Anda di halaman 1dari 35

LAPORAN PRAKTIKUM

SURVEI KEPADATAN JENTIK NYAMUK AEDES

Untuk Memenuhi Tugas Kesehatan Lingkungan DAS

Dosen Pengampu : Marianingsih, S.KM.,M.Kes

Disusun Oleh :

ERWINDA WIRA KUSUMA

10318018

PROGRAM STUDI S1 KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN KESEHATAN
INSTITUT ILMU KESEHATAN BHAKTI WIYATA KEDIRI

2021
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Nyamuk Aedes aegypti merupakan vektor penyakit demam berdarah dengue.
Kepadatan nyamuk Aedes aegypti sebagai indikator penularan dan penyebaran
demam berdarah dengue dapat dilihat dari tempat perindukkannya yaitu
penampungan air. Keberadaan tempat penampungan air sangat berperan dalam
menentukan kepadatan vektor nyamuk Aedes aegypti. Kepadatan jentik nyamuk
ditentukan berdasarkan tiga indikator yaitu HI, CI dan BI. Pengendalian vektor
nyamuk dapat dilihat dari tingkat keberhasilan pencapaian cakupan Angka Bebas
Jentik (ABJ) minimal 95% (World Health Organization [WHO], 2020).
Tempat penampungan air yang terbanyak ditemukan jentik yaitu bak mandi.
Ukuran wadah yang besar dan jarang dibersihkan merupakan tempat yang potensial
untuk perkembangan nyamuk Aedes aegypti (Anggraini & Retno, 2018; Nadifah,
dkk. (2016). Selain itu, wadah berbahan plastik lebih banyak ditemukan positif
jentik (Veridiana, 2010). Selain itu warna wadah juga dapat menjadi salah satu daya
tarik bagi nyamuk Aedes aegypti untuk meletakkan telur. Nyamuk Aedes aegypti
betina tertarik pada tempat penampung-an air yang berwarna gelap, terbuka dan
terutama yang terletak ditempat-tempat terlindung dari sinar matahari (Ridha dkk,
2013).
B. Tujuan
Untuk mengetahui dan mengukur tingkat kepadatan jentik nyamuk aedes.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Jentik Nyamuk Aedes
Ciri khas dari larva Aedes aegypti adalah adanya corong udara dengan bentuk
seperti ibu jari dengan warna kecoklatan pada segmen terakhir, pada corong udara
tempat pecten dan sepasang rambut jumbai. Pertumbuhan dan perkembangan larva
dipengaruhi oleh beberapa faktor di antaranya yang penting adalah temperatur cukup
atau ada tidaknya bahan makanan dan ada tidaknya binatang lain yang merupakan
predator (Iskandar, 1985). Hal ini juga diungkapkan oleh Soegijanto (2004), yang
menyatakan bahwa kecepatan pertumbuhan dan pekembangan larva dipengaruhi oleh
beberapa faktor, yaitu temperatur tempat, keadaan, air dan kandungan zat makanan
yang ada di dalam tempat perindukannya.
Jentik-jentik nyamuk dapat terlihat berenang naik turun di tempat-tempat
penampungan air dan pada waktu istirahat posisinya hampir tegak lurus dengan
permukaan air. Biasanya berada disekitar dinding tempat penampung air sedangkan
Aedes albopictus hidup dan berkembang di kebun dan semak-semak (Sembel, 2009).
Hal ini sesuai keputusan Depkes RI (1992), bahwa tempat perkembangbiakan nyamuk
aedes aegypti berupa genangan air yang tertampung di suatu tempat atau bejana.
Tempat penampungan air untuk keperluan sehari-hari termasuk bak mandi.
B. Penampungan Air
Rumah merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang berfungsi sebagai
tempat tinggal atau hunian keluarga. Secara umum rumah dikatakan sehat apabila
memenuhi beberapa kriteria, diantaranya adalah bebas jentik nyamuk. Bebas jentik
nyamuk terutama bebas jentik nyamuk aedes aegypti yang merupakan vektor penyakit
demam berdarah dengue (Perez et al., 1998; Chaturvedi et al., 2008). Menurut
Kemenkes RI (2011) habitat berkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti dapat
dikelompokkan sebagai berikut :
1. Tempat penampungan (TPA) untuk keperluan sehari-hari, seperti : drum, tangki
reservoir, tempayan, bak mandi/wc, dan ember.
2. Tempat penampungan air bukan untuk keperluan sehari-hari seperti : tempat minum
burung, vas bunga, perangkap semut, bak control pembuangan air, tempat
pembuangan air kulkas/dispenser, barang-barang bekas (contoh : ban, botol, plastik
dan lain-lain.
3. Tempat penampungan air alamiah seperti : lubang pohon, lubang batu, pelepah
daun, tempurung kelapa, pelapah pisang dan potongan bambu dan tempurung
coklat/karet dan lain-lain
Ada tidaknya jentik nyamuk Aedes dalam suatu kontainer dipengaruhi oleh
beberapa faktor seperti : jenis kontainer, letak kontainer, warna kontainer, kondisi tutup
kontainer, adanya ikan pemakan jentik, volume kontainer, kegiatan pengurasan
kontainer dan kegiatan abatisasi. Warna gelap dapat memberikan rasa aman dan tenang
bagi nyamuk Aedes pada saat bertelur, sehingga telur yang diletakkan dalam tempat
penampungan air lebih banyak. Sesuai dengan teori Depkes RI (1999), vas bunga dan
tempat minum burung juga dapat menjadi tempat berkembangbiaknya nyamuk Aedes
Agypti. Oleh karena itu vas bunga dan tempat minum burung airnya perlu sering diganti
agar jentik-jentiknya terbuang sebelum sempat berkembang menjadi nyamuk.
C. Survei Kepadatan Jentik
Survei jentik yaitu kegiatan untuk mengetahui positif atau negatifnya jentik di
dalam maupun diluar rumah serta tempat-tempat umum yang ada disekitarnya. Menurut
Kemenkes RI, 2014 Metode survei jentik dilakukan dengan dua cara yaitu :
1. Single larva Cara ini dilakukan dengan mengambil satu jentik di setiap tempat
genangan air dengan mengambil satu ekor jentik menggunakan cidukan (gayung
plastik) atau menggunakan pipet panjang jentik lalu diidentifikasi lebih lanjut serta
jentik yang diambil ditempatkan dalam botol kecil dan diberi label.
2. Visual Cara ini cukup dilakukan dengan melihat atau tidaknya jentik di setiap
genangan air tanpa mengambil jentiknya. Gunakan senter untuk memeriksa jentik
di tempat gelap atau air keruh.
BAB III
METODE
A. Waktu dan Lokasi Praktikum
Waktu : Rabu, 4 Mei s/d Kamis 5 Mei 2021
Lokasi : Praktikum dilakukan di 10 rumah warga yang berlokasi di Desa Sumberarum
Kec. Dander, Bojonegoro.
B. Alat dan Bahan
- Senter
- Gayung
- Lembar checklist
- Alat tulis
- Handphone
C. Langkah Kerja
1. Menentukan lokasi survey.
2. Mengobservasi masing – masing rumah dengan melihat container sir pada masing
– masing rumah.
3. Catat hasilnya pada lembar checklist.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
Jenis kontainer Total
Nama Total
No Vas Tempat minum Tempat Cuci container
responden Bak mandi Bak WC container
bunga burung Piring positif
1 Pak Usman - ✓ -  - 4 1
2 Bu Septy -    - 2 0
3 Bu Nur - -   - 3 0
4 Pak Hendri -  - - - 4 0
5 Pak Kuncoro -    ✓ 2 1
6 Mbak Evi ✓    - 2 1
7 Bu Luki -    - 2 0
8 Mbak Ririn -    - 2 0
9 Mbak Yuke -    - 2 0
10 Bu Lis - -   - 3 0
Total Keseluruhan 26 3
Tabel 1. Pengamatan Jentik

Keterangan :

Ada jentik nyamuk :✓


Tidak ada jentik nyamuk : -

Tidak ada container :

No Asal Data Kontainer (+) jentik Rumah (-) jrntik


1 Dwi Ani 5 6
2 Dyah Dhea 6 5
3 Elinda Febriana 5 6
4 Elsa Yosinda 5 5
5 Erwinda Wira 3 7
6 Ghea Aurel 3 7
7 Happy Yola 9 3
8 Hedwig Dyah 3 7
9 Himatul Aulia 9 4
10 Jami Atun 5 6
TOTAL 53 56
Tabel 2. Hasil Perhitungan Kelompok

1. Hasil perhitungan
a) House Index (HI) : Presentase rumah yang positif jentik dari seluruh rumah yang
diperiksa.
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑟𝑢𝑚𝑎ℎ 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑡𝑒𝑚𝑢𝑘𝑎𝑛 𝑗𝑒𝑛𝑡𝑖𝑘
𝐻𝐼 = 𝑥 100%
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑟𝑢𝑚𝑎ℎ 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑝𝑒𝑟𝑖𝑘𝑠𝑎
3
𝐻𝐼 = 𝑥 100% = 30%
10
b) Container Index (CI) : Presentase container yang positif jentik dari seluruh
container yang diperiksa.

𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑘𝑜𝑛𝑡𝑎𝑖𝑛𝑒𝑟 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑡𝑒𝑚𝑢𝑘𝑎𝑛 𝑗𝑒𝑛𝑡𝑖𝑘


𝐶𝐼 = 𝑥 100%
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑘𝑜𝑛𝑡𝑎𝑖𝑛𝑒𝑟 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑝𝑒𝑟𝑖𝑘𝑠𝑎

3
𝐶𝐼 = 26 𝑥 100% = 11,5%

c) Breteu Index (BI) : Jumlah container dengan jentik dari 100 rumah.
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑘𝑜𝑛𝑡𝑎𝑖𝑛𝑒𝑟 𝑗𝑒𝑛𝑡𝑖𝑘
𝐵𝐼 = 𝑥 100%
100 𝑟𝑢𝑚𝑎ℎ
53
𝐵𝐼 = 𝑥 100% = 53%
100
d) Angka Bebas Jentik (ABJ) : Presentase rumah/bangunan/tempat umum yang
tidak ditemukan jentik pada pemeriksaan jentik.
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑏𝑎𝑛𝑔𝑢𝑛𝑎𝑛 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑡𝑖𝑑𝑎𝑘 𝑑𝑖𝑡𝑒𝑚𝑢𝑘𝑎𝑛 𝑗𝑒𝑛𝑡𝑖𝑘
𝐴𝐵𝐽 = 𝑥 100%
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑏𝑎𝑛𝑔𝑢𝑛𝑎𝑛 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑝𝑒𝑟𝑖𝑘𝑠𝑎
56
𝐴𝐵𝐽 = 𝑥 100% = 56%
100
B. Pembahasan
House Index menggambarkan penyebaran nyamuk di suatu wilayah. Density
figure (DF) adalah kepadatan jentik aedes aegypti yang merupakan gabungan dari HI,
CI dan BI yang dinyatakan dengan skala 1 – 9 seperti table menurut WHO dibawah ini:
Density figure House index Container index Breteau Index
1 1-3 1-2 1-4
2 4-7 3-5 5-9
3 8-17 6-9 10-19
4 18-28 10-14 20-34
5 29-37 15-20 35-49
6 38-49 21-27 50-74
7 50-59 28-31 75-99
8 60-76 32-40 100-199
9 77 41 200
Keterangan :
DF 1 : Kepadatan rendah
DF 2 – 5 : Kepadatan sedang
DF 6 – 9 : Kepadatan tinggi
1) House Index
Berdasarkan perhitungan HI, presentase rumah yang positif jentik dari seluruh
rumah yang diperiksa didapatkan hasil 30% yang tergolong dalam skala 5 density
figure kepadatan sedang.
2) Container Index
Berdasarkan perhitungan CI, presentase container yang positif jentik dari
seluruh container yang diperiksa didapatkan hasil 11,5% yang tergolong dalam
skala 4 density figure kepadatan sedang.
3) Breteu Index
Berdasakan perhitungan BI, presentase jumlah container dengan jentik dari 100
rumah yang diperiksa didapatkan hasil 53% yang tergolong dalam skala 6 density
figure kepadatan tinggi.
Dari survey kepadatan jentik nyamuk aedes yang dilakukan dapat digunakan
sebaai indicator untuk memprediksi risiko penularan DBD disuatu daerah. Berdasarkan
hasil perhitungan HI, CI, BI dan ABj di Desa Sumberarum Kec. Dander Bojoneoro
termasuk kepadatan sedang menurut standar WHO sehingga dapat berisiko adanya
penyakit DBD. Peningkatan kesadaran masyarakat akan bahayanya DBD harus terus
ditingkatkan melalui penyuluhan – penyuluhan kesehatan yang dapat dilakukan oleh
perawat komunitas (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2017; Aji & Mulyadi,
2016). Selain itu, dapat juga diupayakan pemberdayaan masyarakat dalam program
pemberantasan sarang nyamuk melalui program 3M plus (Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia, 2016). Melibatkan masyarakat secara mandiri dalam pemantauan
jentik dan kader kesehatan masyarakat terbukti dapat menekan laju pertumbuhan jentik.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil survey kepadatan jentik nyamuk aedes di 10 rumah warga di
Desa Sumberarum Kec. Dander Bojoneoro didapatkan hasil perhitungan :
1. House Index (presentase rumah yang positif jentik dari 10 rumah), yaitu 30%
dengan kateori kepadatan sedang.
2. Container Index (presentase container yang positif jentik dari seluruh container
yang diperiksa), yaitu 11,5% dengan kategori kepadatan sedang.
3. Breteu Index (jumlah container dengan jentik dari 100rumah), yaitu 53% dengan
kategori kepadatan tinggi.
4. Angka Bebas Jentik (presentase rumah yang tidak ditemukan jentik pada
pemeriksaan), yaitu 56%.

Dapat juga diupayakan pemberdayaan masyarakat dalam program pemberantasan


sarang nyamuk melalui program 3M plus (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia,
2016). Melibatkan masyarakat secara mandiri dalam pemantauan jentik dan kader
kesehatan masyarakat terbukti dapat menekan laju pertumbuhan jentik.
DAFTAR PUSTAKA

Khotafiatun, K., Sugiharto, S., & Natalya, W. (2021). SURVEI KEPADATAN JENTIK
NYAMUK AEDES AEGYPTI PADA PENAMPUNGAN AIR DALAM RUMAH
DAN IMPLIKASINYA TERHADAP KEPERAWATAN KOMUNITAS. Jurnal
Keperawatan Komprehensif (Comprehensive Nursing Journal), 7(1), 74-49.

Budiyanto, A. (2012). Karakteristik Kontainer Terhadap Keberadaan Jentik Aedes aegypti di


Sekolah Dasar. Publikasi Penelitian Terapan dan Kebijakan, 6(1).

Sukowinarsih, T. E., & Cahyati, W. H. (2010). Hubungan Sanitasi Rumah Dengan Angka
Bebas Jentik Aedes Aegypti. KEMAS: Jurnal Kesehatan Masyarakat, 6(1).

Tomia, A., Hadi, U. K., Soviana, S., Retnani, E. B., No, J. K. A. D., & Sasa, K. (2019). Maya
Index dan Kepadatan Larva Aedes aegypti di Kota Ternate, Maluku
Utara. BALABA, 2, 133-142.
DOKUMENTASI
LAPORAN PRAKTIKUM

PEMBUATAN FLY GRILL

Untuk Memenuhi Tugas Kesehatan Lingkungan DAS

Dosen Pengampu : Marianingsih, S.KM.,M.Kes

Disusun Oleh :

ERWINDA WIRA KUSUMA

10318018

PROGRAM STUDI S1 KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN KESEHATAN
INSTITUT ILMU KESEHATAN BHAKTI WIYATA KEDIRI

2021
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Lalat tidak mungkin diberantas habis, melainkan dikendalikan sampai batas yang
tidak membahayakan. Pengendalian lalat dapat dilakukan pada berbagai stadium dalam
siklus hidupnya, sejak telur hingga dewasa. Pengendalian terhadap lalat dapat
dilakukan dengan berbagai macam cara, baik secara fisik, kimia, biologis, maupun
kultural.
Untuk meminimalkan dampak negatif penggunaan insektisida, maka perlu
dikembangkan metode pengendalian lalat berdasarkan faktor yang mempengaruhi
kepadatan dan distribusinya. Cara paling mudah, murah dan cepat mengukur tingkat
kepadatan lalat yakni dengan menggunakan fly grill.
B. Tujuan
Untuk mengetahui bagaimana cara pembuatan flygrill
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Flygrill
Fly grill merupakan salah satu alat sederhana yang banyak digunakan dalam
mengukur kapadatan lalat. Alat ini memiliki cara kerja yang sederhana dalam
mengukur tingkat kepadatan lalat. Keunggulan fly grill ini adalah terbuat dari bahan
yang mudah ditemukan, cara membuatnya sederhana dan murah. Pengukuran
kepadatan lalat menggunakan alat ini akan lebih akurat karena dalam penghitungannya
diperhatikan per blok grill. Selain itu, fly grill ini dapat diwarnai dengan berbagai
macam warna agar dalam pengukuran kepadatan lalat dapat menggunakan fly grill
dengan warna yang lebih baik dan lebih akurat dalam mengukur kepadatan lalat.
B. Reaksi Lalat
Respon lalat pada rangsangan penglihatan tergantung warna, bentuk dan ukuran.
Banyaknya jumlah lalat yang terdapat di setiap Fly Grill dapat menentukan ketertarikan
lalat dalam memilih tempat untuk hinggap.16 Kombiasi warna mempengaruhi
kunjungan lalat, diduga lalat hanya menyukai warna yang cerah dan tidak menyukai
warna yang gelap. Warna gelap kurang berpegaruh terhadap padangan mata serangga.
Warna putih dan kuning memiliki intensitas yang lebih tinggi dibanding hijau dan biru,
sehingga lebih mudah dikenali lalat untuk dihinggapi.
Kepadatan dan penyebaran lalat sangat dipengaruhi oleh reaksi terhadap cahaya,
suhu dan kelembaban udara, serta warna dan tekstur permukaan tempat. Warna kuning
dan putih adalah warna yang bisa dan mudah dikenali oleh serangga. Hal ini lah yang
menyebabkan lalat lebih tertarik pada warna tersebut. Infomasi visual dari komponen
mata dan oceli lalat mungkin berintegrasi untuk membentuk impuls sensorik terhadap
warna kuning atau putih yang mempengaruhi bionomik lalat dalam merespon refleksi
cahaya sehingga mudah dikenali oleh serangga.
BAB III

METODE

A. Waktu dan Lokasi


Hari : Rabu, 5 Mei 2021
Lokasi : Dilakukan di rumah mahasiswa Desa Sumberarum, Bojonegoro
B. Alat dan Bahan
- Bambu
- Paku
- Palu
- Cat kayu warna putih
C. Langkah Kerja
1. Ambil bamboo dan potong dengan Panjang 90 cm sebanyak 2 buah
2. Potong bamboo dengan lebar 2 cm dan Panjang 80 cm sebanyak 17 buah
3. Mengecat semua bamboo dengan warna putih biarkan selama 2 – 3 hari aar bau cat
tidak telalu menyengat
4. Memasang bamboo yang berukuran 80 cm diatas bamboo yang berukuran 90 cm
dengan cara dipaku aar tidak lepas
5. Flygrill siap digunakan untuk surve kepadatan lalat
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dalam pembuatan flygrill dibutuhkan waktu sekitar 2 hari hingga bau pada cat tidak
terlalu menyengat. Alat ini digunakan untuk mengukur kepadatan lalat untuk memenuhi tugas
praktikum kepadatan lalat di TPS Desa Sumberarum – Bojonegoro. Selama perhitungan
kepadatan lalat membutuhkan waktu 30 detik pada 10 titik yang berbeda. Warna dibuat
berwarna putih atau kuning agar merarik perhatian lalat, karena lalat hanya menyukai warna
terang dan memiliki intensitas yang lebih tinggi disbanding dengan warna lain seehingga lebih
mudah dikenali oleh lalat.
DAFTAR PUSTAKA

Wulandari, D. A., Saraswati, L. D., & Martini, M. (2017). PENGARUH VARIASI WARNA
KUNING PADA FLY GRILL TERHADAP KEPADATAN LALAT (STUDI DI
TEMPAT PELELANGAN IKAN TAMBAK LOROK KOTA SEMARANG) Effect
Of Variation The Color Yellow On Fly Grill To Density Of Flies (Study At Fish
Ouction Place Tambak Lorok Semarang Cit. Jurnal Kesehatan Masyarakat
(Undip), 3(3), 130-140.
Emerty, V. Y., & Mulasari, S. A. (2020). Pengaruh Variasi Warna Pada Fly Grill Terhadap
Kepadatan Lalat (Studi di Rumah Pemotongan Ayam Pasar Terban Kota
Yogyakarta). Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia, 19(1), 21-26.
DOKUMENTASI
LAPORAN PRAKTIKUM

SURVEI KEPADATAN LALAT DI TPS

Untuk Memenuhi Tugas Kesehatan Lingkungan DAS

Dosen Pengampu : Marianingsih, S.KM.,M.Kes

Disusun Oleh :

ERWINDA WIRA KUSUMA

10318018

PROGRAM STUDI S1 KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN KESEHATAN
INSTITUT ILMU KESEHATAN BHAKTI WIYATA KEDIRI

2021
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Lalat adalah suatu insekta yang termasuk orde Dipthera, yakni insekta yang
mempunyai sepasang sayap berbentuk membrane (Azwar, 1995). Pada saat ini
dijumpai kurang dari 60.000 – 100.000 spesies lalat. Yang paling penting hanya
beberapa saja, misalnya lalat rumah (Musca domestica), lalat kendang (Stomoxys
calcitrans), lalat hijau (Phenisia), lalat daging (Sarcoplaga) dan lalat kecil (Fannia).
Lalat biasanya hidup pada tempat yang kurang saniter. Karena selain banyak
makanan, tempat tersebut juga dapat digunakan untuk berkembang biak. Dengan
demikian tingginya populasi lalat dapat dipakai sebaai indikatoe keadaan sanitasi dalam
lingkungan masyarakat. Hali ini disebabkan karena tata hidup lalat yang senang pada
tempat yang tidak ememnuhi syarat sanitasi : tempat basah, kotoran manusia, kotoran
hewan, saluran air kotoe, sampah, selokan dan buah buahan atau sayuran yang
emembusuk.
Pengendalian dapat dilkukan dengan menggunakan warna yang tidak disukai
lalat. Menurut Azwar (1995), lalat takut dengan warna biru. Dengan demikian, kita
dapat menggunakan warna biru sebaai pengendalian lalat, misalnya menggunakan
tudung saji biru untuk menutup makanan/minuman, memakai tempat sampah yang
berwarna sengingga dapa mengurangi jumlah lalat yang hinggap.
Untuk mengukur kepadatan lalat dapat menggunakan flygrill. Pengukuran
kepadatan lalat menggunakan flygrill didasarkan pada sifat lalat yang mempunyai
kecenderungan hinggap pada tempat yang bersudut tajam. Flygrill ditematkan pada
area atau pemat yang ditemtukan dan sebaiknya dicat putih karena lalat tertarik pada
warna terang.
B. Tujuan
Untuk mengetahui dan mengukur tingkat kepadatan lalat.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Lalat
Lalat merupakan salah satu insekta (serangga) yang termasuk ordo Dipthera yaitu
insekta yang mempunyai sepasang sayap yang berbentuk membran, dan termasuk
golongan Clyptrata muscodiae bagian dari super family muscodiae.Semua bagian tubuh
lalat bisa berperan sebagai alat penular penyakit (badan, bulu pada tangan dan kaki,
feces, dan muntahannya). Saat ini terdapat sekitar ±60.000-100.000 spesies lalat, tetapi
tidak semua spesies perlu diawasi karena beberapa diantaranya tidak berbahaya
terhadap kesehatan masyarakat (Santi, 2001).
Lalat betina umumnya dapat menghasilkan telur pada usia 4-8 hari, dengan 75-150
butir dalam sekali bertelur. Semasa hidupnya, seekor lalat bertelur 5-6 kali.
Perkembangan lalat memerlukan waktu antara 7 – 22 harim tergantung dari suhu dan
makanan yang tersedia. Telur lalat biasanya diletakan pada bahan – bahan organic yang
lembab, misalnya sampah atau kotoran binatang dan pada tempat yang tidak terkena
langsung sinar matahari. Telur berwarna putih dan menetas setelah 3 – 30 jam
tergantung pada suhu sekitarnya (Depkes RI, 1992). Lalat mempunyai pola hidup yang
khas. Pola hidup lalat ini dapat mempengaruhi kepadatan lalat di suatu tempat, yaitu :
1. Tempat perindukan : Kotoran binatang (kuda, sapi, ayam dan babi), kotoran
manusia, saluran air kotor, sampah, kotoran got yang membusuk, buah-buahan,
sayuran busuk dan biji-bijian busuk menjadi tempat yang disenangi lalat.
2. Jarak terbang : Jarak terbang lalat sangat tergantung pada adanya makanan yang
tersedia, rata-rata 6-9 km, kadang-kadang dapat mencapai 19-20 km dari tempat
berkembang biak (Depkes RI, 1992).
3. Kebiasaan makan : Lalat dewasa sangat aktif sepanjang hari dari makanan yang satu
ke makanan yang lain. Lalat sangat tertarik pada makanan yang dimakan oleh
manusia sehari-hari seperti gula, susu dan makanan lainnya, kotoran manusia serta
darah.
4. Tempat istirahat : Lalat beristirahat pada tempat-tempat tertentu, pada siang hari
bila lalat tidak makan, mereka akan beristirahat pada lantai, dinding, langitlangit,
jemuran pakaian, rumput-rumput, kawat listrik dan lain-lain serta sangat menyukai
tempat-tempat dengan tepi tajam yang permukaannya vertikal. Biasanya tempat
istirahat ini terletak berdekatan dengan tempat makanan atau tempat berbiak dan
biasanya terlindung dari angin, di rumah lalat beristirahat pada kawat listrik, langit-
langit, lantai, jemuran dan dinding serta tidak aktif pada malam hari.
5. Lama hidup : Lama hidup lalat sangat tergantung pada makanan, air dan temperatur.
Pada musim panas berkisar antara 2-4 minggu, sedangkan pada musim dingin
biasanya mencapai 70 hari.
6. Temperatur : Lalat mulai aktif beraktifitas pada temperatur 15oC dan aktifitas
optimumnya pada temperatur 21oC, lalat memerlukan suhu sekitar 35 – 40oC untuk
beristirahat, dan pada temperatur di bawah 10oC lalat tidak aktif dan di atas 45oC
terjadi kematian pada lalat.
7. Kelembaban : Kelembaban erat hubungannya dengan temperature setempat. .
Jumlah lalat pada musih hujan lebih banyak dari pada musim panas.
8. Sinar : Lalat merupakan serangga yang bersifat fototropik yaitu menyukai cahaya.
Pada malam hari tidak aktif, namun dapat aktif dengan adanya sinar buatan. Efek
sinar pada lalat tergantung pada temperatur dan kelembaban.
B. Pengukuran Kepadatan Lalat
Menghitung angka kepadatan lalat pada suatu lokasi bertujuan untuk menilai
baik buruknya lokasi tersebut. Semakin tinggi angka kepadatan lalat yag diperoleh
artinya semakin buruk kondisi lokasi yang dinilai, begitupun sebaliknya semakin kecil
angka kepadatan lalat artinya semakin baik kodisi lokasi tersebut. Lokasi pengukuran
kepadatan lalat adalah yang berdekatan dengan kehidupan/ kegiatan manusia karena
berhubungan dengan kesehatan manusia, antara lain (Depkes RI, 1992) :
1. Pemukiman penduduk.
2. Tempat-tempat umum (pasar, terminal, rumah makan, hotel, dan sebagainya).
3. Lokasi sekitar Tempat Pembuangan Sementara (TPS) sampah yangberdekatan
dengan pemukiman.
4. Lokasi sekitar Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah yang berdekatandengan
pemukiman.
C. Flygril
Fly grill atau yang sering disebut blok grill oleh sebagian orang ini, adalah suatu
alat yang dipergunakan untuk mengukur kepadatan lalat di suatu tempat. Alat ini
dipergunakan di dunia kesehatan khususnya kesehatan lingkungan. Alat ini sering
dipergunakan untuk mengukur kepadatan lalat di tempat umum, misalnya pasar, tempat
sampah umum, warung makan, terminal, stasiun. Cara membuat fly griil sangat mudah
dan tidak diperlukan keahlian khusus untuk membuatnya, bahan untuk membuat fly
griil mudah untuk didapatkan, fly griil kuat dan mudah disimpan, permukaan fly griil
luas sehingga dapak menangkap lalat lebih banyak dan dapat digunakan untuk jangka
panjang.
Fly Griil diletakkan pada titik yang akan diukur dan jumlah lalat yang hinggap
dihitung selama 30 menit, tiap titik diadakan 10 kali perhitungan, kemudian diambil 5
angka perhitungan tertinggi dan dibuat rata-rata. Angka ini merupakan indek populasi
lalat pada satu titik perhitungan. Pengukuran terhadap populasi lalat dewasa lebih tepat
dan bisa diandalkan dari pada pengukuran populasi larva lalat.
BAB III

METODE

A. Waktu dan Lokasi Praktikum


Hari : Sabtu, 4 Mei 2021
Lokasi : Praktikum dilakukan di TPS Desa Sumberarum Kec. Dander, Bojonegoro
B. Alat dan Bahan
- Flygrill
- Lembar Checklist
- Alat tulis
- Handphone
C. Langkah Kerja
1. Letakan flygrill pada 5 titik yang telah ditentukan (penentuan lokasi berdasarkan
asumsi diletakan pada tempat yang berpotensi dihinggapi banyak lalat dan
dilakukan pada pagi sampai siang hari).
2. Hitung lalat yang hinggap pada flygrill selama 30 detik dihitung menggunakan
teller counter atau manual.
3. Setiap titik dilakukan pengulangan perhitungan 10 kali
4. Catat hasil perhitungan
5. Dari hasil pehitungan, pilih 5 nilai tertinggi dan caru rata – rata masing – masing
titik.
6. Rata – rata menggambarkan kepadatan lalat dari masing – masing titik pada lokasi
tersebut.
7. Sedangkan total rata – rata keseluruhan menunjukan nilai kepadatan lalat lokasi
tersebut.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
1. Table Pengamatan Kepadatan Lalat

Perhitungan ke
Titik Ke Rata – rata
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1 (TPS Kiri) 8 12 11 10 11 16 12 11 12 17 13,8
2 (TPS Kanan) 16 19 19 18 17 17 16 17 14 14 18
3 (TPS Tengah) 10 7 14 11 7 10 12 11 14 13 12,8
4 (TPS Dalam Tengah) 18 16 9 15 11 10 11 8 14 6 14,8
5 (TPS Dalam Ujung) 3 1 2 3 3 1 1 3 3 3 3
62,4 : 5 =
Total Rata-rata keseluruhan
12,48
Cara menghitung rata – rata : Pilih 5 niali tertinggi pada setiap titik dan cari rata –
5 𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑡𝑒𝑟𝑡𝑖𝑛𝑔𝑔𝑖
ratanya dengan cara 5

2. Interpretasi Data
Kategori Kepadatan Lalat
0–2 Rendah (Tidak jadi masalah)
3–5 Sedang ( Perlu dilakukan pengamatan terhadap pengembangbiakan lalat)
Padat (Perlu dilakukan pengamanan terhadap pengembangbiakan lalat
6 – 20
dan jika mungkin direncanakan upaya pengendaliannya)
Sangat Padat (Perlu dilakukan pengamanan terhadap pengembangbiakan
>20
lalat dan jika mungkin direncanakan upaya pengendaliannya)
3. Total
Rata – rata keseluruhan termasuk dalam kategori kepadatan lalat Padat sebanyak
12,48.
B. Pembahasan
Dari survey kepadatan lalat menggunakan alat flygrill yang dilakukan di Desa
Suberarum Kec. Dander, Bojonegoro termasuk dalam kategori kepadatan lalat Padat
sebanyak 12,84 yang perlu dilakukan pengamanan terhadap pengembangbiakan lalat
dan jika mungkin direncanakan upaya pengendaliannya. Keberadaan lalat menjadi
indikator kebersihan tempat tersebut. Lalat merupakan binatang pengganggu, dan
beberapa spesies telah terbukti menjadi penular (vector) penyakit. Keberadaan lalat
disuatu tempat juga merupakan indikasi kebersihan yang kurang baik.
TPS di Desa Sumberarum hanya berupa lahan terbuka dan sampah sisa
penjualan dibuang bahkan dibiarkan berserakan dilahan terbuka tersebut dan sampah –
sampah juga berasal dari rumah penduduk yang tinggal disekitar TPS juga membuang
sampahnya di tempat tersebut sehingga jumlah produksi sampah semakin meningkat.
Bau busuk dari sampah yang sudah tertampung lebih dari tiga hari sangat menusuk,
sehingga dapat menarik perhatian lalat untuk datang mencari makanan, bersarang dan
berkembang biak.
Berdasarkan hasil perhitungan kepadatan lalat menggunakan flygrill dengan
waktu 30 detik selama 10 kali percobaaan di titik 1 yang berada di sebelah kiri pintu
masuk TPS, didapatkan rata – rata 13,8. Pada titik pintu masuk sebelah kiri terdapat
timbunan sampah yang dilapisi tanah dan mulai ditumbuhi dengan tumbuhan speerti
kangkung. Setengah tumpukan sampah pada sisi kiri ada yang sudah terbakar dan hanya
beberapa yang masih terdapat tumpukan sampah sisa sampah kering yang bisa saja
hanya menarik perhatian sedikit lalat.
Berdasarkan hasil perhitungan kepadatan lalat menggunakan flygrill dengan
waktu 30 detik selama 10 kali percobaan di titik 2 yang berada di sebelah kanan pintu
masuk TPS, didapatkan rata – rata 18. Hal ini dikarenakan pada titik tersebut
merupakan pintu masuk TPS sebelah kanan menumpuknya sampah – sampah sisa
konsumsi manusia sehari – hari yang tergolong banyak sudah busuk dan mengundang
datangnya lalat untuk hinggap. Lalat amat tertarik oleh makanan yang dikonsumsi
manusia dan lalat tertarik pada bau – bauan yang busuk seperti bau dari makanan
ataupun minuman sisa.
Berdasarkan hasil perhitungan kepadatan lalat menggunakan flygrill dengan
waktu 30 detik selama 10 kali percobaan di titik 3 yang berada di tengah pintu masuk
TPS, didapatkan rata – rata 12,8. Hal ini dikarenapak pada pintu masuk TPS baian
tengah masih terdapat sampah yang masih tergolong baru seperti pada TPS titik 2
karena kebanyakan orang dating dan langsung membuang didepan pintu masuk namun
juga ada sebagian sampah kering.
Berdasarkan hasil perhitungan kepadatan lalat menggunakan flygrill dengan
waktu 30 detik selama 10 kali percobaan di titik 4 yang berada di Dalam tengah TPS,
didapatkan rata – rata 14,8. Pada titik 4 ini terdapat sampah daging ayam yang dibuang
dalam plastic kresek dan terdapat bau yang tidak sedap yang disukai oleh lalat untuk
hinggap yang mempengaruhi hasil dari flygrill.
Berdasarkan hasil perhitungan kepadatan lalat menggunakan flygrill dengan
waktu 30 detik selama 10 kali percobaan di titik 5 yang berada di Dalam TPD paling
ujung, didapatkan rata – rata 3. Hal ini dikarenakan pada bagian TPS ujung dalam hanya
tersisa bakaran sampah lama yang kurang menarik perhatian lalat karena pada bagian
ini pun tidak terdapat bau – bau busuk seperti titik lainnya.
Kepadatan lalat di TPA dapat menjadi parameter keberhasilan dalam
pengelolaan sampah. Kepadatan lalat yang tinggi pada TPA menandakan bahwa
pengelolaan sampah tidak berhasil. Oleh karena itu upaya untuk menurunkan populasi
kepadatan lalat sangat penting dilakukan mengingat dampak yang dapat ditimbulkan
oleh lalat terutama bagi kesehatan manusia. Hingga saat ini belum ada upaya
pengendalian lalat di TPS Desa Sumberarum, pola pengelolaan sampah hanya dengan
membakar sampah yang menumpuk.
Pemberantasan lalat dengan insektisida harus dilakukan hanya untuk periode
yang singkat apabila sangat diperlukan. Hal ini dikarenakan dapat juga pestisida kimia
berpengaruh terhadap lingkungna sekitarnya yang berada di tepi sawah. Dapat juga
menggunakan pestisida nabati yang berasal dari berupa larutan hasil perasan,
rendaman, ekstrak dan rebusan bagi tanaman atau tumbuhan, yakni berupa akar, umbi,
batang, daun, biji dan buah.
Perbaikan higiene dan sanitasi lingkungan merupakan langkah awal yang sangat
penting dalam usaha menanggulangi berkembangnya populasi lalat baik dalam
lingkungan. Hewan yang banyak ditemukan di TPS antara lain adalah lalat. Keberadaan
lalat tidak lepas dari adanya sampah yang berbau dan menarik perhatian lalat. Sampah
basah atau sampah organik harus dimasukkan ke dalam wadahyang tertutup sebelum
dibuang ke tempat pembuangan akhir sehingga lalat tidak dating untuk hinggap.
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil perhitungan survey kepadatan lalat pada TPS di Desa
Sumberarum Kec. Dander Bojoneoro didapatkan total rata – rata keseluruhkan
kepasatan lalat yang diukur menggunakan flygril sebanyak 12,48. Dari hasil tersebut
dapat disimpulkan bahwa kepadatan lalat termausk dalam kategori lalat padat 6 – 20.
Perlu dilakukan pengamanan terhadap pengembangbiakan lalat dan jika mungkin
direncanakan upaya pengendaliannya. Seperti perbaikan higiene dan sanitasi
lingkungan merupakan langkah awal yang sangat penting dalam usaha menanggulangi
berkembangnya populasi lalat baik dalam lingkungan
DAFTAR PUSTAKA
Jannah, D. N. (2006). Perbedaan Kepadatan Lalat Pada Berbagai Warna Fly Grill (Studi di
TPS Pasar Beras Bendul Merisi, Surabaya) (Doctoral dissertation, UNIVERSITAS
AIRLANGGA).
Masyhuda, M., Hestiningsih, R., & Rahadian, R. (2017). Survei Kepadatan Lalat Di Tempat
Pembuangan Akhir (TPA) Sampah Jatibarang Tahun 2017. Jurnal Kesehatan
Masyarakat (e-Journal), 5(4), 560-569.
Poluakan, M., Rumajar, P. D., & Pakasi, F. G. (2016). TINGKAT KEPADATAN LALAT DI
PASAR MOTOLING KECAMATAN MOTOLING KABUPATEN MINAHASA
SELATAN. Jurnal Kesehatan Lingkungan, 6(1), 28-35.
Manurung, A. F. (2018). Analisis Sistem Pengelolaan Sampah, Sanitasi dan Angka Kepadatan
Lalat di Pasar Horas kota Pematangsiantar Tahun 2018.
Ali, H., & Cahyani, D. D. (2016). EFEKTIFITAS EKSTRAK DAUN PANDAN WANGI
DALAM PENGENDALIAN LALAT RUMAH DI WORKSHOP POLTEKKES
KEMENKES BENGKULU. Jurnal Bahana Kesehatan Masyarakat (Bahana of
Journal Public Health), 13(5), 276-282.
DOKUMENTASI

Anda mungkin juga menyukai