i
1
PENDAHULUAN
Jumlah penduduk di Indonesia meningkat setiap tahunnya, hal itu membuat
kebutuhan pangan juga semakin bertambah. Menurut FAO, pangan adalah sesuatu yang
dikonsumsi secara konsisten dalam jumlah tertentu dan berubah menjadi bagian umum dari
rutinitas makan yang berlebihan sebagaimana menjadi sumber utama energi dan gizi yang
dibutuhkan tubuh. Gizi merupakan unsur yang sangat penting dalam meningkatkan Sumber
Daya Manusia (SDM) yang berkualitas. Kebutuhan pangan adalah kebutuhan primer setiap
manusia yang tidak bisa digantikan, oleh karena itu ketersediaan pangan yang dapat
memenuhi kebutuhan penduduk di seluruh wilayah merupakan hal yang penting.
Salah satu mata pencaharian utama penduduk Indonesia yaitu pada sektor pertanian.
Sektor pertanian berperan sebagai penyedia pangan untuk menjaga stabilitas suatu negara.
Eksistensi sektor pertanian sangat penting bagi keberlangsungan kehidupan manusia, karena
pertanian mampu menyediakan bahan makanan, nutrisi, non pangan, dan juga fungsi lain dari
sektor pertanian.
Kegagalan pada MIFEE membuat masyarakat di Papua tidak percaya lagi dengan
program ketahanan pangan yang dibuat oleh pemerintah, karena dirasa proyek ini menyimpan
berbagai masalah. Permasalahan tersebut mulai dari ancaman perampasan tanah dan konflik
agraria, potensi rusaknya lingkungan, hingga terancamnya keberadaan petani yang ada pada
pertanian itu sendiri.
RUMUSAN MASALAH.
1. Apa saja permasalahan yang timbul dari akibat pelaksanaan food estate di Indonesia?
3
PEMBAHASAN
Ketahanan pangan Indonesia telah lama menjadi wacana yang tak henti dibahas,
bahkan jauh sebelum terjadinya pandemi Covid-19. Hanya saja, pembahasan ini tidak selalu
mencuat ke keseharian publik kelas menengahatas. Adanya pandemi Covid-19 yang melanda
dunia pada awal tahun 2020, memberikan ancaman bagi berbagai aspek kehidupan. Dunia
internasional diguncangkan dengan pengurangan besar-besaran intensitas peredaran kapital,
barang, jasa, dan manusia antar-negara dikarenakan berbagai kebijakan untuk mengurangi
risiko meningkatnya ancaman dari virus Covid-19. FAO memperingatkan potensi terjadinya
krisis pangan sebagai akibat dari pandemi Covid-19, oleh karena itu FAO dan WHO
menekankan pentingnya ketahanan pangan dan sistem pengawasan keamanan pangan dunia.
industri yang berbasis ilmu pengetahuan, modal, serta organisasi dan manajemen modern.
Program pengembangan kawasan food estate menjadi salah satu Program Strategis Nasional
(PSN) 2020-2024 yang tercantum dalam Peraturan Presiden Nomor 109 tahun 2020 Tentang
Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 3 tahun 2016 Tentang Percepatan Proyek Strategis
Nasional, dalam rangka memperkuat dan menjaga ketahanan pangan serta meningkatkan
kesejahteraan petani.
1. Ketersediaan pangan dalam jumlah dan jenis yang cukup untuk seluruh penduduk.
2. Distribusi pangan yang lancar dan merata.
3. Konsumsi pangan setiap individu yang memenuhi kecukupan gizi seimbang.
4. Status gizi masyarakat
Pada era pemerintahan Presiden Joko Widodo periode pertama sebenarnya proyek
lumbung pangan telah dicanangkan, hal ini terlihat dalam Keputusan Menteri Pertanian
Republik Indonesia Nomor 05/KPTS/KN.130/K/02/2016 tentang petunjuk teknis
pengembangan lumbung pangan masyarakat. Latar belakang terbitnya surat keputusan ini
adalah pengembangan lumbung pangan masyarakat merupakan prioritas dalam rangka
mewujudkan pemenuhan kebutuhan pangan untuk pencapaian sasaran program peningkatan
diversifikasi dan ketahanan pangan. Pandemi Covid-19 membuat Presiden kembali
5
mengintensifkan proyek ini karena aspek cadangan merupakan salah satu komponen penting
dalam ketersediaan pangan yang dapat berfungsi menjaga kesenjangan antara produksi
dengan kebutuhan.
Pada 26 Juni 2020 dilaksanakan rapat terbatas oleh Presiden Joko Widodo, ditetapkan
keputusan bahwa areal eks-Pengembangan Lahan Gambut (PLG) seluas 770.601 hektar akan
dimasukan kedalam daftar kawasan pengembangan proyek food estate di Kalimantan Tengah.
Keputusan reposisi lahan eks-PLG inilah yang menjadi cikal bakal konflik antar pihak yang
bersinggungan, seperti Walhi Kalimantan Tengah misalnya, yang menyayangkan keputusan
tersebut sebab lahan eks-PLG masih menyisakan masalah lingkungan seperti kebakaran yang
hingga saat ini masih terjadi. Selain di Kalimantan Tengah, rencana program food estate
menaruh ancaman baru kepada Tanah Papua. Tidak hanya melahirkan ancaman terhadap
daulat Orang Asli Papua termasuk masyarakat adat Papua, aspek lingkungan hidup dan sosial
juga diancam oleh kebijakan ini. Kerusakan lingkungan berkonsekuensi menaruh mereka di
bawah bayang ancaman bencana ekologis dan krisis pangan.
agraria. Salah satunya proyek pembukaan lahan lumbung pangan di Kecamatan Pollung,
Humbang Hasundutan telah memakan korban. Dari 1.000 hektar pembukaan lahan yang
ditarget pada tahun 2020 ini, 215 hektarnya sudah dilepaskan dan telah memicu letusan
konflik agraria. Pasalnya, lokasi proyek berada di wilayah adat. Kedua, food estate pada
kenyataannya meminggirkan petani dari dunia pertanian itu sendiri. Food Estate memang
berbicara pangan, tapi tidak dimaksudkan untuk menempatkan petani sebagai produsen
pangan yang utama. Pasalnya program ketahanan pangan ini menyandarkan produksi pangan
dari hulu sampai hilir di pundak korporasi pangan besar. Artinya, urusan pangan dan produk
pertanian akan diserahkan sepenuhnya kepada korporasi pertanian pangan. Sementara petani
dan warga desa hendak diarahkan menjadi para pekerja di lokasi-lokasi food estate tersebut.
Ketiga, Food Estate berpotensi merusak lingkungan, pasalnya sebagian besar lokasi ini
berada di atas lahan gambut. Belajar dari proyek cetak sawah satu juta hektar di atas lahan
gambut yang digagas Presiden Soeharto di masa lalu tidak hanya berakhir gagal total, namun
juga melahirkan degradasi lingkungan yang sangat parah.
Pada tahun 2011 dan 2012 didirikan dua perkebunan, yaitu Merauke Intergrated Food
and Estate (MIFEE) di Papua dan Ketapang Food Estate (KFE) di Kalimantan Barat. Namun
karena beragam masalah, MIFEE dan KFE mengalami kegagalan. Berikut alasan komparitif
kegagalan MRP, MIFEE, dan KFE.
(MIFEE)
Lahan Pemerintah menetapkan Pemerintah mengklaim Pemerintah mengklaim
sasaran 1.000.000 hektar 1.282.833 hektar lahan 886.969 hektar lahan
lahan siap ditanami padi. siap ditanami. siap
ditanami. 100 hektar
sebagai padi percobaan.
Diperlukan Diperlukan pembabatan Diperlukan pembabatan
pembangunan hutan dan sabana, serta hutan seluas 38.700
sekitar 4,000 km kanal pengeringan rawa. hektar.
gambut.
Perlu mengkonversikan Lahan diperoleh dari Penduduk setempat
rawa gambut menjadi perampasan tanah. secara kolektif
lahan pertanian siap menyewakan lahan
tanam. seluas 1.400 hektar
dengan skema
kemitraan.
Lahan didesain untuk Pembagian lahan: karet, Pembagian lahan: padi,
pertanian monokultur kelapa sawit, tebu, jagung, ubi, sayur-
tanaman padi. kedelai, jagung, mayur, kelapa sawit
singkong, beras (95 (dengan dukungan
persen lahan untuk perusahaan swasta).
tanaman komoditas
ekspor).
Tenaga Diperlukan sekitar 4.000 Dibutuhkan 172.962 Dibutuhkan sekitar
Kerja petani, sebagian besar petani, sebagian besar 4.000 petani, sebagian
transmigran dari Jawa transmigrant dari Jawa besar transmigran dari
dan Bali. dan Bali. Jawa dan Bali.
Petani kesulitan Petani secara umum Petani harus bekerja
mengolah lahan karena mendapatkan sekitar dalam satu kelompok
tanah kurang subur, Rp.60.000 per hari yang terdiri dari lima
sehingga tanaman kerja tergantung dari orang. Mereka dibayar
pangan sulit untuk luasan lahan yang secara kolektif sebesar
tumbuh. dikerjakan. Rp.600.000 per hektar.
8
Orang Asli Papua justru mengalami kesulitan memenuhi kebutuhan pangan, seperti
sagu dan daging rusa setelah hutan-hutannya dikonversi untuk membangun MIFEE. Program
food estate yang ditetapkan pasca penetapan pandemi Covid-19, kembali menaruh Orang Asli
Papua sebagai objek pembangunan. Orang Asli Papua dan Pemerintah Otonomi Khusus sama
sekali tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan.Walaupun program ini
berpotensi mengakibatkan dampak ekologis dan sosial yang besar di Papua.
Pengembangan Lahan Gambut sebagai “Mega Rice Project” sepanjang tahun 1995-
1999 dianggap sebagai salah satu penyebab bencana lingkungan hidup terbesar dalam rekam
jejak Indonesia, karena selain mengakibatkan kebakaran lahan gambut skala besar, proyek
tersebut bahkan tidak menghasilkan beras. Pengembangan MIFEE juga tidak luput dari
permasalahan, sekitar 50% lahan pertanian yang direncanakanberasal dari wilayah hutan
yang sebagian besar terdiri dari hutan primer dan sekunder. Berdasarkan alokasi lahan
konsensi, proyeksi total emisi karbon yang terlepas diperkirakan mencapai 770 juta ton per
tahun yang 70%-nya berasal dari konversi area hutan. Selain itu juga ditemui hilangnya
keanekaragaman hayati.
Ada empat masalah yang saling terkait yang menyebabkan gagalnya tiga megaproyek
kebun pangan skala luas pada masa lalu. Pertama, kegagalan terjadi karena pemerintah
menyediakan jalan atau bahkan membiarkan korporasi agrobisnis transnasional menangani
krisis pangan nasional dengan mengintensifkan investasi modal dalam proyekproyeknya.
Kedua, petani dalam tiga megaproyek kebun pangan skala luas menjadi terpuruk karena
lahan tersebut hanya diberikan izin untuk tanaman monokultur komersil, sehingga tidak
memungkinkan petani untuk menanam tanaman pangan subsisten. Ketiga, dalam tiga
megaproyek masa lalu ini petani kecil dibayar sangat rendah sementara harus bekerja—
secara akumulatif—lebih lama per harinya daripada yang dijanjikan sebelumnya.Keempat,
keterpurukan dan kemiskinan petani pada tiga megaproyek masa lalu terjadi sebagai akibat
dari kondisi ekologis lahan di mana mereka ditempatkan.
Pada wilayah Kalimantan Tengan pembukaan lahan gambut misalnya eks PLG akan
menimbulkan dampak menurunnya produksi di sektor perikanan, kondisi ini dapat dilihat dari
hilangnya beje (areal perikanan atau tambak di air rawa) dan tatah (teknik penangkapan ikan
secara tradisional) di beberapa desa seperti di Dadahup, Terantang, dan Lamunti yang
merupakan vairietas tanaman pangan asli di Kalimantan tengah. pembukaan lahan dalam
bentuk program baik eks PLG dan berbagai program lainnya maka dampak sosial bagi
12
masyarakat lokal yaitu hilangnya sumber pendapatan dari hasil hutan seperti rotan, karet,
berbagai jenis tanaman obat, satwa buruan, serta “purun“ yaitu jenis tanaman yang digunakan
untuk membuat tikar, serta berkurangnya lahan perikanan dan menurunnya hasil tangkapan
ikan, kondisi ini mengakibatkan menurunnya pendapatan masyarakat lokal di sekitar proyek
PLG secara drastis, dan meningkatnya kemiskinan.
13
KESIMPULAN
SARAN
Agar pemerintah dapat berhati-hati dalam menentukan lahan untuk program Food
Estate, untuk mencegah terjadinya konflik agrarian dengan masyarakat atau masyarakat adat
setempat. Pemerintah juga diharapkan dapat mempelajari dan melakukan evaluasi terhadap
mega proyek yang telah dilaksanakan sebelumnya, seperti MRP, MIFEE, KFE, agar program
ketahanan yang selanjutnya akan dilaksanakan dapat berhasil sesuai dengan harapan
pemerintah juga masyarakat Indonesia.
15
DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU-BUKU.
Walhi (Wahana Lingkungan Indonesia), 2021, Kertas Posisi Food Estate di Papua:
Perampasan Ruang Berkedok Ketahanan Pangan, Walhi,.
Kementrian Pertanian Republik Indonesia, 2021, Rancangan Umum Pengembangan
Kawasan Food Estate Berbasis Korporasi Petani, Kementrian Pertanian
Republik Indonesia, Jakarta.
Kementrian Pertanian Republik Indonesia, 2010, Buku Pintar Pengembangan Food
Estate, Kementrian Pertanian Republik Indonesia, Jakarta.
B. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN.
Keputusan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor
05/KPTS/KN.130/K/02/2016 tentang petunjuk teknis pengembangan
lumbung pangan masyarakat.
Peraturan Presiden Nomor 109 tahun 2020 Tentang Perubahan Atas Peraturan
Presiden Nomor 3 tahun 2016 Tentang Percepatan Proyek Strategis Nasional.
Peraturan Menteri LHK Nomor P.24/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2020 tentang
Penyediaan Kawasan Hutan untuk Pembangunan Food Estate.
C. JURNAL.
Rizkia Diffa, Imamulhadi, Supraba Sekarwati, 2022, Analisi Yuridis Terhadap
Program Pembangunan Food Estate Di Kawasan Hutan Ditinjau Dari Eco-
Juctice, LITRA: Jurnal Hukum Lingkungan Tata Ruang dan Agraria, Vol.2
No.1, Universitas Padjadjaran.
Salshabila Trianggraeni Wandanarum, Asya Tirta Prameswari, dkk, 2021, Peran
Keuangan Negara Terhadap Pembangunan Food Estate Pada Masa
Pandemi Covid-19 Dalam Menjawab Upaya Ketahanan Pangan Dan
Kaitannya Dengan Isu Lingkungan, Jurnal Keuangan Negara dan Kebijakan
Publik, Vol.1 No.2, PKNSTAN, Kementrian Keuangan.
Asti Dominicus, Savio Priyarsono, Sahara, 2016, Analisis Biaya Manfaat Program
Pembangunan Food Estate Dalam Perspektif Perencanaan Wilayah: Studi
16