Anda di halaman 1dari 4

Infiltrasi Islam Radikal di Organisasi Massa, Lembaga Pemerintahan, dan Pendidikan

Muhammadiyah
Mudahnya ormas seperti Muhammadiyah diinfiltrasi kelompok Tarbiyah Ikhwanul Muslimin
atau PKS, karena Muhammadiyah sebagai organisasi cenderung longgar dan tidak monolitik.
Namun yang lebih penting lagi, para kader PKS cenderung melakukan pragmatisasi peribadatan,
yaitu dapat menjalankan praktek peribadatan di dua wilayah sekaligus untuk mengesankan
sebagai kelompok alternatif. “Jika berada di Muhammadiyah mereka akan seperti warga
Muhammadiyah, dan jika berada di tengah warga NU, maka akan beribadah seperti warga NU.
Ini adalah bentuk lain dari taqiyyah (menyembunyikan identitas diri” kata Haedar Nashir.
Orientasi dakwah Muhammadiyah seharusnya dikembangkan dengan cara santun, welas asih,
humanis, toleran, pro-masyarakat bawah dan menghargai pluralitas. Namun, saat ini banyak
kalangan mengkritik Muhammadiyah karena dinilai sedang terjebak pada arus gerakan
fundamentalis dan ortodoks akibat keringnya ide-ide pembaharuan keagamaan dan aksi-aksi
sosial. Padahal, Muhammadiyah adalah “Soko Guru” pembangunan peradaban bangsa Indonesia.
Ideologi Gerakan Islam radikal tengah menjangkiti tubuh Muhammadiyah. Fenomena tersebut
disebabkan terjadinya proses transformasi ideologi, yang berakibat pada metode dakwah di
kalangan aktivis Muhammadiyah yang dikenal dengan cara-cara santun dan toleran berubah
menjadi model dakwah yang radikal dan ekstrim. Terjadi di pergeseran ideologi Muhammadiyah
ke Gerakan Islam radikal di Paciran, Lamongan. transisi ideologi di kalangan aktivis
Muhammadiyah ke Gerakan FPI di Paciran merupakan potret pergulatan perebutan kuasa
ideologi dan sosial kultural di kalangan organisasi kegamaan. Kedua organisasi, Muhammadiyah
dan FPI, saling berusaha untuk memperebutkan dominasi. Efek dari proses perebutan kuasa
ideologi itu tampak dengan adanya gejala radikalisasi ideologi di kalangan aktivis
Muhammadiyah. Kondisi ini tentu sangat berbahaya bagi kelangsungan Gerakan
Muhammadiyah yang selama ini dikenal memiliki ideologi yang santun, moderat dan toleran.
NU
NU merasa terusik dengan berbagai perkembangan yang dianggap membahayakan bangsa dan
organisasinya, terutama menyangkut paham Ahlussunah Wal Jamaah yang dianut warga NU,
bahwa gerakan-gerakan garis keras telah menyusup ke dalam NU melalui masjid-masjid, majlis-
majlis taklim, dan pondok-pondok pesantren yang menjadi basis warga Nahdliyin. Salah satu
alasan kelompok-kelompok garis keras sering menuduh masjid-masjid NU mengajarkan bid’ah
dan beraliran sesat adalah untuk merebut masjid-masjid tersebut. sedangkan IPNU adalah salah
satu organisasi dibawah NU juga menjadi sasaran penyusupan kelompok-kelompok garis keras,
sehingga akibatnya kaum muda NU yang terlanjur masuk ke dalam gerakan Islam garis keras
mereka kehilangan identitas ke-NU-an dan ke-IPNU-annya. Majelis-majelis taklim yang berada
di bawah organisasi NU yang biasa mengkoordinasi pengajian (kaum ibu, bapak, atau remaja)
disusupi kelompok-kelompok garis keras yang membawa paham transnasional dari Timur
Tengah (Ikhwanul Muslimin dan Hizbut Tahrir).
Sumbangan terbesar NU adalah mengembangkan ajaran Islam ahlul-sunnah wa al-jama’ah yang
kontekstual dengan kondisi lokal. Di dalam ajaran demikian, Islam yang diemban bukan saja
”Islam tengah”, melainkan juga ajaran Islam yang dianut orang Indonesia. Adanya
penghormatan terhadap kultur lokal yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai dasar Islam telah
menjadi karakteristik penting gerakan NU. Sejak awal NU berusaha menampilkan wajah Islam
di Indonesia sebagai Islam yang dianut oleh orang Indonesia, bukan Islam yang dianut oleh
orang Arab. Infiltrasi gerakan Islam fundamentalisme ke dalam warga NU dalam bentuk
keterlibatan mereka dalam berbagai kegiatan Islam fundamentalisme antara lain, masuk dalam
kepengurusan PKS dan sebagai guru di lembaga yang dikelola oleh PKS.
MUI
MUI Lebih kuat dari ormas keagamaan umumnya adalah karena keterkaitan langsung lembaga
agama bikinan Orde Baru ini dengan pemerintah. Sejak awal didirikannya diniatkan sebagai
instrumen pemerintah otoriter untuk menyangga kekuasaan dan menjinakkan gerakan
keagamaan anti pemerintah, maka ia memiliki fasilitas yang sangat besar. Ormas Islam yang
doktrin dan akidahnya benar menurut MUI, maka bisa bergabung dan punya wakil do dalamnya
tanpa mempertimbangkan jumlah anggota organisasinya. Akibatnya, wakil organisasi besar dan
moderat seperti NU dan Muhammadiyah tidak representatif dibandingkan dengan gerakan garis
keras kecil yang anggotanya hanya puluhan ribu saja. MUI memiliki hak prerogative untuk
menentukan sah dan tidak, benar dan sesatnya suatu keyakinan untuk menjadi anggota.
Sistem keanggotaaan MUI yang demikian, serta lemahnya orientasi dan pengalaman spiritual di
antara kebanyakan anggotanya, membuat produk-produk dan fatwa yang di keluarkannya sejalan
dengan arus gerakan garis keras. Disebabkan karena wakil ormas-ormas Islam yang moderat
tidak banyak meskipun dihitung dari jumlah anggotanya sangat besar. Karena inilah, MUI
menjadi salah satu target utama penyusupan para agen garis keras dan alat mereka dalam usaha
menegakkan ideologi dan mewujudkan agenda politik mereka. Organisasi Islam dengan doktrin
apapun, termasuk organisasi dan gerakan fundamentalisme yang anti demokrasi dan anti
Pancasila sekalipun, terkecuali yang secara nyata dicap sebagai teroris seperti Jamaah Islamiyah
(JI), bisa menjadi anggota dan mendominasi MUI. Dari kenyataan demikian, MUI sesungguhnya
bisa dikatakan sebagai bungker dari organisasi dan gerakan fundamentalisme dan subversif di
Indonesia.lebih dari itu, karena MUI dibiayai oleh pemerintah, maka organisasi dan gerakan
fundamentalis juga mendapatkan subsidi dari pemerintah melalui MUI tersebut untuk tujuan
mereka menghancurkan dasar negara. Pemerintah, dengan demikian, melakukan capacity
building gerakan fundamentalis dan radikal, bahkan yang anti Pancasila, UUD 1945, dan NKRI
sekalipun.
Lembaga Pemerintahan
Perihal adanya penyusupan ideologi di forum-forum pengajian kantor pemerintah pernah
menggegerkan pemerintah Kota (Pemkot) Depok, Bogor, yang dipimpin Walikota Nur Mahmudi
Ismail, mantan Presiden PKS, adalah Hasbullah Rachmad ketua Fraksi Partai Amanat Nasional
(PAN) Depok, yang mengungkapkan hal tersebut pada Desember 2006. Hasbullah memberi
contoh bahwa pengajian rutin yang dibawakan guru ngaji dari Fraksi PKS di kalangan birokrasi
Pemkot Depok merupakan bentuk pemaksaan. Sebenarnya jaringan para ustadz PKS yang
tersebar di berbagai kantor dan perusahaan bukan sesuatu yang baru. Para alumni gerakan usroh
atau Tarbiyah Ikhwanul Muslimin yang dulunya merupakan aktivitas pengajian di kampus-
kampus setelah lulus kuliah mereka bekerja di berbagai perusahaan. Tidak hanya diperkantoran
atau perusahaan di Jakarta, tapi juga di perusahaan-perusahaan besar diseluruh Indonesia.
Melalui mereka jaringan pengajian ala tarbiyah dibentuk ditempat mereka bekerja sekarang.
Jaringan yang pernah mereka bangun dalam gerakan dakwah di kampus dahulu, mereka
lanjutkan di perusahan-perusahan besar. Sebagai partai dakwah, tentu saja PKS berhak
mengambil peran dalam syiar Islam di masyarakat. Namun ketika dakwah yang dilakukan
berhimpitan dengan tujuan-tujuan politik untuk memobilisasi dukungan dalam rangka
menenangkan pemilu, maka umat Islam yang bukan PKS berhak untuk menolak dan
membentengi diri.
Lembaga Pendidikan
Radikalisme dalam agama akhirnya menjalar ke aspek pendidikan, dimana salah satu atau
beberapa elemen dalam pendidikan sering melakukan radikalisme yang menyebabkan teror atau
rasa takut para elemen pendidikan untuk melaksanakan tugas sebagai pendidik dan tenaga
kependidikan. Guru kurang maksimal melaksanakan tugasnya sebagai pendidik hanya gara-gara
takut diancam pihak-pihak lain yang dianggap merasa dirugikan. Seorang kepala sekolah kurang
optimal menjalankan tugasnya sebagai pimpinan lembaga pendidikan karena takut ditekan atau
diancam oleh atasannya. Akibatnya proses pendidikan dan proses kepemimpinan kurang sesuai
harapan karena ada intervensi yang bersifat mengancam dari pihak-pihak lain diluar pendidikan.
Dalam dunia pendidikan tidak bisa terhindar dari fenomena fenomena kekerasan yang
menjadikan tujuan pendidikan gagal di raih. Radikalisme bisa muncul dari berbagai elemen
dalam pendidikan. Secara umum fenomena radikalisme dalam pendidikan lahir dari guru kepada
siswa, dari siswa kepada guru dan juga dari orang tua atau masyarakat kepada elemen elemen
yang ada di dalam pendidikan. M. Saekan Muchith (2007) dalam buku Pembelajaran
Kontekstual menjelaskan bahwa fenomena atau fakta kekerasan yang dapat dipahami sebagai
bentuk radikalisme bisa dilihat dari beberapa kasus antara lain; Di Magelang, siswa SD di
tempeleng gurunya hanya gara gara siswa menyela pembicaraan guru yang sedang memberi
pengumuman acara pertunjukan sulap. Di Tanjing pinang ada oknum guru olahraga menendang
siswanya saat pembelajaran dengan alasan mendidik.
Bentuk radikalisme dalam pendidikan tidak semuanya berupa aksi kekerasan, tetapi juga dapat
diwujukan dalam bentuk ucapan dan sikap yang berpotensi melahirkan kekerasan yang tidak
sesuai dengan norma-norma pendidikan. Sikap yang berpotensi melahirlan kekerasan tersebut
berimplikasi kepada munculnya situasi dan kondisi sekolah yang tidak menyenangkan bagi siswa
dalam belajar. Peran atau fungsi sekolah yang memiliki belajar anak anak sekarang sudah
berubah atau bergeser menjadi lembaga yang menakutkan, mencemaskan, menegangkan, bahkan
menyiksa lahir dan batin para siswa.
Berbagai fenomena budaya yang cenderung negative tersebut, secara pelan pelan melahirkan
kebiasaan yeng berakibat tidak atau kurang menghargai profesi dalam pendidikan. Guru dan
sekolah sebagai lembaga lembaga pendidikan sangat mudah di lecehkan oleh siswa dan orangtua
siswa atau masyarakat. Tidak sedikit siswa yang dengan mudah secara langsung maupun tidak
langsung melakukan ancaman kepada gurunya yang notabenenya telah mendidik dan mengajar
mereka jika sewaktu waktu siswa mengalami perlakuan yang kurang mengenekkan. Orang tua
siswa atau masyarakat begitu mudah dan cepat menyalahkan guru atau pihak sekolah jika
mendapatkan anaknya memperoleh perlakuan yang tidak menyenangkan dari pihak guru atau
sekolah.

Anda mungkin juga menyukai