Anda di halaman 1dari 268

TUGAS GIZI KESEHATAN MASYARAKAT

“KELOMPOK 5”
Analisis jurnal dan refrensi epid dan nutrition transition
BEBAN GIZI GANDA
Disusun oleh:
1.Rizka Gia Novita
2.Sarilisnawati
3.Siti Rachmawati
4.Songo Wigerar
5.Sri Putri Hnadayani
6.Sri Yunida
7.Supriadi
8.Susanti
9.Susilawati
10.Sutary
11.Saleh
BAB I PENDAHULUAN

Hampir semua negara di dunia mengalami Masalah Gizi Ganda (MGG), baik negara
dengan pendapatan tinggi maupun rendah. Global Nutrition Report tahun 2020
menunjukkan bahwa dari 143 negara di dunia, sebanyak 124 negara (86,7%)
setidaknya mengalami dua masalah gizi yang serius. Dari 124 negara tersebut,
sebanyak 37 negara memiliki tiga masalah gizi yang serius (stunting balita, anemia,
dan overweight pada wanita dewasa). Kalau untuk di Indonesia masalah gizi ganda
juga telah menjadi perhatian, meskipun prioritas utama pemerintah Indonesia masih
pada masalah gizi kurang, khususnya stunting dan gizi buruk.1
Fenomena beban gizi ganda pada keluarga memiliki dampak

kesehatan jangka panjang bagi anggota keluarga yang mengalami

malnutrisi, seperti gangguan perkembangan pada anak, kerentanan

terhadap penyakit menular, menurunnya produktifitas kerja, outcome

kehamilan yang buruk6 dan risiko penyakit degeneratif..


B.Rumusan Masalah

1.Bagaimana pemasalahan dan penyebab beban gizi ganda yang terjadi di


Indonesia?
2. Bagaimana Hubungan antara fenomena beban gizi ganda dan dampak
kesehatan jangka Panjang serta cara mengatasinya pada masyarakat di
Indonesia?
C.Tujuan

1.Untuk mengetahui pemasalahan dan beban gizi ganda yang terjadi

di Indonesia.

2.Untuk mengetahui Hubungan antara fenomena beban gizi ganda

dan dampak kesehatan jangka Panjang serta cara mengatasinya

pada masyarakat di Indonesia.


BAB II KAJIAN TEORI

Beban Ganda Malnutrisi atau DBM (Double Burden of Malnutrition) adalah


suatu konsep ko-eksistensi kekurangan gizi dan kelebihan gizi makronutrien
maupun mikronutrien di sepanjang kehidupan pada populasi, masyarakat,
keluarga dan bahkan individu yang sama. Yang mengkhawatirkan adalah
dimensi DBM di sepanjang kehidupan, atau keterkaitan antara gizi buruk
pada ibu hamil dan janin dengan meningkatnya kerentanan terhadap
kelebihan gizi dan pola makan yang terkait penyakit tidak menular di
kemudian hari.
Di Indonesia terdapat dua masalah gizi yang umumnya terjadi dimasyarakat yaitu
masih banyaknya masyarakat yang mengalami gizi kurang dan terjadinya
peningkatan masyarakat dengan gizi lebih. Gaya hidup masyarakat yang berubah
membuat permasalahan gizi mengalami perubahan baik dari segi bentuknya maupun
akibat penyakit yang akan ditimbulkan. Transisi epidemiologi gizi ini membuat
beberapa masyarakat mengalami gizi lebih (over nutrition).
Masalah gizi ganda (MGG) merupakan kondisi hadirnya masalah gizi

kurang (stunting, wasting, dan defisiensi zat gizi mikro) bersamaan dengan gizi

lebih dan obesitas di sepanjang kehidupan. Masalah gizi lebih dan gaya hidup

berhubungan dengan penyakit tidak menular seperti diabetes melitus, penyakit

kardiovaskular, hipertensi, dan kanker. Masalah gizi ganda dapat terjadi pada

tingkat individu, rumah tangga, dan masyarakat.


Penyebab Beban Gizi Ganda di Indonesia

1. Konsumsi Pangan yang Tidak Cukup dan Kerawanan Pangan


2. Beban Penyakit, Akses terhadap Pelayanan Kesehatan, dan Lingkungan
yang Tidak Mendukung.
3. Praktik Pemberian Makan dan Pengasuhan yang Tidak Adekua
4. Akar Masalah dan Isu yang Terkait
BAB III PEMBAHASAN
Permasalahan Beban Gizi Ganda Di indonesia

1. Kurang Gizi pada Anak


Kurang gizi yang dialami pada anak usia di bawah lima tahun antara lain stunting,
wasting, dan underweight
2. Kurang Gizi pada Perempuan
Kurang Energi Kronis (KEK) pada ibu hamil yang diukur melalui lingkar lengan atas
(LILA) dilaporkan dalam background paper tentang gizi 2014 dan ditemukan adanya
peningkatan antara 2010 dan 2013. Hampir satu dari empat wanita hamil (24,2%)
memiliki LILA yang rendah (<23,5 cm).
3. Pemberian Makan pada Bayi dan Anak
Target RPJMN 2015-2019 untuk pemberian ASI eksklusif tampaknya akan tercapai. Meskipun
prestasi ini terlihat jelas, praktik pemberian makan pada bayi dan anak (PMBA) di Indonesia
masih sangat tidak memadai. Sementara 61% ibu memulai menyusui dalam satu jam pertama
kelahiran bayi mereka, hanya setengah (54%) terus menyusui hingga usia dua tahun (BPS &
Kemenkes, 2017). Lebih dari sepertiga (37%) dari ibu pada tahun 2012 memberikan susu botol
kepada anak mereka antara usia 0-23 bulan yang meningkatkan risiko penyakit infeksi seperti
diare karena sulitnya mensterilkan dot pada botol dengan benar (BPS & Kemenkes, 2012). Selain
itu, jenis makanan pendamping yang diperkenalkan tidak memadai untuk memenuhi kebutuhan

gizi anak yang sedang dalam masa pertumbuhan.


4. Defisiensi Mikronutrien

Anemia pada wanita dan anak-anak masih menjadi masalah kesehatan masyarakat
dengan kategori berat menurut klasifikasi WHO (WHO, 2010). Anemia sebagian
besar disebabkan oleh defisiensi zat besi, dan juga terkait dengan defisiensi
mikronutrien lainnya seperti vitamin A, asam folat, dan vitamin B12. Prevalensi
anemia juga lebih tinggi di daerah dimana kecacingan umum terjadi. Anemia pada
ibu hamil (hemoglobin < 11 g/dl) pada tahun 2013 (Kementerian Kesehatan, 2013).
5. Kegemukan dan Obesitas
Prevalensi kegemukan (IMT ≥25 sampai <27) dan obesitas (IMT ≥ 27) di kalangan
orang dewasa meningkat tajam dan obesitas sekarang menjadi tantangan masalah
gizi terbesar di masa depan yang dihadapi oleh Indonesia. Dalam lima tahun, antara
tahun 2013 dan 2018, prevalensi obesitas telah meningkat enam persen dan lebih
tinggi dari target RPJMN 2015-2019.

6. Gizi Remaja
Remaja di Indonesia sudah mulai menderita Beban Ganda Masalah Gizi. Pada tahun
2013, 9,4% remaja berusia 16-18 tahun dan 11,1% dari mereka yang berusia 13-15
tahun mengalami kurus (IMT per usia <-2 SD Zscore), sementara 7,3% dan 10,8%,
secara berurutan, mengalami kelebihan berat badan (IMT per usia > +1 SD Zscore)
(Kementerian Kesehatan, 2013).
Cara Mengatasi Beban Ganda Masalah Gizi di Indonesia

1.Menetapkan regulasi yang kuat untuk meningkatkan komitmen dan alokasi


anggaran untuk gizi di tingkat pusat dan daerah

2.Meningkatkan pemberian layanan gizi berkualitas untuk semua masyarakat.

3.Meningkatkan kesadaran dan komitmen untuk perbaikan gizi dengan


menggunakan metode inovatif dan berbagai saluran komunikasi.

4.Membangun sistem informasi dan bukti terkait gizi untuk menyediakan sumber data
yang kredibel dan tepat waktu yang dapat digunakan untuk pengambilan keputusan.

5.Memperluas keterlibatan multi-sektor untuk mempercepat perbaikan gizi.


BAB IV
PENUTUP

Kesimpulan

Adanya kasus kelebihan dan kekurangan berat badan di kalangan anak-anak


menunjukkan bahwa DBM di Indonesia sudah memprihatinkan. Stunting
merupakan masalah gizi utama, dan makin mengkhawatirkan mengingat
terdapatnya hubungan antara stunting dan risiko penyakit tidak menular di
kemudian hari, yang saat ini menjadi mayoritas beban penyakit di Indonesia.
Indonesia memberikan prioritas pada masalah kekurangan gizi dengan perhatian
khusus pada “Gizi Buruk” dalam menentukan situasi gizi nasional
Beban Ganda Masalah Gizi di Indonesia dikaitkan dengan meningkatnya
usia harapan hidup yang telah dipengaruhi oleh: pergeseran beban penyakit
dari penyakit menular ke penyakit tidak menular (PTM); peningkatan
kesejahteraan secara nasional disertai dengan peningkatan ketersediaan
pangan, yang telah menyebabkan peningkatan konsumsi lemak dan
makanan olahan per kapita; serta pertumbuhan urbanisasi dengan lebih
banyak orang yang tinggal di perkotaan dimana kota-kota tersebut tidak
ramah pejalan kaki dan kurangnya fasilitas yang mendorong aktivitas fisik.
.
SARAN

Beberapa saran dan aksi kebijakan yang perlu dipertimbangkan untuk mengatasi
DBM di Indonesia, yaitu:

1.Kebijakan dan Rencana Gizi

Memastikan sedini mungkin bahwa program gizi di Indonesia berorientasi menangani


DBM, menyadari bahwa prioritas pertama untuk melakukannya adalah dengan
menangani masalah stunting melalui peningkatan gizi ibu hamil dan anak usia dini,
terutama dengan menerapkan paket intervensi gizi langsung dari Lancet Nutrition
Series
2.Gizi Ibu Hamil, Bayi dan Balita
.
Memperkuat mekanisme yang sudah ada dan memastikan dilaksanakannya

Peraturan Pemasaran Susu Pengganti ASI, sehingga bayi tidak lagi diberi

susu pengganti ASI oleh pekerja kesehatan, terutama pada saat kelahiran
3. Keamanan Pangan dan Gizi

Memperkuat aspek kebijakan pertanian dalam rangka mempromosikan produksi


. sayuran dan buah-buahan melalui petani lokal berskala kecil, tidak hanya untuk

meningkatkan kualitas ketersediaan pangan tetapi juga untuk meningkatkan


pendapatan di kalangan miskin pedesaan, sehingga baik keamanan pangan maupun
keamanan gizi terjamin.
4.Pendidikan Gizi dan Gaya Hidup Sehat
.
Sebagai prioritas pertama untuk mengatasi masalah “stunting-obesitas- penyakit tidak menular”,
adalah pengembangan pendidikan gizi yang luas dan efektif di seluruh Indonesia untuk
mahasiswa, akademisi, pejabat pemerintah, politisi, industri makanan, dan masyarakat
umumMembuat rencana untuk menjadikan semua sekolah “ramah gizi“ (termasuk
adaptasi kurikulum), mulai tahun 2013 dengan inisiatif percontohan di sekurang-kurangnya lima
provinsi, dengan mengembangkan upaya yang sudah ada melalui PMT-AS atau Penyediaan
Makanan Tambahan Anak Sekolah.
5.Penelitian

Mengembangkan
. model untuk memperkirakan dampak ekonomi dan fiskal DBM di sepanjang
kehidupan.Menjajaki potensi dan kemungkinan untuk memberlakukan pajak atas komoditas
pangan impor yang menerima subsidi dari negara asalnya, serta pajak atas makanan cepat saji
tertentu, misalnya minuman yang mengandung kadar gula tinggi, yang sangat bersifat
obesogenik.
Sekian dan terimaksih
TUGAS KELOMPOK 5 GIZI KESEHATAN MASYARAKAT

Dosen Pengampu:
Dr. Novrikasari, SKM, MKes

Disusun oleh:

Rizka Gia Novita


Sarilisnawati
Siti Rachmawati
Songo Wigerar
Sri Putri Handayani
Sri Yunida
Supriadi
Susanti
Susilawati
Sutari
Saleh
PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT (S2)
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
TAHUN 2021

1
Kata Pengantar

Segala puji dan syukur ke hadirat Allah swt, Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat dan
hidayah-Nya, tim penulis dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul "Beban
gizi Ganda " dengan tepat waktu.

Makalah disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Gizi Kesehatan Masyarakat.
Selain itu, makalah ini bertujuan menambah wawasan tentang bagi para mahasiswa
khususnya Mahasiswa S2 IKM Unversitas Sriwijaya dan bagi para pembaca dan
juga bagi penulis.

Tim penulis mengucapkan terima kasih kepada Dosen pengampu Ilmu Gizi
Kesehatan Masyarakat selaku dosen mata kuliah Gizi. Ucapan terima kasih juga
disampaikan kepada semua anggota kelompok lima gizi yang telah membantu
diselesaikannya makalah ini.

Tim penulis menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, saran
dan kritik yang membangun diharapkan demi kesempurnaan makalah ini.

Palembang, 17 Oktober 2021

Penulis

2
Daftar Isi

Kata Pengantar .........................................................................................i

Daftar Isi ...................................................................................................ii

Bab I Pendahuluan ..................................................................................4

A. Latar Belakang ..............................................................................4

B. Rumusan Masalah ........................................................................5

C. Tujuan ...........................................................................................6

Bab II KajianTeori ...................................................................................7

A. Definisi Transisi Epidemiologi .......................................................7

B. Permasalahan Gizi Ganda ............................................................9

C. Anemia .........................................................................................21

Bab III Pembahasan ...............................................................................26

A. Gizi Kurang ...................................................................................26

B. Definisi Mikro Nutrien ...................................................................30

C. Hubungan Fenomena beban gizi ganda ......................................47

Bab IV Kesimpulan .................................................................................55

A. Kesimpulan ...................................................................................55

B. Saran ............................................................................................58

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hampir semua negara di dunia mengalami Masalah Gizi Ganda (MGG), baik

negara dengan pendapatan tinggi maupun rendah. Global Nutrition Report tahun

2020 menunjukkan bahwa dari 143 negara di dunia, sebanyak 124 negara (86,7%)

setidaknya mengalami dua masalah gizi yang serius. Dari 124 negara tersebut,

sebanyak 37 negara memiliki tiga masalah gizi yang serius (stunting balita, anemia,

dan overweight pada wanita dewasa). Kalau untuk di Indonesia masalah gizi ganda

juga telah menjadi perhatian, meskipun prioritas utama pemerintah Indonesia masih

pada masalah gizi kurang, khususnya stunting dan gizi buruk.1

Secara umum dapat dikatakan bahwa peningkatan ekonomi sebagai dampak

dari berkurangnya gizi buruk dapat dilihat dari dua sisi, pertama berkurangnya biaya

berkaitan dengan kematian dan kesakitan dan di sisi lain akan meningkatkan

produktivitas. Manfaat ekonomi yang diperoleh sebagai dampak dari perbaikan

status gizi adalah berkurangnya kematian bayi dan anak balita, berkurangnya biaya

perawatan untuk neonatus, bayi dan balita, produktivitas meningkat karena

berkurangnya anak yang menderita kurang gizi dan adanya peningkatan

kemampuan intelektualitas, berkurangnya biaya karena penyakit kronis serta

meningkatnya manfaat “intergenerasi” melalui peningkatan kualitas Kesehatan. 2

Proses globalisasi, modernisasi, urbanisasi, dan ekonomi yang bergerak

dengan cepat juga menyebabkan terjadinya nutrition transtition dan terciptanya

lingkungan obesogenik (obesogenic environment). Hal ini berdampak pada

meningkatnya angka obesitas, padahal disisi lain masalah gizi kurang juga masih

1
Diana, R & Tanziha, I. 2020. Double-Duty Actions to Reduce the Double Burden of Malnutrition in
Indonesia. DOI: 10.2473/amnt.v4i4.2020. 326-334
2
Azwar, Azrul. Kecenderungan Masalah Gizi dan Tantangan di Masa Mendatang. Dirjen Bina Kesmas
Depkes

4
menjadi masalah kesehatan. Hal ini menimbulkan sebuah fenomena baru yaitu

beban gizi ganda (dual burden malnutrition) yang didefinisikan sebagai suatu kondisi

dimana terdapat masalah gizi kurang (undernutrition) dan gizi lebih (overnutrition)

yang terjadi di waktu yang sama. Fenomena ini tidak hanya terjadi pada tingkat

populasi dan individu, tetapi juga pada tingkat rumah tangga.3

Selain transisi kesehatan, transisi pangan juga berpengaruh pada perubahan

status gizi anak balita. Transisi pangan ditandai dengan perubahan pola konsumsi

yang terjadi. Keseimbangan ketersediaan pangan secara tidak langsung dapat

mempengaruhi keadaan status gizi terutama keadaan status gizi balita. Sementara

terjadinya transisi status gizi, dapat menimbulkan masalah gizi ganda (double

burden).4 Kekurangan gizi pada anak-anak dapat mulai terjadi pada tahap sangat

awal kehidupan. Saat seorang anak menerima asupan gizi yang kurang baik saat

masih dalam kandungan, tubuhnya akan beradaptasi agar dapat bertahan hidup

dalam kondisi gizi yang kurang.5

Fenomena beban gizi ganda pada keluarga memiliki dampak kesehatan

jangka panjang bagi anggota keluarga yang mengalami malnutrisi, seperti gangguan

perkembangan pada anak, kerentanan terhadap penyakit menular, menurunnya

produktifitas kerja, outcome kehamilan yang buruk6 dan risiko penyakit degeneratif.7

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah adalah :

1. Bagaimana pemasalahan dan penyebab beban gizi ganda yang terjadi di

Indonesia?

3
Fitri, Widya Astuti dkk. 2020. Prevalensi dan Faktor yang Berhubungan dengan Terjadinya Beban Gizi
Ganda pada Keluarga di Indonesia
4
Fuada, Novianty. 2010. Analisis Spasial Terhadap Perubahan Status Gizi Anak Balita di Indonesia
5
MEDIKA Jurnal Kedokteran Indonesia. 2017. Menghadapi Beban Ganda Malnutrisi
6
Haddad, L., Cameron, L. & Barnett, I. 2015 The Double Burden of Malnutrition in SE Asia and the
Pacific. Priorities, Policies and Politics. Health Policy Plan.
7
Nugent, R., Levin, C., Hale, J., & Hutchinson, B.. 2019. Economic Effects of the Double Burden of
Malnutrition. The Lancet.

5
2. Bagaimana Hubungan antara fenomena beban gizi ganda dan dampak

kesehatan jangka Panjang serta cara mengatasinya pada masyarakat di

Indonesia?

C. Tujuan

Adapun tujuan d tersebut adalam tulisan ini adalah:

1. Untuk mengetahui pemasalahan dan beban gizi ganda yang terjadi di

Indonesia.

1. Untuk mengetahui Hubungan antara fenomena beban gizi ganda dan

dampak kesehatan jangka Panjang serta cara mengatasinya pada

masyarakat di Indonesia.

6
BAB II

KAJIAN TEORI

Definisi Beban Ganda Malnutrisi atau DBM (Double Burden of Malnutrition)

Beban Ganda Malnutrisi atau DBM (Double Burden of Malnutrition) adalah

suatu konsep ko-eksistensi kekurangan gizi dan kelebihan gizi makronutrien

maupun mikronutrien di sepanjang kehidupan pada populasi, masyarakat, keluarga

dan bahkan individu yang sama. Yang mengkhawatirkan adalah dimensi DBM di

sepanjang kehidupan, atau keterkaitan antara gizi buruk pada ibu hamil dan janin

dengan meningkatnya kerentanan terhadap kelebihan gizi dan pola makan yang

terkait penyakit tidak menular di kemudian hari.

Definisi Transisi Epidemiologi

Transisi epidemiologi adalah perubahan distribusi dan faktor-faktor penyebab

terkait yang melahirkan masalah epidemiologi yang baru. Keadaan transisi

epidemiologi ini ditandai dengan perubahan pola frekuensi penyakit. Transisi

epidemiologi bermula dari suatu perubahan yang kompleks dalam pola

kesehatandan pola penyakit utama penyebab kematian dimana terjadi penurunan

prevalensi penyakit infeksi (penyakit menular), sedangkan penyakit non infeksi

(penyakit tidakmenular) justru semakin meningkat. Hal ini terjadi seiring dengan

berubahnya gaya hidup, sosial ekonomi dan meningkatnya umur harapan hidup

yang berartimeningkatnya pola risiko timbulnya penyakit degeneratif seperti

penyakit jantungkoroner, diabetes melitus, hipertensi, dan lain sebagainya.

Sejarah Transisi Epidemiologi

Teori transisi epidemiologi sendiri pertama kali dikeluarkan oleh seorang

pakar Demografi Abdoel Omran pada tahun 1971. Pada saat itu ia mengamati

perkembangan kesehatan di negara industri sejak abad 18. Dia kemudian

menuliskan sebuah teori bahwa ada 3 fase transisi epidemiologis yaitu : 1)The age

of pestilence and famine, yang ditandai dengan tingginya mortalitas 2)The age of

7
receding pandemics, era di mana angka harapan hidup mulai meningkat antara 30-

50 dan 3)The age of degenerative and man-made disease, fase dimana penyakit

infeksi mulai turun namun penyakit degeneratif mulai meningkat. gambaran itu

memang untuk negara Barat.Teori ini kemudian banyak di kritik. Kritikan dari

beberapa tokoh seperti Rogers dan Hackenberg (1987) dan Olshansky and

Ault(1986) membuat Omran melakukan sedikit revisi. Bagi negara Barat, ketiga

model tersebut ditambah 2 lagi yaitu: 4)The age of declining CVD mortality, ageing,

lifestyle modification, emerging and resurgent diseases ditandai dengan angka

harapan hidup mencapai 80-85, angka fertilitas sangat rendah, serta penyakit

kardiovakular dan kanker, serta 5)The age of aspired quality of life with paradoxical

longevity and persistent inequalities yang menggambarkan harapan masa depan,

dengan angka harapan hidup mencapai 90 tahun tetapi dengan karakteristik kronik

morbiditas, sehingga mendorong upaya peningkatan quality of life.

Di Indonesia terdapat dua masalah gizi yang umumnya terjadi dimasyarakat

yaitu masih banyaknya masyarakat yang mengalami gizi kurang dan terjadinya

peningkatan masyarakat dengan gizi lebih. Gaya hidup masyarakat yang berubah

membuat permasalahan gizi mengalami perubahan baik dari segi bentuknya

maupun akibat penyakit yang akan ditimbulkan. Transisi epidemiologi gizi ini

membuat beberapa masyarakat mengalami gizi lebih (over nutrition).

World Health Organization (WHO) menyatakan akan ada satu miliar orang di

dunia, khususnya di wilayah perkotaan yang di bayangi akan menderita obesitas

atau kegemukan. Jumlah ini juga di prediksi oleh WHO tetap akan meningkat pada

2015 mendatang dengan jumlah penderita obesitas sebanyak 1,5 miliar orang. Hal

ini di anggap wajar terjadi, pasalnya masyarakat perkotaan yang hidup di bawah

tuntutan ekonomi di paksa melupakan gaya hidup yang sehat.

Kepadatan rutinitas merupakan satu faktor utama pergeseran masyarakat

untuk berolah raga dan makan makanan yang sehat (Pusat Promosi Kesehatan

Departemen Kesehatan, 2009). Menurut WHO, penyakit degenerative menjadi

8
pembunuh manusia terbesar. Angka kematian tertinggi ada di negara-negara

dengan pendapatan nasional rendah ataupun tinggi.

Surveilans Gizi Sebagai sebuah sistem

Surveilans gizi merupakan suatu proses berkelanjutan yang mempunyai

tujuan sebagai berikut (Adi dan Mukono 2000):

1. Menentukan status gizi penduduk dengan merujuk secara khusus pada

kelompok penduduk yang diketahui sedang dalam keadaan menderita

atau berisiko. Penentuan status gizi tersebut meliputi tanda-tanda dan

luasnya masalah gizi yang ada dan gambaran tentang trend kejadian

Menyediakan informasi yang dapat digunakan untuk menganalisa tentang

sebab-sebab dan faktor-faktor yang terkait. Hasil kajian tersebut

digunakan dalam menentukan tindakan pencegahan yang dilaksanakan.

2. Menyediakan informasi bagi pemerintah untuk menentukan prioritas yang

sesuai dengan tersedianya sumber daya dalam memperbaiki status gizi

penduduk baik dalam situasi normal maupun darurat.

3. Memberikan peramalan tentang perkembangan masalah gizi yang akan

datang berdasarkan analisis perkembangan (trend) yang telah dan sedang

terjadi dan dilengkapi dengan informasi tentang potensi kemampuan dan

sumber daya yang tersedia. Hasil dari peramalan tersebut akan membantu

perumusan kebijakan yang tepat.Melakukan pemantauan (monitoring)

program-program gizi serta menilai (evaluasi) tentang efektifitasnya.

Permasalahan Gizi Ganda

Masalah gizi ganda (MGG) merupakan kondisi hadirnya masalah gizi

kurang (stunting, wasting, dan defisiensi zat gizi mikro) bersamaan dengan gizi

lebih dan obesitas di sepanjang kehidupan. Masalah gizi lebih dan gaya hidup

berhubungan dengan penyakit tidak menular seperti diabetes melitus, penyakit

9
kardiovaskular, hipertensi, dan kanker. Masalah gizi ganda dapat terjadi pada

tingkat individu, rumah tangga, dan masyarakat.8

Akses dan pelayanan kesehatan, asi eksklusif, dan kondisi sosial ekonomi

berhubungan dengan masalah gizi ganda di Indonesia. Semua kebijakan dan

program ini telah ada dan dilakukan pemerintah Indonesia, namun masih dalam

konteks mengatasi masalah gizi secara individu (stunting atau kegemukan saja).

Penanganan MGG di Indonesia membutuhkan aksi yang mendasar yaitu

penanganan masalah kemiskinan dan adanya cakupan kesehatan yang

menyeluruh bagi seluruh penduduk (universal health coverage). Fokus pada 4

program yang berpotensi menjadi DDA (pelayanan gizi dan kesehatan ibu hamil

dan anak, monitoring pertumbuhan anak, asi eksklusif, dan jaringan pengaman

sosial) perlu ditingkatkan dan diperluas agar program ini dapat menyelesaikan

MGG. Paradigma dan pemikiran baru ini dapat menjadi pendekatan yang

komprehensif untuk menurunkan masalah gizi kurang dan lebih secara simultan.

Dampak dari beban ganda malnutrisi ini sangat serius dan manifestasinya

dapat dilihat di sepanjang kehidupan seseorang. Kekurangan gizi pada anakanak

dapat mulai terjadi pada tahap sangat awal kehidupan. Saat seorang anak

menerima asupan gizi yang kurang baik saat masih dalam kandungan, tubuhnya

akan beradaptasi agar dapat bertahan hidup dalam kondisi gizi yang kurang.

Akibatnya, apabila nantinya ia hidup dalam lingkungan dengan asupan gizi yang

mudah diperoleh, tubuhnya akan sangat rentan terhadap obesitas sehingga mudah

terkena penyakit tidak menular, seperti penyakit diabetes melitus dan jantung.

Disinilah letak permas alahan beban ganda malnutrisi.

Lebih lanjut, stunting sebagai pe nanda kekurangan gizi kronis juga

berdampak terhadap perkembangan kognitif. Hal ini dikarenakan pada seseorang

yang mengalami stunting, proses-proses lain di dalam tubuh juga terhambat, salah

8
Diana, R & Tanziha, I. 2020. Double-Duty Actions to Reduce the Double Burden of Malnutrition in
Indonesia. DOI: 10.2473/amnt.v4i4.2020. 326-334

10
satunya adalah pertumbuhan otak yang berdampak pada kecerdasan. Dalam

jangka panjang, berbagai studi menunjukkan bahwa stunting berpotensi

mengurangi skor IQ sebesar 5-11 poin dan nilai-nilai sekolahnya juga lebih rendah

dibandingkan dengan yang tidak mengalami stunting. Selain itu, anak yang lahir

dengan berat badan kurang, memiliki peluang 2,6 kali lebih kecil untuk melanjutkan

ke pendidikan tinggi. Oleh karena itu, permasalahan stunting tidak hanya berhenti

pada tubuh yang pendek saja. Berdasarkan data yang dirilis oleh World Bank,

produktivitas seseorang yang mengalami stunting saat masih kecil ternyata lebih

rendah dibandingkan dengan yang tidak. Hal ini sejalan dengan capaian pendidikan

yang lebih rendah. Masalah akan semakin parah apabila pola makan tidak diatur

dengan baik saat dewasa yang dapat menimbulkan berbagai macam penyakit tidak

menular. Dampak beban ganda malnutrisi tidak hanya dirasakan oleh individu. Dari

segi ekonomi, kerugian akibat stunting dan malnutrisi diperkirakan setara dengan 2-

3% PDB Indonesia.

Banyaknya kasus penyakit tidak menular di Indonesia berakibat pada

meningkatnya pengeluaran pemerintah, khususnya untuk Jaminan Kesehatan

Nasional (JKN). Penyakit tidak menular, seperti stroke, diabetes melitus, dan gagal

ginjal, kini menjadi penyebab 60% kematian di Indonesia dan pembiayaan JKN

untuk kasus penyakit tidak menular ini merupakan salah satu yang terbesar.

Faktor yang Mempengaruhi Beban Ganda Malnutrisi Banyak orang tua yang

seolah memaklumi anaknya mengalami stunting karena masalah keturunan. Para

orang tua ini seolah menganggap wajar jika orang tuanya pendek maka anaknya

juga pendek. Padahal, sebenarnya stunting merupakan masalah gizi yang dapat

dicegah sejak dalam kandungan. Oleh karena itu, seorang ibu memegang peran n

penting dalam memutus lingkaran setan malnutrisi ini. Ibu hamil yang mengalami

kekurangan gizi, misalny a kekurangan energi kronis (KEK) dan anemia defisiensi

besi, berpotensi untuk melahirkan bayi dengan bayi yang kurus dan pendek. Jika hal

ini tidak diperbaiki pada 2 tahun pertama kehidupannya, kekurangan ini dapat menja

11
di permanen dan mempengaruhi perkembangan kognitif dan meningkatkan risiko

penyakit tidak menular di kemudian hari

Selain karena faktor individu, permasalahan beban ganda malnutrisi

disebabkan oleh berbagai faktor lainnya. Studi yang dilakukan oleh World Bank

menyebutkan setidaknya ada empat faktor utama yang mempengaruhi. Pertama,

meningkatnya usia harapan hidup yang berkontribusi terhadap perubahan pola

penyakit dari penyakit menular menjadi penyakit tidak menular. Kedua, naiknya

kekayaan nasional yang disertai naiknya ketersediaan makanan membuat konsumsi

lemak perkapita naik dua kali lipat. Konsumsi makanan olahan juga terus meningkat,

khususnya di wilayah perkotaan. Ketiga, banyak kota tidak ramah bagi pejalan kaki

sehingga tidak mendukung aktivitas fisik. Selain itu, tempat-tempat yang

menyediakan makanan sehat terbatas. Orang yang bekerja dan sekolah tidak punya

banyak pilihan selain makanan siap saji di luar rumah. Terakhir, budaya dan trasisi

yang mempengaruhi gizi ibu hamil dan anak-anak, serta norma sosial membuat

perempuan menikah saat masih muda.

Faktor-faktor ini berkonberkontribusi terhadap naiknya kasus kelahiran

dengan berat badan kurang. Menurunkan prevalensi stunting, wasting, dan obesitas

merupakan salah satu goal dalam Sustainable Development Goals (SDGs) yang

seharusnya dapat dicapai di tahun 2030. Mengurangi prevalensi malnutrisi ini sangat

penting dalam mencapai tujuan tersebut. Program intervensi kesehatan pada ibu

hamil dan 2 tahun pertama kehidupan anak mutlak diperlukan. Hal ini dikarena kan 2

tahun pertama merupakan window of opportunity untuk mengatasi stunting dapat

diintervensi dari sejak dalam kandungan dan pola asuh yang baik selama 2 tahun

pertama. Selain itu, World Health Organization (WHO) menyebutkan bahwa

perbaikan gizi sangat diperlukan untuk meningkatkan derajat kesehatan dan juga

untuk mengembang kan perekonomian. Oleh karena itu, dalam mengatasai berbagai

penyebab malnutrisi diperlukan pendekatan yang holistik dari berbagai sektor. Salah

12
satunya adalah penyediaan air bersih. Sanitasi yang baik sangat diperlukan dalam

meningkatkan status gizi seseorang

Hari Gizi Nasional dan Investasi Gizi di Indonesia Setiap tanggal 25 Januari

diperingati sebagai Hari Gizi Nasional. Peringatan ini dapat dijadikan momentum

untuk mengingat bahwa masih banyaknya permasalahan gizi di Indonesia yang

masih harus diselesaikan. Salah satunya adalah masalah beban ganda malnutrisi ini.

Sudah saatnya isu gizi menjadi salah satu prioritas dalam rencana pembangunan,

baik yang dilaksanakan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.

Pemerintah seharusnya dapat menjamin setiap warganya, terutama anak balita, ibu

hamil, dan lansia mendapatkan akses gizi yang baik. Negara harus hadir sebagai

penjamin terpenuhi - nya hak pangan hingga di tingkat individu, seperti yang

diamanah kan UU No 18/2012 tentang Pangan. Hal tersebut dapat dilakukan lewat

beragam aksi, seperti revitalisasi posyandu, bantuan pangan bagi balita dan ibu

hamil, program pemberian makanan tambahan anak sekolah, subsidi dan stabilisasi

harg a pangan, dan diversivikasi pangan lokal. Investasi di bidang gizi sifatnya

jangka panjang.

Selama ini, gizi memang hanya dianggap sebagian kecil dari berbagai urusan

kesehatan sehingga kita sering berpikir sempit dan jangka pendek. Kita kurang sekali

menghargai masa depan. Oleh karena itu, yang diperlukan tidak hanya komitmen

pendanaan dari birokrat dan politisi, tapi juga jaminan keberlanjutan aneka program

pembangunan gizi. Selain itu, gizi perlu menjadi indikator keberhasilan

pembangunan yang tidak terlepas dari program pengentasan kemiskinan. Dengan

berbagai langkah itu, kita dapat mencegah lahirnya generasi yang malnutrisi.

(Medika, 2017)

Rancangan studi epidemiologi gizi:

a. Studi ekologi contohnya: Survey rumah tangga (asupan makanan) dikaitkan

dengan data-data kesehatan oleh BPS.

13
b. studi cross-sectional atau studi prevalensi: untuk mengetahui hubungan

antara faktor-faktor penyebab dan kelainan gizi pada suatu waktu dengan

cara cepat dan murah (hubungan kausal)

c. Studi case-kontrol Untuk membandingkan orang yang mengalami kelainan

gizi (kasus) dengan orang yang bebas kelainan gizi (kontrol) berdasarkan

factor penyebab yang telah lalu Modul Epidemiologi dan Transisi Gizi 2016 A

Lain.

d. Studi kohort Dengan menentukan factor penyebab terlebih dahulu kemudian

mengikuti individu tersebut untuk waktu tertentu diikuti akibat dari factor

penyebab tersebut pada interval waktu tertentu

e. Studi eksperimen Faktor penyebab ditentukan dan dilihat efeknya.

Permasalahan pada epidemiologi gizi :

a. Gizi atau status gizi sukar untuk ditentukan secara langsung sehingga selama

ini digunakan beberapa indikator status gizi .

b. Indikator status gizi tersebut sering digunakan untuk bermacam tujuan.

c. Masalah gizi merupakan akibat dari banyak faktor sehingga program gizi dan

penelitian gizi berkaitan dengan disiplin ilmu lainnya.

Penggunaan indikator status gizi:

a. Untuk melakukan penapisan individual dalam program pencegahan malnutrisi

(indikator untuk memprediksi malnutrisi) .

b. Untuk mendiagnosis malnutrisi (indikator untuk memprediksi resiko maupun

manfaat dari intervensi gizi) .

c. Untuk membandingkan hasil atau memposisikan suatu populasi terhadap

nilai norma/rujukan tertentu. Untuk mengevaluasi terapi/intervensi gizi

(indikator yang bereaksi terhadap terapi gizi). Pemilihan indikator yang terbaik

bergantung pada tujuan yang ingin dicapai.

14
Masalah Gizi yang terjadi di Indonesia

Definisi Gizi Buruk

Gizi Buruk suatu kondisi di mana seseorang dinyatakan kekurangan nutrisi,

atau dengan ungkapan lain status nutrisinya berada di bawah standar rata-rata.

Nutrisi yang dimaksud bisa berupa protein, karbohidrat dan kalori. Di Indonesia,

kasus KEP (Kurang Energi Protein) adalah salah satu masalah gizi utama yang

banyak dijumpai pada balita.

Penyebab terjadinya gizi buruk

Orang akan menderita gizi buruk jika tidak mampu untuk mendapat manfaat

dari makanan yang mereka konsumsi, contohnya pada penderita diare, nutrisi

berlebih, ataupun karena pola makan yang tidak seimbang sehingga tidak mendapat

cukup kalori dan protein untuk pertumbuhan tubuh. Beberapa orang dapat menderita

gizi buruk karena mengalami penyakit atau kondisi tertentu yang menyebabkan

tubuh tidak mampu untuk mencerna ataupun menyerap makanan secara sempurna.

Contohnya pada penderita penyakit seliak yang mengalami gangguan pada saluran

pencernaan yang dipicu oleh sejenis protein yang banyak terdapat pada tepung yaitu

gluten. Penyakit seliak ini mempengaruhi kemampuan tubuh untuk menyerap nutrisi

sehingga terjadi defisiensi. Kemudian ada juga penyakit cystic fibrosis yang

mempengaruhi pankreas, yang fungsinya adalah untuk memproduksi enzim yang

dibutuhkan untuk mencerna makanan. Demikian juga penderita intoleransi laktosa

yang susah untuk mencerna susu dan produk olahannya.

Penyebab secara langsung antara lain:

a. Penyapihan yang terlalu dini

b. Kurangnya sumber energi dan protein dalam makanan TBC

c. Anak yang asupan gizinya terganggu karena penyakit bawaan seperti jantung

atau metabolisme lainnya.

d. Pola makan yang tidak seimbang kandungan nutrisinya.

e. Terdapat masalah pada sistem pencernaan.

15
f. Adanya kondisi medis tertentu

Penyebab secara tidak langsung antara lain:

a. Daya beli keluarga rendah/ ekonomi lemah.

b. Lingkungan rumah yang kurang baik.

c. Pengetahuan gizi kurang.

d. Perilaku kesehatan dan gizi keluarga kurang

Gejala-gejala Gizi Buruk dapat mempengaruhi kesehatan tubuh baik fisik dan

mental. Semakin berat kondisi gizi buruk yang diderita (semakin banyak nutrisi yang

kurang) akan memperbesar resiko terjadinya masalah kesehatan secara fisik. Pada

gizi buruk yang berat dapat terjadi kasus seperti marasmus (lemah otot) akibat

defisiensi protein dan energi, kretinisme dan kerusakan otak akibat defisiensi yodium,

kebutaan dan resiko terkena penyakit infeksi yang meningkat akibat defisensi vitamin

A, sulit untuk berkonsentrasi akibat defisiensi zat besi.

Gejala Umum Dari Gizi Buruk Adalah :

a. Kelelahan dan kekurangan energy.

b. Pusing.

c. Sistem kekebalan tubuh yang rendah (yang mengakibatkan tubuh kesulitan

untuk melawan infeksi).

d. Kulit yang kering dan bersisik.

e. Gigi yang membusuk.

f. Sulit untuk berkonsentrasi dan mempunyai reaksi yang lambat.

g. Berat badan kurang

h. Pertumbuhan yang lambat.

i. Kelemahan pada otak

j. Tulang yang mudah patah

k. Terdapat masalah pada fungsi organ tubuh

16
Dampak gizi buruk pada anak terutama balita

a. Pertumbuhan badan dan perkembangan mental anak sampai dewasa

terhambat.

b. Kekurangan Vitamin A dapat menyebabkan Rabun Senja.

c. Daya tahan tubuh Lamah.

d. Mudah terkena penyakit ispa, diare, dan yang lebih sering terjadi.

e. Zat antibody tidak sempurna.

f. Jika terinfeksi sukar sembuh serta mudah berkomplikasi.

g. Rentan terhadap penyakit TBC.

h. Bisa menyebabkan kematian bila tidak dirawat secara intensif.

Indikasi Gizi Buruk Untuk KEP ringan dan sedang, gejala klinis yang bisa

dijumpai pada anak adalah berupa kondisi badan yang tampak kurus.

Gejala klinis KEP berat/gizi buruk secara garis besar bisa dibedakan menjadi tiga

tipe: kwashiorkor, marasmus dan marasmus-kwashiorkor.

Washiorkor adalah penyakit yang disebabkan oleh kekurangan protein dan

sering timbul pada usia 1-3 tahun karena pada usia ini kebutuhan protein tinggi.

Meski penyebab utama kwashiorkor adalah kekurangan protein, tetapi karena bahan

makanan yang dikonsumsi kurang menggandung nutrient lain serta konsumsi daerah

setempat yang berlainan, akan terdapat perbedaan gambaran kwashiorkor di

berbagai negara.

Ciri – ciri kwashiorkor :

a. Pdema (pembengkakan), umumnya seluruh tubuh (terutama punggung kaki

dan wajah) membulat dan lembab.

b. Pandangan mata sayu.

c. Pambut tipis kemerahan seperti warna rambut jagung dan mudah dicabut

tanpa rasa sakit dan mudah rontok.

d. Terjadi perubahan status mental menjadi apatis dan rewel.

17
e. Terjadi pembesaran hati.

f. Otot mengecil (hipotrofi), lebih nyata bila diperiksa pada posisi berdiri atau

duduk.

g. Terdapat kelainan kulit berupa bercak merah muda yang meluas dan

berubah warna menjadi coklat kehitaman lalu terkelupas (crazy pavement

dermatosis).

h. Sering disertai penyakit infeksi yang umumnya akut • anemia dan diare

Marasmus adalah kekurangan energi pada makanan yang

menyebabkan cadangan protein tubuh terpakai sehingga anak menjadi “kurus”

dan “emosional”. Sering terjadi pada bayi yang tidak cukup mendapatkan ASI

serta tidak diberi makanan penggantinya, atau terjadi pada bayi yang sering

diare.

ciri - ciri marasmus :

a. Badan nampak sangat kurus seolah-olah tulang hanya terbungkus kulit.

b. Wajah seperti orang tua.

c. Mudah menangis/cengeng dan rewel .

d. Kulit menjadi keriput

e. Jaringan lemak subkutis sangat sedikit sampai tidak ada (baggy pant/pakai

celana longgar.

f. Perut cekung, dan iga gambang

g. Seringdisertai penyakit infeksi (umumnya kronis berulang).

h. Diare kronik atau konstipasi (susah buang air)

Ciri – ciri marasmus-kwashiorkor Memiliki ciri gabungan dari beberapa gejala

klinis kwashiorkor dan marasmus disertai edema yang tidak mencolok. Cara

Mengukur Status Gizi Anak Banyak cara yang bisa dilakukan untuk mengukur status

gizi pada anak. Berikut adalah salah satu contoh pengukuran status gizi bayi dan

balita berdasarkan tinggi badan menurut usia dan lingkar lengan atas.

18
Berikut adalah beberapa cara untuk mencegah terjadinya gizi buruk pada anak:

a. Memberikan ASI eksklusif (hanya ASI) sampai anak berumur 6 bulan.

Setelah itu, anak mulai dikenalkan dengan makanan tambahan sebagai

pendamping ASI yang sesuai dengan tingkatan umur, lalu disapih setelah

berumur 2 tahun

b. Anak diberikan makanan yang bervariasi, seimbang antara kandungan

protein, lemak, vitamin dan mineralnya. Perbandingan komposisinya: untuk

lemak minimal 10% dari total kalori yang dibutuhkan, sementara protein 12%

dan sisanya karbohidrat.

c. Rajin menimbang dan mengukur tinggi anak dengan mengikuti program

Posyandu. Cermati apakah pertumbuhan anak sesuai dengan standar di atas.

Jika tidak sesuai, segera konsultasikan hal itu ke dokter.

d. Jika anak dirawat di rumah sakit karena gizinya buruk, bisa ditanyakan

kepada petugas pola dan jenis makanan yang harus diberikan setelah pulang

dari rumah sakit.

e. Jika anak telah menderita karena kekurangan gizi, maka segera berikan

kalori yang tinggi dalam bentuk karbohidrat, lemak, dan gula. Sedangkan

untuk proteinnya bisa diberikan setelah sumber-sumber kalori lainnya sudah

terlihat mampu meningkatkan energi anak. Berikan pula suplemen mineral

dan vitamin penting lainnya. Penanganan dini sering kali membuahkan hasil

yang baik. Pada kondisi yang sudah berat, terapi bisa dilakukan dengan

meningkatkan kondisi kesehatan secara umum. Namun, biasanya akan

meninggalkan sisa gejala kelainan fisik yang permanen dan akan muncul

masalah intelegensia di kemudian hari.

Cara Penanggulangan Gizi Buruk

a. Biasakan makan – makanan gizi yang seimbang.

b. Mengatur pola makan balita.

c. Konsumsi Vitamin A seperti susu, ikan goring, hati, sayur hijau, dan kuning.

19
d. Konsumsi Vitamin B 12 seperti kedelai, telur, keju,daging, tempe, dll

Obesitas

Obesitas adalah penyakit gizi yang disebabkan kelebihan kalori dan ditandai

dengan akumulasi jaringan lemak secara berlebihan diseluruh tubuh. Merupakan

keadaan patologis dengan terdapatnya penimbunan lemak yang berlebihan dari

yang diperlukan untuk fungsi tubuh. Gizi lebih (over weight) dimana berat badan

melebihi berat badan rata-rata, namun tidak selalu identik dengan obesitas.

Penyebab

a. Perilaku makan yang berhubungan dengan faktor keluarga dan lingkungan

b. Aktifitas fisik yang rendah.

c. Gangguan psikologis (bisa sebagai sebab atau akibat)

d. Laju pertumbuhan yang sangat cepat.

e. Genetik atau faktor keturunan

f. Gangguan hormon

Gejala

a. Terlihat sangat gemuk

b. Lebih tinggi dari anak normal seumur.

c. Dagu ganda.

d. Buah dada seolah-olah berkembang

e. Perut menggantung.

f. Penis terlihat kecil

Terdapat 2 golongan obesitas.

a. Regulatory obesity, yaitu gangguan primer pada pusat pengatur masukan

makanan.

b. Obesitas metabolik, yaitu kelainan metabolisme lemak dan karbohidrat

Resiko/dampak obesitas

20
a. Gangguan respon imunitas seluler.

b. Penurunan aktivitas bakterisida.

c. Kadar besi dan seng rendah

Mengatasi Obesitas

a. Menurunkan BB sangat drastis dapat menghentikan pertumbuhannya. Pada

obesitas sedang, adakalanya penderita tidak memakan terlalu banyak,

namun aktifitasnya kurang, sehingga latihan fisik yang intensif menjadi pilihan

utama

b. Pada obesitas berat selain latihan fisik juga memerlukan terapi diet. Jumalh

energi dikurangi, dan tubuh mengambil kekurangan dari jaringan lemak tanpa

mengurangi pertumbuhan, dimana diet harus tetap mengandung zat gizi

esensial.

c. Kurangi asupan energi, akan tetapi vitamin dan nutrisi lain harus cukup, yaitu

dengan mengubah perilaku makan

d. Mengatasi gangguan psikologis

e. Meningkatkan aktivitas fisik

f. Membatasi pemakaian obat-obatan yang untuk mengurangi nafsu makan

g. Bila terdapat komplikasi, yaitu sesak nafas atau sampai tidak dapat berjalan,

rujuk ke rumah sakit.

h. Konsultasi (psikologi anak atau bagian endokrin)

ANEMIA

Anemia defisiensi adalah anemia yang disebabkan oleh kekurangan satu atau

beberapa bahan yang diperlukan untuk pematangan eritrosit. Keadaan dimana kadar

hemoglobin (Hb), hematokrit (Ht) dan eritrosit lebih rendah dari nilai normal, akibat

defisiensi salah satu atau beberapa unsur makanan yang esensial yang dapat

mempengaruhi timbulnya defisiensi tersebut.

Macam-macam anemia

21
a. Anemia defisiensi besi adalah anemia karena kekurangan zat besi atau

sintesa hemoglobin.

b. Anemia megaloblastic.

c. Anemia aplastik adalah anemia yang berat, leukopenia dan trombositopenia,

hipoplastik atau aplastik .

ANEMIA DEFISIENSI BESI

a. Prevalensi tertinggi terjadi didaerah miskin, gizi buruk dan penderita infeksi

b. Hasil studi menunjukan bahwa anemia pada masa bayi mungkin menjadi

salah satu penyebab terjadinya disfungsi otak permanen.

c. Defisiensi zat besi menurunkan jumlah oksigen untuk jaringan, otot

kerangka, menurunnya kemampuan berfikir serta perubahan tingkah laku.

Ciri – cirinya/ Tanda dan gejala

a. Akan memperlihatkan respon yang baik dengan pemberian preparat besi.

b. Kadar Hb meningkat 29% setiap 3 minggu

c. Pucat (konjungtiva, telapak tangan, palpebra)

d. Lemah, Lesu dan Sering berdebar.

e. Sakit kepala

f. Jantung membesar

g. Produktivitas rendah.

h. SDM untuk generasi berikutnya rendah d.

Penyebab Sebab langsung.

a. Kurang asupan makanan yang mengandung zat besi.

b. Mengkonsumsi makanan penghambat penyerapan zat besi

c. Infeksi penyakit Sebab tidak langsung.

d. Distribusi makanan yang tidak merata ke seluruh daerah Sebab mendasar.

e. Pendidikan wanita rendah

22
f. Ekonomi rendah

g. Lokasi ggeografis (daerah endemis malaria)

Kelompok sasaran prioritas

a. Ibu hamil dan menyusui

b. Balita

c. Anak usia sekolah

d. Tenaga kerja wanita

e. Wanita usia subur

Penanganan

a. Pemberian Komunikasi,informasi dan edukasi (KIE) serta suplemen

tambahan pada ibu hamil maupun menyusui.

b. Pembekalan KIE kepada kader dan orang tua serta pemberian suplemen

dalam bentuk multivitamin kepada balita

c. Pembekalan KIE kepada guru dan kepala sekolah agar lebih memperhatikan

keadaan anak usia sekolah serta pemeberian suplemen tambahan kepada

anak sekolah

d. Pembekalan KIE pada perusahaan dan tenaga kerja serta pemberian

suplemen kepada tenaga kerja Wanita.

e. Pemberian KIE dan suplemen dalam bentuk pil KB kepada wanita usia subur

(WUS)

DEFISIENSI VITAMIN A

Penyebab

a. Intake makanan yang mengandung vitamin A kurang atau rendah

b. Rendahnya konsumsi vitamin A dan pro vitamin A pada bumil sampai

melahirkan akan memberikan kadar vitamin A yang rendah pada ASI

c. MP-ASI yang kurang mencukupi kebutuhan vitamin A

23
d. Gangguan absorbsi vitamin A atau pro vitamin A (penyakit pankreas, diare

kronik, KEP dll)

e. Gangguan konversi pro vitamin A menjadi vitamin A pada gangguan fungsi

kelenjar tiroid

f. Kerusakan hati (kwashiorkor, hepatitis kronik)

Sifat

a. Mudah teroksidasi

b. Mudah rusak oleh sinar ultraviolet

c. Larut dalam lemak

Tanda dan gejala.

a. Rabun senja-kelainan mata, xerosis konjungtiva, bercak bitot, xerosis kornea

b. Kadar vitamin A dalam plasma 12 bulan 200.000 IU, usia 6-12 bulan 100.000

IU, usia < 6 bulan 50.000 IU, dosis pada hari berikutnya diberikan sesuai usia

demikian pula pada 1-4 minggu kemudian dosis yang diberikan juga sesuai

usia.

c. Pasien campak, balita (200.000 IU), bayi (100.000 IU)

d. Vitamin A merupakan nutrient esensial, yang hanya dapat dipenuhi dari luar

tubuh, dimana jika asupannya berlebihan bisa menyebabkan keracunan

karena tidak larut dalam air.

e. Gangguan asupan vitamin A bisa menyebabkan morbili, diare yang bisa

berujung pada morbiditas dan mortalitas, dan pneumonia

GANGGUAN AKIBAT KEKURANGAN YODIUM (GAKY)

a. Adalah sekumpulan gejala yang dapat ditimbulkan karena tubuh menderita

kekurangan yodium secara terus menerus dalam waktu yang lama.

b. Merupakna masalah dunia

c. Terjadi pada kawasan pegunungan dan perbukitan yang tanahnya tidak

cukup mengandung yodium

24
d. Defisiensi yang berlangsung lama akan mengganggu fungsi kelenjar tiroid

yang secara perlahan menyebabkan pembesaran kelenjar gondok.

Dampak

a. Pembesaran kelenjar gondok

b. Hipotiroid

c. Kretinisme

d. Kegagalan reproduksi

e. Kematian

f. Defisiensi pada janin

Dampak dari kekurangan yodium pada ibu

a. Meningkatkan insiden lahir mati, aborsi, cacat lahir

b. Terjadi kretinisme endemis

c. Jenis syaraf (kemunduran mental, bisu-tuli, diplegia spatik)

d. Miksedema (memperlihatkan gejala hipotiroid dan dwarfisme)

Defisiensi pada BBL

a. Penting untuk perkembangan otak yang normal

b. Terjadi penurunan kognitif dan kinerja motorik pada anak usia 10-12 tahun

pada mereka yang dilahirkan dari wanita yang mengalami defisiensi yodium d.

Defisiensi pada anak

c. Puncak kejadian pada masa remaja

d. Prevalensi wanita lebih tinggi dari laki-laki

e. Terjadi gangguan kinerja belajar dan nilai kecerdasan

Sasaran

a. Ibu hamil

b. WUS

25
BAB III

PEMBAHASAN

Pemasalahan dan penyebab Beban Gizi Ganda di Indonesia

Kurang Gizi pada Anak

Kurang gizi yang dialami pada anak usia di bawah lima tahun antara lain

stunting, wasting, dan underweight. Di Indonesia, prevalensi kurang gizi tersebut

cenderung mengalami penurunan dari tahun 2007 hingga 2018. Stunting pada anak

adalah bentuk kekurangan gizi yang paling umum di Indonesia dan tetap menjadi

tantangan utama. Tahun 2018, Riskesdas menunjukan prevalensi stunting pada

anak usia di bawah dua tahun sebesar 29,9 %. Angka ini memperlihatkan adanya

penurunan dalam beberapa tahun terakhir dan target penurunan stunting untuk anak

usia di bawah dua tahun pada 2019 telah terpenuhi dimana angka ini mendekati

target pada RPJMN yakni 28% di tahun 2019. Data tahun 2013 dan 2018

menunjukkan adanya disparitas prevalensi stunting secara geografis. Data dari 2013

(Kementerian Kesehatan, 2013), yang telah dijelaskan secara lengkap dalam

background paper sebelumnya tentang gizi di Indonesia yang dilakukan pada tahun

2014 (Bappenas, 2014), menunjukkan bahwa stunting sangat umum terjadi di bagian

paling timur dan paling barat Indonesia dimana mencapai puncaknya dengan 51,7 %

di Nusa Tenggara Timur (NTT). Sebagian besar provinsi (28 dari 34 provinsi)

memiliki prevalensi stunting di atas 30%, yang dikategorikan oleh WHO sebagai

prevalensi yang sangat tinggi dalam masalah kesehatan masyarakat (WHO, NLiS,

2018). Prevalensi stunting pada anak lebih tinggi di daerah pedesaan (40%)

dibandingkan dengan daerah perkotaan (31%), dan jauh lebih tinggi pada kelompok

dengan tingkat kekayaan terendah dibandingkan dengan kuintil terkaya. Namun

demikian, 29,0% anakanak di kuintil kekayaan tertinggi mengalami stunting dimana

hal ini menggambarkan bahwa stunting bukan hanya masalah yang terkait dengan

kemiskinan. Data Riskesdas 2018 menunjukan hal yang tidak jauh berbeda dimana

26
bagian paling timur dan paling barat Indonesia menjadi daerah dengan angka

stunting balita tertinggi dibandingkan daerah lainnya. Terdapat 20 provinsi memiliki

prevalensi stunting sangat tinggi (≥30%) berdasarkan klasifikasi WHO terbaru (WHO,

NLiS, 2018). Secara nasional, prevalensi stunting balita menurun menjadi 30,8%

(Kementerian Kesehatan, 2018). Jika dibandingkan dengan prevalensi stunting tahun

2013, terjadi penurunan sebesar 1,28 poin persen pertahun. Hal ini mengindikasikan

bahwa apabila tingkat penurunan ini dapat dipertahankan maka target penurunan

stunting pada balita sesuai WHA dapat tercapai di tahun 2025. Di tingkat kabupaten,

kemajuan penurunan stunting sangat bervariasi. Dari 438 kabupaten di Indonesia,

hampir setengah (206 setara dengan 47%) mengalami penurunan prevalensi

stunting antara 2007 dan 2013 serta 52 kabupaten mengalami pengurangan di atas

10% selama periode enam tahun. Pengamatan lebih dekat dan pemahaman tentang

faktor-faktor yang berkontribusi pada perbaikan gizi di kabupaten yang berhasil akan

membantu kabupaten lain yang belum berhasil secara efektif menurunkan stunting

pada anak.

Wasting adalah bentuk kekurangan gizi yang sangat serius karena sangat

meningkatkan risiko kematian dan kesakitan. Tingkat kematian pada anak dengan

gizi buruk akut (Severe Acute Malnutrition/SAM) adalah 11,6 kali lebih tinggi

dibandingkan pada anak dengan gizi baik, dan mereka yang bertahan hidup dari

keadaan gizi buruk akut dapat terus mengalami masalah perkembangan di

sepanjang hidup mereka (Ologin, McDonald, & Ezzati, 2013). Bukti global

menunjukkan bahwa wasting (kurus) meningkatkan risiko stunting pada anak,

gangguan perkembangan kognitif, dan penyakit tidak menular di masa dewasa

(Lelijveld, Seal, & Wells, 2016) (Grantham-McGregor, Powell, Walker, & Chang,

1994). Indonesia memiliki tingkat kekurangan gizi akut tertinggi keempat di dunia,

dengan sekitar tiga juta anak balita mengalami wasting (kurus), diantaranya yakni 1,4

juta anak mengalami sangat kurus (Kementerian Kesehatan, 2013). Data tahun 2013

menunjukkan bahwa enam provinsi memiliki prevalensi lebih dari 15% yang

27
dianggap sebagai masalah kesehatan masyarakat yang sangat tinggi oleh WHO

(WHO, NLiS, 2018) sehingga memerlukan respons darurat. Meskipun menunjukkan

bahwa ada beberapa kemajuan dalam menurunkan prevalensi wasting, namun hal

ini belum dikonfirmasi oleh survei SMART1 yang dilakukan di Kabupaten Kupang

yang menunjukkan tetap tingginya prevalensi wasting (UNICEF/ACF, 2016

Unpublished). Namun demikian, data terbaru Riskesdas 2018 menunjukan angka

wasting pada balita mengalami penurunan menjadi 10,2% dan semua provinsi

memiliki prevalensi balita kurus di bawah 15%, dengan provinsi Nusa Tenggara

Barat (NTB) memiliki prevalensi tertinggi yakni sebesar 14,4% (Kementerian

Kesehatan, 2018).

Underweight adalah indikator kekurangan gizi anak yang tidak membedakan

antara kekurangan gizi jangka pendek wasting dan kronis stunting. Prevalensi

underweight cenderung meningkat antara tahun 2010 sampai 2016, namun hasil

utama Riskesdas 2018 menunjukkan penurunan prevalensi menjadi 17,7% yang

mengindikasikan bahwa target RPJMN 2015-2019 kemungkinan besar akan tercapai.

Namun demikian, underweight bukan merupakan indikator yang sensitif dan indikator

ini belum diadopsi sebagai indikator WHA.

Kurang Gizi pada Perempuan

Sejak penyusunan background paper sebelumnya tentang gizi di Indonesia

pada tahun 2014 (Bappenas, 2014), terdapat minimnya ketersediaan data terbaru

tentang status gizi ibu untuk menentukan capaian target sejak tahun 2014. Kurang

Energi Kronis (KEK) pada ibu hamil yang diukur melalui lingkar lengan atas (LILA)

dilaporkan dalam background paper tentang gizi 2014 dan ditemukan adanya

peningkatan antara 2010 dan 2013. Hampir satu dari empat wanita hamil (24,2%)

memiliki LILA yang rendah (<23,5 cm) pada tahun 2013 dan ini hamper tidak

28
berubah pada tahun 2016, kemudian menurun pada tahun 2018 menjadi 17,3%.

(Kementerian Kesehatan, 2018)

Berat badan lahir rendah (BBLR) (Berat badan lahir rendah (BBLR) (<2.500

gram) merupakan indikator kekurangan gizi ibu yang menunjukkan adanya sedikit

perubahan selama 10 tahun terakhir. Riskesdas 2018 dengan indikator BBLR <2.500

gram menunjukkan adanya peningkatan yakni 5,4% di tahun 2007 menjadi 5,7% di

tahun 2013 dan 6,2% di tahun 2018. Serupa dengan tahun 2013 dimana BBLR

terjadi lebih banyak pada keluarga dengan tingkat pendidikan yang lebih rendah.

Namun, angka ini cenderung sama untuk daerah pedesaan (6,3%) dan perkotaan

(6,1%) (Kementerian Kesehatan, 2018).

Pemberian Makan pada Bayi dan Anak

Menyusui hingga usia dua tahun telah dilaporkan secara luas memiliki

banyak manfaat jangka pendek dan jangka panjang bagi anak dan ibu (Horta &

Victora, 2013). WHO, UNICEF, dan Kementerian Kesehatan Indonesia

merekomendasikan bahwa bayi harus disusui secara eksklusif selama enam bulan

pertama semenjak lahir dan sesudah itu dilakukan pengenalan makanan

pendamping ASI dalam bentuk padat atau semi padat bersamaan dengan kelanjutan

menyusui hingga usia 24 bulan. Seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4, target

RPJMN 2015-2019 untuk pemberian ASI eksklusif tampaknya akan tercapai.

Meskipun prestasi ini terlihat jelas, praktik pemberian makan pada bayi dan anak

(PMBA) di Indonesia masih sangat tidak memadai. Sementara 61% ibu memulai

menyusui dalam satu jam pertama kelahiran bayi mereka, hanya setengah (54%)

terus menyusui hingga usia dua tahun (BPS & Kemenkes, 2017). Lebih dari

sepertiga (37%) dari ibu pada tahun 2012 memberikan susu botol kepada anak

mereka antara usia 0-23 bulan yang meningkatkan risiko penyakit infeksi seperti

diare karena sulitnya mensterilkan dot pada botol dengan benar (BPS & Kemenkes,

2012). Selain itu, jenis makanan pendamping yang diperkenalkan tidak memadai

untuk memenuhi kebutuhan gizi anak yang sedang dalam masa pertumbuhan. Pada

29
tahun 2012, hanya 58,2% anak-anak berusia 6 hingga 23 bulan menerima makanan

dengan empat atau lebih kelompok makanan. Ini berarti bahwa hampir setengah dari

semua anak Indonesia tidak menerima gizi yang mereka butuhkan selama dua tahun

pertama hidupnya untuk bertumbuh dan berkembang secara optimal.

Defisiensi Mikronutrien

Sangat sedikit data baru yang tersedia terkait defisiensi mikronutrien sejak

background paper sebelumnya tentang gizi dilakukan sebagai bagian dari Kajian

Sektor Kesehatan 2014 (Bappenas, 2014). Anemia pada wanita dan anak-anak

masih menjadi masalah kesehatan masyarakat dengan kategori berat menurut

klasifikasi WHO (WHO, 2010). Anemia sebagian besar disebabkan oleh defisiensi

zat besi, dan juga terkait dengan defisiensi mikronutrien lainnya seperti vitamin A,

asam folat, dan vitamin B12. Prevalensi anemia juga lebih tinggi di daerah dimana

kecacingan umum terjadi. Anemia pada ibu hamil (hemoglobin < 11 g/dl) pada tahun

2013 (Kementerian Kesehatan, 2013). Namun, di tahun 2018, data anemia pada

anak balita belum tersedia. Tidak ada keraguan bahwa anemia memiliki dampak

besar pada kesehatan dan kesejahteraan perempuan dan anak di Indonesia.

Hingga saat ini ketersediaan data baru tentang defisiensi vitamin A masih

minim sehingga tidak memungkinkan untuk menilai kemajuan. Survei nasional

terakhir tentang status vitamin A dilakukan oleh Kementerian Kesehatan pada tahun

1992 dan menemukan bahwa serum retinol kurang dari 20 μg / dL pada setengah

dari anak-anak berusia 6-59 bulan. SEANUTS 2011 memeriksa status vitamin A

pada anak, tetapi tidak termasuk anak dengan usia kurang dari dua tahun yang

kemungkinan besar berada pada risiko terbesar kekurangan vitamin A, sehingga

data tidak dapat dibandingkan. Dalam survei ini hanya 1,5 persen anak di daerah

pedesaan berusia 2-4 tahun ditemukan memiliki kekurangan vitamin A.

Demikian pula, tidak terdapat data baru tentang tingkat kekurangan yodium

yang tersedia sejak background paper sebelumnya tentang gizi di Indonesia yang

dilakukan sebagai bagian dari Kajian Sektor Kesehatan 2014 (Bappenas, 2014),

30
yang menemukan bahwa status yodium pada anak sekolah dan wanita usia subur

tetap memadai, sementara status yodium pada wanita hamil berada pada ambang

batas.

Kegemukan dan Obesitas

Prevalensi kegemukan (IMT ≥25 sampai <27) dan obesitas (IMT ≥ 27) di

kalangan orang dewasa meningkat tajam dan obesitas sekarang menjadi tantangan

masalah gizi terbesar di masa depan yang dihadapi oleh Indonesia. Dalam lima

tahun, antara tahun 2013 dan 2018, prevalensi obesitas telah meningkat enam

persen dan lebih tinggi dari target RPJMN 2015-2019.

Selain itu, terdapat perbedaan geografis yang signifikan dengan prevalensi

obesitas tertinggi ditemukan di Sulawesi Utara (30,2%) dan terendah di NTT (10,3%)

dimana semua provinsi telah mengalami peningkatan obesitas secara progresif dari

waktu ke waktu (Kementerian Kesehatan, 2018). Data obesitas pada dewasa

berdasarkan jenis kelamin dan kuintil kekayaan belum tersedia di Riskesdas 2018.

Walaupun demikian, di tahun 2016, menunjukkan kegemukan dan obesitas pada

wanita dewasa jauh lebih tinggi daripada pria dewasa, dimana terdapat 41,6% wanita

dewasa kelebihan berat badan dibandingkan 24% pria. Sementara di tahun 2013,

obesitas ditemui pada semua kelompok kuintil pendapatan baik yang rendah

maupun yang lebih tinggi dan 7% orang dewasa pada kuintil kekayaan terendah

mengalami obesitas. (Kementerian Kesehatan, 2013)

Pada kelompok anak di bawah usia lima tahun, prevalensi kelebihan berat

badan (berat badan per tinggi badan >2 score) menunjukan tidak ada peningkatan.

Sekitar 7% anak balita diperkirakan mengalami kegemukan pada tahun 2018

(Kementerian Kesehatan, 2018). Walapun data berat badan lebih pada balita

berdasarkan kuintil kekayaan di tahun 2018 belum tersedia, data Riskesdas tahun

2013 menunjukkan kegemukan terjadi lebih banyak pada kuintil kekayaan yang lebih

tinggi dibandingkan pada kuintil kekayaan yang lebih rendah, namun bahkan pada

31
kuintil kekayaan terendahpun, 10,2% anak balita mengalami kegemukan pada tahun

2013

Gizi Remaja

Meskipun tidak ada target yang masuk dalam RPJMN 2015-2019 untuk gizi

remaja, masa remaja adalah periode kritis kedua untuk pertumbuhan fisik setelah

tahun pertama kehidupan, dimana ketika perubahan psikososial dan emosional yang

mendalam terjadi dan peningkatan kognitif dan kapasitas intelektual tercapai. Selain

itu, Indonesia sendiri adalah rumah bagi sekitar 45 juta remaja laki-laki dan

perempuan atau setara dengan 18% dari total penduduk (BPS, 2010). Remaja di

Indonesia sudah mulai menderita Beban Ganda Masalah Gizi. Pada tahun 2013, 9,4%

remaja berusia 16-18 tahun dan 11,1% dari mereka yang berusia 13-15 tahun

mengalami kurus (IMT per usia <-2 SD Zscore), sementara 7,3% dan 10,8%, secara

berurutan, mengalami kelebihan berat badan (IMT per usia > +1 SD Zscore)

(Kementerian Kesehatan, 2013).

Prevalensi kegemukan pada kelompok usia 16-18 tahun meningkat tajam dari

1,4% pada tahun 2010 menjadi 7,3% pada 2013, yang menunjukkan bahwa

kegemukan meningkat dengan cepat. Prevalensi stunting pada usia 16-18 tahun

sebesar 31,4% dan pada kelompok usia 13-15 tahun sebesar 35,1%, dan yang

menjadi perhatian adalah sebagian besar anak perempuan akan memasuki fase

kehamilan dalam keadaan kurang gizi sehingga dapat memperpanjang siklus

malnutrisi. Prevalensi kurus (LILA <23,5 cm) pada kelompok remaja putri yang hamil

sudah lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan yang lebih tua yaitu sekitar satu

dari tiga dibandingkan dengan satu dari empat (24,2%) secara berurutan. Gaya

hidup dan pola konsumsi remaja di Indonesia dan melihat pentingnya

mengembangkan kebijakan yang menargetkan kelompok usia remaja.

Penyebab Beban Gizi Ganda di Indonesia

a. Konsumsi Pangan yang Tidak Cukup dan Kerawanan Pangan

32
Rumah tangga miskin dan menengah di Indonesia memiliki pola konsumsi

yang minim akan zat gizi dan kurang beragam, sementara rumah tangga menengah

ke atas memiliki pola konsumsi berlebih, khususnya sumber energi dan makanan

olahan. Hal ini berkontribusi terhadap terjadinya kekurangan gizi pada kelompok

masyarakat menengah ke bawah serta obesitas pada kelompok menengah ke atas.

Data survei pada tahun 2014 menunjukkan bahwa hampir setengah populasi di

Indonesia (45,7%) mengonsumsi kurang dari 70% Angka Kecukupan Gizi (AKG)3

untuk energi, sementara 36,1% mengkonsumsi kurang dari 80% AKG untuk protein4

(SKMI, 2014). Gambar 6 menunjukkan perbedaan konsumsi sumber energi dan

protein pada kelompok masyarakat menurut tingkat kekayaan. Hanya mereka yang

berada pada kuintil ketiga, keempat, dan kelima yang mengonsumsi energi dan

protein yang cukup. Pada saat yang sama, semakin banyak penduduk yang

mengonsumsi makanan dan minuman yang tidak sehat secara berlebihan. Analisis

data tahun 2014 menemukan bahwa 29,7% penduduk Indonesia mengonsumsi gula,

garam, dan lemak melebihi rekomendasi WHO dimana untuk gula > 50 g/hari,

garam > 5 g/hari, dan lemak > 67 g/ hari (Atmarita, Jahari, Sudikno, & Soekatri, 2016)

Makanan khas Indonesia adalah makanan berbahan dasar beras dan

serealia yang selalu menjadi makanan pokok utama. Sebagaimana dituliskan dalam

background paper tentang gizi sebelumnya sebagai bagian dari Kajian Sektor

Kesehatan 2014, pola makan rumah tangga berubah dengan cepat, tetapi tidak

menjadi lebih sehat. Gambar 7 mengilustrasikan bahwa antara tahun 2007 dan 2017,

proporsi energi dalam makanan yang berasal dari serealia yang dikonsumsi oleh

penduduk perkotaan dan pedesaan menurun namun hal ini terjadi karena ada

peningkatan proporsional dalam asupan energi dari makanan dan minuman jadi

(Sumarwan, 2018). Peningkatan konsumsi makanan dan minuman jadi, yang

sebagian besar kecenderungannya adalah makanan yang diproses5 dan tinggi gula,

garam dan lemak, di antara penduduk pedesaan sangat terlihat nyata dan

mengkhawatirkan. Ini menunjukkan bahwa tingkat obesitas akan terus meningkat

33
dalam kelompok ini sehingga akan menambah Beban Ganda Masalah Gizi.

Sementara itu, konsumsi tepung terigu juga meningkat, yang didorong dengan

semakin meningkatnya konsumsi mi instan pada 15% remaja berusia 10-19 tahun

yang mengonsumsi mi setiap hari pada tahun 2013 (Kementerian Kesehatan, 2013).

Di sisi lain, konsumsi buah dan sayur tetap rendah dimana 93,5% penduduk berusia

10 tahun ke atas mengonsumsi buah dan sayur kurang dari 5 porsi dalam sehari

(Kementerian Kesehatan, 2013). Pada tahun 2018, pola konsumsi tersebut tidak

menunjukkan adanya perbedaan dimana 95,5% penduduk usia ≥ 5 tahun

mengkonsumsi buah dan sayur kurang dari 5 porsi dalam sehari (Kementerian

Kesehatan, 2018).

Keragaman pola konsumsi yang rendah berkaitan dengan terjadinya stunting

pada anak. Sebuah penelitian yang dilakukan di Jawa Timur menilai keragaman pola

konsumsi pada 12 kelompok makanan, yang kemudian dijumlahkan sebagai Skor

Keragaman Konsumsi Pangan Rumah Tangga (Household Dietary Diversity Score),

menemukan bahwa skor yang lebih rendah dikaitkan dengan stunting bahkan ketika

penyesuaian dibuat untuk ukuran keluarga, pengetahuan ibu, pengeluaran untuk

makanan, serta asupan energi dan protein dari ASI (Mahmudiono, Sumarmi, &

Rosenkrantz, 2017). Kementerian Kesehatan memperkirakan bahwa hanya 29% dari

anak-anak berusia 6-59 bulan mengonsumsi makanan sumber zat besi dan hanya

20% yang mengonsumsi telur (Kemenkes, 2014).

Asupan makanan ditentukan oleh ketahanan pangan yang memiliki empat

dimensi, yaitu: ketersediaan, akses, konsumsi, dan pemanfaatan pangan (WFP,

2017). Badan Pangan Dunia (WFP) melaporkan bahwa secara keseluruhan,

ketahanan pangan meningkat antara tahun 2010 dan 2015 yakni ketika hanya 58

dari 398 kabupaten yang ditemukan sangat rentan terhadap kerawanan pangan

(WFP, 2016). Beberapa penelitian baru-baru ini menyimpulkan bahwa akses

ekonomi (keterjangkauan) terhadap pangan dibandingkan dengan ketersediaan

pangan merupakan penyebab utama kerawanan pangan di Indonesia (SMERU,

34
2015) (WFP, 2017) (WFP & Bappenas, 2017). Sebuah studi untuk memperkirakan

biaya konsumsi di Indonesia menemukan bahwa 38% dari populasi nasional tidak

mampu membeli makanan bergizi dan persentase ini naik menjadi 68% di daerah

terpencil seperti NTT dimana biaya transportasi makanan tinggi (WFP & Bappenas,

2017). Gejolak harga pangan terutama untuk beras, daging, sayur, dan buah,

memperburuk situasi ketika rumah tangga miskin terpaksa mengurangi jumlah dan

kualitas makanan yang mereka konsumsi (SMERU, 2015). Sebagian besar (80%)

rumah tangga dengan tingkat pengeluaran rendah dan menengah menghabiskan

lebih dari separuh pengeluaran mereka untuk makanan di tahun 2017, dan

membelanjakan porsi yang jauh lebih besar dari uang mereka untuk makanan

dibandingkan dengan 20% penduduk terkaya (BPS, 2017).

Meskipun harga makanan tetap menjadi penghalang utama bagi banyak

keluarga miskin di Indonesia, tetapi pengeluaran untuk makanan dan minuman

olahan, yang sebagian besar cenderung makanan yang diproses, meningkat empat

kali lipat pada masyarakat perkotaan dan juga pedesaan dari tahun 2007 hingga

2017. Pertumbuhan industri makanan dan minuman mendorong terjadinya

perubahan pola konsumsi di Indonesia dan berkontribusi pada terjadinya Beban

Ganda Masalah Gizi.

b. Beban Penyakit, Akses terhadap Pelayanan Kesehatan, dan Lingkungan

yang Tidak Mendukung

Hubungan antara kekurangan gizi dan penyakit infeksi (menular) terlihat

sangat jelas. Infeksi, terutama diare, kecacingan, infeksi saluran pernapasan akut

(ISPA), serta campak dan malaria, dapat menurunkan nafsu makan, menyebabkan

peradangan, dan kemudian menyebabkan penurunan berat badan, sementara anak

yang kekurangan gizi memiliki risiko lebih besar terkena infeksi (Tomkins & Watson,

1989). Penyakit infeksi masih banyak terjadi di Indonesia. Pada tahun 2012, 14,3%

anak usia di bawah lima tahun dilaporkan mengalami diare dalam dua minggu

35
terakhir, sementara 5% memiliki gejala ISPA, dan 31% pernah mengalami demam

(BPS & Kemenkes, 2012). Sementara tahun 2018, 12,3% balita dilaporkan

mengalami diare (Kementerian Kesehatan, 2018). Saat ini, data mengenai angka

kecacingan di tingkat nasional yang dikaitkan dengan anemia dan stunting masih

belum tersedia. Bukti yang ada menunjukkan bahwa lebih dari seperempat anak

balita (28%) menderita kecacingan (Kemenkes, 2015). Penyakit infeksi lebih sering

terjadi pada kuintil kekayaan yang lebih rendah.

Saat ini, Indonesia sedang mengalami transisi epidemiologi dengan beban

penyakit bergeser dari penyakit menular dan kematian pada usia lebih muda ke arah

PTM, peningkatan usia harapan hidup, dan peningkatan usia rata-rata kematian.

Obesitas adalah penyumbang utama beban PTM, terutama terkait dengan

perkembangan penyakit diabetes mellitus, hipertensi, stroke, dan kardiovaskular.

Menurut perkiraan WHO, kematian proporsional karena PTM di Indonesia telah

meningkat dari 50,7% pada tahun 2004 menjadi 71% pada tahun 2014 (WHO, 2014).

Diabetes merupakan masalah tersendiri dimana jumlah orang dengan diabetes

diperkirakan hampir dua kali lipat, dari 7,6 juta pada 2013 menjadi 11,8 juta pada

2030. Dengan pertumbuhan prevalensi diabetes sebesar 6% per tahun, hal ini jauh

melebihi tingkat pertumbuhan populasi tahunan negara Indonesia secara

keseluruhan (Novo Nordisk, 2013). Data 2018 menunjukkan prevalensi diabetes

pada penduduk umur ≥ 15 tahun sebesar 10,9% berdasarkan kriteria Diabetes

Melitus menurut Konsensus PERKENI 2015 (Kementerian Kesehatan, 2018).

Hasil dari peningkatan beban PTM yang berkaitan dengan pola makan

adalah permintaan yang meningkat terhadap layanan kesehatan di Indonesia.

Pengeluaran kesehatan telah meningkat di Indonesia tetapi akses ke pelayanan

kesehatan masih belum universal. Pada tahun 2014, Pemerintah Indonesia

memperkenalkan skema asuransi kesehatan universal yang dikenal sebagai

Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) untuk memastikan akses ke pelayanan

kesehatan bagi semua warga negara. Pada tahun 2017, 41% dari populasi tidak

36
tercakup oleh JKN termasuk sekitar 62% anak di bawah usia lima tahun (BPS, 2017).

Sebuah evaluasi tentang Puskesmas (Pusat Kesehatan Masyarakat) di Indonesia

menemukan bahwa beberapa puskesmas mengalami kekurangan pasokan air bersih,

listrik, telepon dan dokter.

Akses ke pelayanan kesehatan juga dipengaruhi oleh jarak tempuh ke

fasilitas kesehatan terdekat. Data tahun 2013 menunjukkan bahwa akses ke fasilitas

kesehatan berbasis masyarakat atau UKBM (posyandu, polindes,

poskesdes/poskestren) sudah cukup baik (ditempuh dalam waktu ≤15 menit oleh

sekitar 80-90% rumah tangga). Sementara akses ke pelayanan kesehatan dasar

(puskesmas), relatif terjangkau (ditempuh ≤15 menit oleh hampir 70% rumah tangga)

(lihat Gambar 8). Namun demikian, rumah tangga termiskin menempuh lebih lama

dibanding dengan kelompok terkaya untuk semua jenis fasilitas kesehatan. Waktu

tempuh ≤15 menit oleh kelompok termiskin untuk ke posyandu sekitar 85% dan

untuk ke puskesmas 42%, sedangkan kelompok terkaya sekitar 97% untuk ke

posyandu dan 77% untuk ke puskesmas (Kementerian Kesehatan, 2013).

Hubungan antara kekurangan gizi dengan minimnya akses air bersih, sanitasi,

dan higiene (WASH) di Indonesia sudah semakin banyak dibuktikan. Sebuah

tinjauan literatur terbaru menemukan bahwa prevalensi stunting di Indonesia

berkaitan dengan ketersediaan kakus yang tidak layak dan air minum yang tidak

dimasak (Beal, Tumilowicz, Sutrisna, Izwardy, & Neufeld, 2018). Namun, bukti

terbaru dari uji coba yang besar dan dirancang dengan baik di Bangladesh (Luby ,

Rahman, & Arnold, 2018), Kenya (Null, Stewart, & Pickering, 2018) (uji coba Manfaat

WASH) dan Zimbabwe (SHINE) telah melaporkan tidak ada efek dari intervensi

WASH terhadap stunting. Dampak yang kurang tersebut mungkin merupakan

konteks khusus. Namun demikian, penelitian menunjukkan bahwa peningkatan

akses ke air dan sanitasi saja akan memiliki dampak terbatas pada pertumbuhan

anak.

c. Praktik Pemberian Makan dan Pengasuhan yang Tidak Adekuat

37
Praktik pemberian makan bayi dan anak yang buruk berkaitan dengan

kejadian stunting pada anak di Indonesia (Beal, Tumilowicz, Sutrisna, Izwardy, &

Neufeld, 2018). Sesuai dengan ketentuan WHO dan UNICEF Global, Kementerian

Kesehatan merekomendasikan pemberian ASI secara eksklusif selama enam bulan

pertama setelah anak lahir, kemudian diiringi dengan pemberian makanan

pendamping ASI yang aman dan bergizi serta dilanjutkan menyusui sampai

setidaknya anak berusia dua tahun. Waktu dan durasi pemberian ASI pada anak di

Indonesia sangat bervariasi. Sebagaimana dicatat, hanya 61% wanita yang memulai

menyusui dalam satu jam pertama kelahiran bayi mereka dan hanya setengah (54%)

yang terus menyusui hingga dua tahun (BPS & Kemenkes, 2017). Kajian mendalam

tentang gizi ibu, bayi, dan anak di Indonesia menemukan bahwa praktik-praktik yang

merugikan, seperti tidak memberikan kolostrum kepada bayi baru lahir dilakukan

oleh beberapa ibu saat pemberian makan pra-lakteal dengan kurma yang dilunakkan,

madu, biskuit, dan susu formula (Breast Milk Substitutes/BMS) umum terjadi (60%),

dan paling sering dilakukan oleh wanita dari kuintil kekayaan yang lebih tinggi (Alive

& Thrive, 2018). Inisiasi dan durasi menyusui bervariasi menurut provinsi, usia ibu,

kuintil kekayaan, dan jenis pekerjaan. Kajian ini mengidentifikasi hambatan

pemberian ASI eksklusif seperti melahirkan dengan cara bedah caesar, melahirkan

di fasilitas non kesehatan dan non pemerintah, kurangnya dukungan dari sang nenek,

menerima sampel susu formula dari bidan, pembengkakan payudara ibu, penyakit

anak, serta bekerja penuh waktu.

Hampir separuh (48%) bayi diperkenalkan pada makanan pendamping yang

terlalu dini di Indonesia dan jenis makanan yang diperkenalkan tidak mendukung

pertumbuhan dan perkembangan optimal. Hanya 23% bayi berusia 6-8 bulan diberi

empat atau lebih kelompok makanan pada tahun 2012, naik menjadi 75% di antara

kelompok usia 18-23 bulan (BPS & Kemenkes, 2012). Proporsi anak usia 6-23 bulan

yang diberi makan sesuai dengan ketiga rekomendasi PMBA6 sebesar 18% untuk

anak usia 6-8 bulan dan 45% untuk anak usia 18-23 bulan (BPS & Kemenkes, 2012).

38
Terdapat bukti yang menunjukkan bahwa hambatan keuangan menjadi alasan

buruknya praktik pemberian makanan pendamping karena provinsi dengan tingkat

kerawanan pangan tertinggi merupakan daerah dengan tingkat praktik pemberian

makanan pendamping yang adekuat paling rendah (Alive & Thrive, 2018).

Faktor lain yang berperan pada PMBA yang tidak adekuat adalah minimnya

penegakan regulasi yang komprehensif di Indonesia. Berdasarkan Undang-Undang

No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, perusahaan diberi kewajiban untuk

menyediakan fasilitas bagi perempuan yang menyusui selama jam kerja, sementara

Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, memberikan hak

seorang pekerja perempuan untuk beristirahat selama 45 hari sebelum melahirkan

dan 45 hari setelah melahirkan. Namun, sebuah studi pada tahun 2011 menemukan

bahwa hanya 10% dari instansi pemerintah dan 11% dari instansi swasta

menyediakan ruang menyusui (Save the Children, 2013), sementara lebih dari

setengah (57,5%) dari tenaga kerja perempuan di Indonesia dipekerjakan secara

informal dengan sedikit hak ketenagakerjaan (Indonesia Investments, 2018).

Indonesia memiliki beberapa regulasi yang berlaku terkait dengan Kode Internasional

tentang Pemasaran Pengganti ASI (the International Code of Marketing of Breast-

Milk Substitutes).

Undang-Undang No. 33 Tahun 2012 tentang Pemberian ASI Eksklusif saat ini

melarang produsen dan distributor mempromosikan serta mengiklankan susu

formula untuk bayi di bawah enam bulan di fasilitas kesehatan, sementara fasilitas

kesehatan dan petugas kesehatan tidak diizinkan untuk menjual, memberi, atau

mempromosikan susu formula untuk bayi. Ada juga beberapa pembatasan terhadap

pelabelan dan iklan produk susu untuk bayi di bawah satu tahun. Namun, sebuah

studi 2015 di Indonesia menemukan lebih dari 1.000 insiden ketidakpatuhan

terhadap kode internasional tersebut oleh berbagai produsen dan distributor (Access

to Nutrition Index, 2016). UNICEF telah menyoroti ukuran substansial dari bisnis

39
pengganti ASI di Indonesia dengan penjualan diperkirakan mencapai Rp 25,8 triliun

pada tahun 2016 (UNICEF, 2016).

Saat ini, belum ada undang-undang yang mengatur tentang pemberian makan

untuk anak di atas usia dua tahun serta belum adanya kepatuhan terhadap undang-

undang yang ada untuk mendukung praktik PMBA yang aman dan bergizi. Analisis

yang dilakukan oleh Universitas Padjajaran dengan UNICEF dan Alive & Thrive, telah

mengungkapkan bahwa peningkatan pemberian ASI di Indonesia dapat

menyelamatkan 5.377 kehidupan anak dan Rp 3 triliun dalam biaya kesehatan setiap

tahun (UNICEF, 2016). Hal ini menyoroti kebutuhan mendesak untuk memperluas

regulasi nasional dalam memastikan PMBA yang memadai untuk semua anak di

bawah usia tiga tahun.

Selain PMBA yang memadai, pertumbuhan dan perkembangan anak

bergantung pada praktik pengasuhan yang optimal. Sangat disadari bahwa intervensi

pendidikan anak usia dini (PAUD) berfokus pada (i) dukungan orang tua; (ii) stimulasi

dan pendidikan dini; (iii) kesehatan dan gizi; (iv) tambahan pendapatan; serta (v)

program yang komprehensif dan terintegrasi, dimana hal-hal tersebut memiliki efek

positif pada perkembangan kognitif anak (Rao, Sun, & Wong, 2013). Saat ini, terdapat

dua bentuk intervensi PAUD di Indonesia, yaitu target pertama adalah anak-anak usia

0-3 tahun melalui sesi pengasuhan (Bina Keluarga Balita) yang dilaksanakan oleh

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Target kedua

adalah anak-anak yang berusia 3-6 tahun di pos PAUD dan dilaksanakan oleh

Kementerian Pendidikan. Namun, cakupan masih belum menyeluruh dengan 38%

anak-anak di bawah usia enam tahun belum tercakup oleh program ini.

d. Akar Masalah dan Isu yang Terkait

1. Kemiskinan dan Ketidakmerataan

Beban Ganda Masalah Gizi sangat terkait dengan kemiskinan dan

ketidakmerataan. Di Indonesia, pertumbuhan ekonomi selama tiga tahun terakhir

telah meningkat dari 4,9% pada 2015 ditargetkan menjadi 5,4% pada tahun 2018

40
dan jumlah orang miskin menurun menjadi 26,58 juta pada tahun 2017 (Bappenas,

2018). Meskipun demikian, ketidakmerataan yang lebar tetap terjadi. Kemiskinan

terkonsentrasi di daerah pedesaan di mana 14,3% penduduk hidup di bawah garis

kemiskinan sedangkan 8,3% orang di daerah perkotaan. Tingkat kemiskinan

dicerminkan oleh tingkat kekurangan gizi dan pola konsumsi. Kurang gizi serta

asupan energi dan protein yang tidak memadai jauh lebih tinggi pada kelompok

kuintil kekayaan yang lebih rendah, serta di provinsi yang paling miskin dan terpencil,

dimana ketidakmerataan ini semakin meningkat. Sementara obesitas dan konsumsi

makanan tinggi kadar gula, garam, dan lemak lebih umum terjadi pada kelompok

kekayaan yang lebih tinggi. Untuk saat ini, hal ini dengan cepat akan menjadi

masalah utama di antara kelompok miskin. Bank Dunia telah memberitahukan

bahwa untuk mencapai pertumbuhan yang lebih cepat dan lebih inklusif, Indonesia

perlu membelanjakan lebih baik dan lebih banyak di daerah-daerah prioritas (World

Bank, 2018). Hubungan sinergis antara kemiskinan dan gizi berarti bahwa

memprioritaskan gizi akan berkontribusi dalam mengurangi kemiskinan, sementara

mengurangi kemiskinan akan berkontribusi pada perbaikan gizi.

2.Tren Demografi dan Urbanisasi

Indonesia mengantisipasi „bonus demografi‟ pada tahun 2020-2030 ketika

proporsi orang dalam kelompok usia produktif (15-64 tahun) mencapai maksimum

dan rasio ketergantungan berada pada tingkat terendah (Bappenas, 2018).

Produktivitas ekonomi dengan demikian perlu dioptimalkan. Anak-anak dan remaja

saat ini akan membentuk angkatan kerja yang produktif di tahun 2020-2030. Sisi

negatif dari fenomena demografi ini adalah setidaknya sepertiga anak dan remaja

saat ini mengalami stunting dan akan kurang produktif di masa depan. Sisi positifnya

adalah terdapat peluang untuk mengurangi Beban Ganda Masalah Gizi,

mengembangkan pola makan yang sehat, serta berinvestasi dalam „bonus

demografi‟. Selain profil usia yang berubah dari populasi, juga terjadi peningkatan

migrasi dari pedesaan ke daerah perkotaan ketika orang mencari pekerjaan.

41
Populasi perkotaan meningkat dari 42% pada tahun 2000 menjadi 50% pada tahun

2010, dan diperkirakan akan meningkat menjadi 67% pada 2035 (SMERU, 2015).

Dampak negatif dari kecenderungan ini adalah lebih banyak orang di daerah

perkotaan yang terpapar dengan lingkungan obesogenik (gerai makanan cepat saji,

iklan makanan dan minuman tinggi gula, garam, lemak, dll.) yang terkait dengan

tingkat obesitas yang semakin tinggi. Selain itu, lingkungan perkotaan menjadi tidak

kondusif untuk aktivitas fisik yang menyebabkan minimnya olahraga yang

berdampak terhadap penambahan berat badan dan obesitas.

Orang-orang yang tinggal di daerah perkotaan memiliki pilihan transportasi

yang lebih dapat diandalkan dan tersedia bagi mereka, terdapat sedikit fasilitas

olahraga yang dapat diakses, serta tenaga kerja yang telah beralih dari pekerjaan

pertanian dan yang bersifat fisik. Hal yang mengkhawatirkan adalah gaya hidup

remaja di Indonesia, baik di daerah perkotaan maupun pedesaan. Sebuah survei di

dua kabupaten menemukan bahwa selama seminggu, remaja melaporkan paling

sering duduk santai (2 jam), menonton televisi (2 jam), menggunakan ponsel mereka

(2 jam), atau duduk untuk belajar atau bekerja (3 jam). Selama akhir pekan, mereka

melaporkan bahwa mereka paling sering menggunakan ponsel mereka (3 jam),

menonton televisi (2 jam), atau duduk untuk belajar/ bekerja di

sekolah/kampus/tempat kerja (2 jam). Di luar sekolah, anak perempuan lebih umum

(68%) melakukan duduk santai atau melakukan pekerjaan rumah tangga seperti

menyapu, sedangkan 60% anak laki-laki bermain sepak bola (UNICEF, 2018

Unpublished). Namun demikian, urbanisasi juga menawarkan kesempatan untuk

menjangkau lebih banyak orang dengan lebih mudah melalui pesan dan aksi untuk

mempromosikan makanan dan gaya hidup yang lebih sehat.

2. Desentralisasi

Sistem pemerintahan yang terdesentralisasi di Indonesia diperkenalkan pada

tahun 2000. Reformasi memberikan kewenangan yang lebih besar, kekuasaan politik,

dan sumber daya keuangan bagi kabupaten dan desa, tidak melalui provinsi.

42
Wewenang yang menjadi tanggung jawab pemerintah daerah termasuk tanggung

jawab untuk penyediaan layanan di berbagai sektor, termasuk layanan gizi.

Sementara pemerintah pusat mempertahankan peran kepemimpinan, koordinasi,

dan pemantauan. Dana yang ada disalurkan langsung kepada pemerintah

kabupaten yang dapat dialokasikan sesuaidengan prioritas daerah. Pada tahun 2014,

desentralisasi keuangan menjadi selangkah lebih maju dengan adanya Dana Desa.

Sumber dana yang lebih besar saat ini tersedia di tingkat kabupaten dan desa yang

memberdayakan pemerintah daerah dan masyarakat untuk mengatasi Beban Ganda

Masalah Gizi melalui solusi yang disesuaikan dengan konteks lokal di daerah

mereka. Tantangannya adalah memastikan melalui advokasi bahwa gizi

diprioritaskan di antara banyaknya prioritas yang saling bersaing dan memastikan

bahwa pemerintah daerah memiliki pemahaman tentang penyebab, dampak, dan

intervensi yang tepat untuk menangani Beban Ganda Masalah Gizi.

3. Gender

Terdapat bukti global yang kuat yang menyatakan bahwa status perempuan

dalam masyarakat terkait dengan status gizi dan kelangsungan hidup anak. Analisis

data dari 96 negara menunjukkan bahwa tingkat ketimpangan gender masyarakat,

seperti jumlah perempuan dalam pekerjaan atau tingkat pendidikan mereka relatif

terhadap laki-laki, merupakan faktor penting yang berkontribusi terhadap tingkat

malnutrisi dan kematian anak (Marphatia, Cole, & Grijalva-Eternod, 2016). Di

Indonesia, Instruksi Presiden (No. 9, 2000) mencerminkan niat pemerintah untuk

terus memperbaiki kondisi untuk perempuan dan anak perempuan di bidang

kesehatan, pendidikan, angkatan kerja dan partisipasi politik. Selain itu, ada inisiatif

yang berjalan, seperti Gerakan Pekerja Perempuan Sehat Produktif (GP2SP) yang

dilaksanakan bersama oleh Kementerian Kesehatan, Kementerian Dalam Negeri,

Kementerian Ketenagakerjaan, dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan

Perlindungan Anak. Program ini bertujuan untuk meningkatkan status kesehatan dan

gizi pekerja perempuan sehingga mereka dapat merawat anak-anak mereka dan

43
mencapai produktivitas kerja maksimum untuk mendukung keluarga mereka.

Meskipun ada prakarsa ini, ketidaksetaraan gender dan praktik-praktik berbahaya

tetap ada. Perempuan Indonesia lebih rentan terhadap kemiskinan sebagai akibat

ketidaksetaraan gender dalam distribusi pendapatan, akses ke kredit, kontrol atas

properti dan sumber daya alam, dan akses ke mata pencaharian. Data dari 2012

menunjukkan bahwa 63,3% wanita menikah antara usia 15-49 tahun dipekerjakan

pada tahun sebelumnya tetapi 26,3% dari wanita yang dipekerjakan tersebut tidak

dibayar baik secara tunai maupun dalam bentuk barang, termasuk mereka yang

bekerja di pertanian pribadi dan dalam bisnis keluarga (BPS & Kemenkes, 2012).

Selanjutnya, perempuan menghadapi diskriminasi dalam hal upah. Industri pakaian

(atau garmen) di Indonesia merupakan salah satu kasus terburuk dalam hal

kesenjangan upah di sektor manufaktur negara. Rata-rata, pekerja perempuan

informal di industri garmen Indonesia berpenghasilan 20% lebih rendah daripada

rekan laki-laki mereka untuk pekerjaan yang sama dan dengan latar belakang

pendidikan yang sama (rendah) (Indonesia Investments, 2018). Hanya 49,6% wanita

di tahun 2012 memiliki rumah sementara 41,4% memiliki lahan, yang sebagian besar

berbagi kepemilikan (BPS & Kemenkes, 2012). Partisipasi perempuan dalam

pengambilan keputusan juga terkait dengan capaian di bidang kesehatan.

Perempuan yang berpartisipasi dalam setidaknya tiga keputusan rumah tangga lebih

mungkin untuk mendapatkan pelayanan ANC, dan untuk melahirkan dan

mendapatkan pelayanan paska persalinan dari penyedia layanan yang terlatih.

Mereka juga melaporkan tingkat kematian bayi, anak, dan balita yang lebih rendah

daripada wanita yang tidak berpartisipasi dalam keputusan rumah tangga (BPS &

Kemenkes, 2012).

Pernikahan dini tetap menjadi masalah tersendiri di Indonesia. Pada tahun

2015, 21,6% wanita menikah atau dalam ikatan sebelum usia 18 tahun dan angka ini

lebih tinggi di pedesaan dibandingkan dengan perkotaan (BPS, 2015). Pernikahan

dini berarti bahwa anak perempuan meninggalkan sekolah lebih awal, memiliki bayi

44
pertama mereka lebih awal dan lebih mungkin memiliki bayi dengan berat badan

lahir rendah dan tumbuh dengan kekurangan gizi. Selain itu, sebagian besar

perempuan Indonesia pernah mengalami kekerasan oleh mantan atau pasangan

saat ini. Pada 2016, satu dari tiga wanita berusia 15-64 tahun melaporkan bahwa

mereka pernah mengalami kekerasan fisik atau seksual oleh pasangan selama masa

hidup mereka (Statistics Indonesia, 2016). Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap

Perempuan telah menekankan bahwa undang-undang yang ada tidak cukup

melindungi perempuan (Komisi Nasional Perempuan, 2018). Ketersediaan dukungan

terkait untuk ibu bersalin pada tempat kerja di Indonesia juga masih perlu

ditingkatkan. Sebagaimana dicatat dalam bagian 1.3.3, di bawah hukum

ketenagakerjaan (No. 13, 2003), seorang pekerja perempuan berhak atas 45 hari

istirahat sebelum melahirkan dan 45 hari setelah melahirkan sesuai dengan

perhitungan untuk tanggal persalinan oleh ahli kandungan atau bidan. Namun, 57,5%

dari tenaga kerja perempuan di Indonesia dipekerjakan secara informal dengan

sedikit hak ketenagakerjaan (Indonesia Investments, 2018). Kurangnya hak

ketenagakerjaan memperlemah kemampuan perempuan untuk beristirahat selama

trimester terakhir kehamilan, menyusui dan merawat anak mereka yang masih kecil,

yang semuanya akan mempengaruhi status gizi anak-anak mereka. UNICEF telah

menyoroti perlunya mempromosikan kesetaraan gender, yang berarti bahwa

perempuan dan laki-laki, serta anak perempuan dan anak laki-laki menikmati hak,

sumber daya, peluang, dan perlindungan yang sama. Pergeseran dalam kesetaraan

gender tidak hanya membutuhkan perubahan kesadaran dan perilaku, tetapi juga

perubahan dalam dinamika kekuatan mendasar yang membentuk norma dan

hubungan gender (UNICEF, 2017).

4. Kepercayaan dan Praktik Budaya

Keyakinan sosial dan budaya dapat mempengaruhi gizi baik secara positif

maupun negatif. Tinjauan praktik gizi sensitif di Indonesia menyoroti adanya tabu

sosial dan budaya dalam hal pembatasan makanan dan pemahaman tentang gizi

45
pada ibu dan anak (Alive & Thrive, 2018). Di antara kelompok populasi tertentu,

makanan dibatasi pada masa kehamilan yakni termasuk daging, sayuran dan buah

yang mengandung vitamin dan mineral penting seperti zat besi dan vitamin A. Ada

juga pembatasan selama periode setelah melahirkan karena beberapa makanan

diyakini menunda penyembuhan setelah melahirkan atau untuk mempengaruhi rasa

dan kualitas ASI. Beberapa ibu tidak memberikan kolostrum kepada bayi mereka

yang baru lahir karena mereka memiliki persepsi negatif tentang manfaatnya dan

berpikir bayi mereka akan jatuh sakit. Penelitian formatif dilakukan di 11 kabupaten

dengan kombinasi survei, diskusi kelompok terarah dan wawancara mendalam,

menemukan kurangnya kesadaran tentang pentingnya gizi pra-natal dan adanya

keberlanjutan mitos tentang makanan dari nenek (IMA World Health, 2018). Ada

keyakinan yang luas bahwa madu baik untuk bayi, bahwasusu formula sama baiknya

dengan ASI, dan ASI tidak mencukupi sehingga diperlukan makanan tambahan. Ada

juga persepsi di antara ibu dan nenek di Indonesia, bahwa untuk anak “lebih gemuk

lebih sehat” meskipun persepsi “badan ideal” untuk wanita dewasa adalah tinggi dan

langsing sedangkan berotot untuk pria dewasa (Rachmi, Hunter, Li, & Barr, 2017).

Kampanye komunikasi perubahan perilaku sosial (Social Behaviour Communication

Change/SBCC) dilakukan berdasarkan pesan yang yang dihasilkan dari riset formatif

yang saat ini sedang berjalan dan belum dievaluasi. Keberhasilan aksi SBCC dalam

mempengaruhi perilaku terkait gizi di negara-negara tetangga (Sanghvi, Haque, &

Roy, 2016) memperkuat pentingnya memperkenalkan kebijakan untuk mendukung

SBCC.

5. Keadaan Darurat

Bencana adalah hal yang umum terjadi di Indonesia dapat berupa gempa

berulang, banjir dan kekeringan yang kerap terjadi menyebabkan penderitaan

manusia dan kerusakan ekonomi. Hal ini mengakibatkan hilangnya aset dan

pendapatan pada rumah tangga yang rentan, tempat tinggal sementara yang

meningkatkan paparan penyakit dan konsumsi makanan yang tidak memadai,

46
kenaikan harga, penurunan produksi dan kekurangan pangan (SMERU, 2015).

Semua faktor ini meningkatkan risiko kekurangan gizi, terutama pada anak.

Sementara Indonesia telah menghindari krisis gizi yang serius dalam beberapa tahun

terakhir, perubahan iklim cenderung meningkatkan frekuensi dan intensitas bencana

tersebut di Indonesia sehingga meningkatkan risiko terhadap gizi.

Hubungan antara fenomena beban gizi ganda dan dampak kesehatan jangka

Panjang serta cara mengatasinya pada masyarakat di Indonesia

Pertumbuhan ekonomi terjadi secara dramatis di Indonesia, namun

kekurangan gizi tetap menjadi masalah yang signifikan dan terlihat sedikit mengalami

penurunan. Indonesia menderita kekurangan gizi yang cukup tinggi (defisiensi gizi

makro dan mikro) yang diiringi dengan meningkatnya prevalensi obesitas yang

disebut sebagai „Beban Gizi Ganda‟ (Double Burden of Malnutrition).

Wilayah Asia Tenggara dan Pasifik memiliki hampir setengah dari populasi di

seluruh dunia, yang menderita Beban Ganda Masalah Gizi. Tidak ada wilayah lain

yang memiliki prevalensi berat badan lebih (gemuk) yang meningkat secepat di

wilayah Asia Tenggara dan Pasifik ini dan Indonesia adalah salah satu contoh utama.

Beban Ganda Masalah Gizi di Indonesia terjadi di sepanjang siklus kehidupan,

dimulai lebih awal dengan 12% anak di bawah lima tahun menderita kurus (wasting),

sementara 12% lainnya mengalami kegemukan (overweight) (Kementerian

Kesehatan, 2013). Sekitar 11% dari remaja perempuan dan laki-laki berusia 13-15

tahun mengalami kurus, yang diukur melalui indeks massa tubuh (IMT) yang rendah,

sementara 11% dari remaja pada usia yang sama lainnya mengalami kegemukan.

Antara tahun 2010-2013, prevalensi berat badan lebih (gemuk) dan obesitas

meningkat dua kali lipat pada wanita dewasa (dari 15% menjadi 33%), sedangkan

seperempat wanita hamil mengalami kurus (Kementerian Kesehatan, 2013).

Keberadaan kekurangan gizi, obesitas, dan kekurangan gizi mikro di dalam rumah

tangga dan individu yang sama juga telah dipublikasikan secara ilmiah. Beban ganda

ibu dan anak, di mana ibu yang mengalami berat badan lebih tinggal di rumah yang

47
sama dengan anak yang pendek (stunted) atau gizi kurang (underweight), telah

diamati pada 11% rumah tangga pedesaan di Indonesia (Oddo, Rah, Semba, & et al.,

2012). Sementara data terbaru menurut Riskesdas 2018 menunjukkan terdapat 10,1%

anak balita kurus dan 7,6% balita mengalami kegemukan (Kementerian Kesehatan,

2018).

Beban Ganda Masalah Gizi di Indonesia dikaitkan dengan meningkatnya usia

harapan hidup yang telah dipengaruhi oleh: pergeseran beban penyakit dari penyakit

menular ke penyakit tidak menular (PTM); peningkatan kesejahteraan secara

nasional disertai dengan peningkatan ketersediaan pangan, yang telah

menyebabkan peningkatan konsumsi lemak dan makanan olahan per kapita; serta

pertumbuhan urbanisasi dengan lebih banyak orang yang tinggal di perkotaan

dimana kota-kota tersebut tidak ramah pejalan kaki dan kurangnya fasilitas yang

mendorong aktivitas fisik.

Selain itu, Beban Ganda Masalah Gizi memiliki dampak di sepanjang siklus

kehidupan. Kerusakan yang paling parah dan berlangsung jangka panjang terjadi

pada periode pertumbuhan dan perkembangan yang cepat, khususnya selama 1.000

hari pertama kehidupan (1.000 HPK) sejak masa kehamilan hingga anak berusia dua

tahun, dan selama masa remaja. Saat ini, Beban Ganda Masalah Gizi paling umum

terjadi di kelompok berpenghasilan tinggi di Indonesia (Oddo, Rah, Semba, & et al.,

2012). Namun, bukti menunjukkan bahwa kecenderungannya akan terjadi

peningkatan yang cepat pada kelompok miskin karena meningkatnya obesitas dan

berat badan berlebih dikombinasikan dengan sedikitnya perubahan yang terjadi pada

angka kekurangan gizi (Delisle & Batal, 2016).

Beban Ganda Masalah Gizi mengakibatkan banyak sekali kerugian, baik

dalam bidang kesehatan, maupun bidang pembangunan dan ekonomi Indonesia.

Dimana kerugian tersebut dapat terjadi mulai sebelum kelahiran. Ibu dengan berat

badan kurang cenderung memiliki bayi dengan pertumbuhan intra-uterus yang

terhambat serta lahir dengan berat badan lahir rendah dan dengan risiko kematian

48
yang lebih tinggi (Black, Victora, Walker, & et al., 2013). Berat badan berlebih dan

obesitas pada ibu juga meningkatkan risiko kematian bayi (Meehan, Beck, Mair-

Jenkins, & et al., 2014). Sementara bayi dengan berat badan lahir rendah lebih

cenderung untuk mengalami kekurangan gizi pada masa kanak-kanak (Cresswell,

Campbell, De Silva, & Filippi, 2012).

Kekurangan gizi dan kegemukan selama masa kanak-kanak dikaitkan

dengan tingkat mortalitas dan morbiditas yang lebih tinggi. Kurang gizi menyebabkan

45% kematian pada anak usia di bawah lima tahun di seluruh dunia (Black, Victora,

Walker, & et al., 2013) dan merupakan predisposisi bagi anak untuk menderita

penyakit menular seperti diare dan infeksi saluran pernapasan akut (Black, Allen,

Bhutta, & et al., 2008). Pada saat yang sama, setidaknya 2,6 juta orang meninggal

setiap tahun akibat kelebihan berat badan ataupun obesitas (WHO, 2018). Anak

yang gemuk cenderung tumbuh menjadi orang dewasa yang mengalami berat badan

berlebih dan mengalami PTM yang berkaitan dengan pola makan seperti diabetes

tipe 2 (Bjeeregaard, Jensen, & Angquist, 2018) dan penyakit kardiovaskular (Litwin,

2014). Remaja putri yang mengalami malnutrisi lebih rentan untuk menjadi wanita

dewasa yang juga terkena malnutrisi dan melahirkan bayi dengan berat badan lahir

rendah. Dengan demikian, ia akan mewariskan Beban Ganda Masalah Gizi dari satu

generasi ke generasi berikutnya.

Beban Ganda Masalah Gizi menghambat pembangunan manusia,

mengakibatkan kemiskinan intergenerasi, dan memperlambat pertumbuhan ekonomi.

Anak-anak yang kurang gizi dan/ atau kelebihan berat badan, tidak hadir di sekolah

lebih sering dan berprestasi kurang baik secara akademis (Dewey & Begum, 2011)

(An, Yan, Shi, & Yang, 2017). Diperkirakan bahwa stunting dan kekurangan gizi

lainnya merugikan Indonesia lebih dari US$ 5 miliar per tahun setara dengan

hilangnya 2-3% dalam produk domestik bruto karena kehilangan produktivitas

sebagai akibat dari standar pendidikan yang buruk dan berkurangnya kemampuan

fisik (WFP, 2014) (Bappenas, 2018). Kerugian akan lebih besar jika obesitas dan

49
kelebihan berat badan diperhitungkan. Sifat Beban Ganda Masalah Gizi yang

kompleks dan saling terkait di Indonesia mendesak pemerintah untuk mengambil

langkah-langkah yang efektif dan simultan mengatasi semua bentuk malnutrisi.

Cara Mengatasi Beban Ganda Masalah Gizi di Indonesia

Seiring berjalannya waktu, kelompok masyarakat termiskin akan menjadi

yang paling rentan oleh efek gabungan dari kekurangan gizi dan obesitas yang

mengarah kepada ketimpangan yang lebih besar antara kaya dan miskin.

Pendekatan yang diperluas, komprehensif, terpadu dan multisektoral untuk

menanggulangi malnutrisi sedang diupayakan oleh Pemerintah dengan

kepemimpinan politik yang kuat. Komitmen ini tercermin dalam pencantuman target

dan strategi untuk mengatasi kekurangan gizi dan obesitas dalam dokumen

perencanaan nasional, dan dalam peningkatan alokasi pembiayaan untuk gizi yang

disalurkan ke kabupaten dan desa. Dokumen perencanaan dan strategi daerah dan

sektor terkait belum sesuai dengan rencana nasional dimana hal ini dapat

berdampak buruk pada alokasi anggaran untuk gizi. Langkah pertama yang penting

adalah menetapkan regulasi untuk memastikan bahwa target, kebijakan, dan strategi

nasional untuk gizi sepenuhnya tercermin dalam rencana daerah dan sektor terkait.

Hambatan utama untuk perbaikan gizi di Indonesia adalah kurangnya

kapasitas dalam mengimplementasikan program di tingkat daerah. Komitmen pusat

yang kuat terhadap pendekatan multisektoral untuk gizi belum sepenuhnya

diterjemahkan ke dalam pemberian layanan gizi berkualitas kepada masyarakat.

Alasan utama adalah adanya kesenjangan yang signifikan dalam intervensi gizi

spesifik yang esensial, khususnya untuk mengatasi anemia, malnutrisi akut (wasting),

obesitas dan PMBA. Selain itu, kapasitas daerah dalam merencanakan,

melaksanakan, menganggarkan dan memantau intervensi gizi di tingkat daerah

masih perlu ditingkatkan. Dengan adanya desentralisasi berarti bahwa kabupaten

memiliki sumber daya dan tanggung jawab yang lebih besar untuk mengelola

program gizi daripada sebelumnya dan hal yang sama berlaku di tingkat desa

50
dengan diperkenalkannya Dana Desa. Selain itu, pemerintah di daerah diharapkan

dapat melakukan koordinasi lintas sektor yang efektif di dalam sistemnya tersendiri

dan dengan sedikit pengalaman dalam hal bekerja secara multisektoral. Oleh karena

itu, penting untuk pemerintah di daerah memiliki panduan dan dukungan teknis yang

jelas untuk secara efektif menyediakan serangkaian utuh intervensi gizi spesifik dan

gizi sensitif yang ditingkatkan. Aspek penting termasuk meningkatkan cakupan

layanan yang komprehensif, menambah jumlah dan kapasitas penyedia layanan gizi,

memastikan bahwa sistem pengadaan dan pasokan produk gizi (suplemen dan

peralatan) efisien dan memperkenalkan peraturan yang lebih kuat untuk

mempromosikan gizi yang sehat.

Penyebab dan dampak Beban Ganda Masalah Gizi masih belum secara utuh

dipahami dengan baik meskipun masalah tersebut sudah menjadi prioritas

pemerintah. Sebagian dari alasan untuk hal ini adalah bahwa kondisi seperti stunting

dan kelebihan berat badan tidak sangat terlihat. Selain itu, masih ada tabu sosial dan

budaya yang luas tersebar dalam hal pembatasan makanan, pemahaman tentang

gizi pada ibu dan anak, dan persepsi bahwa bayi yang gemuk lebih sehat. Pengambil

keputusan tidak selalu menyadari dampak malnutrisi terhadap ekonomi dan

bagaimana hal ini dapat mengikis bonus demografis yang diharapkan terjadi pada

2020-2030. Mengingat semakin banyaknya jenis dan penggunaan media modern

untuk berkomunikasi, dan fakta bahwa semakin banyak jumlah penduduk yang

memiliki akses ke telepon seluler dan televisi, adalah saat yang tepat untuk memulai

kampanye advokasi, komunikasi, dan mobilisasi yang komprehensif untuk

meningkatkan kesadaran dan komitmen untuk perbaikan gizi. Selain itu, sinergi

pesan kunci yang dilakukan oleh kementerian/lembaga terkait dalam menyebarkan

pesan gizi melalui strategi komunikasi perubahan perilaku juga penting untuk dapat

dikerjakan secara bersama-sama.

Keterbatasan kapasitas untuk menganalisis data, sistem informasi gizi yang

belum efektif, dan kesenjangan dalam hal pengetahuan telah diidentifikasi sebagai

51
hambatan dalam pengambilan keputusan berbasis bukti. Sejumlah besar data

dihasilkan, tetapi kualitas dan kegunaan informasi ini masih perlu ditingkatkan.

Dengan meningkatnya aksesibilitas teknologi inovatif, ada peluang untuk mendesain

ulang seluruh sistem informasi gizi. Hal ini akan melibatkan: (i) revitalisasi sistem

informasi gizi untuk mengintegrasikan indikator gizi spesifik dan gizi sensitif, (ii)

mengurangi jumlah indikator yang saat ini dikumpulkan menggantikannya dengan

indikator yang esensial, (iii) standardisasi metode dan definisi indikator, (iv)

memperkenalkan pelatihan dan pengawasan di tingkat daerah dalam melakukan

pengumpulan, analisis, dan penggunaan informasi untuk tujuan perencanaan dan

pemantauan, (v) mengembangkan sarana untuk mengkomunikasikan hasil secara

teratur dengan format yang jelas dan sederhana yang sesuai untuk pembuat

kebijakan dan pelaksana program. Penting juga untuk melakukan penilaian

komprehensif atas kesenjangan prioritas dalam hal pengetahuan dan memulai

penelitian untuk mengisi kekosongan tersebut. Kajian perlu juga dilakukan dalam hal

kebutuhan informasi untuk pengambilan keputusan, sistem informasi yang sudah

ada (PSG, Riskesdas, Susenas, SIMPUS, SIP, PIS-PK dan lain-lain) dan

mengembangkan sistem informasi gizi untuk memenuhi kebutuhan program dan

kebijakan.

Penyebab dan dampak Beban Ganda Masalah Gizi masih belum secara utuh

dipahami dengan baik meskipun masalah tersebut sudah menjadi prioritas

pemerintah. Sebagian dari alasan untuk hal ini adalah bahwa kondisi seperti stunting

dan kelebihan berat badan tidak sangat terlihat. Selain itu, masih ada tabu sosial dan

budaya yang luas tersebar dalam hal pembatasan makanan, pemahaman tentang

gizi pada ibu dan anak, dan persepsi bahwa bayi yang gemuk lebih sehat. Pengambil

keputusan tidak selalu menyadari dampak malnutrisi terhadap ekonomi dan

bagaimana hal ini dapat mengikis bonus demografis yang diharapkan terjadi pada

2020-2030. Mengingat semakin banyaknya jenis dan penggunaan media modern

untuk berkomunikasi, dan fakta bahwa semakin banyak jumPeluncuran Gerakan

52
Percepatan Penurunan Stunting Nasional memberikan peluang besar untuk

mempercepat penurunan prevalensi stunting pada anak secara signifikan.

Pemerintah telah menginvestasikan sejumlah besar dana dengan dukungan

pinjaman Bank Dunia dan memperkenalkan sistem pembiayaan berbasis hasil untuk

memberi insentif kepada pemerintah daerah untuk bertindak secara tepat.

Pendekatan multi-sektor sedang diadopsi dan pemerintah daerah di 100 kabupaten

sasaran awal telah diinstruksikan untuk memastikan bahwa RPJMD mencerminkan

target dan kegiatan terkait stunting untuk sektor-sektor terkait. Mekanisme

pendukung teknis tambahan sedang dijalankan di tingkat kabupaten dan desa untuk

meningkatkan kapasitas daerah. Upaya yang telah mengalami peningkatan ini

memiliki sejumlah keunggulan. Pertama, aksi multisektoral cenderung memiliki

dampak pada keadaan malnutrisi lainnya seperti defisiensi mikronutrien, wasting dan

bayi dengan BBLR, sehingga hal tersebut kemudian dapat memperluas pengaruh

dari intervensi yang tidak hanya untuk penurunan stunting. Kedua, memperkuat

lingkungan yang mendukung untuk gizi adalah investasi jangka panjang yang akan

bermanfaat bagi populasi yang lebih luas di luar anak-anak. Ketiga, menempatkan

inisiatif anti-stunting di dalam Kantor Wakil Presiden memberikan tingkat

kepemimpinan dan otoritas yang lebih tinggi dalam melakukan koordinasi lintas

sektor dan kementerian yang diperlukan untuk percepatan perbaikan gizi.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan lima kebijakan untuk Mengatasi Beban

Ganda Masalah Gizi di Indonesia, antara lain:

KEBIJAKAN 1: Menetapkan regulasi yang kuat untuk meningkatkan

komitmen dan alokasi anggaran untuk gizi di tingkat

pusat dan daerah.

KEBIJAKAN 2: Meningkatkan pemberian layanan gizi berkualitas untuk

semua masyarakat.

53
KEBIJAKAN 3: Meningkatkan kesadaran dan komitmen untuk perbaikan

gizi dengan menggunakan metode inovatif dan berbagai

saluran komunikasi.

KEBIJAKAN 4: Membangun sistem informasi dan bukti terkait gizi untuk

menyediakan sumber data yang kredibel dan tepat waktu

yang dapat digunakan untuk pengambilan keputusan.

KEBIJAKAN 5: Memperluas keterlibatan multi-sektor untuk mempercepat

perbaikan gizi.

54
BAB IV

PENUTUP

KESIMPULAN

1. Pemasalahan dan penyebab Beban Gizi Ganda di Indonesia

Adanya kasus kelebihan dan kekurangan berat badan di kalangan anak-anak

menunjukkan bahwa DBM di Indonesia sudah memprihatinkan. Stunting

merupakan masalah gizi utama, dan makin mengkhawatirkan mengingat

terdapatnya hubungan antara stunting dan risiko penyakit tidak menular di

kemudian hari, yang saat ini menjadi mayoritas beban penyakit di Indonesia.

Indonesia memberikan prioritas pada masalah kekurangan gizi dengan

perhatian khusus pada “Gizi Buruk” dalam menentukan situasi gizi nasional.

Pada masalah kelebihan gizi, beberapa data menunjukkan bahwa

kegemukan (obesitas) terus meningkat, persepsi yang salah telah

mengaburkan betapa mendesaknya masalah tersebut. Misalnya, banyak

kalangan berasumsi bahwa obesitas merupakan masalah eksklusif orang

kaya. Hal itu tidak benar. Meskipun obesitas meningkat seiring dengan

meningkatnya pendapatan, volume terbesar obesitas justru terkonsentrasi di

segmen ekonomi yang lebih bawah, dan dikondisikan dengan meningkatnya

lingkungan perkotaan yang menyebabkan obesitas (obesogenic). Yang paling

rentan di lingkungan ini adalah orang-orang dewasa yang paling miskin dan

juga yang mengalami stunting. Penyebab DBM di Indonesia yang telah

dikelompokkan menjadi 4 aspek, yaitu Lingkungan kesehatan dan biologis,

lingkungan ekonomi dan pangan, lngkungan fisik/bangunan, lingkungan

sosial budaya.

55
2. Hubungan antara fenomena beban gizi ganda dan dampak kesehatan

jangka Panjang serta cara mengatasinya pada masyarakat di Indonesia

Beban Ganda Masalah Gizi di Indonesia dikaitkan dengan meningkatnya usia

harapan hidup yang telah dipengaruhi oleh: pergeseran beban penyakit dari

penyakit menular ke penyakit tidak menular (PTM); peningkatan

kesejahteraan secara nasional disertai dengan peningkatan ketersediaan

pangan, yang telah menyebabkan peningkatan konsumsi lemak dan

makanan olahan per kapita; serta pertumbuhan urbanisasi dengan lebih

banyak orang yang tinggal di perkotaan dimana kota-kota tersebut tidak

ramah pejalan kaki dan kurangnya fasilitas yang mendorong aktivitas fisik.

Selain itu, Beban Ganda Masalah Gizi memiliki dampak di sepanjang siklus

kehidupan. Kerusakan yang paling parah dan berlangsung jangka panjang

terjadi pada periode pertumbuhan dan perkembangan yang cepat, khususnya

selama 1.000 hari pertama kehidupan (1.000 HPK) sejak masa kehamilan

hingga anak berusia dua tahun, dan selama masa remaja. Saat ini, Beban

Ganda Masalah Gizi paling umum terjadi di kelompok berpenghasilan tinggi

di Indonesia. Indonesia saat ini tidak hanya mengalami DBM, bahkan saat ini

sudah dikenal dengan TBM (Triple Burden Malnutrition) yang dikembangkan

menjadi masalah defisiensi energy dan protein (gizi buruk dan kurang, serta

stunting), defisiensi zat gizi mikro (anemia pada ibu hamil), dan kelebihan

energi (gizi lebih balita, gizi lebih penduduk usia > 18tahun). Namun, apapun

istilahnya, masalah gizi di Indonesia tetap menjadi prioritas utama untuk

ditanggulangi bersama. Diharapkan komitmen segala pihak untuk mengatasi

masalah gizi yang ada di Indonesia termasuk komitmen untuk meningkatkan

pola hidup sehat dan gizi seimbang pada setiap individu.

56
SARAN

Beberapa saran dan aksi kebijakan yang perlu dipertimbangkan untuk

mengatasi DBM di Indonesia, yaitu:

1. Kebijakan dan Rencana Gizi

Kebijakan dan Rencana Gizi yang perlu ditinjau lebih jauh untuk mencegah

DBM di Indonesia adalah sebagi berikut:

 Memastikan sedini mungkin bahwa program gizi di Indonesia berorientasi

menangani DBM, menyadari bahwa prioritas pertama untuk

melakukannya adalah dengan menangani masalah stunting melalui

peningkatan gizi ibu hamil dan anak usia dini, terutama dengan

menerapkan paket intervensi gizi langsung dari Lancet Nutrition Series.

 Memastikan bahwa rencana untuk dewan/forum gizi nasional tingkat

tinggi pada akhirnya mencakup rencana untuk menangani DBM, dengan

mengembangkan inisiatif yang ada saat ini melalui SUN (Scalling Up

Nutrition).

 Memastikan bahwa Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional

(RPJMN) dan Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi (RANPG)

mempertimbangkan DBM dengan memadai dan komprehensif.

2. Gizi Ibu Hamil, Bayi dan Balita

Pentingnya Gizi dimulai sejak dini yaitu gizi pada ibu hamil, bayi, dan balita

dapat dilakukan sebagai berikut:

 Memperkuat mekanisme yang sudah ada dan memastikan

dilaksanakannya Peraturan Pemasaran Susu Pengganti ASI, sehingga

bayi tidak lagi diberi susu pengganti ASI oleh pekerja kesehatan,

terutama pada saat kelahiran

57
 Memperkuat upaya untuk memperbaiki pola makan anak melalui

fortifikasi di rumah, fortifikasi makanan pendamping, dan/atau sumber

makanan hewani sesuai kebutuhan.

 Memperkuat semua upaya untuk mengendalikan defisiensi mikronutrien

ganda yang terus dialami ibu dan balita khususnya, melalui fortifikasi

dan/atau pemberian suplemen. Sebagai tindakan jangka pendek sampai

tingkat sanitasi membaik, perkenalkan pemberian obat cacing

(deworming) selama kehamilan sesuai rekomendasi WHO untuk

membantu mengendalikan anemia pada ibu hamil.

3. Keamanan Pangan dan Gizi

Keamanan Pangan dan Gizi dapat dilakukan sebagai berikut:

 Memperkuat aspek kebijakan pertanian dalam rangka mempromosikan

produksi sayuran dan buah-buahan melalui petani lokal berskala kecil,

tidak hanya untuk meningkatkan kualitas ketersediaan pangan tetapi juga

untuk meningkatkan pendapatan di kalangan miskin pedesaan, sehingga

baik keamanan pangan maupun keamanan gizi terjamin.

 Memperkuat semua program kesejahteraan sosial bagi ibu dan balita

dengan memastikan program bantuan tunai bersyarat termasuk

keterkaitannya dengan promosi tanaman panen bernilai gizi tinggi seperti

buah-buahan dan sayuran yang bisa atau seharusnya disediakan oleh

petani lokal berskala kecil melalui pasar petani lokal.

4. Pendidikan Gizi dan Gaya Hidup Sehat

Pendidikan Gizi dan Gaya Hidup Sehat merupakan salah satu faktor penting

dalam mengatasi DBM di Indonesia. Hal-hal yang dapat dilakukan seperti:

 Sebagai prioritas pertama untuk mengatasi masalah “stunting-obesitas-

penyakit tidak menular”, adalah pengembangan pendidikan gizi yang luas

58
dan efektif di seluruh Indonesia untuk mahasiswa, akademisi, pejabat

pemerintah, politisi, industri makanan, dan masyarakat umum

 Membuat rencana untuk menjadikan semua sekolah “ramah

gizi“ (termasuk adaptasi kurikulum), mulai tahun 2013 dengan inisiatif

percontohan di sekurang-kurangnya lima provinsi, dengan

mengembangkan upaya yang sudah ada melalui PMT-AS atau

Penyediaan Makanan Tambahan Anak Sekolah.

 Memastikan semua upaya pembangunan kapasitas para profesional di

bidang gizi serta petugas layanan kesehatan sepenuhnya memperhatikan

masalah DBM.

 Memperkenalkan peraturan nasional untuk mengurangi dampak

pemasaran makanan yang mengandung kadar tinggi lemak jenuh, asam

lemak-trans, gula bebas, atau garam pada anak-anak, dalam fungsi

rekomendasi kebijakan resolusi World Health Assembly WHA63.14.

Mengiklankan makanan apapun untuk anak-anak melalui media apapun

harus dilarang dan pelanggarannya diberikan hukuman.

 Mengambil tindakan untuk menjamin bahwa inisiatif perencanaan

perkotaan masa depan lebih “menunjang olahraga” dengan membuat

lebih banyak jalur sepeda, trotoar, daerah pejalan kaki dan taman.

5. Penelitian

Penelitian-penelitian yang dapat diteliti lebih lanjut seperti:

 Mengembangkan model untuk memperkirakan dampak ekonomi dan

fiskal DBM di sepanjang kehidupan.

 Menjajaki potensi dan kemungkinan untuk memberlakukan pajak atas

komoditas pangan impor yang menerima subsidi dari negara asalnya,

serta pajak atas makanan cepat saji tertentu, misalnya minuman yang

mengandung kadar gula tinggi, yang sangat bersifat obesogenik.

59
 Memeriksa kandungan lemak pada pola makanan nasional termasuk

kualitas lemak (berapa banyak asam lemak jenuh dan berapa banyak

asam lemak tak jenuh), serta jumlah dan sumber lemak trans yang

dikonsumsi.

 Melakukan survei gizi tingkat nasional untuk memastikan status zat

mikronutrien, terutama untuk anemia defisiensi besi, dan kekurangan

yodium, vitamin A dan seng.

60
DAFTAR PUSTAKA

1. Azwar, Azrul. Kecenderungan Masalah Gizi dan Tantangan di Masa Mendatang.

Dirjen Bina

2. David a Bender Depkes. 2004 Introduction to Nutrition and Metabolism. Taylor

and Francis e-library. New York.

3. Diana, R & Tanziha, I. 2020. Double-Duty Actions to Reduce the Double Burden

of Malnutrition in Indonesia. DOI: 10.2473/amnt. v4i4.2020. 326-334

4. Fitri, Widya Astuti dkk. 2020. Prevalensi dan Faktor yang Berhubungan dengan

Terjadinya Beban Gizi Ganda pada Keluarga di Indonesia.

5. Fuada, Novianty. 2010. Analisis Spasial Terhadap Perubahan Status Gizi Anak

Balita di Indonesia.

6. Haddad, L., Cameron, L. & Barnett, I. 2015 The Double Burden of Malnutrition in

SE Asia and the Pacific. Priorities, Policies and Politics. Health Policy Plan

7. Martin Eastwood. 2003. Principles of Human Nutrition, Blackwell Publishing

Company. Austarlia.

8. MEDIKA Jurnal Kedokteran Indonesia. 2017. Menghadapi Beban Ganda

Malnutrisi .

9. Nugent, R., Levin, C., Hale, J., & Hutchinson, B.. 2019. Economic Effects of the

Double Burden of Malnutrition. The Lancet.

61
Malnutrition in Eastern Indonesia: Does food access matter?
Arina Nur Fauziyah¹
1
Alumni Program Pascasarjana Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi & Bisnis, Universitas Indonesia,

Contact: fauziyah.arin@gmail.com
Reviewed September 28 2016, and accepted on November 5, 2016

Abstrak
Meningkatnya prevalensi kekurangan gizi dan kelebihan berat badan di Indonesia Timur menimbulkan dugaan bahwa keter-
batasan akses pangan, baik dari sisi akses ke pasar maupun akses secara ekonomi berpengaruh terhadap beban ganda malnu-
trisi. Studi ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh akses pangan terhadap kekurangan gizi pada balita dan kelebihan berat
badan individu dewasa serta kemungkinan terjadinya beban ganda malnutrisi dalam satu rumah tangga di Indonesia Timur.
Dengan menggunakan data IFLS East tahun 2012 dan metode estimasi probit serta probit with sample selection, hasil studi
menemukan bahwa keterbatasan akses pangan secara ekonomi, dari sisi pendapatan dan harga pangan pokok tidak hanya
meningkatkan kemungkinan kekurangan gizi pada anak balita, tetapi juga dapat beban ganda malnutrisi dalam satu rumah
tangga. Hasil studi ini mengimplikasikan bahwa diperlukan kebijakan yang berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya
karena kecenderungan malnutrisi yang dialami juga berbeda. Selain itu, diperlukan pula upaya peningkatan pendapatan mas-
yarakat serta kebijakan stabilisasi harga pangan, terutama pangan pokok untuk mengatasi malnutrisi, termasuk menurunkan
kemungkinan beban ganda malnutrisi dalam satu rumah tangga di Indonesia Timur.

Kata kunci : Malnutrisi, Kemiskinan, Indonesia Timur.

Abstract
The increasing of underweight and overweight prevalence in Indonesia represented that Indonesia faces double burden of malnutri-
tion. From these fact, we suggest that lack of food access, either geographically or economically leads to adult’s overweight, but in other
side child tends to be underweight. This study aimed to analyze the impact of food access to child undernutrition, adult overweight,
and possibilities of the occurrence of household double burden of malnutrition in the Eastern of Indonesia. Using IFLS East Data 2012
and estimate with probit and probit with sample selection, this study found that lack of food affordability lead to malnutrition. These
result imply that the policies are needed to tackling malnutrition in the Eastern of Indonesia should be different between each province
and also needed policy to increase income and stabilizing food price.

Keywords: Malnutrition, Poverty, East Indonesia

Pendahuluan memprediksi Indonesia berpotensi kehilangan produkti-


Dalam beberapa tahun terakhir, fakta prevalensi menun- vitas hingga US$ 4,47 Triliyun pada tahun 2012 sampai
jukkan bahwa Indonesia mempunyai masalah malnutrisi 2030. Di Indonesia, sebagian besar kematian pada kelom-
yang serius, tidak hanya mengalami kekurangan nutrisi pok umur di atas 45 tahun disebabkan oleh penyakit tidak
saja tetapi juga kelebihan berat badan. Data riset kese- menular, di mana hampir 60 persen kematian di atas 65
hatan dasar tahun 2010 dan 2013 menunjukkan prev- tahun juga disebabkan oleh penyakit stroke, hipertensi,
alensi kekurangan nutrisi yang cenderung meningkat di dan jantung (Kemenkes, 2007). Oleh karena itu, seharus-
kelompok umur balita, di mana prevalensi berat kurang nya para pemangku kepentingan dapat segera mengambil
meningkat dari 17,9 persen menjadi 19,6 persen, sedang- langkah-langkah dan kebijakan yang tepat untuk mengan-
kan pada kelompok individu dewasa, hampir sepertiga tisipasi hal ini.
penduduk dewasa mengalami kelebihan berat badan. Fak- Karena nutrisi yang masuk ke dalam tubuh tergantung
ta tersebut mengindikasikan bahwa Indonesia mengalami dari pangan yang dikonsumsi, maka secara tidak langsung
beban ganda malnutrisi yang ditandai dengan mening- keterjangkauan terhadap pangan juga menjadi penentu
katnya prevalensi kelebihan berat badan dan kekurangan asupan nutrisi yang dikonsumsi. Di Indonesia, sebagian
nutrisi. besar daerah yang terindikasi mengalami keterbatasan
Baik kekurangan nutrisi maupun kelebihan berat akses pangan sehingga mengakibatkan malnutrisi yaitu
badan dapat menyebabkan biaya ekonomi yang tinggi sei- daerah-daerah di Indonesia Timur. Prevalensi malnutrisi
ring dengan meningkatnya risiko penyakit tidak menu- di Indonesia Timur tidak hanya tinggi pada kekurangan
lar dan risiko kematian (Willett, Dietz & Colditz, 1999). nutrisi anak usia balita, di mana prevalensi kekurangan
Dengan meningkatnya risiko tersebut, WEF (2010) nutrisi menjadi masalah berat (di atas 30 persen) dan

Malnutrisi di timur Indonesia 13 Fauziyah


masalah serius (di atas 40 persen), namun prevalensi karena adanya kemungkinan faktor-faktor yang memen-
kelebihan berat badan usia dewasa di daerah Indonesia garuhi keputusan rumah tangga untuk memiliki anak,
Timur juga relatif tinggi (di atas prevalensi nasiona. Be- maka diperlukan uji sample selection untuk dapat me-
berapa di antaranya yaitu Papua dan Papua barat yang mastikan hal ini agar hasil estimasi yang diperoleh tidak
besarnya sekitar 30 persen (Riskesdas, 2013). Di sisi menimbulkan bias (Wooldridge, 2009). Oleh karena itu,
lain, keterbatasan kondisi geografis maupun ekonomi di digunakan metode estimasi probit with sample selection
wilayah Indonesia Timur mengindikasikan keterbatasan untuk memperkirakan beban ganda malnutrisi.
akses pangan di wilayah tersebut. Dari sisi geografis, fak- Dalam studi ini, kekurangan nutrisi balita didefinisikan
ta menunjukkan bahwa dari banyaknya desa yang tidak sebagai kondisi gizi buruk sedangkan overweight didefi-
dapat dilalui sepanjang tahun di Indonesia, lebih dari nisikan sebagai kondisi overweight dan obesitas. Adapun
50 persennya berada di Papua (DKP &WFP, 2015). Se- rumah tangga akan dikategorikan mengalami beban gan-
dangkan dari sisi ekonomi, tingkat kemiskinan dan har- da malnutrisi apabila dalam satu rumah tangga tersebut
ga pangan yang relatif tinggi di wilayah Indonesia Timur terdapat individu dewasa yang mengalami overweight dan
mengindikasikan ketidakterjangkauan pangan karena anak balita mengalami gizi buruk (Doak, 2005).
daya beli yang rendah. Keterbatasan akses terhadap pan- Variabel bebas yang menjadi fokus utama dalam studi
gan tidak hanya dapat menyebabkan masalah kekurangan ini adalah variabel-variabel yang merepresentasikan ak-
nutrisi, tetapi juga dapat menyebabkan kelebihan berat ses pangan yaitu harga pangan dan pendapatan (diproksi
badan jika sebagian besar pangan yang dikonsumsi ada- dengan pengeluaran perkapita) untuk mengukur akses
lah makanan penghasil energi tetapi kandungan nutrisi pangan secara ekonomi dan akses menuju pasar sebagai
mikronya cenderung sedikit (Tanumihardjo, et.al, 2007). ukuran dari akses pangan secara geografis.
Dengan berdasarkan fakta dan penjelasan tersebut, Dengan memperhatikan kandungan nutrisi dan persen-
maka dapat diduga bahwa akses pangan berpengaruh tase pengeluaran terbesar konsumsi pangan, jenis pangan
terhadap malnutrisi di daerah Indonesia Timur, di mana yang harganya dimasukkan dalam estimasi adalah beras,
malnutrisi ini tidak hanya masalah kekurangan nutrisi ikan segar, dan daging ayam. Informasi harga ini diperoleh
saja, tetapi juga kelebihan berat badan. Melalui studi ini, dari modul komunitas dan merupakan harga yang berlaku
keterkaitan antara akses pangan terhadap beban ganda di pasar. Adanya masalah missing value karena komoditas
malnutrisi di Indonesia Timur, baik dari sisi kekurangan pangan tersebut tidak dijual di pasar akan diatasi dengan
nutrisi, kelebihan berat badan, maupun kemungkinan be- menggunakan harga median di kecamatan, kabupaten,
ban ganda malnutrisi dalam satu keluarga akan dianalisis atau provinsi yang sama. Adapun untuk mengukur akses
lebih lanjut. menuju pasar, estimasi diproksi dengan waktu tempuh
Pada bagian selanjutnya akan membahas tentang yang diperlukan untuk menuju pasar serta dummy ak-
metode yang digunakan dalam studi, hasil estimasi yang ses pasar yang buruk. Untuk mengontrol variabel utama
telah dilakukan, pembahasan dan kesimpulan. tersebut, dimasukkan pula variabel-variabel karakteristik
rumah tangga dan individu dalam estimasi tersebut.
Metode Penelitian Hasil Penelitian
Data yang digunakan dalam studi ini yaitu data sekunder Dari sampel sebanyak 1.305 anak balita dan 3.923
Indonesia Family Life Survey (IFLS) East tahun 2012. Di orang individu berumur 19-50 tahun, prevalensi status
dalamnya mencakup hasil survei terhadap 10.887 orang gizi per-Propinsi dari keduanya dapat disajikan sebagai
di 2.547 rumah tangga dan 98 desa yang tersebar di tu- berikut (Gambar 1).
juh provinsi di Indonesia bagian timur. Ketujuh provinsi
tersebut yaitu Nusa tenggara timur, Kalimantan timur,
Sulawesi tenggara, Maluku, Maluku utara, Papua, dan
Papua barat (Sikoki, Witoelar, Strauss, Meijer, & Surias-
tini, 2013).
Untuk mengestimasi malnutrisi pada balita serta indi-
vidu dewasa digunakan metode estimasi probit, sedang-
kan untuk mengestimasi beban ganda malnutrisi diperlu- Gambar 1. Prevalensi Status Gizi Anak Balita dan Individu Dewasa
kan informasi status gizi anak balita dan individu dewasa per Propinsi
sehingga beban ganda malnutrisi hanya akan terobservasi Setiap propinsi memiliki kecenderungan malnutrisi
pada rumah tangga yang memiliki anak balita. Namun, yang berbeda. Di NTT, baik anak balita maupun indivi-

Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia 14 Volume 1, Nomor 2


du dewasa cenderung mengalami kekurangan gizi yang Pada tabel 1 tampak bahwa pengeluaran perkapita dan
ditandai dengan prevalensi underweight dan kurus yang harga beras secara statistik berpengaruh terhadap mal-
relatif lebih tinggi dibandingkan dengan daerah lain. Se- nutrisi, kondisi ini mengindikasikan bahwa status gizi
baliknya, di daerah Kalimantan timur cenderung men- masyarakat sangat ditentukan oleh daya beli pangan mas-
galami kelebihan berat badan. yarakat.

Malnutrisi di timur Indonesia 15 Fauziyah


Korelasi positif antara pengeluaran perkapita dengan Pembahasan
kemungkinan dialaminya kelebihan berat badan mengin- Hasil studi ini membuktikan secara empiris bahwa keter-
dikasikan kurangnya kesadaran masyarakat atas mas- jangkauan pangan secara ekonomi berpengaruh terhadap
alah kesehatan yang diakibatkan oleh obesitas. Dengan malnutrisi di Indonesia timur, tidak hanya kekurangan
meningkatnya pendapatan dan urbanisasi, jenis pangan gizi yang dialami oleh anak balita, tetapi juga kelebihan
yang dikonsumsi juga cenderung berubah dari makanan berat badan yang dialami oleh individu dewasa. Karena
tradisional yang banyak mengandung serat ke makanan akses pangan secara ekonomi ini diukur dari sisi pendapa-
yang banyak mengandung kalori dan gula sehingga ke- tan dan harga pangan, maka secara tidak langsung dapat
mungkinan kelebihan berat badan juga akan meningkat dikatakan pula bahwa kedua hal tersebut turut berkon-
(Romling & Qaim, 2011; Popkin, 1999). Dari sisi tempat tribusi terhadap status gizi masyarakat secara umum di
tinggal, signifikansi dummy tinggal di desa mempertegas Indonesia bagian timur.
bahwa meningkatnya urbanisasi serta aktifitas ekonomi Meningkatnya pengeluaran perkapita yang ekuivalen
di sektor jasa yang mengimplikasikan aktifitas fisik yang dengan meningkatnya pendapatan akan memberi insentif
rendah berpengaruh pada penggunaan kalori dan berat bagi rumah tangga atau individu untuk memilih mening-
badan individu (Monda et.al, 2007). Selain itu, kebiasaan katkan kuantitas pangan yang dikonsumsi atau mening-
merokok juga berpengaruh pada kemungkinan seseorang katkan kualitas pangannya. Jika rumah tangga atau in-
mengalami kelebihan berat badan. Meskipun kebiasaan dividu cenderung memilih untuk menambah kuantitas
merokok berkorelasi negatif dengan kemungkinan seseo- pangan pokok yang dikonsumsi dibandingkan dengan
rang mengalami kelebihan berat badan (tabel 1), namun meningkatkan kualitas nutrisi pangan yang dikonsumsi,
orang yang memiliki kebiasaan merokok memiliki waist- maka pola konsumsi tersebut dalam jangka panjang akan
hip ratio yang lebih besar, yang berarti risiko penyakit kar- berimplikasi pada tidak terpenuhinya kebutuhan nutrisi
diovaskular juga lebih tinggi (Chiolero, 2008). mikro lainnya dan dalam jangka panjang dapat menye-
Sedangkan beberapa aspek yang juga berpengaruh pada babkan malnutrisi berupa kelebihan berat badan. Namun
gizi buruk anak balita yaitu kejadian diare, masalah san- jika dengan meningkatnya pendapatan dapat mendorong
itasi, serta tingkat pendidikan ibu (tabel 1). Signifikan- masyarakat untuk meningkatkan kualitas pangan yang
si dummy kepemilikan jamban mendukung hasil studi dikonsumsi, maka peningkatan pendapatan dapat menjadi
Humphrey (2009), di mana anak yang tinggal di rumah kunci utama untuk mengatasi masalah malnutrisi, teruta-
yang bersih dengan sanitasi yang bersih akan menurunk- ma di Indonesia timur.
an prevalensi parasit sehingga anak juga dapat tumbuh Selain pendapatan rumah tangga, hasil studi juga
dengan sehat karena tidak mudah terkena penyakit. Se- mengindikasikan adanya perubahan perilaku konsumsi
dangkan signifikansi hasil dummy diare terhadap keku- masyarakat di Indonesia timur sebagai akibat dari peru-
rangan gizi anak tersebut menunjukkan bahwa anak balita bahan harga beras, yang selanjutnya berpengaruh pada
yang mengalami diare akan cenderung kesulitan menyer- status gizi masyarakat. Terdapat dua kemungkinan peru-
ap nutrisi dari makanan (Guerrant, et.al, 1992). Kondisi bahan perilaku rumah tangga dalam merespon kenaikan
diare juga membuat daya tahan tubuh balita melemah dan harga beras, yang pertama yaitu rumah tangga akan mem-
rentan terserang infeksi (Baqui, 2006), dengan demikian, pertahankan kuantitas beras yang dikonsumsi dan yang
asupan gizi yang ada akan diprioritaskan untuk digunakan kedua adalah mensubstitusi beras dengan pangan pokok
oleh tubuh guna memperbaiki sel-sel tubuh yang rusak lain yang lebih terjangkau secara ekonomi. Dengan jenis
dan melawan infeksi dibandingkan untuk proses pertum- pangan pokok di Indonesia timur yang lebih beragam
buhan (Katona & Katona-Apte, 2008; Patwari, 1999) . dibandingkan dengan di daerah lainnya (DKP & WFP,
Oleh karena itu, proses pertumbuhan pun terhambat. 2015), maka meningkatnya harga beras cenderung akan
Terhadap kemungkinan beban ganda malnutrisi, sig- mendorong terjadinya substitusi beras dengan pangan
nifikansi jumlah anggota rumah tangga terhadap beban pokok lainnya. Beban ganda malnutrisi dapat terjadi jika
ganda malnutrisi mengindikasikan bahwa jumlah anggota rumah tangga cenderung mensubstitusi pangannya dengan
rumah tangga yang semakin banyak cenderung berpotensi pangan yang dinilai oleh individu dewasa dapat menggan-
untuk meningkatkan kemungkinan terjadinya ketimpan- tikan kebutuhan kalori dari pangan yang mengalami ke-
gan alokasi sumberdaya dalam rumah tangga tersebut se- naikan harga, sehingga individu dewasa akan cenderung
hingga kemungkinan individu dalam rumah tangga men- mengalami kelebihan berat badan akibat substitusi pangan
galami malnutrisi akan semakin besar. ini, tetapi di sisi lain anak balita akan cenderung mengala-
mi kekurangan nutrisi karena kebutuhan nutrisinya tidak

Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia 16 Volume 1, Nomor 2


dapat dipenuhi dari substitusi pangan tersebut. Humphrey, J. H. (2009). Child undernutrition, tropical en-
teropathy, toilets, and handwashing. Lancet , 374, 1032-
Kesimpulan 1035.
Studi ini menunjukkan bahwa meningkatnya prevalensi Katona, P, dan J Katona-Apte. 2008. The interaction be-
beban ganda malnutrisi di Indonesia timur tidak hanya tween nutrition and infection. Clinic Infectious Diseases.
dipengaruhi oleh karakteristik individu maupun rumah Kemenkes. (2007). Riskesdas tahun 2007. Jakarta: Ke-
tangga saja, namun juga dapat dipengaruhi oleh keter- menterian Kesehatan.
jangkauan pangan secara ekonomi, di mana perubahan Kemenkes. (2010). Riskesdas Tahun 2010. Jakarta: Ke-
pendapatan dan harga pangan dapat mengubah perilaku menterian Kesehatan RI.
konsumsi pangan individu atau rumah tangga dan secara Kemenkes. (2013). Riskesdas Tahun 2013. Jakarta: Ke-
tidak langsung juga berpengaruh pada status gizi mas- menterian Kesehatan RI.
yarakat. Dengan demikian, maka upaya yang dilakukan Monda, K.L., P. Gordon-Larsen, J. Stevens, dan B.M. Pop-
untuk mengatasi masalah beban ganda malnutrisi di Indo- kin. 2007. China’s transition: the effect of rapid urbaniza-
nesia timur ini tidak cukup hanya melakukan intervensi tion on adult occupational physical activity. Social science
pada aspek kesehatan saja, tetapi juga harus memperhati- & Medicine 64 (4): 858-870.
kan aspek keterjangkauan terhadap pangan, baik dari sisi Popkin, B.M. 1999. Urbanization, lifestyle changes and the
pendapatan maupun harga pangan itu sendiri. Intervensi nutrition transition. World Development, 27, 1905-
terhadap peningkatan pendapatan dan stabilisasi harga 1916.
pangan pokok diperlukan agar tidak memberi insentif Romling, Cornelia, dan Matin Qaim. 2011. Direct and in-
bagi rumah tangga untuk mensubstitusi pangannya den- direct determinants of obesity: The case of Indonesia. Pro-
gan pangan lain yang memiliki kandungan energi lebih ceeding of the German Development Economics Con-
banyak tetapi sedikit kandungan nutrisi lainnya. ference, Berlin 2011.
Sikoki, B., & et.al. (2013). Indonesia Family Life Sur-
Daftar Pustaka vey-East: User’s guide and field report. University of
Baqui, Abdullah H. 2006. Diarrhoea and malnutrition in Southern California: SurveyMETER.
children. British Medical Journal. Tanumihardjo, e., Tanumihardjo, S. A., Anderson, C.,
Chiolero, A. 2008. Consequences of smoking for body weight, Kaufer-Horwitz, K., Bode, L., Nancy, E. J., et al. (2007).
body fat distribution, and insulin resistance. The Ameri- Poverty, Obesity, and Malnutrition: An international per-
can Journal of Clinical Nutrition 87: 801-9. spective recognizing the paradox. Journal of the American
DKP & WFP. 2015. Food security and vulnerability atlas of Dietetic Association , 107, 1966-1972.
Indonesia. Jakarta: Kementerian Pertanian. WEF. (2010). Global risk 2010: A global risk network report.
Doak, C., Adair, L., Bentley, M., Monteiro, C., & Popkin, Willett, W. C., Dietz, W. H., & Colditz, G. A. (1999).
B. (2005). The dual burden household and the nutrition Guidelines for healthy weight. The New England Journal
paradox. International Journal of Obesity , 29, 129- of Medicine , 427-434.
136. Wooldridge, J. M. (2009). Introductory econometrics (4e
Guerrant, R. L., Schorling, J. B., McAuliffe, J. F., & de Sou- ed.). Canada: South-Western.
za, M. A. (1992). Diarrhea as a cause and an effect of
malnutrition: Diarrhea prevents catch-up growth and mal-
nutrition icreases diarrhea frequency and duration. Amer-
ican Journal of Tropical Medicine and Hygiene , 47,
28-35.

Malnutrisi di timur Indonesia 17 Fauziyah


ARTIKEL

Beban Ganda;
Permasaiahan Keamanan Pangan di Indonesia
Oleh:
Purwiyatno Hariyadi

RINGKASAN
Keamanan pangan merupakan prasyarat bagi suatu produk pangan, yang
harus ditangani secara terpadu, melibatkan berbagai stakeholders; baik dari
pemerintah, industri, dan konsumen. Pada kenyataannya; Indonesia harus
menanggung beban ganda keamanan pangan. Beban pertama berkaitan dengan
masalah-masalah mendasar keamanan pangan; terutama masih belum
diaplikasikannya prinsip GMP dengan baik. Beban kedua, secara khusus
berkaitan dengan industri pangan Indonesia yang berorientasi ekspor; yang harus
menghadapi berbagai isu keamanan pangan baru yang selalu bermunculan dari
waktu ke waktu, berubah-ubah dan berbeda dari satu negara ke negara lainnya.
Penyebab permasaiahan beban ganda keamanan pangan di Indonesia ini
adalah belum dipahami dan disadarinya arti strategis keamanan pangan. Oleh
karena itu, pemerintah perlu memberikan perhatian yang layak pada (i)
pembenahan infrastruktur keamanan pangan, (ii) program pendidikan pada
produsen dan konsumen, (iii) prioritas alokasi dana untuk pembengunan
keamanan pangan dan (iv) pembinaan dan fasilitasi prasarana untuk industri
kecil dan menengah. Secara khusus, pemerintah Indonesia perlu memberikan
prioritas yang cukup pada pembinaan dan fasilitasi prasarana keamanan pangan
untuk industri kecil dan menengah. Peningkatan kondisi keamanan pangan
industri kecil menengah ini akan memberikan dampak pada peningkatan status
kesehatan masyarakat, peningkatan daya saing produk, dan pada gilirannya
akan meningkatkan produktivitas dan akan berkontribusi pada peningkatan daya
saing bangsa.

I. PENDAHULUAN baik. Tidak ada artinya berbicara citarasa dan


Dengan semakin meningkatnya status nilai gizi, atau pun mutu dan sifat fungsional
sosial dan pendidikan masyarakat, yang bagus, tetapi produk tersebut tidak aman
maka negara mempunyai tanggung- dikonsumsi.
jawab, tidak hanya untuk menjamin pasokan Untuk memahami peranan keamanan
produk pangan dalam jumlah dan gizi yang pangan; maka pada bagian ini akan
cukup (nutritionally adequate), tetapi juga didiskusikan konsep nilai pangan (value of
produk pangan tersebut harus aman (safe). foods). Nilai pangan adalah suatu apresiasi
Dalam hal ini, keamanan pangan merupakan yang diberikan oleh konsumen terhadap
prasyarat bagi pangan bermutu dan bergizi produk pangan ketika konsumen tersebut

Edisi No. 51/XVII/Juli-September/2008 PANGAN 17


akan memutuskan untuk membeli produk 2. 1. Kondisi Keamanan Pangan Domestik
pangan (willingness to buy). Kondisi keamanan pangan domestik -
Mengingat peranan pangan sedemikian salah satunya- bisa dilihat dari data keracunan
penting dalam kehidupan manusia yang sehat pangan (Tabel 1). Pada Tabel 1 terlihat bahwa
dan produktif (Hariyadi, 2007), maka semakin catatan mengenai KLB dan jumlah orang yang
penting pula peranan keamanan dan mutu sakit karena pangan meningkat sejak tahun
pangan. Dalam konteks nilai pangan secara 2004. Hal ini sulit dikaitkan dengan kondisi
keseluruhan, maka keamanan pangan keamanan pangan yang semakin buruk; tetapi
merupakan prasyarat bagi pangan yang lebih karena intensitas pencatatan yang sekain
bermutu. Dengan demikian, sangat penting meningkat; khususnya oleh Direktorat
untuk mengembangkan sistem pangan Surveilan & Penyuluhan Keamanan Pangan,
nasional Indonesia yang bisa menjamin BPOM.
tersedianya pangan dengan tingkat keamanan Perlu diingat bahwa; jika pun terdapat
yang baik, yaitu produk pangan yang bebas sistem peiaporan yang baik; biasanya angka
dari (i) faktor yang tidak halal dan (ii) faktor yang tercatat hanya merupakan porsi sangat
yang tidak sehat, seperti cemaran biologis, kecil saja dari sedemikian besar kejadian
kimia, dan benda lain yang dapat meng- keracunan pangan yang terjadi di masyarakat.
ganggu, merugikan, dan membahayakan Fenomena ini sering disebut sebagai
kesehatan manusia. fenomena gunung es; dimana terjadi under
repoding, sehingga data yang tercatat hanya
II. KONDISI KEAMANAN PANGAN merupakan sebagian kecil saja dari kejadian
PRODUK INDONESIA yang sesungguhnya.
Secara legal formal, arti penting Menurut catatan WHO (1984), fenomena
keamanan dan mutu pangan ini telah gunung es ini terjadi bahkan di negara maju
mendapatkan perhatian pemerintah. Hal ini dimana sistem peiaporan dan pencatatan data
dibuktikan dengan diberlakukannya undang- keracunan pangan telah mapan. Di negara-
undangtentang pangan yaitu Undang-Undang negara industri maju, WHO (1984) meyakini
No. 7 tahun 1996 yang banyak menyinggung bahwa hanya sekitar 10% dari kejadian
mengenai keamanan, mutu, dan gizi pangan. keracunan pangan yang berhasil dicatat oleh
Namun demikian, kenyataan formal di atas lembaga-lembaga resmi. Di negara-negara
kertas tersebut berbeda dengan kondisi nyata berkembang; fenomena gunung es ini lebih
di lapangan. signifikan lagi; dan diperkirakan bahwa data
yang tercatat kurang dari 1% kejadian

Tabel 1. Data Rangkuman Kasus Keracunan Pangan Tahun 2001-2006

Tahun Jumlah KLB Jumlah Makan Jumlah Sakit Jumlah Meninggal

2001 25 1965 1183 16


2002 43 6543 3635 10
2003 34 8651 1843 12
2004 164 22297 7356 51
2005 184 23864 8949 49
2006 159 21282 8747 38

Data diperoleh dari Direktorat Surveilan & Penyuluhan Keamanan Pangan, BPOM. 2008

18 PANGAN Edisi No. 51/XVIl/JuIi-September/2008


keamanan pangan yang sesungguhnya Secara kualitatif, data yang ada
(WHO, 1984). WHO (1984) menyatakan menunjukkan rendahnya kondisi sanitasi dan
bahwa untuk setiap satu (1) orang atau kasus higienitas sarana produksi pangan di
yang berkaitan dengan penyakit karena Indonesia. Data KLB yang tercatat (tahun
pangan di negara berkembang; maka paling 2001-2006, n=610 KLB), diketahui bahwa
tidak terdapat sembilan puluh sembilan (99) penyebab keracunan utama adalah karena
orang atau kasus lain yang tidak tercatat. mikroba dan umumnya terjadi pada produk
Data yang tercatat BPOM (Tabel 1) pangan yang dihasilkan oleh IRT (Industri
menunjukkan angka keracunan yang sangat Rumah Tangga) dan jasa Boga (Gambar 1;
minim. Kenaikan angka sejak tahun 2004 BPOM, 2008). Diduga jenis mikroba
hanyalah merupakan akibat dari penyebab keracunan yang paling sering
meningkatnya intensitas pencatatan. Namun adalah Staphylococcus aureus, Salmonella,
demikian, peningkatan intensitas pencatatan Vibrio chloreae. Hal ini sesuai dengan hasil
sejak 2004 itupun masih belum memadai, inspeksi BPOM yang mengatakan bahwa dari
karena jika dikalikan dengan 100 pun, angka 4.007 sarana produksi yang diperiksa pada
yang tercatat tersebut masih lebih kecil 2007, sebanyak 2.271 (57 %) sarana yang
daripada angka yang dicatat oleh lembaga di tidak memenuhi ketentuan; sehingga tidak
AS. Dilaporkan oleh USFDA bahwa setiap mampu menerapkan GMP (good
tahunnya, di AS, mikroba patogen diperkirakan manufacturing practices) secara konsisten.
menyebabkan sekitar 76 juta kasus penyakit Bahkan, industri rumah tangga pangan (IRTP),
karena pangan, 325.000 kasus perawatan di sebesar 76 % dari total sarana tidak
rumah sakit, dan 5.200 kematian. memenuhi ketentuan. Masalah utama yang
Rendahnya data tentang kasus perlu segera dipecahkan pemerintah adalah
keracunan pangan tersebut juga tidak sesuai memfasilitasi IRTP mampu melengkapfdirinya
dengan kenyataan tentang redahnya tingkat dengan sarana dan prasarana sanitasi dan
kepatuhan terhadap ketentuan peraturan higienitas sehingga melaksanakan proses
perundang - undangan di bidang produksi, produksi pangan sesuai dengan kaidah GMP.
distribusi dan peredaran produk pangan
(BPOM, 2007).

119= 116 = Mikroba


Tdk ada sampel Pangan Lain-lain, Belum Dilanoron. 19
Jajanan.
93

66 = kimia

IRT, 258

Jasa Boga,
N = 610 143
309 = tdk terdeteksi Pangan Olahan.
96
A. B.

Gambar 1.Penyebab keracunan pangan (A) dan jenis Industri yang memproduksi pangan
bermasalah (B) selama tahun 2001-2006 (BPOM, 2007).

Edisi No. 51/XVII/Juli-September/2008 PANGAN 19


2.2. Kondisi Keamanan Pangan Produk dilihat dari kinerja ekspor pangan dan
Ekspor pertanian ke AS; khususnyatercermin dengan
Dalam kondisi perdagangan pangan banyaknya penolakan produk pangan oleh
internasional, keamanan pangan telah US-FDA (http://www.fda.gov/ora/oasis:
menjadi prasyarat yang tidak bisa dibendung. Gambar 2). Menurut data tersebut, mulai
Persyaratan keamanan pangan yang baik dan Januari 2001 sampai dengan September
sesuai dengan standar internasional yang 2005, setiap tahunnya tercatat setidaknya
ketat sering menjadi hambatan bagi produk sebanyak lebih dari 300 kasus (bahkan
pangan Indonesia dalam menembus pasar sampai lebih dari 700 kasus pada tahun 2001)
internasional. Tidak jarang Indonesia harus penolakan produk Indonesia masuk ke AS,
mengalami kerugian ekonomi sebagai akibat lebih dari 80 % adalah produk pangan.
hambatan dan penolakan produk pangan Berbagai fator keamanan pangan digunakan
dalam perdagangan internasional. oleh US-FDA sebagai alasan penolakan
Kondisi keamanan pangan produk produk-produk pangan Indonesia.
Indonesia untuk ekspor; salah satunya bisa

70

• Filthy a Salmonella
CD Filthy + Salmonella^ Filthy + other
H Thermal process a Other

2001
jEiisittte
2002 2003 2004 2005

Gambar 2. Persentase penolakan produk pangan Indonesia ke US pada tahun 2001-2005 (Data
dikumpulkan dari: http://www.fda.aov/ora/oasis).

20 PANGAN Edisi No. 51,'XVIl/Juli-September/2008


Jadi, kinerja produk Indonesia untuk berbeda dari satu negara ke negara lainnya.
menembus pasar AS, dilihat dari aspek Perbedaan ini banyak dipengaruhi oleh
keamanan pangan masih sangat perbedaan pendapatan. kebiasaan, pola
memprihatinkan. Sekitar 33-80% (rata-rata makan dan lain sebagainya; yang
62%) produk pangan ditolak karena alasan perubahannya semakin dinamis dan cepat.
"filth/' (Gambar 3). Secara umum, filthydapat Perubahan ini antara lain disebabkan karena
diartikan bahwa pada produk tersebut faktor-faktor (i) perubahan praktek pertanian
mengandung "sesuatu yang tidak selayaknya (termasuk peternakan dan perikanan), (ii)
ada dalam bahan pangan tersebut". Penyebab meningkatnya perdagangan internasional, (iii)
adanya filthy adalah karena masih kurang perubahan teknologi pengolahan, (iv)
diterapkannya prinsip-prinsip penanganan dan perubahan proporsi populasi (perubahan
pengolahan yang baik. Dengan kata lain, proporsi populasi yang rentan), (v)
kepada produsen produk pangan dan hasil meningkatnya perjalanan (baik nasional
pertanian Indonesia masih perlu maupun internasional), (vi) perubahan gaya
diperkenalkan, disosialisasikan, dan diawasi hidup, dan (vii) munculnya ancaman
untuk menerapkan good practices (Hariyadi bioterrorisme.
dan Dewanti-Hariyadi, 2003).

Gambar 3. Jenis produk pangan ekspor Indonesia yang ditolak oleh AS pada tahun 2001-2005 ((Data
dikumpulkan dari: http://www.tda.gov/ora/oasis).

III. ISU-ISU YANG BERMUNCULAN Berbagai faktor tersebut telah


mengakibatkan munculnya berbagai isu baru
Disamping masalah-masalah mendasar terkait dengan keamanan pangan. Beberapa
keamanan pangan; terutama masih belum diantaranya akan diuraikan berikut:
diaplikasikannya prinsip GMP dengan baik,
Industri pangan Indonesia -khususnya yang 3.1. Emerging Chemical Food Safety
berorientasi ekspor- juga harus menghadapi
Permasaiahan kimia keamanan pangan
berbagai isu keamanan pangan baru yang
umumnya berkisar pada adanya peluang
selalu bermunculan dari waktu ke waktu. Isu
terjadinya kontaminasi dengan bahaya-
keamanan pangan yang bermunculan bahaya kimia; seperti pestisida, residu obat
(emerging) itu selalu berubah-ubah dan

Edisi No. 5l/XVII/Juli-September/2008 PANGAN 21


hewan, residu hormon, mikotoksin dan yang diperbolehkan pada air minum sebanyak
kontaminan lainnya. Dengan perubahan dan 5 ppb. Sebagai catatan, batas maksimum
perkembangan teknologi; dibantu dengan benzena pada air minum menurut World
majunya teknik deteksi dan analisis, maka Health Organization (WHO) adalah 10 ppb.
berbagai kontaminan baru terkait dengan Hubungan antara benzene dan
keamanan pangan banyak yang bermunculan. keamanan pangan muncul karena adanya
Disamping itu, muncul pula istilah "processing kebiasaan pemakaian benzoat pada minuman
contaminants'" yaitu kontaminan yang bervitamin C. Vitamin C akan bereaksi dengan
diproduksi selama proses pengolahan pangan logam (Cu dan Fe) dari air untuk menghasilkan
(terutama selama proses pemanasan, dan hidroksi radikal (OH*); yang selanjutnya akan
fermentasi). Kontaminan ini tidak terdapat menyerang benzoat sehingga mengalami
pada bahan baku sebelum diolah; tetapi proses dekarboksilasi. Salah satu hasil proses
dibentuk oleh reaksi kimia tertentu selama dekarbolsilasi itu adalah benzena.
proses pengolahan. Keberadaan "kontaminan
pengolahan" ini tidak bisa dihindari; namun 3.1.3. Monochloropropanediol (3-MCPD)
pemilihan dan pengendalian teknologi Monochloropropanediol pertama kali
pengolahan yang lebih baik perlu dilakukan diidentifikasi pada produk hidrolisis asam
untuk bisa meminimisasi pembentukan protein nabatri (acid-HVP). Selanjutnya
kontaminan pengolahan tersbut. diketahui bahwa senyawa ini ditemukan pula
Pada tulisan ini akan disajikan beberapa pada berbgai produk pangan olahan lainnya;
saja beberapa isu mutakhir terkait dengan seperti produk pastries, salami, keju. Dalam
bahan kimia kontaminan dan kontaminan perkembangannya diketahui bahwa beberapa
pengolahan tersebut. faktor yang diduga berkaitan dengan proses
pembentukannya adalah suhu, a dan pH;
3.1.1. Akrilamida pada produk goreng. tetapi sampai sekarang belum diketahui
Akrilamida -yang secara kimia disebut lintasan umum pembentukannya. Untuk itu,
juga 2-propenamide: ethylene carboxamide; berbagai peraturan telah dibuat untuk
acrylic amide; atau vinyl amide- adalah mengendalikan resiko keamanan pangan dari
senyawa kimia yang dicurigai bersifat 3-MCPD. Peraturan tersebut -misalnya-
karsinogenik (menyebabkan kanker) pada membatas peng'gunaan HVP sebagai
manusia. Dalam kaitannya dengan keamanan ingredien flavor.
pangan; ternyata senyawa akrilamida
terbentuk selama proses pengolahan bahan 3.1.4. Food Contact Materials
pangan kaya karbohidrat dengan Food contact materials adalah semua
menggunakan suhu sangat tinggi, yaitu proses bahan dan komponen yang 'dengan sengaja"
pemanggangan dan penggorengan akan mengalami kontak dengan bahan
Dalam bentuk murninya, akrilamida yang pangan, tidak hanya yang berkaitan dengan
mempunyai rumus kimia CH2CHCONH2 dan bahan pengemas, tetapi juga pisau, wadah,
berat molekul 71 ini berupa senyawa tidak dan alat-alat pengolahan lainnya. Bahkan,
berwama dan tidak berbau. Mengingat produk istilah ini juga mencakup bahan dan
pangan goreng merupakan produk yang komponen yang mengalami kontak dengan air
popular di Indonesia; maka perkembangan yang digunakan untuk konsumsi manusia.
penelitian mengenai akrilamida ini perlu selalu Secara umum food contact materials
diikuti dan dicermati dengan baik. harus aman dan tidak menyebabkan
terjadinya transfer atau migrasi ke dalam
3.1.2. Benzena pada produk minuman. bahan pangan melebihi jumlah yang bisa
Benzena merupakan senyawa yang diterima secara keamanan pangan. Dalam
bersifat karsinogenik. Karena sifatnya itu kaitannya dengan keamaman pangan, dikenal
maka the US Environmental Protection ada dua batas migrasi telah ditetapkan; yaitu
Agency (EPA) menetapkan batas maksium Overall Migration Limit (OML) dan Specific

22 PANGAN Edisi No. 51/XVIl/Juli-September/2008


Migration Limit (SML). Dalam upaya Labeling and Consumer Protection Act).
memastikan perlindungan kesehatan Sayang Indonesia belum melangkah ke sana.
konsumen dan menghindari adanya
kontaminasi pada bahan pangan; maka perlu 3.2. Emerging Food Science Technology
ditetapkan batas migrasi: baik OML maupun Perkembangan ilmu dan teknologi
SML. pangan selalu membawa berbagai
konsekuensi baru; termasuk dalam hal
3.1.5. Allergen keamanan pangan. Berbagai perkembangan
Alergen pangan adalah komponen dalam baru di bidang ilmu dan teknologi pangan yang
bahan pangan yang bisa menyebabkan reaksi perlu diperhatikan antara lain adalah (i)
alergi. Alergen pangan diyakini menjadi bioteknologi, (ii) teknologi pengolahan non
penyebab masalah alergi bagi sekitar 11 juta thermal, (iii) teknologi nano, (iv) nutrigenomik
manusia dewasa dan anak-anak di Amerika. dan (v) culinologi (Hariyadi, 2006).
Di Inggris, masalah alergi ini dialami oleh
sekitar 1-2% populasi penduduk dewasa dan 3.2.1. Bioteknologi.
sekitar 5-7% populasi anak-anak, atau sekitar Perkembangan bioteknologi pangan
1,5 juta penduduk Inggris. Angka populasi dengan memunculkan aneka bahan dan
yang mengalami masalah alergi ini di produk pangan yang dimodofikasi secara
Indonesia belum diketahui. Tetapi jelas, genetik (genetically modified foods) telah
walaupun masalah alergi ini sepertinya hanya memunculkan kontroversi keamanan pangan
mempengaruhi populasi dalam proporsi yang yang cukup berkepanjangan. Hal ini antara
relatif kecil, namun implikasi kesehatannya lain disebabkan karena adanya unsur sosial,
bisa sangat serius. Bahkan, menurut laporan budaya dan politik yang juga mewarnai
Journal of Allergy and Clinical Immunology, di perdebatan keamanan pangan produk GMF
Amerika Serikat saja, setiap tahun sekitar ini. Perkembangan ini juga melahirkan "anti-
lebih dari 29.000 orang harus dirawat di rumah trend" yaitu munculnya produk-produk pangan
sakit dan 150 sampai 200 orang meninggal organik. Dalam kaitannya dengan
karena reaksi alergi yang disebabkan perlindungan konsumen; tidak hanya dalam
mengkonsumsi produk pangan yang kaitannya dengan keamanan pangan tetapi
mengandung alergen. juga hak konsumen atas informasi yang benar,
Sebenarnya lebih dari 170 jenis pangan maka pengaturan klaim dan sertifikasi perlu
telah diketahui mengandung komponen yang mendapatkan perhatian pemerintah.
bisa memicu reaksi alergi. Namun demikian,
terdapat delapan (8) jenis bahan pangan 3.2.2. Teknologi Non-Thermal
penyebab terjadinya sekitar 90% kasus-kasus
Perkembangan teknologi non-thermal -
reaksi alergi karena pangan. Delapan jenis
seperti misalnya teknologi pengolahan dengan
bahan pangan tersebut adalah susu, ikan,
tekanan ultra _tinggi (high pressure
udang dan kerang-kerangan, kacang tanah,
processing), pulsed-electric fields dan pulsed
kacang pohon (tree nuts), gandum, dan
light untuk keperluan pengolahan dan
kedelai serta produk-produk turunannya.
pengawetan pangan. Pengaruh pengawetan
Untuk melindungi konsumen dari
teknologi non-thermal ini diperoleh karena
ketidaksengajaan atau ketidaktahuan
kemampuannya membunuh sel-sel
mengkonsumsi produk pangan yang
mikroorganisme. Pemastian mengenai tingkat
mengandung alergen pangan, maka
inaktivasi mikroorganizme pathogen -
pemerintah perlu mengembangkan regulasi
khususnya mengenai kinetika inaktiviasi dan
yang mengenai allergen ini. Sebagai ilustrasi,
penentuan kecukupan inaktiviasi dalam
sejak Agustus tahun 2004,di AS diterbitkan
kaitannya dengan keamanan pangan- perlu
Undang-Undang Pelabelan Alergen dan dirumuskan dengan baik.
Perlindungan Konsumen (Food Allergen

Edisi No. 5l/XVII/Juli-September/2008 PANGAN 23


Termasuk dalam kelompok teknologi non Dengan semakin dipahaminya karakter
thermal ini adalah teknologi lama, yaitu genetik manusia; serta interaksi antara
irradiasi pangan. Teknologi irradiasi ini komponen gizi atau komponen lainnya dengan
berpotensi untuk diaplikasikan untuk aneka ekspresi gen, maka akan muncul jenis-jenis
proses pengawetan pangan; namun produk pangan khusus yang didisain untuk
aplikasinya terkendala dengan persepsi populasi dengan karakteristik genetik tertentu.
masyarakat atas keamanan pangan produk Perkembangan ini melahirkan istilah
yang diirradiasi. Di samping ituada pula faktor prescribed nutrition; atau semacam
keselamatan kerja yang kaitannya dengan specialized functional foods untuk fungsi dan
instalasi peralatan irradiasi. Teknologi non target konsumen tertentu. Lagi-lagi;
thermal yang lain adalah membrane perkembangan ini perlu diantisipasi dari sisi
separation technology- yang mulai banyak regulasinya; sehingga aplikasi teknologi ini
dikembangkan; khususnya untuk pengawetan bisa memberikan manfaat bagi kesehatan
produk cair. Untuk memberikan peluang publik.
aplikasi teknologi dan sekaligus memberikan
kepastian keamanan pangan pada konsumen, 3.2.5. Kulinologi
maka perlu dilakukan kajian mendalam Terminologi kulinologi diambil dari
mengenai berbagai teknologi baru ini. culinolgy; yaitu istilah yang diperkenalkan oleh
Research Chefs Association (RCA) di
Amerika. Secara umum, kulinologi adalah
3.2.3. Teknologi Nano
ilmu yang memadukan seni dan ilmu kuliner
Perkembangan teknologi nano telah
dengan ilmu pangan dan gizi. Paduan ini
sedemikian pesat; sehingga produk pangan
semakin hari semakin dirasakan
dengan ukuran nano telah mulai dipasarkan.
kepentingannya; mengingat perubahan gaya
Kata "nano" itu sendiri merupakan awalan
hidup masyarakat konsumen modern;;
pada sistem satuan internasional (System of
khsususnya dengan meningkatnya frekuensi
International Unit) yang merupakan faktor dari
eating out. Dengan frekuensi "makan di luar"
10-9. Nano teknologi adalah teknologi yang
yang semakin tinggi; maka tuntutan atas mutu
mampu memanipulasi dan menghasilkan
dan keamanan pangan produk yang disajikan
bahan atau partikel dengan ukuran kecil; yaitu
oleh para koki (chefs) juga akan semakin
lebih kecil dari 100 nano meter (nm).
tinggi. Tidak lagi produk pangan yang
Dengan ukuran yang lebih kecil; maka
disajikan harus lezat; tetapi juga harus aman
tingkah laku pindah massa nya (difusi,
dan bermutu.
adsorpsi dan penyerapannya) akan berbeda
Dengan berkembangnya outlet-outlet
dengan ingridien dalam ukuran biasa;
aneka produk pangan yang praktis; maka
sehingga perlu ada kajian untuk memastikan
kebutuhan dan aplikasi kulinologi menjadi
bahwa produk hasil teknologi ini mempunyai
sangat penting; untuk tetap memberikan
tingkat keamanan yang baik.
jaminan keamanan pangan. Dalam hal ini,
semua pihak perlu mengantisipasi
3.2.4. Nutrigenomik.
perkembangan ini dengan baik; antara lain
Istilah nutrigenomik merupakan
dengan mempersiapkan kebutuhan SDM;
gabungan dari istilah gizi (nutrition) dan
regulasi, standardisasi, dll.
genomik. Nutrigenomik muncul karena
adanya perkembangan yang pesat dan saling
3.3. Emerging Pathogens
interaksi antar berbagai bidang ilmu; terutama
Patogen-patogen baru bermunculan
ilmu gizi. biologi molekuler, genetika molekuler,
(emerging pathogens) adalah (i) patogen
imunologi. patologi, toksikologi. fisiologi, dan
penyebab penyakit yang kejadiannya
bioinformatika. Secara khusus; nutrigenomik
meningkat dalam 2 dekade terakhir atau
mempelajari interaksi antara komponen gizi
diperkirakan akan meningkat dalam waktu
dan komponen bioaktif pangan dan
pengaruhnya pada pola- pola ekspresi gen.

24 PANGAN Edisi No. 51/XVIl/Juli-Septembcr/2008


dekat, (ii) patogen yang mengalami evolusi orang-orang yang berniat menyebarkan terror.
dan mengakibatlkan penyakit yang berbeda. Walaupun permasaiahan ini belum mencuat
(iii) patogen yang sudah dikenal dan menyebar di Indonesia; tetapi bagi Industri yang harus
ke daerah atau populasi baru, (iv) patogen melakukan ekspor ke beberapa Negara maju
lama yang muncul melalui pangan "baru" (ke Amerika, Australia dan Eropa -misalnya)
(emerging vehicle), terdapat dalam pangan harus mengikuti ketentuan-ketentuan
melalui skema yang "baru" atau meningkat tambahan yang berkaitan dengan mengurangi
resistensinya terhadap antibiotika, dan (v) kemungkinan terjadinya bioterorisme ini.
patogen yang perlu diwaspadai (Dewanti-
Hariyadi, 2008). IV. BEBAN GANDA KEAMANAN PANGAN
Beberapa patogen diketahui hanya pada DI INDONESIA
waktu-waktu terakhir saja menjadi penyebab Pembahasan berbagai isu terkait
utama penyakit yang ditularkan melalui keamanan pangan di atas menggambarkan
pangan, seperti Listeria monocytogenes dan bahwa Indonesia menghadapi permasaiahan
Campylobacter jejuni. Secara tradisional, pangan pada dua tingkat yang berbeda; yaitu
pangan yang berkaitan dengan penyebab (i) tingkat mendasar, karena buruknya
kajadian penyakit karena pangan adalah praktek-praktek pengolahan pangan; dan (ii)
daging, unggas dan pangan laut yang dimasak tingkat "emerging" yang selalu berubah; yang
kurang matang, atau susu tanpa pasteurisasi. terutama karena permasaiahan yang terkait
Menurut catatan McClure (2006) dari dengan perdagangan internasional. Karena
Unilever R&D Colworth, beberapa pathogen alasan ini, Indonesia menanggung beban
baru yang muncul selama 30 tahun terkahir ganda (double burden) keamanan pangan.
adalah (1) Campylobacter jejuni, (2) Kedua beban keamanan pangan ini
Cryptosporidium parvum, (3) Cyclospora mempunyai kondisi, tantangan dan implikasi;
cayatanensis, (4) Listeria monocytogenes, (5) serta pemecahannya yang berbeda.
Noroviruses, Rotavirus, (6) Salmonella
enterica Enteritidis, S.Typhimuhum DT 104. 4.1. Beban Pertama
(7) Verocytotoxigenic E. coli, (8) Vibrio Beban pertama ini biasanya berkaitan
cholerae, V. vulnificus, V. parahaemolyticus, dengan masih belum diaplikasikannya kaidah
dan (9) Yersinia enterocolitica. Untuk praktek pengolahan pangan yang baik;
kelompok virus, Norovirus, Rotavirus dan terutama oleh industri pangan skala kecil dan
Hepatitis E merupakan emerging pathogens rumah tangga. Kenyataan bahwa lebih separo
yang patut diwaspadai (Dewanti-Hariyadi; (57 %) sarana produksi pangan tidak
2008). Khususnya dengan semakin derasnya memenuhi ketentuan (BPOM, 2007). Kondisi
arus perdagangan internasional maka sarana produksi industri rumah tangga pangan
Indonsia perlu mengantisipasi hal ini dengan (IRTP) lebih buruk lagi. Pada tahun 2007
serius; paling tidak dengan melakukan kajian tercatat sebesar 76 % dari total sarana tidak
risiko mengenai berbagai emerging pathogens memenuhi ketentuan. Hal ini tercermin
tersebut. dengan peningkatan kasus penolakan pangan
eskpor oleh US-FDA; lebih dari 60% alasan
3.4. Bioterorisme penolakannya adalah karena filthy. Data
Isu terkait dengan bioterorsime ini keracunan pangan juga mengindikasikan
mengemuka terutama di Negara-negara maju; bahwa pengolahan pangan di industri pangan
khususnya dipicu dengan peristiwa 9/11 di AS. masih belum memenuhi standar keamanan
Jika permasaiahan keamanan pangan yang pangan. Untuk itu perlu didorong penerapan
telah dibahas didepan masuk dalam kategori Good Manufacturing Practices (GMP).
unintended contamination; maka permas Disamping itu, masih ditemukannya cemaran
aiahan keamanan pangan yang terkait dengan bahan kimiawi, yang terutama berasal dari
bioterorisme ini lebih fokus pada kontaminasi BTP yang tidak memenuhi syarat, masih
yang memang disengaja dilakukan oleh kurangnya kesadaran dan pemahaman

Edisi No. 51/XVII/Juli-September/2008 PANGAN


masyarakat umum mengenai keamanan Sedangkan pihak industri pangan
pangan. Untuk itu perlu dilakukan program berperan untuk mengembangkan dan
komunikasi keamanan pangan yang strategis melakukan penjaminan (i) terlaksananya cara-
untuk dapat menurunkan terjadinya kasus cara yang baik dalam pengolahan,
keracunan makanan, yaitu melalui kampanye penyimpanan dan distribusi pangan, (ii)
dan gerakan internalisasi GMP dan kebiasaan pengendalian dan jaminan mutu pangan
sanitasi dan higiene dasar. olahan, (iii) teknologi dan pengolahan pangan,
(iv)tersedianya manager dan tenaga pengolah
4.2. Beban Kedua pangan yang terlatih, dan (v) pelabelan yang
Beban kedua umumnya berkaitan dengan informatif dan pendidikan konsumen.
industri skala menengah dan besar yang Konsumen juga bertanggung jawab dalam hal
memproduksi dan memasarkan produknya (i) memperoleh pengetahuan umum yang
pada pasar internasional. Penerapan GMP berhubungan dengan keamanan pangan, (iif
yang masih tetap harus ditingkatkan; industri berperilaku seletif dalam menentukan pilihan
pangan dengan sasaran ekspor perlu produk, (iii) melaksanakan praktek
memperhatikan pula isu keamanan pangan penanganan pangan di rumah secara baik dan
yang selalu bermunculan (emerging); yang aman, (iv) membangun partisipasi
sering berubah dari waktu ke waktu, berbeda masyarakat, dan (v) membangun kelompok-
tergantung dari negara tujuan ekspor. Untuk kelompok konsumen yang aktif.
ini, diperlukan pemutakhiran pemahaman Namun demikian, pemerintah tetap
tentang standar keamanan pangan merupakan penggerak utama dan pihak yang
internasional. Untuk sasaran ekspor, paling bertanggungjawab atas keamanan
pemerintah bersama industri perlu pangan ini. Penyebab permasaiahan beban
memperhatikan penyediaan informasi ganda keamanan pangan di Indonesia ini
mengenai keamanan pangan serta sarana umumnya karena (i) infrastruktur yang belum
dan prasarana termasuk keperluan mantap, (ii) tingkat pendidikan produsen dan
laboratorium analisis dan sertifikasi yang konsumen yang masih rendah, (iii) sumber
diperlukan untuk memernuhi persyaratan dana yang terbatas dan (iv)produksi makanan
tersebut. masih didominasi oleh industri kecil dan
menengah dengan sarana/prasarana yang
V. PENUTUP kurang memadai. Namun akar masalah
Keamanan pangan harus ditangani utama keamanan pangan di Indonesia adalah
secara terpadu, melibatkan berbagai belum dipahami dan disadarinya arti strategis
stakeholders; baik dari pemerintah, industri, keamanan pangan dalam pembangunan
dan konsumen. Karena itu, pada dasarnya nasional.
upaya penjaminan keamanan pangan di suatu Karena itulah maka pemerintah tidak
negara merupakan tanggung jawab bersama memberikan perhatian yang layak pada (i)
oleh berbagai stakeholder (WHO, 1996). pembenahan infrastruktur keamanan pangan,
Tanggung jawab pemerintah dalam (ii) program pendidikan pada produsen dan
kebijakan mutu dan keamanan pangan adalah konsumen, (iii) priorita alokasi dana untuk
(i) menyusun legislasi dan peraturan hukum pembengunan keamanan pangan dan (iv)
di bidang pangan, (ii) memberikan masukan pembinaan dan fasilitasi prasarana untuk
dan bimbingan pada industri pangan, (iii) industri kecil dan menengah. Dalam kaitannya
memberikan pendidikan bagi masyarakat dengan beban ganda keamanan pangan,
konsumen tentang pentingnya keamanan maka pemerintah Indonesia perlu
pangan, (iv) melakukan pengumpulan memprioritaskan pada pembinaan dan
informasi dan penelitian di bidang keamanan fasilitasi prasarana keamanan pangan untuk
pangan, dan (v) menyediakan sarana dan industri kecil dan menengah, yang
prasarana pelayanan yang terkait dengan permasaiahan keamanan pangan lemah dan
bidang kesehatan.

26 PANGAN Edisi No. 5l/XVII/Juli-September/2008


Peningkatan
Kinerja
Fisik

Peningkatan Mutu, Peningkatan Peningkatan Peningkatan


Gizi dan Keamanan —• Status b
Kinerja w Daya Saing
Pangan Kesenatan Intelektual Bangsa

Peningkatan
Kinerja
Kreatif/lnovatit

Gambar 4. Peningkatan mutu, gizi dan keamanan pangan dan daya saing bangsa.

kurangnya prasarana, serta jumlah industri DAFTAR PUSTAKA


kecil dan menengah ini sangat banyak.
BPOM, 2007. Laporan Akuntabilitas kinerja Instansi
Secara mendasar upaya menjamin Pemerintah (LAKIP) badan POM Tahun 2007.
keamanan pangan berarti pula menjamin www.pom.go.id. Di akses tanggal 30 Juni 2008.
pemenuhan hak-hak azasi masyarakat. Lebih BPOM, 2008. Klb Keracunan Pangan Tahun 2001-
lanjut, peningkatan kondisi keamanan pangan 2006. Direktorat Surveilan dan Penyuluhan
Keamanan Pangan, BPOM.
suatu negara akan menyebabkan peningkatan Dewanti-Hariyadi, R. 2008. Emerging Foodborne
status kesehatan masyarakat, peningkatan Pathogens. Makalah untuk BPOM.
daya saing produk, dan pada gilirannya akan Hariyadi. P and Dewanti-Hariyadi, R. 2003. The Need
meningkatkan produktivitas yang akan of Communicating Food Safety In Indonesia
Di dalam "Food Quality; A Challenge For North
berkontribusi pada peningkatan daya saing and South", pp. 265-274. A publication of IAAS
bangsa (lihat Gambar 4). Belgium vz, Coupure Links 653 B-9000 Gent.
Kondisi keamanan pangan yang baik Belgium.
akan menghasilkan manusia yang lebih sehat, Hariyadi, P. 2006. Emerging Food Technology
Presentasi untuk BPOM.
lebih produktif, menurunkan kasus penyakit Hariyadi. P. 2007. Pangan sebagai Hak Azasl.
asal pangan (foodborne disease) dan KONTAN, Minggu III. Oktober 2007
menurunkan beban biaya-biaya yang harus WHO. 1984. The Role of Food Safety in Health and
dikeluarkan untuk kasus atau wabah penyakit Development. Report of a Joint FAO/'WHO
Expert Committee on Food Safety. Geneva,
asal pangan, menurunkan kasus-kasus World Health Organization, 1984 (WHO
penolakan ekspor, meningkatkan arus Technical Report Series, No 705).
turisme, dan meningkatkan reputasi negara WHO. 1996 Guidelines for Strengthening a National
dalam percaturan internsional. Karena itulah Food Safety Programme. Food Safety Unit,
Division of Food and Nutrition, WHO, 1996.
perlu ada upaya sungguh-sungguh dari
pemerintah untuk membenahi permasaiahan
BIODATA PENULIS :
keamanan pangan ini alokasi dana publik
untuk memperkuat sistem keamanan pangan. Purwiyatno Hariyadi adalah Direktur Southeast
Asian Food and Agricultural Science and
Technology (SEAFAST) Center, IPB-Bogor. Ketua
Umum Perhmpunan Ahli Teknologi Pangan
Indonesia (PATPI) 2006-2008.

Edisi No. 51/XVII/Juli-September/2008 PANGAN


ANALISIS SPASIAL TERHADAP PERUBAHAN STATUS GIZI ANAK BALITA
DI INDONESIA (RISKESDAS 2007 2010)

Analysis Spatial for Changes in Nutritional Status of Children Under-Five in


Indonesia (RISKESDAS 2007 and 2010)

Noviati Fuada Sri Poedji Hatuty'


' Peneliti Pusat Teknologi Intervensi Kesehatan Masyarakat
Email: fuada1411@gmail.com

Diterima: 1 Desember 2014; Direvisi: 6 Februari 2015; Disetujui: 27 Maret 2015

ABSTRACT

Transitions nutritional status is a reflection of the general transition, such as demographics, food,
education and health. Demographic Transition reciprocally affects the transition in nutrition/health. This
analysis was aimed to identifr the distribution of the area and the differentiating factor of the double
burden malnutrition on the children under five. Analysis was performed using aggregated National Data
from Susenas 2007-2010 and Riskesdas 2007-2010. Unit analysis is the province. Spatial analysis was
done with overlay method. The Analysis showed that high levels of potentially affected areas with double
burden malnutrition were all of province in Kalimantan, Sulawesi and Maluku. Additionally was DKI
province, Central Java, North Sumatra, South Sumatra, Riau Islands, Bangka Belitung and Lampung.
Those situation is need to be concerned especially with demographic bonus phenomena. Demographic
Bonus becomes a problem, if it is not accompanied by an increment in education, skills, health. When
assuming other factor remain, it is predicted that in the event of the demographic bonus, there will be also
a double burden malnutrition problems. Distribution of areas that experience with double burden
malnutrition, clustered in regions outside Java, it shows social disparities still exist among Indonesian,
community. Susceptible areas of double burden malnutrition was spread outside Java. Namely,
Kalimantan, Sulawesi, Maluku. Sumatra, Riau Islands, Bangka Belitung.

Keywords: Double burden, Transitions, dependency ratio, spatial

ABSTRAK

Transisi status gizi merupakan refleksi fenomena transisi umum, seperti demografi, pangan, pendidikan dan
kesehatan. Transisi demografi berpengaruh secara timbal balik terhadap transisi gizi/kesehatan. Tujuan dari
analisis ini yaitu mengetahui sebaran daerah beban gizi ganda (double burden) balita. Analisis dilakukan
dengan menggunakan data Agregat Susenas 2007-2010 dan Riskesdas 2007- 2010. Unit analisis adalah
Provinsi. Analisis spatial menggunakan metode overlay. Hasil analisis menunjukkan bahwa daerah rawan
transisi status gizi ganda yaitu seluruh wilayah Kalimantan, Sulawesi dan Maluku. Selain itu adalah, DKI,
Jateng, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Kepulauan Riau, Bangka Belitung dan Lampung. Faktor
determinan pembeda adalah angka rasio ketergantungan. Keadaan tersebut perlu dicermati kaitannya
dengan fenomena bonus demografi. Bonus demografi menjadi masalah jika tidak dibarengi dengan
peningkatan pendidikan, keterampilan, kesehatan. Apabila asumsi faktor lain tetap, maka diperkirakan jika
terjadi bonus demografi, akan terjadi pula masalah beban ganda. Sebaran daerah yang mengalami beban
ganda mengelompok di wilayah Luar Pulau Jawa ini menunjukkan masih terjadinya kesenjangan sosial
pada masyarakat di Indonesia. Daerah rawan transisi beban gizi ganda sebagian besar menyebar di luar
Pulau Jawa. Yaitu, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Sumatra, Riau Islands, Bangka Belitung.

Kata kunci: Beban ganda, status gizi, rasio ketergantungan, spatial

PENDAHULUAN 2003). Perubahan status gizi merupakan salah


Perubahan (transisi) satu komponen penentu terjadinya transisi
demografi
demografis selain transisi pangan, pendidikan
adalah berkembangnya keadaan peralihan
dan kesehatan. Transisi demografi telah
penduduk yang semula relatif tetap
(stationer) berkembangnya dengan pesat dan mempengaruhi secara timbal batik terhadap
akhirnya mencapai tetap kembali (Daldjoeni, perubahan status gizi dan kesehatan.

69
Jumal Ekologi Kesehatan Vol. 14 No 1, Maret 2015: 69 — 80

Perubahan status gizi terjadi di adanya transisi pola konsumsi, yang diduga
negara yang mengalami perubahan berpengaruh terhadap perubahan status gizi
demografi. Di Indonesia permasalahan status anak balita.
gizi kurang atau belum terselesaikan, di sisi
Selain transisi kesehatan, transisi
lain terjadi pertumbuhan yang sangat pesat
pangan juga berpengaruh pada perubahan
terhadap populasi, perekonomian, arus
status gizi anak balita. Transisi pangan
informasi dan kesejahteraan, yang
ditandai dengan perubahan pola konsumsi
berdampak terhadap tingkat pengetahuan
yang terjadi. Keseimbangan ketersediaan
maupun gaya hidup yang dapat menimbulkan
pangan secara tidak langsung dapat
pola penyakit ganda. Kondisi ini ditunjukkan
mempengaruhi keadaan status gizi Terutama
dengan belum terselesaikannya penyakit-
keadaan status gizi balita. Sementara
penyakit seperti ISPA, kekurangan gizi dan
terjadinya transisi status gizi, dapat
gizi buruk serta kecenderungan peningkatan
menimbulkan masalah gizi ganda (double
terhadap penyakit jantung, diabetes,
burden). Menurut FAO 2006, masalah gizi
hipertensi dan kanker.
ganda merupakan keadaan pada suatu
Sementara pada orang dewasa masyarakat dengan gizi kurang dan gizi lebih
menunjukkan data pergeseran pola penyakit. yang terjadi bersamaan (Budi Artiya, IPB,
Penyakit infeksi berangsur turun sedangkan 2013) Pada kasus gizi kurang (BB/U) secara
penyakit menahun yang disebabkan oleh nasional sudah terjadi penurunan prevalensi.
penyakit degeneratif, diantaranya penyakit Tahun 2007 sebesar 18,4 persen turun
Diabetes Mellitus meningkat dengan tajam menjadi 17,9 persen pada tahun 2010
(Suyono, 2005). Hal ini tidak menutup (Kemenkes RI, 2010). sementara 14 persen
kemungkinan terjadi pergeseran pola pada rentang usia yang sama mengalami
penyakit pada balita. kegemukan. Sedangkan prevalensi malnutrisi
pada anak usia sekolah (6-12 tahun) sebesar
Empat penyakit yaitu, penyakit
11,2 persen dan kegemukan 9,2 persen
jantung, diabetes, hipertensi dan kanker yang
(RISKESDAS, 2010 ).
berkorelasi erat dengan obesitas. Tingginya
asupan asam lemak jenuh, rendahnya asupan Prevalensi yang hampir berimbang
sayur dan buah, rendahnya tingkat aktivitas tersebut perlu dicermati karena tidak
fisik serta diadopsinya pola hidup dan menutup kemungkinan menggambarkan
kebiasaan makanan junk food juga suatu fenomena gunung es adannya dualisme
meningkatkan resiko obesitas (Saptawati masalah gizi di masyarakat.
Bardososno, 2012). Sedangkan pada balita
Masalah gizi merupakan masalah
terdapat kecenderungan pola penyakit infeksi
multi dimensi yang disebabkan faktor
yang masih tinggidan didominasi oleh ISPA
langsung maupun tidak langsung. Penyebab
dan Diare. Sementara untuk Pnemunomia ada
tidak langsung adalah tidak cukup
penurunan dari tahun 200 sampai dengan
tersedianya pangan di rumah tangga, kurang
2009 (Ditjen PPM-PL Depkes RI,2012).
baiknya pola pengasuhan anak terutama
Data Riskesdas 2010 mensarikan, dalam pola pemberian makan pada balita,
masalah kekurangan konsumsi energi dan kurang memadainya sanitasi dan kesehatan
protein terjadi pada semua kelompok umur, lingkungan serta kurang baiknya pelayanan
terutama pada anak usia sekolah (6-12 kesehatan (Roedito D, 2003). Pola pemberian
tahun), usia pra remaja (13-15 tahun), usia makan pada anak balita dapat dilihat dari
remaja (16-18 tahun), dan kelompok ibu tingkat kecukupan energy protein keluarga.
hamil, khususnya ibu hamil di perdesaan. Faktor lain, yang mempengaruhi adalah
Sementara, data BPS menunjukkan, tahun tingkat ekonomi, sosial dan pendidikan orang
2002 sampai dengan 2009, konsumsi protein tua balita. Perubahan perubahan pada faktor
bersumber nabati cenderung mengalami tersebut dapat mempengaruhi pula perubahan
penurunan, sebaliknya konsumsi protein satatus gizi anak balita. Bila keadaan di
bersumber hewani (daging, ikan, telur, susu) masyarakat terjadi kenaikan status gizi
cenderung mengalami peningkatan (BPS kurang dan lebih secara bersamaan maka hal
Survei Sosial Ekonomi Nasional, 2010),. ini akan mengindikasikan adanya transisi gizi
Keadaan tersebut menunjukan indikasi ganda.

70
Analisis spasial terhadap perubahan (Noviati F & Sri PH)

Secara nasional terjadi penurunan BAHAN DAN CARA


status gizi kurang (BB/U), namun masih
Jenis Analisis non-intervensi, desain
terdapat kesenjangan antar provinsi.
potonglintang. Sampel: Data Agregat
Sementara secara nasional kecenderungan
Susenas 2007-2010 dan Riskesdas 2007-
dari tahun ke tahun, setelah tahun 2000 gizi
2010 (RT yang mempunyai balita dan status
kurang meningkat kembali. Gambaran yang
Gizi balita). Unit analisis adalah Provinsi.
terjadi pada gizi buruk yaitu dari tahun 1989
Analisis spatial menggunakan metode
sampai tahun 1995 meningkat tajam, lalu
tumpang tindih.
cenderung fluktuatif sampai dengan tahun
2003 (Azrul Azwar, 2004). Cara Analisis : Tahap awal dalam
analisis ini melalcukan verifikasi data untuk
Akan tetapi, masih terdapat
mengetahui kelengkapan semua variabel
pandangan umum bahwa, gambaran keadaan
yang diperlukan, kemudian dilakukan
status gizi masyarakat Indonesia sampai saat
pengecekan terhadap sebaran nilai dari setiap
ini belum memuaskan (Depkes RI, 2009)
variabel dengan cara membuat frekuensi
Kecenderungan perubahan status gizi distribusi. Analisis spatial yang digunakan
secara nasional hanya dipantau melalui menggunakan metode overlay/tumpang
kegiatan penelitian dan survei. Pada tulisan tindih merupakan proses dua peta tematik
ini akan di analisis perubahan status gizi dengan area yang sama dan menghamparkan
mengunakan spatial dengan GIS untuk satu dengan yang lain untuk membentuk satu
melihat gambaran sebaran perubahan status layer peta bans. Selanjutnnya dilakukan
gizi di Indonesia. penabelan data. Penabelan dimaksudkan
Informasi perubahan status gizi anak untuk mengelompokan data sehingga mudah
balita sangat diperlukan untuk mendukung dibedakan diatas peta secara gradasi. Data
pengambilan kebijakan kesehatan yang tepat. diklasifikasikan berdasarkan presentile value
Analisis spatial dengan metode overlay dengan metode equal group (Wahyono T,
2002).
(tumpang tindih) dapat memberikan
informasi yang menggambarkan fakta Selain dilakukan katagori, juga
wilayah sebagai pengambilan keputusan dilakukan pembobotan. Angka pembobotan
untuk mendukung informasi dan mudah berbeda pada masing masing variabel.
dipahami. Pembobotan ini bertuj uan untuk
membedakan tingkatan (klasifikasi).
Tujuan, untuk mengetahui sebaran
perubahan status gizi ganda anak balita Kemudian variabel di petakan berdasarkan
(double burden) pada balita. fakta wilyah sebagaiman tercantum pada
kerangka tematik (Gambar 3)

Perubahan KK Miskin
Perubahan Pendidikan Dasar
Perubahan Angka Ketergantungan
Perubahan Pangan

Daerah Sebaran Perubahan Faktor Daerah Sebaran Perubahan


Gizi Ganda Gizi Ganda

Daerah Sebaran Perubahan Gizi Ganda dan


Sebaran Faktor Pembeda Daerah Gizi Ganda
Gambar 1. Fakta wilayah

71
Jumal Ekologi Kesehatan Vol. 14 No 1, Maret 2015 : 69 — 80

Variabel yang dianalisis bersumber Melakukan overlay pada keempat variabel.


dari Riskesdas dan Susenas. Meliputi data Penabelan data dimaksudkan untuk
tahun 2007 dan data tahun 2010. Variabel mengelompokkan data sehingga mudah
Riskesdas meliputi data status gizi balita, dibedakan diatas peta secara gradasi.
konsumsi keluarga yang memiliki balita,
dimana angka kecukupan gizi (AKG) kurang
dari 80 % AKG energy dan energi protein. HASIL
Sedangkan variabel yang bersumber dad data
Keempat variabel yang dipetakan
Susenas meliputi, inflasi, angkatan kerja,
terangkum pada tabel I. Variabel delta
angka pengangguran, dependency ratio
persentase data tahun 2007 dan 2010.
(angka ketergantungan), TFR (Total Fertility
Variabel dikelompokkan menjadi empat
Rate) atau tingkat kesuburan total, laju
variabel yaitu, kelompok variabel perubahan
pertumbuhan, perubahan persentase angka
ekonomi, perubahan angka ketergantungan,
status melek huruf dan status pendidikan
perubahan variabel pendidikan dasar dan
dasar orang tua balita.
perubahan pangan (konsumsi protein).
Variabel dependen merupakan data
Kelompok variabel perubahan
katagorik, perubahan status gizi ganda anak
ekonomi, merupakan komposit terdiri dari,
balita (double burden). Variabel dependen
perubahan persentase pada keluarga (rumah
menggunakan definisi operasional, yaitu
tangga) miskin, keluarga kaya, inflasi,
presentase perubahan hasil ukur keadaan
angkatan kerja, angka pengangguran.
tubuh akibat konsumsi makanan dan
penggunaaan zat-zat gizi berdasarkan BB/U Kelompok variabel perubahan angka
Riskesdas tahun 2007 dan 2010. Sesuai ketergantungan (Dependency ratio) terdiri
definisi operasional yang digunakan, terjadi dari variabel perubahan persentase angka
double burden apabila perubahan status gizi ketergantungan, TFR (Total Fertility Rate)
lebih naik. Tidak terjadi apabila status gizi atau tingkat kesuburan total, serta laju
kurang mengalami penurunan dan atau pertumbuhan.
mengalami kenaikan tetapi masih < 10 % Kelompok perubahan variabel
(Depkes RI, 2009). pendidikan dasar meliputi, perubahan
Variabel independen Kelompok persentase angka status melek huruf dan
variabel perubahan ekonomi, kelompok status pendidikan dasar orang tua balita.
variabel perubahan angka ketergantungan Kelompok variabel perubahan
(Dependency ratio), kelompok perubahan konsumsi Protein, mencakup variabel
variabel pendidikan dasar, kelompok variabel kecukupan energi dan energi protein yang
perubahan pangan (konsumsi protein). kurang dari 80 % AKG, pada RT yang
Pengolahan data menjadi peta memiliki balita.
menggunakan overlay untuk menganalisis Rentang data hasil analisis univariat
keruangan. Pada kegiatan ini hanya pada tabel 1 selanjutnya dilakukan
menggunakan perintah union. Tahapan pembobotan. Pembobotan tersebut
pengolahan data meliputi, penyimpanan peta menghasilkan katagori untuk masing-masing
yang telah memiliki No ID dalam file shp, variabel. Kemudian dipetakan dan dibedakan
menabelkan data-data menjadi field. berdasarkan degradasi wama.

72
Analisis spacial terhadap perubahan ...(Noviati F & Sri PH)

Tabel 1. Field delta (2007-2010) persentase angka variabel pembeda daerah yang mengalami
perubahan status gizi ganda balita
Delta
Delta Angka
Delta Perubahan
ketergantungan Delta
No Provinsi Pendidikan Pangan
(Dependency KK.miskin (%)
Dasar (%) (Konsumsi
Ratio)(%)
Protein %)
1 Aceh -2.2 -18.7 -14.5 14.5
2 Sumut -2.5 -4.2 -3 14
3 Sumbar -2.6 -13.9 -5.7 -11.4
4 Riau 0.4 -21.1 -3.7 19.6
5 Jambi -2.7 -9.9 -9.9 -4.5
6 SumSel -1.7 2.2 -2.1 19.3
7 Bengkulu -1.7 -8.5 -12.6 -4A
8 Lampung -2.8 11 -5.7 3.7
9 Kep.Babel -0.8 -42.5 3.7 2.1
10 Kep.Riau -1.8 -29.4 -11.8 16.1
11 DIG -1.4 -38 -11.1 9.7
12 JAbar -0.8 -3.5 -3.7 7.1
13 Jateng -1.4 7.8 -4 8.7
14 DIY -1.5 -9.3 -5.8 -11.3
15 Jatim -1.4 4.5 -6.7 3.3
16 Banten -2.7 -11.2 -8.8 -2.6
17 Bali -0.4 -29.5 -1.2 -1.2
18 NTB -1.8 10.9 -1.4 7.1
19 NTT -7.8 20 -7.3 31.3
20 Kalbar -2.2 -6 -3.6 18.9
21 Kalteng -1.5 -22.5 -5.2 24
22 KalSel -2.6 -16 -12.1 1.6
23 KalTim -2.4 -16.8 3.5 4.5
24 SuLut -2.2 -24.6 -9.7 -14.3
25 SulTeng -2.8 12.3 -0.5 11.3
26 Sul.Selatan -1.8 -1.1 -8.7 17.6
27 Sul.Tenggara -1.7 9.2 -0.7 37.6
28 Gorontalo -3.1 0 1.2 1.2
29 SulBar -2.2 15.6 -5.6 10.4
31 Maluku -4.7 1.4 -18.9 34.3
31 Mal.UT -4.9 -10.7 5.6 37.8
32 Papua.Barat -2.4 -16.2 -6.1 36.3
33 Papua -2.6 -10.4 -7.5 26.4
Rerata Delta -2.3 -8.6 -5.6 11.2

Masing-masing peta di mengasilkan peta daerah rawan potensi


dikelompokkan pada katagori rawan dan perubahan faktor status gizi ganda (doubel
tidak rawan menggunakan cut of point rerata burden) pada balita. Peta ini kemudian
nasional, pada perubahan masing masing ditumpangtindih kan lagi dengan peta
variabel. Kempat peta tersebut kemudian sebaran rawan gizi ganda (variabel
dilakukan tumpang tindih (overlay) sehingga dependen), sehingga menghasilkan peta
73
Jumal Ekologi Kesehatan Vol. 14 No 1, Maret 2015 : 69 — 80

akhir, yaitu sebaran daerah yang mengalami menghasilkan peta keluarga miskin yang
rawan gizi ganda, juga mengalami rawan berpengaruh/yang menjadi factor pembeda
perubahan angka ketergantungan, rawan terjadinya masalah gizi ganda. Perubahan
perubahan keluarga miskin, rawan perubahan keluarga miskin yang tergolong rawan
pendidikan dan pangan, seperti terlihat pada menyebar di daerah Jawa Selawesi, Papua
gambar 8. dan sebagian Kalimantan dan Sumatra.
Gembar 2, merupakan pemetaan
hasil variabel perubahan ekonomi,

Dsersh Rowan Kartimhan KK Mialdn

A
OE ACEH DARUSSALIA NORTV StiLAWESI

TERA 11)
'4 LAUAN R ORT UKU
WE

Witt ixosali
LAWESI

WEST JAVA $11'


EAST JAV
'VtisT.NU10NGGARA

Rawan kk.miskin
I J -42.5 - -13.4 (Tidak Rawan)
on -13.5 - 20 (Rawan)

Gambar 2. Peta sebaran daerah rawan perubahan kk miskin

Gambar 3 memperlihatkan peta Daerah tersebut adalah : Kalimantan


sebaran daerah rawan angka ketergantungan Tengah dan Barat. Pulau Sumatra meliputi,
(Dependency ratio). Daerah ini di golongkan Aceh, Sumatera Utara, Bengkulu, Kep. Riau
rawan pada angka perubahan persentase dan Bangka Belitung. Sementara pulau jawa
angka ketergantungan berkisar antara 0.4 s/d meliputi seluruh daerah di pulau jawa.
-7.8. Perubahan bertanda minus Wilayah bagian timur meliputi Bali, NTB.
menunjukkan arah perubahan yang menurun. Sulawesi meliputi Sulawesi Utara, Sulawesi
Digolongan rawan pada rentang perubahan - Selatan dan Sulawesi Tenggara dan Sulawesi
2.3 s/d 0 dan tidak rawan bila angka Barat.
perubahan berkisar -7.8 s/d -2.26.

74
Analisis spasial terhadap perubahan ...(Noviati F & Sri PH)

Daerah Rawan Perubahan Angka Dependency Ratio

-7,01116SiMilli■CIEC

E ACEH DARUSSAL<E NORM DLAWESI


A OULAU AN RIAU
b. 4
1 ERA

Rawan Perubahan Angka Dependency Ratio


0 Tidak Rawan
imm 1 Rawan

Gambar 3. Peta sebaran daerah rawan perubahan angka ketergantungan

Hasil analisis deskriminan pada s/d 5.7. Seperti tampak pada gambar 4.
kelompok variabel sosial menghasilkan Daerah persebaran lebih banyak di dominasi
variabel pendidikan dasar sebagai faktor daerah Indonesia bagian timur. Seperti Papua
pembeda. Oleh karena itu variabel ini dan Papua Barat. Maluku, Sulbar, Sultera,
dipetakan sebagai variabel dasar untuk Sulsel, Sulut, Kaltim, Kalteng Kalbar, NTT,
dilakukan tumpang tindih dengan 3 variabel seluruh Jawa kecuali Jawa Barat dan Jawa
lainnya. Angka perubahan persentase Tengah. Sementara bagian Sumatra meliputi,
menyebar dari -18.9 s/d 5.7 persen. Lampung, Kep Ri, Babel, Bengkulu, Jambi
Digolongkan reawan pada rentang angka dan Aceh
perubahan -18.9 s/d -5.6 dan tidak rawan -5.7

75
Jurnal Ekologi Kesehatan Vol. 14 No 1, Maret 2015 : 69 — 80

Daerah Rowan Peruhahan Fended/Kan

OE ACEH DARUSSALAM. NORTil SeLAVVESI


vf
ERA
N RIAU
WE r et410.0101NORT LU.KU

44,3 PAPUA
-• LAWESI
BENGKUU

gy m • _
=
21:ST NU NGGARA

Rawan P embahan P endldikan


Eia 1 Rowan perubahan Pendidikan [laser
4 0 Tidak rawan

Gambar 4. Peta sebaran daerah rawan perubahan pendidikan

Daerah yang mengalami rawan Indonesia bagian Timur, sebagian


pangan, di wakili oleh variabel perubahan Kalimantan dan Sumatera. Daerah ini
persentase angka kecukupan protein kurang digolongkan rawan jika daerah tersebut
dari 80 % AKG. Seperti terlihat pada gambar mempunyai angka perubahan persentase
5, peta sebaran yang tergolong rawan sebesar 12 s/d 37.8. Sementara tidak rawan
perubahan konsumsi protein meliputi, jika perubahan sebesar -14.3 s/d 11.8.

Daerah Rawan Perubahan Pangan

E ACEH DARUSSALAM l<615ULAUAN RIAU NOR-1'0 *LAWESI

ERA
•eutlret, eeriafe. NORT LUKU

ANTA
SOOT
Sour A WJ.LAWESI
BENGKLItU

tOtg§tvLE ,
';!ST NU NGGARA

Rawan P erubahan P angan


®0 Tidak Rowan
=1 Rawer!
4-
Gambar 5. Feta sebaran daerah rawan perubahan pangan

76
Analisis spasial terhadap perubahan ...(Noviati F & Sri PH)

Hasil overlay dari keempat peta, dependency ratio, perubahan angka


menghasilkan peta sebaran daerah rawan pendidikan dasar dan perubahan konsumsi
faktor gizi ganda (gambar 6). Daerah tersebut protein. Hanya 13 wilayah yang tergolong
merupakan rawan di tinjau dari segi faktor rawan akan tetapi keadaanya hampir merata
perubahan keluarga miskin, faktor perubahan di seluruh wilayah.

Daerah Rawan Perubahan Faktor Gizi Ganda

E ACEH DARUSSALAM Km.L,LAUAN


, RIAU NORTH SelLAWESI
•:
ERA
• curtVgbaoalleNORT LUKIJ
WE "

ANTA
r 1=111.
SO UT 10.
SOU LAWESI
BENGKULU
NTRAL JAVA -

ST NU,ONGGARA

Potensi
r1
Rawan Perubahan Faktor Gizi Ganda
O (Tidak Rawan))
gm 1 (Rawan)
Gambar 6. Peta sebaran daerah rawan perubahan faktor gizi ganda

Sementara sebaran gizi ganda yang lebih dan gizi kurang tahun 2007 dan 2010.
merupakan variabel dependen dipetakan Sebaran daerah yang mengalami rawan gizi
tersendiri berdasarkan katagori. Data tabulasi ganda tampak pada gambar 7.
menggunakan data persentase perubahan gizi

Daerah Potensi Perubahan


Status Gizi Ganda (double burden)

E ACEH DARUSSALANS
KEP ULAUAN RIAU NORTH qtfILAWESI
ATERA

PP&
EAST.
G NTALO
NORT LUKU
'WE
W WESI
S
Vz•-
tt•S
ESI Wit!
IDENGKULU ST.- SULAWESI
NTRAL JAVA • N

.0 q4,4R^.
'5‘ST NU NGGARA

N Rawan Beban gandaAlt2

A I TIdak rawan
Rawan

Gambar 7. Peta sebaran daerah rawan perubahan status gizi ganda

77
Jurnal Ekologi Kesehatan Vol. 14 No 1, Maret 2015 : 69 — 80

Tersaji pada gambar 8, merupakan gizi ganda maupun rawan dari aspek faktor-
peta hasil akhir tumpang tindih (overlay) faktor yang mempengaruhi terjadinnya gizi
antara peta sebaran status gizi ganda dan peta ganda. Seperti perubahan ekonomi,
sebaran faktor faktor gizi ganda. Peta ini perubahan angka ketergantungan
mengindikasikan daerah yang rawan di lihat (Dependency ratio), perubahan variabel
dari semua aspek. Rawan dari aspek sebaran pendidikan, perubahan konsumsi protein.

Daerah Rawan Perubahan Gizi Ganda dan Faktor Gizi Ganda

E ACEH DARUSSALA NORTH leJLAWESI


MKEOULAUAN RIAU
ERA
NORT LU KU

S ESI
SO LAWESI
BENGKLTL •
NTRAL JAVA ;

sarP
411671
;?:-44,
46N`k 4i$16`
'I
%isST NU NGGARA

Daerah Rawan Gizi Ganda dan Rawan Faktor Gizi ganda


0 (Tidak Rawan)
11.111 1 (Rawan) A
Gambar 8. Peta sebaran daerah rawan perubahan status gizi ganda dan faktor gizi ganda

PEMBAHASAN negara berkembang. Sebaran peta


menunjukkan kesenjangan sosial ekonomi
Sekitar tahun 1980-an, mulai dirintis
strategi perbaikan gizi nasional. Survai dasar yang mengelompok di wilayah luar pulau
jawa. Hal ini selaras dengan temuan Ening A,
mulai merumuskan bentuk strategai dan
yang menganalisis data susenas199-2005,
kebijakan secara lintas sektor. Penilaian
bahwa perubahan pola konsumsi banyak
perbaikan gizi mulai dirintis melalui laporan
rutin, survai berkala, 0a4-4n survai khusus. terdapat di daerah diluar Pulau Jawa (Ening
Ariningsih, 2008).
Analisis ini, merupakan hasil olah data survai
yaitu susenas dan riskesnas, untuk menambah Analisis spatial pada faktor faktor
informasi penanganan masalah gizi balita. yang paling berhubungan atau yang menj adi
faktor pembeda mernperlihatkan hanya 13
Masalah gizi ganda merupakan
wilayah yang tergolong rawan, akan tetapi
keadaan pada suatu masyarakt dengan gizi
keadaanya hampir merata di seluruh wilayah.
kurang dan lebih yang terjadi secara
Daerah ini merupakan rawan ditinjau dari
bersamaan (WHO, 2008)
segi perubahan keluarga miskin, perubahan
angka ketergantungan, perubahan pendidikan
Peta Sebaran Beban Ganda dasar dan perubahan konsumsi protein pada
rumah tangga.
Hasil peta menunjukkan sebaran
daerah yang mengalami beban ganda Hasil katagori baik pada peta
mengelompok di wilayah luar pulau jawa, ini perubahan angka ketergantungan maupun
menunjukkan masih terjadinya kesenjangan peta perubahan beban ganda menunjukkan 25
sosial. Dimana transisi merupakan ciri dari daerah provinsi yang dikatagorikan dalam
klasifikasi yang sama, yaitu katagori rawan.

78
Analisis spasial terhadap perubahan (Noviati F & Sri PI-I)

Hal tersebut menunjukan faktor yang paling transisi status gizi ganda sebanyak 18
membedakan daerah yang mengalami rawan wilayah provinsi, yaitu : Kalbar, Kalteng,
double burden dan yang tidak adalah Kalsel, Kaltim, Sulut, Sulteng, Sulsel, Sultra,
perubahan angka ketergantungan, selaras Gorontalo, Maluku, Malut, DKI, Jawa
dengan analisis statistik. Hasil pengolahan Tengah, Sumatera Utara, dan Selatan, Kepri,
statistik dengan menggunakan analisis Kep.Babel dan Lampung.
deskriminan juga menunjukkan basil
Daerah yang mengalami rawan
signifikan bahwa perubahan angka
transisi gizi ganda juga mengalami kerawan
ketergantungan merupakan faktor pembeda
faktor faktor yang mempengaruhi/pembeda
antara daerah yang mengalami transisi satus
adalah : Maluku, Sulawesi Selatan,
gizi balita dan daerah yang tidak mengalami
Kalimantan dan Sumatera Selatan.
transisi satus gizi balita. (N.Fuada 2012).
Saran
Faktor determinan pembeda adalah
angka ketergantungan. Merupakan angka Sebaran perubahan status gizi ganda
kasar mengambarkan keadaan ekonomi suatu banyak terdapat di luar pulau jawa. Perin
negara. Bonus demografi terjadi jika angka pencegahan terhadap masalah gizi, dengan
angka ketergantungan berkisar antara 0.4 s/d cara yang efektif menjangkau seluruh
0,5. Keadaan tersebut perlu dicermati wilayah Indonesia. Antara lain dengan
kaitannya dengan fenomena bonus menyampaikan pesan pesan pencegahan
demografi. Bonus demografi menjadi terjadinnya gizi ganda, dengan menggunakan
masalah jika tidak dibarengi dengan akses media massa maupun elektronik.
peningkatan pendidikan, ketrampilan, Antara melalui pembuatan poster, modul e-
kesehatan. Apabila asumsi faktor lain tetap, book (mata ajaran) pada pendidikan umum,
maka diperkirakan jika terjadi bonus dan tv-lokal.
demografi, akan terjadi pula masalah beban
ganda (Media, 2012)
UCAPAN TERIMAKASIH
Basil akhir dari peta berdasarkan
metoda tumpang tindih menggambarkan Terimakasih kami ucapakan kepada
suatu daerah yang digolongkan rawan secara Badan Litbangkes yang telah memberikan
keseluruhan. Peta ini mengindikasikan kesempatan pada pennulis untuk
daerah yang rawan di lihat dari semua aspek, menganalisis data Riskesnas .
yaitu rawan dari segi sebaran gizi ganda
maupun rawan dad faktor faktor yang
mempengaruhi. Terlihat semua daerah berada DAFTAR PUSTAKA
di luar pulau jawa. Keadaan ini diduga BPS (2010). Survei Sosial Ekonomi Nasional, Modul
berkaitan dengan adanya percepatan KonsumsiDitjen PPM-PL, Depkes RI (2012).
perubahan, dimana undang-undang BULETIN/PNEUMONIA.pdf (Internet)
desentralisasi, mulai dilaksanakan. Daerah Tersedia dari:
http://www.depkes.goid/downloads/publikas
tersebut adalah : Maluku, Sulawesi Selatan,
i/buletin. Dikutip 20 mei 2012
Kalimantan dan Sumatera Selatan. Daerah ini Budi Artiya (IPB), (2012) Masalah Gizi Lebih
dapat dikatakan rawan mengalami perubahan (Internet) Tersedia dari
gizi ganda pada balita, juga rawan perubahan http.//www.scribd.corri/doc/188849454/Gizi-
KK miskin, angka ketergantungan, Lebih. Dikutip 21 feb 2014
Daldjoeni, (2003). Geografi Kota dan Desa. PT
perubahan pergeseran pendidikan dan Alumni. Bandung.
perubahan konsumsi protein. Ening Ariningsih, Konsumsi dan Kecukupan Energi
Protein Rumahatangga perdesaan di
Indonesia Analisis Data Susenas 1999, 2002
KESIMPULAN DAN SARAN dan 2005, Makalab Seminar Dinamika
Pertanian dan Perdesaan, 2008.
Kesimpulan Media (2012), Bonus Demografi Bisa Jadi Malapetaka
Jika Gagal Dikelola(Intemet). Tersedia dari,
Berdasarkan analisis yang telah http://www.mediaindonesia.com. 20 Okt2012
dilakukan dapat diambil beberapa N Fuada (2012). Laporan Analisis Lanjut. Litbangkes.
2012
kesimpulan tentang daerah yang tergolong
rawan. Daerah yang mengalami rawan
79
Jumal Ekologi Kesehatan Vol. 14 No 1, Maret 2015: 69 —80

Penatalaksanaan Diabetes Mellitus Terpadu. Penerbit Suyono S. Patofisiologi Diabetes Mellitus. Dalam
FKUI. Jakarta. 2005 Soegondo S dkk (2005),
Sapatawati Bardososno (2009). Majalah Gizi di Wahyono T, (2002). Analisis Data Statistik SPSS14.
Indonesia. Majalah Kedokteran Indonesia Elex Media Komp.Gramedia. Jakarta.
Volume 59 No1.2009 WHO, (2008). Double Burden (Internet) Tersedia
dari:http://www.repository.ipb.ae.id/bitstream
/handle/. Dikutip 20 Mei 2012

80



Menu
• cakrawala

Double-Duty Actions untuk Menurunkan Masalah Gizi


Ganda Indonesia
• UNAIR News
• Desember 30, 2020
• 11:13 am
• No Comments

Share on facebook

Share on google

Share on twitter

Share on linkedin

Ilustrasi masalah gizi


ganda. (Sumber: suara.com)

Masalah gizi ganda (MGG) merupakan kondisi hadirnya masalah gizi kurang
(stunting, wasting, dan defisiensi zat gizi mikro) bersamaan dengan gizi lebih dan
obesitas di sepanjang kehidupan. Masalah gizi lebih dan gaya hidup berhubungan
dengan penyakit tidak menular seperti diabetes melitus, penyakit kardiovaskular,
hipertensi, dan kanker. Masalah gizi ganda dapat terjadi pada tingkat individu,
rumah tangga, dan masyarakat.

Hampir semua negara di dunia mengalami MGG, baik negara dengan pendapatan
tinggi maupun rendah. Global Nutrition Report tahun 2020 menunjukkan bahwa
dari 143 negara di dunia, sebanyak 124 negara (86,7%) setidaknya mengalami dua
masalah gizi yang serius. Dari 124 negara tersebut, sebanyak 37 negara memiliki
tiga masalah gizi yang serius (stunting balita, anemia, dan overweight pada wanita
dewasa). Masalah gizi ganda telah menjadi perhatian di Indonesia meskipun
prioritas utama pemerintah Indonesia masih pada masalah gizi kurang, khususnya
stunting dan gizi buruk.
Pada 1 April 2016, Majelis umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
mengeluarkan resolusi United Nations Decade of Action on Nutrition from 2016 to
2025 yang sesuai dengan kerangka Sustainable Development Goals (SDGs) 2030.
Aksi gizi satu dekade ini bertujuan untuk meningkatkan aksi mengakhiri kelaparan,
dan menghilangkan semua bentuk kekurangan dan kelebihan gizi di dunia dan
memastikan akses terhadap diet yang sehat dan berkelanjutan secara universal
untuk semua orang, tanpa memandang siapa dan dimana mereka tinggal. Pada
tahun 2017, WHO menginisiasi dilakukannya Double-Duty Actions (DDA) yaitu
suatu upaya terintegrasi untuk menyelesaikan masalah gizi ganda. DDA ini
meliputi intervensi, kebijakan dan program yang secara simultan memiliki potensi
untuk mengurangi risiko beban gizi kurang (wasting, stunting, dan defisiensi zat
gizi mikro) dan gizi lebih (overweight, obesitas dan PTM yang berhubungan dengan
diet.
DDA yang di kenalkan oleh WHO merupakan suatu anjuran yang bersifat global.
WHO menyatakan bahwa DDA tidak perlu suatu program yang baru. Akan tetapi,
bisa dilihat dari program yang sudah ada tetapi berpotensi untuk menyelesaikan
masalah gizi ganda secara simultan. Apa potensi DDA yang sesuai dengan kondisi di
Indonesia?. Artikel ini akan menganalisis faktor-faktor yang berhubungan dengan
masalah gizi ganda di Indonesia.
Dengan menganalisis data agregat dari 34 provinsi di Indonesia dari Riset
Kesehatan Dasar 2018 (Riskesdas) dan Survei Sosial Ekonomi Nasional tahun 2018
(Susenas). Maka diketahui bahwa Indonesia saat ini mengalami masalah gizi ganda
yang serius. Dari 34 provinsi, separuhnya memiliki beban gizi ganda serius, 14
provinsi mengalami masalah kegemukan, dan 2 provinsi mengalami masalah
stunting (Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur). Provinsi Lampung
merupakan satu-satunya provinsi yang tidak memiliki MGG yang serius.Hampir
seluruh provinsi di Indonesia memiliki masalah stunting dan kegemukan.
Prevalensi stunting berkisar antara 17,6% sampai 42,7%. Sementara itu, prevalensi
kegemukan antara 19,1% sampai 46,5%. Berdasarkan kriteria kategorimasalah gizi
ganda (stunting balita 30% dan kegemukan 30%) maka Indonesia saat ini
mengalami MGG yang serius (stunting 30,8%; kegemukan 35,4%). Sebaran MGG
yang serius ini cukup merata dari bagian barat sampai timur Indonesia.

Akses dan pelayanan kesehatan, asi eksklusif, dan kondisi sosial ekonomi
berhubungan dengan masalah gizi ganda di Indonesia. Semua kebijakan dan
program ini telah ada dan dilakukan pemerintah Indonesia, namun masih dalam
konteks mengatasi masalah gizi secara individu (stunting atau kegemukan saja).
Penanganan MGG di Indonesia membutuhkan aksi yang mendasar yaitu
penanganan masalah kemiskinan dan adanya cakupan kesehatan yang menyeluruh
bagi seluruh penduduk (universal health coverage). Fokus pada 4 program yang
berpotensi menjadi DDA (pelayanan gizi dan kesehatan ibu hamil dan anak,
monitoring pertumbuhan anak, asi eksklusif, dan jaringan pengaman sosial) perlu
ditingkatkan dan diperluas agar program ini dapat menyelesaikan MGG. Paradigma
dan pemikiran baru ini dapat menjadi pendekatan yang komprehensif untuk
menurunkan masalah gizi kurang dan lebih secara simultan.
Penulis: Rian Diana

Referensi Diana, R & Tanziha, I. 2020. Double-Duty Actions to Reduce the Double
Burden of Malnutrition in Indonesia. Amerta Nutr (2020).326-334. DOI:
10.2473/amnt.v4i4.2020. 326-334.
Link: https://e-journal.unair.ac.id/AMNT/article/view/20407

Berita Terkait

Refleksi Model Pemberdayaan Masyarakat dalam Pemberian ASI


Eksklusif
12/10/2021

Selengkapnya »

Kalsium Ionofor Sebagai Aktivator Oosit Terhadap Tingkat Fertilisasi


dan Tingkat Pembelahan Embrio
12/10/2021

Selengkapnya »
Dukung Pembelajaran Tatap Muka, BKMP UNAIR dan KSP-CTPS
Salurkan 600 Paket Safe School Kits
12/10/2021

Selengkapnya »

UNAIR News
Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).

Leave Reply

SEARCH

Berita Terkini
Refleksi Model Pemberdayaan Masyarakat dalam Pemberian ASI Eksklusif
Selengkapnya »

Kalsium Ionofor Sebagai Aktivator Oosit Terhadap Tingkat Fertilisasi dan Tingkat Pembelahan Embrio
Selengkapnya »

Dukung Pembelajaran Tatap Muka, BKMP UNAIR dan KSP-CTPS Salurkan 600 Paket Safe School Kits
Selengkapnya »
Fakultas Farmasi UNAIR Gelar Webinar Pengabdian Masyarakat Sambut Kuliah Luring
Selengkapnya »

Dekan FH UNAIR Langsungkan Penelitian terkait Wewenang Komnas HAM dalam Kebakaran Hutan di Indonesia
Selengkapnya »

Bagikan
Share on facebook

Share on twitter

Share on linkedin

Share on whatsapp

ALAMAT REDAKSI

Pusat Komunikasi dan Informasi Publik

Gedung Rektorat Universitas Airlangga lt 2, room 204, Mulyorejo, Surabaya, 60115

• unair.ac.id

• Tentang Kami

Copyright Pusat Komunikasi dan Informasi Publik Universitas Airlangga


04

K A J I A N S E K T O R K E S E H ATA N

PEMBANGUNAN GIZI DI INDONESIA

DIREKTORAT KESEHATAN DAN GIZI MASYARAKAT


KEDEPUTIAN PEMBANGUNAN MANUSIA, MASYARAKAT DAN KEBUDAYAAN
KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL /
BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL
Pembangunan Gizi di Indonesia
© 2019 by Kementerian PPN/Bappenas

Pengarah
Dr. Ir. Subandi Sardjoko, MSc

Penulis
Fiona Watson, M.Sc
Dr. Minarto, MPS
Sri Sukotjo, M.A PEMBANGUNAN GIZI DI INDONESIA
Jee Hyun Rah, PhD
dr. Ardiani Khrisna Maruti

Reviewer dan Editor


Pungkas Bahjuri Ali, STP, MS, PhD
Prof. dr. Ascobat Gani, MPH., Dr.PH.
Dr. Entos Zainal, SP, MPHM
Evi Nurhidayati, S.Gz
Akim Dharmawan, SKM, M.Kes, PhD

Foto: UNICEF Indonesia

KAJIAN SEKTOR KESEHATAN

Diterbitkan dan dicetak oleh


Direktorat Kesehatan dan Gizi Masyarakat
Kedeputian Pembangunan Manusia, Masyarakat dan Kebudayaan
Kementerian PPN/Bappenas
Jalan Taman Suropati No. 2, Jakarta Pusat, 10310
Telp: (021) 31934379, Fax: (021) 3926603
Email: kgm@bappenas.go.id

Cetakan pertama: April 2019


ISBN: 978-623-93153-1-3

DIREKTORAT KESEHATAN DAN GIZI MASYARAKAT


Hak Penerbitan @ Kementerian PPN/Bappenas KEDEPUTIAN PEMBANGUNAN MANUSIA, MASYARAKAT DAN KEBUDAYAAN
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari penulis dan penerbit, KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/
sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, photoprint, microfilm
dan sebagainya. BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL
iv • Pembangunan Gizi di Indonesia Kajian Sektor Kesehatan • v

Kata Pengantar

Berbagai indikator pembangunan gizi menunjukkan bahwa Indonesia mengalami masalah


yang cukup serius dalam status gizi penduduk pada hampir seluruh siklus hidup seperti
anemia pada remaja putri dan ibu hamil, stunting, wasting dan underweight pada balita,
serta kegemukan atau obesitas pada penduduk dewasa. Beragam upaya yang telah dilakukan
belum mampu menurunkan permasalahan gizi ini secara signifikan.

Berbagai penelitian terbaru menunjukkan bahwa permasalahan gizi sangat kompleks sehingga
memerlukan intervensi dengan menggunakan pendekatan yang bersifat multisektor baik yang
terkait langsung dengan asupan dan kesehatan (intervensi spesifik) maupun terkait dengan
sosial ekonomi, infrastruktur, perilaku, ketahanan pangan dan lain sebagainya (intervensi
sensitif). Kajian ini dilakukan dengan tujuan untuk menganalisis permasalahan gizi di Indonesia
serta memberikan rekomendasi kebijakan yang perlu diambil.

Pada umumnya, permasalahan gizi terkait dengan kebijakan pembangunan secara umum.
Oleh karena itu, kajian ini dilakukan secara paralel dengan kajian pada 9 bidang lain yang terkait
seperti transisi demografi dan epidemiologi, fungsi esensial kesehatan masyarakat, pengadaan
obat, vaksin, dan alat kesehatan, pendanaan kesehatan, ketersediaan pelayanan kesehatan
dan tenaga kesehatan dalam sebuah Kajian Sektor Kesehatan (Heath Sector Review). Kajian
ini merupakan salah satu masukan bagi penyusunan Background Study maupun Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 untuk bidang kesehatan dan
gizi masyarakat.

Kami yakin bahwa kajian ini akan bermanfaat untuk para pengambil kebijakan baik di tingkat
pusat maupun di daerah, serta pembaca lain pada umumnya seperti akademisi, mahasiswa,
praktisi kesehatan dan pihak lain terkait. Semoga kajian ini dapat memberikan kontribusi bagi
pembangunan gizi di Indonesia.

Jakarta, April 2019

Subandi Sardjoko
Deputi Bidang Pembangunan Manusia,
Masyarakat dan Kebudayaan
Kementerian PPN/Bappenas
vivi •• Pembangunan
PembangunanGizi
GizididiIndonesia
Indonesia Kajian Sektor Kesehatan • vii

Ucapan Terima Kasih dan Penghargaan Daftar Isi

Tim Penulis mengucapkan terima kasih kepada Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
di Kementerian Kesehatan, Republik Indonesia yang telah memberikan akses bagi pemanfaatan Kata Pengantar iv
berbagai data dari Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) Tahun 2018, Survei Demografi dan
Ucapan Terima Kasih dan Penghargaan vi
Kesehatan Indonesia (SDKI) Tahun 2017, dan Riset Tenaga Kesehatan (RISNAKES) Tahun 2017,
serta kajian sektor gizi oleh berbagai pihak. Terimakasih juga disampaikan kepada Badan Pusat Daftar Isi vii
Statistik atas pemberian data yang dibutuhkan, termasuk masukan teknis pada saat konsultasi
dan paparan. Daftar Tabel ix

Daftar Gambar x
Tim Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang membantu penulisan
dan perbaikan laporan ini. Apresiasi yang tinggi kami berikan kepada Bapak Pungkas Bahjuri Daftar Kotak xi
Ali sebagai Direktur Kesehatan dan Gizi Masyarakat (KGM) Bappenas dan tim yang telah
memberikan masukan untuk perbaikan tulisan, seluruh tim penulis dan sekretariat Health Daftar Singkatan xii
Sector Review (HSR) 2018, UNICEF, serta para narasumber yang tidak kami sebutkan satu
Ringkasan Eksekutif xiv
persatu.
1. Pendahuluan 1
Kajian ini disusun oleh Tim Kajian Sektor Kesehatan (Health Sector Review) di bawah bimbingan
Bapak Subandi (Deputi Bidang Pembangunan Manusia, Masyarakat, dan Kebudayaan, 2. Analisis Situasi: Capaian dan Tantangan 5
Bappenas) dengan arahan teknis dari Bapak Pungkas Bahjuri Ali (Direktur Kesehatan dan Gizi
2.1. Beban Ganda Masalah Gizi dan Konsekuensinya 6
Masyarakat, Bappenas). Adapun koordinasi pelaksanaan Health Sector Review dibantu oleh
Prof. Ascobat Gani sebagai team leader. 2.2. Kemajuan dalam Penanganan Beban Ganda Masalah Gizi 8

Kajian ini merupakan bagian dari Kajian Sektor Kesehatan (Health Sector Review) yang 2.2.1. Kurang Gizi pada Anak 9
dilakukan pada tahun 2018 oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/BAPPENAS
dengan dukungan dari UNICEF dan DFAT, beserta beberapa mitra pembangunan lain seperti 2.2.2. Kurang Gizi pada Perempuan 12
ADB, JICA, USAID, WHO, World Bank, WFP, dan mitra dari lembaga lainnya yang tidak dapat
2.2.3. Pemberian Makan pada Bayi dan Anak 13
disebutkan satu per satu. Proses edit dan cetak laporan kajian ini didukung oleh UNICEF
Indonesia. 2.2.4. Defisiensi Mikronutrien 13

Kajian sektor kesehatan dilakukan secara paralel untuk 10 topik meliputi: 2.2.5. Kegemukan dan Obesitas 14

1 Transisi Demografi dan Epidemiologi: Permintaan Pelayanan Kesehatan di Indonesia 2.2.6. Gizi Remaja 15

2 Fungsi Kesehatan Masyarakat (Public Health Functions) dan Health Security 2.3. Penyebab Beban Ganda Masalah Gizi 18

2.3.1. Diet yang Tidak Cukup dan Kerawanan Pangan 18


3 Kesehatan Reproduksi, Ibu, Neonatal, Anak dan Remaja
2.3.2. Beban Penyakit, Akses ke Pelayanan Kesehatan dan
4 Pembangunan Gizi di Indonesia Lingkungan yang Tidak Adekuat 22

5 Sumber Daya Manusia Kesehatan 2.3.3. Praktik Pemberian Makan dan Pengasuhan yang Tidak Adekuat 24

6 Penyediaan Obat, Vaksin, dan Alat Kesehatan 2.3.4. Akar Masalah dan Isu Cross-cutting 26

7 Pengawasan Obat dan Makanan, termasuk Keamanan Pangan 2.4. Respons terhadap Beban Ganda Masalah Gizi 31

8 Pembiayaan Kesehatan dan JKN 2.4.1. Lingkungan yang Mendukung 31

9 Penguatan Sistem Pelayanan Kesehatan 2.4.2. Intervensi Gizi Spesifik 41

10 Penguatan Tata Kelola Pembangunan Kesehatan 2.4.3. Program Gizi Sensitif 49


viii • Pembangunan Gizi di Indonesia Kajian Sektor Kesehatan • ix

Daftar Tabel

3. Isu Strategi dan Peluang 57 Tabel 1 Target Gizi di Indonesia dan Sasaran Global 8

3.1. Mengatasi Beban Ganda Masalah Gizi 58 Tabel 2 Akses ke Infrasturktur secara Nasional pada Tahun 2011 23

3.2. Memperkuat Kapasitas dan Aksi Gizi di Tingkat Sub-nasional 58 Tabel 3 Intervensi Program untuk Menanggulangi Beban Ganda Masalah Gizi
di Sepanjang Siklus Kehidupan 36
3.3. Menyebarluaskan Pesan 59
Tabel 4 Implementasi, Cakupan, dan Tantangan Intervensi Gizi Spesifik di Indonesia 43
3.4. Membangun Bukti untuk Pengambilan Keputusan Terkait Gizi 59
Tabel 5 Program Gizi Sensitif Potensial 50
3.5. Memperluas Upaya untuk Upaya-upaya Multisektoral 60

4. Target 61 Tabel 6 Target dan Indikator Terkait Gizi di Renstra Kementerian Utama 53

5. Opsi Kebijakan 65 Tabel 7 Indikator dan Target yang Direkomendasikan untuk RPJMN 2020-2024 63

Referensi 69 Tabel 8 Perhitungan Target untuk RPJMN 2020-2024 64

Lampiran 79 Tabel 9 Kebijakan dan Strategi yang Direkomendasikan untuk RPJMN 2020-2024 66
x • Pembangunan Gizi di Indonesia Kajian Sektor Kesehatan • xi

Daftar Gambar Daftar KOTAK

Gambar 1 Kerangka Aksi untuk Mencapai Gizi dan Perkembangan Janin Kotak 1 Fokus pada Upaya Kabupaten yang Berhasil untuk Mengurangi
dan Anak yang Optimal 2 Stunting dan Memperbaiki Gizi 10

Gambar 2 Kemajuan Terhadap Target RPJMN 2019 untuk Gizi Kurang pada Anak 9 Kotak 2 Fokus pada Gaya Hidup dan Pola Makan Remaja yang Berkontribusi
pada Beban Ganda Masalah Gizi 16
Gambar 3 Perbaikan Gizi di Tiga Kabupaten MYCNSIA, 2011-2014 11
Kotak 3 Fokus pada Peningkatan Konsumsi Makanan dan Minuman Jadi yang
Gambar 4 Kemajuan terhadap Target RPJMN 2019 untuk Berat Bayi Lahir Rendah, Berkontribusi pada Kejadian Beban Ganda Masalah Gizi 21
Anemia dan ASI Eksklusif 12
Kotak 4 Fokus pada Sumber Daya Potensial untuk Gizi Melalui Dana Desa 39
Gambar 5 Kemajuan Terhadap Target RPJMN 2019 untuk Kegemukan dan Obesitas 15
Kotak 5 Fokus pada Model PGBM yang Berhasil di Kabupaten Kupang 47
Gambar 6 Asupan Energi dan Protein per Kapita per Hari menurut
Kelompok Tingkat Kekayaan padaTahun 2017 19

Gambar 7 Asupan Energi per Kapita per Hari dari Kelompok Makanan
yang Berbeda padaTahun 2007 dan 2017 20

Gambar 8 Persentase Rumah Tangga Berdasarkan Waktu Tempuh


ke Fasilitas Kesehatan pada Tahun 2013 24

Gambar 9 Kekurangan Gizi pada Anak menurut Kuintil Kekayaan pada Tahun 2013 80

Gambar 10 Kegemukan pada Anak dan Obesitas pada Dewasa menurut


Kuintil Kekayaan pada Tahun 2013 80

Gambar 11 Prevalensi Stunting pada Anak Balita menurut Provinsi Tahun 2018 81
xii • Pembangunan Gizi di Indonesia Kajian Sektor Kesehatan • xiii

Daftar Singkatan
RAD-PG Rencana Aksi Daerah Pangan dan Gizi

AKG Angka Kecukupan Gizi RAN-PG Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi

Bappeda Badan Perencanaan Pembangunan Daerah RENSTRA Rencana Strategis

Bappenas Badan Perencanaan Pembangunan Nasional RB Ruang Bersalin

IMT Indeks Massa Tubuh RPJMD Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah

BMS Breast Milk Substitutes RPJMN Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional

BPPSDMK Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan RS Rumah Sakit

Kader Relawan masyarakat SAM Severe Acute Malnutrition

KEK Kurang Energi Kronik SBCC Social Behaviour Communication Change

CMAM Community Management of Acute Malnutrition SDGs Sustainable Development Goals

DDI Domestic Direct Investment SIMPUS Sistem Informasi Manajemen Puskesmas

FDI Foreign Direct Investment SIP Sistem Informasi Posyandu

ISPA Infeksi Saluran Pernafasan Akut SPM Standar Pelayanan Minimal

Kemendagri Kementerian Dalam Negeri TTD Tablet Tambah Darah

Kemendikbud Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan UNICEF United Nations Children’s Fund

Kemen-ESDM Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral WFP World Food Programme

Kemenkes Kementerian Kesehatan WHA World Health Assembly

Kemenkeu Kementerian Keuangan WHO World Health Organisation

Kemensos Kementerian Sosial


Kementan Kementerian Pertanian
LILA Lingkar Lengan Atas
MAM Moderate Acute Malnutrition
MYCNSIA Maternal and Young Child Nutrition Security in Asia
PERKENI Perkumpulan Endokrinologi Indonesia
PGBM Pemulihan Gizi Berbasis Masyarakat (CMAM)
PIS-PK Program Indonesia Sehat melalui Pendekatan Keluarga
PMBA Pemberian Makan pada Bayi dan Anak
Posyandu Pos Pelayanan Terpadu (Integrated health posts)
Polindes Pos Persalinan Desa
Poskesdes Pos Kesehatan Desa
Poskestren Pos Kesehatan Pesantren
PSG Pemantauan Status Gizi
PTM Penyakit Tidak Menular
Puskesmas Pusat Kesehatan Masyarakat (Health centre)
Pustu Puskesmas Pembantu
xiv
xiv •• Pembangunan
PembangunanGizi
GizididiIndonesia
Indonesia Kajian Sektor Kesehatan • xv

Ringkasan Eksekutif

Laporan ini menganalisis situasi gizi di Indonesia. Dokumen ini dibuat atas permintaan Badan makanan olahan meningkat empat kali lipat antara tahun 2007 dan 2017, sehingga memicu
Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) tingkat obesitas yang berkembang pesat. Penyebab kedua, terkait dengan penyakit, akses
sebagai bagian dari Kajian Sektor Kesehatan yang lebih luas. Temuan ini akan digunakan untuk yang tidak memadai terhadap pelayanan kesehatan, serta minimnya akses air bersih dan
menentukan target dan arahan strategis terkait gizi yang akan dimasukkan dalam Rencana sanitasi. Sementara penyakit infeksi terus marak dan berhubungan dengan kekurangan gizi,
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Analisis ini menggunakan Penyakit Tidak Menular (PTM) meningkat sebagai akibat dari meningkatnya obesitas serta
data dan informasi dari survei nasional, studi khusus, literatur ilmiah, dan konsultasi dengan menambah beban sistem pelayanan kesehatan. Penyebab ketiga, terkait dengan praktik
informan kunci di tingkat pusat dan daerah. PMBA dan minimnya asupan makanan ibu, serta praktik perawatan ibu dan pengasuhan anak
yang kurang optimal. Selain itu, akar masalah Beban Ganda Masalah Gizi juga terkait dengan
Bagian 1 menjelaskan situasi gizi di Indonesia dan menilai pencapaian dan tantangan dalam kemiskinan dan ketidaksetaraan, tren demografi dan urbanisasi, gender, kepercayaan sosial
memenuhi target gizi yang ditetapkan dalam RPJMN 2015-2019. Analisis menemukan bahwa dan budaya, serta keadaan darurat.
meskipun pertumbuhan ekonomi di Indonesia cukup baik, walaupun terjadi perbaikan tetapi
kekurangan gizi tetap menjadi masalah yang signifikan. Selain itu, Indonesia juga memiliki Bagian akhir dari Bagian 1 menilai langkah yang diambil di Indonesia untuk perbaikan gizi. Tiga
masalah kekurangan gizi yang tinggi serta obesitas yang meningkat - yang disebut ‘Beban dimensi untuk perbaikan gizi sudah tercakup: intervensi gizi spesifik yang mengatasi penyebab
Ganda Masalah Gizi’ (Double Burden of Malnutrition). Beban Ganda Masalah Gizi memiliki langsung malnutrisi; intervensi gizi sensitif yang mengatasi penyebab tidak langsung malnutrisi;
dampak di seluruh siklus hidup serta gangguan jangka panjang pada periode kritis pertumbuhan dan lingkungan yang mendukung yang diperlukan untuk mendukung intervensi gizi spesifik
dan perkembangan, yakni selama 1.000 hari pertama kehidupan (1.000 HPK) sejak kehamilan dan sensitif. Elemen utama yang diperlukan untuk memperkuat ‘lingkungan yang mendukung’
hingga anak berusia dua tahun. adalah ketersediaan data yang berkualitas yang menjadi dasar dalam pengambilan keputusan.
Hasil analisis menemukan bahwa ketersediaan data dan informasi terkait gizi telah digunakan
Riskesdas 2018 menunjukkan stunting (tinggi badan menurut umur di bawah standar) pada untuk mengukur capaian target gizi yang ditetapkan dalam RPJMN. Namun, masih terdapat
anak adalah bentuk yang paling umum dari kekurangan gizi di Indonesia yang mempengaruhi kesenjangan dalam pemahaman dan kekurangan dalam pengembangan sistem informasi
30,8% balita. Walaupun ada beberapa indikasi perbaikan, namun angka stunting tetap tinggi gizi saat ini. Elemen kedua berkaitan dengan komitmen politik terhadap gizi. Di Indonesia,
di wilayah paling timur dan paling barat Indonesia dengan angka terendah 17,7% di DKI Pemerintah telah menunjukkan komitmen politik yang kuat untuk gizi di tingkat pusat, namun
Jakarta dan angka tertinggi 42,6% di Nusa Tenggara Timur. Wasting (berat badan menurut komitmen ini belum tercermin di tingkat daerah. Elemen terakhir adalah kapasitas dan sumber
tinggi badan di bawah standar) juga merupakan tantangan gizi utama yang mempengaruhi daya yang berkualitas dalam pemberian layanan gizi. Pencapaian utama di Indonesia adalah
10,2% anak balita. Anak-anak wasting memiliki risiko kematian 11,6 kali lebih besar daripada peningkatan potensi pendanaan untuk gizi yang bersumber dari anggaran di tingkat pusat
anak-anak yang bergizi baik dan mereka yang bertahan hidup dapat terus mengalami masalah maupun daerah. Namun, keberlanjutan pendanaan dan peningkatan kapasitas di tingkat
perkembangan sepanjang hidup mereka. Underweight (berat badan menurut usia di bawah daerah untuk merencanakan, memprioritaskan, dan mengelola berbagai dana untuk gizi secara
standar), yang mencerminkan baik stunting maupun wasting, mempengaruhi 17,7% anak efektif masih diperlukan. Selanjutnya, Indonesia memiliki ketersediaan ahli gizi yang siap dan
balita. Berat Badan Lahir Rendah/BBLR (<2.500 gram), yang menjadi indikasi kekurangan gizi terlatih, tetapi keterampilan mereka tidak dimanfaatkan secara optimal serta pelatihan untuk
ibu, mempengaruhi 6,2% bayi, sementara 48,9% wanita hamil mengalami anemia. Meskipun penyedia layanan gizi masih tidak konsisten.
terdapat perbaikan dalam Pemberian Makan pada Bayi dan Anak (PMBA) dengan tingkat
pemberian ASI eksklusif sebesar 52%, sebagian besar bayi masih diberi susu menggunakan Sebanyak 14 intervensi gizi spesifik telah diakui secara global untuk mengatasi kekurangan
botol serta praktik pemberian makanan pendamping yang tidak memadai. Saat ini, 21,8% gizi. Di Indonesia, 9 dari 14 intervensi tersebut telah menjadi program nasional, 2 intervensi
orang dewasa mengalami obesitas dan angka ini meningkat dengan cepat, terutama pada diimplementasikan sebagian, dan 3 intervensi masih belum diimplementasikan. Akibatnya,
perempuan. masih terdapat kesenjangan yang signifikan dalam mengatasi anemia, malnutrisi akut dan
obesitas, serta dalam meningkatkan praktik pemberian makanan pendamping ASI. Peran
Berdasarkan hasil analisis penyebab Beban Ganda Masalah Gizi, ditemukan tiga faktor yang intervensi gizi sensitif dalam perbaikan gizi telah diketahui dengan baik dan di Indonesia
secara tidak langsung menjadi penyebab Beban Ganda Masalah Gizi. Penyebab pertama, terdapat lima sektor yang relevan dengan gizi: (i) kesehatan, (ii) perlindungan sosial, (iii)
konsumsi pangan yang tidak memadai dan kerawanan pangan. Tingkat kecukupan energi pertanian dan ketahanan pangan, (iv) pendidikan dan perkembangan anak, serta (v) air bersih,
pada hampir separuh penduduk (45,7%) sangat kurang (<70% AKE/Angka Kecukupan Energi) sanitasi, dan higiene. Intervensi gizi sensitif telah terbukti berperan dalam mempengaruhi
dan 36,1% penduduk dengan tingkat kecukupan protein sangat kurang (<80% AKP/Angka status gizi, namun di dalam implementasinya masih terdapat kesenjangan yang dapat diatasi
Kecukupan Protein), sementara 95,5% orang yang berusia 5 tahun ke atas mengkonsumsi dengan perencanaan dan pemantauan lintas sektor yang dilakukan secara bersama dan
kurang dari lima porsi buah dan sayuran dalam sehari. Akses ekonomi (keterjangkauan) difokuskan pada kelompok sasaran yang sama tetapi dilaksanakan secara independen oleh
terhadap pangan menjadi penyebab utama kerawanan pangan dibandingkan dengan sektor-sektor kunci.
ketersediaan pangan. Pengeluaran untuk makanan dan minuman jadi, yang sebagian besar
xvi
xvi •• Pembangunan
PembangunanGizi
GizididiIndonesia
Indonesia

Bagian 2 menganalisis peluang masa depan dan isu-isu strategis untuk gizi di Indonesia,
sementara Bagian 3 mengusulkan target untuk serangkaian indikator gizi. Target perbaikan
gizi di Indonesia yang direkomendasikan untuk dicapai pada tahun 2024 adalah indikator
stunting, wasting, dan overweight pada anak balita, anemia pada ibu hamil dan remaja
1.
putri, berat badan lahir rendah, serta pemberian ASI eksklusif pada bayi. Target-target utama
ini sejalan dengan enam target global yang didukung oleh negara-negara anggota Majelis Pendahuluan
Kesehatan Dunia (World Health Assembly/WHA) dan kemudian dimasukkan ke dalam Tujuan
Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs). Salah satu target utama
yang juga direkomendasikan adalah indikator obesitas pada usia dewasa, yang juga menjadi
tantangan utama perbaikan gizi saat ini. Target tersebut juga sejalan dengan rekomendasi
WHO global. Target-target tersebut hanya dapat dicapai jika terjadi peningkatan kualitas dan
kuantitas seluruh intervensi gizi spesifik dan sensitif serta diarahkan pada kelompok termiskin
dan paling rentan, dan juga diperlukan peran yang kuat dari lingkungan yang mendukung.

Bagian 4, sebagai bagian akhir kajian, menjelaskan lima alternatif kebijakan dan rekomendasi
untuk langkah-langkah di masa mendatang.
1. Menetapkan regulasi yang kuat dalam meningkatkan komitmen dan alokasi anggaran
PEMBANGUNAN GIZI DI INDONESIA
untuk perbaikan gizi di tingkat pusat dan daerah.
2. Meningkatkan pemberian layanan gizi yang berkualitas kepada seluruh masyarakat.
3. Meningkatkan kesadaran dan komitmen untuk perbaikan gizi dengan menggunakan
metode inovatif dan menggunakan berbagai saluran komunikasi. K A J I A N S E K T O R K E S E H ATA N
4. Membangun sistem informasi gizi berbasis bukti sebagai sumber data yang kredibel
dan tepat waktu yang dapat digunakan dalam pengambilan keputusan.
5. Memperluas keterlibatan multi-sektor dalam percepatan perbaikan gizi.
2 • Pembangunan Gizi di Indonesia 1. Pendahuluan • 3

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan Kementerian Kesehatan Laporan ini menitikberatkan pada perkembangan gizi yang terjadi sejak background study
(Kemenkes) telah melakukan analisis situasi gizi sebagai bagian dari Kajian Sektor Kesehatan tentang gizi di Indonesia yang dilakukan pada tahun 2010-2014 sebagai bagian dari Kajian
yang lebih luas. Kajian ini akan digunakan untuk menentukan target dan arah strategis untuk gizi Sektor Kesehatan sebelumnya (Bappenas, 2014). Bagian 1 laporan ini menggambarkan situasi
yang akan dimasukkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) gizi di Indonesia dan menilai pencapaian dan tantangan dalam memenuhi target gizi yang
2020-2024. Analisis ini menggunakan data, informasi, dan temuan dari survei nasional, studi, ditetapkan dalam RPJMN 2015-2019. Selain itu, juga mengkaji penyebab malnutrisi dan
literatur ilmiah, serta konsultasi dengan informan kunci di tingkat pusat dan daerah. langkah yang diambil untuk perbaikan gizi di Indonesia. Bagian 2 menganalisis peluang masa
depan dan isu strategis, sementara Bagian 3 merekomendasikan target untuk indikator gizi.
Meskipun gizi merupakan bagian dari Kajian Sektor Kesehatan, namun intervensi gizi spesifik Terakhir, Bagian 4 menetapkan alternatif kebijakan dan rekomendasi langkah-langkah di masa
hanya akan memberikan sedikit kontribusi pada perbaikan gizi melalui penanganan penyebab mendatang.
langsung masalah gizi. Perbaikan gizi yang berkelanjutan dan signifikan memerlukan
pendekatan multisektoral dan juga intervensi gizi sensitif yang menangani penyebab tidak Ruang lingkup analisis dalam background paper ini memiliki beberapa keterbatasan. Pertama,
langsung dari masalah gizi. Lingkungan yang mendukung juga diperlukan untuk mendukung hanya ada sedikit data baru yang tersedia pada indikator status gizi sejak background study
pelaksanaan intervensi gizi spesifik dan sensitif. Ketiga dimensi untuk mencapai perbaikan sebelumnya tentang gizi yang dilakukan pada tahun 2014 (Bappenas, 2014). Survei nasional
gizi yang optimal tersebut disusun dalam kerangka yang terdapat pada Gambar 1. Percepatan berikutnya (Riset Kesehatan Dasar/Riskesdas) dengan data yang dapat dibandingkan baru
perbaikan gizi memiliki pengaruh dalam pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan tersedia pada bulan Oktober 2018 ketika proses penyusunan kajian ini telah selesai dilakukan.
(SDGs). Global Nutrition Report 2017 mengidentifikasi lima bidang utama yang terdapat Kedua, karena analisis ini merupakan bagian dari Kajian Sektor Kesehatan, maka masukan
dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) 2015-2030 dimana gizi turut memberikan dari sektor-sektor utama di luar kesehatan terbatas.
kontribusi dan manfaatnya (Development Initiatives, 2017): (i) produksi pangan berkelanjutan,
(ii) sistem infrastruktur yang kuat, (iii) sistem kesehatan, (iv) pemerataan dan inklusi, serta (v)
perdamaian dan stabilitas.

Gambar 1. Kerangka Intervensi untuk Mencapai Perkembangan dan Pemenuhan Gizi


yang Optimal pada Janin dan Anak

Sumber: The Lancet, 2013


4 • Pembangunan Gizi di Indonesia

2.
Analisis situasi:
Capaian dan Tantangan

PEMBANGUNAN GIZI DI INDONESIA

K A J I A N S E K T O R K E S E H ATA N
6 • Pembangunan Gizi di Indonesia 2. Analisis Situasi: Capaian dan Tantangan • 7

2.1. Beban Ganda Masalah Gizi dan Konsekuensinya Beban Ganda Masalah Gizi mengakibatkan banyak sekali kerugian, baik dalam bidang
kesehatan, maupun bidang pembangunan dan ekonomi Indonesia. Dimana kerugian tersebut
Meskipun pertumbuhan ekonomi terjadi secara dramatis di Indonesia, kekurangan gizi tetap dapat terjadi mulai sebelum kelahiran. Ibu dengan berat badan kurang cenderung memiliki
menjadi masalah yang signifikan dan terlihat sedikit mengalami penurunan. Indonesia bayi dengan pertumbuhan intra-uterus yang terhambat serta lahir dengan berat badan lahir
menderita kekurangan gizi yang cukup tinggi (defisiensi gizi makro dan mikro) yang diiringi rendah dan dengan risiko kematian yang lebih tinggi (Black, Victora, Walker, & et al., 2013).
dengan meningkatnya prevalensi obesitas - yang disebut sebagai ‘Beban Ganda Masalah Gizi’ Berat badan berlebih dan obesitas pada ibu juga meningkatkan risiko kematian bayi (Meehan,
(Double Burden of Malnutrition). Beck, Mair-Jenkins, & et al., 2014). Sementara bayi dengan berat badan lahir rendah lebih
cenderung untuk mengalami kekurangan gizi pada masa kanak-kanak (Cresswell, Campbell,
Wilayah Asia Tenggara dan Pasifik memiliki hampir setengah dari populasi di seluruh dunia, De Silva, & Filippi, 2012).
yang menderita Beban Ganda Masalah Gizi. Tidak ada wilayah lain yang memiliki prevalensi
berat badan lebih (gemuk) yang meningkat secepat di wilayah Asia Tenggara dan Pasifik ini Kekurangan gizi dan kegemukan selama masa kanak-kanak dikaitkan dengan tingkat mortalitas
dan Indonesia adalah salah satu contoh utama. Beban Ganda Masalah Gizi di Indonesia terjadi dan morbiditas yang lebih tinggi. Kurang gizi menyebabkan 45% kematian pada anak usia
di sepanjang siklus kehidupan, dimulai lebih awal dengan 12% anak di bawah lima tahun di bawah lima tahun di seluruh dunia (Black, Victora, Walker, & et al., 2013) dan merupakan
menderita kurus (wasting), sementara 12% lainnya mengalami kegemukan (overweight) predisposisi bagi anak untuk menderita penyakit menular seperti diare dan infeksi saluran
(Kementerian Kesehatan, 2013). Sekitar 11% dari remaja perempuan dan laki-laki berusia pernapasan akut (Black, Allen, Bhutta, & et al., 2008). Pada saat yang sama, setidaknya 2,6
13-15 tahun mengalami kurus, yang diukur melalui indeks massa tubuh (IMT) yang rendah, juta orang meninggal setiap tahun akibat kelebihan berat badan ataupun obesitas (WHO,
sementara 11% dari remaja pada usia yang sama lainnya mengalami kegemukan. Antara 2018). Anak yang gemuk cenderung tumbuh menjadi orang dewasa yang mengalami berat
tahun 2010-2013, prevalensi berat badan lebih (gemuk) dan obesitas meningkat dua kali lipat badan berlebih dan mengalami PTM yang berkaitan dengan pola makan seperti diabetes tipe
pada wanita dewasa (dari 15% menjadi 33%), sedangkan seperempat wanita hamil mengalami 2 (Bjeeregaard, Jensen, & Angquist, 2018) dan penyakit kardiovaskular (Litwin, 2014). Remaja
kurus (Kementerian Kesehatan, 2013). Keberadaan kekurangan gizi, obesitas, dan kekurangan putri yang mengalami malnutrisi lebih rentan untuk menjadi wanita dewasa yang juga terkena
gizi mikro di dalam rumah tangga dan individu yang sama juga telah dipublikasikan secara malnutrisi dan melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah. Dengan demikian, ia akan
ilmiah. Beban ganda ibu dan anak, di mana ibu yang mengalami berat badan lebih tinggal di mewariskan Beban Ganda Masalah Gizi dari satu generasi ke generasi berikutnya.
rumah yang sama dengan anak yang pendek (stunted) atau gizi kurang (underweight), telah
diamati pada 11% rumah tangga pedesaan di Indonesia (Oddo, Rah, Semba, & et al., 2012). Beban Ganda Masalah Gizi menghambat pembangunan manusia, mengakibatkan kemiskinan
Sementara data terbaru menurut Riskesdas 2018 menunjukkan terdapat 10,1% anak balita intergenerasi, dan memperlambat pertumbuhan ekonomi. Anak-anak yang kurang gizi dan/
kurus dan 7,6% balita mengalami kegemukan (Kementerian Kesehatan, 2018). atau kelebihan berat badan, tidak hadir di sekolah lebih sering dan berprestasi kurang baik
secara akademis (Dewey & Begum, 2011) (An, Yan, Shi, & Yang, 2017). Diperkirakan bahwa
Beban Ganda Masalah Gizi di Indonesia dikaitkan dengan meningkatnya usia harapan hidup stunting dan kekurangan gizi lainnya merugikan Indonesia lebih dari US$ 5 miliar per tahun
yang telah dipengaruhi oleh: pergeseran beban penyakit dari penyakit menular ke penyakit setara dengan hilangnya 2-3% dalam produk domestik bruto karena kehilangan produktivitas
tidak menular (PTM); peningkatan kesejahteraan secara nasional disertai dengan peningkatan sebagai akibat dari standar pendidikan yang buruk dan berkurangnya kemampuan fisik (WFP,
ketersediaan pangan, yang telah menyebabkan peningkatan konsumsi lemak dan makanan 2014) (Bappenas, 2018). Kerugian akan lebih besar jika obesitas dan kelebihan berat badan
olahan per kapita; serta pertumbuhan urbanisasi dengan lebih banyak orang yang tinggal di diperhitungkan.
perkotaan dimana kota-kota tersebut tidak ramah pejalan kaki dan kurangnya fasilitas yang
mendorong aktivitas fisik. Sifat Beban Ganda Masalah Gizi yang kompleks dan saling terkait di Indonesia mendesak
pemerintah untuk mengambil langkah-langkah yang efektif dan simultan mengatasi semua
Selain itu, Beban Ganda Masalah Gizi memiliki dampak di sepanjang siklus kehidupan. bentuk malnutrisi.
Kerusakan yang paling parah dan berlangsung jangka panjang terjadi pada periode pertumbuhan
dan perkembangan yang cepat, khususnya selama 1.000 hari pertama kehidupan (1.000 HPK)
sejak masa kehamilan hingga anak berusia dua tahun, dan selama masa remaja. Saat ini, Beban
Ganda Masalah Gizi paling umum terjadi di kelompok berpenghasilan tinggi di Indonesia
(Oddo, Rah, Semba, & et al., 2012). Namun, bukti menunjukkan bahwa kecenderungannya
akan terjadi peningkatan yang cepat pada kelompok miskin karena meningkatnya obesitas
dan berat badan berlebih dikombinasikan dengan sedikitnya perubahan yang terjadi pada
angka kekurangan gizi (Delisle & Batal, 2016).
8 • Pembangunan Gizi di Indonesia 2. Analisis Situasi: Capaian dan Tantangan • 9

2.2. Kemajuan dalam Penanganan Beban Ganda Masalah Gizi 2.2.1. Kurang Gizi pada Anak

Bagian ini menilai kemajuan terhadap target untuk menurunkan prevalensi kekurangan gizi Kurang gizi yang dialami pada anak usia di bawah lima tahun antara lain stunting,
dan obesitas yang ditetapkan dalam RPJMN 2015-2019 (lihat Tabel 1). wasting, dan underweight. Di Indonesia, prevalensi kurang gizi tersebut cenderung
mengalami penurunan dari tahun 2007 hingga 2018. Gambar 2 mengilustrasikan capaian
target gizi anak balita menurut RPJMN 2015-2019.
Tabel 1. Target Gizi di Indonesia dan Sasaran Global

Gambar 2. Capaian Target RPJMN 2015-2019 terkait Kekurangan Gizi pada Anak Balita
Target WHA Baseline Riskesdas Target RPJMN
Indikator
(2025) (2013) 2018 (2019)
45
Stunting (pendek) pada
Penurunan 40% 37.2% 30.8% - 38.1
anak usia 0-59 bulan 40 37.2 37.2
33.6
Anemia pada wanita Data belum 35 36.8
Penurunan 50% 22.7% - 35.6 30.8
usia subur tersedia 30 32.8 28
26.1
5.7% 29.9
Berat badan lahir 6.2% 8% (Buku II) 25
Penurunan 30% (< 2500 19.6 21
rendah pada bayi (< 2500 gr) (≤ 2500 gr) 18.4 17.9
gr) 20 17.7 17
Overweight 15 13.6 13.3 12.1
(kegemukan) pada anak 11.9% 8.0 - 10.2
Tidak meningkat 9.8 9.5
10
usia 0-59 bulan
ASI Eksklusif pada bayi 5
usia Naik menjadi 50% 41.5% 52.0% 50% (Buku II) 0
< 6 bulan (minimal) 2007 2010 2013 2016 2018 RPJMN Target
data Riskesdas data Sirkesnas data Riskesdas 2019
Wasting (kurus) pada
Turun menjadi <5% 12.1% 10.2% 9.5% (Buku II)
anak usia 0-59 bulan
Stunting (pendek) pada anak usia 0-23 bulan Stunting (pendek) pada anak usia 0-59 bulan

Kerangka Global WHO untuk PTM (2025) Wasting (kurus) pada anak usia 0-59 bulan Underweight (gizi kurang) pada anak usia 0-59 bulan

Obesitas pada dewasa 15.4%


Tidak meningkat 15.4% 21.8% Sumber: RISKESDAS 2007, 2010, 2013, 2018; SIRKESNAS 2016
usia 18+ tahun (Buku I dan II)
Underweight (gizi
17%
kurang) pada anak usia - 19.6% 17.7%
(Buku I dan II) Stunting pada anak adalah bentuk kekurangan gizi yang paling umum di Indonesia dan
0-59 bulan
Stunting (pendek) pada 28% tetap menjadi tantangan utama. Tahun 2018, Riskesdas menunjukan prevalensi stunting
- 32.9% 29.9% pada anak usia di bawah dua tahun sebesar 29,9 %. Angka ini memperlihatkan adanya
anak usia 0-23 bulan (Buku I dan II)
penurunan dalam beberapa tahun terakhir dan target penurunan stunting untuk anak
Anemia pada ibu hamil - 37.1% 48.9% 28% (Buku II) usia di bawah dua tahun pada 2019 telah terpenuhi dimana angka ini mendekati target
pada RPJMN yakni 28% di tahun 2019.

Sumber: WHO, 2012; WHO, 2013; Bappenas, 2015; Kementerian Kesehatan, 2013;
Data tahun 2013 dan 2018 menunjukkan adanya disparitas prevalensi stunting secara
Kementerian Kesehatan, 2018
geografis. Data dari 2013 (Kementerian Kesehatan, 2013), yang telah dijelaskan secara
lengkap dalam background paper sebelumnya tentang gizi di Indonesia yang dilakukan
pada tahun 2014 (Bappenas, 2014), menunjukkan bahwa stunting sangat umum terjadi di
Tiga dari indikator RPJMN 2015-2019 sama dengan target global yang disahkan oleh negara-
bagian paling timur dan paling barat Indonesia dimana mencapai puncaknya dengan 51,7
negara anggota Majelis Kesehatan Dunia (World Health Assembly/WHA) pada tahun 2012 dan
% di Nusa Tenggara Timur (NTT). Sebagian besar provinsi (28 dari 34 provinsi) memiliki
kemudian dimasukkan ke dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) sebagai target
prevalensi stunting di atas 30%, yang dikategorikan oleh WHO sebagai prevalensi yang
yang harus dipenuhi pada tahun 2030. Indonesia adalah negara penandatangan kesepakatan
sangat tinggi dalam masalah kesehatan masyarakat (WHO, NLiS, 2018). Prevalensi
WHA dan SDGs. Selain itu, RPJMN juga mencakup target gizi untuk obesitas usia dewasa,
stunting pada anak lebih tinggi di daerah pedesaan (40%) dibandingkan dengan daerah
yang telah diadopsi sebagai target pilihan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dalam
perkotaan (31%), dan jauh lebih tinggi pada kelompok dengan tingkat kekayaan terendah
Kerangka Global WHO untuk PTM.
10 • Pembangunan Gizi di Indonesia 2. Analisis Situasi: Capaian dan Tantangan • 11

dibandingkan dengan kuintil terkaya. (lihat Lampiran 1). Namun demikian, 29,0% anak- Gambar 3. Perbaikan Gizi di Tiga Kabupaten MYCNSIA, 2011-2014
anak di kuintil kekayaan tertinggi mengalami stunting dimana hal ini menggambarkan
bahwa stunting bukan hanya masalah yang terkait dengan kemiskinan. Data Riskesdas % 100
2018 menunjukan hal yang tidak jauh berbeda dimana bagian paling timur dan paling 90 81.7
80 72.3 69.5
barat Indonesia menjadi daerah dengan angka stunting balita tertinggi dibandingkan 64.3
70 61.4
daerah lainnya (lihat Lampiran 1). Terdapat 20 provinsi memiliki prevalensi stunting 60 52.2 53.3
sangat tinggi (≥30%) berdasarkan klasifikasi WHO terbaru (WHO, NLiS, 2018). Secara 50 43.1
40 33.8
nasional, prevalensi stunting balita menurun menjadi 30,8% (Kementerian Kesehatan, 29.6 29.7 30.3 30.2
30 23.9
2018). Jika dibandingkan dengan prevalensi stunting tahun 2013, terjadi penurunan 17.1
20
sebesar 1,28 poin persen pertahun. Hal ini mengindikasikan bahwa apabila tingkat 6.9
10
penurunan ini dapat dipertahankan maka target penurunan stunting pada balita sesuai 0
WHA dapat tercapai di tahun 2025. All
Semua Poorest
Termiskin All
Semua Poorest
Termiskin All
Semua Poorest
Termiskin All
Semua Poorest
Termiskin

Stunting
Stunting Exclusive breastfeeding
ASI Eksklusif Minimum acceptable
Minimum Handwashing with soap
Cuci tangan
Di tingkat kabupaten, kemajuan penurunan stunting sangat bervariasi. Dari 438 diet diet
acceptable pakai sabun

kabupaten di Indonesia, hampir setengah (206 setara dengan 47%) mengalami penurunan
2011 (baseline) 2014 (endline)
prevalensi stunting antara 2007 dan 2013 serta 52 kabupaten mengalami pengurangan di
atas 10% selama periode enam tahun. Pengamatan lebih dekat dan pemahaman tentang Sumber: (UNICEF, 2017)
faktor-faktor yang berkontribusi pada perbaikan gizi di kabupaten yang berhasil akan
membantu kabupaten lain yang belum berhasil secara efektif menurunkan stunting pada Wasting adalah bentuk kekurangan gizi yang sangat serius karena sangat meningkatkan
anak. Contoh dimana stunting telah berhasil diturunkan di tiga kabupaten melalui adopsi risiko kematian dan kesakitan. Tingkat kematian pada anak dengan gizi buruk akut
pendekatan multisektoral dijelaskan dalam Kotak 1. (Severe Acute Malnutrition/SAM) adalah 11,6 kali lebih tinggi dibandingkan pada anak
dengan gizi baik, dan mereka yang bertahan hidup dari keadaan gizi buruk akut dapat
terus mengalami masalah perkembangan di sepanjang hidup mereka (Ologin, McDonald,
Kotak 1. Fokus pada Upaya Kabupaten yang Berhasil & Ezzati, 2013). Bukti global menunjukkan bahwa wasting (kurus) meningkatkan risiko
dalam Menurunkan Stunting dan Perbaikan Gizi stunting pada anak, gangguan perkembangan kognitif, dan penyakit tidak menular di
masa dewasa (Lelijveld, Seal, & Wells, 2016) (Grantham-McGregor, Powell, Walker,
Aksi bersama untuk perbaikan gizi dilakukan di Kabupaten Klaten, Sikka, dan & Chang, 1994). Indonesia memiliki tingkat kekurangan gizi akut tertinggi keempat di
Jayawijaya sebagai bagian dari program Maternal and Young Child Nutrition dunia, dengan sekitar tiga juta anak balita mengalami wasting (kurus), diantaranya
Security in Asia (MYCNSIA) dari tahun 2011 hingga 2014. Hasilnya adalah yakni 1,4 juta anak mengalami sangat kurus (Kementerian Kesehatan, 2013). Data tahun
pengurangan lima persen poin pada persentase stunting, 20 persen poin 2013 menunjukkan bahwa enam provinsi memiliki prevalensi lebih dari 15% yang
peningkatan untuk persentase ASI eksklusif dan peningkatan konsumsi pada anak dianggap sebagai masalah kesehatan masyarakat yang sangat tinggi oleh WHO (WHO,
serta perilaku kebersihan. Peningkatan yang terjadi lebih besar pada kelompok NLiS, 2018) sehingga memerlukan respons darurat. Meskipun Gambar 2 menunjukkan
yang paling miskin. Tujuh faktor keberhasilan percepatan perbaikan gizi yang bahwa ada beberapa kemajuan dalam menurunkan prevalensi wasting, namun hal ini
dapat diidentifikasi mencakup: (i) lingkungan legislatif yang mendukung; (ii) belum dikonfirmasi oleh survei SMART1 yang dilakukan di Kabupaten Kupang yang
perencanaan dan penganggaran di tingkat pusat dan daerah; (iii) pendekatan menunjukkan tetap tingginya prevalensi wasting (UNICEF/ACF, 2016 Unpublished).
multisektoral untuk mengintegrasikan hasil dan mengoptimalkan saluran untuk Namun demikian, data terbaru Riskesdas 2018 menunjukan angka wasting pada balita
promosi; (iv) platform efektif untuk rumah tangga yang paling rentan dan kurang mengalami penurunan menjadi 10,2% dan semua provinsi memiliki prevalensi balita
beruntung; (v) peningkatan pengetahuan dan keterampilan konseling tenaga kurus di bawah 15%, dengan provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) memiliki prevalensi
kesehatan masyarakat; (vi) sistem pemantauan yang efektif; serta (vii) bekerja tertinggi yakni sebesar 14,4% (Kementerian Kesehatan, 2018).
sama dengan mitra.
Underweight adalah indikator kekurangan gizi anak yang tidak membedakan antara
kekurangan gizi jangka pendek wasting dan kronis stunting. Prevalensi underweight
cenderung meningkat antara tahun 2010 sampai 2016, namun hasil utama Riskesdas 2018
menunjukkan penurunan prevalensi menjadi 17,7% yang mengindikasikan bahwa target
RPJMN 2015-2019 kemungkinan besar akan tercapai. Namun demikian, underweight
bukan merupakan indikator yang sensitif dan indikator ini belum diadopsi sebagai
indikator WHA (lihat Tabel 1).

1 Survei SMART (Standardized Monitoring and Assessment of Relief and Transition) mengadopsi metode standar
untuk mengukur tingkat wasting (kekurusan) pada anak-anak.
12 • Pembangunan Gizi di Indonesia 2. Analisis Situasi: Capaian dan Tantangan • 13

2.2.2. Kurang Gizi pada Perempuan 2.2.3. Pemberian Makan pada Bayi dan Anak

Sejak penyusunan background paper sebelumnya tentang gizi di Indonesia pada tahun Menyusui hingga usia dua tahun telah dilaporkan secara luas memiliki banyak manfaat
2014 (Bappenas, 2014), terdapat minimnya ketersediaan data terbaru tentang status gizi jangka pendek dan jangka panjang bagi anak dan ibu (Horta & Victora, 2013). WHO,
ibu untuk menentukan capaian target sejak tahun 2014. Kurang Energi Kronis (KEK) pada UNICEF, dan Kementerian Kesehatan Indonesia merekomendasikan bahwa bayi harus
ibu hamil yang diukur melalui lingkar lengan atas (LILA) dilaporkan dalam background disusui secara eksklusif selama enam bulan pertama semenjak lahir dan sesudah itu
paper tentang gizi 2014 dan ditemukan adanya peningkatan antara 2010 dan 2013. Hampir dilakukan pengenalan makanan pendamping ASI dalam bentuk padat atau semi padat
satu dari empat wanita hamil (24,2%) memiliki LILA yang rendah (<23,5 cm) pada tahun bersamaan dengan kelanjutan menyusui hingga usia 24 bulan. Seperti yang ditunjukkan
2013 dan ini hampir tidak berubah pada tahun 2016, tetapi kemudian menurun di tahun pada Gambar 4, target RPJMN 2015-2019 untuk pemberian ASI eksklusif tampaknya akan
2018 menjadi 17,3% (Kementerian Kesehatan, 2018). tercapai.

Berat badan lahir rendah (BBLR) (<2.500 gram) merupakan indikator kekurangan gizi ibu Meskipun prestasi ini terlihat jelas, praktik pemberian makan pada bayi dan anak (PMBA)
yang menunjukkan adanya sedikit perubahan selama 10 tahun terakhir dan tidak ada di Indonesia masih sangat tidak memadai. Sementara 61% ibu memulai menyusui
indikasi yang jelas bahwa target RPJMN 2015-2019 akan terpenuhi (lihat Gambar 4). Data dalam satu jam pertama kelahiran bayi mereka, hanya setengah (54%) terus menyusui
Riskesdas 2018 dengan indikator BBLR <2.500 gram menunjukkan adanya peningkatan hingga usia dua tahun (BPS & Kemenkes, 2017). Lebih dari sepertiga (37%) dari ibu pada
yakni 5,4% di tahun 2007 menjadi 5,7% di tahun 2013 dan 6,2% di tahun 2018. Serupa tahun 2012 memberikan susu botol kepada anak mereka antara usia 0-23 bulan yang
dengan tahun 2013 dimana BBLR terjadi lebih banyak pada keluarga dengan tingkat meningkatkan risiko penyakit infeksi seperti diare karena sulitnya mensterilkan dot pada
pendidikan yang lebih rendah. Namun, angka ini cenderung sama untuk daerah pedesaan botol dengan benar (BPS & Kemenkes, 2012). Selain itu, jenis makanan pendamping
(6,3%) dan perkotaan (6,1%) (Kementerian Kesehatan, 2018). yang diperkenalkan tidak memadai untuk memenuhi kebutuhan gizi anak yang sedang
dalam masa pertumbuhan. Pada tahun 2012, hanya 58,2% anak-anak berusia 6 hingga
Gambar 4. Kemajuan terhadap Target RPJMN 2015-2019 untuk Bayi 23 bulan menerima makanan dengan empat atau lebih kelompok makanan. Ini berarti
dengan Berat Badan Lahir Rendah, Anemia dan ASI Eksklusif bahwa hampir setengah dari semua anak Indonesia tidak menerima gizi yang mereka
butuhkan selama dua tahun pertama hidupnya untuk bertumbuh dan berkembang
secara optimal.

2.2.4. Defisiensi Mikronutrien

Sangat sedikit data baru yang tersedia terkait defisiensi mikronutrien sejak background
paper sebelumnya tentang gizi dilakukan sebagai bagian dari Kajian Sektor Kesehatan
2014 (Bappenas, 2014). Anemia pada wanita dan anak-anak masih menjadi masalah
kesehatan masyarakat dengan kategori berat menurut klasifikasi WHO (WHO, 2010).
Anemia sebagian besar disebabkan oleh defisiensi zat besi, dan juga terkait dengan
defisiensi mikronutrien lainnya seperti vitamin A, asam folat, dan vitamin B12. Prevalensi
anemia juga lebih tinggi di daerah dimana kecacingan umum terjadi. Seperti yang
ditunjukkan Gambar 4, anemia pada ibu hamil (hemoglobin <11 g/dl) telah meningkat
secara mengkhawatirkan dalam beberapa tahun terakhir. Data dari tahun 2016
menunjukkan bahwa lebih dari separuh ibu hamil mengalami anemia yang jauh di atas
nilai target RPJMN 2015-2019. Riskesdas 2018 juga menunjukkan hal serupa dengan
hampir separuh ibu hamil mengalami anemia (48,9%). Selain itu, lebih dari seperempat
Sumber: RISKESDAS 2007, 2010, 2013, 2018; SIRKESNAS 2016. Catatan: angka ASI Eksklusif (28%) anak-anak di bawah usia lima tahun mengalami anemia (hemoglobin < 11 g/dl)
diambil berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2007, 2012, dan 2017. pada tahun 2013 (Kementerian Kesehatan, 2013). Namun, di tahun 2018, data anemia
pada anak balita belum tersedia. Tidak ada keraguan bahwa anemia memiliki dampak
besar pada kesehatan dan kesejahteraan perempuan dan anak di Indonesia.

Hingga saat ini ketersediaan data baru tentang defisiensi vitamin A masih minim sehingga
tidak memungkinkan untuk menilai kemajuan. Survei nasional terakhir tentang status
vitamin A dilakukan oleh Kementerian Kesehatan pada tahun 1992 dan menemukan
bahwa serum retinol kurang dari 20 μg / dL pada setengah dari anak-anak berusia 6-59
14 • Pembangunan Gizi di Indonesia 2. Analisis Situasi: Capaian dan Tantangan • 15

bulan. SEANUTS 2011 memeriksa status vitamin A pada anak, tetapi tidak termasuk anak Gambar 5. Kemajuan terhadap Target RPJMN 2015-2019
dengan usia kurang dari dua tahun yang kemungkinan besar berada pada risiko terbesar untuk Kegemukan dan Obesitas
kekurangan vitamin A, sehingga data tidak dapat dibandingkan. Dalam survei ini hanya
1,5 persen anak di daerah pedesaan berusia 2-4 tahun ditemukan memiliki kekurangan 40
vitamin A.
35

Demikian pula, tidak terdapat data baru tentang tingkat kekurangan yodium yang tersedia 30
sejak background paper sebelumnya tentang gizi di Indonesia yang dilakukan sebagai
25 21.8
bagian dari Kajian Sektor Kesehatan 2014 (Bappenas, 2014), yang menemukan bahwa 20.7
status yodium pada anak sekolah dan wanita usia subur tetap memadai, sementara 20
15.4 15.4
status yodium pada wanita hamil berada pada ambang batas. 14.0
15 12.2

2.2.5. Kegemukan dan Obesitas 10 8.0


11.7 11.8 6.1

5
Prevalensi kegemukan (IMT ≥25 sampai <27) dan obesitas (IMT ≥ 27) di kalangan
orang dewasa meningkat tajam dan obesitas sekarang menjadi tantangan masalah gizi 0
2007 2010 2013 2016 2018 RPJMN Target
terbesar di masa depan yang dihadapi oleh Indonesia. Dalam lima tahun, antara tahun data Riskesdas data Sirkesnas data Riskesdas 2019
2013 dan 2018, prevalensi obesitas telah meningkat enam persen dan lebih tinggi dari
Obesitas pada dewasa usia 18+ tahun Overweight (gemuk) pada anak usia 0-59 bulan
target RPJMN 2015-2019 (lihat Gambar 5). Selain itu, terdapat perbedaan geografis yang
signifikan dengan prevalensi obesitas tertinggi ditemukan di Sulawesi Utara (30,2%) dan
terendah di NTT (10,3%) dimana semua provinsi telah mengalami peningkatan obesitas Sumber: RISKESDAS 2007, 2010, 2013, 2018; SIRKESNAS 2016
secara progresif dari waktu ke waktu (Kementerian Kesehatan, 2018). Data obesitas pada
dewasa berdasarkan jenis kelamin dan kuintil kekayaan belum tersedia di Riskesdas 2018.
Walaupun demikian, di tahun 2016, menunjukkan kegemukan dan obesitas pada wanita 2.2.6. Gizi Remaja
dewasa jauh lebih tinggi daripada pria dewasa, dimana terdapat 41,6% wanita dewasa
kelebihan berat badan dibandingkan 24% pria. Sementara di tahun 2013, obesitas ditemui Meskipun tidak ada target yang masuk dalam RPJMN 2015-2019 untuk gizi remaja2,
pada semua kelompok kuintil pendapatan baik yang rendah maupun yang lebih tinggi masa remaja adalah periode kritis kedua untuk pertumbuhan fisik setelah tahun pertama
dan 7% orang dewasa pada kuintil kekayaan terendah mengalami obesitas (Kementerian kehidupan, dimana ketika perubahan psikososial dan emosional yang mendalam terjadi
Kesehatan, 2013) (lihat Lampiran 1). dan peningkatan kognitif dan kapasitas intelektual tercapai. Selain itu, Indonesia sendiri
adalah rumah bagi sekitar 45 juta remaja laki-laki dan perempuan atau setara dengan
Pada kelompok anak di bawah usia lima tahun, prevalensi kelebihan berat badan (berat 18% dari total penduduk (BPS, 2010). Remaja di Indonesia sudah mulai menderita Beban
badan per tinggi badan >2 score) menunjukan tidak ada peningkatan. Sekitar 7% anak Ganda Masalah Gizi. Pada tahun 2013, 9,4% remaja berusia 16-18 tahun dan 11,1%
balita diperkirakan mengalami kegemukan pada tahun 2018 (Kementerian Kesehatan, dari mereka yang berusia 13-15 tahun mengalami kurus (IMT per usia <-2 SD Zscore),
2018). Walapun data berat badan lebih pada balita berdasarkan kuintil kekayaan di tahun sementara 7,3% dan 10,8%, secara berurutan, mengalami kelebihan berat badan (IMT
2018 belum tersedia, data Riskesdas tahun 2013 menunjukkan kegemukan terjadi lebih per usia > +1 SD Zscore) (Kementerian Kesehatan, 2013). Prevalensi kegemukan pada
banyak pada kuintil kekayaan yang lebih tinggi dibandingkan pada kuintil kekayaan kelompok usia 16-18 tahun meningkat tajam dari 1,4% pada tahun 2010 menjadi 7,3%
yang lebih rendah, namun bahkan pada kuintil kekayaan terendahpun, 10,2% anak balita pada 2013, yang menunjukkan bahwa kegemukan meningkat dengan cepat. Prevalensi
mengalami kegemukan pada tahun 2013 (lihat Lampiran 1). stunting pada usia 16-18 tahun sebesar 31,4% dan pada kelompok usia 13-15 tahun
sebesar 35,1%, dan yang menjadi perhatian adalah sebagian besar anak perempuan akan
memasuki fase kehamilan dalam keadaan kurang gizi sehingga dapat memperpanjang
siklus malnutrisi. Prevalensi kurus (LILA <23,5 cm) pada kelompok remaja putri yang
hamil sudah lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan yang lebih tua yaitu sekitar
satu dari tiga dibandingkan dengan satu dari empat (24,2%) secara berurutan. Kotak 2
menjelaskan gaya hidup dan pola konsumsi remaja di Indonesia dan melihat pentingnya
mengembangkan kebijakan yang menargetkan kelompok usia remaja.

2 WHO mendefinisikan remaja pada usia antara 10 dan 19 tahun.


16 • Pembangunan Gizi di Indonesia 2. Analisis Situasi: Capaian dan Tantangan • 17

Kotak 2. Fokus pada Gaya Hidup dan Pola Makan Remaja


meskipun peluang untuk meningkatkan perbaikan gizi remaja di Indonesia dapat
yang Berkontribusi pada Beban Ganda Masalah Gizi
dilakukan melalui penguatan kebijakan di tingkat kabupaten, dan melalui penguatan
mekanisme koordinasi lintas sektor. Berkenaan dengan hal tersebut, terdapat
Remaja semakin dianggap penting sebagai agen perubahan gizi yang potensial beberapa rekomendasi meliputi: (i) meningkatkan permintaan untuk makanan sehat
di Indonesia karena berperan dalam memotong rantai kemiskinan dan malnutrisi melalui kampanye sosial dan perubahan perilaku secara massal menggunakan
antargenerasi. Kebiasaan makan pada usia remaja saat ini akan menentukan pola teknologi modern, dan pendidikan gizi; (ii) mengendalikan pasokan, pemasaran dan
konsumsi generasi masa mendatang ketika remaja tersebut tumbuh menjadi orang penjualan makanan yang kurang sehat; serta (iii) memperluas akses ke makanan
dewasa di kemudian hari. sehat dan fasilitas olahraga.

Sebuah survei dan studi kualitatif di dua kabupaten di Indonesia telah menunjukkan Perbaikan kebijakan dan program pangan sekolah merupakan pilihan penting untuk
bahwa remaja tidak mengembangkan gaya hidup dan pilihan konsumsi yang sehat. perbaikan gizi di Indonesia. Program gizi berbasis sekolah yang terintegrasi dapat
Secara keseluruhan, mereka relatif tidak aktif dan menghabiskan sebagian besar mengatasi Beban Ganda Masalah Gizi, kesehatan buruk yang terkait, serta dapat
waktu luang untuk duduk: menonton TV, menggunakan ponsel mereka, belajar, atau digunakan untuk membangun dan mengintegrasikan intervensi gizi yang sedang
bekerja. Sebagian besar remaja bepergian dengan sepeda motor dan menghabiskan dilakukan. Sekolah juga berperan sebagai pintu akses potensial untuk melibatkan
sedikit waktu untuk berjalan, bersepeda, dan berolahraga. orang tua dan masyarakat. Selain itu, standar makanan di sekolah telah terbukti efektif
untuk meningkatkan ketersediaan dan pembelian makanan sehat serta mengurangi
Meskipun remaja pada umumnya makan tiga kali sehari, namun terdapat sedikit
pembelian makanan yang tidak sehat.
keluarga yang memasak dan makan bersama. Hanya setengah remaja yang disurvei
sarapan di rumah, sementara separuh lainnya membeli makanan, baik di warung
maupun di sekolah. Penelitian kualitatif menemukan bahwa makan siang biasanya Sumber: Soekarjo, Roshita, Thow, & et al., 2018; UNICEF, 2018 Unpublished;
merupakan makanan jadi yang dibeli di warung dan seringkali termasuk minuman UNICEF, 2018 Unpublished
manis. Makan malam sebagian besar dilakukan di rumah, tetapi jarang dilakukan
secara bersama dengan keluarga. Sebaliknya, makan malam paling sering dilakukan
di depan televisi, menggantikan praktik tradisional makan bersama di atas tikar Pesan Kunci
di lantai. Dua per tiga (66%) remaja yang disurvei mengonsumsi kudapan berupa
makanan olahan dan sekitar sepertiga remaja mengonsumsi kue, kue kering, 1. Indonesia menderita Beban Ganda Masalah Gizi dimana kekurangan gizi dan
gorengan, dan kerupuk. Selain itu, 20% mengonsumsi makanan siap saji dan 14% obesitas berada dalam populasi, rumah tangga, dan individu yang sama.
kudapan lokal buatan sendiri. Sementara 84% sering mengonsumsi minuman manis.
2. Periode kritis untuk intervensi gizi adalah 1.000 hari pertama kehidupan dimulai
Rata-rata remaja menghabiskan sekitar Rp 6.000,- (US$ 0,42) per hari untuk makanan
dari kehamilan hingga anak berusia dua tahun, dan masa remaja.
dan minuman. Sebagai hasil dari pilihan konsumsi ini, kurang dari setengah remaja
yang disurvei mengonsumsi 5 atau lebih dari 11 kelompok makanan yang memenuhi 3. Stunting, wasting, anemia, dan obesitas adalah tantangan gizi yang menjadi
rekomendasi untuk konsumsi yang beragam. prioritas utama.

Studi kualitatif menemukan bahwa meskipun sekolah-sekolah memiliki pengelolaan 4. Remaja sudah menderita Beban Ganda Masalah Gizi dan data survei dari dua
yang berbeda-beda dalam penjualan makanan, tetapi tidak ada kontrol pada jenis kabupaten menunjukkan bahwa mereka tidak melakukan gaya hidup dan pilihan
makanan yang dijual, yang pada umumnya menjual makanan dan minuman yang konsumsi yang sehat.
tidak sehat. Selain itu, pada umumnya para guru masih belum memahami bahwa
5. Minimnya ketersediaan data terbaru tentang indikator gizi utama di seluruh
pendidikan gizi di sekolah menengah (SMP dan SMA) merupakan tanggung jawab
siklus kehidupan serta variasi dalam metode survei dan definisinya sehingga
mereka. Selain dari pendidikan gizi di sekolah dasar, sumber utama informasi gizi
membuat indikator tersebut sulit untuk dipantau kemajuannya sejak disusun
untuk remaja adalah televisi dan internet.
background paper sebelumnya tentang gizi di Indonesia sebagai bagian dari
Kajian Sektor Kesehatan Tahun 2014.
Temuan ini menggarisbawahi peluang penting yang dapat dilakukan pada remaja
dalam meningkatkan status gizi dan pola konsumsi penduduk Indonesia. Saat ini, 6. Diperlukan langkah bersama untuk mencapai target status gizi dalam RPJMN
gizi remaja belum dianggap sebagai prioritas dalam agenda pembangunan nasional, 2015-2019 dengan stunting pada anak usia di bawah dua tahun menjadi satu-
satunya indikator yang berpotensi untuk mencapai target.
18 • Pembangunan Gizi di Indonesia 2. Analisis Situasi: Capaian dan Tantangan • 19

2.3. Penyebab Beban Ganda Masalah Gizi Gambar 6. Asupan Energi dan Protein per Kapita per Hari
Menurut Kelompok Tingkat Kekayaan pada Tahun 2017
Bagian ini mengkaji penyebab Beban Ganda Masalah Gizi di Indonesia dan mengidentifikasi
pencapaian target dan tantangan dalam mengatasinya. Gambar 1 mengilustrasikan beberapa 3000 100
penyebab malnutrisi yang berperan pada masing-masing tingkatan yang berbeda. Penyebab
2564 90
langsung dijelaskan dengan warna hijau, sementara tiga kelompok penyebab tidak langsung 81.5
2500 2353
ditunjukkan dengan warna dasar biru, dan akar masalah ditunjukan dengan warna kuning. 80
Bagian berikut menyajikan data terbaru tentang penyebab malnutrisi di Indonesia.
AKG = 2150 Kkal 2155 69 .1
1975 70
2000

energi dalam Kkal


60.9

protein dalam gram


2.3.1. Konsumsi Pangan yang Tidak Cukup dan Kerawanan Pangan 1713 AKG = 57 gram
54.2 60

1500 45.4 50
Rumah tangga miskin dan menengah di Indonesia memiliki pola konsumsi yang
minim akan zat gizi dan kurang beragam, sementara rumah tangga menengah ke atas 40
memiliki pola konsumsi berlebih, khususnya sumber energi dan makanan olahan. 1000
Hal ini berkontribusi terhadap terjadinya kekurangan gizi pada kelompok masyarakat 30
menengah ke bawah serta obesitas pada kelompok menengah ke atas. Data survei 20
pada tahun 2014 menunjukkan bahwa hampir setengah populasi di Indonesia 500
(45,7%) mengonsumsi kurang dari 70% Angka Kecukupan Gizi (AKG)3 untuk energi, 10
sementara 36,1% mengkonsumsi kurang dari 80% AKG untuk protein4 (SKMI, 2014).
0 0
Gambar 6 menunjukkan perbedaan konsumsi sumber energi dan protein pada kelompok Energy Protein
Energi Protein
masyarakat menurut tingkat kekayaan. Hanya mereka yang berada pada kuintil ketiga,
keempat, dan kelima yang mengonsumsi energi dan protein yang cukup. Q1 Q2 Q3 Q4 Q5

Sumber: SUSENAS 2017


Pada saat yang sama, semakin banyak penduduk yang mengonsumsi makanan dan
minuman yang tidak sehat secara berlebihan. Analisis data tahun 2014 menemukan
bahwa 29,7% penduduk Indonesia mengonsumsi gula, garam, dan lemak melebihi Makanan khas Indonesia adalah makanan berbahan dasar beras dan serealia yang
rekomendasi WHO dimana untuk gula > 50 g/hari, garam > 5 g/hari, dan lemak > 67 g/ selalu menjadi makanan pokok utama. Sebagaimana dituliskan dalam background
hari (Atmarita, Jahari, Sudikno, & Soekatri, 2016). paper tentang gizi sebelumnya sebagai bagian dari Kajian Sektor Kesehatan 2014, pola
makan rumah tangga berubah dengan cepat, tetapi tidak menjadi lebih sehat. Gambar
7 mengilustrasikan bahwa antara tahun 2007 dan 2017, proporsi energi dalam makanan
yang berasal dari serealia yang dikonsumsi oleh penduduk perkotaan dan pedesaan
menurun namun hal ini terjadi karena ada peningkatan proporsional dalam asupan
energi dari makanan dan minuman jadi (Sumarwan, 2018). Peningkatan konsumsi
makanan dan minuman jadi, yang sebagian besar kecenderungannya adalah makanan
yang diproses5 dan tinggi gula, garam dan lemak, di antara penduduk pedesaan sangat
terlihat nyata dan mengkhawatirkan. Ini menunjukkan bahwa tingkat obesitas akan
terus meningkat dalam kelompok ini sehingga akan menambah Beban Ganda Masalah
Gizi. Sementara itu, konsumsi tepung terigu juga meningkat, yang didorong dengan
semakin meningkatnya konsumsi mi instan pada 15% remaja berusia 10-19 tahun yang
mengonsumsi mi setiap hari pada tahun 2013 (Kementerian Kesehatan, 2013). Di sisi
lain, konsumsi buah dan sayur tetap rendah dimana 93,5% penduduk berusia 10 tahun
ke atas mengonsumsi buah dan sayur kurang dari 5 porsi dalam sehari (Kementerian
Kesehatan, 2013). Pada tahun 2018, pola konsumsi tersebut tidak menunjukkan adanya
perbedaan dimana 95,5% penduduk usia ≥ 5 tahun mengkonsumsi buah dan sayur
kurang dari 5 porsi dalam sehari (Kementerian Kesehatan, 2018).

5 ‘Diproses ’didefinisikan sebagai makanan atau minuman apapun yang telah diolah dari keadaan mentah.
3 AKG per orang per hari untuk energi adalah 2,150 kkal sesuai dengan Peraturan Menkes, Pasal 4, 2013.
4 AKG per orang per hari untuk protein adalah 57 gram.
20 • Pembangunan Gizi di Indonesia 2. Analisis Situasi: Capaian dan Tantangan • 21

Keragaman pola konsumsi yang rendah berkaitan dengan terjadinya stunting pada anak. dan kualitas makanan yang mereka konsumsi (SMERU, 2015). Sebagian besar (80%)
Sebuah penelitian yang dilakukan di Jawa Timur menilai keragaman pola konsumsi pada rumah tangga dengan tingkat pengeluaran rendah dan menengah menghabiskan lebih
12 kelompok makanan, yang kemudian dijumlahkan sebagai Skor Keragaman Konsumsi dari separuh pengeluaran mereka untuk makanan di tahun 2017, dan membelanjakan
Pangan Rumah Tangga (Household Dietary Diversity Score), menemukan bahwa skor porsi yang jauh lebih besar dari uang mereka untuk makanan dibandingkan dengan 20%
yang lebih rendah dikaitkan dengan stunting bahkan ketika penyesuaian dibuat untuk penduduk terkaya (BPS, 2017).
ukuran keluarga, pengetahuan ibu, pengeluaran untuk makanan, serta asupan energi dan
protein dari ASI (Mahmudiono, Sumarmi, & Rosenkrantz, 2017). Kementerian Kesehatan Meskipun harga makanan tetap menjadi penghalang utama bagi banyak keluarga miskin
memperkirakan bahwa hanya 29% dari anak-anak berusia 6-59 bulan mengonsumsi di Indonesia, tetapi pengeluaran untuk makanan dan minuman olahan, yang sebagian
makanan sumber zat besi dan hanya 20% yang mengonsumsi telur (Kemenkes, 2014). besar cenderung makanan yang diproses, meningkat empat kali lipat pada masyarakat
perkotaan dan juga pedesaan dari tahun 2007 hingga 2017. Pertumbuhan industri
Gambar 7. Asupan Energi per Kapita per Hari dari Kelompok Makanan yang Berbeda makanan dan minuman mendorong terjadinya perubahan pola konsumsi di Indonesia
pada Tahun 2007 dan 2017 dan berkontribusi pada terjadinya Beban Ganda Masalah Gizi seperti yang dijelaskan pada
Kotak 3.
100
9.5
90 15.3 19.2 Kotak 3. Fokus pada Peningkatan Konsumsi Makanan dan Minumam Olahan
26.7
80 yang Berkontribusi pada Kejadian Beban Ganda Masalah Gizi
70

60 Industri makanan dan minuman sedang berkembang pesat di Indonesia dengan


50 tingkat pertumbuhan sebesar 12,7% yang tercatat untuk kuartal pertama 2018
40 dan memberikan kontribusi 6,1% terhadap total PDB pada tahun 2017 (Lukman,
2018). Sektor ini berkembang dengan peningkatan 20% dalam investasi domestik
30
51.5 langsung (Domestic Direct Investment/DDI) pada tahun 2017, dibandingkan dengan
20 42.7 43.9
35.7 penurunan 7% dalam investasi asing langsung (Foreign Direct Investment/FDI).
10 Pada kuartal pertama tahun 2018, industri makanan dan minuman menyumbang
0 12,5% dari DDI atau setara dengan US$ 711 juta. Pembuatan makanan dan
2007 2017 2007 2017
minuman olahan, yang pada umumnya tinggi lemak, gula, dan garam, sebagian
Perkotaan
Urban Rural
Pedesaan besar dilakukan oleh perusahaan Indonesia, meskipun industri sangat bergantung
pada bahan baku impor. Sebagai contoh, produksi gula dalam negeri sudah cukup
Sereal
Cereals Umbi
Tubers Ikan & hasil laut
Fish & seafood Daging
Meat
untuk memenuhi permintaan rumah tangga, tetapi 100% gula yang terdapat dalam
Telur dan susu
Eggs & milk Vegetables
Sayuran Fruit
Buah Oil & coconut
Minyak & kelapa
produk jadi merupakan bahan impor, terutama dari Thailand dan Australia (Lukman
Minuman
Beverages Miscellaneous
Lain-lain Prepared food & drink
Makanan & minuman jadi
(komunikasi personal), 2018).

Sumber: BPS, 2007; BPS, 2017 Peningkatan jumlah makanan dan minuman olahan di pasar yang ada di Indonesia
diiringi dengan peningkatan gerai makanan cepat saji. Menurut perusahaan riset
pasar, Euromonitor International, penjualan makanan cepat saji diperkirakan akan
Asupan makanan ditentukan oleh ketahanan pangan yang memiliki empat dimensi, tumbuh sebesar 7% per tahun hingga 2016 dengan jumlah gerai yang melonjak dari
yaitu: ketersediaan, akses, konsumsi, dan pemanfaatan pangan (WFP, 2017). Badan 5.890 pada tahun 2011 menjadi 9.100 pada tahun 2017. Lebih lanjut lagi, perusahaan
Pangan Dunia (WFP) melaporkan bahwa secara keseluruhan, ketahanan pangan memperluas jangkauan mereka di luar kota-kota besar (Bland, 2013).
meningkat antara tahun 2010 dan 2015 yakni ketika hanya 58 dari 398 kabupaten yang
Seiring dengan meningkatnya pasokan, demikian pula permintaan, perubahan
ditemukan sangat rentan terhadap kerawanan pangan (WFP, 2016). Beberapa penelitian
gaya hidup konsumen dianggap telah menjadi penyebab terjadinya peningkatan
baru-baru ini menyimpulkan bahwa akses ekonomi (keterjangkauan) terhadap pangan
konsumsi produk olahan (Sumarwan, 2018). Konsumen memiliki lebih sedikit waktu
dibandingkan dengan ketersediaan pangan merupakan penyebab utama kerawanan
untuk menyiapkan makanan di rumah karena mereka menghabiskan lebih banyak
pangan di Indonesia (SMERU, 2015) (WFP, 2017) (WFP & Bappenas, 2017). Sebuah
waktu bekerja di luar rumah, sementara produk olahan tersedia dengan mudah
studi untuk memperkirakan biaya konsumsi di Indonesia menemukan bahwa 38%
di pasaran dengan harga terjangkau. Selain itu, terdapat beberapa bukti yang
dari populasi nasional tidak mampu membeli makanan bergizi dan persentase ini naik
menunjukkan bahwa iklan TV mendorong konsumsi makanan olahan dimana rata-
menjadi 68% di daerah terpencil seperti NTT dimana biaya transportasi makanan tinggi
rata orang yang menonton TV terpapar dengan satu iklan makanan atau minuman
(WFP & Bappenas, 2017). Gejolak harga pangan terutama untuk beras, daging, sayur, dan
tidak sehat setiap empat menit di Indonesia, sedangkan di China, Malaysia, dan
buah, memperburuk situasi ketika rumah tangga miskin terpaksa mengurangi jumlah
22 • Pembangunan Gizi di Indonesia 2. Analisis Situasi: Capaian dan Tantangan • 23

Korea Selatan dengan durasi setiap 12-26 menit (Kelly, Hebden, & King, 2014). Studi prevalensi diabetes pada penduduk umur ≥ 15 tahun sebesar 10,9% berdasarkan kriteria
lain juga menunjukkan pengaruh yang signifikan dari paparan televisi selama masa Diabetes Melitus menurut Konsensus PERKENI 2015 (Kementerian Kesehatan, 2018).
kanak-kanak terhadap pengeluaran rumah tangga di kemudian hari, dan juga pada
konsumsi makanan dan minuman ringan di Indonesia (Oberlander, 2018). Data Hasil dari peningkatan beban PTM yang berkaitan dengan pola makan adalah permintaan
terbaru juga melihat pengaruh pilihan makanan di Indonesia melalui ketersediaan yang meningkat terhadap layanan kesehatan di Indonesia. Pengeluaran kesehatan telah
pilihan yang lebih luas dari aplikasi layanan cepat yang memungkinkan pelanggan meningkat di Indonesia tetapi akses ke pelayanan kesehatan masih belum universal.
untuk memesan dan membayar makanan dengan mudah menggunakan ponsel Pada tahun 2014, Pemerintah Indonesia memperkenalkan skema asuransi kesehatan
(Martianto, 2018). universal yang dikenal sebagai Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) untuk memastikan
akses ke pelayanan kesehatan bagi semua warga negara. Pada tahun 2017, 41% dari
Saat ini, walaupun target penurunan obesitas telah dimasukkan ke dalam RPJMN
populasi tidak tercakup oleh JKN termasuk sekitar 62% anak di bawah usia lima tahun
2015-2019, akan tetapi program pencegahan dan penatalaksanaan obesitas secara
(BPS, 2017). Sebuah evaluasi tentang Puskesmas (Pusat Kesehatan Masyarakat) di
komprehensif belum ada, sehingga pengawasan terhadap konten, pemasaran, dan
Indonesia menemukan bahwa beberapa puskesmas mengalami kekurangan pasokan air
penjualan makanan olahan perlu ditingkatkan. Hal tersebut menjadi kebutuhan
bersih, listrik, telepon dan dokter (lihat Tabel 2).
mendesak bagi pemerintah untuk menyusun dan memperkuat regulasi yang
membatasi ketersediaan, aksesibilitas, dan konsumsi makanan dan minuman
dengan kadar gula, garam, dan lemak yang tinggi.
Tabel 2. Akses ke Infrastruktur secara Nasional pada Tahun 2011

Jenis Akses %
2.3.2. Beban Penyakit, Akses terhadap Pelayanan Kesehatan, dan Lingkungan yang
Tidak Mendukung Kecamatan tanpa puskesmas 6,3

Puskesmas tanpa pasokan air bersih 28,3


Hubungan antara kekurangan gizi dan penyakit infeksi (menular) terlihat sangat jelas.
Infeksi, terutama diare, kecacingan, infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), serta Puskesmas tanpa listrik 24 jam 12,6
campak dan malaria, dapat menurunkan nafsu makan, menyebabkan peradangan, dan Puskesmas tanpa telepon 16,0
kemudian menyebabkan penurunan berat badan, sementara anak yang kekurangan gizi
Puskesmas tanpa dokter 4,2
memiliki risiko lebih besar terkena infeksi (Tomkins & Watson, 1989). Penyakit infeksi
masih banyak terjadi di Indonesia. Pada tahun 2012, 14,3% anak usia di bawah lima Sumber: Mahendradhata & et al., 2017
tahun dilaporkan mengalami diare dalam dua minggu terakhir, sementara 5% memiliki
gejala ISPA, dan 31% pernah mengalami demam (BPS & Kemenkes, 2012). Sementara
tahun 2018, 12,3% balita dilaporkan mengalami diare (Kementerian Kesehatan, 2018). Akses ke pelayanan kesehatan juga dipengaruhi oleh jarak tempuh ke fasilitas kesehatan
Saat ini, data mengenai angka kecacingan di tingkat nasional yang dikaitkan dengan terdekat. Data tahun 2013 menunjukkan bahwa akses ke fasilitas kesehatan berbasis
anemia dan stunting masih belum tersedia. Bukti yang ada menunjukkan bahwa lebih masyarakat atau UKBM (posyandu, polindes, poskesdes/poskestren) sudah cukup baik
dari seperempat anak balita (28%) menderita kecacingan (Kemenkes, 2015). Penyakit (ditempuh dalam waktu ≤15 menit oleh sekitar 80-90% rumah tangga). Sementara akses
infeksi lebih sering terjadi pada kuintil kekayaan yang lebih rendah. ke pelayanan kesehatan dasar (puskesmas), relatif terjangkau (ditempuh ≤15 menit oleh
hampir 70% rumah tangga) (lihat Gambar 8). Namun demikian, rumah tangga termiskin
Saat ini, Indonesia sedang mengalami transisi epidemiologi dengan beban penyakit menempuh lebih lama dibanding dengan kelompok terkaya untuk semua jenis fasilitas
bergeser dari penyakit menular dan kematian pada usia lebih muda ke arah PTM, kesehatan. Waktu tempuh ≤15 menit oleh kelompok termiskin untuk ke posyandu sekitar
peningkatan usia harapan hidup, dan peningkatan usia rata-rata kematian. Obesitas 85% dan untuk ke puskesmas 42%, sedangkan kelompok terkaya sekitar 97% untuk ke
adalah penyumbang utama beban PTM, terutama terkait dengan perkembangan posyandu dan 77% untuk ke puskesmas (Kementerian Kesehatan, 2013).
penyakit diabetes mellitus, hipertensi, stroke, dan kardiovaskular. Menurut perkiraan
WHO, kematian proporsional karena PTM di Indonesia telah meningkat dari 50,7% pada
tahun 2004 menjadi 71% pada tahun 2014 (WHO, 2014). Diabetes merupakan masalah
tersendiri dimana jumlah orang dengan diabetes diperkirakan hampir dua kali lipat, dari
7,6 juta pada 2013 menjadi 11,8 juta pada 2030. Dengan pertumbuhan prevalensi diabetes
sebesar 6% per tahun, hal ini jauh melebihi tingkat pertumbuhan populasi tahunan
negara Indonesia secara keseluruhan (Novo Nordisk, 2013). Data 2018 menunjukkan
24 • Pembangunan Gizi di Indonesia 2. Analisis Situasi: Capaian dan Tantangan • 25

Gambar 8. Persentase Rumah Tangga berdasarkan Waktu Tempuh ke Fasilitas Kesehatan kolostrum kepada bayi baru lahir dilakukan oleh beberapa ibu saat pemberian makan
pada Tahun 2013 pra-lakteal dengan kurma yang dilunakkan, madu, biskuit, dan susu formula (Breast
Milk Substitutes/BMS) umum terjadi (60%), dan paling sering dilakukan oleh wanita dari
100 0.7 0.5 0.7 0.4 kuintil kekayaan yang lebih tinggi (Alive & Thrive, 2018). Inisiasi dan durasi menyusui
2.4 2
90 18.5 12.4 bervariasi menurut provinsi, usia ibu, kuintil kekayaan, dan jenis pekerjaan. Kajian ini
80 mengidentifikasi hambatan pemberian ASI eksklusif seperti melahirkan dengan cara
70
bedah caesar, melahirkan di fasilitas non kesehatan dan non pemerintah, kurangnya
60
50 dukungan dari sang nenek, menerima sampel susu formula dari bidan, pembengkakan
89.3 88.5 94.4
40 83.8 payudara ibu, penyakit anak, serta bekerja penuh waktu.
30 65.6 69.5
20
10 28.5 Hampir separuh (48%) bayi diperkenalkan pada makanan pendamping yang terlalu dini
18.2
0 di Indonesia dan jenis makanan yang diperkenalkan tidak mendukung pertumbuhan
dan perkembangan optimal. Hanya 23% bayi berusia 6-8 bulan diberi empat atau lebih
kelompok makanan pada tahun 2012, naik menjadi 75% di antara kelompok usia 18-23
bulan (BPS & Kemenkes, 2012). Proporsi anak usia 6-23 bulan yang diberi makan sesuai
dengan ketiga rekomendasi PMBA6 sebesar 18% untuk anak usia 6-8 bulan dan 45% untuk
anak usia 18-23 bulan (BPS & Kemenkes, 2012). Terdapat bukti yang menunjukkan bahwa
hambatan keuangan menjadi alasan buruknya praktik pemberian makanan pendamping
≤ 15 menit 16-30 menit 31-60 menit > 60 menit karena provinsi dengan tingkat kerawanan pangan tertinggi merupakan daerah dengan
tingkat praktik pemberian makanan pendamping yang adekuat paling rendah (Alive &
Sumber: RISKESDAS 2013 Thrive, 2018).

Hubungan antara kekurangan gizi dengan minimnya akses air bersih, sanitasi, dan higiene Faktor lain yang berperan pada PMBA yang tidak adekuat adalah minimnya penegakan
(WASH) di Indonesia sudah semakin banyak dibuktikan. Sebuah tinjauan literatur terbaru regulasi yang komprehensif di Indonesia. Berdasarkan Undang-Undang No. 36 Tahun
menemukan bahwa prevalensi stunting di Indonesia berkaitan dengan ketersediaan kakus 2009 tentang Kesehatan, perusahaan diberi kewajiban untuk menyediakan fasilitas
yang tidak layak dan air minum yang tidak dimasak (Beal,Tumilowicz, Sutrisna, Izwardy, & bagi perempuan yang menyusui selama jam kerja, sementara Undang-Undang No. 13
Neufeld, 2018). Namun, bukti terbaru dari uji coba yang besar dan dirancang dengan baik Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, memberikan hak seorang pekerja perempuan
di Bangladesh (Luby , Rahman, & Arnold, 2018), Kenya (Null, Stewart, & Pickering, 2018) untuk beristirahat selama 45 hari sebelum melahirkan dan 45 hari setelah melahirkan.
(uji coba Manfaat WASH) dan Zimbabwe (SHINE) telah melaporkan tidak ada efek dari Namun, sebuah studi pada tahun 2011 menemukan bahwa hanya 10% dari instansi
intervensi WASH terhadap stunting. Dampak yang kurang tersebut mungkin merupakan pemerintah dan 11% dari instansi swasta menyediakan ruang menyusui (Save the
konteks khusus. Namun demikian, penelitian menunjukkan bahwa peningkatan akses ke Children, 2013), sementara lebih dari setengah (57,5%) dari tenaga kerja perempuan di
air dan sanitasi saja akan memiliki dampak terbatas pada pertumbuhan anak. Indonesia dipekerjakan secara informal dengan sedikit hak ketenagakerjaan (Indonesia
Investments, 2018). Indonesia memiliki beberapa regulasi yang berlaku terkait dengan
2.3.3. Praktik Pemberian Makan dan Pengasuhan yang Tidak Adekuat Kode Internasional tentang Pemasaran Pengganti ASI (the International Code of Marketing
of Breast-Milk Substitutes). Undang-Undang No. 33 Tahun 2012 tentang Pemberian ASI
Praktik pemberian makan bayi dan anak yang buruk berkaitan dengan kejadian stunting Eksklusif saat ini melarang produsen dan distributor mempromosikan serta mengiklankan
pada anak di Indonesia (Beal, Tumilowicz, Sutrisna, Izwardy, & Neufeld, 2018). Sesuai susu formula untuk bayi di bawah enam bulan di fasilitas kesehatan, sementara fasilitas
dengan ketentuan WHO dan UNICEF Global, Kementerian Kesehatan merekomendasikan kesehatan dan petugas kesehatan tidak diizinkan untuk menjual, memberi, atau
pemberian ASI secara eksklusif selama enam bulan pertama setelah anak lahir, kemudian mempromosikan susu formula untuk bayi. Ada juga beberapa pembatasan terhadap
diiringi dengan pemberian makanan pendamping ASI yang aman dan bergizi serta pelabelan dan iklan produk susu untuk bayi di bawah satu tahun. Namun, sebuah studi
dilanjutkan menyusui sampai setidaknya anak berusia dua tahun. Waktu dan durasi 2015 di Indonesia menemukan lebih dari 1.000 insiden ketidakpatuhan terhadap kode
pemberian ASI pada anak di Indonesia sangat bervariasi. Sebagaimana dicatat dalam internasional tersebut oleh berbagai produsen dan distributor (Access to Nutrition Index,
Bagian 1.2.3, hanya 61% wanita yang memulai menyusui dalam satu jam pertama 2016). UNICEF telah menyoroti ukuran substansial dari bisnis pengganti ASI di Indonesia
kelahiran bayi mereka dan hanya setengah (54%) yang terus menyusui hingga dua dengan penjualan diperkirakan mencapai Rp 25,8 triliun pada tahun 2016 (UNICEF, 2016).
tahun (BPS & Kemenkes, 2017). Kajian mendalam tentang gizi ibu, bayi, dan anak di
Indonesia menemukan bahwa praktik-praktik yang merugikan, seperti tidak memberikan

6 Didefinisikan sebagai susu atau produk susu, dengan keragaman dan frekuensi makan yang adekuat.
26 • Pembangunan Gizi di Indonesia 2. Analisis Situasi: Capaian dan Tantangan • 27

Saat ini, belum ada undang-undang yang mengatur tentang pemberian makan untuk anak Tren Demografi dan Urbanisasi
di atas usia dua tahun serta belum adanya kepatuhan terhadap undang-undang yang ada
untuk mendukung praktik PMBA yang aman dan bergizi. Analisis yang dilakukan oleh Indonesia mengantisipasi ‘bonus demografi’ pada tahun 2020-2030 ketika proporsi
Universitas Padjajaran dengan UNICEF dan Alive & Thrive, telah mengungkapkan bahwa orang dalam kelompok usia produktif (15-64 tahun) mencapai maksimum dan rasio
peningkatan pemberian ASI di Indonesia dapat menyelamatkan 5.377 kehidupan anak ketergantungan berada pada tingkat terendah (Bappenas, 2018). Produktivitas ekonomi
dan Rp 3 triliun dalam biaya kesehatan setiap tahun (UNICEF, 2016). Hal ini menyoroti dengan demikian perlu dioptimalkan. Anak-anak dan remaja saat ini akan membentuk
kebutuhan mendesak untuk memperluas regulasi nasional dalam memastikan PMBA angkatan kerja yang produktif di tahun 2020-2030. Sisi negatif dari fenomena demografi
yang memadai untuk semua anak di bawah usia tiga tahun. ini adalah setidaknya sepertiga anak dan remaja saat ini mengalami stunting dan
akan kurang produktif di masa depan. Sisi positifnya adalah terdapat peluang untuk
Selain PMBA yang memadai, pertumbuhan dan perkembangan anak bergantung pada mengurangi Beban Ganda Masalah Gizi, mengembangkan pola makan yang sehat, serta
praktik pengasuhan yang optimal. Sangat disadari bahwa intervensi pendidikan anak berinvestasi dalam ‘bonus demografi’.
usia dini (PAUD) berfokus pada (i) dukungan orang tua; (ii) stimulasi dan pendidikan dini;
(iii) kesehatan dan gizi; (iv) tambahan pendapatan; serta (v) program yang komprehensif Selain profil usia yang berubah dari populasi, juga terjadi peningkatan migrasi dari
dan terintegrasi, dimana hal-hal tersebut memiliki efek positif pada perkembangan pedesaan ke daerah perkotaan ketika orang mencari pekerjaan. Populasi perkotaan
kognitif anak (Rao, Sun, & Wong, 2013). Saat ini, terdapat dua bentuk intervensi PAUD di meningkat dari 42% pada tahun 2000 menjadi 50% pada tahun 2010, dan diperkirakan
Indonesia, yaitu target pertama adalah anak-anak usia 0-3 tahun melalui sesi pengasuhan akan meningkat menjadi 67% pada 2035 (SMERU, 2015). Dampak negatif dari
(Bina Keluarga Balita) yang dilaksanakan oleh Badan Kependudukan dan Keluarga kecenderungan ini adalah lebih banyak orang di daerah perkotaan yang terpapar dengan
Berencana Nasional (BKKBN). Target kedua adalah anak-anak yang berusia 3-6 tahun lingkungan obesogenik (gerai makanan cepat saji, iklan makanan dan minuman tinggi
di pos PAUD dan dilaksanakan oleh Kementerian Pendidikan. Namun, cakupan masih gula, garam, lemak, dll.) yang terkait dengan tingkat obesitas yang semakin tinggi. Selain
belum menyeluruh dengan 38% anak-anak di bawah usia enam tahun belum tercakup itu, lingkungan perkotaan menjadi tidak kondusif untuk aktivitas fisik yang menyebabkan
oleh program ini. minimnya olahraga yang berdampak terhadap penambahan berat badan dan obesitas.
Orang-orang yang tinggal di daerah perkotaan memiliki pilihan transportasi yang lebih
2.3.4. Akar Masalah dan Isu yang Terkait dapat diandalkan dan tersedia bagi mereka, terdapat sedikit fasilitas olahraga yang dapat
diakses, serta tenaga kerja yang telah beralih dari pekerjaan pertanian dan yang bersifat
Kemiskinan dan Ketidakmerataan fisik. Hal yang mengkhawatirkan adalah gaya hidup remaja di Indonesia, baik di daerah
perkotaan maupun pedesaan. Sebuah survei di dua kabupaten menemukan bahwa
Beban Ganda Masalah Gizi sangat terkait dengan kemiskinan dan ketidakmerataan. selama seminggu, remaja melaporkan paling sering duduk santai (2 jam), menonton
Di Indonesia, pertumbuhan ekonomi selama tiga tahun terakhir telah meningkat dari televisi (2 jam), menggunakan ponsel mereka (2 jam), atau duduk untuk belajar atau
4,9% pada 2015 ditargetkan menjadi 5,4% pada tahun 2018 dan jumlah orang miskin bekerja (3 jam). Selama akhir pekan, mereka melaporkan bahwa mereka paling sering
menurun menjadi 26,58 juta pada tahun 2017 (Bappenas, 2018). Meskipun demikian, menggunakan ponsel mereka (3 jam), menonton televisi (2 jam), atau duduk untuk belajar/
ketidakmerataan yang lebar tetap terjadi. Kemiskinan terkonsentrasi di daerah pedesaan bekerja di sekolah/kampus/tempat kerja (2 jam). Di luar sekolah, anak perempuan lebih
di mana 14,3% penduduk hidup di bawah garis kemiskinan sedangkan 8,3% orang di umum (68%) melakukan duduk santai atau melakukan pekerjaan rumah tangga seperti
daerah perkotaan. Tingkat kemiskinan dicerminkan oleh tingkat kekurangan gizi dan menyapu, sedangkan 60% anak laki-laki bermain sepak bola (UNICEF, 2018 Unpublished).
pola konsumsi. Kurang gizi serta asupan energi dan protein yang tidak memadai jauh Namun demikian, urbanisasi juga menawarkan kesempatan untuk menjangkau lebih
lebih tinggi pada kelompok kuintil kekayaan yang lebih rendah, serta di provinsi yang banyak orang dengan lebih mudah melalui pesan dan aksi untuk mempromosikan
paling miskin dan terpencil, dimana ketidakmerataan ini semakin meningkat. Sementara makanan dan gaya hidup yang lebih sehat.
obesitas dan konsumsi makanan tinggi kadar gula, garam, dan lemak lebih umum terjadi
pada kelompok kekayaan yang lebih tinggi. Untuk saat ini, hal ini dengan cepat akan Desentralisasi
menjadi masalah utama di antara kelompok miskin. Bank Dunia telah memberitahukan
bahwa untuk mencapai pertumbuhan yang lebih cepat dan lebih inklusif, Indonesia perlu Sistem pemerintahan yang terdesentralisasi di Indonesia diperkenalkan pada tahun
membelanjakan lebih baik dan lebih banyak di daerah-daerah prioritas (World Bank, 2000. Reformasi memberikan kewenangan yang lebih besar, kekuasaan politik, dan
2018). Hubungan sinergis antara kemiskinan dan gizi berarti bahwa memprioritaskan gizi sumber daya keuangan bagi kabupaten dan desa, tidak melalui provinsi. Wewenang
akan berkontribusi dalam mengurangi kemiskinan, sementara mengurangi kemiskinan yang menjadi tanggung jawab pemerintah daerah termasuk tanggung jawab untuk
akan berkontribusi pada perbaikan gizi. penyediaan layanan di berbagai sektor, termasuk layanan gizi. Sementara pemerintah
pusat mempertahankan peran kepemimpinan, koordinasi, dan pemantauan. Dana yang
ada disalurkan langsung kepada pemerintah kabupaten yang dapat dialokasikan sesuai
28 • Pembangunan Gizi di Indonesia 2. Analisis Situasi: Capaian dan Tantangan • 29

dengan prioritas daerah. Pada tahun 2014, desentralisasi keuangan menjadi selangkah Pernikahan dini tetap menjadi masalah tersendiri di Indonesia. Pada tahun 2015, 21,6%
lebih maju dengan adanya Dana Desa (lihat Kotak 4). Sumber dana yang lebih besar saat wanita menikah atau dalam ikatan sebelum usia 18 tahun dan angka ini lebih tinggi di
ini tersedia di tingkat kabupaten dan desa yang memberdayakan pemerintah daerah dan pedesaan dibandingkan dengan perkotaan (BPS, 2015). Pernikahan dini berarti bahwa
masyarakat untuk mengatasi Beban Ganda Masalah Gizi melalui solusi yang disesuaikan anak perempuan meninggalkan sekolah lebih awal, memiliki bayi pertama mereka lebih
dengan konteks lokal di daerah mereka. Tantangannya adalah memastikan melalui awal dan lebih mungkin memiliki bayi dengan berat badan lahir rendah dan tumbuh
advokasi bahwa gizi diprioritaskan di antara banyaknya prioritas yang saling bersaing dengan kekurangan gizi. Selain itu, sebagian besar perempuan Indonesia pernah
dan memastikan bahwa pemerintah daerah memiliki pemahaman tentang penyebab, mengalami kekerasan oleh mantan atau pasangan saat ini. Pada 2016, satu dari tiga
dampak, dan intervensi yang tepat untuk menangani Beban Ganda Masalah Gizi. wanita berusia 15-64 tahun melaporkan bahwa mereka pernah mengalami kekerasan
fisik atau seksual oleh pasangan selama masa hidup mereka (Statistics Indonesia,
Gender 2016). Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan telah menekankan bahwa
undang-undang yang ada tidak cukup melindungi perempuan (Komisi Nasional
Terdapat bukti global yang kuat yang menyatakan bahwa status perempuan dalam Perempuan, 2018).
masyarakat terkait dengan status gizi dan kelangsungan hidup anak. Analisis data
dari 96 negara menunjukkan bahwa tingkat ketimpangan gender masyarakat, seperti Ketersediaan dukungan terkait untuk ibu bersalin pada tempat kerja di Indonesia
jumlah perempuan dalam pekerjaan atau tingkat pendidikan mereka relatif terhadap juga masih perlu ditingkatkan. Sebagaimana dicatat dalam bagian 1.3.3, di bawah
laki-laki, merupakan faktor penting yang berkontribusi terhadap tingkat malnutrisi hukum ketenagakerjaan (No. 13, 2003), seorang pekerja perempuan berhak atas 45
dan kematian anak (Marphatia, Cole, & Grijalva-Eternod, 2016). Di Indonesia, Instruksi hari istirahat sebelum melahirkan dan 45 hari setelah melahirkan sesuai dengan
Presiden (No. 9, 2000) mencerminkan niat pemerintah untuk terus memperbaiki perhitungan untuk tanggal persalinan oleh ahli kandungan atau bidan. Namun, 57,5%
kondisi untuk perempuan dan anak perempuan di bidang kesehatan, pendidikan, dari tenaga kerja perempuan di Indonesia dipekerjakan secara informal dengan sedikit
angkatan kerja dan partisipasi politik. Selain itu, ada inisiatif yang berjalan, seperti hak ketenagakerjaan (Indonesia Investments, 2018). Kurangnya hak ketenagakerjaan
Gerakan Pekerja Perempuan Sehat Produktif (GP2SP) yang dilaksanakan bersama oleh memperlemah kemampuan perempuan untuk beristirahat selama trimester terakhir
Kementerian Kesehatan, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Ketenagakerjaan, dan kehamilan, menyusui dan merawat anak mereka yang masih kecil, yang semuanya akan
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Program ini bertujuan mempengaruhi status gizi anak-anak mereka.
untuk meningkatkan status kesehatan dan gizi pekerja perempuan sehingga mereka
dapat merawat anak-anak mereka dan mencapai produktivitas kerja maksimum untuk UNICEF telah menyoroti perlunya mempromosikan kesetaraan gender, yang berarti
mendukung keluarga mereka. Meskipun ada prakarsa ini, ketidaksetaraan gender dan bahwa perempuan dan laki-laki, serta anak perempuan dan anak laki-laki menikmati
praktik-praktik berbahaya tetap ada. hak, sumber daya, peluang, dan perlindungan yang sama. Pergeseran dalam kesetaraan
gender tidak hanya membutuhkan perubahan kesadaran dan perilaku, tetapi juga
Perempuan Indonesia lebih rentan terhadap kemiskinan sebagai akibat ketidaksetaraan perubahan dalam dinamika kekuatan mendasar yang membentuk norma dan hubungan
gender dalam distribusi pendapatan, akses ke kredit, kontrol atas properti dan sumber daya gender (UNICEF, 2017).
alam, dan akses ke mata pencaharian. Data dari 2012 menunjukkan bahwa 63,3% wanita
menikah antara usia 15-49 tahun dipekerjakan pada tahun sebelumnya tetapi 26,3% dari Kepercayaan dan Praktik Budaya
wanita yang dipekerjakan tersebut tidak dibayar baik secara tunai maupun dalam bentuk
barang, termasuk mereka yang bekerja di pertanian pribadi dan dalam bisnis keluarga Keyakinan sosial dan budaya dapat mempengaruhi gizi baik secara positif maupun
(BPS & Kemenkes, 2012). Selanjutnya, perempuan menghadapi diskriminasi dalam hal negatif. Tinjauan praktik gizi sensitif di Indonesia menyoroti adanya tabu sosial dan
upah. Industri pakaian (atau garmen) di Indonesia merupakan salah satu kasus terburuk budaya dalam hal pembatasan makanan dan pemahaman tentang gizi pada ibu dan
dalam hal kesenjangan upah di sektor manufaktur negara. Rata-rata, pekerja perempuan anak (Alive & Thrive, 2018). Di antara kelompok populasi tertentu, makanan dibatasi
informal di industri garmen Indonesia berpenghasilan 20% lebih rendah daripada rekan pada masa kehamilan yakni termasuk daging, sayuran dan buah yang mengandung
laki-laki mereka untuk pekerjaan yang sama dan dengan latar belakang pendidikan yang vitamin dan mineral penting seperti zat besi dan vitamin A. Ada juga pembatasan selama
sama (rendah) (Indonesia Investments, 2018). Hanya 49,6% wanita di tahun 2012 memiliki periode setelah melahirkan karena beberapa makanan diyakini menunda penyembuhan
rumah sementara 41,4% memiliki lahan, yang sebagian besar berbagi kepemilikan (BPS setelah melahirkan atau untuk mempengaruhi rasa dan kualitas ASI. Beberapa ibu tidak
& Kemenkes, 2012). Partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan juga terkait memberikan kolostrum kepada bayi mereka yang baru lahir karena mereka memiliki
dengan capaian di bidang kesehatan. Perempuan yang berpartisipasi dalam setidaknya persepsi negatif tentang manfaatnya dan berpikir bayi mereka akan jatuh sakit.
tiga keputusan rumah tangga lebih mungkin untuk mendapatkan pelayanan ANC, dan
untuk melahirkan dan mendapatkan pelayanan paska persalinan dari penyedia layanan Penelitian formatif dilakukan di 11 kabupaten dengan kombinasi survei, diskusi kelompok
yang terlatih. Mereka juga melaporkan tingkat kematian bayi, anak, dan balita yang lebih terarah dan wawancara mendalam, menemukan kurangnya kesadaran tentang
rendah daripada wanita yang tidak berpartisipasi dalam keputusan rumah tangga (BPS pentingnya gizi pra-natal dan adanya keberlanjutan mitos tentang makanan dari nenek
& Kemenkes, 2012). (IMA World Health, 2018). Ada keyakinan yang luas bahwa madu baik untuk bayi, bahwa
30 • Pembangunan Gizi di Indonesia 2. Analisis Situasi: Capaian dan Tantangan • 31

susu formula sama baiknya dengan ASI, dan ASI tidak mencukupi sehingga diperlukan 2.4. Respons terhadap Beban Ganda Masalah Gizi
makanan tambahan. Ada juga persepsi di antara ibu dan nenek di Indonesia, bahwa
untuk anak “lebih gemuk lebih sehat” meskipun persepsi “badan ideal” untuk wanita Bagian berikut membahas pencapaian dan tantangan pemerintah dalam menanggapi Beban
dewasa adalah tinggi dan langsing sedangkan berotot untuk pria dewasa (Rachmi, Ganda Masalah Gizi. Kemajuan dikaji terhadap kebijakan dan strategi yang ditetapkan dalam
Hunter, Li, & Barr, 2017). konsolidasi Kajian Sektor Kesehatan 2014 yang digunakan sebagai dasar untuk RPMJN 2014-
2019. Bagian ini dibagi menjadi tiga bagian yang sesuai dengan tiga kelompok intervensi yang
Kampanye komunikasi perubahan perilaku sosial (Social Behaviour Communication diperlukan untuk mencapai gizi optimal seperti yang diilustrasikan pada Gambar 1: intervensi
Change/SBCC) dilakukan berdasarkan pesan yang yang dihasilkan dari riset formatif gizi spesifik, intervensi gizi sensitif dan lingkungan yang mendukung.
yang saat ini sedang berjalan dan belum dievaluasi. Keberhasilan aksi SBCC dalam
mempengaruhi perilaku terkait gizi di negara-negara tetangga (Sanghvi, Haque, & Roy, Pendekatan pemerintah untuk memperbaiki gizi diatur dalam bagian terpisah dari undang-
2016) memperkuat pentingnya memperkenalkan kebijakan untuk mendukung SBCC. undang yang berkaitan dengan kesehatan dan makanan. UU Kesehatan No. 36/2009
menetapkan tujuan prioritas untuk meningkatkan gizi, dan strategi untuk Program Perbaikan
Keadaan Darurat Gizi Masyarakat. Strategi tersebut meliputi: (a) peningkatan pola konsumsi makanan sesuai
dengan gizi seimbang; (b) peningkatan kesadaran dan perilaku gizi, aktivitas fisik, dan
Bencana adalah hal yang umum terjadi di Indonesia dapat berupa gempa berulang, kesehatan; (c) peningkatan akses, dan kualitas layanan gizi sesuai dengan informasi ilmiah dan
banjir dan kekeringan yang kerap terjadi menyebabkan penderitaan manusia dan teknis; dan (d) peningkatan sistem pengawasan pangan dan gizi. Undang-undang lebih lanjut
kerusakan ekonomi. Hal ini mengakibatkan hilangnya aset dan pendapatan pada rumah menetapkan kewajiban pemerintah termasuk dalam merespon kebutuhan gizi keluarga yang
tangga yang rentan, tempat tinggal sementara yang meningkatkan paparan penyakit hidup dalam kemiskinan dan/atau yang terdampak oleh kejadian darurat. Pemerintah juga
dan konsumsi makanan yang tidak memadai, kenaikan harga, penurunan produksi dan bertanggung jawab untuk meningkatkan pengetahuan dan kesadaran tentang pentingnya gizi.
kekurangan pangan (SMERU, 2015). Semua faktor ini meningkatkan risiko kekurangan UU Pangan No. 18/2012 menetapkan bahwa pemerintah berkewajiban mengatur perdagangan
gizi, terutama pada anak. Sementara Indonesia telah menghindari krisis gizi yang serius pangan dengan tujuan menjaga pasokan dan harga makanan yang stabil, mengelola cadangan
dalam beberapa tahun terakhir, perubahan iklim cenderung meningkatkan frekuensi dan makanan dan menciptakan iklim bisnis yang sehat. Undang-undang itu juga menyatakan
intensitas bencana tersebut di Indonesia sehingga meningkatkan risiko terhadap gizi. bahwa Rencana Aksi Pangan dan Gizi harus disiapkan setiap lima tahun baik di tingkat pusat
maupun daerah.

Pesan Kunci
2.4.1. Lingkungan yang Mendukung
1. Diet yang tidak adekuat dan kerawanan pangan berkontribusi terhadap kekurangan
gizi dan obesitas: Lingkungan yang mendukung mengacu pada semua elemen yang diperlukan untuk
• Hampir setengah penduduk (45,7%) dengan tingkat kecukupan energi sangat memberikan dukungan untuk intervensi dan program gizi (The Lancet, 2013). The Lancet
kurang (<70% AKE) dan 36,1% dengan tingkat kecukupan protein sangat Maternal and Child Nutrition Series yang diterbitkan pada tahun 2013, menyimpulkan
kurang (<80% AKP). sementara 95,5% penduduk yang berusia 5 tahun keatas bahwa ada tiga faktor esensial yang membentuk lingkungan yang mendukung:
mengonsumsi kurang dari lima porsi buah atau sayur dalam sehari. pengetahuan dan bukti, politik dan pemerintahan, serta kapasitas dan sumber daya.
• Akses ekonomi (keterjangkauan) pangan dibandingkan dengan ketersediaan Penilaian Kapasitas Gizi (Nutrition Capacity Assessment) terhadap faktor-faktor esensial
pangan adalah penyebab utama kerawanan pangan. tersebut telah dilakukan oleh UNICEF, Bappenas dan Kementerian Kesehatan, dan laporan
• Pengeluaran untuk makanan dan minuman jadi, yang sebagian besar cenderung penilaian kapasitas gizi tersebut yang dikeluarkan pada tahun 2018 kemudian menjadi
diproses, meningkat sebanyak empat kali lipat antara 2007 dan 2017 yang salah satu dasar penulisan background paper ini (UNICEF, Bappenas & Kemenkes, 2018).
didorong oleh industri makanan dan minuman yang sedang berkembang. Penilaian ini menggunakan pendekatan metode campuran termasuk tinjauan ulang
2. Penyakit, akses yang tidak memadai ke pelayanan kesehatan, dan air dan sanitasi, dokumen yang relevan, diskusi kelompok terarah dan wawancara yang dilakukan di
terkait dengan Beban Ganda Masalah Gizi: tujuh provinsi dan kabupaten yang telah dipilih sebelumnya.
• Penyakit infeksi terus menyebar dan memiliki keterkaitan dengan kekurangan gizi.
• PTM sedang meningkat sebagai akibat dari meningkatnya obesitas dan Pemerintah telah memahami pentingnya lingkungan yang mendukung dan yang
menambah beban sistem pelayanan kesehatan. pertama dari dua kebijakan yang termasuk dalam konsolidasi Kajian Sektor Kesehatan
3. Pemberian makan pada bayi dan anak dan asupan makanan ibu yang buruk, serta 2014 adalah untuk:
praktik perawatan ibu dan pengasuhan anak yang suboptimal adalah penyebab
penting dari kekurangan gizi dan obesitas: • “Meningkatkan kepemimpinan yang efektif, koordinasi multi-sektor, dan
• Tingkat menyusui meningkat tetapi praktik pemberian makanan pendamping ASI pembagian tanggung jawab untuk mendukung Gerakan 1.000 HPK7 di tingkat
yang tidak sesuai terjadi di mana-mana. pusat dan daerah”.
4. Perekonomian yang berubah, demografi, relasi gender, keyakinan sosial dan budaya,
dan perubahan iklim di Indonesia menawarkan peluang serta ancaman terhadap gizi.
7 Gerakan 1.000 Hari Pertama Kehidupan diluncurkan oleh empat menteri pemerintah ketika Indonesia bergabung
dalam Gerakan global Peningkatan Gizi (Scaling Up Nutrition/SUN Movement) pada tahun 2011.
32 • Pembangunan Gizi di Indonesia 2. Analisis Situasi: Capaian dan Tantangan • 33

Pengetahuan dan Bukti Selanjutnya hal tersebut mengakibatkan adanya kesenjangan informasi penting dan
tidak adanya pengumpulan indikator kunci. Data regular yang relevan tidak dikumpulkan
Meskipun konsolidasi Kajian Sektor Kesehatan 2014 tidak memasukkan kebijakan atau yakni kecacingan, defisiensi mikronutrien, komposisi tubuh dan kebugaran fisik, dimana
strategi khusus yang berkaitan dengan pengetahuan dan bukti terkait gizi, ketersediaan dengan tersedianya data tersebut akan memungkinkan pemerintah mengatasi kekurangan
data gizi yang tepat waktu dan kredibel, yang disajikan dengan cara yang dapat diakses, vitamin dan mineral, dan juga untuk menangani peningkatan epidemi obesitas dan PTM.
dapat membantu pemerintah dan pelaku lainnya untuk bersikap responsif terhadap Tidak ada sistem informasi manajemen gizi yang utuh yang memungkinkan pelacakan
tantangan, dan memastikan akuntabilitas (The Lancet, 2013). Setidaknya delapan cakupan, kinerja dan kualitas layanan gizi. Hal ini harus mencakup indikator seperti
survei sekali waktu (cross-sectional) dan sistem pengumpulan data rutin yang berbeda jumlah perempuan dan orang dewasa yang menerima konseling tentang PMBA dan/
digunakan di Indonesia untuk mengumpulkan informasi gizi dan sejumlah besar data atau pencegahan obesitas, jumlah petugas kesehatan yang dilatih, tingkat kepatuhan
dikumpulkan di tingkat pusat dan daerah (lihat Lampiran 3). Selain itu, studi satu-kali konsumsi Tablet Tambah Darah, dan basis data tentang suplai dan pengadaan suplemen
dilakukan bertujuan untuk mendapatkan wawasan tentang aspek gizi tertentu atau untuk gizi dan peralatan. Selain itu, data tidak selalu dipilah berdasarkan kabupaten atau
mengukur dampak dari intervensi tertentu. Studi-studi ini biasanya dilakukan dalam sub- kelompok populasi yang akan memungkinkan pemanfaatan data untuk menangani
populasi dan tidak diulang. Pencapaian penting di Indonesia adalah kemampuan untuk masalah disparitas. Pengetahuan tentang Beban Ganda Masalah Gizi pada kelompok
melacak capaian target gizi yang terdapat dalam RPJMN 2015-2019 dimana data dari populasi yang berbeda (wanita, remaja, anak sekolah terutama usia 5-12 tahun, dan
indikator yang relevan dikumpulkan secara teratur. Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) kelompok etnis yang berbeda) dan dampak intervensi pada konteks yang berbeda masih
secara luas dianggap dapat diandalkan dan juga mengumpulkan data yang relevan dengan perlu ditingkatkan. Secara khusus, pemahaman tentang epidemi obesitas di Indonesia,
semua target tersebut setiap lima tahun. Pencapaian penting lainnya adalah penerapan bagaimana dan mengapa pola konsumsi pangan berubah, dan cara yang efektif untuk
sistem surveilans gizi melalui Kementerian Kesehatan, yang berdasarkan survei sekali mengendalikan epidemi obesitas masih sangat terbatas. Pemahaman tentang penyebab
waktu (cross-sectional) tahunan dengan menggunakan 30 teknik pengambilan sampel malnutrisi dalam konteks yang berbeda masih terbatas dan faktor keberhasilan program
secara klaster di tingkat kabupaten untuk mengumpulkan data dari 15 indikator gizi. Data yang dapat direplikasi dan disesuaikan untuk situasi yang berbeda tidak didokumentasikan
tersebut memungkinkan status gizi anak di bawah usia lima tahun dan wanita hamil dan disebarluaskan secara rutin.
dapat dilacak untuk mendukung perencanaan layanan.
Politik dan Pemerintahan
Namun, ada tantangan besar. Pertama, kapasitas yang terbatas dalam menganalisis dan
menggunakan sejumlah besar data yang dikumpulkan. Pemerintah kabupaten umumnya Komitmen politik
tidak menggunakan informasi terkait gizi secara efektif dalam perencanaan, pemantauan, Komitmen nasional untuk gizi ditunjukkan melalui keputusan pemerintah untuk
dan evaluasi program. Sebaliknya, data rutin tidak dianalisis di tingkat kabupaten memasukkan target gizi dalam RPJMN 2014-2019 dan komitmen ini telah menguat dalam
tetapi hanya dikumpulkan dan diteruskan ke tingkat yang lebih tinggi. Kedua, sistem beberapa tahun terakhir. Pemerintah telah berjanji untuk memenuhi target gizi global
pengumpulan data tidak terintegrasi, menghambat kemampuan untuk merancang, WHA pada tahun 2025 (WHO, 2012) dan merupakan penandatangan target yang sama
merencanakan, dan memantau intervensi yang efektif. Suatu sistem informasi yang yang terdapat dalam SDGs (UN, 2015). Pada tahun 2011, Indonesia bergabung dengan
terintegrasi akan memerlukan indikator gizi relevan yang terstandardisasi dari seluruh Gerakan Peningkatan Gizi (Scaling up Nutrition/SUN Movement) dan meluncurkan
sektor terkait untuk digabungkan menjadi satu basis data untuk dilakukan analisis. Saat Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi pada Seribu Hari Pertama Kehidupan.
ini, sistem informasi beroperasi secara independen mengumpulkan data pada kelompok
populasi yang berbeda selama periode waktu yang berbeda. Misalnya, data ketahanan Inisiatif yang lebih baru adalah peluncuran pada tahun 2017 tentang Gerakan Penurunan
pangan dan keragaman pola makan tidak dikumpulkan secara rutin, dan temuan dari Stunting Nasional sebagai bagian dari kampanye anti-kemiskinan yang lebih luas dari
survei dipublikasikan secara terpisah. Kurangnya sistem informasi terintegrasi juga Pemerintah. Ini bertujuan untuk memperkuat dukungan politik dan kepemimpinan
mencegah analisis mendalam tentang penyebab dan faktor yang mempengaruhi tingkat untuk gizi di semua tingkatan, dan untuk memperkuat koordinasi dan konvergensi lintas
malnutrisi pada kelompok populasi yang berbeda. Ketiga, metode dan definisi indikator berbagai sektor. Pada tahun 2018, gerakan ini sedang dilaksanakan di 100 kabupaten
yang terstandar tidak selalu diterapkan. Contohnya adalah definisi dari indikator ‘ASI prioritas dengan tingkat kemiskinan dan prevalensi stunting yang tinggi, dan rencananya
eksklusif’. Sesuai dengan WHO (WHO, 2007), Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia adalah untuk memperluas ke seluruh 514 kabupaten yang ada pada 2021. Gerakan
yang dilakukan setiap lima tahun mendefinisikan ‘pemberian ASI eksklusif’ sebagai Masyarakat untuk Hidup Sehat (Germas), yang dimulai tahun 2016, adalah program
proporsi bayi usia 0–5 bulan yang diberi ASI eksklusif dan mencakup semua bayi yang kesehatan masyarakat nasional yang juga menggunakan pendekatan multisektoral.
ada pada saat survei sedang disusui secara eksklusif. Definisi ini berbeda dari indikator Program ini melibatkan 18 kementerian dan lembaga. Salah satu dari enam kegiatan
yang digunakan oleh RISKESDAS yang mencakup semua data anak yang berusia hingga utama Germas adalah penyediaan makanan sehat dan akselerasi perbaikan gizi.
23 bulan yang sedang, atau pernah, mendapatkan ASI eksklusif sampai usia 6 bulan.
Sehingga, kedua set data tersebut tidak dapat dibandingkan.
34 • Pembangunan Gizi di Indonesia 2. Analisis Situasi: Capaian dan Tantangan • 35

Target dan rencana Peraturan perundang-undangan


Konsolidasi Kajian Sektor Kesehatan 2014 memuat satu rekomendasi untuk: Satu dari beberapa strategi yang direkomendasikan dalam konsolidasi Kajian Sektor
Kesehatan 2014 adalah untuk:
• “Mengembangkan Rencana Aksi Pangan dan Gizi multi-sektor lima-tahunan di
tingkat nasional, provinsi dan kabupaten.” • “Memperkuat desain, implementasi dan pemantauan hukum, peraturan dan
standar untuk gizi”.
Rencana Aksi Pangan dan Gizi Nasional (RAN-PG) lima tahunan untuk periode 2015-2019
sudah tersedia dimana kemudian menjadi tanggung jawab Bappenas. RAN-PG saat ini Ada kemajuan terbatas dalam menetapkan perundang-undangan nasional untuk
menekankan bahwa peningkatan status gizi akan dihasilkan dari intervensi gizi spesifik melindungi dan mempromosikan gizi yang baik. Perundang-undangan mencakup hak
dan program gizi sensitif, yang melibatkan banyak sektor dan difokuskan pada 1.000 hari atas pangan (No. 18, 2012), perlindungan pemberian ASI eksklusif dan pengawasan dalam
pertama kehidupan. Bappenas kemudian merilis versi terbaru RAN-PG untuk periode penggunaan susu formula (No. 33, 2012), fortifikasi tepung terigu dengan zat besi (No
2017-2019. 153, 2001) dan iodisasi garam (No 69, 1994). Meskipun hal ini menggembirakan, ruang
lingkup legislasi, penegakan dan pemantauan masih perlu ditingkatkan dan masih belum
Target gizi nasional telah dimasukkan dalam RPJMN 2015-2019 namun tantangannya komprehensif. Cakupan garam beryodium rumah tangga yang cukup di Indonesia tetap
adalah untuk memastikan bahwa target-target tersebut tercermin dalam rencana berada di sekitar 60-70% sejak tahun 1998 meskipun data survei tahun 2013 menunjukkan
strategis (RENSTRA) kementerian terkait. Saat ini, gizi dipandang sebagai tanggung sedikit peningkatan menjadi 77% (Kementerian Kesehatan, 2013). Data tentang kualitas
jawab Kementerian Kesehatan dan sektor-sektor utama lainnya tidak memiliki tanggung dan konsumsi garam beryodium tingkat rumah tangga belum tersedia pada Riskesdas
jawab langsung untuk memastikan bahwa target gizi terpenuhi melalui intervensi 2018. Meskipun telah diketahui bahwa fortifikasi tepung terigu merupakan hal yang
sektoral mereka (lihat bagian 1.4.3) wajib, rekomendasi WHO belum sepenuhnya diterapkan (WHO, 2009). Peraturan untuk
mendukung PMBA belum sepenuhnya mematuhi Kode Internasional tentang Pemasaran
Komitmen daerah untuk mengatasi kekurangan gizi, terutama stunting, belum Pengganti ASI (WHO, 1981).
diterjemahkan ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Provinsi atau
Kabupaten (RPJMD). Hanya satu dari tujuh provinsi yang termasuk dalam Penilaian Selain itu, yang paling penting adalah masih terbatasnya legislasi yang mengatur
Kapasitas Gizi (Nutrition Capacity Assessment) 2018 yang memiliki target gizi dalam lingkungan pangan dan membatasi akses ke makanan dan minuman yang tinggi gula,
RPJMD. Hal ini terutama karena staf Badan Perencanaan Daerah (Bappeda) yang ditugasi garam dan lemak yang berkontribusi terhadap obesitas yang meningkat. Berbagai
dengan tanggung jawab untuk merencanakan RPJMD tidak selalu memiliki gagasan pengawasan berhasil diterapkan di negara-negara lain dan basis data global tentang
yang jelas tentang skala dan dampak dari Beban Ganda Masalah Gizi. Kementerian intervensi yang diambil oleh pemerintah yang berbeda telah dikompilasi dalam kerangka
Dalam Negeri telah menanggapi dengan mengeluarkan instruksi pada Maret 2018 ke NOURISHING framework yang dikembangkan oleh Dana Penelitian Kanker Dunia
100 kabupaten pertama untuk Gerakan Penurunan Stunting Nasional yang mengarahkan Internasional (World Cancer Research Fund International, 2018). Kerangka program
pemerintah lokal untuk mengintegrasikan intervensi untuk penurunan stunting dari yang disesuaikan dengan konteks Indonesia telah diusulkan untuk menangani Beban
berbagai kementerian ke dalam RPJMD (Kementerian Desa PDTT, 2017), dan untuk: Ganda Masalah Gizi yang mencakup intervensi gizi spesifik dan program gizi sensitif
1. Melakukan semua intervensi gizi esensial yang dapat diterapkan di sepanjang siklus kehidupan (Shrimpton & Rokx, 2013). Seperti
2. Memobilisasi multi-pihak untuk melaksanakan penurunan stunting yang ditunjukkan pada Tabel 3, ada beberapa intervensi yang dapat berdampak pada
3. Melakukan kegiatan terkait stunting dengan aksi multisektoral yang konvergen pengurangan Beban Ganda Masalah Gizi tetapi membutuhkan peraturan pemerintah
untuk memberikan manfaat kepada kelompok sasaran untuk ditegakkan. Secara khusus, legislasi yang jauh lebih kuat diperlukan untuk
4. Secara rutin memantau semua intervensi mengendalikan penjualan makanan dan minuman yang tidak sehat di sekolah, iklan
untuk anak-anak dan juga label makanan.
Provinsi dan kabupaten juga diharuskan untuk mengembangkan Rencana Aksi Pangan
dan Gizi (RAD-PG), di bawah tanggung jawab Bappeda. Namun hanya 3 dari 7 provinsi dan
tidak ada kabupaten yang baru-baru ini masuk dalam Penilaian Kapasitas Gizi (Nutrition
Capacity Assessment) yang memiliki rencana terkini (Institute of Social and Economic
Research, 2018 Unpublished). Disimpulkan bahwa kapasitas pemerintah daerah untuk
merencanakan, mengelola dan memantau layanan gizi masih perlu ditingkatkan dan
bahwa ada kebutuhan untuk memperkuat dukungan teknis dalam hal merancang dan
menganggarkan RAD-PG yang praktis yang menggunakan pendekatan multisektoral
(Institute of Social and Economic Research, 2018 Unpublished).
36 • Pembangunan Gizi di Indonesia 2. Analisis Situasi: Capaian dan Tantangan • 37

Tabel 3. Intervensi Program untuk Menanggulangi Beban Ganda Masalah Gizi Untuk pencegahan obesitas pada usia dewasa diperlukan strategi nasional terkait
di Sepanjang Siklus Kehidupan pengaturan makanan dan aktifitas fisik yang didalamnya mencakup lingkungan, kebijakan
dan program yang mendukung, meliputi, pencegahan di tingkat masyarakat, deteksi dini,
Tahap Intervensi Langsung Intervensi Tidak Langsung dan tatalaksana obesitas di fasilitas kesehatan. Menurut WHO beberapa contoh intervensi
Kehidupan (Gizi Spesifik) (Gizi Sensitif) yang terbukti sangat efektif dan cukup efektif adalah (WHO, 2009):
Konsepsi 1. Pemberian 1. Garam 1. Mencegah 1. Kebijakan fiscal • Kebijakan pemerintah untuk mendukung diet yang sehat misalnya mengganti
sampai mikronutrien (Tablet beryodium pernikahan anak pangan
kelahiran Tambah Darah atau 2. Fortifikasi dan kehamilan a. Subsidi pangan jenis minyak yang dipakai untuk mengurangi konsumsi lemak jenuh.
multi-mikronutrien) tepung remaja b. Pajak lemak/gula • Kebijakan untuk lingkungan yang mendukung aktifitas fisik, terkait transportasi
2. Pemberian makanan 3. Fortifikasi 2. Program bantuan c. Retribusi dan kegiatan rekreasional.
tambahan dengan minyak tunai bersyarat 2. Perencanaan kota
energi dan protein (dengan a. Jalur sepeda • Himbauan untuk menggunakan tangga sebagai bagian dari aktifitas fisik (termasuk
seimbang pendidikan gizi) b. Taman menyebarkan informasi tentang manfaat penggunaan tangga sebagai bagian dari
3. Obat cacing c. Daerah pedestrian aktifitas fisik).
4. Pengurangan asap d. Sanitasi
rumah tangga/rokok e. Rumah bebas • Strategi pengendalian harga (kebijakan fiskal) dan pengaturan label makanan
5. Pengobatan radikal rokok di titik-titik penjualan makanan seperti toko kelontong, cafetaria, restoran untuk
untuk dugaan malaria mendukung makanan yang sehat.
6. Kelambu
berinsektisida • Pendekatan multi sasaran untuk mendorong jalan kaki dan bersepeda ke sekolah,
kegiatan santai dan jalan yang sehat.
Anak balita 1. Promosi pemberian 1. Kode pemasaran
(0-5 tahun) ASI eksklusif pengganti ASI Koordinasi
2. Promosi pemberian 2. Program bantuan
makanan pendamping tunai bersyarat Konsolidasi Kajian Sektor Kesehatan 2014 merekomendasikan untuk:
ASI yang tepat (dengan
3. Intervensi cuci tangan pendidikan gizi) • “Memperkuat koordinasi multi-sektor dan multi-stakeholder dari Gerakan 1.000
dan kebersihan
4. Pemberian vitamin HPK di tingkat pusat dan daerah.”
A dan zinc, dan
mikronutrien lainnya Rekomendasi ini baru sebagian terpenuhi. Indonesia adalah anggota Global SUN
sesuai kebutuhan
5. Obat cacing Movement dan di tahun-tahun awal Gerakan tersebut, berbagai platform dibentuk untuk
6. Manajemen/ meningkatkan koordinasi dan kolaborasi. Salah satunya dan yang terpenting adalah
tatalaksana gizi buruk dibentuknya Gugus Tugas Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi yang dipimpin
akut
oleh Kementerian Koordinasi PMK (Pembangunan Manusia dan Kebudayaan) sebagai
Anak 1. Berbasis sekolah 1. Tidak ada mesin Ketua Gugus Tugas dan melibatkan berbagai sektor kementerian dan lembaga terkait.
(5-18 tahun) 2. Menyediakan penjual otomatis Kelemahan utama dengan Gugus Tugas Gizi Nasional ini adalah bahwa gugus tugas ini
makanan sehat atau penjualan belum memiliki kepemimpinan di tingkat yang lebih tinggi dengan otoritas yang diperlukan
3. Promosi dan makanan cepat
penyediaan latihan saji di sekolah atas kementerian lainnya. Akibatnya, masing-masing sektor terus merencanakan,
fisik harian 2. Tidak ada iklan menganggarkan, dan melaksanakan programnya secara mandiri. Selain itu, partisipasi
4. Pemberian Tablet makanan yang dari mitra non pemerintah dalam Gugus Tugas tersebut juga masih perlu ditingkatkan.
Tambah Darah ditujukan untuk
mingguan / obat anak-anak Saat ini pemerintah sedang meningkatkan Gerakan Penurunan Stunting Nasional yang
cacing dikoordinasikan oleh Kantor Wakil Presiden yang memiliki wewenang untuk melibatkan
semua kementerian dan lembaga terkait. Salah satu yang diusulkan adalah memperkuat
Dewasa 1. Konseling oleh 1. Pelabelan Gugus Tugas Nasional untuk Gizi melalui revisi undang-undang untuk membentuk otoritas
(18+ tahun) penyedia layanan makanan
medis tentang diet a. Petunjuk yang lebih besar yang akan mengarah pada peningkatan koordinasi dan aksi multisektoral.
sehat (signposting)
2. Dorongan di terkait gizi Jaringan pendukung juga dibentuk sebagai bagian dari SUN Movement: jaringan PBB/
tempat kerja untuk b. Kontrol klaim
berolahraga dan makanan donor, jaringan masyarakat sipil, jaringan bisnis dan jaringan sains/akademisi. Jaringan
makan makanan sehat yang ada tersebut perlu disegarkan kembali untuk dapat bekerja bersama secara optimal
3. Berolahraga secara
dan perlu diberi pemahaman kembali mengenai tantangan gizi yang ada saat ini. Dimana
teratur
hal ini berarti perlu memberi perhatian yang lebih besar pada Beban Ganda Masalah Gizi.

Sumber: Shrimpton & Rokx, 2013 Keterlibatan dan koordinasi sektor bisnis menjadi sangat penting, dan telah terjadi
peningkatan yang signifikan dalam keterlibatan sektor swasta dalam bidang gizi selama
38 • Pembangunan Gizi di Indonesia 2. Analisis Situasi: Capaian dan Tantangan • 39

empat tahun terakhir. Jaringan bisnis SUN telah membentuk Komite Pengarah pada tahun tingkat daerah. Totalnya, Rp 141,9 triliun setara dengan US$ 9,8 miliar (dengan nilai tukar
2015 yang mencakup perwakilan dari berbagai perusahaan sektor swasta. Pencapaian pada tahun 2018). Alokasi yang signifikan (20% dari total) diberikan kepada Kementerian
penting lainnya adalah keterlibatan sektor swasta dalam fortifikasi tepung terigu, garam Kesehatan dan proporsi yang lebih kecil dialokasikan untuk Kementerian Sosial (10%) dan
dan minyak, program obat cacing untuk anak-anak pra-sekolah dan program ‘Gerakan ke Kementerian Pekerjaan Umum (4%). Alokasi terbesar untuk penurunan stunting (42%)
Pekerja Perempuan Sehat Produktif’ yang mulai direvitalisasi tahun 2016 yang tujuannya akan dialokasikan ke Dana Desa (lihat Kotak 4) dimana hal ini menunjukkan perhatian
adalah untuk memperkenalkan makanan bergizi seimbang bagi pekerja pabrik, terutama pemerintah dalam pemberdayaan masyarakat.
untuk meningkatkan gizi perempuan dewasa muda. Meskipun ada pencapaian tersebut,
pemahaman sektor swasta akan peraturan pemerintah yang ada saat ini, dan koordinasi,
juga dalam mengatasi konflik kepentingan masih perlu diperbaiki. Kotak 4. Fokus pada Sumber Daya Potensial untuk Gizi melalui Dana Desa

Sementara koordinasi untuk program gizi ditekankan di tingkat pusat, namun di tingkat
Dana Desa dialokasikan setiap tahun untuk setiap desa di Indonesia dari anggaran
provinsi dan kabupaten, hal ini masih perlu ditingkatkan. Bappeda bertanggung jawab untuk
pusat. Jumlah alokasi untuk setiap desa dihitung berdasarkan populasi, daerah dan
secara teratur membawa berbagai sektor bersama-sama berkoordinasi dan memantau
tingkat kemiskinan (Peraturan Pemerintah, 2014). Pengaturan penggunaan Dana Desa
pelaksanaan RAD-PG, tetapi yang dilakukan umumnya terbatas pada pemantauan
ditetapkan dalam peraturan pemerintah (No. 60, 2014) dan menetapkan bahwa dana
anggaran saja (Institute of Social and Economic Research, 2018 Unpublished). Hasilnya
tersebut diperuntukkan bagi keperluan administrasi pemerintah, pembangunan,
adalah bahwa masing-masing sektor mengelola program mereka secara mandiri tanpa
pemberdayaan masyarakat, dan kegiatan masyarakat.
integrasi yang tepat.
Dana tersebut dialokasikan berdasarkan tujuan pembangunan desa yang disepakati
Baik koordinasi horizontal lintas sektor maupun koordinasi vertikal antara pusat melalui pertemuan desa dan sesuai dengan prioritas pemerintah kabupaten, provinsi
dan daerah masih perlu ditingkatkan. Sejak desentralisasi, provinsi dan kabupaten dan pusat. Setiap desa menerima daftar kegiatan sektoral dimana mereka dapat
memiliki kemandirian yang jauh lebih besar dimana hal tersebut memiliki dampak pada memilih untuk menggunakan sebagian dari alokasi tersebut. Kementerian Desa
melemahnya hubungan pusat dan daerah. baru-baru ini menerbitkan Buku Saku Desa untuk mengatasi stunting (Kementerian
Desa PDTT, 2017). Buku ini menetapkan 10 kategori potensial dan 48 subkategori
Kapasitas dan Sumber Daya yang dapat dibiayai oleh Dana Desa. Kategori termasuk pendanaan untuk: air dan
sanitasi; insentif, pelatihan dan biaya perjalanan untuk petugas kesehatan dan
Sumber daya keuangan kader (sukarelawan masyarakat); pelayanan dan dukungan untuk wanita hamil dan
Meskipun tidak ada strategi khusus yang berkaitan dengan sumber pendanaan yang menyusui; pemantauan pertumbuhan dan gizi anak pra-sekolah dan usia sekolah; dan,
diusulkan dalam konsolidasi Kajian Sektor Kesehatan 2014, tetapi ada beberapa pencapaian pemberdayaan masyarakat untuk mempromosikan gaya hidup sehat.
penting yang terjadi. Pencapaian utama adalah peningkatan potensi pendanaan untuk
Meskipun kegiatan ini memiliki potensi untuk mengurangi stunting, kegiatan
gizi yang berasal dari sumber pendanaan pusat maupun daerah. Desentralisasi telah
tersebut perlu dihubungkan dengan kegiatan lain yang mendukung. Misalnya,
menyebabkan peningkatan pengalihan dana dari pusat ke pemerintah daerah - dari 13%
membangun toilet dan memperbaiki fasilitas sanitasi tanpa adanya konseling
belanja pemerintah pusat pada tahun 2000 (sebelum desentralisasi) menjadi sekitar 30%
tentang kebersihan dan cuci tangan akan memiliki dampak yang terbatas. Selain
pada tahun 2010 (SMERU, 2012). Selain itu, Dana Desa menyediakan potensi sumber
itu, ada banyak permintaan untuk penggunaan Dana Desa sehingga advokasi untuk
pendanaan yang lebih lanjut untuk gizi. Selain itu, tersedia beberapa sumber pendanaan
gizi akan menjadi sangat penting. Kendala kapasitas saat ini di tingkat sub-nasional
lain yang dapat diakses oleh pemerintah kabupaten dan puskesmas (Institute of Social
menunjukkan bahwa tanpa dukungan teknis, pemerintah desa akan menemukan
and Economic Research, 2018 Unpublished).
kesulitan untuk memahami isi dokumen misalnya pada panduan Buku Saku Desa.

Mengukur peningkatan dalam hal pendanaan tidak mudah. Beberapa upaya telah dilakukan Sumber: (Institute of Social and Economic Research, 2018 Unpublished)
untuk memperkirakan anggaran nasional dan pengeluaran untuk gizi. Perhitungan untuk
membuat anggaran perencanaan gizi di Indonesia telah dilakukan oleh SUN Movement
Perbedaan antara biaya yang dihitung oleh SUN Movement dan Kementerian Keuangan
pada tahun 2015. Total biaya tahunan diperkirakan setara dengan US$ 2,3 miliar (Rp 32,3
menunjukkan bahwa belum adanya sistem penganggaran yang disepakati di Indonesia
triliun dengan nilai tukar pada tahun 2018) (SUN Movement, 2015). Mayoritas (90%) adalah
untuk menghitung biaya teoretis yang secara efektif dapat mengatasi masalah gizi dalam
untuk biaya program gizi sensitif. Perhitungan tersebut tidak termasuk biaya rencana untuk
segala bentuknya terhadap pengeluaran yang aktual. Sebaliknya, Beban Ganda Masalah
mengatasi obesitas. Baru-baru ini, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) telah menghitung
Gizi ditangani melalui beberapa sumber pendanaan pemerintah dan belum tersedia
ulang alokasi anggaran untuk gizi agar konsisten dengan target penurunan stunting
perkiraan yang tepat untuk jumlah pengeluaran yang diperlukan maupun yang aktual.
yang terkandung dalam RJPMN 2015-2019 (Kementerian Keuangan, 2018). Menurut
Diperkirakan, lebih banyak dana diperlukan untuk dapat secara efektif meningkatkan
perhitungan ini, total Rp 49,7 triliun dialokasikan pada 2018 untuk berbagai kementerian di
intervensi gizi spesifik dan gizi sensitif dalam mencapai cakupan yang menyeluruh (lihat
tingkat pusat untuk penurunan stunting, sementara Rp 92,2 triliun akan dialokasikan pada
bagian 1.4.2 dan 1.4.3).
40 • Pembangunan Gizi di Indonesia 2. Analisis Situasi: Capaian dan Tantangan • 41

Semakin kompleksnya pengaturan pendanaan untuk gizi di tingkat daerah, hal ini puskesmas (24%) yang belum memiliki ahli gizi di tahun 2014 (Kemenkes, 2014). Selain
menyulitkan dalam memastikan jumlah dana yang sebenarnya disalurkan untuk perbaikan itu, Penilaian Kapasitas Gizi (Nutrition Capacity Assessment) 2018 menemukan bahwa ahli
gizi. Penilaian Kapasitas Gizi (Nutrition Capacity Assessment) 2018 menemukan bahwa gizi sering dinilai rendah dan kurang dimanfaatkan. Dalam melakukan tugasnya, tenaga
kapasitas provinsi dan kabupaten dalam merencanakan, memprioritaskan, dan mengelola ahli gizi terlalu banyak fokus pada fungsi administratif dan penanganan kekurangan gizi,
berbagai dana secara efektif yang bertujuan untuk memberikan layanan gizi berkualitas dan kurangnya perhatian terhadap pencegahan Beban Ganda Masalah Gizi di masyarakat,
tinggi masih perlu ditingkatkan (Institute of Social and Economic Research, 2018 mengelola pemberian layanan dan mentoring petugas layanan gizi. Fokus pemerintah
Unpublished). Analisis yang dilakukan sebagai bagian dari penilaian menemukan bahwa dalam mengatasi obesitas dan kelebihan berat badan masih perlu ditingkatkan (Institute
pedoman standar yang ada belum sepenuhnya diterapkan oleh pemerintah daerah dalam of Social and Economic Research, 2018 Unpublished).
melakukan penganggaran atau alokasi dana untuk gizi. Salah satu cara untuk mengatasi
kesenjangan ini adalah dengan mengembangkan format penganggaran yang terstandar, Selain ahli gizi terdapat petugas kesehatan lainnya yang juga memberikan layanan gizi,
setidaknya untuk serangkaian intervensi gizi spesifik, dan memberikan panduan rinci yang diantaranya adalah bidan dalam menyediakan pelayanan selama kunjungan pemeriksanaan
konsisten untuk semua kabupaten dalam hal perencanaan dan pengelolaan anggaran. Hal kehamilan dan pelayanan terkait gizi di puskesmas dan posyandu serta kader posyandu
ini akan membantu dinas kesehatan kabupaten untuk merencanakan dan menganggarkan yang mengawasi pemantauan pertumbuhan anak, pemberian vitamin A, pemberian obat
program gizi secara lebih efektif. cacing, dan konseling PMBA. Dalam beberapa tahun terakhir, efektivitas sistem posyandu
perlu ditingkatkan (Bappenas, 2014). Tantangan utamanya adalah kurangnya remunerasi
Pasokan dan pengadaan bagi kader yang diharapkan untuk mengambil tanggung jawab yang cukup besar dengan
Sistem pasokan dan pengadaan, termasuk perencanaan, pembelian dan distribusi untuk insentif minimal.
suplai gizi, secara teori, dilaksanakan melalui Program Obat Gizi Nasional. Pasokan Tablet
Tambah Darah (TTD) untuk ibu hamil dan remaja putri, dan kapsul vitamin A dosis tinggi Tantangan selanjutnya adalah perlunya meningkatkan kualitas pelatihan baik kepada
untuk anak merupakan tanggung jawab pemerintah pusat. Dalam prakteknya, keputusan petugas sebelum melaksanakan pekerjaan (pre-service), maupun pelatihan bagi petugas
tentang alokasi anggaran dan prioritas suplai dibuat oleh Kepala Dinas Kesehatan yang sudah bekerja (in-service) dalam memberikan layanan gizi. Penilaian Kapasitas Gizi
Kabupaten sesuai dengan prioritas di kabupaten tersebut. Karena komunikasi antara tingkat (Nutrition Capacity Assessment) 2018 menemukan bahwa jumlah pelatihan terkait gizi
pusat dan daerah belum optimal, pengadaan obat seringkali mengalami keterlambatan, yang diterima oleh seseorang bervariasi, dan bahwa pelatihan yang disampaikan tidak
kekurangan atau kelebihan pasokan, yang berarti bahwa kebutuhan daerah tidak selalu sesuai dengan kebutuhan tenaga kerja gizi saat ini. Disimpulkan bahwa tidak ada paket
terpenuhi secara tepat waktu (Sunawang, 2015). standar untuk pelatihan terkait gizi pada petugas sebelum melaksanakan pekerjaannya
maupun ketika sudah bekerja yang mencakup intervensi gizi spesifik esensial yang
Untuk mengatasi keadaan tersebut, beberapa kabupaten mengatur pengadaan mereka harus diberikan melalui layanan kesehatan. Pada saat ini, hanya sedikit pelatihan yang
sendiri, misalnya dengan membeli mikronutrien lain sebagai alternatif untuk TTD dari memasukkan konten gizi kepada petugas yang bekerja di sektor terkait seperti pertanian,
pasar yang ada. Kelemahan dari pengaturan ini adalah kurangnya panduan tentang ketahanan pangan, perlindungan sosial atau air, sanitasi dan higiene. Hasilnya adalah
peraturan untuk pembelian langsung obat-obatan yang berkaitan dengan gizi di tingkat bahwa gizi tetap menjadi tanggung jawab sektor kesehatan dan kesadaran akan peran yang
kabupaten. Masalah lain dalam sistem pasokan adalah kompleksitas perencanaan dimainkan oleh sektor lain dalam menangani Beban Ganda Masalah Gizi menjadi terbatas.
pengadaan dan pembiayaan dengan peraturan berbeda yang mengatur penggunaan dana Mengingat besarnya kesenjangan secara jumlah maupun geografis tenaga gizi, analisis
di tingkat daerah. yang lebih menyeluruh terhadap beban kerja dan distribusi sumber daya manusia untuk
mendukung kegiatan gizi di tingkat pusat dan daerah diperlukan. E-learning menawarkan
Klarifikasi dan efisiensi sistem pasokan dan pengadaan diperlukan untuk memastikan cara praktis untuk menjangkau sejumlah besar petugas dengan paket pelatihan yang
bahwa kebutuhan dapat dipenuhi sepenuhnya di tingkat kabupaten. terstandardisasi dan terbaru.

Sumber daya manusia 2.4.2 Intervensi Gizi Spesifik


Konsolidasi Kajian Sektor Kesehatan 2014 memiliki satu rekomendasi khusus untuk:
Kementerian Kesehatan bertanggung jawab untuk memberikan Program Perbaikan Gizi
• “Memperkuat kompetensi ahli gizi dan tenaga kesehatan yang menyediakan Masyarakat yang menggabungkan sejumlah intervensi gizi spesifik. Program ini memastikan
layanan gizi.” kesinambungan pelayanan kesehatan dan gizi, untuk mencegah dan menangani Beban
Ganda Masalah Gizi melalui layanan berbasis fasilitas, layanan berbasis masyarakat, dan
Kemajuan dalam hal penguatan kapasitas tenaga kesehatan dalam beberapa tahun terakhir penjangkauan (kunjungan rumah) yang terorganisir dengan tepat. Kelompok sasaran untuk
terjadi meskipun belum optimal. Meskipun memiliki jumlah tenaga ahli gizi yang cukup dan mengatasi kekurangan gizi adalah ibu hamil dan menyusui, bayi dan anak, serta remaja
terlatih yang siap untuk ditugaskan di puskesmas, namun, penugasan para ahli gizi terlatih putri. Sasaran intervensi untuk mengatasi obesitas ditargetkan pada masyarakat umum.
di seluruh wilayah masih belum merata, dengan daerah terpencil yang mengalami tingkat Intervensi ini menjadi bagian dari program pencegahan dan penatalaksanaan PTM.
kekurangan gizi tertinggi, sangat kurang mendapatkan pelayanan. Terdapat sekitar 2800
adalah untuk:
42 • Pembangunan Gizi di Indonesia

oleh pemerintah kabupaten.

untuk mengatasi kekurangan gizi dan kelebihan gizi.”

dan tercermin dalam layanan yang diberikan di tingkat daerah dengan cakupan penuh.
(RENSTRA) Kementerian Kesehatan dan dalam layanan gizi di SPM yang akan dikerjakan

yang berdasarkan bukti global perlu dipastikan tercermin dalam SPM sektor kesehatan
• “Meningkatkan cakupan dan kualitas paket layanan kesehatan dan gizi terpadu
yang lama. Lampiran 3 mengilustrasikan bagaimana target terkait gizi yang terdapat
pelayanan dasar bidang kesehatan pada SPM Kesehatan tersebut terdiri dari 12
Dalam Negeri untuk lima sektor. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No 2 tahun 2018

termasuk bidang kesehatan. SPM untuk sektor kesehatan diamanatkan berdasarkan


yang menetapkan layanan spesifik yang harus diberikan untuk meningkatkan gizi,

dianggap penting untuk intervensi gizi spesifik. Saat ini, dari 14 intervensi tersebut hanya
mengatasi kekurangan gizi (The Lancet, 2013) dan juga empat intervensi lebih lanjut yang
Salah satu strategi yang diusulkan dalam konsolidasi Kajian Sektor Kesehatan 2014
peraturan (No. 43, 2016) dan dioperasionalkan oleh Kementerian Kesehatan. Jenis
tentang Standar Pelayanan Minimal (SPM) telah ditetapkan SPM untuk enam sektor

hanya 9 yang merupakan program nasional, 2 intervensi yang sebagian diimplementasikan


pelayanan, yang didasarkan pada kelompok umur. Saat ini, pedoman teknis untuk SPM
masyarakat. Standar Pelayanan Minimal (SPM) ini telah ditetapkan oleh Kementerian
dan kabupaten bertanggung jawab untuk memberikan berbagai layanan dasar kepada
serta pengadaan dan pasokan beberapa suplai gizi sementara pemerintah provinsi
Kementerian Kesehatan bertanggung jawab untuk merencanakan, membuat pedoman

10 intervensi gizi esensial harus dimasukkan ke dalam kebijakan dan panduan nasional,
dan dikerjakan melalui layanan gizi di tingkat daerah dengan cakupan penuh. Paling tidak
dan 3 intervensi yang belum menjadi kebijakan nasional saat ini. Intervensi gizi spesifik
Tabel 4 menyajikan 10 intervensi gizi spesifik yang telah terbukti secara global (The Lancet
Maternal and Child Nutrition Series) pada tahun 2013 sebagai hal yang esensial untuk
dalam RPJMN 2015-2019 tercermin pada indikator yang terdapat dalam rencana strategis
bidang kesehatan sedang dalam proses penyusunan sebagai revisi pedoman teknis SPM

Tabel 4. Implementasi, Cakupan dan Tantangan Intervensi Gizi Spesifik di Indonesia

Intervensi Implementasi di Indonesia Cakupan Tantangan

Intervensi Gizi Spesifik Esensial (direkomendasikann oleh Lancet Maternal and Child Nutrition Series 2013)
Konseling Program nasional · 61% bayi menerima inisiasi menyusui Cakupan menyusui masih rendah.
dan promosi dini/IMD (disusui dalam 1 jam Hambatan termasuk perempuan yang
menyusui Promosi menyusui melalui konseling pertama setelah kelahiran) (BPS & bekerja, aksesibilitas terhadap formula
interpersonal di fasilitas kesehatan Kemenkes, 2017) . pengganti ASI, dan keyakinan budaya dan
tabu.
dan di tingkat masyarakat. · 52% bayi usia 0-5 bulan mendapatkan
ASI eksklusif (BPS & Kemenkes, 2017).
· 54% anak usia 20-23 bulan
melanjutkan ASI (BPS & Kemenkes,
2017).
Konseling Implementasi sebagian · 37% anak usia 6-23 bulan Praktek pemberian makanan pendamping
dan promosi mendapatkan makanan pendamping yang adekuat masih belum universal.
Pemberian Pemberian makanan pendamping yang memenuhi minimum acceptable Hambatan termasuk perempuan yang
Makanan yang optimal dipromosikan melalui diet (MAD) (BPS & Kemenkes, 2012). bekerja, aksesibilitas terhadap formula
Pendamping ASI pengganti ASI, dan undang-undang yang
yang tepat konseling inter-personal di fasilitas · 58% anak usia 6-23 bulan menerima belum adekuat untuk melindungi anak usia
kesehatan dan di tingkat masyarakat. makanan pendamping dari kelompok di atas 6 bulan.
makanan dengan jumlah cukup (BPS
& Kemenkes, 2012).
Pemberian Program nasional · 25,2 % ibu hamil dengan KEK Sekitar seperempat ibu hamil diperkirakan
makanan menerima makanan tambahan menderita KEK. Penyediaan biskuit
tambahan dengan Kurang Energi Kronis (KEK) (Kementerian Kesehatan, 2018). memiliki kelemahan akibat kurangnya
energi-protein didefinisikan dengan LILA < kepatuhan karena perempuan berbagi
yang seimbang 23.5 cm dan terjadi pada ibu biskuit dengan yang lain, biaya yang tinggi
untuk ibu hamil hamil. Penanganan KEK adalah dan masalah pasokan.
dengan pemberian biskuit yang
mengandung energi dan protein
tinggi.
Pemberian multi- Program nasional · 24 % ibu hamil menerima Anemia masih menjadi masalah kesehatan
mikronutrien sekurangnya 90 Tablet Tambah Darah masyarakat di Indonesia. Tantangan
(atau Tablet Kebijakan saat ini adalah (TTD) (Kementerian Kesehatan, 2018). termasuk memastikan kepatuhan dan
Tambah Darah) memberikan setidaknya 90 hari rantai pasokan yang dapat diandalkan.
untuk ibu hamil Tablet Tambah Darah (TTD) untuk
ibu hamil.
2. Analisis Situasi: Capaian dan Tantangan • 43
Intervensi Implementasi di Indonesia Cakupan Tantangan
Manajemen/ Implementasi sebagian · Data tidak tersedia. Manajemen berbasis masyarakat untuk
tatalaksana SAM belum dimasukkan ke dalam
gizi buruk akut Kebijakan saat ini adalah kebijakan nasional. Akses ke manajemen
(Severe Acute penanganan berbasis fasilitas untuk berbasis fasilitas masih terbatas terutama
Malnutrition/ anak dengan gizi buruk akut (SAM). di daerah terpencil.
SAM)
Manajemen/ Implementasi tidak ada Anak-anak dengan MAM belum ditangani
tatalaksana secara komprehensif melalui dukungan
balita kurus Tidak ada kebijakan untuk dan konseling untuk ibu namun dengan
(moderate acute manajemen MAM. Kebijakan saat melakukan pemberian biskuit yang
ini adalah untuk memberikan biskuit
44 • Pembangunan Gizi di Indonesia

malnutrition/ memiliki tantangan terkait dengan


MAM) tinggi energi dan protein. kepatuhan dan efektivitasnya.

Garam beryodium Program nasional · 47% rumah tangga mengkonsumsi Konsumsi universal garam beryodium
garam beryodium berdasarkan titrasi belum terpenuhi.
Kebijakan saat ini terkait wajib
(Kementerian Kesehatan, 2013)
iodisasi garam sudah ada, dan
garam beryodium tersedia di
· 77% of rumah tanggan mengkonsumsi
seluruh daerah.
garam beryodium yang cukup
berdasarkan tes cepat (Kementerian
Kesehatan, 2013)
Pemberian Program nasional · 53,5% anak usia 6-59 bulan menerima Hampir separuh anak tidak menerima
vitamin A vitamin A sesuai standar (6-11 bulan 1 vitamin A sesuai standar sehingga cakupan
Kebijakan saat ini adalah pemberian
kali; 12-59 bulan 2 kali) (Kementerian penuh belum tercapai.
vitamin A untuk usia 6-59 bulan dua
kali setahun. Kesehatan, 2018)
Bubuk multi- Implementasi tidak ada Anemia terjadi pada 28% anak balita dan
mikronutrien / belum terkendali (Kemenkes, 2015).
fortifikasi tingkat Fortifikasi makanan tingkat rumah
rumah tangga tangga dengan bubuk multi-
mikronutrien dianjurkan untuk
memperbaiki status zat besi dan
mengurangi anemia pada bayi dan
anak usia 6-23 bulan.

Intervensi Implementasi di Indonesia Cakupan Tantangan


Pemberian Implementasi tidak ada Ketika suplementasi kalsium diresepkan,
suplementasi hanya dosis rendah yang cenderung
kalsium untuk ibu Tidak ada kebijakan saat ini untuk diberikan dibandingkan memberikan dosis
hamil suplementasi kalsium. Beberapa yang disarankan yakni 1,5 hingga 2 g/hari
kabupaten memberikan suplemen yang diperlukan untuk melindungi dari
dosis rendah (500 mg/hari). preeklampsia.
Intervensi gizi-spesifik yang direkomendasikan (bukan dari Lancet Maternal and Child Nutrition Series 2013)
Obat cacing untuk Program nasional · 25,9 % of anak balita mendapatkan Data prevalensi kecacingan nasional tidak
anak sekolah obat cacing. tersedia namun sekitar 28% anak balita
Anak berusia 12-23 bulan, anak diperkirakan mengalami kecacingan
usia prasekolah berusia 1-4 tahun, (Kemenkes, 2015) yang menunjukkan
dan anak usia sekolah berusia 5-12 bahwa masalah ini belum terkendali.
tahun yang tinggal di daerah dimana
prevalensi awal untuk infeksi cacing
parasit apapun berada pada minimal
20% atau menerima tablet obat
cacing 2 kali per tahun.
Zinc untuk Program nasional · 1,1 % anak usia <59 bulan dengan Diare sangat sering terjadi (14% anak
penanganan diare diare menerima suplementasi zinc terkena diare dalam dua minggu terakhir)
Kebijakan saat ini adalah (BPS & Kemenkes, 2012) (BPS & Kemenkes, 2012) sehingga cakupan
menyediakan zinc hanya untuk penuh menjadi tantangan.
anak-anak dengan diare.

Pemberian Tablet Program nasional · 1,4 % remaja puteri (usia 12-18 Anemia umum terjadi pada 23% remaja
Tambah Darah tahun) menerima TTD ≥52 butir putri (Kementerian Kesehatan, 2013).
(TTD) mingguan Kebijakan saat ini adalah (Kementerian Kesehatan, 2018) Tantangan termasuk memastikan
untuk remaja memberikan Tablet Tambah Darah kepatuhan dan rantai pasokan yang dapat
putri (TTD) secara mingguan untuk diandalkan.
remaja putri.
Pemantauan Program nasional · 54,6% anak balita dipantau Pemantauan pertumbuhan perlu disertai
pertumbuhan pertumbuhannya ≥ 8 kali dalam dengan konseling dan dukungan
Kebijakan saat ini adalah untuk 12 bulan terakhir (Kementerian berkualitas baik.
memantau pertumbuhan anak Kesehatan, 2018)
balita 8 kali per tahun untuk
mengidentifikasi anak dengan
stunting, wasting dan obesitas
2. Analisis Situasi: Capaian dan Tantangan • 45
46 • Pembangunan Gizi di Indonesia 2. Analisis Situasi: Capaian dan Tantangan • 47

Promosi praktik pemberian makanan pendamping ASI yang sesuai Kotak 5. Fokus pada Model PGBM yang Berhasil di Kabupaten Kupang
Diperlukan tindakan intensif untuk mengisi kesenjangan yang ada dalam layanan gizi.
Promosi praktik pemberian makanan pendamping ASI yang sesuai untuk anak adalah hal
Indonesia memiliki beban malnutrisi akut tertinggi ke-4 di dunia, dengan wasting
yang penting tetapi saat ini hanya sebagian yang diterapkan. Seperti yang disebutkan
dialami oleh sekitar 3 juta anak balita, di mana 1,3 juta menderita SAM. Angka
di bagian sebelumnya, ada banyak tantangan dengan pemberian makanan pendamping
kematian di antara anak dengan SAM jauh lebih tinggi dibandingkan dengan
yang menyebabkan kegagalan pertumbuhan pada sejumlah besar anak. Legislasi yang
anak yang bergizi baik tetapi cakupan dan kualitas penanganan berbasis fasilitas
jauh lebih kuat disertai dengan konseling dan dukungan yang lebih baik bagi ibu dan
tetap sangat rendah di Indonesia. UNICEF dalam kemitraan dengan Aksi Melawan
pengasuh diperlukan untuk memperbaiki praktik pemberian makanan pendamping.
Kelaparan (Action Against Hunger), telah mendukung Pemerintah Indonesia dalam
melaksanakan program PGBM di beberapa kecamatan terpilih di Kabupaten Kupang.
Manajemen malnutrisi akut
Kesenjangan utama dalam layanan adalah manajemen malnutrisi akut (wasting). Hasil yang sangat baik dicapai pada tahun terakhir pelaksanaan program (2017-2018),
Penanganan kekurangan gizi akut telah menjadi komponen standar pelayanan kesehatan dengan program PGBM diakui oleh pemerintah tingkat pusat dan daerah sebagai
di Indonesia selama bertahun-tahun. Pelayanan rawat inap untuk anak dengan gizi buruk intervensi penyelamatan jiwa yang telah terbukti, yang memiliki potensi besar
akut (SAM) disediakan di rumah sakit kabupaten dan provinsi, beberapa Puskesmas, dan untuk ditingkatkan sebagai layanan gizi esensial. Pada April 2018, rata-rata lebih dari
pusat pemulihan gizi/PPG (therapeutic feeding centres). Namun, cakupan dan kualitas 6.500 anak dilakukan skrining untuk SAM setiap bulan, dan 719 telah dirawat untuk
pelayanan untuk anak dengan kekurangan gizi akut masih sangat rendah. Kemenkes mendapatkan pengobatan, di antaranya lebih dari 60% berhasil pulih dan kembali
Kesehatan melaporkan bahwa mereka menangani kurang dari 4.500 anak SAM per tahun, ke status gizi normal. Program PGBM secara konsisten telah memenuhi tiga dari
dibandingkan dengan perkiraan beban kasus tahunan SAM sebesar 1,3 juta. Ini setara empat Indikator Kinerja Sphere1 sejak 2017: tingkat penyembuhan rata-rata 79%;
dengan kurang dari 1% anak SAM. Sebagian dari alasan untuk cakupan yang rendah adalah tingkat kegagalan 9%; dan tingkat kematian di bawah 1%. Sebuah survei SMART
tidak dapat diaksesnya fasilitas untuk penanganan SAM di daerah terpencil. Pemullihan gizi pada tahun 2018 menemukan peningkatan positif secara keseluruhan dalam status
berbasis masyarakat atau PGBM (Community-based management of acute malnutrition/ gizi dan kesehatan anak sejak dimulainya program pada tahun 2015. Namun, upaya
CMAM) adalah model yang telah diuji dalam berbagai konteks di seluruh dunia dan berkelanjutan diperlukan untuk mengurangi prevalensi SAM.
sekarang ditetapkan sebagai cara yang efektif untuk mengurangi angka kematian. Anak
Pada 2018, program ini akan diperluas ke empat kabupaten di NTT, yaitu kecamatan
dengan SAM di bawah usia enam bulan atau berusia 6-59 bulan dengan komplikasi medis
lain di Kabupaten Kupang, Kabupaten Sikka, TTS dan Kota Kupang.
atau tidak ada nafsu makan harus dirawat di rumah sakit untuk menerima layanan rawat
inap, perawatan berbasis fasilitas yang mengikuti protokol standar sementara mereka yang Sumber: UNICEF komunikasi personal
tidak memiliki komplikasi medis dan memiliki nafsu makan yang baik dapat menerima
layanan rawat jalan sesuai dengan protokol standar. Model PGBM telah dikembangkan Namun demikian, pelaksanaan manajemen malnutrisi akut sedang/kurus (Moderate Acute
dan diuji di beberapa kecamatan terpilih di Kabupaten Kupang di Indonesia. Dan telah Malnutrition) masih belum dilakukan secara komprehensif, hanya melakukan penyediaan
menunjukkan bahwa PGBM adalah intervensi penyelamatan hidup yang terbukti berhasil makanan tambahan tinggi energi dan protein tanpa dukungan yang memadai melalui
menangani anak dengan SAM dan menunjukkan bahwa PGBM dapat diintegrasikan ke kegiatan konseling. Mengingat bahwa anak kurus (MAM) yang tidak dikelola cenderung
dalam sistem kesehatan yang ada di Indonesia (lihat Kotak 5). menjadi SAM dan berisiko lebih tinggi terhadap kematian, merupakan hal yang prioritas
untuk memastikan bahwa manajemen anak kurus (MAM) dibangun di dalam sistem
kesehatan.

Pencegahan dan pengobatan anemia


Pencegahan dan pengobatan anemia pada balita adalah area prioritas lain yang masih
perlu terus diupayakan. Anemia umumnya terkait dengan stunting dan memiliki beberapa
dampak negatif pada perkembangan kesehatan dan kognitif anak. Program pemberian
obat cacing mungkin memiliki beberapa efek pada pengurangan beban kecacingan dan
juga anemia tetapi itu jelas tidak efektif jika dilakukan secara tunggal. Salah satu intervensi
gizi spesifik esensial yang direkomendasikan oleh Lancet adalah fortifikasi makanan rumah
dengan bubuk multi-mikronutrien. WHO telah menyimpulkan bahwa ini adalah intervensi
yang efektif untuk mengurangi anemia dan kekurangan zat besi pada anak berusia enam
bulan hingga lima tahun (WHO, 2016). Selain itu, hal tersebut merupakan intervensi yang
relatif murah yang dapat berdampak besar pada status gizi anak dan dapat diintegrasikan
ke dalam kebijakan dan program kesehatan yang ada.
48 • Pembangunan Gizi di Indonesia 2. Analisis Situasi: Capaian dan Tantangan • 49

Pencegahan dan penanganan obesitas 2.4.3. Program Gizi Sensitif


Masalah lain yang dihadapi adalah intervensi penanganan obesitas yang masih belum
memadai. Saat ini, kebijakan terkait obesitas tercakup dalam Kementerian Kesehatan di Pentingnya mengatasi malnutrisi melalui pendekatan multi-sektor telah diakui di Indonesia.
bawah program PTM. Kebijakan kesehatan saat ini adalah deteksi dini obesitas untuk Konsolidasi Kajian Sektor Kesehatan 2014 mengusulkan dua strategi yang terkait dengan
kelompok usia 15-49 tahun di fasilitas kesehatan yang kemudian dilakukan pengukuran hal tersebut:
(berat/tinggi dan lingkar pinggang) dan dirujuk untuk mendapatkan konseling dan • “Mengorientasikan para pembuat kebijakan dan perencana di semua sektor
dukungan. Intervensi ini hanya terbatas pada orang dewasa, belum ada pedoman khusus utama dan kelompok pemangku kepentingan mengenai gizi dalam 1.000 hari
untuk promosi berat badan yang sehat pada anak balita yang mengunjungi fasilitas pertama kehidupan, hubungan antara kekurangan gizi dan kelebihan gizi, serta
kesehatan. peran dan tanggung jawab spesifik sektor/spesifik pemangku kepentingan.”
• “Tetapkan pembagian tanggung jawab dan otoritas yang jelas untuk aksi gizi di
Selain itu, Kemenkes sedang melaksanakan kampanye untuk gizi seimbang (keragaman semua sektor yang relevan dan cerminkan dalam strategi dan rencana spesifik
pangan) sementara ada gerakan nasional yang disebut GERMAS (Gerakan Masyarakat sektor.”
Hidup Sehat) dalam Instruksi Presiden (No. 1, 2017) yang mendorong:
1. Aktivitas fisik Di Indonesia, ada empat sektor, selain kesehatan, yang memiliki keterkaitan dengan gizi
2. Peningkatan perilaku hidup sehat (misalnya tidak merokok, dll) secara khusus, yaitu: (i) perlindungan sosial, (ii) pertanian dan ketahanan pangan, (iii)
3. Penyediaan makanan sehat dan percepatan perbaikan gizi pendidikan dan perkembangan anak, dan (iv) air, sanitasi dan higiene. Program-program
4. Peningkatan pencegahan dan deteksi dini penyakit yang saat ini ada, yang berpotensi menjadi intervensi gizi sensitif, dijelaskan secara rinci
5. Peningkatan kualitas lingkungan dalam Lampiran 5 dan dirangkum dalam Tabel 5.
6. Peningkatan pendidikan hidup sehat
Potensi Program-program Sektor Terkait dalam Berkontribusi pada Perbaikan Gizi
Walaupun ada usaha-usaha tersebut, tingkat obesitas dan kelebihan berat badan masih
meningkat tajam dan kebijakan yang dilakukan untuk memperbaiki lingkungan dan sistem Ada semakin banyak bukti global dan pengalaman negara lain tentang peran yang dapat
pangan masih perlu diperkuat. dikerjakan melalui intervensi gizi sensitif dalam perbaikan gizi. Delapan area program yang
tercantum dalam Tabel 5 semuanya memiliki potensi untuk memberi manfaat terhadap gizi
Intervensi yang bertujuan untuk mengatasi kekurangan gizi memiliki pengaruh yang secara positif. Bukti akan manfaatnya juga sudah tersedia. Suatu evaluasi setelah enam
berkontribusi pada keadaan kelebihan berat badan di kemudian hari. Sebagai contoh, tahun program bantuan tunai bersyarat Keluarga Harapan menemukan beberapa manfaat
menyediakan biskuit sebagai makanan tambahan untuk anak dan ibu hamil tanpa disertai termasuk temuan bahwa anak balita stunting berkurang 3% dari keluarga yang terdaftar
konseling tentang pola konsumsi pangan yang sehat dapat menciptakan persepsi bahwa dalam program (World Bank, 2017). Selain itu, angka anemia berkurang pada anak yang
biskuit adalah pengganti makanan lokal yang bergizi. Hal ini kemudian dapat menyebabkan berpartisipasi dalam Program Makanan Sekolah percontohan yang saat ini programnya
praktik makan yang buruk dan potensi kelebihan berat badan di kemudian hari. Untuk itu, sedang diperluas (WFP, 2016).
pemangku kepentingan perlu memahami akan konsep ‘aksi tugas-ganda’ (‘double-duty
actions’) yang secara bersamaan mengurangi beban kekurangan gizi dan juga kelebihan Meskipun keberhasilan ini sangat menggembirakan, dampak dari program gizi sensitif
berat badan (WHO, 2017). tunggal pada status gizi sulit untuk dilihat. Sebaliknya, dampak perlu dinilai melalui
pengaruh program pada jalur kausal yang mengarah pada peningkatan gizi sebagaimana
Dapat disimpulkan dari kajian intervensi gizi spesifik ini bahwa ada kesenjangan yang yang tercantum dalam Gambar 1. Program gizi sensitif dapat mempengaruhi jalur
signifikan dalam layanan kesehatan dan gizi yang masih perlu untuk dipenuhi agar ini dalam berbagai cara. Program Keluarga Harapan meningkatkan akses ke layanan
sejalan dengan rekomendasi global. Adalah penting agar upaya yang ada saat ini untuk kesehatan ibu dan anak, akses ke pendidikan, dan mengurangi kemiskinan melalui
mengurangi stunting sejalan juga dengan upaya untuk mengurangi obesitas, kekurangan peningkatan aset keuangan rumah tangga. Evaluasi Program Kawasan Rumah Pangan
gizi akut dan anemia. Lestari (KRPL) menemukan bahwa keluarga dan masyarakat yang berpartisipasi mampu
mengurangi pengeluaran mereka untuk makanan ketika mereka dapat menumbuhkan
sendiri bahan makanan mereka sementara makanan mereka juga menjadi lebih beragam
(Kementerian Pertanian, 2018). Studi dampak dari Program Penyediaan Air Minum dan
Sanitasi Berbasis Masyarakat (PAMSIMAS) untuk masyarakat berpenghasilan rendah
menemukan peningkatan akses rumah tangga lokal ke pasokan air masyarakat (World
Bank, 2013). Program Pemberian Makanan Tambahan di Sekolah percontohan telah
menghasilkan peningkatan fasilitas cuci tangan, penyakit yang dilaporkan lebih rendah,
tingkat kehadiran yang lebih tinggi dan tingkat putus sekolah yang lebih rendah,
peningkatan aktivitas kesehatan dan pola makan yang lebih sehat (WFP, 2016). Temuan ini
50 • Pembangunan Gizi di Indonesia 2. Analisis Situasi: Capaian dan Tantangan • 51

menyoroti pentingnya merancang program gizi sensitif berdasarkan pemahaman tentang


Pertanian dan Kebun Rumah: Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL) berupaya
jalur menuju gizi yang baik dan bagaimana program dapat secara efektif mempengaruhi
Ketahanan untuk meningkatkan produksi buah dan sayuran di komunitas
jalur tersebut. Mereka seharusnya tidak dinilai berdasarkan dampaknya pada status gizi,
Pangan miskin. Kabupaten yang rawan pangan dengan tingkat stunting
tetapi lebih pada kemampuan mereka untuk mempengaruhi faktor penyebab.
yang tinggi ditargetkan dan dalam kabupaten tersebut kelompok
perempuan/masyarakat dengan setidaknya 15 anggota memenuhi
Tabel 5. Program Gizi Sensitif Potensial
syarat untuk mendapatkan bantuan untuk mendukung kebun pangan
di pekarangan rumah. Pada tahun 2017, KPRL melibatkan 1.691
Perlindungan Bantuan Tunai Bersyarat: Program Keluarga Harapan (PKH) kelompok di 315 kabupaten dengan biaya Rp 29,9 juta.
Sosial memberikan bantuan tunai bersyarat kepada 20% keluarga termiskin
Pendidikan dan Nutrisi dalam pendidikan anak usia dini: Program PAUD
yang memiliki anggota keluarga yang rentan (ibu hamil/menyusui,
Perkembangan (Pengembangan Anak Usia Dini) bertujuan untuk memberikan
anak pra sekolah, anak sekolah, lansia, penyandang disabilitas)
Anak stimulasi pendidikan untuk membantu pertumbuhan, perkembangan
dengan memenuhi persyaratan tertentu. Ada tiga komponen
persyaratan: kesehatan, pendidikan dan kesejahteraan sosial. PKH fisik dan spiritual pada anak sejak lahir hingga usia enam tahun.
diujicobakan pada tahun 2007 dan menjadi program nasional pada Standar nasional untuk PAUD mengandung elemen terkait gizi
tahun 2013. Anggaran untuk cakupan 10 juta rumah tangga penerima melalui kegiatan dan bahan PAUD, pelatihan gizi untuk pendidik
manfaat pada tahun 2018 adalah Rp17,3 triliun. PAUD dan dukungan pengasuhan tentang gizi. Pada tahun 2018,
6 juta anak (setara dengan 72% anak usia 3-6 tahun terdaftar di
Bantuan Pangan: Rastra (Beras Sejahtera) bertujuan untuk lembaga pendidikan anak usia dini dan pada tahun 2017 pelatihan
mengurangi beban pengeluaran rumah tangga dengan menyediakan kurikulum telah dilaksanakan di 402 kabupaten dan kota dengan total
15 kg beras dengan harga subsidi kepada 25% rumah tangga biaya Rp 1,7 triliun.
termiskin. Rastra telah ada dalam beberapa bentuk selama satu
dekade. Pada tahun 2016, total alokasi anggaran untuk Rastra adalah Pemberian makanan tambahan di sekolah: Program Gizi Anak
Rp 21 triliun dengan cakupan 15,5 juta rumah tangga. Sekolah (Pro-GAS) Program drintisi dari 2012-2015 dan sekarang
sedang diperpanjang. Program ini bertujuan untuk menggunakan
BNPT mulai dikembangkan dari Rastra pada tahun 2017 dengan makanan sekolah, berbasis makanan lokal, sebagai titik masuk dalam
tujuan yang lebih luas untuk menyediakan makanan yang lebih memberikan paket terpadu untuk meningkatkan gizi, ketahanan
seimbang dan untuk meningkatkan akurasi kelompok target dan pangan, dan pendidikan. Pada tahun 2017, Pro-GAS telah meningkat
akses ke program. BNPT menyediakan ‘uang elektronik’ setiap bulan di lima provinsi dengan mencapai 100.000 siswa di 563 sekolah
yang dapat digunakan untuk membeli beras dan/atau telur dari dasar.
pedagang makanan atau E-warong. Pada 2017, BNPT menjangkau 1,3
juta keluarga penerima manfaat di 44 kabupaten. Target untuk 2018 Air, Sanitasi Air, Sanitasi dan Higiene: PAMSIMAS atau Program Penyediaan
adalah untuk mencapai 10 juta keluarga penerima di 220 kabupaten. dan Higiene Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat untuk masyarakat
Biaya pada tahun 2016 diperkirakan sebesar Rp 22,1 triliun. berpebghasilan rendah memiliki lima komponen yang berkaitan
dengan pemberdayaan masyarakat, higiene, pasokan air dan
Asuransi Kesehatan Nasional: Jaminan Kesehatan Nasional atau JKN sanitasi, insentif desa dan manajemen program. Pada tahun 2016,
(Program Asuransi Kesehatan) yang diperkenalkan pada tahun 2014, cakupan mencapai sebanyak 1,7 juta orang tambahan yang memiliki
bertujuan untuk memberikan akses ke pelayanan kesehatan bagi akses ke air dan 1,8 juta orang yang memiliki akses ke fasilitas
semua orang Indonesia pada Januari 2019. Pendanaan diperoleh sanitasi yang layak.
melalui kontribusi yang dibuat oleh pekerja yang dipekerjakan dalam
skala geser (sliding scale). Hingga Desember 2014, 138 juta anggota
diperkirakan terdaftar dalam skema JKN, atau sekitar 55% dari total
Ada kesenjangan dalam bukti yang kuat dan kurangnya evaluasi mengenai dampak intervensi
populasi.
gizi sensitif terhadap status gizi. Program Pemberian Beras Bersubsidi telah ada dalam
Penciptaan Ketenagakerjaan dan Pemberdayaan Masyarakat: beberapa bentuk setidaknya selama satu dekade, tetapi hanya ada beberapa penelitian
Program Padat Karya yang diperkenalkan pada tahun 2018 yang telah mengkaji bagaimana program tersebut dapat mempengaruhi gizi. Sama halnya
bertujuan untuk mengurangi kemiskinan, menciptakan lapangan dengan Program Pengembangan Anak Usia Dini. Program lain, seperti Program Asuransi
kerja, memberdayakan masyarakat dan menurunkan angka Kesehatan Nasional masih sangat muda dan belum memungkinkan untuk dievaluasi
stunting. Program ini akan merangsang kegiatan produktif dengan tentang bagaimana program tersebut akan mempengaruhi gizi. Untuk itu, desain evaluasi
menggunakan sumber daya alam, tenaga kerja lokal dan teknologi. penting untuk dipertimbangkan pada tahap perencanaan program untuk memastikan bahwa
Kelompok sasaran adalah masyarakat marginal/miskin di 1.000 desa indikator yang relevan dapat dipantau.
terpilih di 100 kabupaten/kota. Didanai melalui Dana Desa.
52 • Pembangunan Gizi di Indonesia 2. Analisis Situasi: Capaian dan Tantangan • 53

Target, Indikator dan Kegiatan Terkait Gizi dalam Perencanaan Sektor Utama Upaya nasional yang ada saat ini untuk mengurangi stunting perlu didampingi dengan
upaya untuk mengurangi wasting, anemia dan obesitas. Serupa dengan stunting, upaya
Potensi peran sektor terkait dalam meningkatkan gizi di Indonesia belum tercermin untuk mengatasi obesitas perlu dilakukan secara lintas sektoral. Meningkatkan akses
dalam rencana sektor utama. Analisis rencana strategis (RENSTRA) dari kementerian- ke konseling dan dukungan melalui layanan kesehatan, program kesehatan dan gizi
kementerian utama dilakukan untuk menetapkan bagaimana gizi tercermin dalam target sekolah, kontrol atas konten, penjualan dan pemasaran makanan dan minuman, hanyalah
sektoral, indikator, dan program untuk beberapa Kementerian kunci. Temuan ini terdapat beberapa aksi sektoral yang diperlukan untuk menghentikan peningkatan obesitas secara
dalam Lampiran 4 dan dirangkum dalam Tabel 6. efektif. Langkah pertama adalah meningkatkan kesadaran tentang penyebab dan dampak
kelebihan berat badan dan obesitas.
Target
Meskipun beberapa target gizi dimasukkan dalam Buku I RPJMN 2015-2019, hal ini tidak Tabel 6. Target dan Indikator terkait Gizi di Renstra Kementerian Utama
kemudian secara eksplisit tercermin sebagai target strategis dalam renstra kementerian
terkait selain Kemenkes. Setidaknya target stunting dan obesitas harus secara eksplisit
Kementerian Sasaran strategis Indikator (2014-2019) Program
dimasukkan dalam semua renstra kementerian kunci untuk memperkuat kontribusi
penting yang dimainkan oleh semua sektor dalam mengatasi Beban Ganda Masalah Gizi. 1. Swasembada · Peningkatan produksi (juta
beras, jagung ton):
dan kedelai dan Beras 70,6 menjadi 82,1
Indikator
peningkatan Jagung 19,0 menjadi 24,7
Pengamatan Tabel 6 menunjukkan bahwa sangat sedikit indikator dalam RENSTRA saat produksi daging Kedelai 0,95 menjadi 3,0
ini terkait dengan gizi dan tidak cukup spesifik untuk dapat menilai peningkatan dalam dan gula Gula 2,63 menjadi 3,82 Kawasan Rumah
Pertanian
jalur kausal untuk perbaikan gizi. Pertama, mereka tidak fokus pada kelompok populasi Sapi 460,4 menjadi 755,1 Pangan Lestari
yang memang perlu ditargetkan agar intervensi dapat memberikan dampak. Di Indonesia,
2. Peningkatan · Pola Pangan Harapan:
kelompok-kelompok sasaran ini termasuk wanita, anak-anak, remaja dan orang miskin,
diversifikasi 81,8 menjadi 92,5
meskipun kelompok sasaran tertentu lainnya merupakan konteks spesifik. Peningkatan pangan · Asupan energi/kapita/hari:
prevalensi secara nasional dapat menutupi adanya kesenjangan yang semakin meningkat 1.967 menjadi 2.150 kkal
untuk itu program perlu menentukan kelompok sasaran yang paling akan mengalami
1. Mengurangi · Pengembangan 5.000
dampak dari intervensi terkait gizi yang dikerjakan. Kedua, diperlukan indikator yang
jumlah desa desa tertinggal
lebih spesifik untuk melacak perbaikan terkait gizi. Sebagai contoh, pola pangan harapan tertinggal
adalah indikator yang relatif tumpul berdasarkan pola konsumsi nasional. Indikator yang Desa,
lebih sesuai untuk mengukur keragaman pola makan rumah tangga dan individu telah Pembangunan 2. Pemberantasan · Peningkatan 80 kabupaten
Program Padat
Daerah daerah yang di wilayah yang paling
dikembangkan yang merupakan proksi yang lebih baik dari kecukupan gizi dalam diet (FAO, Karya
Tertinggal & paling terbelakang terbelakang
2010). Pertimbangan cermat tentang indikator mana yang paling sesuai untuk melacak Transmigrasi
capaian perbaikan gizi diperlukan di semua sektor terkait, sehingga indikator yang relevan 3. Pengembangan · Meningkatnya ketahanan
dapat diidentifikasi dan dimasukkan dalam RENSTRA berikutnya. Wilayah Tertentu pangan di 57 kabupaten
yang rawan pangan

Program 1. Peningkatan · Layanan dasar terpenuhi


Saat ini, program sektoral cenderung beroperasi secara mandiri dengan menargetkan kualitas layanan di 60% wilayah
kelompok populasi yang berbeda. Pertanyaan tentang ‘integrasi’ versus ‘co-location’ Dalam Negeri publik melalui
(berlokasi di tempat yang sama) untuk pelaksanaan program gizi sensitif telah menjadi pembangunan
regional
bahan diskusi global (Ruel, Quisumbing, & Balagamwala, 2018). Integrasi intervensi berisiko
membuat program terlalu kompleks dan sulit untuk diimplementasikan. Untuk alasan ini,
beberapa pengamat mengambil pandangan bahwa yang terbaik adalah untuk melakukan
penempatan intervensi sektoral di lokasi yang sama tetapi juga menargetkan individu,
rumah tangga, atau komunitas yang sama, dengan kata lain “berpikir secara multisektoral,
dan bertindak secara sektoral”. Kuncinya adalah perencanaan, pemantauan dan evaluasi
program secara bersama untuk memastikan bahwa kelompok yang sama ditargetkan
dan tujuan akhir untuk meningkatkan gizi terpenuhi, tetapi detail pelaksanaannya harus
dilakukan secara independen oleh masing-masing sektor terkait.
54 • Pembangunan Gizi di Indonesia 2. Analisis Situasi: Capaian dan Tantangan • 55

Kementerian Sasaran strategis Indikator (2014-2019) Program Pesan Kunci


1. Pengembangan · Ketahanan air nasional: Lingkungan yang mendukung
pekerjaan umum 28,9% menjadi 67,6%
dan perumahan Program 1. Pengetahuan dan bukti sangat penting untuk pengambilan keputusan:
untuk mencapai Penyediaan
Pekerjaan ketahanan air, Air Minum dan • Data gizi yang teratur dan kuat telah tersedia untuk melacak target gizi yang
Umum & kedaulatan Sanitasi Berbasis ditetapkan dalam RPJMN tetapi ada kesenjangan besar dalam hal pengetahuan
Perumahan pangan dan Masyarakat dan sistem data dan informasi gizi saat ini.
Rakyat ketahanan energi untuk masyarakat
2. Politik dan pemerintahan menentukan komitmen, perencanaan, dan koordinasi untuk
berpenghasilan
2. Pengembangan · Peningkatan infrastruktur rendah gizi:
infrastruktur dasar dasar dan perumahan • Pemerintah telah menunjukkan kepemimpinan politik dan komitmen yang kuat
dan perumahan menjadi 95% terhadap gizi di tingkat pusat tetapi di tingkat daerah komitmen tersebut perlu
1. Pengurangan · Pengurangan kelompok ditingkatkan.
jumlah kelompok miskin dan rentan dan Program 3. Kapasitas dan sumber daya sangat penting untuk pemberian layanan gizi berkualitas
miskin, rentan PMKS sebanyak 1% pada Keluarga Harapan tinggi:
Sosial dan penyandang 2019 Program
masalah Pemberian Beras • Pencapaian utama di Indonesia adalah peningkatan pendanaan untuk gizi yang
kesejahteraan Bersubsidi berasal dari pendanaan pusat maupun daerah, namun diperlukan keberlanjutan
sosial (PMKS) pendanaan dan peningkatan kapasitas di tingkat daerah dalam merencanakan,
memprioritaskan, dan mengelola berbagai dana untuk gizi secara efektif.
1. Peningkatan akses · Angka partisipasi kasar
ke pendidikan untuk PAUD usia 3-6 • Indonesia memiliki persediaan yang siap untuk ahli gizi terlatih tetapi keahlian
anak usia dini tahun: mereka masih perlu dioptimalkan sementara pelatihan untuk penyedia layanan
Pendidikan & (PAUD) dan 68,1% menjadi 78,7% gizi perlu ditingkatkan.
Program PAUD
Kebudayaan pendidikan · Meningkatnya kabupaten
masyarakat dengan lembaga PAUD Intervensi spesifik gizi
terpadu:
40% menjadi 54,6% 4. Sebanyak 14 intervensi gizi spesifik telah diakui secara global sebagai intervensi yang
esensial untuk mengatasi kekurangan gizi:
Kesehatan 1. Penguatan · Jumlah peserta yang
implementasi menjadi Penerima • Hanya 9 yang merupakan program nasional, 2 diimplementasikan sebagian dan 3
Program Asuransi Subsidi Kontribusi Jaminan tidak dilaksanakan sama sekali.
Kesehatan melalui Program Asuransi Kesehatan
Nasional/Kartu Kesehatan Nasional/Kartu Nasional
• Kesenjangan yang ada dalam pemberian layanan gizi untuk mengatasi anemia,
Indonesia Sehat Indonesia Sehat: malnutrisi akut dan obesitas, dan untuk meningkatkan praktik pemberian makanan
864 menjadi 109,9 juta pendamping masih perlu untuk dipenuhi.
• Semua intervensi gizi esensial perlu untuk ditingkatkan agar dapat memastikan
pemberian layanan gizi memiliki cakupan penuh.

Program gizi sensitif

5. Peranan program gizi sensitif dalam memperbaiki gizi sudah diketahui dengan baik:
• Lima sektor yang terkait dengan gizi adalah: (i) kesehatan, (ii) perlindungan sosial,
(iii) pertanian dan ketahanan pangan, (iv) pendidikan dan perkembangan anak, dan
(v) air, sanitasi dan higiene.
• Beberapa bukti tentang bagaimana intervensi gizi sensitif mempengaruhi status
gizi sudah tersedia tetapi kesenjangan dalam pengetahuan masih perlu diperbaiki.
• Pemrograman yang sukses bergantung pada perencanaan dan pemantauan lintas
sektoral yang dilakukan secara bersama, yang difokuskan pada kelompok sasaran
yang sama dan dilaksanakan secara mandiri oleh masing-masing sektor terkait.
56 • Pembangunan Gizi di Indonesia

3.
Isu Strategis
dan Peluang

PEMBANGUNAN GIZI DI INDONESIA

K A J I A N S E K T O R K E S E H ATA N
58 • Pembangunan Gizi di Indonesia 3. Isu Strategis dan Peluang • 59

Bagian ini menetapkan isu-isu strategis yang harus dipertimbangkan ketika mengembangkan 3.3. Menyebarluaskan Pesan
alternatif kebijakan. Bagian ini juga mengidentifikasi peluang potensial untuk perbaikan gizi di
Indonesia saat ini. Lima isu strategis dijelaskan yang dapat diatasi melalui lima kebijakan yang Penyebab dan dampak Beban Ganda Masalah Gizi masih belum secara utuh dipahami
meliputi banyak hal yang ditetapkan dalam kotak di bawah bagian yang relevan. dengan baik meskipun masalah tersebut sudah menjadi prioritas pemerintah. Sebagian dari
alasan untuk hal ini adalah bahwa kondisi seperti stunting dan kelebihan berat badan tidak
sangat terlihat. Selain itu, masih ada tabu sosial dan budaya yang luas tersebar dalam hal
3.1. Mengatasi Beban Ganda Masalah Gizi pembatasan makanan, pemahaman tentang gizi pada ibu dan anak, dan persepsi bahwa bayi
yang gemuk lebih sehat. Pengambil keputusan tidak selalu menyadari dampak malnutrisi
Background paper sebelumnya tentang gizi di Indonesia yang dilakukan sebagai bagian dari terhadap ekonomi dan bagaimana hal ini dapat mengikis bonus demografis yang diharapkan
Kajian Sektor Kesehatan 2014 mengidentifikasi Beban Ganda Masalah Gizi sebagai tantangan terjadi pada 2020-2030. Mengingat semakin banyaknya jenis dan penggunaan media modern
nomor satu untuk gizi di Indonesia (Bappenas, 2014) dan terus menjadi tantangan gizi utama saat untuk berkomunikasi, dan fakta bahwa semakin banyak jumlah penduduk yang memiliki akses
ini. Seiring berjalannya waktu, kelompok masyarakat termiskin akan menjadi yang paling rentan ke telepon seluler dan televisi, adalah saat yang tepat untuk memulai kampanye advokasi,
oleh efek gabungan dari kekurangan gizi dan obesitas yang mengarah kepada ketimpangan komunikasi, dan mobilisasi yang komprehensif untuk meningkatkan kesadaran dan komitmen
yang lebih besar antara kaya dan miskin. Pendekatan yang diperluas, komprehensif, terpadu untuk perbaikan gizi. Selain itu, sinergi pesan kunci yang dilakukan oleh kementerian/lembaga
dan multisektoral untuk menanggulangi malnutrisi sedang diupayakan oleh Pemerintah dengan terkait dalam menyebarkan pesan gizi melalui strategi komunikasi perubahan perilaku juga
kepemimpinan politik yang kuat. Komitmen ini tercermin dalam pencantuman target dan strategi penting untuk dapat dikerjakan secara bersama-sama.
untuk mengatasi kekurangan gizi dan obesitas dalam dokumen perencanaan nasional, dan dalam
peningkatan alokasi pembiayaan untuk gizi yang disalurkan ke kabupaten dan desa. Dokumen
KEBIJAKAN 3: Meningkatkan kesadaran dan komitmen untuk perbaikan gizi dengan
perencanaan dan strategi daerah dan sektor terkait belum sesuai dengan rencana nasional dimana menggunakan metode inovatif dan berbagai saluran komunikasi.
hal ini dapat berdampak buruk pada alokasi anggaran untuk gizi. Langkah pertama yang penting
adalah menetapkan regulasi untuk memastikan bahwa target, kebijakan, dan strategi nasional
untuk gizi sepenuhnya tercermin dalam rencana daerah dan sektor terkait.
3.4. Membangun Bukti untuk Pengambilan Keputusan terkait Gizi

KEBIJAKAN 1: Menetapkan regulasi yang kuat untuk meningkatkan komitmen dan alokasi Keterbatasan kapasitas untuk menganalisis data, sistem informasi gizi yang belum efektif, dan
anggaran untuk gizi di tingkat pusat dan daerah. kesenjangan dalam hal pengetahuan telah diidentifikasi sebagai hambatan dalam pengambilan
keputusan berbasis bukti. Sejumlah besar data dihasilkan, tetapi kualitas dan kegunaan
informasi ini masih perlu ditingkatkan. Dengan meningkatnya aksesibilitas teknologi inovatif,
3.2. Memperkuat Kapasitas dan Intervensi Gizi di Tingkat Daerah ada peluang untuk mendesain ulang seluruh sistem informasi gizi. Hal ini akan melibatkan:
(i) revitalisasi sistem informasi gizi untuk mengintegrasikan indikator gizi spesifik dan gizi
Hambatan utama untuk perbaikan gizi di Indonesia adalah kurangnya kapasitas dalam sensitif, (ii) mengurangi jumlah indikator yang saat ini dikumpulkan menggantikannya dengan
mengimplementasikan program di tingkat daerah. Komitmen pusat yang kuat terhadap indikator yang esensial, (iii) standardisasi metode dan definisi indikator, (iv) memperkenalkan
pendekatan multisektoral untuk gizi belum sepenuhnya diterjemahkan ke dalam pemberian pelatihan dan pengawasan di tingkat daerah dalam melakukan pengumpulan, analisis, dan
layanan gizi berkualitas kepada masyarakat. Alasan utama adalah adanya kesenjangan yang penggunaan informasi untuk tujuan perencanaan dan pemantauan, (v) mengembangkan
signifikan dalam intervensi gizi spesifik yang esensial, khususnya untuk mengatasi anemia, sarana untuk mengkomunikasikan hasil secara teratur dengan format yang jelas dan
malnutrisi akut (wasting), obesitas dan PMBA. Selain itu, kapasitas daerah dalam merencanakan, sederhana yang sesuai untuk pembuat kebijakan dan pelaksana program. Penting juga untuk
melaksanakan, menganggarkan dan memantau intervensi gizi di tingkat daerah masih perlu melakukan penilaian komprehensif atas kesenjangan prioritas dalam hal pengetahuan dan
ditingkatkan. Dengan adanya desentralisasi berarti bahwa kabupaten memiliki sumber daya dan memulai penelitian untuk mengisi kekosongan tersebut. Kajian perlu juga dilakukan dalam
tanggung jawab yang lebih besar untuk mengelola program gizi daripada sebelumnya dan hal hal kebutuhan informasi untuk pengambilan keputusan, sistem informasi yang sudah ada
yang sama berlaku di tingkat desa dengan diperkenalkannya Dana Desa. Selain itu, pemerintah (PSG, Riskesdas, Susenas, SIMPUS, SIP, PIS-PK dan lain-lain) dan mengembangkan sistem
di daerah diharapkan dapat melakukan koordinasi lintas sektor yang efektif di dalam sistemnya informasi gizi untuk memenuhi kebutuhan program dan kebijakan.
tersendiri dan dengan sedikit pengalaman dalam hal bekerja secara multisektoral. Oleh karena
itu, penting untuk pemerintah di daerah memiliki panduan dan dukungan teknis yang jelas
KEBIJAKAN 4: Membangun sistem informasi dan bukti terkait gizi untuk menyediakan
untuk secara efektif menyediakan serangkaian utuh intervensi gizi spesifik dan gizi sensitif yang sumber data yang kredibel dan tepat waktu yang dapat digunakan untuk pengambilan
ditingkatkan. Aspek penting termasuk meningkatkan cakupan layanan yang komprehensif, keputusan.
menambah jumlah dan kapasitas penyedia layanan gizi, memastikan bahwa sistem pengadaan
dan pasokan produk gizi (suplemen dan peralatan) efisien dan memperkenalkan peraturan yang
lebih kuat untuk mempromosikan gizi yang sehat.

KEBIJAKAN 2: Meningkatkan pemberian layanan gizi berkualitas untuk semua masyarakat.


60 • Pembangunan Gizi di Indonesia

3.5. Memperluas Upaya untuk Upaya-Upaya Multisektoral

Penyebab dan dampak Beban Ganda Masalah Gizi masih belum secara utuh dipahami
dengan baik meskipun masalah tersebut sudah menjadi prioritas pemerintah. Sebagian dari
4.
Target
alasan untuk hal ini adalah bahwa kondisi seperti stunting dan kelebihan berat badan tidak
sangat terlihat. Selain itu, masih ada tabu sosial dan budaya yang luas tersebar dalam hal
pembatasan makanan, pemahaman tentang gizi pada ibu dan anak, dan persepsi bahwa bayi
yang gemuk lebih sehat. Pengambil keputusan tidak selalu menyadari dampak malnutrisi
terhadap ekonomi dan bagaimana hal ini dapat mengikis bonus demografis yang diharapkan
terjadi pada 2020-2030. Mengingat semakin banyaknya jenis dan penggunaan media modern
untuk berkomunikasi, dan fakta bahwa semakin banyak jumPeluncuran Gerakan Percepatan
Penurunan Stunting Nasional memberikan peluang besar untuk mempercepat penurunan
prevalensi stunting pada anak secara signifikan. Pemerintah telah menginvestasikan sejumlah
besar dana dengan dukungan pinjaman Bank Dunia dan memperkenalkan sistem pembiayaan
berbasis hasil untuk memberi insentif kepada pemerintah daerah untuk bertindak secara tepat.
Pendekatan multi-sektor sedang diadopsi dan pemerintah daerah di 100 kabupaten sasaran
awal telah diinstruksikan untuk memastikan bahwa RPJMD mencerminkan target dan kegiatan
PEMBANGUNAN GIZI DI INDONESIA
terkait stunting untuk sektor-sektor terkait. Mekanisme pendukung teknis tambahan sedang
dijalankan di tingkat kabupaten dan desa untuk meningkatkan kapasitas daerah. Upaya yang
telah mengalami peningkatan ini memiliki sejumlah keunggulan. Pertama, aksi multisektoral
cenderung memiliki dampak pada keadaan malnutrisi lainnya seperti defisiensi mikronutrien, K A J I A N S E K T O R K E S E H ATA N
wasting dan bayi dengan BBLR, sehingga hal tersebut kemudian dapat memperluas pengaruh
dari intervensi yang tidak hanya untuk penurunan stunting. Kedua, memperkuat lingkungan
yang mendukung untuk gizi adalah investasi jangka panjang yang akan bermanfaat bagi
populasi yang lebih luas di luar anak-anak. Ketiga, menempatkan inisiatif anti-stunting di
dalam Kantor Wakil Presiden memberikan tingkat kepemimpinan dan otoritas yang lebih tinggi
dalam melakukan koordinasi lintas sektor dan kementerian yang diperlukan untuk percepatan
perbaikan gizi.

KEBIJAKAN 5: Memperluas keterlibatan multi-sektor untuk mempercepat perbaikan gizi.


62 • Pembangunan Gizi di Indonesia 4. Target • 63

Target gizi utama untuk Indonesia yang perlu dicapai pada tahun 2024 (lihat Tabel 7) Tabel 7. Indikator dan Target yang Direkomendasikan untuk RPJMN 2020-2024
konsisten dengan enam target global yang disahkan oleh negara-negara anggota Majelis
Kesehatan Dunia (World Health Assembly/WHA) dan kemudian dimasukkan ke dalam Tujuan
Baseline Riskesdas RPJMN Target
Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Satu target utama tambahan direkomendasikan untuk Target Global
Indikator Utama 2013 2018 2024 2025
indikator obesitas pada orang dewasa, yang juga mencerminkan tantangan gizi utama saat ini. (2025)
(%) (%) (%) (%)
Target tersebut konsisten dengan rekomendasi global WHO.
Stunting (pendek)
Penurunan
Selain itu, ada 2 indikator dan target tambahan yang juga diusulkan, yakni anemia pada ibu pada anak usia 37,2 30,8 24 22
40%
hamil dan stunting pada anak di bawah usia 2 tahun. Anemia sangat tinggi pada ibu hamil 0-59 bulan
dan data telah dikumpulkan secara teratur di Indonesia sehingga merupakan indikator yang
Anemia pada Penurunan
berguna untuk memantau capaian. Indikator tambahan kedua yaitu stunting pada anak di 22,7 12 11
wanita usia subur 50%
bawah usia dua tahun, diusulkan karena merupakan periode di mana intervensi dapat menjadi
yang paling efektif dan kemudian dimasukkan dalam RPJMN 2015-2019. Meskipun anemia Berat badan lahir
Penurunan 6,2
pada anak adalah masalah yang signifikan di Indonesia, saat ini tidak ada pengumpulan data rendah pada bayi 5.7 4 3
30%
secara teratur yang memungkinkan untuk memantau capaian untuk indikator ini. Oleh karena (<2.500 gr)
itu tidak dimasukkan sebagai indikator tetapi perlu dipertimbangkan secara serius untuk Overweight
mengumpulkan data tersebut secara teratur. (kegemukan) pada Tidak
11,8 8 8 8
anak usia 0-59 meningkat
Target yang diproyeksikan sesuai dengan target global atau dihitung dengan menggunakan bulan
angka prevalensi awal (baseline) untuk 2013 dan menggunakan target global untuk
Naik menjadi
menghitung perubahan tahunan (lihat Tabel 7). Target-target ini dapat dipenuhi jika semua aksi ASI Eksklusif pada
50% 41,5 60 60
gizi spesifik dan gizi sensitif ditingkatkan, diarahkan pada kelompok termiskin dan yang paling bayi usia < 6 bulan 52
(minimal)
rentan, dan lingkungan yang mendukung diperkuat untuk mendukung aksi. Berdasarkan
data awal Riskesdas 2018 yang menunjukan bahwa prevalensi stunting pada balita 30,8%, Wasting (kurus)
Turun
mengindikasikan bahwa perhitungan target telah sesuai dengan penurunan yang terjadi. pada anak usia 12,1 10,2 5 5
menjadi <5%
0-59 bulan

Obesitas pada
Tidak
dewasa usia 18+ 15,4 21,8 15 15
meningkat
tahun

Baseline Riskesdas RPJMN Target


Indikator Target Usulan
2013 2018 2024 2025
Tambahan (2025)
(%) (%) (%) (%)

Anemia pada ibu Penurunan


37,1 48,9 30 27
hamil 50%

Stunting (pendek)
Penurunan
pada anak usia 32,8 29,9 21 19
40%
0-23 bulan

Catatan:
Data awal (baseline) semuanya diambil dari RISKESDAS 2013 dengan pengecualian ASI eksklusif yang
berdasarkan SDKI 2012 dan anemia pada ibu hamil yang berdasarkan data awal tahun 2016. Proyeksi
untuk menyusui didasarkan pada peningkatan tahunan yang diharapkan yakni sebesar 1-2% setiap
tahun.
64 • Pembangunan Gizi di Indonesia

Tabel 8. Perhitungan Target Penurunan Stunting untuk RPJMN 2020-2024

Stunting pada anak usia 0-59 bulan digunakan sebagai contoh untuk menunjukkan
5.
Opsi kebijakan
bagaimana target dihitung berdasarkan tingkat penurunan tahunan. Target global untuk
stunting pada usia 0-59 bulan adalah penurunan sebesar 40% pada tahun 2025. Dengan
mengambil angka RISKESDAS 2013 sebagai baseline, penurunan tahunan dihitung.

o Baseline (2013) 37,2%

o 40% penurunan (40/100*37,2) = 14,48%

o Penurunan per tahun 14,48/12 = 1,24

o Angka untuk 2024 diambil sebagai target.

2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024 2025

37,20 35,96 34,72 33,48 32,24 31,00 29,76 28,52 27,28 26,04 24,80 23,56 22,32
PEMBANGUNAN GIZI DI INDONESIA

K A J I A N S E K T O R K E S E H ATA N
66 • Pembangunan Gizi di Indonesia 6. Opsi Kebijakan • 67

Tabel 9 mengusulkan serangkaian lima kebijakan untuk mencapai indikator dan target dalam
meningkatkan gizi masyarakat yang diusulkan dalam RPJMN 2020-2024 yang perlu dilakukan KEBIJAKAN 3:
oleh Pemerintah Indonesia. Meningkatkan kampanye, advokasi dan komunikasi perubahan perilaku
untuk perbaikan gizi

Tabel 9. Kebijakan dan Strategi yang Direkomendasikan untuk RPJMN 2020-2024


• Melibatkan semua komponen masyarakat dan pemangku kepentingan seperti
organisasi dan kelompok keagamaan, dunia usaha, akademisi dan organisasi
KEBIJAKAN 1: profesi, Lembaga donor dan mitra pembangunan dalam meningkatkan kesadaran
Menetapkan regulasi untuk meningkatkan komitmen, implementasi, dan alokasi tentang gizi dan penanggulangan BGG dan manfaat ekonomi dan kesehatan yang
anggaran percepatan perbaikan gizi di tingkat pusat dan daerah. diperoleh dari gizi yang lebih baik

• Mengembangkan strategi kampanye, advokasi dan komunikasi antar pribadi


• Melakukan advokasi kepada pengambil kebijakan di tingkat pusat dan daerah dengan menggunakan pesan dan saluran yang jelas dan menarik sesuai
tentang pentingnya menyelaraskan target, indikator, dan strategi percepatan kelompok umur, yang dapat dipakai oleh semua kementerian/lembaga dan semua
perbaikan gizi dengan dasar RPJMN ke dalam dokumen perencanaan pihak terkait untuk disebarluaskan melalui saluran komunikasi yang inovatif

• Memperkuat regulasi untuk menjamin keselarasan intervensi percepatan


perbaikan gizi di tingkat pusat dan daerah KEBIJAKAN 4:
Membangun sistem informasi dan bukti terkait gizi untuk menyediakan sumber data
• Mengembangkan anggaran dan sistem pertanggungjawaban yang terstandar yang kredibel dan tepat waktu yang dapat digunakan untuk pengambilan keputusan.
untuk percepatan perbaikan gizi di tingkat pusat dan daerah sehingga
mempermudah proses penilaian kinerja anggaran
• Revitalisasi sistem informasi gizi untuk yang memungkinkan tersedianya data
dan informasi indikator gizi-spesifik dan gizi-sensitif yang dapat dianalisis dan
KEBIJAKAN 2: dikomunikasikan secara teratur dalam format yang jelas
Meningkatkan akses dan kualitas pelayanan gizi
• Membangun kapasitas pembuat kebijakan dan perencana di tingkat daerah dalam
menggunakan informasi untuk perencanaan, pemrograman dan pemantauan di
• Merevisi SPM dan rencana sektor kesehatan untuk memastikan pemenuhan daerah
kebutuhan sumber daya dan implementasi semua intervensi gizi spesifik
esensial • Penyusunan agenda riset gizi secara komprehensif melalui pengkajian terhadap
kesenjangan dalam hal pengetahuan dan bukti terkait gizi dengan melibatkan
• Meningkatkan kapasitas dan keterampilan ahli gizi dan tenaga kesehatan untuk perguruan tinggi, Lembaga penelitian, organisasi profesi dan lembaga swadaya
memberikan pelayanan untuk mengatasi Beban Ganda Masalah Gizi dan masyarakat
memastikan setiap puskesmas memenuhi kecukupan jumlah ahli gizi

• Memperkuat peraturan untuk mengontrol pemasaran dan produksi makanan dan KEBIJAKAN 5:
minuman yang mengandung tinggi lemak, gula dan garam, dan produk makanan Memperluas keterlibatan multi-sektor untuk mempercepat perbaikan gizi.
bayi dan anak

• Memperkuat sistem pengadaan dan suplai produk gizi untuk memastikan efisiensi • Memperkuat peran multi-sektor dengan identifikasi dan memperjelas program-
dalam pemenuhan kebutuhan bagi kelompok sasaran program multi sektor yang berkontribusi untuk mengatasi BGG

• Mengembangkan dan memperkuat program yang mendukung peningkatan • Memetakan kebijakan dan sumber daya yang tersedia, dan mengidentifikasi
kesehatan dan gizi untuk kelompok remaja dan wanita usia subur dukungan yang diperlukan untuk semua sektor utama untuk
mengimplementasikan program-program prioritas gizi sensitif, termasuk
• Kementerian Kesehatan menyusun kebijakan mengatasi obesitas secara
pemanfaatan wadah yang sudah ada untuk pemberdayaan masyarakat seperti
komprehensif yang mencakup pencegahan dan penatalaksanaan
posyandu dan UKBM lainnya
68 • Pembangunan Gizi di Indonesia Kajian Sektor Kesehatan • 69

Referensi
• Menyelaraskan target program multi sektor di wilayah geografis dan rumah
tangga prioritas 1. Access to Nutrition Index. (2016). Global Index 2016. Dikutip dari https://www.
accesstonutrition.org/sites/2015.atnindex.org/files/atni-global-index-2016_2.pdf
• Memperkuat sistem koordinasi dan komunikasi untuk sinergi kegiatan antara
sektor-sektor utama di tingkat nasional dan sub nasional termasuk di dalamnya 2. Alive & Thrive. (2018). Desk review on maternal, infant, and young child nutrition and
sektor non pemerintah, tentang gizi dan peran/dukungan yang diperlukan dari nutrition-sensitive practices in Indonesia .
masing-masing sektor untuk memastikan sasaran menerima secara lengkap
intervensi yang dibutuhkan untuk perbaikan gizi 3. An, R., Yan, H., Shi, X., & Yang, Y. (2017). Childhood obesity and school absenteeism:
a systematic review and metaanalysis. Pediatric Obesity. Dikutip dari https://
• Memperkuat peraturan untuk mempercepat perbaikan gizi di berbagai sektor
onlinelibrary.wiley.com/doi/full/10.1111/obr.12599
seperti implementasi fortifikasi makanan, perlindungan anak untuk mencegah
pernikahan anak, integrasi pesan kunci tentang gizi ke dalam kurikulum/bahan
4. Atmarita, Jahari, A., Sudikno, & Soekatri, M. (2016). Asupan Gula, Garam dan Lemak di
PAUD dan keluarga berencana
Indoensia: Analisis Survei Konsumsi Makanan Individu (SKMI) 2014 . Jurnal Persatuan
Ahli Gizi Indonesia, 39(1), 1-14.

5. Badan Ketahanan Pangan. (2017). Laporan Kinerja.

6. Badan Ketahanan Pangan. (2018). Rencana Strategis Badan Ketahanan Pangan.

7. Bank, W. (2015). Indonesia - Systematic Country Diagnosis: Connecting the Bottom 40


percent to the Prosperity Generation.

8. Bappenas . (2010). The Landscape Analysis Indonesian Country Assessment.


Jakarta. Dikutip dari http://www.who.int/nutrition/landscape_analysis/
IndonesiaLandscapeAnalysisCountryAssessmentReport.pdf

9. Bappenas & UNICEF. (2017). SDG Baseline Report on Children in Indonesia. Jakarta:
UNICEF.

10. Bappenas. (2014).

11. Bappenas. (2014). Health Sector Review: Nutrition. Jakarta: UNICEF.

12. Bappenas. (2014). Kajian Sektor Kesehatan: Bidang Gizi. Jakarta: Bappenas.

13. Bappenas. (2015). RPJMN Buku I dan II (2015-2019). Jakarta.

14. Bappenas. (2018). Stunting, Ekonomi, dan Pembangunan Sumber Daya Manusia.
Presentasi pada Pertemuan di bulan Juni 2018 yang diselenggarakan oleh Bappenas.
Jakarta.

15. Barker, D., Osmond, C., & Golding, J. (1989). Growth in utero, blood pressure in
childhood and mortality from cardiovascular disease. British Medical Journal, 298, 564-
567. Dikutip dari https://www.bmj.com/content/bmj/298/6673/564.full.pdf

16. Beal, T., Tumilowicz, A., Sutrisna, A., Izwardy, D., & Neufeld, L. (2018). A review of child
stunting determinants in Indonesia. Maternal and Child Nutrition, 1-10.
70 • Pembangunan Gizi di Indonesia Kajian Sektor Kesehatan • 71

17. Bjeeregaard, L., Jensen, B., & Angquist, L. (2018). Change in Overweight from 35. Dewey, K., & Begum, K. (2011). Long‐term consequences of stunting in early life.
Childhood to Early Adulthood and Risk of Type 2 Diabetes. New England Journal of Maternal and Child Nutrition. Dikutip dari https://onlinelibrary.wiley.com/doi/
Medicine, 378(14). Dikutip dari https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/29617589 full/10.1111/j.1740-8709.2011.00349.x

18. Black, R., Allen, L., Bhutta, Z., & et al. (2008). Maternal and child undernutrition: global 36. Dieu, H., Dibley, M., Sibbritt, D., & Hanh, T. (2009). Trends in overweight and obesity in
and regional exposures and health consequences. The Lancet, 371, 243-260. Dikutip pre-school children in urban areas of Ho Chi Minh City, Vietnam, from 2002 to 2005.
darihttps://www.thelancet.com/journals/lancet/article/PIIS0140-6736(07)61690-0/fulltext Public Health Nutrition, 12(5), 702-709. Dikutip dari https://www.cambridge.org/core/
journals/public-health-nutrition/article/trends-in-overweight-and-obesity-in-preschool-
19. Black, R., Victora, C., Walker, S., & et al. (2013). Maternal and child undernutrition children-in-urban-areas-of-ho-chi-minh-city-vietnam-from-2002-to-2005/91488C673F63
and overweight in low-income and middle-income countries. The Lancet, 382(9890), C24A6144FCC0376EF2C0
427-451. Dikutip dari https://www.thelancet.com/pdfs/journals/lancet/PIIS0140-
6736(13)60937-X.pdf 37. FAO & WHO. (2014). ICN2 Second International Conference on Nutrition. Rome. Dikutip
dari FAO: http://www.fao.org/about/meetings/icn2/en/
20. Bland, B. (2013, June 7). Fast-food wars heat up in Indonesia. Financial Times. Dikutip
dari https://www.ft.com/content/87be05fa-cdd5-11e2-8313-00144feab7de 38. FAO. (2010). Guidelines for Measuring Household and Individual Dietary Diversity.
Rome: FAO. Dikutip dari http://www.fao.org/docrep/014/i1983e/i1983e00.pdf
21. BPS. (2007). Konsumsi kalori dan protein: Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS).
39. FAO. (2018). Toolkit on nutrition-sensitive agriculture and food systems. Dikutip dari
22. BPS. (2015). Survei Sosial Ekonomi Nasional. (SUSENAS). FAO: http://www.fao.org/nutrition/policies-programmes/toolkit/en/ (16 Juli 2018)

23. BPS. (2016). Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS). 40. Friedman, J., Heywood, P., Marks, G., Saadah, F., & Choi, Y. (2006). Health sector
decentralization and Indonesia’s nutrition programs : opportunities and challenges.
24. BPS. (2017). Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS). Washington: World Bank. Dikutip dari http://documents.worldbank.org/curated/
en/101241468049450209/Health-sector-decentralization-and-Indonesias-nutrition-
25. BPS. (2017). Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS). programs-opportunities-and-challenges

26. BPS & Kemenkes. (2012). Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI). 41. Friere, W. (n.d.). The double burden of undernutrition and excess body weight in
Ecuador.
27. BPS & Kemenkes. (2012). Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI).
42. Grantham-McGregor, S., Powell, C., Walker, S., & Chang, S. (1994). The long-term
28. BPS & Kemenkes. (2017). Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI).
follow-up of severely malnourished children who participated in an intervention
program. Child Development, 65, 428-439.
29. BPS & Kemenkes. (2017). Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI).

43. Hendriadi, A. (2018). Food Production for Family Nutrition Improvement. Presentation
30. BPS. (2010). Sensus Penduduk.
at WIDYAKARYA NASIONAL PANGAN DAN GIZI XI 4 July 2018.

31. Cresswell, J., Campbell, O., De Silva, M., & Filippi, V. (2012). Effect of maternal obesity
44. Horta, B., & Victora, C. (2013). Long-term effects of breastfeeding. Geneva: WHO.
on neonatal death in sub-Saharan Africa: multivariable analysis of 27 national datasets.
The Lancet, 380, 1325-1330. Dikutip dari https://www.thelancet.com/journals/lancet/
45. Horta, B., & Victora, C. (2013). Short-term effects of breastfeeding: A systematic review
article/PIIS0140-6736(12)60869-1/abstract
on the benefits of breastfeeding on diarrhoea and pneumonia mortality. Geneva: WHO.
Dikutip dari http://apps.who.int/iris/bitstream/handle/10665/95585/9789241506120_eng.
32. Delisle, H., & Batal, M. (2016). The double burden of malnutrition associated with
pdf?sequence=1
poverty. The Lancet, 387(10037), 2504-2505. Dikutip dari https://www.thelancet.com/
journals/lancet/article/PIIS0140-6736(16)30795-4/fulltext
46. IMA World Health. (2018). Final Report: NNCC Model and Lessons Learned (2015‐2018).

33. Denboba, A., Hasan, A., & Wodon, Q. (2015). Early Childhood Education and
47. Indonesia Investments. (2018, March 9). Women in Indonesia: Informal Employment,
Development in Indonesia: An Assessment of Policy Using SABER. World Bank.
Wage Gap & Violence. Dikutip dari https://www.indonesia-investments.com/news/
news-columns/women-in-indonesia-informal-employment-wage-gap-violence/
34. Development Initiatives. (2017). Global Nutrition Report 2017: Nourishing the SDGs.
item8650 (27 Juli 2018)
Bristol: Development Initiatives. Dikutip dari http://globalnutritionreport.org/wp-
content/uploads/2017/11/Report_2017-2.pdf
72 • Pembangunan Gizi di Indonesia Kajian Sektor Kesehatan • 73

48. Institute of Social and Economic Research. (2018 Unpublished). Nutrition Capacity 67. Lelijveld, N., Seal, A., & Wells, A. (2016). Chronic disease outcomes after severe acute
Assessment of Indonesia. Jakarta: UNICEF. malnutrition in Malawian children (ChroSAM): a cohort study. Lancet Glob Health.

49. Kelly, B., Hebden, L., & King, L. (2014). Children’s exposure to food advertising on free- 68. Lindsay, R., Dabelea, D., Roumain, J., & et al. (2000). Type 2 diabetes and low birth
to-air television: an asia-pacific perspective. Health Promotion International. weight: the role of paternal inheritance in the association of low birth weight and
diabetes. Diabetes, 49(3), 445-449. Dikutip dari http://diabetes.diabetesjournals.org/
50. Kementerian Desa PDTT. (2017). Peraturam Menteri Desa, Pembangunan Daerah content/49/3/445
Tertinggal, dan Transmigrasi RI No 19/2017. Jakarta.
69. Litwin, S. (2014). Childhood obesity and adulthood cardiovascular disease: quantifying
51. Kementerian Desa PDTT. (2017). Permendes No.19 tahun 2017. the lifetime cumulative burden of cardiovascular risk factors. Journal of American
College of Cardiology , 64, 1588-1590.
52. Kementerian Keuangan. (2018). Presentasi tentang Program Pencegahan Stunting
oleh Direktur Anggaran untuk Manusia dan Budaya. Dikutip dari http://www.anggaran. 70. Luby , S., Rahman, M., & Arnold, B. (2018). Effects of water quality, sanitation,
depkeu.go.id/content/Publikasi/stunting/Penanganan%20Stunting_DJA.pdf handwashing, and nutritional interventions on diarrhoea and child growth in rural
Bangladesh: a cluster randomised controlled trial. Lancet Global Health, 6, e302-3315.
53. Kementerian Kesehatan. (2007). Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS).
71. Lukman (komunikasi personal). (2018).
54. Kementerian Kesehatan. (2010). Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS).
72. Lukman, A. (2018). Membangun Teknologi Dan Kreatifitas Dalam Perbaikan Gizi
55. Kementerian Kesehatan. (2014). Dikutip dari Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Termasuk Inovasi Dan Diversifikasi Pangan Untuk Konsumsi Anak. Presentasi pada
SDM Kesehatan, Kementerian Kesehatan: http://www.bppsdmk.kemkes.go.id/web/ Lokakarya Pra-WNPG pada bulan Juni 2018 yang diselenggarakan oleh Bappenas.
Jakarta.
56. Kementerian Kesehatan. (2014). Survei Diet Total.
73. Mahendradhata, Y., & et al. (2017). The Republic of Indonesia. Health System Review.
57. Kementerian Kesehatan. (2014). Studi Diet Total: Survei Konsumsi Makanan Individu
Asia Pacific Observatory on Health Systems and Policies. Dikutip dari file:///C:/Users/
(SKMI) Indonesia.
Fiona/Documents/Fiona%20Watson/Indonesia/Documents/2017%20Indonesia%20
Health%20System%20Review.pdf
58. Kementerian Kesehatan. (2013). Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS).

74. Mahmudiono, T., Sumarmi, S., & Rosenkrantz, R. (2017). Household dietary diversity
59. Kementerian Kesehatan. (2016). Survei Indikator Kesehatan Nasional (SIRKESNAS).
and child stunting in East Java, Indonesia. Asia Pacific Journal of Clinical Nutrition,
26(2), 317-325. Dikutip dari https://www.readbyqxmd.com/read/28244712/household-
60. Kementerian Kesehatan. (2018). Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS).
dietary-diversity-and-child-stunting-in-east-java-indonesia
61. Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. (2011).
75. Marphatia, A., Cole, T., & Grijalva-Eternod, C. (2016). Associations of gender inequality
Peraturan Menteri No 23 Tahun 2001 tentang Jabatan Fungsional Nutrisionis. Jakarta.
with child malnutrition and mortality across 96 countries. Global Health, Epidemiology
62. Kementerian Pertanian. (2018). Akses Pangan Beragam untuk Akselerasi Penurunan and Genomics, 1. Dikutip dari https://www.cambridge.org/core/journals/global-health-
Stunting. Dipresentasikan pada Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi. Jakarta. epidemiology-and-genomics/article/associations-of-gender-inequality-with-child-
malnutrition-and-mortality-across-96-countries/6B7D994859A0220C205B54F6AC9C
63. Khor, G. (n.d.). 9E90

64. Khor, G., & Sharif, Z. (2003). Dual forms of malnutrition in the same households 76. Martianto, D. (2018). Peningkatan Aksesibilitas Pangan yang Beragam. Presentasi pada
in Malaysia - A case study among Malay rural households. Asia Pacific Journal Widyakarya Pangan dan Gizi XI pada tanggal 3 Juli 2018. Jakarta.
of Clinical Nutrition, 12(4), 427-437. Dikutip dari https://www.researchgate.net/
publication/5652146_Dual_forms_of_malnutrition_in_the_same_households_in_ 77. Meehan, S., Beck, C., Mair-Jenkins, J., & et al. (2014). Maternal Obesity and
Malaysia_-_A_case_study_among_Malay_rural_households Infant Mortality: A Meta-Analysis. Pediatrics, 133(5). Dikutip dari http://pediatrics.
aappublications.org/content/133/5/863
65. Komisi Nasional Perempuan. (2018). Laporan Tahunan.
78. Members of the Working Group on Food Security Council. (2018). Improving Access to
66. Kroker-Lobos, M. (n.d.). Diverse Food. Presentation at Widyakarya Food and Nutrition Meeting XI 3rd July 2018.
Jakarta.
74 • Pembangunan Gizi di Indonesia Kajian Sektor Kesehatan • 75

79. Novo Nordisk. (2013). Where economics and health meet: changing diabetes in 91. Sanghvi, T., Haque, R., & Roy, S. (2016). Achieving behaviour change at scale: Alive
Indonesia. & Thrive’s infant and young child feeding programme in Bangladesh. Maternal
and Child Nutrition, 12(1), 141-154. Dikutip dari http://stopstunting.org/wp-content/
80. Null, C., Stewart, C., & Pickering, A. (2018). Effects of water quality, sanitation, uploads/2016/05/Maternal-Child-Nutrition_StotpStuntinginSouthAsia_Paper09.pdf
handwashing, and nutritional interventions on diarrhoea and child growth in rural
Kenya: a cluster-randomised controlled trial. Lancet Global Health, 6, e316-e329. 92. Satriawan, E. (2018). Cumulative Impact of Conditional Cash Transfer Program (CCT)
on Health. Evaluation of Hope Family Program After 6 Years. Presented at the Health
81. Oberlander, L. (2018). TV exposure, food consumption, and health outcomes - evidence Sector Review Meeting 31st May 2018. Jakarta.
from Indonesia. INCOMPLETE THESIS. Dikutip dari https://editorialexpress.com/cgi-bin/
conference/download.cgi?db_name=CSAE2018&paper_id=937 93. Save the Children. (2013). The Power of the First Hour: Breastfeeding Saves Lives.

82. Oddo, V., Rah, J., Semba, R., & et al. (2012). Predictors of maternal and child double 94. Shrimpton, R., & Rokx, C. (2013). The Double Burden of Malnutrition in Indonesia.
burden of malnutrition in rural Indonesia and Bangladesh. American Journal of Clinical
Nutrition, 95(4), 951-958. Dikutip dari https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22357721 95. SMERU. (2012). Child poverty and disparities in Indonesia: Challenges for inclusive
growth. Jakarta: UNICEF. Dikutip dari http://www.smeru.or.id/en/content/child-poverty-
83. Ologin, I., McDonald, C., & Ezzati, M. (2013). Associations of Suboptimal Growth and-disparities-indonesia-challenges-inclusive-growth
with All-Cause and Cause-Specific Mortality in Children under Five Years: A Pooled
Analysis of Ten Prospective Studies. PLOS. Dikutip dari http://journals.plos.org/plosone/ 96. SMERU. (2015). Food and Nutrition Security in Indonesia: A Strategic Review . Jakarta:
article?id=10.1371/journal.pone.0064636 WFP.

84. Peraturan Pemerintah. (2014). Peraturan Pemerintah No. 60 tentang dana hibah desa 97. Soekarjo, D., Roshita, A., Thow, A.-M., & et al. (2018). Strengthening nutrition-specific
yang berasal dari penerimaan negara dan anggaran belanja. Jakarta. policies for adolescents in Indonesia: a qualitative policy analysis. Submitted to Food
and Nutrition Bulletin.
85. Rachman, B. (2018). Access to Diverse Food. Presentation at Widyakarya Food and
Nutrition Meeting XI 3rd July 2018. Jakarta. 98. Statistics Indonesia. (2016).

86. Rachmi, C., Hunter, C., Li, M., & Barr, A. (2017). Perceptions of overweight by primary 99. Sumarwan, U. (2018). Analyses of Indonesian Food Consumptions: Differences of
carers (mothers/grandmothers) of underfive and elementary school-aged children in Rural and Urban Consumers’ Food Choices between 2007 and 2017. Paper presented at
Bandung, Indonesia: a qualitative study. International Journal of Behavioural Nutrition Regional Seminar on Drivers of Consumer Food Choices March 1314, 2018, Holiday Inn
and Physical Activity, 14, 101. Dikutip dari https://ijbnpa.biomedcentral.com/track/ Bangkok Sukhumvit, Bangkok, Thailand .
pdf/10.1186/s12966-017-0556-1?site=ijbnpa.biomedcentral.com
100. SUN Movement. (2015). Indonesia. Call for Commitments for Nutrition. Dikutip dari
87. Rah, J., Sukotjo, S., & Badgaiyan, N. e. (2018 Submitted for publication). Improved http://scalingupnutrition.org/wp-content/uploads/2015/06/Indonesia-Costed-Plan-
sanitation is associated with reduced child stunting among Indonesian children under Summary.pdf
three years of age.
101. Sunawang. (2015). Supply Chain and Procruement of ‘Medicines for Nutrition
88. Rao, N., Sun, J., & Wong, J. (2013). Early childhood development and cognitive Programs’ Ministry of Health, 2014-2015.
development in developing countries: A rigorous literature review. DFID. Dikutip
dari https://assets.publishing.service.gov.uk/government/uploads/system/uploads/ 102. Symington, E., Gericke, G., Nel, J., & Labadarios, D. (2016). The relationship between
attachment_data/file/488541/early-childhood-cognitive-dev-brief.pdf stunting and overweight among children from South Africa: Secondary analysis of the
National Food Consumption Survey – Fortification Baseline I. South African Medical
89. Ruel, M., Quisumbing, A., & Balagamwala, M. (2018). Nutrition- Journal, 106(1), 65-69. Dikutip dari http://www.scielo.org.za/pdf/samj/v106n1/24.pdf
sensitive agriculture: What have we learned so far? Global Food
Security, 17, 128-153. Dikutip dari https://reader.elsevier.com/reader/sd/ 103. The Lancet. (2013). Executive summary of the Maternal and Child Nutrition Series. The
C3EF014696FB50861CFE72FC9A714BB6BA38855A72F1BF9B554E4B8CE239535 Lancet. Dikutip dari http://www.thelancet.com/series/maternal-and-child-nutrition
786ABD47C1B37CA20A62D2EE64DF7294C
104. The Sphere Project. (2011). Humanitarian Charter and Minimum Standards in
90. Sandjaja, S., Budiman, B., Harahap, H., & et al. (2013). Food consumption and Humanitarian Response. Dikutip dari http://www.sphereproject.org/resources/?search
nutritional and biochemical status of 0·5–12-year-old Indonesian children: the =1&keywords=&language=English&category=22&subcat-22=23&subcat-29=0&subcat-
SEANUTS study. British Jourcal of Nutrition, 110, S11-S20. 31=0&subcat-35=0&subcat-49=0
76 • Pembangunan Gizi di Indonesia Kajian Sektor Kesehatan • 77

105. Thrabrany et al. (2014). 122. WFP. (2016). An Evaluation of the 2012-2015 Local Food-Based School Meal Program.

106. Timmer, P., Hastuti, & Sumarto, S. (2017). Evolution and Implementation of the 123. WFP. (2016). Indonesia Country Strategic Plan (2017-2020). Jakarta.
Rastra Program in Indonesia. World Bank. Dikutip dari http://pubdocs.worldbank.org/
en/293371506435172757/Chapter-7.pdf 124. WFP. (2017). Food Security Monitoring Bulletin. Indonesia. Special Focus: Food security
in 100 districts prioritized for reduction of stunting. Jakarta: WFP.
107. Tomkins, A., & Watson, F. (1989). Malnutrition and infection: a review. Geneva: ACC/
SCN. Dikutip dari https://www.popline.org/node/381319 125. WHO. (1981). International Code of Marketing of Breast-milk Substitutes. Geneva.
Dikutip dari http://www.who.int/nutrition/publications/code_english.pdf
108. UN. (2015). Sustainable Development Goals. Dikutip dari Sustainable Development
Goals: https://sustainabledevelopment.un.org/sdgs (17 April 2018) 126. WHO. (2007). Indicators for assessing infant and young child feeding practices.
Dikutip dari http://apps.who.int/iris/bitstream/handle/10665/43895/9789241596664_eng.
109. UNICEF. (2012). Indonesian Nutrition Capacity Assessment. Jakarta: UNICEF & EU. pdf;jsessionid=35FAEF12A76B74BFA09FF815E3530DF6?sequence=1
Dikutip dari http://archive.wphna.org/wp-content/uploads/2013/10/Indonesian-National-
and-District-Nutrition-Capacity-Assessment-Report-final.pdf 127. WHO. (2009). Interventions on Diet and Physical Activity: What works, Summary
Report.
110. UNICEF. (2016). Millions of Indonesian babies are missing out on the best start in life.
Dikutip dari UNICEF Media Centre: https://www.unicef.org/indonesia/media_25472.html 128. WHO. (2009). Recommendations on Wheat and Maize Flour Fortification. Geneva.
Dikutip dari http://apps.who.int/iris/bitstream/handle/10665/111837/WHO_NMH_NHD_
111. UNICEF. (2017). Improving Nutrition Security in Indonesia. District Actions to Improve MNM_09.1_eng.pdf?sequence=1
Infant and Young Child Feeding. Jakarta: UNICEF.
129. WHO. (2010). Nutrition Landscape Information System (NLIS): Country Profile
112. UNICEF. (2017). UNICEF Gender Action Plan, 2018-2021. Interpretation Guide. Geneva. Dikutip dari http://www.who.int/nutrition/nlis_
interpretation_guide.pdf
113. UNICEF. (2018 Unpublished). Baseline Survey of Adolescent Nutritional Status in
Indonesia’s Klaten and Lombok Barat Districts. Jakarta. 130. WHO. (2012). Resolution WHA65.6. Comprehensive implementation plan on maternal,
infant and young child nutrition. In: Sixty-fifth World Health Assembly Geneva, 21–26
114. UNICEF. (2018 Unpublished). Qulitative study on the factors influencing the eating and May 2012. Resolutions and decisions, annexes. Geneva: World Health Organisation.
physical activity behaviours of adolescent girls and boys in Indonesia . Jakarta. Dikutip dari http://www.who.int/nutrition/topics/WHA65.6_resolution_en.pdf?ua=1

115. UNICEF, Bappenas & Kemenkes. (2018). Nutrition Capacity Assessment of Indonesia. 131. WHO. (2013). Set of 9 voluntary global NCD targets for 2025. Retrieved from http://
www.who.int/nmh/global_monitoring_framework/gmf1_large.jpg?ua=1
116. UNICEF/ACF. (2016 Unpublished). SMART survey.
132. WHO. (2014). Indonesia: NCD country profile. Dikutip dari http://www.who.int/nmh/
117. UNICEF/WHO/World Bank. (2018). Joint Child Malnutrition Estimates. UNICEF, WHO, countries/idn_en.pdf?ua=1 (28 Juli 2018)
World Bank. Dikutip dari http://www.who.int/nutgrowthdb/2018-jme-brochure.pdf?ua=1
133. WHO. (2016). Use of multiple micronutrient powders for point-of-use fortification
118. USAID. (2015). Indonesia Urban Water Sanitation and Hygiene Annual Progress Report of foods consumed by infants and children aged 6-23 months and children aged
5. USAID. 2-12 years. Teneva: WHO. Dikutip dari http://apps.who.int/iris/bitstream/hand
le/10665/252540/9789241549943-eng.pdf?ua=1
119. Victora, C., Adair, L., Fall, C., & et al. (2008). Maternal and child undernutrition:
consequences for adult health and human capital. The Lancet, 371(9609), 340-357. 134. WHO. (2017). Double Duty Actions for Nutrition: Policy Brief. Geneva: WHO. Dikutip dari
Dikutip dari https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2258311/ http://www.who.int/nutrition/publications/double-duty-actions-nutrition-policybrief/en/

120. WFP & Bappenas. (2017). The Cost of the Diet Study in Indonesia. Jakarta: WFP. 135. WHO. (2017). The Republic of Indonesia Health System Review.

121. WFP. (2014). 10 Facts about Malnutrition in Indonesia. Dikutip dari WFP: https://www. 136. WHO. (2018). Global Strategy on Diet, Physical Activity and Health. Dikutip dari WHO:
wfp.org/stories/10-facts-about-malnutrition-indonesia http://www.who.int/dietphysicalactivity/childhood_consequences/en/
78 • Pembangunan Gizi di Indonesia

137. WHO. (2018). NLiS. Dikutip dari Stunting, wasting, overweight and underweight
- Nutrition Landscape Information System (NLiS): http://apps.who.int/nutrition/
landscape/help.aspx?menu=0&helpid=391&lang=EN

138. WHO Expert Consultation. (2004). Appropriate body-mass index for Asian populations
and its implications for policy and intervention strategies. The Lancet, 363, 157-163.
Dikutip dari http://www.who.int/nutrition/publications/bmi_asia_strategies.pdf

139. WHO/UNICEF. (2017). Progress on drinking water, sanitation and hygiene: Update
and SDG baselines. Geneva: WHO & UNICEF. Dikutip dari https://www.unicef.org/
publications/files/Progress_on_Drinking_Water_Sanitation_and_Hygiene_2017.pdf

140. Widodo, J. (2018, April 5th). Speech at the Office of the President.

141. World Bank. (2013). PAMSIMAS: Responding to the water and sanitation challenges in
rural Indonesia.

142. World Bank. (2017). An Investment Framework for Nutrition. Washington.

143. World Bank. (2017). Program-for-Results Information Document . Jakarta: World Bank. Lampiran
144. World Bank. (2017). Towards a Comprehensive, Integrated, and Effective Social
Assistance System in Indonesia.

145. World Bank. (2018). Towards inclusive growth. Jakarta: World Bank. Dikutip dari http://
documents.worldbank.org/curated/en/155961522078565468/pdf/124591-WP-PUBLIC-
mar-27-IEQMarENG.pdf

146. World Cancer Research Fund International. (2018). NOURISHING Framework. Dikutip
dari https://www.wcrf.org/int/policy/nourishing/our-policy-framework-promote-healthy-
diets-reduce-obesit

147. Proyek Sphere menyusun Piagam Kemanusiaan (Humanitarian Charter) dan


mengidentifikasi serangkaian standar minimum dalam sektor penyelamatan jiwa
yang penting dan tercermin dalam Buku Pegangan untuk empat bab teknis: suplai air,
promosi sanitasi dan kebersihan; ketahanan pangan dan gizi; hunian, permukiman,
barang non pangan; dan aksi kesehatan. Standar Inti (The Core Standards) adalah
standar proses dan berlaku untuk semua bab teknis (The Sphere Project, 2011).

PEMBANGUNAN GIZI DI INDONESIA

K A J I A N S E K T O R K E S E H ATA N
Lampiran 1

Perbedaan Angka Malnutrisi Antar Provinsi dan Penyebaran Gambar 11. Prevalensi Stunting pada Anak Balita menurut Provinsi Tahun 2018
yang Tidak Merata menurut Tingkat Kekayaan
Nusa Tenggara Timur 42.6
Sulawesi Barat 41.8
Aceh 37.3
Gambar 9. Kekurangan Gizi pada Anak menurut Kuintil Kekayaan pada Tahun 2013
Sulawesi Selatan 35.6
Kalimantan Tengah 34.2
% 50 48.4
Maluku 34.1
45 42.4 Nusa Tenggara Barat 33.7
38.5 Kalimantan Barat 33.5
40
Kalimantan Selatan 33.2
35 32.3 Papua 32.9
29 Jawa Timur 32.7
30
Gorontalo 32.4
25 Sulawesi Tengah 32.3
20 Sulawesi Utara 32.3
14 13 Sumatera Utara 32.3
15 11.7 11.9 10.6
Sumatera Selatan 32.0
10 Maluku Utara 31.4

5 Jawa Tengah 31.2


Jawa Barat 31.1
0 Jambi 30.1
Stunting (<5 tahun) Wasting (<5 tahun)
Sumatera Barat 30.1
Q1 Q2 Q3 Q4 Q5 Kalimantan Timur 29.4
Sulawesi Tenggara 28.8
Bengkulu 28.1
Sumber: RISKESDAS 2013 Papua Barat 27.8
Riau 27.4
Lampung 27.3
Kalimantan Utara 27.0
Gambar 10: Kegemukan pada Anak dan Obesitas pada Dewasa menurut Kuintil Kekayaan
Banten 26.6
pada Tahun 2013 Kep. Bangka Belitung 23.6
Kepulauan Riau 23.5
% 50
Bali 21.7
45 DI Yogyakarta 21.4
DKI Jakarta 17.7
40
0 10 20 30 40 50
35
%
30
25 21.4
17.9 Sumber: RISKESDAS 2013
20
13.9 13.5
10.3 11.3 11.6 11.4
15 10.7
10 7 Indikator malnutrisi
5
Stunting (pendek + sangat pendek) (anak <5 tahun) = Tinggi Badan menurut Umur <-2 Z score
0 Wasting (kurus + sangat kurus) (anak <5 tahun) = Berat Badan menurut Tinggi Badan <-2 Z score
Gemuk (< 5 tahun) Obesitas (18+ tahun)
Underweight (gizi kurang + gizi buruk) (anak <5 tahun) = Berat Badan menurut Umur <-2 Z score
Q1 Q2 Q3 Q4 Q5 Kegemukan (anak <5 tahun) = Berat Badan menurut Tinggi Badan >2 Z score
Anemia (anak <5 tahun) = Hb <110 g/l
Obesitas (dewasa 18+ tahun) = IMT ≥27
Sumber: RISKESDAS 2013
Berat badan lebih (dewasa 18+ tahun) = IMT ≥25 - <27
Kurang Energi Kronis (ibu hamil) = LILA <23.5 cm
Anemia (ibu hamil) = Hb <110 g/l

80 • Pembangunan Gizi di Indonesia Lampiran • 81


Target, Layanan dan Panduan Terkait Gizi

Penduduk Target RPJMN 2015-2019 RENSTRA Kemenkes 2015-2019 SPM Kemenkes 2016 Lancet 2013
Wanita usia · Prevalensi anemia pada ibu Indikator Program (Sasaran Pelayanan Antenatal 1. Pemberian mikronutrien untuk
subur dan ibu hamil (Buku II) Strategis): · Mengukur berat badan, tinggi semua ibu hamil
hamil · Persentase ibu hamil Kurang Energi badan dan LILA 2. Pemberian suplemen kalsium
Kronik (KEK) (target 18.2%) · Pemeriksaan Hemoglobin darah untuk ibu hamil dengan resiko
Indikator Kegiatan: (Hb) rendah asupan kalsium
Lampiran 2

· Persentase ibu hamil Kurang Energi · Pemberian Tablet Tambah Darah 3. Pemberian makanan tambahan
Kronik yang mendapat makanan (minimal 90 tablet) dengan nergi protein seimbang
tambahan (target 95%) untuk ibu hamil sesuai kebutuhan
· Tatalaksana/penanganan kasus
· Persentase ibu hamil yang (kesehatan dan gizi termasuk

82 • Pembangunan Gizi di Indonesia


mendapat Tablet Tambah Darah penanganan ibu hamil dengan
(target 98%) KEK)
Indikator Dampak:
· Menurunnya angka BBLR (target
8%)
Bayi dan anak Buku I dan II Indikator Kegiatan: Pelayanan Kesehatan Bayi Baru 4. Promosi ASI eksklusif sampai
(dan remaja · Underweight pada anak <5 · Persentase bayi usia <6 bulan yang Lahir: usia 6 bulan dan melanjutkan
putri) tahun mendapat ASI eksklusif (target 50%) · Pelayanan Neonatal Esensial menyusui sampai usia 24 bulan

· Stunting pada anak <2 tahun · Persentase bayi baru lahir yang (sesuai yang tercantum pada 5. Edukasi pemberian makanan
mendapat Inisiasi Menyusui Dini panduan) pendamping ASI yang sesuai, dan
Buku II pemberian PMT untuk penduduk
(IMD) (target 50%)
· Prevalensi bayi dengan berat yang rawan pangan
badan lahir rendah (BBLR) · Persentase balita kurus yang Pelayanan Kesehatan Balita:
mendapat makanan tambahan 6. Pemberian kapsul Vitamin A
· Persentase bayi usia <6 bulan · Penimbangan minimal 8 kali untuk anak usia 6-59 bulan
(target 90 %). Catatan: tidak ada setahun, pengukuran tinggi/
yang mendapat ASI eksklusif perbedaan untuk kurus dan sangat 7. Pemberian suplementasi zinc
panjang badan minimal 2 kali
· Prevalensi of wasting (kurus) kurus setahun untuk pencegahan pada anak usia
pada anak <5 tahun · Persentase remaja puteri yang 12-59 bulan
· Pemberian kapsul vitamin A (2
mendapat Tablet Tambah Darah kali setahun) 8. Manajemen balita kurus (MAM)
(TTD) (target 30%) 9. Manajemen ballita gizi buruk
(SAM)
Penduduk Buku I dan II Sasaran Kegiatan: · Deteksi kemungkinan obesitas
secara umum Obesitas pada dewasa 18+ · Menurunnya angka kesakitan dan pada kelompok usia 15-49 tahun 10. Pemberian garam beryodium
tahun kematian akibat penyakit tidak dilakukan dengan mengukur
menular. tinggi badan dan berat badan
serta lingkar perut
Indikator Kegiatan:
· Tidak ada indikator untuk obesitas

Kelompok Penduduk Panduan Teknis

Wanita usia subur dan ibu hamil · Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan (2013)
· Pedoman Penanggulangan Kurang Energi Kronik (KEK) pada Ibu Hamil (2015)
· Panduan Penyelenggaraan Pemberian Makanan Tambahan Pemulihan bagi Balita Gizi Kurang dan Ibu Hamil KEK
(Bantuan Operasional Kesehatan) (2012)
· Petunjuk Teknis Pemberian Makanan Tambahan (Balita, Ibu Hamil, Anak Sekolah) (2017)
· Pedoman Pencegahan dan Penanggulangan Anemia pada Remaja Putri dan Wanita Usia Subur (WUS) (2016)

Bayi dan anak · Petunjuk Teknis Pelayanan Kesehatan Neonatal Esensial di Layanan Kesehatan Dasar (2012)
· Petunjuk Teknis Penggunaan Buku Kesehatan Ibu dan Anak (2015)
· Panduan Manajemen Suplementasi Vitamin A (2009)
· Pedoman Pelayanan Anak Gizi Buruk (2011)
· Buku Bagan Tatalaksana Anak Gizi Buruk (Buku I), Petunjuk Teknis Tatalaksana Anak Gizi Buruk (Buku II) (2013)
· Petunjuk Teknis Pemberian Makanan Tambahan (2017)
· Panduan Sosialisasi Tatalaksana Diare Balita (2011)
· Pedoman Pengendalian Kecacingan (2012)

Penduduk secara umum · Petunjuk Teknis Pos Pembinaan Terpadu Penyakit Tidak Menular (2012)
· Petunjuk Teknis Surveilans Penyakit Tidak Menular (2015)
Lampiran • 83
Survei Gizi dan Sistem Pengumpulan Data

Jenis Survei Lembaga Frekuensi Metode dan tipe data yang dikumpulkan Pelaporan dan tantangan

Riset Badan 5-tahunan Survei sekali waktu (cross-sectional) terhadap sekitar 300,000 rumah Informasi banyak digunakan
Kesehatan Penelitian dan tangga. Indikator gizi: untuk perencanaan dan untuk
Dasar Pengembangan (i) antropometri (anak <5 tahun) mengukur dampak.
Kesehatan, (ii) menyusui
Kemenkes (iii) asupan mikronutrien (ibu hamil TTD & vitamin A, anak <5 tahun
Lampiran 3

vitamin A)
(iv) pengobatan (untuk diare & suplementasi zinc)
(v) garam beryodium (sampel urin dikumpulkan tahun 2007 & 2013)

84 • Pembangunan Gizi di Indonesia


Survei Badan Pusat 3- tahunan Survei sekali waktu (cross-sectional) terhadap sekitar 45.000 rumah
Demografi Statistik tangga. Indikator gizi:
dan Indonesia (i) PMBA (praktik pemberian ASI dan makanan pendamping ASI)
Kesehatan (ii) asupan mikronutrien (ibu & anak <5 tahun)
Indonesia (iii) pengelolaan diare (dengan cairan rehidrasi oral dan suplementasi
zinc)

Survei Sosial Badan Pusat Dua kali Survei sekali waktu (cross-sectional) terhadap sekitar 300.000 rumah Digunakan untuk menghitung
Ekonomi Statistik per tahun tangga di bulan Maret dan 75.000 rumah tangga di bulan September. tingkat kemiskinan dan
Nasional Indonesia Data konsumsi/pengeluaran rumah tangga dikumpulkan. Indikator gizi sebagai alat pemantauan
(Susenas) yang dikumpulkan termasuk: untuk pembangunan.
(i) praktik menyusui

Studi Diet Badan Survey Survei sekali waktu (cross-sectional) terhadap 191.524 individual dari Digunakan untuk menentukan
Total Penelitian dan satu kali 51.127 rumah tangga. pola konsumsi makanan
Pengembangan Data yang dikumpulkan tentang: dan kecukupan gizi dari diet,
Kesehatan, pengolahan makanan & teknik
Kemenkes (i) konsumsi makanan individu memasak.
(ii) analisis kontaminasi kimia bahan makanan

Surveilan gizi Direktorat Gizi Tahunan Survei sekali waktu (cross-sectional) melalui 30 teknik pengambilan Digunakan untuk memantau
Masyarakat, sampel secara kelompok (cluster SAMpling) di tingkat kabupaten. Data status gizi ibu hamil dan anak-
Kemenkes yang dikumpulkan adalah data anak <5 tahun dan ibu hamil. Seluruhnya anak untuk perencanaan dan
ada 15 indikator gizi yang dikumpulkan termasuk: pemantauan.
(i) indikator antropometri anak <5 tahun
(ii) praktik menyusui
(iii) suplementasi zat besi untuk ibu
(iv) suplementasi vitamin A untuk anak-anak
(v) anak-anak dan ibu hamil dengan gizi kurang yang menerima biskuit
(vi) LILA wanita usia subur
(vii) Pengujian garam beryodium

Jenis Survei Lembaga Frekuensi Metode dan tipe data yang dikumpulkan Pelaporan dan tantangan

Sistem Kementerian Bulanan Data dikumpulkan melalui fasilitas layanan kesehatan masyarakat. Tidak ada kewajiban bagi
surveilan Kesehatan Indikator mencakup cakupan: kabupaten untuk melaporkan
kesehatan (i) pemantauan pertumbuhan (berat badan per umur saja) indikator sehingga tidak semua
rutin (ii) kasus malnutrisi akut yang diobati fasilitas kesehatan masyarakat
(iii) suplementasi vitamin A untuk anak-anak melakukan pelaporan.
(iv) suplementasi zat besi untuk ibu, Kompilasi data dan umpan
(v) pemberian ASI eksklusif balik yang sangat lambat.
(vi) konsumsi garam beryodium

SMS-Gateway Direktorat Gizi Diluncurkan pada tahun 2011, pelaporan waktu nyata (real-time) untuk Tingkat respon yang rendah.
(Sistem Masyarakat, gizi buruk akut dilaporkan oleh petugas puskesmas melalui perangkat Bukti anekdotal bahwa pihak
Pelaporan Kemenkes ponsel. Laporan diterima oleh server untuk dimasukkan ke dalam basis berwenang di kabupaten tidak
Kasus gizi data (database) yang kemudian ditampilkan melalui internet secara ingin melaporkan jumlah
real time- gizi waktu nyata (real time) (http://gizi.depkes.go.id/sms-gateway/) kasus yang tinggi.
buruk akut)

Sistem Direktorat Gizi E-PPGBM adalah aplikasi untuk mencatat dan melaporkan status gizi Belum ada evaluasi terhadap
elektronik Masyarakat, anak dan wanita hamil secara cepat, akurat, teratur dan berkelanjutan efektivitas aplikasi ini
untuk Kemenkes untuk persiapan perencanaan dan perumusan kebijakan gizi. Indikator
pelaporan gizi:
indikator gizi (i) antropometri
(E-PPGBM) (ii) ASI eksklusif
(iii) Cakupan vitamin A, TTD dan PMT

Sumber: (Institute of Social and Economic Research, 2018 Unpublished)


Lampiran • 85
Analisis Target, Indikator, dan Strategi terkait Gizi untuk Sektor-Sektor Terkait
RPJMN 2015-2019 RPJMN 2015-2019 Rencana Strategis (RENSTRA)
Standar Pelayanan Minimal (SPM)
Buku I Buku II 2015-2019
Kementerian Pertanian
Target: Penduduk secara umum
Arah kebijakan umum ketahanan Peningkatan Kedaulatan Menurunnya jumlah penduduk rawan pangan: SPM Bidang Ketahanan Pangan 2010
pangan dalam RPJMN: (i) Pangan: Indikator Program:
pemantapan ketahanan pangan Pengamanan Produksi Untuk * Penurunan jumlah penduduk rawan pangan Penjabaran indikator kinerja Pemerintah
Lampiran 4

menuju kemandirian pangan Kemandirian dan Diversifikasi menjadi 1.0 %/Tahun (2015-2019). Daerah Provinsi dalam target capaian tahun
dengan peningkatan produksi Konsumsi Pangan. 2015:
pangan pokok; (ii) stabilisasi Kegiatan: a. Ketersediaan dan Cadangan Pangan:
harga bahan pangan; (iii) SASARAN PEMBANGUNAN Pengembangan ketersediaan dan penanganan Penguatan cadangan pangan 60% pada
perbaikan kualitas konsumsi KETAHANAN PANGAN rawan pangan tahun 2015.

86 • Pembangunan Gizi di Indonesia


pangan dan gizi masyarakat; Indikator: Indikator Kegiatan: b. Distribusi dan Akses Pangan:
(iv) mitigasi gangguan terhadap 1. Produksi: * Model Kawasan Mandiri Pangan menjadi 300 Ketersediaan informasi pasokan, harga dan
ketahanan pangan; serta (v) * Padi (juta ton) kawasan (2019). akses pangan di daerah 100% pada tahun
peningkatan kesejahteraan dari 70,6 (2014) menjadi 82,0 * Penguatan sistem kewaspadaan pangan dan 2015.
pelaku usaha pangan (2019) gizi menjadi 456 lokasi (2015-2019) c. Penganekaragaman dan Keamanan Pangan:
terutama petani, nelayan, dan * Jagung (juta ton) * Kajian kerawanan pangan menjadi 35 Pengawasan dan pembinaan keamanan
pembudidaya ikan dari 19,1 (2014) menjadi 24,1 rekomendasi (2015-2019) pangan 80% pada tahun 2015.
(2019) * Pemantauan, evaluasi dan perumusan d. Penanganan Kerawanan Pangan:
Peningkatan Kedaulatan Pangan: * Kedelai (juta ton) kebijakan ketersediaan dan kerawanan pangan Penanganan daerah rawan pangan 60%
SASARAN KEDAULATAN dari 0,9 (2014) menjadi 2,6 menjadi 31 rekomendasi (2015-2019) pada tahun 2015.
PANGAN (2019) * Analisis ketahanan dan kerentanan pangan
Indikator: * Gula (juta ton) wilayah menjadi 35 Peta FSVA (2015-2019) Penjabaran indikator kinerja Pemerintah
1. Produksi: dari 2,6 (2014) menjadi 3,8 * Kajian ketersediaan pangan menjadi 35 Daerah Kabupaten/Kota dalam target capaian
* Padi (juta ton) dari 70,6 (2014) (2019) rekomendasi (2015-2019) tahun 2015:
menjadi 82,0 (2019) * Daging Sapi (ribu ton) * Kajian akses pangan menjadi 35 rekomendasi a. Ketersediaan dan Cadangan Pangan:
* Jagung (juta ton) dari 19,1 dari 452,7 (2014) menjadi (2016-2019). 1. Ketersediaan energi dan protein perkapita
(2014) menjadi 24,1 (2019) 755,1 (2019) 90% pada tahun 2015;
* Kedelai (juta ton) dari 0,9 (2014) 2. Konsumsi: 2. Penguatan cadangan pangan 60% pada
menjadi 2,6 (2019) * Konsumsi kalori (Kkal) dari tahun 2015.
* Gula (juta ton) dari 2,6 (2014) 1,967 (2014) menjadi 2,150 b. Distribusi dan Akses Pangan:
menjadi 3,8 (2019) (2019) 1. Ketersediaan informasi pasokan, harga
* Daging Sapi (ribu ton) dari 3. Skor Pola Pangan Harapan dan akses pangan di daerah 90% pada
452,7 (2014) menjadi 755,1 (PPH), tahun 2015;
(2019) dari 81,8 (2014) menjadi 92,5 2. Stabilitas harga dan pasokan pangan 90%
2. Konsumsi: (2019). tahun 2015.
* Konsumsi kalori (Kkal) dari c. Penganekaragaman dan Keamanan Pangan:
1.967 (2014) menjadi 2.150 1. Pencapaian skor Pola Pangan Harapan
(2019) (PPH) 90% pada tahun 2015;
3. Skor Pola Pangan Harapan 2. Pengawasan dan pembinaan kemanan
(PPH), dari 81,8 (2014) menjadi pangan 80% pada tahun 2015.
92,5 (2019). d. Penanganan Kerawanan Pangan:
Penanganan daerah rawan pangan 60%
pada tahun 2015.

RPJMN 2015-2019 RPJMN 2015-2019 Rencana Strategis (RENSTRA)


Standar Pelayanan Minimal (SPM)
Buku I Buku II 2015-2019
Meningkatkan cakupan Implementasi Strategi Kegiatan: Indikator Ketersediaan Energi Dan Protein per
pelayanan dasar dan akses Pengarusutamaan gender. Pengembangan Penganekaragaman Konsumsi Kapita
terhadap ekonomi produktif Sasaran: dan Keamanan Pangan.
masyarakat kurang mampu. Mantapnya Ketersediaan dan Definisi:
Perlindungan Sosial bagi Penanganan Rawan Pangan. Indikator Kegiatan: Ketersediaan Pangan adalah tersedianya
Penduduk Rentan dan Kurang * Model pekarangan pangan menjadi 7.818 (2019) pangan dari hasil produksi dalam negeri dan/
Mampu (40% penduduk Indikator: dari 4.410 desa (2015). atau sumber lain.
berpendapatan terendah). * Jumlah desa mandiri pangan * Pemantauan, evaluasi dan perumusan
yang diberdayakan (Desa). kebijakan P2KP menjadi 35 rekomendasi (2015- Definisi Operasional:
Indikator: * Jumlah Kawasan Mandiri 2019) Angka Kecukupan Gizi (AKG) ditetapkan di
* Akses Pangan Bernutrisi dari Pangan yang diberdayakan * Promosi penganekaragaman konsumsi Indonesia setiap lima tahun sekali melalui
60% menjadi 100%. (Kawasan). Pangan menjadi 35 lokasi (2015-2019) forum Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi
* Analisis pola dan kebutuhan konsumsi pangan (WKNPG). Salah satu rekomendasi WKNPG
menjadi 35 rekomendasi (2015-2019) ke VIII tahun 2004 menetapkan tingkat
* Koordinasi penanganan keamanan pangan ketersediaan energi sebesar 2.200 Kkal/Kapita/
segar menjadi 145 (2019) dari 65 rekomendasi Hari dan protein 57 Gram/Perkapita/Perhari.
(2015) Target pencapaian ketersediaan energi dan
* Model Pangan Pokok Lokal (Unit) 31 (2015), 37 protein per kapita adalah 90% pada tahun
(2016), 21 (2017-2019). 2015.

Indikator Penguatan Cadangan Pangan


Definisi:
Cadangan Pangan Nasional meliputi
persediaan pangan di seluruh pelosok wilayah
Indonesia untuk dikonsumsi masyarakat,
bahan baku industri, dan untuk menghadapi
keadaan darurat.

Definisi Operasional:
a. Cadangan Pangan di tingkat pemerintah:
* Tersedianya cadangan pemerintah di tingkat
kabupaten/kota minimal sebesar 100 ton
ekuivalen beras dan di tingkat provinsi
minimal sebesar 200 ton ekuivalen beras;
b. Cadangan Pangan di tingkat masyarakat:
* Penyediaan cadangan pangan sebesar 500
kg ekuivalen beras di tingkat rukun tetangga
(RT) untuk kebutuhan minimal 3 bulan, yang
bersifat pangan pokok tertentu dan sesuai
dengan potensi lokal
Target capaian penguatan cadangan
pangan (cadangan pangan pemerintah dan
cadangan pangan masyarakat) sebesar 60%
Lampiran • 87

pada Tahun 2015.


RPJMN 2015-2019 RPJMN 2015-2019 Rencana Strategis (RENSTRA)
Standar Pelayanan Minimal (SPM)
Buku I Buku II 2015-2019
Indikator Pola Pangan Harapan (PPH).

Definisi:
Pola Pangan Harapan (PPH) adalah susunan
beragam pangan yang didasarkan pada
sumbangan energi dari kelompok pangan
Lampiran 4

utama baik secara absolut maupun dari suatu


pola ketersediaan atau konsumsi pangan.

Definisi Operasional:

88 • Pembangunan Gizi di Indonesia


Penyediaan informasi penganekaragaman
konsumsi pangan masyarakat yang beragam,
bergizi dan berimbang, sesuai standar
kecukupan energi dan protein per kapita per
hari (PPH);
Target capaian Skor Pola Pangan Harapan
(PPH) sebesar 90% pada tahun 2015.

Indikator Penanganan Daerah Rawan Pangan

Definisi:
Kerawanan pangan adalah suatu kondisi
ketidakcukupan pangan yang dialami daerah,
masyarakat atau rumah tangga pada waktu
tertentu untuk memenuhi standar kebutuhan
fisiologis bagi pertumbuhan dan kesehatan
masyarakat.

Definisi Operasional:
Penanganan rawan pangan dilakukan pertama
melalui pencegahan kerawanan pangan
untuk menghindari terjadinya rawan pangan
disuatu wilayah sedini mungkin dan kedua
melakukan penanggulangan kerawanan
pangan pada daerah yang rawan kronis
melalui program-progam sehingga rawan
pangan di wilayah tersebut dapat tertangani,
dan penanggulangan daerah rawan transien
melalui bantuan social.
Target capaian penanganan daerah rawan
pangan sebesar 60% pada tahun 2015.

RPJMN 2015-2019 RPJMN 2015-2019 Rencana Strategis (RENSTRA)


Standar Pelayanan Minimal (SPM)
Buku I Buku II 2015-2019
Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi
Target: Penduduk secara umum
N/A Pembangunan Desa dan Sasaran Strategis Kementerian Desa, N/A
Kawasan Perdesaan: Pembangunan Daerah Tertinggal, dan
Sasaran pembangunan desa Transmigrasi: Catatan:
dan kawasan perdesaan adalah 1. Sasaran Pembangunan Desa dan Kawasan SPM yang ada terkait dengan hal ini adalah
mengurangi jumlah desa Perdesaan: SPM Desa yang dibuat oleh Kementerian
tertinggal sampai 5.000 desa Sasaran pembangunan desa dan kawasan Dalam Negeri 2017.
dan meningkatkan jumlah desa perdesaan tahun 2015-2019 adalah:
mandiri sedikitnya 2.000 desa. berkurangnya jumlah desa tertinggal sedikitnya
5.000 desa atau meningkatnya jumlah desa
Arah kebijakan pembangunan mandiri sedikitnya 2.000 desa.
desa dan kawasan perdesaan 2. Sasaran Pembangunan Daerah Tertinggal:
Pembangunan Desa, mencakup: Sasaran pembangunan daerah tertinggal tahun
a) Pemenuhan Standar 2015-2019 ditujukan untuk mengentaskan
Pelayanan Minimum Desa daerah tertinggal minimal 80 (delapan puluh)
sesuai dengan kondisi geografis kabupaten.
Desa, melalui strategi: 3. Sasaran Pengembangan Daerah Tertentu
menyusun dan memastikan a. Meningkatnya ketahanan pangan di 57
terlaksananya NSPK SPM Desa kabupaten daerah rawan pangan;
(antara lain b. Meningkatnya konektifitas, sarana prasarana
perumahan, permukiman, dasar, dan kesejahteraan masyarakat di
pendidikan, kesehatan, 187 Lokasi Prioritas yang tersebar di 41
perhubungan antar permukiman kabupaten yang memiliki perbatasan
ke pusat pelayanan pendidikan, negara;
pusat pelayanan kesehatan, c. Meningkatnya konektifitas, sarana prasarana
dan pusat kegiatan ekonomi, dasar, dan kesejahteraan masyarakat di 29
pengairan, listrik dan kabupaten yang memiliki pulau kecil dan
telekomunikasi). pulau terluar;
b) Penanggulangan kemiskinan d. Meningkatnya 58 kabupaten rawan bencana
dan pengembangan usaha dengan 2.000 desa tangguh.
ekonomi masyarakat Desa,
melalui strategi:
Lampiran • 89
RPJMN 2015-2019 RPJMN 2015-2019 Rencana Strategis (RENSTRA)
Standar Pelayanan Minimal (SPM)
Buku I Buku II 2015-2019
(i) penataan dan penguatan Indikator Kinerja Program (IKP):
BUMDesa untuk mendukung 1. Meningkatnya pelayanan dukungan
ketersediaan sarana prasarana menajemen dan tugas teknis lainnya pada
produksi khususnya benih, Ditjen Pembangunan Dan Pemberdayaan
pupuk, pengolahan produk Masyarakat Desa
2. Meningkatnya pemberdayaan masyarakat desa
pertanian dan perikanan skala
Lampiran 4

74.093 desa
rumah tangga desa; 3. Meningkatnya pelayanan sosial dasar di 5.000
desa tertinggal dan 2.000 desa berkembang
(ii) fasilitasi, pembinaan, potensi mandiri
maupun pendampingan dalam 4. Meningkatnya pembangunan sarana dan

90 • Pembangunan Gizi di Indonesia


pengembangan usaha, bantuan prasarana di 5.000 desa tertinggal dan 2.000
permodalan/kredit, desa berkembang potensi mandiri
kesempatan berusaha, 5. Meningkatnya pendayagunaan sumber daya
pemasaran dan kewirausahaan; alam dan teknologi tepat guna di 5.000 desa
dan tertinggal dan 2.000 desa berkembang potensi
mandiri
6. Berkembangnya usaha ekonomi desa
(iii) meningkatkan (Bumdes) di 5.000 desa tertinggal dan 2.000
kapasitas masyarakat desa desa berkembang potensi mandiri
dalam pemanfaatan dan
pengembangan Teknologi Tepat Kegiatan Pemberdayaan Masyarakat Desa
Guna Perdesaan Sasaran:
1. Meningkatnya Pemberdayaan Masyarakat Desa
di 74.093 desa
2. Terlaksananya Program Pendampingan Desa
pada 50 Kab/kota sebagai Proyek Percontohan
(Pilot Projects) (Quick wins)
3. Terlaksananya Rekruitment dan Pembekalan
Calon Pendamping Desa dan Fasilitator
Pemberdayaan Masyarakat Desa (Quick wins)

Indikator Kinerja Kegiatan:


1. Jumlah rumusan kebijakan dan NSPK bidang
Pemberdayaan Masyarakat Desa
2. Jumlah pelaksanaan kebijakan Pemberdayaan
Masyarakat Desa
3. Jumlah bimbingan teknis dan supervisi
Pemberdayaan Masyarakat Desa
4. Jumlah laporan evaluasi program/kegiatan
Pemberdayaan Masyarakat Desa
5. Jumlah Pendampingan Desa pada 50 Kab/kota
sebagai Proyek Percontohan (Pilot Projects)
6. Jumlah Rekuitment dan Pembekalan
Calon Pendamping Desa dan Fasilitator
Pemberdayaan Masyarakat Desa (Quick wins)

RPJMN 2015-2019 RPJMN 2015-2019 Rencana Strategis (RENSTRA)


Standar Pelayanan Minimal (SPM)
Buku I Buku II 2015-2019
Kementerian Dalam Negeri
Target: Penduduk secara umum
Sasaran Pembangunan Dimensi Target cakupan pada 40% PROGRAM BINA PEMBANGUNAN DAERAH SPM Desa 2017 (oleh Kemendagri)
Pemerataan: berpendapatan terbawah. Sasaran strategis:
Meningkatkan cakupan * Meningkatnya kualitas pelayanan public Dalam antara lain meliputi:
pelayanan dasar dan akses Pelayanan Dasar Bagi Penduduk penyelenggaraan pembangunan daerah a. penyediaan dan penyebaran informasi
terhadap ekonomi produktif Rentan dan Kurang Mampu Indikator sasaran strategis: pelayanan;
masyarakat kurang mampu. (40% penduduk berpendapatan * Persentase daerah yang memenuhi pelayanan b. penyediaan data dan informasi
terendah) Dasar menjadi 60% (2019) kependudukan dan pertanahan;
1. Perlindungan Sosial bagi Indikator: Indikator Program: c. pemberian surat keterangan;
Penduduk Rentan dan Kurang a. Kepemilikan akte lahir (2013) Persentase Penerapan indikator utama SPM di d. penyederhanaan pelayanan; dan
Mampu (40% penduduk dari 64,6% (2014) menjadi daerah menjadi 100% (6 SPM) (setiap tahun di e. pengaduan masyarakat.
berpendapatan terendah) 77,4% (2019) periode 2015-2019).
Indikator: b. Akses air minum dari 55,7%
a. Kepesertaan Jaminan (2014) menjadi 100% (2019) Kegiatan:
Kesehatan dari 86% (2014) c. Akses sanitasi layak dari PEMBINAAN PENYELENGGARAAN DAN
menjadi 100% (2019) 20,24% (2014) menjadi 100% PEMBANGUNAN URUSAN PEMERINTAHAN
b. Akses Pangan Bernutrisi dari (2019) DAERAH III
60% (2014) menjadi 100% d. Akses penerangan dari 52,3% Target:
(2019) (2014) menjadi 100% (2019) Meningkatnya kualitas penyelenggaraan urusan
c. Akses terhadap Layanan pemerintahan daerah di bidang Kesehatan, Sosial
Keuangan dari 4,12% (2014) dan Budaya, Koperasi, UKM dan Penanaman
menjadi 25% (2019). Modal, Perindustrian dan Perdagangan, dan
Pariwisata, Pemberdayaan Masyarakat Desa dan
2. Pelayanan Dasar Bagi Urusan Kemendagri
Penduduk Rentan dan Kurang Indikator Kegiatan:
Mampu (40% penduduk * Penerapan Indikator Utama pelayanan publik
berpendapatan terendah) di daerah lingkup UPD III yang ditekankan pada
Indikator: Reformasi pelayanan publik dasar Kesehatan.
a. Kepemilikan akte lahir (2013)
dari 64,6% (2014) menjadi Sosial
77,4% (2019) Target untuk tiap tahun di periode 2015-2019:
b. Akses air minum dari 55,7% 3 Urusan Wajib Pelayanan Dasar meliputi
(2014) menjadi 100% (2019) Kesehatan, Sosial, dan Trantibum Linmas;
c. Akses sanitasi layak dari 5 Urusan Wajib Non-Pelayanan Dasar meliputi
20,24% (2014) menjadi 100% Budaya, Koperasi-UKM, Penanaman Modal,
(2019) Pemberdayaa n Masyarakat dan Desa, serta
d. Akses penerangan dari 52,3% Administrasi Kependuduka n dan Catatan Sipil.
(2014) menjadi 100% (2019)
Lampiran • 91
RPJMN 2015-2019 RPJMN 2015-2019 Rencana Strategis (RENSTRA)
Standar Pelayanan Minimal (SPM)
Buku I Buku II 2015-2019
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat
Target: Penduduk secara umum
Pembangunan Ketahanan Air SASARAN BIDANG Tujuan Strategis 2: SPM 2014
INFRASTRUKTUR Menyelenggarakan pembangunan bidang
1. Pemenuhan kebutuhan dan Indikator: pekerjaan umum dan perumahan rakyat untuk Penyediaan air baku untuk kebutuhan
Lampiran 4

jaminan kualitas air untuk * Tercapainya pengentasan mendukung ketahanan air, kedaulatan pangan, masyarakat
kehidupan sehari-hari: Indikator: permukiman kumuh perkotaan dan ketahanan energi guna menggerakkan sektor- Indikator:
* Peningkatan kapasitas air baku menjadi 0 persen melalui sektor strategis ekonomi domestik dalam rangka 1. Persentase tersedinya air baku untuk
nasional dari 51,44 m3/det penanganan kawasan kemandirian ekonomi. memenuhi kebutuhan
(2014) menjadi 118,6 m3/det. permukiman kumuh seluas pokok minimal sehari-hari; dan

92 • Pembangunan Gizi di Indonesia


(Peningkatan kapasitas :67,16 38.431 hektar dan peningkatan Indikator Sasaran Strategis: 2. Persentase tersedinya air irigasi untuk
m3/det) keswadayaan masyarakat di * Tingkat dukungan ketahanan air nasional pertanian rakyat pada
* Penyediaan air baku untuk 7.683 kelurahan. menjadi 67,60 % (2019) dari 28,95 % (2015). sistem irigasi yang sudah ada sesuai dengan
pulau-pulau kecil * Tercapainya 100 persen kewenangannya.
dari 10 lokasi (2014) menjadi pelayanan air minum Indikator Sasaran Program:
60 lokasi (2019). (dukungan yakni 85 persen penduduk * Peningkatan debit layanan sarana dan Penyediaan air minum
penduduk dan pariwisata). terlayani akses sesuai prasarana penyediaan air baku menjadi 22,0 Indikator:
prinsip 4K (Kuantitas, m3/detik (2019) dari 8,65 m3/detik (2015). total * Persentase penduduk yang mendapatkan
Meningkatkan cakupan Kualitas, Kontinuitas, dan 67,52 m3/detik (2019). akses air minum yang aman.
pelayanan dasar dan akses Keterjangkauan) dan 15 persen
terhadap ekonomi produktif sesuai kebutuhan dasar (basic Indikator Kegiatan: Penyediaan sanitasi
masyarakat kurang mampu. needs). * Jumlah NSPK penyediaan dan pengelolaan air Indikator:
* Tercapainya 100 persen tanah dan air baku menjadi 1 NSPK (2015-2019). a. persentase penduduk yang terlayani sistem
2. Pelayanan Dasar bagi pelayanan sanitasi (air * Jumlah Pemda/masyarakat/ dunia usaha yang air limbah yang memadai;
Penduduk Rentan dan Kurang limbah domestik, sampah diberi bimbingan teknis perencanaan dan b. persentase pengurangan sampah di
Mampu (40% penduduk dan drainase lingkungan) pelaksanaan pembangunan/ peningkatan dan perkotaan;
berpendapatan terendah): yakni 85 persen penduduk rehabilitasi sarana prasarana penyediaan dan c. persentase pengangkutan sampah;
Indikator: terlayani akses sesuai standar pengelolaan air tanah dan air baku menjadi d) persentase pengoperasian Tempat
* Akses Air Minum pelayanan (pengelolaan air total 20 Pemda/masyarakat/ dunia usaha pada Pembuangan Akhir (TPA); dan
dari 55,7% menjadi 100%. limbah sistem setempat dan 2019. e. persentase penduduk yang telayani sistem
* Akses Sanitasi Layak terpusat, pelayanan sampah * Jumlah konstruksi intake air baku yang jaringan drainase skala kota sehingga tidak
dari 20,24% menjadi 100%. perkotaan dan pengelolaan dilaksanakan menjadi total 500 buah pada 2019. terjadi genangan (lebih dari 30 cm, selama 6
sampah secara 3R (Reduce, * Jumlah intake air baku yang dioperasikan dan jam) lebih dari 2 kali setahun.
Reuse, Recycle) dan dipelihara menjadi 400 buah pada 2019.
pengurangan luas genangan
sebesar 22.500Ha) dan 15% Tujuan Strategis 4:
sesuai kebutuhan dasar (basic Menyelenggarakan pembangunan bidang PUPR
needs). untuk mendukung layanan infrastruktur dasar
yang layak guna mewujudkan kualitas hidup
manusia Indonesia sejalan dengan prinsip
‘infrastruktur untuk semua.

RPJMN 2015-2019 RPJMN 2015-2019 Rencana Strategis (RENSTRA)


Standar Pelayanan Minimal (SPM)
Buku I Buku II 2015-2019
* Meningkatnya kapasitas Indikator Sasaran Srategis:
prasarana air baku untuk * Tingkat layanan infrastruktur dasar permukiman
melayani rumah tangga, dan perumahan menjadi total 95% pada 2019.
perkotaan, dan industri PROGRAM 1 : PEMBINAAN DAN
sebesar 51,44 m3/det menjadi PENGEMBANGAN INFRASTRUKTUR
118,6 m3/det. PERMUKIMAN
Indikator Program:
Target cakupan pada 40% * Persentase peningkatan cakupan pelayanan
berpendapatan terbawah. akses air minum menjadi 100% (2019)
Target cakupan pelayanan dasar * Persentase penurunan luasan permukiman
pada tahun 2019: kumuh perkotaan menjadi 0% (2019)
* Akses air minum layak * Persentase peningkatan cakupan pelayanan
menjadi 100%. akses sanitasi menjadi 100% (2019).
* Akses sanitasi layak menjadi
100%. Kegiatan 1.4: PENGATURAN, PEMBINAAN,
PENGAWASAN, PENGEMBANGAN SUMBER
PEMBIAYAAN DAN POLA INVESTASI, SERTA
PENGEMBANGAN SISTEM PENYEDIAAN AIR
MINUM.

Indikator Kegiatan:
Fasilitasi SPAM PDAM:
* Jumlah PDAM yang difasilitasi
* Jumlah kawasan SPAM MBR (Masyarakat
Berpenghasilan Rendah) yang dikembangkan
jaringannya

Fasilitasi SPAM Non-PDAM:


* Jumlah UPTD yang difasilitasi
* Jumlah kawasan SPAM MBR yang
dikembangkan jaringannya

Pengaturan, Pembinaan, Pengawasan


Pengembangan Air Minum:
* Jumlah penyelenggaraan pengaturan,
pembinaan, dan pengawasan pengembangan
air minum di Kab/Kota. (# Kab/Kota)
Lampiran • 93
RPJMN 2015-2019 RPJMN 2015-2019 Rencana Strategis (RENSTRA)
Standar Pelayanan Minimal (SPM)
Buku I Buku II 2015-2019
Kementerian Sosial
Target: Penduduk secara umum
Penanggulangan Kemiskinan Implementasi Strategi Sasaran strategis Kementerian Sosial: INDIKATOR STANDAR PELAYANAN MINIMAL
Pengarusutamaan gender. 1. Berkontribusi menurunkan jumlah fakir miskin, BIDANG SOSIAL DAERAH PROVINSI
ARAH KEBIJAKAN: kelompok rentan dan PMKS (Penyandang 1. pemberian bantuan sosial bagi Penyandang
Lampiran 4

Meningkatkan perlindungan, Sasaran: Masalah Kesejahteraan Sosial) lainnya sebesar 1 Masalah Kesejahteraan Sosial skala provinsi.
produktivitas dan pemenuhan Tersalurkannya bantuan tunai (satu) persen pada tahun 2019
hak dasar bagi penduduk bersyarat bagi masyarakat Indikator:
kurang mampu, melalui (i) miskin dan rentan. Indikator: Persentase (%) PMKS skala provinsi
penataan asistensi sosial 1.1. Persentase (%) keluarga miskin dan yang memperoleh bantuan sosial. Untuk

94 • Pembangunan Gizi di Indonesia


terpadu berbasis keluarga dan Indikator: rentan serta PMKS lainnya yang meningkat pemenuhan kebutuhan dasar.
siklus hidup melalui Program * Jumlah keluarga sangat kemampuannya dalam memenuhi kebutuhan 80% (2008-2015).
Keluarga Produktif dan Sejahtera miskin (KSM) yang dasar;
yang menca-kup antara lain mendapatkan bantuan tunai Target:
bantuan tunai bersyarat dan/ bersyarat PKH (Program Program: 80 % dengan batas pelayanan selama 7 tahun
atau sementara, pangan Keluarga Harapan). Program Perlindungan dan Jaminan Sosial. dari tahun 2008 s.d tahun 2015.
bernutrisi, peningkatan kapasitas
pengasuhan dan usaha keluarga, Indikator: INDIKATOR STANDAR PELAYANAN MINIMAL
pengembangan penyaluran * Persentase (%) keluarga miskin dan rentan yang BIDANG SOSIAL DAERAH KABUPATEN/KOTA
bantuan melalui keuangan menerima bantuan pemenuhan kebutuhan 1. pemberian bantuan sosial bagi Penyandang
digital, serta pemberdayaan dan dasar Masalah Kesejahteraan Sosial skala
rehabilitasi sosial. Kabupaten/Kota.
Indikator Kegiatan:
* Keluarga sangat miskin (KM) yang mendapat Indikator:
program bantuan tunai bersyarat (PKH) Persentase (%) PMKS skala provinsi
sebanyak 6.000.000 KM. yang memperoleh bantuan sosial. Untuk
* Peserta PKH yang mendapatkan asuransi pemenuhan kebutuhan dasar.
kesejahteraan social (Askesos) melalui PBI 80% (2008-2015).
sebanyak 452.500 KK.
* Penduduk miskin dan rentan yang mendapatkan Target:
program simpanan keluarga sejahtera (PSKS) 80 % dengan batas pelayanan selama 7
sebanyak 16.030.897 jiwa. tahun dari tahun 2008 s.d tahun 2015 dan
penanggung jawab Dinas/Instansi Sosial
Kabupaten/Kota.

RPJMN 2015-2019 RPJMN 2015-2019 Rencana Strategis (RENSTRA)


Standar Pelayanan Minimal (SPM)
Buku I Buku II 2015-2019
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Target: Anak usia 3-6 tahun
Pembangunan Pendidikan SASARAN PARTISIPASI Tujuan Strategis: SPM Pendidikan Non-formal:
khususnya Pelaksanaan Program PENDIDIKAN UNTUK JENJANG Peningkatan Akses PAUD, Dikdas, Dikmen,
Indonesia Pintar PENDIDIKAN DASAR, Dikmas, dan Pendidikan Anak Berkebutuhan SPM Pendidikan Taman Kanak-kanak terdiri
MENENGAH, TINGGI DAN PAUD Khusus atas:
Komponen: Sasaran Strategis: a. 20 persen jumlah anak usia 4-6 tahun
Pendidikan Anak Usia Dini Komponen: Meningkatnya akses pendidikan anak usia dini mengikuti program TK/RA.
Pendidikan Anak Usia Dini dan pendidikan masyarakat di seluruh provinsi, b. 90 persen guru layak mendidik TK/RA
Indikator: kabupaten, dan kota. dengan kualifikasi se-suai dengan standar
Angka Partisipasi PAUD Indikator: Indikator Kinerja Sasaran Strategis: kom-petensi yang ditetapkan se-cara
dari 66.8% menjadi 77.2% (2019) * Angka Partisipasi PAUD dari * APK PAUD usia 3-6 tahun sekurangkurangnya nasional.
66,81% (2014) menjadi 77,23% 78,70% c. 90 persen TK/RA memiliki sarana dan
(2019) Baseline: 68,10% (2014) prasarana belajar/ bermain.
* Sejumlah minimal 54,60% kabupaten dan kota d. 60 persen TK/RA menerapkan manajemen
memiliki lembaga PAUD terpadu pembina berbasis sekolah sesuai dengan manual
holistik integratif. yang ditetapkan oleh Menteri.
Baseline: 40% (2014)
SPM Pendidikan pada Taman Penitipan Anak,
Sasaran Program Indonesia Pintar melalui Kelompok Bermain atau yang sederajat terdiri
pelaksanaan Wajib Belajar 12 Tahun pada RPJMN atas:
2015—2019. a. 65 persen anak dalam kelompok 0–4 tahun
meng-ikuti kegiatan Tempat Penitipan Anak,
Indikator Kinerja Akses Pendidikan: Kelompok Bermain atau yang sederajat.
* Angka Partisipasi PAUD dari 66,8% (2014) b. 50 persen jumlah anak usia 4-6 tahun yang
menjadi 77,2% (2019). belum ter-layani pada program PAUD jalur
Program: formal mengikuti program PAUD jalur non
Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dan Pendidikan formal.
Masyarakat c. 50 persen guru PAUD jalur non formal telah
Sasaran Program: mengikuti pelatihan di bidang PAUD.
Terciptanya keluasan dan kemerataan akses
PAUD dan pendidikan masyarakat bermutu,
berkesetaraan gender, dan berwawasan
pendidikan pembangunan berkelanjutan
(Education for Sustainable Development/ ESD) di
semua provinsi, kabupaten, dan kota.
Lampiran • 95
RPJMN 2015-2019 RPJMN 2015-2019 Rencana Strategis (RENSTRA)
Standar Pelayanan Minimal (SPM)
Buku I Buku II 2015-2019
Target: Penduduk usia 18+ tahun
Tujuan Strategis 4:
Peningkatan Mutu dan Relevansi Pembelajaran
yang Berorientasi pada Pembentukan Karakter
SASARAN STRATEGIS:
Lampiran 4

Meningkatnya lembaga/satuan pendidikan dan


pemangku kepentingan yang menyelengggrakan
pendidikan keluarga.

Indikator Kinerja Sasaran Strategis:

96 • Pembangunan Gizi di Indonesia


* Jumlah lembaga/satuan pendidikan masyarakat
yang menyelenggarakan pendidikan orang tua/
keluarga sebanyak 87.417 lembaga.
Baseline: 0 (2014).

Indikator Kinerja Program:


* Persentase Angka Partisipasi Kasar (APK) PAUD
usia 3-6 tahun
dari 68,10 % (2014) menjadi 86,7% (2019).
* Jumlah lembaga PAUD siap diakreditasi.
dari 33.801 (2014) menjadi 42.926 (2019).

Indikator Kinerja Kegiatan:


* Lembaga PAUD memperoleh BOP PAUD untuk
anak usia 3-6 Tahun
dari 45.000 (2014) menjadi 90.000 (2019).
* Jumlah lembaga PAUD terpadu pembina yang
dibangun/revitalisasi
dari 0 (2014) menjadi 70 (2019).
* Jumlah lembaga PAUD terpadu yang dibangun/
revitalisasi di daerah 3T
dari - (2014) menjadi 400 (2019).
* Jumlah Ruang Kelas PAUD yang dibangun
termasuk meubeleir
dari - menjadi 200 (2019)
* Lembaga PAUD yang memperoleh bantuan
sarana pembelajaran, termasuk APE
dari - menjadi 4.000 (2019).
* Pusat Kegiatan Gugus (PKG) yang memperoleh
bantuan Gugus PAUD (Lembaga) menjadi 6.982
(2019).
* Jumlah dokumen NSPK PAUD dari 20 (2014)
menjadi 10 (2019).

RPJMN 2015-2019 RPJMN 2015-2019 Rencana Strategis (RENSTRA)


Standar Pelayanan Minimal (SPM)
Buku I Buku II 2015-2019
Sasaran Program:
Terciptanya keluasan dan kemerataan
akses pendidikan keluarga yang bermutu,
berkesetaraan gender, dan berwawasan
pendidikan untuk pembangunan berkelanjutan
(ESD) dan kewarganegaraan global di semua
provinsi, kabupaten dan kota.

Indikator Kinerja Program:


* Jumlah orang dewasa mengikuti pendidikan
keluarga.
dari 0 (2014) menjadi 4.343.500 (2019).
* Jumlah lembaga/satuan pendidikan
menyelenggarakan pendidikan keluarga.
dari 0 (2014) menjadi 87.417 (2019).

Indikator Kinerja Kegiatan:


* Jumlah lembaga/satuan pnf menyelenggarakan
pendidikan karakter dan pendidikan kecakapan
hidup termasuk pendidikan gizi bagi orangtua
dari 0 (2014) menjadi 10.000 (2019).
* Jumlah lembaga/satuan pendidikan
menyelenggarakan pendidikan kemandirian
dan kepribadian karakter bangsa anti korupsi,
kekerasan dalam rumah tangga, dan kejahatan
seksual pada anak
dari 0 (2014) menjadi 10.000 (2019).
* Jumlah pendidik dan tenaga kependidikan
serta orang tua/wali dan pengasuh memiliki
kapasitas menerapkan pendidikan keluarga
dari 0 (2014) menjadi 540.000 (2019).
* Jumlah konten/materi diunggah ke kanal
pendidikan keluarga
dari 0 (2014) menjadi 225 (2019).
* Jumlah dokumen NSPK pendidikan keluarga
dari 0 (2014) menjadi 10 (2019).
Lampiran • 97
Program Gizi Sensitif

JAMINAN SOSIAL

Program Deskripsi Sasaran dan Cakupan Biaya dan Dampak


Bantuan Tunai PKH adalah program bantuan sosial bersyarat Kelompok sasaran: Biaya:
Bersyarat untuk keluarga miskin dan/atau orang miskin Keluarga dan/atau seseorang yang miskin Ada peningkatan signifikan dalam anggaran
Program dan rentan yang ditetapkan sebagai keluarga dan rentan dan terdaftar oleh Pusat Data dan PKH yang mencapai Rp 12 triliun pada tahun
Keluarga penerima manfaat. Informasi Kesejahteraan Sosial dalam data 2017, hampir 3 kali lipat dari anggaran pada
Lampiran 5

Harapan (PKH) Tujuan: terpadu “Program Penanganan Fakir Miskin”. tahun 2014.
(i) untuk meningkatkan standar hidup Kelompok ditargetkan untuk kesehatan, Anggaran untuk cakupan 10 juta rumah tangga
Lembaga keluarga penerima manfaat melalui akses pendidikan, dan/atau kesejahteraan sosial: penerima pada tahun 2018 adalah Rp 17,3
pelaksana: ke pendidikan, kesehatan dan pelayanan 1. Kesehatan triliun.

98 • Pembangunan Gizi di Indonesia


Kementerian kesejahteraan sosial; • Ibu hamil / menyusui
Sosial (ii) untuk mengurangi beban pengeluaran dan • Anak-anak pra-sekolah (di bawah 6 tahun)
meningkatkan pendapatan keluarga miskin 2. Pendidikan
dan rentan; • Anak-anak sekolah (hingga SMA)
(iii) untuk menciptakan perubahan perilaku dan • Anak-anak usia 6-21 tahun yang belum
kemandirian keluarga penerima manfaat menyelesaikan 12 tahun pendidikan.
dalam mengakses layanan kesehatan, 3. Kesejahteraan Sosial
pendidikan dan kesejahteraan sosial; • Lansia (berusia 60 tahun ke atas)
(iv) untuk mengurangi kemiskinan dan • Orang cacat (penyandang cacat berat).
ketidaksetaraan; dan (Peraturan Menteri Sosial Nomor 1 tahun 2018 (Presentasi: Pengetahuan dan Kebijakan
(v) untuk memperkenalkan manfaat produk dan tanggal 8 Januari 2018 tentang Program Keluarga Pelaksanaan PKH 2018)
layanan keuangan formal kepada keluarga Harapan) · Nilai manfaat resmi: Antara Rp 600.000
penerima manfaat. hingga Rp 2.200.000 per tahun untuk
Catatan: Komponen kesejahteraan sosial Target cakupan untuk 2018 adalah 10 juta rumah setiap keluarga
ditambahkan pada tahun 2016 (PKH Plus) untuk tangga penerima manfaat. · Pengeluaran publik (2010) Rp 1.123 miliar
dua kelompok prioritas tambahan: lansia dan (US$ 143 juta)
penyandang disabilitas. · Biaya administrasi per penerima (2010) Rp
(Peraturan Menteri Sosial Nomor 1 tahun 2018 237.777 (US$ 24) per tahun
tanggal 8 Januari 2018 tentang Program Keluarga (PKH Conditional Cash Transfer Social
Harapan) Assistance Programme and Public Expenditure
Persyaratan/ketentuan: Review 6 (World Bank) 2012.
· Kehadiran di fasilitas kesehatan (untuk anak di
bawah enam tahun atau wanita hamil)
· Kehadiran di fasilitas pendidikan (untuk anak
usia sekolah
· Kehadiran di fasilitas kesejahteraan sosial
(untuk lansia dan penyandang disabilitas)

Program Deskripsi Sasaran dan Cakupan Biaya dan Dampak


Bantuan Tunai Persyaratan khusus adalah sebagai berikut: Cakupan: Biaya:
Bersyarat 1. Kesehatan Program pilot dilaksanakan di 7 provinsi Total anggaran PKH telah meningkat hampir
Program • Empat kunjungan antenatal care (ANC) (Sumatera Barat, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa sama dengan peningkatan cakupan rumah
Keluarga sebelum melahirkan untuk wanita hamil Timur, Sulawesi Utara, Gorontalo dan Nusa tangga: dari di bawah Rp 1 triliun pada tahun
Harapan (PKH) • Proses persalinan ditolong oleh tenaga Tenggara Timur) pada tahun 2007 dan program 2007 menjadi lebih dari Rp 8 triliun pada tahun
(LANJUTAN) kesehatan terlatih di fasilitas kesehatan; ini menjadi program nasional pada tahun 2013 2016.
• Dua kunjungan post-neonatal care (PNC); • Diawali dengan 432.000 rumah tangga “sangat Dampak:
• Imunisasi anak lengkap; miskin” tercakup di 7 provinsi; PKH dievaluasi setelah 6 tahun (World Bank,
• Penimbangan bulanan untuk anak di bawah • Cakupan pada tahun 2013 adalah 2,3 juta 2017) dan menemukan:
lima tahun, penimbangan dua kali setahun rumah tangga; • peningkatan 4,8% konsumsi per kapita
untuk anak usia 6-7 tahun di fasilitas • Pada tahun 2017, target PKH sebesar 6 juta terutama karena peningkatan belanja
kesehatan; dilampaui dengan 6,23 juta keluarga penerima pendidikan;
• Vitamin A dua kali setahun untuk balita. manfaat. • 7,1% peningkatan kunjungan ANC;
2. Pendidikan • peningkatan imunisasi lengkap
• Mengikuti pendidikan untuk anak usia 6-21 • kenaikan 9,5% dalam partisipasi sekolah
tahun yang belum menyelesaikan 12 tahun menengah pertama;
pendidikan; • 3% penurunan stunting.
• Tingkat kehadiran minimum 85%. PKH dianggap sebagai program yang paling
4. Kesejahteraan Sosial efektif untuk mengurangi kemiskinan dan rasio
• Pemeriksaan kesehatan setidaknya sekali Gini
setahun oleh petugas kesehatan;
• Partisipasi dalam layanan kesejahteraan
sosial (penitipan lansia dan perawatan
di rumah) untuk lansia dan penyandang Cakupan PKH di 2017
disabilitas.
Keluarga penerima manfaat (KPM) menerima
transfer tunai setiap triwulan tergantung pada
kriteria mereka.
No Komponen Bantuan Jumlah Bantuan
per KPM per
tahun
1 KPM Reguler Rp 1.890.000
2 KPM dengan Lansia Rp 2.000.000
3 KPM dengan Rp 2.000.000
(Presentasi: Pengetahuan dan Kebijakan
penyandang disabilitas
Pelaksanaan PKH 2018)
4 KPM di Papua dan Rp 2.000.000
Papua Barat
(Presentasi Kemendagri tentang PKH dari website
Kemendagri, diakses pada bulan Juli 2018)
Lampiran • 99
Program Deskripsi Sasaran dan Cakupan Biaya dan Dampak
Bantuan Tunai Rumah tangga penerima berhak untuk: Metode pembayaran telah mengalami modifikasi:
Bersyarat • Bantuan sosial; 2007-2016:
Program • Fasilitasi; • Pembayaran tunai;
Keluarga • Layanan di fasilitas kesehatan, pendidikan, • Menggunakan layanan dari PT Pos Indonesia
Harapan (PKH) dan/atau kesejahteraan sosial; (layanan pos milik negara);
(LANJUTAN) • Program bantuan komplementer di bidang • Biaya distribusi bisa mencapai rata-rata Rp 120
Lampiran 5

kesehatan, pendidikan, subsidi energi, juta per tahun


ekonomi, perumahan, dan kebutuhan dasar 2016 -2018:
lainnya. • Pembayaran tanpa uang tunai (menggunakan
Bantuan Tunai Bersyarat bertujuan untuk Kartu Keluarga Sejahtera);

100 • Pembangunan Gizi di Indonesia


mengatasi kemiskinan dalam dua tahap: • Menggunakan layanan perbankan dari bank-
• Jangka pendek: melindungi kesejahteraan bank milik negara;
orang miskin melalui dukungan konsumsi; • Efisiensi: biaya distribusi 0;
• Jangka panjang: investasi dalam hal kualitas • Hampir 10 juta orang miskin memiliki rekening
manusia dari keluarga miskin melalui bank (dengan ATM);
peningkatan perilaku yang mendukung
peningkatan kesehatan dan pendidikan
(Satriawan, 2018).

PKH (Bantuan Tunai Bersyarat) Plus:


Beberapa peningkatan/inisiatif baru telah ditambahkan untuk memperkuat implementasi PKH:
1. Sesi Pengembangan Keluarga (Family Development Sessions/FDS) diprakarsai oleh Bappenas, Kementerian Sosial, dan Departemen Kesehatan
di Brebes (Jawa Tengah) dan Sikka (Nusa Tenggara Timur). FDS berlaku untuk semua rumah tangga penerima manfaat dan merupakan proses
pembelajaran terstruktur untuk memperkuat perubahan perilaku. FDS bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan, pemahaman tentang pentingnya
pendidikan, kesehatan dan manajemen keuangan bagi keluarga. Inisiatif ini difasilitasi oleh kader dan fasilitator lapangan dengan pelatihan dan
termasuk modul tentang kesehatan dan gizi, pendidikan, ekonomi, perlindungan anak, dan kesejahteraan sosial.
2. Program pelengkap untuk penerima manfaat oleh kementerian lain yaitu:
• Program Indonesia Pintar oleh Kemendikbud (target: 17,5 juta orang),
• Program Indonesia Sehat oleh Kemenkes (target 92,4 juta orang),
• BPNT oleh Kemensos (target 1,4-10 juta keluarga),
• Rastra oleh Kemensos (14,3 juta keluarga),
• Subsidi LPG oleh Kemen-ESDM (target: 26 juta keluarga dan 2,3 juta UKM),
• Subsidi listrik oleh PLN (Perusahaan Listrik Negara) (target: 19,1 juta keluarga/450 Volt Ampere dan 4,1 keluarga / 900 Volt Ampere),
• ASLUT / Program untuk membantu lansia terlantar oleh Kemensos (target: 150.000 orang),
• ASPDB / Program untuk membantu penyandang disabilitas berat oleh Kemensos (target: 50.000 orang),
• Kelompok Usaha Bersama (KUBE) dan Rehabilitasi Sosial Rumah Tidak Layak Huni (RS-RTLH) oleh Kemensos, dan,
• Subsidi pupuk oleh Kementan.

Program Deskripsi Sasaran dan Cakupan Biaya dan Dampak


Bantuan Rastra adalah alat pengentasan kemiskinan Kelompok sasaran: Biaya:
Pangan yang menyediakan bantuan makanan. 25% penduduk termiskin. Pada tahun 2016, total alokasi anggaran untuk
Rastra (Beras Tujuan: Rastra meningkat tiga kali lipat, menjadi Rp
Sejahtera) atau (i) untuk mengurangi beban pengeluaran Dari Subsidi ke Bantuan Sosial (BANSOS): 22,1 triliun (Timmer, Hastuti, & Sumarto,
Beras untuk keluarga penerima manfaat dengan 2017)
Masyarakat menyediakan beras dengan harga subsidi. Dampak:
Miskin/Voucher Rastra menyediakan 15,5 kg beras / keluarga Tinjauan sistem Rastra pada tahun 2017,
Makanan penerima / bulan dengan harga subsidi. menemukan bahwa sementara Rastra
dan BNPT juga merupakan instrumen pengentasan memiliki potensi yang kuat, namun telah
BPNT atau kemiskinan yang berkembang dari Rastra pada gagal secara operasional untuk mencapai
Bantuan tahun 2017. tujuan bantuan sosial yang mendasar.
Pangan Non- Tujuan: Penyediaan paket bahan pangan pokok secara
Tunai (i) untuk mengurangi beban pengeluaran konsisten dapat melindungi rumah tangga
keluarga penerima manfaat melalui miskin dari gejolak harga pangan, kelangkaan
Lembaga pemenuhan beberapa kebutuhan pangan; Pada tahun 2017, BNPT hanya dilaksanakan kalori, dan kekurangan gizi. Namun, Rastra
pelaksana: (ii) untuk menyediakan makanan yang lebih di 44 kota terpilih dengan akses dan fasilitas menderita dilusi manfaat dan kesalahan
Kementerian seimbang; yang memadai, sementara sisanya masih cakupan, hilangnya beras, dan beban
Koordinator (iii) untuk meningkatkan akurasi penargetan dan menggunakan sistem Rastra. pembiayaan tersembunyi, yang semuanya
Pembangunan akses ke program; mengurangi nilai transfer yang diberikan
Manusia dan (iv) untuk menyediakan lebih banyak pilihan kepada rumah tangga sasaran. Meskipun
Kebudayaan dan kontrol oleh keluarga penerima manfaat relevansi kebijakan Rastra masih baik:
  dalam memenuhi kebutuhan pangan kesejahteraan rumah tangga yang miskin
mereka, dan mendorong pencapaian Tujuan dipengaruhi secara negatif oleh kelangkaan
Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). pangan dan gejolak harga pangan, jelas
BNPT menyediakan ‘uang elektronik’ setiap bahwa baik haasil rancangan maupun
bulan yang hanya dapat digunakan untuk pelaksanaan Rastra telah gagal mencapai
membeli makanan dari pedagang makanan tujuannya.
atau E-warong. Inisiatif BPNT yang sedang berlangsung,
• Jumlah bantuan adalah Rp 10.000 / keluarga di sisi lain memegang potensi besar dalam
penerima / bulan; mengatasi kelemahan Rastra (World Bank,
• Jenis barang yang dapat ditukar adalah 2017).
beras dan / atau telur.
Lampiran • 101
Program Deskripsi Sasaran dan Cakupan Biaya dan Dampak
Bantuan Pangan Cakupan:
Rastra (Beras Pada tahun 2016, Rastra mencakup 15,5
Sejahtera) atau juta rumah tangga.
Beras untuk
Masyarakat Miskin/ Pada 2017, BNPT menjangkau 1,3
juta keluarga penerima manfaat di 44
Lampiran 5

Voucher Makanan
kabupaten. Target untuk 2018 adalah
dan mencapai (secara akumulatif 2017 + 2018)
10 juta keluarga penerima manfaat di 220
BPNT atau Bantuan kabupaten.
Pangan Non-Tunai

102 • Pembangunan Gizi di Indonesia


(LANJUTAN)

Rencana Perluasan BPNT secara bertahap


di 2018:

Program Deskripsi Sasaran dan Cakupan Biaya dan Dampak


Asuransi Kesehatan JKN adalah program asuransi Kelompok sasaran: Biaya:
Nasional kesehatan sosial universal yang Skema ini didanai melalui kontribusi
diperkenalkan pada tahun 2014. Seluruh penduduk Indonesia. yang diberikan oleh pekerja yang
Jaminan Kesehatan dipekerjakan pada skala geser.
Nasional (JKN) Tujuan: Cakupan:
Cakupan populasi akan meluas secara Anggaran pemerintah daerah juga
(i) untuk memberikan akses ke progresif dalam beberapa fase sampai digunakan untuk mendanai skema
pelayanan kesehatan bagi semua cakupan kesehatan universal tercapai jaminan kesehatan daerah (Jaminan
Lembaga pelaksana: warga Indonesia pada Januari pada akhir 2019. Kesehatan Daerah/Jamkesda) yang
2019. (Jalan Menuju Jaminan Kesehatan telah dibentuk di banyak provinsi
BPJS Kesehatan
Nasional (JKN) -TNP2K) dan kabupaten untuk melengkapi
Sumbangan JKN berasal dari
skema Jamkesmas, sebelum
anggota dan pemerintah di bawah Pada Desember 2014, ada sekitar 138 juta
pembentukan sistem nasional
satu lembaga pelaksana asuransi anggota terdaftar dengan skema JKN,
(JKN). Skema Jamkesda pemerintah
kesehatan. Tujuannya adalah atau sekitar 55% dari total penduduk.
daerah biasanya mencakup layanan
memastikan akses bagi seluruh Dimana:
kesehatan (sebagian besar perawatan
warga kepada paket manfaat
• Hampir 70% adalah anggota kuratif yang disediakan oleh fasilitas
yang komprehensif dengan biaya
bersubsidi, dengan kontribusi yang kesehatan primer dan rumah
pengguna yang minimal atau
dibayarkan oleh pemerintah pusat sakit umum tingkat provinsi atau
pembayaran bersama.
atau pemerintah daerah; kabupaten) untuk orang-orang yang
. belum ditanggung oleh Jamkesmas
• Sisanya adalah anggota yang (Bappenas, 2014). Menurut sebuah
berkontribusi. studi tahun 2014, ada lebih dari
460 skema Jamkesda yang masih
beroperasi, mencakup sekitar 63 to 70
juta penerima manfaat (Thrabrany et
al., 2014).
Dampak:
Fokus peningkatan pengeluaran
untuk kesehatan melalui JKN adalah
pada layanan kesehatan kuratif
dan infrastruktur kesehatan yang
mendukung perawatan medis. Dengan
demikian, alokasi untuk kesehatan
masyarakat dan pencegahan relatif
rendah, dan alokasi untuk layanan
kuratif cukup tinggi (WHO, 2017).
Hanya 53,1% ibu, 38% anak dan 59,4%
penduduk yang memiliki JKN (BPS,
2015) (BPS, 2016) (BPS, 2017).
Lampiran • 103
Program Deskripsi Sasaran dan Cakupan Biaya dan Dampak
Penciptaan Lapangan Program Padat Karya adalah alat Kelompok sasaran: Biaya:
Kerja dan Pemberdayaan pengentasan kemiskinan untuk
Masyarakat meningkatkan pendapatan dan Masyarakat marginal/miskin di 1.000 Program ini akan didanai dengan
menurunkan angka stunting. desa terpilih di 100 kabupaten/kota. Dana Desa.
Program Padat Karya
Tujuan: Desa sasaran: Dampak:
Lampiran 5

(i) untuk menciptakan lapangan • Desa dengan tingkat stunting tinggi; Program ini baru dimulai pada 2018,
Lembaga penyelenggara: kerja; jadi belum ada data tentang dampak
• Desa dengan jumlah pengangguran yang tersedia.
Kementerian Desa (ii) untuk mendorong kebersamaan, tinggi;
gotong royong dan partisipasi

104 • Pembangunan Gizi di Indonesia


Kementerian Kesehatan • Area kantong kemiskinan;
masyarakat desa;
Kementerian Pekerjaan • Desa tertinggal dan desa berkembang;
(iii) untuk meningkatkan kualitas
Umum dan Perumahan
dan kuantitas pemberdayaan • Prioritas ke desa-desa dengan jumlah
Kementerian Pertanian masyarakat desa pekerja migran yang tinggi.
Kementerian Kelautan dan (iv) untuk meningkatkan akses Kelompok sasaran:
Perikanan kaum miskin, perempuan, anak-
anak dan kelompok marjinal • Menganggur, setengah menganggur
Kementerian Perhubungan ke Layanan Dasar Berbasis dan miskin;
Pemberdayaan;
Kementerian Pariwisata • Pencari nafkah uatama di keluarga;
(v) untuk mengurangi pengangguran,
Kementerian setengah pengangguran dan • Pria, wanita dan pemuda usia produktif
Ketenagakerjaan kemiskinan; (bukan anak-anak);
Badan Nasional Pengelola (vi) untuk menghasilkan kegiatan • Kelompok petani / petani yang
Perbatasan sosial dan ekonomi di desa-desa. mengalami kelaparan dan menunggu
masa tanam/panen;
Program ini akan merangsang
kegiatan produktif dengan • Pekerja yang kehilangan pekerjaan.
menggunakan sumber daya alam, Cakupan:
tenaga kerja lokal dan teknologi.
Pada Januari 2018, program ini
dilaksanakan di 100 desa di 10 kabupaten
/ kota.

PERTANIAN
Program Deskripsi Sasaran dan Cakupan Biaya dan Dampak
Kebun Rumah KRPL adalah upaya untuk meningkatkan Target groups: Biaya:
produksi buah dan sayuran untuk rumah
Kawasan Rumah Pan- tangga miskin. · Tahap Penumbuhan (2019): Biaya untuk 2017 adalah Rp 29,9 juta
gan Lestari (KRPL) (Badan Ketahanan Pangan, 2017)
Tujuan: 2.300 Kelompok atau Desa
Dampak:
(i) optimalisasi pemanfaatan pekaran- · Tahap Pengembangan (Kegiatan
Lembaga penyeleng- gan sebagai sumber pangan dan gizi lanjutan 2018): Hasil evaluasi (Kementerian Pertanian,
gara: keluarga serta pendapatan secara 2018)
2.300 Kelompok atau Desa
berkelanjutan.
Kementerian Pertanian • Peningkatan pendapatan keluar-
Selain kelompok sasaran baru di ga dan masyarakat menyebabkan
KRPL adalah intensifikasi berkebun di
2019: ada 442 kabupaten/kota di 34 pengurangan pengeluaran pangan
rumah yang mengoptimalkan penggu-
provinsi dengan prioritas sebagai sebesar Rp 750.000 hingga Rp
naan sumber daya lokal untuk menjamin
daerah rawan pangan dan kabupat- 1.500.000 / bulan
keberlangsungan penyediaan makanan
en prioritas untuk program stunting
rumah tangga yang berkualitas tinggi dan
(Badan Ketahanan Pangan, 2018). • Mendukung diversifikasi pan-
beragam bagi masyarakat.
gan berbasis sumber daya lokal
untuk meningkatkan Konsumsi
B2SA* (Meningkatkan diversifikasi
Penerima manfaat:
Kegiatan meliputi: makanan) (Skor Pola Pangan Hara-
Kelompok wanita/kelompok mas- pan dari 85.2 di tahun 2015 menjadi
• Petak demonstrasi (Demplot), Kebun 90.4 di tahun 2017)
yarakat lainnya dengan anggota
Bibit Desa;
minimal 30 rumah tangga per KRPL
• Konservasi sumber daya genetik
• Pengembangan lahan pekarangan; lokal  300 komoditas
(Hendriadi, 2018)
• Pengembangan kebun sekolah;
• Pengolahan hasil pekarangan (Menu
Cakupan:
B2SA)
· 2014 4.303; 2015 2.599; 2016 4.877
(Badan Ketahanan Pangan, 2017)
B2SA * adalah singkatan untuk Makanan
Beragam, Bergizi, Seimbang dan Aman.
Lampiran • 105
PENDIDIKAN
Program Deskripsi Sasaran dan Cakupan Biaya dan Dampak
Pendidikan Anak PAUD menggunakan pendekatan Kelompok sasaran: Biaya:
USia Dini komprehensif untuk pengembangan anak
usia dini. Anak sejak lagir sampai usia 6 tahun.
Biaya di tahun 2017 adalah Rp 1.7 triliun.
Program PAUD
atau Pendidiakn Tujuan: Cakupan: Dampak:
Anak Usia Dini • Pada tahun 2011, 66% institusi PAUD
Lampiran 5

(i) untuk memberikan rangsangan melaksanakan program gizi dan · Indonesia cenderung
pendidikan untuk membantu kesehatan. memperlihatkan hasil kurang baik
pertumbuhan dan perkembangan fisik • Tingkat partisipasi PAUD telah dibandingkan negara lain dalam tiga
Lembaga dan spiritual agar anak memiliki kesiapan meningkat dari 50% pada tahun 2010, bidang: cakupan program dari 25
penyelenggara: dalam memasuki pendidikan lebih lanjut. 67% pada tahun 2013 menjadi 72% intervensi PAUD; kesetaraan dengan

106 • Pembangunan Gizi di Indonesia


pada tahun 2018. perbedaan besar antarprovinsi; dan
Kementerian Program PAUD dilaksanakan melalui • Ada perbedaan besar antarprovinsi. kepatuhan pada standar.
Pendidikan berbagai layanan Pendidikan Anak Usia Tujuh provinsi (Papua, Papua
Dini (PAUD) termasuk Taman Kanak-kanak Barat, NTT, Maluku, Maluku Utara, · Ada peningkatan cakupan antara
(TK), Raudatul Athfal (RA), Bustanul Athfal Kalimantan Timur dan Barat) memiliki 2002 dan 2012 namun tetap dengan
(BA), Kelompok Bermain (KB), Taman tingkat partisipasi kurang dari 50%. disparitas yang besar antar provinsi,
Penitipan anak (TPA), dan pusat pengasuhan • Sebagian besar (31,9% atau 6,85 juta serta perbedaan dalam peningkatan
terintegrasi di mana layanan kesehatan dan anak) masih tidak memiliki akses tergantung pada intervensinya
pengasuhan diberikan secara terpadu. ke pendidikan usia dini. Ini karena (Denboba, Hasan, & Wodon, 2015).
sekitar 31% desa atau sekitar 23.000
Standar nasional untuk PAUD memasukkan
desa tidak memiliki lembaga PAUD.
elemen terkait gizi berikut ini:
• Ada sekitar 190.000 PAUD dan
1. Kegiatan dan materi PAUD: 600.000 guru yang mengajar 6
• DDTK (Deteksi Dini Tumbuh Kembang) juta anak usia dini. (Memorandum
dilakukan di awal tahun ajaran baru; Direktur PAUD, Kemendikbud, 2018)
• Materi STTPA (Standar Tingkat
Pencapaian Perkembangan Anak);
• Permainan dan alat permainan edukatif
gizi;
• Perencanaan, pembiasaan-bermain,
penilaian (Data dari Early Childhood Education
• Kelas memasak, berkebun; and Development in Indonesia-WB
• Kegiatan makan bersama. 2012)
2. Diklat gizi dan kesehatan bagi pendidik
PAUD (Diklat dasar PAUD saat ini 6 jam
pelajaran)
3. Parenting gizi dan kesehatan bagi
keluarga.
(Presentasi – Prof Netty)
(Pasal 1, ayat 14, UU No.20 / 2003)

Program Deskripsi Sasaran dan Cakupan Biaya dan Dampak


Pemberian Program makanan sekolah yang Kelompok sasaran: Biaya:
Makanan menggunakan makanan lokal diinisiasi sejak
Tambahan di 2012-2015 dengan tujuan secara umum Anak sekolah dasar, perempuan dan Informasi tidak tersedia.
Sekolah) menggunakan makanan sekolah sebagai petani lokal.
Dampak:
titik masuk untuk memberikan paket terpadu
Program Cakupan:
untuk meningkatkan gizi, keamanan pangan, Sebuah evaluasi menemukan bahwa
Pemberian dan pendidikan. Lebih dari 30.000 anak sekolah di program ini merupakan titik masuk
Makanan
NTT dan provinsi Papua dijangkau yang efektif untuk meningkatkan
Tambahan di Tujuan:
dengan makanan sekolah dan dengan kesehatan dan pendidikan anak sekolah:
Sekolah Berbahan
Pendidikan kesehatan, kebersihan, gizi
Dasar Lokal (Local (i) untuk meningkatkan kehadiran di sekolah • meningkatkan fasilitas cuci tangan di
dan kemampuan belajar anak-anak; dari 2012 hingga 2015.
Food-Based School 113 sekolah program.
Meals/LFBSM) (Evaluation Report of the 2012 –
(ii) untuk meningkatkan pengetahuan dan
2015 Local Food-Based School Meal • tingkat kehadiran lebih tinggi dan
perilaku anak terhadap gizi yang baik dan
Program (LFBSM)) tingkat putus sekolah lebih rendah;
perilaku dasar kebersihan diri;
Lembaga • anak sekolah melaporkan bahwa
pelaksana: (iii) untuk meningkatkan akses ke diet lokal
makanan sekolah (i) memberi
yang seimbang, bergizi, dan beragam;
mereka lebih banyak energi untuk
Kementerian
(iv) untuk mendorong partisipasi masyarakat berpartisipasi dalam kegiatan
Kesehatan
dalam menyiapkan makanan lokal; sekolah; (ii) memungkinkan mereka
untuk memahami pelajaran lebih
(v) untuk meningkatkan pendapatan baik dibandingkan dengan ketika
masyarakat lokal melalui peningkatan mereka lapar, (iii) mengurangi
produksi pertanian. rasa sakit jangka pendek karena
kelaparan, dan (iv) meningkatkan
Program ini mencakup pelatihan anak-anak kemampuan mereka untuk
sekolah, anggota komunitas sekolah, dan berkonsentrasi selama sekolah.
pemangku kepentingan setempat untuk
mengadopsi praktik pencarian pelayanan • peningkatan kegiatan kesehatan:
kesehatan yang lebih baik di sekolah dan menggosok gigi dua kali sehari,
di rumah. Pelatihan juga dilakukan dengan kuku yang lebih pendek dan bersih,
anggota kelompok memasak lokal yang mencuci tangan dengan sabun
menyiapkan makanan yang aman, bergizi, sebelum makan;
dan berkelanjutan.
• meningkatkan pola makan: makan
Program ini ditingkatkan dengan kegiatan sarapan pada waktu tertentu selama
tambahan seperti distribusi rutin obat minggu sekolah, konsumsi buah,
cacing, peningkatan pemeliharaan fasilitas daging dan telur yang lebih tinggi,
dan infrastruktur sekolah, bantuan kepada skor keragaman pangan ‘tinggi’;
petani lokal untuk menghasilkan makanan
yang berkelanjutan untuk makanan sekolah. • peningkatan status gizi dan
Secara khusus, program LFBSM digunakan kesehatan: prevalensi anemia,
sebagai titik masuk. demam dan diare yang lebih rendah,
persentase anak sekolah yang lebih
Lampiran • 107

(Evaluation Report of the 2012 – 2015 Local tinggi yang menerima obat cacing.
Food-Based School Meal Program (LFBSM))
Program Deskripsi Sasaran dan Cakupan Biaya dan Dampak
Program makanan di sekolah diperluas Kelompok sasaran: Biaya:
mulai tahun 2016.
Pemberian Makanan Anak usia sekolah dasar, perempuan Informasi tidak tersedia.
Tambahan di Seko- Tujuan: dan petani lokal.
lah) Dampak:
(i) untuk mendorong rantai pasokan Cakupan:
Program Gizi Anak makanan sekolah yang berkelanjutan Survei dasar dan akhir terhadap para
Lampiran 5

Sekolah (Pro-GAS) dan, mempromosikan diet bergizi dan Pada tahun 2017, Pro-GAS telah siswa program pemberian makanan tam-
seimbang dengan fokus khusus pada meningkat di lima provinsi dengan bahan di sekolah di Indonesia menemukan
(National School siswa usia sekolah dasar, perempuan mencapai 100.000 siswa dan 563 bahwa ada:
Meals dan pemuda sekolah dasar di 11 kabupaten prior-
itas stunting, dibandingkan dengan • peningkatan signifikan dalam jumlah

108 • Pembangunan Gizi di Indonesia


Programme) Tiga komponen utama Pro-GAS adalah 38.500 siswa dan 150 sekolah dasar siswa yang mengonsumsi sarapan di
pendidikan gizi, penyediaan makanan di empat kabupaten pada tahun 2016 rumah;
bergizi dan partisipasi masyarakat. Pen- ketika Pro-GAS dimulai. • proporsi anak yang mengonsumsi
makanan seimbang tiga kali setiap hari
Lembaga pelaksana: didikan makanan bergizi, gizi, kesehatan lebih tinggi;
dan higiene dimaksudkan untuk mengatasi (2017 Endline Survey of Indonesia’s
Kementerian Pen- status gizi kurang pada anak usia sekolah School Meals Programme (Pro-GAS), • proporsi anak yang membeli makanan
didikan dan Kebu- dasar meningkatkan perilaku kesehatan dan Maret 2018) diluar dari pedagang jalanan dan/atau
dayaan kebersihan, tingkat kehadiran, serta partisi- sekolah setiap hari lebih rendah;
pasi aktif siswa di kelas. • lebih banyak siswa mengkonsumsi
buah dan sayuran;
Model Pro-GAS lebih lanjut telah
(2017 Endline Survey of Indonesia’s School • lebih banyak anak memiliki akses ke
direplikasi di tiga kabupaten - Serang,
Meals Programme (Pro-GAS), Maret 2018) sumber air bersih, jamban di rumah,
Pasuruan dan Belu – diluar dari 11
dan minum lebih banyak air setiap
kabupaten prioritas.
hari;
(2017 Endline Survey of Indonesia’s • prestasu akademik siswa meningkat
School Meals Programme (Pro-GAS), sedikit;
Maret 2018). • lebih sedikit siswa yang dilaporkan
merasa sakit;
• tingkat kehadiran meningkat;
• siswa dapat berkonsentrasi lebih baik
di kelas;
Tidak ada perubahan dalam hal status gizi
namun disimpulkan bahwa itu terlalu dini
untuk mendeteksi adanya perubahan.
(2017 Endline Survey of Indonesia’s
School Meals Programme (Pro-GAS), Ma-
ret 2018)

AIR, SANITASI DAN HIGIENE


Program Deskripsi Sasaran dan Cakupan Biaya dan Dampak
Air, Sanitasi dan PAMSIMAS secara eksplisit berfokus pada Kelompok sasaran: Biaya:
Kebersihan perubahan perilaku tingkat masyarakat
yang terkait dengan penerapan praktik- Masyarakat miskin dan kurang terlayani Biaya unit rata-rata per penerima
Program praktik kebersihan yang baik. di daerah pedesaan dan pinggiran kota. manfaat = US$ 30,4
PAMSIMAS atau
Penyediaan Tujuan: Cakupan: Dampak:
Air Minum dan
(i) Memberdayakan masyarakat Studi dampak 2013 menunjukkan
Sanitasi Berbasis • PAMSIMAS I selesai pada tahun
dan lembaga tingkat lokal untuk bahwa PAMSIMAS meningkatkan
Masyarakat untuk 2012. Dilaksanakan di 15 provinsi
menghilangkan sanitasi yang buruk akses rumah tangga lokal ke pasokan
masyarakat miskin dan 110 kabupaten, menjangkau
dan mengadopsi praktik kebersihan air masyarakat sebesar 12,1%, jauh
yang baik melalui langkah-langkah total populasi sekitar 4,4 juta. Biaya lebih tinggi secara signifikan daripada
yang mereka anggap sesuai dengan mencakup perangkat keras, hibah program lain, yang menunjukkan
Lembaga pelaksana: kebutuhan mereka; atau pinjaman diluar 20% kontribusi peningkatan 7,2%. (PAMSIMAS:
pemerintah daerah dan 10% Responding to the Water and Sanitation
Kementerian (ii) Memfasilitasi penerapan praktik Challenges in Rural Indonesia, WB
Pekerjaan Umum kontribusi masyarakat.
kebersihan yang baik pada tingkat 2013).
dan Perumahan individu, keluarga dan masyarakat,
Rakyat dengan perhatian khusus pada • PAMSIMAS II dilaksanakan mulai
penerapan praktik-praktik ini di sekolah; dari 2013 hingga 2017 dan bertujuan
untuk memperluas intervensi air dan
(iii) Memfasilitasi promosi praktik sanitasi ke 5.000 desa tambahan di
kebersihan yang baik melalui lembaga- 219 kabupaten sasaran.
lembaga masyarakat, termasuk sekolah,
tempat ibadah keagamaan, forum di
tingkat desa, dan outlet media local. • PAMSIMAS III akan mencakup total
tambahan 15.000 desa baru di sekitar
412 kabupaten di 34 provinsi.

(PAMSIMAS Implementation Status &


Results Report 2016, WB)
Lampiran • 109
Program Deskripsi Sasaran dan Cakupan Biaya dan Dampak
Kelima komponen utama PAMSIMAS (Additional Financing II to the Third Water
adalah: Supply and Sanitation for Low Income
Communities (PAMSIMAS) Project, WB)
1. Pemberdayaan Masyarakat dan
Pengembangan Kelembagaan Lokal:
Untuk memastikan bahwa proporsi
Lampiran 5

yang lebih besar dari rumah tangga


Indonesia menggunakan dan
memperoleh manfaat dari layanan air
minum dan sanitasi yang lebih baik.

110 • Pembangunan Gizi di Indonesia


2. Meningkatkan Perilaku Kebersihan dan
Sanitasi: Untuk mendorong masyarakat
sasaran untuk mengadopsi praktik
kebersihan yang lebih baik.
3. Infrastruktur Pasokan air dan
Sanitasi Publik: Untuk mendorong
masyarakat sasaran untuk mengelola
dan mempertahankan layanan yang
ditingkatkan ini.
4. Insentif Kabupaten dan Desa: Untuk
mendorong pemerintah daerah untuk
meningkatkan proyek air lainnya
dengan menggunakan metodologi
PAMSIMAS.
5. Dukungan Implementasi dan
Manajemen Proyek: Untuk mendorong
unit manajemen program di tingkat
kabupaten dan pusat untuk berhasil
mengelola dan mendukung program ini
dan program serupa lainnya.
(PAMSIMAS: Responding to the Water and
Sanitation Challenges in Rural Indonesia,
WB 2013)

Lampiran • 111
112 • Pembangunan Gizi di Indonesia
Direktorat Kesehatan dan Gizi Masyarakat
Kedeputian Pembangunan Manusia, Masyarakat dan Kebudayaan
Kementerian PPN/Bappenas
Jalan Taman Suropati No. 2, Jakarta Pusat, 10310
Telp: (021) 31934379, Fax: (021) 3926603
Email: kgm@bappenas.go.id
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember
MKMI
MEDIA KESEHATAN MASYARAKAT INDONESIA
The Indonesia Journal of Public Health

Volume 16, Nomor 1, Maret 2020 ISSN 0216-2482

Media Kesehatan Masyarakat Indonesia adalah publikasi ilmiah yang menerima setiap tulisan ilmiah
dibidang kesehatan, baik laporan penelitian (original articel research paper),
makalah ilmiah (review paper) maupun laporan kasus (case report) dalam
bahasa Indonesia atau Inggris.

Penanggung Jawab
Dr. Aminuddin Syam, SKM, M.Kes., M.Med.Ed (Dekan FKM UNHAS)

Pemimpin Redaksi
Dr. Ida Leida M. Thaha, SKM, M.KM, MSc.PH

Wakil Pemimpin Redaksi


Indra Dwinata, SKM, MPH

Redaksi Pelaksana
Dr. Andi Ummu Salmah, SKM, MSc
Jumriani Ansar, SKM, M.Kes
Indra Fajar Wati, SKM. MA
Muh. Yusran Amir, S.KM., MPH
Dr. dr. Masyitha Muis, MS
Syamsuar Manyullei, SKM, M.Kes, MSc.PH
Nur Arifah, S.KM., MA
Andi Imam Arundhana, S.Gz., MPH

Sekretariat
Andi Selvi Yusnitasari, SKM, M.Kes

Sirkulasi
Syamsiah, S.E
Drs. Syamsu Alam

Administrasi
Lolah Auliya Muthmainnah, SKM
Ummul Qura, SKM

Jurnal ini diterbitkan oleh Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin 4 kali setahun (Maret, Juni,
September, Desember). Surat menyurat menyangkut naskah, langganan dan sebagainya dapat dialamatkan ke :
Sekretariat
Redaksi Jurnal Media Kesehatan Masyarakat Indonesia
Ruang Jurnal FKM Lt.1 Ruang K108 Kampus Unhas Tamalanrea 90245
Telp (0411) 586 658, Fax (0411) 586013, E-mail : jurnal.mkmi@gmail.com
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember
MKMI
MEDIA KESEHATAN MASYARAKAT INDONESIA
The Indonesia Journal of Public Health

Volume 16, Nomor 1, Maret 2020 ISSN 0216-2482

DAFTAR ISI

Status Gizi dan Sosial Ekonomi sebagai Penyebab Anemia Ibu Hamil 1-14
Evi Martha, Herlena Hayati

Daun Sirsak (Annona Muricata L.) Efektif Menurunkan Kadar Gula Darah 15-25
Siti Fadlilah, Adi Sucipto, Nazwar Hamdani Rahil, Sumarni Sumarni

Efektivitas Suplementasi Vitamin A terhadap Kejadian Infeksi Saluran Pernapas- 26-37


an Akut pada Balita
Eni Folendra Rosa

Hubungan Mutu Pelayanan dengan Kepuasan Pasien di Instalasi Rawat Inap 38-47
Rumah Sakit Ibnu Sina YW-UMI
Fridawaty Rivai, Syalwinda Lestari, Khalid Shaleh

Status Pemberdayaan Perempuan dan Penggunaan Kontrasepsi: Metode Khusus 48-61


Perempuan Versus Metode Pasangan
Elfrida Zoraya, I. G. A. A Karishma Maharani Raijaya

Geospatial-Based Information Systems Model for Disaster Management of 62-75


Reproductive Health
Muhammad Sapoan Hadi, Sutanto Priyo Hastono, Kemal Nazarudin Siregar,
Dumilah Ayuningtyas

Kejadian Mild Cognitive Impairement pada Petani Tembakau Pengguna Pestisida 76-88
di Kabupaten Jember
Reny Indrayani, dkk

Puzzle Gizi sebagai Upaya Promosi terhadap Perilaku Gizi Seimbang pada Siswa 89-99
Ade Saputra Nasution, Andreanda Nasution

Prevalensi dan Faktor yang Berhubungan dengan Terjadinya Beban Gizi Ganda 100-115
pada Keluarga di Indonesia
Nur Fitri Widya Astuti, Emy Huriyati, Susetyowati Susetyowati

Karakterisasi DNA Mikrobiota Usus Bayi pada Persalinan Normal yang diberi 116-126
ASI dan Susu Formula
Mudyawati Kamaruddin, dkk

Akses Sanitasi, Merokok dan Annual Parasite Incidence Malaria sebagai Predik- 127-139
tor Stunting Baduta di Indonesia
Zenderi Wardani, Dadang Sukandar, Yayuk Farida Baliwati, Hadi Riyadi

Household Factors Associated with Underweight in Children 24-59 Month in 140-151


Urban and Rural in Indonesia
Andini Retno Yunitasari, Ratu Ayu Dewi Sartika, Asih Setiarini
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember
Media Kesehatan Masyarakat Indonesia
Volume 16 Issue 1 2020
DOI : http://dx.doi.org/10.30597/mkmi.v16i1.9064
Website : http://journal.unhas.ac.id/index.php/mkmi
© 2020 Media Kesehatan Masyarakat Indonesia. Published by FKM Universitas Hasanuddin.
This is an open access article under the CC BY-NC-SA license

Prevalensi dan Faktor yang Berhubungan dengan Terjadinya


Beban Gizi Ganda pada Keluarga di Indonesia

The Prevalence and Determinants of Household Dual Burden Malnutrition in


Indonesia

Nur Fitri Widya Astuti1*, Emy Huriyati2, Susetyowati2


1Program Studi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas

Jember
2Departemen Gizi Kesehatan, Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan

Keperawatan, Universitas Gadjah Mada


*Email korespondensi : widyaastuti.nf@unej.ac.id

ABSTRAK
Perkembangan urbanisasi dan ekonomi pada negara berkembang menyebabkan terjadinya
nutrition transition. Hal ini mengakibatkan munculnya fenomena beban gizi ganda pada keluarga dimana
terdapat anggota rumah tangga yang memiliki status gizi kurang dan lebih tinggal dalam satu keluarga.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi dan faktor-faktor yang berhubungan dengan
fenomena beban gizi ganda pada keluarga di Indonesia. Penelitian cross-sectional ini menggunakan data
Indonesian Family Life Survey (IFLS) tahun 2014 dengan jumlah sampel sebesar 6468 keluarga. Indikator
beban gizi ganda keluarga ditunjukkan dengan adanya status gizi lebih dan kurang tinggal dalam satu
keluarga yang diwakili oleh ibu dan anak. Analisis statistik dengan metode chi-square digunakan untuk
menguji variabel yang memiliki hubungan dengan terjadinya beban gizi ganda keluarga. Hasil
menunjukkan prevalensi beban gizi ganda keluarga di Indonesia adalah 8,27% dan persentase tertinggi
terdapat pada regional Kalimantan dan Indonesia Timur. Faktor-faktor yang berhubungan dengan
kejadian beban gizi ganda secara signififikan (p<0,05) pada keluarga di Indonesia adalah usia ibu (p =
0,001), pendidikan ibu (p = 0,022), jumlah anak (p = 0,001) dan jumlah anggota rumah tangga (p = 0,001).
Penelitian lanjutan dengan metode longitudinal diperlukan untuk mengetahui prediktor beban gizi ganda
pada keluarga di Indonesia sehingga dapat dirumuskan intervensi yang tepat untuk pencegahan masalah
tersebut.
Kata Kunci : Beban gizi ganda, keluarga, Indonesia

ABSTRACT
Urbanization and economic rapid developments in the developing countries cause a nutrition
transition. They affect the household dual burden of malnutrition in which there is overnutrition and
undernutrition occuring at the same time in a household. This study proposed to calculate the prevalence of
household dual burden malnutrition and find its determinants. This cross-sectional study use the Indonesian
Family Life Survey (IFLS) 2014 data with total of 6468 families were enrolled as the sample of the study. The
household dual burden malnutrition indicator is represented by mother and children’s nutritional status.
Descriptive analysis and chi-square test were used in this study. The study found that the prevalence of
household dual burden malnutrition in Indonesia is 8.27% in which the Borneo and Eastern Indoesia region
has the higest prevalence. Maternal age (p = 0.001), maternal education (p = 0.022), number of children (p =
0.001), and number of household members (p = 0.001) were having significant correlation (p<0.05) with the
household dual burden malnutrition in Indonesia. Further study by using longitudinal design is needed to find
the predictors of it so the government can formulate an effective and efficient intervenion to prevent adverse
effects of household dual burden malnutrition to the community.
Keywords : Dual burden malnutrition, households, Indonesia

100
Digital
Digital Repository
Repository
101 of 115 Nur
Universitas
Universitas
Fitri Widya Astuti, et
Jember
Jember
al | MKMI | 16(1) | 2020 | 100-115

PENDAHULUAN

Proses globalisasi, modernisasi, urbanisasi, dan ekonomi yang bergerak dengan cepat
menyebabkan terjadinya nutrition transtition dan terciptanya lingkungan obesogenik
(obesogenic environment). Hal ini berdampak pada meningkatnya angka obesitas, padahal
disisi lain masalah gizi kurang juga masih menjadi masalah kesehatan.1 Hal ini menimbulkan
sebuah fenomena baru yaitu beban gizi ganda (dual burden malnutrition) yang didefinisikan
sebagai suatu kondisi dimana terdapat masalah gizi kurang (undernutrition) dan gizi lebih
(overnutrition) yang terjadi di waktu yang sama. Fenomena ini tidak hanya terjadi pada
tingkat populasi dan individu, tetapi juga pada tingkat rumah tangga2,3
Secara global, kasus beban gizi ganda direpresentasikan dengan 1,9 milyar orang usia
dewasa memiliki status gizi lebih dan 200 juta balita mengalami status gizi kurang. 4
Sementara di Asia, prevalensi beban gizi ganda berada pada kisaran 5-29%.2 Prevalensi
beban gizi ganda di Indonesia menunjukkan peningkatan dalam rentang tahun 1993- 2007,
dimana saat ini sekitar satu dari empat keluarga di Indonesia (24,7%) mengalami beban
gizi ganda dan kondisi ini diprediksi akan terus meningkat.5,6 Hasil penelitian sebelumnya
menunjukkan bahwa fenomena ini lebih banyak terjadi pada pasangan ibu dan anak,
dimana anak memiliki status gizi kurang dan ibu memiliki status gizi lebih.7,8
Fenomena beban gizi ganda pada keluarga memiliki dampak kesehatan jangka
panjang bagi anggota keluarga yang mengalami malnutrisi, seperti gangguan
perkembangan pada anak, kerentanan terhadap penyakit menular, menurunnya
produktifitas kerja, outcome kehamilan yang buruk, dan risiko penyakit degeneratif.9,10
Selain itu, keluarga dengan masalah beban gizi ganda juga dapat mengalami peningkatan
beban ekonomi dalam bentuk peningkatan biaya kesehatan serta hilangnya upah dan
produktivitas, sehingga dapat mempengaruhi kondisi ketahanan pangan, gizi, dan
kesejahteraan keluarga.10,11
Masalah beban gizi ganda di dalam rumah tangga mungkin terjadi akibat perbedaan
usia antar anggota keluarga yang menyebabkan adanya perbedaan kondisi fisiologis dan
kebutuhan gizi. Hal ini menyebabkan adanya potensi perbedaan alokasi sumber daya di
dalam rumah tangga.12 Selain itu, ketimpangan pendapatan masyarakat pada tingkat
regional maupun negara juga memberikan kontribusi dalam berkembangnya masalah
ini.13,14
Beberapa penelitian terdahulu terkait beban gizi ganda menunjukkan bahwa faktor-
faktor yang berhubungan dengan terjadinya beban gizi ganda pada tingkat keluarga secara
signifikan merujuk pada faktor langsung dan tak langsung yang berkaitan dengan status
Digital
Digital Repository
Repository
102 of 115 Nur
Universitas
Universitas
Fitri Widya Astuti, et
Jember
Jember
al | MKMI | 16(1) | 2020 | 100-115

gizi, seperti faktor asupan makanan, ketahanan pangan, karakteristik ibu dan anak, tingkat
ekonomi keluarga, dan tingkat pendidikan.5,6,7,15 Selain faktor-faktor tersebut, faktor
lingkungan, fasilitas kesehatan, dan wilayah tempat tinggal juga memiliki peran yang
penting dalam pengentasan masalah malnutrisi.16,17,18
Adanya perbedaan demografis, karakteristik dan budaya masyarakat memungkinkan
adanya perbedaan faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian beban gizi ganda antar
negara. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana status gizi
pada tingkat keluarga, mengetahui prevalensi kasus beban gizi ganda pada keluarga dan
mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan terjadinya fenomena tersebut pada
tingkat keluarga di Indonesia. Pendekatan dan analisis tingkat keluarga digunakan untuk
menghasilkan sebuah kajian untuk mendukung peningkatan derajat kesehatan melalui
pendekatan keluarga, sesuai dengan tujuan dari pemerintah dalam mengatasi masalah
kesehatan di Indonesia.19

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan desain penelitian cross


sectional dengan menggunakan data sekunder Indonesian Family Life Survey (IFLS) putaran
ke-5 tahun 2014 yang di unduh dari laman RAND Corporation (http://www.rand.org). Data
ini terdiri dari 15.921 rumah tangga dan 89.382 individu, dimana jumlah tersebut
menggambarkan 83% dari jumlah populasi di Indonesia.20 Pemilihan sampel didasarkan
pada kriteria yaitu keluarga dengan pasangan ibu dan anak usia 2-18 tahun yang tinggal
dalam satu rumah tangga. Wanita hamil, ibu atau anak yang memiliki cacat fisik akan di
eksklusi pada penelitian ini. Proses pemilihan sampel dilakukan dua kali, yang pertama
seleksi pada tingkat individu dan kedua seleksi tingkat rumah tangga (Gambar 1).
Status gizi ibu dihitung dengan menggunakan parameter Indeks Masa Tubuh (IMT)
dengan cut-off untuk orang Asia yaitu <18,5 untuk status gizi kurus/sangat kurus, 18,5-23
kg/m2 untuk status gizi normal dan >23 kg/m2 untuk status gizi gemuk/obesitas.21
Sedangkan untuk anak dengan usia dibawah 5 tahun, digunakan parameter IMT/U dengan
cut-off <-2 Standar Deviasi (SD) untuk status gizi kurus/sangat kurus, - 2 SD sampai dengan
+2SD untuk status gizi normal dan >2 SD untuk status gizi gemuk/obesitas. Anak dengan
usia lebih dari 5 tahun, untuk kategori normal digunakan cut off <-2 SD sampai dengan +1
SD dan >1 SD untuk status gizi gemuk/obesitas.22,23,24
Digital
Digital Repository
Repository
103 of 115 Nur
Universitas
Universitas
Fitri Widya Astuti, et
Jember
Jember
al | MKMI | 16(1) | 2020 | 100-115

Gambar 1. Proses Pemilihan Sampel

Penentuan status gizi pada tingkat keluarga terdiri dari 4 kategori, yaitu keluarga
dengan status gizi normal (keluarga yang memiliki ibu dan anak dengan status gizi normal),
keluarga dengan status gizi kurus (keluarga yang memiliki pasangan ibu dan anak
setidaknya ada salah satu yang memiliki status gizi kurus, tapi tidak ada yang gemuk),
keluarga dengan status gizi gemuk (keluarga yang memiliki pasangan ibu dan anak
setidaknya ada satu yang gemuk dan tidak ada yang kurus), dan keluarga dengan status gizi
beban gizi ganda (keluarga yang memiliki pasangan ibu dan anak gemuk dan kurus atau
sebaliknya).6 Faktor maternal (usia ibu, pekerjaan ibu, dan pendidikan ibu), tingkat
ekonomi, kepemilikan jaminan kesehatan (jamkesmas), fasilitas Buang Air Besar (BAB) di
rumah, sanitasi umum, dan wilayah tempat tinggal keluarga akan diuji untuk mengetahui
faktor yang berhubungan dengan kejadian beban gizi ganda pada keluarga di Indonesia.
Analisis univariat dilakukan untuk mengetahui karakteristik pada tingkat keluarga
dan juga menentukan prevalensi beban gizi ganda. Analisis bivariat menggunakan uji chi-
square test untuk menguji variabel yang memiliki hubungan dengan terjadinya fenomena
beban gizi ganda. Analisis bivariat pada penelitian ini, keluarga dengan status gizi normal,
kurus dan gemuk direduksi menjadi satu kategori, sehingga hanya terdapat dua kategori
yaitu keluarga dengan beban gizi ganda dan tidak. Hasil analisis akan disajikan dalam
Digital
Digital Repository
Repository
104 of 115 Nur
Universitas
Universitas
Fitri Widya Astuti, et
Jember
Jember
al | MKMI | 16(1) | 2020 | 100-115

bentuk tabel dan narasi. Pengolahan dan analisis data pada penelitian ini menggunakan
software STATA 13. Data yang digunakan pada penelitian ini telah mendapatkan
persetujuan dewan komisi etik dari RAND Corporation dan Universitas Gadjah Mada
(KE/FK/0636/EC/2017).

HASIL

Setelah melalui proses pemilihan sampel, akhirnya diperoleh sampel sebesar 6468
keluarga untuk dilakukan analisis lebih lanjut. Berdasarkan hasil analisis, keluarga yang
menjadi sampel pada penelitian ini sebagian besar memiliki ibu dengan usia 31-40 tahun
(44,85%), memiliki pendidikan menengah (53,08%), dan tidak bekerja (34,69%). Selain itu,
sebagian besar keluarga memiliki tingkat ekonomi yang berada pada kuintil 2 atau miskin
(23,35%) dan bertempat tinggal di daerah perkotaan (57,20%). Terkait sanitasi rumah,
sejumlah (81,91%) keluarga sudah memiliki fasilitas Buang Air Besar (BAB) di rumah.
Selain itu, kepemilikan asuransi kesehatan memiliki persentase yang hampir sama antara
keluarga yang sudah memiliki asuransi kesehatan maupun yang belum (Tabel 1).
Tabel 1a. Karakteristik Sosial Demografi Keluarga di
Indonesia
Karakteristik n=6468 %
Usia Ibu (tahun)
< 21 47 0,73
21-30 1560 24,12
31-40 2901 44,85
> 40 1960 30,30
Pendidikan Ibu
Tidak sekolah 206 3,18
Dasar 2134 32,99
Menengah 3434 53,08
Tinggi 695 10,75
Pekerjaan Ibu
Wiraswasta 1679 25,96
Pekerja kantoran 1336 20,66
Pekerja lepas 1209 18,69
Tidak bekerja 2244 34,69
Tingkat Ekonomi
Kuintil 1 (Sangat miskin) 1464 22,63
Kuintil 2 (Miskin) 1510 23,35
Kuintil 3 (Menengah) 1457 22,53
Kuintil 4 (Kaya) 1295 20,02
Kuintil 5 (Sangat kaya) 742 11,47
Jumlah Anggota Rumah
Tangga (orang)
2-4 4153 64,21
5-7 2144 33,15
>7 171 2,64
Digital
Digital Repository
Repository
105 of 115 Nur
Universitas
Universitas
Fitri Widya Astuti, et
Jember
Jember
al | MKMI | 16(1) | 2020 | 100-115

Tabel 1b. Karakteristik Sosial Demografi Keluarga di


Indonesia
Karakteristik n=6468 %
Jumlah Anak (orang)
≤2 4818 74,49
>2 1650 25,51
Wilayah Tempat Tinggal
Desa 2768 42,80
Kota 3700 57,20
Fasilitas BAB
Ada 5298 81,91
Tidak ada 1170 18,09
Sanitasi Umum Rumah
Baik 4070 62,93
Tidak baik 2398 37,07
Kepemilikan Asuransi Kesehatan
Ya 3281 50,73
Tidak 3187 49,27
Regional Tempat Tinggal
Jawa-Bali 3699 57,19
Sumatera 1593 24,63
Lainnyaa 1176 18,18
Sumber: Indonesian Family Life Survey, 2014
a(Kalimantandan Indonesia Timur)

Prevalensi status gizi keluarga di Indonesia yang di paparkan pada Tabel 2


menunjukkan bahwa hampir 1 dari 10 keluarga di Indonesia (8,27%), merupakan keluarga
dengan status gizi beban ganda. Selanjutnya, sebagian besar keluarga di Indonesia
merupakan keluarga dengan status gizi gemuk (60,64%). Keluarga dengan kategori status
gizi normal memiliki prevalensi sebesar 21,34% dan keluarga dengan kategori status gizi
kurus memiliki prevalensi yang hampir sama dengan beban gizi ganda yaitu 9,76%. Selain
itu, jika ditinjau dari pembagian regional, prevalensi keluarga dengan status gizi beban gizi
ganda yang tinggal di regional Kalimantan dan Indonesia bagian timur (regional lainnya)
memiliki persentase tertinggi yaitu sebesar 9,27%, sementara di regional Jawa-Bali dengan
persentase 8,11% dan terendah berada di regional Sumatera yaitu sebesar 7,91% (Tabel 2).
Berdasarkan Tabel 3 proporsi keluarga dengan status beban gizi ganda paling tinggi
berasal dari keluarga yang memiliki ibu dengan usia diatas 40 tahun, ibu dengan tingkat
pendidikan dasar, berkerja di kantor, keluarga dengan status ekonomi menengah atau
berada pada kuintil 3, memiliki anak lebih dari 2 orang, memiliki jumlah anggtota rumah
tangga sebesar 5-7 orang, tidak memiliki asuransi kesehatan, bertempat tinggal di wilayah
perkotaan, dan tinggal di regional lainnya. Hasil analisis dengan uji chi-square menunjukkan
terdapat variabel yang memiliki hubungan secara signifikan dengan terjadinya masalah gizi
Digital
Digital Repository
Repository
106 of 115 Nur
Universitas
Universitas
Fitri Widya Astuti, et
Jember
Jember
al | MKMI | 16(1) | 2020 | 100-115

ganda pada keluarga di Indonesia, yaitu faktor usia ibu (p = 0,001), pendidikan ibu (p =
0,022), jumlah anak (p = 0,001), dan jumlah anggota rumah tangga (p = 0,001) (Tabel 3).

Tabel 2. Prevalensi dan Persebaran Status Gizi Keluarga Menurut Regional


Tempat Tinggal di Indonesia
Regional Wilayah Tempat Tinggal
Total
Status Gizi Keluarga Jawa-Bali Sumatera Lainnyaa
n % n % n % n %
Normal 753 20,36 357 22,41 270 22,96 1380 21,34
Kurus 314 8,49 144 9,04 173 27,42 631 9,76
Gemuk 2332 63,04 966 60,64 624 53,06 3922 60,64
Beban gizi ganda 300 8,11 126 7,91 109 9,27 535 8,27
Sumber: Indonesian Family Life Survey, 2014
a(Kalimantan dan Indonesia Timur)

Tabel 3a. Faktor yang Berhubungan dengan Terjadinya Beban Gizi Ganda pada
Keluarga di Indonesia
Beban Gizi Ganda Keluarga
Karakteristik Ya Tidak p
n=535 % n=5933 %
Usia Ibu (tahun)
< 21 2 4,26 45 95,74
21-30 81 5,19 1479 94,81
0,001*
31-40 267 9,20 2634 90,80
> 40 185 9,44 1775 90,56
Pendidikan Ibu
Tidak sekolah 15 7,28 191 92,72
Dasar 207 9,70 1927 90,30
0,022*
Menengah 267 7,78 3166 92,22
Tinggi 46 6,62 649 93,38
Pekerjaan Ibu
Wiraswasta 146 8,70 1533 91,30
Pekerja kantoran 117 8,76 1219 91,24
0,671
Pekerja lepas 94 7,78 1115 92,22
Tidak bekerja 178 7,93 2066 92,07
Tingkat Ekonomi
Kuintil 1 (Sangat miskin) 114 7,79 1350 92,21
Kuintil 2 (Miskin) 123 8,15 1387 91,85
Kuintil 3 (Menengah) 136 9,33 1321 90,67 0,565
Kuintil 4 (Kaya) 104 8,03 1191 91,97
Kuintil 5 (Sangat kaya) 58 7,62 684 92,18
Jumlah Anggota Rumah
Tangga (orang)
2-4 282 6,74 3871 93,21
5-7 235 10,71 1909 89,04 0,001*
>7 18 10,53 153 89,47
Digital
Digital Repository
Repository
107 of 115 Nur
Universitas
Universitas
Fitri Widya Astuti, et
Jember
Jember
al | MKMI | 16(1) | 2020 | 100-115

Tabel 3b. Faktor yang Berhubungan dengan Terjadinya Beban Gizi Ganda pada
Keluarga di Indonesia
Beban Gizi Ganda Keluarga
Karakteristik Ya Tidak p
n=535 % n=5933 %
Jumlah Anak (orang)
≤2 320 6,64 4498 93,36
0,001*
>2 215 13,03 1435 86,97
Wilayah Tempat Tinggal
Desa 223 8,06 2545 91,94
0,587
Kota 312 8,43 3388 91,57
Fasilitas BAB
Ada 440 8,31 4858 91,69
0,835
Tidak ada 95 8,12 1075 91,88
Sanitasi Umum Rumah
Baik 326 8,01 3744 91,99
0,320
Tidak baik 209 8,72 2189 91,28
Kepemilikan Asuransi
Kesehatan
Ya 268 8,17 3013 91,83
0,760
Tidak 267 8,38 2920 91,62
Regional Tempat
Tinggal
Jawa-Bali 300 8,11 3399 91,89
Sumatera 126 7,91 1467 92,09 0,379
Lainnya a 109 9,27 1067 90,73
Sumber: Indonesian Family Life Survey, 2014
*Singnifikan pada tingkat p<0,05
a(Kalimantan dan Indonesia Timur)

PEMBAHASAN

Penelitian ini menunjukkan bahwa prevalensi beban gizi ganda menurun dari tahun
2007 yang mencapai angka 20%.6 Penurunan ini dapat disebabkan karena adanya
perbedaan dalam penentuan kriteria beban gizi ganda pada keluarga dimana sebelumnya
menggunakan indikator seluruh keluarga, tetapi pada penelitian ini hanya digunakan
pasangan ibu dan anak untuk menentukan status beban gizi ganda pada keluarga. Penelitian
di Semarang dan Jawa Barat, menggunakan indikator beban gizi ganda dengan sampel
pasangan ibu dan anak, menunjukkan hasil prevalensi diatas 30%.8,25 Tingginya prevalensi
beban gizi ganda pada keluarga pada penelitian tersebut dikarenakan hanya pada satu
lingkup kota dan provinsi, sedangkan pada penelitian ini lingkup sampel adalah seluruh
Indonesia.
Hasil penelitian menunjukkan beberapa variabel seperti usia ibu, pendidikan ibu,
jumlah anggota rumah tangga, dan jumlah anak memiliki hubungan yang signifikan
terhadap terjadinya beban gizi ganda pada tingkat keluarga. Penelitian terkait sebelumnya
Digital
Digital Repository
Repository
108 of 115 Nur
Universitas
Universitas
Fitri Widya Astuti, et
Jember
Jember
al | MKMI | 16(1) | 2020 | 100-115

memaparkan bahwa pada kondisi beban gizi ganda dengan status gizi lebih terjadi pada ibu,
usia ibu yang semakin bertambah meningkatkan peluang terjadinya obesitas karena adanya
penurunan metabolisme tubuh yang mengakibatkan penumpukan massa lemak tubuh yang
berpengaruh pada kenaikan berat badan yang akhirnya mempengaruhi tingkat IMT
seseorang.7,26,27 Meskipun mayoritas status gizi pada ibu lebih banyak dengan status
overweight, terdapat pula ibu dengan status gizi kurang dan anak dengan status gizi lebih.
Sebuah penelitian di Bangladesh menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang
signifikan antara usia dan status gizi kurang. Hal ini terjadi karena terkait dengan ketahanan
pangan dan diversifikasi pangan pada keluarga sehingga mempengaruhi status gizi individu
di dalamnya.28 Selain itu, penelitian di Tajik menunjukkan adanya korelasi positif antara gizi
kurang karena terjadi proses inflamasi di dalam tubuh karena proses inflamasi berkaitan
dengan daya imunitas tubuh individu. Saat daya tahan tubuh rendah, maka menyebabkan
seseorang rentan terhadap terjadinya kesakitan, seperti infeksi atau penyakit karena stress
oksidatif.29,30
Selain itu, rendahya ketahanan pangan dan keberagaman pangan pada rumah tangga
serta kejadian infeksi dapat menyebabkan seseorang mengalami defisiensi mikronutrient.
Hal tersebut dapat berpengaruh terhadap metabolisme tubuh dan akhinya berdampak pada
terjadinya status gizi kurang pada individu.31,32 Namun, disisi lain, penelitian yang dilakukan
di Afrika Utara menunjukkan bahwa tidak ada korelasi yang signifikan antara usia ibu dan
kejadian beban gizi ganda pada keluarga.33
Hasil analisis menunjukkan bahwa jumlah anak juga berhubungan dengan terjadinya
beban gizi ganda pada keluarga. Penelitian sebelumnya menyebutkan bahwa jumlah paritas
yang tinggi memiliki korelasi positif dan memiliki peluang 2-4 kali untuk menyebabkan
obesitas pada ibu karena penumpukan lemak viseral setelah mengandung.34,35 Namun,
jumlah paritas yang bertambah menyebabkan ketimpangan alokasi makanan dan sumber
daya lainnya pada anggota keluarga, sehingga anggota keluarga yang menerima sedikit
alokasi makanan berpotensi untuk mengalami kurang gizi.28
Sama seperti pemaparan sebelumnya, keterkaitan antara jumlah anggota keluarga
dengan terjadinya beban gizi ganda pada keluarga disebabkan karena kondisi ketahanan
pangan dalam keluarga dan distribusi bahan pangan di dalam keluarga tersebut. Semakin
banyak anggota keluarga, maka jumlah kebutuhan pangan semakin tinggi. Kebutuhan
pangan yang meningkat juga berkaitan dengan meningkatnya beban ekonomi keluarga dan
pada akhirnya memberikan potensi untuk berkurangnya asupan makan ketika peningkatan
beban ekonomi tersebut tidak diimbangi dengan peningkatan penghasilan pada
keluarga.28,36
Digital
Digital Repository
Repository
109 of 115 Nur
Universitas
Universitas
Fitri Widya Astuti, et
Jember
Jember
al | MKMI | 16(1) | 2020 | 100-115

Keluarga dengan jumlah anggota yang banyak menyebabkan distribusi makanan,


kebutuhan makan yang diwujudkan dalam sebuah ketahanan pangan rumah tangga akan
memiliki perbedaan. Selain itu, ditambah dengan adanya budaya makan pada suatu daerah
menyebabkan pola makan akan semakin beragam. Hal ini memiliki potensi untuk
menghasilkan status gizi yang beragam seperti masalah beban gizi ganda akan semakin
besar di dalam sebuah keluarga.14,37,38,39,40
Penelitian yang dilakukan Leroy, dkk menyebutkan bahwa masalah beban gizi ganda
merupakan fenomena yang terkait dengan rendahnya pendidikan dan meningkatnya
ekonomi dimana pendidikan ibu berperan dalam mengurangi efek negatif peningkatan
kekayaan yang berpengaruh terhadap terjadinya malnutrisi.41 Hasil penelitian ini
menunjukkan proporsi keluarga dengan beban gizi ganda yaitu ibu dengan pendidikan
dasar dan ekonomi menengah. Hal ini sudah menunjukkan adanya pola yang serupa dengan
pernyataan sebelumnya. Namun, pendidikan disini apakah terkait pendidikan formal atau
pendidikan kesehatan, sebaiknya dikaji lebih lanjut.
Penelitian sebelumnya, kasus beban gizi ganda lebih banyak terjadi pada keluarga
dengan pendidikan formal dengan level yang tinggi.42 Hasil ini berbeda dengan peneltitian
yang dilakukan oleh Lee, dkk yang menyebutkan bahwa sebuah keluarga dengan ibu yang
memiliki pendidikan lebih tinggi memiliki peluang lebih rendah untuk mengalami masalah
beban gizi ganda. Hal ini dikarenakan ibu dengan edukasi tinggi memiliki tingkat
kepercayaan diri yang lebih tinggi dan memiliki kemampuan dalam mengambil keputusan
dalam keluarga.43 Selain itu, pendidikan ibu juga berperan pada pemilihan makanan dengan
komposisi nilai gizi yang baik dan meningkatkan asupan protein dan vitamin.41
Beberapa penelitian sebelumnya menyebutkan bahwa tingkat ekonomi keluarga
merupakan salah satu variabel yang memiliki hubungan signifikan dengan masalah beban
gizi ganda pada level rumah tangga, terutama pada keluarga dengan tingkat ekonomi yang
tinggi.7,15,26 Tingkat ekonomi keluarga memiliki kaitan dengan akses, daya beli, pemilihan
dan distibusi makanan yang dikonsumsi oleh keluarga. Namun, baik keluarga dengan
tingkat ekonomi tinggi maupun rendah diperkirakan memiliki peluang yang sama untuk
mengalami masalah beban gizi ganda.
Hal tersebut dibuktikan dengan beberapa penelitian yang menyebutkan bukan hanya
keluarga dengan tingkat ekonomi tinggi yang berpeluang besar, tetapi keluarga dengan
tingkat ekonomi yang rendah juga memiliki peluang lebih besar dan signifikan terhadap
masalah beban gizi ganda.7,15,26,44 Hal ini mungkin dapat dikaitkan dengan pentingnya peran
pendidikan, pengetahuan, dan praktek terkait pemilihan bahan makanan dengan
Digital
Digital Repository
Repository
110 of 115 Nur
Universitas
Universitas
Fitri Widya Astuti, et
Jember
Jember
al | MKMI | 16(1) | 2020 | 100-115

kandungan gizi yang tepat dan pencegahan timbulnya penyakit yang merupakan kunci
utama dalam mencegah terjadinya malnutrisi.41 Namun, pada penelitian ini, status ekonomi
keluarga tidak menunjukkan nilai yang signifikan. Hal ini selaras dengan hasil penelitian
yang dilakukan di Sri Lanka dan Kerala.45,46
Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa ada keterkaitan yang signifikan antara
wilayah tempat tinggal dengan terjadinya beban gizi ganda pada rumah tangga, terutama di
wilayah perkotaan.6,14,37,27 Hal ini berkaitan dengan adanya rapid nutrition transition,
ketimpangan ekonomi, ketahanan pangan, dan norma budaya yang membentuk pola makan
pada suatu keluarga di wilayah tertentu.14,37,39,40,47 Namun, pada penelitian ini, wilayah dan
regional tempat tinggal tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Hal ini sesuai
dengan penelitian yang dilakukan di beberapa negara, seperti Bangladesh, Guatemala, dan
Haiti.21
Kesehatan lingkungan dan sanitasi rumah merupakan salah satu faktor yang
berperan dalam terjadinya malnutrisi karena terkait dengan tingkat kesakitan, terutama
pada anak yang di proyeksikan mengalami penyakit infeksi, seperti diare dan infeksi
saluran nafas.48 Khalakheti, dkk dalam penelitiannya menyatakan bahwa ketersediaan
jamban di rumah memiliki hubungan yang signifikan terhadap terjadinya diare, salah satu
penyebab malnutrisi pada anak, bahkan dapat menekan kejadian diare sampai 42%.49
Penelitian ini menujukkan bahwa tidak ada hubungan antara kondisi sanitasi rumah dan
kepemilikan jamban pada keluarga terhadap terjadinya beban gizi ganda. Hal ini selaras
dengan penelitian sebelumnya.50,51 Belum ada pemaparan yang jelas keterkaitan antara
sanitasi dan terjadinya masalah beban gizi ganda pada keluarga. Namun, fasilitas sanitasi
lingkungan yang baik seperti adanya akses jamban atau air bersih pada keluarga
memungkinkan untuk mencegah penurunan status kesehatan dan masalah gizi pada
anggota keluarga.
Penelitian kesehatan berbasis komunitas menggunakan data nasional dengan jumlah
sampel yang besar merupakan kelebihan dari penelitian ini. Namun, disisi lain terdapat
beberapa kelemahan pada penelitian ini, yaitu metode potong lintang belum bisa
menunjukkan prediktor dari fenomena beban gizi ganda pada keluarga di Indonesia. Selain
itu, variabel seperti asupan, riwayat infeksi, dan ketahanan pangan belum dilakukan
analisis pada penelitian ini karena keterbatasan variabel yang terdapat pada data sekunder
yang digunakan.
Digital
Digital Repository
Repository
111 of 115 Nur
Universitas
Universitas
Fitri Widya Astuti, et
Jember
Jember
al | MKMI | 16(1) | 2020 | 100-115

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan dari penelitian ini menunjukkan bahwa hampir 1 dari 10 keluarga di


Indonesia mengalami masalah status gizi ganda dan regional Kalimantan dan Indonesia
Timur, merupakan regional dengan angka kejadian beban gizi ganda tertinggi di Indonesia
ialah 8,27% . Faktor dalam keluarga seperti usia ibu (p = 0,001), pendidikan ibu (p = 0,022),
jumlah anak (p = 0,001), dan jumlah anggota keluarga (p = 0,001) merupakan beberapa
faktor yang memiliki signifikan terhadap terjadinya masalah beban gizi ganda pada
keluarga di Indonesia. Penelitian selanjutnya diharapkan dapat memperbaiki kekurangan
pada penelitian ini, baik pada metode penelitian, seperti menggunakan desain longitudinal,
penambahan variabel, serta pemodelan analisis yang lebih komprehensif.

REFERENSI

1. Colleen M. Doak, Maiza Campos Ponce, Marieke Vossenaar & Noel W. Solomons. The
Stunted Child with an Overweight Mother as a Growing Public Health Concern in
Resource-Poor Environments: a Case Study from Guatemala. Annals of Human Biology.
2016;43(2):122-130.
2. Rachmi, C. N., Li, M., & Baur, L. A. The Double Burden of Malnutrition in Association of
South East Asian Nations (ASEAN) Countries: a Comprehensive Review of the
Literature. Asia Pacific Journal of Clinical Nutrition. 2018;27(4):736-755.
3. Fongar, A., Gödecke, T., & Qaim, M. Various Forms of Double Burden of Malnutrition
Problems Exist in Rural Kenya. BMC Public Health. 2019;19(1):1-9.
4. World Health Organization. The Double Burden of Nutrition: Policy Brief. [Diakses pada
tanggal 6 Maret 2020].
5. Mahmudiono, T., Nindya, T. S., Andrias, D. R., Megatsari, H., & Rosenkranz, R. R.
Household Food Insecurity as a Predictor of Stunted Children and Overweight/Obese
Mothers (SCOWT) in urban Indonesia. Nutrients. 2018;10(5): 535.
6. Vaezghasemi, M., Ohman, A., Eriksson, M., Hakimi, M., Weinehall, L., Kusnanto, H. & Ng,
N. The Effect of Gender and Social Capital on the Dual Burden of Malnutrition: a
Multilevel Study in Indonesia. PLoS One. 2014;9(8):1-10.
7. El Kishawi, R. R., Soo, K. L., Abed, Y. A., & Muda, W. A. M. W. Prevalence and Associated
Factors for Dual Form of Malnutrition in Mother-Child Pairs at the Same Household in
the Gaza Strip-Palestine. PloS one. 2016;11(3):1-14.
8. Sekiyama, M., Jiang, H. W., Gunawan, B., Dewanti, L., Honda, R., Shimizu-Furusawa, H.,
Abdoellah, O. S. & Watanabe, C. Double Burden of Malnutrition in Rural West Java:
Digital
Digital Repository
Repository
112 of 115 Nur
Universitas
Universitas
Fitri Widya Astuti, et
Jember
Jember
al | MKMI | 16(1) | 2020 | 100-115

Household-Level Analysis for Father-Child and Mother-Child Pairs and the Association
with Dietary Intake. Nutrients. 2015;7(10):8376-8391.
9. Haddad, L., Cameron, L. & Barnett, I. The Double Burden of Malnutrition in SE Asia and
the Pacific: Priorities, Policies and Politics. Health Policy Plan. 2015;30(9): 1193-1206.
10. Nugent, R., Levin, C., Hale, J., & Hutchinson, B. Economic Effects of the Double Burden of
Malnutrition. The Lancet. 2019;1-9
11. Schott, W., Aurino, E., Penny, M. E., & Behrman, J. R. The Double Burden of Malnutrition
among Youth: Trajectories and Inequalities in Four Emerging Economies. Economics &
Human Biology. 2019;34:80-91.
12. Tzioumis, E. & Adair, L. S. Childhood Dual Burden of Under-and Overnutrition in Low-
and Middle-Income Countries: a Critical Review. Food and Nutrition Bulletin.
2014;35(2):230-243.
13. Mazumdar, S. Determinants of Inequality in Child Malnutrition in India. Asian
Population Studies. 2010;6(3):307–333.
14. Hanandita, W. & Tampubolon, G. The Double Burden of Malnutrition in Indonesia:
Social Determinants and Geographical Variations. SSM-Population Health. 2015:116-
125.
15. Alaofè, H., & Asaolu, I. Maternal and Child Nutrition Status in Rural Communities of
Kalalé District, Benin: the Relationship and Risk Factors. Food and Nutrition Bulletin.
2019;40(1):56-70.
16. De Silva, I., & Sumarto, S. Child Malnutrition in Indonesia: Can Education, Sanitation and
Healthcare Augment the Role of Income?. Journal of International Development.
2018;30(5):837-864.
17. Kusumawati, E., Rahardjo, S. & Sari, H. P. Model Pengendalian Faktor Risiko Stunting
pada Anak Bawah Tiga Tahun. Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional.
2015;9(3):249-256.
18. Torlesse, H., Cronin, A. A., Sebayang, S. K. & Nandy, R. Determinants of Stunting in
Indonesian Children: Evidence from a Cross-Sectional Survey Indicate a Prominent
Role for the Water, Sanitation and Hygiene Sector in Stunting Reduction. BMC Public
Health. 2016;1(16):1-11.
19. Sekretariat Jendral Kementerian Kesehatan RI. Pedoman Umum Program Indonesia
Sehat dengan Pendekatan Keluarga. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI; 2016.
20. J. Strauss, F. Witoelar, and B. Sikoki. The Fifh Wave of the Indonesia Family Life Survey
(IFLS5): Overview and Field Report. [Volume 1]. RAND Corporation; 2016.
Digital
Digital Repository
Repository
113 of 115 Nur
Universitas
Universitas
Fitri Widya Astuti, et
Jember
Jember
al | MKMI | 16(1) | 2020 | 100-115

21. Kosaka, S. & Umezaki, M. a Systematic Review of the Prevalence and Predictors of the
Double Burden of Malnutrition Within Households. The British Journal of Nutrition.
2017;117(8):1118-1127.
22. WHO, E. C. Appropriate Body-Mass Index for Asian Populations and its Implications for
Policy and Intervention Strategies. The Lancet (London, England). 2004;363(9403):
157-163.
23. World Health Organization. The WHO Child Growth Standards. 2006. [Diakses pada
tanggal 20 November 2016].
24. World Health Organization. WHO Reference. Growth reference data for 5–19 years.
2007. [Diakses pada tanggal 20 November 2016].
25. Setyaningsih, Aryanti. Hubungan antara Status Sosial Ekonomi, Motif Pemilihan
Makanan, dan Kualitas Diet dengan Kejadian Beban Gizi Ganda Malnutrisi di Rumah
Tangga (The Double Burden of Malnutrition in Household) di Kecamatan Peduringan
Kota Semarang. [Thesis]. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada; 2016.
26. Hauqe, S. E., Sakisaka, K., & Rahman, M. Examining the Relationship Between
Socioeconomic Status and the Double Burden of Maternal over and Child Under-
Nutrition in Bangladesh. European Journal of Clinical Nutrition. 2019;73(4):531-540.
27. Oddo, V. M., Rah, J. H., Semba, R. D., Sun, K., Akhter, N., Sari, M., de Pee, S., Moench-
Pfanner, R., Bloem, M. & Kraemer, K. Predictors of Maternal and Child Double Burden
of Malnutrition in Rural Indonesia and Bangladesh. The American Journal of Clinical
Nutrition. 2012;95(4): 951-958.
28. Fahim, S. M., Das, S., Gazi, M. A., Alam, M. A., Mahfuz, M., & Ahmed, T. Evidence of Gut
Enteropathy and Factors Associated with Under Nutrition among Slum-Dwelling
Adults in Bangladesh. The American Journal of Clinical Nutrition. 2020;111:657-666.
29. Barth‐Jaeggi, T., Zandberg, L., Bahruddinov, M., Kiefer, S., Rahmarulloev, S., & Wyss, K.
Nutritional Status of Tajik Children and Women: Transition Towards a Double Burden
of Malnutrition. Maternal & Child Nutrition. 2019;16(2):1-11.
30. Mastorci, F., Vassalle, C., Chatzianagnostou, K., Marabotti, C., Siddiqui, K., Eba, A. O.,
Mhamed,A.A.S., Bandopadhyay, A., Nazzaro, M.S., Passera, M., & Pingitore, A.
Undernutrition and Overnutrition Burden for Diseases in Developing Countries: The
Role of Oxidative Stress Biomarkers to Assess Disease Risk and Interventional
Strategies. Antioxidant. 2017;6(41):1-10.
Digital
Digital Repository
Repository
114 of 115 Nur
Universitas
Universitas
Fitri Widya Astuti, et
Jember
Jember
al | MKMI | 16(1) | 2020 | 100-115

31. Nithya, D. J., & Bhavani, R. V. Dietary Diversity and its Relationship with Nutritional
Status among Adolescents and Adults in Rural India. Journal of Biosocial Science.
2018;50(3):397-413.
32. Ghose, B., Yaya, S., & Tang, S. Anemia Status in Relation to Body Mass Index among
Women of Childbearing Age in Bangladesh. Asia Pacific Journal of Public Health.
2016;28(7):611-619.
33. Sassi, S., Abassi, M. M., Traissac, P., Gharbia, H. B., Gartner, A., Delpeuch, F., & El Ati, J.
Intra-Household Double Burden of Malnutrition in a North African Nutrition Transition
Context: Magnitude and Associated Factors of Child Anaemia with Mother Excess
Adiposity. Public Health Nutrition. 2019;22(1):44-54.
34. Huayanay-Espinoza, C. A., Quispe, R., Poterico, J. A., Carrillo-Larco, R. M., Bazo-Alvarez,
J. C., & Miranda, J. J. Peer Reviewed: Parity and Overweight/Obesity in Peruvian
Women. Preventing Chronic Disease. 2017;14(102):1-12.
35. Ghaderian, S. B., Yazdanpanah, L., Shahbazian, H., Sattari, A. R., Latifi, S. M., &
Sarvandian, S. Prevalence and Correlated Factors for Obesity, Overweight and Central
Obesity in South West of Iran. Iranian Journal of Public Health. 2019:48(7):1354-1361.
36. Alaofè, H., & Asaolu, I. Maternal and Child Nutrition Status in Rural Communities of
Kalalé District, Benin: the Relationship and Risk Factors. Food and Nutrition Bulletin.
2019:40(1):56-70.
37. Roemling, C. & Qaim, M. Dual Burden Households and Intra-Household Nutritional
Inequality in Indonesia. Economics and Human Biology. 2013;11(4):563-573.
38. Sekiyama, M., Jiang, H. W., Gunawan, B., Dewanti, L., Honda, R., Shimizu-Furusawa, H.,
Abdoellah, O. S. & Watanabe, C. Double Burden of Malnutrition in Rural West Java:
Household-Level Analysis for Father-Child and Mother-Child Pairs and the Association
with Dietary Intake. Nutrients. 2015;7(10):8376-9831.
39. Alonso, E. B., Cockx, L., & Swinnen, J. Culture and Food Security. Global Food Security.
2018;17:113-127.
40. Mahmudiono, T., Nindya, T. S., Andrias, D. R., Megatsari, H., & Rosenkranz, R. R.
Household Food Insecurity as a Predictor of Stunted Children and Overweight/Obese
Mothers (SCOWT) in urban Indonesia. Nutrients. 2018;10(533):1-16.
41. Leroy, J. L., Habicht, J.-P., de Cossío, T. G. & Ruel, M. T. Maternal Education Mitigates the
Negative Effects of Higher Income on the Double Burden of Child Stunting and Maternal
Overweight in Rural Mexico. The Journal of Nutrition. 2014;144(5):765-770.
Digital
Digital Repository
Repository
115 of 115 Nur
Universitas
Universitas
Fitri Widya Astuti, et
Jember
Jember
al | MKMI | 16(1) | 2020 | 100-115

42. Dang, Archana; Meenakshi, J. V. The Nutrition Transition and the Intra-Household
Double Burden of Malnutrition in India, ADBI Working Paper, No. 725, Asian
Development Bank Institute (ADBI). Tokyo; 2017. [Diakses pada tanggal 9 Maret 2020].
43. Lee J, Houser RF, Must A, et al. Socioeconomic Disparities and the Familial Coexistence
of Child Stunting and Maternal Overweight in Guatemala. Economics and Human
Biology. 2012;10(3):232–241.
44. Wong, C. Y., Zalilah, M. S., Chua, E. Y., Norhasmah, S., Chin, Y. S. & Siti Nur'Asyura, A.
Double-Burden of Malnutrition among the Indigenous Peoples (Orang Asli) of
Peninsular Malaysia. BMC Public Health. 2015;1(15):1-9.
45. ShinsugiC, Gunasekara D, Gunawardena NK, Subasinghe W, Miyoshi M, Kaneko S,
Takimoto, H. Double Burden of Maternal and Child Malnutrition and Socioeconomic
Status in Urban Sri Lanka. PLoS One. 2019;14(10):1-13.
46. Jayalakshmi, R., & Kannan, S. The Double Burden of Malnutrition: an Assessment of
‘Stunted Child and Overweight/Obese Mother (SCOWT) Pairs’ in Kerala
Households. Journal of Public Health Policy. 2019;40(3):342-350.
47. Rachmawati, S., Machmud, P. B., & Hatma, R. D. Hubungan Praktik Kesehatan pada Awal
Kehidupan dengan Kejadian Stunting pada Balita. Media Kesehatan Masyarakat
Indonesia. 2019;15(2):120-127.
48. Higgins‐Steele, A., Mustaphi, P., Varkey, S., Ludin, H., Safi, N., & Bhutta, Z. A. Stop
Stunting: Situation and Way Forward to Improve Maternal, Child and Adolescent
Nutrition in Afghanistan. Maternal & Child Nutrition. 2016;12(S1):237-241.
49. Kalakheti, B., Panthee, K., & Jain, K. C.. Risk Factors of Diarrhea in Children Under Five
Years in Urban Slums: An Epidemiological Study. Journal of Lumbini Medical College.
2017;4(2):94-98.
50. Masibo, P. K., Humwa, F., & Macharia, T. N. The Double Burden of Overnutrition and
Undernutrition in Mother-Child Dyads in Kenya: Demographic and Health Survey Data,
2014. Journal of Nutritional Science. 2020;9(5):1-12.
51. Anik, A. I., Rahman, M. M., Rahman, M. M., Tareque, M. I., Khan, M. N., & Alam, M. M.
(2019). Double Burden of Malnutrition at Household Level: a Comparative Study
among Bangladesh, Nepal, Pakistan, and Myanmar. PloS one. 2019;14(8):1-16.
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember

UCAPAN TERIMA KASIH

Penanggung jawab, pemimpin, dan segenap redaksi Jurnal Media Kesehatan Masyarakat
Indonesia menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya serta ucapan terima kasih yang
tulus kepada para mitra bebestari sebagai penelaah dalam Volume 16, Nomor 1, Maret 2020.
Berikut ini adalah daftar nama mitra bebestari yang berpartisipasi :

Prof. Dr. dr. Muhammad Nadjib Bustan, MPH (FMIPA Universitas Negeri Makassar)
Prof. Dr. Ridwan A, SKM., M.Kes., M.Sc.PH (FKM Universitas Hasanuddin)
Prof. Dr. dr. Veni Hadju.,M.Sc,Ph.D (FKM Universitas Hasanuddin)
Prof. Dr. H. Indar, SH., MPH (FKM Universitas Hasanuddin)
Prof. Dr. dr. H. M. Alimin Maidin, MPH (FKM Universitas Hasanuddin)
Prof. Dr. Drg. A. Zulkifli Abdullah, M.Kes (FKM Universitas Hasanuddin)
Prof. Dr. Ir. Evawany A, M.Si (Universitas Sumatera Utara)
Dr. Masni., Apt., MSPH (FKM Universitas Hasanuddin)
Dr. Suriah, SKM., M.Kes (FKM Universitas Hasanuddin)
Dr. Lalu Muhammad Saleh (FKM Universitas Hasanuddin)
Dr. Agus Bintara Birawida, S. Kel., M.Kes (FKM Universitas Hasanuddin)
Dr. Ede Surya Darmawan SKM., M.DM (FKM Universitas Indonesia)
Dr. Healthy Hidayanthy, SKM., M.Kes (FKM Universitas Hasanuddin)
Dr. Abdul Salam, SKM., M.Kes (FKM Universitas Hasanuddin)

Atas kerjasamanya yang terjalin selama ini, dalam membantu kelancaran penerbitan Jurnal
Media Kesehatan Masyarakat Indonesia, semoga kerjasama ini dapat berjalan dengan baik
untuk masa yang akan datang.
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember
FORMULIR BERLANGGANAN
UCAPAN TERIMA KASIH
JURNAL MKMI

Yang bertandatangan di bawah ini:


Nama : ………………………………………………………………………………..
Instansi : ………………………………………………………………………………..
Alamat : ………………………………………………………………………………..
………………………………………………………………………………..
………………………………………………………………………………..
Wilayah : 1. Dalam Kota Makassar
*lingkari 2. Luar Kota Makassar
Telepon : ………………………………………………………………………………..
Email : ………………………………………………………………………………..

bersedia untuk menjadi pelanggan Jurnal Media Kesehatan Masyarakat Indonesia (MKMI)
dengan biaya berlangganan (pilih salah satu) :
Rp. 800.000,- / tahun (Jurnal 4 edisi, termasuk ongkos kirim)

Rincian Jurnal MKMI yang ingin dilanggan:


1.
2.
3.

…………….………………,2020

(………………………………………)

Pembayaran ditransfer ke:


No. Rek BNI. 0544454456
a.n. Jurnal MKMI FKM

Bukti transfer berikut formulir ini dikembalikan ke:


Sekretariat
Redaksi Jurnal Media Kesehatan Masyarakat Indonesia
08114440454 (Jurnal MKMI)
d.a. Ruang Jurnal FKM Lt.1Ruang K108 Kampus UNHAS – Tamalanrea 90245
(0411) 585 658, Fax (0411) 586 013.
E-mail: jurnal.mkmi@gmail.com
Digital
Digital Repository
Repository Universitas
Universitas Jember
Jember
Pencarian...

Toggle navigation

Indonesia Menghadapi Beban Ganda Malnutrisi


Tanggal : 28 Aug 2017 16:36 Wib

Share on facebookShare on twitterShare on emailShare on printMore Sharing Services

Permasalahan gizi di Indonesia seakan tidak ada habisnya. Indonesia masih memiliki beban untuk
mengentaskan stunting dan wasting yang masih tinggi. Di saat yang sama, Indonesia memiliki
masalah baru, yakni angka prevalensi obesitas yang juga terus meningkat. Hal ini membuat
Indonesia memiliki masalah undernutrition dan overnutritiondalam waktu bersamaan atau yang
disebut dengan double burden of malnutrition atau beban ganda malnutrisi. Beban ganda
malnutrisi ini dapat terjadi di tingkat individu, rumah tangga, dan populasi di sepanjang daur
kehidupan manusia.

Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013, prevalensi balita stunting di
Indonesia mencapai 37,2%, meningkat dari tahun 2010(35,6%) dan tahun 2007 (36,8%). Artinya,
ada sekitar 8 juta anak di Indonesia yang mengalami stunting atau 1 dari 3 orang anak memiliki
tinggi badan di bawah yang seharusnya. Prevalensi stunting di Indonesia lebih tinggi
dibandingkan dengan beberapa negara tetangga, seperti Myanmar (35%), Vietnam (23%), dan
Thailand (16%). Bahkan, Indonesia menempati peringkat kelima sebagai negara dengan
prevalensi stunting tertinggi di dunia. Selain stunting, prevalensi balita wasting di Indonesia juga
masih tinggi, yakni 12,1%. Di saat bersamaan, prevalensi balita overweight di Indonesia juga
terus meningkat. Berdasarkan data Riskesdas 2013, prevalensi overweight di Indonesia mencapai
11,9%. Indonesia term suk di dalam 17 negara di dunia yang memiliki ketiga masalah gizi
tersebut dalam waktu bersamaan. Tingginya prevalensi malnutrisi, baik undernutrition maupun
overnutrition, menunjukkan bahwa beban ganda malnutrisi di Indonesia sudah cukup
memprihatinkan. Wasting atau kurus merupakan salah satu masalah kurang gizi jangka pendek
dimana berat badan tidak sesuai dengan tinggi badannya (BB/TB). Sedangkan stunting merupakan
masalah kekurangan gizi kronis atau jangka panjang yang disebabkan oleh asupan gizi yang tidak
adekuat sesuai dengan kebutuhannya dalam waktu yang lama. Stunting yang terjadi saat masih
berada di dalam kandungan baru akan nampak saat anak berusia dua tahun.
Dampak dari beban ganda malnutrisi ini sangat serius dan manifestasinya dapat dilihat di
sepanjang kehidupan seseorang. Kekurangan gizi pada anakanak
dapat mulai terjadi pada tahap sangat awal kehidupan. Saat seorang anak menerima asupan gizi
yang kurang baik saat masih dalam kandungan, tubuhnya akan beradaptasi agar dapat bertahan
hidup dalam kondisi gizi yang kurang. Akibatnya, apabila nantinya ia hidup dalam lingkungan
dengan asupan gizi yang mudah diperoleh, tubuhnya akan sangat rentan terhadap obesitas
sehingga mudah terkena penyakit tidak menular, seperti penyakit diabetes melitus dan jantung.
Disinilah letak permas alahan beban ganda malnutrisi. Lebih lanjut, stunting sebagai pe nanda
kekurangan gizi kronis juga berdampak terhadap perkembangan kognitif. Hal ini dikarenakan
pada seseorang yang mengalami stunting, proses-proses lain di dalam tubuh juga terhambat, salah
satunya adalah pertumbuhan otak yang berdampak pada kecerdasan. Dalam jangka panjang,
berbagai studi menunjukkan bahwa stunting berpotensi mengurangi skor IQ sebesar 5-11 poin dan
nilai-nilai sekolahnya juga lebih rendah dibandingkan dengan yang tidak mengalami stunting.
Selain itu, anak yang lahir dengan berat badan kurang, memiliki peluang 2,6 kali lebih kecil untuk
melanjutkan ke pendidikan tinggi. Oleh karena itu, permasalahan stunting tidak hanya berhenti
pada tubuh yang pendek saja. Berdasarkan data yang dirilis oleh World Bank, produktivitas
seseorang yang mengalami stunting saat masih kecil ternyata lebih rendah dibandingkan dengan
yang tidak. Hal ini sejalan dengan capaian pendidikan yang lebih rendah. Masalah akan semakin
parah apabila pola makan tidak diatur dengan baik saat dewasa yang dapat menimbulkan berbagai
macam penyakit tidak menular.
Dampak beban ganda malnutrisi tidak hanya dirasakan oleh individu. Dari segi ekonomi, kerugian
akibat stunting dan malnutrisi diperkirakan setara dengan 2-3% PDB Indonesia. Banyaknya kasus
penyakit tidak menular di Indonesia berakibat pada meningkatnya pengeluaran pemerintah,
khususnya untuk Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Penyakit tidak menular, seperti stroke,
diabetes melitus, dan gagal ginjal, kini menjadi penyebab 60% kematian di Indonesia dan
pembiayaan JKN untuk kasus penyakit tidak menular ini merupakan salah satu yang terbesar.

Faktor yang Mempengaruhi Beban Ganda Malnutrisi


Banyak orang tua yang seolah memaklumi anaknya mengalami stunting karena masalah
keturunan. Para orang tua ini seolah menganggap wajar jika orang tuanya pendek maka anaknya
juga pendek. Padahal, sebenarnya stunting merupakan masalah gizi yang dapat dicegah sejak
dalam kandungan. Oleh karena itu, seorang ibu memegang peran n penting dalam memutus
lingkaran setan malnutrisi ini. Ibu hamil yang mengalami kekurangan gizi, misalny a kekurangan
energi kronis (KEK) dan anemia defisiensi besi, berpotensi untuk melahirkan bayi dengan bayi
yang kurus dan pendek. Jika hal ini tidak diperbaiki pada 2 tahun pertama kehidupannya,
kekurangan ini dapat menja di permanen dan mempengaruhi perkembangan kognitif dan
meningkatkan risiko penyakit tidak menular di kemudian hari.
Selain karena faktor individu, permasalahan beban ganda malnutrisi disebabkan oleh berbagai
faktor lainnya. Studi yang dilakukan oleh World Bank menyebutkan setidaknya ada empat faktor
utama yang mempengaruhi. Pertama, meningkatnya usia harapan hidup yang berkontribusi
terhadap perubahan pola penyakit dari penyakit menular menjadi penyakit tidak menular. Kedua,
naiknya kekayaan nasional yang disertai naiknya ketersediaan makanan membuat konsumsi
lemak perkapita naik dua kali lipat. Konsumsi makanan olahan juga terus meningkat, khususnya
di wilayah perkotaan. Ketiga, banyak kota tidak ramah bagi pejalan kaki sehingga tidak
mendukung aktivitas fisik. Selain itu, tempat-tempat yang menyediakan makanan sehat terbatas.
Orang yang bekerja dan sekolah tidak punya banyak pilihan selain makanan siap saji di luar
rumah. Terakhir, budaya dan trasisi yang mempengaruhi gizi ibu hamil dan anak-anak, serta
norma sosial membuat perempuan menikah saat masih muda. Faktor-faktor ini
berkonberkontribusi terhadap naiknya kasus kelahiran dengan berat badan kurang.

Menurunkan prevalensi stunting, wasting, dan obesitas merupakan salah satu goal dalam
Sustainable Development Goals (SDGs) yang seharusnya dapat dicapai di tahun 2030.
Mengurangi prevalensi malnutrisi ini sangat penting dalam mencapai tujuan tersebut. Program
intervensi kesehatan pada ibu hamil dan 2 tahun pertama kehidupan anak mutlak diperlukan. Hal
ini dikarena kan 2 tahun pertama merupakan window of opportunity untuk mengatasi stunting
dapat diintervensi dari sejak dalam kandungan dan pola asuh yang baik selama 2 tahun pertama.
Selain itu, World Health Organization (WHO) menyebutkan bahwa perbaikan gizi sangat
diperlukan untuk meningkatkan derajat kesehatan dan juga untuk mengembang kan
perekonomian. Oleh karena itu, dalam mengatasai berbagai penyebab malnutrisi diperlukan
pendekatan yang holistik dari berbagai sektor. Salah satunya adalah penyediaan air bersih.
Sanitasi yang baik sangat diperlukan dalam meningkatkan status gizi seseorang.
Hari Gizi Nasional dan Investasi Gizi di Indonesia
Setiap tanggal 25 Januari diperingati sebagai Hari Gizi Nasional. Peringatan ini dapat dijadikan
momentum untuk mengingat bahwa masih banyaknya permasalahan gizi di Indonesia yang masih
harus diselesaikan. Salah satunya adalah masalah beban ganda malnutrisi ini. Sudah saatnya isu
gizi menjadi salah
satu prioritas dalam rencana pembangunan, baik yang dilaksanakan oleh pemerintah pusat
maupun pemerintah daerah. Pemerintah seharusnya dapat menjamin setiap warganya, terutama
anak balita, ibu hamil, dan lansia mendapatkan akses gizi yang baik. Negara harus hadir sebagai
penjamin terpenuhi -
nya hak pangan hingga di tingkat individu, seperti yang diamanah kan UU No 18/2012 tentang
Pangan. Hal tersebut dapat dilakukan lewat bera gam aksi,

seperti revitalisasi posyandu, bantuan pangan bagi balita dan ibu hamil, program pemberian
makanan tambahan anak sekolah, subsidi dan stabilisasi harg a
pangan, dan diversivikasi pangan lokal. Investasi di bidang gizi sifatnya jangka panjang. Selama
ini, gizi memang hanya dianggap sebagian kecil dari berbagai urusan kesehatan sehingga kita
sering berpikir sempit dan jangka pendek. Kita kurang sekali menghargai masa depan. Oleh
karena itu, yang diperlukan tidak hanya komitmen pendanaan dari birokrat dan politisi, tapi juga
jaminan keberlanjutan aneka program pembangunan gizi. Selain itu, gizi perlu menjadi indikator
keberhasilan pembangunan yang tidak terlepas dari program pengentasan kemiskinan. Dengan
berbagai langkah itu, kita dapat

mencegah lahirnya generasi yang malnutrisi. (NF)


Post Terkait

Permasalahan Dalam Mendapatkan Keturunan


Tanggal Publikasi: 10 Jul 2020 17:48 | 333 View

Bagi sebagian pasangan, memiliki anak adalah perkara mudah. Sedang bagi sebagian lainnya,
memiliki anak terasa seperti perjuangan panjang. Hal ini umumnya disebabkan oleh beberapa
kesalahan yang membuat orang tua susah…
Selengkapnya

YUK, CUCI TANGAN DENGAN SABUN


Tanggal Publikasi: 02 Sep 2019 09:43 | 368 View

Tangan merupakan salah satu organ tubuh manusia penting dalam setiap melakukan kegiatan.
Salah satu kegiatannya ialah sebagai perantara antara makanan dan mulut. Untuk itu kehigenisan
tangan patut menjadi perhatian untuk…
Selengkapnya

Hepatitis A, Seberapa Bahaya?


Tanggal Publikasi: 14 Aug 2019 13:39 | 897 View

Belum lama ini kita mendengar adanya status KLB (Kejadian Luar Biasa) hepatitis A di
Kabupaten Pacitan Jawa Timur. Pemerintahan Kabupaten Pacitan menetapkan status KLB pada
wabah hepatitis A setelah ratusan…
Selengkapnya

ALZHEIMER DAN KESEHATAN OTAK


Tanggal Publikasi: 12 Jul 2019 15:00 | 1071 View

Alzheimer? mungkin sebagian masyarakat tidak mengenal penyakit apa itu, tapi bagaimana jika
Demensia atau kepikunan? mungkin dengan kata Demensia atau kepikunan masyarakat lebih
paham. Lalu apa sih penyakit Alzheimer itu?.…
Selengkapnya
BERSAHABAT DENGAN LUPUS “SI PENIRU ULUNG”
Tanggal Publikasi: 12 Jun 2019 02:12 | 643 View

Lupus atau LES (Lupus Erite ‐ matosus Sistemik) merupa kan salah satu jenis penyakit auto imun
yang bersifat kronis dan hingga saat ini penyebabnya belum diketahui. Penyakit autoimun adalah
suatu…
Selengkapnya

Jurnal Medika CME

Visum et Repertum Di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama


01 Apr 2019 - 01 Apr 2020 2 SKP

Penatalaksanaan Gastritis di Pelayanan Kesehatan Primer


02 Feb 2019 - 02 Feb 2020 2 SKP

Diagnosis Disentri Amuba dan Penatalaksanaannya di Fasilitas Kesehatan Tingkat


Pertama
01 Jan 2019 - 31 Dec 2020 2 SKP

Dari Redaksi

Peran Keluarga dalam Peningkatan Gizi Keluarga


10 Jul 2020 18:06

Anak Sehat untuk Kemajuan Bangsa


02 Sep 2019 09:45

Perlukah Buah dan Sayur Dikonsumsi Setiap Hari?


13 Aug 2019 10:54

Cegah Demensia Sejak Dini


12 Jul 2019 14:55

Selengkapnya

Editorial

Koinfeksi HIV dan Penanggulangannya


09 Jul 2020 16:14

Perkembangan Anak dan Faktor yang Memengaruhinya


30 Aug 2018 13:53
Selengkapnya

Kolom

Mungkinkah Mengulur Umur?


10 Jul 2020 17:28

Peremajaan Miss V dan Ginekologi Estetika


02 Sep 2019 09:42

Keluarga Berencana dan Kualitas Penduduk


14 Aug 2019 13:31

Gaya Hidup dan Ancaman Kanker


12 Jul 2019 15:01

Selengkapnya

Artikel

• Terbaru
• Terpopuler

PENGGUNAAN PROPOELIX™ UNTUK MENINGKATKAN IMUNITAS TUBUH PADA SUBJEK

PENELITIAN YANG SEHAT

10 Sep 2021 02:09 Artikel Penelitian

Prinsip-Prinsip Hak Asasi Manusia Dalam Pelayanan Kesehatan Dan Perlindungan Hak

Kesehatan Bagi Orang Dengan Gangguan Jiwa

09 Jul 2020 16:27 Artikel Penelitian


Perbandingan Dua Tabung Sitrat Pada Pemeriksaan Faal Hemostasis

09 Jul 2020 16:18 Artikel Penelitian

Tata Laksana Koinfeksi HIV dan Hepatitis C : Fokus Pada Direct Acting Antiviral (DAA)

09 Jul 2020 15:57 Tinjauan Pustaka

Kegiatan

• Terbaru
• Terpopuler

FIK UI Rancang Strategi untuk Memutus Rantai Infeksi pada Anak Sekolah

10 Jul 2020 10:16 Kegiatan

Fakultas Farmasi Universitas Indonesia (FFUI) meresmikan Empat Ruang Pendukung

Pendidikan Akademik

10 Jul 2020 10:06 Kegiatan

Fakultas Farmasi UI Resmikan Laboratorium dan Ruang Apotek Simulasi

10 Jul 2020 10:00 Kegiatan


Deteksi Dini Saraf Penciuman, Cegah Kerusakan Otak !

02 Sep 2019 09:43 Kegiatan


Kontak
• PT. MEDIKA MEDIA MANDIRI
Jl. Pemuda No.289, RT.3/RW.1
Kec. Pulo Gadung Jakarta Timur DKI Jakarta 13220
• 021- 298 5159
SMS / Whatsapp 0813 1820 2455

Copyright © 2017 Jurnal Medika


Beban Gizi Ganda Masih Jadi Persoalan di Tanah Air
Sabtu, 26 Januari 2019 19:47 WIB

o
o
o
o
o

Pada 25 Januari 2019 merupakan peringatan Hari Gizi Nasional yang ke-59. Peringatan ini telah
dicanangkan oleh Kemenkes sejak 1960 yang bermula dari peringatan arti pentingnya gizi oleh
Lembaga Makanan Rakyat (LMR) diprakarsai oleh Profesor Poerwo Soedarmo.

Melalui peringatan Hari Gizi Nasional diharapkan mampu meningkatkan kegiatan edukasi bagi
masyarakat. Sehingga semakin mengerti dan memahami bagaimana sebenarnya pola konsumsi
gizi yang baik.

Selain itu, yang tidak kalah pentingnya, peringatan ini menjadi momentum pengingat bagi
pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten kota bahwa semua mempunyai peran dan tanggung
jawab terhadap perbaikan gizi masyarakat.

Asupan gizi atau konsumsi makanan, mulai dari gizi ibu hamil, bayi, balita, anak dan remaja hingga
dewasa berpengaruh besar terhadap pola penyakit dan beban kesehatan yang terjadi.

Setelah 59 tahun pencanangan dan peringatan hari gizi setiap tahunnya, bagaimanakah kondisi
yang terjadi saat ini? Kementerian kesehatan dalam laporan Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) 2018 telah merilis hasil utama tentang kondisi kesehatan masyarakat secara
nasional, sangat terkait dengan masalah gizi.

Kekurangan Gizi Balita dan Ibu Hamil

Masalah utama yang mesti tetap menjadi perhatian adalah masih tingginya angka gizi kurang dan
gizi buruk pada balita.

Secara keseluruhan terjadi penurunan dari laporan Riskesdas sebelumnya pada 2013 dari 19,6
persen menjadi 17,7 persen, namun proporsi gizi kurang tidak banyak mengalami perbaikan yaitu
dari 13,9 persen menjadi 13,8 persen.

Sedangkan proporsi gizi buruk mengalami perbaikan yang cukup berarti dari 5,7 persen pada 2013
menjadi 3,9 persen pada 2018.

Angka tersebut secara nasional tetap harus menjadi perhatian karena masih dibawah dari target
RPJMN 2019 sebesar 17 persen.

Secara absolut jumlah ini sangat besar. Berdasarkan Proyeksi Penduduk Indonesia 2010-2035 oleh
Bapenas dan BPS, jumlah balita tahun 2018 adalah 23,8 juta jiwa, maka terdapat terdapat 3,2 juta
anak dengan gizi kurang dan 928 ribu mengalami gizi buruk.

Secara spesifik, Sumatera Barat sebagai daerah yang subur dan penghasil produk pertanian juga
mengalami paradoks. Angka gizi kurang dan gizi buruk justru sedikit lebih tinggi dari rata rata
nasional, yaitu sebesar 17,9 persen.

Sesuai proyeksi penduduk pada 2018 , maka terdapat 96 ribu mengalami gizi buruk dan gizi kurang
dari 540 ribu jumlah balita.

Masalah gizi ibu hamil juga cukup memprihatinkan karena terdapat 48,9 persen yang mengalami
anemia. Artinya hampir separuh ibu yang hamil mengalami kekurangan darah, yang menunjukkan
kurangnya asupan gizi yang dibutuhkan selama kehamilan.

Angka ini justru memprihatinkan karena jauh meningkat dari periode sebelumya yang hanya 37,1
persen. Terlebih lagi, 17,3 persen mereka juga mengalami Kekurangan Energi Kronis (KEK).

Hal ini berarti satu dari enam ibu hamil mengalami masalah kekurangan gizi sebelum masa
kehamilannnya, yang sebenarnya tidak siap untuk kondisi hamil.Kondisi Sumatera Barat juga tidak
lebih baik dari rata-rata nasional.

Kekurangan energi kronis dan anemia pada ibu hamil berakibat langsung pada risiko kehamilan dan
persalinan, seperti lemahnya kontraksi rahim saat melahirkan, risiko perdarahan dan proses
persalinan yang lama. Selain itu, kekurangan gizi ibu hamil secara langsung berdampak pada
pertumbuhan janinnya, yang menjadi faktor risiko utama bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah
(BBLR).

Tingginya masalah gizi pada ibu hamil dan anak yang tentunya juga terjadi pada usia dua tahun
awal menjadi risiko terjadinya stunting atau lebih pendek dari usia seharusnya, pada fase
pertumbuhan selanjutnya. Data Kemenkes juga membuktikan, terdapat 30,8 persen balita
mengalami stunting, atau 7,3 juta. Kekurangan gizi dan stunting menjadi cikal bakal yang buruk
untuk pembentukan generasi yang berkualitas baik secara kognitif ataupun fisik.

Obesitas dan Penyakit Degeneratif

Meskipun kekurangan gizi masih menjadi persoalan, sebaliknya obesitas atau kegemukan dan
penyakit pada usia menua (degeneratif) yang terkait dengan kelebihan gizi terjadi peningkatan.

Obesitas pada dewasa melonjak dari 14,8 persen pada laporan Riskesdas 2013 menjadi 21,8
persen, atau hampir seperempat dari penduduk dewasa.

Berdasarkan proyeksi penduduk dewasa tahun 2018 sebesar 171 juta, maka terdapat 37,4 juta
orang mengalami obesitas. Bahkan jika ditambahkan dengan proporsi berat badan lebih
(overweight), masih terdapat 13,6 persen lagi, yang juga mengalami peningkatan dari periode
sebelumnya 11,5 persen.

Dengan demikian, terdapat 35,5 persen atau 60 juta jiwa lebih atau lebih dari sepertiga orang
dewasa di Indonesia sudah mengalami berat badan yang tidak sehat, yang faktor utamanya adalah
asupan gizi lebih dan tidak seimbang.

Kasus hipertensi, yang faktor gizi salah satu faktor risikonya juga mengalami peningkatan dari 25
persen menjadi 34,5 persen. Angka ini juga menunjukkan lebih dari 60 juta orang dewasa
mengalami hipertensi. Kasus stroke dalam lima tahun terakhir, sebagai salah satu penyakit ikutann
juga mengalami peningkatan dari 0,7 persen menjadi 1,09% persenpada usia diatas 15 tahun, yang
berarti dalam lima tahun terahir terdapat 2,1 juta kasus.

Tanggung Jawab Bersama

Masalah-masalah gizi tersebut merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah pusat dan
daerah secara langsung serta para akademisi dan praktisi.

Tugas dan tanggung jawab pemerintah telah dituangkan dalam Undang-undang nomor 36 tahun
2009 tentang Kesehatan, pada pasal 141-142, dan Permenkes nomor 23 tahun 2014 tentang Upaya
Perbaikan Gizi.

Pada regulasi tersebut disebutkan bahwa pemerintah bertanggung jawab menetapkan standar
dalam pelayanan gizi dan kecukupan gizi, serta melakukan upaya pencapaian. Dalam hal ini
disebutkan bahwa ada kelompok-kelompok yang mesti menjadi sasaran utama yaitu ibu hamil,
menyusui dan balita.

Upaya yang mesti dilakukan adaah perbaikan pola konsumsi makanan yang sesuai dengan gizi
seimbang, perbaikan perilaku sadar gizi, peningkatan akses dan mutu pelayanan gizi dan
kewaspadaan pangan.
Upaya yang dilakukan belum terlaksana dan mencapai sasaran dengan baik. Sebagai upaya
perbaikan gizi anak dilakukan Pemberian Makanan Tambahan (PMT) pada balita, yang hanya 41
persen balita.

Dari yang mendapatkan PMT tersebut hanya 58 persen yang memperoleh PMT melalui program
yang dilaksanakan, artinya secara total hanya 23,8 persen balita yang memeproleh PMT program.
Begitu juga halnya dengan PMT pada ibu hamil, hanya mendapatkan PMT sebanyak 25,2 persen .
Rendahnya cakupan ini mesti mendapat perhatian semua pemangku kepentingan.
Kesadaran dan kewaspadaan masyarakat terhadap masalah gizi juga rendah. Hal ini terlihat dari
pola konsumsi makanan yang tidak sehat, diantaranya tingginya proporsi masyarakat mencapai
95,5 persen tidak mengonsumsi sayur dan buah memenuhi standar kesehatan.
Rendahnya konsumsi sayuran berarti rendahnya asupan serat makanan yang juga menjadi risiko
penyakit saluran cerna, obesitas, hipertensi, dan penyakit degenartif lainnya.

Oleh karena itu, adalah tanggungjawab Bersama untuk bisa melakukan edukasi kepada
masyarakat untuk melakukan pola hidup sehat termasuk konsusmsi gizi yang berimbang.

Penulis adalah Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Andalas

Pewarta : dr Hardisman, MHID, PhD


Editor : Ikhwan Wahyudi
Copyright © ANTARA 2021

o
o
o
o
o
Media Kesehatan Masyarakat Indonesia
Volume 16 Issue 1 2020
DOI : http://dx.doi.org/10.30597/mkmi.v16i1.9064
Website : http://journal.unhas.ac.id/index.php/mkmi
© 2020 Media Kesehatan Masyarakat Indonesia. Published by FKM Universitas Hasanuddin.
This is an open access article under the CC BY-NC-SA license

Prevalensi dan Faktor yang Berhubungan dengan Terjadinya


Beban Gizi Ganda pada Keluarga di Indonesia

The Prevalence and Determinants of Household Dual Burden Malnutrition in


Indonesia

Nur Fitri Widya Astuti1*, Emy Huriyati2, Susetyowati2


1Program Studi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas

Jember
2Departemen Gizi Kesehatan, Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan

Keperawatan, Universitas Gadjah Mada


*Email korespondensi : widyaastuti.nf@unej.ac.id

ABSTRAK
Perkembangan urbanisasi dan ekonomi pada negara berkembang menyebabkan terjadinya
nutrition transition. Hal ini mengakibatkan munculnya fenomena beban gizi ganda pada keluarga dimana
terdapat anggota rumah tangga yang memiliki status gizi kurang dan lebih tinggal dalam satu keluarga.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi dan faktor-faktor yang berhubungan dengan
fenomena beban gizi ganda pada keluarga di Indonesia. Penelitian cross-sectional ini menggunakan data
Indonesian Family Life Survey (IFLS) tahun 2014 dengan jumlah sampel sebesar 6468 keluarga. Indikator
beban gizi ganda keluarga ditunjukkan dengan adanya status gizi lebih dan kurang tinggal dalam satu
keluarga yang diwakili oleh ibu dan anak. Analisis statistik dengan metode chi-square digunakan untuk
menguji variabel yang memiliki hubungan dengan terjadinya beban gizi ganda keluarga. Hasil
menunjukkan prevalensi beban gizi ganda keluarga di Indonesia adalah 8,27% dan persentase tertinggi
terdapat pada regional Kalimantan dan Indonesia Timur. Faktor-faktor yang berhubungan dengan
kejadian beban gizi ganda secara signififikan (p<0,05) pada keluarga di Indonesia adalah usia ibu (p =
0,001), pendidikan ibu (p = 0,022), jumlah anak (p = 0,001) dan jumlah anggota rumah tangga (p = 0,001).
Penelitian lanjutan dengan metode longitudinal diperlukan untuk mengetahui prediktor beban gizi ganda
pada keluarga di Indonesia sehingga dapat dirumuskan intervensi yang tepat untuk pencegahan masalah
tersebut.
Kata Kunci : Beban gizi ganda, keluarga, Indonesia

ABSTRACT
Urbanization and economic rapid developments in the developing countries cause a nutrition
transition. They affect the household dual burden of malnutrition in which there is overnutrition and
undernutrition occuring at the same time in a household. This study proposed to calculate the prevalence of
household dual burden malnutrition and find its determinants. This cross-sectional study use the Indonesian
Family Life Survey (IFLS) 2014 data with total of 6468 families were enrolled as the sample of the study. The
household dual burden malnutrition indicator is represented by mother and children’s nutritional status.
Descriptive analysis and chi-square test were used in this study. The study found that the prevalence of
household dual burden malnutrition in Indonesia is 8.27% in which the Borneo and Eastern Indoesia region
has the higest prevalence. Maternal age (p = 0.001), maternal education (p = 0.022), number of children (p =
0.001), and number of household members (p = 0.001) were having significant correlation (p<0.05) with the
household dual burden malnutrition in Indonesia. Further study by using longitudinal design is needed to find
the predictors of it so the government can formulate an effective and efficient intervenion to prevent adverse
effects of household dual burden malnutrition to the community.
Keywords : Dual burden malnutrition, households, Indonesia

100
101 of 115 Nur Fitri Widya Astuti, et al | MKMI | 16(1) | 2020 | 100-115

PENDAHULUAN

Proses globalisasi, modernisasi, urbanisasi, dan ekonomi yang bergerak dengan cepat
menyebabkan terjadinya nutrition transtition dan terciptanya lingkungan obesogenik
(obesogenic environment). Hal ini berdampak pada meningkatnya angka obesitas, padahal
disisi lain masalah gizi kurang juga masih menjadi masalah kesehatan.1 Hal ini menimbulkan
sebuah fenomena baru yaitu beban gizi ganda (dual burden malnutrition) yang didefinisikan
sebagai suatu kondisi dimana terdapat masalah gizi kurang (undernutrition) dan gizi lebih
(overnutrition) yang terjadi di waktu yang sama. Fenomena ini tidak hanya terjadi pada
tingkat populasi dan individu, tetapi juga pada tingkat rumah tangga2,3
Secara global, kasus beban gizi ganda direpresentasikan dengan 1,9 milyar orang usia
dewasa memiliki status gizi lebih dan 200 juta balita mengalami status gizi kurang. 4
Sementara di Asia, prevalensi beban gizi ganda berada pada kisaran 5-29%.2 Prevalensi
beban gizi ganda di Indonesia menunjukkan peningkatan dalam rentang tahun 1993- 2007,
dimana saat ini sekitar satu dari empat keluarga di Indonesia (24,7%) mengalami beban
gizi ganda dan kondisi ini diprediksi akan terus meningkat.5,6 Hasil penelitian sebelumnya
menunjukkan bahwa fenomena ini lebih banyak terjadi pada pasangan ibu dan anak,
dimana anak memiliki status gizi kurang dan ibu memiliki status gizi lebih.7,8
Fenomena beban gizi ganda pada keluarga memiliki dampak kesehatan jangka
panjang bagi anggota keluarga yang mengalami malnutrisi, seperti gangguan
perkembangan pada anak, kerentanan terhadap penyakit menular, menurunnya
produktifitas kerja, outcome kehamilan yang buruk, dan risiko penyakit degeneratif.9,10
Selain itu, keluarga dengan masalah beban gizi ganda juga dapat mengalami peningkatan
beban ekonomi dalam bentuk peningkatan biaya kesehatan serta hilangnya upah dan
produktivitas, sehingga dapat mempengaruhi kondisi ketahanan pangan, gizi, dan
kesejahteraan keluarga.10,11
Masalah beban gizi ganda di dalam rumah tangga mungkin terjadi akibat perbedaan
usia antar anggota keluarga yang menyebabkan adanya perbedaan kondisi fisiologis dan
kebutuhan gizi. Hal ini menyebabkan adanya potensi perbedaan alokasi sumber daya di
dalam rumah tangga.12 Selain itu, ketimpangan pendapatan masyarakat pada tingkat
regional maupun negara juga memberikan kontribusi dalam berkembangnya masalah
ini.13,14
Beberapa penelitian terdahulu terkait beban gizi ganda menunjukkan bahwa faktor-
faktor yang berhubungan dengan terjadinya beban gizi ganda pada tingkat keluarga secara
signifikan merujuk pada faktor langsung dan tak langsung yang berkaitan dengan status
102 of 115 Nur Fitri Widya Astuti, et al | MKMI | 16(1) | 2020 | 100-115

gizi, seperti faktor asupan makanan, ketahanan pangan, karakteristik ibu dan anak, tingkat
ekonomi keluarga, dan tingkat pendidikan.5,6,7,15 Selain faktor-faktor tersebut, faktor
lingkungan, fasilitas kesehatan, dan wilayah tempat tinggal juga memiliki peran yang
penting dalam pengentasan masalah malnutrisi.16,17,18
Adanya perbedaan demografis, karakteristik dan budaya masyarakat memungkinkan
adanya perbedaan faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian beban gizi ganda antar
negara. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana status gizi
pada tingkat keluarga, mengetahui prevalensi kasus beban gizi ganda pada keluarga dan
mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan terjadinya fenomena tersebut pada
tingkat keluarga di Indonesia. Pendekatan dan analisis tingkat keluarga digunakan untuk
menghasilkan sebuah kajian untuk mendukung peningkatan derajat kesehatan melalui
pendekatan keluarga, sesuai dengan tujuan dari pemerintah dalam mengatasi masalah
kesehatan di Indonesia.19

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan desain penelitian cross


sectional dengan menggunakan data sekunder Indonesian Family Life Survey (IFLS) putaran
ke-5 tahun 2014 yang di unduh dari laman RAND Corporation (http://www.rand.org). Data
ini terdiri dari 15.921 rumah tangga dan 89.382 individu, dimana jumlah tersebut
menggambarkan 83% dari jumlah populasi di Indonesia.20 Pemilihan sampel didasarkan
pada kriteria yaitu keluarga dengan pasangan ibu dan anak usia 2-18 tahun yang tinggal
dalam satu rumah tangga. Wanita hamil, ibu atau anak yang memiliki cacat fisik akan di
eksklusi pada penelitian ini. Proses pemilihan sampel dilakukan dua kali, yang pertama
seleksi pada tingkat individu dan kedua seleksi tingkat rumah tangga (Gambar 1).
Status gizi ibu dihitung dengan menggunakan parameter Indeks Masa Tubuh (IMT)
dengan cut-off untuk orang Asia yaitu <18,5 untuk status gizi kurus/sangat kurus, 18,5-23
kg/m2 untuk status gizi normal dan >23 kg/m2 untuk status gizi gemuk/obesitas.21
Sedangkan untuk anak dengan usia dibawah 5 tahun, digunakan parameter IMT/U dengan
cut-off <-2 Standar Deviasi (SD) untuk status gizi kurus/sangat kurus, - 2 SD sampai dengan
+2SD untuk status gizi normal dan >2 SD untuk status gizi gemuk/obesitas. Anak dengan
usia lebih dari 5 tahun, untuk kategori normal digunakan cut off <-2 SD sampai dengan +1
SD dan >1 SD untuk status gizi gemuk/obesitas.22,23,24
103 of 115 Nur Fitri Widya Astuti, et al | MKMI | 16(1) | 2020 | 100-115

Gambar 1. Proses Pemilihan Sampel

Penentuan status gizi pada tingkat keluarga terdiri dari 4 kategori, yaitu keluarga
dengan status gizi normal (keluarga yang memiliki ibu dan anak dengan status gizi normal),
keluarga dengan status gizi kurus (keluarga yang memiliki pasangan ibu dan anak
setidaknya ada salah satu yang memiliki status gizi kurus, tapi tidak ada yang gemuk),
keluarga dengan status gizi gemuk (keluarga yang memiliki pasangan ibu dan anak
setidaknya ada satu yang gemuk dan tidak ada yang kurus), dan keluarga dengan status gizi
beban gizi ganda (keluarga yang memiliki pasangan ibu dan anak gemuk dan kurus atau
sebaliknya).6 Faktor maternal (usia ibu, pekerjaan ibu, dan pendidikan ibu), tingkat
ekonomi, kepemilikan jaminan kesehatan (jamkesmas), fasilitas Buang Air Besar (BAB) di
rumah, sanitasi umum, dan wilayah tempat tinggal keluarga akan diuji untuk mengetahui
faktor yang berhubungan dengan kejadian beban gizi ganda pada keluarga di Indonesia.
Analisis univariat dilakukan untuk mengetahui karakteristik pada tingkat keluarga
dan juga menentukan prevalensi beban gizi ganda. Analisis bivariat menggunakan uji chi-
square test untuk menguji variabel yang memiliki hubungan dengan terjadinya fenomena
beban gizi ganda. Analisis bivariat pada penelitian ini, keluarga dengan status gizi normal,
kurus dan gemuk direduksi menjadi satu kategori, sehingga hanya terdapat dua kategori
yaitu keluarga dengan beban gizi ganda dan tidak. Hasil analisis akan disajikan dalam
104 of 115 Nur Fitri Widya Astuti, et al | MKMI | 16(1) | 2020 | 100-115

bentuk tabel dan narasi. Pengolahan dan analisis data pada penelitian ini menggunakan
software STATA 13. Data yang digunakan pada penelitian ini telah mendapatkan
persetujuan dewan komisi etik dari RAND Corporation dan Universitas Gadjah Mada
(KE/FK/0636/EC/2017).

HASIL

Setelah melalui proses pemilihan sampel, akhirnya diperoleh sampel sebesar 6468
keluarga untuk dilakukan analisis lebih lanjut. Berdasarkan hasil analisis, keluarga yang
menjadi sampel pada penelitian ini sebagian besar memiliki ibu dengan usia 31-40 tahun
(44,85%), memiliki pendidikan menengah (53,08%), dan tidak bekerja (34,69%). Selain itu,
sebagian besar keluarga memiliki tingkat ekonomi yang berada pada kuintil 2 atau miskin
(23,35%) dan bertempat tinggal di daerah perkotaan (57,20%). Terkait sanitasi rumah,
sejumlah (81,91%) keluarga sudah memiliki fasilitas Buang Air Besar (BAB) di rumah.
Selain itu, kepemilikan asuransi kesehatan memiliki persentase yang hampir sama antara
keluarga yang sudah memiliki asuransi kesehatan maupun yang belum (Tabel 1).
Tabel 1a. Karakteristik Sosial Demografi Keluarga di
Indonesia
Karakteristik n=6468 %
Usia Ibu (tahun)
< 21 47 0,73
21-30 1560 24,12
31-40 2901 44,85
> 40 1960 30,30
Pendidikan Ibu
Tidak sekolah 206 3,18
Dasar 2134 32,99
Menengah 3434 53,08
Tinggi 695 10,75
Pekerjaan Ibu
Wiraswasta 1679 25,96
Pekerja kantoran 1336 20,66
Pekerja lepas 1209 18,69
Tidak bekerja 2244 34,69
Tingkat Ekonomi
Kuintil 1 (Sangat miskin) 1464 22,63
Kuintil 2 (Miskin) 1510 23,35
Kuintil 3 (Menengah) 1457 22,53
Kuintil 4 (Kaya) 1295 20,02
Kuintil 5 (Sangat kaya) 742 11,47
Jumlah Anggota Rumah
Tangga (orang)
2-4 4153 64,21
5-7 2144 33,15
>7 171 2,64
105 of 115 Nur Fitri Widya Astuti, et al | MKMI | 16(1) | 2020 | 100-115

Tabel 1b. Karakteristik Sosial Demografi Keluarga di


Indonesia
Karakteristik n=6468 %
Jumlah Anak (orang)
≤2 4818 74,49
>2 1650 25,51
Wilayah Tempat Tinggal
Desa 2768 42,80
Kota 3700 57,20
Fasilitas BAB
Ada 5298 81,91
Tidak ada 1170 18,09
Sanitasi Umum Rumah
Baik 4070 62,93
Tidak baik 2398 37,07
Kepemilikan Asuransi Kesehatan
Ya 3281 50,73
Tidak 3187 49,27
Regional Tempat Tinggal
Jawa-Bali 3699 57,19
Sumatera 1593 24,63
Lainnyaa 1176 18,18
Sumber: Indonesian Family Life Survey, 2014
a(Kalimantandan Indonesia Timur)

Prevalensi status gizi keluarga di Indonesia yang di paparkan pada Tabel 2


menunjukkan bahwa hampir 1 dari 10 keluarga di Indonesia (8,27%), merupakan keluarga
dengan status gizi beban ganda. Selanjutnya, sebagian besar keluarga di Indonesia
merupakan keluarga dengan status gizi gemuk (60,64%). Keluarga dengan kategori status
gizi normal memiliki prevalensi sebesar 21,34% dan keluarga dengan kategori status gizi
kurus memiliki prevalensi yang hampir sama dengan beban gizi ganda yaitu 9,76%. Selain
itu, jika ditinjau dari pembagian regional, prevalensi keluarga dengan status gizi beban gizi
ganda yang tinggal di regional Kalimantan dan Indonesia bagian timur (regional lainnya)
memiliki persentase tertinggi yaitu sebesar 9,27%, sementara di regional Jawa-Bali dengan
persentase 8,11% dan terendah berada di regional Sumatera yaitu sebesar 7,91% (Tabel 2).
Berdasarkan Tabel 3 proporsi keluarga dengan status beban gizi ganda paling tinggi
berasal dari keluarga yang memiliki ibu dengan usia diatas 40 tahun, ibu dengan tingkat
pendidikan dasar, berkerja di kantor, keluarga dengan status ekonomi menengah atau
berada pada kuintil 3, memiliki anak lebih dari 2 orang, memiliki jumlah anggtota rumah
tangga sebesar 5-7 orang, tidak memiliki asuransi kesehatan, bertempat tinggal di wilayah
perkotaan, dan tinggal di regional lainnya. Hasil analisis dengan uji chi-square menunjukkan
terdapat variabel yang memiliki hubungan secara signifikan dengan terjadinya masalah gizi
106 of 115 Nur Fitri Widya Astuti, et al | MKMI | 16(1) | 2020 | 100-115

ganda pada keluarga di Indonesia, yaitu faktor usia ibu (p = 0,001), pendidikan ibu (p =
0,022), jumlah anak (p = 0,001), dan jumlah anggota rumah tangga (p = 0,001) (Tabel 3).

Tabel 2. Prevalensi dan Persebaran Status Gizi Keluarga Menurut Regional


Tempat Tinggal di Indonesia
Regional Wilayah Tempat Tinggal
Total
Status Gizi Keluarga Jawa-Bali Sumatera Lainnyaa
n % n % n % n %
Normal 753 20,36 357 22,41 270 22,96 1380 21,34
Kurus 314 8,49 144 9,04 173 27,42 631 9,76
Gemuk 2332 63,04 966 60,64 624 53,06 3922 60,64
Beban gizi ganda 300 8,11 126 7,91 109 9,27 535 8,27
Sumber: Indonesian Family Life Survey, 2014
a(Kalimantan dan Indonesia Timur)

Tabel 3a. Faktor yang Berhubungan dengan Terjadinya Beban Gizi Ganda pada
Keluarga di Indonesia
Beban Gizi Ganda Keluarga
Karakteristik Ya Tidak p
n=535 % n=5933 %
Usia Ibu (tahun)
< 21 2 4,26 45 95,74
21-30 81 5,19 1479 94,81
0,001*
31-40 267 9,20 2634 90,80
> 40 185 9,44 1775 90,56
Pendidikan Ibu
Tidak sekolah 15 7,28 191 92,72
Dasar 207 9,70 1927 90,30
0,022*
Menengah 267 7,78 3166 92,22
Tinggi 46 6,62 649 93,38
Pekerjaan Ibu
Wiraswasta 146 8,70 1533 91,30
Pekerja kantoran 117 8,76 1219 91,24
0,671
Pekerja lepas 94 7,78 1115 92,22
Tidak bekerja 178 7,93 2066 92,07
Tingkat Ekonomi
Kuintil 1 (Sangat miskin) 114 7,79 1350 92,21
Kuintil 2 (Miskin) 123 8,15 1387 91,85
Kuintil 3 (Menengah) 136 9,33 1321 90,67 0,565
Kuintil 4 (Kaya) 104 8,03 1191 91,97
Kuintil 5 (Sangat kaya) 58 7,62 684 92,18
Jumlah Anggota Rumah
Tangga (orang)
2-4 282 6,74 3871 93,21
5-7 235 10,71 1909 89,04 0,001*
>7 18 10,53 153 89,47
107 of 115 Nur Fitri Widya Astuti, et al | MKMI | 16(1) | 2020 | 100-115

Tabel 3b. Faktor yang Berhubungan dengan Terjadinya Beban Gizi Ganda pada
Keluarga di Indonesia
Beban Gizi Ganda Keluarga
Karakteristik Ya Tidak p
n=535 % n=5933 %
Jumlah Anak (orang)
≤2 320 6,64 4498 93,36
0,001*
>2 215 13,03 1435 86,97
Wilayah Tempat Tinggal
Desa 223 8,06 2545 91,94
0,587
Kota 312 8,43 3388 91,57
Fasilitas BAB
Ada 440 8,31 4858 91,69
0,835
Tidak ada 95 8,12 1075 91,88
Sanitasi Umum Rumah
Baik 326 8,01 3744 91,99
0,320
Tidak baik 209 8,72 2189 91,28
Kepemilikan Asuransi
Kesehatan
Ya 268 8,17 3013 91,83
0,760
Tidak 267 8,38 2920 91,62
Regional Tempat
Tinggal
Jawa-Bali 300 8,11 3399 91,89
Sumatera 126 7,91 1467 92,09 0,379
Lainnya a 109 9,27 1067 90,73
Sumber: Indonesian Family Life Survey, 2014
*Singnifikan pada tingkat p<0,05
a(Kalimantan dan Indonesia Timur)

PEMBAHASAN

Penelitian ini menunjukkan bahwa prevalensi beban gizi ganda menurun dari tahun
2007 yang mencapai angka 20%.6 Penurunan ini dapat disebabkan karena adanya
perbedaan dalam penentuan kriteria beban gizi ganda pada keluarga dimana sebelumnya
menggunakan indikator seluruh keluarga, tetapi pada penelitian ini hanya digunakan
pasangan ibu dan anak untuk menentukan status beban gizi ganda pada keluarga. Penelitian
di Semarang dan Jawa Barat, menggunakan indikator beban gizi ganda dengan sampel
pasangan ibu dan anak, menunjukkan hasil prevalensi diatas 30%.8,25 Tingginya prevalensi
beban gizi ganda pada keluarga pada penelitian tersebut dikarenakan hanya pada satu
lingkup kota dan provinsi, sedangkan pada penelitian ini lingkup sampel adalah seluruh
Indonesia.
Hasil penelitian menunjukkan beberapa variabel seperti usia ibu, pendidikan ibu,
jumlah anggota rumah tangga, dan jumlah anak memiliki hubungan yang signifikan
terhadap terjadinya beban gizi ganda pada tingkat keluarga. Penelitian terkait sebelumnya
108 of 115 Nur Fitri Widya Astuti, et al | MKMI | 16(1) | 2020 | 100-115

memaparkan bahwa pada kondisi beban gizi ganda dengan status gizi lebih terjadi pada ibu,
usia ibu yang semakin bertambah meningkatkan peluang terjadinya obesitas karena adanya
penurunan metabolisme tubuh yang mengakibatkan penumpukan massa lemak tubuh yang
berpengaruh pada kenaikan berat badan yang akhirnya mempengaruhi tingkat IMT
seseorang.7,26,27 Meskipun mayoritas status gizi pada ibu lebih banyak dengan status
overweight, terdapat pula ibu dengan status gizi kurang dan anak dengan status gizi lebih.
Sebuah penelitian di Bangladesh menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang
signifikan antara usia dan status gizi kurang. Hal ini terjadi karena terkait dengan ketahanan
pangan dan diversifikasi pangan pada keluarga sehingga mempengaruhi status gizi individu
di dalamnya.28 Selain itu, penelitian di Tajik menunjukkan adanya korelasi positif antara gizi
kurang karena terjadi proses inflamasi di dalam tubuh karena proses inflamasi berkaitan
dengan daya imunitas tubuh individu. Saat daya tahan tubuh rendah, maka menyebabkan
seseorang rentan terhadap terjadinya kesakitan, seperti infeksi atau penyakit karena stress
oksidatif.29,30
Selain itu, rendahya ketahanan pangan dan keberagaman pangan pada rumah tangga
serta kejadian infeksi dapat menyebabkan seseorang mengalami defisiensi mikronutrient.
Hal tersebut dapat berpengaruh terhadap metabolisme tubuh dan akhinya berdampak pada
terjadinya status gizi kurang pada individu.31,32 Namun, disisi lain, penelitian yang dilakukan
di Afrika Utara menunjukkan bahwa tidak ada korelasi yang signifikan antara usia ibu dan
kejadian beban gizi ganda pada keluarga.33
Hasil analisis menunjukkan bahwa jumlah anak juga berhubungan dengan terjadinya
beban gizi ganda pada keluarga. Penelitian sebelumnya menyebutkan bahwa jumlah paritas
yang tinggi memiliki korelasi positif dan memiliki peluang 2-4 kali untuk menyebabkan
obesitas pada ibu karena penumpukan lemak viseral setelah mengandung.34,35 Namun,
jumlah paritas yang bertambah menyebabkan ketimpangan alokasi makanan dan sumber
daya lainnya pada anggota keluarga, sehingga anggota keluarga yang menerima sedikit
alokasi makanan berpotensi untuk mengalami kurang gizi.28
Sama seperti pemaparan sebelumnya, keterkaitan antara jumlah anggota keluarga
dengan terjadinya beban gizi ganda pada keluarga disebabkan karena kondisi ketahanan
pangan dalam keluarga dan distribusi bahan pangan di dalam keluarga tersebut. Semakin
banyak anggota keluarga, maka jumlah kebutuhan pangan semakin tinggi. Kebutuhan
pangan yang meningkat juga berkaitan dengan meningkatnya beban ekonomi keluarga dan
pada akhirnya memberikan potensi untuk berkurangnya asupan makan ketika peningkatan
beban ekonomi tersebut tidak diimbangi dengan peningkatan penghasilan pada
keluarga.28,36
109 of 115 Nur Fitri Widya Astuti, et al | MKMI | 16(1) | 2020 | 100-115

Keluarga dengan jumlah anggota yang banyak menyebabkan distribusi makanan,


kebutuhan makan yang diwujudkan dalam sebuah ketahanan pangan rumah tangga akan
memiliki perbedaan. Selain itu, ditambah dengan adanya budaya makan pada suatu daerah
menyebabkan pola makan akan semakin beragam. Hal ini memiliki potensi untuk
menghasilkan status gizi yang beragam seperti masalah beban gizi ganda akan semakin
besar di dalam sebuah keluarga.14,37,38,39,40
Penelitian yang dilakukan Leroy, dkk menyebutkan bahwa masalah beban gizi ganda
merupakan fenomena yang terkait dengan rendahnya pendidikan dan meningkatnya
ekonomi dimana pendidikan ibu berperan dalam mengurangi efek negatif peningkatan
kekayaan yang berpengaruh terhadap terjadinya malnutrisi.41 Hasil penelitian ini
menunjukkan proporsi keluarga dengan beban gizi ganda yaitu ibu dengan pendidikan
dasar dan ekonomi menengah. Hal ini sudah menunjukkan adanya pola yang serupa dengan
pernyataan sebelumnya. Namun, pendidikan disini apakah terkait pendidikan formal atau
pendidikan kesehatan, sebaiknya dikaji lebih lanjut.
Penelitian sebelumnya, kasus beban gizi ganda lebih banyak terjadi pada keluarga
dengan pendidikan formal dengan level yang tinggi.42 Hasil ini berbeda dengan peneltitian
yang dilakukan oleh Lee, dkk yang menyebutkan bahwa sebuah keluarga dengan ibu yang
memiliki pendidikan lebih tinggi memiliki peluang lebih rendah untuk mengalami masalah
beban gizi ganda. Hal ini dikarenakan ibu dengan edukasi tinggi memiliki tingkat
kepercayaan diri yang lebih tinggi dan memiliki kemampuan dalam mengambil keputusan
dalam keluarga.43 Selain itu, pendidikan ibu juga berperan pada pemilihan makanan dengan
komposisi nilai gizi yang baik dan meningkatkan asupan protein dan vitamin.41
Beberapa penelitian sebelumnya menyebutkan bahwa tingkat ekonomi keluarga
merupakan salah satu variabel yang memiliki hubungan signifikan dengan masalah beban
gizi ganda pada level rumah tangga, terutama pada keluarga dengan tingkat ekonomi yang
tinggi.7,15,26 Tingkat ekonomi keluarga memiliki kaitan dengan akses, daya beli, pemilihan
dan distibusi makanan yang dikonsumsi oleh keluarga. Namun, baik keluarga dengan
tingkat ekonomi tinggi maupun rendah diperkirakan memiliki peluang yang sama untuk
mengalami masalah beban gizi ganda.
Hal tersebut dibuktikan dengan beberapa penelitian yang menyebutkan bukan hanya
keluarga dengan tingkat ekonomi tinggi yang berpeluang besar, tetapi keluarga dengan
tingkat ekonomi yang rendah juga memiliki peluang lebih besar dan signifikan terhadap
masalah beban gizi ganda.7,15,26,44 Hal ini mungkin dapat dikaitkan dengan pentingnya peran
pendidikan, pengetahuan, dan praktek terkait pemilihan bahan makanan dengan
110 of 115 Nur Fitri Widya Astuti, et al | MKMI | 16(1) | 2020 | 100-115

kandungan gizi yang tepat dan pencegahan timbulnya penyakit yang merupakan kunci
utama dalam mencegah terjadinya malnutrisi.41 Namun, pada penelitian ini, status ekonomi
keluarga tidak menunjukkan nilai yang signifikan. Hal ini selaras dengan hasil penelitian
yang dilakukan di Sri Lanka dan Kerala.45,46
Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa ada keterkaitan yang signifikan antara
wilayah tempat tinggal dengan terjadinya beban gizi ganda pada rumah tangga, terutama di
wilayah perkotaan.6,14,37,27 Hal ini berkaitan dengan adanya rapid nutrition transition,
ketimpangan ekonomi, ketahanan pangan, dan norma budaya yang membentuk pola makan
pada suatu keluarga di wilayah tertentu.14,37,39,40,47 Namun, pada penelitian ini, wilayah dan
regional tempat tinggal tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Hal ini sesuai
dengan penelitian yang dilakukan di beberapa negara, seperti Bangladesh, Guatemala, dan
Haiti.21
Kesehatan lingkungan dan sanitasi rumah merupakan salah satu faktor yang
berperan dalam terjadinya malnutrisi karena terkait dengan tingkat kesakitan, terutama
pada anak yang di proyeksikan mengalami penyakit infeksi, seperti diare dan infeksi
saluran nafas.48 Khalakheti, dkk dalam penelitiannya menyatakan bahwa ketersediaan
jamban di rumah memiliki hubungan yang signifikan terhadap terjadinya diare, salah satu
penyebab malnutrisi pada anak, bahkan dapat menekan kejadian diare sampai 42%.49
Penelitian ini menujukkan bahwa tidak ada hubungan antara kondisi sanitasi rumah dan
kepemilikan jamban pada keluarga terhadap terjadinya beban gizi ganda. Hal ini selaras
dengan penelitian sebelumnya.50,51 Belum ada pemaparan yang jelas keterkaitan antara
sanitasi dan terjadinya masalah beban gizi ganda pada keluarga. Namun, fasilitas sanitasi
lingkungan yang baik seperti adanya akses jamban atau air bersih pada keluarga
memungkinkan untuk mencegah penurunan status kesehatan dan masalah gizi pada
anggota keluarga.
Penelitian kesehatan berbasis komunitas menggunakan data nasional dengan jumlah
sampel yang besar merupakan kelebihan dari penelitian ini. Namun, disisi lain terdapat
beberapa kelemahan pada penelitian ini, yaitu metode potong lintang belum bisa
menunjukkan prediktor dari fenomena beban gizi ganda pada keluarga di Indonesia. Selain
itu, variabel seperti asupan, riwayat infeksi, dan ketahanan pangan belum dilakukan
analisis pada penelitian ini karena keterbatasan variabel yang terdapat pada data sekunder
yang digunakan.
111 of 115 Nur Fitri Widya Astuti, et al | MKMI | 16(1) | 2020 | 100-115

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan dari penelitian ini menunjukkan bahwa hampir 1 dari 10 keluarga di


Indonesia mengalami masalah status gizi ganda dan regional Kalimantan dan Indonesia
Timur, merupakan regional dengan angka kejadian beban gizi ganda tertinggi di Indonesia
ialah 8,27% . Faktor dalam keluarga seperti usia ibu (p = 0,001), pendidikan ibu (p = 0,022),
jumlah anak (p = 0,001), dan jumlah anggota keluarga (p = 0,001) merupakan beberapa
faktor yang memiliki signifikan terhadap terjadinya masalah beban gizi ganda pada
keluarga di Indonesia. Penelitian selanjutnya diharapkan dapat memperbaiki kekurangan
pada penelitian ini, baik pada metode penelitian, seperti menggunakan desain longitudinal,
penambahan variabel, serta pemodelan analisis yang lebih komprehensif.

REFERENSI

1. Colleen M. Doak, Maiza Campos Ponce, Marieke Vossenaar & Noel W. Solomons. The
Stunted Child with an Overweight Mother as a Growing Public Health Concern in
Resource-Poor Environments: a Case Study from Guatemala. Annals of Human Biology.
2016;43(2):122-130.
2. Rachmi, C. N., Li, M., & Baur, L. A. The Double Burden of Malnutrition in Association of
South East Asian Nations (ASEAN) Countries: a Comprehensive Review of the
Literature. Asia Pacific Journal of Clinical Nutrition. 2018;27(4):736-755.
3. Fongar, A., Gödecke, T., & Qaim, M. Various Forms of Double Burden of Malnutrition
Problems Exist in Rural Kenya. BMC Public Health. 2019;19(1):1-9.
4. World Health Organization. The Double Burden of Nutrition: Policy Brief. [Diakses pada
tanggal 6 Maret 2020].
5. Mahmudiono, T., Nindya, T. S., Andrias, D. R., Megatsari, H., & Rosenkranz, R. R.
Household Food Insecurity as a Predictor of Stunted Children and Overweight/Obese
Mothers (SCOWT) in urban Indonesia. Nutrients. 2018;10(5): 535.
6. Vaezghasemi, M., Ohman, A., Eriksson, M., Hakimi, M., Weinehall, L., Kusnanto, H. & Ng,
N. The Effect of Gender and Social Capital on the Dual Burden of Malnutrition: a
Multilevel Study in Indonesia. PLoS One. 2014;9(8):1-10.
7. El Kishawi, R. R., Soo, K. L., Abed, Y. A., & Muda, W. A. M. W. Prevalence and Associated
Factors for Dual Form of Malnutrition in Mother-Child Pairs at the Same Household in
the Gaza Strip-Palestine. PloS one. 2016;11(3):1-14.
8. Sekiyama, M., Jiang, H. W., Gunawan, B., Dewanti, L., Honda, R., Shimizu-Furusawa, H.,
Abdoellah, O. S. & Watanabe, C. Double Burden of Malnutrition in Rural West Java:
112 of 115 Nur Fitri Widya Astuti, et al | MKMI | 16(1) | 2020 | 100-115

Household-Level Analysis for Father-Child and Mother-Child Pairs and the Association
with Dietary Intake. Nutrients. 2015;7(10):8376-8391.
9. Haddad, L., Cameron, L. & Barnett, I. The Double Burden of Malnutrition in SE Asia and
the Pacific: Priorities, Policies and Politics. Health Policy Plan. 2015;30(9): 1193-1206.
10. Nugent, R., Levin, C., Hale, J., & Hutchinson, B. Economic Effects of the Double Burden of
Malnutrition. The Lancet. 2019;1-9
11. Schott, W., Aurino, E., Penny, M. E., & Behrman, J. R. The Double Burden of Malnutrition
among Youth: Trajectories and Inequalities in Four Emerging Economies. Economics &
Human Biology. 2019;34:80-91.
12. Tzioumis, E. & Adair, L. S. Childhood Dual Burden of Under-and Overnutrition in Low-
and Middle-Income Countries: a Critical Review. Food and Nutrition Bulletin.
2014;35(2):230-243.
13. Mazumdar, S. Determinants of Inequality in Child Malnutrition in India. Asian
Population Studies. 2010;6(3):307–333.
14. Hanandita, W. & Tampubolon, G. The Double Burden of Malnutrition in Indonesia:
Social Determinants and Geographical Variations. SSM-Population Health. 2015:116-
125.
15. Alaofè, H., & Asaolu, I. Maternal and Child Nutrition Status in Rural Communities of
Kalalé District, Benin: the Relationship and Risk Factors. Food and Nutrition Bulletin.
2019;40(1):56-70.
16. De Silva, I., & Sumarto, S. Child Malnutrition in Indonesia: Can Education, Sanitation and
Healthcare Augment the Role of Income?. Journal of International Development.
2018;30(5):837-864.
17. Kusumawati, E., Rahardjo, S. & Sari, H. P. Model Pengendalian Faktor Risiko Stunting
pada Anak Bawah Tiga Tahun. Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional.
2015;9(3):249-256.
18. Torlesse, H., Cronin, A. A., Sebayang, S. K. & Nandy, R. Determinants of Stunting in
Indonesian Children: Evidence from a Cross-Sectional Survey Indicate a Prominent
Role for the Water, Sanitation and Hygiene Sector in Stunting Reduction. BMC Public
Health. 2016;1(16):1-11.
19. Sekretariat Jendral Kementerian Kesehatan RI. Pedoman Umum Program Indonesia
Sehat dengan Pendekatan Keluarga. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI; 2016.
20. J. Strauss, F. Witoelar, and B. Sikoki. The Fifh Wave of the Indonesia Family Life Survey
(IFLS5): Overview and Field Report. [Volume 1]. RAND Corporation; 2016.
113 of 115 Nur Fitri Widya Astuti, et al | MKMI | 16(1) | 2020 | 100-115

21. Kosaka, S. & Umezaki, M. a Systematic Review of the Prevalence and Predictors of the
Double Burden of Malnutrition Within Households. The British Journal of Nutrition.
2017;117(8):1118-1127.
22. WHO, E. C. Appropriate Body-Mass Index for Asian Populations and its Implications for
Policy and Intervention Strategies. The Lancet (London, England). 2004;363(9403):
157-163.
23. World Health Organization. The WHO Child Growth Standards. 2006. [Diakses pada
tanggal 20 November 2016].
24. World Health Organization. WHO Reference. Growth reference data for 5–19 years.
2007. [Diakses pada tanggal 20 November 2016].
25. Setyaningsih, Aryanti. Hubungan antara Status Sosial Ekonomi, Motif Pemilihan
Makanan, dan Kualitas Diet dengan Kejadian Beban Gizi Ganda Malnutrisi di Rumah
Tangga (The Double Burden of Malnutrition in Household) di Kecamatan Peduringan
Kota Semarang. [Thesis]. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada; 2016.
26. Hauqe, S. E., Sakisaka, K., & Rahman, M. Examining the Relationship Between
Socioeconomic Status and the Double Burden of Maternal over and Child Under-
Nutrition in Bangladesh. European Journal of Clinical Nutrition. 2019;73(4):531-540.
27. Oddo, V. M., Rah, J. H., Semba, R. D., Sun, K., Akhter, N., Sari, M., de Pee, S., Moench-
Pfanner, R., Bloem, M. & Kraemer, K. Predictors of Maternal and Child Double Burden
of Malnutrition in Rural Indonesia and Bangladesh. The American Journal of Clinical
Nutrition. 2012;95(4): 951-958.
28. Fahim, S. M., Das, S., Gazi, M. A., Alam, M. A., Mahfuz, M., & Ahmed, T. Evidence of Gut
Enteropathy and Factors Associated with Under Nutrition among Slum-Dwelling
Adults in Bangladesh. The American Journal of Clinical Nutrition. 2020;111:657-666.
29. Barth‐Jaeggi, T., Zandberg, L., Bahruddinov, M., Kiefer, S., Rahmarulloev, S., & Wyss, K.
Nutritional Status of Tajik Children and Women: Transition Towards a Double Burden
of Malnutrition. Maternal & Child Nutrition. 2019;16(2):1-11.
30. Mastorci, F., Vassalle, C., Chatzianagnostou, K., Marabotti, C., Siddiqui, K., Eba, A. O.,
Mhamed,A.A.S., Bandopadhyay, A., Nazzaro, M.S., Passera, M., & Pingitore, A.
Undernutrition and Overnutrition Burden for Diseases in Developing Countries: The
Role of Oxidative Stress Biomarkers to Assess Disease Risk and Interventional
Strategies. Antioxidant. 2017;6(41):1-10.
114 of 115 Nur Fitri Widya Astuti, et al | MKMI | 16(1) | 2020 | 100-115

31. Nithya, D. J., & Bhavani, R. V. Dietary Diversity and its Relationship with Nutritional
Status among Adolescents and Adults in Rural India. Journal of Biosocial Science.
2018;50(3):397-413.
32. Ghose, B., Yaya, S., & Tang, S. Anemia Status in Relation to Body Mass Index among
Women of Childbearing Age in Bangladesh. Asia Pacific Journal of Public Health.
2016;28(7):611-619.
33. Sassi, S., Abassi, M. M., Traissac, P., Gharbia, H. B., Gartner, A., Delpeuch, F., & El Ati, J.
Intra-Household Double Burden of Malnutrition in a North African Nutrition Transition
Context: Magnitude and Associated Factors of Child Anaemia with Mother Excess
Adiposity. Public Health Nutrition. 2019;22(1):44-54.
34. Huayanay-Espinoza, C. A., Quispe, R., Poterico, J. A., Carrillo-Larco, R. M., Bazo-Alvarez,
J. C., & Miranda, J. J. Peer Reviewed: Parity and Overweight/Obesity in Peruvian
Women. Preventing Chronic Disease. 2017;14(102):1-12.
35. Ghaderian, S. B., Yazdanpanah, L., Shahbazian, H., Sattari, A. R., Latifi, S. M., &
Sarvandian, S. Prevalence and Correlated Factors for Obesity, Overweight and Central
Obesity in South West of Iran. Iranian Journal of Public Health. 2019:48(7):1354-1361.
36. Alaofè, H., & Asaolu, I. Maternal and Child Nutrition Status in Rural Communities of
Kalalé District, Benin: the Relationship and Risk Factors. Food and Nutrition Bulletin.
2019:40(1):56-70.
37. Roemling, C. & Qaim, M. Dual Burden Households and Intra-Household Nutritional
Inequality in Indonesia. Economics and Human Biology. 2013;11(4):563-573.
38. Sekiyama, M., Jiang, H. W., Gunawan, B., Dewanti, L., Honda, R., Shimizu-Furusawa, H.,
Abdoellah, O. S. & Watanabe, C. Double Burden of Malnutrition in Rural West Java:
Household-Level Analysis for Father-Child and Mother-Child Pairs and the Association
with Dietary Intake. Nutrients. 2015;7(10):8376-9831.
39. Alonso, E. B., Cockx, L., & Swinnen, J. Culture and Food Security. Global Food Security.
2018;17:113-127.
40. Mahmudiono, T., Nindya, T. S., Andrias, D. R., Megatsari, H., & Rosenkranz, R. R.
Household Food Insecurity as a Predictor of Stunted Children and Overweight/Obese
Mothers (SCOWT) in urban Indonesia. Nutrients. 2018;10(533):1-16.
41. Leroy, J. L., Habicht, J.-P., de Cossío, T. G. & Ruel, M. T. Maternal Education Mitigates the
Negative Effects of Higher Income on the Double Burden of Child Stunting and Maternal
Overweight in Rural Mexico. The Journal of Nutrition. 2014;144(5):765-770.
115 of 115 Nur Fitri Widya Astuti, et al | MKMI | 16(1) | 2020 | 100-115

42. Dang, Archana; Meenakshi, J. V. The Nutrition Transition and the Intra-Household
Double Burden of Malnutrition in India, ADBI Working Paper, No. 725, Asian
Development Bank Institute (ADBI). Tokyo; 2017. [Diakses pada tanggal 9 Maret 2020].
43. Lee J, Houser RF, Must A, et al. Socioeconomic Disparities and the Familial Coexistence
of Child Stunting and Maternal Overweight in Guatemala. Economics and Human
Biology. 2012;10(3):232–241.
44. Wong, C. Y., Zalilah, M. S., Chua, E. Y., Norhasmah, S., Chin, Y. S. & Siti Nur'Asyura, A.
Double-Burden of Malnutrition among the Indigenous Peoples (Orang Asli) of
Peninsular Malaysia. BMC Public Health. 2015;1(15):1-9.
45. ShinsugiC, Gunasekara D, Gunawardena NK, Subasinghe W, Miyoshi M, Kaneko S,
Takimoto, H. Double Burden of Maternal and Child Malnutrition and Socioeconomic
Status in Urban Sri Lanka. PLoS One. 2019;14(10):1-13.
46. Jayalakshmi, R., & Kannan, S. The Double Burden of Malnutrition: an Assessment of
‘Stunted Child and Overweight/Obese Mother (SCOWT) Pairs’ in Kerala
Households. Journal of Public Health Policy. 2019;40(3):342-350.
47. Rachmawati, S., Machmud, P. B., & Hatma, R. D. Hubungan Praktik Kesehatan pada Awal
Kehidupan dengan Kejadian Stunting pada Balita. Media Kesehatan Masyarakat
Indonesia. 2019;15(2):120-127.
48. Higgins‐Steele, A., Mustaphi, P., Varkey, S., Ludin, H., Safi, N., & Bhutta, Z. A. Stop
Stunting: Situation and Way Forward to Improve Maternal, Child and Adolescent
Nutrition in Afghanistan. Maternal & Child Nutrition. 2016;12(S1):237-241.
49. Kalakheti, B., Panthee, K., & Jain, K. C.. Risk Factors of Diarrhea in Children Under Five
Years in Urban Slums: An Epidemiological Study. Journal of Lumbini Medical College.
2017;4(2):94-98.
50. Masibo, P. K., Humwa, F., & Macharia, T. N. The Double Burden of Overnutrition and
Undernutrition in Mother-Child Dyads in Kenya: Demographic and Health Survey Data,
2014. Journal of Nutritional Science. 2020;9(5):1-12.
51. Anik, A. I., Rahman, M. M., Rahman, M. M., Tareque, M. I., Khan, M. N., & Alam, M. M.
(2019). Double Burden of Malnutrition at Household Level: a Comparative Study
among Bangladesh, Nepal, Pakistan, and Myanmar. PloS one. 2019;14(8):1-16.
Modul Epidemiologi dan Transisi Gizi 2016

MODUL EPIDEMIOLOGI DAN


TRANSISI GIZI
MK:G007 (Gizi Kesehatan Masyarakat)

Oleh:
Ni Wayan Arya Utami

Bagian Gizi Kesehatan Masyarakat


Program Studi Kesehatan Masyarakat
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
2016
Program Studi Kesehatan Masyarakat
Modul Epidemiologi dan Transisi Gizi 2016
Kata Pengantar
Modul ini disusun untuk mengembangkan kemampuan mahasiswa di dalam
memahami konsep Epidemiologi Gizi. Kurikulum materi yang dikembangkan atau
yang diberikan kepada mahasiswa meliputi Epidemiologi Gizi, Survailans Gizi dan
Transisi Epidemiologi Gizi. Pada akhir kata kami ucapkan semoga modul ini dapat
dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya.

Denpasar, September 2016

Penyusun

Program Studi Kesehatan Masyarakat


Modul Epidemiologi dan Transisi Gizi 2016

Daftar Isi
1. PENDAHULUAN ..................................................................................................... 4
1.1. DEFINISI TRANSISI EPIDEMIOLOGI .................................................................. 5
2.1. Tujuan Surveilans Gizi ...................................................................................... 7
2.2. Kegiatan Surveilans Gizi ................................................................................... 8
2.3. Penilaian Pendahuluan ..................................................................................... 8
2.4. Indikator yang dipergunakan dalam surveilans gizi ........................................... 10
2.5. Sumber data surveilans gizi ............................................................................ 10
2.6. Pengolahan dan Penyajian Data ...................................................................... 11
2.7. Analisis dan Interpretasi Hasil Surveilans Gizi ................................................... 12
2.8. Penyebarluasan (Diseminasi) Hasil Analisis Surveilans Gizi................................. 14
2.11. Prinsip Umum Pelaksanaan Surveilans Gizi ....................................................... 16

A Lain
Modul Epidemiologi dan Transisi Gizi 2016

1. PENDAHULUAN

Dewasa ini, epidemiologi banyak digunakan dalam analisis masalah gizi masyarakat.
Masalah ini erat hubungannya dengan berbagai faktor yang menyangkut pola hidup
masyarakat. Pendekatan masalah gizi masyarakat melalui epidemiologi gizi bertujuan
untuk menganalisis berbagai faktor yang berhubungan erat dengan timbulnya masalah
gizi masyarakat, baik yang bersifat biologis, dan terutama yang berkaitan dengan
kehidupan social masyarakat. Penanggulangan masaah gizi masyarakat yang disertai
dengan surveilans gizi lebih mengarah kepada penanggulangan berbagai faktor yang
berkaitan erat dengan timbulnya masalah tersebut dalam masyarakat dan tidak hanya
terbatas pada sasaran individu atau lingkungan keluarga saja.
Dari berbagai contoh ruang lingkup penggunaan epidemiologi seperti tersebut diatas,
lebih memperjelas bahwa disiplin ilmu epidemiologi sebagai dasar filosofi dalam usaha
pendekatan analis masalah yang timbul dalam masyarakat, baik yang bertalian dengan
bidang kesehatan maupun masalah lain yang erat hubungannya dengan kehidupan
masyarakat secara umum.
Epidemiologi telah berkembang dan diakui sebagai cabang ilmu tersendiri termasuk di
Indonesia. Epidemiologi gizi dapat dipandang bagian sebagai ilmu gizi maupun ilmu
epidemiologi. Epidemiologi gizi mempelajari penyebaran penyakit terkait gizi dan faktor-
faktor yang menentukan terjadinya penyakit pada manusia serta aplikasi dalam
mengatasi problem kesehatan. Epidemiologi gizi dapat digunakan untuk mengungkap
besaran masalah, menentukan hubungan kausalitas (sebab-akibat) baik dalam ilmu gizi,
ilmu kesehatan masyarakat, dan ilmu kedokteran klinik, melaksanakan intervensi
program, memperbaiki maupun mengurangi masalah gizi dan kesehatan serta untuk
surveilens masalah gizi. Epidemiologi gizi mempunyai metode-metode spesifik yang
berkembang dan tidak dikembangkan dalam disiplin ilmu lain.
2. Ilmu Kesehatan Masyarakat sebagai salah satu disiplin ilmu yang relatif masih
baru, telah mengalami prekembangan dan kemajuan yang pesat pada akhir
abad ke-19 dan terutama pada pertengahan abad ke-20. Pada mulanya
kegiatan kesehatan pada masyarakat dilakukan berdasarkan pengamatan dan
terutama pengalaman para ahli dewasa itu, dimana Kesehatan Masyarakat
belum merupakan suatu ilmu tersendiri, tetapi masih merupakan sekumpulan
keterangan yang didasarkan pada pengalaman belakaan.
3. Dalam perkembangannya Kesehatan Masyarakat mulai menyusun metode
pendekatan yang didasarkan pada pengalaman dan pemikiran yang lebih
terarah sehingga kesehatan masyarakat mulai dikembangkan sebagai suatu
ilmu tersendiri. Hal ini sangat erat hubungannya dengan berbagai peristiwa
kematian dan kesakitan yang muncul dalam masyarakat dan oleh sebagian
besar pengamat dinyatakan dalam suatu keadaan yang saling berhubungan dan
bukan hanya bersifat kebetulan saja.

A Lain
Modul Epidemiologi dan Transisi Gizi 2016
1.1. DEFINISI TRANSISI EPIDEMIOLOGI

Transisi epidemiologi adalah perubahan distribusi dan faktor-faktor penyebab


terkait yang melahirkan masalah epidemiologi yang baru. Keadaan transisi epidemiologi
ini ditandai dengan perubahan pola frekuensi penyakit.Transisiepidemiologi bermula dari
suatu perubahan yang kompleks dalam pola kesehatandan pola penyakit utama penyebab
kematian dimana terjadi penurunan prevalensipenyakit infeksi (penyakit menular),
sedangkan penyakit non infeksi (penyakit tidakmenular) justru semakin meningkat. Hal ini
terjadi seiring dengan berubahnya gayahidup, sosial ekonomi dan meningkatnya umur
harapan hidup yang berartimeningkatnya pola risiko timbulnya penyakit degeneratif
seperti penyakit jantungkoroner, diabetes melitus, hipertensi, dan lain sebagainya.

Sejarah Transisi Epidemiologi

Teori transisi epidemiologi sendiri pertama kali dikeluarkan oleh seorang pakar
Demografi Abdoel Omran pada tahun 1971. Pada saat itu ia mengamati perkembangan
kesehatan di negara industri sejak abad 18. Dia kemudian menuliskan sebuah teori
bahwa ada 3 fase transisi epidemiologis yaitu :
1)The age of pestilence and famine, yang ditandai dengan tingginya mortalitas
2)The age of receding pandemics, era di mana angka harapan hidup mulai meningkat
antara 30-50 dan
3)The age of degenerative and man-made disease, fase dimana penyakit infeksi mulai
turun namun penyakit degeneratif mulai meningkat. gambaran itu memang untuk negara
Barat.Teori ini kemudian banyak di kritik. Kritikan dari beberapa tokoh seperti Rogers
dan Hackenberg (1987) dan Olshansky and Ault(1986) membuat Omran melakukan
sedikit revisi.
Bagi negara Barat, ketiga model tersebut ditambah 2 lagi yaitu:
4)The age of declining CVD mortality, ageing, lifestyle modification, emerging and
resurgent diseases ditandai dengan angka harapan hidup mencapai 80-85, angka fertilitas
sangat rendah, serta penyakit kardiovakular dan kanker, serta
5)The age of aspired quality of life with paradoxical longevity and persistent inequalities
yang menggambarkan harapan masa depan, dengan angka harapan hidup mencapai 90
tahun tetapi dengan karakteristik kronik morbiditas, sehingga mendorong upaya
peningkatan quality of life.
Selain itu, Omran juga membuat revisi model transisi epidemiologis untuk negara
berkembang dengan mengganti fase ketiganya menjadi “The age of triple health burden”
yang ditandai dengan 3 hal yaitu:
a) Masalah kesehatan klasik yang belum terselesaikan (infeksi penyakit menular),
b) Munculnya problem kesehatan baru dan
c) Pelayanan kesehatan yang tertinggal (Lagging), Namun ketika itu dikaitkan dengan
jenis penyakit beberapa pakar menggati beban ketiga itu dengan “New Emerging
Infectious Disease” Penyakit menular baru/penyakit lama muncul kembali

Kesehatan adalah kebutuhan dasar setiap manusia. Untuk memperoleh tubuh yang

A Lain
Modul Epidemiologi dan Transisi Gizi 2016
sehat diperlukan makanan yang sehat dan bergizi. Makanan sehat dan bergizi akan
memberikan zat gizi yang dibutuhkan tubuh untuk menjalankan fungsi tubuh dengan
normal. Pemilihan bahan makanan dan makanan yang tidak baik mengakibatkan tubuh
kekurangan zat-zat gizi esensial tertentu. Pemenuhan kebutuhan gizi dalam tubuh ini
akan memberikan status gizi seseorang yaitu gizi baik/optimal, gizi kurang dan gizi lebih
(arali, 2008).
Menurut Mariani (2011), Gizi baik/optimal terjadi bila tubuh memperoleh cukup zat
gizi dan digunakan secara efisien sehingga memungkinkan pertumbuhan fisik,
perkembangan otak, kemampuan untuk bekerja dan kesehatan secara umum pada
tingkat setinggi mungkin. Sedangkan gizi kurang terjadi bila tubuh mengalami
kekurangan satu atau lebih zat gizi esensial, hal ini dapat menyebabkan menurunnya
pertahanan tubuh terhadap penyakit infeski seperti diare. Sebaliknya gizi lebih terjadi bila
tubuh memperoleh zat-zat gizi dalam jumlah berlebihan sehingga menimbulkan efek
toksis atau dapat membahayakan kesehatan. Gizi lebih menyebabkan kegemukan atau
obesitas. Kelebihan energy yang dikonsumsi disimpan dalam jaringan dalam bentuk
lemak. Kegemukan merupakan satu factor resiko terjadinya berbagai penyakit
degenerative seperti hipertensi, DM, jantng koroner, penyakit hati dan kantong empedu.
Di Indonesia terdapat dua masalah gizi yang umumnya terjadi dimasyarakat yaitu
masih banyaknya masyarakat yang mengalami gizi kurang dan terjadinya peningkatan
masyarakat dengan gizi lebih. Gaya hidup masyarakat yang berubah membuat
permasalahan gizi mengalami perubahan baik dari segi bentuknya maupun akibat
penyakit yang akan ditimbulkan. Transisi epidemiologi gizi ini membuat beberapa
masyarakat mengalami gizi lebih (over nutrition).
Kasus kecukupan gizi bagi anak-anak masih saja menjadi persoalan khususnya di
Propinsi Sumatera Utara (Propsu). Buktinya selama kurun waktu tahun 2011, sebanyak
375 kasus gizi buruk masih terjadi. Dijelaskannya, kasus gizi buruk yang tertinggi berada
di Nias yaitu di Nias Barat ada 5 orang, Gunung Sitoli 6 orang, Nisel 10 orang dan Nias
Utara 6 orang (medanbisnis, 2012).
Disamping itu, jumlah orang yang mengalami gizi lebih juga semakin meningkat.
Hal ini dapat dilihat dari jumlah kasus penyakit degenerative. Penyakit degenerative
adalah istilah medis untuk menjelaskan suatu penyakit yang muncul akibat proses
kemunduran fungsi sel tubuh yaitu dari keadaan normal menjadi lebih buruk. Penyakit
yang masuk dalam kelompok ini antara lain diabetes melitus, stroke, jantung koroner,
kardiovaskular, obesitas, dislipidemia dan sebagainya.
World Health Organization (WHO) menyatakan akan ada satu miliar orang di
dunia, khususnya di wilayah perkotaan yang di bayangi akan menderita obesitas atau
kegemukan. Jumlah ini juga di prediksi oleh WHO tetap akan meningkat pada 2015
mendatang dengan jumlah penderita obesitas sebanyak 1,5 miliar orang. Hal ini di
anggap wajar terjadi, pasalnya masyarakat perkotaan yang hidup di bawah tuntutan
ekonomi di paksa melupakan gaya hidup yang sehat.
Kepadatan rutinitas merupakan satu faktor utama pergeseran masyarakat untuk
berolah raga dan makan makanan yang sehat (Pusat Promosi Kesehatan Departemen
Kesehatan, 2009). Menurut WHO, penyakit degenerative menjadi pembunuh manusia
terbesar. Angka kematian tertinggi ada di negara-negara dengan pendapatan nasional

A Lain
Modul Epidemiologi dan Transisi Gizi 2016
rendah ataupun tinggi.

2. SURVEILANS GIZI

Surveilans gizi merupakan salah satu bagian dari surveilans epidemiologi masalah
kesehatan. Menurut Depkes RI (2008) Surveilans gizi adalah proses pengamatan
berbagai masalah yang berkaitan dengan upaya perbaikan gizi masyarakat secara terus-
menerus baikpada situasi normal maupun darurat dan informasi yang dihasilkan dapat
digunakan untuk pengambilan keputusan dalam rangka mencegah memburuknya status
gizi masyarakat, menentukan intervensi yang diperlukan, manajemen program, dan
evaluasi dari program yang sedang dan telah dilaksanakan.
Sedangkan menurut NAS (National Academy of Science) dalam Adi dan Mukono
(2000) surveilans gizi adalah kegiatan pengamatan terhadap status gizi yang bertujuan
agar pengambilan keputusan dalam penentuan kebijakan dan program dapat terarah
kepada perbaikan gizi masyarakat golongan miskin. Informasi harus dikumpulkan secara
teratur dan harus digunakan oleh para penentu kebijakan dan perencana program.
Institusi yangterlibat harus mempunyai hubungan yang erat dengan mekanisme
perencanaan dan intervensi.
Surveilans gizi berbeda dengan surveilans penyakit pada umumnya. Meskipun
antara keduanya memiliki kesamaan dalam hal kegiatan mengumpulkan informasi untuk
kebijakan program dan tindakan, tetapi terdapat beberapa perbedaan yang menjadi ciri
tersendiri dari surveilans gizi. Beberapa perbedaan tersebut antara lain (Adi dan Mukono
2000):
1. Masalah yang dihadapi oleh kegiatan surveilans gizi lebih rumit dari surveilans
penyakit. Hal ini disebabkan masalah gizi mempunyai penyebab yang multi faktor dan
sangat erat kaitannya dengan masalah kemiskinan.
2. Identifikasi gejala dan cara penanggulangan masalah gizi lebih sulit dari pada masalah
penyakit

3. Dalam penanganan masalah gizi jauh lebih sulit dibandingkan dengan masalah
penyakit karena dalam penggulangan masalah gizi melibatkan lintas sektor yang lebih
luas.
Syarat pertama dari kegiatan surveilans adalah pengumpulan informasi secara
teratur. Dengan demikian, suatu pengkajian yang tidak didasarkan atau dikaitkan dengan
data yang dikumpulkan secara periodik tidak disebut sebagai suatu surveilans. Syarat
kedua adalah data yang dikumpulkan secara periodik dan setelah dianalisis harus dapat
digunakan sebagai bahan pengambilan keputusan dalam pengelolaan program perbaikan
gizi masyarakat.
Oleh karena itu, data yang dikumpulkan harus merupakan data yang bersifat tetap
dan siap untuk digunakan sesuai tujuan tersebut. Disamping itu harus terdapat hubungan
yang erat antara instansi-instansi yang bertanggung jawab dalam hal surveilans dan
perencanaan atau penentu kebijakan (Adi dan Mukono 2000).

2.1. Tujuan Surveilans Gizi


A Lain
Modul Epidemiologi dan Transisi Gizi 2016
Sebagai sebuah sistem, surveilans gizi merupakan suatu proses berkelanjutan
yang mempunyai tujuan sebagai berikut (Adi dan Mukono 2000):
1. Menentukan status gizi penduduk dengan merujuk secara khusus pada kelompok
penduduk yang diketahui sedang dalam keadaan menderita atau berisiko. Penentuan
status gizi tersebut meliputi tanda-tanda dan luasnya masalah gizi yang ada dan
gambaran tentang trend kejadian
Menyediakan informasi yang dapat digunakan untuk menganalisa tentang sebab-sebab
dan faktor-faktor yang terkait. Hasil kajian tersebut digunakan dalam menentukan
tindakan pencegahan yang dilaksanakan.
2. Menyediakan informasi bagi pemerintah untuk menentukan prioritas yang sesuai
dengan tersedianya sumber daya dalam memperbaiki status gizi penduduk baik dalam
situasi normal maupun darurat.
3. Memberikan peramalan tentang perkembangan masalah gizi yang akan datang
berdasarkan analisis perkembangan (trend) yang telah dan sedang terjadi dan dilengkapi
dengan informasi tentang potensi kemampuan dan sumber daya yang tersedia. Hasil dari
peramalan tersebut akan membantu perumusan kebijakan yang tepat.Melakukan
pemantauan (monitoring) program-program gizi serta menilai (evaluasi) tentang
efektifitasnya.

2.2. Kegiatan Surveilans Gizi


Kegiatan surveilans dapat dilaksanakan melalui beberapa tahapan tergantung
pada kebutuhan-kebutuhan yang spesifik (Adi dan Mukono 2000):

2.3. Penilaian Pendahuluan


Sebelum menentukan desain suatu sistem surveilans gizi, maka perlu terlebih dahulu
dilakukan penilaian keadaan dan kondisi suatu tempat. Penilaian ini mencakup beberapa
hal berikut:
1. Jenis, tingkat dan waktu terjadinya masalah gizi
Penilaian terhadap masalah gizi yang meliputi jenis, tingkat keparahan dan juga waktu
terjadinya harus sedapat mungkin berdasarkan pengambilan sampel yang memenuhi
syarat statistik dan mencakup penduduk dengan resiko masalah gizi yang paling gawat.
Hasil penilaian akan sangat berguna jika dapat membedakan kelompok-kelompok
beresiko menurut pola waktu, misalnya kejadian berulang (insiden siklis) dan kejadian tak
tentu (insiden acak).
2. Pengenalan dan penggambaran kelompok-kelompok yang khusus
mempunyai resiko
A Lain
Modul Epidemiologi dan Transisi Gizi 2016
Proses untuk mengenal dan menggambarkan sifat-sifat kelompok resiko dimulai dengan
menggambarkan kelompok berisiko. Sebagai contoh adalah Balita yang hidup di suatu
daerah yang mempunyai curah hujan rata-rata tahunan rendah. Makanan terutama
berasal dari hewan peliharaan. Contoh lain adalah anak-anak dari penduduk yang
bermigrasi ke daerah perkotaan dan orang tuanya tidak bekerja. Suatu pendekatan dalam
menggambarkan kelompok berisiko dapat digunakan tiga klasifikasi berikut ini:
a. Keadaan biologis, meliputi: umur, jenis kelamin, status faal (hamil), penyakit
menular atau gangguan kesehatan lain.

b. Situasi fisik, meliputi: jenis daerah (kota/desa), ekologi, jenis pangan, geografis,
sanitasi dan penyakit endemis.
c. Sosio-ekonomis dan budaya, meliputi: kelompok etnis atau budaya, pekerjaan,
pelayanan kesehatan.
Ketelitian dalam mengenal dan menggambarkan kelompok berisiko sangat tergantung
pada kecermatan analisis terhadap keterangan yang tersedia. Keterangan yang dihasilkan
dari sistem surveilans gizi akan membantu dalam identifikasi kelompok berisiko sehingga
penggambaran tersebut menjadi lebih tepat.

Terdapat tiga jenis utama sistem surveilans gizi menurut Mason et al., (1984), antara lain
Kegiatan pemantauan gizi jangka panjang; Kegiatan evaluasi dampak program gizi;
Sistem peringatan tepat waktu untuk mengidentifikasi kekurangan pangan akut.
Menurut WHO menggambarkan sistem surveilans gizi sebagai proses yang
berkesinambungan, dengan tujuan antara lain:

1. Menggambarkan status gizi penduduk, dengan referensi khusus bagi mereka yang
menghadapi risiko
2. Menganalisis faktor-faktor penyebab yang terkait dengan gizi buruk
3. Mempromosikan keputusan oleh pemerintah, baik mengenai perkembangan normal
dan keadaan darurat
4. Memprediksi kemungkinan masalah gizi sehingga dapat membantu dalam perumusan
kebijakan
5. Memantau dan mengevaluasi program gizi.
Sementara menurut Soekirman & Karyadi (1995), tujuan dan lingkup dan sistem
surveilans gizi, antara lain :

1. Sebagai pperingatan dan intervensi tepat waktu.


2. Menghubungkan masalah daerah rawan, dengan otoritas yang lebih tinggi pada
tingkat propinsi dan tingkat pusat.
3. Memberikan indikator yang berfungsi sebagai mekanisme deteksi dini untuk krisis
pangan
4. Membimbing tindakan cepat untuk mengatasi penurunan ketersediaan pangan dan
konsumsi, khususnya di kalangan rumah tangga miskin

A Lain
Modul Epidemiologi dan Transisi Gizi 2016
2.4. Indikator yang dipergunakan dalam surveilans gizi
Setelah dilaksanakan penilaian pendahuluan tentang masalah gizi yang akan
dihadapi oleh suatu sistem surveilans gizi, maka langkah berikutnya adalah
mempertimbangkan dan memilih indikator-indikator yang akan digunakan dalam sistem
tersebut.
Dalam menentukan suatu indikator darus dipertimbangkan beberapa hal berikut:
a. Mudah dalam melakukan pengukuran
Data yang dapat dikumpulkan dengan mudah dengan peralatan yang minimal dan sedikit
memerlukan pengolahan serta dapat dianalisis dengan mudah lebih baik dari pada data
yang memerlukan metode yang rumit dalam pengumpulan maupun interpretasinya.

b. Kecepatan dan frekuensi ketersediaan data


Bila data yang dihasilkan bersifat berkesinambungan, maka indikatornya mempunyai
kelebihan dalam hal waktu. Hal ini sangat penting bagi penemuan dini perubahan yang
mungkin
terjadi. Nilai indikator dapat ditingkatkan dengan semakin seringnya frekuensi
pengumpulan data, tetapi harus dipertimbangkan tambahan biaya yang diperlukan.

c. Biaya
Biaya dalam pengumpulan data merupakan salah satu hal yang harus dipertimbangkan
dalam memilih indikator yang akan dipergunakan. Dana berkaitan erat dengan sifat-sifat
indikator diatas. Oleh karena itu harus diperhatikan dengan seksama keseimbangan
antara nilai data dan biaya untuk mencapainya.

2.5. Sumber data surveilans gizi


Pada penilaian pendahuluan data yang telah dikumpulkan dapat dipergunakan
untuk menggambarkan kelompok berisiko. Pada waktu yang bersamaan sumber data lain
yang ada harus pula diidentifikasi sambil menentukan syarat-syarat sebuah sumber data.
Sumber data dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a. Data yang dicatat belum lama berselang atau tersedia secara potensial dalam rangka
sistem pengumpulan yang sedang dilaksanakan.
b. Data tambahan/baru yang didapat melalui dinas-dinas yang ada (dinas pertanian,
kesehatan, pendidikan, dan sebagainya).

Tipe-tipe data dari sumber yang ada dan biasa digunakan dalam sistem surveilans gizi
dapat diperlihatkan pada tabel berikut:

Tabel 1.1 Sumber Data dan Variabel Surveilans Gizi

Variabel
No Sumber
Actual Potensial
1 Klinik kesehatan BB, TB, umur, Pekerjaan, jarak
prevalensi klinik
A Lain
Modul Epidemiologi dan Transisi Gizi 2016
penyakit, cakupan
imunisasi

2 Sekolah BB, TB, umur Jarak sekolah


dari rumah
3 Laporan administrasi Angka kelahiran Pekerjaan, BB
dan kematian lahir

4 Sensus, demografi, perumahan, Demografi, sosial


pertanian ekonomi, petanian,
lingkungan

5 Survey rumah tangga Variabel sosial BB,TB, umur


ekonomi

6 Laporan pertanian Produksi pertanian Sumber daya


(hasil, area) pertanian

2.6. Pengolahan dan Penyajian Data


Setelah data dikumpulkan selanjutnya diolah, dianalisis, dan diinterpretasikan.
Pengolahan data dimaksudkan untuk menyiapkan data agar dapat dianalisis dengan
mudah dan terbebas dari kesalahan (Adi dan Mukono, 2000).
Data yang telah dikumpulkan dari kegiatan surveilans gizi dapat diolah menurut
waktu (bulanan atau tahunan), kelompok umur, jenis kelamin, dan wilayah (insidens,
proporsi, dan prevalensi). Setelah dilakukan pengolahan, data selanjutnya disajikan dalam
berbagai bentuk sesuai jenis data dalam bentuk narasi, tabel, grafik, dan peta wilayah.
Penyajian secara narasi adalah penjelasan dengan menggunakan kalimat tertulis
tentang informasi kesehatan. Kalimat yang dipakai singkat dan jelas serta mampu
memberikan gambaran tentang apa yang disampaikan. Narasi biasanya digunakan untuk
menjelaskan arti dari suatu tabel atau grafik.
(Depkes, 2006). Menurut Muninjaya (2004) terdapat tiga teknik penyajian data
yang biasa digunakan untuk menggambarkan informasi yang berhasil dikumpulkan dan
dalam rangka mempermudah dalam menganalisis data, yaitu bentuk narasi, tabel, dan
grafik. Beberapa bentuk penyajian data dijelaskan sebagai berikut:
1. Narasi
Penyajian secara narasi adalah penjelasan dengan menggunakan kalimat tertulis tentang
informasi kesehatan. Kalimat yang dipakai singkat dan jelas serta mampu memberikan
gambaran tentang apa yang disampaikan. Narasi biasanya digunakan untuk menjelaskan
arti dari suatu tabel atau grafik.

2. Tabel
Tabel adalah penyajian data yang disusun dalam kolom dan baris dengan lebih
mengutamakan frekuensi suatu kejadian dalam bentuk kategori data yang berbeda. Tabel
A Lain
Modul Epidemiologi dan Transisi Gizi 2016
dapat menggambarkan satu variabel atau lebih. Apabila menggambarkan dua variabel
atau lebih disebut dengan tabel silang. Tabel silang digunakan untuk melihat hubungan
antar dua variabel atau lebih yang dapat bersifat deskriptif maupun analitik (Adi dan
Mukono, 2000).
Semua data yang disajikan dalam bentuk tabel sebaiknya diklasifikasikan dengan jelas
agar dapat dengan cepat dan mudah dimengerti oleh pembaca tanpa melihat data
aslinya. Beberapa prinsip pokok yang harus diperhatikan adalah tabel harus sederhana,
maksimal memiliki tiga variabel, dan harus menjelaskan dirinya sendiri (self explanatory)
(Muninjaya, 2004).

3. Grafik
Grafik adalah suatu metode untuk menyajikan data kuantitatif menggunakan sistem
koordinat x dan y. Sumbu x menggambarkan variabel independen (tidak tergantung), dan
sumbu y menggambarkan variabel dependen (tergantung). Grafik dapat membantu
pembaca mengerti dengan cepat perbedaan yang ada pada data yang disajikan.
Beberapa macam bentuk grafik yang biasanya dipakai dalam menyajikan data
diantaranya grafik garis, histogram, poligon, grafik balok/batang, grafik lingkaran, dan
peta.

4. Peta
Peta adalah cara penyajian data dengan mempergunakan peta suatu wilayah. Setiap data
atau kasus digambarkan dengan simbol data absolut. Jika simbol menggambarkan rate
(angka), penyajian peta dikenal dengan area map. Spot map dapat digambarkan dengan
angka mutlak, misalnya jumlah penderita suatu penyakit di daerah tertentu maupun
dengan angka relatif, misalnya insidens atau prevalens penyakit.

2.7. Analisis dan Interpretasi Hasil Surveilans Gizi


Analisis data merupakan suatu proses untuk menghasilkan rumusan masalah dan
faktor-faktor yang berhubungan dengan data yang telah terkumpul. Untuk dapat
mengidentifikasi masalah program atau masalah kesehatan masyarakat, hasil analisis
pada umumnya dibandingkan dengan target atau ukuran keberhasilan program yang
telah ditetapkan sebelumnya. Hal ini tergantung dari tujuan analisis dan data yang
tersedia (Muninjaya, 2004).
Selain itu analisis data dilakukan untuk melihat variabel-variabel yang dapat
menggambarkan suatu permasalahan dan faktor-faktor yang mempengaruhinya serta
bagaimana data yang ada dapat menjelaskan tujuan dari suatu sistem surveilans gizi.
Sejauh mana kemampuan dalam menganalisis data tergantung pada organisasi pelaksana
yang bersangkutan serta keterampilan petugas yang menangani hal tersebut (Adi dan
Mukono, 2000).
Berdasarkan hasil analisis dan interpretasi data, dapat dibuat tanggapan-
tanggapan dan saran-saran dalam menentukan tindakan dalam menghadapi masalah
yang ada. Selain itu juga dapat ditentukan apakah masalah gizi yang terjadi perlu
mendapat prioritas untuk ditangani terlebih dahulu.
Data yang dikumpulkan dalam surveilans gizi sebaiknya dimasukkan dalam program

A Lain
Modul Epidemiologi dan Transisi Gizi 2016
komputer. Penggunaan komputer memudahkan dalam melakukan analisis data yang
bersifat kompleks. Program yang sering digunakan antara lain SPSS dan Epi-info (Adi dan
Mukono, 2000).
Menurut Adi dan Mukono (2000) dalam melakukan analisis dan interpretasi data
yang harus dilakukan adalah:
1. Memahami kualitas data dan mencari metode terbaik untuk menarik kesimpulan. Hal
ini dilakukan karena setiap data mempunyai kelemahan yang harus dipahami benar
sebelum seorang petugas surveilans memanfaatkan data tersebut.
2. Menarik kesimpulan dari suatu rangkaian data deskriptif. Kesimpulan yang dibuat dapat
dilakukan dengan beberapa cara analisis berikut:
a. Kecenderungan
Analisis kecenderungan merupakan hubungan antara jumlah kejadian gizi atau kondisi
populasi dengan waktu kejadian pada sekelompok populasi. Misalnya: data bulanan
penimbangan (BB/U), data tahunan kasus gizi buruk (prevalensi KEP), dan data periodik
lainnya.
b. Perbandingan
Analisis perbandingan merupakan upaya untuk membandingkan antara jumlah satu
kejadian dengan kejadian yang lain pada satu populasi atau populasi berbeda. Langkah
pertama yang dilakukan adalah menyamakan jumlah populasi yang diamati dengan
mengubah data menjadi ukuran frekuensi yang sesuai. Misalnya prevalensi KEP menurut
tingkatannya berdasarkan batas yang telah disepakati.

c. Perbandingan dari suatu kecenderungan


Dilakukan dengan cara membandingkan kecenderungan perubahan dari data kejadian
berdasarkan waktu terhadap data kejadian lain berdasarkan waktu pada populasi yang
sama atau berbeda. Misalnya frekuensi makan, ketersediaan pangan antar waktu
(musim), grafik pertumbuhan individu.
Menurut Muninjaya (2004) analisa data program pelayanan kesehatan di lapangan
dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu analisis dampak dan analisis cakupan.
1. Analisis dampak
Analisis dampak biasanya diolah di tingkat nasional atau provinsi dengan memanfaatkan
data umum, antara lain berupa angka kematian umum atau Crude Death Rate (CDR),
Angka Kematian Bayi (AKB), angka kelahiran kasar atau Crude Birth Rate (CBR), dan
angka kesakitan beberapa kejadian sakit yang dihitung dengan angka insidens dan
prevalens.
2. Analisis cakupan
Analisis cakupan biasanya dilakukan pada lingkup pelaksana program (Puskesmas) sesuai
dengan program pelayanan yang dilaksanakan di tempat tersebut, misalnya cakupan
imunisasi, KB, KIA, dan sebagainya. Analisis cakupan dilakukan dengan membandingkan
antara cakupan suatu program kesehatan dengan standar keberhasilan program yang
ditetapkan dalam bentuk target. Dari hasil perbandingan ini akan dapat ditentukan
besarnya kesenjangan antara target yang diharapkan dengan hasil kegiatan program.
Untuk mengetahui distribusi masalah, informasi cakupan program dapat dianalisis lebih
lanjut menurut orang, tempat, dan waktu. Dengan cara ini dapat diketahui dimana,

A Lain
Modul Epidemiologi dan Transisi Gizi 2016
kapan, dan kelompok penduduk mana yang menderita masalah kesehatan ini dan
memerlukan perhatian pengelola program yang lebih besar.
Selanjutnya, untuk menyusun rencana operasional program penanggulangan
terhadap masalah ini, masalah tersebut dapat dianalisis lagi menurut faktor-faktor yang
diperkirakan menjadi resiko dengan distribusi masalah tersebut (Muninjaya, 2004).
Selain beberapa cara analisis diatas hasil dari kegiatan surveilans gizi dapat juga
dianalisis dengan mengaitkannya kepada surveilans kesehatan lainnya untuk dapat
dilakukan analisis situasi dan identifikasi faktor-faktor yang berkaitan dengan masalah
gizi, misalnya penggabungan grafik gizi
dengan grafik diare, penggabungan grafik kemiskinan dan gizi kurang, atau
penggabungan grafik kemiskinan, gizi kurang, dan kejadian diare (Depkes, 2006).

2.8. Penyebarluasan (Diseminasi) Hasil Analisis Surveilans Gizi


Hasil dari suatu pelaksanaan surveilans gizi akan bermanfaat apabila hasil tersebut
diinformasikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dengan bahasa yang mudah
dipahami. Namun kenyataannya penyebaran informasi yang disampaikan masih sering
diartikan dalam bentuk data-data yang begitu banyak dan belum diinterpretasikan
menjadi suatu informasi yang mudah dipahami (Adi dan Mukono, 2000).
Diseminasi informasi lebih tepat dimaksudkan untuk memberi informasi yang
dapat dimengerti dan kemudian dimanfaatkan dalam menentukan arah kebijakan
kegiatan, upaya pengendalian dan evaluasinya, baik berupa data atau interpretasi dan
kesimpulan analisis (Adi dan Mukono, 2000).
Terdapat beberapa cara dalam diseminasi informasi hasil surveilans gizi, antara
lain sebagai berikut (Adi dan Mukono, 2000):
1. Membuat suatu laporan yang disampaikan kepada unit kesehatan pada tingkat yang
lebih tinggi
2. Membuat suatu laporan yang disampaikan dalam seminar atau pertemuan lain
3. Membuat suatu tulisan dalam majalah atau jurnal kesehatan
Rekomendasi merupakan salah satu bentuk diseminasi informasi. Rekomendasi
dapat disampaikan pada penanggung jawab program pencegahan dan penanggulangan,
serta pada pelaksana kegiatan surveilans gizi. Hasil dari surveilans yang akan
disebarluaskan dalam bentuk laporan harus ditulis sesuai dengan sasaran dari pengguna
laporan tersebut.
Jika laporan ditujukan kepada pimpinan atau pengelola program, maka sebaiknya
laporan disajikan dengan informasi yang mempunyai implikasi untuk perubahan dan
perbaikan program saja. Sedangkan jika laporan ditulis dengan tujuan kepada kalangan
akademik atau profesional, maka harus menggunakan bahasa baku epidemiologi dengan
kecermatan analisis statistik dan laporan disajikan dalam bentuk lengkap.

2.9. Umpan Balik dalam Surveilans Gizi


Surveilans merupakan suatu kegiatan yang berjalan terus-menerus dan
berkesinambungan. Oleh karena itu, maka umpan balik atau pengiriman informasi
kembali sebagai umpan balik kepada sumber-sumber data mengenai arti data yang telah
mereka berikan dan kegunaannya setelah selesai diolah, merupakan suatu kegiatan yang

A Lain
Modul Epidemiologi dan Transisi Gizi 2016
yang sangat penting, sama pentingnya dengan tindakan follow up lainnya. Dengan
dilakukannya hal tersebut diharapkan pelapor secara terus-menerus mengadakan
pengamatan penyakit dan melaporkan hasil pengamatannya (Adi dan Mukono, 2000).
Bentuk dari umpan balik dapat berupa ringkasan dari informasi yang dimuat
dalam buletin atau surat yang berisi pertanyaan terkait informasi yang dilaporkan atau
berupa kunjungan ke tempat asal laporan untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya
serta mengadakan perbaikan jika perlu. Jika umpan balik berupa buku laporan atau
buletin maka harus diperhatikan ketepatan dalam waktu terbit (Adi dan Mukono, 2000).

2.10. Organisasi Pelaksanaan Surveilans Gizi


Dalam mengorganisasikan kegiatan surveilans perlu terlebih dahulu ditetapkan
beberapa hal berikut ini (Depkes, 2006):
1. Alur informasi dari sumber data paling bawah sampai kepada pengguna dan pengambil
keputusan. Alur informasi surveilans gizi dapat dilihat pada bagan 2.1.
2. Penentuan siapa yang berperan sebagai simpul.
3. Identifikasi tugas pokok dan fungsi masing-masing tingkat yang dilalui alur informasi.
4. Identifikasi pengguna potensial (potential users) pada berbagai tingkat pengguna.

Keterangan :
Distribusi data surveilans dari sumber data kepada unit surveilans yang akan melakukan
kompilasi data.
Distribusi data surveilans/umpan balik dari unit surveilans yang melakukan kompilasi data
kepada semua sumber data.
a. Sumber data
Sumber data adalah institusi atau lembaga yang memiliki data yang dapat dimanfaatkan,
misalnya: Posyandu sebagai sumber data pertumbuhan, bidan desa sebagai sumber data
anemia.
b. Simpul
Simpul adalah institusi atau lembaga yang mengolah atau menganalisis dan
menyebarluaskan hasil dari kegiatan surveilans kepada pengguna. Pada kondisi tertentu
simpul dapat melakukan konfirmasi ke sumber data, misalnya bidan desa sebagai simpul
data pertumbuhan di tingkat kecamatan.
c. Pengguna
Pengguna adalah institusi atau lembaga atau individu yang memanfaatkan informasi yang
dihasilkan oleh masing-masing simpul, diantaranya adalah:
1) Pelaksana program dari tingkat kecamatan kebawah, informasi digunakan untuk
keperluan konfirmasi, koordinasi dan intervensi.
2) Pelaksana program di tingkat kabupaten/kota dan provinsi, informasi digunakan untuk
keperluan konfirmasi, perumusan kebijakan, pengmabilan keputusan, perencanaan,

A Lain
Modul Epidemiologi dan Transisi Gizi 2016
koordinasi, pelaksanaan, dan evaluasi.
3) Pelaksana program di tingkat pusat, informasi digunakan untuk konfirmasi, perumusan
kebijakan, dan bimbingan serta evaluasi.

2.11. Prinsip Umum Pelaksanaan Surveilans Gizi


WHO (2002) menjelaskan bahwa prinsip umum pelaksanaan surveilans terdiri dari
kegiatan pengumpulan data dari kejadian dan peristiwa kesehatan yang terjadi
dimasyarakat kemudian dilakukan analisis dan interpretasi terhadap data yang telah
dikumpulkan untuk menghasilkan informasi yang berguna dalam pengambilan keputusan
intervensi yang akan dilakukan terhadap keadaan yang terjadi. Kegiatan umpan balik
(feedback) dari informasi yang dihasilkan kepada unit pelapor dilakukan guna
pengambilan keputusan di daerah masing-masing. Prinsip umum ini juga berlaku dalam
proses pelaksanaan surveilans gizi.
Transisi epodemiologi adalah perubahan distribusi dan faktor-faktor penyebab
terkait yang melahirkan masalah epodemiologi yang baru. Keadaantransisi epidemiologi
ini ditandai dengan perubahan pola frekuensi penyakit.Transisiepidemiologi bermula dari
suatu perubahan yang kompleks dalam pola kesehatandan pola penyakit utama penyebab
kematian dimana terjadi penurunan prevalensipenyakit infeksi (penyakit menular),
sedangkan penyakit non infeksi (penyakit tidakmenular) justru semakin meningkat. Hal ini
terjadi seiring dengan berubahnya gayahidup, sosial ekonomi dan meningkatnya umur
harapan hidup yang berartimeningkatnya pola risiko timbulnya penyakit degeneratif
seperti penyakit jantungkoroner, diabetes melitus, hipertensi, dan lain sebagainya.
Perubahan pola kesehatan dan pola penyebab kematian mengakibatkan munculnya
masalah gizi baru, tidak hanya maslah gizi kurang, namun masalah gizi lebih juga menjadi
prioritas yag harus diselesaikan.
Surveilans gizi merupakan salah satu bagian dari surveilans epidemiologi masalah
kesehatan. Menurut Depkes RI (2008) Surveilans gizi adalah proses pengamatan berbagai
masalah yang berkaitan dengan upaya perbaikan gizi masyarakat secara terus-menerus
baikpada situasi normal maupun darurat dan informasi yang dihasilkan dapat digunakan
untuk pengambilan keputusan dalam rangka mencegah memburuknya status gizi
masyarakat, menentukan intervensi yang diperlukan, manajemen program, dan evaluasi
dari program yang sedang dan telah dilaksanakan.

3. Rancangan studi epidemiologi gizi:

a. Studi ekologi contohnya:


Survey rumah tangga (asupan makanan) dikaitkan dengan data-data kesehatan oleh BPS
b. studi cross-sectional atau studi prevalensi:
untuk mengetahui hubungan antara faktor-faktor penyebab dan kelainan gizi pada suatu
waktu dengan cara cepat dan murah (hubungan kausal)
c. Studi case-kontrol
Untuk membandingkan orang yang mengalami kelainan gizi (kasus) dengan orang yang
bebas kelainan gizi (kontrol) berdasarkan factor penyebab yang telah lalu
A Lain
Modul Epidemiologi dan Transisi Gizi 2016
d. Studi kohort
Dengan menentukan factor penyebab terlebih dahulu kemudian mengikuti individu
tersebut untuk waktu tertentu diikuti akibat dari factor penyebab tersebut pada interval
waktu tertentu
e. Studi eksperimen
Faktor penyebab ditentukan dan dilihat efeknya.

2.4 Permasalahan pada epidemiologi gizi :


• Gizi atau status gizi sukar untuk ditentukan secara langsung sehingga selama ini
digunakan beberapa indikator status gizi
• Indikator status gizi tersebut sering digunakan untuk bermacam tujuan
• Masalah gizi merupakan akibat dari banyak faktor sehingga program gizi dan penelitian
gizi berkaitan dengan disiplin ilmu lainnya.

2.5 Penggunaan indikator status gizi:


1. Untuk melakukan penapisan individual dalam program pencegahan malnutrisi
(indikator untuk memprediksi malnutrisi)
2. Untuk mendiagnosis malnutrisi (indikator untuk memprediksi resiko maupun manfaat
dari intervensi gizi)
3. Untuk membandingkan hasil atau memposisikan suatu populasi terhadap nilai
norma/rujukan tertentu
4. Untuk mengevaluasi terapi/intervensi gizi (indikator yang bereaksi terhadap terapi gizi).
Pemilihan indikator yang terbaik bergantung pada tujuan yang ingin dicapai.

2.6 Masalah indikator status gizi:


• Validitas data:
Mengukur apa yang ingin di ukur (TB/U untuk masalah gizi kronis)
• Reliabilitas data:
Seberapa baik pengukuran dapat diulang
• Sensitivitas data:
Menentukan individu yang benar-benar sakit (high risk)
• Spesifisitas data:
Menentukan individu yang benar-benar sehat
• Akurasi data:
Pengukuran mendekati kebenaran

2.7 Ukuran-ukuran dalam epidemiologi gizi:


1. Ukuran untuk morbiditas dan mortalitas:
a. Rate, rasio dan proporsi
b. Rate, insidens dan prevalens

2. Indikator kesehatan:
a. Indikator dari penyebab khusus
b. Mortalitas bayi dan bayi baru lahir

A Lain
Modul Epidemiologi dan Transisi Gizi 2016
c. Mortalitas ibu
d. Umur harapan hidup

2.8 Masalah Gizi yang terjadi di Indonesia


A. Gizi Buruk
Definisi
Gizi Buruk suatu kondisi di mana seseorang dinyatakan kekurangan nutrisi, atau dengan
ungkapan lain status nutrisinya berada di bawah standar rata-rata. Nutrisi yang dimaksud
bisa berupa protein, karbohidrat dan kalori. Di Indonesia, kasus KEP (Kurang Energi
Protein) adalah salah satu masalah gizi utama yang banyak dijumpai pada balita.

1. Penyebab terjadinya gizi buruk

Orang akan menderita gizi buruk jika tidak mampu untuk mendapat manfaat dari
makanan yang mereka konsumsi, contohnya pada penderita diare, nutrisi berlebih,
ataupun karena pola makan yang tidak seimbang sehingga tidak mendapat cukup kalori
dan protein untuk pertumbuhan tubuh.
Beberapa orang dapat menderita gizi buruk karena mengalami penyakit atau kondisi
tertentu yang menyebabkan tubuh tidak mampu untuk mencerna ataupun menyerap
makanan secara sempurna. Contohnya pada penderita penyakit seliak yang mengalami
gangguan pada saluran pencernaan yang dipicu oleh sejenis protein yang banyak
terdapat pada tepung yaitu gluten. Penyakit seliak ini mempengaruhi kemampuan tubuh
untuk menyerap nutrisi sehingga terjadi defisiensi.
Kemudian ada juga penyakit cystic fibrosis yang mempengaruhi pankreas, yang fungsinya
adalah untuk memproduksi enzim yang dibutuhkan untuk mencerna makanan. Demikian
juga penderita intoleransi laktosa yang susah untuk mencerna susu dan produk
olahannya.

2. Penyebab secara langsung antara lain:


1. Penyapihan yang terlalu dini
2. Kurangnya sumber energi dan protein dalam makanan TBC
3. Anak yang asupan gizinya terganggu karena penyakit bawaan seperti jantung atau
metabolisme lainnya.
4. Pola makan yang tidak seimbang kandungan nutrisinya
5. Terdapat masalah pada sistem pencernaan
6. Adanya kondisi medis tertentu

3. Penyebab secara tidak langsung antara lain :


1. Daya beli keluarga rendah/ ekonomi lemah
2. Lingkungan rumah yang kurang baik
3. Pengetahuan gizi kurang
4. Perilaku kesehatan dan gizi keluarga kurang

4. Gejala-gejala Gizi Buruk

A Lain
Modul Epidemiologi dan Transisi Gizi 2016
Gizi buruk dapat mempengaruhi kesehatan tubuh baik fisik dan mental. Semakin berat
kondisi gizi buruk yang diderita (semakin banyak nutrisi yang kurang) akan memperbesar
resiko terjadinya masalah kesehatan secara fisik.
Pada gizi buruk yang berat dapat terjadi kasus seperti marasmus (lemah otot) akibat
defisiensi protein dan energi, kretinisme dan kerusakan otak akibat defisiensi yodium,
kebutaan dan resiko terkena penyakit infeksi yang meningkat akibat defisensi vitamin A,
sulit untuk berkonsentrasi akibat defisiensi zat besi.

5. Gejala Umum Dari Gizi Buruk Adalah :


1. Kelelahan dan kekurangan energy
2. Pusing
3. Sistem kekebalan tubuh yang rendah (yang mengakibatkan tubuh kesulitan untuk
melawan infeksi)
4. Kulit yang kering dan bersisik
5. Gusi bengkak dan berdarah
6. Gigi yang membusuk
7. Sulit untuk berkonsentrasi dan mempunyai reaksi yang lambat
8. Berat badan kurang
9. Pertumbuhan yang lambat
10. Kelemahan pada otot
11. Perut kembung
12. Tulang yang mudah patah
13. Terdapat masalah pada fungsi organ tubuh
6. Tanda – tanda Gizi buruk secara umum
1. Berat Badan di bawah normal
2. Rambut pirang. Kering kusam
3. Pertumbuhan otak terhambat
4. Badan nya lemas
5. Matanya Cekung
6. Perut buncit
7. Tidak nafsu makan
8. Rabun Senja

7. Dampak gizi buruk pada anak terutama balita


1. Pertumbuhan badan dan perkembangan mental anak sampai dewasa terhambat.
2. Kekurangan Vitamin A dapat menyebabkan Rabun Senja
3. Daya tahan tubuh Lamah
4. Mudah terkena penyakit ispa, diare, dan yang lebih sering terjadi.
5. Zat antibody tidak sempurna
6. Jika terinfeksi sukar sembuh serta mudah berkomplikasi
7. Rentan terhadap penyakit TBC
8. Bisa menyebabkan kematian bila tidak dirawat secara intensif.

8. Indikasi Gizi Buruk

A Lain
Modul Epidemiologi dan Transisi Gizi 2016
Untuk KEP ringan dan sedang, gejala klinis yang bisa dijumpai pada anak adalah berupa
kondisi badan yang tampak kurus.
Sedangkan gejala klinis KEP berat/gizi buruk secara garis besar bisa dibedakan menjadi
tiga tipe:
1. kwashiorkor
2. marasmus
3. marasmus-kwashiorkor.

1. Kwashiorkor adalah penyakit yang disebabkan oleh kekurangan protein dan sering
timbul pada usia 1-3 tahun karena pada usia ini kebutuhan protein tinggi. Meski
penyebab utama kwashiorkor adalah kekurangan protein, tetapi karena bahan makanan
yang dikonsumsi kurang menggandung nutrient lain serta konsumsi daerah setempat
yang berlainan, akan terdapat perbedaan gambaran kwashiorkor di berbagai negara.

a. Ciri – ciri kwashiorkor :


• edema (pembengkakan), umumnya seluruh tubuh (terutama punggung kaki dan wajah)
membulat dan lembab
• pandangan mata sayu
• rambut tipis kemerahan seperti warna rambut jagung dan mudah dicabut tanpa rasa
sakit dan mudah rontok
• terjadi perubahan status mental menjadi apatis dan rewel
• terjadi pembesaran hati
• otot mengecil (hipotrofi), lebih nyata bila diperiksa pada posisi berdiri atau duduk
• terdapat kelainan kulit berupa bercak merah muda yang meluas dan berubah warna
menjadi coklat kehitaman lalu terkelupas (crazy pavement dermatosis)
• sering disertai penyakit infeksi yang umumnya akut
• anemia dan diare

2. Marasmus adalah kekurangan energi pada makanan yang menyebabkan cadangan


protein tubuh terpakai sehingga anak menjadi “kurus” dan “emosional”. Sering terjadi
pada bayi yang tidak cukup mendapatkan ASI serta tidak diberi makanan penggantinya,
atau terjadi pada bayi yang sering diare.

a. ciri - ciri marasmus :


• badan nampak sangat kurus seolah-olah tulang hanya terbungkus kulit
• wajah seperti orang tua
• mudah menangis/cengeng dan rewel
• kulit menjadi keriput
• jaringan lemak subkutis sangat sedikit sampai tidak ada (baggy pant/pakai celana
longgar
• perut cekung, dan iga gambang
• seringdisertai penyakit infeksi (umumnya kronis berulang)

A Lain
Modul Epidemiologi dan Transisi Gizi 2016
• diare kronik atau konstipasi (susah buang air)

3. Ciri – ciri marasmus-kwashiorkor


Memiliki ciri gabungan dari beberapa gejala klinis kwashiorkor dan marasmus disertai
edema yang tidak mencolok.

A. Cara Mengukur Status Gizi Anak


Banyak cara yang bisa dilakukan untuk mengukur status gizi pada anak. Berikut adalah
salah satu contoh pengukuran status gizi bayi dan balita berdasarkan tinggi badan
menurut usia dan lingkar lengan atas.

Tabel Berat dan Tinggi Badan Menurut Umur


(usia 0-5 tahun, jenis kelamin tidak dibedakan)
Tabel Standar Baku Lingkar Lengan Atas (LiLA) Menurut Umur

Sumber: Pedoman Ringkas Pengukuran Antropometri, hlm. 18


B. Cara pencegahan
Menimbang begitu pentingnya menjaga kondisi gizi balita untuk pertumbuhan dan
kecerdasannya, maka sudah seharusnya para orang tua memperhatikan hal-hal yang
dapat mencegah terjadinya kondisi gizi buruk pada anak.

Berikut adalah beberapa cara untuk mencegah terjadinya gizi buruk pada anak:
1. Memberikan ASI eksklusif (hanya ASI) sampai anak berumur 6 bulan. Setelah itu, anak
mulai dikenalkan dengan makanan tambahan sebagai pendamping ASI yang sesuai
dengan tingkatan umur, lalu disapih setelah berumur 2 tahun
2. Anak diberikan makanan yang bervariasi, seimbang antara kandungan protein, lemak,
vitamin dan mineralnya. Perbandingan komposisinya: untuk lemak minimal 10% dari total
kalori yang dibutuhkan, sementara protein 12% dan sisanya karbohidrat.
3. Rajin menimbang dan mengukur tinggi anak dengan mengikuti program Posyandu.
Cermati apakah pertumbuhan anak sesuai dengan standar di atas. Jika tidak sesuai,
segera konsultasikan hal itu ke dokter.
4. Jika anak dirawat di rumah sakit karena gizinya buruk, bisa ditanyakan kepada petugas
pola dan jenis makanan yang harus diberikan setelah pulang dari rumah sakit.
5. Jika anak telah menderita karena kekurangan gizi, maka segera berikan kalori yang
tinggi dalam bentuk karbohidrat, lemak, dan gula. Sedangkan untuk proteinnya bisa
diberikan setelah sumber-sumber kalori lainnya sudah terlihat mampu meningkatkan
energi anak. Berikan pula suplemen mineral dan vitamin penting lainnya. Penanganan dini
sering kali membuahkan hasil yang baik. Pada kondisi yang sudah berat, terapi bisa
dilakukan dengan meningkatkan kondisi kesehatan secara umum. Namun, biasanya akan
meninggalkan sisa gejala kelainan fisik yang permanen dan akan muncul masalah
intelegensia di kemudian hari.

C. Cara Penanggulangan Gizi Buruk

A Lain
Modul Epidemiologi dan Transisi Gizi 2016
1. Biasakan makan – makanan gizi yang seimbang
2. Mengatur pola makan balita
3. Konsumsi Vitamin A seperti susu, ikan goring, hati, sayur hijau, dan kuning
4. Konsumsi Vitamin B 12 seperti kedelai, telur, keju,daging, tempe, dll

4. Obesitas adalah penyakit gizi yang disebabkan kelebihan kalori dan ditandai dengan
akumulasi jaringan lemak secara berlebihan diseluruh tubuh. Merupakan keadaan
patologis dengan terdapatnya penimbunan lemak yang berlebihan dari yang diperlukan
untuk fungsi tubuh. Gizi lebih (over weight) dimana berat badan melebihi berat badan
rata-rata, namun tidak selalu identik dengan obesitas.

a. Penyebab
• Perilaku makan yang berhubungan dengan faktor keluarga dan lingkungan
• Aktifitas fisik yang rendah
• Gangguan psikologis (bisa sebagai sebab atau akibat)
• Laju pertumbuhan yang sangat cepat
• Genetik atau faktor keturunan
• Gangguan hormon
b. Gejala
• Terlihat sangat gemuk
• Lebih tinggi dari anak normal seumur
• Dagu ganda
• Buah dada seolah-olah berkembang
• Perut menggantung
• Penis terlihat kecil
c. Terdapat 2 golongan obesitas
• Regulatory obesity, yaitu gangguan primer pada pusat pengatur masukan makanan
• Obesitas metabolik, yaitu kelainan metabolisme lemak dan karbohidrat
d. Resiko/dampak obesitas
• Gangguan respon imunitas seluler
• Penurunan aktivitas bakterisida
• Kadar besi dan seng rendah
e. Penatalaksanaan
• Menurunkan BB sangat drastis dapat menghentikan pertumbuhannya. Pada obesitas
sedang, adakalanya penderita tidak memakan terlalu banyak, namun aktifitasnya kurang,
sehingga latihan fisik yang intensif menjadi pilihan utama
• Pada obesitas berat selain latihan fisik juga memerlukan terapi diet. Jumalh energi
dikurangi, dan tubuh mengambil kekurangan dari jaringan lemak tanpa mengurangi
pertumbuhan, dimana diet harus tetap mengandung zat gizi esensial.
• Kurangi asupan energi, akan tetapi vitamin dan nutrisi lain harus cukup, yaitu dengan
mengubah perilaku makan
• Mengatasi gangguan psikologis
• Meningkatkan aktivitas fisik
• Membatasi pemakaian obat-obatan yang untuk mengurangi nafsu makan

A Lain
Modul Epidemiologi dan Transisi Gizi 2016
• Bila terdapat komplikasi, yaitu sesak nafas atau sampai tidak dapat berjalan, rujuk ke
rumah sakit
• Konsultasi (psikologi anak atau bagian endokrin)
5. ANEMIA
Anemia defisiensi adalah anemia yang disebabkan oleh kekurangan satu atau beberapa
bahan yang diperlukan untuk pematangan eritrosit. Keadaan dimana kadar hemoglobin
(Hb), hematokrit (Ht) dan eritrosit lebih rendah dari nilai normal, akibat defisiensi salah
satu atau beberapa unsur makanan yang esensial yang dapat mempengaruhi timbulnya
defisiensi tersebut.

a. Macam-macam anemia
1. Anemia defisiensi besi adalah anemia karena kekurangan zat besi atau sintesa
hemoglobin.
2. Anemia megaloblastik adalah terjadinya penurunan produksi sel darah merah yang
matang, bisa diakibatkan defisiensi vitamin B12
3. Anemia aplastik adalah anemia yang berat, leukopenia dan trombositopenia,
hipoplastik atau aplastik

1. ANEMIA DEFISIENSI BESI


• Prevalensi tertinggi terjadi didaerah miskin, gizi buruk dan penderita infeksi
• Hasil studi menunjukan bahwa anemia pada masa bayi mungkin menjadi salah satu
penyebab terjadinya disfungsi otak permanen
• Defisiensi zat besi menurunkan jumlah oksigen untuk jaringan, otot kerangka,
menurunnya kemampuan berfikir serta perubahan tingkah laku.
a. Ciri
• Akan memperlihatkan respon yang baik dengan pemberian preparat besi
• Kadar Hb meningkat 29% setiap 3 minggu
b. Tanda dan gejala
• Pucat (konjungtiva, telapak tangan, palpebra)
• Lemah
• Lesu
• Hb rendah
• Sering berdebar
• Papil lidah atrofi
• Takikardi
• Sakit kepala
• Jantung membesar
c. Dampak
• Produktivitas rendah
• SDM untuk generasi berikutnya rendah
d. Penyebab
Sebab langsung
• Kurang asupan makanan yang mengandung zat besi
• Mengkonsumsi makanan penghambat penyerapan zat besi

A Lain
Modul Epidemiologi dan Transisi Gizi 2016
• Infeksi penyakit
Sebab tidak langsung
• Distribusi makanan yang tidak merata ke seluruh daerah
Sebab mendasar
• Pendidikan wanita rendah
• Ekonomi rendah
• Lokasi ggeografis (daerah endemis malaria)
e. Kelompok sasaran prioritas
• Ibu hamil dan menyusui
• Balita
• Anak usia sekolah
• Tenaga kerja wanita
• Wanita usia subur
f. Penanganan
• Pemberian Komunikasi,informasi dan edukasi (KIE) serta suplemen tambahan pada ibu
hamil maupun menyusui
• Pembekalan KIE kepada kader dan orang tua serta pemberian suplemen dalam bentuk
multivitamin kepada balita
• Pembekalan KIE kepada guru dan kepala sekolah agar lebih memperhatikan keadaan
anak usia sekolah serta pemeberian suplemen tambahan kepada anak sekolah
• Pembekalan KIE pada perusahaan dan tenaga kerja serta pemberian suplemen kepada
tenaga kerja wanita
• Pemberian KIE dan suplemen dalam bentuk pil KB kepada wanita usia subur (WUS)
6. DEFISIENSI VITAMIN A
Prevalensi tertinggi terjadi pada balita
a. Penyebab
• Intake makanan yang mengandung vitamin A kurang atau rendah
• Rendahnya konsumsi vitamin A dan pro vitamin A pada bumil sampai melahirkan akan
memberikan kadar vitamin A yang rendah pada ASI
• MP-ASI yang kurang mencukupi kebutuhan vitamin A
• Gangguan absorbsi vitamin A atau pro vitamin A (penyakit pankreas, diare kronik, KEP
dll)
• Gangguan konversi pro vitamin A menjadi vitamin A pada gangguan fungsi kelenjar
tiroid
• Kerusakan hati (kwashiorkor, hepatitis kronik)
b. Sifat
• Mudah teroksidasi
• Mudah rusak oleh sinar ultraviolet
• Larut dalam lemak
c. Tanda dan gejala
• Rabun senja-kelainan mata, xerosis konjungtiva, bercak bitot, xerosis kornea
• Kadar vitamin A dalam plasma <20ug/dl d. Tanda hipervitaminosis Akut • Mual, muntah
• Fontanela meningkat Kronis • Anoreksia • Kurus • Cengeng • Pembengkakan tulang e.
Upaya pemerintah • Penyuluhan agar meningkatkan konsumsi vitamin A dan pro vitamin

A Lain
Modul Epidemiologi dan Transisi Gizi 2016
A • Fortifikasi (susu, MSG, tepung terigu, mie instan) • Distribusi kapsul vitamin A dosis
tinggi pada balita 1-5 tahun (200.000 IU pada bulan februari dan agustus), ibu nifas
(200.000 IU), anak usia 6-12 bulan (100.000 IU) • Kejadian tertentu, ditemukan buta
senja, bercak bitot. Dosis saat ditemukan (200.000 IU), hari berikutnya (200.000 IU) dan
4 minggu berikutnya (200.000 IU) • Bila ditemukan xeroptalmia. Dosis saat ditemukan
:jika usia >12 bulan 200.000 IU, usia 6-12 bulan 100.000 IU, usia < 6 bulan 50.000 IU,
dosis pada hari berikutnya diberikan sesuai usia demikian pula pada 1-4 minggu
kemudian dosis yang diberikan juga sesuai usia
• Pasien campak, balita (200.000 IU), bayi (100.000 IU)
f. Catatan
• Vitamin A merupakan nutrient esensial, yang hanya dapat dipenuhi dari luar tubuh,
dimana jika asupannya berlebihan bisa menyebabkan keracunan karena tidak larut dalam
air
• Gangguan asupan vitamin A bisa menyebabkan morbili, diare yang bisa berujung pada
morbiditas dan mortalitas, dan pneumonia
7. GANGGUAN AKIBAT KEKURANGAN YODIUM (GAKY)
• Adalah sekumpulan gejala yang dapat ditimbulkan karena tubuh menderita kekurangan
yodium secara terus menerus dalam waktu yang lama.
• Merupakna masalah dunia
• Terjadi pada kawasan pegunungan dan perbukitan yang tanahnya tidak cukup
mengandung yodium
• Defisiensi yang berlangsung lama akan mengganggu fungsi kelenjar tiroid yang secara
perlahan menyebabkan pembesaran kelenjar gondok
a. Dampak
• Pembesaran kelenjar gondok
• Hipotiroid
• Kretinisme
• Kegagalan reproduksi
• Kematian
b. Defisiensi pada janin
• Dampak dari kekurangan yodium pada ibu
• Meningkatkan insiden lahir mati, aborsi, cacat lahir
• Terjadi kretinisme endemis
• Jenis syaraf (kemunduran mental, bisu-tuli, diplegia spatik)
• Miksedema (memperlihatkan gejala hipotiroid dan dwarfisme)
c. Defisiensi pada BBL
• Penting untuk perkembangan otak yang normal
• Terjadi penurunan kognitif dan kinerja motorik pada anak usia 10-12 tahun pada
mereka yang dilahirkan dari wanita yang mengalami defisiensi yodium
d. Defisiensi pada anak
• Puncak kejadian pada masa remaja
• Prevalensi wanita lebih tinggi dari laki-laki
• Terjadi gangguan kinerja belajar dan nilai kecerdasan
e. Klasifikasi tingkat pembesaran kelenjar menurut WHO (1990)

A Lain
Modul Epidemiologi dan Transisi Gizi 2016
• Tingkat 0 : tidak ada pembesaran kelenjar
• Tingkat IA : kelenjar gondok membesar 2-4x ukuran normal, hanya dapat diketahui
dengan palpasi, pembesaran tidak terlihat pada posisi tengadah maksimal
• Tingkat IB : hanya terlihat pada posisi tengadah maksimal
• Tingkat II : terlihat pada posisi kepala normal dan dapat dilihat dari jarak ± 5 meter
• Tingkat III : terlihat nyata dari jarak jauh

f. Sasaran
• Ibu hamil
• WUS
g. Dosis dan kelompok sasaran pemberian kapsul yodium
• Bayi < 1tahun : 100 mg
• Balita 1-5 tahun : 200 mg
• Wanita 6-35 tahun : 400 mg
• Ibu hamil (bumil) : 200 mg
• Ibu meneteki (buteki) : 200 mg
• Pria 6-20 tahun : 400 mg
8. GAKY tidak berhubungan denga tingkat sosek melainkan dengan geografis
Spektrum gangguan akibat kekurangan yodium
• Fetus : abortus, lahir mati, kematian perinatal, kematian bayi, kretinisme nervosa (bisu
tuli, defisiensi mental, mata juling), cacat bawaan, kretinisme miksedema, kerusakan
psikomotor
• Neonatus : gangguan psikomotor, hipotiroid neonatal, gondok neonatus
• Anak dan remaja : gondok, hipotiroid juvenile, gangguan fungsi mental (IQ rendah),
gangguan perkembangan
• Dewasa : gondok, hipotiroid, gangguan fungsi mental, hipertiroid diimbas oleh yodium
Sumber makanan beryodium yaitu makanan dari laut seperti ikan, rumput laut dan sea
food. Sedangkan penghambat penyerapan yodium (goitrogenik) seperti kol, sawi, ubi
kayu, ubi jalar, rebung, buncis, makanan yang panas, pedas dan rempah-rempah.
a. Pencegahan/penanggulangan
• Fortifikasi : garam
• Suplementasi : tablet, injeksi lipiodol, kapsul minyak beryodium

Pendekatan masalah gizi masyarakat melalui epidemiologi gizi bertujuan untuk


menganalisis berbagai faktor yang berhubungan erat dengan timbulnya masalah gizi
masyarakat, baik yang bersifat biologis, dan terutama yang berkaitan dengan kehidupan
social masyarakat. Penanggulangan masaah gizi masyarakat yang disertai dengan
surveilans gizi lebih mengarah kepada penanggulangan berbagai faktor yang berkaitan
erat dengan timbulnya masalah tersebut dalam masyarakat dan tidak hanya terbatas
pada sasaran individu atau lingkungan keluarga saja.

Epidemiologi gizi adalah ilmu yang mempelajari determinan dari suatu masalah atau
kelainan gizi.
• Mempelajari distribusi dan besarnya masalah gizi pada populasi manusia.
A Lain
Modul Epidemiologi dan Transisi Gizi 2016
• Menguraikan penyakit dari masalah gizi dan menentukan hubungan sebab akibat.
• Memberikan informasi yang dibutuhkan untuk merencanakan dan melaksanakan
program pencegahan, kontrol dan penanggulangan masalah gizi di masyarakat.
• Menguraikan penyebab dari masalah gizi dan menentukan hubungan sebab akibat.

Masalah gizi dihubungkan dengan:


4. Faktor dan penyebab masalah gizi (agent)
5. Faktor yang ada pada pejamu (host)
6. Faktor yang ada di lingkungan pejamu (environment)

DAFTAR PUSTAKA

Nasry Noor, Prof. Dr. Nur, M.PH. Epidemiologi. Jakarta: Rineka Cipta, 2008
http://lenteraimpian.wordpress.com/2010/02/24/masalah-masalah-gizi-di-indonesia-2/
Budiarto, Dr. Eko, SKM. Pengantar Epidemiologi. Jakarta: EGC, 2002
Anonym.Gizi lebih (over nutrition) dalam kaitannya dengan peningkatan resiko penyakit
degenerative
Azwar, Azrul. Kecenderungan masalah gizi dan tantangan di masa datang*)

A Lain

Anda mungkin juga menyukai