Anda di halaman 1dari 32

Bekisah PMII

Ilmu dan Bakti Ku Berikan


1|Page

DAFTAR ISI

BANGGA JADI PMII ............................................................................................................................. 2

MATERI KE-PMII-AN ............................................................................................................................ 3

MENGURAI AKAR MAKNA TUJUAN PMII .......................................................................................... 10

ASWAJA DAN PMII .............................................................................................................................. 14

PARADIGMA PMII ................................................................................................................................ 17

PARADIGMA PMII DALAM MENGAKTUALISASIKAN PEMIKIRAN DAN GERAKAN ...................... 20

PARADIGMA GENDER PERSPEKTIF PMII ........................................................................................ 24

PERAN PMII DALAM BINGKAI NKRI .................................................................................................. 27

PMII DAN KEBERAGAMAN MULTIKULTURALIS .............................................................................. 29

1|Page
2|Page

Bangga Jadi PMII


(Oleh Hanif Dakhiri Artikel dalam rangka harlah PMII ke-55)

PMII. Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia. Huruf P dalam akronim nama PMII bukan
kependekan dari Perhimpunan. P itu adalah Pergerakan. Pergerakan itu haruslah bersifat aktif, bukan
pasif. Ia harus terus bergerak, bukan diam. Gerakannya harus progresif, maju, bukan regresif, mundur.
Itulah karakter dasar PMII, karakter kaum pergerakan: aktif, dinamis dan progresif!

Huruf M dalam akronim PMII adalah mahasiswa. Bagian dari kelas menengah yang tercerahkan
karena pendidikan. Bukan rakyat biasa tapi tak boleh abai pada rakyat biasa. Sebagai mahasiswa, medan
tempur utamanya adalah kampus, dan senjata perjuangannya adalah intelektualitas. Bukan sekedar
intelektualitas, tetapi intelektualitas yang berpihak. Pikiran yang berjangkar pada sejarah dan kenyataan.
Yang terikat pada komunitas kecil dan besar dimana ia dilahirkan: Nahdlatul Ulama dan bangsa Indonesia!

Huruf I dalam akronim PMII adalah Islam. Bukan Islam yang dipahami dengan kacamata Arab,
bukan pula Islam yang dipahami dengan kacamata Barat. Islam PMII adalah Islam Indonesia. Islam
ahlussunnah wa jamaah yang moderat dan ramah. Islam yang berkelindan dengan kebudayaan bangsa.
Islam yang berwatak untuk semua, yang rahmatan lilalamin.

Huruf I terakhir pada akronim PMII adalah Indonesia. Tanah dan air dimana perjuangan
diabdikan. Tempat PMII berkarya dan menyandarkan masa depan. Indonesia adalah rumah bersama
semua bangsa. Rumah yang tak mengenal sekat-sekat apapun dalam pergaulan sosial politiknya. Rumah
yang dengan segala pertaruhannya harus damai dan sejahtera. Rumah yang satu untuk semua, di bawah
PBNU (Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI dan UUD 1945).

Dengan jati diri semacam itu, pantaslah kita, kaum pergerakan, berbangga menjadi PMII. Sebab
menjadi PMII adalah menjadi NU, Islam dan Indonesia. Dimanapun kader PMII berada ia tetaplah NU.
Tradisi dan pikiran-pikirannya adalah NU. Cita rasa dan cita-citanya adalah cita rasa dan cita-cita NU.
Untuk bangsa yang jaya dan Islam yang benar.

Kita tak kan berdiri sebagai bangsa setegak ini tanpa NU, tanpa PMII. Indonesia tak kan berada
sejauh ini tanpa NU, tanpa PMII. Banggalah jadi mahasiswa, banggalah jadi Islam, banggalah jadi
Indonesia. Banggalah kalian semua menjadi PMII. Selamat hari lahir PMII yang ke 55. Tangan terkepal
dan maju ke muka. Untuk NU, Islam dan Indonesia

2|Page
3|Page

Materi Ke-PMII-an

A. Latar Belakang

Sejak NU pisah dengan Partai MASYUMI pada 1952, NU menjadi partai sendiri, sehingga
pada pemilu 1955,partai NU mendapat 45 kursi dalam Parlemen. Ketika NU masih bergabung dengan
MAKSUMI, hanya mendapat 8 kursi. Kader-kader NU berpotensi pada waktu itu masih sangat minim
karena belum adanya wadah atau organisasi yang mengakomodir kaum intelektual NU, sehingga
terbentuklah organ-organ pendukung NU seperti IPNU dan IPPNU yang ber anggotakan par pelajar
dan mahasiswa dengan diiringi beberapa organ-organ pendukung seperti: muslimat, gerakan pemuda
ansor. Pada muktamar ke-II IPNU-IPPNU di Pekalongan sempat terlontar gagasan untuk membuat
wadah sndiri bagi kaum mahasiswa Nahdlyin, tapi kurang mendapat respon dari pimpinan IPNU. Hal
tersebut di karenakan IPNU masih butuh pembenahan (banyak anggota IPNU yang berstatus
mahasiswa) sehingga dikhawatirkan mempengaruhi perjalanan IPNU yang baru saja terbentuk.

Pada Muktamar ke-III IPNU di Cirebon 27-31 Desember 1658, aspirasi mahasiswa Nahdliyin
tak terbentuk lagi, bahwa mereka menginginkan wadah tersendiri yang dapat menampung mahasiswa
nahdlyin secara fungtional dan organisatoris masih di bawa organ departemen organ IPNU. Dalam
konfensi besar IPNU di Kaliurang pada 14-17 Maret 1960di Jogjakarta, merekomondisikan
terbentunya wadah atau organ mahasiswa Nahdlyin yang terpisah dalam struktural maupun
fungsionaris dari IPNU dan IPPNU, yakni Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII)dengan di
bentuknya 13 panitia, yaitu: Kholid Mawardi (Jakarta), Said Budairi (Jakarta), M. Shobih Ubaid
(Jakarta), Muh. Makmun Syukri, BA (Bandung), Hilman (Bandung), H, Ismail Makky (Jogjakarta),
Munif Nahrowi (Jogjakarta), Nuril Huda Suadi, HA (Surakarta), Laily Mansyur (Surakarta), Abdul
Wahab Jailany (Semarang), Hisbullah Huda (Surabaya), M. Kholid Narbuka (Malang), Ahmad Husain
(Makasar). Pada 19 Maret 1960 tiga dari tiga belas orang yaitu Hisbullah Huda (Surabaya), M. Said
Budairy (Jakarta), serta Maksum Syukri BA (Bandung) berangkat ke Jakarta untuk mengahadapi ketua
umum partai NU K.H. Dr. Idam Kholid agar diberi nasehat sebagai bekal atau pegangan pokok dalam
musyawarah mahasiswa Nahdyin yang akan di laksanakan di Surabay tanggal 25 maret 1960. Dalam
pertemuan tersebut, beliau menekankan agarorgan yang di bentuk nantinya betul-betul dapat di
andalkan sebagai kader partai NU dan menjadi Mahasiswa yang berperinsip ilmu agar dapat dapat di
amalkan untuk kepentingan rakyat, buakan ilmu untuk ilmu, yang paling penting adalah menjadi
manusia yang cakap serta bertaqwa kepada Allah SWT. Beliau menyatakan merestui
musyawarahmahasiswa Nahdyin yang di adakan di Surabaya itu. Hasil Musyawarah Mahasiswa
Nahdliyin di Surabaya 14-16 April 1960 menelurkan:

1. Berdirinya organ mahasiswa Nahdyin di beri nama PMII


2. Penyusunan peraturan dasar PMII merupakan kelanjutan dari departemen perguruan tinggi IPNU
dan IPPNU

3|Page
4|Page

3. Persidangan dalam musyawarah mahasiswa Nahdyin itu bertempat di gedung Madrasah


Mualimin NU Wonokromo Surabaya. Sedangkan peraturan dasar PMII berlaku 21 Syawal 1379 H
atau 17 April 1960 sebagai hari kelahiran PMII. Sekaligus membentuk tiga tim formatur H.Mahbub
Junaidi sebagai ketua umum, A. Cholid Mawardi sebagia ketua I dan Muhammad SyaidBudairi
sebagai sekertaris umum PB PMII.

Pada tanggal 14 Juni 1960 PMII diterima dan di sahkan oleh PB NU sekaligus sebagai
keluarga besar sekaligus sebagai partai NU, oleh Ketua Umum PB NU K.H. Dr. Idham Kholid, dan
Wakil Sekjen H. Amirudin Aziz. Perumusan anggaran rumah tangga diketahui oleh Muhammad Said
Buairi, anggotanya Cholid Marwadi dan Fatchurrozi.

B. Independensi PMII-NU

Salah satu momentum sejarah perjalanan PMII ynag membawa pada perubahan secara
mendasar, yaitu di cetuskannya Idenpendensi PMII pada tanggal14 Juli 1972di Munarjati Lawang
Malang Jawa Timuryang kemudian di sebut Deklarasi Munarjati. Lahirnya deklarasi ini berkenaan
dengan situasi politik nasional, ketika partai politik dikebiri bahkan partisipasi dalam pemerintahan pun
sedikit demi sedikit di kurangi dan mulai dihapuskan. Ditambah lagi dengan digiringnya peran
mahasiswa dengan komando back to campus. Maka PMII mencari alternative abru dengan tidak lagi
dependen kepada partai politik manapun. Dengan latar belakan dan motivasi, maka tanggal 14 Juli
1972 secara formal PMII terpisah secara struktural dengan partai NU. Hal-hal yang berkenaan dengan
independensi dapat kita lihal dokumen historis PMII antara lain:

1. Manivestasi kesadaran PMII yang meyakini sepenuhnya terhadap tutunan keterbukaan sikap,
kebebasan berfikir, dan membangun kreativitas yang dijiwai oleh nilai-nilai islam.
2. Manivestasi kesadaran organisasi dalam tuntutan kemandirian, kepeloporan, kebebasan berfikir,
dan berkreasi serta tanggung jawabsebagai kader umat.

Sejak di kumandangakanya Deklarasi Munarjati itulah PMII menjadi organ yang bebas
menuntukan kehendak dan idealismenya tanpa harus berkonsultasi dengan organisasi manapun
termasuk NU. Akan tetapi keter[isahan secara struktural tidak membatasi ikatan emosional antar
kedua organisasi ini. Keduanya masih mempjunyai benang merah pemahaman idiologisnya yaitu
Ahlussunnah Wal-jamaah.

C. Interindependen PMII-NU

Latar belakan PMII melakukan Interindependen dari Independen pada saat kongres X PMII
Jakarta 1991 adalah:

1. Ulama sebagai pewaris Nabi (Ulama Warosatul Ambiya), Maksudnya : keteladanan umat
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

4|Page
5|Page

2. Ikatan Historis, maksudnya: PMII lahir dari NU dan besar dari NU.
3. Adanya kesamaan faham antar PMII-NU. Maksudnya: Aswaja bercirikan Tawassuth, Taadul,
Tasamuh, Tawadzun serta Amar Maruh Nahi Mungkar (Mabadi Khoirul Ummah) demikian di
dalam pola berfikir, pola sikap, pola tindakan PMII-NU menganut opola selektif, akomodatif,
intergratif sesuai dengan prinsip dasar Al-Mukhofadzatu Ala Qodimis Shalih Wal Akhdzu Bi Ijadi Al
Ashlah.
4. Adanya persamaan kebangsaan, Maksudnya: bagi PMII keutuhan komitmen keislaman dan
keindonesiaan merupakan perwujudan kesadaran beragama dan berbangsa bagi setiap insan
muslim di Indonesia dan atas hal dasar tersebut maka menjadi keharusan untuk mempertahankan
Bangsa dan Negara Indonesia dengan segala tekat dan kemampuan, baik secara individu
maupun bersama.
5. Adanya kesamaan kelompok sasaran, Maksudnya: PMII-NU memiliki mayoritas anggota dari
kalangan masyarakat kelas menengah bawah.

Sekurang-kurangnya terdapat lima perinsip yang semestinya di pegang bersama untuk


merealisasikan interindependensi PMII-NU:

1. Ukhuwah Islamiyah
2. Amar Maruf Nahi Mungkar
3. Mabadi Khoirul Ummah
4. Al Musawah
5. Hidup berdampingan dan berdaulat secar penuh

D. Implementasi independensi

Implementasi independensi PMII-NU diwujutkan dengan berbagai bentuk pikiran kerkasama


antara lain meliputi bidang:

1. Pemikiran: kerjasama di bidang ini di rancang untuk pengembangan pemikiran keislamian dan
kemasyarakatan
2. Pelatihan: kerjasama di bidang ini di rancang untuk pengembangan sumber daya manusia baik
PMII maupun NU
3. Sumber Daya Manusia: Kerja sama di bidang ini di tekankan pada pemanfaatan secara maksimal
manusia-manusia PMII untuk peningkatan kualitas Khidmat NU.
4. Rintisan Progam: Kerja sama di bidang ini terbentuk pengolahan suatu progam secaara bersama-
sama, seperti: progam pengembangan ekonomi, progam aksi sosial dan lain-lain

E. Deklarasi format profil PMII dalam kongres X 2008 PMII di Batam, Riau.

5|Page
6|Page

Deklarasi ini merupakan kristalisasi dari tujuan pergerakan sebagai mana tercantum dalam
AD/AR. Yaitu terbentuknya pribadi muslim Indonesia yang berbudi luhur, berilmu, dan bertaqwa
kepada Allah SWT, cakap serta tanggung jawab dan mengamalkan ilmu pengetahuannya.

Motto PMII

Dzikir, Fikir, Amal sholeh

Tri khidmah PMII

Taqwa, Intelektualitas, Profesionalitas

Tri komitmen PMI

Kejujuran, Kebenaran dan Keadilan

Eka citradiri PMII

Ulul Albab

Citra diri Ulul Albab dengan Motto Dzikir, Fikir dan Amal Sholeh
Ulul Albab artinya seorang yang selalu haus akan ilmu pengetahuan (olah pikir) dan ia pun tidak pula
mengayun dzikir.

Seperti tedapat pada surah Al-Baqoroh:179 yang artinya: dan dalam hokum Qishos itu ada
(jaminan kelangsungan)hidup bagimu, hai Ulul Albab, Supaya kamu bertaqwa (QS. Al-Baqoroh:179)
Cita Ulul Albab:

1. Berkesadaran Historisitas-Promodial atas relasi Tuhan-Manusia-Alam


2. Berjiwa optimis-transendental-atas kemampuan mengatasi masalah kehidupan
3. Berfikir secara Dialektis
4. Bersikap kritis
5. Bertindak Transformatif

Format Gerakan PMII

- Format Organ Kader Pergerakan: Kader atau basis


- Format Gerakan Sosial Transformatif
- Format Intelektual dan Pers
- Format Gerakan Ekstra Parlementer
- Format Kebijakan Publik
- Format Gerakan Kebudayaan

6|Page
7|Page

- Format Gerakan Profesional-Populis

F. Paradigma pendidikan kaderisasi

Girouxdan Amawitzsebagaimana di kutip oleh Mansyur Faqih terdapat aliran besar dalam
idiologi pendidikan.

1. Paradigma konservatif (mengapdi pada satu quo)


2. Paradigma Liberal (perubahan yang moderat)
3. Paradigma Fundamental/Kritis (perubahan undamentaltransformational bagi konstruksisoial
masyarakat)

G. Makna filosofi PMII

Dari makna pergerakan yang terkandung dalam PMII adalah dari hamba (yang senantiyasa
bergerak menuju idealnya) memberikan rahmat bagi alam sekitarnya.
Dalam konteks individual, komunitas maupun organisatoris. Kiprah PMII harus senantiyasa
mencermikan pergerakan menuju kondosi yang lebih baik sebagai perwujudan tanggung jawabnya
member rahmat pada lingkungan.

Pergerakan dalam hubungan dengan organisasi mahasiswa menurut upaya sadar untuk
membina dan mengembangkan potensi ketuhanan dan potensi kemanusiaan agar gerak dinamika
menuju tujuannya selalu berada didalam kualitas kekholifahannya.

Pengertian Mahasiswa yang terkandung dalam PMII adalah golongan generasi muda
untuk membina dan mengembangkan potesi ketuhanan dan kemanusiaanagar gerak ilmu diperguruan
tinggi yang mempunyai identitas diri. Identitas mahasiswa terbangun oleh citra diri sebagai insan
religious, insan akademis, insan sosial dan insan mandiri serta identitas mahasiswa tersebut terpantul
tanggung jawab keagamaan, tanggung jawab intelektual, tanggung jawab sosial kemasyarakatan dan
tanggung jawab individu baik sebagai hamba tuhan maupun sebagai bangsa dan Negara.

Pengertian Islam yang terkandung dalam PMII adalah agama sebagai agama yang
dipahami dengan paradigm Ahlussunnah Waljamaah yaitu konsep pendekatan terhadap ajaran
islam secara profesional antara iman, islam dan ikhsan yang didalam pola pikir dan pola perilakunya
tercermin sifat-sifat seliktif, akomodadis dan intergratif.

Pengertian Indonesia yang terkandung dalam PMII masyarakat, bangsa dan Negara
Indonesia yang mempuyai falsafah dan idiologi bangs (Pancasila) serta UUD1945 dengan kesadaran
kesatuan dan ketuhanan bangsa dan negarayang terbentang dari Sabang sampai Merauke yang di
ikat dengan kesadaran wawasan nusantara. Serta totalitas PMII sebagai organissi merupakan suatu

7|Page
8|Page

gerakan yang bertujuan melahiran kader-kader yang mempunyai integritas diri sebagai hamba yang
bertaqwa kepada Allah SWT dan atas ketaqwaanya kiprah mewujudkan peran ketuhanan membangun
masyarakat dan Negara Indonesia menuju suatu tatanan masyarat yang adil dan makmur dalam
ampunan dari ridho Allah SWT.

H. Atribut gerakan PMII

Atribut geraknan PMII meruoakan sebuah simbol yang memiliki kerahasiaan yang perlu di
gali karena hal ini perlu kami ulas dan kami sampaikan kepada kader, agar nantinya kader mampu
memhami atribut gerak PMII hanya sekedar embuh ora weruh? Ini merupakan pertanyaan yang yang
tidak mungkin kita aplikasikan, baik di sengaja maupun tidak di sengaja.
Adapun atribut PMII antara lain:

- Lambang PMII. Lambang yang seperti digunakan pada bendera, jaket, bagdel, vandal, logo PMII
dan benda atau tempat-tempat dengan tujuan menggunakan identitas PMII.
- Bendera PMII
- Mars PMI
I. Pilihan Gerakan PMII

Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) merupakan organisasi yang pengkaderannya


bukan hanya sekedar organisasi masa seperti organisasi lainya. Meskipun PMII memiliki anggota
atau kader yang sangat banyak tidak dapat disebut ORMAS (Organisasi Massa) karena tanah pijakan
PMII melangkah kesana. Ternyata PMII memiliki kemampuan yang lebih dibanding yang lain. Sama
juga artinya ketika anda masuk dan mendaftarkan diri untuk menjadi kader atau anggota tentunya
anda dihadapkan dengan beberapa pilihan-pilihan yang berbeda, sudah di singgung bahwa PMII
memiliki nlai lebih yang mungkin tidak di miliki organisasi lain. Adapun nilai lebih yang dimiliki, antara
lain:

1. Aswaja (Ahlussunnah Waljamaah) sebagai manhaj al lfiqr disamping sebagai pijakan berfikir,
Aswaja merupakan atau pilihan yang sangat mengena di setiap kader, ha ini dikarenakan Aswaja
merupakan ikatan Kultural Idiologi NU buka secara Struktural.
2. NDP (Nilai Dasar Pergerakan) menjadi sumber kekuatan ideal moral dari aktifitas pergerakan, pusat
argumentasi dan pengikat kebenaran dari kebebasan berfikir, berucap dan bertindak dalam aktifitas
pegerakan. Adapun rumusan nilai-nilainya, antara lain: Tauhid, Hubungan manusia dengan Allah,
Hubungan manusia dengan manusia dan Hubungan manusia dengan alam.
3. Paradigma Kritis Transformatif. Paradigma dalam masyarakat PMII dapat dirumuskan sebagai titik
pijak untuk menentukan cara pandang, meyusun sebuah teori, mennyusun sebuah pertanyaan dan
membuat suatu rumusan mengenai suatu masalah melihat realitas yang ada di masyarakat dan
sesuai dengan tuntunan kedaan masyarakat PMII baik secara Sosiologis, Politis dan Antropologis
maka PMII menjadi paradigm Kritis Transformatif sebagai pijakan gerakan organisasi dalam

8|Page
9|Page

mewujutkan transformasi social PMII bukan hanya berpijak dengan paradigm kritis saja. Mengapa
demikian? Karena pradigma kritis hanya mampu melakukan analisis tetepi tidak mampu melakukan
organizing menjembatani dan melakukan perubahan social. Karenanya, paradigma kritis yang
digunakan di PMII adalah kritik yang mampu mewujutkan perubahan sehingga menjadi paradigm Kritis
Transformatif. Dalam hal ini paradigm Kritis Transformatif dituntut untuk memiliki instrument-instrumen
gerak yang biasa digunakan oleh masyarakat PMII.

J. Struktur dan Proses pengkaderan PMII

Struktur PMII dari pusat atau wilayah sampai ruang terkecil, terdiri dari:

1. PB (Pengurus Besar)
2. Pengurus Kordianator cabang
3. Pengurus Cabang
4. Pengurus Komisariat
5. Pengurus Rayon

Pendidikan/proses pengakaderan Formal PMII, antara lain:

1. MAPABA (Masa Penerimaan Anggota Baru)


2. PKD (Pelatihan Kader Dasar)
3. PKL (Pelatihan Kader Lanjutan)

Untuk ketiga ini merupakan jenjang yang harus ditempuh sebai kader PMII karena ini nantinya
berpengaruh pada struktural pengurus PMII, untuk dapat mencapai itu diperlukan pendidikan informal
dan nonformal.

K. Penutup

Salam pergekan terkepal dan maju kemuka, semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi
sahabat-sahabati semua. Sehingga nantinya pasca MAPABA ini dapat memahami dan memang telah
menjadi pilihan prioritas sahabat-sahabati semua untuk masuk PMII. Selamat bergabung di
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia.

9|Page
10 | P a g e

Mengurai Akar Makna Tujuan PMII


Oleh: Dr. H. A. Muhdati Ridwan, M. Ag
(IKA-PMII Komisariat UIN Maliki Malang)

Pemandu utama gerakan adalah tujuan organisasi. Tujuan organisasi kurang lebih sama dengan
cita-cita. Tujuan letaknya di depan, menarik kita seutuhnya untuk maju. Namun tujuan juga terletak di
belakang, mendorong inspirasi dan menguatkan daya refleksi kita atas seluruh aktivitas harian organisasi
kita.

Dimana-mana, tujuan atau cita-cita tidak bisa diwujudkan dalam satu ayunan langkah, satu
kegiatan, acara atau program, malah mungkin membutuhkan beberapa generasi hingga tujuan tersebut
terwujud. Dan jarang sekali ada sebuah organisasi-sosial, negara, dan seterusnya yang menyatakan
bahwa tujuannya telah tercapai.

Tujuan PMII, dalam pandangan kami merupakan hal yang sangat fundamental namun seringkali
luput dari perhatian kegiatan, perhatian program dan perhatian intelektual kita. Tujuan PMII (mohon maaf
kalau salah) seakan-akan atau bahkan kalah populer dengan komitmen, diskursus, isu seksi yang
dikunyah sehari-hari oleh PMII (yang dulu-dulu) seperti: pembelaan kaum mustadhafin, mewujudkan
kesejahteraan, masyarakat egaliter, demokratisasi, civil society, HAM dst.

Dalam beberapa kesempatan terlibat di forum kaderisasi, kami menyempatkan bertanya kepada
peserta: apa tujuan PMII? Banyak di antara mereka yang gamang menjawab atau malah tidak tahu.
Mereka yaitu sahabat-sahabat anggota baru dan lama yang menginjak semester II, IV dan bahkan ada
yang semester X; di antaranya adalah pengurus PMII. Ada beberapa jawaban yang muncul dengan
merujuk pada isu demokratisasi, khazanah intelektual marxisme, cita-cita gerakan gender dan lain
sebagainya. Sekali waktu ada yang kemudian membuka kunci jawaban dari halaman belakang lembar
KTA, dan itupun tertulis dengan redaksi yang keliru.

Ini gambaran bahwa tujuan PMII belum ber-rumah di kedalaman kognisi atau (apalagi) batin
anggota dan kader kita. Rumah tujuan PMII masih di lembaran kertas konstitusi organisasi, belum di tubuh
aktivis PMII.

Ini juga gambaran bahwa dalam proses berorganisasi kita di segala lini (kaderisasi, diseminasi
pengetahuan serta wacana, disiplin organisasi, aksi), kita belum mampu menginternalisir apa yang dimaui
oleh PMII kepada anggota-anggota. Anggota belum mengerti bahwa PMII memiliki tujuannya sendiri,
tujuan yang harus menjadi kiblat keseluruhan aktivitas dan gerakan organisasi. Ini juga dapat berarti
bahwa kita bergerak dan berorganisasi dengan tingkat improvisasi yang sangat tinggi sekali lagi, mohon
maaf kalau ini pun keliru.

10 | P a g e
11 | P a g e

Dengan kondisi demikian, maka boleh jadi wajar bila kami mengambil hipotesis seperti ini:
perlambatan dan keringnya inspirasi gerak organisasi disebabkan oleh, salah satunya, kurangnya
perhatian atas tujuan organisasi kita. Kami sebut salah satu, karena dalam pandangan kami tidak ada
faktor tunggal yang mengakibatkan PMII, secara umum, berada dalam kondisi yang tidak
menggembirakan seperti sekarang ini.

Memahami Tujuan PMII

Tujuan PMII jauh dari heroisme yang khas melekat pada organisasi mahasiswa. Juga tidak
menunjuk adanya sebuah cita-cita sistem sosial-politik yang harus diperjuangkan. Tujuan PMII
memberikan perhatian besar kepada, apa yang kami sebut di sini sebagai membangun kualitas individu.

Beberapa organisasi lain, memiliki cita-cita sistem sosial-politik di dalam tujuannya. Organisasi kiri
memiliki ikhwal yang serupa. Namun PMII tidak sendiri, organisasi lain menunjukkan sifat tujuan organisasi
yang sama yaitu berorientasi pada kualitas individu, bukan mengarah pada pembentukan sistem tertentu
dengan nama tertentu.

Dalam wacana publik yang didominasi oleh cita-cita membangun sistem, tata sosial-politik dan
segala jenis yang serupa, membangun kualitas individu sebagai pusat rupanya kurang populer. Terlebih
ketika kurang lebih satu setengah dekade lalu PMII mulai berdialog dengan diskursus marxisme-sosialis,
tujuan PMII makin tidak populer dan cenderung dimakani oleh diskursus tersebut. Saat ini ketika wacana
publik mulai sepi dari heroisme kiri, tujuan PMII tetap belum terangkat ke permukaan kesadaran gerak
PMII paling tidak belum terangkat secara massif.

Namun menurut hemat kami, andai saja, sekali lagi andai saja, tujuan PMII yang berorientasi pada
pembangunan kualitas individu tersebut menjadi titik tuju bersama di seluruh bidang dan tingkat
kepengurusan (PB PR), PMII akan menembukan bentuknya yang unik dan, lebih penting, maju.

Sebab dalam tujuan PMII terkandung kelengkapan yang tidak dimiliki oleh organisasi lain yaitu:
ketangguhan individu dalam ilmu/pengetahuan dan ketrampilan, dalam etika, keyakinan Batin, moralitas,
dan nasionalis. Tidak berlebihan bila kami berani meyakini bahwa demikianlah sosok kepemimpinan yang
dibutuhkan Indonesia di masa mendatang.

Tujuan PMII juga menegaskan bahwa PMII terbuka bagi persemaian lintas disiplin ilmu. Bukan
hanya fakultas sosial dan humaniora melainkan juga fakultas eksakta, semua memiliki akses yang sama,
sejajar dan sama tinggi bagi tujuan PMII. Sejak dari tujuan, PMII tidak memiliki kecenderungan
diskriminatif terhadap perbedaan latar belakang disiplin ilmu, apalagi perguruan tinggi.

Dalam tujuan organisasi, terdapat 6 (enam) konsep yang harus dipenuhi oleh anggota dan kader
PMII untuk menjadi pribadi/individu Muslim Indonesia:

11 | P a g e
12 | P a g e

1. Taqwa kepada Allah SWT


2. Berbudi luhur
3. Berilmu
4. Cakap
5. Bertanggung jawab mengamalkan ilmunya
6. Komitmen memperjuangkan cita-cita kemerdekaan Indonesia

Keenam konsep di atas sepenuhnya dapat diakses oleh setiap orang, setiap anggota dan kader
PMII; tak peduli jenis kelamin, tak peduli fakultas, tak peduli asal daerah. Menurut hemat kami, apapun
nama bagi kegiatan dan kesibukan organisasi, atau apapun perangkat intelektual yang dibangun PMII,
kesanalah, ke tujuan organisasi, semua beralamat.

Cemburu Kebesaran Organisasi Lain

Diakui atau tidak, terlihat PMII sering cemburu dengan kebesaran organisasi lain. Mungkin kita
harus melihat secara jernih letak persis kecemburuan kita. Juga melihat secara pasti di titik mana kita
bersimpang jalan dengan tujuan organisasi kita, bila kita memang telah bersimpang jalan.

Sebab dari simakan kami atas tutur orang-orang tua, atau melihat serba sekilas kepada organisasi
lain yang lebih kuat danbertenaga, hanya mereka yang berpegang teguh pada asas, nilai dan tujuan
besarnyalah yang mampu bertahan mengatasi zaman. Demikian pula dengan bangsa-bangsa besar,
tumbuh di atas ikatan yang kuat terhadap nilai dan tujuan mereka. Dan mereka runtuh ketika melupakan
tujuan serta menggampangkan nilai-nilai luhur yang membesarkan mereka.

Kurang lebih begitu. Tapi, apakah memang begitu?

Dalam pandangan kami, kita terlalu sering mencemburui mereka yang memiliki disiplin kuat,
sementara kita sendiri longgar dalam disiplin. Kita juga sering mencemburui mereka yang serius melatih
diri sementara kita belum begitu. Kita juga sering cemburu pada progresifitas mereka yang berada di
gerakan jalur kiri sementara sejak semula kita telah menegaskan bahwa kita di jalur tengah.

Artinya, sekali lagi menurut kami, kecemburuan kita sering tidak beralasan. Sebab tidak disertai
dengan ikhtiar yang sejajar dengan mereka yang kita cemburui. Bahkan mungkin kita berada di ruang
yang berbeda dengan mereka yang kita cemburui.

Barangkali memang bukan perkara mudah bagi kita untuk mencari bentuk baru. Sekian lama kita
kita menjadi formalis, kemudian kita sadari sebagai belenggu. Kemudian, mengiringi runtuhnya orde baru,
kita menjadi anti-formalis; mengklaim diri menjadi substansialis.

Dan saat ini, apa? Tampaknya kita terlalu gemar anti terhadap yang lain, ketika ada yang baru
yang tampak lebih top. Saat ini yaitu, ketika formalisme dan non-formalisme bukan dua pilihan yang harus

12 | P a g e
13 | P a g e

diambil salah satu sambil menyingkirkan yang lain. Ini saat ketika formalisme dan non-formalisme mesti
dirangkai bukan dalam relasi oposisi-biner, tapi sesama fakta dari penampang kenyataan yang sama.
Apakah PMII saat ini telah mampu mengatasi perspektif biner yang berpuluh-puluh tahun menjebaknya?

Bagi kami, menemukan kesefahaman atas masalah yang kita hadapi bersama merupakan sebuah
kemewahan, sebuah capaian yang harus disyukuri dengan segala ketulusan.

Ada baiknya, bila kita merefleksikan PMII dari tujuannya. Sebab selama beberapa waktu yang
telah kita lewati, jangan-jangan kita sudah mengajak para mahasiswa untuk masuk PMII tanpa kita sendiri
tahu apa tujuan PMII. Ibarat kita mengajak orang naik kereta sementara kita sendiri tak tahu kemana
kereta itu menuju.

13 | P a g e
14 | P a g e

ASWAJA DAN PMII

Pengantar

Telah terhadap Ahlussunnah WalJamaah ( Aswaja ) sebagai bagian dari kajian ke-Islam-an
merupakan upaya yang mendudukkan aswaja secara proporsional, bukannya semata-mata untuk
mempertahankan sebuah aliran atau golongan tertentu yang mungkin secara subyektif kita anggap baik
karena rumusan dan konsep pemikiran teologis yang diformulasikan oleh suatu aliran, sangat dipengaruhi
oleh suatu problem teologis pada masanya dan mempunyai sifat dan aktualisasinya tertentu.
Pemaksaan suatu aliran tertentu yang pernah berkembang di era tertentu untuk kita yakini, samahalnya
dengan aliran teologi sebagai dogma dan sekaligus mensucikan pemikiran keagamaan tertentu. Padah
aliran teologi merupakan fenomena sejarah yang senantiasa membutuhkan interpretasi sesuai dengan
konteks zaman yang melingkupinya. Jika hal ini mampu kita antisipasi berarti kita telah memelihara
kemerdekaan (Hurriyah); yakni kebebasan berfikir (Hurriyah Al-Rayi), kebebasan berusaha dan berinisiatif
(Hurriyah Al-Irodah) serta kebebasan berkiprah dan beraktivitas (Hurriyah Al-Harokah) (Said Aqil Siradj :
1998).
Berangkat dari pemikiran diatas maka persoalan yang muncul kemudian adalah bagaimana
meletakkan aswaja sebagai metologi berfikir (Manhaj Al-Fikr)? Jika mengharuskan untuk mengadakan
sebuah pembaharuan makna atau inpretasi, maka pembaharuan yang bagaiman abisa relevan dengan
kepentingan Islam dan Umatnya khususnya dalam intern PMII. Apakah Aswaja yang telah dikembangkan
selama ini didalam tubuh PMII sudah masuk dalam kategori proporsional? Inilah yang mungkin akan
menjadi tulisan dalam tulisan ini.

Aswaja dan Perkembangannya

Melacak akar-akar sejarah munculnya istilah Ahlulsunnah Waljamaah, secara etimologis bahwa
Aswaja sudah terkenal sejak Rosulullah SAW. Sebagai konfigurasi sejarah, maka secara umum aswaja
mengalami perkembangan dengan tiga tahab secara evolutif.
Pertama, tahab embrional pemikiran sunny dalam bidang teologi bersifat eklektik, yakni memilih
salah satu pendapat yang dianggap paling benar. Pada tahab ini masih merupakan tahab konsolidasi,
tokoh yang menjadi penggerak adalah Hasan al-Basri (w.110 H/728 M).
Kedua, proses konsolidasi awal mencapai puncaknya setelah Imam al-SyafiI (w.205 H/820 M)
berhasil menetapkan hadist sebagai sumber berhukum kedua setelah Al- quran dalam konstruksi
pemikiran hukum Islam. Pada tahab ini, kajian dan diskusi tentang teologi sunny berlangsung secara
intensif.
Ketiga, merupakan kristalisasi teologi sunny disatu pihak menolak rasionalisme dogma, di lain
pihak menerima metoderasional dalam memahami agama. Proses kristalisasi ini dilakukan oleh tiga tokoh
dan sekaligus di tempat yang berbeda pada waktu yang bersamaan, yakni: Abu Hasan al-Asyari (w.324

14 | P a g e
15 | P a g e

H/935 M) di Mesopotamia, Abu Mansur al-Maturidi (w.331 H/944 M) di Samarkand, Ahmad Bin Jafar al-
Thahawi (w.331 H/944 M) di Mesir. ( NourouzzamanShidiqi : 1996). Pada zaman kristalisasi inilah Abu
Hasan al-Asyari meresmikan sebagai aliran pemikiran yang dikembangkan. Dan munculnya aswaja ini
sebagai reaksi teologis-politis terhadap Mutazilah, Khowarij dan Syiah yang dipandang oleh Asyari
sudah keluar dari paham yang semestinya.
Lain dengan para Ulama NU di Indonesia menganggap aswaja sebagai upaya pembakuan atau
menginstitusikan prinsip-prinsip Tawasuth (moderat), Tasamuh (toleran) dan Tawazzun (seimbang)
serta Taaddul (Keadilan). Perkembangan selanjutnya oleh Said Aqil Shiroj dalam mereformulasikan
aswaja sebagai metode berfikir (manhaj al-fikr) keagamaan yang mencakup semua aspek kehidupan yang
berdasarkan atas dasar modernisasi, menjaga keseimbangan dan toleransi, tidak lain dan tidak bukan
adalah dalam rangka memberikan warna baru terhadap cetak biru (blue print) yang sudah mulai tidak
menarik lagi dihadapan dunia modern. Dari sinilah PMII menggunakan aswaja sebagai Manhaj al-fikr
dalam landasan gerak.

Aswaja Sebagai Manhaj al-fikr

Dalam wacana metode pemikiran, parateologklasik dapat dikategorikan menjadi empat kelompok.
Pertama, kelompokrasioalis yang diwakili oleh aliran Mutazilah yang pelapori oleh Washil bin Atho,
kedua, kelompok tekstualis di hidupkan dan di pertahankan oleh aliran salaf yang munculkan oleh Ibnu
Taimiyah serta generasi berikutnya. Ketiga, kelompok yang pemikirannya terfokuskan pada politik dan
sejarah kaum muslimin yang diwakili oleh Syiah dan Khawarij dan keempat, pemikiran sintetis yang
dikembangkan oleh Abu Hasan al-Asyari dan Abu Mansur al-Maturidi.
Di dalam PMII Aswaja dijadikan Manhajul Fiqr artinya Aswaja bukan dijadikan tujuan dalam
beragama melainkan di jadikan metode dalam berfikir untuk mencapai kebenaran agama.Walaupun
banyak tokoh yang telah mencoba mendekontruksiisiataukonsep yang ada dalam aswaja tapi sampai
sekarang Aswaja dalam sebuah metode berfikir ada banyak relevasinya dalam kehidupan beragama,
sehingga PMII lebih terbuka dalam mebuka ruang dialektika dengan siapapun dan kelompok apapun.
Rumusan aswaja sebagaimana Manhajul Fiqr pertama kali di introdusir oleh Kang Said
(panggilanakrab Said Aqil Siradj) dalam sebuah forum di Jakarta pada tahun 1991. Upaya dekonstruktif ini
selayaknya dihargai sebagai produk intelektual walaupun juga tidak bijaksana jika diterima begitu saja
tanpa ada discourse panjang dan mendalam daripada dipandang sebaga iupaya merusak norma atau
tatanan teologis yang telah ada.
Dalam perkembangannya, akhirnya rumusan baru Kang Said diratifikas imenjadi konsep dasar
ASWAJA di PMII. Prinsip dasar dari aswaja sebagai manhajul fikri meliputi ; Tawasuth (Moderat),
Tasamuh (Toleran) dan Tawazzun (Seimbang). Aktualisasi dari prinsip yang pertama adalah bahwa selain
wahyu, kita juga memposisikan akal pada posisi yang terhormat (namun tidak terjebak pada mengagung-
agungkan akal) Karena martabat kemanusiaan manusia terletak pada apakah dan bagaimana dia
menggunakan akal yang dimilikinya. Artinya ada sebuah keterkaitan dan keseimbangan yang mendalam

15 | P a g e
16 | P a g e

antara wahyu dan akal sehingga kita tidak terjebak pada paham skripturalisme (tekstual) dan rasionalisme.
Selanjutnya, dalam konteks hubungan sosial, seorang kader PMII harus bias menghargai dan
mentoleransi perbedaan yang ada bahkan sampai pada keyakinan sekalipun.Tidak dibenarkan kita
memaksakan keyakinan apalagi hanya sekedar pendapat kita pada orang lain, yang diperbolehkan
hanyalah sebatas menyampaikan dan mendialiektikakan keyakinan atau pendapat tersebut, dan ending-
nya diserahkan pada otoritas individu dan hidayah dari Tuhan. Ini adalah menifestasi dari prinsip tasamuh
dari ASWAJA sebagai manhajul fikri.
Dan yang terakhir adalah Tawazzun (seimbang). Penjabaran dari prinsip tawazzun meliputi
berbagai aspek kehidupan, baik itu perilaku individu yang bersifat social maupun dalam konteks politik
sekalipun.Ini penting karena sering kali tindakan atau sikap yang diambil dalam berinteraksi di dunia ini
disusupi oleh kepentingan sesaat dan keberpihakan yang tidak seharusnya. Walaupun dalam
kenyataannya sangatlah sulit atau bahkan mungkin tidak ada orang yang tidakmemiliki keberpihakan
sama sekali, minimal keberpihakan terhadap netralitas. Artinya, dengan bahasa yang lebih sederhana
dapat dikatakan bahwa memandang dan menposisikan segala sesuatu pada proporsinya masing-masing
adalah sikap yang paling bijak, dan bukan tidak mengambil sikap karena itu adalah manifestasi dari sikap
pengecut dan oportunis.

Penutup

Ini bukanlah sesuatu yang saklek yang tidak bias direvisi atau bahkan diganti sama sekali dengan
yang baru, sebab ini adalah hanya sebuah produk intelektual yang sangat dipengaruhi ruang dan waktu
dan untukmenghindari pensucian pemikiran yang pada akhirnya akan berdampak pada kejumudan dan
stagnasi dalam berpikir. Sangat terbuka dan kemungkinan untuk mendialektikakan kembali dan kemudian
merumuskan kembali menjadi rumusan yang kontekstual.Karenaitu, yakinlah apa yang anda percayai saat
ini adalah benar dan yang lain itu salah, tapi jangan tutup kemungkinan bahwa semuanya itu bias berbalik
seratus delapan puluh derajat.

16 | P a g e
17 | P a g e

PARADIGMA PMII

PENGERTIAN
Paradigma merupakan cara pandang yang mendasar dari seorang ilmuan. Paradigma tidak hanya membicarakan apa
yang harus dipandang, tetapi juga memberikan inspirasi, imajinasi terhadap apa yang harus dilakukan, sehingga membuat
perbedaan antara ilmuan satu dengan yang lainnya.
Paradigma merupakan konstelasi teologi, teori, pertanyaan, pendekatan, dan prosedur yang dikembangkan dalam
rangka memahami kondisi sejarah dan keadaan sosial, untuk memberikan konsepsi dalam menafsirkan realitas sosial.
Paradigma merupakan konstalasi dari unsur-unsur yang bersifat metafisik, sistem kepercayaan, filsafat, teori, maupun
sosiologi dalam kesatuan kesepakatan tertentu untuk mengakui keberadaan sesuatu yang baru.
Paradigma adalah model atau sebuah pegangan untuk memandu mencapai tujuan. Paradigma, juga merupakan
pegangan bersama yaang dipakai dalam berdialog dengaan realitas. Paradigma dapat juga disebut sebagai prinsip-prinsip
dasar yang akan dijadikan acuan dalam segenap pluralitas strategi sesuai lokalitas masalah dan medan juang.

PERAN PARADIGMA
Dengan paradigma pergerakan, diharapkan tidak terjadi dikotomi modal gerakan di dalam PMII, seperti perdebatan yang
tidak pernah selesai antara model gerakan jalanan dan gerakan pemikiran .
Gerakan jalanan lebih menekankan pada praksis dengan asumsi percepatan transformasi sosial. Sedangkan model
gerakan pemikiran bergerak melalui eksplorasi teoritik, kajian-kajian, diskusi, seminar, dan pertemuan ilmiah yang lainnya,
termasuk penawaran suatu konsep kepada pihak-pihak yang memegang kebijakan, baik ekskutif, legislatif, maupun yudikatif.
Perbedaan antara kedua model tersebut tidak hanya terlihat dalam praksis gerakan, tetapi yang berimplikasi pada objek
dan lahan garapan. Apa yang dianggap penting dan perlu oleh gerakan jalanan belum tentu dianggap penting dan perlu oleh
gerakan pemikiran dan begitu sebalikmya, walaupun pada dasarnya kedua model tersebut merupakan satu kesatuan.
Dalam sejarahnya, gerakan mahasiswa selalu diwarnai perdebatan model jalanan dengan intelektual-intelektual. Begitu
juga sejarah gerakan PMII selalu diwarnai dengan pertentangan yang termanifestasikan dalam gerakan politik-struktural
dengan gerakan intelektual-struktural dengan gerakan intelektual-kultural.
Semestinya kedua kekuatan model tersebut tidak perlu dipertentangkan sehingga memperlemah gerakan PMII itu
sendiri. Upaya untuk mencari prinsip dasar yang menjadi acuan segenap model gerakan, menjadi sangat penting untuk
dirumuskan. Sehingga pluralitas setinggi apapun dalam model dan strategi gerakan, tidak menjadi masalah, dan bahkan secara
sinergis bisa saling menguatkan dan mendukung.
Letak paradigma adalah dalam menjaga pertanggungjawaban setiap pendekatan yang dilakukan sesuai dengan
lokalitas dan kecenderungan masing-masing.

PENERAPAN
Sepanjang sejarah PMII dari Tahun 80an hingga 2010, ada 3 (tiga) Paradigma yang telah dan sedang digunakan.
Masing-masing menggantikan model paradigma sebelumnya. Pergantian paradigma ini mutlak diperlukan sesuai perubahan
dengan konteks ruang dan waktu. Ini bersesuaian dengan kaidah Taghoyyurul ahkami bi taghoyyuril azminati wal amkinati.
Bahwa hukum itu bisa berubah sesuai dengan perubahan waktu dan tempat. Berikut ada beberapa jenis paradigma yang
disinggung pada pembahasan di atas:
1. Paradigma Arus Balik Masyarakat Pinggiran
Nalar gerak PMII secara teoritik mulai terbangun secara sistematis pada masa kepengurusan Muhaimin Iskandar
(Ketum) dan Rusdin M. Noor (sekjend) 1994-1997. Untuk pertama kalinya istilah paradigma yang populer dalam bidang
sosiologi digunakan dalam PMII.

17 | P a g e
18 | P a g e

Paradigma pergerakan dirasa mampu untuk menjawab kegerahan anggota pergeraan yang gerah dengan situasi sosial-
politik nasional. Era pra reformasi di PMII menganut paradigma Arus Balik Masyarakat Pinggiran.
Paradigma ini muncul dikarenakan restrukturisasi yang dilakukan orde baru telah menghasilkan format poltik baru yang
ciri-ciri umumnya tidak jauh berbeda dengan negara-negara kapitalis pinggiran (peripheral capitalist state) di beberapa negara
Amerika Latin dan Asia. Ciri-ciri itu antara lain adalah.

a. Munculnya negara sebagai agen otonom yang perannya kemudian mengatasi masyarakat yang merupakan asal-
usul eksistensinya.
b. Menonjolnya peran dan fungsi birokrasi dan teknokrasi dalam proses rekayasa sosial, ekonomi dan politik.
c. Semakin terpinggirkannya sektor-sektor populer dalam masyarakat (termasuk kaum intelektual).
d. Diterapkannya model politik eksklusioner melalui jarigan-jaringan korporatis untuk menangani berbagai kepentingan
politis.
e. Penggunaan secara efektif hegemoni idiologi untuk memperkokoh dan melestarikan sistem politik yang ada.

Rezim Orde Baru adalah lahan subur bagi sikap perlawanan PMII terhadap negara yang hegemonik. Sikap perlawanan
itu didorong pula oleh teologi antroposentrisme transendental yang memposisikan manusia sebagai Kholifatullah fil ardh.
Hal penting lain dari paradigma ini adalah mengenai proses rekayasa sosial yang dilakukan PMII. Rekayasa sosial yang
dilakukan melalui dua pola, pertama, melalui advokasi masyarakat, kedua, melalui Free Market Idea. Advokasi dilakukan untuk
korban-korban perubahan, bentuk gerakannya ada tiga yakni, sosialisasi wacana, penyadaran dan pemberdayaan, serta
pendampingan.
Cita-cita besar advokasi ialah sebagai bagan dari pendidikan politik masyarakat untuk mencapai angan-angan
terwujudnya civil society. Kemudian yang diinginkan dari Free Market Idea adalah tejadinya transaksi gagasan yang sehat dan
dilakukan oleh individu-individu yang bebas, kreatif sebagai hasil dari proses liberasi dan independensi.

2. Paradigma Kritis Transformatif


Pada periode sahabat Saiful Bahri Anshari (1997-2000) diperkenalkan paradigma Kritis Transformatif. Pada hakikatnya,
prinsip-prinsip dasar paradigma ini tidak jauh berbeda dengan paradigma Arus Balik. Titik bedanya terletak pada kedalaman
teoritik serta pengambilan eksemplar-eksemplar teori kritis madzhab Frankfurt serta krtisisme intelektual muslim seperti, Hasan
Hanafi, Ali Asghar Enginer, Muhammad Arkoun dll.
Di lapangan terdapat konsentrasi pola yang sama dengan PMII periode sebelumnya, gerakan PMI terkonsentrasi di
aktivitas jaanan dan wacana kritis. Semangat perlawanan terhadap negara dan dengan kapitalisme global masih mewarnai
gerakan PMII.
Kedua paradigma sebelumnya mendapat ujian berat ketika KH. Abdurrahman Wahid (almarhum) terpilih menjadi
presiden ke-4 RI pada November 1999. para aktivis PMII dan aktivis civil society umumnya mengalami kebingungan saat Gus
Dur yang menjadi tokoh dan simbol perjuangan civil society Indonesia naik ke tampuk kekuasaan.
Aktivis pro-demokrasi mengalami kebingungan antara mendampingi Gus Dur dari jalur ekstraparlementer, atau bersikap
sebagaimana pada presiden-presiden sebelumnya. Mendampingi atau mendukung didasari pada kenyataan bahwa masih
banyak unsur-unsur orba yang memusuhi preiden ke-4 ini.
Pilihan tersebut memunculkan pendapat bahwa aktivis pro-demokrasi telah menanggalkan semangat perlawanannya.
Meski demikian secara rasional sikap PB. PMII dimasa kepengurusan Nusron Wahid (2000-2002) secara tegas terbuka
mengambil tempat mendukung demokrasi dan reformasi yang secara konsisten dijalankan oleh presiden Gus Dur.

3. Paradigma Menggiring Arus, Berbasis Realitas


Pada masa kepengurusan sahabat Heri Harianto Azumi (2006-2008) secara massif, paradigma gerakan PMII masih
kental dengan nuansa perlawanan frontal baik baik terhadap negara maupun terhadap kekuatan kapitalis internasional.

18 | P a g e
19 | P a g e

Sehingga ruang taktis-strategis dalam kerangka cita-cita gerakan yang berorientasi jangka panjang justru tidak memperoleh
tempat. Aktifis-aktifis PMII masih mudah terjebak larut dalam persoalan temporal-spasial, sehingga perkembangan internasional
yang sangat berpengaruh terhadap arah perkembangan Indonesia sendiri sulit dibaca. Dalam kalimat lain, dengan energi yang
belum seberapa, aktifis PMII sering larut pada impian membendung dominasi negara dan ekspansi neoliberal saat ini juga. Efek
besarnya, upaya strategis untuk mengakumulasikan kekuatan justru masih sedikit dilakukan.
Celakanya, konsep-konsep yang dipakai di kalangan akademis kita hampir seluruhnya beraroma liberalisme. Sehingga
di tingkat intelektualpun tidak ada kemungkinan untuk meloloskan diri dari arus liberalisme.
Dengan kata lain dalam upaya melawan neoliberalisme banyak gerakan terperangkap dalam knsep-konsep Liberalsme,
Demokrasi, HAM, Civil Society, Sipil vs Militer, Federalisme, dll yang dipakai sebagai agenda substansial padahal dalam
lapangan politik dan ekonomi, ke semuanya nyaris menjadi mainan negara-negara neoliberal.
Persoalan sulitnya membangun paradigma berbasis realitas paralel dengan kesulitan membuat agenda nasional yang
berangkat dari kenyataan Indonesia. Konsekuensi yang harus diambil dari penyusuan paradigma semacam ini adalah, untuk
sementara waktu organisasi akan tersisih dari gerakan mainstream. Bagaimanapun untuk membangun gerakan kita harus
mendahulukan kenyataan dari pada logos.

19 | P a g e
20 | P a g e

PARADIGMA PMII DALAM MENGAKTUALISASIKAN PEMIKIRAN DAN GERAKAN


(Telaah Terhadap Empowerment Society Menuju Civil Society )

Pendahuluan

Sebagai organisasi, PMII tentunya tidak berbeda dengan organisasi-organisasi lainnya, dimana untuk
menjalankan roda organisasi dan bagaimana organissi mengambil sikap atas fenomena dan persoalan
yang berkembang pada wilayah empiris. Maka diperlukan sebuah landasan, pedoman dan cara pandang.
Pedoman, landasan atau cara pandang itulah yang dinamakan dengan paradigma. Paradigma menjadi
sangat signifikan dalam sebuah organisasi karena merupakan sebuah ruh dari sebuah pergerakan untuk
mnentukan sikap atas persoalan yang ada, baik persoalan internal organisasi maupun persoalan eksternal
organisasi.

Paradigma dalam PMII menjadi penting dikarenakan paradigma merupakan cara dalam mendekati obyek
kajian atau persoalan (The subject matter of particular discipline). Orientasi atau pendekatan umum
(general orientations) ini didasarkan pada asumsi-asumsi yang dibangun dalam kaitan dengan bagaimana
realita dilihat untuk kemudian dianalisa. Dengan demikian PMII tidak akan buta dengan melihat realitas-
empiris disela-sela hiruk-pikuknya persoalan yang ada, serta tidak bisu untuk melantangkan suara ketidak
adilan yang terjadi dimana-mana.

Sehingga sangat tegas bahwa PMII telah memilih Paradigma Kritis sebagai dasar untuk bertindak (to act)
dan mengaplikasikan pemikiran pemikiran serta menyusun cara pandang dalam melakukan sebuah
analisa atas berbagai persoalan yang ada disekitar kita.

Mengapa Paradigma Kritis

Dalam memilih paradigma kritis ini, tentunya mempunyai berbagai alasan yang mendasarinya, antara lain :

Secara Internal, pertama; teori ini menerima pandangan tentang perlunya kategori imperatif paham ilmu-
ilmu sosial yang sejalan dengan argumen yang mendukung interperatif. Dan model kritis menyetakan
bahwa untuk memilki pokok bahasan (subjet matter) seorang harus mempunyai maksud dan keinginan
para pelaku yang diamatinya dan juga aturan serta makna konstitutif tatanan sosial mereka. Untuk
melakukan ini semua maka digunakan pola pikir kritis.

Kedua, Menghindari sebuah kegiatan yang mempunyai asumsi kebetulan. Yaitu dengan cara
membongkar sistem hubungan sosial yang menentukan tindakan individu. Dalam bahasanya Paulo freire
adalah kesadaran kritis (critical consciusns). Model berfikir kritis merupakan model yang menuntut bahwa
para praktikusnya berusaha untuk menemukan kaidah kuasi-kausal darn fungsional tentang tingkah laku
sosial dalam konstalasi kehidupan sosial sehari-hari.

20 | P a g e
21 | P a g e

Ketiga, Teori kritis bagaian dari ilmu-ilmu soaial yang dapat digunakan untuk mengeksplor tentang teori-
teori ilmiah sekaligus dalam penyikapan terhadap realitas sosial yang berkembang.

Model berfikir paradigma kritis ini menganggap hubungan yang tersembunyi antara teori dan praktek
sebagai salah satu titik tolaknya, dan ini berarti bahwa model ini mempertalikan pendirian pengetahuannya
dengan pemuasan tujuan dan keinginan manusia.

Secara Eksternal, paradigma kritis sangat berfungsi bagi PMII, pertama; masyarakat indonesia adalah
masyarakat plural (majemuk) yang terdiri dari suku,,agama, ras (etnis) dan tradisi, kultur maupun
kepercayaan. Pluralitas bangsa inilah yang menyimpan kekayaan akan konflik yang luar biasa. Disi lain
ternya pluralitas terkadang dipahami sebagai pembatas (penghalang) ideoloi antara komunitas satu
dengan komunitas yang lain. Kondisi seperti inilah akan lebih tepat digunakannya paradigma kritis, karena
paradigma ini akan memberikan tempat yang sama (toward open and equal society) bagi setiap individu
maupun kelompok masyarakat untuk mengembangkan potensi diri dan kreativitasnya secara maksimal
melalui dialog terbuka, transparan dan jujur. Dengan bahasa sederhananya memanusiakan manusia.

Kedua, masyarakat Indonesia saat ini telah terbelenggu oleh nilai-nilai kapitalisme modern yang dapat
mengakibatkan ketergantungan bagi masyarakat setiap adanya suatu perubahan (hanyalah meniru dan
mengikuti) dengan asumsi siapa yang tidak melakukannya maka dia akan ditinggalkan dan
dipinggirkannya oleh perkembangan jaman. Hal ini tanpa disadari telah mengekang dan memandulkan
kesadaran rakyat untuk mengembangkan kreativitas dan pola pikir, dengan meminjam istilah Mark, bahwa
kapitalisme inilah yang mengakibatkan manusia terasing (alienated) dari diri dan lingkungannya. Dalam
kondisi inilah peradigma kritis menjadi keniscayaan untuk diterapkan.

Ketiga, selama pemerintahan Orde Baru, pemerintahan dijalankan dengan cara hegemonik-militeristik,
yang mengakibatkan ruang publik masyarakat atau dalam bahasa Habermas, public sphere menjadi
hilang. Dampak dari sistem ini adalah masyarakat dihinggapi budaya bisu dalam berkreasi, berinovasi,
maupun melakukan pemberontakan. Lebih radikal lagi, seluruh potensi dan kekuatan pemberontakan atau
jiwa kritisisme yang dimiliki telah dipuberhanguskan dengan cara apapun demi melenggangkan kekuasaan
status quo negara. Melihat fenomena seperti ini maka perlu untuk dilakuknnya sebuah pemberdayaan
(empowerment) bagi rakyatIndonesia sebagai artikulasi sikap kritik dan pemberontak terhadap negara
yang totaliter hegemonik. Untuk melakukan upaya empowerment, enforcemen (penguatan), sekaligus
memperkuat civil society dihadapan negara melalui paradigma kritis sebagai pola pikir dan cara pandang
masyarakat kita agar rakyat dan negara mmempunyai posisi setara (equal).

Keempat, menghancurkan paradigma keteraturan (order paradigm). Karena penerapan paradigma


keteraturan ini, pemerintah harus menjaga harmoni dan keseimbangan sosial (sicial harmony), sehingga
gejolak sekecil apapun harus diredam agar tidak mengusik ketenangan semu mereka. Dengan paradigma
inilah masyarakat akan dijadikan robot yang hanya diperlakukan sana-kemari tanpa memberikan

21 | P a g e
22 | P a g e

kebebasan mereka untuk berfikir dan berkreasi dalam mengapresiasikan kemauannya. Untuk melakukan
pemberontakan atas belenggu dan kejumudan berfikir semacam itu, maka diperlukan paradigma kritis.

Kelima, masih kuatnya belenggu dogmatisme agama dan tradisi. Sehingga secara tidak sadar telah terjadi
pemahaman yang distortif tentang ajaran dan fungsi agama. Lebih parah lagi ketika terjadi dogmatisasi
agama sehingga kita tidak bisa membedakan lagi mana yang dianggap dogma dan mana yang dianggao
sebagai pemikiran. Akhirnya agama terkesa kering dan kaku, bahkan tidak jarang agama menjadi
penghalang bagi kemajuan dan upaya penegakan nilai-nilai kemanusiaan. Sementara disisi lain agama
hanya dijadikan komoditas kendaran atau lokomotif bagi kepentingan politik (kekuasaan) oleh kelompok
tertentu. Dengan terma-terma agama, masyarakat menjadi terbius dan tidak mampu untuk melakukan
kritik. Dengan demikian sangatlah perlu untuk mengembalikan fungsi dan ajaran agama. Upaya tersebut
adalah dengan mengadakan rekontruksi/dekontrusi (pembongkaran) pemahaman masyarakat melalui
paradigma kritis. Dan harus diakui pula bahwa agama diposisikan sebagai poros moralitas dan mampu
menjadi inspirator dalam moral forcement dalam seluruh kehidupan berbangsa dan bernegara. Dari sinilah
agama akan benar-benar kembali kefitrohnya, yakni melahirkan dan menjaga perdamaian dimuka bumi.

Penerapan Paradigma Kritis

Diatas telah banyak dikupas tentang mengapa digunakannya paradigma kritis dalam tubuh PMII sebagai
eksplorasi pemikiran menuju tindakan. Maka dalam penerapannya tetap akan melihat realitas yang terjadi
dan sepenuhnya merupakan proses dialektika pemikiran manusia. Sehingga jangan heran ketika sahabat-
sahabat PMII dikesankan oleh NU, sebagai komunitas yang tidak tahu etika dan tata krama terhadap
orang tua (yakni orang tua NU). Meski secara struktur-organisatoris PMII tidak berada dibawah NU.

Dalam hal ini paradigma kritis diberlakukan hanya sebagai kerangka pikir (manhaj al-fikr) dalam analisis
dalam memandang persoalan. Tentunya dia tidak dilepaskan dari ketentuan ajaran dan nilai-nilai agama.
Dan bahkan ingin mengembalikan dan menfungsikan ajaran agama sebagaimana mestinya. Konteks
inilah paradigma kritis tidak berkutat pada wilayah hal-hal yang bersifat sakral. namun lebih pada
persoalan yang bersifat profan. Lewat paradigma kritis persoalan-persoalan yang bersifat profan dan
sakral akan diposisikan secara propesional. Dengan kata lain paradigma PMII berusaha untuk
menegakkan sikap kritis dalam berkehidupan dengan menjadikan ajaran agama sebagai inspirasi dan
motifasi untuk melakukan kekhalifahan dimuka bumi (kholifah fi al-ardh).

Setidak-tidaknya ada 3 (tiga) hal, yang harus dilakukan dalam mengaktualisasikan pemikiran menuju
sebuah tindakan, yakni ; Pertama, mengadakan pembongkaran terhadap ideologi, dengan memberikan
kebebasan dari semua rantai penindasan dalam kehidupan ekonomi maupun keimanannya.
Pembongkaran-pembongkaran ini kiranya bisa dilakukan dengan berfikir secara kritis terhadap dogma-
dogma. Masyarakat tidak begitu saja menerima ajaran agama yang disampaikannya, namun bagaimana
masyarakat agama juga berhak melakukan tafsiran-tafsiran atas segala nilai dan pranata agama yang
selama ini mereka anut.

22 | P a g e
23 | P a g e

Proses kritisisme dan interpretasi atas ajaran agama bukan berarti memberikan peluang untuk
memberikan peluang untuk menghancurkan agama itu sendiri, namun justru sebaliknya bagaimana agama
ditempatkan pada posisi atas agar tidak digunakan oleh kepentingan-kepentingan tertentu. Proses kritik ini
tidak saja dilakukan terhadap dogmatisme agama, namun juga budaya, tatanan masyarakat, dan
pemikiran-pemikiran sosial yang ada. Dengan berfikir kritis, maka akan terjadi dialektika dan dinamika
dalam kehidupan.

Kedua, menyingkirkan tabir hegemonik. Penyingkiran terhadap tabir hegemonik tidak hanya bermuara
pada penguasa saja, namun juga tidak menutup kemungkinan pada kalangan NU sendiri atau yang lain.
Untuk mengaplikasikan paradigma kritis ini tentunya PMII harus benar-benar menyatakan sikap
perjuangannya untuk terlibat (involve) langsung dalam membangun bangsa dan negara dengan tetap
memperjuangkan kepentingan rakyat banyak.

Ketiga, Semangat religius Islam. PMII dalam membangun semangat kebangsaan dan pluralisme yang
tetap berada dalam frame dan semangat religiusitas Islam dengan tidak meninggalkan wilayah sakral
beragama, namun juga dapat masuk dalam wilayah profan agama. Sehingga dalam perjalanannya tidak
akan terbentur dengan kelompok konservatisme yang didalamnya.

Penutup

Kiranya paradigma kritis bisa digunakan sebagai pola pikir dan cara pandang (manhaj al-fikr) yang mampu
menerjemahkan dan mentransformasikan dalam kehidupan dan kemaslahatan umat agar tercipta
kehidupan yang tasamuh (toleransi), taadal (keadilan), tawazun (kesetaraan), dan dialogis (syuro) diantara
sesama manusi

Februari 15th, 2010 by pmiikebumen


sumber: muchasar.blogdetik.com

23 | P a g e
24 | P a g e

PARADIGMA GENDER PERSPEKTIF PMII


(Oleh : Elina Swann. Mahasiswa aktivis LPSAP PMII disampaikan sebagai materi MAPABA 2011)

Untuk memahami konsep gender harus dibedakan kata gender dengan kata seks (jenis kelamin).
Pengertian jenis kelamin merupakan pensifatan dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara
biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Artinya secara biologis alat-alat yang melekat pada laki-
laki atau perempuan tidak bisa dipertukarkan. Sedangkan konsep gender adalah sifat-sifat yang melekat
pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural (Mansour Fakih,
2006 : 8). Seperti pada daftar berikut:
Laki-laki Perempuan
Ketentuan Tuhan / Kodrat / Memiliki penis, memiliki jakala Memiliki rahim, vagina, alat untuk
ketentuan Biologis (kala menjing), memproduksi menyusui dan memproduksi sel
sperma. telur.
Konstruksi sosiokultural / laki-laki dianggap kuat, rasional, perempuan dikenal lemah lembut,
adikodrati jantan dan perkasa. cantik, emosional dan keibuan

Ciri-ciri sifat yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural diatas merupakan sifat-sifat yang
dapat diperdekatkan. Artinya ada laki-laki yang emosional atau lemah lembut sementara ada juga
perempuan yang rasional ataupun kuat. Ciri sifat-sifat tersebut bisa berbeda dari waktu ke waktu dan dari
tempat satu ke tempat yang lain.
Sejarah perbedaan gender antara laki-laki dan perempuan terjadi melalui proses yang sangat
panjang. Bermula ketika manusia masih mencari penghidupan dengan cara berburu dan meramu (hunting
and gathering). Pada zaman prasejarah tersebut peran laki-laki terspesialisasi dalam hal pemburuan dan
pemenuhan kebutuhan, sedangkan perempuan bertanggungjawab sebagai peramu makanan dan
merawat anak. Pola semacam ini dibentuk, diperkuat dan dikonstruksi secara sosial atau kultural melalui
ajaran agama maupun Negara. Melalui proses yang panjang, sosialisasi gender tersebut akhirnya
dianggap dan dipahami sebagai ketentuan Tuhan/kodrat.
Perbedaan Gender dengan pemilihan sifat, peran dan posisi sebenarnya tidak akan menjadi
masalah selama tidak terjadi tatanan sosial yang bias gender dan peminggiran hak-hak baik bagi kaum
laki-laki atau perempuan. Namun realitanya perbedaan gender telah memunculkan diskriminasi-

24 | P a g e
25 | P a g e

diskriminasi yang menciptakan ketidaksetaraan gender (gender inequality) dalam sistem ekonomi, sosial
dan politik.
Ketidakadilan gender termanifestasikan dalam pelbagai bentuk ketidakadilan antara lain
diskriminasi[1], subordinasi[2], marginalisasi[3], kekerasan[4] (violence) gender, stereotip[5], beban kerja
lebih panjang dan lebih banyak (Double Burden).
Memahami gender sebagai perbedaan tidak lagi hanya terkait dengan hubungan personal tapi
juga struktur sosial karena perbedaan gender telah melegitimasi ketidaksetaraan sosial yang lebih
menghargai laki-laki daripada perempuan. Penyebab mengapa karakter maskulin mendapat nilai atau
status yang lebih tinggi daripada karakter feminim tidak hanya terkait dengan fakta perbedaan biologis tapi
juga karena eksistensi struktur sosial berupa kontrol laki-laki terhadap perempuan.

Wacana Gender dalam perspektif agama Islam


Dalam pandangan para penganutnya, Islam adalah agama yang rahmatan li-alalamin.
Memperjuangkan dan menjamin kemaslahatan segenap umat, termasuk di dalamnya menghendaki
adanya penghormatan dan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan (tasamuh). Dalam Islam,
perempuan dianggap istimewa dan dalam beberapa kesempatan Rasulullah mengatakan bahwa wanita
adalah tiang Negara (imad al-bilad). Tidak ada yang membedakan antara laki-laki dan perempuan. Hanya
iman dan taqwa lah yang membedakan (al-Hujurat: 13). Semua manusia tanpa dibedakan jenis
kelaminnya mempunyai potensi yang sama untuk menjadi abid dan khalifah (QS. Al-Nisa, 4:124 dan S.
al-Nahl, 16:97) (Siti Musdah Mulia, 2006: 60)
Namun, tidak dapat dipungkiri munculnya gerakan gender yang mempengaruhi pandangan agama
dewasa ini memaksa, setidaknya kaum agamawan untuk mengkaji ulang tafsiran terhadap posisi kaum
perempuan yang sudah mapan. Agama dianggap sebagai salah satu penyebab atas terjadinya
pelanggengan ketidakadilan gender. Hal ini semakin diperkuat dengan ayat yang menjelaskan bahwa laki-
laki adalah pemimpin bagi perempuan (QS. Al-Nisa, 4: 34).
Pemahaman keagamaan yang bias gender ini tidak mustahil terjadi karena interpretasi terhadap
ajaran agama sangat dipengaruhi oleh pemahaman, penafsiran, dan pemikiran penafsirnya (mufassir)
yang erat kaitannya dengan sosiokultural yang melingkupi Mufassir tersebut. Seluruhnya itu saling terkait
satu sama lain.
Oleh karena itu, diperlukan kajian kritis yang memadukan analisis sosial serta gerakan untuk
membahas isu gender. Usaha ini dimaksudkan agar perempuan mampu membuat dan menggunakan
pengetahuan mereka sendiri dalam berbagai aspek kehidupan secara luas dan menyeluruh.

Spirit gender ala PMII


Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) kaitannya dengan kesetaraan dan keadilan peran,
fungsi, tugas dan tanggungjawab yang termuat dalam spirit gender berpandangan, bahwa kesetaraan
gender berarti kesamaan kondisi bagi laki-laki maupun perempuan untuk memperoleh kesempatan serta

25 | P a g e
26 | P a g e

hak-haknya sebagai manusia dalam kegiatan politik, hukum, ekonomi, dll. kesetaraan gender juga meliputi
penghapusan diskriminasi dan ketidakadilan struktural, baik terhadap laki-laki ataupun perempuan.
Perempuan yang secara kuantitas lebih besar dibandingkan laki-laki seharusnya mampu
menyentuh berbagai dimensi hidup dan kehidupan bermasyarakat. Namun pada kenyataannya, dalam
praktek kehidupan sosial lebih didominasi oleh kelompok laki-laki daripada perempuan. Ironisnya, tuntutan
persamaan, kebebasan, dan pemberdayaan hak-hak perempuan yang terus diletupkan seiring dengan
semangat pemberontakan terhadap dominasi dan kekuasaan kaum laki-laki belum mampu dimanfaatkan
secara maksimal. Ini terbukti dengan banyaknya ruang-ruang strategis yang kosong dari partisipasi dan
gagasan-gagasan pemikiran kaum perempuan.
Meskipun pendeskriminasian terhadap perempuan masih ada, namun hal tersebut dapat
diminimalisir dengan meningkatkan dan mengembangkan kualitas SDM perempuan. Berbekal wacana
gender kontemporer sebagai pisau analisa dalam memahami realitas sosial masyarakat, diharapkan
perempuan tidak lagi dipandang sebelah mata dan mampu menjadi mitra kerja bagi laki-laki.
Perspektif gender penting digunakan untuk membantu mengawal segala kebijakan yang menjadi
keputusan pemerintah yang telah menyebabkan terciptanya posisi subordinat bagi perempuan maupun
laki-laki, serta mampu mengambil sikap terhadap kebijakan-kebijakan yang tidak sesuai ataupun tidak
memihak kepada mereka. Selain dari sisi sebagai suatu studi, perspektif gender juga penting dalam
memahami praktek-praktek ekonomi, politik dan keamanan yang mempengaruhi relasi gender antara
perempuan dan laki-laki.
Dengan meningkatnya SDM dan potensi kaum perempuan dalam berbagai bidang tentu akan
menghidupkan kembali bara semangat untuk mengisi ruang-ruang yang telah diperuntukkan bagi mereka
serta mampu mengembangkan tingkat partisipasi sebagai mitra kerja aktif laki-laki dalam mengatasi
masalah-masalah dibidang ekonomi, sosial, kultural, termasuk dari sudut politik kekuasaan Negara.
Salam pergerakan ..!!!

[1] Pembedaan yang menempatkan laki-laki atau perempuan sebagai korban


[2] Keyakinan bahwa salah satu jenis kelamin dianggap lebih penting dibanding jenis kelamin yang lainnya.
[3] Peminggiran/pemiskinan atas perempuan maupun laki-laki yang disebabkan jenis kelamin.
[4] Serangan terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang.
[5] Citra baku tentang individu atau kelompok yang tidak sesuai dengan kenyataan empiris (pelabelan negative)

26 | P a g e
27 | P a g e

Peran PMII dalam Bingkai NKRI


Oleh Mohammad Karim (Kader PMII, Penulis buku Pendidikan Kritis Transformatif)

17 April 2015, PMII genap berusia 54 tahun. Ibarat manusia, usia tersebut merupakan usia matang. Jika
pada awal kelahirannya PMII melakukan banyak peran strategis dalam turut serta menyelesaikan problem
bangsa, bagaimana dengan sekarang? Apakah PMII sekarang dan tentu organisasi ekstrakampus
lainnya masih memiliki gereget untuk tampil berkiprah di tengah-tengah perubahan zaman yang begitu
cepat?

Jika berdirinya PMII kala itu disebabkan adanya hasrat kuat para mahasiswa NU untuk menyelesaikan
karut-marutnya situasi politik bangsa dalam kurun 19501959 serta tidak menentunya sistem
pemerintahan dan perundang-undangan saat itu, kondisi tersebut tidak berbeda dengan sekarang.
Persoalan bangsa justru lebih kompleks dan memerlukan penyelesaian dari berbagai elemen masyarakat,
termasuk mahasiswa. Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini, apa peran yang mesti
dimainkan PMII?

Problem Kebangsaan

Problem yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini sangat kompleks, yakni menyangkut problem sosial,
budaya, ekonomi, politik, hukum, dan seterusnya. Hampir semua tahu, praktik korupsi di negeri ini sudah
menjadi tradisi dan men-jamaah, mulai tingkat elite birokrasi hingga bawah.

Sementara itu, penyelesaian kasus mafia hukum dan makelar kasus (markus) hingga sekarang belum
jelas. Berbagai polemik antarelite politik juga tidak jelas. Demikian pula arah kebijakan pemerintah. Karena
itu, tidak salah jika beberapa pihak mengusulkan agar GBHN diberlakukan lagi supaya arah kebijakan
negara menjadi jelas.

Ada tiga problem besar yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini, yakni korupsi, narkoba, dan terorisme.
Jika bangsa ini bisa terbebas dari tiga problem besar tersebut, cita-cita untuk mewujudkan Indonesia adil,
makmur, serta damai bisa tercapai. Untuk mencapai cita-cita itu, tentu dibutuhkan kepemimpinan yang
visioner, bersih, dan berwibawa.

Dalam konteks ini, persoalan regenerasi dan kaderisasi amat urgen diperhatikan. Kita sadar, para
negarawan dan politikus negeri ini tidak lahir tanpa penempaan dan pendidikan selama menjadi
mahasiswa, terutama melalui organisasi ekstra seperti PMII, HMI, GMNI, dan PMKRI. Pada umumnya,
politisi itu adalah para aktivis dan kader-kader pilihan. Hal tersebut juga berlaku bagi sistem dan pola
rekrutmen kepartaian di negeri ini.

Masalahnya sekarang, bagaimana pendidikan dan pengaderan itu mampu mengantarkan mereka ke
kancah politik dan pemerintahan yang bersih serta berwibawa? Sebab, bagaimanapun, praktik-praktik

27 | P a g e
28 | P a g e

yang dialami di kampus saat mereka menjadi aktivis (BEM, MPM, dan beberapa jabatan fungsionaris
lainnya di organisasi itu) akan terus terbawa sampai mereka menjadi tokoh.

Di sinilah, pengaderan dan pembelajaran politik di kampus menjadi sangat menentukan perilaku politik
mereka ke depan. Kampus atau perguruan tingggi, dengan demikian, menjadi miniatur Indonesia. Jika
dalam praktik mengelola organisasi sejak dini sudah berani melanggar AD/ART atau aturan main lainnya,
itu merupakan awal pengalaman yang buruk bagi seorang aktivis dan akan berbahaya pada masa-masa
mendatang jika sudah terjun ke masyarakat. Suatu contoh kecil, ketika menangani panitia organisasi di
kampus, baik kegiatan intra maupun ekstra, mereka sudah berani melanggar aturan organisasi dan tidak
mampu mempertanggungjawabkan laporannya.

Reorientasi Gerakan

Sudah saatnya orientasi gerakan mahasiswa berubah, dari paradigma lama menuju paradigma baru yang
mencerahkan. Sudah saatnya PMII melakukan reorientasi pengaderan untuk menyongsong masa depan.
PMII harus mengubah paradigma pengaderan, dari paradigma normatif menuju paradigma transformatif.
Artinya, pengaderan itu harus mampu mengubah perilaku dan mengantarkan mereka dari berpikir
sektarianisme menuju pluralisme.

Hal itu tentu memerlukan review kurikulum pengaderan selama ini. Idealnya, review tersebut dilakukan
setiap tahun seiring dengan situasi dan kondisi yang terus berkembang. Karena PMII adalah organisasi
kemahasiswaan yang memiliki ciri khas keislaman dan keindonesiaan, arah keislaman dan keindonesiaan
itu harus diformulasikan. Hal itu sangat penting. Dari aspek keislaman, misalnya, PMII tidaklah berwajah
transnasional, tetapi bertumpu pada konsep nation-state. Corak pemikiran keislamannya bukanlah
skripturalis-fundamentalis atau radikal, melainkan inklusif dan plural.

Dengan demikian, PMII mesti mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai
sebuah bentuk negara yang final. Doktrin tawasuth, tawazun, dan tasamuh mesti menjadi paradigma
berpikir dalam berorganisasi. Dengan demikian, PMII tidak menjadi gerakan ekstrem, baik ekstrem kiri
maupun ekstrem kanan. Pola-pola berpikir seperti itu harus menjadi perhatian dari masa ke masa sebagai
bentuk melestarikan perjuangan the founding fathers negeri ini.

Selain itu, PMII mesti mencari rumusan baru tentang wawasan Islam keindonesiaan yang tetap mampu
memelihara khazanah serta budaya bangsa dan merumuskan paradigma baru yang lebih baik. Hal
tersebut penting dilakukan karena tuntutan dan tantangan yang dihadapi bangsa Indonesia ke depan jauh
lebih rumit. Pandangan-pandangan para pendahulu seperti KH Hasim Asyari, KH Ahmad Shidiq, dan Gus
Dur tentang wawasan kebangsaan (nation-state) menjadi penting diaktualisasikan kembali melalui kajian-
kajian rutin di kampus serta latihan kader dasar, menengah, dan lanjut.

Dikutip dari: kolom opini, jawapost.com

28 | P a g e
29 | P a g e

PMII dan Keberagamaan Multikulturalis


(Oleh: Imam S Arizal)

51 tahun yang silam, tepatnya pada tanggal 17 April 1960, para kaum muda Nahdlatul Ulama
(NU) dari berbagai daerah berkumpul di Surabaya memperbincangkan arah gerakan kader-kader NU di
tingkatan mahasiswa. Pada hari itu pula didirikanlah suatu wadah gerakan kaum muda NU yang hari ini
kita kenal dengan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII).

Keberadaan PMII tidak bisa dilepaskan dari NU. Meskipun dalam dinamikanya, PMII pernah
independen dari NU lantaran NU menjadi partai politik. Hari ini PMII dan NU kini hubungan secara
interdependen yang masih terkait secara ideologis, emosional dan kultural walaupun tidak secara
struktural. PMII menjadikan aswaja (ahlus sunnah wal jamaah) sebagai metode berfikir (manhaj al-fikr)
dan metode pergerakannya. Ada 4 prinsip aswaja yang menjadi landasan gerak PMII yaitu tawasuth
(moderat), tawazun (seimbang), tasamuh (toleran) dan taaddul (adil). Selama setengah abad PMII telah
banyak memberi kontribusi besar terhadap bangsa, negara, dan agama. PMII sudah melahirkan banyak
pemimpin, cendekiawan, akademisi, peneliti, dan sebagainya. Mereka menyebar di seantero jagad
nusantara. Keberadaan PMII menjadi tonggak penting dalam menentukan sinar peradaban Islam
Indonesia. Kehadiran PMII yang lahir dari rahim NU memiliki perspektif yang berbeda mengenai
keislaman, kebangsaan, dan persatuan sesama umat Islam.

Paham pluralisme telah mewarnai pemikiran ulama-ulama NU terdahulu sejak mereka membentuk
Komite Hijaz dan mendelegasikan perwakilannya ke Kongres Dunia Islam di Makkah untuk
memperjuangkan kepada Raja Ibn Saud agar hukum-hukum menurut empat madzhab (Hanafi, Maliki,
Syafii, dan Hambali) mendapat perlindungan dan kebebasan dalam wilayah kekuasaannya. Paham
pluralisme ini menjadi titik awal masyarakat NU dan PMII untuk menghargai perbedaan, baik perbedaan
pemikiran, keyakinan, bahkan perbedaan agama sekalipun.

Sebuah Tantangan
Beberapa tahun terakhir, citra agama kian jatuh dalam keterpurukan. Agama seakan menjadi
momok yang menakutkan. Teror dan segala bentuk kekerasan lainnya seringkali terjadi dengan label
keagamaan. Di tingkat nasional, aksi-aksi kekerasan atas nama agama juga sering terjadi. Harian Kompas
(14/2/2011) mencatat ada 17 aksi kekerasan yang bernuansa SARA. Penyerangan terhadap jamaah
Ahmadiyah di Cikeusik, Banten (6/2) dan pembakaran sebuah Gereja di Temanggung, Jawa Tengah (7/2)
menjadi potret buram keberagamaan kita. Nilai-nilai pluralisme dan multikulturalisme yang menjadi ruh dari
kebangsaan kita (Bhinneka Tunggal Ika) seakan runtuh dari kehidupan masyarakat.

29 | P a g e
30 | P a g e

Inilah yang harus disikapi secara serius oleh kader-kader PMII ke depan. Sebagai organisasi
kemahasiswaan yang besar, PMII memiliki tanggungjawab sosial yang tinggi untuk kemudian menjaga
serta merawat aneka ragam kekayaan bangsa ini yang berupa pluralisme dan multikulturisme.

Keberagamaan Multikulturalis

Adalah tugas kader PMII dan NU untuk terus merawat multikulturalisme guna mewujudkan
kerukunan umat beragama. Multikulturalisme pada dasarnya merupakan kekuatan pemikiran yang
memandang adanya berbagai pluralitas dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat, baik dalam aspek
sosial, politik, ekonomi, budaya, hukum, maupun agama. Prof Dr Musa Asyarie (2010) mengemukakan
bahwa jika pemikiran multikulturalisme terjaga, maka akan terjadi pengkayaan spititualitas untuk
memperkuat pandangan kesatuan dalam keberagamaan yang sesungguhnya telah mendasari bagi
kehidupan kita dalam berbangsa dan bernegara.

Menurut Muhammad Ali (2003), seorang multikulturalis tidak beragama secara mutlak-mutlakan.
Artinya, ketika klaim kebenaran yang dianutnya dilihat dari luar, maka ia menjadi tidak mutlak. Ini bisa
disebut dengan sikap keberagamaan relatively absolutedengan mengatakan, Apa yang saya anut
memang benar dan saya berjuang untuk mempertahankannya, tetapi tetap saja relatif ketika dihubungkan
dengan apa yang dianut orang lain, karena orang lain melihat apa yang saya anut dari kacamata anutan
orang lain itu. keberagamaan mutlak-mutlakan dalam banyak kasus cukup berbahaya dalam konteks
interaksi antar-agama dab antar-budaya. Klaim kebenaran absolut merupakan benih dari tumbuhnya
fundamentalisme radikal yang bisa membenarkan segala cara.

Keberagamaan multikulturalis lebih menitikberatkan pada makna, bukan simbol semata. Simbol
bukan tidak penting, tetapi terkadang simbol-simbol keagamaan hanya melahirkan ketegangan-
ketegangan yang berakhir dengan benturan dan kekerasan agama. Di sinilah kemudian pentingnya
memahami bahwa esensi dari beragama bukan terletak pada simbol dan ritualisme semata, melainkan
sejauh mana kita mampu membumikan ajaran-ajaran agama sehingga agama tersebut menjadi rahmat
bagi seluruh alam (rahmatan lil alamin).

Setidaknya ada dua hal penting yang menjadi kelebihan kader-kader PMII dalam merawat spirit
multikulturalisme. Pertama, PMII memiliki banyak kader yang menyebar di seluruh nusantara. Mereka lahir
dari kebudayaan dan tradisi keagamaan yang berbeda-beda. Di daerah masing-masing para keder PMII
bisa menjadi agen perdamaian dan pemersatu ummat yang berjuang untuk saling menghargai perbedaan;
saling menghormati satu dengan yang lain; adanya rasa kepedulian sosial antara anggota suatu
komunitas; dan terjalinnya kerja sama atas dasar kesadaran untuk mencegah dan menanggulangi
permasalahan yang terjadi di lingkungannya. Kedua, kader-kader PMII mewarisi khasanah ke-NU-an
sangat mudah untuk menafsirkan. Kader-kader PMII yang notabene lulusan pondok pesantren tidak hanya

30 | P a g e
31 | P a g e

belajar fiqh, melainkan juga ushul fiqh, qawaidul fiqhiyah, maqosidussyariah, dan ilmu mantiq. Dari tradisi
yang kuat itulah kemudian cara pandang kaum Nahdliyyin (PMII) relatif lebih fleksibel dan moderat.

Salah satu contoh dari sikap fleksibilitas orang NU adalah dengan mudah menerimanya terhadap
Pancasila sebagai dasar negara. Oleh ulama-ulama NU, Pancasila sebagai dasar negara dianggap sudah
final. Pancasila tidak bertentangan dengan maqosidussyariah, dimana syariat Islam dipahami dalam lima
wujud, yaitu menjaga agama, menjaga akal sehat, menjaga harta benda, menjaga kehormatan dan
keturunan. Keunggulan yang dimiliki kader-kader PMII ini kiranya menjadi modal dasar untuk
menanamkan pemahaman keagamaan yang moderat di tengah-tengah masyarakat. Bersama dengan NU,
PMII harus berada di garda depan untuk terus menanamkan nilai-nilai toleransi dan perdamaian,
khususnya di kalangan pemuda. Komitmen dan perjuangan kaum muda ini jika dilakukan secara kontinyu
dan sustinable akan menentukan nasib keberagamaan kita, keberagamaan yang multikulturalis.

31 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai