NAMA
ASAL
“Sekali bendera dikibarkan, hentikan ratapan dan tangisan, tangan terkepal dan maju kemuka,
mundur satu langkah adalah bentuk pengkhianatan.”
2023-2024
Assalaamu’alaikum Waarahmatullahi Waabarakatuh.
SALAM PERGERAKAN !
Alhamdulillah wa syukurillah, terpanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT., karena berkat rahmat
dan hidayah-Nya kita dapat malaksanakan kegiatan sehari-hari dengan baik dan lancar. Shalawat dan salam
semoga tetap tercurah limpahkan kepada baginda Rasul Muhammad SAW, karena berkat petunjuknya kita
dapat membedakan antara hak dan yang bathil.
Mengawali modul mapaba ini, kami ingin menyampaikan bahwa kaderisasi merupakan hal yang
sangat penting dalam sebuah organisasi khususnya organisasi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia yang
berada di lingkungan kampus. Kualitas seorang kader dapat terjamin ketika benar -benar telah melalui proses
kaderisasi yang baik, sehingga otak seorang kader harus benar-benar terasah dengan pengetahuan-
pengetahuan umum maupun agama. Oleh karena itu, modul mapaba sangat perlu untuk dijadikan pegangan
oleh anggota maupun kader PMII.
Masa Penerimaan Anggota Baru atau yang sering disebut dengan Mapaba merupakan tahap awal
seorang mahasiswa untuk bergabung dengan PMII, sehingga dalam tahapan ini harus benar-benar matang
dalam memberikan materi yang berkaitan dengan PMII supaya mampu memberikan rangsangan positif
terhadap para anggota maupun kader.
Dalam modul mapaba ini telah kami sajikan materi-materi wajibdan pilihan yang harus diberikan kepada
anggota baru PMII sesuai dengan hasil Muspimnas PMII Tulungagung, diantaranya ialah Keorganisasian
Sejarah dan Keorganisasian PMII (Ke-PMII-an), Nilai Dasar Pergerakan, Sejarah Dan Doktrin Islam
Ahlusunnah Wal Jama’ah, Sejarah Negara – Bangsa Indonesia, dan Kelembagaan Kopri Dan Study
Gender.
Demikian pengantar dari kami, semoga modul ini dapat bermanfaat dengan baik bagi seluruh anggota
dan kader PMII. Kami selalu menunggu eksistensi gerakan dari para sahabat untuk selalu berjuang demi
bangsa dan agama.
“Sekali bendera dikibarkan, hentikan ratapan dan tangisan, tangan terkepal dan maju kemuka, mundur
satu langkah adalah bentuk pengkhianatan.”
MARI BERDZIKIR, BERFIKIR, DAN BERAMAL SHALEH.
Sejarah pergerakan di tanah air banyak didominasi oleh para mahasiswa dan pemuda yang memiliki
watak kaum muda yaitu menginginkan perubahan. Mulai dari revolusi kemerdekaan, orde lama dan orde baru
serta orde reformasi maupun tonggak-tonggak perubahan kebangsaan lainnya mesti melibatkan mahasiswa-
pemuda yang senantiasa tampil di garda depan. Sejarah pergerakan nasional itupun dimulai seiring dengan
lahir tumbuh-kembangnya organisasi mahasiswa-pemuda yang memiliki kesadaran nasionalisme dalam
orientasi pergerakannya.
Pembuktian sejarah gerakan mahasiswa Indonesia sesuai dengan konteks zamannya, haruslah
memberikan kesimpulan apakah gerakan tersebut, dalam oreientasi dan tindakan politiknya, benar-benar
mengarah dan bersandar pada problem-problem dan kebutuhan struktural rakyat Indonesia. Orientasi dan
tindakan politik merupakan cermin dari bagaimana mahasiswa Indonesia memahami masyarakatnya,
menentukan pemihakan pada rakyatnya serta kecakapan merealisasi nilai-nilai tujuan atau ideologinya.
Karena pranata mahasiswa merupakan gejala pada masyarakat yang telah memiliki kesadaran
berorganisasi, dan mahasiswa merupakan golongan yang diberikan kesempatan sosial untuk menikmati
kesadaran tersebut, maka asumsi bahwa gerakan mahasiswa memberikan penghargaan yang tinggi
terhadap kegunaan organisasi dalam gerakannya adalah absah. Dengan demikian kronologi sejarah
gerakan mahasiswa harus memperhitungkan batasan bagaimana sejarah mahasiswa memberikan nilai
lebih terhadap organisasi sebagai alat perjuangan politik modern. Meskipun demikian, tidak ada maksud
untuk tidak menghargai gerakan rakyat spontan.
Nilai lebih organisasi dalam gerakan mahasiswa hanyalah bermakna bahwa didalamorganisasi,
mahasiswa ditempa dan dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
Tidak dapat dipungkiri bahwa sejarah merupakan akumulasi dan kulminasi dari dialektika
kondisi obyektif dengan tindakan subyektif masa sebelumnya. Oleh karena itu gerakan mahasiswa Indonesia
tidak lepas dari pengaruh penyebaran ideologi liberal, nasionalisme, sosiaisme, komunisme, perang -
perang heroik di dalam maupun luar negeri; gerakan petani abad 19, gerakan buruh pada awal abad 20
maupun sosial-demokrat, dan Islam, serta kondisi-kondisi ekonomi politik lainnya.
Seperti halnya negara yang pernah terjatuh pada kolonialisme, gerakan mahasiswa di Indonesia
muncul pada saat-saat akhir kolonialisme kapitalis Belanda. Setelah kemenangan golongan liberal atas
golongan konservatif, politik “balas budi” atau politik etis mulai diterapkan di Indonesia. Salah satu
kebijaksanaan politik etis adalah edukasi/ pendidikan. Kebijaksanaan ini diberlakukan dengan mendirikan
sekolah-sekolah, mulai dari sekolah tingkat dasar hingga sekolah-sekolah tinggi, golongan pribumi diberi
kesempatan untuk menempuh pendidikan. Sejak saat itu banyak golongan pribumi yang mendapatkan
kesempatan sekolah di luar negeri seperti Hatta, dan banyak tokoh yang bisa menyelesaikan studinya di
Indonesia seperti Soekarno, dr. Soetomo, dll.
Dibukanya sekolah-sekolah tersebut memberikan pengaruh bagai kesadaran kebangsaan bangsa Indonesia.
Ilmu pengetahuan dari Utara yang rasional berpadu dengan pengalaman-pengalaman bangsa lain yang
sedang bergolak di Selatan dalam memperjungkan demokratisasi—khususnya di Tiongkok—telah membuka sel-
sel otak bangsa pribumi tentang arti nasionalisme. Ditengah situasi seperti inilah, gerakan mahasiswa di
Indonesia mulai tumbuh. Adalah Tirto Adisuryo Sang Pemula itu, setelah jebol dari Stovia—sekolah
kedokteran pada masa Belanda—merintis organisasi modern pertama bagi pribumi yaitu Sarekat Prijaji
(1905) kemudian Boedi Oetomo (1908)—yang dalam sejarah resmi dianggap sebagai organisasi modern
yang pertama-- yang juga didirikan oleh mahasiswa-mahasiswa Stovia—dipelopori oleh Soetomo. Boedi
Oetomo dapat bertahan hidup sampai tahun 1920.
Selain organisasi-organisasi ini, di Indonesia juga berkembang study-study club misalnya yang
terdapat di Surabaya dan di Bandung. Study Club yang ada di Bandung kemudian berkembang menjadi Partai
Nasionalis Indonesia (PNI) yang dipimpin oleh Soekarno.
Apabila kita amati, oraganisasi-organisasi yang dipelopori oleh mahasiswa di atas condong kepada
ideology kebangsaan. Kerangka organisasi yang dibuat oleh gerakan mahasiswa ketika itu tidak semata-mata
hanya melibatkan mahasiswa, tetapi berusaha melibatkan massa rakyat secara luas untuk kepentingan
kemerdekaan, bahkan sudah sampai pada pendirian partai politik. Dalam kerangka gerakan, konsep yang
dibangun oleh mahasiswa-masiswa ketika itu untuk membangun format gerakan adalah tepat, bahwa tulang
punggung dari gerakan adalah massa rakyat yang terlibat aktif dalam organisasi modern. Sikap sektarian,
dalam artian hanya melibatkan mahasiswa dalam gerakan pembebasan nasional tidak terjadi, tetapi yang
tumbuh adalah sikap kebangsaan untuk mencapai Indonesia Merdeka.
Dibawah pendudukan Jepang yang fasis dan represif praktis tidak ada ruang hidup bagi kehidupan
politik kaum pergerakan khususnya pemuda.Semua organisasi pemuda yang ada dibubarkan dan
dimasukkan ke dalam Seinendan-Keibodan (Barisan Pelopor) dan PETA (Pembela Tanah Air) untuk dididik
politik untuk kepentingan politik Asia Timur Raya sebagai bagian dari program imperialisme fasistik Jepang.
Yang menjadi topik menarik pada jaman ini adalah ramainya bermunculan, sebagi mutasi gerakan
dibawah syarat-syarat sangat represif, Gerakan Bawah Tanah/GBT (Underground Movement) dengan rapat-
rapat gelap, dan penyebaranpamflet. GBT ini dikombinasikan dengan gerakan gerakan legal Sukarno;
merupakan jalan keluar yang logis bagi perlawanan anti fasis. Suatu jalan keluar yang mencekam dan tidak
memassa. Disinilah pergerakan terasing dari massa.Tingkat kesadaran massa untuk mengambil jalan keluar ini
belum mencapai tingkat yang diharapkan tingkat yang revolusioner.
Masa pasca kemerdekaan merupakan momentum yang penting dalam gerakan pemuda dan pelajar:
selain melucuti senjata Jepang, juga banyak memunculkan organisasi-organisasi. Dalam situasi seperti inilah
gerakan mahasiswa mulai bangkit kembali. Gerakan mahasiswa yang timbul paska revolusi didasari pada
ideologi yang berbeda-beda. Pada tanggal 5 februari 1947 diresmikan terbentuknya Himpunan Mahasiswa
Islam (HMI), kemudian diikuti berdirinya Perhimpunan Mahasiswa Kristen Indonesia (PMKI) pada tanggal 25
Maret 1947 dan kemudian disusul dengan pendirian Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia
(PMKRI). Orgnisasi-organisasi mahasiswa ini mengunakan ideologi agama Islam atau Katolik/Kristen.
Kemunculan organisasi-organisasi yang berideologi agama ini sebetulnya mengikuti kemunculan partai
politik yang seideologi yaitu Masyumi (7 Nopember 1945) yang berideologi Islam dan Partai Katolik (8
Desember 1945) yang berideologi Katolik. Sementara itu partai besar lainya yaitu Partai Nasional Indonesia
(PNI) mempunyai ormas mahasiswa Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) yang berdiri pada
tanggal 23 Maret 1954, sedangkan Partai Komunis Indonesia (PKI) membangun ormas mahasiswa yaitu
Central GerakanMahasiswa Indonesia (CGMI).
Pada massa ini gerakan pemuda dan mahasiswa mencoba memeperkuat penola-kan terhadap
usaha kolonialisme Belanda untuk kedua kalinya, dan secara umum belum sampai kepada tahap anti-
imperialisme (perusahaan-perusahaan milik Belanda tetap bercokol).
Selaian organisasi yang didasarkan pada ideologi tertentu, juga banyak bermunculan organisasi
mahasiswa yang berdasarkan profesi dan komunitas. Dalam katagori ini, kita dapat mengambil contoh
Perhimpunan Mahasiswa Kedokteran Hewan (PMKH) di Bogor, Perhimpunan Mahasiswa Djakarta (PMD),
Perhimpunan Mahasiswa Jogyakarta (PMJ), Masyarakat Mahasiswa Malang (MMM). Kemudian di UGM pada
tanggal 11 Januari 1950 terbentuk Dewan Mahasiswa (DM) yang merupalan lembaga mahasiswa tingkat
universitas, dan kemudian diikuti dengan berdirinya Dewan Mahasiswa di UI pada 20 Nopember 1955.
Persaingan politik aliran antarpartai menjelang pemilu pertama di tahun 1955 berdampak pada persaingan
antarmahasiswa yang mengambil bentuk ideologis saling berhadap-hadapan antara yang ‘kiri’ dan ‘kanan’.
HMI berada pada posisi kanan bersama PMKRI dan Germasos dengan isu utama antikomun is dan anti
kediktatoran. Sedangkan CGMI dan GMNI di pihak kiri dengan isu utama anti -kapitalisme, anti-nekolim, dan anti-
fasisme. Sementara bandul kekuasaan semakin bergerak ke kiri di bawah komando Panglima Besar Revolusi
Paduka Jang Mulia (PJM) Bung Karno, kelompok kanan mendapati kekalahan yang bertubi-tubi hingga
memasuki masa demokrasi terpimpin.
Dekrit Presiden 1959 yang membubarkan Badan Konstituante sebagai jawaban Bung Karno terhadap
upaya parpol Islam yang ingin memasukkan kembali Piagam Djakarta ke dalam konstitusi baru. Selain itu,
pemberontakan PRRI dan Permesta yang merongrong kekuasaan, dijawab Soekarno dengan membubarkan
Masyumi dan GPII (Gerakan Pemuda Islam Indonesia). HMI yang nota bene merupakan bagian dari
kelompok oposan dapat selamat dari pembersihan PKI dan CGMI.
Kejatuhan Soekarno ini menjadi pancang sejarah pergeseran fase keindonesiaan dari Orde Lama ke
Orde Baru. Peristiwa ini memunculkan mitos gerakan mahasiswa sebagai moral force yang kemudian menjadi
kategori politik penting terhadap kekuasaan, sekaligus memitoskan kebesaran mahasiswa angkatan ‘66.
Pada babak sejarah berikutnya, maka banyak ditemui tokoh gerakan mahasiswa yang mengisi birokrasi
kekuasaan. Dekade pertama kejatuhan Orde Lama merupakan masa ‘bulan madu’ gerakan mahasiswa
dengan Orde Baru. Sedari awal, aktivis yang mula-mula sadar akan kekeliruan orientasi gerakan ini adalah
Soe Hok Gie dan Ahmad Wahib (HMI).
Melihat perkembangan di atas, seklompok mahasiswa kembali bergerak untuk mengkritisi situasi
yang ada. Masa “bulan madu” ini mulai retak ketika Arief Budiman—kakak Soe Hok-Gie, dkk, mulai
memprotes kebijaksanaan Orde Baru, misalnya dalam kasus pembangunan Taman Mini Indonesia Indah
(TMII) tahun 1973. Pembangunan ini menurut kelompok Arief Budiman tidak sesuai dengan situasi
Indonesia. Bagi mereka ini hanya merupakan proyek ambisius belaka. Akibat “pembangkangan” ini, Arief
Budiman dijebloskan ke dalam bui oleh rezim Orba. Sebelumnya Arief Budiman terkenal sebagai tokoh yang
memproklamasikan “golongan putih”. Kemudian, pada bulan Oktober 1973 para mahasiswa mengadakan
aksi ke gedung DPR/MPR menyampaikan “Petisi 24 Oktober”. Isi petisi ini mengkritisi kebijaksanaan
pembangunan yang dianggap tidak populis, kebijaksaan pembangunan yang dijalankan pemerintah hanya
menguntungkan yang kaya. Perlawanan gerakan mahasiswa periode ini memang tidak meluas seperti halnya
gerakan penumbangan Soekarno, perlawanan hanya berpusat di Jakarta dan tidak didukung dengan aksi
masa yang massif. Konsepsi gerakan Moral masih dipakai dalam periode ini dimana kekuatan mahasiswa
hanya terbatas memberikan kritik yang loyal kepada pemerintahan yang ada.
Setelah peristiwa diatas, gerakan mahasiswa baru bangkit kembali awal tahun 1974. Ketika itu
mahasiswa memprotes masuknya modal Jepang ke Indonesia. Kunjungan PM Jepang, Tanaka, di boikot
dengan melakukan aksi massa besar-besaran di Jakarta. Hal inilah yang mengakibatkan ibu kota lumpuh
total. Saat itu gerakan mahasiswa melakukan rally dari kampus UI Salemba menuju kampus Trisakti.
Sementara rakyat “asyik” dengan aksinya sendiri, melakukan pembakaran terhadap mobil-mobil produk
Jepang. Peristiwa ini yang kemudian terkenal dengan Malapetaka 15 Januari “Malari”, kemudian muncullah
nama-nama Hariman Siregar, Sjahrir, dll. Dari data sejarah yang ada, gerakan mahasiswa yang membesar
ini tidak lepas dari konflik elit waktu itu, ketika faksi jendral Soemitro dan Ali Moertopo saling berebut
kekuasaan.
Setelah 4 tahun peristiwa Malari, baru gerakan mahasiswa “bangun” kembali dari masa istirahat.
Pada tahun 1978 ini aksi-aksi mahasiswa terjadi di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Yogya dan
Surabaya. Aksi-aksi ini menolak pencalonan Soeharto menjadi presiden kembali. Karena aksi-aksi semakin
membesar dan mengancam kekuasan Soeharto, maka militer diperintahkan untuk menghentikan aksi -aksi
mahasiswa.
Kampus Istitut Teknologi Bandung (ITB) di kepung panser, mahasiswa membuat barikade dengan
melakukan tidur di sepanjang jalan Ganesa, aksi ini mampu bertahan beberapa minggu sebelum berhasil
dibubarkan militer. Sementara di Yogyakarta, militer menembaki aksi mahasiswa di Universitas Gajah Mada,
mahasiswa di kejar-kejar sampai ke dalam kampus, peristiwa ini kemudian terulang 20 tahun kemudian.
Memang akhirnya perlawanan mahasiswa dapat dilumpuhkan oleh rejim Orba, namun perlawanan ini
setidaknya telah memberikan pelajaran berharga bagi sejarah perlawanan di Indonesia. Apabila kita simak
ada dua hal penting dalam gerakan mahasiswa periode ini.
Setelah “kemenangan tertunda” dari gerakan mahasiswa ‘78, pemerintahan Soeharto mengambil
pelajaran dari peristiwa ini. Rejim Soeharto berusaha “memenjarakan” mahasiswa agar tidak keluar dari
kampus. Ketika Mendikbud dijabat oleh Doed Joesoef dikeluarkan kebijaksanaan Normalisasi Kehidupan
Kampus (NKK)/Badan Koordinasi Kampus (BKK). Organisasi mahasiswa semacam Dewan Mahasiswa
dibubarkan, seluruh kegiatan mahasiswa dilarang berhubungan dengan kehidupan politik praktis.
Pada tahun 1980-an, tawaran LSM, literatur populis dan ada juga sedikit yang struktural terutama
yang di Barat, serta belajar keluar negeri merupakan suatu kondisi objektif yang ditawarkan oleh kapitalisme
yang sedang berada pada titik kontradiski ekonomi, politik, dan budayanya produktivitas yang rendah
(terutama produk yang mempunyai watak nasionalistis), kemiskinan, gap antara kaya dan miskin,
pengangguran, konsumerisme, kesenjangan harga dan pendapatan, krisis kepemimpinan, rendahnya
kuantitas dan kualitas pendidikan politik, kosongnya dunia pendidikan, keilmuan dan budaya yang
nasionalistis dan pro-rakyat, perusakan lingkungan, dekadensi moral, dan sebagainya, yang belum pernah
terjadi sedemikian membahayakan dalam sejarah bangsa Indonesia.
Tahun 1985 dan seterusnya kebekuan responmasyarakat terhadap kondisi objektif ekonomi, politik,
dan budaya yang sangat negatif, berhasil oleh gerakan-gerakan mahasiswa, yangpara pelakuknya banyak
berasal dari kelas menengah ke bawah dan masih sektarian bila dibandingkan dengan Filipina dan Korea
Selatan. Bila dilihat konsolidasi dan isunya, gerakan mahasiswa periode ini relatif lebih merakyat,
berhasil dalam membentuk opini dan lebih kuat dalam bargain politiknya.
Aksi mahasiswa Ujung Pandang (1987) adalah aksi yang baru pertama kalinya dengan turun ke
jalan (rally), dengan jumlah massa yang relatif besar, dengan mengambil isu kebijaksanaan pemerintah
dalam peraturan lalu lintas, judi, dan ekspresi kesulitan ekonomi. Aksi ini dihentikan
dengan memakan beberapa korban. Tradisi turun ke jalan ini telah menjadi trend pada saat ini, Pengerahan
massa yang relatif besar pada saat ini belum konsisten pada tujuan politiknya.
Celah-celah kegiatan pers dan tersebarnya mass media kampus, kegiatan-kegiatan diskusi, aksi-aksi
yang dipikirkan masak-masak, benar-benar memberikan pengalaman yang berharga, baik dari segi
pematangan, pemahaman, penyatuan pikiran maupun rekonsolidasi bagi proses selanjutnya gerakan
mahasiswa tahun 80-an.
Kontinum gerakan mahasiswa tahun 80-an tampaknya kini lebih menggembirakan. Hingga sekarang
mereka bisa merebut opini nasional dan internasional, isunya lebih merakyat, bargain politiknya lebih kuat,
dapat menarik simpati rakyat serta tingkat kolaborasi dengan unsur-unsur administrator militer, birokrat,
partai, ex-partai, ormas, LSM, kelompok studi, maupun lainnya boleh dikatakan sangat rendah. Namun
kontinum tersebut belumlah sampai pada tingkat seperti yang dijelaskan sebelumnya.
Tahun 1990, pada periode ini Gerakan Mahasiswa kembali mencoba membangun gerakan massa
dengan hidupnya kembali aktivitas kampus. Gerakan Mahasiswa turun mengadvokasi kasus-kasus
kerakyatan. Tahun 1992 terbentuk Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID). Dan kader-
kader banyak yang turun kesektor-sektor rakyat, seperti buruh, petani. Kader-kader SMID juga aktif
mengadvokasi kasus-kasus kerakyatan, seperti kasus tanah Kedung Ombo, kasus buruh di Surabaya dan
Jabotabek. Sampai-sampai kader-kader SMID banyak yang diculik dan dibunuh oleh Rejim diktator Orba.
Puncaknya adalah Tragedi 27 Juli 1996 yang sempat membuat perlawanan Gerakan Mahasiswa kembali
tiarap. Dan kembali melakukan gerakan bawah tanah. Tapi akibat dari tragedi 27 Juli perlawanan rakyat
terhadap rejim penindas orba semakin besar, sentimen anti Soeharto sangat tinggi.
Gerakan Mahasiswa 98 munculnya bersifat momentum. Di akhir tahun 1997 Indonesia mengalami
resesi ekonomi sebagai nakibat dari kewajiban untuk membayar hutang luar negeri yang sudah mengalami
jatuh tempo. Dampak dari krisis ekonomi di Indonesia yang berkepanjangan ini adalah naiknya harga -harga
sembako. Bulan-bulan berikutnya ditahun 1998 adalah malapetaka bagi rejim Orba. Tidak seperti yang
banyak dibayangkan oleh pakar-pakar politik, perlawanan massa berkembang sedemikian cepat dan masif di
hampir seluruh kota-kota besar di Indonesia. Posko-posko perlawanan sebagai simbol perlawanan terhadap
rejim muncul diberbagai kampus dan dalam kesehariannya posko ini sangat disibukkan oleh kegiatan -
kegiatan yang politis sifatnya seperti rapat-rapat koordinasi, pemutaran film-filim politik, dll. Tak nampak lagi
kultur mahasiswa yang sebelumnya apatis, hedon, cuek, dll. Hampir di setiap sudut kita dapat menemukan
mahasiswa yang berbicara tentang politik, benar-benar sesuatu yang baru.
Intensitas gerakan ini tidak dapat dilepaskan dari kondisi obyektif yang semakin tak menentu seperti
krisis yang tak kunjung usai, tingkat represi yang semakin meningkat mulai dari penculikan aktivis sampai
pada pemukulan dan penembakan mahasiswa yang mencoba turun ke jalan. P uncak dari tindakan represi ini
adalah dengan ditembaknya 4 mahasiswa Univ. Trisakti pada tanggal 12 Mei 1998. Penembakan ini memicu
kemarahan massa rakyat, yang representasinya dilakukan dalam bentuk pengrusakan, penjarahan ataupun
pemerkosaan di beberapa tempat di Indonesia. Praktis dalam 2 hari pasca penembakan, Jakarta berada
dalam kondisi yanag tidak terkontrol. Mahasiswa kemudian secara serempak menduduki simbol-simbol
pemerintahan lembaga legislatif beberapa hari kemudian (18 Mei), yang dilakukan hingga Soeharto mundur.
Bentuk-bentuk perlawanan Organisasi mahasiswa pada saat itu adalah membentuk komite-komite
aksi ditingkatan kampus dan juga mengajak elemen massa rakyat untuk menuntaskan Rejim Orba.
Propaganda-propaganda yang dibangun pada awalnya mengangkat isu-isu ekonomis tentang turunkan harga
sembako. Dan meningkat menjadi isu politis yaitu turunkan Soeharto dan cabut Dwifungsi ABRI (untuk isu ini
hanya di beberapa kota yang tergolong lebih relatif radikal). Slogan aksi pada saat itu adalah Reformasi. Tapi
pada saat itu terjadi perdebatan-perdebatan dikalangan Gerakan Mahasiswa. Perdebatan itu adalah apakah
Gerakan Mahasiswa ini Gerakan Moral atau Gerakan Politik.
Tanggal 21 Mei 1998 Gerakan Mahasiswa yang di dukung oleh rakyat mampu melengserkan
Soeharto. Tetapi setelah itu GM seperti kehilangan arah dan merasa puas. Padahal yang justru menjadi
problema rakyat Indonesia pada saat itu belum tersentuh. Di tingkat Gerakan Mahasiswa yang terjadi justr u
polarisasi dalam gerakan dan bukannya tuntasnya agenda-agenda Reformasi atau Revolusi Demokratik.
”KEORGANISASIAN PMII”
Sejarah masa lalu adalah cermin masa kini dan masa datang. Dokumen historis, dengan demikian
merupakan instrumen penting untuk mengaca diri. Tidak terkecuali PMII. Meski dokumen yang disajikan
dalam tulisan ini terbilang kurang komplit, sosok organisasi mahasiswa tersebut sudah tergambar jelas berikut
pemikiran dan sikap-sikapnya. Dokumen Sejarah menjadi sangat penting untuk ditinjau ulang sebagai
referensi atau cerminan masa kini dan menempuh masa depan, demikian halnya Pergerakan Mahasiswa
Islam Indonesia (PMII) sebagai organisasi kemahasiswaan yang gerak perjuangannya adalah membela kaum
mustadh’afin serta membangun kebangsaan yang lebih maju dari berbagai aspek sesuai dengan yang telah
dicita-citakan.
PMII, yang sering kali disebut Indonesian Moslem Student Movement atau Pergerakan Mahasiswa
Islam Indonesia adalah anak cucu NU (Nahdlatul Ulama) yang terlahir dari kandungan Departemen
Perguruan Tinggi Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU), yang juga anak dari NU. Status anak cucu inipun
diabadikan dalam dokumen kenal lahir yang dibikin di Surabaya tepatnya di Taman Pendidikan Putri Khodjijah
pada tanggal 17 April 1960 bertepatan dengan tanggal 21 Syawal 1379 H, sebagai organisasi underbow
Partai NU. Dalam perkembangannya PMII menjadi organisasi independen dan menekankan diri sebagai
organisasi pergerakan, dengan tujuan menciptakan pribadi Muslim yang memiliki komitmen memperjuangkan
cita-cita kemerdekaan Indonesia (Pasal 4 AD/ART). Struktur organisasi PMII meliputi Pengurus Besar,
Koordinator Cabang (Provinsi), Cabang (Kabupaten/Kota), Komisariat (Kampus) dan Rayon (Fakultas).
Proses berorganisasi diatur melalui berbagai jenis rapat mulai dari Kongres (nasional) hingga RTAR.
Seperti diuraikan oleh sahabat Chotibul Umam (mantan Rektor PTIQ Jakarta yang juga generasi
pertama PMII), pra melaksanakan Musyawarah Mahasiswa Nahdliyin tersebut, terlebih dahulu 3 dari 13 orang
sponsor pendiri itu, yaitu Hisbullah Huda (Surabaya), Said Budairy (Jakarta), dan Maksum Syukri (Bandung)
pada tanggal 19 Maret 1960 berangkat ke Jakarta menghadap Ketua Umum Partai Nahdlatul ulama (NU)
yaitu KH. Idham Khalid untuk meminta nasehat sebagai pegangan pokok dalam musyawarah yang akan
dilaksanakan. Dan akhirnya mereka mendapatkan lampu hijau, beberapa petunjuk, sekaligus har apan agar
menjadi kader partai NU yang cakap dan berprinsip ilmu untuk diamalkan serta berkualitas takwa yang tinggi
kepada Allah SWT. Salah satu pesan KH. Idham Khalid yang menjadi pegangan bagi mahasiswa nahdliyin
pada waktu itu yaitu hendaknya organisasi yang akan dibentuk itu benar-benar dapat diandalkan, dan menjadi
mahasiswa yang berprinsip ‘ilmu untuk di amalkan’ bagi kepentingan rakyat, bukan ‘ilmu untuk ilmu’. Lalu
berkumpulah tokoh-tokoh mahasiswa yang tergabung dalam organisasi IPNU tersebut untuk membahas
tentang nama organisasi yang akan dibentuk.
Akhirnya, pada tanggal 14-16 April 1960 dilaksanakan Musyawarah Nasional Mahasiswa NU
bertempat di Taman Pendidikan Puteri Khadijah Surabaya dengan dihadiri mahasiswa NU dari berbagai
penjuru kota di Indonesia, dari Jakarta, Bandung, Semarang, Surakarta, Yogyakarta, Surabaya, Malang dan
Makassar, serta perwakilan senat Perguruan Tinggi yang bernaung dibawah NU. Pada saat itu diperdebatkan
nama organisasi yang akan didirikan. Delegasi Yogyakarta mengusulkan nama Himpunan atau Perhimpunan
Mahasiswa Sunny. Delegasi Bandung dan Surakarta mengusulkan nama PMII.
Selanjutnya nama PMII yang menjadi kesepakatan Kongres. Namun kemudian kembali dipersoalkan
kepanjangan dari “P” apakah Perhimpunan atau Persatuan. Akhirnya disepakati huruf “P” merupakan
singkatan dari Pergerakan, sehingga PMII adalah “Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia”. Musyawarah
juga menghasilkan susunan Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) PMII, serta memilih dan
menetapkan Kepengurusan. Terpilih Sahabat Mahbub Djunaidi sebagai Ketua Umum, M. Chalid Mawardi
sebagai Ketua I, dan M. Said Budairy sebagai Sekretaris Umum. Ketiga orang tersebut diberi amanat dan
wewenang untuk menyusun kelengkapan kepengurusan PB PMII.
Unsur pemikiran yang ditonjolkan pada organisasi PMII yang akan berdiri pada waktu itu adalah:
1. Mewujudkan adanya kedinamisan sebagai organisasi mahasiswa, khususnya karena pada waktu
itu situasi nasional sedang diliputi oleh semangat revolusi;
2. Menampakkan identitas ke-Islaman sekaligus sebagai konsepsi lanjutan dari NU yang berhaluan
ahlu sunnah wal jamaah juga berdasarkan perjuangan para wali di pulau jawa yang telah sukses
dengan dakwahnya. Mereka sangat toleran atas tradisi dan budaya setempat. Sehingga dengan
demikian ajaran-ajarannya bersifat akomodatif.
3. Memanifestasikan nasionalisme sebagai semangat kebangsaan, karenanya nama Indonesia harus
tercantum.
PMII dideklarasikan secara resmi pada tanggal 17 April 1960 Masehi atau bertepatan dengan
tanggal 17 Syawwal 1379 Hijriyah. Maka secara resmi pada tanggal 17 April 1960 dinyatakan sebagai
hari lahir PMII. Dua bulan setelah berdiri, pada tanggal 14 Juni 1960 pucuk pimpinan PMII disahkan oleh
PBNU. Sejak saat itu PMII memiliki otoritas dan keabsahan untuk melakukan program-programnya secara
formal organisatoris.
Dalam waktu yang relatif singkat, PMII mampu berkembang pesat sampai berhasil mendirikan 13
cabang yang tersebar di berbagai pelosok Indonesia karena pengaruh nama besar NU. Dalam
perkembangannya PMII juga terlibat aktif, baik dalam pergulatan politik serta dinamika perkembangan
kehidupan kemahasiswaan dan keagamaan di Indonesia (1960-1965).
Pada 14 Desember 1960 PMII masuk dalam PPMI dan mengikuti Kongres VI PPMI (5 Juli 1961) di
Yogyakarta sebagai pertama kalinya PMII mengikuti kongres federasi organisasi ekstra universitas. Peran
PMII tidak terbatas di dalam negeri saja, tetapi juga terlibat dalam perkembangan dunia internasional. Terbukti
pada bulan September 1960, PMII ikut berperan dalam Konferensi Panitia Forum Pemuda Sedunia
(Konstituen Meeting of Youth Forum) di Moscow, Uni Soviet. Tahun 1962 menghadiri seminar World
Assembly of Youth (WAY) di Kuala Lumpur, Malaysia. Festival Pemuda Sedunia di Helsinki, Irlandia dan
seminar General Union of Palestina Student (GUPS) di Kairo, Mesir.
Di dalam negeri, PMII melibatkan diri terhadap persoalan politik dan kenegaraan, terbukti pada
tanggal 25 Oktober 1965, berawal dari undangan Menteri Perguruan Tinggi Syarif Thoyyib kepada berbagai
aktifis mahasiswa untuk membicarakan situasi nasional saat itu, sehingga dalam ujung pertemuan disepakati
terbentuknya KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) yang terdiri dari PMII, HMI, IMM, SEMMI, dan
GERMAHI yang dimaksudkan untuk menggalang kekuatan mahasiswa Indonesia dalam melawan
rongrongan PKI dan meluruskan penyelewengan yang terjadi. Sahabat Zamroni sebagai wakil dari PMII
dipercaya sebagai Ketua Presidium. Dengan keberadaan tokoh PMII di posisi strategis menjadi bukti
diakuinya komitmen dan kapabilitas PMII untuk semakin pro aktif dalam menggelorakan semangat juang demi
kemajuan dan kejayaan Indonesia.
Usaha konkrit dari KAMI yaitu mengajukan TRITURA dikarenakan persoalan tersebut yang paling
dominan menentukan arah perjalanan bangsa Indonesia. Puncak aksi yang dilakukan KAMI adalah
penumbangan rezim Orde Lama yang kemudian melahirkan rezim Orde Baru, yang pada awalnya diharapkan
untuk dapat mengoreksi penyelewengan-penyelewengan yang dilakukan Orde Lama dan bertekad untuk
melaksanakan UUD 1945 dan Pancasila secara murni dan konsekuen sebagai cerminan dari pengabdian
kepada rakyat.
Pemikiran-pemikiran PMII mengenai berbagai masalah nasional maupun internasional sangat
relevan dengan hasil-hasil rumusan dalam kongresnya antara lain yaitu:
1. Kongres I Solo, 23-26 Desember 1961 menghasilkan Deklarasi Tawang Mangu yang
mengangkat tema Sosialisme Indonesia, Pendidikan Nasional, Kebudayaan dan
Tanggungjawabnya sebagai generasi penerus bangsa.
2. Kongres II di Yogyakarta, 25-29 Desember 1963 penegasan pemikiran Kongres I dan dikenal
sebagai Penegasan Yogyakarta dan sebelumnya ditetapkan 10 Kesepakatan Ponorogo 1962
(sebagai bukti kesadaran PMII akan perannya sebagai kader NU).
Secara totalitas PMII sebagai organisasi merupakan suatu gerakan yang bertujuan melahirkan kader-
kader bangsa yang mempunyai integritas diri sebagai hamba yang bertaqwa kepada Allah SWT dan atas
dasar ketaqwaannya berkiprah mewujudkan peran ketuhanannya membangun masyarakat bangsa dan
negara Indonesia menuju suatu tatanan masyarakat yang adil dan makmur dalam ampunan dan ridlo Allah
SWT).
Sedangkan pengertian Ahlus Sunnah Wal-Jama’ah yang menjadi paham organisasi adalah Islam
sebagai universalitas yang meliputi segala aspek kehidupan manusia. Aspek-aspek tersebut dapat dijabarkan
kedalam tata Aqidah, Syariah, dan Tasyawuf. Dalam bidan Aqidah mengikuti paham Al-Asya’ari dan Al-
Maturidi, dalam bidang syariah mengikuti salah satu mazhab empat yaitu: Syafi’I, Maliki, Hambali dan Hanafi.
Sedang dalam bidang Tasawuf, mengikuti Imam Juned Al-Bagdadi dan Imam Al-Gozali. Masing-masing
ketiga aspek itu dijadikan paham organisasi PMII dengan tanpa meninggalkan wawasan dasar Al -Qur’an dan As-
Sunnah serta perilaku sahabat Rasul. Aspek Fiqih diupayakan penekanannya pada proses pengambilan
hukum, yaitu Ushul Fiqih dan Kaidah Fiqih, bukan semata-mata hukum itu sendiri sebagai produknya (lihat
NDP PMII).
Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa para mahasiswa nahdliyin sebenarnya dari segi
cara berfikir tidak jauh berbeda dengan mahasiswa pada umumnya, yang menghendaki kebebasan.
Sedangkan dalam bertindak cenderung anti kemapanan, terlebih jika kelahiran PMII itu dihubungkan dengan
tradisi keagamaan di kalangan NU, misalnya bagi putra-putri harus berbeda/dipisah organisasi, PMII justru
keluar dari tradisi itu. Fenomena ini barangali termasuk hal yang patut mendapat perhatian bagi
perkembangan pemikiran ahlussunnah wal-jama’ah.
Adapun susunan pengurus pusat PMII periode pertama ini baru tersusun secara lengkap pada bulan
Mei 1960. Seperti diketahui, bahwa PMII pada awal berdirinya merupakan organisasi mahasiswa
yang idependen dengan NU , maka PP. PMII dengan surat tertanggal 8 Juni 1960 mengirim surat
permohonan kepada PBNU untuk mengesahkan kepengurusan PP PMII tersebut. Pada tanggal 14 Juni 1960
PBNU menyatakan bahwa organisasi PMII dapat diterima dengan sah sebagai keluarga besar partai NU dan
diberi mandat untuk membentuk cabang-cabang di seluruh Indonesia, sedang yang menandatangani SK
tersebut adalah DR. KH. Idham Chalid selaku ketua Umum PBNU dan H. Aminuddin Aziz selaku wakil
sekretaris jendral PBNU ).
Musyawarah mahasiswa nahdliyin di Surabaya yang dikenal dengan nama PMII, hanya
menghasilkan peraturan dasar organisasi, maka untuk melengkapi peraturan organisasi tersebut dibentuklsn
satu panitia kecil yang diketuai oleh sahabat M. Said Budairi dengan anggota sahabat Chalid mawardi dan
sahabat Fahrurrazi AH, untuk merumuskan peraturan rumah tangga PMII. Dalam sidang pleno II PP PMII
yang diselenggarakan dari tanggal 8 - 9 September 1960, Peraturan rumah tangga PMII dinyatakan syah
berlaku melengkapi paraturan dasar PMII yang sudah ada sebelumnya).
Di samping itu, sidang pleno II PP PMII juga mengesahkan bentuk muts (topi), selempang PMII,
adapun lambang PMII diserahkan kepada pengurus harian, yang akhirnya dipuruskan bahwa lambang PMII
berbentuk perisai seperti yang ada sekarang (rincian secara lengkap dapat dilihat dalam lampiran peraturan
rumah tangga PMII). Dalam sidang ini pula dikeluarkan pokok-pokok aturan mengenai penerimaan anggota
baru ) sekarang dikenal dengan MAPABA.
Pada tahap-tahap awal berdirinya PMII banyak dibantu warga NU terutama PP LP. Ma’arif NU. Sejak
musyawarah mahssiswa nahdliyin di surabaya sampai memberikan pengertian kepada Pesantren -pesantren
(perlu diketahui, pada awal berdirinya, di Pondok-pondok Pesantren dapat dibentuk PMII dengan anggota
para santri yang telah lulus madrasah Aliyah dan seang mengkaji kitab yang tingkatannya sesuai dengan
pelajaran yang diberikan di perguruan tinggi agama). Dengan adanya kebijakan seperti ini ternyata dapat
mempercepat proses pengembangan PMII).
Jelaslah bahwa PMII merupakan komunitas penting bagi bangsa ini. Maka, PMII dituntut harus
mampu tetap memberikan dharma bhaktinya kepada nusa, bangsa dan agama. Kritik konstruktif dan mitra
pembangunan yang cerdas terhadap pemerintah supaya menjalankan pemerintahan dengan baik dan benar
(kalau tidak bisa ya lebih baik turun atau diturunkan), dan mendidik anggotanya untuk mandiri dan berani
bersaing dengan siapapun agar survive dalam percaturan kehidupan globalisasi yang sangat kompetitif,
menjadi agenda utama yang harus segera dilaksanakan.
Disitulah, pendekatan Multilevel Strategi Kaderisasi yang ditempuh PMII menjadi ikhtiar organisasi
untuk mencetak kader-kader yang mampu percaya diri untuk meraih keberhasilan cita-cita. jelaslah bahwa
PMII merupakan komunitas penting bagi bangsa ini. Maka, PMII dituntut harus mampu tetap memberikan
dharma bhaktinya kepada nusa, bangsa dan agama. Kritik konstruktif dan mitra pembangunan yang cerdas
terhadap pemerintah supaya menjalankan pemerintahan dengan baik dan benar (kalau tidak bisa ya lebih
baik turun atau diturunkan), dan mendidik anggotanya untuk mandiri dan berani bersaing dengan siapapun
agar survive dalam percaturan kehidupan globalisasi yang sangat kompetitif, menjadi agenda utama yang
harus segera dilaksanakan.
Disitulah, pendekatan Multilevel Strategi Kaderisasi yang ditempuh PMII menjadi ikhtiar organisasi
untuk mencetak kader-kader yang mampu percaya diri untuk meraih keberhasilan cita-cita.
“ASWAJA (AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH)”
Pengikut Sunnah Nabi dan Para Sahabat dalam Cara Berpikir dan Pola Perubahan SosialYang Diusung
Pemahaman Dasar
Semenjak sabda Nabi yang mengatakan bahwa agama Islam akan terpecah menjadi 73 golongan,
dan hanya satu yang benar diantara kesemua golongan tersebut, berbagai aliran dalam agama islam dari
zaman dulu sampai sekarang akhirnya mengklaim bahwa diri mereka masing -masing merupakan satu-
satunya golongan yang benar dan sesuai dengan ajaran Nabi yang dikenal dengan ASWAJA.
Secara umum yang paling banyak dikenal orang pemaknaan akan Ahlussunnah wal jama’ah
(Aswaja) adalah madzhab keislaman yang menjadi dasar jam’iyyah Nahdlatul Ulama’ (NU) sebagaimana
dirumuskan oleh Hadlratus Syaikh K.H. M. Hasyim Asy’ari dalam Qanun Asasi . Yaitu : Dalam ilmu
aqidah/teologi mengikuti salah satu dari Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi. Dalam
syari’ah/fiqh mengikuti salah satu Imam empat: Abu Hanifah, Malik bin Anas, Muhammad bin Idris Al-
Syafi’i, dan Ahmad bin Hanbal. Dalam tashawuf/akhlaq mengikuti salah satu dua Imam: Junaid al-
Baghdadi dan Abu Hamid al-Ghazali. Terbuka juga jika terdapat pemaknaan lain dari ASWAJA selain dari
yang diatas, (barangkali ada yang berbeda).
Akan tetapi apapun pemaknaan terhadap ASWAJA selama ini, lebih-lebih seperti diatas, semua itu
kurang memadai untuk dijadikan tempat berpijak dalam sebuah pergerakan.Sebab, pemahaman yang
demikian lebih mengarah pada pemahaman yang kaku dan kurang bisa menyesuaikan terhadap kondisi
sosial yang berkembang. Dimana pemahamannya tersendat pada sebuah pemikiran tokoh (sekalipun
terpandang dan terhormat), lingkungan, tempat, faktor politik, dan berbagai kondisi sosial saat itu yang jauh
berbeda dengan masa sekarang bahkan dimasa yang akan datang. Padahal sebuah pergerakan
membutuhkan pijakan yang syarat akan pemaknaan Aswaja yang fleksibel, tidak kaku, dan selalu ada
ruang untuk ditafsiri ulang untuk disesuaikan lagi dengan kondisi sosial yang sedang berkembang.
Oleh karena itu, PMII memaknai Aswaja sebagai;
1. Manhajul fikr yaitu sebagai sebuah metode berpikir yang digariskan oleh para sahabat Nabi dan
tabi’in yang begitu erat kaitannya dengan situasi politik dan kondisi sosial yang meliputi masyarakat
muslim waktu itu. Baik cara mereka menyikapi berbagai kemelut perbedaan antar keyakinan atau
dalam memahami keruhnya konstelasi politik, yang kesemua itu berlandaskan pada nilai-nilai
kemanusiaan yang terselubung dalam makna ASWAJA. Dari manhajul fikr ini kemudian lahir
pemikiran-pemikiran keislaman baik di bidang aqidah, syari’ah, maupun akhlaq/tasawuf,
yang binneka tunggal ika dalam ruh yang sama.
2. Manhaj taghayyur al-ijtima’i yaitu sebuah pola perubahan sosial-kemasyarakatan yang sesuai
dengan ruh perjuangan rasulullah dan para sahabatnya. Untuk memahami pola perubahan ini
dibutuhkan pemahaman akan perjalanan sejarah kebudayaan islam yang nantinya terurai dalam
materi pendalaman tentang ASWAJA
Dari pemahaman diatas, pada pokoknya pemahaman Aswaja baik sebagai metode berpikir ( manhajul
fikr) maupun pola perubahan sosial (manhaj taghayyur al-ijtima’i) adalah sesuai dengan sabda Rasulullah
yang mengatakan bahwa: ma ana ‘alaihi wa ashabi (segala sesuatu yang datang dari rasul dan para
sahabatnya) yaitu metode berpikir dan pola perubahan sosial yang diusung, yang sebenarnya be rlandaskan
pada beberapa nilai berikut: moderat (tawassuth), toleran(tasamuh), keseimbangan
(tawazun), dan keadilan (ta’adul).
Nilai-Nilai Aswaja
a. Nilai-nilai Kemoderatan (Tawassuth)
Khairul umur awsathuha (moderat adalah sebaik-baik perbuatan). Tawassuth bisa dimaknai sebagai
berdiri di tengah, moderat, tidak ekstrim, tetapi memiliki sikap dan pendirian yang teguh dalam menghadapi
posisi dilematis antara yang liberal dan konserfatif, kanan dan kiri, Jabariyah dan Qadariah, dengan
mempertimbangkan kemaslahatan umat dalam garis-garis tuntunan Al-quran dan As-sunnah . Maka kurang
benar jika PMII dikenal terlalu liberal dalam pemikiran, karena bertentangan dengan nilai-nilai tawassuth yang
menjadi jantung pijakan dari PMII itu sendiri.Tetapi PMII lebih dialektis, lebih terbuka dalam pola berpikir, tidak
terjebak dalam pemahaman fanatik yang berbuah pada sebuah kebenaran yang arbitrer (benar menurut diri
sendiri).
Bersikap tawassuth dalam bidang aqidah adalah di satu sisi tidak terjebak dalam rasionalitas buta
dan terlalu liberal (sehingga menomorduakan al-quran dan sunnah rasul), di sisi lain tetap menempatkan akal
untuk berfikir dan menafsirkan al-quran dan al-sunnah yang sesuai dengan kondisi.
Fiqih atau hukum Islam yang tawassuth adalah seperangkat konsep hukum yang di dasarkan kepada Al-
quran dan hadits, namun pemahamannya tidak sekadar bersandar kepada tradisi,juga tidak kepada
rasionalitas akal belaka.
Tasawuf yang tawassuth adalah spiritualitas ketuhanan yang menolak konsep pencapaian haqiqah
(hakikat Tuhan) dengan meninggalkan syari’ah ataupun sebaliknya.Tasawuf yang tawassuth menjadikan
taqwa (syari’ah) sebagai jalan utama menuju haqiqah.
Citra bahwa laki-laki itu kuat dan rasional sementara perempuan lemah dan emosional merupakan
konstruksi budaya. Citra tersebut bukanlah kodrat. Pembeda laki-laki dan perempuan terletak pada
biologisnya, itulah yang disebut kodrat.Konstruksi budaya di atas seringkali disalahartikan sebagai kodrat
sehingga menimbulkan rantai ketidakadilan yang cenderung menindas baik laki-laki dan khususnya
perempuan. Ketidakadilan tersebut telah berlangsung selama berabad-abad, setua peradaban manusia.
PMII memiliki komitmen terhadap keadilan gender, dan diwujudkan melalui pelembagaan gerakan
perempuan bernama KOPRI. Dalam perjalanan, KOPRI melewati berbagai dinamika. Sempat dibekukan
kemudian dalam KONGRES di Kutai (2003) direkomendasikan untuk diaktifkan kembali.
1. GENDER DAN GERAKAN PEREMPUAN
a) Pengertian Gender
Menurut bahasa, kata gender diartikan sebagai “the grouping of words into masculine, feminine, and
neuter, according as they are regarded as male, female or without sex” yang artinya gender adalah kelompok
kata yang mempunyai sifat, maskulin, feminin, atau tanpa keduanya (netral). Dapat dipahami bahwa gender
adalah perbedaan yang bukan biologis dan juga bukan kodrat Tuhan. Konsep gender sendiri harus dibedakan
antara kata gender dan kata seks (jenis kelamin).
Kata gender jika ditinjau secara terminologis merupakan kata serapan yang diambil dari bahasa
Inggris. Kata Gender berasal dari bahasa Inggris berarti “jenis kelamin” (John M. Echols dan Hassan
Shadily, Kamus Inggeris Indonesia, cet. XII, 1983, hlm. 265). Dalam Webster’s New World Dictionary, gender
diartikan sebagai perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah
laku (Victoria Neufeldt (ed), Webster’s New World Dictionary, 1984, hlm. 561). Di dalam Women’s Studies
Encyclopedia dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan
(distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan
yang berkembang dalam masyarakat (Helen Tierney (ed), Women’s Studies Encylopedia, vol. I, New York:
Green Wood Press,, h.153.).
Karena istilah gender masih sangat baru dipergunakan dalam blantika perbendaharaan kata di
Indonesia, maka kata tersebut tidak dijumpai dalam kamus-kamus bahasa Indonesia. Namun, kata ini terus
melakukan proses asimilasi dengan bahasa Indonesia. Pengaruh kuat dari sosialisasi dalam masyarakat
maka kata tersebut tidak lagi ditulis dengan huruf italik karena sudah seakan-akan dianggap bagian dari
bahasa Indonesia, demikian juga dalam penulisan sebagian telah menggunakan kata gender menjadi gender.
Kata gender ini jika dilihat posisinya dari segi struktur bahasa (gramatikal) adalah bentuk nomina
(noun) yang menunjuk kepada arti jenis kelamin, sex (Peter Salim, Advance English-Indonesia
Dictionary, edisi ketiga, Jakarta: Modern English Press, 1991, h. 384), atau disebut denganal-jins dalam
bahasa Arab Hans (Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic, cet. III, London: McDonald & Evans Ltd.,
1980, h. 141. Lihat pula Munir Ba’albakiy, Al-Maurid: Qāmūs Injilizīy Arabīy,Beirūt: Dār al- ‘Ilm li al-Malāyīn,
1985, h. 383). Sehingga jika seseorang menyebut atau bertanya tentang gender maka yang dimaksud adalah
jenis kelamin––dengan menggunakan pendekatan bahasa. Kata ini masih terbilang kosa kata baru yang
masuk ke dalam khazanah perbendaharaan kata bahasa Indonesia. Istilah ini menjadi sangat lazim
digunakan dalam beberapa dekade terakhir.
Pengertian gender secara terminologis cukup banyak dikemukakan oleh para feminis dan pemerhati
perempuan. Julia Cleves Musse dalam bukunya Half the World, Half a Chancemendefinisikan gender sebagai
sebuah peringkat peran yang bisa diibaratkan dengan kostum dan topeng pada sebuah acara pertunjukan
agar orang lain bisa mengidentifikasi bahwa kita adalah feminim atau maskulin (Lihat Julia Cleve s Mosse, Half
the World, Half a Chance: an Introduction to Gender and Development, terjemahan Hartian Silawati dengan
judul Gender dan Pembangunan, cet. I (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h. 3.)
Suke Silverius memberi pengertian tentang gender sebagai pola relasi hubungan antara laki -laki dan
wanita yang dipakai untuk menunjukkan perangkat sosial dalam rangka validitasi dan pelestarian himpunan
hubungan-hubungan dalam tatanan sosial (Lihat Suke Silberius, Gender dalam Budaya Dehumanisasi dari
Proses Humanisasi, Kajian Dikbud, No. 013, Tahun IV, Juni 1998,http://.www.gender.or.id.).
Ivan Illich mendefinisikan gender dengan pembeda-bedaan tempat, waktu, alat-alat, tugastugas,
bentuk pembicaraan, tingkah laku dan persepsi yang dikaitkan dengan perempuan dalam budaya sosial. Illich
dianggap sebagai orang yang pertama menggunakan istilah gender dalam analisis ilmiahnya un tuk
membedakan segala sesuatu di dalam masyarakat yang tidak hanya terbatas pada penggunaan jenis kelamin
semata (Lihat Siti Ruhaini Dzuhayatin, “Gender dalam Persfektif Islam: Studi terhadap Hal-hal yang
Menguatkan dan Melemahkan Gender dalam Islam”, dalam Mansour Fakih et al, Membincang Feminisme:
Diskursus Gender Perspektif Islam, cet. I (Surabaya: Risalah Gusti, 1996), h. 23. Ivan Illich menulis
buku Gender, diterjemahkan oleh Omi Intan Naomi dengan judul Gender, cet. I (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1998.
Zaitunah Subhan mengemukakan bahwa yang dimaksud gender adalah konsep analisis yang
dipergunakan untuk menjelaskan sesuatu yang didasarkan pada pembedaan laki-laki dan perempuan karena
konstruksi sosial budaya (Lihat Zaitunah Subhan, “Gender dalam Perspektif Islam”, dalam jurnal Akademika,
vol. 06, No. 2, Maret, h. 128).
Pengertian yang lebih kongkrit dan lebih operasioanal dikemukakan oleh Nasaruddin Umar bahwa
gender adalah konsep kultural yang digunakan untuk memberi identifikasi perbedaan dalam hal peran, prilaku
dan lain-lain antara laki-laki dan perempuan yang berkembang di dalam masyarakat yang didasarkan pada
rekayasa sosial (Lihat Nasaruddin Umar, “Perspektif Gender dalam Islam”, jurnal Paramadina, Vol. I. No. 1,
Juli–Desember 1998, h. 99).
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa gender adalah sebuah konsep yang dijadikan parameter
dalam pengidentifikasian peran laki-laki dan perempuan yang didasarkan pada pengaruh sosial budaya
masyarakat (social contruction) dengan tidak melihat jenis biologis secara equality dan tidak menjadikannya
sebagai alat pendiskriminasian salah satu pihak karena pertimbangan yang sifatnya biologis.
d) Gerakan Perempuan
Para aktivis politik feminis pada umumnya mengkampanyekan isu-isu seperti hak reproduksi,
(termasuk hak yang tidak terbatas untuk memilih aborsi, menghapus undang-undang yang membatasi aborsi
dan mendapatkan akses kontrasepsi), kekerasan dalam rumah tangga, meninggalkan hal -hal yang berkaitan
dengan keibuan (maternity leave), kesetaraan gaji, pelecehan seksual (sexual harassment), pelecehan di
jalan, diskriminasi dan kekerasan seksual (sexual violence). Isu-isu ini dikaji dalam sudut pandang feminisme,
termasuk isu-isu patriarkhi dan penindasan.
Sekitar tahun 1960an dan 1970an, kebanyakan dari feminisme dan teori feminis telah disusun dan
difokuskan pada permasalahan yang dihadapi oleh wanita-wanita Barat, ras kulit putih dan kelas menengah.
Kemudian permasalahan-permasalahan tersebut diklaim sebagai persoalan universal mewakili seluruh
wanita. Sejak itu, banyak teori-teori feminis yang menantang asumsi bahwa "perempuan" merupakan
kelompok individu-individu yang serba sama dengan kepentingan yang serupa. Para aktivis feminis muncul
dari beragam komunitas dan teori-teorinya mulai merambah kepada lintas gender dengan berbagai identitas
sosial lainnya, seperti ras dan kelas (kasta). Banyak kalangan feminis saat ini berargumen bahwa feminisme
adalah gerakan yang muncul dari lapisan bawah yang berusaha melampaui batasan-batasan yang
didasarkan pada kelas sosial, ras, budaya dan agama, yang secara kultural dikhususkan dan berbicara
tentang isu-isu yang relevan dengan wanita dalam sebuah masyarakat.
2. KELEMBAGAAN KOPRI
PMII menyadari bahwa anggotanya perlu diberdayakan semaksimal mungkin. Selama ini kader putri
PMII dirasa belum banyak yang diberi kesempatan untuk memaksimalkan potensinya, padahal jumlah
anggota putri PMII terbilang banyak. Untuk itu, konstitusi PMII mensyaratkan keberadaan kader putri dalam
setiap tingkatan kepengurusan PMII diberi kuota minimal 1/3 (dari PB sampai Rayon).
Landasan Normatif
Dalam Bab VII Anggaran Rumah Tangga (ART) PMII tentang Kuota Kepengurusan, Pasal 20
dinyatakan, ayat (1) Kepengurusan di setiap tingkat harus menempatkan anggota perempuan minimal 1/3
keseluruhan anggota pengurus; dan ayat (2) Setiap kegiatan PMII harus menempatkan anggota perempuan
minimal 1/3 dari keseluruhan anggota.
Penjelasan soal pemberdayaan anggota perempuan PMII ada dalam bab VIII Pasal 21 ayat (1)
Pemberdayaan Perempuan PMII diwujudkan dengan pembentukan wadah perempuan yaitu KOPRI (Korp
PMII Putri), dan ayat (2) Wadah Perempuan tersebut diatas selanjutnya diataur dalam Peraturan Organisasi
(PO).
Adapun wadah pemberdayaan anggota putri PMII ditegaskan dengan pembentukan lembaga khusus
bernama Korp PMII Putri (KOPRI) sebagaimana dalam Bab IX tentang Wadah Perempuan. Dalam Pasal 22,
ayat (1): Wadah perempuan bernama KOPRI; ayat (2) KOPRI adalah wadah perempuan yang didirikan oleh
kader-kader Putri PMII melalui Kelompok Kerja sebagai keputusan Kongres PMII XIV; ayat (3) KOPRI
didirikan pada 29 September 2003 di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta dan merupakan kelanjutan sejarah
dari KOPRI yang didirikan pada 26 November 1967; dan ayat (4) KOPRI bersifat semi otonom dalam
hubungannya dengan PMII. Struktur KOPRI sebagaimana struktur PMII, terdiri dari : PB KOPRI, PKC KOPRI
dan PC KOPRI.
Fungsi:
Landasanberpijak: Bahwa NDP menjadi landasan setiap gerak langkah dan kebijakan yang harus
dilakukan.
Landasan berpikir: Bahwa NDP menjadi landasan pendapat yang dikemukakan terhadappersoalan-
persoalan yang dihadapi.
Sumber motivasi: Bahwa NDP menjadi pendorong kepada anggota untuk berbuat dan bergerak
sesuai dengan nilai yang terkandung di dalamnya.
Kedudukan:
Rumusan nilai-nilai yang seharusnya dimuat dan menjadi aspek ideal dalam berbagai aturan dan
kegiatan PMII.
Landasan dan dasar pembenar dalam berpikir, bersikap, dan berprilaku.
Dalam alur pemikiran ini, maka wacana reinventing Islam lokal menjadi relevan, sehingga
keberagamaan kita memiliki autensitas dan identitas yang berpijak pada keagungan wahyu ilahi tanpa
pembiasan budaya arabnya. Sebab gerakan pemurnian kaum fundamental melalui formalisasi Islam hanya
melahirkan arabisme. Misalkan, spirit ajaran Islam justru terabaikan seperti kearifan Islam pada nilai pluralitas
dan multikulturalnya diberangus. Untuk itu, penting sekali, bagi mereka yang belum paham, untuk
mempelajari kembali identitas lokalitas Islam. Pemaknaan identitas tidak hanya dibatasi pada simbolisasi
keislaman, tetapi pada nilai-nilai yang tercermin dari pemahaman dan pengamalan keislaman secara arif
dalam merespons tradisi lokal yang beramalgamasi dengan anasir-anasir Islam.Atas dasar inilah, pemikiran
akulturasi Islam dengan budaya lokal dan relasi ajaran agama (Islam) dengan nilai-nilai lokal muncul,
termasuk di Indonesia. PMII merupakan salah satu representasi dari komunitas kultural ummat Islam terbesar
di Indonesia yaitu Nahdlatul Ulama (NU) yang memiliki kecenderungan untuk senantiasa mensinergi kan
ajarana agama (Islam) dengan budaya lokal dengan mengusung terma al-muhâfazat ‘alâ qadîm al-shâlih wa al-
akhdzu bi al-jadîd al-ashlâh(menjaga tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi baru yang lebih baik).
PMII sebagai bagian dari entitas Islam Indonesia sebagaimana NU selalu menjadi inspirasi bagi gerakan dan
pemikiran ke-Islam-an yang berwawasan kebangsaan, respons terhadap perubahan dan akomodatif
terhadap kebudayaan lokal Nusantara.
PMII senantiasa memposisikan diri sebagai ‘jangkar’ Nusantara. Memperbincangkan sikap
akomodatif PMII terhadap tradisi atau budaya lokal sesungguhnya bukanlah sesuatu yang baru. Tema
hubungan PMII dengan budaya atau tradisi lokal tetap aktual, mengingat dua hal berikut:pertama, sikap
akomodatif PMII terhadap budaya atau tardisi lokal bersifat dinamis; kedua, saat ini banyak kalangan umat
Islam di luar PMII, khususnya yang berideologi puritanisme ala Wahabi yang sangat gencar “menyerang”
ritual keagaman yang dianut kaum Nahdliyyin
1. ISLAM DAN TRADISI: AKAR KULTUR ISLAM INDONESIA
Sebagaimana dimaklumi, sudah lama terjadi gesekan antara kelompok Islam lokal dengan Islam
Arab. Sejak era Perang Paderi yang awalnya dipicu ketegangan antara orang Islam yang pro -Arabis (Tuanku
Imam Bonjol) dengan kelompok Islam Adat. Pada era berikutnya, kita melihat ada kalangan anggota jamaah
tabligh yang menggunakan pakaian seperti pakaian orang Arab dan mereka menganggap itu adalah sunnah
Nabi, dan menganggap orang yang tidak berpakaian seperti mereka dianggap tidak mengikuti sunnah Nabi.
Kelompok ini membedakan diri dengan komunitas Islam.
tradisi yang berkembang di Indonesia, bahkan menilai tradisi keagamaan yang bersifat lokal sebagai
yang tidak Islam. Dalam masyarakat kita, memang terdapat banyak tradisi keagamaan yang bersemai dalam
tradisi lokal seperti sekaten, tahlilan, mauludan, ruwahan, nyadran, peringatan tiga hari, tujuh hari, empat
puluh hari hingga haul, dan lain-lain.
a. Pengertian tradisi
Secara terminologis, ”tradisi” mengandung suatu pengertian tersembunyi tentang adanya kaitan
antara masa lalu dengan masa kini. Ia menunjuk kepada sesuatu yang diwariskan oleh masa lalu, tetapi
masih berwujud dan berfungsi pada masa sekarang. Sewaktu orang berbicara tentang tr adisi Islam secara
tidak sadar ia sedang menyebut serangkaian ajaran atau doktrin yang dikembangkan ratusan atau ribuan
tahun yang lalu tetapi masih hadir dan tetap berfungsi sebagai pedoman dari kehidupan sosial pada masa
kini. sebagai alat analisa. Tidak terungkap dari pengertian tersebut apa yang diwariskan, sudah berapa lama
diwarisi, dengan cara bagaimana, lisan Tradisi dalam pengertian yang paling elementer adalah sesuatu yang
ditransmisikan atau diwariskan dari masa lalu ke masa kini. Pengertian tersebut cukup menolong, namun
masih terlalu umum untuk dipakai ataukah tulisan. Tentunya kita dapat menerima bahwa Taj Mahal di India,
Spinx di Mesir, atau Borobudur di Jawa Tengah adalah monumen-monumen tradisional. Namun tentunya sulit
diterima kalau bangunan-bangunan tersebut dikatakan sebagai tradisi. Itu semua adalah produk dari suatu
tradisi, tetapi bukan tradisi itu sendiri.
Dalam hal ini definisi dalam Ensiklopedi Britanica memberikan pengertian yang lebih jelas, yakni
“kumpulan dari kebiasaan, kepercayaan dan berbagai praktek yang menyebabkan lestarinya suatu bentuk
pandangan hidupnya.” Berangkat dari uraian tersebut kiranya cukup jelas bahwa tradisi adalah sesuatu yang
diwariskan dari masa lalu ke masa kini berupa non-materi, baik kebiasaan, kepercayaan atau tindakan-
tindakan. Semua hal tersebut selalu diberlakukan kembali, tetapi pemberlakuan itu sendiri bukan tradisi
karena justru mencakup pola yang membimbing proses pemberlakuan kembali tersebut.
b. Tradisi dan Sunnah
Dalam bahasa Arab, kata tradisi diidentikkan dengan kata Sunnah yang secara harfiah berarti jalan,
tabi’at, atau perikehidupan. Hal ini sesuai dengan hadits Nabi yang artinya: “Barang siapa yang mengadakan
suatu kebiasaan yang baik, maka bagi orang tua akan mendapat pahala, dan pahala bagi orang yang
melaksanakan kebiasaan tersebut.” Para ulama umumnya mengartikan bahwa yang dimaksud dengan
kebiasaan yang baik itu adalah segenap pemikiran dan kreativitas yang dapat membawa manfaat dan
kemaslahatan bagi umat. Yang termasuk dalam tradisi tersebut adalah mengadakan peringatan maulid nabi
Muhammad SAW, Isra’ Mi’raj, tahun baru hijriyah dan sebagainnya.
Selanjutnya kata ”Sunnah” menjadi suatu istilah yang mengacu pada segala sesuatu yang berasal
dari Nabi, baik dalam bentuk ucapan, perbuatan maupun ketetapan Nabi. Para ulamaMuhadditsin, baik dari
kalangan modern (khalaf) maupun kuno (salaf) menyamakan pengertian Sunnah tersebut dengan al-hadits, al-
akhbar dan al-atsar. Atas dasar pengertian ini kaum orientalis Barat menyebut sebagai kaum tradisionalis
kepada setiap orang yang berpegang teguh kepada al-sunnah Rasulullah SAW bahkan juga kepada mereka
yang berpegang teguh kepada Al-Quran (makanya, kita yang dituduh sebagai kaum tradisionalis jangan
khawatir karena ini hanya tuduhan Barat). Islam Tradisi merupakan model pemikiran yang berusaha
berpegang pada tradisi-tradisi yang telah mapan di masyarakat. Sedangkan Islam post-tradisi, bemaksud
mendialogkan tradisinya dengan zaman modern.
Bagi PMII, tradisi adalah khazanah peradaban manusia. Tugas PMII adalah menyatakan kembali
atau merujukkan dengannya agar tetap survive dalam konstelasi kehidupan masa kini, tentunya dengan
penyesuaian-penyesuaian seperlunya. Perbedaan kita dengan kaum fundamentalis terletak pada
penerimaannya pada tradisi. Ataupun dengan kaum modernis yang membuang tradisi dan ingin meniru Barat.
Bedanya, Islam Fundamentalis membatasi tradisi yang diterima hanya sampai pada khulafa' al-rasyidin,
sedang Islam Tradisi melebarkan sampai pada salaf al-shalih, sehingga kita bisa menerima kitab-kitab klasik
sebagai bahan rujukan. Resikonya, memang terkadang bisa mengarah pada keteguhan memegang prinsip.
Orang luar menyebutnya ekslusif, subjektif dan diterminis. Sedangkan kaum modernis ingin menafsirkan al-
Qur’an dengan kerangka rasionalitas dan metode modern. Sikap Islam Tradisi yang tetap memegang teguh
tradisi dan kemampuannya berdialog dengan modernisasi sebagaimana yang ditunjukkan NU dan PMII
membuktikan bahwa tuduhan orang luar mengenai kelompok Islam tradisi tidak terbukti, sebab kita tetap bisa
berdialog dengan modernitas, Cuma beda dialognya dengan kaum fundamentalis dan kaum modernis.
c. Karakteristik Islam Tradisi
Karakteristik (ciri-ciri atau corak pemikiran) Islam tradisi adalah sebagai berikut:
1. Memegang teguh pada prinsip. Karena keteguhanya ini, orang luar terkadang salah paham
dengan menilainya eksklusif (tertutup) atau fanatik sempit, tidak mau menerima pendapat,
pemikiran dan saran dari kelompok lain (terutama dalam bidang agama). Hal ini dikarenakan
mereka mengganggap bahwa kelompoknya yang paling benar.
2. Bersifat toleran dan fleksibel. Karena sifat tolerannya terhadap tradisi maka orang luar
terkadang salah paham dengan menilainya tidak dapat membedakan antara hal-hal yang
bersifat ajaran dengan yang non-ajaran. Dengan ciri demikian, Islam tradisionalis
mengganggap semua hal yang ada hubungannya dengan agama sebagai ajaran yang harus
dipertahankan. Misalnya, tentang ajaran menutup aurat dan alat menutup aurat berupa
pakaian. Yang merupakan ajaran adalah menutup aurat, sedangkan alat menutup aurat
berupa pakaian dengan berbagai bentuknya adalah bukan ajaran. Jika ajaran tidak dapat
diubah, maka yang bersifat non-ajaran dapat dirubah. Kaum islam tradisionalis tidak dapat
membedakan antara keduanya, sehingga alat menutup aurat berupa pakaian-pun dianggap
ajaran yang tidak dapat dirubah.
3. Berpijak masa lalu untuk masa depan. Islam tradisionalis menilai bahwa berbagai keputusan
hukum yang diambil oleh para ulama di masa lampau merupakan contoh ideal yang harus
diikuti. Hal demikian muncul sebagai akibat dari pandangan mereka yang terlampau
mengagungkan para ulama masa lampau dengan segala atributnya yang tidak mungkin
dikalahkan oleh para ulama atau sarjana yang muncul belakangan. Walau demikian,
pemahaman sebagai manhaj al-fikr juga membuka kemungkinan untuk diadakan ijtihad baru
terhadap permasalahan yang mengemuka di era sekarang.
4. Hati-hati dalam melakukan penafsiran teks agama. Keteguhan pada teks membuat kelompok
ini dituduh sangat tekstulis, padahal tuduhan itu tidak tepat karena apa yang dilakukan kaum
sunni ini adalah sikap kehati-hatiannya dalam mengambil hukum. Sehingga orang luar sering
menuduhnya memahami ayat-ayat al-Qur’an secara tekstual tanpa melihat latar belakang
serta situasi sosial yang menyebabkan ayat-ayat al-Qur’an tersebut diturunkan, sehingga
jangkauan pemakaian suatu ayat sangat terbatas pada kasus-kasus tertentu saja tanpa
mampu menghubungkannya dengan situasi lain yang memungkinkan dijangkau oleh ayat
tersebut.
5. Cenderung tidak mempersalahkan tradisi yang terdapat dalam agama. Pada waktu Islam
datang ke Indonesia, di Indonesia sudah terdapat berbagai macam agama dan tradisi yang
berkembang dan selanjutnya ikut mewarnai tradisi dan paham keagamaan yang ada. Tradisi
yang demikian itu kalau yang baik tidak dipermasalahkan yang penting dapat menentr amkan
hati dan perasaan mereka. Sedangkan tradisi yang bertentangan dengan Islam harus
dihilangkan atau diganti dengan yang substansinya sesuai dengan ajaran Islam.
d. Pribumisasi Islam: Epistemologi Islam Indonesia
Dalam altar revitalisasi Islam dan kearifan lokal (local genius atau local wisdom) sejatinya dibaca
dalam frame pemaknaan Islam secara substantif. Dialektika Islam sebagai ajaran universal dengan budaya
lokal yang partikular mengharuskan ada dialog secara mutual dalam "membumikan" idealitas nilai -nilai Islam
dalam realitas lapisan budaya lokal. Maksud menyemai aspirasi Islam ke dalam aspirasi keindonesiaan, maka
Islam dibaca dalam optik sebagai sistem dari kultur Indonesia. Perspektif ini menjadi urgen dalam
mengasimilasikan ajaran Islam dengan produk-produk kultur lokal. Proses ini menjadi penyeimbang
"langitanisasi" dan "pribumisasi", misalkan Islamisasi Jawa dan Jawanisasi Islam. Dialektika kultur lokal ini
niscaya saling memperkaya, bukan sebaliknya.
Menempatkan Islam sebagai sistem kultur merupakan cerminan autentisitas Islam keindonesiaan
dengan varian lokalitasnya. Membaca artikulasi Islam lokal dalam konteks pengusungan identitas Islam
keindonesiaan, tentu dalam optik reinventing ini menjadikan Islam bergelit-kelindan dengan budaya lokal
secara adaptif. Meski begitu, ide dan prinsip dasar Islam tidak berarti hilang tetapi terakomodasi secara
dialektik dengan tradisi-tradisi lokal. Autentitas beragama dengan penguatan identitas lokalitas menjadi
pijakan dakwah kultural dan multikultural ini menjadi cerminan karakteristik keberagamaan di Indonesia.
Dialektika Islam dan kearifan budaya lokal menjadi isu yang relevan didedahkan dalam lanskap pencarian
identitas Islam keindonesiaan (Firdaus Muhammad,Reinventing Islam Keindonesiaan, 2009).
Di aras pemikiran ini, menyemai Islam dan budaya lokal meniscayakan Islam untuk dibaca sebagai
agama wahyu di satu sisi dan pada sisi lain Islam sebagai agama yang merawat tradisi lokal yang
dimultitafsirkan secara artikulatif dengan nuansa lokalitas tadi. Bacaan ini tidak mereduksi Islam sebagai
Agama langit tetapi juga dimaknai sebagai agama yang dibumikan dalam realitas yang multi -kompleks. Di
sinilah Islam menemukan relevansinya sebagai ajaran langit dan bumi sekaligus, mempertemukan antara
idealitas dan realitas dalam menjawab berbagai problematika kehidupan manusia. Islam yang rahmatan lil
alamin sebagai sistem yang memberi solusi bukan sebaliknya, sebab selama ini bagi sebagian kalangan
Islam justru menjadi problem.
Kehadiran Islam di tengah-tengah realitas multikultur Indonesia meniscayakan kearifan
"memperlakukan" nilai-nilai lokalitas disemaikan (tradisi) Islam. Interaksi Islam dan tradisi lokal lahir ketika
Islam secara sosial telah menjadi kekuatan yang tangguh, dipertemukan tradisi lokal sebagai nilai-nilai yang
mengakar dalam masyarakat secara akulturatif.
Dalam konteks Islam lokal ini tidak lagi mengenal vonis atau stigma teologis terhadap sistem sosial
dan ritus keagamaan yang telah mengakar di masyarakat lokal, misalnya dalam tradisiBarzanji. Proses
reinventing Islam lokal ini sekaligus membendung arus puritanitas dan stigmatisasi Islam lokal sebagai Islam
tidak otentik. Justru yang hendak diupayakan adalah proses penyemaian Islam dan tradisi lokal sebagai pilar
Islam Indonesia yang senafas dengan gagasan pribumisasi Islam yang disampaikan KH. Abdurrahman
Wahid.
e. Pribumisasi Islam: Epistemologi Islam Indonesia
Dalam altar revitalisasi Islam dan kearifan lokal (local genius atau local wisdom) sejatinya dibaca
dalam frame pemaknaan Islam secara substantif. Dialektika Islam sebagai ajaran universal dengan budaya
lokal yang partikular mengharuskan ada dialog secara mutual dalam "membumikan" idealitas nilai -nilai Islam
dalam realitas lapisan budaya lokal. Maksud menyemai aspirasi Islam ke dalam aspirasi keindonesiaan, maka
Islam dibaca dalam optik sebagai sistem dari kultur Indonesia. Perspektif ini menjadi urgen dalam
mengasimilasikan ajaran Islam dengan produk-produk kultur lokal. Proses ini menjadi penyeimbang
"langitanisasi" dan "pribumisasi", misalkan Islamisasi Jawa dan Jawanisasi Islam. Dialektika kultur lokal ini
niscaya saling memperkaya, bukan sebaliknya.
Menempatkan Islam sebagai sistem kultur merupakan cerminan autentisitas Islam keindonesiaan
dengan varian lokalitasnya. Membaca artikulasi Islam lokal dalam konteks pengusungan identitas Islam
keindonesiaan, tentu dalam optik reinventing ini menjadikan Islam bergelit-kelindan dengan budaya lokal
secara adaptif. Meski begitu, ide dan prinsip dasar Islam tidak berarti hilang tetapi terakomodasi secara
dialektik dengan tradisi-tradisi lokal. Autentitas beragama dengan penguatan identitas lokalitas menjadi
pijakan dakwah kultural dan multikultural ini menjadi cerminan karakteristik keberagamaan di Indonesia.
Dialektika Islam dan kearifan budaya lokal menjadi isu yang relevan didedahkan dalam lanskap pencarian
identitas Islam keindonesiaan (Firdaus Muhammad,Reinventing Islam Keindonesiaan, 2009).
Di aras pemikiran ini, menyemai Islam dan budaya lokal meniscayakan Islam untuk dibaca sebagai
agama wahyu di satu sisi dan pada sisi lain Islam sebagai agama yang merawat tradisi lokal yang
dimultitafsirkan secara artikulatif dengan nuansa lokalitas tadi. Bacaan ini tidak mereduksi Islam sebagai
Agama langit tetapi juga dimaknai sebagai agama yang dibumikan dalam realitas yang multi-kompleks. Di
sinilah Islam menemukan relevansinya sebagai ajaran langit dan bumi sekaligus, mempertemukan antara
idealitas dan realitas dalam menjawab berbagai problematika kehidupan manusia. Islam yang rahmatan lil
alamin sebagai sistem yang memberi solusi bukan sebaliknya, sebab selama ini bagi sebagian kalangan
Islam justru menjadi problem.
Kehadiran Islam di tengah-tengah realitas multikultur Indonesia meniscayakan kearifan
"memperlakukan" nilai-nilai lokalitas disemaikan (tradisi) Islam. Interaksi Islam dan tradisi lokal lahir ketika
Islam secara sosial telah menjadi kekuatan yang tangguh, dipertemukan tradisi lokal sebagai nilai -nilai yang
mengakar dalam masyarakat secara akulturatif.
Dalam konteks Islam lokal ini tidak lagi mengenal vonis atau stigma teologis terhadap sistem sosial
dan ritus keagamaan yang telah mengakar di masyarakat lokal, misalnya dalam tradisiBarzanji. Proses
reinventing Islam lokal ini sekaligus membendung arus puritanitas dan stigmatisasi Islam lokal sebagai Islam
tidak otentik. Justru yang hendak diupayakan adalah proses penyemaian Islam dan tradisi lokal sebagai pilar
Islam Indonesia yang senafas dengan gagasan pribumisasi Islam yang disampaikan KH. Abdurrahman
Wahid.
Istilah Islam Indonesia muncul sebagai peristilahan untuk menunjuk identitas keislaman masyara kat
nusantara dalam menghadapi penetrasi kaum Arabis ataupun Barat. Islam Indonesia memang hasil
persemaian agama dan tradisi yang jika kita angkat ke permukaan pasti tidak akan ada habisnya dan akan
selalu terjadi pro dan kontra antara kaum modernis dengan kaum tradisionalis. Sunnah dan tradisi lokal adalah
sebuah fenomena pro dan kontra yang menghiasi pemikiran orang Islam sehjak zaman masa lalu. Intinya
Dua pihak yang pro-dan kontra tersebut memiliki landasan sendiri-sendiri yang mereka anggap benar dan
sesuai dengan Al-Quran. Oleh karena itu, perbedaan pendapat bukanlah sebuah permasalahan selama ada
toleransi dengan saling menghormati satu sama lain, tetapi perbedaan itu akan menjadi masalah manakala
tidak ada rasa saling menghormati satu sama lain. Islam Indonesia akan mampu memimpin peradaban dunia
Islam ketika mampu memperkokoh eksistensinya dalam mengarungi kehidupan modern yang kompetetif.
”ANTROPOLOGI KAMPUS”
B. TIPOLOGI MAHASISWA
Adakampus pasti ada civitas akademika, baik rektor, pembantu rektor, dekan, dosen, pegawai, dan
mahasiswa. Semua civitas akademika tersebut satu sama lainnya saling terkait. Mahasiswa sebagai
komponen utama (karena jumlahnya lebih banyak ketimbang yang lainnya) sangat penting duperhatikan bagi
denyut nadi kampus. Mahasiswa datang dari berbagai penjuru daerah tentu mempunyai latar belakang dan
karakter yang berbeda-beda.
Sebagai mahasiswa, mayoritas anggota baru PMII perlu memahami berbagai jenis tipologi
mahasiswa, dan kira-kira ingin menampatkan dirinya dalam tipe seperti apa. Kita meconba melakukan
klasifikasi atas tipologi mahasiswa, walau ini tidak bersifat paten karena setiap diri kita bisa membuat tipologi
sesuai dengan yang kita lihat dan rasakan. Anda sendiri bisa memegang dua katagori at au tiga bahkan empat
sekaligus dari tipologi yang kitra susun ini. Bahkan mungkin masih membuka munculnya jenis tipologi lainnya.
Yang penting semoga Anda bisa berguna bagi diri Anda sendiri dan bagi orang lain dalam lingkungan
kehidupan keluarga, organisasi dan masyarakat.
1. Mahasiswa Pemimpin
Tipikal mahasiswa seperti ini selalu terlihat mencolok dan aktif dibandingkan mahasiswa lainnya.
Hidupnya di perkuliahan sangat bervariatif –diisi dengan berbagai kegiatan, dan ia tidak hanya belajar dari
kuliah semata, namun juga belajar dari lingkungan. Ia akan aktifg di organisasi, baik intra maupun ektra
kampus. Biasanya –tapi tidak mengikat- tipe mahasiswa seperti ini tidak memiliki keinginan yang besar untuk
lulus terlalu cepat, karena ia mencari pengalaman sebanyak-banyaknya untuk menjadi pemimpin di masa
depan. Cita-citanya, biasanya ingin menjadi pemimpin perusahaan, lurah, bupati, DPR, menteri, bahkan
presiden.
2. Mahasiswa Pemikir
Tipikal mahasiswa jenis ini selalu berpikir dan terus berpikir. Hobinya membaca buku, diskusi dan
menulis. Terkadang orang jenis ini –karena terus belajar- tanpa menghiraukan sekitarnya, agar bisa
mendapatkan jawaban atas apa yang dipikirkannya. Biasanya tipe mahasiswa seperti ini jika telah lulus ingin
jadi ilmuwan, peneliti, dosen atau akademisi.
3. Mahasiswa Study Oriented
Tipikal mahasiswa jenis ini selalu rajin masuk kuliah dan melaksanakan tugas-tugas akademik.
Mahasiswa jenis ini tidak mau tahu dengan apa yang terjadi di kampus. Pokoknya yang penti ng mendapatkan
nilai bagus dan cepat lulus.
4. Mahasiswa Hedonis
Tipe mahasiswa seperti ini tiada banyak berpikir, tidak mau aktif di organisasi. Ia selalu menjalani
kehidupan dengan hedonis, glamour, dan happy-happy. Kalau ke kampus sering memakai pakaian yang
norak, memakai mobil, dan nongkorong di mall, kafe, dan tempat hiburan lainnya.
5. Mahasiswa Agamis
Tipikal mahasiswa seperti ini kemana-mana selalu membawa al-Qur’an, berpakaian ala orang Arab,
tampil (sok) islami, menjaga jarak terhadap lain jenis yang tidak muhrim.
6. Mahasiswa K3 (Kampus, Kos dan Kampung)
Tipikal mahasiswa seperti ini kesibukanya hanya K3, yaitu kampus, kos dan kampung. Kalau tiba jam
kuliah ya berangkat kuliah, kalau selesai pulang kos, atau ada waktu cukup pulang kampung.
7. Mahasiswa Santai Semaunya Sendiri
Tipe mahasiswa seperti ini tiada banyak berpikir, selalu menjalani kehidupan apa adanya. Enjoy aja!
Biasanya tipikal mahasiswa seperti ini aktif di bidang seni dan olahraga. Dia tidak terlalu memikirkan kuliah,
karena yang penting dalam hidupnya adalah santai. Biasanya mahasiswa seperti ini lama sekali lulusnya,
karena nilainya juga santai.
8. Mahasiswa Mencari Cinta
Tipikal mahasiswa seperti ini tiada terlalu memikirkan kuliah, tetapi yang dipikirkannya adalah CINTA.
Yang penting baginya adalah mendapatkan pacar yang setia. Lulus kuliah cepet-cepet menikah.
9. Mahasiswa Jomblo Unsold
Tipe mahasiswa seperti ini terkadang dianggap terlalu menyedihkan, karena tiada laku -laku (unsold).
Tapi terkadang mahasiswa memilih jomblo bukan karena tidak laku, tetapi karena ia memang tidak ingin
berpacaran demi meraih cita-citanya di masa depan.
10. Mahasiswa Usil
Tipikal mahasiswa seperti ini sangat senang apabila orang lain menderita. Contohnya sebelum dosen
masuk kelas, ia akan mengganti kursi dosen dengan kursi yang rusak biar dosennya patah tulang, atau
sebelum dosen masuk, ia menulis kertas di pintu kelas bahwa perkuliahan di kelas hari ini dibatalkan.
11. Mahasiswa Tak Jelas
Tipikal mahasiswa seperti ini tak bisa dikategorikan, karena terkadang ia seperti pemimpin, terkadang
seniman, terkadang pemikir, terkadang santai, terkadang pecinta, terkadang usil, dll. Terkadang aktif keliatan
terus, terkadang lenyap hilang entah ke mana.
12. Mahasiswa Anak Mami
Tipikal mahasiswa seperti ini selalu pulang di akhir pekan, takut kalau mamanya marah. Ia kuliah
demi menyenangkan hati maminya. Kebanyakan tipikal seperti ini tidak menikmati perkuliahannya, karena
jurusan perkuliahannya itu pilihan dari sang ibunda, bukan dari kehendak hatinya. Kebanyakan tipe kuliah
seperti ini putus di tengah jalan, tetapi semoga kamu tidak!
13. Mahasiswa Gadungan
Tipe ini sebenarnya bukan mahasiswa, tetapi karena ingin terlihat seperti mahasiswa, maka ia sering
nongkrong-nongkrong di kampus orang. Biasanya ia punya tujuan tertentu, seperti mencari seorang cewek
idaman atau mau memasang bom di kampus orang.
14. Mahasiswa Monitor
Mahasiswa seperti ini selalu berhadapan dengan komputer, sampai-sampai mukanya sudah
berevolusi seperti monitor. Matanya sudah sebesar mouse, dan rambutnya sudah tak terurus seperti kabel
USB atau RJ-45. Biasanya tipikal mahasiswa seperti ini hobi chatting dan mendapatkan kebutuhannya dari
internet. Tetapi mahasiswa seperti ini bagus juga, karena ia tak bakal ketinggalan zaman deh.
15. Mahasiswa Abadi
Jelas, mahasiswa jenis ini paling betah di kampus, yang di kuliahnya di atas semester 10 tapi masih
santai-santai dan belum mikir lulus.
Pengertian Ansos
Analisis sosial merupakan usaha untuk menganalisis suatu keadaan atau masalah sosial secara
objektif. Analisis sosial di arahkan untuk memperoleh gambaran lengkap mengenai situasi sosial dengan
menelaah kaitan- kaitan historis, struktur sosial, mendalami fenomena fenomena sosial, kaitan kaitan aspek
politik, ekonomi, budaya, dan agama sehingga akan di ketahui sejauh mana terjadi perubahan sosial,
bagaimana institusi sosial, bagaimana institusi sosial yang menyebabkan masalah-masalah sosial, dan juga
dampak sosial yang muncul akibat masalah sosial.
Analisis sosial merupakan salah satu metodologi yang di kembangkan untuk mengetahui dan
mendalami realita sosial. Ada dua pendekatan dalam analisis sosial, yakni pendekatan akademis dan
pendekatan pastoral. Pendekatan akademis mempelajari atau mengkaji situasi khusus dengan cara cara
yang bebar benar abstrak dan objektif, memperinci semua elemennya agar di mengerti dengan jelas.
Sedangkan pendekatan pastoral memndang realitas dalam keterlibatan historis. Mempertimbangkan sit uasi
untuk bertindak. Sehingga ansos bukalah sekedar ungkapan ilmu pemgetahuan akan tetapi ansos di lakukan
lebih pada tujuan untuk di abdikan pada tindakan keadilan.
Ansos di lakukan untuk memperoleh gambaran yang jelas dan lebih lengkap tentang sebuah si tuasi
sosial dengan menggali hubungan –hubungan historis dan kulturnya. Ansos berperan sebagai perangkat
yang memungkinkan kita menangkap dan memahami realitas yang sedang kita hadapi. Ansos menggali
realitas dari berbagai dimensi. Kadang memusatkan pada masalah masalah khusus, kebijakan kebijakan
yang tertuju pada masalah masalah tersebut. Ansos memusatkan diri pada sistem sosial yang perlu di analisis
dari dimensi waktu (analisis waktu) maupun menurut ruang (analisis struktural) analisis histori ini mengkaji
perubahan perubahan sistem sosial dalam kurun waktu. Adapun analisis struktural menyajikan bagian yang
representatif dari kerangka kerja dari sebuah sistem dalam momen waktu tertentu. Kedua analisis tersebut
mesti di lakukan secara komprehensif dan menyeluruh.
Dengan menjangkau dimensi di balik persoalan, dan struktur maka ansos pertama memusatkan pada
sistem sistem tersebut. Pada sistem sistem itu pula terdapat berbagai dimensi misalnya kita dapat berbicara
tentang bentuk ekonomis sebuah sistem sosial sebagai fungsional yang berbeda. Sebuah sistem perlu di
analisis baik menurut waktu maupun ruang analisis historis adalah suatu study tentang perubahan perubahan
sistem sosial dalam kurun waktu tertentu.
Sedangakan analisis struktural menyajikan bagian representatif dari kerangka kerja sebuah sistem
dalam momen tertentu. Perubahan kedua analisis tersebut sangat penting bagi suatu kinerja analisis. Selain
itu dengan ansos pula kita dapat membedakan dimensi objektif baupun subyektif dari sebuah realita sosial.
Ruang lingkup Ansos
Pada dasarnya semua realitas sosial dapat di analisis, namun dalam konteks transformasi sosial,
maka paling tidak objek analisa sosial harus relevan dengan target perubahan sosial yang di rencanakan
sesuai dengan perubahan, secara umum objek sosial yang dapat di analisis antara lain:
1.Masalah masalah sosial, seperti: kemiskinan, pelacuran, pengangguran, kriminilitas.
2.Sistem sosial, seperti : tradisi, usha kecil atau menengah, sistem pemerintahan, sistem pertanian.
3. Lembaga lembaga sosial seperyti sekolah layanan rumah sakit, lembaga pendesaan, kebijakan
publik seperti: dampak kebijakan BBM, dampak perlakuan sebuah uu dan lain sebagainya.
langkah-langkah Ansos
Proses analisis sosial meliputi beberapa tahap lain
1) Memilih dan menentukan objek analisis Pemilihan sasaran masalah harus bedasarkan pada
pertimbangan rasional dalam arti realitas yang di analisis merupakan masalah yang memiliki signifikansi
sosial dan sesuai dengan visi atau misi organisasi
2) Pengumpulan data atau informasi penunjang Untuk dapat menganalisis masalah secara khusus, maka
perlu di dukung dengan datadan informasi penunjang yang lengkap dan releven, baik melauli dokumen
media masa, kegiatan observasi maupun investigasi langsung di lapangan. Recek data ayau informasi
mutlak di lakukan untuk menguji validitas data.
3) Identifikasi dan analisis masalah Merupakan tahap menganalisis objek berdasaekan data yang telah di
kumpulkan. Pemetaan beberapa variable, seperti keterkaitan aspek politik, ekonomi, budaya, dan agama
di lakukan pada tahap ini. Melalui analisis secara komphehensif di harapkan dapat memahami subtansi
masalah dan menemukan saling keterkaitan antara aspek.
4) Menembangkan presepsi Setelah di identifikasi berbagai aspek yang mempengarihi atau terlibat dalam
masalah, selanjutnya di kembangkan presepsi atas masalah sesuai cara pandang yang objektif. Pada
tahap ini akan muncul beberapa kemungkinan implikasi konsekuensi dari objek masalah, serta
pengembangan beberapa alternatif sebagai kerangka tembak lanjut.
5)Menarik kesimpulan Pada tahap ini telah di peroleh kesimpulan tentang: akar masalah, pihak mana saja
yang terlibat, pihak yang di rugikan dan di untungkan, akibat yang di munculkan secara politik, sosial dan
ekonomi serta paradigma tindakan yang bisa di lakukan untuk proses perubahan sosial
Dalam pengembangan PMII local, pengurus harus mempunyai strategi strategi khusus dalam
pengembangannya agar PMII local tetap eksis dan berkembang terus menerus. PMII adalah
organisasi yang bertujuan pada terbentuknya pribadi muslim yang bertaqwa kepada Allah SWT,
berbudi luhur, berilmu, cakap, dan bertanggung jawab dalam mengamalkan ilmu pengetahuannya
serta komitmen atas perwujudan cita-cita kemerdekaan Indonesia. Pengembangan dan penguatan
kader harus didasarkan pada filosofi leberasi sebagai sentral mengarahkan kepada pencerahan.Pola
tata pikir dogmatis menjadi tata pikir dogmatis menjadi tata pikir transformatis. Tata pikir dogmatis
cenderung mengarah pola sikap yang setatis sedangkan tata pikir transformatif mengarah kepada
pola sikap yang dinamis. Sehingga nantinya mampu mewujudkan sosok pribadi yang memiliki
kualitas taqwa, berbudi luhur, berilmu, cakap, dan bertanggung jawab. Pengedepanan
pengembangan kader harus ditunjang dengan pola kaderisasi yang kondusif dan tersistem dengan
memperhatikan tingkat objektif kebutuhan kader. Penguatan harus dimulai dari proses rekrutmen
yang didasarkan tidak hanya pada keinginan untuk menambah kuantitas kader, tetapi lebih terfokus
pada pemberdayaan yang mengarah pada kualitas kader.
Orientasi penguatan kader harus diselaraskan dengan realitas sosial yang terus berkembang
agar potensi pengetahuan dan skil yang dimiliknya mampu dimanfaatkan dalam kebutuhan sosial.
Proses individuasi harus lebih ditekankan dengan memberikan ruang yang lebih luas kepada kader agar
mampu mengapresiasikan potensi yang dimiliknya. Apresiasi bisa dibangun dengan membangun iklim
oraganisasi yang kondusif dan ditopang kekuatan jaringan. Proses ini bisa dilakukan dengan
menjembatani setiap kebutuhan kader sesuai dengan pilihan hidup yang diinginkan. Oleh karena itu
PMII harus menjadi "kawah candradimuka" kader PMII untuk membangun eksistensi dirinya menuju
kader kualitatif seperti yang diharapkan. Ada beberapa rencana dan strategi umum pengembangan
PMII diantaranya adalah:
a. Modal Dasar
Modal dasar PMII adalah:
PMII merupakan organisasi kemasyarakatan pemuda yang eksistensinya dijamin oleh UUD 1945
dan karena itu menjadi aset bangsa dalam melakukan proses pembinaan, dan pengembangan gernerasi
muda khsususnya mahasiswa.NDP sebagai nilai prinsip ajaran Islam Ahlussunnah Wal Jamaah
merupakan sumber motivasi dan inspirasi pergerakan, sekaligus sebagai pendorong, penggerak dan
landasan berpijak dalam kehidupan pribadi insan PMII.
PMII sebagai organsasi mahasiswa Islam mempunyai keterikatan dan tanggung jawab dengan
seluruh masyarakat bangsa Indonesia yang menganut sistem berfikir keagamaan, dan kemasyarakatan
yang sama yaitu ASWAJA dan system kebangsaan.Peran kesejarahan PMII telah menunjukkan
kepeloporann dan patriotismenya dalam menegakkan dan membela agama.Pancasila dan UUD 1945
dalam negara kesatuan republik Indonesia. Selain itu, PMII sebagai elemen civil sociaty telah
terbukti perannya dalam melakukan pendampingan masyarakat, dalam usaha melakukan proses
demokratisasi di kalangan masyarakat dan sebagainya. Peran PMII dalam setiap perubahan, terutama
dalam menegakan reformasi secara total, dalam segala lapis kehidupan kemasyarakatan.Jumlah dan
persebaran anggota PMII yang berada diseluruh wilayah Indonesia sebagai sumber daya insani yang
potensial.Dengan kemapanan struktur organisasi dari tingkat pusat sampai daerah, maka sosialisasi nilai
dan gagasan serta kebijakan dapat berjalan secara efektif dan efisien. Ketaqwaan kepada Allah SWT
merupakan acuan dasar dan sekaligus menjadi nspirasi bagi peningkatan kualitas diri menuju
kesempurnaan hidup manusia sebagai hamba Allah SWT.Jumlah dan mulai tersebarnya profesi alumni
PMII merupakan bagian potensi bagi pengembangan organisasi dan masyarakat.
Tipologi kader yang beragam warga PMII merupakan modal utama dalam menyusun Renstra
Gerakan PMII. Setidaknya, ada lima tipologi dan kecenderungan warga PMII. Pertama , intelektual
baik akademik (scholar) maupun organik (analis/praktisi). Kedua, gerakan massa ( student movement),
baik yang menggunakan baju organisasi maupun organ gerakan lainnya. Ketiga , advokasi sosial baik
yang intens dengan pendampingan sosial, maupun advokasi wacana. Keempat, politisi baik keterlibatan
dalam panggung konstalasi politik, maupun persinggungan dengan dunia politisi.Kelima , kecenderungan
profesional dan enterpreneur . Hanya saja, persebaran tipologi kader ini tidak merata, sehingga cenderung
ada disparitas antara satu cabangd dengan lainnya.
b. Faktor Dominan
Dalam mengerakkan dan memanfaatkan modal dasar untuk mencapai tujuan PMII dengan landasan
serta azas-azas diatas, perlu diperhatikan faktor-faktor dominan berikut:
1. Ideologi yang dianaut oleh PMIImerupakan aspek dominan dari organisasi PMII yang
berisi pandanganhidup, cita-cita serta sistem nilai yang memberikan arah terhadap tingkah
laku dari setiap anggota PMII. PMII berakidah Islam Ahlussunnah wal Jamaah dan atas dasar
akidah itulah PMII dengan penuh kesadaran berideologi Pancasila dalam kehidupan berbangsa
dabn bernegara di Indonesia. Akidah dan ideoligi terebut merupakan faktor pendorong
dan penggerak dalam proses pembinaan pengembangan dan perjuangan organisasi
sekaligus sebagai dasar berpijak dalam menghadapi proses perubahan dan goncangan-
goncangan di tengah-tengah masyarakat. Pandangan terhadap wacana Islam yang inklusif
dan paradigma kritis transformatif dalam membangun masyarakat, merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dalam diri PMII. Pola pandangan keagamaan ini, merupakan
faktor dominan yang dimiliki PMII dalam rangka pengembangan mendatang.
3. Jumlah anggota PMII yang setiap tahunnya bertambah dengan kwantitas yang cukup besar
merupakan faktor strategis yang menentukan usha pembinaan generasi muda dalam proses
pelahiran kader bangsa; sekaligus menjadi pelanjut kepemimpinan organisasi.
4. Jumlah Alumni yag setiap tahunnya bertambah, sejak berdirinya PMII tahun 1960 tersebut
tersebar diseluruh wilayah Indonesia dan bergerak dalam berbagai profesi dan disiplin ilmu
yang mengabdi pada agama, masyarakat dan negara.
5. Sumber dana dan fasilitas yang tersebar diberbagai komunitas dan kelompok terutama
ummat
Islam merupakan aset yang perlu dikoordinir, dikembangkan sebagai sumber dana perjuangan. Oleh
karena itu PMII harus mampu menjalin hubungan organisasi yang saling brmanfaat dan memberikan
nilai lebih antara keduanya yang pada akhirnya PMII mempunyai sumber dana secara mandiri.
Dalam suatu forum, dikenal istilah manajemen forum. Manajemen forum adalah suatu bentuk
pengaturan situasi atau keadaan peserta maupun bahan diskusi di dalam forum rapat atau musyawarah.
Suatu ‘tujuan’ terkadang dapat tercapai bahkan seringkali terealisasi melalui manajemen forum ini.
Seberapa penting dilakukan? Strategi perjuangan sebuah organisasi banyak sekali caranya dalam
upaya mengegolkan suatu tujuannya dalam permusyawaratan. Ada pembentukan opini, manajemen konflik,
ada opini publik, juga ada manajemen forum. Bagaimana suatu forum dikondisikan sedemikian serupa
sehingga terbentuk kondisi atau situasi yang dapat memudahkan sekelompok orang atau suatu organisasi
dapat tercapai tujuan yang diinginkan.
Langkah-langkahnya dapat berupa main gertak, main pukul meja atau lempar kursi, hal itu kalau cara
yang kasar. Ada pula cara yang lembut seperti dengan memberikan pernyataan yang bertele-tele, atau
memainkan waktu diskusi. Dapat pula dengan saling memberikan justifikasi pada pendapat rekan yang yang
memiliki pandangan maupun visi yang sama dalam forum tersebut. Dan seringkali terjadi adalah adu debat
hanya untuk sebuah manajemen forum.
Lantas, apa gunanya manajemen forum? Banyak, dan penting untuk dicoba. Untuk memberikan
penekanan suatu titik permasalahan atau hal yang ingin disampaikan. Misalnya tentang Kriteria seorang
Ketua. Di situ disampaikan secara berulang-ulang walau materi penyampaiannya terkadang dibuat melebar
atau potong permasalahan yang kemudian kembali difokuskan lagi. Yang intinya kriteria versinya dapat
diakomodir dalam suatu forum diskusi atau permusyawaratan.
Semua hal memiliki 2 buah sisi, positif dan negatif dan lagi-lagi semua ilmu yang ada di dunia ini pada
penggunaanya akan dikembalikan lagi pada niat pelakunya, apakah ilmu itu akan digunakan untuk mencapai
kemaslahatan bersama yang lebih besar atau hanya sekedar mengacau bahkan mengarah pada menggolkan
kepentingan individu dan golongan tertentu dengan cara men-setting forum yang ada dengan sedemikian
baik. Yang terpenting adalah bagaimana kemudian bahasa-bahasa yang digunakan masih berada pada
lingkaran etis dan tetap memakai pola pikir terdidik dan bijaksana.
Persidangan resmi dilaksanakan atas dasar konstitusi dan atau kebutuhan forum. Didalam
persidangan resmi tersebut tentu pula ada tata tertib dan juga aturan main yang harus dipatuhi, agar sidang
yang akan dilaksanakan dapat berjalan dengan tertib, teratur serta menghasilkan keputusan yang bersih,
terpadu, dan sesuai dengan kehendak bersama.
Prinsip-Prinsip Persidangan
Dalam usaha mencapai suasana persidangan yang diharapkan, maka harus memperhatikan faktor-faktor
yang menunjang lancarnya persidangan yang meliputi:
1. Akan kejelasan dan fokus masalah atau kasus dalam pokok persoalan yang akan dibahas.
2. Dilaksanakan dalam suasana yang terencana dari segi waktu, tempat, maupun kesempatan.
3. Dilandasi oleh sikap saling menghargai dan menghormati yang ditunjang dengan itikad baik
untuk bersama-sama memikirkan kepentingan organisasi.
4. Terlepas dari kepentingan pribadi dan ambisi pribadi yang berlebihan.
5. Adanya komunikasi yang dinamis dan dijiwai semangat musyawarah mufakat.
6. Konsisten dan konsekuen terhadap hasil-hasil persidangan secara mufakat.
7. Etika persidangan adalah sikap atau prilaku yang harus dimiliki oleh setiap peserta sidang.
Retorika adalah gaya bahasa yang digunakan dalam mengemukakan pendapat, pernyataan atau pertanyaan. Hal-
hal yang harus diperhatikan ketika berbicara dalam suatu persidangan adalah:
Komponen Persidangan
Kelengkapan persidangan terdiri dari: pimpinan sidang, notulen, ruang sidang, palu sidang, draft atau
konsideran, alat dan bahan yang dapat menunjang jalannya persidangan seperti, pengeras suara, meja, kursi,
alat tulis, kertas suara, kotak suara, dan sebagainya.
A. Pimpinan Sidang
Tugas Pimpinan Sidang
Memimpin jalannya persidangan agar berjalan tertib dan aman
Mempertemukan pendapat yang berbeda, menyimpulkan pembicaraan dan mendudukkan persoalan
yang sebenarnya serta mengembalikan pada pokok permasalahannya
B.Peserta Sidang
Hak Peserta Sidang:
Mengeluarkan pendapat baik secara lisan dan atau tulisan
Memperoleh prioritas yang sama tanpa adanya diskriminasi
Hak dari Pers dan Peninjau hanyalah sebagai pengawas forum persidangan.
D. Ruang siding
Ruang sidang berfungsi sebagai forum pembahasan draf dan efektifitas persidangan.
E. Palu Sidang
Palu sidang berfungsi untuk pertanda hasil keputusan, mencabut keputusan, membuka persidangan,
menutup persidangan, menenangkan forum, dll.
Mekanisme Persidangan
Dalam praktek persidangan ada beberapa istilah yang sering digunakan baik oleh peserta maupun oleh
pimpinan sidang sebagai aturan tertib sidang diantaranya:
Dalam persidangan, hal yang penting yang tidak bisa dipisahkan dari suatu proses pengambilan keputusan
yaitu palu sidang. Pentingnya palu sidang ini dari segi peran dan fungsinya oleh karena itu sering disebut
nyawa dari persidangan. Aturan ketukan palu sidang untuk mengatur jalannya persidangan harus
diperhatikan oleh seseorang pimpinan sidang agar tidak membawa masalah berikutnya. Pimpinan sidang
dituntut waswas dalam menentukan ketukan palu sidang tersebut yang sebenarnya merupakan senjata bagi
pimpinan sidang apabila digunakan secara benar. Adapun aturan penggunaan adalah sebagai berikut.
b. Dua ketukan: Mencabut hasil keputusan, pending, membuka & menutup sidang
Lobying
Proses pembicaraan informal peserta sidang diluar acara persidangan apabila suatu keputusan atau
kesepakatan tidak dapat dicapai dalam persidangan. Terlebih dahulu persidangan diskor/dihentikan oleh
pimpinan sidang dengan waktu yang ditentukan.
Skorsing
Skorsing persidangan dapat dilakukan apabila menghadapi permasalahan dalam persidangan baik berupa
penyegaran, deadlock ataupun menghadapi keadaan darurat dan gangguan pembicaraan. Hal ini dilakukan
oleh pimpinan sidang dengan jalan menghentikan persidangan dengan waktu yang ditentukan.
Opsi
Usul yaitu keinginan dari peserta sidang atau pimpinan sidang pada saat persidangan berlangsung.
Interupsi
Interupsi adalah memotong pembicaraan peserta atau pimpinan sidang oleh peserta sidang. Dilihat dari
kekuatannya, interupsi dari peserta sidang tidak dapat ditolak oleh pimpinan sidang dan harus diberikan waktu
interupsi.Sedangkan usul boleh ditolak atau tidak dapat diberikan kesempatan sama sekali oleh pimpinan
sidang untuk dikemukakan. Adapun macam-macam interupsi adalah:
Point of Order
Yaitu memotong pembicaraan orang lain atau mengusulkan kepada pimpinan sidang meminta bicara tentang
persoalan yang sedang dibicarakan.
Order
Yaitu memotong pembicaraan orang lain atau mengusulkan kepada pimpinan sidang untuk memberi tawaran
atas apa yang menjadi topik pembicaraan
Information
Yaitu memotong pembicaraan orang lain atau mengusulkan kepada pimpinan sidang untuk memberikan
informasi kepada peserta sidang.
Correction
Yaitu memotong pembicaraan orang lain atau mengusulkan kepada pimpinan sidang untuk menjelaskan atau
meluruskan permasalahan yang sedang di bahas.
Solution
Yaitu memotong pembicaraan orang lain atau mengusulkan kepada pimpinan sidang untuk menawarkan
solusi
1. Memperhatikan Ketepatan Waktu, hal ini dimungkinkan untuk memperhatikan efektifitas serta efisiensi
sidang (keputusan, suprastruktur serta infrastruktur persidangan).
2. Memperhatikan Quorum, Persidangan ideal harus dihadiri dan atau disetujui oleh 2/3 anggota Quorum.
3. Memperhatikan Demokratisasi, artinya persidangan harus saling menghargai dan menghormati konstitusi
forum.
4. Memperhatikan Visi Persidangan, Persidangan haruslah mempunyai niatan yang baik untuk
menyelesaikan permasalahan (Timokrasi).
Macam-Macam Persidangan
1.Quorum
a.Sidang dianggap sah apabila dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 dari peserta sidang
b.Apabila point 1 tidak terpenuhi, maka sidang akan ditunda sesuai dengan kesepakatan forum
c. Apabila point 2 tidak terpenuhi, biasanya sidang akan tetap dilanjutkan dengan semestinya
2.Pengambilan Keputusan:
LAGU-LAGU PEGERAKAN
MARS PMII Tumbuh subur – tumbuh subur
Inilah kami wahai Indonesia Kader PMII
Satu angkatan dan satu cita
Pembela bangsa penegak agama Masa depan ditanganmu
Tangan terkepal dan maju kemuka Untuk meneruskan perjuangan
HIMNE PMII
Bersemilah – bersemilah
Tunas PMII
BEJUANGLAH PMII BERDERAB DAN MELAJU
Berjuanglah PMII berjuang Berderap dan melaju
Marilah kita bina persatuan Menuju Indonesia baru
Berjuanglah PMII berjuang Singsingkan lengan baju
Marilah kita bina persatuan Singkirkan semua musuh – musuh
Hancur leburkanlah angkara murka Rakyat pasti menang
Perkokohlah barisan kita, Siap.... Melawan penindasan
Sinar api Islam kini menyala Rakyat kita pasti akan menang
Tekad bulat jihad kita membara