Anda di halaman 1dari 3

HANIFAH FADHILAH SYAHIDAH / 11181110000077

SOSIOLOGI 3B

Review buku Bu Neng Dara Affiah, M. Si

Judul : Islam,Kepemimpinan Perempuan dan Seksualitas

Buku ini sangat merinci dalam membahas bagaimana pendapat islam pada aspek kepemimpinan
perempuan. Banyak hal yang mudah dan bisa dipahami dalam membaca tulisan ini. Buku ini memiliki
tiga. Dalam mereview buku ini, saya lebih memfokuskan pada bab pertama yaitu tentang bagaimana
kepemimpinan perempuan dalam islam.

Isi buku ini menjelaskan dari berbagai aspek dan pandangan dalam melihat persoalan kesetaraan gender
dalam islam atau lebih tepatnya kepemimpinan perempuan dalam islam. Yang dimaksud kesetaraan
gender yaitu, dimana perempuan ingin di setarakan dengan laki-laki, misalnya dalam hal pendidikan
(ilmu pengetahuan), peluang kerja, ekonomi dan sebagainya.Kesetaraan ini pun bahkan sudah mulai
terjadi pada zaman Nabi Muhammad SAW. Pada zaman Rasulullah SAW, beliau sangat memuliakan
kaum perempuan. Terbukti ketika Khadijah (istri rasul) memiliki kesempatan yang sama dengan kaum
laki-laku yaitu berdagang. Dan Siti Aisyah (istri rasul) menjadi hafiz perempuan pertama, lalu menjadi
pemimpin perang dalam perang siffin (unta). Masya Allah.....

Karena sebelum Nabi Muhammad menjadi Rasul, kaum perempuan memang masih dipandang rendah
oleh sebagian besar orang pada zaman itu. Dimana kaum perempuansaat itu terlihat sebagai manusia
tidak utuh, di kerdilkan dan di remehkan, bahkan sebelum Nabi Muhammad SAW di angkat menjadi
Rasul, banyak bayi-bayi perempuan yang baru lahir harus dibunuh karena dianggap akan menjadi aib
di masa mendatang bagi keluarganya.

Pembahasan tentang kepemimpinan punsudah tercantum di dalam Al-Quran. “Allah menciptakan


manusia (laki-laki dan perempuan) sebagai khalifah (pemimpin) di dunia”(Q.S Al-Baqarah : 30).
Makna kepemimpinan dalam ayat tersebut sangat luas cakupannya. Ia bisa menjadi pemimpin
pemerintahan, pemimpin pendidikan, pemimpin keluarga, dan pemimpin untuk dirinya sendiri.
Kepemimpinan itu, intinya bahwa manusia pada dirinya memiliki tanggung jawab yang harus di emban
dan dilaksanakan dengan penuh amanah. Bahkan di dalam Al-quran pun tidak ada batasan bagi
perempuan untuk menjadi pemimpin.

Mengenai perempuan menjadi pemimpin dalam islam, saat ini juga masih banyak di perdebatkan
diberbagai kalangan. Dalam surat An-nisa ayat 34, yang berbunyi “Laki-laki adalah qowwam dan
bertanggung jawab terhadap kaum perempuan”. Yang menjadi pusat perdebatan adalah kata
HANIFAH FADHILAH SYAHIDAH / 11181110000077
SOSIOLOGI 3B

“qowwam”. Para ahli tafsir klasik dan beberapa tafsir modern mengartikan kata ini sebagai: penanggung
jawab, memiliki kekuasaan atau wewenang untuk mendidik perempuan, pemimpin, penguasa, dan laki-
laki dikenal dengan sifat yang bertekad kuat, memiliki keberanian, kekuatan. Karena itu, dari kaum
laki-laki ini lahir para nabi, ulama dan imam.

Tentang penolakan kepemimpinan perempuan merujuk pada hadis: “Tidak akan berjaya suatu kaum
atau masyarakat jika kepemimpinannya diserahkan kepada perempuan”. Hadis tersebut banyak
menimbulkan beberapa spekulatif dari beberapa peneliti. Hadis tersebut muncul dikarenakan pada
zaman tersebut, Nabi Muhammad menggambarkan negri Persia yang mendekati ambang kehancuran
dengan di pimpin oleh seorang perempuan yang tidak mempunyai kualitas yang memadai. Dan hadis
tersebut hanya di ucapkan dari satu orang (hadis ahad), masih sangat diragukan kebenarannya. Dari
penyelidikan peneliti diatas,dapat di simpulkan bahwa penolakan terhadap perempuan untuk terlibat
dalam ranah politik sangat tidak berdasar jika mengacu pada teks keagamaan sebagaimana yang telat
diributkan pada teks diatas.

Banyak faktor yang menyumbat kepemimpinan perempuan ini, diantaranya tentang salah kaprah
tentang ajaran islam. Menurut Qasim Amin (intelektual dari Mesir),sebagian besar penganut agama
islam di dunia adalah perempuan. Jika perempuan tersebut bersama laki-laki dapatmenggali potensi
kepemimpinannya, insya Allah kemajuan dan kejayaan islam di dunia ini bisa terwujud. Tantangan
lainnya adalah ego kolektif masyarakat muslim yang melanggengkan nilai-nilai patriarki. Alam bawah
sadar kolektif masyarakat egonya tabu tunduk dibawah kekuasaan perempuan, karena internalisasi nilai
bahwa laki-laki sebagai manusia utama, sedangkan perempuan sebagai pelengkap. Narasi agama kerap
di manipulasi dan menjadi tameng untuk kepentingan ego penafsirannya.

Dalam masyarakat islam, ganjalan terkuat seputas kemunculan pemimpin perempuan adalah ganjalan
teologis. Benazir Bhutto (anak Ali Bhutto, Pakistan) berargumen tentang tak adanya ayat Alquran yang
secara tegas melarang perempuan menjadi pemimpin pemerintahan. Sebaliknya, Alquran
menggambarkan ratu Bilqis (semasa Nabi Sulaiman) yang berhasil memimpin negri saba secara arif,
adil dan bijaksana. Benazir mengatakan : “Perempuan dan laki-lai di hadapan Tuhan kedudukannya
sama. Saya bangga menjadi perempuan islam. Isu dalam pemerintahan Pakistan bukanlah laki-laki
melawan perempuan, tetapi ditaktor melawan demokrasi. Adala interpretasi salah kaum pria atas ajaran
islam ,dan bukan ajaran itu sendiri yang membatasi kesempatan perempuan untuk memerintah. Sejarah
islam sebenarnya penuh dengan perempuan yang memainkan paran penting dalam masyarakat serta
pemerintahan yang tidak kalah penting dengan pria” (The Straight Time,18 November 1988).

Di Indonesia, Presiden Megawati SoekarnoPutri ditolak Kongres Umat Islam Indonesia (KUII,1998).
K. H. Ibrahim Hosein, ketua komisi fatwa majelis ulama Indonesia, mengatakan : “ Islam melarang
perempuan menjadi khalifah atau pemimpin bangsa. Dalam islam, khalifah juga berkewajiban
mengembangkan dakwah islam, membantu dan menolong perkembangan umat islam, serta menjadi
imam masjid. Dengan demikian, islam mengharamkan perempuan menjadi khalifah, sebab akan
terbentur pada tugas sebagai imam masjid. Kepala negara yang dipegang perempuan dimana
penduduknya mayoritas muslim akan menimbulkan pro dan kontra” (Terbit, 7 November 1998).

Respons Megawati: “Sejak dulu, wanita adalah pejuang. Sesuatu yang tidak masuk akal jika di zaman
sekarang ini wanita masih diperlakukan diskriminatif. Terus terang, saya tidak mau disebut makhluk
kelas dua. Agama islam yang saya anut, mengajarkan agar sesama manusia itu harus saling
menghormati. Dulu, nabi Muhammad selalu membela jika ada wanita ynag diperlakukan tidak adil.
Saya ingin, agar perlakuan diskriminatif ini hendaknya dihilangkan” (Merdeka,30 Oktober 1998).
HANIFAH FADHILAH SYAHIDAH / 11181110000077
SOSIOLOGI 3B

Ada tiga persoalan kenapa isu gender di Indonesia menjadi pembicaraan yang banyak diperbincangkan.
Pertama, keraguanterhadap kualitas diri kepada perempuan. Kedua, penentangan yang terjadi pada
pijakan teologis. Ketiga, kekhawatiran pada pemimpin perempuan yang takutnya megara tidak kuat,
karena budaya pada masyarakat kita menstereotipkan perempuan sebagai manusialemah. Dalam kasus
seperti itu, berarti masih ada kesenjangan gender di kalangan stereotip masyarakat Indonesia. Padahal
sudah jelas-jelas tidak ada larangan atau batasan di dalam Alquran pada perempuan ketika ingin
memimpin. Bukankah dalam islam, manusia diamanatkan sebagai khalifatu fil ard (Pemimpin di muka
bumi).

Anda mungkin juga menyukai