Anda di halaman 1dari 20

PAPER

STUNTING DALAM LINGKUP GLOBAL


(Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Kajian Strategis Kesehatan
Masyarakat Globat Kelas B)

Dosen Pengampu:
Adistha Eka Noveyani, S. KM., M. PH.

Disusun Oleh : Kelompok 3


Vega Retno Pratiwi 182110101004
Niajeng Novta Dwi Nafisah 182110101062
Aditya Bambang Setiawan 182110101081
Monica Galuh Dhiharsiwi 182110101103
Yustika Isbanatul 182110101151
Chintya Kurnianti Utami 182110101155
Fiskan Adi Santro Mulya 192110101010
Alivia Leyla Safira 192110101098
Ahmad Putra Hadaetana 192110101099
Naura Salsabila Yolandhia 192110101100

PROGRAM STUDI S1 KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS JEMBER
2021
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit tidak menular (PTM) menjadi penyebab utama kematian secara
global. Menurut World Health Organization (2018), sebesar 71% penyebab
kematian di dunia adalah Penyakit Tidak Menular yang membunuh 36 juta jiwa
per tahun. Sekitar 80 persen kematian tersebut terjadi di negara berpenghasilan
menengah dan rendah. 73% kematian saat ini disebabkan oleh penyakit tidak
menular (WHO, 2018b). PTM juga berisiko membunuh penduduk dengan usia
yang lebih muda.
Badan Kesehatan Dunia WHO, menyatakan bahwa kematian akibat
Penyakit Tidak Menular (PTM) diperkirakan akan terus meningkat di seluruh
dunia, peningkatan terbesar akan terjadi di negara-negara menengah dan miskin.
Lebih dari dua pertiga (70%) dari populasi global akan meninggal akibat penyakit
tidak menular. Dalam jumlah total, pada tahun 2030 diprediksi akan ada 52 juta
jiwa kematian per tahun karena penyakit tidak menular, naik 9 juta jiwa dari 38
juta jiwa pada saat ini. Pada negara-negara menengah dan miskin dari seluruh
kematian yang terjadi pada orang-orang berusia kurang dari 60 tahun, 29%
disebabkan oleh PTM, sedangkan di negara-negara maju, menyebabkan 13%
kematian (WHO, 2018b). Keprihatinan terhadap peningkatan prevalensi PTM di
dunia mendorong lahirnya kesepakatan tentang strategi global dalam pencegahan
dan pengendalian PTM, khususnya di negara berkembang. PTM telah menjadi isu
strategis dalam agenda SDGs 2030 sehingga harus menjadi prioritas
pembangunan di setiap negara. Selain itu, peningkatan kasus PTM secara
signifikan diperkirakan akan menambah beban masyarakat dan pemerintah,
karena penanganannya membutuhkan biaya yang besar serta teknologi tinggi.
Stunting (kerdil) adalah kondisi dimana balita memiliki panjang atau
tinggi badan yang kurang jika dibandingkan dengan umur. Kondisi ini diukur
dengan panjang atau tinggi badan yang lebih dari minus dua standar deviasi
median standar pertumbuhan anak dari WHO (Kemenkes RI, 2018). Kejadian
balita pendek atau biasa disebut dengan stunting merupakan salah satu masalah
gizi yang dialami oleh balita di dunia saat ini. Pada tahun 2017 22,2% atau sekitar

1
150,8 juta balita di dunia mengalami stunting. Namun angka ini sudah mengalami
penurunan jika dibandingkan dengan angka stunting pada tahun 2000 yaitu
32,6%. Pada tahun 2017, lebih dari setengah balita stunting di dunia berasal dari
Asia (55%) sedangkan lebih dari sepertiganya (39%) tinggal di Afrika. Dari 83,6
juta balita stunting di Asia, proporsi terbanyak berasal dari Asia Selatan (58,7%)
dan proporsi paling sedikit di Asia Tengah (0,9%) (WHO, 2018a).
Stunting merupakan akibat buruk dari orang miskin nutrisi dari sejak
dalam kandungan dan pada masa awal setelah anak lahir, tetapi baru tampak
setelah anak berusia 2 tahun. Anak-anak yang menderita stunting mungkin tidak
akan mencapai ketinggian yang maksimal (kerdil), pengetahuan kognitif tidak
akan berkembang sepenuhnya, berpenghasilan rendah saat dewasa, dan
menghadapi hambatan berpartisipasi dalam sebuah komunitas. Konsekuensi
pengkerdilan dapat berlangsung seumur hidup dan bahkan mempengaruhi
generasi penerus. Secara global sebanyak 149,2 juta anak dibawah 5 tahun
menderita stunting pada tahun 2020, hal ini disebabkan karena sulitnya akses
nutrisi selama Pandemi COVID-19 (WHO, 2021).
Stunting sering tidak dikenali di masyarakat di mana perawakan pendek
sangat umum sehingga dianggap normal. Setelah bertahun-tahun diabaikan,
pengerdilan kini diidentifikasi sebagai prioritas kesehatan global utama dan fokus
dari beberapa inisiatif terkenal seperti Scaling Up Nutrition, Zero Hunger
Challenge, dan Nutrition for Growth Summit. Stunting juga merupakan inti dari
enam target gizi global untuk tahun 2025 yang diadopsi oleh Majelis Kesehatan
Dunia pada tahun 2012 (WHO, 2012). Meningkatnya perhatian internasional
adalah hasil dari kesadaran yang lebih besar akan pentingnya stunting sebagai
masalah kesehatan masyarakat yang utama. Bukan hanya menjadi perhatian
internasional, namun setiap negara harus mampu mengkoordinasikan dan
melakukan upaya penyelesaian kasus stunting dengan startegi yang berbeda,
bergantung situasi dan kondisi negara tersebut. Oleh karenanya, penyusunan paper
ini ditujukan untuk mengetahui tantangan stunting secara global, upaya preventif
yang harus dan telah dilakukan, success story dari beberapa negara di dunia, dan

2
kunci keberhasilan program yang dijalankan dalam upaya pengendalian stunting
secara global.
PEMBAHASAN
2.1 Tantangan Penanganan Stunting di Dunia
Tantangan penanganan stunting di dunia antara lain:
1. Ketahanan Pangan Yang Rendah
Ketahanan pangan merujuk pada tersedianya pangan yang
cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi,
merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama,
keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif,
dan produktif secara berkelanjutan. Rendahnya ketahanan pangan
akan menyebabkan tidak tercukupinya kebutuhan gizi sehingga
rumah tangga yang memiliki ketahanan pangan rendah berisiko
terjadinya stunting pada anak mereka. Ketahan pangan yang
kurang baik biasanya terjadi di negara-negara berpenghasilan
rendah (Wardani et al., 2020).
2. Minimnya Kesadaran Masyarakat Mengenai Pencegahan Stunting
Sejak 1000 Hari Pertama Kehidupan
Permasalahan stunting merupakan salah satu permasalahan
gizi yang menjadi permasalahan dunia. Stunting merupakan
kegagalan dalam pertumbuhan anak sebagai akibat dari
ketidakcukupan nutrisi yang dibutuhkan anak sejak 1000 hari
pertama kehidupan (Mitra, 2015). Risiko terjadinya stunting pada
anak juga akan meningkat apa bila wanita tidak memiliki status
gizi yang baik atau mengalami kekurangan gizi selama masa
remaja. Kesadaran masyarakat dinilai masih kurang dalam upaya
pencegahan stunting pada anak karena masyarakat cenderung
memandang remeh pentingnya status gizi yang baik sejak usia
remaja sampai memasuki masa kehamilan. Adanya food taboo
dalam masyarakat juga berdampak negative pada wanita hamil
sehingga wanita hamil akan berisiko mengalami kekurangan gizi

3
yang akan berdampak pada meningkatnya anak terlahir dengan
berat badan rendah (BBLR).BBLR yang terjadi pada anak akan
mengakibatkan anak berisiko terkena stunting.
3. Belum Efektifnya Program-Program Pencegahan Stunting
Tidak efektifnya program-program pencegahan stunting
masih menjadi permasalahan yang terjadi di berbagai negara.
Program pencegahan stunting merupakan program yang kompleks
sehingga memerlukan pendekatan lintas sektor. Beberapa
permasalahan belum efektifnya program pencegahan stunting
meliputi permasalahan program pencegahan anemia pada ibu
hamil, permasalahan gizi pada remaja, rendahnya ketercakupan
program imunisasi, permasalahan program sanitasi dan air minum,
permasalaha terkait ketahanan pangan rumah tangga serta masih
tidak efektifnya program promosi kesehatan terkait pencegahan
stunting.
4. Belum Optimalnya Koordinasi Penyelenggaraan Intervensi Gizi
Spesifik Dan Sensitif Di Semua Tingkatan- Terkait Dengan
Perencanaan Dan Penganggaran, Penyelenggaraan, Dan
Pemantauan Dan Evaluasi.
Permasalahan stunting merupakan permasalahan yang
kompleks yang membutuhkan kerjasama antar beberapa sektor
terkait dalam upaya pencegahannya. Dalam pencegahan stunting
dapat dilakukan dengan intervensi gizi spesifik dan sensitif di
semua tingkatan. Intervensi gizi spesifik adalah upaya untuk
mencegah dan mengurangi masalah gizi secara langsung. Kegiatan
ini pada umumnya dilakukan oleh sektor kesehatan. Kegiatan yang
dilakukan antara lain berupa imunisasi, PMT ibu hamil dan balita
di posyandu. Sasaran : khusus kelompok 1000 HPK (ibu hamil, ibu
menyusui dan anak 0 – 23 bulan) (Rosha et al., 2016). Intervensi
Gizi sensitif adalah upaya-upaya untuk mencegah dan mengurangi
masalah gizi secara tidak langsung. Kegiatan ini pada umumnya

4
dilakukan oleh sektor non– kesehatan. Kegiatannya antara lain
penyediaan air bersih, kegiatan penanggulangan kemiskinan,
pemberdayaan perempuan, dan lain-lain. Dalam program-program
tersebut diperlukan koordinasi yang jelas terkait dengan
perencanaan dan penganggaran, penyelenggaraan, dan pemantauan
dan evaluasi agar intervensi program yang diberikan dapat berjalan
maksimal (Rosha et al., 2016).
5. Belum Efektif Dan Efisiennya Pengalokasian Dan Pemanfaatan
Sumber Daya Dan Sumber Dana
Hal tersebut disebabkan karena tidak adanya proses
perencanaan yang baik dan proses evaluasi yang baik selama
program dilakukan. Meskipun program pencegahan stunting sudah
berjalan, apabila tidak diiringi dengan pengalokasian sumber daya
dan sumber dana yang tepat maka program pencegahan stunting di
berbagai negara tidak dapat berjalan maksimal.
6. Keterbatasan Kapasitas Dan Kualitas Penyelenggaraan Program.
Keterbatasan kapasitas dan penyelenggaraan program
masih menjadi salah satu tantangan dalam program pencegahan
stunting di dunia yang pada umumnya terjadi di negara menengah
kebawah. Hal tersebut dikarenakan karena keterbatasan sumber
daya baik anggaran dan sumber daya manusia yang ditujukan
untuk program pencegahan stunting di setiap negara. Keterbatasan
kapasitas pelayanan kesehatan terutama untuk pelayanan kesehatan
ibu dan anak juga dapat menjadi faktor risiko meningkatnya angka
kejadian stunting di berbagai negara terutama di negara
berpenghasilan rendah. Oleh karena itu diperlukan pengadaan
anggaran untuk meningkatkan kapasitas sebuah negara dalam
upaya pencegahan stunting.
7. Masih Minimnya Advokasi, Kampanye, Dan Diseminasi Terkait
Stunting, Dan Berbagai Upaya Pencegahannya

5
Minimnya advokasi kampanye dan diseminasi terkait
stunting dan upaya pencegahannya masih menjadi persolan di
berbagai negara dalam upaya pencegahan stunting. Hal tersebut
akan menyebabkan tidak terbentuknya kebijakan-kebijakan
pemerintah yang mendukung program penanganan stunting yang
baik dan akan menurunkan kesadaran masyarakat dalam upaya
pencegahan stunting.

2.2 Upaya Preventif Stunting


Usia 0–2 tahun atau usia bawah tiga tahun (batita) merupakan periode
emas (golden age) untuk pertumbuhan dan perkembangan anak, karena pada masa
tersebut terjadi pertumbuhan yang sangat pesat. Periode 1000 hari pertama sering
disebut window of opportunities atau periode emas ini didasarkan pada kenyataan
bahwa pada masa janin sampai anak usia dua tahun terjadi proses tumbuh-
kembang yang sangat cepat dan tidak terjadi pada kelompok usia lain. Gagal
tumbuh pada periode ini akan mempengaruhi status gizi dan kesehatan pada usia
dewasa. Oleh karena itu perlu dilakukan upaya-upaya pencegahan masalah
stunting ini mengingat tingginya prevalensi stunting di Indonesia. Pemerintah
telah menetapkan kebijakan pencegahan stunting, melalui Keputusan Presiden
Nomor 42 tahun 2013 tentang Gerakan Nasional Peningkatan Percepatan Gizi
dengan fokus pada kelompok usia pertama 1000 hari kehidupan, yaitu sebagai
berikut:
1. Ibu hamil mendapat Tablet Tambah Darah (TTD) minimal 90
tablet selama kehamilan
2. Pemberian Makanan Tambahan (PMT) ibu hamil
3. Pemenuhan gizi
4. Persalinan dengan dokter atau bidan yang ahli
5. Pemberian Inisiasi Menyusu Dini (IMD)
6. Pemberian Air Susu Ibu (ASI) secara eksklusif pada bayi hingga
usia 6 bulan

6
7. Memberikan Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) untuk bayi
diatas 6 bulan hingga 2 tahun
8. Pemberian imunisasi dasar lengkap dan vitamin A
9. Pemantauan pertumbuhan balita di posyandu terdekat
10. Penerapan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS)
Selain itu untuk mencegah adanya stunting diperlukan Gerakan
masyarakat hidup sehat sebagaimana dimaksud pada dilaksanakan untuk
mensinergikan upaya promotif dan preventif masalah Stunting serta meningkatkan
produktivitas masyarakat. Gerakan masyarakat hidup sehat sebagaimana
dimaksud pada dilaksanakan melalui:
a. peningkatan aktivitas fisik
b. peningkatan perilaku hidup sehat
c. penyediaan pangan sehat dan percepatan perbaikan gizi
d. peningkatan pencegahan dan deteksi dini penyakit
e. peningkatan kualitas lingkungan
f. peningkatan edukasi hidup sehat.

2.3 Success Story Dalam Pencegahan Dan Pengendalian Stunting


Peru termasuk salah satu negara di Amerika Selatan yang berhasil
menurunkan angka stunting. Dilihat dari catatan departemen bahwa prevalensi
pengerdilan lebih tinggi dari 30% pada tahun 2000 dan menunjukkan penurunan
terbesar pada tahun 2012 semuanya terletak di wilayah Andes dan Amazon di
negara tersebut. Daerah - daerah tersebut juga menunjukkan tingkat kemiskinan
dan penduduk pedesaan tertinggi pada tahun 2000, yang juga berkurang secara
signifikan selama masa studi. Ini menyoroti bahwa pengurangan stunting tingkat
kabupaten di Peru mengikuti pola progresif, dengan pengurangan yang jelas dari
kesenjangan kesetaraan antara segmen populasi terkaya dan termiskin dan antara
daerah perkotaan dan pedesaan yang merupakan pencapaian luar biasa. Beberapa
hal yang dilakukan Peru dalam mengatasi stunting yaitu dengan meningkatkan
perekonomian. Agar pertumbuhan ekonomi menghasilkan dampak terukur pada
stunting, berbagai faktor mediasi perlu memainkan peran pendukung yaitu

7
distribusi kekayaan, pengurangan kemiskinan, pendidikan perempuan,
peningkatan akses ke air bersih dan sanitasi, peningkatan cakupan dan kualitas
intervensi kesehatan ibu dan anak, serta peningkatan konsumsi makanan bergizi
dan aman. Hal tersebut harus dilengkapi dengan kebijakan dan sistem yang
memungkinkan secara luas, faktor yang mengarah pada peningkatan pemerataan
dan efisiensi kesehatan serta sektor lain yang mampu memberikan layanan
penting yang dapat memastikan kehamilan, persalinan dan bayi yang aman (Luis
Huicho, 2017).
Negara yang mengalami penurunan stunting lainnya yaitu Rwanda, Afrika
Timur. Prevalensi stunting di Rwanda telah menurun dari 51% pada tahun 2005
menjadi 38% pada tahun 2015. Penelitian menunjukkan bahwa bertambahnya usia
anak memiliki hubungan yang signifikan dengan stunting. Anak-anak berusia 6-
23 bulan berisiko lebih rendah mengalami stunting dibandingkan dengan
kelompok usia yang lebih tua 24-59 bulan, yang telah dilaporkan oleh penelitian
lain. Tingkat pemberian ASI eksklusif selama enam bulan pertama di Rwanda
sangat tinggi yaitu sebesar 87% yang dapat memberikan efek perlindungan
terhadap terjadinya stunting pada usia dini. Beberapa cara yang dilakukan Rwanda
dalam mempercepat penurunan angka stunting yaitu dengan melakukan
pengentasan kemiskinan, perbaikan gizi ibu untuk mencegah bayi berat lahir
rendah, peningkatan akses pelayanan antenatal care yang berkualitas dan tepat
waktu serta penguatan kegiatan gizi berbasis masyarakat untuk menggalakkan
pemberian ASI eksklusif sampai dengan 6 bulan dan melanjutkan pemberian ASI
sampai dengan 24 bulan dengan penambahan makanan pendamping (Alphonse
Nshimyiryo, 2019).
Hal ini juga diperkuat oleh Negara Sierra Leone, dimana lebih dari 3 juta
orang diperkirakan tidak memiliki akses ke makanan yang cukup.Akibatnya,
kekurangan gizi kronis tersebar luas dan hampir sepertiga dari anak di bawah 5
tahun mengalami stunting. Untuk memastikan target gizi WHO untuk mengurangi
pengerdilan sebesar 40% sebelum 2025 dan sebesar 50% sebelum 2030,
diperlukan pengurangan tahunan sebesar 4% pada tingkat pengerdilan rata-rata.
Namun, Sierra Leone masih jauh dari mencapai ini karena rata-rata pengurangan

8
tahunan hanya 0,25% antara tahun 2005 dan 2013.5 Studi berdasarkan data
nasional dan regional dari negara tersebut telah menunjukkan ketidaksetaraan
yang mencolok dalam prevalensi stunting di seluruh wilayah, tempat tinggal, dan
status sosial ekonomi. Sementara ketidaksetaraan kekayaan dan pendidikan telah
terbukti sedikit membaik dari waktu ke waktu, ketidaksetaraan tempat tinggal
(pedesaan dan perkotaan) dan daerah subnasional tetap tidak berubah. Meskipun
kesenjangan dalam pengerdilan anak antara daerah perkotaan dan pedesaan telah
didokumentasikan. Oleh karena itu Negara Sierra Leone menurunkan angka
stunting dengan menegakkan dan meningkatkan pendidikan ibu sehingga tidak
ada lagi ibu yang lebih muda tidak memiliki pengalaman atau pengetahuan yang
diperlukan untuk memberikan perawatan yang tepat kepada anak, serta
meningkatkan pelayanan antenatal dan postnatal untuk memastikan bahwa mereka
menerima konseling gizi yang memadai. (Sserwanja et al., 2021).
Di Negara Senegal peningkatan akses air perpipaan merupakan kontributor
pengurangan stunting antara tahun 1993 dan 2011. Senegal membuat langkah
besar dalam meningkatkan pembangunan sektor kesehatan, mengorganisir inisiatif
pengurangan kemiskinan, melaksanakan kampanye untuk meningkatkan
pendidikan kependudukan, dan proyek air bersih dan sanitasi. Adopsi awal dari
badan koordinasi untuk nutrisi dan rencana aksi multisektoral untuk memerangi
malnutrisi [misalnya, Cellule de Lutte Contre la Malnutrition 2001, Nutrition
Enhancement Program (PRN)] juga sangat penting. Keberhasilan Senegal dalam
mengurangi beban stunting dikreditkan ke prioritas abadi gizi dalam rencana
pembangunan nasional, pelaksanaan intervensi gizi-spesifik dan sensitif nasional,
dan penargetan populasi yang paling rentan. Pelaksanaan pendekatan
multisektoral sangat penting dalam memfasilitasi prioritas, koordinasi, dan
pelaksanaan upaya gizi di berbagai sektor dan pemangku kepentingan terkait.
Studi masa depan dapat fokus pada pendorong subnasional pengurangan stunting,
memeriksa hasil lain seperti wasting yang terjadi bersamaan dengan stunting, dan
melakukan analisis efektivitas biaya program untuk menentukan di mana investasi
masa depan akan berguna (Brar et al., 2020).

9
Pada Negara Nepal, meskipun penurunan yang signifikan dalam
prevalensi stunting nasional selama 20 tahun terakhir, kesenjangan subnasional
terus ada di Nepal dengan tingkat prevalensi pengerdilan yang lebih tinggi terlihat
di negara bagian barat. Kesenjangan stuntinganak yang menguntungkan orang
kaya sangat mencolok, dengan kesenjangan antara yang terkaya dan termiskin
melebar dari waktu ke waktu. Anak-anak dari ibu dengan pendidikan yang lebih
tinggi memiliki prevalensi stunting yang lebih rendah dibandingkan dengan
mereka yang kurang atau tidak berpendidikan, meskipun yang terakhir mengalami
penurunan stunting yang signifikan dari waktu ke waktu.
Dalam beberapa dekade, Nepal telah menetapkan visi dan rencana jangka
panjang untuk pembangunan nasional yang luas, serta kebijakan dan program
yang ditargetkan untuk mengatasi tantangan dan ketidaksetaraan kesehatan.
Investasi dalam penguatan sistem kesehatan oleh pemerintah dan mitra
pembangunan eksternal melibatkan pembentukan kader sukarelawan kesehatan
masyarakat (FCHVs), perluasan infrastruktur fasilitas kesehatan secara dramatis,
investasi besar dalam layanan kesehatan masyarakat [misalnya, imunisasi,
suplementasi vitamin A, dan Manajemen Terpadu Penyakit Neonatal dan Anak
Berbasis Masyarakat (CB-IMNCI)], serta pembentukan layanan perawatan
kesehatan esensial (EHCS). Rencana kesehatan jangka panjang dan serangkaian
reformasi sektor kesehatan (misalnya, Kebijakan Kesehatan Nasional, Program
Sektor Kesehatan Nepal (NHSP)-Rencana Implementasi, NHSP-II, dan Program
Dukungan Sektor Kesehatan Nepal) telah memiliki komitmen politik
berkelanjutan untuk meningkatkan kesehatan penduduk di Nepal. Investasi di
sektor-sektor yang peka terhadap nutrisi termasuk pendidikan/melek huruf,
pertumbuhan ekonomi yang buruk/pengurangan kemiskinan, dan upaya-upaya
lokal untuk meningkatkan air, sanitasi, dan kebersihan (WASH) juga menjadi
kunci. Informasi yang diperluas pada setiap inisiatif untuk menurunkan angka
prevalensi stunting (Conway et al., 2020).
Begitupun dengan Negara Chhattisgarh yang merupakan sebuah negara
bagian di India timur, dibentuk dari negara bagian Madhya Pradesh pada tahun
2000 dengan populasi ~30 juta. Penurunan stunting yang terjadi di Chhattisgarh

10
yaitu sebesar 52,9% ditahun 2006 dan menjadi sebesar 37,6% ditahun 2016.
Penurunan tersebut lebih tinggi daripada yang terjadi di negara bagian lainnya di
India selama periode tersebut, meskipun Chhattisgarh memiliki tingkat
kemiskinan yang lebih tinggi dibandingkan dengan beberapa negara bagian.
Beberapa cara yang dilakukan Chhattisgarh yaitu (Neha Kohli, 2020):
1) Inisiatif makanan, kesehatan dan sanitasi mengatasi determinan langsung
yang terkait dengan perawatan ibu dan anak usia dini dan dengan demikian
berkontribusi pada pengurangan stunting.
2) Perubahan dalam layanan kesehatan dan nutrisi berkontribusi pada hampir
seperlima dari penurunan stunting dari waktu ke waktu, menegaskan apa
yang telah dicatat oleh Lancet Nutrition Series sebagai kontribusi potensial
dari intervensi yang diberikan oleh layanan Kesehatan
3) Mengatasi kekurangan gizi secara komprehensif membutuhkan intervensi
atau program yang beragam untuk mencapai rumah tangga sasaran utama
secara bersama-sama. Peningkatan SES dan hasil terkait seperti IMT ibu
berkontribusi terhadap 15% perubahan stunting. Penurunan kemiskinan
dapat terjadi karena pengaruh oleh perluasan PDS yang dapat
berkontribusi pada terjadinya pengurangan stunting dengan menjangkau
rumah tangga miskin dan dukungan ketahanan pangan. Di Chhattisgarh,
transfer implisit melalui PDS berfungsi dengan baik dan memiliki dampak
besar pada kemiskinan pedesaan yang berkurang sebesar 39% diukur
dengan indeks kesenjangan kemiskinan.

2.3 Kunci Keberhasilan Pencegahan dan Pengendalian COVID-19


1. Nepal
Prevalensi kejadian stunting di Nepal mengalami
penurunan, yang mulanya sebesar 66% pada tahun 1996 menjadi
36% pada tahun 2016. Penurunan angka kejadian stunting ini
dipengaruhi oleh program dan kebijakan multisektor yang
dilakukan pemerintah Nepal yang mengakamodir semua faktor
penyebab (dasar, tak langsung, langsung). Program dan kebijakan

11
multisektor ini berupa program gizi spesifik dan sensitif yang
berpusat pada pengurangan kemiskinan yakni dengan
penambahan aset keluarga melalui Program Penanggulangan
Kemiskinan dan Program Community-Led Total Sanitation
(CLTS), peningkatan akses pelayanan kesehatan dan perawatan
khususnya pada Ibu dan bayi baru lahir melalui program Program
imunisasi, Program  Safe Motherhood dan Program Female
Community Health Volunteers (FCHVs), peningkatan gizi dan
pengetahuan ibu melalui program suplementasi dan Program
Education for All Initiative, peningkatan akses air bersih serta
perbaikan sanitasi salah satunya dengan pengurangan kebiasaan
buang air besar sembarangan serta kebijakan pemerintah lainnya
baik kebijakan pemerintah pusat maupun daerah (Brar et al.,
2020).
2. Sinegal
Senegal telah menjadi negara teladan di Wilayah Afrika
Barat, dimana negara ini mampu mengurangi prevalensi stunting
pada anak sebesar 17,9% dari tahun 1992-2017. Faktor yang menjadi
kunci keberhasilan penurunan kejadian stunting ini adalah kerjasama
multisektor yang meliputi program Peningkatan pelayanan kesehatan
bagi Ibu dan bayi baru lahir, peningkatan ekonomi dan pengentasan
kemiskinan, stabilitas politik negara, peningkatan pendididkan orang
tua dan Perbaikan dan peningkatan akses air bersih dan sanitasi
lingkungan. Selain itu penurunan kejadian stunting di sinegal juga
didukung oleh komitmen pemerintah yang mementingkan gizi dalam
pelaksanaan programnya.
Program gizi utama yang efektif dalam mengurangi
prevalensi stunting ialah program dengan menggunakan pendekatan
berbasis masyarakat. Pada tahun 1995, pemerintah membentuk
organisasi khusus untuk menangani malnutrisi yaKni Commission
Nationale de Lutte contre la Malnutrition (CNLM) yang mana

12
organisasi ini membentuk program gizi berbasis masyarakat yakni
Community Nutrition Program (PNC). Kemudian pada tahun 2001
CNLM digantikan dengan Cellule de Lutte Contre la Malnutrition
(CLM) yang memilki program gizi yaitu Nutrition Enhancement
Program (PRN). Program ini menyasar anak-anak di perkotaan dan
pedesaan secara nasional melalui intervensi berbasis masyarakat dan
memberikan hasil yang memuaskan (Brar et al., 2020).
3. Chhattishgarh
Prevalensi stunting di Negara bagian Chhattisgarh
mengalami penurunan sebesar 15,3% dari tahun 2006 hingga 2016.
Di tahun 2006 angka kejadian stunting sebesar 52,9%, sedangkan
pada tahun 2016 turun menjadi 37,6%. Faktor yang berkontribusi
dalam penurunan angka kejadian stunting di Negara bagian
Chhattisgarh diantaranya Perbaikan dan peningkatan layanan
kesehatan dan gizi melalui program Child Development Services
(ICDS), Antenatal Care (ANC) dan program Iron and Folic acid
(IFA). Peningkatan perekonomian masyarakat melalui program
National Rural Employment Guarantee Act (NREGA) dan Public
Distribution System (PDS serta Peningkatan sanitasi dan kebersihan
lingkungan khususnya pada anak melalui Pendekatan Komunitas
yang didukung UNICEF. Selain itu, dukungan dari mitra
pembangunan, pemangku kebijakan dan masyarakat sipil juga
berkontribusi pada ketercapaian program (Kohli, Nguyen, Avula, &
Menon, 2020).
4. Peru
Upaya kesehatan global tingkat Negara dalam upaya
penurunan stunting pada anak balita dilakukan melalui
pengembangan kebijakan dengan perubahan dari penekanan
ketahanan pangan menjadi pendekatan multisektoral dan
antikemiskinan. Prevalensi stunting di peru sejak 1992 hingga 2007
sebanyak 30-40%, namun mengalami penurunan secara cepat

13
setelahnya. Kunci strategis dalam penurunan stunting di Peru
diimplementasikan melalui beberapa program antara lain (Huicho.
L, et al. 2017) :
- Program JUNTOS, merupakan program anti kemiskinan yang
dilakukan sebagai intervensi penurunan stunting . Program ini
berbentuk transfer uang tunai bersyarat dengan tujuan
peningkatan konsumsi makanan oleh anak-anak. Program anti-
kemiskinan multisektoral diterima baik oleh masyarakat
terutama untuk meningkatkan kebutuhan ibu dan anak.
- Perpanjangan subsidi dan semi subsidi penyedia kesehatan
melalui system program jaminan kesehatan (SIS) Peru untuk
menjangkau segmen penduduk termiskin
- Peningkatan akses air bersih dan sanitasi serta pemberdayaan
perempuan
- Kementerian ekonomi dan keuangan yang melaksanakan
intervensi gizi multisektoral dan program ibu-bayi dengan
pendekatan berbasis penganggaran keluarga untuk
meningkatkan efektivitas belanja di pusat dan tingkat local
Secara perlahan dengan beberapa perubahan Peru dapat
menurunkan secara ketat prevalensi stunting balita di tingkat
nasional dan kabupaten berkat adanya pengurangan kemiskinan
dan implementasi berkelanjutan multi sektoral.
5. Rwanda
Tingkat keluarga menjadi pendorong utama kejadian
stunting di Negara Rwanda. Pada tahun 2005 stunting pada anak
terjadi sebanyak 51% namun mengalami penurunan signifikan pada
tahun 2015 sebanyak 38%. Intervensi terpadu dilaksanakan untuk
menekan angka stunting. Strategi yang diambil oleh Rwanda antara
lain (Nshimyirryo, et al. 2019) :

14
- Pendidikan kembali kepada Ibu tentang menyusui dan transisi
ke makanan pendamping ASI melalui Community Based
Program Gizi di tingkat desa
- Upaya pengentasan kemiskinan dilakukan melalui pelaksanaan
kebijakan pro kaum miskin untuk memajukan ekonomi
pembangunan Negara dengan pendekatan pemerataan.
Sebagaian masyoritas masyarakat desa adalah penduduk agraris
maka dilakukan upaya penguatan pada sektor pertanian untuk
mengurangi kerawanan pangan dan memajukan ekonomi
pembangunan.
- Melakukan investasi di sektor kesehatan dengan cara
meningkatkan gizi wanita usia subur dan upaya pengurangan
BBLR seperti upaya perawatan antenatal, perbaikan pelayanan
kesehatan.
- Promosi ASI Eksklusif hingga 6 bulan dan terus menyusi
hingga 24 bulan serta makanan pendamping ASI.
- Intervensi berbasis komunitas dengan target masayarakat
pedesaan, daerah dataran tinggi untuk menargetkan kelompok
berisiko tinggi terutama terkait makanan pendamping ASI,
Intervensi masa anak-anak dan pencegahan penyakit, serta
pendidikan ibu.

15
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran

16
DAFTAR PUSTAKA
Alphonse Nshimyiryo, B. H.-G.-K. (2019). Risk factors for stunting among
children under five years: a cross-sectional population-based study in
Rwanda using the 2015 Demographic and Health Survey. BMC Public
Health, 3-8.
Brar, S., Akseer, N., Sall, M., Conway, K., Diouf, I., Everett, K., … Bhutta, Z.
(2020a). Drivers of stunting reduction in Nepal: A country case study.
American Journal of Clinical Nutrition, 112, 860S-874S.
https://doi.org/10.1093/ajcn/nqaa151
Brar, S., Akseer, N., Sall, M., Conway, K., Diouf, I., Everett, K., … Bhutta, Z.
(2020b). Drivers of stunting reduction in Senegal: A country case study.
American Journal of Clinical Nutrition, 112, 860S-874S.
https://doi.org/10.1093/ajcn/nqaa151.
Brar, S. et al. (2020) ‘Drivers of stunting reduction in Senegal : a country case
study’, ASN. Oxford University Press, 112(Suppl), pp. 860S-874S.
Conway, K. et al. (2020) ‘Drivers of stunting reduction in Nepal : a country case
study’, ASN. Oxford University Press, 112(Suppl), pp. 844S-859S.
Kemenkes RI (2018) ‘Buletin : Situasi Balita Pendek (Stunting) di Indonesia’, in
Kementerian Kesehatan RI. Rizqitha M. Jakarta, pp. 1163–1178.
Kohli, N., Nguyen, P. H., Avula, R., & Menon, P. (2020). The role of the state
government, civil society and programmes across sectors in stunting
reduction in Chhattisgarh, India, 2006-2016. BMJ Global Health, 5(7),
2006–2016. https://doi.org/10.1136/bmjgh-2019-002274.

17
Luis Huicho, C. A.-E.-P.-C. (2017). Factors behind the success story of under-five
stunting in Peru: a district ecological multilevel analysis. BMC Pediatrics,
6-7.
Mitra. (2015). Stunting Problems and Intervention to Prevent Stunting (A
Literature Review). 6.
Neha Kohli, P. H. (2020). The role of the state government, civil society and
programmes across sectors in stunting reduction in Chhattisgarh,India,
2006–2016. BMJ Global Health, 2-12.
Peraturan Bupati Bulungan Nomor 13 Tahun 2020 Tentang Pedoman Pencegahan
Stunting.
Rahayu dkk. (2018). Stunting Dan Upaya pencegahannya Bagi Mahasiswa
kesehatan Masyarakat
Rosha, B. C., Sari, K., SP, I. Y., Amaliah, N., & Utami, N. H. (2016). Peran
Intervensi Gizi Spesifik dan Sensitif dalam Perbaikan Masalah Gizi Balita
di Kota Bogor. Buletin Penelitian Kesehatan, 44(2), 127–138.
https://doi.org/10.22435/bpk.v44i2.5456.127-138.
Sserwanja, Q. et al. (2021) ‘Rural and Urban Correlates of Stunting Among
Under- Five Children in Sierra Leone : A 2019 Nationwide Cross-
Sectional Survey’, Nutrion and Metabolix Insight, 14, pp. 1–10. doi:
10.1177/11786388211047056.
Wardani, D. W. S. R., Wulandari, M., & Suharmanto, S. (2020). Hubungan Faktor
Sosial Ekonomi dan Ketahanan Pangan terhadap Kejadian Stunting pada
Balita. Jurnal Kesehatan, 11(2), 287.
https://doi.org/10.26630/jk.v11i2.2230
WHO (2012) ‘Sixty-Fifth World Health Assembly’, in Wha65/2012/Rec/1, pp. 1–
3. Available at:
http://www.who.int/nutrition/topics/WHA65.6_resolution_en.pdf?ua=1.
WHO (2018a) ‘Levels and Trends in Child Malnuutrition’, in, pp. 1–16. Available
at: https://www.who.int/nutgrowthdb/2018-jme-brochure.pdf.
WHO (2018b) ‘Non-communicable Disease’, in Heart of Africa: Clinical Profile
of an Evolving Burden of Heart Disease in Africa, pp. 155–157. doi:

18
10.1002/9781119097136.part5.
WHO (2021) ‘Levels and Trends In Child Malnutrition’, in, pp. 51–78. Available
at: https://www.who.int/publications/i/item/9789240025257.

LAMPIRAN
 Tabel Literature Review

19

Anda mungkin juga menyukai