Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) lahir dari organisasi kemasyarakatan
terbesar di Indonesai, yakni Nahdlatul Ulama (NU). Organisasi mahasiswa yang terbentuk pada tanggal 17 April 1960 ini, dilatar belakangi oleh keinginan kuat para mahasiswa nahdliyin untuk membentuk sebuah wadah (organisasi) baru yang dapat menampung aspirasi meraka sebagai mahasiswa. Meskipun pada saat itu sudah ada organisasi-organisasi dibawah naungan NU, akan tetapi para mahasiswa nahdliyin merasa bahwa organisasi-organisasi tersebut belum mampu menjadi representasi dari keinginan mereka. Organisasi mahasiswa dibawah naungan NU pada masa itu masih bersifat kedaerahan; seperti Ikatan Mahasiswa Nahdlatul Ulama (IMANU) yang berdiri di Jakarta, Keluarga Mahasiswa Nahdlatul Ulama (KMNU) didirikan di Surakarta, dan Persatuan Mahasiswa Nahdlatul Ulama (PMNU) di Bandung. Organisasi-organisasi yang masih bersifat lokal tersebut tidak mampu menjadi wadah mahasiswa nahdliyin yang menginginkan terbentuknya organisasi yang bersifat nasional. Sedangkan organisasi lain yang mewadahi para mahasiswa pada saat itu adalah Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) yang ranah geraknya lebih mewakili para pelajar daripada mahasiswa. Keinginan mahasiswa untuk membentuk wadah (organisasi) muncul sejak Muktamar II IPNU tahun 1957, akan tetapi ide tersebut belum mendapat respon yang serius dari pihak IPNU. Hal ini dikarenakan kondisi IPNU pada saat itu masih dalam proses perbaikan, dan para fungsionaris IPNU lebih banyak yang berstatus mahasiswa, maka dikhawatirkan terbengkalainya kepengurusan IPNU apabila mahasiswa memiliki organisasi sendiri. Meskipun begitu, para mahasiswa tetap mengajukan usulan mereka untuk membentuk organisasi baru. Hingga pada Muktamar III IPNU pada 27-31 Desember 1958, tuntutan para mahasiswa tersebut direspon pimpinan IPNU dengan membentuk Departemen Perguruan Tinggi. Tidak berhenti sampai disitu, para mahasiswa tetap menginginkan dirinya untuk lepas dari IPNU. Ada dua alasan mengapa mahasiswa nahdliyin memutuskan untuk tetap pada tuntutannya membentuk organisasi baru. Pertama, karena kondisi obyektif mahasiswa yang berbeda dengan pelajar sehingga menyebabkan tidak jelasnya arah gerak IPNU. Kedua, dengan hanya berbentuk Departemen Perguruan Tinggi, para mahasiswa tidak dapat bergabung dengan Persatuan Perhimpunan Mahasiswa Indonesia (PPMI). Ditambah lagi dengan kondisi sosio-politik Indonesia mendesak NU yang pada saat itu menjadi pemenang ketiga dalam pemilu 1955, agar memiliki organisasi yang menghimpun mahasiswa NU untuk kemudian dijadikan sebagai wadah pengkaderan intelektual maupun kepemimpinan. Alasan ini yang menjadikan mahasiswa nahdliyin ingin melepaskan diri dari IPNU karena tugas organisasi juga dirasa membebani mereka dalam menjalankan perannya sebagai underbow partai NU. Sikap mahasiswa nahdliyin yang mampu mempetakan apa yang mereka butuhkan dan mereka inginkan, juga kuatnya pendirian mereka dalam memperjuangkan hasratnya membentuk organisasi mahasiswa yang berasaskan ahlussunnah wal jama’ah menjadi kekuatan dasar dari sejarah awal terbentuknya PMII. Puncak dari perjuangan mahasiswa tersebut yakni diadakannya konferensi besar (konbes) IPNU pada tanggal 14-17 maret 1960 di Kaliurang, Yogyakarta. Dalam konferensi tersebut akhirnya disetujui untuk membentuk organisasi mahasiswa NU. Kemudian, dibentuklah panitia pendiri organisasi yang terdiri dari 13 orang perwakilan beberapa daerah. Sebelum diadakannya musyawarah pembentukan organisasi, tiga orang perwakilan dari tim panitia menemui ketua PBNU. KH. Dr. Idham Khalid yang pada saat itu menjabat sebagai ketua PBNU merestui diadakannya musyawarah tersebut dan memberikan nsehat agar ilmu yang dimiliki mahasiswa harus diamalkan untuk kepentingan rakyat, dan bukan ilmu sekedar ilmu. Bertemunya perwakilan tim panitia dengan KH. Dr. Idham Khalid menunjukkan salah satu kultur NU yang melekat pada diri mahasiswa nahdliyin saat itu. Budaya kekeluargaan dengan menjalin silaturahmi dan meminta wejangan dari tokoh-tokoh pendahulu yang dituakan merupakan bentuk semangat kultural NU yang pada akhirnya tertanam dalam tubuh PMII dan semoga lestari hingga saat ini. Begitupula dengan nasehat dari KH.Dr. Idham Khalid baiknya tetap kita laksanakan dan tidak hanya diingat sebagai bagian dari kenangan. Setelah mengantongi restu dari ketua PBNU, akhirnya pada tanggal 14-16 April 1960 dilaksanakanlah musyawarah untuk membahas pembentuk organisasi. Kemudian pada tanggal 17 April 1960 diumumkan hasil musyawarah terbentuknya organisasi mahasiswa NU bernama PMII. 17 April hingga saat ini diperingati sebagai hari lahir (harlah) PMII. Nama PMII sendiri terdiri dari 4 unsur kata yang mempunyai makna masing-masing. “Pergerakan” dimaknai sebagai upaya sadar untuk membina dan mengembangkan potensi ketuhanan dan potensi kemanusiaan agar gerak dinamika menuju tujuannya selalu berada dalam kualitas kekhalifahan. Pergerakan juga mencerminkan sifat ideal mahasiswa yang senantiasa bergerak dinamis dan aktif. “Mahasiswa” diartikan sebagai golongan generasi muda yang menuntut ilmu di perguruan tinggi yang mempunyai identitas diri. Mahasiswa juga diartikan sebagai insan sosial, insan religious, dan insan mandiri. “Islam” dimaknai sebagai agama yg dipahami dengan menggunakan ideologi ahlussunnah wal jamaah yang mencakup iman, islam, dan ihsan sebagai pola pikir dan perlakuan yang tercermin. Ahlussunah wal jama’ah yg menjadi paham organisasi menggambarkan islam yang universalitas yang meliputi segala aspek kehidupan manusia berbangsa dan bernegara. Aspek tersebut dapat dijabarkan melalui aqidah, syariah serta tasawwuf. Dalam bidang aqidah mengikuti paham al asyariah dan al maturidiyah, dalam bidang bidang syariah mengikuti 4 madzhab yaitu imam syafi’I, maliki, hambali, dan hanafi dalam bidag tasawuf mengikuti al ghazali dan imam juned al baghdafi. Sedangkan “Indonesia” yakni masyarakat berbangsa dan bernegara yang mempunyai falsafah dan ideologi Pancasila serta UUD ’45. Adanya nama Indonesia ini juga menunjukkan komitmen PMII terhadap penanaman rasa nasionalisme. Sejak lahirnnya PMII pada tahun 1960 sampai 1970, PMII masih berada dibawah naungan NU sebelum kemudian memutuskan independensi. Selama menjadi underbow partai NU, aktivitas PMII hanya berupa aktivitas poltik praktis. Selama itu pula muncullah kritikan atau keresahan kader-kader PMII yang beranggapan bahwa PMII bukan lagi organisasi melainkan kaki tangan politik. Keresahan lainnya yaitu kemandekan kaderisasi karena berorientasi pada kepentingan partai. Dengan adanya keresahan-keresahan tersebut mulai terbentuk kubu dalam tubuh PMII sendiri. Sampai akhirnya pada masa orde baru, kondisi politik semakin memperkeruh keadaan PMII saat itu. Pemerintah orde baru memiliki obsesi untuk mengurangi kekuatan partai-partai yang berbau ideologi dengan membentuk partai sendiri yakni partai Golongan Karya (Golkar) untuk menopang kekuasaannya. Pada masa orde baru, partai-partai selain Golkar, mengalami kesulitan menebar pengaruhnya pada masyarakat bawah. Pemerintah orde baru juga menjelma kekuasaan eksklusif yang tidak bisa dijamah apalagi dikritisi oleh masyarakat dan mahasiswa, sehingga menyebabkan ruang gerak mereka semakin sempit dalam mengawal pemerintahan. Kondisi tersebut yang mengantarkan PMII pada keputusan untuk independensi, melepaskan diri dari NU. Keputusan tersebut diambil dengan alasan bahwa PMII akan mengalami kesulitan dalam berkembang sebagai organisasi mahasiswa apabila masih bernaung dan bergantung pada NU. Pada musyawarah besar (mubes) V tanggal 14 juli 1972 di Munarjati, Malang, PMII meresmikan statusnya sebagai organisasi independen dalam deklarasi Munarjati. Namun setelah independesi tersebut, justru muncul persoalan baru. Menyadari kultur dan historis PMII tidak bisa dipisahkan dengan NU, pada Kongres X tanggal 27 Oktober 1991 di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta dideklarasikan posisi “Interdependensi PMII-NU”. Sejak kelahirannya pada tahun 1960, PMII terus berupaya mengibarkan namanya. Mulai dari kiprahnya dalam politik praktis sebagai penunjang NU, hingga keterlibatannya dalam gerakan-gerakan lain. Pada tahun 1964 PMII bersama GP Anshor berupaya memperkokoh solidaritas dikalangan pemuda islam dengan menghimpun pemuda pelajar dan pemuda islam. Dari musyawarah yang dilakukan terbentuklah organisasi federasi pemuda yang dikenal dengan GEMUIS (Generasi Muda Islam). Dalam organisasi ini, tokoh PMII yakni Said Budairy berperan sebagai sekretaris jenderal presidium pusat . Salah satu hasil dari musyawarah tersebut adalah upaya menyelamatkan HMI yang terancam dibubarkan. Kemudian untuk merespon pergolakan politik melawan PKI pada tahun 1966, PMII bersama dengan organisasi mahasiswa lainnya (PMKRI,GMNI, dan Mapancas) membentuk Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI). Lagi-lagi delegasi PMII memegang peran penting, kali ini sahabat Zamroni yang berperan sebagai ketua KAMI. Duduknya Zamroni sebagai ketua KAMI tentu menjadi kebanggaan tersendiri bagi PMII, apalagi ketika meletusnya gerakan mahasiswa 1960 dengan tuntutannya yang dikenal dengan TRITURA (tiga tuntutan rakyat) yang berujung menumbangkan rezim orde lama. Setelah rezim orde lama jatuh dan diganti dengan rezim orde baru, mulai adanya perombakan struktur politik dan pola pemerintahan yang baru. Pada tahun 70-an, gerakan PMII masih seputar politik praktis dibawah naungan NU, menghadapi kondisi perpolitikan yang semakin pelik, hingga pada akhirnya independensi pada tahun 1972. Keputusan untuk independensi mengantarkan PMII pada pencarian jati diri dan fokus pada perbaikan internal. Baru kemudian pada tahun 1973, PMII menjadi bagian dari tercetusnya deklarasi pemuda tanggal 23 juli 1973 yang kemudian membentuk Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI). Dalam perkembangannya KNPI ini cukup aktif mengkritisi pemerintah termasuk menolak investor asing yang merupakan cikal bakal dari meletusnya peristiwa MALARI. Pada tahun 1974 PMII bergabung dalam kelompok Cipayung, sebuah kelompok yang berkomitmen untuk terus mempertahankan idealisme ormas mahasiswa. Kehadiran kelompok Cipayung ini menjadi semangat tersendiri bagi ormas mahasiswa yang semakin terbatas ruang geraknya khususnya saat diberlakukan NKK/BKK. Kemudian pada tahun 80-an, PMII memasifkan gerakan intelektual, gerakan kemasyarakatan melalui LSM, dan gerakan jalanan (demonstrasi) untuk menyampaikan kritik terhadap pemerintahan. Sedangkan pada tahun 90-an gerakan PMII berupa diskursus- diskursus tentang isu-isu penting. Disamping bentuk gerakan dan peranan PMII sebagai organisasi, tentu tidak bisa dipungkiri bahwa para kadernya juga memiliki peranannya sebagai mahasiswa. Bila ditarik mundur kembali pada masa kolonialisme, perlawanan-perlawanan yang muncul hingga bangsa Indonesia dapat mencicipi kemerdekaan sebagian besar ialah berkat pemudanya. Para pemuda yang masih memiliki semangat yang membara, tekat yang kuat, haus akan kebebasan, dan memiliki bekal pengetahuan yang cukup, mereka membentuk wadah perjuangan yang memiliki pengorganisasian modern. Diawali dengan terbentuknya Budi Oetomo pada tahun 1908 oleh para terpelajar STOVIA yang bertujuan menghimpun para pemuda yang kemudian diarahkan pada semangat-semangat nasionalisme. Kemudian pada tahun 1922 para mahasiswa yang mengenyam pendidikan di Nederland Handelshogeschool di Rotterdam, termasuk Drs. Moh. Hatta, mendirikan Indische Vereeninging atau yang kemudian berganti nama menjadi Perhimpunan Indonesia. Kemudian pada tahun 1928, organisasi-organisasi pemuda yang sifatnya masih kedaerahan mulai bergabung menjadi satu dan mencetuskan sumpah pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928. Para pemuda juga turut andil dalam proses kemerdekaan Indonesia dengan menculik Ir. Soekarno dan Drs. Moh Hatta ke Rengasdengklok dan mendesak keduanya untuk segera memproklamirkan kemerdekaan. Kemudian pada tahun 1966 seperti yang telah disebutkan bahwa mahasiswa tergabung dalam KAMI dibawah pimpinan Zamroni sebagai delegasi PMII membentuk aksi dengan tuntutannya “TRITURA”. Gerakan ini menjadi gerakan awal yang diinisiasi mahasiswa setelah kemerdekaan Indonesia, kemudian gerakan ini dikenal sebagai gerakan mahasiswa angkatan ’66 yang berhasil menggulingkan rezim orde lama dan terbentuklah rezim orde baru. Kemudian berlanjut pada angkatan selanjutnya yang ternyata mengalami realitas yang berbeda dengan angkatan sebelumnya. Pada gerakan mahasiswa ’66, mahasiswa mendapat dukukang dari kekuatan militer sedangkan gerakan mahasiswa selanjutnya justru mengalami konfrontasi dengan kekuatan militer. Sejak dimulainya orde baru, sudah banyak kritikan yang diberikan mahasiswa terhadap pemerintahan Soeharto. Mulai dari deklarasi golput pada pemilu pertama karena Golkar dinilai curang. Kemudian penolakan dibangunnya Taman Mini Indonesia Indah yang menggusur banyak rakyat kecil. Adapula kritik terhadap perekonomian karena naiknya harga BBM, serta kasus korupsi. Puncaknya yaitu ada tahun 1974, ketika mahasiswa menolak investor Jepang Kakuei Tanaka. Penolakan tersebut memunculkan peristiwa penting bagi gerakan mahasiswa pada tanggal 15 Januari 1974 yang kemudian dikenal sebagai peristiwa MALARI. Kritikan mahasiswa terhadap pemerintah terus dilakukan hingga tahun 1977-1978 yang menyebabkan untuk pertama kalinya kampus-kampus di Indonesia diduduki oleh militer. Upaya lain rezim orde baru untuk membungkam mahasiswa juga terlihat dari dihapuskannya Dewan Mahasiswa dan diterapkannya kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK). Konsep ini mengarahkan mahasiswa untuk berfokus pada kegiatan akademik saja dan menjauhkan mahasiswa dari aktifitas gerakan yang mengancam posisi rezim saat itu. Pemerintahan Soeharto juga membuat kebijakan menggantikan Dewan Mahasiswa dengan Badan Koordinasi Kampus (BKK). Dibentuknya NKK/BKK ini berdampak pada sikap mahasiswa yang semakin apatis karena hanya disibukkan dengan urusan akademik. Meskipun gerakan mahasiswa masih dilakukan, namun hanya berskala kecil karena ruang gerak yang sempit. Pada tahun 80-an dan 90-an gerakan mahasiswa mulai mengangkat isu turunnya Soeharto. Hingga puncaknya pada tahun 1998 terjadi demonstrasi besar-besaran di berbagai daerah di Indonesia, yang menyebabkan terjadinya peristiwa-peristiwa seperti peristiwa Trisakti, Semanggi dsb. Buah manis dari gerakan mahasiswa 1998 adalah runtuhnya rezim orde baru dan dimulainya reformasi. Pada masa reformasi, sudah tidak ada lagi upaya penyempitan ruang gerak mahasiswa. Mahasiswa bebas mengekspresikan pendapatnya bahkan menyuarakan kritikannya terhadap pemerintah. Pada masa ini isu yang berkembang sangat beragam sehingga gerakan mahasiswa yang terbentuk hanya membidik isu tertentu sehingga sudah jarang ditemukan gerakan mahasiswa berskala besar. Ditambah lagi dengan berkembangnya zaman, banyak mahasiswa yang lebih senang menyuarakan kritikannya serampangan di sosial media tanpa adanya pengorganisasian dan arah gerak yang jelas. Gerakan mahasiswa berskala besar baru muncul kembali pada tahun 2019, namun gerakan mahasiswa ini belum bisa dibandingkan dengan gerakan mahasiswa sebelumnya. Meskipun setiap tahun gerakan mahasiswa memiliki panggung dan rintangannya masing-masing, namun ada beberapa hal yang diduga menjadi kekurangan dari gerakan mahasiswa saat ini. Pertama, gerakan mahasiswa sekarang kurang mendapat dukungan dari lapisan masyarakat lainnya. Mahasiswa belum mampu merangkul masyarakat untuk menjadi bagian dari gerakannya. Kedua, adanya kepentingan-kepentingan lain yang dibawa sehingga gerakan mahasiswa tidak murni untuk merespon kebijakan pemerintah. Ketiga, kurangnya kepekaan dan pemahaman yang kuat terhadap isu-isu yang diangkat. Banyak mahasiswa yang tergabung dalam massa aksi hanya karena merasa dirinya bagian dari mahasiswa namun tidak cukup paham dengan tuntutan yang disuarakan. Bebrapa hal tersebut menjadikan gerakan mahasiswa seolah kehilangan kegarangannya. Pentingnya mengetahui sejarah gerakan mahasiswa khususnya bagi kader PMII agar mereka paham perannya sebagai mahasiswa disamping menjadi kader PMII. Adanya peran ganda tersebut tentu menjadi tantangan tersendiri bagi kader PMII, bagaimana kita bisa menjadikan keduanya sebagai kolaborasi yang epic. Bagaimana caranya agar PMII tidak hanya dijadikan identitas, tetapi kita mampu menerapkan pola pikir dan nilai-nilai PMII dalam setiap gerakan kita sebagai Agen of Change, Iron Stock, dan Agen of Social Control. Untuk itu, maka pemahaman tentang corak pemikiran dan nilai-nilai gerakan PMII sangat penting untuk dipahami. Kedekatan PMII dengan NU salah satunya terlihat dari metode berfikir yang sama, yakni menggunakan ideologi ahlussunnah wal jama’ah (Aswaja). Aswaja bukanlah sebuah madzhab melainkan sebuah metode dan prinsip berfikir dalam menghadapi persoalan-persoalan agama maupun persoalan social-kemasyarakatan. Adapun nilai-nilai Aswaja ialah: Tasawuth (Moderat), Tasamuh (Toleran), Tawazun (Keseimbangan/Profesionalisme), Ta’addul (Keadilan). Tasamuth (Moderat) dapat dimaknai sebagai cara pandang yang berdasarkan prinsip dasar sendiri, sehingga tidak terbawa arus nalar kapitalisme-liberal maupun nalar sosialisme. Tasamuh (Toleran) diartikan sebagai sikap terbuka, menerima, dan menghargai golongan apapun selagi tujuannya sama-sama untuk menuju kebenaran. Tawazun (Keseimbangan/Profesionalisme) artinya mampu menempatkan diri sesuai peran dan tanggung jawab yang diemban. Terakhir, Ta’addul (Keadilan) merupakan cita-cita PMII dan seluruh umat manusia yang sudah seharusnya diupayakan bukan hanya mengharap pemberian. Dalam menentukan arah geraknya, PMII memiliki Nilai Dasar Pergerakan (NDP) yang berkedudukan sebagai sumber kekuatan ideal moral seorang aktivis pergerakan, dan sebagai landasan dasar pembenar dalam berfikir, bersikap, dan berperilaku. Harakah NDP dalam PMII terbagi menjadi 7, yakni: 1. Harakah Islamiyah Menyebarkan ajaran-ajaran islam yang sesuai dengan ahlussunnah wal jama’ah yang berlandaskan al-qur’an dan as-sunnah. 2. Harakah Fikriyyah (Intelektual) Mampu menggunakan akal untuk berfikir sebelum bertindak dan mencerminkan mahasiswa yang ulil albab (haus akan ilmu). 3. Harakah Sya’biyyah (Kebangsaan) Memiliki tekad membangun bangsa dan memperjuangkan cita-cita kemerdekaan bangsa. 4. Harakah Syafaqiyyah (Kebudayaan) Menjaga dan melestarikan kebudayaan sebagai jati diri bangsa. 5. Harakah Ijtima’iyyah (Sosial) Mampu berdialektika dan berani menyuarakan kebenaran pendapatnya untuk membangun sosial sekitarnya (kampus, masyarakat sekitar, dan Negara) 6. Harakah Iqtisyadiyyah (Ekonomi) Kritis terhadap persoalan perekonomian dan menjadi agen perubahan dalam proses pemberdayaan masyarakat agar tercapai kesejahteraan yang mandiri. 7. Harakah Hurriyah (Kebebasan) Secara garis besar, prinsip ini dikenal sebagai Hak Asasi Manusia (HAM). Diharapkan, kader PMII mampu memperjuangkan hak-haknya dan hak-hak manusia sekitarnya yang terampas. Adapun rumusan NDP dalam PMII terbagi menjadi 3, yakni Hablum Min Allah (hubungan manusia dengan Allah), Hablum Min Annas (hubungan manusia dengan manusia), dan Hablum Min Alam (hubungan manusia dengan Alam). NDP dijadikan sebagai landasan dalam bertindak dan berfikir, yang tidak hanya mempertimbangkan ketuhanan belaka, tetapi juga memperhatikan kemanusiaan dan kelestarian lingkungan yang membentuk kesadaran dan tanggung jawab. Jika ahlussunnah wal jama’ah dijadikan metode berfikir secara umum, kemudian NDP dijadikan landasan awal yang menentukan arah gerakan, maka PMII juga memiliki pisau yang dijadikan alat untuk menciptakan sebuah gerakan. Metode analisis yang digunakan PMII dalam menghadapi berbagai macam isu sebelum akhirnya dimanifestasikan dalam bentuk gerakan inilah yang kemudian disebut sebagai paradigma. Pentingnya paradigma dalam sebuah gerakan, karena dengan paradigma seseorang akan menemukan sudut pandang yang kemudian mempengaruhi penyusunan teori, konstruk berfikir, hingga tindakan dan solusi yang akan dipilih. Berdasarkan sejarahnya, ada 3 jenis paradigma yang pernah diterapkan oleh PMII. Pertama, paradigma Arus Masyarakat pinggiran, paradigma ini dilatar belakangi oleh kondisi era 90-an dimana otoriterisme pemerintahan sangat kuat. Paradigma ini menegakkan posisi organisasi yang menarik diri dari Negara dan selanjutnya memperkuat barisan perlawanan rakyat bersama masyarakat sipil untuk menegakkan demokrasi. Kedua, paradigma Kritis Transformatif, beberapa alasan dipilihnya paradigma kritis transformatif yakni adanya belenggu kapitalisme modern, pluralism dalam masyarakat, adanya budaya bisu yang merupakan dampak lanjutan dari rezim orde baru, pemerintah menggunakan paradigma keteraturan dengan teori modern yang mengakibatkan PMII mengalami marginalisasi secara hampir sempurna karena dianggap sebagai wakil masyarakat tradisional, serta karena adanya dogmatisme agama dan tradisi. Ketiga, paradigma Menggiring Arus yang digunakan tahun 2006-2008, paradigma ini kental dengan perlawanan frontal baik terhadap Negara maupun terhadap kekuatan kapitalis internasional. Setelahnya hingga dewasa ini, PMII kembali menggunakan paradigma kritis transformatif karena dirasa masih relevan dengan kondisi sekarang. Paradigma kritis transformasif membiasakan pola pikir dalam menganalisa sebuah persoalan dengan memperhatikan berbagai macam sudut pandang, kemudian meruntutkan permasalahan hingga ke akar permasalahan, berfikir sedetail mungkin untuk kemudian menemukan solusi yang menciptakan perubahan. Selain memahami kerangka berfikir dan nilai-nilai dalam PMII, penting juga untuk kader memahami ruang lingkup gerakan dari setiap struktur yang ada dalam PMII. Pengurus Besar (PB) berorientasi pada isu-isu nasional, Pengurus Koordinator Cabang (PKC) berorientasi pada isu-isu kedaerahan dalam lingkup propinsi. Pengurus Cabang (PC) berorientasi pada isu kedaerahan dengan lingkup yang lebih kecil ditingkat kabupaten/kota. Pengurus Komisariat (PK) berorientasi pada isu-isu kampus dan kemahasiswaan. Sedangkan Pengurus Rayon (PR) berorientasi pada isu yang paling dekat dengan peran mahasiswa. Meskipun begitu, bukan berarti kader yang masih dalam tingkatan rayon tidak diperbolehkan merespon isu-isu nasional, akantetapi untuk membentuk sebuah perubahan, masih belum pada ranahnya. Pengurus Rayon sebagai garda terdepan dalam pengkaderan juga bertugas untuk mencetak kader PMII yang berkualitas. Dalam kepengurusan baru Rayon Pondok Syahadat, disepakati adanya pembatasan isu seputar pendidikan. Dengan adanya pembatasan isu tersebut diharapkan arah gerakan akan lebih terarah dan tujuan yang dicitakan akan lebih mudah direalisasikan. Dipilihnya isu pendidikan ini didasari oleh beberapa alasan antara lain, karena isu pendidikan merupakan isu yang paling dekat dengan mahasiswa, kemudian melihat kondisi pendidikan saat ini yang seolah hanya menjadi komoditas untuk mendapatkan ijazah, belum lagi kapitalisme dalam pendidikan yang belum juga usai. Isu pendidikan juga menjadi sasaran apik untuk dibidik karena melihat kondisi kader saat ini yang masih belum cukup kuat dalam bidang literasi dan wacana kritis. Untuk gagasannya sendiri, pengurus baru Rayon Pondok Sahadat sepakat mengusung gagasan “Optimalisasi Gerakan”. Gagasan ini tentunya didasari oleh keresahan selama menjadi kader awal maupun kader tengah. Selama ini, pendekatan terhadap kader dirasa belum cukup optimal dan kurang sesuai dengan kebutuhan kader. Kader awal yang berasal dari berbagai latar belakang yang berbeda, justru menerima pendekatan yang sama yang belum tentu sesuai dan dapat diterima dengan baik oleh masing-masing kader. Hal inilah yang kemudian menimbulkan perasaan bahwa “PMII bukan tempat yang tepat bagi saya,” sehingga tidak adanya sikap militan dalam diri kader. Generalisasi pendekatan yang dilakukan rayon hanya seputar perpolitikan kampus dan literasi yang itupun tidak jelas outputnya. Permasalahan lainnya yang kemudian muncul adalah pandangan calon kader yang menganggap PMII hanya sebagai jalan menuju jabatan dalam perpolitikan kampus. Apabila hal tersebut terus menerus dibiarkan maka gerakan PMII akan kembali pada awal PMII lahir, yakni hanya seputar politik praktis. Tanpa disadari, dibalik kekuasaannya PMII membentuk citra buruk bagi dirinya sendiri, membiarkan pihak lain menilai bahwa PMII hanya haus akan jabatan dan kekuasaan. Selain perpolitikan, yang juga menjadi sorotan adalah budaya literasi yang hanya seputar membaca dan menulis dan belum mampu menjadi kekuatan bagi gerakan PMII sendiri. Membaca, tanpa perlu berdebat panjang kami semua sepakat bahwa itu adalah hal wajib sebagai sumber keilmuan. Tetapi meminta semua orang membaca dengan porsi yang sama dan mendapat pemahaman yang sama adalah kesalahan. Setiap orang memiliki kapasitas yang berbeda dalam kecepatan membaca dan kemampuan menangkap isi bacaan, itu sebabnya seringkali muncul nama-nama yang terlihat superior dibandingkan yang lainnya. Hal ini memicu permasalahan lain lagi, yakni adanya ketimpangan yang kentara antar masing-masing kader dan tumbuhnya rasa tidak percaya diri dan perasaan tidak berguna yang menjadi indikasi dari hilangnya kader satu- persatu. Begitupula dengan budaya menulis, tidak semua orang mampu menguraikan pemikiran dan pemahamannya menjadi deretan kata yang kemudian mampu memahamkan orang lain. Penempatan kader yang tidak sesuai pada passionnya mengantarkan mereka pada proses berorganisasi yang setengah hati, dan tentu berdampak terhadap gerakan organisasi itu sendiri. Belum lagi kondisi pandemi saat ini yang menghambat kegiatan-kegiatan Rayon yang sudah dipersiapkan juah-jauh hari. Dari semua uraian diatas, maka gagasan mengenai optimalisasi gerakan ini dimunculkan. Harapannya, Rayon mampu melakukan pendekatan terhadap kader dengan mempertimbangkan latar belakang dan passion kader serta mampu memberikan ruang bagi kemampuan yang dimiliki kader untuk kemudian diarahkan pada terciptanya gerakan yang lebih beragam dengan tidak mengabaikan nilai-nilai PMII. PMII merupakan organisasi ideologi dimana inteluaktualitas merupakan hal terpenting, sepakat!. Tetapi apabila mengingat nasehat dari K.H Dr. Idham Khalid sebelum PMII berdiri, “agar ilmu yang dimiliki mahasiswa harus diamalkan untuk kepentingan rakyat, dan bukan ilmu sekedar ilmu”. Setelah kader memiliki intelektual yang mumpuni, lalu apa? Tidak adanya pengarahan yang tepat akan menjadikan potensi yang ada sirna begitu saja. Kami mengharapkan adanya optimalisasi dibidang lain disamping pengoptimalisasian dibidang intelektual. Misalkan seorang kader memiliki passion dalam bidang seni musik, selain membekali ia dengan pengetahuan, rayon juga mampu mengarahkan ia untuk menciptakan gerakan dengan cara baru, seperti para seniman yang melontarkan kritikannya dengan musik. Dengan penggambaran tersebut, bukan berarti kami mengamini PMII menjadi organisasi yang mewadahi minat dan bakat layaknya UKM pada umumnya. Yang menjadi pembeda disini adalah, kami mengidentifikasi passion mereka, mewadahinya, dan kemudian mengarahkannya menjadi bentuk gerakan. Misalkan seorang kader memiliki passion dibidang sastra, kami tidak akan membiarkan kader memanfaatkan fasilitas kami hanya untuk menuangkan emosinya seperti Boy Chandra, tetapi kami ingin menjadikan kader yang memanfaatkan fasilitas kami untuk menuangkan kritikan dan pendapatnya seperti Pramoedya. Penjabaran yang sedikit didramatisasi, tapi begitulah kira-kira harapan kami. Satu hal yang perlu digaris bawahi lagi adalah, optimalisasi yang kami maksud tidak memiliki arti sempit hanya sebatas pelatihan-pelatihan. Optimalisasi yang kami maksud adalah upaya yang kami lakukan untuk menemukan solusi-solusi dari berbagai keterbatasan yang ada. Dengan menggunakan paradigma kritis transformatif, kami berharap kader PMII mampu membedah permasalahan atau keterbatasan yang dihadapinya dan mampu merumuskan perubahan dengan cara-cara yang lebh variatif. PMII saat ini tidak sedang menggunakan paradigma Menggiring Arus, dan Konfrontasi bukan satu-satunya jalan menuju perubahan.
Albert Bandura dan faktor efikasi diri: Sebuah perjalanan ke dalam psikologi potensi manusia melalui pemahaman dan pengembangan efikasi diri dan harga diri
Kepribadian: Pengantar ilmu kepribadian: apa itu kepribadian dan bagaimana menemukan melalui psikologi ilmiah bagaimana kepribadian mempengaruhi kehidupan kita