Anda di halaman 1dari 9

Gagasan Jawara

Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) lahir dari organisasi kemasyarakatan


terbesar di Indonesai, yakni Nahdlatul Ulama (NU). Organisasi mahasiswa yang terbentuk pada
tanggal 17 April 1960 ini, dilatar belakangi oleh keinginan kuat para mahasiswa nahdliyin untuk
membentuk sebuah wadah (organisasi) baru yang dapat menampung aspirasi meraka sebagai
mahasiswa. Meskipun pada saat itu sudah ada organisasi-organisasi dibawah naungan NU, akan
tetapi para mahasiswa nahdliyin merasa bahwa organisasi-organisasi tersebut belum mampu
menjadi representasi dari keinginan mereka. Organisasi mahasiswa dibawah naungan NU pada
masa itu masih bersifat kedaerahan; seperti Ikatan Mahasiswa Nahdlatul Ulama (IMANU) yang
berdiri di Jakarta, Keluarga Mahasiswa Nahdlatul Ulama (KMNU) didirikan di Surakarta, dan
Persatuan Mahasiswa Nahdlatul Ulama (PMNU) di Bandung. Organisasi-organisasi yang masih
bersifat lokal tersebut tidak mampu menjadi wadah mahasiswa nahdliyin yang menginginkan
terbentuknya organisasi yang bersifat nasional. Sedangkan organisasi lain yang mewadahi para
mahasiswa pada saat itu adalah Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) yang ranah geraknya
lebih mewakili para pelajar daripada mahasiswa.
Keinginan mahasiswa untuk membentuk wadah (organisasi) muncul sejak Muktamar II
IPNU tahun 1957, akan tetapi ide tersebut belum mendapat respon yang serius dari pihak IPNU.
Hal ini dikarenakan kondisi IPNU pada saat itu masih dalam proses perbaikan, dan para
fungsionaris IPNU lebih banyak yang berstatus mahasiswa, maka dikhawatirkan terbengkalainya
kepengurusan IPNU apabila mahasiswa memiliki organisasi sendiri. Meskipun begitu, para
mahasiswa tetap mengajukan usulan mereka untuk membentuk organisasi baru. Hingga pada
Muktamar III IPNU pada 27-31 Desember 1958, tuntutan para mahasiswa tersebut direspon
pimpinan IPNU dengan membentuk Departemen Perguruan Tinggi. Tidak berhenti sampai
disitu, para mahasiswa tetap menginginkan dirinya untuk lepas dari IPNU. Ada dua alasan
mengapa mahasiswa nahdliyin memutuskan untuk tetap pada tuntutannya membentuk organisasi
baru. Pertama, karena kondisi obyektif mahasiswa yang berbeda dengan pelajar sehingga
menyebabkan tidak jelasnya arah gerak IPNU. Kedua, dengan hanya berbentuk Departemen
Perguruan Tinggi, para mahasiswa tidak dapat bergabung dengan Persatuan Perhimpunan
Mahasiswa Indonesia (PPMI). Ditambah lagi dengan kondisi sosio-politik Indonesia mendesak
NU yang pada saat itu menjadi pemenang ketiga dalam pemilu 1955, agar memiliki organisasi
yang menghimpun mahasiswa NU untuk kemudian dijadikan sebagai wadah pengkaderan
intelektual maupun kepemimpinan. Alasan ini yang menjadikan mahasiswa nahdliyin ingin
melepaskan diri dari IPNU karena tugas organisasi juga dirasa membebani mereka dalam
menjalankan perannya sebagai underbow partai NU.
Sikap mahasiswa nahdliyin yang mampu mempetakan apa yang mereka butuhkan dan
mereka inginkan, juga kuatnya pendirian mereka dalam memperjuangkan hasratnya membentuk
organisasi mahasiswa yang berasaskan ahlussunnah wal jama’ah menjadi kekuatan dasar dari
sejarah awal terbentuknya PMII. Puncak dari perjuangan mahasiswa tersebut yakni diadakannya
konferensi besar (konbes) IPNU pada tanggal 14-17 maret 1960 di Kaliurang, Yogyakarta.
Dalam konferensi tersebut akhirnya disetujui untuk membentuk organisasi mahasiswa NU.
Kemudian, dibentuklah panitia pendiri organisasi yang terdiri dari 13 orang perwakilan beberapa
daerah.
Sebelum diadakannya musyawarah pembentukan organisasi, tiga orang perwakilan dari
tim panitia menemui ketua PBNU. KH. Dr. Idham Khalid yang pada saat itu menjabat sebagai
ketua PBNU merestui diadakannya musyawarah tersebut dan memberikan nsehat agar ilmu yang
dimiliki mahasiswa harus diamalkan untuk kepentingan rakyat, dan bukan ilmu sekedar ilmu.
Bertemunya perwakilan tim panitia dengan KH. Dr. Idham Khalid menunjukkan salah satu
kultur NU yang melekat pada diri mahasiswa nahdliyin saat itu. Budaya kekeluargaan dengan
menjalin silaturahmi dan meminta wejangan dari tokoh-tokoh pendahulu yang dituakan
merupakan bentuk semangat kultural NU yang pada akhirnya tertanam dalam tubuh PMII dan
semoga lestari hingga saat ini. Begitupula dengan nasehat dari KH.Dr. Idham Khalid baiknya
tetap kita laksanakan dan tidak hanya diingat sebagai bagian dari kenangan.
Setelah mengantongi restu dari ketua PBNU, akhirnya pada tanggal 14-16 April 1960
dilaksanakanlah musyawarah untuk membahas pembentuk organisasi. Kemudian pada tanggal
17 April 1960 diumumkan hasil musyawarah terbentuknya organisasi mahasiswa NU bernama
PMII. 17 April hingga saat ini diperingati sebagai hari lahir (harlah) PMII. Nama PMII sendiri
terdiri dari 4 unsur kata yang mempunyai makna masing-masing. “Pergerakan” dimaknai sebagai
upaya sadar untuk membina dan mengembangkan potensi ketuhanan dan potensi kemanusiaan
agar gerak dinamika menuju tujuannya selalu berada dalam kualitas kekhalifahan. Pergerakan
juga mencerminkan sifat ideal mahasiswa yang senantiasa bergerak dinamis dan aktif.
“Mahasiswa” diartikan sebagai golongan generasi muda yang menuntut ilmu di perguruan tinggi
yang mempunyai identitas diri. Mahasiswa juga diartikan sebagai insan sosial, insan religious,
dan insan mandiri. “Islam” dimaknai sebagai agama yg dipahami dengan menggunakan ideologi
ahlussunnah wal jamaah yang mencakup iman, islam, dan ihsan sebagai pola pikir dan perlakuan
yang tercermin. Ahlussunah wal jama’ah yg menjadi paham organisasi menggambarkan islam
yang universalitas yang meliputi segala aspek kehidupan manusia berbangsa dan bernegara.
Aspek tersebut dapat dijabarkan melalui aqidah, syariah serta tasawwuf. Dalam bidang aqidah
mengikuti paham al asyariah dan al maturidiyah, dalam bidang bidang syariah mengikuti 4
madzhab yaitu imam syafi’I, maliki, hambali, dan hanafi dalam bidag tasawuf mengikuti al
ghazali dan imam juned al baghdafi. Sedangkan “Indonesia” yakni masyarakat berbangsa dan
bernegara yang mempunyai falsafah dan ideologi Pancasila serta UUD ’45. Adanya nama
Indonesia ini juga menunjukkan komitmen PMII terhadap penanaman rasa nasionalisme.
Sejak lahirnnya PMII pada tahun 1960 sampai 1970, PMII masih berada dibawah
naungan NU sebelum kemudian memutuskan independensi. Selama menjadi underbow partai
NU, aktivitas PMII hanya berupa aktivitas poltik praktis. Selama itu pula muncullah kritikan atau
keresahan kader-kader PMII yang beranggapan bahwa PMII bukan lagi organisasi melainkan
kaki tangan politik. Keresahan lainnya yaitu kemandekan kaderisasi karena berorientasi pada
kepentingan partai. Dengan adanya keresahan-keresahan tersebut mulai terbentuk kubu dalam
tubuh PMII sendiri. Sampai akhirnya pada masa orde baru, kondisi politik semakin
memperkeruh keadaan PMII saat itu.
Pemerintah orde baru memiliki obsesi untuk mengurangi kekuatan partai-partai yang
berbau ideologi dengan membentuk partai sendiri yakni partai Golongan Karya (Golkar) untuk
menopang kekuasaannya. Pada masa orde baru, partai-partai selain Golkar, mengalami kesulitan
menebar pengaruhnya pada masyarakat bawah. Pemerintah orde baru juga menjelma kekuasaan
eksklusif yang tidak bisa dijamah apalagi dikritisi oleh masyarakat dan mahasiswa, sehingga
menyebabkan ruang gerak mereka semakin sempit dalam mengawal pemerintahan. Kondisi
tersebut yang mengantarkan PMII pada keputusan untuk independensi, melepaskan diri dari NU.
Keputusan tersebut diambil dengan alasan bahwa PMII akan mengalami kesulitan dalam
berkembang sebagai organisasi mahasiswa apabila masih bernaung dan bergantung pada NU.
Pada musyawarah besar (mubes) V tanggal 14 juli 1972 di Munarjati, Malang, PMII meresmikan
statusnya sebagai organisasi independen dalam deklarasi Munarjati. Namun setelah independesi
tersebut, justru muncul persoalan baru. Menyadari kultur dan historis PMII tidak bisa dipisahkan
dengan NU, pada Kongres X tanggal 27 Oktober 1991 di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta
dideklarasikan posisi “Interdependensi PMII-NU”.
Sejak kelahirannya pada tahun 1960, PMII terus berupaya mengibarkan namanya. Mulai
dari kiprahnya dalam politik praktis sebagai penunjang NU, hingga keterlibatannya dalam
gerakan-gerakan lain. Pada tahun 1964 PMII bersama GP Anshor berupaya memperkokoh
solidaritas dikalangan pemuda islam dengan menghimpun pemuda pelajar dan pemuda islam.
Dari musyawarah yang dilakukan terbentuklah organisasi federasi pemuda yang dikenal dengan
GEMUIS (Generasi Muda Islam). Dalam organisasi ini, tokoh PMII yakni Said Budairy berperan
sebagai sekretaris jenderal presidium pusat . Salah satu hasil dari musyawarah tersebut adalah
upaya menyelamatkan HMI yang terancam dibubarkan.
Kemudian untuk merespon pergolakan politik melawan PKI pada tahun 1966, PMII
bersama dengan organisasi mahasiswa lainnya (PMKRI,GMNI, dan Mapancas) membentuk
Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI). Lagi-lagi delegasi PMII memegang peran penting,
kali ini sahabat Zamroni yang berperan sebagai ketua KAMI. Duduknya Zamroni sebagai ketua
KAMI tentu menjadi kebanggaan tersendiri bagi PMII, apalagi ketika meletusnya gerakan
mahasiswa 1960 dengan tuntutannya yang dikenal dengan TRITURA (tiga tuntutan rakyat) yang
berujung menumbangkan rezim orde lama.
Setelah rezim orde lama jatuh dan diganti dengan rezim orde baru, mulai adanya
perombakan struktur politik dan pola pemerintahan yang baru. Pada tahun 70-an, gerakan PMII
masih seputar politik praktis dibawah naungan NU, menghadapi kondisi perpolitikan yang
semakin pelik, hingga pada akhirnya independensi pada tahun 1972. Keputusan untuk
independensi mengantarkan PMII pada pencarian jati diri dan fokus pada perbaikan internal.
Baru kemudian pada tahun 1973, PMII menjadi bagian dari tercetusnya deklarasi pemuda
tanggal 23 juli 1973 yang kemudian membentuk Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI).
Dalam perkembangannya KNPI ini cukup aktif mengkritisi pemerintah termasuk menolak
investor asing yang merupakan cikal bakal dari meletusnya peristiwa MALARI. Pada tahun 1974
PMII bergabung dalam kelompok Cipayung, sebuah kelompok yang berkomitmen untuk terus
mempertahankan idealisme ormas mahasiswa. Kehadiran kelompok Cipayung ini menjadi
semangat tersendiri bagi ormas mahasiswa yang semakin terbatas ruang geraknya khususnya saat
diberlakukan NKK/BKK. Kemudian pada tahun 80-an, PMII memasifkan gerakan intelektual,
gerakan kemasyarakatan melalui LSM, dan gerakan jalanan (demonstrasi) untuk menyampaikan
kritik terhadap pemerintahan. Sedangkan pada tahun 90-an gerakan PMII berupa diskursus-
diskursus tentang isu-isu penting.
Disamping bentuk gerakan dan peranan PMII sebagai organisasi, tentu tidak bisa
dipungkiri bahwa para kadernya juga memiliki peranannya sebagai mahasiswa. Bila ditarik
mundur kembali pada masa kolonialisme, perlawanan-perlawanan yang muncul hingga bangsa
Indonesia dapat mencicipi kemerdekaan sebagian besar ialah berkat pemudanya. Para pemuda
yang masih memiliki semangat yang membara, tekat yang kuat, haus akan kebebasan, dan
memiliki bekal pengetahuan yang cukup, mereka membentuk wadah perjuangan yang memiliki
pengorganisasian modern. Diawali dengan terbentuknya Budi Oetomo pada tahun 1908 oleh para
terpelajar STOVIA yang bertujuan menghimpun para pemuda yang kemudian diarahkan pada
semangat-semangat nasionalisme. Kemudian pada tahun 1922 para mahasiswa yang mengenyam
pendidikan di Nederland Handelshogeschool di Rotterdam, termasuk Drs. Moh. Hatta,
mendirikan Indische Vereeninging atau yang kemudian berganti nama menjadi Perhimpunan
Indonesia.
Kemudian pada tahun 1928, organisasi-organisasi pemuda yang sifatnya masih
kedaerahan mulai bergabung menjadi satu dan mencetuskan sumpah pemuda pada tanggal 28
Oktober 1928. Para pemuda juga turut andil dalam proses kemerdekaan Indonesia dengan
menculik Ir. Soekarno dan Drs. Moh Hatta ke Rengasdengklok dan mendesak keduanya untuk
segera memproklamirkan kemerdekaan. Kemudian pada tahun 1966 seperti yang telah
disebutkan bahwa mahasiswa tergabung dalam KAMI dibawah pimpinan Zamroni sebagai
delegasi PMII membentuk aksi dengan tuntutannya “TRITURA”. Gerakan ini menjadi gerakan
awal yang diinisiasi mahasiswa setelah kemerdekaan Indonesia, kemudian gerakan ini dikenal
sebagai gerakan mahasiswa angkatan ’66 yang berhasil menggulingkan rezim orde lama dan
terbentuklah rezim orde baru. Kemudian berlanjut pada angkatan selanjutnya yang ternyata
mengalami realitas yang berbeda dengan angkatan sebelumnya. Pada gerakan mahasiswa ’66,
mahasiswa mendapat dukukang dari kekuatan militer sedangkan gerakan mahasiswa selanjutnya
justru mengalami konfrontasi dengan kekuatan militer. Sejak dimulainya orde baru, sudah
banyak kritikan yang diberikan mahasiswa terhadap pemerintahan Soeharto. Mulai dari deklarasi
golput pada pemilu pertama karena Golkar dinilai curang. Kemudian penolakan dibangunnya
Taman Mini Indonesia Indah yang menggusur banyak rakyat kecil. Adapula kritik terhadap
perekonomian karena naiknya harga BBM, serta kasus korupsi. Puncaknya yaitu ada tahun 1974,
ketika mahasiswa menolak investor Jepang Kakuei Tanaka. Penolakan tersebut memunculkan
peristiwa penting bagi gerakan mahasiswa pada tanggal 15 Januari 1974 yang kemudian dikenal
sebagai peristiwa MALARI.
Kritikan mahasiswa terhadap pemerintah terus dilakukan hingga tahun 1977-1978 yang
menyebabkan untuk pertama kalinya kampus-kampus di Indonesia diduduki oleh militer. Upaya
lain rezim orde baru untuk membungkam mahasiswa juga terlihat dari dihapuskannya Dewan
Mahasiswa dan diterapkannya kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK). Konsep ini
mengarahkan mahasiswa untuk berfokus pada kegiatan akademik saja dan menjauhkan
mahasiswa dari aktifitas gerakan yang mengancam posisi rezim saat itu. Pemerintahan Soeharto
juga membuat kebijakan menggantikan Dewan Mahasiswa dengan Badan Koordinasi Kampus
(BKK). Dibentuknya NKK/BKK ini berdampak pada sikap mahasiswa yang semakin apatis
karena hanya disibukkan dengan urusan akademik. Meskipun gerakan mahasiswa masih
dilakukan, namun hanya berskala kecil karena ruang gerak yang sempit. Pada tahun 80-an dan
90-an gerakan mahasiswa mulai mengangkat isu turunnya Soeharto. Hingga puncaknya pada
tahun 1998 terjadi demonstrasi besar-besaran di berbagai daerah di Indonesia, yang
menyebabkan terjadinya peristiwa-peristiwa seperti peristiwa Trisakti, Semanggi dsb. Buah
manis dari gerakan mahasiswa 1998 adalah runtuhnya rezim orde baru dan dimulainya
reformasi.
Pada masa reformasi, sudah tidak ada lagi upaya penyempitan ruang gerak mahasiswa.
Mahasiswa bebas mengekspresikan pendapatnya bahkan menyuarakan kritikannya terhadap
pemerintah. Pada masa ini isu yang berkembang sangat beragam sehingga gerakan mahasiswa
yang terbentuk hanya membidik isu tertentu sehingga sudah jarang ditemukan gerakan
mahasiswa berskala besar. Ditambah lagi dengan berkembangnya zaman, banyak mahasiswa
yang lebih senang menyuarakan kritikannya serampangan di sosial media tanpa adanya
pengorganisasian dan arah gerak yang jelas.
Gerakan mahasiswa berskala besar baru muncul kembali pada tahun 2019, namun
gerakan mahasiswa ini belum bisa dibandingkan dengan gerakan mahasiswa sebelumnya.
Meskipun setiap tahun gerakan mahasiswa memiliki panggung dan rintangannya masing-masing,
namun ada beberapa hal yang diduga menjadi kekurangan dari gerakan mahasiswa saat ini.
Pertama, gerakan mahasiswa sekarang kurang mendapat dukungan dari lapisan masyarakat
lainnya. Mahasiswa belum mampu merangkul masyarakat untuk menjadi bagian dari
gerakannya. Kedua, adanya kepentingan-kepentingan lain yang dibawa sehingga gerakan
mahasiswa tidak murni untuk merespon kebijakan pemerintah. Ketiga, kurangnya kepekaan dan
pemahaman yang kuat terhadap isu-isu yang diangkat. Banyak mahasiswa yang tergabung dalam
massa aksi hanya karena merasa dirinya bagian dari mahasiswa namun tidak cukup paham
dengan tuntutan yang disuarakan. Bebrapa hal tersebut menjadikan gerakan mahasiswa seolah
kehilangan kegarangannya.
Pentingnya mengetahui sejarah gerakan mahasiswa khususnya bagi kader PMII agar
mereka paham perannya sebagai mahasiswa disamping menjadi kader PMII. Adanya peran
ganda tersebut tentu menjadi tantangan tersendiri bagi kader PMII, bagaimana kita bisa
menjadikan keduanya sebagai kolaborasi yang epic. Bagaimana caranya agar PMII tidak hanya
dijadikan identitas, tetapi kita mampu menerapkan pola pikir dan nilai-nilai PMII dalam setiap
gerakan kita sebagai Agen of Change, Iron Stock, dan Agen of Social Control. Untuk itu, maka
pemahaman tentang corak pemikiran dan nilai-nilai gerakan PMII sangat penting untuk
dipahami.
Kedekatan PMII dengan NU salah satunya terlihat dari metode berfikir yang sama, yakni
menggunakan ideologi ahlussunnah wal jama’ah (Aswaja). Aswaja bukanlah sebuah madzhab
melainkan sebuah metode dan prinsip berfikir dalam menghadapi persoalan-persoalan agama
maupun persoalan social-kemasyarakatan. Adapun nilai-nilai Aswaja ialah: Tasawuth (Moderat),
Tasamuh (Toleran), Tawazun (Keseimbangan/Profesionalisme), Ta’addul (Keadilan). Tasamuth
(Moderat) dapat dimaknai sebagai cara pandang yang berdasarkan prinsip dasar sendiri, sehingga
tidak terbawa arus nalar kapitalisme-liberal maupun nalar sosialisme. Tasamuh (Toleran)
diartikan sebagai sikap terbuka, menerima, dan menghargai golongan apapun selagi tujuannya
sama-sama untuk menuju kebenaran. Tawazun (Keseimbangan/Profesionalisme) artinya mampu
menempatkan diri sesuai peran dan tanggung jawab yang diemban. Terakhir, Ta’addul
(Keadilan) merupakan cita-cita PMII dan seluruh umat manusia yang sudah seharusnya
diupayakan bukan hanya mengharap pemberian.
Dalam menentukan arah geraknya, PMII memiliki Nilai Dasar Pergerakan (NDP) yang
berkedudukan sebagai sumber kekuatan ideal moral seorang aktivis pergerakan, dan sebagai
landasan dasar pembenar dalam berfikir, bersikap, dan berperilaku. Harakah NDP dalam PMII
terbagi menjadi 7, yakni:
1. Harakah Islamiyah
Menyebarkan ajaran-ajaran islam yang sesuai dengan ahlussunnah wal jama’ah yang
berlandaskan al-qur’an dan as-sunnah.
2. Harakah Fikriyyah (Intelektual)
Mampu menggunakan akal untuk berfikir sebelum bertindak dan mencerminkan
mahasiswa yang ulil albab (haus akan ilmu).
3. Harakah Sya’biyyah (Kebangsaan)
Memiliki tekad membangun bangsa dan memperjuangkan cita-cita kemerdekaan
bangsa.
4. Harakah Syafaqiyyah (Kebudayaan)
Menjaga dan melestarikan kebudayaan sebagai jati diri bangsa.
5. Harakah Ijtima’iyyah (Sosial)
Mampu berdialektika dan berani menyuarakan kebenaran pendapatnya untuk
membangun sosial sekitarnya (kampus, masyarakat sekitar, dan Negara)
6. Harakah Iqtisyadiyyah (Ekonomi)
Kritis terhadap persoalan perekonomian dan menjadi agen perubahan dalam proses
pemberdayaan masyarakat agar tercapai kesejahteraan yang mandiri.
7. Harakah Hurriyah (Kebebasan)
Secara garis besar, prinsip ini dikenal sebagai Hak Asasi Manusia (HAM).
Diharapkan, kader PMII mampu memperjuangkan hak-haknya dan hak-hak manusia
sekitarnya yang terampas.
Adapun rumusan NDP dalam PMII terbagi menjadi 3, yakni Hablum Min Allah
(hubungan manusia dengan Allah), Hablum Min Annas (hubungan manusia dengan manusia),
dan Hablum Min Alam (hubungan manusia dengan Alam). NDP dijadikan sebagai landasan
dalam bertindak dan berfikir, yang tidak hanya mempertimbangkan ketuhanan belaka, tetapi juga
memperhatikan kemanusiaan dan kelestarian lingkungan yang membentuk kesadaran dan
tanggung jawab.
Jika ahlussunnah wal jama’ah dijadikan metode berfikir secara umum, kemudian NDP
dijadikan landasan awal yang menentukan arah gerakan, maka PMII juga memiliki pisau yang
dijadikan alat untuk menciptakan sebuah gerakan. Metode analisis yang digunakan PMII dalam
menghadapi berbagai macam isu sebelum akhirnya dimanifestasikan dalam bentuk gerakan
inilah yang kemudian disebut sebagai paradigma. Pentingnya paradigma dalam sebuah gerakan,
karena dengan paradigma seseorang akan menemukan sudut pandang yang kemudian
mempengaruhi penyusunan teori, konstruk berfikir, hingga tindakan dan solusi yang akan dipilih.
Berdasarkan sejarahnya, ada 3 jenis paradigma yang pernah diterapkan oleh PMII.
Pertama, paradigma Arus Masyarakat pinggiran, paradigma ini dilatar belakangi oleh kondisi era
90-an dimana otoriterisme pemerintahan sangat kuat. Paradigma ini menegakkan posisi
organisasi yang menarik diri dari Negara dan selanjutnya memperkuat barisan perlawanan rakyat
bersama masyarakat sipil untuk menegakkan demokrasi. Kedua, paradigma Kritis
Transformatif, beberapa alasan dipilihnya paradigma kritis transformatif yakni adanya belenggu
kapitalisme modern, pluralism dalam masyarakat, adanya budaya bisu yang merupakan dampak
lanjutan dari rezim orde baru, pemerintah menggunakan paradigma keteraturan dengan teori
modern yang mengakibatkan PMII mengalami marginalisasi secara hampir sempurna karena
dianggap sebagai wakil masyarakat tradisional, serta karena adanya dogmatisme agama dan
tradisi. Ketiga, paradigma Menggiring Arus yang digunakan tahun 2006-2008, paradigma ini
kental dengan perlawanan frontal baik terhadap Negara maupun terhadap kekuatan kapitalis
internasional. Setelahnya hingga dewasa ini, PMII kembali menggunakan paradigma kritis
transformatif karena dirasa masih relevan dengan kondisi sekarang. Paradigma kritis
transformasif membiasakan pola pikir dalam menganalisa sebuah persoalan dengan
memperhatikan berbagai macam sudut pandang, kemudian meruntutkan permasalahan hingga ke
akar permasalahan, berfikir sedetail mungkin untuk kemudian menemukan solusi yang
menciptakan perubahan.
Selain memahami kerangka berfikir dan nilai-nilai dalam PMII, penting juga untuk kader
memahami ruang lingkup gerakan dari setiap struktur yang ada dalam PMII. Pengurus Besar
(PB) berorientasi pada isu-isu nasional, Pengurus Koordinator Cabang (PKC) berorientasi pada
isu-isu kedaerahan dalam lingkup propinsi. Pengurus Cabang (PC) berorientasi pada isu
kedaerahan dengan lingkup yang lebih kecil ditingkat kabupaten/kota. Pengurus Komisariat (PK)
berorientasi pada isu-isu kampus dan kemahasiswaan. Sedangkan Pengurus Rayon (PR)
berorientasi pada isu yang paling dekat dengan peran mahasiswa. Meskipun begitu, bukan berarti
kader yang masih dalam tingkatan rayon tidak diperbolehkan merespon isu-isu nasional,
akantetapi untuk membentuk sebuah perubahan, masih belum pada ranahnya. Pengurus Rayon
sebagai garda terdepan dalam pengkaderan juga bertugas untuk mencetak kader PMII yang
berkualitas.
Dalam kepengurusan baru Rayon Pondok Syahadat, disepakati adanya pembatasan isu
seputar pendidikan. Dengan adanya pembatasan isu tersebut diharapkan arah gerakan akan lebih
terarah dan tujuan yang dicitakan akan lebih mudah direalisasikan. Dipilihnya isu pendidikan ini
didasari oleh beberapa alasan antara lain, karena isu pendidikan merupakan isu yang paling dekat
dengan mahasiswa, kemudian melihat kondisi pendidikan saat ini yang seolah hanya menjadi
komoditas untuk mendapatkan ijazah, belum lagi kapitalisme dalam pendidikan yang belum juga
usai. Isu pendidikan juga menjadi sasaran apik untuk dibidik karena melihat kondisi kader saat
ini yang masih belum cukup kuat dalam bidang literasi dan wacana kritis.
Untuk gagasannya sendiri, pengurus baru Rayon Pondok Sahadat sepakat mengusung
gagasan “Optimalisasi Gerakan”. Gagasan ini tentunya didasari oleh keresahan selama menjadi
kader awal maupun kader tengah. Selama ini, pendekatan terhadap kader dirasa belum cukup
optimal dan kurang sesuai dengan kebutuhan kader. Kader awal yang berasal dari berbagai latar
belakang yang berbeda, justru menerima pendekatan yang sama yang belum tentu sesuai dan
dapat diterima dengan baik oleh masing-masing kader. Hal inilah yang kemudian menimbulkan
perasaan bahwa “PMII bukan tempat yang tepat bagi saya,” sehingga tidak adanya sikap militan
dalam diri kader. Generalisasi pendekatan yang dilakukan rayon hanya seputar perpolitikan
kampus dan literasi yang itupun tidak jelas outputnya. Permasalahan lainnya yang kemudian
muncul adalah pandangan calon kader yang menganggap PMII hanya sebagai jalan menuju
jabatan dalam perpolitikan kampus. Apabila hal tersebut terus menerus dibiarkan maka gerakan
PMII akan kembali pada awal PMII lahir, yakni hanya seputar politik praktis. Tanpa disadari,
dibalik kekuasaannya PMII membentuk citra buruk bagi dirinya sendiri, membiarkan pihak lain
menilai bahwa PMII hanya haus akan jabatan dan kekuasaan.
Selain perpolitikan, yang juga menjadi sorotan adalah budaya literasi yang hanya seputar
membaca dan menulis dan belum mampu menjadi kekuatan bagi gerakan PMII sendiri.
Membaca, tanpa perlu berdebat panjang kami semua sepakat bahwa itu adalah hal wajib sebagai
sumber keilmuan. Tetapi meminta semua orang membaca dengan porsi yang sama dan mendapat
pemahaman yang sama adalah kesalahan. Setiap orang memiliki kapasitas yang berbeda dalam
kecepatan membaca dan kemampuan menangkap isi bacaan, itu sebabnya seringkali muncul
nama-nama yang terlihat superior dibandingkan yang lainnya. Hal ini memicu permasalahan lain
lagi, yakni adanya ketimpangan yang kentara antar masing-masing kader dan tumbuhnya rasa
tidak percaya diri dan perasaan tidak berguna yang menjadi indikasi dari hilangnya kader satu-
persatu. Begitupula dengan budaya menulis, tidak semua orang mampu menguraikan pemikiran
dan pemahamannya menjadi deretan kata yang kemudian mampu memahamkan orang lain.
Penempatan kader yang tidak sesuai pada passionnya mengantarkan mereka pada proses
berorganisasi yang setengah hati, dan tentu berdampak terhadap gerakan organisasi itu sendiri.
Belum lagi kondisi pandemi saat ini yang menghambat kegiatan-kegiatan Rayon yang sudah
dipersiapkan juah-jauh hari.
Dari semua uraian diatas, maka gagasan mengenai optimalisasi gerakan ini dimunculkan.
Harapannya, Rayon mampu melakukan pendekatan terhadap kader dengan mempertimbangkan
latar belakang dan passion kader serta mampu memberikan ruang bagi kemampuan yang dimiliki
kader untuk kemudian diarahkan pada terciptanya gerakan yang lebih beragam dengan tidak
mengabaikan nilai-nilai PMII. PMII merupakan organisasi ideologi dimana inteluaktualitas
merupakan hal terpenting, sepakat!. Tetapi apabila mengingat nasehat dari K.H Dr. Idham
Khalid sebelum PMII berdiri, “agar ilmu yang dimiliki mahasiswa harus diamalkan untuk
kepentingan rakyat, dan bukan ilmu sekedar ilmu”. Setelah kader memiliki intelektual yang
mumpuni, lalu apa? Tidak adanya pengarahan yang tepat akan menjadikan potensi yang ada
sirna begitu saja. Kami mengharapkan adanya optimalisasi dibidang lain disamping
pengoptimalisasian dibidang intelektual. Misalkan seorang kader memiliki passion dalam bidang
seni musik, selain membekali ia dengan pengetahuan, rayon juga mampu mengarahkan ia untuk
menciptakan gerakan dengan cara baru, seperti para seniman yang melontarkan kritikannya
dengan musik.
Dengan penggambaran tersebut, bukan berarti kami mengamini PMII menjadi organisasi
yang mewadahi minat dan bakat layaknya UKM pada umumnya. Yang menjadi pembeda disini
adalah, kami mengidentifikasi passion mereka, mewadahinya, dan kemudian mengarahkannya
menjadi bentuk gerakan. Misalkan seorang kader memiliki passion dibidang sastra, kami tidak
akan membiarkan kader memanfaatkan fasilitas kami hanya untuk menuangkan emosinya seperti
Boy Chandra, tetapi kami ingin menjadikan kader yang memanfaatkan fasilitas kami untuk
menuangkan kritikan dan pendapatnya seperti Pramoedya. Penjabaran yang sedikit
didramatisasi, tapi begitulah kira-kira harapan kami.
Satu hal yang perlu digaris bawahi lagi adalah, optimalisasi yang kami maksud tidak
memiliki arti sempit hanya sebatas pelatihan-pelatihan. Optimalisasi yang kami maksud adalah
upaya yang kami lakukan untuk menemukan solusi-solusi dari berbagai keterbatasan yang ada.
Dengan menggunakan paradigma kritis transformatif, kami berharap kader PMII mampu
membedah permasalahan atau keterbatasan yang dihadapinya dan mampu merumuskan
perubahan dengan cara-cara yang lebh variatif. PMII saat ini tidak sedang menggunakan
paradigma Menggiring Arus, dan Konfrontasi bukan satu-satunya jalan menuju perubahan.

SEMANGAT JAWARA !!!! I LOVE YOU ☺

Anda mungkin juga menyukai