Anda di halaman 1dari 14

ejarah Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah[sunting | sunting

sumber]
Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) adalah gerakan Mahasiswa Islam yang beraqidah Islam
bersumber Al-Qur’an dan As-Sunah. IMM didirikan pada tanggal 29 Syawal 1384 H bertepatan
dengan tanggal 14 Maret 1964 M di Yogyakarta untuk waktu yang tidak terbatas.

Kelahiran IMM tidak lepas kaitannya dengan sejarah perjalanan Muhammadiyah, dan juga bisa dianggap
sejalan dengan faktor kelahiran Muhammadiyah itu sendiri. Hal ini berarti bahwa setiap hal yang dilakukan
Muhammadiyah merupakan perwujudan dari keinginan Muhammadiyah untuk memenuhi cita-cita sesuai
dengan kehendak Muhammadiyah dilahirkan.

Di samping itu, kelahiran IMM juga merupakan respond atas persoalan-persoalan keummatan dalam
sejarah bangsa ini pada awal kelahiran IMM, sehingga kehadiran IMM sebenarnya merupakan sebuah
keharusan sejarah. Faktor-faktor problematis dalam persoalan keummatan itu antara lain ialah sebagai
berikut (Farid Fathoni, 1990: 102):

1. Situasi kehidupan bangsa yang tidak stabil, pemerintahan yang otoriter dan serba tunggal, serta
adanya ancaman komunisme di Indonesia.
2. Terpecah-belahnya umat Islam datam bentuk saling curiga dan fitnah, serta kehidupan
politikummat Islam yang semakin buruk.

3. Terbingkai-bingkainya kehidupan kampus (mahasiswa) yang berorientasi pada kepentingan politik


praktis

4. Melemahnya kehidupan beragama dalam bentuk merosotnya akhlak, dan semakin tumbuhnya
materialisme-individualisme

5. Sedikitnya pembinaan dan pendidikan agama dalam kampus, serta masih kuatnya suasana
kehidupan kampus yang sekuler

6. Masih membekasnya ketertindasan imperialisme penjajahan dalam bentuk keterbelakangan,


kebodohan, dan kemiskinan

7. Masih banyaknya praktik-praktik kehidupan yang serba bid'ah, khurafat, bahkan kesyirikan, serta
semakin meningkatnya misionaris-Kristenisasi

8. Kehidupan ekonomi, sosial, dan politik yang semakin memburuk Dengan latar belakang tersebut,
sesungguhnya semangat untuk mewadahi dan membina mahasiswa dari kalangan
Muhammadiyah telah dimulai sejak lama. Semangat tersebut sebenarnya telah tumbuh dengan
adanya keinginan untuk mendirikan perguruan tinggi Muhammadiyah pada Kongres Seperempat
Abad Muhammadiyah di Betawi Jakarta pada tahun 1936. Pada saat itu, Pimpinan Pusat
Muhammadiyah diketuai oleh KH. Hisyam (periode 1934-1937). Keinginan tersebut sangat logis
dan realistis, karena keluarga besar Muhammadiyah semakin banyak dengan putera-puterinya
yang sedang dalam penyelesaian pendidikan menengahnya. Di samping itu,Muhammadiyah juga
sudah banyak memiliki amal usaba pendidikan tingkat menengah.

Gagasan pembinaan kader di lingkungan mahasiswa datam bentuk penghimpunan dan pembinaan
langsung adatah selaras dengan kehendak pendiri Muhammadiyah, KHA. Dahlan, yang berpesan bahwa
dari kallan nanti akan ada yang jadi dokter, meester, insinyur, tetapi kembalilah kepada Muhammadiyah
(Suara Muhammadiyah, nomor 6 tahun ke-68, Maret || 1988, halaman 19). Dengan demikian, sejak awal
Muhammadiyah sudah memikirkan bahwa kader-kader muda yang profesional harus memiliki dasar
keislaman yang tangguh dengan kembali ke Muhammadiyah.

Namun demikian, gagasan untuk menghimpun dan membina mahasiswa di lingkungan Muhammadiyah
cenderung terabaikan, tantaran Muhammadiyah sendiri belum memiliki perguruan tinggi. Belum
mendesaknya pembentukan wadah kader di lingkungan mahasiswa Muhammadiyah saat itu juga karena
saat itu jumlah mahasiswa yang ada di lingkungan Muhammadiyah betum terialu banyak. Dengan
demikian, pembinaan kadermahasiswa Muhammadiyah dilakukan melalui wadah Pemuda Muhammadiyah
(1932) untuk mahasiswa putera dan metalui Nasyiatul Aisyiyah (1931) untuk mahasiswa puteri.

Pada Muktamar Muhammadiyah ke-31 pada tahun 1950 di Yogyakarta, dihembuskan kembali keinginan
untuk mendirikan perguruan tinggi Muhammadiyah. Namun karena berbagai macam hat, keinginan
tersebut belum bisa diwujudkan,sehingga gagasan untuk dapat secara langsung membina dan
menghimpun para mahasiswa dari kalangan Muhammadiyah tidak berhasil Dengan demikian, keinginan
untuk membentuk wadah bagi mahasiswa Muhammadiyah juga masih jauh dari kenyataan.

Pada Muktamar Muhammadiyah ke-33 tahun 1956 di Palembang, gagasan pendirian perguruan tinggi
Muhammadiyah baru bisa direalisasikan. Namun gagasan untuk mewadahi mahasiswa Muhammadiyah
dalam satu himpunan belum bias diwujudkan. Untuk mewadahi pembinaan terhadap mahasiswa dari
kalangan Muhammadiyah, maka Muhammadiyah membentuk Badan Pendidikan Kader (BPK) yang dalam
menjalankan aktivitasnya bekerja sama dengan Pemuda Muhammadiyah.

Gagasan untuk mewadahi mahasiswa dari kalangan Muhammadiyah dalam satu himpunan setidaknya
telah menjadi polemik di lingkungan Muhammadiyah sejak lama. Perdebatan seputar kelahiran Ikatan
Mahasiswa Muhammadiyah berlangsung cukup sengit, baik di kalangan Muhammadiyah sendiri maupun
di kalangan gerakan mahasiswa yang lain. Setidaknya, kelahiran IMM sebagai wadah bagi mahasiswa
Muhammadiyah mendapatkan resistensi, baik dari kalangan Muhammadiyah sendiri maupun dari kalangan
gerakan mahasiswa yang lain, terutama Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Di kalangan Muhammadiyah
sendiri pada awal munculnya gagasan pendirian IMM terdapat anggapan bahwa IMM belum dibutuhkan
kehadirannya dalam Muhammadiyah, karena Pemuda Muhammadiyah dan Nasyi'atul Aisyiyah masih
dianggap cukup mampu untuk mewadahi mahasiswa dari kalangan Muhammadiyah.

Di samping itu, resistensi terhadap ide kelahiran IMM pada awalnya juga disebabkan adanya hubungan
dekat yang tidak kentara antara Muhammadiyah dengan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Hubungan
dekat itu dapat ditihat ketika Lafran Pane mau menjajagi pendirian HMI. Dia bertukar pikiran dengan Prof.
Abdul Kahar Mudzakir (tokoh Muhammadiyah), dan dia setuju. Pendiri HMI yang lain ialah Maisarah Hilal
(cucu KHA. Dahlan) yang juga seorang aktivis di Nasyi'atul Aisyiyah.

Bila asumsi itu benar adanya, maka hubungan dekat itu selanjutnya sangat mempengaruhi perjalanan
IMM, karena dengan demikian Muhammadiyah saat itu beranggapan bahwa pembinaan dan
pengkaderan mahasiswa Muhammadiyah bisa dititipkan metalui HMI (Farid Fathoni, 1990: 94). Pengaruh
hubungan dekat tersebut sangat besar bagi kelahiran IMM. Hal ini bisa dilihat dari perdebatan tentang
kelahiran IMM. Pimpinan Muhammadiyah di tingkat lokal seringkali menganggap bahwa kelahiran IMM
saat itu tidak diperlukan, karena sudah terwadahi dalam Pemuda Muhammadiyah dan Nasyi'atul Aisyiyah,
serta HMI yang sudah cukup eksis (dan mempunyai pandangan ideologis yang sama). Pimpinan
Muhammadiyah pada saat itu lebih menganak- emaskan HMI daripada IMM. Hal ini terlihat jelas dengan
banyaknya pimpinan Muhammadiyah, baik secara pribadi maupun kelembagaan, yang memberikan
dukungan pada aktivitas HMI. Di kalangan Pemuda Muhammadiyah juga terjadi perdebatan yang cukup
sengit seputar kelahiran IMM. Perdebatan seputar kelahiran IMM tersebut cukup beralasan, karena
sebagian pimpinan (baik di Muhammadiyah, Pemuda Muhammadiyah, Nasyi'atul Aisyiyah, serta amal-
amal usaha Muhammadiyah) adalah kader-kader yang dibesarkan di HMI.

Setelah mengalami polemik yang cukup serius tentang gagasan untuk mendirikan IMM, maka pada tahun
1956 polemik tersebut mulai mengalami pengendapan. Tahun 1956 bisa disebut sebagai tahap awal bagi
embrio operasional pendirian IMM dalam bentuk pemenuhan gagasan penghimpun wadah mahasiswa di
lingkungan Muhammadiyah (Farid Fathoni, 1990: 98). Pertama, pada tahun itu (1956) Muhammadiyah
secara formal membentuk kader terlembaga (yaitu BPK). Kedua, Muhammadiyah pada tahun itu telah
bertekad untuk kembali pada identitasnya sebagai gerakan Islam dakwah amar ma'ruf nahi munkar (tiga
tahun sesudahnya, 1959, dikukuhkan dengan melepaskan diri dari komitmen politik dengan Masyumi, yang
berarti bahwa Muhammadiyah tidak harus mengakui bahwa satu-satunya organisasi mahasiswa Islam di
Indonesia adalah HMI). Ketiga, perguruan tinggi Muhammadiyah telah banyak didirikan. Keempat,
keputusan Muktamar Muhammadiyah bersamaan Pemuda Muhammadiyah tahun 1956 di Palembang
menghimpun pelajar dan mahasiswa Muhammadiyah agar kelak menjadi pemuda Muhammadiyah atau
warga Muhammadiyah yang mampu mengembangkan amanah.
Baru pada tahun 1961 (menjelang Muktamar Muhammadiyah Setengah Abad di Jakarta) selenggarakan
Kongres Mahasiswa Universitas Muhammadiyah di Yogyakarta (saat itu, Muhammadiyah sudah
mempunyai perguruan tinggi Muhammadiyah sebelas buah yang tersebar di berbagai kota). Pada saat
itulah, gagasan untuk mendirikan IMM digulirkan sekuat-kuatnya. Keinginan tersebut ternyata tidak hanya
dari mahasiswa Universitas Muhammadiyah, tetapi juga dari kalangan mahasiswa di berbagai universitas
non-Muhammadiyah. Keinginan kuat tersebut tercermin dari tindakan para tokoh Pemuda Muhammadiyah
untuk melepaskan Departemen Kemahasiswaan di lingkungan Pemuda Muhammadiyah untuk berdiri
sendiri. Oleh karena itu, lahirlah Lembaga Dakwah Muhammadiyah yang dikoordinasikan oleh Margono
(UGM, Ir.), Sudibyo Markus (UGM, dr.), Rosyad Saleh (IAIN, Drs.), sedangkan ide pembentukannya dari
Djazman al-Kindi (UGM,Drs.).

Tahun 1963 dilakukan penjajagan untuk mendirikan wadah mahasiswa Muhammadiyah secara resmi oleh
Lembaga Dakwah Muhammadiyah dengan disponsori oleh Djasman al-Kindi yang saat itu menjabat
sebagai Sekretaris Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah. Dengan demikian, Lembaga Dakwah
Muhammadiyah (yang banyak dimotori oleh para mahasiswa Yogyakarta) inilah yang menjadi embrio
lahirnya IMM dengan terbentuknya IMM Lokal Yogyakarta.

Tiga butan setelah penjajagan, Pimpinan Pusat Muhammadiyah meresmikan berdirinya Ikatan Mahasiswa
Muhammadiyah pada tanggal 29 Syawal 1384 H atau 14 Maret 1964 M. Penandatanganan Piagam
Pendirian Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah dilakukan Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah saat itu,
yaitu KHA Badawi. Resepsi peresmian IMM dilaksanakan di Gedung Dinoto Yogyakarta dengan
penandatanganan 'Enam Penegasan IMM' oleh KHA. Badawi, yaitu:

1. Menegaskan bahwa IMM adalah gerakan mahasiswa Islam.


2. Menegaskan bahwa Kepribadian Muhammadiyah adalah landasan perjuangan IMM

3. Menegaskan bahwa fungsi IMM adalah eksponen mahesiswa dalam Muhammadiyah

4. Menegaskan bahwa IMM adalah organisasi mahasiswa yang sah dengan mengindahkan segala
hukum, undang-undang, peraturan, serta dasar dan falsafah negara

5. Menegaskan bahwa ilmu adalá amaliah dan amal adalah ilmiah

6. Menegaskan bahwa amal WJA aMah lillahi ta'ala dan senantiasa diabdWan untuk kepentingan
rakyat.

Tujuan akhir kehadiran Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah untuk pertama kalinya ialah
membentuk akademisi Islam datam rangka metaksanakan tujuan Muhammadiyah. Sedangkan aktivitas
IMM pada awal kehadirannya yang paling menonjol ialah kegiatan keagamaan dan pengkaderan, sehingga
seringkali IMM pada awal kelahirannya disebut sebagai Kelompok Pengajian Mahasiswa Yogya (Farid
Fathoni, 1990: 102).

Adapun maksud didirikannya Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah antara lain adatah sebagai berikut :

1. Turut memelihara martabat dan membela kejayaan bangsa


2. Menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam

3. Sebagai upaya menopang, melangsungkan, dan meneruskan

4. cita-cita pendirian Muhammadiyah Sebagai pelopor, pelangsung, dan penyempurna amal usaha
Muhammadiyah

5. Membina, meningkatkan, dan memadukan iman dan ilmu serta amal dalam kehidupan bangsa,
ummat, dan persyarikatan.

Dengan berdirinya IMM lokal Yogyakarta, maka berdiri pulalah IMM lokal di beberapa kota lain di
Indonesia, seperti Bandung, Jember, Surakarta, Jakarta, Medan, Padang, Tuban, Sukabumi, Banjarmasin,
dan lain-lain. Dengan demikian, mengingat semakin besarnya arus perkembangan IMM di hampir seluruh
kota-kota universitas, maka dipandang perlu untuk meningkatkan IMM dari organisasi di tingkat lokal
menjadi organisasi yang berskala nasional dan mempunyai struktur vertikal.

Atas prakarsa Pimpinan IMM Yogyakarta, maka bersamaan dengan Musyawarah IMM se-Daerah
Yogyakarta pada tanggal 11-13 Desember 1964 diselenggarakan Musyawarah Nasional Pendahuluan IMM
seluruh Indonesia yang dihadiri oleh hamper seluruh Pimpinan IMM Lokal dari berbagai kota. Musyawarah
Nasional tersebut bertujuan untuk mempersiapkan kemungkinan diselenggarakannya Musyawarah
Nasional Pertama Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah pada bulan April atau Mei 1965. Musyawarah
Nasional Pendahuluan tersebut menyepakati penunjukan Pimpinan IMM Yogyakarta sebagai Dewan
Pimpinan Pusat Sementara IMM (dengan Djazman al-Kindi sebagai Ketua dan Rosyad Saleh sebagai
Sekretaris) sampai diselenggarakannya Musyawarah Nasional Pertama di Solo.

Dalam Musyawarah Pendahuluan tersebut juga disahkan asas IMM yang tersusun dalam 'Enam
Penegasan IMM', Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga IMM, Gerak Arah IMM, serta berbagai
konsep lainnya, termasuk lambang IMM, rancangan kerja, bentuk kegiatan, dan lain-lain.

Prinsip Dasar Organisasi[sunting | sunting sumber]


Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah adalah gerakan mahasiswa Islam yang bergerak di bidang keagamaan,
kemasyarakatan, dan kemahasiswaan. Tujuan IMM adatah mengusahakan terbentuknya akademisi Islam
yang berakhlak mulia dalam rangka mencapai tujuan Muhammadiyah.

Dalam mencapai tujuan tersebut, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah melakukan beberapa upaya
strategis sebagai berikut :

1. Membina para anggota menjadi kader persyarikatan Muhammadiyah, kader umat, dan kader
bangsa, yang senantiasa setia terhadap keyakinan dan cita-citanya.
2. Membina para anggotanya untuk selalu tertib dalam ibadah, tekun dalam studi, dan mengamalkan

3. ilmu pengetahuannya untuk melaksanakan ketaqwaannya dan pengabdiannya kepada allah SWT.

4. Membantu para anggota khusus dan mahasiswa pada umumnya dalam menyelesaikan
kepentingannya.

5. Mempergiat, mengefektifkan dan menggembirakan dakwah Islam dan dakwah amar ma'ruf nahi
munkar kepada masyarakat khususnya masyarakat mahasiswa.

6. Segala usaha yang tidak menyalahi asas, gerakan dan tujuan organisasi dengan mengindahkan
segala hukum yang berlaku dalam Republik Indonesia.

Sejarah Berdirinya IMM (IKatan Mahasiswa Muhammadiyah)


Sejarah Berdirinya Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah merupakan bagian
dari AMM (Angkatan Muda Muhammadiyah) yang merupakan organisasi otonom di bawah Muhammadiyah.

Sesungguhnya ada dua faktor integral yang melandasi kelahiran Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, yaitu faktor
intem dan fakor ekstem. Faktor intem dimaksudkan yaitu faktor yang terdapat didalam diri Muhammadiyah itu
sendiri, sedangkan fakor ekstern adalah faktor yang berawal dari luar Muhammadiyah, khususnya umat Islam di
Indonesia dan pada umumnya apa yang terjadi di Indonesia.

Faktor intern, sebenarnya lebih dominan dalam bentuk motivasi idealismse, yaitu motif untuk mengembangkan
ideologi Muhammadiyah, yaitu faham dan cita cita Muhammadiyah. Sebagaimana kita ketahui bahwa
Muhammadiyah pada hakekatnya adalah sebuah wadah organisasi yang punya cita-cita atau tujuan yakni
menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam, sehingga terwujud masyarakat utama, adil dan makmur yang
diridloi oleh Allah SWT. Hal ini termaktub dalam AD Muhammadiyah Bab II pasal 3. dan dalam merefleksikan
cita-citanya ini, Muhammadiyah mau tidak mau harus bersinggungan dengan masyarakat bawah (jelata) atau
masyarakat heterogen. Ada masyarakat petani, pedagang, peternakan dan masyarakat padat karya dan ada
masyarakat administratif dan lain sebagainya yang juga termasuk didalamnya masyarakat kampus atau
intelektual yaitu Masyarakat Mahasiswa.

Persinggungan Muhammadiyah dalam maksud dan tuiuannya, terutama terhadap masyarakat mahasiswa,
secara teknisnya bukan secara langsung terjun mendakwahi dan mempengaruhi mahasiswa yang berarti orang-
orang Mahasiswa, khususnya para mubalighnya yang langsung terjun ke mahasiswa. Tapi dalam hal ini
Muhammadiyah memakai teknis yang jitu yaitu dengan menyediakan yang memungkinkan menarik animo atau
simpati mahasiswa untuk memakai fasilitas yang telah disiapkan.

Pada mulanya para mahasiswa yang bergabung atau yang mengikuti jejak-jejak Muhammadiyah oleh
Muhammadiyah dianggapnya cukup bergabung dalam organisasi otonom yang ada dalam Muhammadiyah,
seperti Pemuda Muhammadiyah (PM) Yang diperuntukkan pada mahasiswa dan Nasyi'atul Aisyiyah (NA) untuk
mahasisiwi yang lahir pada 27 Dzulhijjah 1349 H dan Pemuda pada tanggal 25 Dzulhiijjah 1350 H.

Anggapan Muhammadiyah tersebut lahir pada saat-saat Muhammadiyah bermuktamar ke-25 di Jakarta pada
tahun 1936 Yang pada saat itu dihembuskan pula cita-cita besar Muhammadiyah untuk mendirikan Perguruan
Tinggi Muhammadiyah (PTM) dan pada saat itu pula Pimpinan Pusat (PP) Yang dipegang oleh KH. Hisyam
(periode 1933-1937). Dan pada dikatakan bahwa anggapan dan pemikiran mengenai perlunya menghimpun
mahasiswa yang sehaluan dengan Muhammadiyah yaitu sejak konggres ke-25 tersebut.

Namun demikian keinginan untuk menghimpun dan membina mahasiswa Muhammadiyah pada saat itu masih
vakum, karena pada waktu itu Muhammadiyah masih belum memiliki Perguruan Tinggi seperti yang
diinginkannya sehingga para mahasiswa yang berada di Perguruan Tinggi lain baik negeri ataupun swasta yang
sudah ada pada waktu itu secara ideologi tetap berittiba' pada Muhammadiyah dalam kondisi tetap mereka
harus mau bergabung dengan PM, NA ataupun Hizbul Wathon (HW). Pada perkembangan keberadaan mereka
yang berada dalam ketiga organisasi otonom tersebut merasa perlu adanya perkumpulan khusus mahasiswa
yang secara khusus anggotanya terdiri dari mahasiswa Islam. Alternatif yang mereka pilih yaitu bergabung
dalam Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Bahkan ada image waktu itu yang menyatakan bahwa HMI adalah
anak Muhammadiyah yang diberi tugas khusus untuk membawa mahasiswa dalam misi dan visi yang dimiliki
oleh Muhammadiyah, karena waktu itu ditubuh HMI sendiri dipegang oleh tokoh-tokoh Muhammadiyah yang
secara aktif mengelola HMI.

Pada waktu itu Muhammadiyah secara kelembagaan turut mengelolai HMI baik dari segi moral ataupun
material, sampai belakangan ini menurut data-data yang ada di PP Muhammadiyah menyatakan bahwa
Muhammadiyah (terutama PTM dan RS Sosial) secara materiil turut membiayai hampir setiap aktifitas HMI
baik mulai dari tingkat konggres sampai aktifitas sehari -hari. Disinilah sekali lagi bukan HMI yang turut
menelorkan tokoh-tokoh Muhammadiyah tapi sebaliknya bahwa Muhammadiyah yang dulu ikut aktif
membesarkan HMI. Mengapa hal itu dilakukan? Jawabannya seperti dikemukakan diatas, yaitu bahwa HMI
diharapkan akan tetap konsisten dengan faham keagamaan yang diilhami oleh Muhammadiyah. Namun pada
perkermbangannya dahulu mengalami perubahan-perubahan khususnya dalam independensi diinginkan oleh
Muhammadiyah oleh Muhammadiyah lebih cenderung liberal dalam segala dalam segala aliran yang ada dalam
teologi Islam boleh mewarnai tubuh HMI aliran-aliran Asy'ariyah (cenderung menghidupkan kembali sunnah-
sunnah rosul), aliran syi'ah (yang cenderung mengkultuskan syaidina Ali bin Abi Tholib r.a), Mu'tazilah,
nasionalisme, sekularisme, pluralisme lainnya. Sementara dalam Muhammadiyah tidaklah independensi
Muhammadiyah ditekankan pada berpendapat namun masih dalam konteks wacana Islam masih tetap
berideologi Al-quran dan As-sunnah dalam Muhammadiyah tidak mengenal madzab-madzab yang ada seperti
madzab Syafi`i, Hambali dan Maliki.

Melihat fenomena diatas, HMI yang kian melesat kealam berideologi tersebut maka dengan diplomasinya pihak
PP Muhammadiyah mengeluarkan suatu policy atau kebijakan yaitu menyelamatkan kader-kader
Muhammadiyah yang masih berada dijenjang pendidikan menengah atau Pendidikan Tinggi.

Pada tanggal 18 Nopember 1955 keinginan Muhammadiyah untuk mendirikan PTM ini, PP Muhammadiyah
melalui struktur kepemimpinannya membentuk departemen pelajar dan mahasiswa yang menampung aspirasi
aktif dari para pelajar dan mahasiswa.

Maka pada saat Muktamar Pemuda Muhammadiyah pertama di Palembang tahun 1956 di dalam keputusannya
menetapkan langkah ke depan Pemuda Muhammadiyah tahun 1956-1959 dan dalam langkah ini ditetapkan pula
usaha untuk menghimpun pelajar dan mahasiswa Muhammadiyah agar kelak menjadi pemuda Muhammadiyah
atau warga Muhammadiyah yang mampu mengemban amanah.
Untuk lebih merealisasikan usaha PP Pemuda Muhammadiyah tersebut maka lewat KOPMA (Konferensi
Pimpinan Daerah Muhammadiyah) se-Indonesia pada tanggal 5 Shafar 1381/18 Juli 1962 di Surakarta,
memutuskan untuk mendirikan IPM (Ikatan Pelajar Muhammadiyah). PP Pemuda Muhammadiyah pada saat
KONPIDA ini masih belum berhasil melahirkan organisasi khusus Mahasiswa Muhammadiyah. Pada saat itu
nasib boleh duduk dalam kepengurusan IPM.

Sehubungan dengan semakin berkembangnya PTM yang dirintis oleh Fakultas Hukum Dan Filsafat di Padang
Panjang yang berdiri pada tanggal 18 Nofember 1955 namun karena peristiwa pemberontakan PRRI kedua
fakultas tersebut vakum, kemudian berdiri di Jakarta PT Pendidikan guru yang kemudian berganti nama
menjadi IKIP. Pada tahun 1958 dirintis fakultas serupa di Surakarta, di Yogyakarta berdiri akademi Tabligh
Muhammadiyah dan di Jakarta berdiri pula FIS (Fakultas Ilmu Sosial) yang sekarang UMJ. Karena semakin
berkembangnya PTM-PTM yang sudah ada maka pada tahun 1960-an ide-ide untuk menangani khusus
mahasiswa Muhammadiyah semakin kuat.

PP Pemuda Muhammadiyah yang oleh PP Muhammadiyah dan Muktamar ke-I di Palembang (1956) dibebani
tugas untuk menampung aspirasi aktif para Mahasiswa Muhammadiyah, segera membentuk Study Group yang
khusus Mahasiswa yang berasal dari Malang, Yogyakarta, Bandung, Surabaya, Padang, Ujung Pandang dan
Jakarta. Menjelang Muktamar Muhammadiyah setengah abad di Jakarta tahun 1962 mengadakan kongres
Mahasiswa Muhammadiyah di Yogyakarta dan dari kongres ini semakin santer upaya para tokoh Pemuda untuk
melepaskan Departemen Kemahasiswaan untuk berdiri sendiri. Pada 15 Desember 1963 mulai diadakan
pejajagan dengan didirikannya Dakwah mahasiswa yang dikoordinir oleh : Ir. Margono, Dr. Sudibjo Markoes
dan Drs. Rosyad Saleh. Ide pembentukan ini berasal dari Drs. Moh. Djazman yang waktu itu sebagai Sekretaris
PP Pemuda Muhammadiyah. Dan sementara itu desakan agar segera membentuk organisasi khusus mahasiswa
dari berbagai kota seperti Jakarta dengan Nurwijo Sarjono MZ. Suherman, M. yasin, Sutrisno Muhdam, PP
Pemuda Muhammadiyah dll-nya.

Akhirnya dengan restu PP Muhammadiyah waktu itu diketuai oleh H.A. Badawi, dengan penuh bijaksana dan
kearifan mendirikan organisasi yang khusus untuk Mahasiswa Muhammadiyah yang diketuai oleh Drs. Moh.
Djazman sebagai koordinator dengan anggota M. Husni Thamrin, A. Rosyad Saleh, Soedibjo Markoes, Moh.
Arief dll.

Jadi Pendiri Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah dan pencetus nama IMM adalah Drs. Moh. Djazman Al-kindi
yang juga merupakan koordinator dan sekaligus ketua pertama. Muktamar IMM yang pertama pada 1-5 Mei
1965 di kota Barat, Solo dengan menghasilkan deklarasi yang dibawah ini

1. IMM adalah gerakan Mahasiswa Islam


2. Kepribadian Muhammadiyah adalah Landasan perjuangan IMM

3. Fungsi IMM adalah sebagai eksponen mahasiswa dalam Muhammadiyah (sebagai stabilisator dan
dinamisator).

4. Ilmu adalah amaliah dan amal adalah Ilmiah IMM.

5. IMM adalah organisasi yang syah-mengindahkan segala hukum, undang-undang, peraturan dan falsafah
negara yang berlaku.

6. Amal IMM dilakukan dan dibaktikan untuk kepentingan agama, nusa dan bangsa.
Selanjutnya yang juga termasuk faktor intem dalam melahirkan IMM adanya motivasi etis dikalangan keluarga
Muhammadiyah. Dalam upaya mewujudkan maksud dan tujuan Muhammadiyah baik yang berada di struktural
ataupun diluar dan simpatisan, baik yang berekonomi atas, menengah ataupun bawah harus dapat memahami
dan mengetahui Muhammadiyah secara general ataupun secara spesifik sehingga tidak muncul kader-kader
Muhammadiyah yang radikal (berwawasan sempit). Penegasan motivasi etis ini sebenarnya merupakan
interpretasi (pemahaman) dari firman Allah SWT. dalam QS. Al-Imran:104 dan diharapkan kader-kader
Muhammadiyah yang khusunya IMM dapat merealisaasikan motivasi etis diantaranya dengan melakukan
dakwah amar ma`ruf nahi munkar, Fastabiqul Khoirot (berlomba-lomba dalam kebajikan & demi kebaikan).

Faktor Ekstern, yaitu sebagaimana yang tersebut diatas baik yang terjadi ditubuh umat Islam sendiri ataupun
yang terjadi dalam sejarah pergolakan bangsa Indonesia, yang terjadi dimasyarakat Indonesia pada zaman
dahulu hingga sekarang adalah sama saja, yaitu kebanyakan mereka masih mengutamakan budaya nenek
moyang yang mencerminkan aktifitas sekritistik dan bahkan anemistik yang bertolak belakang dengan ajaran
Islam murni khususnya dan tidak lagi sesuai dengan perkembangan zaman. Hal semacam ini memunculkan
signitifitasi (bias) yang begitu besar, utamanya pada kalangan mahasiswa Yang memiliki kebebasan akademik
dan Seharusnya memiliki pola pikir yang jauh, namun karena dampak budaya masyarakat yang demikian
membumi, mereka akan menjadi jumud dan mengalami kemunduran.

Pergolakan OKP (Organisasi Kemasyarakatan Pemuda) atau Organisasi Mahasiswa periode 50 sampai 65-'an
terlihat menemui jalan buntu untuk mempertahankan indpendensi mereka dan partisipasi aktif dalam pasca
Proklamasi (era kemerdekaan) RI. hal ini terlihat sejak pasca Konggres Mahasiswa Indonesia pada 8 Juli 1947 di
Malang Jawa Timur, yang terdiri dari HMI, PMKRI, PMU, PMY, PMJ, PMKH, MMM, SMI, yang kemudian
berfusi (bergabung) menjadi PPMI (Perserikatan Perhimpunan-perhimpunan Mahasiswa Indonesia). PPMI
pada mulanya tampak kompak dalam menggalang persatuan dan kesatuan diantara mahasiswa, namun sejak
PPMI menerima anggota baru pada tahun 1958 yaitu CGMI yang berkiblat dan merupakan anak komunis
akhirnya PPMI mengalami keretakan yang membawa kehancuran. PPMI secara resmi membubarkan diri pada
Oktober 1965.

Sebenamya PPMI sebelum membubarkan diri, sekitar tahun 1964-1965 masing-masing organisasi yang berfusi
dalam PPMI itu saling berkompetisi dan sok revolosioner untuk merebut pengaruh para penguasa waktu itu,
termasuk juga Bung Karno Yang tak luput dari incaran mereka. Hal ini diakibatkan karena masuknya CGMI
kedalam PPMI yang seakan mendapatkan legitimasi dari pihak penguasa waktu itu sehingga CGMI (PKI)
terlihat besar. HMI pun saat itu juga merevolosionerkan diri menjadi sasaran CGMI (PKI), sehingga HMI
hampir rapuh akibat ulahnya sendiri, karena pada saat itu PKI merupakan partai terbesar dan pendukungnya
selalu meneriakkan supaya HMI dibubarkan. HMI melihat kondisinya yang rawan tidak tinggal diam, dengan
segala upaya untuk mengembangkan sayap dan memperkokohnya, HMI kembali berusaha mendapatkan
legitimasi kesana-kemari untuk menangkal serangan dari PKI yang berusaha membubarkannya.

Pada saat HMI semakin terdesak itulah IMM lahir, yaitu pada tanggal 14 Maret 1964. Inilah sebabnya, ada
stereotype atau persepsi yang muncul ke permukaan bahwa IMM lahir sebagai penampung anggota-anggota
HMI manakala HMI dibubarkan oleh PKI maka IMM tidak perlu lahir. Namun persepsi yang terputar itu tidak
rasional dan kurang cerdas dalam menginterprestasi fakta dan data sejarah.

Interprestasi Yang benar dan rasional sesuai dengan data dan fakta sejarah adalah IMM salah satu faktor
historisnya adalah untuk membantu eksistensi HMI agar tidak mempan atas usaha-usaha yang akan
membubarkannya. Sekali lagi bahwa kelahiran IMM untuk membantu dan turut Serta mempertahankan HMI
dari usaha- usaha komunis yaitu PKI Yang akan membubarkannya dan sesuai dengan sifat IMM itu sendiri yang
akan selalu bekerjasama dan saling membantu dengan saudaranya (saudaranya seaqidah Islam) dalam upaya
beramar ma'ruf nahi mungkar Yang merupakan prinsip perjuangan IMM.

Itulah sekilas kelahiran IMM yang sampai sekarangpun masih ada oknum-oknum yang mempersoalkannya
(walaupun sudah terbit buku Yang menangkal isu tersebut dengan judul 'Kelahiran Yang Dipersoalkan oleh
Farid Fatoni). Dan sekarang kita telah tahu bahwa IMM lahir memang merupakan suatu kebutuhan
Muhammadiyah dalam mengembangkan sayap dakwahnya dan sekaligus merupakan suatu aset bangsa untuk
berpartisipasi aktif dalam kemerdekaan ini.

Karena IMM merupakan suatu kebutuhan intern dan ekstern itu pulalah, maka tokoh-tokoh PP Pemuda
Muhammadiyah yang berawal dari HMI kembali ke IMM sebagai anak atau ortom Muhammadiyah. Mereka
yang dulu turut mengembangkan HMI disebabkan karena IMM belum lahir dan keterlibatan mereka dalam
tubuh HMI hanya sebatas mengembangkan ldeologi Muhammadiayah. Dan sampai sekarangpun HMI masih
dimasuki oleh kalangan mahasiswa dari berbagai unsur ormas Islam, yang pada akhimya berbeda dengan
orientasi Muhammadiyah. Mungkin, untuk menangkal klaim seperti tersebut PP Pemuda Muhammadiyah
diatas, adalah bahwa Para aktifis akan berdirinya IMM & NA Yang berusaha mengusahakan berdirinya IMM
tidak terlibat dalam aktifitas HMI secara langsung maupun tidak langsung. Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah
benar-benar murni didirikan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah Yang pada waktu itu diketuai oleh Bapak
H.A. Badawi.

SEJARAH PERKEMBANGAN IKATAN MAHASISWA MUHAMMADIYAH

Setelah kita melacak sejarah kelahiran Ikatan Mahasiswa Muhamamdiyah (IMM) sekarang tibalah kita
membicarakan sejarah perkembangannya. Untuk maksud ini, dan agar lebih sistematis dalam
pengungkapannya, maka di bawah ini akan dibicarakan perkembangan IMM dari Muktamar ke Muktamar Yakni
Muktamar I, II, II, IV, V dst.

Muktamar IMM ke I

Muktamar Ikatan mahasiswa Muhammadiyah (IMM) ke-1, lebih dikenal dalam sejarah IMM yaitu dengan
Musyawarah nasional (Munas). Untuk yang pertama kalinya setelah IMM resmi disetujui oleh PP
Muhammadiyah dan bahkan oleh Persiden RI ke-1 Bung karno, IMM mengadakan mengadakan Musyawarah
Nasional I yaitu pada tanggal 1-5 Mei 1965 di Solo. Dalam Muktamar IMM ke-1 inilah yang telah menelorkan
deklarasi Kota Barat (Solo) 1965 dan komposisi Personalia Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Mahasiswa
Muhammadiyah (IMM) yang isi deklarasi dan susunan personalianya termaktub di landasan gerakan.

Satu hal yang patut dicatat, yaitu pada saat deklarasi atau pada saat berlangsungnya Muktamar IMM ke-1 ini,
situasi bangsa dan ormas mahasiswa sedang dalam keadaan kurang tegap, sempoyongan, gara-gara asap kota
Madiun yang terberontak PKI sekitar tahun 1948 (setelah merdeka) sampai tahun 1965. pemberontajkan PKI ini
terjadi di mana-mana, yang kontan tercatat dalam sejarah bahwa Jawa Tengah termasuk basis PKI. Tahun 1963-
1965 merupakan era kejayaan PKI, dan pada saat-saat itulah IMM bangkit yaitu di tengah-tengah era kejayaan
PKI, dan pada pertengahan tahun 1965, atau tepatnya 1-5 Mei 1965, IMM mengadakan Muktamar I, sementara
PKI pun disetiap tempat sedang mengatur strategi untuk merebut kekuasaan RI yang berpuncak pada tanggal 30
September 1965 yang kini dikenal dengan gerakan 30 September (G 30 S PKI) yang telah melakukan penculikan
kepada 7 orang jendral. Secara historis, kehadiran Munas (Musyawarah Nasional ) IMM ke-1 merupakan
langkah politis yang tepat untuk menanamkan semangat juang mempertahankan kemerdekaan RI sekaligus
menambah kekuatan ormas-ormas Mahasiswa termasuk HMI.

Secara historis-politis pula, pada saat kelahiran IMM tahun 1964, kelahiran IMM antara lain dalam tinjauan
politis ini, yaitu bertujuan untuk memperkuat barisan MMI (Majelis Mahasiswa Indonesia) yang lahir pada
tahun 1962 dimana Drs. Lukman Harun sebagai wakil sekjennya. Tetapi pada kongres MMI tahun 1964, yang
semula diniatkan tetap mampu menguatkan ormas mahasiswa ternyata gagal. PKI dalam hal ini nampaknya
masih kuat dan kelahiran MMI ini belum mampu mengimbangi kekuatan PKI akhirnya dengan penuh dialektika
organisatoris yang tidak terlepas dari niatan baik untuk menghadang gerakan PKI bubarnya MMI tidak
memudarkan niat mendirikan IMM dan kelahiran IMM tetap melangkah mantap.

Masih dalam situasi menjelang Munas I IMM, sekitar bulan Januari tahun 1965 tepatnya pada tanggal 13
Januari 1965, antek-antek PKI telah melakukan penyerangan terhadap PII (Pelajar Islam Indonesia) yang pada
waktu itu tengah melangsungkan Mentara (mental training) di sebuah desa Kanigoro (Jawa timur). Dengan
serbuan yang ganas terhadap acara Mentra PII di arena mesjid jami’ yakni pada saat peserta melaksanakan
kuliah subuh. PKI datang bersenjata dan merusak segala yang ada di sekelilingnya kemudian peristiwa ini tersiar
dan mengusik keimanan kaum muslimin. Pada tanggal 1 Februari 1965 umat Islam di Jawa Timur mulai
melakukan aksi. Di Jawa Tengah, Jawa Barat, DKI dan daerah sekitarnya juga turut melaksanakan aksi protes
terhadap prilaku PKI. IMM sebagai organisasi yang baru lahir segera ambil bagian dalam gerakan-gerakan aksi
dengan meneriakkan jargon “ganyang PKI”.

Para pemimpin IMM hasil Munas I yang diamanati untuk memimpin IMM periode 1965-1968, dalam
melaksanakan program kerjanya senantiasa harus berhadapan dengan CGMI (Concentrasi Gerakan Mahasiswa
Indonesia). Ikatan pemuda Pelajar Indonesia (IPPI), Pemuda Rakyat dan lain-lain yang termasuk organ PKI.
Organ-organ PKI yang senantiasa mengganggu aktivitas ormas pemuda dan mahasiswa Islam termasuk IMM,
selalu meneriakan yel-yel “bubarkan HMI” dan lain-lain. Hal ini sesungguhnya tidak memudarkan gerakan
IMM. Pemuda Muhammadiyah secara organisatoris sebagai kakak kandung IMM senentiasa menggandeng IMM
untuk maju ke medan penggayangan PKI untuk mempertahankan HMI dan bangsa yang berlandaskan Pancasila
serta berusaha mendekati BungKarno yang semakinterdesak dibujukdan difitnah PKI.

Pada hari Kamis, 30 September 1965 –yang pada malam harinya terjadi pemberontakan G30 S PKI kira-kira jam
20.00an—para anggota dan pimpinan IMM yang berada di Jakarta turut mendengarkan ceramah yang
dibawakan oleh Kasad Jendral TNI A.H. Nasution di depan peserta Latihan kader Pemuda Muhammadiyah
Jakarta yang bertempat di kompol UMJ Jl. Limau Jakarta Selatan (kini menjadi kampus UHAMKA). Kemudian
pagi harinya, setelah terdengar berita adanya penculikan 7 jendral (termasuk Pak Nasution yang alhamdulillah
lolos) atau G 30 S PKI, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) yang juga telah bergabung dengan GENUIS
dan telah melakukan aksi membela HMI pada tanggal 11 September 1965 dan 13 September 1965, secara cepat
melakukan komunikasi dengan tokoh-tokoh Pemuda Muhammadiyah atas anjuran PP Muhammadiyah yang ada
di Jakarta kemudian berkumpul di tempat yang sama. Drs. Lukman Harun yang pada waktu itu menjadi ketua
PP Pemuda Muhammadiyah memberi briefing, begitu pula HS projokusumo, Sutrisno Muhdam, Suwardi,
Sam’ani, Sumarsono, Djalal Sayuti, Drs. Habian HS, H. Suyitno, mereka inilah yang kemudian mengadakan
rapat tertutup di ruang Rektor Universitas Muhammadiyah yang kemudian salah satu hasilnya adalah
membentuk KOKAM (Komando Kewaspadaan dan Kesiapasiagaan Muhammadiyah), Sumarsono dan Sutrisno
Muhdam adalah anggota DPP IMM.
Dalam KOKAM itulah IMM berperan penting, sebagai ortom Muhammadiyah yang beranggotakan para
mahasiswa militan senantiasa bergerak dan menggerakan aksi-aksi protes menentang PKI, menuntut
pembubaran PKI. Dan melalui KOKAM ini pulalah IMM bisa bekerja sama dengan unsur TNI dan ABRI yang
anti PKI.

Pada hari senin 4 Oktober 1965 Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) turut ambil bagian dalam
pembentukan KAP GESTAPU (Kesatuan Aksi Penggayangan Kontra Revolusi G. 30 S. PKI), yang kemudian
bergabung pula dengan aksi-aksi lain, KAMI (KesatuanAksi Mahasiswa Indonesia), KAPPI ( Kesatuan Aksi
Pemuda dan Pelajar Indonesia) IMM pun turut ambil bagian Immawan Saiful Alam termasuk penandatanganan
Kebulatan Tekad yang intinya antara lain: “Mengutuk sekeras-kerasnya terhadap tindakan teror dan penculikan
para jendral. Mendesak Bung Karno selaku presiden untuk membubarkan PKI dan antek-anteknya dan ormas-
ormas yang simpati terhadap G. 30 S PKI…”

Muktamar IMM IV

Amanah muktamar IMM III di Yogyakarta yang berlangsung pada tanggal 14-17 Maret 1971 di Yogyakarta bahwa
muktamar IMM ke IV akan dilaksanakan di Medan atau Jakarta. Sebelumnya telah diputuskan oleh Tanwir IV
yaitu Medan (SUMUT). Kemudian karna pertimbangan integrasi sesama AMM cq Pemuda Muhammadiyah
maka DPP IMM memutuskan untuk memindahkan tempat Muktamar dari Medan - Malang (JATIM).Akan
tetapi setelah berembug dengan PP Pemuda Muhammadiyah dan OC Muktamar akhirnya diputuskan tempat
Muktamar IMM IV yaitu di Semarang( Jateng ) pada Tanggal 18-22 Djulhijjah 1395 H/21-25 Desember1975 M
berbarengan dengan Muktamar Pemuda Muhammadiyah Ke-6.

Dalam Muktamar IV tersebut disamping menyusun personalia DPP IMM Periode 1975-1978 yang diketuai oleh
Drs. Zulkibar dan M. Alfian Darmawan (Sekretaris Jenderal) juga telah menelorkan deklarasi yang didalam
perkembangan sejarah IMM mengalahkan popularitas DPP IMM selakigus menggusur program produk
Muktamar yang ditanfizkan dengan SK No.002/A-1/76 tgl 8 Syafar 1396 H./8 Pebruari 1976.

Deklarasi Masjid Raya Baiturrahman Semarang ditandatangani oleh 36 orang, 17 orang generasi awal dan 19
orang generasi penerus. Ke-17 orang generasi awal tersebut Yaitu: Drs. H Moh.Djazman, dr.Sudibyo MarkusDrs.
H Rosyad Saleh, dr Moh Arief, Drs. Syamsu udaya Nurdin, Drs. Zulkabir, Drs. H. Sutrisno Muhdam, H.
Nurwijoyo Sarjono, Drs Basri Tambuh, Drs. Fathurrahman HM. Sumarwan, Bsw, Ali Kyai Demak, SH, Drs. M.
Husni Tamrin, M. Susanto BA, Dra. Siti Romlah, dan dr. Deddy Abubakar. Sedangkan ke 19 generasi Penerus
yaitu wakil-wakil DPD IMM Se- Indonesia yang nengikuti Muktamar IMM IV tersebut, yang berarti secara
otomatis deklarasi tersebut merupakan tekad Pimpinan dan anggota IMM seluruh Indonesia. Mereka itu adalah:
Hindun Rosidi ( Aceh ), M. Jaginduang dalimunthe ( Sumut ) Agus Aman ( Riau ) Bazar Abas ( Sumbar ) A.Roni
Umar ( Jambi ) Fauzi Fatah ( Lampung ) Rafles ( DKI Jakarta) Anda Suahanda ( Bandung/Jawa Barat )Ahmad
Sukarjo ( Jateng ) Tufik Dahlan ( DIY Yogjakarta) Ishak Soleh ( Kalbar / Pontianak ) Mahrani Said ( Kalsel )M.
Nurdin HS.(Samarinda/ Kaltim) M.Yasin Ahmad ( Suselra/Ujung Pandang) M.Yunus Hamid( Sulteng)
M.NurAbdullah ( NTB / NTP ) Joko Santoso ( Malang /Jawa Timur ) A. Muiz ZA ( DPP IMM Periode 1971-1974 )
dan Mahnun Husein ( DPP IMM 1971-1974).

Dewan Pimpina Pusat Ikatan Mahasiswa Muahmadiyah Periode Muktamar IV atau periode 1975-1978) dalam
pelaksanaan program hasil Muktamar yang telah ditanfizkannya melalui surat keputusan No.002/A-1/1976 8
Februari 1976. Kurang banyak melakukan suatu aktifitas tingkata nasional. Namun, satu inforamsi yang bias
dipercaya, bahwa DPP IMM Periode 1975-1978 telah mengusulkan kepada pemrintah RI dalam melakukan
pembibitan bagi generasi muda dan mahasiswa diperlukan adanya seorang pembantu Presiden yakni seorang
menteri yang bertugas menangani kepemudaan, yang akhirnya lahirlah dalam komposisi Kabinet Pembangunan
III dr. Abdul Gafur sebagai Menpora dan Ir. Akbar Tanjung untuk Kabinet Pembangunan IV (1988-1993) konon,
kehadiran meneteri pemuda ini salahsatunya adalah merupakan usulan DPP IMM periode 1975-1978 yang
diketuai oleh Drs. Zulkabir.

Kemudian, kaitannya dengan pengembangan ikatan pada dan atau lewat Muktamar IMM IV di Semarang
tersebut, telah merekomendir penggeseran azas pengorganisasian IMM dari azas teritorial kepada azas
potensial. Penggeseran ini menurut pola katifitas ikatan dimaksudkan supaya IMM senantiasa berorientasi
kepada bidang-bidang gerak Muhammadiyah. Dan kebutuhan dasar mahasiswa. Kalau sekarang kita
mempunyai keyakinan penuh bahwa komisariat adalah sebagai institusi terbawah dalam jenjang kepemimpinan
ikatan, adalah merupakan basis kegiatan, maka dengan penggeseran azas tersebut berarti posisi komisariat dan
atau kelompok dipandang penting dan menentukan. Program yang seperti ini sesungguhnya merupakan hasil
rumusan Muktamar IMM IV tersebut. Dan dengan ini memang terjadilah upaya perluasan IMM melalui
rekomendasinya kepada PP Muhammadiyah.

Atas dasar rekomendasi dari Muktamar IV IMM kepada Muhammadiyah kaitannya dengan pengembangan
IMM tersebut, maka Muhammadiyah dalam hal ini Majelis Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan (sekarang
majelis ini dipecah menjadi dua; Majelis Diktilitbang dan Majelis Pendidikan dan Kebudayaan) telah
mengeluarkan petunjuk mengenai pembinaan mahasiswa perguruan tinggi Muhammadiyah yang juga
merupakan rekomendasi dari hasil lokakarya yaitu dengan suratnya nomor: E.1/234/1978 tertanggal 31 Oktober
1978 nomor: E.1/001/79 tanggal 2 Januari 1979 dan nomor E.3/014/1979 tertanggal 6 Januari 1979.

Selain itu, DPP IMM periode Zulkabir, yang sebenarnya harus berakhir pada tahun 1978 atau akhir tahun 1979
(paling lambat), ternyata masih merasa kurang cukup waktu dalam melaksanakan amanah hasil Mukatamar
IMM III dan IV. Tahun 1979, bukannya Mukatamar IMM V yang diadakan, tetapi justeru tentang Tanwir V yang
diadakan di Jakarta, yang salah satu keputusannya akan bermuktamar pada bulan Oktober 1979. dan Tanwir V
inipun sesungguhnya merupakan desakan dari DPD IMM DKI Jakarta yang saat itu di Ketua Umumi Drs. M.
Yunan Yusuf. Dan dalam Tanwir IMM V di Jakarta tahun 1979 inipun terdapat rekomendasi untuk
Muhammadiyah dan untuk DPP itu sendiri supaya segera melaksanakan Mukatamr IMM V.

Sampai beberapa tahun kemudian DPP IMM periode 1975-1978 tidak mampu mengadakan Muktamar lanjutan
(ke-5). Personalia DPP IMM periode ini yang terpencar-pencar, ada yang di Yogya, Solo, Bandung dan Jakarta,
dan lain-lain mengakibatkan komunikasi antar anggota DPP menjadi renggang bahkan terputus. Yang pada
gilirannya terjadilah kevakuman IMM ditingkat nasional. DPD IMM DKI Jakarta pada tanggal 14-15 Maret 1981
mengadakan Musyda V dan dalam Musyda inilah disuarakan bahkan mendesak supaya DPP IMM periode 1975-
1978 segera melaksanakan amanah Muktamar.

DPP IMM nampaknya kurang mendengar suara Musyda IMM DKI Jaya tersebut, maka, pada tanggal 3 Juni
1982 para alumni IMM DKI Jaya, Drs. H. Rustan SA, M. Rusaini Rusin, SH, Drs. E. Kusnadi, Sudirman Arif, Drs.
Husni Thoyar, Drs. Hadjid Dharnawidagda, MP, Drs. Yudi Ruspandi, Drs. A. Sabuki, Drs. Abdul Muis, ZA, Drs.
H. M. Yusuf Muchtar, Drs. Salman Harun (sekarang Doktor), Drs. Sadimin, Drs. M. Yunan Yusuf, Drs. Muh. Isa
Anwari Bah, dan Firdaus Jamain, telah menandatangani surat himbauan kepada PP. Muhammadiyah supaya
turun tangan dan segera melaksanakan Muktamar IMM V, dan surat ini ditembuskan kepada seluruh PWM
seluruh Indonesia, tetapi juga…Muktamar masih tetap belum dilaksanakan. Tahun 1984 DPD IMM DKI Jakarta
memprakarsai untuk membentuk karakteker DPP IMM, yang tujuannya akan mengantarkan IMM untuk segera
melaksanakan Mukatamar, tetapi karakteker ini banyak tentangan akhirnya bubar sendiri.

Kembali pada permasalahan bahwa, penilaian yang objektif sesungguhnya DPP IMM sejak periode 1975-
1978/1979 terjadilah kekosongan, atau sejak itulah IMM tidak mempunyai DPP IMMnya. IMM yang pada
periode Drs. HM. Djasman dan Drs. HA. Rosyad Soleh, memiliki potensi nasional yang meyakinkan, ternyata
hampir tenggelam gara-gara ketiadaan DPP IMM sejak tahun 1979 tersebut. Namun demikian, kekosongan DPP
IMM sesungguhnya sma sekali tidak mempengaruhi aktivitas IMM di setiap daerah dan cabang, walaupun DPP
IMM tidak ada. Tetapi anggota IMM tidak ambil pusing. Identitas IMM ternyata begitu melekat pada IMM, di
daerah-daerah dan cabang-cabang, IMM masih tetap tumbuh bahkan semakin subur. IMM saat ini ibarat
sebuah pohon besar yang rindang kemudian terserang kemarau panjang yang menggugurkan dedaunannya
tetapi akarnya semakin menerobos ke perut bumi. Atasnya rontok, tetapi bawahnya semakin mantap, itulah
IMM saat itu.

Kondisi DPP IMM yang banyak memendam cerita nyata tersebut, lama kelamaan terdengar pula oleh PP
Muhammadiyah, satu hal yang amat menguntungkan bagi IMM, yaitu bahwa anggota-anggota Pimpinan Pusat
saat itu banyak mantan DPP IMM seperti Drs. Muh. Djasman, Drs. Sutrisno Muhdam, Drs. A. Rosyad Saleh,
Drs. Abu Sri Dimyati, dll. Sementara itu, Bapak HS. Prodjokusumo sendiri selaku Ketua PP Muhammadiyah
Mapendappu saat itu merasa terpanggil yang akhirnya keluarlah animo beliau untuk menulis tentang IMM yang
nadanya hampir menjerit dengan judul “IMM Anakku, Bangkitlah”! yang kemudian tulisan ini disamping
dimuat di suara Muhammadiyah nomor. 12 tahun ke-63 Juni 1983 juga disebarluaskan oleh BKP-AMM dalam
bentuk buku diterbitkan pada tahun 1983. Dengan demikian, maka akhirnya PP Muhammadiyah yang merasa
telah mengesahkan berdirinya IMM dan merasa bahwa IMM adlah anak kandungnya, segera turun tangan, turut
campur kedalam pembenahan IMM dalam hal in DPPnya.

copy right @DPP IMM 2010

Anda mungkin juga menyukai