Anda di halaman 1dari 4

Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) yang sebagian besar anggotanya merupakan

pemuda Nahdliyin sudah memiliki usia yang tak lagi muda. Sejak pertama kali berdirinya 17
April 1960, PMII ikut berperan dalam sejarah kehidupan politik, sosial, budaya dan
pendidikan di Indonesia. Sebagai komunitas mahasiswa, PMII menjadi bagian dari simpul-
simpul gerakan mahasiswa yang mampu memberikan andil baik pemikiran maupun gerakan
dalam pembangunan nasional.

Dalam aspek historis, PMII lahir dan terbentuk dari rahim ‘NU’ dan hampir bersamaan
dengan kemunculan organisasi-organisasi mahasiswa dan pemuda lain. Kehadirannya tak lain
sebagai respon terhadap berbagai persoalan sosial politik, budaya dan hukum yang
berkembang saat itu. Sebagai komunitas para intelektual muda Nahdliyin, PMII menjadi
simpul dan sentral kekuatan NU yang mampu memecahkan persoalan-persoalan sosial politik
dengan membaca dinamika dan kontradiksi sosial politik yang terjadi saat itu.

Di awal terbentuknya, PMII berhasil memainkan peran yang sangat penting di kalangan
mahasiswa. PMII mulai menunjukkan gerakan-gerakan politik maupun sosial yang sangat
cepat dan berpengaruh. Hal ini terbukti di usianya yang baru beranjak satu tahun, PMII sudah
menjadi anggota forum pemuda sedunia di Moskow (Contituente Metting for the Youth
Forum). Pada tahun-tahun selanjutnya PMII memimpin Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia
(KAMI), berpartisipasi dalam pembentukan Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI),
bergabung dengan kelompok Cipayung serta berbagai gerakan-gerakan berpengaruh lainnya.

Pada wilayah pengembangan intelektual, PMII sebagai ormas mahasiswa yang berbasis
kultural pesantren mampu membangun dan mewujudkan perangkat basis intelektual yang
kuat. Para warga PMII mencurahkan perhatian keilmuannya pada tema-tema pokok sekitar
liberasi, civil society, pluralisme dan literatur-literatur epistemologi filasafat modern. Baik
teori wacana open societynya Karl Popper, sosialismenya Karl Marx, masyarakat
komunikatifnya Habermas dan lain-lain dijadikan sebagai acuan diskusi di dalam forum-
forum PMII.

Di bidang keislaman, PMII membawa bekal pendidikan pesantren untuk siap dalam
pergulatan dialektika keilmuan dengan berbagai mahaiswa lain. Hal itu terbukti dengan
dinamisnya pemikiran kader-kader PMII yang menjadikan pemikiran-pemikiran liberasi
penuh pembebasan seperti Muhammad Arkoun, al-Jabiri, Muhammad Thoha, dan Samir
Amin sebagai acuan disukusi keislaman dengan tidak meninggalkan tradisi keilmuan
pesantren yang menekankan aspek fikih dan tasawwuf.

Begitu juga dalam kebangsaan. PMII senantiasa berkomitmen untuk menjadi komunitas yang
nasionalis. Sebagai bagian dari masyarakat Indonesia, PMII menjadi elemen penting dalam
mengemban tanggung jawab berbangsa dan bernegara. Kecintaannya terhadap negara
Indonesia membuat PMII tak ragu untuk menjadikan Pancasila sebagai asas organisasi, dan
bukan Islam. Sehingga PMII tidak pernah memakasakan panji dan simbol keislaman pada
wilayah kebangsaan dan struktur kekuasaan negara.

Pada selanjutnya, kader PMII menjadi sumber pengkaderan NU. Sebagian besar para alumni
PMII-lah yang mengisi lembaga-lembaga kepemimpinan formal NU semacam GP Ansor,
LKKNU, Fatayat, Muslimat, Lakpesdam NU dan lembaga NU lainnya. Hal ini terjadi karena
secara sosiologis, para kader PMII merupakan masyarakat pedesaan yang memiliki tradisi
keagamaan Islam Nusantara yang kuat. Di samping itu para kader PMII mayoritas merupakan
alumni pesantren-pesantren, yang memiliki warisan tradisi ajaran Islam Nusantara.

Menjadi kader PMII

Dalam konteks saat ini, setidaknya ada empat alasan kenapa menjadi kader PMII sangat
relevan, pertama, PMII merupakan organisasi mahasiswa yang sebagian besar mahasiswanya
merupakan alumni pesantren. Kondisi kampus yang tidak mempunyai aturan-aturan semacam
di pesantren membuat banyak mahasiswa alumni pesantren melepaskan kungkungan kultur
kesantriannya. Dengan hadirnya PMII, tradisi pesantren di kampus akan tetap hidup, karena
PMII selalu menjaga dan melestarikan tradisi-tradisi keagamaan yang berkembang di
pesantren. Begitu juga dengan mahasiswa yang tidak pernah mengenyam pendidikan
pesantren, akan memahami dan memperoleh ciri khas khazanah keilmuan pesantren di PMII.

Kedua, PMII merupakan organisasi yang terbuka, toleran dan moderat. Di tengah maraknya
ideologi fundamentalisme dan radikalisme agama yang menyasar kalangan pemuda dan kaum
intelektual, PMII hadir sebagai ormas mahasiswa moderat, toleran dan terbuka terhadap
golongan yang berbeda. Komitmen keislaman dan keindonesiaan PMII merupakan
perwujudan kesadaran beragama dan berbangsa. Atas dasar itu PMII berkomitmen dengan
segala tekad dan kemampuannya untuk mempertahankan bangsa dan negara baik dari
infiltrasi paham-paham kaum radikal maupun fundamental.

Ketiga, PMII merupakan organisasi independen, sehingga tidak mudah ditarik ke berbagai
kepentingan politik. Di tengah maraknya “mahasiswa proyek” (sebuah istilah untuk
mahasiswa yang suka memainkan proposal) yang cenderung pragmatis terhadap segala
kegiatannya, justru PMII hadir untuk tidak terpengaruh oleh berbagai kepentingan. PMII
tidak bisa digerakkan oleh kepentingan praktis manapun, karena PMII berpegang teguh pada
nilai-nilai etika moral dan idealisme mahasiswa.

Keempat, PMII tetap mentradisikan mindset akademis. Di tengah redupnya tradisi intelektual
mahasiswa, PMII tetap mentradisikan kajian di forum-forum akademis, baik yang terdapat di
dalam kelompok-kelompok belajar maupun dalam kajian-kajian yang intens pada bidang
tertentu seperti filsafat, budaya, sosial dan politik. Tentu ini menjadi penting bagi mahasiswa,
karena dalam hal ini PMII hadir sebagai oase di tengah keringnya budaya intelektual
mahasiswa.

Dari alasan-alasan itulah menjadi Kader PMII sangat penting. Banyak persoalan yang harus
dihadapi dengan mengedepankan kepentingan nasional (national interest). PMII hadir
sebagai gerakan mahasiswa idealis yang tidak didirikan hanya untuk bertahan selama sepuluh
atau dua puluh tahun semata, tetapi PMII didirikan untuk melakukan perubahan tata struktur
dan sistem yang buruk, mempertahankan tradisi lokal budaya masyarakat Indonesia yang
baik dan mengambil langkah yang lebih baik dari berbagai kemajuan di berbagai sektor yang
berkembang mutakhir.

Dengan jumlah kader yang sangat besar, yakni 230 Cabang dan 24 Pengurus Kordinator
Cabang (PKC) di seluruh Indonesia. Belum lagi jumlah pengurus wilayah, komisariat dan
rayon yang tak terhitung jumlahnya, PMII akan tetap setia mewarnai sejarah panjang bangsa
Indonesia. PMII akan tetap menjadi gerakan pemuda Nahdliyin yang mengemban misi
intelektual dan berkewajiban serta bertanggung jawab mengemban komitmen keislaman dan
keindonesiaan demi meningkatkan harkat dan martabat umat manusia dan membebaskan
bangsa Indonesia dari belenggu kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan. Di usianya
yang ke-56 ini PMII tetap hadir menjadi tembok dari berbagai ancaman yang mengancam
bangsa Indonesia menjadi lemah.
Selamat Harlah PMII ke-56

Anda mungkin juga menyukai