Ada beberapa situasi dan kondisi yang melatar belakangi proses kelahiran PMII saat itu,
antara lain situasi politik negara Republik Indonesia, Posisi Umat Islam Indonesia, dan Keadaan
Organisasi Mahasiswa saat itu. Namun disini penulis tidak akan mengulas semua situasi dan
kondisi politik disekitar proses kelahiran PMII tersebut, tetapi hanya akan sedikit mengulas
keadaan organisasi mahasiswa saat itu.
Yang dimaksud dengan keadaan organisasi mahasiswa disini adalah suatu wadah
aktivitas para mahasiswa di luar kampus (ekstra universiter dan ekstra kurikuler). Dengan wadah
seperti itu aktivitas mahasiswa banyak memberikan andil besar terhadap pasang surutnya sejarah
bangsa Indonesia, khususunya generasi muda. Andil tersebut biasanya digerakkan oleh idealisme
yang berorientasi pada situasi yang selalu menghendaki adanya perubahan kearah perbaikan
bangsanya, sesuai dengan cita-cita proklamasi kemerdekaan Indonesia, Pancasila dan UUD
1945.
Akan tetapi dalam perjalanan sejarahnya PPMI dan MMI juga sama saja, yaitu kedua
organisasi ini tidak bisa melepaskan diri dari soal politik. Oleh karena itu jika mengungkapkan
dunia kemahasiswaan secara organisasi pada tahun 1950-an tidak terlepas dari adanya
persaingan politik dalam dua tubuh organisasi federatif itu, bahkan persaingan tersebut
berlangsung hingga tahun 1965 disaat meletusnya G.30.S/PKI. PPMI dan MMI yang sudah
didominasi oleh CGMI (Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia) yang berhaluan Komunis
kemudian tamat riwayatnya bersamaan dengan penganyangan terhadap G.30.S/PKI.
Ide dasar berdirinya Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) bermula dari adanya
hasrat kuat para mahasiswa Nahdliyin untuk membentuk suatu wadah (organisasi) mahasiswa
yang berediologi Ahlussunnah Waljama’ah (aswaja). Ide ini tak dapat dipisahkan dari eksistensi
IPNU-IPPNU (Ikatan Pelajar Nahadlatul Ulama – Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama).
Secara historis, PMII merupakan mata rantai dari departemen perguruan tinggi IPNU yang
dibentuk dalam muktamar IIII PNU di Cirebon Jawa Barat pada tanggal 27 – 31 Desember 1958.
Di dalam wadah IPNU-IPPNU ini banyak terdapat mahasiswa yang menjadi anggotanya, bahkan
mayoritas fungsionaris pengurus pusat IPNU-IPPNU berpredikat sebagai mahasiswa. Itulah
sebabnya, keinginan dikalangan mereka untuk membentuk suatu wadah khusus yang
menghimpun para mahasiswa nahdliyin.
Namun langkah yang diambil oleh IPNU untuk menampung aspirasi para mahasiswa
nahdliyin dengan membentuk departemen perguruan tinggi IPNU pada kenyataannya tidak
berjalan sebagaimana yang diharapkan. Terbukti apda Konprensi Besar IPNU di Kaliurang
Yogjakarta pada tanggal 14 – 16 Maret 1960, Forum konprensi besar memutuskan terbentuknya
suatu wadah/organisasi mahasiswa nahdliyin yang terpisah secara struktural maupun fungsional
dari IPNU-IPPNU.
Seperti telah disebutkan pada bagian sebelumnya bahwa pada puncak konferensi besar
IPNU pada tanggal 14 – 17 Maret 1960 di Kaliurang Yogyakarta dicetuskan suatu keputusan
perlunya didirikan suatu organisasi mahasiswa yang terlepas dari IPNU baik secara struktur
organisatoris maupun administratif. Kemudian dibentuklah panitia sponsor pendiri organisasi
mahasiswa yang terdiri dari 13 orang dengan tugas melaksanakan musyawarah mahasiswa
nahdliyin se-Indonesia, bertempat di Surabaya dengan limit waktu satu bulan setelah keputusan
itu.
Pada tanggal 19 Maret 1960 mereka berangkat ke Jakarta menghadap ketua Umum partai
NU yaitu KH. DR. Idham Khalid untu meminta nasehat sebagai pegangan pokok dalam
musyawarah yang akan dilaksanakan. Dan pada tanggal 24 Maret 1960 mereka diterima oleh
ketua partai NU, dalam pertemuan tersebut selain memberikan nasehat sebagai landasan pokok
untuk musyawarah, beliau juga menekankan hendaknya oraganisasi yang akan dibentuk itu
benar-benar dapat diandalkan sebagai kader partai NU, dan menjadi mahasiswa yang berprinsip
ilmu untuk diamalkan bagi kepentingan rakyat, bukan ilmu untuk ilmu. Yang lebih penting lagi
yaitu menjadi manusia yang cakap serta bertaqwa kepada Allah SWT. Setelah beliau
menyatakan “merestui musyawarah mahasiswa nahdliyin yang akan diadakan di Surabaya itu” ).
Pesan yang disampaikan oleh ketua partai NU tersebut, terasa sekali suasana kepercayaan
NU pada organisasi mahasiswa yang akan dibentuk ini. Bagaimana dengan organisasi yang lain
?, keadaan yang demikian ini nampaknya dapat kita maklumi.
Keadaan waktu itu (1960-an) memang sangat kondusif bagi organisasi mahasiswa untuk
bersikap politis bahkan partai minded. Meningkatnya jumlah ormas-ormas mahasiswa disertai
oleh meningkatnya peran mereka secara kualitas dan terbukanya kesempatan untuk mobilitas
sosial dibidang politik ). Hal ini senada yang disampaikan oleh Rocamora (dikutip oleh Burhan
D. Magenda dalam Prisma nomor 12 Desember 1977) tentang keterkaitan/hubungan antara
organisasi mahasiswa dan partai politik. Rocamora menunjukkan bagaimana pimpinan organisasi
mahasiswa berafiliasi dengan partai politik waktu itu. Proses regenerasi ini berjalan secara damai
dan sesuai dengan prinsip-prinsip organisasi. Gejala seperti itu juga terlihat hampir pada semua
organisasi mahasiswa, termasuk di dalamnya PMII yang baru dibentuk ).
Kalau PMII juga aktif dibidang politik, seperti yang disampaikan oleh Abd, Rohim Hasan
di depan forum Kongres PMII ke IV di Makasar pada tahun 1970 “mengapa PMII mesti
berpolitik ? bukankah itu akan mengganggu tugas utamanya, belajar dan belajar ?, bukankah
persoalan poltik itu nanti setelah lulus dan terjun ditengah masyarakat ?, Ruang kuliah adalah
preparasi untuk pekerjaan politik. Gerakan-gerakan kita adalah sekaligus gerakan belajar dan
gerakan politik).
Lebih lanjut ia mengatakan “Mengapa PMII mesti berpolitik baik secara praktis maupun
konsepsional, belajar dan berpolitik bukanlah suatu hal yang tabu, tetapi justru prinsip berpolitik
itu adalah bersamaan dengan keberadaan PMII itu sendiri. Hal ini ditegaskan dalam dokumen
historis PMII – Gelora Megamendung – Pokok-pokok pikiran training course II PMII pada
tanggal 17 – 27 April 1965 di Megamendung Bogor Jawa Barat – yang menolak dengan tegas
prisnsip ilmu untuk ilmu. PMII dengan tegas menetapkan bahwa ilmu harus diamalkan, dalam
arti untuk kepentingan agama, bangsa dan negara. Bagi PMII organisasi tak lebih sebagai alat
perjuangan, sedang berpolitik tak lain untuk mengamalkan ilmu pengetahuan dalam perjuangan
mengabdikan diri pada agama, bangsa dan negara. Tugas setiap warga PMIIadalah memadukan
ketinggian ilmu dan kesadaran berpolitik. Berpolitik bagi PMII (waktu itu) dan terjun dalam
kegiatan partai dalam bentuk apapun).
Awal mula berdirinya PMII nampaknya lebih dimaksudkan sebagai alat untuk
memperkuat partai NU. Hal ini terlihat jelas dalam aktivitas PMII antara tahun 1960 – 1972
(sebelum PMII menyatakan diri independen) sebagian besar program-programnya berorientasi
politis. Ada beberapa hal yang melatarbelakangi :
Pertama, adanya anggapan bahwa PMII dilahirkan untuk pertama kali sebagai kader
muda partai NU, sehingga gerakan dan aktivitasnya selalu diorientasikan untuk menunjang gerak
dan langkah partai NU.
Kedua, suasana kehidupan berbangsa dan bernegara pada waktu itu sangat kondusif
untuk gerakan-gerakan politk, sehingga politik sebagai panglima betul-betul menjadi policy
pemerintah orde lama. Dan PMII sebagai bagian dari komponen bangsa mau tidak mau harus
berperan aktif dalam konstalasi politik seperti itu ).
Lebih jauh Sahabat H. Mahbub Junaidi mengatakan (sambutan pada acara pancawarsa
hari lahir PMII) “Mereka bilang mahasiswa yang baik adalah mahasiswa non partai, bahkan non
politis, yang berdiri diatas semua golongan, tidak kesana, tidak kesini, seperti seorang mandor
yang tidak berpihak. Sebaliknya kita beranggapan, justru mahasiswa itulah yang harus
berpartisipasi secara konkrit dengan kegiatan-kegiatan partai politik).
PMII merupakan Organisasi Kepemudaan yang berbasis Mahasiswa dan Memiliki 237
Cabang dan Memiliki 33 Pengurus Koordinator Cabang (PKC) tersebar diseluruh penjuru Tanah
Air.
(PMII)