dengan beberapa negara tetangga, seperti Myanmar (35%), Vietnam (23%), dan
Thailand (16%). Bahkan, Indonesia menempati peringkat kelima sebagai negara dengan
prevalensi stunting tertinggi di dunia. Selain stunting, prevalensi balita wasting di Indonesia juga
masih tinggi, yakni 12,1%. Di saat bersamaan, prevalensi balita overweight di Indonesia juga
terus meningkat. Berdasarkan data Riskesdas 2013, prevalensi overweight di Indonesia mencapai
11,9%. Indonesia term suk di dalam 17 negara di dunia yang memiliki ketiga masalah gizi
tersebut dalam waktu bersamaan. Tingginya prevalensi malnutrisi, baik undernutrition maupun
overnutrition, menunjukkan bahwa beban ganda malnutrisi di Indonesia sudah cukup
memprihatinkan. Wasting atau kurus merupakan salah satu masalah kurang gizi jangka pendek
dimana berat badan tidak sesuai dengan tinggi badannya (BB/TB). Sedangkan stunting merupakan
masalah kekurangan gizi kronis atau jangka panjang yang disebabkan oleh asupan gizi yang tidak
adekuat sesuai dengan kebutuhannya dalam waktu yang lama. Stunting yang terjadi saat masih
berada di dalam kandungan baru akan nampak saat anak berusia dua tahun.
Dampak dari beban ganda malnutrisi ini sangat serius dan manifestasinya dapat dilihat di
sepanjang kehidupan seseorang. Kekurangan gizi pada anakanak
dapat mulai terjadi pada tahap sangat awal kehidupan. Saat seorang anak menerima asupan gizi
yang kurang baik saat masih dalam kandungan, tubuhnya akan beradaptasi agar dapat bertahan
hidup dalam kondisi gizi yang kurang. Akibatnya, apabila nantinya ia hidup dalam lingkungan
dengan asupan gizi yang mudah diperoleh, tubuhnya akan sangat rentan terhadap obesitas
sehingga mudah terkena penyakit tidak menular, seperti penyakit diabetes melitus dan jantung.
Disinilah letak permas alahan beban ganda malnutrisi. Lebih lanjut, stunting sebagai pe nanda
kekurangan gizi kronis juga berdampak terhadap perkembangan kognitif. Hal ini dikarenakan
pada seseorang yang mengalami stunting, proses-proses lain di dalam tubuh juga terhambat, salah
satunya adalah pertumbuhan otak yang berdampak pada kecerdasan. Dalam jangka panjang,
berbagai studi menunjukkan bahwa stunting berpotensi mengurangi skor IQ sebesar 5-11 poin dan
nilai-nilai sekolahnya juga lebih rendah dibandingkan dengan yang tidak mengalami stunting.
Selain itu, anak yang lahir dengan berat badan kurang, memiliki peluang 2,6 kali lebih kecil untuk
melanjutkan ke pendidikan tinggi. Oleh karena itu, permasalahan stunting tidak hanya berhenti
pada tubuh yang pendek saja. Berdasarkan data yang dirilis oleh World Bank, produktivitas
seseorang yang mengalami stunting saat masih kecil ternyata lebih rendah dibandingkan dengan
yang tidak. Hal ini sejalan dengan capaian pendidikan yang lebih rendah. Masalah akan semakin
parah apabila pola makan tidak diatur dengan baik saat dewasa yang dapat menimbulkan berbagai
macam penyakit tidak menular.
Dampak beban ganda malnutrisi tidak hanya dirasakan oleh individu. Dari segi ekonomi, kerugian
akibat stunting dan malnutrisi diperkirakan setara dengan 2-3% PDB Indonesia. Banyaknya kasus
penyakit tidak menular di Indonesia berakibat pada meningkatnya pengeluaran pemerintah,
khususnya untuk Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Penyakit tidak menular, seperti stroke,
diabetes melitus, dan gagal ginjal, kini menjadi penyebab 60% kematian di Indonesia dan
pembiayaan JKN untuk kasus penyakit tidak menular ini merupakan salah satu yang terbesar.
Menurunkan prevalensi stunting, wasting, dan obesitas merupakan salah satu goal dalam
Sustainable Development Goals (SDGs) yang seharusnya dapat dicapai di tahun 2030.
Mengurangi prevalensi malnutrisi ini sangat penting dalam mencapai tujuan tersebut. Program
intervensi kesehatan pada ibu hamil dan 2 tahun pertama kehidupan anak mutlak diperlukan. Hal
ini dikarena kan 2 tahun pertama merupakan window of opportunity untuk mengatasi stunting
dapat diintervensi dari sejak dalam kandungan dan pola asuh yang baik selama 2 tahun pertama.
Selain itu, World Health Organization (WHO) menyebutkan bahwa perbaikan gizi sangat
diperlukan untuk meningkatkan derajat kesehatan dan juga untuk mengembang kan
perekonomian. Oleh karena itu, dalam mengatasai berbagai penyebab malnutrisi diperlukan
pendekatan yang holistik dari berbagai sektor. Salah satunya adalah penyediaan air bersih.
Sanitasi yang baik sangat diperlukan dalam meningkatkan status gizi seseorang.
Hari Gizi Nasional dan Investasi Gizi di Indonesia
Setiap tanggal 25 Januari diperingati sebagai Hari Gizi Nasional. Peringatan ini dapat dijadikan
momentum untuk mengingat bahwa masih banyaknya permasalahan gizi di Indonesia yang masih
harus diselesaikan. Salah satunya adalah masalah beban ganda malnutrisi ini. Sudah saatnya isu
gizi menjadi salah
satu prioritas dalam rencana pembangunan, baik yang dilaksanakan oleh pemerintah pusat
maupun pemerintah daerah. Pemerintah seharusnya dapat menjamin setiap warganya, terutama
anak balita, ibu hamil, dan lansia mendapatkan akses gizi yang baik. Negara harus hadir sebagai
penjamin terpenuhi -
nya hak pangan hingga di tingkat individu, seperti yang diamanah kan UU No 18/2012 tentang
Pangan. Hal tersebut dapat dilakukan lewat bera gam aksi,
seperti revitalisasi posyandu, bantuan pangan bagi balita dan ibu hamil, program pemberian
makanan tambahan anak sekolah, subsidi dan stabilisasi harg a
pangan, dan diversivikasi pangan lokal. Investasi di bidang gizi sifatnya jangka panjang. Selama
ini, gizi memang hanya dianggap sebagian kecil dari berbagai urusan kesehatan sehingga kita
sering berpikir sempit dan jangka pendek. Kita kurang sekali menghargai masa depan. Oleh
karena itu, yang diperlukan tidak hanya komitmen pendanaan dari birokrat dan politisi, tapi juga
jaminan keberlanjutan aneka program pembangunan gizi. Selain itu, gizi perlu menjadi indikator
keberhasilan pembangunan yang tidak terlepas dari program pengentasan kemiskinan. Dengan
berbagai langkah itu, kita dapat
Bagi sebagian pasangan, memiliki anak adalah perkara mudah. Sedang bagi sebagian lainnya,
memiliki anak terasa seperti perjuangan panjang. Hal ini umumnya disebabkan oleh beberapa
kesalahan yang membuat orang tua susah…
Selengkapnya
Tangan merupakan salah satu organ tubuh manusia penting dalam setiap melakukan kegiatan.
Salah satu kegiatannya ialah sebagai perantara antara makanan dan mulut. Untuk itu kehigenisan
tangan patut menjadi perhatian untuk…
Selengkapnya
Belum lama ini kita mendengar adanya status KLB (Kejadian Luar Biasa) hepatitis A di
Kabupaten Pacitan Jawa Timur. Pemerintahan Kabupaten Pacitan menetapkan status KLB pada
wabah hepatitis A setelah ratusan…
Selengkapnya
Alzheimer? mungkin sebagian masyarakat tidak mengenal penyakit apa itu, tapi bagaimana jika
Demensia atau kepikunan? mungkin dengan kata Demensia atau kepikunan masyarakat lebih
paham. Lalu apa sih penyakit Alzheimer itu?.…
Selengkapnya
BERSAHABAT DENGAN LUPUS “SI PENIRU ULUNG”
Tanggal Publikasi: 12 Jun 2019 02:12 | 643 View
Lupus atau LES (Lupus Erite ‐ matosus Sistemik) merupa kan salah satu jenis penyakit auto imun
yang bersifat kronis dan hingga saat ini penyebabnya belum diketahui. Penyakit autoimun adalah
suatu…
Selengkapnya
Dari Redaksi
Selengkapnya
Editorial
Kolom
Selengkapnya
Artikel
• Terbaru
• Terpopuler
Prinsip-Prinsip Hak Asasi Manusia Dalam Pelayanan Kesehatan Dan Perlindungan Hak
Tata Laksana Koinfeksi HIV dan Hepatitis C : Fokus Pada Direct Acting Antiviral (DAA)
Kegiatan
• Terbaru
• Terpopuler
FIK UI Rancang Strategi untuk Memutus Rantai Infeksi pada Anak Sekolah
Pendidikan Akademik
o
o
o
o
o
Pada 25 Januari 2019 merupakan peringatan Hari Gizi Nasional yang ke-59. Peringatan ini telah
dicanangkan oleh Kemenkes sejak 1960 yang bermula dari peringatan arti pentingnya gizi oleh
Lembaga Makanan Rakyat (LMR) diprakarsai oleh Profesor Poerwo Soedarmo.
Melalui peringatan Hari Gizi Nasional diharapkan mampu meningkatkan kegiatan edukasi bagi
masyarakat. Sehingga semakin mengerti dan memahami bagaimana sebenarnya pola konsumsi
gizi yang baik.
Selain itu, yang tidak kalah pentingnya, peringatan ini menjadi momentum pengingat bagi
pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten kota bahwa semua mempunyai peran dan tanggung
jawab terhadap perbaikan gizi masyarakat.
Asupan gizi atau konsumsi makanan, mulai dari gizi ibu hamil, bayi, balita, anak dan remaja hingga
dewasa berpengaruh besar terhadap pola penyakit dan beban kesehatan yang terjadi.
Setelah 59 tahun pencanangan dan peringatan hari gizi setiap tahunnya, bagaimanakah kondisi
yang terjadi saat ini? Kementerian kesehatan dalam laporan Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) 2018 telah merilis hasil utama tentang kondisi kesehatan masyarakat secara
nasional, sangat terkait dengan masalah gizi.
Masalah utama yang mesti tetap menjadi perhatian adalah masih tingginya angka gizi kurang dan
gizi buruk pada balita.
Secara keseluruhan terjadi penurunan dari laporan Riskesdas sebelumnya pada 2013 dari 19,6
persen menjadi 17,7 persen, namun proporsi gizi kurang tidak banyak mengalami perbaikan yaitu
dari 13,9 persen menjadi 13,8 persen.
Sedangkan proporsi gizi buruk mengalami perbaikan yang cukup berarti dari 5,7 persen pada 2013
menjadi 3,9 persen pada 2018.
Angka tersebut secara nasional tetap harus menjadi perhatian karena masih dibawah dari target
RPJMN 2019 sebesar 17 persen.
Secara absolut jumlah ini sangat besar. Berdasarkan Proyeksi Penduduk Indonesia 2010-2035 oleh
Bapenas dan BPS, jumlah balita tahun 2018 adalah 23,8 juta jiwa, maka terdapat terdapat 3,2 juta
anak dengan gizi kurang dan 928 ribu mengalami gizi buruk.
Secara spesifik, Sumatera Barat sebagai daerah yang subur dan penghasil produk pertanian juga
mengalami paradoks. Angka gizi kurang dan gizi buruk justru sedikit lebih tinggi dari rata rata
nasional, yaitu sebesar 17,9 persen.
Sesuai proyeksi penduduk pada 2018 , maka terdapat 96 ribu mengalami gizi buruk dan gizi kurang
dari 540 ribu jumlah balita.
Masalah gizi ibu hamil juga cukup memprihatinkan karena terdapat 48,9 persen yang mengalami
anemia. Artinya hampir separuh ibu yang hamil mengalami kekurangan darah, yang menunjukkan
kurangnya asupan gizi yang dibutuhkan selama kehamilan.
Angka ini justru memprihatinkan karena jauh meningkat dari periode sebelumya yang hanya 37,1
persen. Terlebih lagi, 17,3 persen mereka juga mengalami Kekurangan Energi Kronis (KEK).
Hal ini berarti satu dari enam ibu hamil mengalami masalah kekurangan gizi sebelum masa
kehamilannnya, yang sebenarnya tidak siap untuk kondisi hamil.Kondisi Sumatera Barat juga tidak
lebih baik dari rata-rata nasional.
Kekurangan energi kronis dan anemia pada ibu hamil berakibat langsung pada risiko kehamilan dan
persalinan, seperti lemahnya kontraksi rahim saat melahirkan, risiko perdarahan dan proses
persalinan yang lama. Selain itu, kekurangan gizi ibu hamil secara langsung berdampak pada
pertumbuhan janinnya, yang menjadi faktor risiko utama bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah
(BBLR).
Tingginya masalah gizi pada ibu hamil dan anak yang tentunya juga terjadi pada usia dua tahun
awal menjadi risiko terjadinya stunting atau lebih pendek dari usia seharusnya, pada fase
pertumbuhan selanjutnya. Data Kemenkes juga membuktikan, terdapat 30,8 persen balita
mengalami stunting, atau 7,3 juta. Kekurangan gizi dan stunting menjadi cikal bakal yang buruk
untuk pembentukan generasi yang berkualitas baik secara kognitif ataupun fisik.
Meskipun kekurangan gizi masih menjadi persoalan, sebaliknya obesitas atau kegemukan dan
penyakit pada usia menua (degeneratif) yang terkait dengan kelebihan gizi terjadi peningkatan.
Obesitas pada dewasa melonjak dari 14,8 persen pada laporan Riskesdas 2013 menjadi 21,8
persen, atau hampir seperempat dari penduduk dewasa.
Berdasarkan proyeksi penduduk dewasa tahun 2018 sebesar 171 juta, maka terdapat 37,4 juta
orang mengalami obesitas. Bahkan jika ditambahkan dengan proporsi berat badan lebih
(overweight), masih terdapat 13,6 persen lagi, yang juga mengalami peningkatan dari periode
sebelumnya 11,5 persen.
Dengan demikian, terdapat 35,5 persen atau 60 juta jiwa lebih atau lebih dari sepertiga orang
dewasa di Indonesia sudah mengalami berat badan yang tidak sehat, yang faktor utamanya adalah
asupan gizi lebih dan tidak seimbang.
Kasus hipertensi, yang faktor gizi salah satu faktor risikonya juga mengalami peningkatan dari 25
persen menjadi 34,5 persen. Angka ini juga menunjukkan lebih dari 60 juta orang dewasa
mengalami hipertensi. Kasus stroke dalam lima tahun terakhir, sebagai salah satu penyakit ikutann
juga mengalami peningkatan dari 0,7 persen menjadi 1,09% persenpada usia diatas 15 tahun, yang
berarti dalam lima tahun terahir terdapat 2,1 juta kasus.
Masalah-masalah gizi tersebut merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah pusat dan
daerah secara langsung serta para akademisi dan praktisi.
Tugas dan tanggung jawab pemerintah telah dituangkan dalam Undang-undang nomor 36 tahun
2009 tentang Kesehatan, pada pasal 141-142, dan Permenkes nomor 23 tahun 2014 tentang Upaya
Perbaikan Gizi.
Pada regulasi tersebut disebutkan bahwa pemerintah bertanggung jawab menetapkan standar
dalam pelayanan gizi dan kecukupan gizi, serta melakukan upaya pencapaian. Dalam hal ini
disebutkan bahwa ada kelompok-kelompok yang mesti menjadi sasaran utama yaitu ibu hamil,
menyusui dan balita.
Upaya yang mesti dilakukan adaah perbaikan pola konsumsi makanan yang sesuai dengan gizi
seimbang, perbaikan perilaku sadar gizi, peningkatan akses dan mutu pelayanan gizi dan
kewaspadaan pangan.
Upaya yang dilakukan belum terlaksana dan mencapai sasaran dengan baik. Sebagai upaya
perbaikan gizi anak dilakukan Pemberian Makanan Tambahan (PMT) pada balita, yang hanya 41
persen balita.
Dari yang mendapatkan PMT tersebut hanya 58 persen yang memperoleh PMT melalui program
yang dilaksanakan, artinya secara total hanya 23,8 persen balita yang memeproleh PMT program.
Begitu juga halnya dengan PMT pada ibu hamil, hanya mendapatkan PMT sebanyak 25,2 persen .
Rendahnya cakupan ini mesti mendapat perhatian semua pemangku kepentingan.
Kesadaran dan kewaspadaan masyarakat terhadap masalah gizi juga rendah. Hal ini terlihat dari
pola konsumsi makanan yang tidak sehat, diantaranya tingginya proporsi masyarakat mencapai
95,5 persen tidak mengonsumsi sayur dan buah memenuhi standar kesehatan.
Rendahnya konsumsi sayuran berarti rendahnya asupan serat makanan yang juga menjadi risiko
penyakit saluran cerna, obesitas, hipertensi, dan penyakit degenartif lainnya.
Oleh karena itu, adalah tanggungjawab Bersama untuk bisa melakukan edukasi kepada
masyarakat untuk melakukan pola hidup sehat termasuk konsusmsi gizi yang berimbang.
o
o
o
o
o
Media Kesehatan Masyarakat Indonesia
Volume 16 Issue 1 2020
DOI : http://dx.doi.org/10.30597/mkmi.v16i1.9064
Website : http://journal.unhas.ac.id/index.php/mkmi
© 2020 Media Kesehatan Masyarakat Indonesia. Published by FKM Universitas Hasanuddin.
This is an open access article under the CC BY-NC-SA license
Jember
2Departemen Gizi Kesehatan, Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan
ABSTRAK
Perkembangan urbanisasi dan ekonomi pada negara berkembang menyebabkan terjadinya
nutrition transition. Hal ini mengakibatkan munculnya fenomena beban gizi ganda pada keluarga dimana
terdapat anggota rumah tangga yang memiliki status gizi kurang dan lebih tinggal dalam satu keluarga.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi dan faktor-faktor yang berhubungan dengan
fenomena beban gizi ganda pada keluarga di Indonesia. Penelitian cross-sectional ini menggunakan data
Indonesian Family Life Survey (IFLS) tahun 2014 dengan jumlah sampel sebesar 6468 keluarga. Indikator
beban gizi ganda keluarga ditunjukkan dengan adanya status gizi lebih dan kurang tinggal dalam satu
keluarga yang diwakili oleh ibu dan anak. Analisis statistik dengan metode chi-square digunakan untuk
menguji variabel yang memiliki hubungan dengan terjadinya beban gizi ganda keluarga. Hasil
menunjukkan prevalensi beban gizi ganda keluarga di Indonesia adalah 8,27% dan persentase tertinggi
terdapat pada regional Kalimantan dan Indonesia Timur. Faktor-faktor yang berhubungan dengan
kejadian beban gizi ganda secara signififikan (p<0,05) pada keluarga di Indonesia adalah usia ibu (p =
0,001), pendidikan ibu (p = 0,022), jumlah anak (p = 0,001) dan jumlah anggota rumah tangga (p = 0,001).
Penelitian lanjutan dengan metode longitudinal diperlukan untuk mengetahui prediktor beban gizi ganda
pada keluarga di Indonesia sehingga dapat dirumuskan intervensi yang tepat untuk pencegahan masalah
tersebut.
Kata Kunci : Beban gizi ganda, keluarga, Indonesia
ABSTRACT
Urbanization and economic rapid developments in the developing countries cause a nutrition
transition. They affect the household dual burden of malnutrition in which there is overnutrition and
undernutrition occuring at the same time in a household. This study proposed to calculate the prevalence of
household dual burden malnutrition and find its determinants. This cross-sectional study use the Indonesian
Family Life Survey (IFLS) 2014 data with total of 6468 families were enrolled as the sample of the study. The
household dual burden malnutrition indicator is represented by mother and children’s nutritional status.
Descriptive analysis and chi-square test were used in this study. The study found that the prevalence of
household dual burden malnutrition in Indonesia is 8.27% in which the Borneo and Eastern Indoesia region
has the higest prevalence. Maternal age (p = 0.001), maternal education (p = 0.022), number of children (p =
0.001), and number of household members (p = 0.001) were having significant correlation (p<0.05) with the
household dual burden malnutrition in Indonesia. Further study by using longitudinal design is needed to find
the predictors of it so the government can formulate an effective and efficient intervenion to prevent adverse
effects of household dual burden malnutrition to the community.
Keywords : Dual burden malnutrition, households, Indonesia
100
101 of 115 Nur Fitri Widya Astuti, et al | MKMI | 16(1) | 2020 | 100-115
PENDAHULUAN
Proses globalisasi, modernisasi, urbanisasi, dan ekonomi yang bergerak dengan cepat
menyebabkan terjadinya nutrition transtition dan terciptanya lingkungan obesogenik
(obesogenic environment). Hal ini berdampak pada meningkatnya angka obesitas, padahal
disisi lain masalah gizi kurang juga masih menjadi masalah kesehatan.1 Hal ini menimbulkan
sebuah fenomena baru yaitu beban gizi ganda (dual burden malnutrition) yang didefinisikan
sebagai suatu kondisi dimana terdapat masalah gizi kurang (undernutrition) dan gizi lebih
(overnutrition) yang terjadi di waktu yang sama. Fenomena ini tidak hanya terjadi pada
tingkat populasi dan individu, tetapi juga pada tingkat rumah tangga2,3
Secara global, kasus beban gizi ganda direpresentasikan dengan 1,9 milyar orang usia
dewasa memiliki status gizi lebih dan 200 juta balita mengalami status gizi kurang. 4
Sementara di Asia, prevalensi beban gizi ganda berada pada kisaran 5-29%.2 Prevalensi
beban gizi ganda di Indonesia menunjukkan peningkatan dalam rentang tahun 1993- 2007,
dimana saat ini sekitar satu dari empat keluarga di Indonesia (24,7%) mengalami beban
gizi ganda dan kondisi ini diprediksi akan terus meningkat.5,6 Hasil penelitian sebelumnya
menunjukkan bahwa fenomena ini lebih banyak terjadi pada pasangan ibu dan anak,
dimana anak memiliki status gizi kurang dan ibu memiliki status gizi lebih.7,8
Fenomena beban gizi ganda pada keluarga memiliki dampak kesehatan jangka
panjang bagi anggota keluarga yang mengalami malnutrisi, seperti gangguan
perkembangan pada anak, kerentanan terhadap penyakit menular, menurunnya
produktifitas kerja, outcome kehamilan yang buruk, dan risiko penyakit degeneratif.9,10
Selain itu, keluarga dengan masalah beban gizi ganda juga dapat mengalami peningkatan
beban ekonomi dalam bentuk peningkatan biaya kesehatan serta hilangnya upah dan
produktivitas, sehingga dapat mempengaruhi kondisi ketahanan pangan, gizi, dan
kesejahteraan keluarga.10,11
Masalah beban gizi ganda di dalam rumah tangga mungkin terjadi akibat perbedaan
usia antar anggota keluarga yang menyebabkan adanya perbedaan kondisi fisiologis dan
kebutuhan gizi. Hal ini menyebabkan adanya potensi perbedaan alokasi sumber daya di
dalam rumah tangga.12 Selain itu, ketimpangan pendapatan masyarakat pada tingkat
regional maupun negara juga memberikan kontribusi dalam berkembangnya masalah
ini.13,14
Beberapa penelitian terdahulu terkait beban gizi ganda menunjukkan bahwa faktor-
faktor yang berhubungan dengan terjadinya beban gizi ganda pada tingkat keluarga secara
signifikan merujuk pada faktor langsung dan tak langsung yang berkaitan dengan status
102 of 115 Nur Fitri Widya Astuti, et al | MKMI | 16(1) | 2020 | 100-115
gizi, seperti faktor asupan makanan, ketahanan pangan, karakteristik ibu dan anak, tingkat
ekonomi keluarga, dan tingkat pendidikan.5,6,7,15 Selain faktor-faktor tersebut, faktor
lingkungan, fasilitas kesehatan, dan wilayah tempat tinggal juga memiliki peran yang
penting dalam pengentasan masalah malnutrisi.16,17,18
Adanya perbedaan demografis, karakteristik dan budaya masyarakat memungkinkan
adanya perbedaan faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian beban gizi ganda antar
negara. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana status gizi
pada tingkat keluarga, mengetahui prevalensi kasus beban gizi ganda pada keluarga dan
mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan terjadinya fenomena tersebut pada
tingkat keluarga di Indonesia. Pendekatan dan analisis tingkat keluarga digunakan untuk
menghasilkan sebuah kajian untuk mendukung peningkatan derajat kesehatan melalui
pendekatan keluarga, sesuai dengan tujuan dari pemerintah dalam mengatasi masalah
kesehatan di Indonesia.19
Penentuan status gizi pada tingkat keluarga terdiri dari 4 kategori, yaitu keluarga
dengan status gizi normal (keluarga yang memiliki ibu dan anak dengan status gizi normal),
keluarga dengan status gizi kurus (keluarga yang memiliki pasangan ibu dan anak
setidaknya ada salah satu yang memiliki status gizi kurus, tapi tidak ada yang gemuk),
keluarga dengan status gizi gemuk (keluarga yang memiliki pasangan ibu dan anak
setidaknya ada satu yang gemuk dan tidak ada yang kurus), dan keluarga dengan status gizi
beban gizi ganda (keluarga yang memiliki pasangan ibu dan anak gemuk dan kurus atau
sebaliknya).6 Faktor maternal (usia ibu, pekerjaan ibu, dan pendidikan ibu), tingkat
ekonomi, kepemilikan jaminan kesehatan (jamkesmas), fasilitas Buang Air Besar (BAB) di
rumah, sanitasi umum, dan wilayah tempat tinggal keluarga akan diuji untuk mengetahui
faktor yang berhubungan dengan kejadian beban gizi ganda pada keluarga di Indonesia.
Analisis univariat dilakukan untuk mengetahui karakteristik pada tingkat keluarga
dan juga menentukan prevalensi beban gizi ganda. Analisis bivariat menggunakan uji chi-
square test untuk menguji variabel yang memiliki hubungan dengan terjadinya fenomena
beban gizi ganda. Analisis bivariat pada penelitian ini, keluarga dengan status gizi normal,
kurus dan gemuk direduksi menjadi satu kategori, sehingga hanya terdapat dua kategori
yaitu keluarga dengan beban gizi ganda dan tidak. Hasil analisis akan disajikan dalam
104 of 115 Nur Fitri Widya Astuti, et al | MKMI | 16(1) | 2020 | 100-115
bentuk tabel dan narasi. Pengolahan dan analisis data pada penelitian ini menggunakan
software STATA 13. Data yang digunakan pada penelitian ini telah mendapatkan
persetujuan dewan komisi etik dari RAND Corporation dan Universitas Gadjah Mada
(KE/FK/0636/EC/2017).
HASIL
Setelah melalui proses pemilihan sampel, akhirnya diperoleh sampel sebesar 6468
keluarga untuk dilakukan analisis lebih lanjut. Berdasarkan hasil analisis, keluarga yang
menjadi sampel pada penelitian ini sebagian besar memiliki ibu dengan usia 31-40 tahun
(44,85%), memiliki pendidikan menengah (53,08%), dan tidak bekerja (34,69%). Selain itu,
sebagian besar keluarga memiliki tingkat ekonomi yang berada pada kuintil 2 atau miskin
(23,35%) dan bertempat tinggal di daerah perkotaan (57,20%). Terkait sanitasi rumah,
sejumlah (81,91%) keluarga sudah memiliki fasilitas Buang Air Besar (BAB) di rumah.
Selain itu, kepemilikan asuransi kesehatan memiliki persentase yang hampir sama antara
keluarga yang sudah memiliki asuransi kesehatan maupun yang belum (Tabel 1).
Tabel 1a. Karakteristik Sosial Demografi Keluarga di
Indonesia
Karakteristik n=6468 %
Usia Ibu (tahun)
< 21 47 0,73
21-30 1560 24,12
31-40 2901 44,85
> 40 1960 30,30
Pendidikan Ibu
Tidak sekolah 206 3,18
Dasar 2134 32,99
Menengah 3434 53,08
Tinggi 695 10,75
Pekerjaan Ibu
Wiraswasta 1679 25,96
Pekerja kantoran 1336 20,66
Pekerja lepas 1209 18,69
Tidak bekerja 2244 34,69
Tingkat Ekonomi
Kuintil 1 (Sangat miskin) 1464 22,63
Kuintil 2 (Miskin) 1510 23,35
Kuintil 3 (Menengah) 1457 22,53
Kuintil 4 (Kaya) 1295 20,02
Kuintil 5 (Sangat kaya) 742 11,47
Jumlah Anggota Rumah
Tangga (orang)
2-4 4153 64,21
5-7 2144 33,15
>7 171 2,64
105 of 115 Nur Fitri Widya Astuti, et al | MKMI | 16(1) | 2020 | 100-115
ganda pada keluarga di Indonesia, yaitu faktor usia ibu (p = 0,001), pendidikan ibu (p =
0,022), jumlah anak (p = 0,001), dan jumlah anggota rumah tangga (p = 0,001) (Tabel 3).
Tabel 3a. Faktor yang Berhubungan dengan Terjadinya Beban Gizi Ganda pada
Keluarga di Indonesia
Beban Gizi Ganda Keluarga
Karakteristik Ya Tidak p
n=535 % n=5933 %
Usia Ibu (tahun)
< 21 2 4,26 45 95,74
21-30 81 5,19 1479 94,81
0,001*
31-40 267 9,20 2634 90,80
> 40 185 9,44 1775 90,56
Pendidikan Ibu
Tidak sekolah 15 7,28 191 92,72
Dasar 207 9,70 1927 90,30
0,022*
Menengah 267 7,78 3166 92,22
Tinggi 46 6,62 649 93,38
Pekerjaan Ibu
Wiraswasta 146 8,70 1533 91,30
Pekerja kantoran 117 8,76 1219 91,24
0,671
Pekerja lepas 94 7,78 1115 92,22
Tidak bekerja 178 7,93 2066 92,07
Tingkat Ekonomi
Kuintil 1 (Sangat miskin) 114 7,79 1350 92,21
Kuintil 2 (Miskin) 123 8,15 1387 91,85
Kuintil 3 (Menengah) 136 9,33 1321 90,67 0,565
Kuintil 4 (Kaya) 104 8,03 1191 91,97
Kuintil 5 (Sangat kaya) 58 7,62 684 92,18
Jumlah Anggota Rumah
Tangga (orang)
2-4 282 6,74 3871 93,21
5-7 235 10,71 1909 89,04 0,001*
>7 18 10,53 153 89,47
107 of 115 Nur Fitri Widya Astuti, et al | MKMI | 16(1) | 2020 | 100-115
Tabel 3b. Faktor yang Berhubungan dengan Terjadinya Beban Gizi Ganda pada
Keluarga di Indonesia
Beban Gizi Ganda Keluarga
Karakteristik Ya Tidak p
n=535 % n=5933 %
Jumlah Anak (orang)
≤2 320 6,64 4498 93,36
0,001*
>2 215 13,03 1435 86,97
Wilayah Tempat Tinggal
Desa 223 8,06 2545 91,94
0,587
Kota 312 8,43 3388 91,57
Fasilitas BAB
Ada 440 8,31 4858 91,69
0,835
Tidak ada 95 8,12 1075 91,88
Sanitasi Umum Rumah
Baik 326 8,01 3744 91,99
0,320
Tidak baik 209 8,72 2189 91,28
Kepemilikan Asuransi
Kesehatan
Ya 268 8,17 3013 91,83
0,760
Tidak 267 8,38 2920 91,62
Regional Tempat
Tinggal
Jawa-Bali 300 8,11 3399 91,89
Sumatera 126 7,91 1467 92,09 0,379
Lainnya a 109 9,27 1067 90,73
Sumber: Indonesian Family Life Survey, 2014
*Singnifikan pada tingkat p<0,05
a(Kalimantan dan Indonesia Timur)
PEMBAHASAN
Penelitian ini menunjukkan bahwa prevalensi beban gizi ganda menurun dari tahun
2007 yang mencapai angka 20%.6 Penurunan ini dapat disebabkan karena adanya
perbedaan dalam penentuan kriteria beban gizi ganda pada keluarga dimana sebelumnya
menggunakan indikator seluruh keluarga, tetapi pada penelitian ini hanya digunakan
pasangan ibu dan anak untuk menentukan status beban gizi ganda pada keluarga. Penelitian
di Semarang dan Jawa Barat, menggunakan indikator beban gizi ganda dengan sampel
pasangan ibu dan anak, menunjukkan hasil prevalensi diatas 30%.8,25 Tingginya prevalensi
beban gizi ganda pada keluarga pada penelitian tersebut dikarenakan hanya pada satu
lingkup kota dan provinsi, sedangkan pada penelitian ini lingkup sampel adalah seluruh
Indonesia.
Hasil penelitian menunjukkan beberapa variabel seperti usia ibu, pendidikan ibu,
jumlah anggota rumah tangga, dan jumlah anak memiliki hubungan yang signifikan
terhadap terjadinya beban gizi ganda pada tingkat keluarga. Penelitian terkait sebelumnya
108 of 115 Nur Fitri Widya Astuti, et al | MKMI | 16(1) | 2020 | 100-115
memaparkan bahwa pada kondisi beban gizi ganda dengan status gizi lebih terjadi pada ibu,
usia ibu yang semakin bertambah meningkatkan peluang terjadinya obesitas karena adanya
penurunan metabolisme tubuh yang mengakibatkan penumpukan massa lemak tubuh yang
berpengaruh pada kenaikan berat badan yang akhirnya mempengaruhi tingkat IMT
seseorang.7,26,27 Meskipun mayoritas status gizi pada ibu lebih banyak dengan status
overweight, terdapat pula ibu dengan status gizi kurang dan anak dengan status gizi lebih.
Sebuah penelitian di Bangladesh menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang
signifikan antara usia dan status gizi kurang. Hal ini terjadi karena terkait dengan ketahanan
pangan dan diversifikasi pangan pada keluarga sehingga mempengaruhi status gizi individu
di dalamnya.28 Selain itu, penelitian di Tajik menunjukkan adanya korelasi positif antara gizi
kurang karena terjadi proses inflamasi di dalam tubuh karena proses inflamasi berkaitan
dengan daya imunitas tubuh individu. Saat daya tahan tubuh rendah, maka menyebabkan
seseorang rentan terhadap terjadinya kesakitan, seperti infeksi atau penyakit karena stress
oksidatif.29,30
Selain itu, rendahya ketahanan pangan dan keberagaman pangan pada rumah tangga
serta kejadian infeksi dapat menyebabkan seseorang mengalami defisiensi mikronutrient.
Hal tersebut dapat berpengaruh terhadap metabolisme tubuh dan akhinya berdampak pada
terjadinya status gizi kurang pada individu.31,32 Namun, disisi lain, penelitian yang dilakukan
di Afrika Utara menunjukkan bahwa tidak ada korelasi yang signifikan antara usia ibu dan
kejadian beban gizi ganda pada keluarga.33
Hasil analisis menunjukkan bahwa jumlah anak juga berhubungan dengan terjadinya
beban gizi ganda pada keluarga. Penelitian sebelumnya menyebutkan bahwa jumlah paritas
yang tinggi memiliki korelasi positif dan memiliki peluang 2-4 kali untuk menyebabkan
obesitas pada ibu karena penumpukan lemak viseral setelah mengandung.34,35 Namun,
jumlah paritas yang bertambah menyebabkan ketimpangan alokasi makanan dan sumber
daya lainnya pada anggota keluarga, sehingga anggota keluarga yang menerima sedikit
alokasi makanan berpotensi untuk mengalami kurang gizi.28
Sama seperti pemaparan sebelumnya, keterkaitan antara jumlah anggota keluarga
dengan terjadinya beban gizi ganda pada keluarga disebabkan karena kondisi ketahanan
pangan dalam keluarga dan distribusi bahan pangan di dalam keluarga tersebut. Semakin
banyak anggota keluarga, maka jumlah kebutuhan pangan semakin tinggi. Kebutuhan
pangan yang meningkat juga berkaitan dengan meningkatnya beban ekonomi keluarga dan
pada akhirnya memberikan potensi untuk berkurangnya asupan makan ketika peningkatan
beban ekonomi tersebut tidak diimbangi dengan peningkatan penghasilan pada
keluarga.28,36
109 of 115 Nur Fitri Widya Astuti, et al | MKMI | 16(1) | 2020 | 100-115
kandungan gizi yang tepat dan pencegahan timbulnya penyakit yang merupakan kunci
utama dalam mencegah terjadinya malnutrisi.41 Namun, pada penelitian ini, status ekonomi
keluarga tidak menunjukkan nilai yang signifikan. Hal ini selaras dengan hasil penelitian
yang dilakukan di Sri Lanka dan Kerala.45,46
Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa ada keterkaitan yang signifikan antara
wilayah tempat tinggal dengan terjadinya beban gizi ganda pada rumah tangga, terutama di
wilayah perkotaan.6,14,37,27 Hal ini berkaitan dengan adanya rapid nutrition transition,
ketimpangan ekonomi, ketahanan pangan, dan norma budaya yang membentuk pola makan
pada suatu keluarga di wilayah tertentu.14,37,39,40,47 Namun, pada penelitian ini, wilayah dan
regional tempat tinggal tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Hal ini sesuai
dengan penelitian yang dilakukan di beberapa negara, seperti Bangladesh, Guatemala, dan
Haiti.21
Kesehatan lingkungan dan sanitasi rumah merupakan salah satu faktor yang
berperan dalam terjadinya malnutrisi karena terkait dengan tingkat kesakitan, terutama
pada anak yang di proyeksikan mengalami penyakit infeksi, seperti diare dan infeksi
saluran nafas.48 Khalakheti, dkk dalam penelitiannya menyatakan bahwa ketersediaan
jamban di rumah memiliki hubungan yang signifikan terhadap terjadinya diare, salah satu
penyebab malnutrisi pada anak, bahkan dapat menekan kejadian diare sampai 42%.49
Penelitian ini menujukkan bahwa tidak ada hubungan antara kondisi sanitasi rumah dan
kepemilikan jamban pada keluarga terhadap terjadinya beban gizi ganda. Hal ini selaras
dengan penelitian sebelumnya.50,51 Belum ada pemaparan yang jelas keterkaitan antara
sanitasi dan terjadinya masalah beban gizi ganda pada keluarga. Namun, fasilitas sanitasi
lingkungan yang baik seperti adanya akses jamban atau air bersih pada keluarga
memungkinkan untuk mencegah penurunan status kesehatan dan masalah gizi pada
anggota keluarga.
Penelitian kesehatan berbasis komunitas menggunakan data nasional dengan jumlah
sampel yang besar merupakan kelebihan dari penelitian ini. Namun, disisi lain terdapat
beberapa kelemahan pada penelitian ini, yaitu metode potong lintang belum bisa
menunjukkan prediktor dari fenomena beban gizi ganda pada keluarga di Indonesia. Selain
itu, variabel seperti asupan, riwayat infeksi, dan ketahanan pangan belum dilakukan
analisis pada penelitian ini karena keterbatasan variabel yang terdapat pada data sekunder
yang digunakan.
111 of 115 Nur Fitri Widya Astuti, et al | MKMI | 16(1) | 2020 | 100-115
REFERENSI
1. Colleen M. Doak, Maiza Campos Ponce, Marieke Vossenaar & Noel W. Solomons. The
Stunted Child with an Overweight Mother as a Growing Public Health Concern in
Resource-Poor Environments: a Case Study from Guatemala. Annals of Human Biology.
2016;43(2):122-130.
2. Rachmi, C. N., Li, M., & Baur, L. A. The Double Burden of Malnutrition in Association of
South East Asian Nations (ASEAN) Countries: a Comprehensive Review of the
Literature. Asia Pacific Journal of Clinical Nutrition. 2018;27(4):736-755.
3. Fongar, A., Gödecke, T., & Qaim, M. Various Forms of Double Burden of Malnutrition
Problems Exist in Rural Kenya. BMC Public Health. 2019;19(1):1-9.
4. World Health Organization. The Double Burden of Nutrition: Policy Brief. [Diakses pada
tanggal 6 Maret 2020].
5. Mahmudiono, T., Nindya, T. S., Andrias, D. R., Megatsari, H., & Rosenkranz, R. R.
Household Food Insecurity as a Predictor of Stunted Children and Overweight/Obese
Mothers (SCOWT) in urban Indonesia. Nutrients. 2018;10(5): 535.
6. Vaezghasemi, M., Ohman, A., Eriksson, M., Hakimi, M., Weinehall, L., Kusnanto, H. & Ng,
N. The Effect of Gender and Social Capital on the Dual Burden of Malnutrition: a
Multilevel Study in Indonesia. PLoS One. 2014;9(8):1-10.
7. El Kishawi, R. R., Soo, K. L., Abed, Y. A., & Muda, W. A. M. W. Prevalence and Associated
Factors for Dual Form of Malnutrition in Mother-Child Pairs at the Same Household in
the Gaza Strip-Palestine. PloS one. 2016;11(3):1-14.
8. Sekiyama, M., Jiang, H. W., Gunawan, B., Dewanti, L., Honda, R., Shimizu-Furusawa, H.,
Abdoellah, O. S. & Watanabe, C. Double Burden of Malnutrition in Rural West Java:
112 of 115 Nur Fitri Widya Astuti, et al | MKMI | 16(1) | 2020 | 100-115
Household-Level Analysis for Father-Child and Mother-Child Pairs and the Association
with Dietary Intake. Nutrients. 2015;7(10):8376-8391.
9. Haddad, L., Cameron, L. & Barnett, I. The Double Burden of Malnutrition in SE Asia and
the Pacific: Priorities, Policies and Politics. Health Policy Plan. 2015;30(9): 1193-1206.
10. Nugent, R., Levin, C., Hale, J., & Hutchinson, B. Economic Effects of the Double Burden of
Malnutrition. The Lancet. 2019;1-9
11. Schott, W., Aurino, E., Penny, M. E., & Behrman, J. R. The Double Burden of Malnutrition
among Youth: Trajectories and Inequalities in Four Emerging Economies. Economics &
Human Biology. 2019;34:80-91.
12. Tzioumis, E. & Adair, L. S. Childhood Dual Burden of Under-and Overnutrition in Low-
and Middle-Income Countries: a Critical Review. Food and Nutrition Bulletin.
2014;35(2):230-243.
13. Mazumdar, S. Determinants of Inequality in Child Malnutrition in India. Asian
Population Studies. 2010;6(3):307–333.
14. Hanandita, W. & Tampubolon, G. The Double Burden of Malnutrition in Indonesia:
Social Determinants and Geographical Variations. SSM-Population Health. 2015:116-
125.
15. Alaofè, H., & Asaolu, I. Maternal and Child Nutrition Status in Rural Communities of
Kalalé District, Benin: the Relationship and Risk Factors. Food and Nutrition Bulletin.
2019;40(1):56-70.
16. De Silva, I., & Sumarto, S. Child Malnutrition in Indonesia: Can Education, Sanitation and
Healthcare Augment the Role of Income?. Journal of International Development.
2018;30(5):837-864.
17. Kusumawati, E., Rahardjo, S. & Sari, H. P. Model Pengendalian Faktor Risiko Stunting
pada Anak Bawah Tiga Tahun. Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional.
2015;9(3):249-256.
18. Torlesse, H., Cronin, A. A., Sebayang, S. K. & Nandy, R. Determinants of Stunting in
Indonesian Children: Evidence from a Cross-Sectional Survey Indicate a Prominent
Role for the Water, Sanitation and Hygiene Sector in Stunting Reduction. BMC Public
Health. 2016;1(16):1-11.
19. Sekretariat Jendral Kementerian Kesehatan RI. Pedoman Umum Program Indonesia
Sehat dengan Pendekatan Keluarga. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI; 2016.
20. J. Strauss, F. Witoelar, and B. Sikoki. The Fifh Wave of the Indonesia Family Life Survey
(IFLS5): Overview and Field Report. [Volume 1]. RAND Corporation; 2016.
113 of 115 Nur Fitri Widya Astuti, et al | MKMI | 16(1) | 2020 | 100-115
21. Kosaka, S. & Umezaki, M. a Systematic Review of the Prevalence and Predictors of the
Double Burden of Malnutrition Within Households. The British Journal of Nutrition.
2017;117(8):1118-1127.
22. WHO, E. C. Appropriate Body-Mass Index for Asian Populations and its Implications for
Policy and Intervention Strategies. The Lancet (London, England). 2004;363(9403):
157-163.
23. World Health Organization. The WHO Child Growth Standards. 2006. [Diakses pada
tanggal 20 November 2016].
24. World Health Organization. WHO Reference. Growth reference data for 5–19 years.
2007. [Diakses pada tanggal 20 November 2016].
25. Setyaningsih, Aryanti. Hubungan antara Status Sosial Ekonomi, Motif Pemilihan
Makanan, dan Kualitas Diet dengan Kejadian Beban Gizi Ganda Malnutrisi di Rumah
Tangga (The Double Burden of Malnutrition in Household) di Kecamatan Peduringan
Kota Semarang. [Thesis]. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada; 2016.
26. Hauqe, S. E., Sakisaka, K., & Rahman, M. Examining the Relationship Between
Socioeconomic Status and the Double Burden of Maternal over and Child Under-
Nutrition in Bangladesh. European Journal of Clinical Nutrition. 2019;73(4):531-540.
27. Oddo, V. M., Rah, J. H., Semba, R. D., Sun, K., Akhter, N., Sari, M., de Pee, S., Moench-
Pfanner, R., Bloem, M. & Kraemer, K. Predictors of Maternal and Child Double Burden
of Malnutrition in Rural Indonesia and Bangladesh. The American Journal of Clinical
Nutrition. 2012;95(4): 951-958.
28. Fahim, S. M., Das, S., Gazi, M. A., Alam, M. A., Mahfuz, M., & Ahmed, T. Evidence of Gut
Enteropathy and Factors Associated with Under Nutrition among Slum-Dwelling
Adults in Bangladesh. The American Journal of Clinical Nutrition. 2020;111:657-666.
29. Barth‐Jaeggi, T., Zandberg, L., Bahruddinov, M., Kiefer, S., Rahmarulloev, S., & Wyss, K.
Nutritional Status of Tajik Children and Women: Transition Towards a Double Burden
of Malnutrition. Maternal & Child Nutrition. 2019;16(2):1-11.
30. Mastorci, F., Vassalle, C., Chatzianagnostou, K., Marabotti, C., Siddiqui, K., Eba, A. O.,
Mhamed,A.A.S., Bandopadhyay, A., Nazzaro, M.S., Passera, M., & Pingitore, A.
Undernutrition and Overnutrition Burden for Diseases in Developing Countries: The
Role of Oxidative Stress Biomarkers to Assess Disease Risk and Interventional
Strategies. Antioxidant. 2017;6(41):1-10.
114 of 115 Nur Fitri Widya Astuti, et al | MKMI | 16(1) | 2020 | 100-115
31. Nithya, D. J., & Bhavani, R. V. Dietary Diversity and its Relationship with Nutritional
Status among Adolescents and Adults in Rural India. Journal of Biosocial Science.
2018;50(3):397-413.
32. Ghose, B., Yaya, S., & Tang, S. Anemia Status in Relation to Body Mass Index among
Women of Childbearing Age in Bangladesh. Asia Pacific Journal of Public Health.
2016;28(7):611-619.
33. Sassi, S., Abassi, M. M., Traissac, P., Gharbia, H. B., Gartner, A., Delpeuch, F., & El Ati, J.
Intra-Household Double Burden of Malnutrition in a North African Nutrition Transition
Context: Magnitude and Associated Factors of Child Anaemia with Mother Excess
Adiposity. Public Health Nutrition. 2019;22(1):44-54.
34. Huayanay-Espinoza, C. A., Quispe, R., Poterico, J. A., Carrillo-Larco, R. M., Bazo-Alvarez,
J. C., & Miranda, J. J. Peer Reviewed: Parity and Overweight/Obesity in Peruvian
Women. Preventing Chronic Disease. 2017;14(102):1-12.
35. Ghaderian, S. B., Yazdanpanah, L., Shahbazian, H., Sattari, A. R., Latifi, S. M., &
Sarvandian, S. Prevalence and Correlated Factors for Obesity, Overweight and Central
Obesity in South West of Iran. Iranian Journal of Public Health. 2019:48(7):1354-1361.
36. Alaofè, H., & Asaolu, I. Maternal and Child Nutrition Status in Rural Communities of
Kalalé District, Benin: the Relationship and Risk Factors. Food and Nutrition Bulletin.
2019:40(1):56-70.
37. Roemling, C. & Qaim, M. Dual Burden Households and Intra-Household Nutritional
Inequality in Indonesia. Economics and Human Biology. 2013;11(4):563-573.
38. Sekiyama, M., Jiang, H. W., Gunawan, B., Dewanti, L., Honda, R., Shimizu-Furusawa, H.,
Abdoellah, O. S. & Watanabe, C. Double Burden of Malnutrition in Rural West Java:
Household-Level Analysis for Father-Child and Mother-Child Pairs and the Association
with Dietary Intake. Nutrients. 2015;7(10):8376-9831.
39. Alonso, E. B., Cockx, L., & Swinnen, J. Culture and Food Security. Global Food Security.
2018;17:113-127.
40. Mahmudiono, T., Nindya, T. S., Andrias, D. R., Megatsari, H., & Rosenkranz, R. R.
Household Food Insecurity as a Predictor of Stunted Children and Overweight/Obese
Mothers (SCOWT) in urban Indonesia. Nutrients. 2018;10(533):1-16.
41. Leroy, J. L., Habicht, J.-P., de Cossío, T. G. & Ruel, M. T. Maternal Education Mitigates the
Negative Effects of Higher Income on the Double Burden of Child Stunting and Maternal
Overweight in Rural Mexico. The Journal of Nutrition. 2014;144(5):765-770.
115 of 115 Nur Fitri Widya Astuti, et al | MKMI | 16(1) | 2020 | 100-115
42. Dang, Archana; Meenakshi, J. V. The Nutrition Transition and the Intra-Household
Double Burden of Malnutrition in India, ADBI Working Paper, No. 725, Asian
Development Bank Institute (ADBI). Tokyo; 2017. [Diakses pada tanggal 9 Maret 2020].
43. Lee J, Houser RF, Must A, et al. Socioeconomic Disparities and the Familial Coexistence
of Child Stunting and Maternal Overweight in Guatemala. Economics and Human
Biology. 2012;10(3):232–241.
44. Wong, C. Y., Zalilah, M. S., Chua, E. Y., Norhasmah, S., Chin, Y. S. & Siti Nur'Asyura, A.
Double-Burden of Malnutrition among the Indigenous Peoples (Orang Asli) of
Peninsular Malaysia. BMC Public Health. 2015;1(15):1-9.
45. ShinsugiC, Gunasekara D, Gunawardena NK, Subasinghe W, Miyoshi M, Kaneko S,
Takimoto, H. Double Burden of Maternal and Child Malnutrition and Socioeconomic
Status in Urban Sri Lanka. PLoS One. 2019;14(10):1-13.
46. Jayalakshmi, R., & Kannan, S. The Double Burden of Malnutrition: an Assessment of
‘Stunted Child and Overweight/Obese Mother (SCOWT) Pairs’ in Kerala
Households. Journal of Public Health Policy. 2019;40(3):342-350.
47. Rachmawati, S., Machmud, P. B., & Hatma, R. D. Hubungan Praktik Kesehatan pada Awal
Kehidupan dengan Kejadian Stunting pada Balita. Media Kesehatan Masyarakat
Indonesia. 2019;15(2):120-127.
48. Higgins‐Steele, A., Mustaphi, P., Varkey, S., Ludin, H., Safi, N., & Bhutta, Z. A. Stop
Stunting: Situation and Way Forward to Improve Maternal, Child and Adolescent
Nutrition in Afghanistan. Maternal & Child Nutrition. 2016;12(S1):237-241.
49. Kalakheti, B., Panthee, K., & Jain, K. C.. Risk Factors of Diarrhea in Children Under Five
Years in Urban Slums: An Epidemiological Study. Journal of Lumbini Medical College.
2017;4(2):94-98.
50. Masibo, P. K., Humwa, F., & Macharia, T. N. The Double Burden of Overnutrition and
Undernutrition in Mother-Child Dyads in Kenya: Demographic and Health Survey Data,
2014. Journal of Nutritional Science. 2020;9(5):1-12.
51. Anik, A. I., Rahman, M. M., Rahman, M. M., Tareque, M. I., Khan, M. N., & Alam, M. M.
(2019). Double Burden of Malnutrition at Household Level: a Comparative Study
among Bangladesh, Nepal, Pakistan, and Myanmar. PloS one. 2019;14(8):1-16.
Modul Epidemiologi dan Transisi Gizi 2016
Oleh:
Ni Wayan Arya Utami
Penyusun
Daftar Isi
1. PENDAHULUAN ..................................................................................................... 4
1.1. DEFINISI TRANSISI EPIDEMIOLOGI .................................................................. 5
2.1. Tujuan Surveilans Gizi ...................................................................................... 7
2.2. Kegiatan Surveilans Gizi ................................................................................... 8
2.3. Penilaian Pendahuluan ..................................................................................... 8
2.4. Indikator yang dipergunakan dalam surveilans gizi ........................................... 10
2.5. Sumber data surveilans gizi ............................................................................ 10
2.6. Pengolahan dan Penyajian Data ...................................................................... 11
2.7. Analisis dan Interpretasi Hasil Surveilans Gizi ................................................... 12
2.8. Penyebarluasan (Diseminasi) Hasil Analisis Surveilans Gizi................................. 14
2.11. Prinsip Umum Pelaksanaan Surveilans Gizi ....................................................... 16
A Lain
Modul Epidemiologi dan Transisi Gizi 2016
1. PENDAHULUAN
Dewasa ini, epidemiologi banyak digunakan dalam analisis masalah gizi masyarakat.
Masalah ini erat hubungannya dengan berbagai faktor yang menyangkut pola hidup
masyarakat. Pendekatan masalah gizi masyarakat melalui epidemiologi gizi bertujuan
untuk menganalisis berbagai faktor yang berhubungan erat dengan timbulnya masalah
gizi masyarakat, baik yang bersifat biologis, dan terutama yang berkaitan dengan
kehidupan social masyarakat. Penanggulangan masaah gizi masyarakat yang disertai
dengan surveilans gizi lebih mengarah kepada penanggulangan berbagai faktor yang
berkaitan erat dengan timbulnya masalah tersebut dalam masyarakat dan tidak hanya
terbatas pada sasaran individu atau lingkungan keluarga saja.
Dari berbagai contoh ruang lingkup penggunaan epidemiologi seperti tersebut diatas,
lebih memperjelas bahwa disiplin ilmu epidemiologi sebagai dasar filosofi dalam usaha
pendekatan analis masalah yang timbul dalam masyarakat, baik yang bertalian dengan
bidang kesehatan maupun masalah lain yang erat hubungannya dengan kehidupan
masyarakat secara umum.
Epidemiologi telah berkembang dan diakui sebagai cabang ilmu tersendiri termasuk di
Indonesia. Epidemiologi gizi dapat dipandang bagian sebagai ilmu gizi maupun ilmu
epidemiologi. Epidemiologi gizi mempelajari penyebaran penyakit terkait gizi dan faktor-
faktor yang menentukan terjadinya penyakit pada manusia serta aplikasi dalam
mengatasi problem kesehatan. Epidemiologi gizi dapat digunakan untuk mengungkap
besaran masalah, menentukan hubungan kausalitas (sebab-akibat) baik dalam ilmu gizi,
ilmu kesehatan masyarakat, dan ilmu kedokteran klinik, melaksanakan intervensi
program, memperbaiki maupun mengurangi masalah gizi dan kesehatan serta untuk
surveilens masalah gizi. Epidemiologi gizi mempunyai metode-metode spesifik yang
berkembang dan tidak dikembangkan dalam disiplin ilmu lain.
2. Ilmu Kesehatan Masyarakat sebagai salah satu disiplin ilmu yang relatif masih
baru, telah mengalami prekembangan dan kemajuan yang pesat pada akhir
abad ke-19 dan terutama pada pertengahan abad ke-20. Pada mulanya
kegiatan kesehatan pada masyarakat dilakukan berdasarkan pengamatan dan
terutama pengalaman para ahli dewasa itu, dimana Kesehatan Masyarakat
belum merupakan suatu ilmu tersendiri, tetapi masih merupakan sekumpulan
keterangan yang didasarkan pada pengalaman belakaan.
3. Dalam perkembangannya Kesehatan Masyarakat mulai menyusun metode
pendekatan yang didasarkan pada pengalaman dan pemikiran yang lebih
terarah sehingga kesehatan masyarakat mulai dikembangkan sebagai suatu
ilmu tersendiri. Hal ini sangat erat hubungannya dengan berbagai peristiwa
kematian dan kesakitan yang muncul dalam masyarakat dan oleh sebagian
besar pengamat dinyatakan dalam suatu keadaan yang saling berhubungan dan
bukan hanya bersifat kebetulan saja.
A Lain
Modul Epidemiologi dan Transisi Gizi 2016
1.1. DEFINISI TRANSISI EPIDEMIOLOGI
Teori transisi epidemiologi sendiri pertama kali dikeluarkan oleh seorang pakar
Demografi Abdoel Omran pada tahun 1971. Pada saat itu ia mengamati perkembangan
kesehatan di negara industri sejak abad 18. Dia kemudian menuliskan sebuah teori
bahwa ada 3 fase transisi epidemiologis yaitu :
1)The age of pestilence and famine, yang ditandai dengan tingginya mortalitas
2)The age of receding pandemics, era di mana angka harapan hidup mulai meningkat
antara 30-50 dan
3)The age of degenerative and man-made disease, fase dimana penyakit infeksi mulai
turun namun penyakit degeneratif mulai meningkat. gambaran itu memang untuk negara
Barat.Teori ini kemudian banyak di kritik. Kritikan dari beberapa tokoh seperti Rogers
dan Hackenberg (1987) dan Olshansky and Ault(1986) membuat Omran melakukan
sedikit revisi.
Bagi negara Barat, ketiga model tersebut ditambah 2 lagi yaitu:
4)The age of declining CVD mortality, ageing, lifestyle modification, emerging and
resurgent diseases ditandai dengan angka harapan hidup mencapai 80-85, angka fertilitas
sangat rendah, serta penyakit kardiovakular dan kanker, serta
5)The age of aspired quality of life with paradoxical longevity and persistent inequalities
yang menggambarkan harapan masa depan, dengan angka harapan hidup mencapai 90
tahun tetapi dengan karakteristik kronik morbiditas, sehingga mendorong upaya
peningkatan quality of life.
Selain itu, Omran juga membuat revisi model transisi epidemiologis untuk negara
berkembang dengan mengganti fase ketiganya menjadi “The age of triple health burden”
yang ditandai dengan 3 hal yaitu:
a) Masalah kesehatan klasik yang belum terselesaikan (infeksi penyakit menular),
b) Munculnya problem kesehatan baru dan
c) Pelayanan kesehatan yang tertinggal (Lagging), Namun ketika itu dikaitkan dengan
jenis penyakit beberapa pakar menggati beban ketiga itu dengan “New Emerging
Infectious Disease” Penyakit menular baru/penyakit lama muncul kembali
Kesehatan adalah kebutuhan dasar setiap manusia. Untuk memperoleh tubuh yang
A Lain
Modul Epidemiologi dan Transisi Gizi 2016
sehat diperlukan makanan yang sehat dan bergizi. Makanan sehat dan bergizi akan
memberikan zat gizi yang dibutuhkan tubuh untuk menjalankan fungsi tubuh dengan
normal. Pemilihan bahan makanan dan makanan yang tidak baik mengakibatkan tubuh
kekurangan zat-zat gizi esensial tertentu. Pemenuhan kebutuhan gizi dalam tubuh ini
akan memberikan status gizi seseorang yaitu gizi baik/optimal, gizi kurang dan gizi lebih
(arali, 2008).
Menurut Mariani (2011), Gizi baik/optimal terjadi bila tubuh memperoleh cukup zat
gizi dan digunakan secara efisien sehingga memungkinkan pertumbuhan fisik,
perkembangan otak, kemampuan untuk bekerja dan kesehatan secara umum pada
tingkat setinggi mungkin. Sedangkan gizi kurang terjadi bila tubuh mengalami
kekurangan satu atau lebih zat gizi esensial, hal ini dapat menyebabkan menurunnya
pertahanan tubuh terhadap penyakit infeski seperti diare. Sebaliknya gizi lebih terjadi bila
tubuh memperoleh zat-zat gizi dalam jumlah berlebihan sehingga menimbulkan efek
toksis atau dapat membahayakan kesehatan. Gizi lebih menyebabkan kegemukan atau
obesitas. Kelebihan energy yang dikonsumsi disimpan dalam jaringan dalam bentuk
lemak. Kegemukan merupakan satu factor resiko terjadinya berbagai penyakit
degenerative seperti hipertensi, DM, jantng koroner, penyakit hati dan kantong empedu.
Di Indonesia terdapat dua masalah gizi yang umumnya terjadi dimasyarakat yaitu
masih banyaknya masyarakat yang mengalami gizi kurang dan terjadinya peningkatan
masyarakat dengan gizi lebih. Gaya hidup masyarakat yang berubah membuat
permasalahan gizi mengalami perubahan baik dari segi bentuknya maupun akibat
penyakit yang akan ditimbulkan. Transisi epidemiologi gizi ini membuat beberapa
masyarakat mengalami gizi lebih (over nutrition).
Kasus kecukupan gizi bagi anak-anak masih saja menjadi persoalan khususnya di
Propinsi Sumatera Utara (Propsu). Buktinya selama kurun waktu tahun 2011, sebanyak
375 kasus gizi buruk masih terjadi. Dijelaskannya, kasus gizi buruk yang tertinggi berada
di Nias yaitu di Nias Barat ada 5 orang, Gunung Sitoli 6 orang, Nisel 10 orang dan Nias
Utara 6 orang (medanbisnis, 2012).
Disamping itu, jumlah orang yang mengalami gizi lebih juga semakin meningkat.
Hal ini dapat dilihat dari jumlah kasus penyakit degenerative. Penyakit degenerative
adalah istilah medis untuk menjelaskan suatu penyakit yang muncul akibat proses
kemunduran fungsi sel tubuh yaitu dari keadaan normal menjadi lebih buruk. Penyakit
yang masuk dalam kelompok ini antara lain diabetes melitus, stroke, jantung koroner,
kardiovaskular, obesitas, dislipidemia dan sebagainya.
World Health Organization (WHO) menyatakan akan ada satu miliar orang di
dunia, khususnya di wilayah perkotaan yang di bayangi akan menderita obesitas atau
kegemukan. Jumlah ini juga di prediksi oleh WHO tetap akan meningkat pada 2015
mendatang dengan jumlah penderita obesitas sebanyak 1,5 miliar orang. Hal ini di
anggap wajar terjadi, pasalnya masyarakat perkotaan yang hidup di bawah tuntutan
ekonomi di paksa melupakan gaya hidup yang sehat.
Kepadatan rutinitas merupakan satu faktor utama pergeseran masyarakat untuk
berolah raga dan makan makanan yang sehat (Pusat Promosi Kesehatan Departemen
Kesehatan, 2009). Menurut WHO, penyakit degenerative menjadi pembunuh manusia
terbesar. Angka kematian tertinggi ada di negara-negara dengan pendapatan nasional
A Lain
Modul Epidemiologi dan Transisi Gizi 2016
rendah ataupun tinggi.
2. SURVEILANS GIZI
Surveilans gizi merupakan salah satu bagian dari surveilans epidemiologi masalah
kesehatan. Menurut Depkes RI (2008) Surveilans gizi adalah proses pengamatan
berbagai masalah yang berkaitan dengan upaya perbaikan gizi masyarakat secara terus-
menerus baikpada situasi normal maupun darurat dan informasi yang dihasilkan dapat
digunakan untuk pengambilan keputusan dalam rangka mencegah memburuknya status
gizi masyarakat, menentukan intervensi yang diperlukan, manajemen program, dan
evaluasi dari program yang sedang dan telah dilaksanakan.
Sedangkan menurut NAS (National Academy of Science) dalam Adi dan Mukono
(2000) surveilans gizi adalah kegiatan pengamatan terhadap status gizi yang bertujuan
agar pengambilan keputusan dalam penentuan kebijakan dan program dapat terarah
kepada perbaikan gizi masyarakat golongan miskin. Informasi harus dikumpulkan secara
teratur dan harus digunakan oleh para penentu kebijakan dan perencana program.
Institusi yangterlibat harus mempunyai hubungan yang erat dengan mekanisme
perencanaan dan intervensi.
Surveilans gizi berbeda dengan surveilans penyakit pada umumnya. Meskipun
antara keduanya memiliki kesamaan dalam hal kegiatan mengumpulkan informasi untuk
kebijakan program dan tindakan, tetapi terdapat beberapa perbedaan yang menjadi ciri
tersendiri dari surveilans gizi. Beberapa perbedaan tersebut antara lain (Adi dan Mukono
2000):
1. Masalah yang dihadapi oleh kegiatan surveilans gizi lebih rumit dari surveilans
penyakit. Hal ini disebabkan masalah gizi mempunyai penyebab yang multi faktor dan
sangat erat kaitannya dengan masalah kemiskinan.
2. Identifikasi gejala dan cara penanggulangan masalah gizi lebih sulit dari pada masalah
penyakit
3. Dalam penanganan masalah gizi jauh lebih sulit dibandingkan dengan masalah
penyakit karena dalam penggulangan masalah gizi melibatkan lintas sektor yang lebih
luas.
Syarat pertama dari kegiatan surveilans adalah pengumpulan informasi secara
teratur. Dengan demikian, suatu pengkajian yang tidak didasarkan atau dikaitkan dengan
data yang dikumpulkan secara periodik tidak disebut sebagai suatu surveilans. Syarat
kedua adalah data yang dikumpulkan secara periodik dan setelah dianalisis harus dapat
digunakan sebagai bahan pengambilan keputusan dalam pengelolaan program perbaikan
gizi masyarakat.
Oleh karena itu, data yang dikumpulkan harus merupakan data yang bersifat tetap
dan siap untuk digunakan sesuai tujuan tersebut. Disamping itu harus terdapat hubungan
yang erat antara instansi-instansi yang bertanggung jawab dalam hal surveilans dan
perencanaan atau penentu kebijakan (Adi dan Mukono 2000).
b. Situasi fisik, meliputi: jenis daerah (kota/desa), ekologi, jenis pangan, geografis,
sanitasi dan penyakit endemis.
c. Sosio-ekonomis dan budaya, meliputi: kelompok etnis atau budaya, pekerjaan,
pelayanan kesehatan.
Ketelitian dalam mengenal dan menggambarkan kelompok berisiko sangat tergantung
pada kecermatan analisis terhadap keterangan yang tersedia. Keterangan yang dihasilkan
dari sistem surveilans gizi akan membantu dalam identifikasi kelompok berisiko sehingga
penggambaran tersebut menjadi lebih tepat.
Terdapat tiga jenis utama sistem surveilans gizi menurut Mason et al., (1984), antara lain
Kegiatan pemantauan gizi jangka panjang; Kegiatan evaluasi dampak program gizi;
Sistem peringatan tepat waktu untuk mengidentifikasi kekurangan pangan akut.
Menurut WHO menggambarkan sistem surveilans gizi sebagai proses yang
berkesinambungan, dengan tujuan antara lain:
1. Menggambarkan status gizi penduduk, dengan referensi khusus bagi mereka yang
menghadapi risiko
2. Menganalisis faktor-faktor penyebab yang terkait dengan gizi buruk
3. Mempromosikan keputusan oleh pemerintah, baik mengenai perkembangan normal
dan keadaan darurat
4. Memprediksi kemungkinan masalah gizi sehingga dapat membantu dalam perumusan
kebijakan
5. Memantau dan mengevaluasi program gizi.
Sementara menurut Soekirman & Karyadi (1995), tujuan dan lingkup dan sistem
surveilans gizi, antara lain :
A Lain
Modul Epidemiologi dan Transisi Gizi 2016
2.4. Indikator yang dipergunakan dalam surveilans gizi
Setelah dilaksanakan penilaian pendahuluan tentang masalah gizi yang akan
dihadapi oleh suatu sistem surveilans gizi, maka langkah berikutnya adalah
mempertimbangkan dan memilih indikator-indikator yang akan digunakan dalam sistem
tersebut.
Dalam menentukan suatu indikator darus dipertimbangkan beberapa hal berikut:
a. Mudah dalam melakukan pengukuran
Data yang dapat dikumpulkan dengan mudah dengan peralatan yang minimal dan sedikit
memerlukan pengolahan serta dapat dianalisis dengan mudah lebih baik dari pada data
yang memerlukan metode yang rumit dalam pengumpulan maupun interpretasinya.
c. Biaya
Biaya dalam pengumpulan data merupakan salah satu hal yang harus dipertimbangkan
dalam memilih indikator yang akan dipergunakan. Dana berkaitan erat dengan sifat-sifat
indikator diatas. Oleh karena itu harus diperhatikan dengan seksama keseimbangan
antara nilai data dan biaya untuk mencapainya.
Tipe-tipe data dari sumber yang ada dan biasa digunakan dalam sistem surveilans gizi
dapat diperlihatkan pada tabel berikut:
Variabel
No Sumber
Actual Potensial
1 Klinik kesehatan BB, TB, umur, Pekerjaan, jarak
prevalensi klinik
A Lain
Modul Epidemiologi dan Transisi Gizi 2016
penyakit, cakupan
imunisasi
2. Tabel
Tabel adalah penyajian data yang disusun dalam kolom dan baris dengan lebih
mengutamakan frekuensi suatu kejadian dalam bentuk kategori data yang berbeda. Tabel
A Lain
Modul Epidemiologi dan Transisi Gizi 2016
dapat menggambarkan satu variabel atau lebih. Apabila menggambarkan dua variabel
atau lebih disebut dengan tabel silang. Tabel silang digunakan untuk melihat hubungan
antar dua variabel atau lebih yang dapat bersifat deskriptif maupun analitik (Adi dan
Mukono, 2000).
Semua data yang disajikan dalam bentuk tabel sebaiknya diklasifikasikan dengan jelas
agar dapat dengan cepat dan mudah dimengerti oleh pembaca tanpa melihat data
aslinya. Beberapa prinsip pokok yang harus diperhatikan adalah tabel harus sederhana,
maksimal memiliki tiga variabel, dan harus menjelaskan dirinya sendiri (self explanatory)
(Muninjaya, 2004).
3. Grafik
Grafik adalah suatu metode untuk menyajikan data kuantitatif menggunakan sistem
koordinat x dan y. Sumbu x menggambarkan variabel independen (tidak tergantung), dan
sumbu y menggambarkan variabel dependen (tergantung). Grafik dapat membantu
pembaca mengerti dengan cepat perbedaan yang ada pada data yang disajikan.
Beberapa macam bentuk grafik yang biasanya dipakai dalam menyajikan data
diantaranya grafik garis, histogram, poligon, grafik balok/batang, grafik lingkaran, dan
peta.
4. Peta
Peta adalah cara penyajian data dengan mempergunakan peta suatu wilayah. Setiap data
atau kasus digambarkan dengan simbol data absolut. Jika simbol menggambarkan rate
(angka), penyajian peta dikenal dengan area map. Spot map dapat digambarkan dengan
angka mutlak, misalnya jumlah penderita suatu penyakit di daerah tertentu maupun
dengan angka relatif, misalnya insidens atau prevalens penyakit.
A Lain
Modul Epidemiologi dan Transisi Gizi 2016
komputer. Penggunaan komputer memudahkan dalam melakukan analisis data yang
bersifat kompleks. Program yang sering digunakan antara lain SPSS dan Epi-info (Adi dan
Mukono, 2000).
Menurut Adi dan Mukono (2000) dalam melakukan analisis dan interpretasi data
yang harus dilakukan adalah:
1. Memahami kualitas data dan mencari metode terbaik untuk menarik kesimpulan. Hal
ini dilakukan karena setiap data mempunyai kelemahan yang harus dipahami benar
sebelum seorang petugas surveilans memanfaatkan data tersebut.
2. Menarik kesimpulan dari suatu rangkaian data deskriptif. Kesimpulan yang dibuat dapat
dilakukan dengan beberapa cara analisis berikut:
a. Kecenderungan
Analisis kecenderungan merupakan hubungan antara jumlah kejadian gizi atau kondisi
populasi dengan waktu kejadian pada sekelompok populasi. Misalnya: data bulanan
penimbangan (BB/U), data tahunan kasus gizi buruk (prevalensi KEP), dan data periodik
lainnya.
b. Perbandingan
Analisis perbandingan merupakan upaya untuk membandingkan antara jumlah satu
kejadian dengan kejadian yang lain pada satu populasi atau populasi berbeda. Langkah
pertama yang dilakukan adalah menyamakan jumlah populasi yang diamati dengan
mengubah data menjadi ukuran frekuensi yang sesuai. Misalnya prevalensi KEP menurut
tingkatannya berdasarkan batas yang telah disepakati.
A Lain
Modul Epidemiologi dan Transisi Gizi 2016
kapan, dan kelompok penduduk mana yang menderita masalah kesehatan ini dan
memerlukan perhatian pengelola program yang lebih besar.
Selanjutnya, untuk menyusun rencana operasional program penanggulangan
terhadap masalah ini, masalah tersebut dapat dianalisis lagi menurut faktor-faktor yang
diperkirakan menjadi resiko dengan distribusi masalah tersebut (Muninjaya, 2004).
Selain beberapa cara analisis diatas hasil dari kegiatan surveilans gizi dapat juga
dianalisis dengan mengaitkannya kepada surveilans kesehatan lainnya untuk dapat
dilakukan analisis situasi dan identifikasi faktor-faktor yang berkaitan dengan masalah
gizi, misalnya penggabungan grafik gizi
dengan grafik diare, penggabungan grafik kemiskinan dan gizi kurang, atau
penggabungan grafik kemiskinan, gizi kurang, dan kejadian diare (Depkes, 2006).
A Lain
Modul Epidemiologi dan Transisi Gizi 2016
yang sangat penting, sama pentingnya dengan tindakan follow up lainnya. Dengan
dilakukannya hal tersebut diharapkan pelapor secara terus-menerus mengadakan
pengamatan penyakit dan melaporkan hasil pengamatannya (Adi dan Mukono, 2000).
Bentuk dari umpan balik dapat berupa ringkasan dari informasi yang dimuat
dalam buletin atau surat yang berisi pertanyaan terkait informasi yang dilaporkan atau
berupa kunjungan ke tempat asal laporan untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya
serta mengadakan perbaikan jika perlu. Jika umpan balik berupa buku laporan atau
buletin maka harus diperhatikan ketepatan dalam waktu terbit (Adi dan Mukono, 2000).
Keterangan :
Distribusi data surveilans dari sumber data kepada unit surveilans yang akan melakukan
kompilasi data.
Distribusi data surveilans/umpan balik dari unit surveilans yang melakukan kompilasi data
kepada semua sumber data.
a. Sumber data
Sumber data adalah institusi atau lembaga yang memiliki data yang dapat dimanfaatkan,
misalnya: Posyandu sebagai sumber data pertumbuhan, bidan desa sebagai sumber data
anemia.
b. Simpul
Simpul adalah institusi atau lembaga yang mengolah atau menganalisis dan
menyebarluaskan hasil dari kegiatan surveilans kepada pengguna. Pada kondisi tertentu
simpul dapat melakukan konfirmasi ke sumber data, misalnya bidan desa sebagai simpul
data pertumbuhan di tingkat kecamatan.
c. Pengguna
Pengguna adalah institusi atau lembaga atau individu yang memanfaatkan informasi yang
dihasilkan oleh masing-masing simpul, diantaranya adalah:
1) Pelaksana program dari tingkat kecamatan kebawah, informasi digunakan untuk
keperluan konfirmasi, koordinasi dan intervensi.
2) Pelaksana program di tingkat kabupaten/kota dan provinsi, informasi digunakan untuk
keperluan konfirmasi, perumusan kebijakan, pengmabilan keputusan, perencanaan,
A Lain
Modul Epidemiologi dan Transisi Gizi 2016
koordinasi, pelaksanaan, dan evaluasi.
3) Pelaksana program di tingkat pusat, informasi digunakan untuk konfirmasi, perumusan
kebijakan, dan bimbingan serta evaluasi.
2. Indikator kesehatan:
a. Indikator dari penyebab khusus
b. Mortalitas bayi dan bayi baru lahir
A Lain
Modul Epidemiologi dan Transisi Gizi 2016
c. Mortalitas ibu
d. Umur harapan hidup
Orang akan menderita gizi buruk jika tidak mampu untuk mendapat manfaat dari
makanan yang mereka konsumsi, contohnya pada penderita diare, nutrisi berlebih,
ataupun karena pola makan yang tidak seimbang sehingga tidak mendapat cukup kalori
dan protein untuk pertumbuhan tubuh.
Beberapa orang dapat menderita gizi buruk karena mengalami penyakit atau kondisi
tertentu yang menyebabkan tubuh tidak mampu untuk mencerna ataupun menyerap
makanan secara sempurna. Contohnya pada penderita penyakit seliak yang mengalami
gangguan pada saluran pencernaan yang dipicu oleh sejenis protein yang banyak
terdapat pada tepung yaitu gluten. Penyakit seliak ini mempengaruhi kemampuan tubuh
untuk menyerap nutrisi sehingga terjadi defisiensi.
Kemudian ada juga penyakit cystic fibrosis yang mempengaruhi pankreas, yang fungsinya
adalah untuk memproduksi enzim yang dibutuhkan untuk mencerna makanan. Demikian
juga penderita intoleransi laktosa yang susah untuk mencerna susu dan produk
olahannya.
A Lain
Modul Epidemiologi dan Transisi Gizi 2016
Gizi buruk dapat mempengaruhi kesehatan tubuh baik fisik dan mental. Semakin berat
kondisi gizi buruk yang diderita (semakin banyak nutrisi yang kurang) akan memperbesar
resiko terjadinya masalah kesehatan secara fisik.
Pada gizi buruk yang berat dapat terjadi kasus seperti marasmus (lemah otot) akibat
defisiensi protein dan energi, kretinisme dan kerusakan otak akibat defisiensi yodium,
kebutaan dan resiko terkena penyakit infeksi yang meningkat akibat defisensi vitamin A,
sulit untuk berkonsentrasi akibat defisiensi zat besi.
A Lain
Modul Epidemiologi dan Transisi Gizi 2016
Untuk KEP ringan dan sedang, gejala klinis yang bisa dijumpai pada anak adalah berupa
kondisi badan yang tampak kurus.
Sedangkan gejala klinis KEP berat/gizi buruk secara garis besar bisa dibedakan menjadi
tiga tipe:
1. kwashiorkor
2. marasmus
3. marasmus-kwashiorkor.
1. Kwashiorkor adalah penyakit yang disebabkan oleh kekurangan protein dan sering
timbul pada usia 1-3 tahun karena pada usia ini kebutuhan protein tinggi. Meski
penyebab utama kwashiorkor adalah kekurangan protein, tetapi karena bahan makanan
yang dikonsumsi kurang menggandung nutrient lain serta konsumsi daerah setempat
yang berlainan, akan terdapat perbedaan gambaran kwashiorkor di berbagai negara.
A Lain
Modul Epidemiologi dan Transisi Gizi 2016
• diare kronik atau konstipasi (susah buang air)
Berikut adalah beberapa cara untuk mencegah terjadinya gizi buruk pada anak:
1. Memberikan ASI eksklusif (hanya ASI) sampai anak berumur 6 bulan. Setelah itu, anak
mulai dikenalkan dengan makanan tambahan sebagai pendamping ASI yang sesuai
dengan tingkatan umur, lalu disapih setelah berumur 2 tahun
2. Anak diberikan makanan yang bervariasi, seimbang antara kandungan protein, lemak,
vitamin dan mineralnya. Perbandingan komposisinya: untuk lemak minimal 10% dari total
kalori yang dibutuhkan, sementara protein 12% dan sisanya karbohidrat.
3. Rajin menimbang dan mengukur tinggi anak dengan mengikuti program Posyandu.
Cermati apakah pertumbuhan anak sesuai dengan standar di atas. Jika tidak sesuai,
segera konsultasikan hal itu ke dokter.
4. Jika anak dirawat di rumah sakit karena gizinya buruk, bisa ditanyakan kepada petugas
pola dan jenis makanan yang harus diberikan setelah pulang dari rumah sakit.
5. Jika anak telah menderita karena kekurangan gizi, maka segera berikan kalori yang
tinggi dalam bentuk karbohidrat, lemak, dan gula. Sedangkan untuk proteinnya bisa
diberikan setelah sumber-sumber kalori lainnya sudah terlihat mampu meningkatkan
energi anak. Berikan pula suplemen mineral dan vitamin penting lainnya. Penanganan dini
sering kali membuahkan hasil yang baik. Pada kondisi yang sudah berat, terapi bisa
dilakukan dengan meningkatkan kondisi kesehatan secara umum. Namun, biasanya akan
meninggalkan sisa gejala kelainan fisik yang permanen dan akan muncul masalah
intelegensia di kemudian hari.
A Lain
Modul Epidemiologi dan Transisi Gizi 2016
1. Biasakan makan – makanan gizi yang seimbang
2. Mengatur pola makan balita
3. Konsumsi Vitamin A seperti susu, ikan goring, hati, sayur hijau, dan kuning
4. Konsumsi Vitamin B 12 seperti kedelai, telur, keju,daging, tempe, dll
4. Obesitas adalah penyakit gizi yang disebabkan kelebihan kalori dan ditandai dengan
akumulasi jaringan lemak secara berlebihan diseluruh tubuh. Merupakan keadaan
patologis dengan terdapatnya penimbunan lemak yang berlebihan dari yang diperlukan
untuk fungsi tubuh. Gizi lebih (over weight) dimana berat badan melebihi berat badan
rata-rata, namun tidak selalu identik dengan obesitas.
a. Penyebab
• Perilaku makan yang berhubungan dengan faktor keluarga dan lingkungan
• Aktifitas fisik yang rendah
• Gangguan psikologis (bisa sebagai sebab atau akibat)
• Laju pertumbuhan yang sangat cepat
• Genetik atau faktor keturunan
• Gangguan hormon
b. Gejala
• Terlihat sangat gemuk
• Lebih tinggi dari anak normal seumur
• Dagu ganda
• Buah dada seolah-olah berkembang
• Perut menggantung
• Penis terlihat kecil
c. Terdapat 2 golongan obesitas
• Regulatory obesity, yaitu gangguan primer pada pusat pengatur masukan makanan
• Obesitas metabolik, yaitu kelainan metabolisme lemak dan karbohidrat
d. Resiko/dampak obesitas
• Gangguan respon imunitas seluler
• Penurunan aktivitas bakterisida
• Kadar besi dan seng rendah
e. Penatalaksanaan
• Menurunkan BB sangat drastis dapat menghentikan pertumbuhannya. Pada obesitas
sedang, adakalanya penderita tidak memakan terlalu banyak, namun aktifitasnya kurang,
sehingga latihan fisik yang intensif menjadi pilihan utama
• Pada obesitas berat selain latihan fisik juga memerlukan terapi diet. Jumalh energi
dikurangi, dan tubuh mengambil kekurangan dari jaringan lemak tanpa mengurangi
pertumbuhan, dimana diet harus tetap mengandung zat gizi esensial.
• Kurangi asupan energi, akan tetapi vitamin dan nutrisi lain harus cukup, yaitu dengan
mengubah perilaku makan
• Mengatasi gangguan psikologis
• Meningkatkan aktivitas fisik
• Membatasi pemakaian obat-obatan yang untuk mengurangi nafsu makan
A Lain
Modul Epidemiologi dan Transisi Gizi 2016
• Bila terdapat komplikasi, yaitu sesak nafas atau sampai tidak dapat berjalan, rujuk ke
rumah sakit
• Konsultasi (psikologi anak atau bagian endokrin)
5. ANEMIA
Anemia defisiensi adalah anemia yang disebabkan oleh kekurangan satu atau beberapa
bahan yang diperlukan untuk pematangan eritrosit. Keadaan dimana kadar hemoglobin
(Hb), hematokrit (Ht) dan eritrosit lebih rendah dari nilai normal, akibat defisiensi salah
satu atau beberapa unsur makanan yang esensial yang dapat mempengaruhi timbulnya
defisiensi tersebut.
a. Macam-macam anemia
1. Anemia defisiensi besi adalah anemia karena kekurangan zat besi atau sintesa
hemoglobin.
2. Anemia megaloblastik adalah terjadinya penurunan produksi sel darah merah yang
matang, bisa diakibatkan defisiensi vitamin B12
3. Anemia aplastik adalah anemia yang berat, leukopenia dan trombositopenia,
hipoplastik atau aplastik
A Lain
Modul Epidemiologi dan Transisi Gizi 2016
• Infeksi penyakit
Sebab tidak langsung
• Distribusi makanan yang tidak merata ke seluruh daerah
Sebab mendasar
• Pendidikan wanita rendah
• Ekonomi rendah
• Lokasi ggeografis (daerah endemis malaria)
e. Kelompok sasaran prioritas
• Ibu hamil dan menyusui
• Balita
• Anak usia sekolah
• Tenaga kerja wanita
• Wanita usia subur
f. Penanganan
• Pemberian Komunikasi,informasi dan edukasi (KIE) serta suplemen tambahan pada ibu
hamil maupun menyusui
• Pembekalan KIE kepada kader dan orang tua serta pemberian suplemen dalam bentuk
multivitamin kepada balita
• Pembekalan KIE kepada guru dan kepala sekolah agar lebih memperhatikan keadaan
anak usia sekolah serta pemeberian suplemen tambahan kepada anak sekolah
• Pembekalan KIE pada perusahaan dan tenaga kerja serta pemberian suplemen kepada
tenaga kerja wanita
• Pemberian KIE dan suplemen dalam bentuk pil KB kepada wanita usia subur (WUS)
6. DEFISIENSI VITAMIN A
Prevalensi tertinggi terjadi pada balita
a. Penyebab
• Intake makanan yang mengandung vitamin A kurang atau rendah
• Rendahnya konsumsi vitamin A dan pro vitamin A pada bumil sampai melahirkan akan
memberikan kadar vitamin A yang rendah pada ASI
• MP-ASI yang kurang mencukupi kebutuhan vitamin A
• Gangguan absorbsi vitamin A atau pro vitamin A (penyakit pankreas, diare kronik, KEP
dll)
• Gangguan konversi pro vitamin A menjadi vitamin A pada gangguan fungsi kelenjar
tiroid
• Kerusakan hati (kwashiorkor, hepatitis kronik)
b. Sifat
• Mudah teroksidasi
• Mudah rusak oleh sinar ultraviolet
• Larut dalam lemak
c. Tanda dan gejala
• Rabun senja-kelainan mata, xerosis konjungtiva, bercak bitot, xerosis kornea
• Kadar vitamin A dalam plasma <20ug/dl d. Tanda hipervitaminosis Akut • Mual, muntah
• Fontanela meningkat Kronis • Anoreksia • Kurus • Cengeng • Pembengkakan tulang e.
Upaya pemerintah • Penyuluhan agar meningkatkan konsumsi vitamin A dan pro vitamin
A Lain
Modul Epidemiologi dan Transisi Gizi 2016
A • Fortifikasi (susu, MSG, tepung terigu, mie instan) • Distribusi kapsul vitamin A dosis
tinggi pada balita 1-5 tahun (200.000 IU pada bulan februari dan agustus), ibu nifas
(200.000 IU), anak usia 6-12 bulan (100.000 IU) • Kejadian tertentu, ditemukan buta
senja, bercak bitot. Dosis saat ditemukan (200.000 IU), hari berikutnya (200.000 IU) dan
4 minggu berikutnya (200.000 IU) • Bila ditemukan xeroptalmia. Dosis saat ditemukan
:jika usia >12 bulan 200.000 IU, usia 6-12 bulan 100.000 IU, usia < 6 bulan 50.000 IU,
dosis pada hari berikutnya diberikan sesuai usia demikian pula pada 1-4 minggu
kemudian dosis yang diberikan juga sesuai usia
• Pasien campak, balita (200.000 IU), bayi (100.000 IU)
f. Catatan
• Vitamin A merupakan nutrient esensial, yang hanya dapat dipenuhi dari luar tubuh,
dimana jika asupannya berlebihan bisa menyebabkan keracunan karena tidak larut dalam
air
• Gangguan asupan vitamin A bisa menyebabkan morbili, diare yang bisa berujung pada
morbiditas dan mortalitas, dan pneumonia
7. GANGGUAN AKIBAT KEKURANGAN YODIUM (GAKY)
• Adalah sekumpulan gejala yang dapat ditimbulkan karena tubuh menderita kekurangan
yodium secara terus menerus dalam waktu yang lama.
• Merupakna masalah dunia
• Terjadi pada kawasan pegunungan dan perbukitan yang tanahnya tidak cukup
mengandung yodium
• Defisiensi yang berlangsung lama akan mengganggu fungsi kelenjar tiroid yang secara
perlahan menyebabkan pembesaran kelenjar gondok
a. Dampak
• Pembesaran kelenjar gondok
• Hipotiroid
• Kretinisme
• Kegagalan reproduksi
• Kematian
b. Defisiensi pada janin
• Dampak dari kekurangan yodium pada ibu
• Meningkatkan insiden lahir mati, aborsi, cacat lahir
• Terjadi kretinisme endemis
• Jenis syaraf (kemunduran mental, bisu-tuli, diplegia spatik)
• Miksedema (memperlihatkan gejala hipotiroid dan dwarfisme)
c. Defisiensi pada BBL
• Penting untuk perkembangan otak yang normal
• Terjadi penurunan kognitif dan kinerja motorik pada anak usia 10-12 tahun pada
mereka yang dilahirkan dari wanita yang mengalami defisiensi yodium
d. Defisiensi pada anak
• Puncak kejadian pada masa remaja
• Prevalensi wanita lebih tinggi dari laki-laki
• Terjadi gangguan kinerja belajar dan nilai kecerdasan
e. Klasifikasi tingkat pembesaran kelenjar menurut WHO (1990)
A Lain
Modul Epidemiologi dan Transisi Gizi 2016
• Tingkat 0 : tidak ada pembesaran kelenjar
• Tingkat IA : kelenjar gondok membesar 2-4x ukuran normal, hanya dapat diketahui
dengan palpasi, pembesaran tidak terlihat pada posisi tengadah maksimal
• Tingkat IB : hanya terlihat pada posisi tengadah maksimal
• Tingkat II : terlihat pada posisi kepala normal dan dapat dilihat dari jarak ± 5 meter
• Tingkat III : terlihat nyata dari jarak jauh
f. Sasaran
• Ibu hamil
• WUS
g. Dosis dan kelompok sasaran pemberian kapsul yodium
• Bayi < 1tahun : 100 mg
• Balita 1-5 tahun : 200 mg
• Wanita 6-35 tahun : 400 mg
• Ibu hamil (bumil) : 200 mg
• Ibu meneteki (buteki) : 200 mg
• Pria 6-20 tahun : 400 mg
8. GAKY tidak berhubungan denga tingkat sosek melainkan dengan geografis
Spektrum gangguan akibat kekurangan yodium
• Fetus : abortus, lahir mati, kematian perinatal, kematian bayi, kretinisme nervosa (bisu
tuli, defisiensi mental, mata juling), cacat bawaan, kretinisme miksedema, kerusakan
psikomotor
• Neonatus : gangguan psikomotor, hipotiroid neonatal, gondok neonatus
• Anak dan remaja : gondok, hipotiroid juvenile, gangguan fungsi mental (IQ rendah),
gangguan perkembangan
• Dewasa : gondok, hipotiroid, gangguan fungsi mental, hipertiroid diimbas oleh yodium
Sumber makanan beryodium yaitu makanan dari laut seperti ikan, rumput laut dan sea
food. Sedangkan penghambat penyerapan yodium (goitrogenik) seperti kol, sawi, ubi
kayu, ubi jalar, rebung, buncis, makanan yang panas, pedas dan rempah-rempah.
a. Pencegahan/penanggulangan
• Fortifikasi : garam
• Suplementasi : tablet, injeksi lipiodol, kapsul minyak beryodium
Epidemiologi gizi adalah ilmu yang mempelajari determinan dari suatu masalah atau
kelainan gizi.
• Mempelajari distribusi dan besarnya masalah gizi pada populasi manusia.
A Lain
Modul Epidemiologi dan Transisi Gizi 2016
• Menguraikan penyakit dari masalah gizi dan menentukan hubungan sebab akibat.
• Memberikan informasi yang dibutuhkan untuk merencanakan dan melaksanakan
program pencegahan, kontrol dan penanggulangan masalah gizi di masyarakat.
• Menguraikan penyebab dari masalah gizi dan menentukan hubungan sebab akibat.
DAFTAR PUSTAKA
Nasry Noor, Prof. Dr. Nur, M.PH. Epidemiologi. Jakarta: Rineka Cipta, 2008
http://lenteraimpian.wordpress.com/2010/02/24/masalah-masalah-gizi-di-indonesia-2/
Budiarto, Dr. Eko, SKM. Pengantar Epidemiologi. Jakarta: EGC, 2002
Anonym.Gizi lebih (over nutrition) dalam kaitannya dengan peningkatan resiko penyakit
degenerative
Azwar, Azrul. Kecenderungan masalah gizi dan tantangan di masa datang*)
A Lain