Teologi Agama-agama
Dr. Junjungan Simorangkir, M.Th
Grup A Sem V Prodi Teologi
Korporatisme Negara Orde Baru dan Pendekatan
Islam Kultural
• Korporatisme Negara Orde Baru dan Pendekatan Islam
Kultural merupakan bagian dari gejala global yang
merepresentasikan bantahan atas teori sekularisasi seiring
dengan perkembangan tahap lanjut modernisasi
masyarakat global.
• Dalam konteks Islam telah terjadi persebaran ideologi
Islam transnasional yang mencerminkan krisis dunia
modern sekaligus reaksi terhadapnya. Sejak kemerdekaan,
debat tentang posisi Islam dan negara tidak pernah selesai.
• Sejak kemerdekaan, debat tentang posisi Islam dan negara
tidak pernah selesai.
• Muncul optimisme pada pertengahan 1960-an
• Orde Baru secara sistematis meminggirkan Islam
politik.
• Pada masa orde baru Kelompok yang menolak
ideologi Pancasila dengan mudah distigma sebagai
gerakan separatis, atau berkeinginan mendirikan
negara Islam.
• Menghadapi situasi represif, para aktivis Islam
mau tidak mau harus mencari jalan lain dan
akhirnya memilih berkonsentrasi pada gerakan
kultural.
• Pemahaman diri yang baru di kalangan para aktivis yang
mendorong mereka berkonsentrasi pada dunia pendidikan
dan untuk sebuah perjuangan Islam politik yang lebih kokoh.
(pemahaman diri tersebut adalah adanya kesadaran bahwa
kegagalan itu sendiri mencerminkan ketidaksiapan kultural
masyarakat Muslim untuk sebuah gagasan Islamisasi
politik.)
• Penolakan terhadap piagam Jakarta di sidang-sidang MPRS
selama paruh kedua tahun 1950-an dipandang tidak hanya
disebabkan oleh kondisi politik yang tidak mendukung,
tetapi juga dilatari oleh minimnya pemahaman terhadap
Islam di tengah masyarakat Muslim Indonesia.
Tokoh : Mohammad Natsir, pendiri lembaga Dewan Dakwah
Islamiyah Indonesia (DDII) pada tahun 1967
DDII kemudian merumuskan beberapa program untuk
mewujudkan tujuan dakwahnya, seperti:
• pelatihan dai,
• penerbitan buku-buku terutama para pemikir Ikhwanul Muslimin
• pengiriman para dai ke berbagai penjuru pedesaan di
Indonesia.
• menyekolahkan generasi muda Muslim ke Timur Tengah yang
disokong oleh Pemerintah Saudi Arabia dan Kuwait.
Pada saat yang sama, PII (Pelajar Islam Indonesia) sebagai
organisasi pelajar Islam yang juga mulai terwarnai pengaruh IM
sedang giat-giatnya melakukan pengaderan di kalangan pelajar.
PII melalui training-training kepada pelajar memberikan benih-
benih militansi di kalangan pelajar.
• kegiatan dakwah di Masjid Salman,
Bandung, yang dimotori Imaduddin
Abdurrahim.
• Maraknya kegiatan dakwah di masjid
kampus ini juga disumbang oleh kebijakan
NKK/ BKK sejak 1978 yang juga sangat
membatasi ruang gerak politik mahasiswa
di kampus dan membuat mereka
mengambil alternatif melibatan diri dalam
kegiatan masjid kampus.
• Selain di tingkat kampus, sebagian aktivis masjid
kemudian tertarik memperluas pengaruhnya ke
sekolah-sekolah dengan upaya memanfaatkan
kebijakan korporatisme negara Orde Baru. Orde
Baru menjadikan OSIS (Organisasi Siswa Intra
Sekolah) satu-satunya wadah resmi/ organisasi
pelajar di lingkungan sekolah untuk mempermudah
proses ideologisasi dan kontrol.
• Organisasi kesiswaan di luar OSIS seperti PII,
IPNU-IPPNU dan IPM/ IRM tidak diperkenankan
berada dan beraktivitas di dalam sekolah. Sebagai
gantinya, mengizinkan siswa Muslim yang ingin
bergiat di bidang keagamaan berkiprah di Seksi
Kerohanian Islam (Rohis), yang menjadi bagian dari
OSIS.
• Di bawah naungan OSIS, kegiatan keagamaan pun terus
berkembang.
• Di tengah masyarakat, symbol-simbol Islam semakin banyak
digunakan. Busana muslim dan muslimah, ritual-ritual
keagamaan, publikasi Islam, bank Islam, seni Islam, dan
berbagai kegiatan keagamaan menjamur (di masjid, institusi
pendidikan, kantor, pabrik, rumah dan berbagai lingkungan).
• Masjid diramaikan, bukan hanya sebagai tempat ibadah tetapi
juga tempat pengembangan gerakan sosial bahkan politik.
• Dakwah adalah payung berbagai kegiatan kelompok Islam
yang dapat dilakukan tanpa kontrol berlebihan, termasuk di
sekolah.
Berdakwah melalui Media Islam Popular
Perlu dicatat, sekolah bukanlah satu-
satunya wahana yang dipakai untuk
pengukuhan agama sebagai identitas di
kalangan siswa sekolah menengah.
Kegiatan pembinaan remaja melalui masjid-
masjid kampung juga sangat penting
diperhatikan.
Wahana lain yang juga sangat
penting dilihat dalam konteks ini adalah
maraknya perkembangan media Islami
populer yang terjadi pada masa yang kurang
lebih bersamaan dan dalam satu dan lain
cara saling bersinergi.
Perkembangan media Islam
yang menarget pembaca remaja saat ini
sebagian besar digerakkan oleh para aktivis
dakwah yang konsen dengan isu remaja.
Di tahun 1990-an saat
modernisasi menerpa remaja Indonesia lewat
majalah remaja, seperti Kawanku, Gadis,
Aneka dan Hai yang menyajikan dan
memopulerkan budaya pop Barat, sebagian
alumni gerakan dakwah kampus tahun 80-an
mendirikan sebuah majalah remaja dengan
nama Annida yang berarti ajakan atau
panggilan kepada remaja Muslim untuk
mengimplementasikan Islam dalam
kehidupan sehari-hari.
Meskipun Annida awal di tahun 1990-
an tampil dalam bentuk sederhana seperti ilustrasi
cover dengan tanaman, binatang dan olah foto yang
jauh berbeda dengan tampilan majalah remaja
umum yang covernya memamerkan remaja trendy
dengan gaya rambut dan baju terbaru, Annida
secara perlahan berhasil merebut segmen pembaca
remaja Muslim.
Berbeda dengan cerpen yang
tergelar di majalah-majalah remaja pop yang
menceritakan percintaan, persahabatan dan lain
sebagainya. cerpen Annida secara lugas mengajak
para remaja Muslim untuk mengenakan jilbab,
meninggalkan perilaku yang meniru Barat serta
mengenalkan isu-isu penindasan Barat terhadap
negara Muslim, dan lain sebagainya.
Salah satu cerpen yang dimuat di
Annida dan pada gilirannya menjadi populer di
kalangan remaja Muslim adalah karya Helvy
Tiana RosA berjudul “Ketika Mas Gagah
Pergi”. Cerpen ini memaparkan sebuah kisah
tentang seorang remaja bernama Gagah yang
seperti remaja umumnya tampil trendy,
berbahasa gaul, dan suka mendengar musik-
musik Barat. Namun suatu hari Gagah
berubah total, ia tidak lagi tampil trendy, dan
mulai tidak lagi mendengar musik Barat. Ia
mulai suka mengenakan baju koko,
memelihara jenggot, dan mendengarkan
nasyid.
Sekolah sebagai Institusi Publik dan Nasib
Ruang Publik Siswa di Sekolah.
Dalam sebuah wawancara, seorang kepala sekolah
menengah umum favorit di Yogyakarta, yang Rohis
berpengaruh dominan dalam kegiatan siswa, menyatakan,
“Jika anak-anak produk Rohis ini religius, pintar, berakhlak,
punya daya juang yang hebat, terampil berorganisasi, peduli
perkembangan situasi, peka terhadap kesempatan
pengembangan diri dan organisasi, mengapa
dikhawatirkan? Apa yang salah dengan mereka? Apa yang
salah dengan Rohis?” Memang tidak ada yang salah dengan
meningkatnya penghayatan dan pengamalan agama di
kalangan siswa. Sejauh menyangkut hal ini, semua pihak
memang harus melihatnya sebagai hal yang sangat positif.
Bagi banyak orang tua dan guru, kehadiran Rohis juga
dipandang sangat positif sebagai benteng agar siswa tidak
terjebak dalam masalah narkoba, pergaulan bebas, tawuran
pelajar, dan berbagai perilaku yang dianggap menyimpang.
Di sinilah signifikansi perspektif pluralisme
kewargaan dalam melihat masalah ini. Yang
menjadi masalah adalah pandangan keagamaan
yang berkembang cenderung mendorong kepada
eksklusivisme 106 Pluralisme Kewargaan sempit
dan kaku. Kenyataan ini sangat memprihatinkan
karena ia berlangsung di sekolah-sekolah publik
yang dibiayai oleh pemerintah, yang seharusnya
menempatkan seluruh siswa sebagai warga
negara yang mempunyai hak-hak yang sama,
tanpa membedakan latar belakang agama, kelas
sosial, sukubangsa, atau jenis kelamin.
Sekolah publik juga seharusnya
menjadi ajang nilainilai kewarganegaraan yang
inklusif ditanamkan; dan penanaman nilai-nilai itu
tidak hanya terbatas dalam mata pelajaran yang
diberikan, tetapi juga dalam seluruh proses
pendidikan di sekolah, termasuk dalam kegiatan
ekstrakurikuler dan juga kehidupan sehari-hari
pergaulan antarsiswa.
Dalam situasi ketika peran Rohis
begitu dominan, aktivitas tersebut gampang
menjurus kepada perilaku diskriminatif terhadap
siswa-siswi non-Muslim, dan juga, tidak kalah
seriusnya, terhadap siswa Muslim lain yang tidak
mengikuti pandangan keislaman yang sama. Ketika
agama mulai menjadi pembentuk utama identitas
siswa, atau bahkan menjadi ideologi di sekolah,
maka siswa mulai belajar mengembangkan
pandangan diskriminatif terhadap teman lain
seusianya
Tidak perlu diperdebatkan,
pengembangan kesadaran pluralisme
kewargaan yang menempatkan setiap individu
warga negara secara setara di kalangan kaum
muda, termasuk siswa Kaum Muda dan
Pluralisme Kewargaan 107 sekolah menengah,
tentu saja sangat penting dalam rangka menjaga
masa depan Indonesia yang menghargai
keberagaman budaya, agama, etnis dan
berkeadilan.
Mencari Pendekatan Baru: “Mengalami Pluralisme”