Saat ini di dalam era globalisasi dimana terjadi perubahan gaya hidup dan pola makan, Indonesia menghadapi permasalahan
gizi ganda. Di satu pihak masalah gizi kurang yang pada umumnya disebabkan oleh kemiskinan, kurangnya persediaan
pangan, kurang baiknya kualitas lingkungan, kurangnya pengetahuan masyarakat tentang gizi. Selain itu masalah gizi lebih
yang disebabkan oleh kemajuan ekonomi pada lapisan masyarakat tertentu disertai dengan kurangnya pengetahuan tentang
gizi (Azrul,2004).
Penanganan gizi buruk sangat terkait dengan strategi sebuah bangsa dalam menciptakan sumber daya manusia yang sehat,
cerdas, dan produktif. Upaya peningkatan sumber daya manusia yang berkualitas dimulai dengan cara penanganan
pertumbuhan anak sebagai bagian dari keluarga dengan asupan gizi dan perawatan yang baik. Dengan lingkungan keluarga
yang sehat, maka hadirnya infeksi menular ataupun penyakit masyarakat lainnya dapat dihindari. Di tingkat masyarakat faktor-
faktor seperti lingkungan yang higienis, ketahanan pangan keluarga, pola asuh terhadap anak dan pelayanan kesehatan primer
sangat menentukan dalam membentuk anak yang tahan gizi buruk.
Secara makro, dibutuhkan ketegasan kebijakan, strategi, regulasi, dan koordinasi lintas sektor dari pemerintah dan semua
stakeholders untuk menjamin terlaksananya poin-poin penting seperti pemberdayaan masyarakat, pemberantasan kemiskinan,
ketahanan pangan, dan pendidikan yang secara tidak langsung akan mengubah budaya buruk dan paradigma di tataran bawah
dalam hal perawatan gizi terhadap keluarga termasuk anak.
Keberhasilan pembangunan nasional yang diupayakan oleh pemerintah dan masyarakat sangat ditentukan oleh ketersediaan
sumber daya manusia. Indikator yang digunakan untuk mengukur tinggi rendahnya kualitas sumber daya manusia antara lain
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan Indeks Kemiskinan Manusia (IKM). Pada umumnya IPM dan IKM mempunyai
komponen yang sama, yaitu angka harapan hidup (tingkat kesehatan), penguasaan ilmu pengetahuan (tingkat pendidikan) dan
standar kehidupan yang layak (tingkat ekonomi). Pada IPM, standar hidup layak dihitung dari pendapatan per kapita,
sementara IKM diukur dengan persentase penduduk tanpa akses terhadap air bersih, fasilitas kesehatan, dan balita kurang
gizi.
Tiga faktor utama penentu IPM yang dikembangkan UNDP adalah tingkat pendidikan, kesehatan, dan ekonomi. Ketiga faktor
tersebut erat kaitannya dengan status gizi masyarakat.
Salah satu prioritas pembangunan nasional di bidang kesehatan adalah upaya perbaikan gizi yang berbasis pada sumber daya,
kelembagaan, dan budaya lokal. Kurang gizi akan berdampak pada penurunan kualitas SDM yang lebih lanjut dapat berakibat
pada kegagalan pertumbuhan fisik, perkembangan mental dan kecerdasan, menurunkan produktivitas, meningkatkan kesakitan
serta kematian. Visi pembangunan gizi adalah “Mewujudkan keluarga mandiri sadar gizi untuk mencapai status gizi
masyarakat/keluarga yang optimal”.
Secara umum di Indonesia terdapat dua masalah gizi utama, yaitu kurang gizi mikro dan kurang gizi makro. Kurang gizi makro
pada umumnya disebabkan oleh kekurangan asupan energi dan protein dibanding kebutuhannya yang menyebabkan
gangguan kesehatan, sedangkan kurang gizi mikro disebabkan kekurangan zat gizi mikro (Dinkes Purworejo,2006). Gizi buruk
adalah bentuk terparah dari proses terjdinya kekurangan gizi menahun. Anak balita sehat atau kurang gizi secara sederhana
dapat diketahui dengan membandingkan antara berat badan menurut umurnya dengan rujukan (standar) yang telah ditetapkan.
Apabila berat badan menurut umur sesuai dengan standar, anak disebut gizi baik. Kalu sedikit dibawah standar disebut gizi
kurang. Apabila jauh dibawah standar disebut gizi buruk. Gizi buruk pada anak sampai saat ini masih menjadi masalah di
Indonesia. Diketahui sampai tahun 2011 ini ada sekitar 1 juta anak di Indonesia yang mengalami gizi buruk.
D. Manfaat
Manfaat dalam penulisan karya tulis ilmiah ini adalah
1. Dapat mengetahui bagaimanakah gizi buruk sebenarnya
2. Dapat mengetahui penyebab dan dampak yang ditimbulkan dari gizi buruk
3. Dapat mengetahui peranan pemerintah dalam menanggulangi masalah gizi buruk di Indonesia
4. Membantu masyarakat dalam upaya mencegah bertambahnya penderita gizi buruk di Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian gizi buruk
Gizi buruk atau malnutrisi dapat diartikan sebagai asupan gizi yang buruk. Hal ini bisa diakibatkan oleh kurangnya asupan
makanan, pemilihan jenis makanan yang tidak tepat ataupun karena sebab lain seperti adanya penyakit infeksi yang
menyebabkan kurang terserapnya nutrisi dari makanan. Secara klinis gizi buruk ditandai dengan asupan protein, energi dan
nutrisi mikro seperti vitamin yang tidak mencukupi ataupun berlebih sehingga menyebabkan terjadinya gangguan kesehatan.
Gizi buruk adalah bentuk terparah (akut), merupakan keadaan kurang gizi tingkat berat yang disebabkan oleh rendahnya
tingkat konsumsi energi, protein serta makanan sehari-hari dan terjadi dalam waktu yang cukup lama. Itu ditandai dengan
status gizi sangat kurus ( menurut BB terhadap TB ) dan hasil pemeriksaan klinis menunjukkan gejala marasmus, kwashiorkor
atau marasmic-kwashiorkor.
Obesitas adalah masalah gizi yang disebabkan kelebihan kalori dan ditandai dengan akumulasi jaringan lemak secara
berlebihan di seluruh tubuh, dimana terdapat penimbunan lemak yang berlebihan dari yang diperlukan untuk fungsi tubuh.
Obesitas berarti berat badan (BB) yang melebihi BB rata-rata. Seseorang yang memiliki berat badan 20% lebih besar dari nilai
tengah kisaran berat badannya yang normal berarti mengalami obesitas.
Obesitas sendiri digolongkan menjadi 3 kelompok:
• Obesitas ringan: kelebihan berat badan 20-40%;
• Obesitas sedang: kelebihan berat badan 41-100%; dan
• Obesitas berat: kelebihan berat badan >100%.
Apa perbedaan obesitas dan overweight? Obesitas (kegemukan) adalah suatu keadaan dimana terjadi penumpukan lemak
tubuh yang berlebih, yang membuat BB seseorang jauh di atas normal dan dapat membahayakan kesehatan. Sementara
overweight (kelebihan berat badan) adalah keadaan dimana BB seseorang melebihi BB normal, dengan perbedaan yang tidak
terlalu jauh.
Obesitas seharusnya disorot sebagai masalah kelebihan gizi yang cukup akut sehingga dikategorikan sebagai Gizi Buruk.
Tidak hanya kekurangan gizi, kelebihan gizi pun berdampak negatif bagi kesehatan seseorang.
Dari perkiraan 210 juta penduduk Indonesia pada tahun 2000, jumlah penduduk yang overweight diperkirakan mencapai 76.7
juta jiwa (17.5%) dan pasien obesitas berjumlah lebih dari 9.8 juta jiwa (4.7%). Berdasarkan data tersebut, dapat disimpulkan
bahwa overweight dan obesitas di Indonesia telah menjadi masalah besar yang memerlukan penanganan secara
serius.Mengapa seseorang dapat mengalami obesitas?
Berikut beberapa penyebab utama:
a) Faktor genetik
Seseorang dapat mengalami obesitas karena sudah merupakan keturunan dari orangtuanya, sehingga secara genetik hal
tersebut tidak dapat dihindari. Di dalam suatu keluarga, sudah pasti ditemukan kesamaan pola makan dan gaya hidup antara
orangtua dan anak. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa rata-rata faktor genetik memberikan pengaruh sebesar 33%
terhadap berat badan seseorang.
b) Faktor lingkungan
Ternyata lingkungan seseorang pun memegang peranan cukup berarti dalam membentuk keobesitasan pada tubuh seseorang.
Termasuk di antaranya adalah perilaku atau pola hidup, contohnya makanan yang dikonsumsi, aktivitas fisik yang dilakukan,
dan lain-lain.
c) Faktor psikis
Stres, depresi, kelelahan yang amat sangat, seringkali mempengaruhi kebiasaan makan dan pola hidup seseorang. Biasanya
makan akan menjadi tidak teratur atau justru terlalu banyak makan makanan kurang bergizi seperti junk food, ditambah
kurangnya konsumsi zat bermanfaat seperti sayur mayur dan buah-buahan.
Orang yang obesitas harus memilih program penurunan berat badan yang aman. Unsur-unsur yang harus dipertimbangkan
dalam memilih program penurunan berat badan yaitu:
• Diet aman dan memenuhi semua kebutuhan harian yang dianjurkan (vitamin, mineral dan protein).
• Program penurunan berat badan harus diarahkan kepada penurunan berat badan secara perlahan dan stabil.
• Sebelum sebuah program penurunan berat badan dimulai, dilakukan pemeriksaan kesehatan secara menyeluruh.
Untuk diagnosa terjadinya gizi buruk, dokter biasanya akan melakukan pemeriksaan :
• Memeriksa tinggi dan berat badan pasien untuk menentukan BMI (body mass index)
• Melakukan pemeriksaan darah untuk melihat ketidak normalan
• Melakukan pemeriksaan X-Ray untuk memeriksa apakah ada kelainan pada tulang dan organ tubuh lain
• Memeriksa penyakit atau kondisi lain yang dapat menyebabkan terjadinya gizi buruk
Untuk penanganan gizi buruk. Dokter atau ahli gizi biasanya akan mengusulkan untuk pengaturan pola makan, termasuk jenis
dan jumlah makanan. Bila diperlukan dapat juga diberikan suplemen atau vitamin untuk membantu memenuhi kebutuhan
vitamin yang kurang tersebut. Apabila penyebab gizi buruk karena penyakit atau kondisi medis tertentu maka, terapi lain
disarankan untuk menanganinya.
F. Gizi Buruk di Indonesia
Secara umum di Indonesia terdapat dua masalah gizi utama yaitu kurang gizi makro dan kurang gizi mikro. Kurang gizi makro
pada dasarnya merupakan gangguan kesehatan yang disebabkan oleh kekurangan asupan energi dan protein. Masalah gizi
makro adalah masalah gizi yang utamanya disebabkan ketidakseimbangan antara kebutuhan dan asupan energi dan protein.
Kekurangan zat gizi makro umumnya disertai dengan kekurangan zat gizi mikro.
Kesepakatan global dalam bidang pangan dan gizi terutama World Summit for Children 1990, international Conference on
Nutrition 1992 di Roma dan World Food Summit 1996 menetapkan sasaran program pangan dan perbaikan gizi yang harus
dicapai oleh semua negara. Sasaran global tersebut sampai saat ini menjadi salah satu acuan pokok di dalam pembangunan
program pangan dan gizi di semua negara termasuk Indonesia. Pembangunan program pangan dan gizi di Indonesia selam 30
tahun terakhir menunjukan hasil yang positif. Analisis penyediaan pangan tahun 1999 secara makro disimpulkan bahwa
persediaan energi dan protein per kapita/hari masing-masing sebesar 2.890 Kkal dan 62,7 gram, telah memenuhi kecukupan
yang dianjurkan. Masalah pangan baru terlihat pada tingkat konsumsi rumah tangga. Data tahun 1998 menunjukan bahwa
antara 49% sampai 53% rumah tangga di berbagai daerah mengalami defisit energi (konsumsi < 70% kebutuhan energi).
Defisit pangan di tingkat rumah tangga disertai distribusi pangan antar anggota keluarga yang tidak baik didasari pengetahuan
atau perilaku gizi yang belum memadai berakibat munculnya masalah kurang gizi.
Gambaran makro perkembangan keadaan gizi masyarakat menunjukan kecenderungan yang sejalan. Prevalensi kurang energi
protein pada balita turun dari 37,5% pada tahun 1989 menjadi 26,4% pada tahun 1999. Penurunan serupa juga terjadi pada
prevalensi masalah gizi lain. Prevalensi gangguan akibat kurang yodium, kurang vitamin A, dan anemia gizi pada tahun 1998
masing-masing 9,8%, 0,3%, dan 50,9%. Dibandingkan dengan sasaran global yang disepakati, keadaan gizi masyarakat di
Indonesia masih jauh ketinggalan. Sebagai contoh, pada tahun 2005 diharapkan terjadi penurunan prevalensi kurang energi
protein menjadi 20%, gangguan akibat kurang yodium menjadi 5%, anemnia gizi menjadi 40%, dan bebas masalah kebutaan
akibat kurang vitamin A.
Krisis ekonomi yang terjadi sejak 1997 semakin memperburuk keadaan gizi masyarakat. Selama krisis, ada kecenderungan
meningkatnya prevalensi gizi kurang dan gizi buruk terutama pada kelompok umur 6-23 bulan. Munculnya kasus-kasus
marasmus, kwashiorkor merupakan indikasi adanya penurunan ketahanan pangan tingkat rumah tangga. Upaya untuk
mencegah semakin memburuknya keadaan gizi masyarakat di masa mendatang harus dilakukan segera dan direncanakan
sesuai masalah daerah sejalan dengan kebijakan pemerintah dalam pelaksanaan desentralisasi. Undang-Undang Nomor 22
tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Daerah, dan Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Provinsi
sebagai daerah otonom, mengatur kewenangan pemerintahan daerah dalam merencanakan dan melaksanakan pembangunan
termasuk pembangunan di bidang pangan dan gizi. Iklim baru ini merupakan peluang untuk percepatan pencapaian sasaran
nasional dan global. Adanya kebijakan dan strategi yang tepat, program yang sistematis mulai dari perencanaan, pelaksanaan,
dan pemantauan akan sangat mendukung pencapaian sasaran nasional.
Obesitas seharusnya disorot sebagai masalah kelebihan gizi yang cukup akut sehingga dikategorikan sebagai Gizi Buruk.
Tidak hanya kekurangan gizi, kelebihan gizi pun berdampak negatif bagi kesehatan seseorang. Dari perkiraan 210 juta
penduduk Indonesia pada tahun 2000, jumlah penduduk yang overweight diperkirakan mencapai 76.7 juta jiwa (17.5%) dan
pasien obesitas berjumlah lebih dari 9.8 juta jiwa (4.7%). Berdasarkan data tersebut, dapat disimpulkan bahwa overweight dan
obesitas di Indonesia telah menjadi masalah besar yang memerlukan penanganan secara serius.
Menurut Departemen Kesehatan, pada tahun 2003 terdapat sekitar 27,5% (5 juta balita kurang gizi), 3,5 juta anak (19,2%)
dalam tingkat gizi kurang dan 1,5 juta anak gizi buruk (8,3%).
"Makanan dan gizi merupakan basis dari pembangunan manusia, sosial dan ekonomi. Sekitar 1 Milyar penduduk dunia saat ini
mengalami masalah dalam penyediaan makanan. Sepertiga dari seluruh anak-anak di dunia (171 juta anak) ada dalam
keadaan kurang gizi kronik", tulis Prof. Tjandra dalam surat elektronik kepada Kepala Pusat Komunikasi Publik.
Gizi buruk pada anak sampai saat ini masih menjadi masalah di Indonesia. Diketahui sampai tahun 2011 ada sekitar 1 juta
anak di Indonesia yang mengalami gizi buruk. "Ada sekitar 1 juta anak gizi buruk di Indonesia diantara 240 juta penduduk
Indonesia," ujar Direktur Bina Gizi Kesehatan Ibu dan Anak Kemenkes Dr dr Slamet Riyadi Yuwono, DTM&H, MARS, dalam
acara seminar Hospital Expo di JCC, Jakarta.
Dr Slamet menuturkan kebanyakan berada di daerah timur Indonesia seperti di daerah NTT dan Maluku. Salah satu faktor
penyebabnya karena letak geografisnya seperti jarak yang jauh dari fasilitas kesehatan.
“Berdasarkan hasil riset para ahli kesehatan gizi, di negara ini gizi buruk telah mencapai kurang lebih 35%. Itu semua dapat
terlihat di saat pertumbuhan balita usia satu tahun hingga lima tahun,” kata ahli gizi Institut Pertanian Bogor Ali Khomsan saat
ditemui di sela-sela acara pelatihan kader Posyandu di Gedung PKK Jabar Jalan Soekarno-Hatta, Kota Bandung.
G. Gizi Buruk di Makassar
Kasus gizi buruk masih menghantui Sulawesi Selatan, yang pertumbuhan ekonominya diklaim mencapai 8 persen. Dinas
Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan mencatat ada 116 kasus anak balita gizi buruk selama Januari hingga Maret 2011. Empat
daerah kantong gizi buruk di Sulsel adalah Kota Makassar, Kabupaten Pangkep, Maros, dan Jeneponto.
Kepala Seksi Bina Gizi Masyarakat Dinas Kesehatan Sulsel Astati Mada Amin mengatakan hal itu di Makassar, Kamis
(12/5/2011) di sela-sela kampanye Proyek Perbaikan Gizi Melalui Pemberdayaan Masyarakat (proyek NICE).
"Prevalensi tingkat gizi buruk di Makassar tahun 2010 ialah 6,8 persen, sedangkan Jeneponto 5,5 persen. Angka ideal tingkat
gizi buruk harus di bawah 5 persen. Masih tingginya kasus gizi buruk harus dikaji dari banyak hal, tetapi salah satunya ialah
minimnya keberpihakan pemerintah terhadap anggaran gizi," kata Astati.
Minimnya anggaran perbaikan gizi sangat kentara di daerah. Astati mencontohkan Kabupaten Tana Toraja yang
mengalokasikan hanya Rp 5 juta untuk program gizi. "Apa yang bisa dilakukan dengan dana segitu, paling hanya untuk
administrasi saja," ujarnya.
Adapun di tingkat provinsi, anggaran gizi yang diterima dinas kesehatan tahun 2011 mencapai Rp 350 juta, sudah termasuk Rp
150 juta untuk sosialisasi Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2010 tentang Air Susu Ibu. Namun, Astati menambahkan,
anggaran itu pun lebih terserap untuk pelatihan penambahan kapasitas dan rapat-rapat teknis.
Berdasarkan Riset Kesehatan Daerah Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kesehatan tahun 2010, tingkat
prevalensi gizi buruk nasional menurun dari 5,4 persen tahun 2007 menjadi 4,9 persen tahun 2010. Kendati demikian, masih
ada kesenjangan antarprovinsi.
Sebanyak 18 provinsi di Indonesia setidaknya masih memiliki tingkat prevalensi gizi buruk yang tinggi, seperti di antaranya di
Sulsel (6,4 persen), Nusa Tenggara Barat (10,6 persen), dan Nusa Tenggara Timur (9 persen).
Untuk menekan tingkat gizi buruk, Proyek Perbaikan Gizi Melalui Pemberdayaan Masyarakat yang disebut NICE, dimulai sejak
tahun 2008 di Sulsel, Sumatera Utara, Kalimantan Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Nusa Tenggara Barat.
Konsultan keuangan Proyek NICE Sulsel, Herman, mengatakan, di Sulsel proyek ini mencakup 206 desa dengan anggaran Rp
21,456 miliar. Setiap desa mendapatkan anggaran Rp 140 juta yang dicairkan dalam tiga periode. Dana ini dicairkan langsung
ke kelompok gizi masyarakat (KGM) yang ada di tiap desa. "KGM menyusun program mereka sendiri yang sesuai dengan
kondisi gizi masyarakat setempat. Kegiatan mereka pun berintegrasi dengan posyandu. Masyarakat harus diberdayakan dalam
proyek ini agar ketika donor berganti, sistemnya sudah jalan," ujar Herman.
Hingga kini Indonesia masuk dalam lima besar untuk kasus gizi buruk. Untuk menanggulangi masalah tersebut kementerian
kesehatan (kemenkes) menyediakan anggaran hingga Rp.700 miliar per tahunnya. Saat ini kemenkes memprioritaskan
penanggulangan gizi buruk di enam provinsi yaitu Jawa Barat, Jawa Timur, Gorontalo, Sulawesi Barat, NTB dan NTT. Enam
provinsi itu diprioritaskan karena masih banyaknya kasus gizi buruk ditemukan. Demikian yang dikemukakan oleh Menteri
Kesehatan, Endang Rahayu Sedyaningsih di Seminar Nasional Pangan dan Gizi 2012 di Jakarta.
"Masalah gizi itu penting karena berhubungan dengan kualitas bangsa Indonesia. Kita punya program Seribu Hari Pertama
untuk Negeri yaitu masa kritis perkembangan fisik dan intelektual anak," ujarnya. Program tersebut merupakan penjabaran dari
gerakan Scaling-Up Nutrition Movement, yang dicanangkan PBB pada September 2011.
"PBB mengajak negara-negara anggotanya untuk melakukan perbaikan gizi yang antara lain memfokuskan pada seribu hari
pertama kehidupan. Kami telah mengirimkan surat kepada Sekjen PBB menyampaikan kesanggupan bergabung dalam
gerakan ini," kata Menkes. Secara nasional, diperkirakan ada sekitar 4,5 persen dari 22 juta balita atau 900 ribu balita
mengalami gizi kurang atau gizi buruk.
Meski demikian, Menkes mengungkapkan bahwa angka prevalensi gizi kurang pada balita telah menurun dari 31 persen pada
tahun 1990 menjadi 17,9 persen pada tahun 2010.
Menkes juga menyatakan Indonesia berhasil menanggulangi masalah gizi mikro dimana defisiensi vitamin A sudah tidak lagi
menjadi masalah kesehatan masyarakat serta gangguan akibat kekurangan yodium makin berkurang. "Pemerintah tidak lagi
memberikan kapsul yodium sebagai pencegahan. Demikian pula untuk prevalensi anemia gizi telah ada perbaikan dan masalah
gizi mikro lainnya seperti zink, kalsium, fosfor, beberapa vitamin dan mineral esensial selalu dipantau," ujarnya.
I. Peran Pemerintah kota Makassar dalam menanggulangi masalah gizi buruk
Mengantisipasi kasus gizi buruk akan meluas di Makassar Sulawesi Selatan, Dinas Kesehatan Kota Makassar
memprogramkan penanganan 100 hari kerja.
"Penangangan gizi buruk telah disiapkan program 100 hari kepada para penderita. Tak hanya itu kita libatkan semua elemen
dari tingkat posyandu hingga puskesmas," kata Kadis Dinkes Makassar Naisyah Tun Azikin, di Makassar.
Penanganan gizi buruk selama ini ditangani langsung di puskesmas dan posyandu lalu dirujuk ke rumah sakit setempat, sudah
menjadi prosedur tetap. Namun, bila puskesmas dan posyandu yang menangani pasien tidak disokong dana awal pastinya
akan menjadi kendala. penanganan gizi buruk dan daerah rawan gizi di Makassar mestinya didorong dengan membangun
posko pengaduan serta penanganan gizi buruk sehingga diyakini berfungsi secara optimal pada masyarakat mengingat angka
penderita gizi buruk cukup tinggi.
Penanganan kasus gizi buruk dalam kondisi parah dibantu susu, makanan bergizi, telur dan vitamin. Dan untuk gizi kurang,
diberikan asupan gizi berupa asupan susu dan makanan bergizi. "Program ini dianggap langsung menyentuh masyarakat dan
penderita gizi buruk yang ditangani Puskesmas dan Posyandu.
Sedangkan anggaran penanganan gizi buruk, telah diusulkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
Perubahan 2011 dengan alokasi Rp1,2 miliar. Selain program gizi buruk, program lain juga direncanakan melakukan sertifikasi
14 Posyandu dan Puskesmas serta 24 Puskesmas Pembantu (Pustu) sebagai mutu pelayanan kesehatan di masyarakat yang
berkualitas. Banyak upaya dilakukan untuk mengatasi masalah Gizi buruk di Indonesia, dan diharapkan di tahun 2015,
prevalensi gizi buruk dapat turun menjadi 3,6%.Prevalensi anak balita gizi kurang dan buruk turun 0,5 % dari 18,4% pada 2007
menjadi 17,9% pada 2010.
BAB III
PENUTUP
a. Kesimpulan
• Gizi buruk adalah bentuk terparah (akut), merupakan keadaan kurang gizi tingkat berat yang disebabkan oleh rendahnya
tingkat konsumsi energi, protein serta makanan sehari-hari dan terjadi dalam waktu yang cukup lama.
• Secara umum di Indonesia terdapat dua masalah gizi utama yaitu kurang gizi makro dan kurang gizi mikro.
• Tipe gizi buruk terbagi menjadi empat tipe yaitu Kwasiorkor, Marasmus dan Marasmic-Kwashiorkor serta Obesitas.
• Gizi buruk dapat disebabkan karena kurangnya asupan gizi dan makanan terjadinya penyakit yang mengakibatkan infeksi.
• Gizi buruk dapat dicegah dengan cara memberikan makanan yang bergizi tetapi sesuai dengan kebutuhan.
• Penanganan gizi buruk dapat dilakukan dengan memberikan makanan yang bergizi. Tetapi bagi penderita obesitas dapat di
tangani dengan cara diet yang aman dan dianjurkan
• Terdapat banyak kasus gizi buruk termasuk di Indonesia, selain itu di Makassar pada khususnya juga banyak ditemukan
kasus gizi buruk. Mereka tidak tinggal diam dalam menghadapi gizi buruk, salah satu program yang di lakukan adalah program
100 hari kerja.
b. Saran
• Diharapkan bagi masyarakat agar tidak tinggal diam jika melihat anak yang mengalami gizi buruk, dan sekiranya dapat di
laporkan ke posyandu atau puskesmas terdekat agar dapat segera di tangani.
• Ketidakseriusan pemerintah terlihat jelas ketika penanganan kasus gizi buruk terlambat. Seharusnya penanganan
pelayanan kesehatan dilakukan disaat penderita gizi buruk belum mencapai tahap membahayakan. Setelah kasus gizi buruk
merebak barulah pemerintah melakukan tindakan (serius). Keseriusan pemerintah tidak ada artinya apabila tidak didukung
masyarakat itu sendiri.
• Dapat dijadikan referensi bagi penulis lain yang akan menulis tentang hal yang sama dengan objek penulisan ini.
Daftar Pustaka
1 komentar:
1.
Mengobati kencing nanah tanpa obat mungkin sangat kecil kemungkinan yang bisa dilakukan dengan cara
ini. Karena jika anda menderita penyakit maka anda harus melakukan pemeriksaan dan pengobatan dengan
dokter yang tentunya akan diberikan obat yang sesuai dengan penyebabnya.
Apa yang anda rasakan jika anda terkena atau terinfeksi penyakit menular seksual ini?
"Jika anda merasakan gejala atau tanda2 kencing nanah, jangan merasa malu untuk melakukan
pemeriksaan. segera lakukan pengobatan secepat mungkin untuk membantu anda agar terhindar dari
infeksi penyakit lain yang dapat di timbulkan dari penyakit kencing nanah."
Silahkan konsultasikan keluhan yang anda rasakan pada kami. Klinik apollo merupakan salah satu klinik
sepesialis kulit dan klamin terbaik di jakata. Ditunjang tekhnologi modern serta dokter yang sudah
berpengalaman dibidangnya, kami dapat membantu memberikan solusi untuk keluhan penyakit kelamin
yang anda rasakan.
Chat | Klini chat
Balas
Posting Lebih BaruPosting LamaBeranda
Langganan: Posting Komentar (Atom)
Mengenai Saya
silvia mardayani
Lihat profil lengkapku
Arsip Blog
▼ 2016 (13)
o ► Juni (2)
o ▼ Mei (6)
SIKLUS MENSTRUASI
MAKALAH GIZI BURUK
Makalah bayi baru lahir
HIV dan AIDS
POSYANDU
hidrosefalus
o ► April (5)
Tema Sederhana. Diberdayakan oleh Blogger.
Home
About
Sitemap
Contact
Disclaimer
Health Management Makalah Gizi Buruk dan Penanggulangannya
surveilans lumajang 00:12
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah gizi pada hakikatnya merupakan masalah kesehatan masyarakat, namun penanggulanggannya tidak dapat
dilakukan dengan pendekatan medis dan pelayanan kesehatan saja. Penyebab timbulnya masalah gizi adalah multifaktor,
oleh karena itu pendekatan penanggulangannya harus melibatkan berbagai sektor yang terkait.
Masalah gizi, meskipun sering berkait dengan masalah kekurangan pangan, pemecahannya tidak selalu berupa
peningkatan produksi dan pengadaan pangan. Pada kasus tertentu, seperti dalam keadaan krisis (bencana kekeringan,
perang, kekacauan sosial, krisis ekonomi), masalah gizi muncul akibat masalah ketahanan pangan ditingkat rumah tangga,
yaitu kemampuan rumah tangga memperoleh makanan untuk kebutuhan semua anggota keluarganya. Menyadari hal itu,
peningkatan status gizi masyarakat memerlukan kebijakan yang menjamin setiapa anggota masyarakat untuk memperoleh
makanan yang cukup jumlah dan mutunya. Dalam konteks itu masalah gizi tidak lagi semata-mata masalah kesehatan
tetapi juga maslah kemiskinan, pemerataan dan masalah kesempatan kerja.
Masalah gizi di Indonesia dan di negara berkembang pada umumnya masih didominasi oleh masalah Kurang
Energi Protein (KEP), masalah Anemia Besi, masalah Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY), kuarang viatamin
A (KVA), dan masalah obesitas terutama di kota-kota besar.
Dari sekitar 5 juta anak balita (27,5 persen) yang kekurangan gizi, lebih kurang 3,6 juta anak (19,2 persen) dalam
tingkat gizi kurang, dan 1,5 juta anak gizi buruk (8,3 persen) (Depkes,2004 mengutip BPS 2003).
Berdasarkan uraian diatas tentang masalah gizi dengan berbagai kompleksitas masalah, maka penulis akan
mencoba membahas tentang masalah gizi kurang dan gizi buruk.
B. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui arti dari gizi buruk dan gizi kurang.
2. Memahami permasalahan apa saja yang dapat ditimbulkan oleh gizi kurang.
3. Mengetahui penyebab timbulnya gizi kurang dan gizi buruk, baik itu penyebab langsung
maupun penyebab tidak langsung.
4. Untuk mengetahui cara penanggulangan masalah gizi kurang dan gizi buruk.
5. Untuk mengetahui status gizi dari berbagai jenis indikator.
BAB
II
PEMBAHASAN
Berikut ini merupakan tabel pengklasifikasian status gizi berdasarkan tiga jenis indikator yaitu berat badan menurut tinggi
badan, berat badan menurut umur, dan tinggi badan menurut umur.
Klasifikasi WHO : Gabungan 3 Jenis Indikator
BB/TB BB/U TB/U Status Gizi
Normal Rendah R Baik, pernah kurang gizi
N N R Baik
N T Tinggi Jangkung, baik
R R T Buruk
R R N Buruk, kurang
R N T Kurang
T T R Lebih, mungkin obes
T N R Lebih, pernah kurang gizi
T T N Lebih, tidak obes
Selain itu dalam mengukur status gizi dapat pula digunakan indeks antropometri. Dalam antropometri gi median
sama dengan persentil 50. nilai median dinyatakan sama dengan 100% (untuk standar). Setelah itu dihitung persenyase
terhadap nilai median untuk mendapatkan ambang batas. Yayah K Husaini memberi contoh, andai kata nilai median berat
badan anak umur 2 tahun adalah 12 kg, maka 80% median sama dengan 9,6 kg, dan 60% median sama dengan 7,2 kg.
Kalau 80%dan 60% dianggap ambang batas maka anak yang berumur 3 tahun mempunyai berat badan antara 7,2 kg
sampai 9,6 kg (antara 60% dan 80% media) dinyatakan staus gizi kurang dan di bawah 7,2 kg (dibawah 60% median)
dinyatakan status gizi buruk.
Berikut ini merupakan tabel status gizi berdasarkan indeks antropometri (sumber : Yayah K. Husaini,
Antreopometri sebagai Indeks Gizi dan Kesehatan Masyarakat. Medika, No 8 tahun XXIII,1997,halaman 269)
A. Kesimpulan
Gizi buruk (severe malnutrition) adalah suatu istilah teknis yang umumnya dipakai oleh kalangan gizi, kesehatan dan
kedokteran, yang merupakan bentuk terparah dari proses terjadinya kekurangan gizi menahun.
Salah satu masalah gizi kurang Indonesia yaitu Berat Badan Lahir Rendah (BBLR). Dimana dampak dari tingginya angka
BBLR ini akan berpengaruh pada tingginya angka kematian bayi.
Masalah gizi kurang dapat disebabkan oleh asupan makanan yang kurang dan juga penyakit, hal inilah yang merupakan
penyebab langsung. Sedangkan yang merupakan penyebab tidak langsung dari timbulnya masalah gizi kurang dan gizi
buruk adalah ketahanan pangan keluarga yang kurang memadai, pola pengasuhan anak kurang memadai, dan pelayanan
kesehatan dan lingkungan kurang memadai. Selain itu yang menjadi pokok maslahnya yaitu kemiskinan, kurang
pendidikan dan kurang keterampilan, dan yang menjadi akar permasalahannya yaitu krisis ekonomi langsung.
Penanggulangan gizi kurang dan gizi buruk dapat dilakukan melalui upaya-upaya peningkatan pengadaan pangan,
penganekaragaman produksi dan konsumsi pangan, peningkatan status sosial ekonomi, pendidikan dan kesehatan
masyarakat, serta peningkatan teknologi hasil pertanian dan teknologi pangan.
B. Saran
Dengan adanya masalah gizi kurang dan gizi buruk pada anak balita yang masih merajalela di masyarakat maka diperlukan
ketahanan pangan di tingkat Rumah Tangga.
Sebaiknya petugas kesehatan senantiasa memperbaiki pola asuh anak balita dengan membekali ibu-ibu ilmu tentang penata
laksanaan makan pada anak yaitu berupa gizi seimbang.
Untuk memecahkan masalah gizi buruk dan gizi kurang yang sifatnya sangat kompleks ini diperlukan tenaga-tenaga gizi
yang berpendidikan memadai yang mampu mengembangkan ilmu gizi, melalui penelitian-penelitian dan senantiasa
menerapkan hasil temuannya kedalam program-program nyata.
Tweet
Share
Share
Share
Share
ABOUT ADMIN
Semoga artikel ini bermanfaat bagi pembaca. Terima Kasih atas kunjungannya ke blog kami.
Permenkes No. 15 Tahun 2016 Tentang Istithaah Kesehatan Jemaah Haji (Ulasan)
1 COMMENTS:
Conversion Emoticon
250X250
POPULAR
LABEL
ARSIP
Juknis Posbindu PTM (Pos Pembinaan Terpadu Penyakit Tidak Menular)
PETUNJUK PELAKSANAAN POS PEMBINAAN TERPADU PENYAKIT TIDAK MENULAR ( POSBINDU PTM ) Pengertian Pos Pemb inaan
Terpadu Penyakit...
Nata De Aloe Vera (Lidah Buaya)
Sering kita dengar tentang manfaat lidah buaya. kalo di daerah saya dulu, getah lidah buaya sering dioleskan ke rambut anak anak supaya...
Perbedaan Trigliserida dan Kolesterol
Jaman sekarang banyak sekali iklan yang isinya tentang menghilangkan kolesterol dalam tubuh. Sebenarnya kolesterol itu apa dan apa fung...
Analisis SWOT dan Form Microsoft Excel Analisis SWOT
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Organisasi merupakan tempat semua sumber daya yang ada berproses untuk mencapai tujuan
yang ...
Metode Prioritas Masalah USG ( Urgency, Seriousness, Growth)
Dalam satu waktu, organisasi bisa menghadapi multiple problem . Seorang pimpinan organisasi harus bisa membuat prioritas masalah dari masal...
Contoh Penggunaan Metode USG di Instansi
Dalam melaksanakan penentuan prioritas masalah dengan metode USG persiapan yang perlu dilakukan antara lain : 1. Pembagian tugas Pe...
Epidemiologi Re Emerging Japanese Encephalitis
Vektor Japanesse Encephalitis Saya tertarik untuk mengulas penyakit japanese enchephalitis ketika saya membaca sebuah headline di medi...
Ulasan dan Kegiatan Posbindu PTM
POSBINDU PTM atau Pos Pembinaan Terpadu Penyakit Tidak Menular adalah salah satu UKBM yang ada dimasyarakat yang bersifat promotif dan
prev...
Penyebab, Penularan, Gejala, Pengobatan dan Pencegahan Penyakit Typus (Tipes)
Mungkin anda sudah sering mendengar tentang penyakit typus (tipes) atau demam tifoid di kehidupan sehari hari. Namun sudahkah anda tahu apa...
Sistem Peredaran Darah / Sistem Kardiovaskular
SISTEM PEREDARAN DARAH Tubuh manusia terdiri dari bagian-bagian yang saling berhubungan membentuk satu kesatuan. Masing-masing bag...
AUTHOR
surveilans lumajang
View my complete profile
STATCOUNTER
SUBSCRIBE HERE
We use cookies to deliver the content of our website. By continuing to use the site you agree to our cookies policy
Copyright © 2014 Health and Daily Information All Right Reserved
Created by Arlina Design