Anda di halaman 1dari 18

PERMASALAHAN DALAM PELAKSANAAN FOOD ESTATE DI INDONESIA

Nama: Arhamnee Sitti Aulia


NIM: 217222044

PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS TARUMANAGARA
2023
ABSTRAK
Ketahanan pangan Indonesia telah lama menjadi wacana yang tak henti dibahas, bahkan
jauh sebelum terjadinya pandemi Covid-19. Adanya pandemi Covid-19 yang melanda dunia
pada awal tahun 2020, memberikan ancaman bagi berbagai aspek kehidupan. Dunia
internasional diguncangkan dengan pengurangan besar-besaran intensitas peredaran
kapital, barang, jasa, dan manusia antar-negara dikarenakan berbagai kebijakan untuk
mengurangi risiko meningkatnya ancaman dari virus Covid-19. FAO memperingatkan
potensi terjadinya krisis pangan sebagai akibat dari pandemi Covid-19, oleh karena itu FAO
dan WHO menekankan pentingnya ketahanan pangan dan sistem pengawasan keamanan
pangan dunia. Food estate merupakan program pemerintah yang memiliki konsep
pengembangan pangan yang dilakukan secara terintegrasi mencakup pertanian, perkebunan,
bahkan peternakan di suatu kawasan. Meskipun dianggap sebagai program yang memiliki
banyak manfaat terutama di bidang pangan, namun program ini tidak lepas dari pro dan
kontra masyarakat, khususnya masyarakat yang tempat tinggalnya menjadi kawasan food
estate, program ini menyimpan banyak masalah.

Kata Kunci: Ketahanan Pangan, Food Estate, Masyarakat.

i
1

PENDAHULUAN
Jumlah penduduk di Indonesia meningkat setiap tahunnya, hal itu membuat
kebutuhan pangan juga semakin bertambah. Menurut FAO, pangan adalah sesuatu yang
dikonsumsi secara konsisten dalam jumlah tertentu dan berubah menjadi bagian umum dari
rutinitas makan yang berlebihan sebagaimana menjadi sumber utama energi dan gizi yang
dibutuhkan tubuh. Gizi merupakan unsur yang sangat penting dalam meningkatkan Sumber
Daya Manusia (SDM) yang berkualitas. Kebutuhan pangan adalah kebutuhan primer setiap
manusia yang tidak bisa digantikan, oleh karena itu ketersediaan pangan yang dapat
memenuhi kebutuhan penduduk di seluruh wilayah merupakan hal yang penting.

Salah satu mata pencaharian utama penduduk Indonesia yaitu pada sektor pertanian.
Sektor pertanian berperan sebagai penyedia pangan untuk menjaga stabilitas suatu negara.
Eksistensi sektor pertanian sangat penting bagi keberlangsungan kehidupan manusia, karena
pertanian mampu menyediakan bahan makanan, nutrisi, non pangan, dan juga fungsi lain dari
sektor pertanian.

Sejumlah pakar dan pratiksi menyampaikan kepada pemerintah bahwa permasalahan


dan tantangan di bidang pertanian dan ketahanan pangan yang dihadapi oleh masyarakat,
bangsa, negara dan pemerintah Indonesia adalah gangguan suplay bahan pangan, penurunan
permintaan produk pertanian, ancaman krisis pangan dan pembatasan dalam lapangan
produksi. Ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan
perseorangan yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun
mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan
agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif
secara berkelanjutan.

Untuk dapat mewujudkan ketahanan pangan, pemerintah membuat program Lumbung


Pangan Nasional (Food Estate). Food estate merupakan program pemerintah yang memiliki
konsep pengembangan pangan yang dilakukan secara terintegrasi mencakup pertanian,
perkebunan, bahkan peternakan di suatu kawasan. Program ini masuk dalam salah satu
Program Strategis Nasional (PSN) 2020-2024 yang tercantum dalam Peraturan Presiden
Nomor 109 tahun 2020 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 3 tahun 2016
Tentang Percepatan Proyek Strategis Nasional. Pengembangan kawasan food estate ditujukan
sebagai perluasan lahan untuk meningkatkan cadangan pangan nasional.
2

Program food estate dilaksanakan di beberapa daerah di Indonesia diantaranya yaitu,


Kalimantan Tengah, Sumatera Selatan, Sumatera Utara, dan Papua. Proyek akan
dilaksanakan di Kalimantan Tengah, dengan lahan seluas 168.000 hektar yang berada di
Kabupaten Kapuas dan Pulang Pisau, di Sumatra Utara lahan seluas 60.000 hektar yang
berada di Kabupaten Humbang Hasundutan, Kabupaten Tapanuli Utara, Kabupaten Tapanuli
Tengah dan Kabupaten Pak-Pak Bharat. Di Sumatra Selatan, lokasi lumbung pangan ini
seluas 235.351 hektar, yaitu Palembang, Banyuasin, Ogan Komering Ilir, Ogan Komering
Ulu, Ogan Komering Ulu Timur, Musi Banyuasin, Panukal Abab Lematang Ilir, Musi Rawas
Utara, dan Muara Enim. Di Papua, lokasi lumbung pangan akan dibuka di Kabupaten
Merauke, Boven Digoel dan Mappi seluas 2.052.551 hektare. Khusus di Merauke,
pemerintah akan melanjutkan proyek lumbung pangan yang dulu pernah digagas pada masa
pemerintahan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) melalui proyek Merauke
Integrated Food Energy Estate (MIFEE) di tahun 2010 lalu.

MIFEE merupakan pengembangan produksi pangan yang dilakukan secara


terintegrasi mencakup pangan, perkebunan, peternakan dan perikanan. Pemerintah
melibatkan 32 investor yang bergerak di bidang perkebunan, pertanian tanamanpangan,
perikanan darat, peternakan, konstruksi, dan industri pengolahan kayu. Dengan adanya
program MIFEE ini, pemerintah berharap Indonesia akan mempunyai cadangan pangan yang
cukup, dan juga menghemat devisa negara yang digunakan untuk impor pangan.

Kegagalan pada MIFEE membuat masyarakat di Papua tidak percaya lagi dengan
program ketahanan pangan yang dibuat oleh pemerintah, karena dirasa proyek ini menyimpan
berbagai masalah. Permasalahan tersebut mulai dari ancaman perampasan tanah dan konflik
agraria, potensi rusaknya lingkungan, hingga terancamnya keberadaan petani yang ada pada
pertanian itu sendiri.

RUMUSAN MASALAH.

1. Apa saja permasalahan yang timbul dari akibat pelaksanaan food estate di Indonesia?
3

PEMBAHASAN

Berdasarkan Universal Declaration of Human Right (1948) dan The International


Convenant on Economic, Social and Cultural Right (1966) pangan dianggap sebagai Hak
Asasi Manusia. Kebutuhan akan pangan merupakan kebutuhan primer setiap manusia yang
tidak bisa tergantikan. Mengingat begitu pentingnya peran pangan, oleh karena itu PBB
memiliki lembaga khusus untuk menangani isu pangan yaitu FAO. Food Agriculture
Organization atau sering disingkat FAO, adalah organisasi internasional yang dibentuk oleh
PBB. Pembentukan FAO ini memiliki tujuan untuk mencapai peningkatan taraf nutrisi dan
taraf hidup bagi manusia melalui pengelolaan pangan dan pertanian, pembangunan di
pedesaan, dan pengurangan kasus kelaparan.

Ketahanan pangan Indonesia telah lama menjadi wacana yang tak henti dibahas,
bahkan jauh sebelum terjadinya pandemi Covid-19. Hanya saja, pembahasan ini tidak selalu
mencuat ke keseharian publik kelas menengahatas. Adanya pandemi Covid-19 yang melanda
dunia pada awal tahun 2020, memberikan ancaman bagi berbagai aspek kehidupan. Dunia
internasional diguncangkan dengan pengurangan besar-besaran intensitas peredaran kapital,
barang, jasa, dan manusia antar-negara dikarenakan berbagai kebijakan untuk mengurangi
risiko meningkatnya ancaman dari virus Covid-19. FAO memperingatkan potensi terjadinya
krisis pangan sebagai akibat dari pandemi Covid-19, oleh karena itu FAO dan WHO
menekankan pentingnya ketahanan pangan dan sistem pengawasan keamanan pangan dunia.

Di Indonesia, pandemi Covid-19 sempat mengganggu sistem logistik pangan


nasional, terutama di awal masa pandemi. Ketenagakerjaan di bidang pertanian diperkirakan
mengalami kontraksi 4,87% dan produksi pertanian domestik menyusut 6,2%. Demikian juga
impor pangan diperkirakan turun 17,11% dan harganya naik 1,20% dalam jangka pendek dan
2,42% pada tahun 2022. Kondisi ini menjadi pengingat bagi Indonesia yang melakukan
impor berbagai komoditas pangan. Rasio ketergantungan impor tertinggi Indonesia terdapat
pada komoditas gandum yaitu sebesar 100%. Selanjutnya diikuti komoditas bawang putih,
kedelai, gula, daging, beras, dan jagung.

Menjaga ketahanan pangan ditengah pandemi Covid-19 merupakan salah satu


program di Indonesia. Salah satu upaya pemerintah yaitu dengan program pembangunan food
estate adalah proyek investasi pada sub sektor tanaman pangan dalam bentuk kegiatan usaha
budi daya tanaman skala luas (> 25 Ha) yaitu komoditi padi yang dilakukan dengan konsep
4

industri yang berbasis ilmu pengetahuan, modal, serta organisasi dan manajemen modern.
Program pengembangan kawasan food estate menjadi salah satu Program Strategis Nasional
(PSN) 2020-2024 yang tercantum dalam Peraturan Presiden Nomor 109 tahun 2020 Tentang
Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 3 tahun 2016 Tentang Percepatan Proyek Strategis
Nasional, dalam rangka memperkuat dan menjaga ketahanan pangan serta meningkatkan
kesejahteraan petani.

Sistem ketahanan pangan di Indonesia secara komprehensif meliputi empat sub-


sistem, yaitu:

1. Ketersediaan pangan dalam jumlah dan jenis yang cukup untuk seluruh penduduk.
2. Distribusi pangan yang lancar dan merata.
3. Konsumsi pangan setiap individu yang memenuhi kecukupan gizi seimbang.
4. Status gizi masyarakat

Latar belakang pengembangan food estate ini adalah sebagai berikut:

1. Melonjaknya permintaan pangan dunia sebanding dengan pertumbuhan penduduk.


2. Supply pangan dunia yang tidak sebanding dengan permintaan.
3. Dengan semakin tingginya laju alih fungsi lahan pertanian khusunya di pulau Jawa
dan Bali, dan kebutuhan pangan nasional yang semakin meningkat, sehingga pangan
menjadi komoditas strategis.
4. Ketersediaan lahan potensial sebagai lahan cadangan pangan cukup luas, khususnya
diluar pulau Jawa dan Bali, namun belum tergarap secara optimal dan membutuhkan
investasi yang cukup besar, disisi lain pemerintah terbatas, sehingga memerlukan
investor namun tetap harus memperhatikan dan melindungi kepentingan masyarakat.
5. Outflow devisa negara untuk pembiayaan impor beberapa komoditas pangan.
6. Pandemi Covid-19 yang melanda dunia, mengancam penurunan produksi pangan dan
pertanian.

Pada era pemerintahan Presiden Joko Widodo periode pertama sebenarnya proyek
lumbung pangan telah dicanangkan, hal ini terlihat dalam Keputusan Menteri Pertanian
Republik Indonesia Nomor 05/KPTS/KN.130/K/02/2016 tentang petunjuk teknis
pengembangan lumbung pangan masyarakat. Latar belakang terbitnya surat keputusan ini
adalah pengembangan lumbung pangan masyarakat merupakan prioritas dalam rangka
mewujudkan pemenuhan kebutuhan pangan untuk pencapaian sasaran program peningkatan
diversifikasi dan ketahanan pangan. Pandemi Covid-19 membuat Presiden kembali
5

mengintensifkan proyek ini karena aspek cadangan merupakan salah satu komponen penting
dalam ketersediaan pangan yang dapat berfungsi menjaga kesenjangan antara produksi
dengan kebutuhan.

Lokasi untuk pengembangan Kawasan Sentra Produksi Pangan diarahkan ke empat


lokasi, yaitu Kalimantan Tengah, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, dan Papua. Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengeluarkan Peraturan Menteri LHK Nomor
P.24/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2020 tentang Penyediaan Kawasan Hutan untuk
Pembangunan Food Estate, yang kemudian dicabut dengan Permen LHK No. 7 Tahun 2021
tentang Perencanaan Kehutanan, Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan, dan Perubahan
Fungsi Kawasan Hutan Serta Penggunaan Kawasan Hutan. Pembangunan food estate sebagai
upaya untuk mewujudkan ketahanan pangan sangat erat kaitannya dengan kebutuhan lahan
untuk kegiatan pertanian. Tetapi, kebutuhan lahan tersebut tidak semuanya dapat dipenuhi
dari wilayah pertanian itu sendiri, karena banyaknya konversi lahan pertanian menjadi lahan
non pertanian seiring dengan pertumbuhan penduduk. Maka dari itu, dibutuhkan pembukaan
lahan baru untuk melaksanakan pembangunan food estate tersebut. Program food estate
terbaru yang dimulai tahun 2020, ratusan ribu hektare bahkan lebih lahan direncanakan
berasal dari kawasan eks Proyek Lahan Gambut.

Pada 26 Juni 2020 dilaksanakan rapat terbatas oleh Presiden Joko Widodo, ditetapkan
keputusan bahwa areal eks-Pengembangan Lahan Gambut (PLG) seluas 770.601 hektar akan
dimasukan kedalam daftar kawasan pengembangan proyek food estate di Kalimantan Tengah.
Keputusan reposisi lahan eks-PLG inilah yang menjadi cikal bakal konflik antar pihak yang
bersinggungan, seperti Walhi Kalimantan Tengah misalnya, yang menyayangkan keputusan
tersebut sebab lahan eks-PLG masih menyisakan masalah lingkungan seperti kebakaran yang
hingga saat ini masih terjadi. Selain di Kalimantan Tengah, rencana program food estate
menaruh ancaman baru kepada Tanah Papua. Tidak hanya melahirkan ancaman terhadap
daulat Orang Asli Papua termasuk masyarakat adat Papua, aspek lingkungan hidup dan sosial
juga diancam oleh kebijakan ini. Kerusakan lingkungan berkonsekuensi menaruh mereka di
bawah bayang ancaman bencana ekologis dan krisis pangan.

Meskipun dianggap sebagai program yang memiliki banyak manfaat terutama di


bidang pangan, namun program ini tidak lepas dari pro dan kontra masyarakat. Bagi
masyrakat, khususnya masyarakat yang tempat tinggalnya menjadi kawasan food estate,
program ini menyimpan banyak masalah. Pertama, ancaman perampasan tanah dan konflik
6

agraria. Salah satunya proyek pembukaan lahan lumbung pangan di Kecamatan Pollung,
Humbang Hasundutan telah memakan korban. Dari 1.000 hektar pembukaan lahan yang
ditarget pada tahun 2020 ini, 215 hektarnya sudah dilepaskan dan telah memicu letusan
konflik agraria. Pasalnya, lokasi proyek berada di wilayah adat. Kedua, food estate pada
kenyataannya meminggirkan petani dari dunia pertanian itu sendiri. Food Estate memang
berbicara pangan, tapi tidak dimaksudkan untuk menempatkan petani sebagai produsen
pangan yang utama. Pasalnya program ketahanan pangan ini menyandarkan produksi pangan
dari hulu sampai hilir di pundak korporasi pangan besar. Artinya, urusan pangan dan produk
pertanian akan diserahkan sepenuhnya kepada korporasi pertanian pangan. Sementara petani
dan warga desa hendak diarahkan menjadi para pekerja di lokasi-lokasi food estate tersebut.
Ketiga, Food Estate berpotensi merusak lingkungan, pasalnya sebagian besar lokasi ini
berada di atas lahan gambut. Belajar dari proyek cetak sawah satu juta hektar di atas lahan
gambut yang digagas Presiden Soeharto di masa lalu tidak hanya berakhir gagal total, namun
juga melahirkan degradasi lingkungan yang sangat parah.

Kegagalan proyek food estate pada pemerintahan sebelumnya tidak membuat


pemerintah jera mengulang kebijakan dan program serupa. Bahkan kegagalan berulang dari
pemerintahan Soeharto hingga SBY tidak diikuti penjelasan kepada publik secara
komprehensif dan rasional. Presiden Soeharto mendirikan sebuah budidaya tanaman pangan
skala luas yang disebut Mega Rice Project (MRP) pada tahun 1996. MRP diharapkan untuk
mencakup sejuta hektar perkebunan padi di lahan gambut dataran rendah Pulau Kalimantan.
Krisis ekonomi pada tahun 1997 mulai mempengaruhi Indonesia, terjadi gagal panen
diseluruh nusantara karena kekeringan yang disebabkan oleh El Nino, kebakaran hutan yang
terus berulang, juga adanya demonstrasi yang menuntut turunnya presiden menyebabkan
gangguan sosial di seluruh wilayah Indonesia. Proyek MRP ditinggalkan tanpa sebutir beras
pun yang dipanen, meninggalkan tanah kosong yang terus terbakar dalam skala besar hampir
setiap tahun.

Pada tahun 2011 dan 2012 didirikan dua perkebunan, yaitu Merauke Intergrated Food
and Estate (MIFEE) di Papua dan Ketapang Food Estate (KFE) di Kalimantan Barat. Namun
karena beragam masalah, MIFEE dan KFE mengalami kegagalan. Berikut alasan komparitif
kegagalan MRP, MIFEE, dan KFE.

Mega Project Rice Merauke Intergrated Ketapang Food Estate


(MRP) Food and Estate (KFE)
7

(MIFEE)
Lahan Pemerintah menetapkan Pemerintah mengklaim Pemerintah mengklaim
sasaran 1.000.000 hektar 1.282.833 hektar lahan 886.969 hektar lahan
lahan siap ditanami padi. siap ditanami. siap
ditanami. 100 hektar
sebagai padi percobaan.
Diperlukan Diperlukan pembabatan Diperlukan pembabatan
pembangunan hutan dan sabana, serta hutan seluas 38.700
sekitar 4,000 km kanal pengeringan rawa. hektar.
gambut.
Perlu mengkonversikan Lahan diperoleh dari Penduduk setempat
rawa gambut menjadi perampasan tanah. secara kolektif
lahan pertanian siap menyewakan lahan
tanam. seluas 1.400 hektar
dengan skema
kemitraan.
Lahan didesain untuk Pembagian lahan: karet, Pembagian lahan: padi,
pertanian monokultur kelapa sawit, tebu, jagung, ubi, sayur-
tanaman padi. kedelai, jagung, mayur, kelapa sawit
singkong, beras (95 (dengan dukungan
persen lahan untuk perusahaan swasta).
tanaman komoditas
ekspor).
Tenaga Diperlukan sekitar 4.000 Dibutuhkan 172.962 Dibutuhkan sekitar
Kerja petani, sebagian besar petani, sebagian besar 4.000 petani, sebagian
transmigran dari Jawa transmigrant dari Jawa besar transmigran dari
dan Bali. dan Bali. Jawa dan Bali.
Petani kesulitan Petani secara umum Petani harus bekerja
mengolah lahan karena mendapatkan sekitar dalam satu kelompok
tanah kurang subur, Rp.60.000 per hari yang terdiri dari lima
sehingga tanaman kerja tergantung dari orang. Mereka dibayar
pangan sulit untuk luasan lahan yang secara kolektif sebesar
tumbuh. dikerjakan. Rp.600.000 per hektar.
8

Apabila dikurangi uang


sewa dan utang maka
tiap petani mendapat
Rp.80.000 per hektar.
Lahan yang dijanjikan Lahan yang dijanjikan
kepada petani tidak kepada petani tidak
cocok untuk pertanian cocok untuk pertanian
tanaman pangan tanaman pangan
susbsistem. susbsisten. Lahan
gambut rentan terbakar
pada musim kemarau
dan tanahnya kurang
subur.
Petani harus bekerja Kurang-lebih 11 jam
ekstra di sektor kerja per hari
informal seperti menyebabkan kurangnya
pedagang kecil untuk waktu untuk melakukan
memenuhi kebutuhan. aktivitas lain, seperti
aktivitas sosial.
Penghasilan dan Petani diharuskan
distribusi lahan tidak bekerja ekstra di
cukup untuk perkebunan kelapa
pemenuhan aktivitas sawit, tambang bauksit,
reproduksi sosial. atau menjadi kuli
bangunan.
Penghasilan dan
distribusi lahan tidak
cukup untuk pemenuhan
aktivitas reproduksi
sosial.
Modal Pendanaan sebesar Rp.3 44 perusahaan swasta, Pendanaan oleh
triliyun dari Dana termasuk investor asing perusahaan badan usaha
Restorasi. Dalam diberikan konsesi lahan miliki negara dan
9

praktiknya, MRP selama 60 tahun. perusahaan swasta


disubkontrakkan ke (untuk kelapa sawit).
banyak perusahaan
swasta milik
kerabat Presiden
Soeharto.
Diproyeksikan Penduduk setempat
menghasilkan Rp.3 dijanjikan skema bagi
triliyun per tahun. hasil 60:20, 60 persen
Kenyataannya, hanya untuk perusahaan dan 40
memperoleh Rp.200 persen untuk petani.
milyar per tahun dan Akibat rendahnya
grafiknya tidak stabil. produktivitas panen,
Belum ada kalakulasi perusahaan mengubah
pasti mengenai laba perjanjian menjadi
hingga saat ini. 80:20.
Lainnya Kegagalan MRP Tidak ada kontribusi Pembukaan lahan dalam
dikarenakan rusaknya yang jelas terhadap skala besar merusak
kualitas tanah, bahkan program ketahanan lapisan tanah yang
hingga saat ini bekas pangan nasional, karena paling subur,
lahan MRP menjadi salah sebagian besar lahan menyebabkan naiknya
satu kawasan titik dialokasikan untuk tingkat keasaman.
kebakaran hutan industry kayu dan Sebaliknya, kualitas
terparah. Pada kebakaran perkebunan kelapa tanah yang rendah
tahun 1997 saja, 150 juta sawit (sekitar 95 mempengaruhi jenis dan
ton karbon dilepaskan persen). kualitas tanaman yang
dari MRP. bisa ditanam. Juga
memicu konflik sosial
akibat kegagalan siklus
tanam.
Pemerintah Indonesia Berbagai konflik jangka Pembukaan lahan
memobilisasi militer panjang, relokasi, dan menyebabkan hilangnya
untuk membantu eksploitasi terhadap habitat, hewan liar
10

pembangunan MRP penduduk setempat dan makan tanaman padi.


termasuk transmigrant karena alih Hal ini mengakibatkan
infrastrukturnya. Tentara fungsi lahan. gagal panen.
juga ditugaskan untuk
memastikan rantai
pasokan tetap mengalir.
MRP terbengkalai Menghasilkan emisi gas Kebakaran dan kabut
sebelum adanya rumah kaca hingga 737 asap di lahan gambut
penanaman akibat krisis juta ton. Belum lagi mengakibatkan masalah
ekonomi yang melanda. munculnya 11.000 titik lingkungan transnasional
api kebakaran hutan dan berakibat buruk
akibat memburuknya pada kesehatan.
kualitas tanah gambut.
Sebagian besar petani Pemerintah Pemerintah
yang telah dipindahkan memobilisasi militer memobilisasi militer
ke lokasi MRP terjebak untuk mengamankan untuk mengamankan
dalam lingkaran setan pengembangan MIFEE, pengembangan KFE,
kemiskinan karena produksi pangan, dan produksi pangan, dan
kurangnya lapangan rantai pasokan dengan rantai pasokan dengan
pekerjaan dan rusaknya narasi untuk narasi untuk
lahan pertanian mengamankan mengamankan
keamanan pangan. Hal keamanan
tersebut ditambah juga pangan. Juga,
faktor Papua yang ketegangan
sudah sangat berkepanjangan antara
termiliterisasi karena etnis Dayak dan Melayu
kekerasan dari negara (dua kelompok etnis
yang terus berlangsung utama di lokasi KFE)
terhadap di Papua. menjadikan aksi-aksi
pengamanan menjadi
lebih beringas
11

Orang Asli Papua justru mengalami kesulitan memenuhi kebutuhan pangan, seperti
sagu dan daging rusa setelah hutan-hutannya dikonversi untuk membangun MIFEE. Program
food estate yang ditetapkan pasca penetapan pandemi Covid-19, kembali menaruh Orang Asli
Papua sebagai objek pembangunan. Orang Asli Papua dan Pemerintah Otonomi Khusus sama
sekali tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan.Walaupun program ini
berpotensi mengakibatkan dampak ekologis dan sosial yang besar di Papua.

Pengembangan Lahan Gambut sebagai “Mega Rice Project” sepanjang tahun 1995-
1999 dianggap sebagai salah satu penyebab bencana lingkungan hidup terbesar dalam rekam
jejak Indonesia, karena selain mengakibatkan kebakaran lahan gambut skala besar, proyek
tersebut bahkan tidak menghasilkan beras. Pengembangan MIFEE juga tidak luput dari
permasalahan, sekitar 50% lahan pertanian yang direncanakanberasal dari wilayah hutan
yang sebagian besar terdiri dari hutan primer dan sekunder. Berdasarkan alokasi lahan
konsensi, proyeksi total emisi karbon yang terlepas diperkirakan mencapai 770 juta ton per
tahun yang 70%-nya berasal dari konversi area hutan. Selain itu juga ditemui hilangnya
keanekaragaman hayati.

Ada empat masalah yang saling terkait yang menyebabkan gagalnya tiga megaproyek
kebun pangan skala luas pada masa lalu. Pertama, kegagalan terjadi karena pemerintah
menyediakan jalan atau bahkan membiarkan korporasi agrobisnis transnasional menangani
krisis pangan nasional dengan mengintensifkan investasi modal dalam proyekproyeknya.
Kedua, petani dalam tiga megaproyek kebun pangan skala luas menjadi terpuruk karena
lahan tersebut hanya diberikan izin untuk tanaman monokultur komersil, sehingga tidak
memungkinkan petani untuk menanam tanaman pangan subsisten. Ketiga, dalam tiga
megaproyek masa lalu ini petani kecil dibayar sangat rendah sementara harus bekerja—
secara akumulatif—lebih lama per harinya daripada yang dijanjikan sebelumnya.Keempat,
keterpurukan dan kemiskinan petani pada tiga megaproyek masa lalu terjadi sebagai akibat
dari kondisi ekologis lahan di mana mereka ditempatkan.

Pada wilayah Kalimantan Tengan pembukaan lahan gambut misalnya eks PLG akan
menimbulkan dampak menurunnya produksi di sektor perikanan, kondisi ini dapat dilihat dari
hilangnya beje (areal perikanan atau tambak di air rawa) dan tatah (teknik penangkapan ikan
secara tradisional) di beberapa desa seperti di Dadahup, Terantang, dan Lamunti yang
merupakan vairietas tanaman pangan asli di Kalimantan tengah. pembukaan lahan dalam
bentuk program baik eks PLG dan berbagai program lainnya maka dampak sosial bagi
12

masyarakat lokal yaitu hilangnya sumber pendapatan dari hasil hutan seperti rotan, karet,
berbagai jenis tanaman obat, satwa buruan, serta “purun“ yaitu jenis tanaman yang digunakan
untuk membuat tikar, serta berkurangnya lahan perikanan dan menurunnya hasil tangkapan
ikan, kondisi ini mengakibatkan menurunnya pendapatan masyarakat lokal di sekitar proyek
PLG secara drastis, dan meningkatnya kemiskinan.
13

KESIMPULAN

Food estate merupakan program pemerintah yang memiliki konsep pengembangan


pangan yang dilakukan secara terintegrasi mencakup pertanian, perkebunan, bahkan
peternakan di suatu kawasan. Meskipun dianggap sebagai program yang memiliki banyak
manfaat terutama di bidang pangan, namun program ini tidak lepas dari pro dan kontra
masyarakat, khususnya masyarakat yang tempat tinggalnya menjadi kawasan food estate,
program ini menyimpan banyak masalah. Pertama, ancaman perampasan tanah dan konflik
agraria. Salah satunya proyek pembukaan lahan lumbung pangan di Kecamatan Pollung,
Humbang Hasundutan telah memakan korban. Dari 1.000 hektar pembukaan lahan yang
ditarget pada tahun 2020 ini, 215 hektarnya sudah dilepaskan dan telah memicu letusan
konflik agraria. Pasalnya, lokasi proyek berada di wilayah adat. Kedua, food estate pada
kenyataannya meminggirkan petani dari dunia pertanian itu sendiri. Food Estate memang
berbicara pangan, tapi tidak dimaksudkan untuk menempatkan petani sebagai produsen
pangan yang utama. Pasalnya program ketahanan pangan ini menyandarkan produksi pangan
dari hulu sampai hilir di pundak korporasi pangan besar. Artinya, urusan pangan dan produk
pertanian akan diserahkan sepenuhnya kepada korporasi pertanian pangan. Sementara petani
dan warga desa hendak diarahkan menjadi para pekerja di lokasi-lokasi food estate tersebut.
Ketiga, Food Estate berpotensi merusak lingkungan, pasalnya sebagian besar lokasi ini
berada di atas lahan gambut.
14

SARAN

Agar pemerintah dapat berhati-hati dalam menentukan lahan untuk program Food
Estate, untuk mencegah terjadinya konflik agrarian dengan masyarakat atau masyarakat adat
setempat. Pemerintah juga diharapkan dapat mempelajari dan melakukan evaluasi terhadap
mega proyek yang telah dilaksanakan sebelumnya, seperti MRP, MIFEE, KFE, agar program
ketahanan yang selanjutnya akan dilaksanakan dapat berhasil sesuai dengan harapan
pemerintah juga masyarakat Indonesia.
15

DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU-BUKU.
Walhi (Wahana Lingkungan Indonesia), 2021, Kertas Posisi Food Estate di Papua:
Perampasan Ruang Berkedok Ketahanan Pangan, Walhi,.
Kementrian Pertanian Republik Indonesia, 2021, Rancangan Umum Pengembangan
Kawasan Food Estate Berbasis Korporasi Petani, Kementrian Pertanian
Republik Indonesia, Jakarta.
Kementrian Pertanian Republik Indonesia, 2010, Buku Pintar Pengembangan Food
Estate, Kementrian Pertanian Republik Indonesia, Jakarta.
B. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN.
Keputusan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor
05/KPTS/KN.130/K/02/2016 tentang petunjuk teknis pengembangan
lumbung pangan masyarakat.
Peraturan Presiden Nomor 109 tahun 2020 Tentang Perubahan Atas Peraturan
Presiden Nomor 3 tahun 2016 Tentang Percepatan Proyek Strategis Nasional.
Peraturan Menteri LHK Nomor P.24/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2020 tentang
Penyediaan Kawasan Hutan untuk Pembangunan Food Estate.
C. JURNAL.
Rizkia Diffa, Imamulhadi, Supraba Sekarwati, 2022, Analisi Yuridis Terhadap
Program Pembangunan Food Estate Di Kawasan Hutan Ditinjau Dari Eco-
Juctice, LITRA: Jurnal Hukum Lingkungan Tata Ruang dan Agraria, Vol.2
No.1, Universitas Padjadjaran.
Salshabila Trianggraeni Wandanarum, Asya Tirta Prameswari, dkk, 2021, Peran
Keuangan Negara Terhadap Pembangunan Food Estate Pada Masa
Pandemi Covid-19 Dalam Menjawab Upaya Ketahanan Pangan Dan
Kaitannya Dengan Isu Lingkungan, Jurnal Keuangan Negara dan Kebijakan
Publik, Vol.1 No.2, PKNSTAN, Kementrian Keuangan.
Asti Dominicus, Savio Priyarsono, Sahara, 2016, Analisis Biaya Manfaat Program
Pembangunan Food Estate Dalam Perspektif Perencanaan Wilayah: Studi
16

Kasus Provinsi Kalimantan Barat, Jurnal Agribisnis Indonesia, Vol.4 No.2,


Institut Pertanian Bogor.
Ariani Yestati, Rico Septian Noor, 2021, Food Estate dan Perlindungan Terhadap
Hak-Hak Masyarakat Di Kalimantan Tengah, Morality: Jurnal Hukum, Vol.7
No.1, Universitas Palangkaraya.
Baiq Rani Dewi Wulandani, Wiwin Anggriani,2020, Food Estate Sebagai Ketahanan
Pangan Di Tengah Pandemi Covid-19 Di Desa Wanasaba, Jurnal Pengabdian
Masyarakat Berkemajuan, Vol.4 No.1, Universitas Mataram.
Sudarmansyah, Ruswendi, dkk, 2021, Peran Penyuluh Pertanian Dalam Mendukung
Ketahanan Pangan Pada Saat Wabah Pandemi Covid-19, Vol.14 No.1, Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu.
Atmaezer H Simanjuntak, Rudy G Erwinsyah, 2020, Kesejahteraan Petani Dan
Ketahanan Pangan Pada Masa Pandemi Covid-19: Telaah Kritis Terhadap
Rencana Megaproyek Lumbung Pangan Nasional Indonesia, Sosio Informa
Vol.6 No.2.
D. INTERNET
https://www.kpa.or.id/kabar-agraria/view/food-estate-perampasan-tanah-atas-nama-
ketahanan-pangan-_00411460f7c92d2124a67ea0f4cb5f85.
https://www.kompasiana.com/
dimasbryanputrachristnawan2783/608983c8d541df6fad43f212/
implementasi-dampak-pengembangan-food-estate-di-indonesia.
https://madaniberkelanjutan.id/2021/02/25/dampak-food-estate-terhadap-hutan-alam-
dan-lahan-gambut.
https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-54990753.

Anda mungkin juga menyukai