MAGISTER KENOTARIATAN
UNIVERSITAS TARUMANAGARA
2022
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setelah dihantam krisis keuangan dan krisis minyak, dunia juga dihantam krisis
pangan pada tahun 2008. Krisis pangan pada tahun 2008 ditandai dengan meningkatnya
harga berbagai komoditi di pasaran internasional. Menurut “Rising Food Prices: Policy
Options and World Bank Response,” seluruh harga pangan dunia meningkat sebesar 83
persen. Laporan lain dari organisasi pangan PBB (Food and Agriculture
Organisation/FAO) menyatakan, index harga pangan dunia meningkat 9 persen pada
2006 dan 23 persen pada 2007. Pada bulan Maret tahun 2008, harga terigu dan jagung
meningkat sebesar 130 persen. Sementara harga beras meningkat dua kali lipat sejak
akhir Januari. Kenaikan harga pangan inilah yang menyebabkan krisis pangan terjadi.1
Krisis pangan dan energi yang terjadi tahun 2008 akhirnya kembali menempatkan
ketahanan pangan dan energi menjadi isu penting dalam institusi global dan organisasi
internasional. Pertemuan organisasi-organisasi pangan dunia semakin sering diadakan,
sepertiWorld Food Summit(WFS) dan Food and Agriculture Organization(FAO) serta
pertemuan organisasi-organisasi di tingkat regional. Pertemuan yang digelar organisasi-
organisasi tersebut menghasilkansebuah rekomendasi untuk keluar dari permasalahan
krisis pangan yang terjadi. Mayoritas rekomendasi tersebut berisi paket pembangunan
agrikultur yang tak lepas dari pengaruh idiologi neoliberal. Rekomendasi-rekomendasi
tersebut diantaranya, liberalisasi perdagangan pusat komoditas pangan dengan
berpedoman pada instrumen yang ditetapkan oleh World Trade Organization(WTO),
deregulasi investasi agrikultur, industrialisasi, dan modernisasi agrikultur guna
meningkatkan jumlah produksi pangan,danmemaksimalkan sektor swasta/korporasi
dengan dukungan finansialisasi skala global dalam menggerakkan investasi dalam
produksi pangan global.2
1
Mohammad Habib Nasrulloh,Skripsi: “Tinjauan Implementasi Food Estate Dalam Merauke Integrated Food
and Energy Estate (MIFEE)”(Jember: UJ, 2016), hal.1
2
Ibid..,
1
2
Krisis pangan terjadi salah satunya karena terus menurunya produksi pangan
dunia. Tidak heran apabila salah satu usaha yang dilakukan adalah pembukaan lahan-
lahan agrikultur baru secara besar-besaran. Pada perkembangannya, investasi lahan
dalam skala luas untuk pengembangan produksi pangan maupun energi terbarukan seperti
agrofuel meningkat pesat secara global, khususnya pasca krisis energi dan pangan terjadi.
Indonesia sebagai salah satu negara penghasil pangan dunia, tentu tidak ketinggalan
dalam isu ketahanan pangan yang sedang menjadi fokus utama dalam pertemuan-
pertemuan di tingkat global. Sebagai negara yang dikenal agraris danjuga penghasil
energi dunia, Indonesia terlibat aktif dalampertemuan-pertemuan internasional yang
membahas tentang isu pangan. Perkembangan dalam kancah ekonomi politik global yang
menyangkut pangan akhirnya berpengaruh pada kebijakan pangan domestik Indonesia.
Layaknya negarayang sudah lama terintegrasi dalam kancah politik ekonomi global,
maka semua hasil dari pertemuan-pertemuan tersebut termasuk norma-norma
pembangunan agrikultur global yang ada didalamnya jugaditerapkan di Indonesia.3
Sebagai respon untuk menangani gejolak krisis pangan yang terjadi di tingkat
global maupun lokal, pada Agustus 2010 pemerintah Indonesia merumuskan sebuah
progam pengembangan pangan sekala luas (food estate) yang dimaknai sebagai upaya
pembangunan ketahanan pangan. Food estateadalah sebuahprogram pembangunan berupa
usaha kegiatan budidaya tanaman skala luas (> 25ha) yang dilakukan dengan konsep
pertanian sistem industrial berbasis ilmupengetahuan dan teknologi, modal serta
organisasi dan manajemen modern. Konsep dasar food estatediletakan atas dasar
keterpaduan sektor dan sub sektor dalam suatu sistem agribisnis dengan memanfaatkan
sumber daya secara optimal dan lestari, dikelola secara profesional, didukung oleh
sumber daya manusia yang berkualitas, teknologi yang tepat guna dan berwawasan
lingkungan dan kelembagaan yang kokoh. Selain itu, Food estatejuga diarahkan kepada
sistem agribisnis yang berakar kuat di pedesaan berbasis pemberdayaan masyarakat
adat/lokal yang merupakan landasan dalam pengembangan wilayah.4
3
Ibid..,hal.2
4
Tim Pengembangan Food Estate, Buku Pintar Food Estate. (Jakarta: Departemen Pertanian Republik Indonesia,
2011),hal.1-2
3
Menurut Menteri Pertanian yang waktu itu masih dijabat oleh Suswono, arah
pengembangan Food Estate adalah untuk memperkuat ketahanan pangan nasional,
termasuk memasok kebutuhan ekspor.Pemerintah menjanjikan fasilitas khusus untuk
investor yang akan mengembangkan Food Estate, seperti fasilitas fiskal dan non fiskal,
tax holiday, perijinan, dan sebagainya. Dengan motto, feed indonesia feed the world,
program food estate pada akhirnya diharapkan dapat mengantarkan Indonesia menjadi
salah satu negeri lumbung pangan dunia atau pusat logistik global, memperkuat
ketahanan pangan nasional, sekaligus menyokong pertumbuhan ekonomi melalui
aktivitas pemasokan kebutuhan ekspor.5
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Food Estate ?
2. Bagaimana Pelaksanaan konsep Food Estate di Indonesia ?
5
Mohammad Habib Nasrulloh, Op.cit. hal.4
BAB II
PEMBAHASAN
Pembangunan pangan yang melibatkan lahan dalam skalaluas yang sama dengan
food estate tidak hanya di Indonesia. Namun juga berkembang secara global paska
krisis pangan pada tahun 2008. Pembangunan ini terjadi khususnya di negara-negara
berkembang yang memiliki potensi lahan agrikultur begitu besar. Uniknya juga
adalah pelaku atau pemain yang ada didalamnya di dominasi oleh investor dari
negara-negara yang minim sumber daya agrikultur, maupun korporasi nasional yang
bertujuan untuk mengamankan cadangan pangan.7
Sementara pangan skala luas yang muncul ketika Kabinet Indonesia Bersatu II
merencanakan program 100 hari, antara lain peningkatan produksi, ketahanan pangan,
dan pertumbuhan sektor pertanian. Konsep Food Estate mengintegrasikan pertanian,
perkebunan, peternakan dalam skala luas agar lebih efisien. Ini sesuai tuntutan
persaingan di pasar internasional. Diharapkan investor mendapat kesempatan
berinvestasi di bidang pangan skala luas.8
6
Puja Astika, Skripsi: “Implementasi Food Estate Dalam Meningkatkan Kesejahteraanekonomi Masyarakat
Desa Kalampangan Kota Palangka Raya”(Palangkaraya:IAIN Palangkaraya,2019), hal.14
7
Ibid., hal.15
8
Ibid.
4
5
Konsep dasar Food Estate diletakan atas dasar keterpaduan sektor dan subsektor
dalam suatu sistem agribisnis. Memanfaatkan sumberdaya secara optimal dan lestari
dikelola secara prosedural, didukung SDM berkualitas, menggunakan teknologi tepat
guna, berwawasan lingkungan, dan kelembagaan yang kokoh. Food estate diarahkan
pada sistem agribisnis yang berakar kuat di pedesaan dan berbasis pemberdayaan
masyarakat adat atau penduduk lokal yang merupakan landasan dalam pengembangan
wilayah. Hasil dari pengembangan food estate bisa menjadi pasokan ketahanan
pangan nasional dan jika berlebih bisa dilakukan ekspor. Desain pengembangan
kawasan pangan skala luas (food estate) dirancang berdasarkan empat pendekatan,
yaitu :9
(1). Pendekatan pengembangan wilayah (cluster)
(2).Pendekatan integrasi sektor dan subsektor
(3).Pendekatan lingkungan berkelanjutan dan,
(4). Pendekatan pemberdayaan masyarakat lokal (local community development).
9
Ibid., hal.16
6
seperti: tidak berada pada kawasan hutan konservasi atau lindung serta hutan
produksi bervegetasi baik tidak berada pada areal penting bagi lingkungan seperti
High Conservation Value Forest dan kawasan gambut. Pendekatan lingkungan juga
memberi arahan agar lokasi pengembangan diprioritaskan kepada kawasan dengan
status Alokasi Penggunaan Lainnya (APL) dan Hutan Produksi yang dapat
dikonservasi (HPK). Selain itu, untuk mengurangi lepasnya CO2 ke udara yang dapat
berkontribusi pada pemanasan global akibat pembukaan lahan pada kawasan food
estate, maka dilakukan mitigasi emisi Carbon dengan penerapan prinsip zero burning
(pembukaan lahan tanpa bakar).10
13
Ibid., hal.37
8
14
Ibid.,
15
Ibid., hal.38
16
Ibid.,
9
b. Petani mapan (Farmer), kelompok petani kaya yang memiliki lahan yang
luas;
c. Petani penggarap atau buruh tani, petani yang bsama sekalitidak memilik
lahan sepetakpun (tunakisma).
Sensus pertanian di Indonesia pun mengklasifikasikan rumah tangga usaha
pertanian pengguna lahan menjadi dua kelompok, yaitu:
d. Rumah tangga petani gurem, yaitu rumah tangga usaha pertanian pengguna lahan
yang menguasai lahan kurang dari 0,5 Ha;
e. Rumah tangga bukan petani gurem, yaitu rumah tangga usaha pertanian pengguna
lahan yang menguasai lahan 0,5 Ha atau lebih.
Dengan mayoritas petani di Indonesia adalah petani gurem atau buruh tani.
Selanjutnya Pasal 2 PP No. 18 Tahun 2010 Tentang UasahaBudidaya Tanaman
menjelaskan bahwa usaha budidaya tanaman diselenggarakan untuk:17
a. “Mewujudkan kedaulatan dan ketahanan pangan;
b. Menyediakan kebutuhan bahan baku industry;
c. Meningkatkan pemberdayaan, pendapat, dan kesejahteraan petani;
d. Mendorong perluasan dan pemerataan kesempatan berusaha dan kesempatan
bekerja;
e. Meningkatkan perlindungan budidaya tanaman secara konsisten dan konsekuen
dengan memperhatikan aspek pelestarian sumber daya alam dan/atau fungsi
lingkungan hidup;
f. Memberikan kepastian usaha bagi pelaku usaha budidaya tanaman.”
PP No. 18 Tahun 2010 Tentang Usaha Budidaya Tanaman ini mengatur mengenai
budidaya tanaman, perizinan usaha budidaya, tanaman dan pembinaan dan peran
masyarakat sebagaimana mana dijelaskan pada Pasal 4, Pasal 6 PP No. 18 Tahun 2010
Tentang Usaha Budidaya Tanaman menjelaskan pula budidaya tanaman ini meliputi:
a. Jenis dan skala usaha;
b. Luas maksimum lahan usaha dan perubahan jenis tanaman;
c. Pola usaha;
17
Ibid., hal.39
10
telah diselesaikan status pemanfaatannya oleh pelaku usaha dengan masyarakat adat
setempat yang dibuktikan secara tertulis. Selanjutnya Pasal 37 Peraturan Menteri Pertanian
No. 39/Pemerintah/OT.140/6/2010 Tentang Pedoman Perizinan Usaha Budidaya Tanaman
Pangan mengatur mengenai peran masyarakat, yaitu sebagai berikut:20
1) Masyarakat berperan serta dalam perlindungan pengembangan usaha budidaya
tanaman pangan;
2) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan
secara perorangan dan/atau berkelompok baik berbentuk organisasi formal
maupun non formal;
3) Peran serta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui pola
partisipatif dalam tahap perencanaan, pengembangan, pengawasan, dan/atau
pemberdayaan petani skala luas, petani kecil dan petani kecil berlahan sempit;
4) Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan peran serta masyarakat sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan bupati/walikota atau
gubernur.
Pelaksanaan food estate yang merupakan salah satu program pemerintah dalam rencana
pembangunan jangka panjang tersebut kemudian didukung dengan diterbitkannya Undang-
Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dan kemudian dilanjutkan dengan
penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) No. 18 Tahun 2010 sebagai landasan yuridis
dilaksanakannya program food estate di wilayah tertentu yang lahannya masih cukup luas.21
Di Indonesia program food estate masuk kedalam PSN (program strategis nasional)
2020-2024 yang di canangkan presiden Joko Widodo, dimana akan dilaksanakan di wilayah
Kabupaten Pulau Pisau, Provinisi Kalimantan Tengah, seluas 165.000 Hektare.
“Lahan ini akan mulai kita kerjakan pada 2020 ini sampai 2022. Targetnya pada 2022
lahan seluas 165.000 hektare sudah bisa dioptimalkan produksinya. Ini adalah program
prioritas kedua setelah pengembangan lima Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN)
yakni Danau Toba, Borobudur, Mandalika, Labuan Bajo, dan Manado-Likupang,” kata
Menteri PUPR dalam acara halalbihalal bersama Asosiasi Profesi Keairan yang dilakukan
melalui video conference, pada Selasa (9/6/2020).22
20
Ibid., hal.42-43
21
Ibid., hal.43
22
https://indonesia.go.id/narasi/indonesia-dalam-angka/ekonomi/food-estate-untuk-hasil-pertanian-melimpah-
dan-konektivitas diakses pada tanggal 16 september 2020, pukul 20.35 wib
13
Dikatakan Menteri PUPR, pengembangan program food estate ini akan dilakukan
bersama Kementerian BUMN melalui skema investasi. Kementerian PUPR
mengembangkan sarana dan prasarana dasar seperti perbaikan saluran-saluran irigasi di
sekitar kawasan tersebut baik jaringan irigasi sekunder maupun primer. Sementara itu,
Kementerian BUMN bersama Kementerian Pertanian akan melakukan pengembangan
teknologi olah tanamnya sehingga bisa menghasilkan produksi yang lebih baik. Diharapkan
dari satu hektare lahan tersebut akan meningkatkan produktivitas padi sebesar dua ton. Dari
165.000 hektare lahan tersebut seluas 85.500 hektare merupakan lahan fungsional yang
sudah digunakan untuk berproduksi setiap tahunnya. Sementara 79.500 hektare sisanya
sudah berupa semak belukar sehingga perlu dilakukan pembersihan (land clearing) saja,
tanpa perlu dilakukan cetak sawah kembali. Dari 85.500 hektare lahan fungsional, sekitar
28.300 hektare yang kondisi irigasinya baik. Sedangkan 57.200 hektare lahan lainnya
diperlukan rehabilitasi jaringan irigasi dalam rangka program food estate dengan total
kebutuhan anggaran Rp1,05 triliun.23
Sebelum sekarang Food Estate pernah dilakukan pada zaman pemerintahan presiden
Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2010 di Merauke, atau yang dikenal sebagai
Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE). Namun dalam pelaksanaanya
MIFEE mengalami sekian hambatan dan masalah. Permasalahan mulai muncul seiring
dengan Pengkaplingan maupun pemerataan lahan masyarakat adat oleh korporasi. Sikap
resisten dan penolakan mulai muncul antara masyarakat terhadap perusahaan, masyarakat
terhadap pemerintah (birokrasi) dan sesama masyarakat. Sekian permasalahan yang
mengiringi pelaksanaan MIFEE terjadi karena ketidak sesuaian antara konsep yang
sudah dibuat dan direncanakan, dengan realisasi di lapangan. Contoh dari hal ini adalah
ketidak jelasan perusahaan terkait nasib masyarakat hutan adat yang seharusnya dibina
dan dijadikan mitra oleh perusahaan dalam proses pembangunan pangan, serta
disorientasi MIFEE yang sudah tidak sesuai dengan konsep awalnya. Selain itu
secara tipologi, pembangunan pangan yang condong dengan akumulasi kapital akan
mengalami banyak permasalahan di lapangan. Ini karena orientasi dalam pembangunan
tersebut profit orientedyang tidak akan bisa diketemukan dengan konsep
23
Ibid.,
14
pemberdayaa. Sehingga yang terjadi adalah prifatisasi dan inkonsistensi aturan yang
dibikin untuk melancarkan perusahaan dalam beroperasi, seperti dalam kasus MIFEE.24
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Food Estate adalah suatu bentuk usaha di bidang agribisnis pangan yang
terintegrasi, antara pangan, ternak, dan perkebunan.Food Estate adalah perkampungan
industri pangan. Food Estate itu merupakan istilah dari kegiatan usaha budaya tanam
skala luas yaitu 25 hektare. Ini dilakukan dengan konsep pertanian sebagai sistem industri
bebasis ilmu pengetahuan dan teknologi, modal, organisasi, serta manajemen modern.
Adapun tujuan dari pelaksanaan Food estate adalah sebagai berikut :
a. Meningkatkan kesejateraan masyarakat;
24
Mohammad Habib Nasrulloh, Op.cit. hal.viii-ix
15
BUKU
Tim Pengembangan Food Estate, Buku Pintar Food Estate. Departemen Pertanian Republik Indonesia,
Jakarta ,2011
KARYA TULIS ILMIAH
Mohammad Habib Nasrulloh, “Tinjauan Implementasi Food Estate Dalam Merauke
Integrated Food and Energy Estate (MIFEE)”. Skripsi, Universitas Jember,
Jember, 2016.
Puja Astika,“Implementasi Food Estate Dalam Meningkatkan Kesejahteraanekonomi
Masyarakat Desa Kalampangan Kota Palangka Raya”, Skripsi, IAIN
Palangkaraya, Palangkaraya, 2019.
Mestika DewI Sari Sagala,“Peralihan Hak Atas Tanah Petani Melalui Program Food Estate
Dikaitkan Dengan Batas Tanah Maksimum Kepemilikan Tanah”,
Tesis ,Universitas Sumatera Utara, Medan, 2018.
UNDANG – UNDANG
Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2010 Tentang Usaha Budidaya Tanaman
Peraturan Menteri Pertanian No. 39/Permentan/OT.140/6/2010 Tentang Pedoman Perizinan
Usaha Budidaya Tanaman Pangan
INTERNET
Admin. 2020. https://indonesia.go.id/narasi/indonesia-dalam-angka/ekonomi/food-estate-
untuk-hasil-pertanian-melimpah-dan-konektivitas diakses pada tanggal 16
september 2020, pukul 20.35 wib